Bentang Alam Semau - 2019 - NRK PDF
Bentang Alam Semau - 2019 - NRK PDF
PULAU SEMAU
Norman P.L.B Riwu Kaho, SP, M.Sc
Kupang, Maret 2019
Daftar Isi
Daftar Isi i
Daftar Tabel ii
Daftar Gambar iii
Bab I Pendahuluan
1. Latar Belakang 1
2. Maksud dan Tujuan
a. Maksud 3
b. Tujuan 3
3. Luaran 3
Bab II Metode
1. Waktu dan Tempat 5
2. Metode Pengumpulan Data dan Analisis
a. Kondisi Umum (Pulau dan Wilayah Administrasi 5
b. Kondisi Geomorfologi 6
c. Kondisi Hidrologis 7
d. Kawasan Hutan 8
e. Kondisi Vegetasi dan Keanekaragaman Jenis di Hutan 9
f. Tutupan Lahan dan Perubahan Tutupan Lahan 11
g. Evaluasi Kesuburan Tanah Sebagai Indikator Asupan Bahan Kimia
Tanah dan Analisis Kesesuaian Lahan 11
Bab III Hasil dan Pembahasan
1. Wilayah Administrasi dan Jumlah Penduduk 13
2. Kondisi Geomorfologi
a. Ketinggian Tempat (Elevation) 17
b. Kelas Lereng (Slopes) dan Bentuklahan (Landforms) 21
c. Formasi Geologi dan Tanah 27
3. Kondisi Hidrologis
a. Karakteristik Hujan & Klasifikasi Iklim 35
b. Analisis Neraca Air 38
c. Sumberdaya Air 40
d. Daerah Aliran Sungai (DAS) 47
4. Kawasan Hutan
a. Pemetaan Kawasan Hutan 50
b. Usulan Model Pengelolaan Hutan 54
5. Kondisi Vegetasi dan Keanekaragaman Jenis Vegetasi Hutan
a. Komposisi dan Struktur Vegetasi 58
b. Komparasi Tingkat Kekayaan, Kemerataan, Keragaman dan
Kesamaan Jenis Antar Lokasi 63
6. Tutupan Lahan dan Perubahan Tutupan Lahan
a. Analisis Tutupan Lahan 67
b. Perubahan Tutupan Lahan 74
7. Evaluasi Kesuburan Tanah Sebagai Indikator Asupan Bahan Kimia
Tanah 88
8. Kesesuaian Lahan 96
Bab IV Penutup
1. Kesimpulan 106
2. Rekomendasi 110
i
Daftar Tabel
Tabel 2.1 Kelas Lereng dan Relief 6
Tabel 2.2 Tipe Iklim berdasarkan Klasifikasi Scmidt dan Ferguson 7
Tabel 2.3 Tipe Iklim dan Kriteria berdasarkan Klasifikasi Oldeman 8
Tabel 3.1 Luas Wilayah Administrasi dan Jumlah Penduduk 13
Tabel 3.2 Ketinggian Tempat (Elevasi) di Semau 17
Tabel 3.3 Sebaran Luas Kelas Elevasi Per Wilayah Administrasi 18
Tabel 3.4 Kelas Lereng Semau 21
Tabel 3.5 Sebaran Luas Kelas Lereng per Wilayah Administrasi 22
Tabel 3.6 Sebaran Luas Bentuklahan Per Wilayah Administrasi 25
Tabel 3.7 Arahan Penggunaan Lahan dan Fungsi Hutan berdasarkan
Bentuklahan dan Tingkat Kelerengan di Pulau Semau 27
Tabel 3.8 Luas Sebaran Formasi Geologis Per Wilayah Administrasi 30
Tabel 3.9 Luas Sebaran Jenis Tanah Per Wilayah Administrasi 32
Tabel 3.10 Perhitungan Data Curah Hujan dalam Penentuan Tipe Iklim 36
Tabel 3.11 Rejim Kandungan Air Tanah Bulanan (mm/bulan) di Semau 38
Tabel 3.12 Rejim Air Tanah dan Waktu Defisit/Surplus Per Dasarian di Semau 40
Tabel 3.13 Sumber Air di Semau Menurut Jenisnya 40
Tabel 3.14 Data Embung Kecil di Semau Sampai Tahun 2015 42
Tabel 3.15 Luas Lahan Sesuai untuk Embung di Semau Hasil Analisis TWI 44
Tabel 3.16 Daerah Aliran Sungai di Semau 47
Tabel 3.17 Luas Kawasan Hutan (SK no 357/2016) Per Wilayah Administrasi 51
Tabel 3.18 Produksi Komoditi HHBK di Semau 52
Tabel 3.19 Komposisi dan Struktur Tingkat Pohon di Uinao Timur 58
Tabel 3.20 Komposisi dan Struktur Tingkat Tiang di Uinao Timur 59
Tabel 3.21 Komposisi dan Struktur Tingkat Sapihan di Uinao Timur 59
Tabel 3.22 Komposisi dan Struktur Tingkat Sapihan di Uinao Timur 59
Tabel 3.23 Komposisi dan Struktur Tingkat Pohon di Tuadaen 60
Tabel 3.24 Komposisi dan Struktur Tingkat Tiang di Tuadaen 60
Tabel 3.25 Komposisi dan Struktur Tingkat Sapihan di Tuadaen 61
Tabel 3.26 Komposisi dan Struktur Tingkat Semai di Tuadaen 61
Tabel 3.27 Komposisi dan Struktur Tingkat Pohon di Ingubluan 62
Tabel 3.28 Komposisi dan Struktur Tingkat Tiang di Ingubluan 62
Tabel 3.29 Komposisi dan Struktur Tingkat Sapihan di Ingubluan 63
Tabel 3.30 Komposisi dan Struktur Tingkat Semai di Ingubluan 63
Tabel 3.31 Jumlah Jenis dan Individu per Tingkat Struktur Vegetasi 64
Tabel 3.32 Indeks Kesamaan Jaccard Jenis Vegetasi Antar Lokasi 65
Tabel 3.33 Indeks Kemerataan, Kekayaan Jenis dan Keragaman Antar Lokasi 66
Tabel 3.34 Kegunaan Beberapa Jenis Tumbuhan di Hutan 67
Tabel 3.35 Luas Tutupan Lahan Per Wilayah Administrasi 71
Tabel 3.36 Luas Tutupan Lahan dalam Kawasan Hutan 73
Tabel 3.37 Perubahan Luas Tutupan Lahan Multi-Temporal 72
Tabel 3.38 Perubahan Luas Tutupan Lahan (Ha) Antara Tahun 1989 dan 2018 81
Tabel 3.39 Hasil Analisis Tanah pada Lokasi Pengambilan Sampel Tanah 92
Tabel 3.40 Status Hara pada Lokasi Pengambilan Sampel Tanah 92
Tabel 3.41 Parameter Karakteristik Lahan untuk Analisis Kesesuaian Lahan 97
Tabel 3.42 Hasil Kesesuaian Lahan untuk Beberapa Jenis Komoditi Tanaman
Pertanian 98
ii
Daftar Gambar
Gambar 2.1 Peta Lokasi Studi 5
Gambar 2.2 Posisi Bentuklahan 6
Gambar 2.3 Contoh Jalur Transek dan Petak Ukur dalam Analisis Vegetasi 9
Gambar 3.1 Peta Wilayah Administrasi di Pulau Semau 14
Gambar 3.2 Peta Orbitasi Wilayah Pulau Semau 16
Gambar 3.3 Scatter Plot Luas Pemukiman dan Jarak dari Ibukota Kecamatan 17
Gambar 3.4 Peta Ketinggian Tempat (Elevasi) 20
Gambar 3.5 Peta Kelas Lereng Semau 23
Gambar 3.6 Luas Bentuklahan di Pulau Semau 24
Gambar 3.7 Tampilan 3 Dimensi Bentuk Lahan Pulau Semau 24
Gambar 3.8 Bentuklahan Pulau Semau 26
Gambar 3.9 Formasi Geologi di Semau 28
Gambar 3.10 Peta Formasi Geologi Semau 29
Gambar 3.11 Overlay Titik Lahan Budidaya dan Embung dengan Formasi Geologi 31
Gambar 3.12 Jenis Tanah di Semau 31
Gambar 3.13 Peta Jenis Tanah Semau 34
Gambar 3.14 Pola Curah Hujan di Semau 35
Gambar 3.15 Pola Suhu Udara di Semau 37
Gambar 3.16 Model Neraca Air (Presipitasi dan ETP) di Semau 38
Gambar 3.17 Peta Lokasi Embung di Semau 43
Gambar 3.18 Peta Lokasi Sesuai untuk Pembangunan Embung di Semau 45
Gambar 3.19 Grafik Nilai TWI dari Embung Eksisting di Semau 46
Gambar 3.20 Tampilan 3 Dimensi TWI dan Posisi Eksisting Embung 46
Gambar 3.21 Peta DAS di Semau 49
Gambar 3.22 Tampilan 3 Dimensi DAS Hasil Delineasi DEMNAS 50
