Anda di halaman 1dari 117

KAJIAN BENTANG LAHAN

PULAU SEMAU
Norman P.L.B Riwu Kaho, SP, M.Sc
Kupang, Maret 2019
Daftar Isi
Daftar Isi i
Daftar Tabel ii
Daftar Gambar iii
Bab I Pendahuluan
1. Latar Belakang 1
2. Maksud dan Tujuan
a. Maksud 3
b. Tujuan 3
3. Luaran 3
Bab II Metode
1. Waktu dan Tempat 5
2. Metode Pengumpulan Data dan Analisis
a. Kondisi Umum (Pulau dan Wilayah Administrasi 5
b. Kondisi Geomorfologi 6
c. Kondisi Hidrologis 7
d. Kawasan Hutan 8
e. Kondisi Vegetasi dan Keanekaragaman Jenis di Hutan 9
f. Tutupan Lahan dan Perubahan Tutupan Lahan 11
g. Evaluasi Kesuburan Tanah Sebagai Indikator Asupan Bahan Kimia
Tanah dan Analisis Kesesuaian Lahan 11
Bab III Hasil dan Pembahasan
1. Wilayah Administrasi dan Jumlah Penduduk 13
2. Kondisi Geomorfologi
a. Ketinggian Tempat (Elevation) 17
b. Kelas Lereng (Slopes) dan Bentuklahan (Landforms) 21
c. Formasi Geologi dan Tanah 27
3. Kondisi Hidrologis
a. Karakteristik Hujan & Klasifikasi Iklim 35
b. Analisis Neraca Air 38
c. Sumberdaya Air 40
d. Daerah Aliran Sungai (DAS) 47
4. Kawasan Hutan
a. Pemetaan Kawasan Hutan 50
b. Usulan Model Pengelolaan Hutan 54
5. Kondisi Vegetasi dan Keanekaragaman Jenis Vegetasi Hutan
a. Komposisi dan Struktur Vegetasi 58
b. Komparasi Tingkat Kekayaan, Kemerataan, Keragaman dan
Kesamaan Jenis Antar Lokasi 63
6. Tutupan Lahan dan Perubahan Tutupan Lahan
a. Analisis Tutupan Lahan 67
b. Perubahan Tutupan Lahan 74
7. Evaluasi Kesuburan Tanah Sebagai Indikator Asupan Bahan Kimia
Tanah 88
8. Kesesuaian Lahan 96
Bab IV Penutup
1. Kesimpulan 106
2. Rekomendasi 110

i
Daftar Tabel
Tabel 2.1 Kelas Lereng dan Relief 6
Tabel 2.2 Tipe Iklim berdasarkan Klasifikasi Scmidt dan Ferguson 7
Tabel 2.3 Tipe Iklim dan Kriteria berdasarkan Klasifikasi Oldeman 8
Tabel 3.1 Luas Wilayah Administrasi dan Jumlah Penduduk 13
Tabel 3.2 Ketinggian Tempat (Elevasi) di Semau 17
Tabel 3.3 Sebaran Luas Kelas Elevasi Per Wilayah Administrasi 18
Tabel 3.4 Kelas Lereng Semau 21
Tabel 3.5 Sebaran Luas Kelas Lereng per Wilayah Administrasi 22
Tabel 3.6 Sebaran Luas Bentuklahan Per Wilayah Administrasi 25
Tabel 3.7 Arahan Penggunaan Lahan dan Fungsi Hutan berdasarkan
Bentuklahan dan Tingkat Kelerengan di Pulau Semau 27
Tabel 3.8 Luas Sebaran Formasi Geologis Per Wilayah Administrasi 30
Tabel 3.9 Luas Sebaran Jenis Tanah Per Wilayah Administrasi 32
Tabel 3.10 Perhitungan Data Curah Hujan dalam Penentuan Tipe Iklim 36
Tabel 3.11 Rejim Kandungan Air Tanah Bulanan (mm/bulan) di Semau 38
Tabel 3.12 Rejim Air Tanah dan Waktu Defisit/Surplus Per Dasarian di Semau 40
Tabel 3.13 Sumber Air di Semau Menurut Jenisnya 40
Tabel 3.14 Data Embung Kecil di Semau Sampai Tahun 2015 42
Tabel 3.15 Luas Lahan Sesuai untuk Embung di Semau Hasil Analisis TWI 44
Tabel 3.16 Daerah Aliran Sungai di Semau 47
Tabel 3.17 Luas Kawasan Hutan (SK no 357/2016) Per Wilayah Administrasi 51
Tabel 3.18 Produksi Komoditi HHBK di Semau 52
Tabel 3.19 Komposisi dan Struktur Tingkat Pohon di Uinao Timur 58
Tabel 3.20 Komposisi dan Struktur Tingkat Tiang di Uinao Timur 59
Tabel 3.21 Komposisi dan Struktur Tingkat Sapihan di Uinao Timur 59
Tabel 3.22 Komposisi dan Struktur Tingkat Sapihan di Uinao Timur 59
Tabel 3.23 Komposisi dan Struktur Tingkat Pohon di Tuadaen 60
Tabel 3.24 Komposisi dan Struktur Tingkat Tiang di Tuadaen 60
Tabel 3.25 Komposisi dan Struktur Tingkat Sapihan di Tuadaen 61
Tabel 3.26 Komposisi dan Struktur Tingkat Semai di Tuadaen 61
Tabel 3.27 Komposisi dan Struktur Tingkat Pohon di Ingubluan 62
Tabel 3.28 Komposisi dan Struktur Tingkat Tiang di Ingubluan 62
Tabel 3.29 Komposisi dan Struktur Tingkat Sapihan di Ingubluan 63
Tabel 3.30 Komposisi dan Struktur Tingkat Semai di Ingubluan 63
Tabel 3.31 Jumlah Jenis dan Individu per Tingkat Struktur Vegetasi 64
Tabel 3.32 Indeks Kesamaan Jaccard Jenis Vegetasi Antar Lokasi 65
Tabel 3.33 Indeks Kemerataan, Kekayaan Jenis dan Keragaman Antar Lokasi 66
Tabel 3.34 Kegunaan Beberapa Jenis Tumbuhan di Hutan 67
Tabel 3.35 Luas Tutupan Lahan Per Wilayah Administrasi 71
Tabel 3.36 Luas Tutupan Lahan dalam Kawasan Hutan 73
Tabel 3.37 Perubahan Luas Tutupan Lahan Multi-Temporal 72
Tabel 3.38 Perubahan Luas Tutupan Lahan (Ha) Antara Tahun 1989 dan 2018 81
Tabel 3.39 Hasil Analisis Tanah pada Lokasi Pengambilan Sampel Tanah 92
Tabel 3.40 Status Hara pada Lokasi Pengambilan Sampel Tanah 92
Tabel 3.41 Parameter Karakteristik Lahan untuk Analisis Kesesuaian Lahan 97
Tabel 3.42 Hasil Kesesuaian Lahan untuk Beberapa Jenis Komoditi Tanaman
Pertanian 98