Gambar 3.23 Perubahan Luas Kawasan Hutan Semau dari Tahun 1999 s/d 2016
Peta Kawasan Hutan Semau 51
Gambar 3.24 Model Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat pada Kawasan 54
Gambar 3.25 Hutan Negara dan Hutan Hak di Semau 54
Gambar 3.26 Lokasi Analisis Vegetasi 57
Gambar 3.27 Pengambilan Data Vegetasi di Uinao Timur 58
Gambar 3.28 Pengambilan Data Vegetasi di Tuadaen 60
Gambar 3.29 Tren Jumlah Spesies dan Individu vegetasi pada Lokasi Sampel 64
Gambar 3.30 Peta Orthomosaic Hasil Foto Udara Tutupan Lahan Pertanian
/Pemukiman di Desa Hansisi (Dusun 1) 69
Gambar 3.31 Peta Orthomosaic Hasil Foto Udara Tutupan Lahan Semak
Belukar/Lahan Pertanian di Desa Batuinan 70
Gambar 3.32 Peta Tutupan Lahan Semau 72
Gambar 3.33 Kegiatan Budidaya dalam Kawasan Hutan 73
Gambar 3.34 Tren Perubahan Luas Tutupan Lahan di Semau 75
Gambar 3.35 Tutupan Lahan Semau Tahun 1989 76
Gambar 3.36 Tutupan Lahan Semau Tahun 1997 77
Gambar 3.37 Tutupan Lahan Semau Tahun 2006 78
Gambar 3.38 Perubahan Tutupan Lahan Tahun 1989 - 2018 83
Gambar 3.39 Tren Perubahan Luas Pulau Sebagai Akibat Perubahan Garis Pantai
(Abrasi & Akresi) di Semau 84
Gambar 3.40 Peta Perubahan Garis Pantai 20 Tahun Terakhir 87
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Two monks were arguing about a flag. One said, “The flag is moving.” The other said,
“The wind is moving.” The sixth patriarch, Zeno, happened to be passing by. He told
them, “Not the wind, not the flag; mind is moving.”
-Douglas R. Hofstadter, Gödel, Escher, Bach (Hess & Ostrom, 2007)
Dewasa ini kesadaran akan arti penting pengelolaan lingkungan dan sumberdaya
alam mulai menguat dan makin sering terdengar. Barrow (2006) menyatakan bahwa
terdapat beberapa hal yang menjadi motivasi yaitu mulai dari alasan pragmatis,
keinginan untuk menekan biaya (cost), memenuhi tuntutan regulasi, pergeseran etika
atau karena pengaruh makro-ekonomi. Hal ini kemudian dipercepat seiring makin
dirasakannya dampak dari eskalasi kejadian bencana. Djalante & Garshcagen (2017)
menyatakan sejak tahun 1990 s/d 2015 tercatat telah terjadi 429 kejadian bencana di
Indonesia dengan 238 ribu orang yang meninggal dan lebih dari 29 juta orang
terdampak serta total kerugian ekonomi mencapai lebih dari USD 44 juta. Dalam upaya
mencari penyebab kejadian ini, maka salah satu yang makin mencuat adalah persoalan
kerusakan lingkungan yang terkristalisasi pada isu pemanasan global (global warming)
dan perubahan iklim (climate change) (Miyata et al, 2018).
Oleh karena sifatnya global, maka serangkaian kejadian yang disebutkan diatas pun
tidak luput dirasakan dan terjadi di Pulau Semau, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa
Tenggara Timur (Sutedjo, dkk, 2009; Hormat & Heo, 2015). Bahkan dengan total luas
Pulau Semau yang “hanya” 26.570 ha (BPS, 2018) sehingga dapat digolongkan sebagai
pulau kecil1, menurut Busse & Nugroho (2014) serta Walshe & Stancioff (2018) akan
memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi dibandingkan pulau-pulau besar.
Sutedjo, dkk (2009) dan Hormat & Heo (2015) mencatat beberapa persoalan dalam
pengelolaan sumberdaya alam di Semau yaitu mulai dari tingkat kesuburan tanah
alami yang cukup rendah sehingga harus dikompensasi dengan pemberian pupuk
anorganik yang tinggi, produktivitas lahan dan tanaman relative rendah, krisis air serta
tragedy of common dalam pemanfaatan air yang antara lain juga disebabkan krisis
1 UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil mendefinisikan Pulau Kecil pulau dengan luas
lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya
b. Tujuan
Tujuan dari studi ini adalah :
1. Menganalisis keadaan lingkungan dan sumberdaya alam pada bentang lahan di
Pulau Semau;
2. Mengeksplorasi masalah dan potensi dalam pengelolaan lingkungan dan
sumberdaya alam pada bentang lahan di Pulau Semau;
3. Luaran
Adapun beberapa luaran yang diharapkan dihasilkan dari studi ini, yaitu sebagai
berikut.
a. Dari hasil kajian bentang lahan yang tergambar dalam suatu pemetaan mengenai
kondisi geomorfologi (elevasi, kemiringan lereng/slopes dan bentuk
lahan/landform), kondisi hidrologi (curah hujan, suhu udara dan neraca air serta
DAS), geologi dan tanah (edafik);
b. Suatu kajian mengenai tutupan lahan (landcover), aspek perubahannya dalam
kurun waktu yang terhitung (30 tahun terakhir) pada keseluruhan Pulau Semau;
Gambar 2.1
Peta Lokasi Studi
b. Kondisi Geomorfologi
Analisis kondisi geomorfologi yang ditunjukkan oleh parameter ketinggian tempat
(elevasi) dan kelas lereng akan dianalisis menggunakan data digital elevation model
nasional (DEMNAS) dengan resolusi spasial 8 meter dari Badan Informasi Geospasial
dan selanjutnya akan dilakukan pengkelasan-ulang (reclassify) grid menjadi beberapa
kelas elevasi dan lereng (%). Khusus untuk kelas lereng, maka reklasifikasi dilakukan
menjadi 5 kelas untuk menggambarkan kondisi relief sebagaimana Tabel 2.1 berikut.
Gambar 2.2
Posisi Bentuklahan (Weiss, 2001)
Sedangkan variable formasi geologi dihasilkan dari proses digitasi terhadap Peta
Geologi Lembar Kupang-Atambua Timor (skala 1:250.000) dan parameter jenis tanah
dianalisis dari data sekunder (BPDAS Benain Noelmina, 2013).
c. Kondisi Hidrologis
Dalam analisis kondisi hidrologis dibagi menjadi beberapa parameter yaitu
karakteristik hujan dan suhu udara oleh karena ketiadaan pos hujan di Semau
sehingga analisis karakteristik hujan Semau menggunakan data time-series Pos Hujan
di Stasiun Klimatologi Lasiana Kupang dari tahun 1986 – 2016 (31 tahun) serta
karakteristik suhu udara menggunakan data dari lokasi yang sama dari tahun 1986 -
2014 . Adapun hasil yang akan diperoleh yaitu rata-rata curah hujan tahunan/bulanan
dan penentuan tipe iklim berdasarkan klasifikasi Scmidt-Ferguson (Q) dan Oldeman
serta rata-rata suhu udara tahunan/bulanan.
Dalam klasifikasi iklim Scmidt dan Ferguson menggunakan kriteria bulan basah =
hujan > 100 mm, bulan kering = hujan < 60mm dan selanjutnya akan dihitung quasi
(Q) menggunakan persamaan sebagai berikut.
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑏𝑢𝑙𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
𝑄=
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑏𝑢𝑙𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ
Selanjutkan akan dilihat tipe iklim berdasarkan perhitungan nilai Q diatas
menggunakan tabel 2.2 berikut.
d. Kawasan Hutan
Analisis kondisi kawasan hutan dilakukan dengan membandingkan tiga SK Menteri
terkait selama 20 tahun terakhir yaitu (a) SK Menhut no. 423/1999, (b) SK Menhut no.
3911/2014, dan (c) SK Men-LHK no. 357/2016 yang diperoleh dari Dinas Lingkungan
Gambar 2.3
Contoh Jalur Transek dan Petak Ukur dalam Analisis Vegetasi
Parameter yang diukur yaitu jenis tumbuhan, diameter batang, jumlah jenis,
dan jumlah plot yang ditemukan suatu jenis tertentu untuk dilakukan perhitungan
Indeks Nilai Penting (INP) & Summed Dominance Ratio (SDR) yang merupakan
indeks komposit dari variabel kerapatan (density), frekuensi dan dominansi
sebagai berikut.
Kerapatan Jenis (K) merupakan jumlah suatu jenis per satuan luas contoh,
sedangkan kerapatan relatif (KR) merupakan persentase kerapatan dari suatu
jenis terhadap jumlah kerapatan semua jenis.
Data dan informasi dari hasil pengukuran nilai kerapatan relatif (KR),
dominansi relatif (DR) dan frekuensi relatif (FR) digunakan sebagai nilai penting.
Indeks nilai penting (INP) = kerapatan relatif (KR) + Dominasi relatif (DR) +
Frekuensi relatif (FR)
INP
Summed Dominance Ratio (SDR) = 3
untuk tingkat pohon dan tiang
INP
Summed Dominance Ratio (SDR) = 2
untuk tingkat pancang dan semai
g. Evaluasi Kesuburan Tanah Sebagai Indikator Asupan Bahan Kimia Tanah dan
Analisis Kesesuaian Lahan
Dalam survai ini dilakukan pengambilan sampel tanah pada setiap lokasi, yakni
setiap desa diambil sebanyak 1-2 titik sampel tanah sehingga total terdapat 12 sampel
tanah dari Desa Hansisi, Uiasa, Letbaun, Batuinan, Uitiutuan, dan Uitiuana. Tanah
diambil pada lapisan top soil atau kedalaman 0-20 cm sebanyak kurang lebih 1 kg dan
dimasukkan dalam kantong plastik dan diberi label. Tanah ini kemudian dianalisis sifat
kimia tanahnya yakni C-organik, N-total, P-tersedia, Kalium dapat tertukar, pH tanah
dan tekstur tanah. Pengamatan sifat morfologis tanah yaitu kedalaman solum tanah.
Selain itu dilakukan pengamatan di lapang terhadap kondisi topografi atau kemiringan
lereng, jenis-jenis tanaman yang ada atau penggunaan lahan. Sampel tanah kemudian
dianalisis di Laboratorium Tanah Faperta Undana.
Hasil analisis tanah kemudian ditentukan penilaian sifat kimia tanah (PPT, 1983)
yang lalu dimasukkan ke dalam tabel kesesuaian lahan dengan mencocokkan
(matching) dengan karakteritik lahan. Dalam analisis kesesuaian lahan untuk beberapa
kelompok tanaman dilakukan dengan menggunakan 6 parameter karakteristik lahan
0.07
0.05
0.04
0.03
0.02
0.01
0
0 1 2 3 4 5 6
Ranking Jarak
Gambar 3.3.
Scatter Plot Luas Pemukiman dan Jarak dari Ibukota Kecamatan
2. Kondisi Geomorfologi
a. Ketinggian Tempat (Elevation)
Ketinggian tempat diukur dari rata-rata permukaan laut (dpl) sebagai titik nol
(datum horisontal). Dalam kaitannya dengan tanaman, secara umum sering dibedakan
antara dataran rendah (<200 m dpl.) dan dataran tinggi (>200 m dpl.). Namun dalam
kesesuaian tanaman terhadap ketinggian tempat berkaitan erat dengan temperatur dan
radiasi matahari. Semakin tinggi tempat di atas permukaan laut, maka temperatur dan
tingkat penerimaan insolasi semakin menurun, dan sebaliknya.
Ketinggian tempat (elevasi) di Pulau Semau diperoleh dari analisis SIG terhadap data
Digital Elevation Model Nasional (DEMNAS) dengan resolusi spasial 8 meter
menunjukkan bahwa elevasi berkisar dari 0 – 190 mdpl dimana titik elevasi tertinggi di
Pulau Semau berada di Desa Huilelot. Selain itu, dengan rata-rata (mean) elevasi
wilayah di Semau hanya berkisar 27 – 75 mdpl dan sebaran elevasi berdasarkan nilai
simpangan baku menunjukkan bahwa pada umumnya di suatu wilayah desa tingkat
elevasi tidak banyak berbeda dan begitupula dengan perbandingan elevasi antar
wilayah desa. Berdasarkan elevasi tersebut, maka Pulau Semau dapat digolongkan
sebagai daerah dataran rendah karena tidak ada area yang memiliki elevasi >200 mdpl
oleh karena itu dalam pemilihan jenis tanaman mesti disesuaikan dengan karakteristik
agroekosistem dataran rendah yang lebih adaptif dan cocok dikembangkan pada
daerah-daerah dataran rendah sebagaimana pada wilayah Pulau Semau ini.
Dari sebaran luas kelas lereng sebagaimana yang ditampilkan pada Tabel 3.5
menunjukkan bahwa kelas lereng yang tergolong agak curam (16-25%), curam (26-
40%) dan sangat curam (>41%) lebih banyak ditemui pada Kecamatan Semau dengan
akumulasi luas mencapai 1.026 ha, dibandingkan Kecamatan Semau Selatan dengan
akumulasi luas hanya 303 ha. Selain itu, jika ditilik lebih seksama pada kelas lereng
tersebut akan lebih banyak ditemui di Desa Uiasa, Desa Huilelot, Desa Hansisi dan
Desa Bokunusan.
14,000
12,000
10,000
8,000
6,000
4,000
2,000
-
Dataran Lembah Lereng Perbukitan Sungai
Gambar 3.6.
Luas Bentuklahan di Pulau Semau
Gambar 3.7.
Tampilan 3 Dimensi Bentuk Lahan Pulau Semau
Tabel 3.7. Arahan Penggunaan Lahan dan Fungsi Hutan berdasarkan Bentuklahan
dan Tingkat Kelerengan di Pulau Semau
Tingkat Arahan Penggunaan Lahan
Bentuklahan
Kelerengan dan Fungsi Hutan
Curam – Sangat Perlindungan, Konservasi, Ekowisata dan
Perbukitan
Curam Pendidikan
Agak Curam –
Lereng Agforestry, Perlindungan dan Pendidikan
Sangat Curam
Dataran Datar - Landai Pertanian dan Perkebunan
Datar – Agak Agroforestry, hutan komersial (produksi) dan
Lembah
Curam ekowisata
Agroforestry, Pertanian, Perkebunan dan
Sungai Datar – Landai
Konservasi
Kompleks Bobonaro,
4,648 , 21%
Aluvium
Batugamping Koral
Kompleks Bobonaro
Batugamping Koral,
17,785 , 79%
Gambar 3.9.
Formasi Geologi di Semau
Dari hasil pengecekan lapangan dan pengambilan sampel tanah pada 12 titik
lahan budidaya pertanian dan hasil digitasi on-screen dari citra Sentinel-2 dan webgis
Google Earth sebanyak 36 titik embung di seluruh Semau (lihat Gambar 3.10 diatas)
yang kemudian ditumpang-susun (overlay) dengan peta geologi menunjukkan bahwa
10 dari 12 titik lahan budidaya berada pada formasi geologi Batugamping Koral. Diduga
pada lahan ini tergolong porous sehingga tingkat ketersediaan air cenderung lebih baik
untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Sebaliknya terdapat 19
titik lokasi embung yang dibangun pada batuan Kompleks Bobonaro yang merupakan
20 19
Batugamping Koral
18 17
Kompleks Bobonaro
16
14
12
10
10
8
6
4
2
2
0
Budidaya Embung
Gambar 3.11.
Overlay Titik Lahan Budidaya dan Embung dengan Formasi Geologi
Sebagai produk dari pelapukan bahan induk, tanah merupakan salah satu factor
penting dalam karakteristik lahan di Semau. Hasil analisis dari data BPDASHL Benain
Noelmina (2013), menunjukkan bahwa sebagian besar tanah di Semau adalah tanah
Litosol dengan luas mencapai 18.613 ha (83%), jika dibandingkan tanah Alfisol (4%)
dan Mollisol (13%).
Mollisol, 3,061 ,
13%
Alfisol, 856 , 4%
Litosol, 18,613 ,
83%
Gambar 3.12.
Jenis Tanah di Semau
265
242
111
85
18 10 19
6 1 4
JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
Gambar 3.14.
Pola Curah Hujan di Semau
Hasil analisis rerata hujan selama 31 tahun menunjukkan bahwa rerata hujan
tahunan (annual rainfall) yaitu 1.558 mm/tahun dengan pola hujan eratik dimana
musim hujan/bulan basah berdasarkan klasifikasi Mohr (bulan basah = hujan > 100
mm, bulan kering = hujan < 60mm) terjadi selama 5 bulan (November – Maret), bulan
lembab hanya terjadi 1 bulan (April), dan 6 bulan diantaranya terkategori sebagai bulan
kering. Keragaman iklim pada wilayah Semau ini erat kaitannya dengan pola
Tabel 3.10. Perhitungan Data Curah Hujan dalam Penentuan Tipe Iklim
Hujan Kategori Schmidt-
Bulan Kategori Oldeman
(mm/tahun) Ferguson
Jan 396 BB BB
Feb 401 BB BB
Mar 242 BB BB
Apr 85 BL BK
May 18 BK BK
Jun 10 BK BK
Jul 6 BK BK
Aug 1 BK BK
Sep 4 BK BK
Oct 19 BK BK
Nov 111 BB BL
Dec 265 BB BB
Total 1558 BB = 5, BK = 6 BB = 4, BK = 7
28.4
28.0
27.4
27.3 27.2
26.9 26.9 26.8
26.3
26.0 26.0
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Gambar 3.15.
Pola Suhu Udara di Semau
Rerata
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Tahunan
Mean Monthly Precipitation (mm)
396 401 242 85 18 10 6 1 4 19 111 265 1,558
Mean Monthly Air Temperature (oC)
27.3 26.9 26.9 27.4 27.2 26.3 26.0 26.0 26.8 28.4 29.0 28.0 27
Modeled Estimate of Monthly Total PET (mm)
150.7 131 141.8 138.1 140.9 122.5 121.9 121.3 135 156.7 163.2 162.6 1685.6
Modeled Estimate of Monthly Total Water Balance (mm)
245.3 270.1 100.3 -53.1 -122.9 -112.5 -115.9 -120.3 -131 -137.7 -52.2 102.4 -127.5
S S S D D D D D D D D S
Gambar 3.16
Model Neraca Air (Presipitasi dan ETP) di Semau
Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
Keterangan :
1. Warna hijau = kondisi tanah lembab (moist)
2. Warna oranye = kondisi tanah sedang (antara lembab dan kering)
3. Warna Merah = kondisi tanah kering (dry)
c. Sumberdaya Air
Sumberdaya air di Pulau selain dari hujan, juga berasal dari embung, Cekdam, Mata
air dan Sumur/Perigi. Sutedjo, dkk (2009) menyatakan bahwa air bagi masyarakat
Semau selain digunakan untuk kebutuhan dasar seperti air minum, mandi dan cuci,
juga digunakan untuk pertanian, peternakan, industry kecil dan keperluan lainnya.
Salah satu usaha yang memberikan manfaat dalam penyediaan air baku terutama pada
musim kemarau adalah dibangunnya embung-embung. Berdasarkan hasil digitasi on-
screen pada citra Sentinels-2 tahun 2018 dan webgis Google Earth total ditemukan 36
embung di seluruh Semau (Gambar 14). Meski demikian, berdasarkan rekapitulasi data
BPS (2018) jumlah embung di seluruh Semau hanya 30 embung (Tabel 3.13).
Sedangkan berdasarkan SISDA Balai Wilayah Sungai (BWS) NTT (2015) terdapat 25
embung di Semau yang dibangun dari tahun 1991 s/d 2014 (Tabel 3.14).
Embung sangat berperan penting bagi wilayah Semau dengan intensitas dan
distribusi hujan yang tidak merata sepanjang tahun, embung dapat digunakan untuk
menahan kelebihan air dan menjadi sumber air irigasi pada musim kemarau. Terutama
dengan fakta Semau sebagai pulau kecil dengan bentuk DAS yang seluruhnya
berukuran sangat kecil, maka peluang air presipitasi untuk cepat melimpas ke laut
juga sangat besar. Oleh karena itu, embung dapat berperan untuk menahan air
permukaan sehingga dapat mendistribusikan air dan menjamin kontinuitas
ketersediaan pasokan air untuk keperluan tanaman ataupun ternak di musim kemarau
dan penghujan.
Tabel 3.15. Luas Lahan Sesuai untuk Embung di Semau Hasil Analisis TWI
Wilayah Administrasi Luas Lahan Sesuai Embung (Ha)
Semau 728
Batuinan 21
Bokonusan 184
Hansisi 64
Huilelot 63
Letbaun 61
Otan 85
Uiasa 144
Uitao 105
Semau Selatan 915
Akle 84
Naikean 164
Onansila 134
Uiboa 256
Uitiuh Ana 136
Uitiuh Tuan 142
Grand Total 1,644
11
10
9
8 Mean, 8.1
7
6
5 5.3
Mean Minimum/Maximum
Gambar 3.19.
Grafik Nilai TWI dari Embung Eksisting di Semau
Gambar 3.20.
Tampilan 3 Dimensi TWI dan Posisi Eksisting Embung
Padahal, semakin luas suatu DAS, hasil akhir (water yield) yang diperoleh akan
semakin besar, karena hujan yang ditangkap juga semakin banyak. Oleh karena itu
dengan bentuk penampang DAS-DAS yang sebagian berukuran sangat kecil yang
notabene berfungsi sebagai processing dari input presipitasi, maka dapat diperkirakan
persoalan ketersediaan dan kontinuitas ketersediaan air dapat menjadi salah satu
faktor penghambat dalam pengembangan produktifitas pertanian di Semau, jika
praktek-praktek konservasi tanah dan air luput untuk dilakukan untuk menahan
selama mungkin air permukaan ataupun air tanah yang merupakan aliran dasar (base
flow) saat musim kemarau serta memperkecil peluang terjadinya erosi dan sedimentasi
yang membawa dampak negatif, baik on-site maupun off-site.
Meski demikian, data DAS dari BPDASHL Benain Noelmina ini seringkali
menggabungkan beberapa DAS kecil menjadi satu unit DAS yang besar. Padahal,
adagiumnya adalah ‘satu sungai, satu DAS’ atau DAS akan ditentukan oleh hanya 1
outlet utama yaitu 1 sungai utama. Dengan demikian, hasil delineasi DAS dari
DEMNAS diperoleh total terdapat 332 DAS di seluruh Semau dengan luas DAS terbesar
yaitu 2.014 ha dan DAS terkecil seluas 1 ha. Jika ditilik dari luasan DAS, maka seluruh
DAS dapat diklasifikasikan sebagai DAS sangat kecil. Sebagai perbandingan, 287 DAS
diantaranya (86%) adalah DAS yang tidak lebih besar dari kompleks kampus
Universitas Nusa Cendana (± 100 ha).
4. Kawasan Hutan
a. Pemetaan Kawasan Hutan
Dalam perspektif Semau sebagai pulau kecil, maka hutan memainkan peranan
sangat penting tidak saja sebagai agen konservasi tanah dan air, akan tetapi juga
sebagai penyedia sumberdaya alam yang penting, baik secara ekologi, ekonomi dan
sosial. Berdasarkan UU 41/1999 tentang Kehutanan terutama dalam Pasal 18 ayat (2)
menyatakan bahwa harus terdapat 30% kawasan hutan yang tersebar secara
proporsional dalam DAS dan atau pulau. Meski, harus dibedakan antara hutan sebagai
kesatuan ekosistem yang didominasi pepohonan dan kawasan hutan yang merupakan
wilayah yang ditunjuk/ditetapkan oleh Pemerintah (hutan negara) dan wilayah hutan
milik masyarakat (hutan hak).
Berdasarkan penelusuran legal formal kawasan hutan di Semau, maka paling tidak
dalam 20 tahun terakhir sudah terdapat tiga (3) SK Menteri terkait, yaitu (a) SK Menhut
no. 423/1999, (b) SK Menhut no. 3911/2014, dan (c) SK Men-LHK no. 357/2016
dengan 2 fungsi hutan : hutan lindung dan hutan konservasi yang dibagi menjadi
kawasan suaka alam (KSA) yaitu Suaka Margasatwa dan kawasan pelestarian alam
15,582.84
15,570.29
13,582 6,443.89
8,343 6,425.90
452.84
457 456.75 102 - -
Areal Penggunaan Hutan Lindung Suaka Margasatwa Taman Wisata Taman Wisata
Lain Alam Laut Alam
Gambar 3.23.
Perubahan Luas Kawasan Hutan Semau dari Tahun 1999 s/d 2016
Tabel 3.17. Luas Kawasan Hutan (SK no 357/2016) Per Wilayah Administrasi
Wilayah Luas (Ha) Kawasan Hutan
Administrasi APL Hutan Lindung SM
Semau 10,286 2,089 84
Batuinan 360 148 -
Bokonusan 2,281 393 84
Hansisi 1,375 - -
Huilelot 1,635 215 -
Letbaun 921 335 -
Otan 952 20 -
Uiasa 1,570 813 -
Uitao 1,192 166 -
Dalam UU No. 41/1999 dan PP No. 6/2007 (dan perubahannya dalam PP 3/2008)
menyebutkan pula bahwa bentuk pemanfaatan hutan lindung terbatas pada
pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan
bukan kayu (HHBK). Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung dapat berupa
budidaya tanaman obat, lebah, dan penangkaran. Sedangkan pemanfaatan jasa
lingkungan antara lain sebagai ekowisata, pemanfaatan air, dan perdagangan karbon.
Khusus pemanfaatan kawasan hutan lindung untuk pemungutan HHBK hanya
berupa HHBK hasil reboisasi dan/atau tersedia secara alami. Dalam PP 3/2008 jelas
menyebutkan bahwa pemungutan HHBK di hutan lindung hanya boleh dilakukan oleh
masyarakat di sekitar kawasan hutan. Khusus untuk HHBK, Prov NTT telah
menetapkan 14 komoditas sebagai HHBK Unggulan, yaitu Kemiri, Bambu, Madu,
Mete, Pinang, Lontar, Asam, Pala, Kelor, Sirih, Alpukat, Kayu Putih, Kutu Lak, dan
Kenari. Berdasarkan data BPS (2018) menunjukkan paling tidak 5 komoditi HHBK
Unggulan (Bambu, Asam, Madu, Jambu Mente dan Lontar) telah dikembangkan oleh
masyarakat Semau. Dengan demikian, pemanfatan kawasan hutan lindung melalui
kegiatan pemungutan HHBK mesti menjadi mainstream di Semau terutama potensi
hasil hutan kayu (HHK) dari ekosistem hutan dari berbagai riset menunjukkan hanya
kurang lebih 10%, sedangkan 90% diantaranya dalam bentuk HHBK (Riwu Kaho, dkk,
2018).
Masyarakat sekitar
Hutan hutan dalam
Hutan Negara : Kemasyarakatan
Ijin Usaha Harus Sesuai
kelompok / Pemanfaatan Peta Indikatif
Lindung & (HKM) : Hutan gabungan HKm (IUPHKm) & Areal
Konservasi Lindung & Produksi kelompok Perhutanan
Sosial
(PIAPS)
(P.83/2016,
Perorangan (petani Psl 5, Ayat 1)
Hutan Tanaman hutan), kelompok
Rakyat (HTR) : IUP Hasil Hutan
tani hutan,
Kayu HTR
Hutan Produksi gabungan
Pengelolaan Hutan kelompok tani
(IUPHHK-HTR)
Berbasis hutan
Masyarakat : Kemitraan
Perhutanan Sosial Kehutanan : Hutan Masyarakat setempat
Perjanjian
Produksi, Lindung, (koperasi atau kelompok
Kerjasama
Konservasi tani); pengelola hutan Kemitraan
(KPH); Pemegang IUP
Private Forest/
Farm Forest
Hutan Hak
Sistem Hutan
Kerakyatan :
Mamar, dll
Masyarakat hukum
adat yang
SK Men-LHK
mengajukan
Hutan Adat pengakuan hutan
tentang Penetapan
Hutan Adat
adat kepada
Menteri LHK
Gambar 3.25.
Model Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
Pada Kawasan Hutan Negara dan Hutan Hak di Semau
Gambar 3.26.
Lokasi Analisis Vegetasi
a. Komposisi dan Struktur Vegetasi
Lokasi Uinao Timur
Lokasi Tuadaen
Berdasarkan analisis nilai penting vegetasi (INP/SDR) menunjukkan bahwa di
hutan Tuadaen umumnya vegetasi dengan nilai penting tertinggi yaitu jenis Kusambi
(Schleichera oleosa) pada tingkat pohon dan tiang. Meski demikian, jenis ini tidak
ditemukan pada tingkat sapihan dan baru terlihat pada tingkat semai, namun dengan
nilai penting yang lebih rendah. Ini menandakan pada stratifikasi IV (semak tinggi) – VI
(pohon diatas tajuk), jenis Kusambi paling dominan di hutan Tuadaen. Akan tetapi,
berkurang drastis pada tingkat permudaan (sapihan dan semai). Ini mengindikasikan
(a) (b)
Gambar 3.28. Pengambilan Data Vegetasi di Tuadaen :
(a) Pohon Hliu sebagai Sarang Lebah Madu, dan
(b) Pengukuran Diameter Jenis Kusambi di Tuadaen
Lokasi Ingubluan
Berdasarkan analisis nilai penting vegetasi (INP/SDR) menunjukkan bahwa di
hutan Ingubluan memiliki jenis vegetasi dengan nilai penting yang tertinggi yang
beragam pada setiap struktur vegetasinya. Pada tingkat pohon didominasi oleh
Beringin Merah (Ficus benjamina), jenis Ngasi (nama local) pada tingkat tiang, jenis Ut
Bing 2 pada tingkat sapihan (disebut sebagai Ut Bing 2 dalam nama local karena daun
jenis ini biasanya dijadikan sayur dan dapat dipetik lagi setelah 2 hari setelah dipanen
pertama kali atau sayur 2 hari), dan Kai Mae (nama local) pada tingkat semai.
Tabel 3.31. Jumlah Jenis dan Individu per Tingkat Struktur Vegetasi
Tingkat Lokasi Jumlah Spesies Jumlah Individu
Uinao Timur 10 18
Pohon
Tuadaen 9 20
Ingubluan 8 15
Rerata 9 17.67
Uinao Timur 10 17
Tiang
Tuadaen 10 20
Ingubluan 12 28
Rerata 10.67 21.67
Uinao Timur 10 42
Sapihan
Tuadaen 12 35
Ingubluan 5 41
Rerata 9 39.33
Uinao Timur 16 72
Semai
Tuadaen 23 76
Ingubluan 13 73
Rerata 17.33 73.67
80 Jumlah Spesies
Jumlah Individu
76
70 Trend Jumlah Spesies 72 73
Tren Jumlah Individu y = 5.8986x - 0.2576
60 R² = 0.8324
50
40 42 41
35
30
28 y = 0.6783x + 7.0909
20 R² = 0.2924
20 20
18 17
15 23
10
16
12 12 13
10 9 8 10 10 10
5
0
Uinao Tuadaen Ingubluan Uinao Tuadaen Ingubluan Uinao Tuadaen Ingubluan Uinao Tuadaen Ingubluan
Timur Timur Timur Timur
Pohon Tiang Sapihan Semai
Gambar 3.29.
Tren Jumlah Spesies dan Individu vegetasi pada Lokasi Sampel
Hasil diatas mengindikasikan bahwa tiap lokasi hutan di Semau sangat spesifik
atau tidak sama dalam hal lingkungan penyusunnya serta bentuk-bentuk pengelolaan-
nya. Bahkan komunitas hutan yang berdekatan yaitu hutan Ingubluan dan hutan
Tuadaen yang notabene berada dalam satu kawasan hutan yang sama, indeks
kesamaan jenis hanya 17%. Diduga hal ini disebabkan karena adanya variasi kondisi
lingkungan, baik secara fisik, kimia maupun interaksinya dengan sejumlah factor
biotik (hayati) termasuk manusia yang memungkinkan keragaman jenis vegetasi antar
lokasi hutan di Semau.
Meski kesamaan jenis dalam komunitas vegetasi tergolong rendah, akan tetapi
terdapat 9 jenis vegetasi yang ditemukan berada pada 3 lokasi hutan sekaligus. Ke-9
jenis tersebut yaitu Beringin Merah (Ficus benjamina), Hliu, Kai Bua, Kai Mae, Kayu
Merah (Caesalpinia sappan), Kola, Namon dan Ngasi. Diduga ke-9 jenis ini memiliki
spectrum toleransi ekologi yang luas sehingga mampu beradaptasi pada ketiga lokasi
sampel hutan di Semau. Khusus jenis Hliu yang menjadi pohon sarang lebah madu
menunjukkan bahwa potensi budidaya lebah madu dengan menggunakan jenis Hliu
juga dapat dilakukan pada kedua lokasi lainnya diluar lokasi Ingubluan. Selain itu, ke-
9 jenis tumbuhan ini juga direkomendasikan sebagai tanaman penghijauan serta
rehabilitasi hutan dan lahan di Semau karena diduga akan lebih mampu beradaptasi
dan toleran terhadap kondisi lingkungan hutan.
Jika ditilik dari indeks kemerataan Simpson yang menunjukkan tingkat
kemerataan antar jenis dalam suatu komunitas vegetasi, maka menunjukkan bahwa
Tabel 3.33. Indeks Kemerataan, Kekayaan Jenis dan Keragaman Antar Lokasi
Pohon Tiang Sapihan Semai
Indikator Uinao Tuad Ingubl Uinao Tuad Ingubl Uinao Tuad Ingubl Uinao Tuad Ingubl
Timur aen uan Timur aen uan Timur aen uan Timur aen uan
Jumlah Jenis 10.0 9.0 8.0 10.0 10.0 12.0 10.0 12.0 5.0 16.0 23.0 13.0
Jumlah
18.0 20.0 15.0 17.0 20.0 28.0 42.0 35.0 41.0 72.0 76.0 73.0
Individu
Index
Kemerataan 0.9 0.7 0.8 0.8 0.8 0.9 0.8 0.9 0.8 0.9 0.9 0.8
Simpson
Index
Kekayaan
3.1 2.7 2.6 3.2 3.0 3.3 2.4 3.1 1.1 3.5 5.1 2.8
Jenis
Margalef
Index
Keragaman 2.1 1.7 2.0 2.0 2.0 2.2 1.9 2.3 1.5 2.4 2.7 2.1
Shannon
Hasil analisis tutupan lahan juga menunjukkan bahwa luas tutupan hutan lahan
kering primer hampir sama antar kedua kecamatan. Pola yang serupa juga ditemukan
untuk tutupan lahan pertanian/pemukiman, lahan pertanian/semak belukar,
mangrove, dan tanah terbuka. Sedangkan tutupan hutan lahan kering sekunder
terluas berada di Kec. Semau (luas 3.896 ha) dan tutupan tubuh air lebih dominan
berada di Kec. Semau Selatan (766 ha). Hal ini mengindikasikan bahwa kegiatan
budidaya dengan basis pertanian (dalam arti luas) yang ditandai dari lahan pertanian
yang berimbang cenderung dipraktekkan oleh sebagian besar masyarakat pada 2
wilayah kecamatan di Semau.
Gambar 3.33.
Kegiatan Budidaya dalam Kawasan Hutan
Hasil ini mengindikasikan bahwa telah terjadi konversi /perubahan tutupan lahan
hutan, baik hutan primer maupun sekunder, selama 30 tahun terakhir di Semau yang
diduga kemudian digunakan sebagai lahan-lahan budidaya, baik untuk pertanian,
pemukiman atau area terbangun lainnya. Hal ini juga diindikasikan oleh perubahan
10000
8000
y = -1182.9x + 10974
R² = 0.8457
Luas (Ha)
6000
0
Tahun 1989 Tahun 1997 Tahun 2006 Tahun 2018
Tutupan Lahan
Gambar 3.34.
Tren Perubahan Luas Tutupan Lahan di Semau
Mangrove >> Tubuh Air 7.1 0.7 9.5 0.6 1.3 28.6 6.2 29.2 0.1 3.7 22.6 109.7
Tanah Terbuka >> Hutan
9.6 1.4 4.9 1.6 0.9 2.0 0.5 0.2 3.0 0.9 0.5 25.5
Sekunder
Tanah Terbuka >> Lahan
3.9 13.5 26.3 5.2 2.7 21.0 35.8 30.7 38.2 16.7 3.6 18.0 11.4 16.7 243.7
Budidaya
Tanah Terbuka >> Semak
25.3 67.0 95.8 40.3 86.7 92.1 67.7 102.7 33.7 76.8 10.4 88.0 31.5 48.3 866.3
Belukar
Tanah Terbuka >> Tanah
8.4 180.3 12.9 4.7 73.0 92.3 77.9 10.5 10.8 33.2 5.8 25.5 3.1 50.3 588.6
Terbuka
Tanah Terbuka >> Tubuh Air 7.1 8.1 15.5 1.2 2.5 3.6 20.3 5.9 17.1 14.5 1.9 7.5 8.2 43.2 156.5
Tubuh Air >> Hutan Sekunder 0.2 0.3 0.2 0.9 0.8 0.3 0.4 3.0
Tubuh Air >> Lahan Budidaya 1.5 0.8 0.3 2.4 1.4 2.6 0.4 0.4 1.4 0.2 11.4
Tubuh Air >> Semak Belukar 1.4 5.1 10.6 7.9 0.7 4.8 1.0 5.9 4.6 0.0 0.8 3.5 1.0 47.1
Tubuh Air >> Tanah Terbuka 0.8 0.2 0.4 1.0 0.8 0.1 0.4 0.2 3.8
Tubuh Air >> Tubuh Air 5.3 40.4 23.1 38.0 3.0 13.0 51.1 28.6 9.7 4.2 9.1 26.0 12.1 263.6
Keterangan :
1. Hutan primer = hutan lahan kering primer
2. Hutan sekunder = hutan lahan kering sekunder
3. Lahan Budidaya = lahan pertanian/pemukiman
4. Semak belukar = semak belukar/lahan pertanian
23300
23250
Luas (Ha)
23200
23000
22950
1995 2000 2005 2010 2015 2020
Tahun
Gambar 3.39.
Tren Perubahan Luas Pulau Sebagai Akibat
Perubahan Garis Pantai (Abrasi & Akresi) di Semau
Mentaschi et al, (2018) menyatakan bahwa terdapat sebab alami (natural) dan dapat
dipercepat oleh sebab antropogenik terhadap fenomena erosi dan akresi garis pantai
secara global. Beberapa penyebab antropogenik antara lain melalui pembangunan dam
Keterangan :
1. SR = Sangat Rendah, R = Rendah, S = Sedang, T = Tinggi, ST = Sangat Tinggi
2. AM = Agak Masam, N = Netral, AA = Agak Alkalis, A = Alkalis
3. Warna hijau = tingkat harkat yang Baik, Kuning = Sedang, Merah = Buruk bagi pertumbuhan tanaman
1. pH Tanah
Reaksi tanah menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang
dinyatakan dengan nilai pH. Nilai pH menunjukkan banyaknya konsentrasi ion
hidrogen (H+) di dalam tanah. Makin tinggi kadar ion H+ didalam tanah, semakin
masam tanah tersebut, dan sebaliknya (Njurumana, dkk, 2008). Kondisi pH tanah
pada lokasi seluruh sampel umumnya tergolong pada kondisi agak alkalis (basa)
yang menunjukkan unsur-unsur hara tidak terlalu mudah diserap oleh tanaman
karena banyaknya konsentrasi ion hidrogen pada tanah. Diduga ini dipengaruhi
oleh factor geologi yang didominasi oleh liat bobonaro kompleks dan batugamping
(limestone) yang umumnya tersusun oleh Calcium Carbonate (CaCO 3) yang terlarut
dalam tanah sehingga meningkatkan pH tanah. Selain itu, factor klimatik terutama
curah hujan juga berpengaruh penting karena dengan curah hujan tahunan yang
hanya terakumulasi pada periode yang singkat (3-4 bulan) dalam setahun
menyebabkan penguapan air (evapotranspirasi) melalui input presipitasi
menyebabkan masih ada garam-garam yang tertinggal dalam tanah (salinisasi)
terutama NaCl, Na2SO4, CaCO3, dan/atau MgCO3.
Pada tanah-tanah dengan kondisi agak alkalis/basa yang mempunyai pH agak
tinggi ini secara kimia tanah dapat menurunkan ketersediaan hara mikro (Fe, Cu,
Zn dan/atau Mn) dan umumnya memiliki nilai salinitas yang relative tinggi sehingga
dapat menyebabkan terjadi plasmolysis pada tanaman. Jika ditilik dari segi fisik
tanah, tanah basa pada umumnya akan menyebabkan pengenangan saat musim
penghujan dan sebaliknya pada musim kemarau tanah akan nampak retak-retak
dan membentuk kerak di permukaan sehingga menurunkan porositas tanah dan
aerasi menjadi terhambat.
Beberapa solusi yang dapat dilakukan antara lain pemberian air irigasi dalam
bentuk pemanan air tawar yang disimpan (conserve) saat musim penghujan,
pengolahan tanah lapisan atas, penanaman tanaman toleran/adaptif, pembuatan
drainase, serta pemupukan dengan bahan organic. Bahan organik mempunyai
keunggulan dalam memperbaiki sifat fisik tanah seperti memperbaiki struktur
tanah, aerasi tanah dan sekaligus memperbaiki pH tanah. Di lokasi pengambilan
8. Kesesuaian Lahan
Kesesuaian lahan adalah gambaran tingkat kecocokan sebidang lahan lahan
untuk suatu tanaman tertentu melalui 2 tahapan, yaitu : (a) menilai persyaratan
tumbuh tanaman yang akan diusahakan atau mengetahui sifat-sifat tanah dan
lokasi yang pengaruhnya bersifat negatif terhadap tanaman; dan (b)
mengidentifikasikan dan membatasi lahan yang mempunyai sifat-sifat yang tidak
diinginkan.
Dalam analisis kesesuaian lahan untuk beberapa kelompok tanaman dilakukan
dengan menggunakan 6 parameter karakteristik lahan meliputi suhu, ketersediaan
air (water availability), media perakaran, retensi hara, hara tersedia, dan bahaya
erosi yang dapat terlihat pada Tabel 3.42. Proses pencocokan (matching) dengan
kriteria kesesuaian lahan untuk beberapa kelompok tanaman dilakukan dengan
menggunakan perangkat lunak (software) Sistem Penilaian Kesesuaian Lahan
(SPKL) Versi 2.1.
Dalam proses evaluasi lahan, progam SPKL ini mengacu pada framework (FAO,
1986) dengan jumlah kelas sebanyak empat kelas yakni S1, S2, S3, dan N. Berikut
adalah definisi dari masing-masing kelas:
a. Kelas S1 (sangat sesuai): Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti
atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan atau faktor pembatas
bersifat minor yang tidak akan mereduksi produktifitas lahan secara nyata.
b. Kelas S2 (cukup sesuai): Lahan mempunyai faktor pembatas, faktor pembatas
ini akan berpengaruh terhadap produktivitas, memerlukan tambahan masukan
(input). Biasanya petani dapat mengatasi pembatas tersebut.
c. Kelas S3 (sesuai marjinal): Lahan dengan faktor pembatas berat, dan faktor
pembatas tersebut akan mempengaruhi produktivitasnya. Memerlukan
tambahan masukan yang lebih banyak daripada lahan pada kelas S2. Untuk
mengatasi pembatas pada S3 memerlukan modal tinggi, sehingga diperlukan
bantuan atau campur tangan pemerintah atau pihak swasta. Tanpa bantuan
tersebut petani tidak mampu mengatasinya.
d. Kelas N (tidak sesuai): Lahan yang tidak sesuai (N) karena mempunyai faktor
pembatas yang sangat berat dan/atau sulit diatasi.
Bawang Merah
(S3wa2/rc2), Bawang Kencur
Setaria
Talas Kacang Tanah Putih (S3wa2/rc2), Kubis (S3rc2/nr3),
(S3rc4/nr3/n
(S3rc2/rc4/ (S3rc4/nr3), (S3wa2/rc2/rc4), Bayam Blewah (S3wa2/rc2), Kunyit
Desa Huilelot, Jagung a3), Rumput
5 nr3), Iles- Kedelai (tc1/wa2/wa3/rc2/rc4), Melon (S3wa2/rc2), (S3rc2/nr3),
Kampung Baru (S3rc2/rc4/na3) Gajah
iles (S3rc2/rc4/nr Terung (S3wa2/rc2/rc4), Nenas (S3rc4/nr3), Lengkuas
(S3rc4/nr3/n
(S3rc4/nr3) 3) Brokoli (S3wa2/rc2/rc4), (S3rc2/rc4/nr
a3)
Tomat (S3wa2/rc2), Cabai 3)
Merah (Src2/rc4/na3)
Bawang Merah
(S3rc2/na3), Bawang
Putih
Kencur
(S3wa2/rc2/nr3/nr4), Setaria
Talas Kacang Tanah (S3rc2/nr3),
Kubis (S3rc4/nr3/n
Jagung (S3rc2/rc4/ (S3rc4/nr3/nr Blewah (S3wa2/rc2), Kunyit
Desa Huileot, (S3wa2/rc2/rc4/nr3), a3), Rumput
6 (S3rc2/rc4/nr3/n nr3), Iles- 4), Kedelai Melon (S3wa2/rc2), (S3rc2/nr3),
Embung Permisi Bayam Gajah
r4/na3) iles (S3rc2/rc4/nr Nenas (S3rc4/nr3) Lengkuas
(S3tc1/wa2/wa3/rc2/rc4), (S3rc4/nr3/n
(S3rc4/nr3) 3/nr4) (S3rc2/rc4/nr
Terung (S3wa2/rc2/rc4), a3)
3)
Brokoli (S3wa2/rc2/rc4),
Tomat (S3wa2/rc2), Cabai
Merah (S3rc2/rc4/na3)
Bawang Merah
(S3rc2/nr3/na3), Bawang
Putih (S3wa2/rc2/nr3),
Kubis
Kencur
(S3wa2/rc2/rc4/nr3), Setaria
Talas Kacang Tanah Blewah (S3rc2/nr3),
Bayam (S3rc4/nr3/n
(S3rc2/rc4/ (S3rc4/nr3), (S3wa2/rc2/nr3), Kunyit
Desa Letbaun, Jagung (S3tc1/wa2/wa3/rc2/rc4/ a3), Rumput
8 nr3), Iles- Kedelai Melon (S3rc2/nr3),
Buhun (S3rc2/rc4/na3) nr), Terung Gajah
iles (S3rc2/rc4/nr (S3wa2/rc2/nr3), Lengkuas
(S3wa2/rc2/rc4/nr3), (S3rc4/nr3/n
(S3rc4/nr3) 3) Nenas (S3rc4/nr3) (S3rc2/rc4/nr
Brokoli a3)
3)
(S3wa2/rc2/rc4/nr3),
Tomat (S3wa2/rc2), Cabai
Merah
(S3rc2/rc4/nr3/na3)
Bawang Merah
(S3rc2/na3), Bawang
Kencur
Putih (S3wa2/rc2), Kubis Setaria
Kacang Tanah (S3rc2),
(S3wa2/rc2/rc4), Bayam Blewah (S3wa2/rc2), (S3rc4/na3),
Jagung Iles-iles (S3rc4), Kunyit
9 Desa Batuinan (S3tc1/wa2/wa3/rc2/rc4), Melon (S3wa2/rc2), Rumput
(S3rc2/rc4/na3) (S3rc4) Kedelai (S3rc2),
Terung (S3wa2/rc2/rc4), Nenas (S3rc4/nr3) Gajah
(S3rc2/rc4) Lengkuas
Brokoli (S3wa2/rc2/rc4), (S3c4/na3)
(S3rc2/rc4)
Tomat (S3wa2/rc2), Cabai
Merah (S3rc2/rc4/na3)
Keterangan : makna symbol dari sub-ordo kelas kesesuaian lahan dapat dilihat pada Tabel 3.41
Hasil analisis kesesuian lahan pada Tabel 4 diatas menunjukkan terdapat beberapa
jenis tanaman yang tergolong cukup sesuai (sesuai marginal) untuk dikembangkan
pada lokasi sampel pengamatan yang dibagi menjadi kelompok tanaman serealia,
umbi-umbian, kacang-kacangan, buah-buahan, obat/rempah-rempah serta pakan
ternak sebagai berikut.
1. Untuk kelompok tanaman Serealia umumnya pada lahan-lahan lokasi pengamatan
dan pengambilan sampel tanah tergolong cukup sesuai ditanami Jagung (Zea mays).
Secara eksisting Jagung sudah dibudidayakan oleh masyarakat di Semau. Ini
terbukti dari data rata-rata selama 5 tahun terakhir (2013 – 2013) luas lahan
penanaman Jagung di Kecamatan Semau mencapai 1470 ha dengan produksi
mencapai 3.840 ton atau dengan produktivitas 2,6 ton/ha dan di Kecamatan Semau
Selatan mencapai 751,8 ha dengan produksi mencapai 8.807,6 ha atau dengan
produktivitas 11.7 ton/ha (Kecamatan dalam Angka, BPS, 2014 – 2018). Dapat
terlihat bahwa meski luas lahan penanaman Jagung di Kecamatan Semau Selatan
lebih rendah ketimbang Kecamatan Semau, akan tetapi dari segi produksi dan
produktivitas Jagung di Kecamatan Semau Selatan lebih tinggi. Dengan demikian,
untuk meningkatkan produktivitas Jagung, maka diperlukan sejumlah upaya
untuk mengatasi sejumlah factor pembatas seperti yang ditampilkan pada Tabel 4
diatas.
2. Untuk kelompok tanaman umbi-umbian umumnya pada lahan-lahan lokasi
pengamatan dan pengambilan sampel tanah tergolong cukup sesuai ditanami Talas
1. Kesimpulan
Adapun beberapa point kesimpulan yang dapat diambil dari hasil dan pembahasan
yaitu sebagai berikut.
a. Total luas Pulau Semau adalah 26.570 ha dengan 2 wilayah kecamatan dan 14 desa
serta jumlah total penduduk sebanyak 12.776 jiwa. Pada umumnya (75%) wilayah
desa berada pada rentang jarak 2.5 – 7.5 km dari ibukota kecamatan, kecuali Pulau
Kera yang berada pada jarak > 19 km dari ibukota Kecamatan Semau. Selain itu,
sebaran pemukiman penduduk umumnya berada di dekat ibukota kecamatan dan
terdapat kecenderungan (trend) makin jauh dari ibukota kecamatan, jumlah
pemukiman makin sedikit.
b. Elevasi di Semau umumnya berkisar antara 0 – 190 meter diatas permukaan laut
(mdpl) sehingga seluruh wilayah Semau dapat digolongkan sebagai daerah dataran
rendah (< 200 mdpl). Jika ditilik dari kelas lereng, maka sebagian besar (76%)
wilayah Semau tergolong datar (0-8%). Ini diperkuat dengan hasil analisis
bentuklahan (landforms) yang menunjukkan 62,3% wilayah Semau merupakan
lahan dataran (plains). Jika ditilik dari formasi geologi, maka jenis batuan
batugamping koral yang bersifat porous ini sangat dominan (79%) tersebar di
seluruh wilayah Semau. Selain itu, jenis tanah Litosol juga amat dominan di Semau
(83%) dimana jenis tanah ini dicirikan dari solum tanah yang tipis (20-25 cm), sifat
kimia dan fisika yang jelas, bahan organic tanah rendah serta peka erosi sehingga
umumnya memiliki tingkat produktivitas yang rendah.
c. Rata-rata curah hujan tahunan (annual rainfall) di Pulau Semau yaitu 1.558
mm/tahun dengan 5 bulan basah (November-Maret) dan 6 bulan kering (Mei-
Oktober) dan rerata suhu udara tahunan adalah 27,20C dengan suhu maksimum
terjadi pada bulan November (290C) dan suhu terendah pada bulan Juli dan Agustus
(260C). Berdasarkan klasifikasi iklim Scmidt & Ferguson tergolong dalam klasifikasi
E (agak kering). Sedangkan jika ditilik dari agroklimat Oldeman menunjukkan
bahwa di Semau masuk dalam tipe iklim D4 yang berarti mungkin hanya dapat 1x
tanam padi/palawija dalam setahun (tergantung adanya persediaan air irigasi). Jika
ditilik dari neraca air, menunjukkan periode surplus air (P>ETP) hanya terjadi