ii
Daftar Gambar
Gambar 2.1 Peta Lokasi Studi 5
Gambar 2.2 Posisi Bentuklahan 6
Gambar 2.3 Contoh Jalur Transek dan Petak Ukur dalam Analisis Vegetasi 9
Gambar 3.1 Peta Wilayah Administrasi di Pulau Semau 14
Gambar 3.2 Peta Orbitasi Wilayah Pulau Semau 16
Gambar 3.3 Scatter Plot Luas Pemukiman dan Jarak dari Ibukota Kecamatan 17
Gambar 3.4 Peta Ketinggian Tempat (Elevasi) 20
Gambar 3.5 Peta Kelas Lereng Semau 23
Gambar 3.6 Luas Bentuklahan di Pulau Semau 24
Gambar 3.7 Tampilan 3 Dimensi Bentuk Lahan Pulau Semau 24
Gambar 3.8 Bentuklahan Pulau Semau 26
Gambar 3.9 Formasi Geologi di Semau 28
Gambar 3.10 Peta Formasi Geologi Semau 29
Gambar 3.11 Overlay Titik Lahan Budidaya dan Embung dengan Formasi Geologi 31
Gambar 3.12 Jenis Tanah di Semau 31
Gambar 3.13 Peta Jenis Tanah Semau 34
Gambar 3.14 Pola Curah Hujan di Semau 35
Gambar 3.15 Pola Suhu Udara di Semau 37
Gambar 3.16 Model Neraca Air (Presipitasi dan ETP) di Semau 38
Gambar 3.17 Peta Lokasi Embung di Semau 43
Gambar 3.18 Peta Lokasi Sesuai untuk Pembangunan Embung di Semau 45
Gambar 3.19 Grafik Nilai TWI dari Embung Eksisting di Semau 46
Gambar 3.20 Tampilan 3 Dimensi TWI dan Posisi Eksisting Embung 46
Gambar 3.21 Peta DAS di Semau 49
Gambar 3.22 Tampilan 3 Dimensi DAS Hasil Delineasi DEMNAS 50
Gambar 3.23 Perubahan Luas Kawasan Hutan Semau dari Tahun 1999 s/d 2016
Peta Kawasan Hutan Semau 51
Gambar 3.24 Model Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat pada Kawasan 54
Gambar 3.25 Hutan Negara dan Hutan Hak di Semau 54
Gambar 3.26 Lokasi Analisis Vegetasi 57
Gambar 3.27 Pengambilan Data Vegetasi di Uinao Timur 58
Gambar 3.28 Pengambilan Data Vegetasi di Tuadaen 60
Gambar 3.29 Tren Jumlah Spesies dan Individu vegetasi pada Lokasi Sampel 64
Gambar 3.30 Peta Orthomosaic Hasil Foto Udara Tutupan Lahan Pertanian
/Pemukiman di Desa Hansisi (Dusun 1) 69
Gambar 3.31 Peta Orthomosaic Hasil Foto Udara Tutupan Lahan Semak
Belukar/Lahan Pertanian di Desa Batuinan 70
Gambar 3.32 Peta Tutupan Lahan Semau 72
Gambar 3.33 Kegiatan Budidaya dalam Kawasan Hutan 73
Gambar 3.34 Tren Perubahan Luas Tutupan Lahan di Semau 75
Gambar 3.35 Tutupan Lahan Semau Tahun 1989 76
Gambar 3.36 Tutupan Lahan Semau Tahun 1997 77
Gambar 3.37 Tutupan Lahan Semau Tahun 2006 78
Gambar 3.38 Perubahan Tutupan Lahan Tahun 1989 - 2018 83
Gambar 3.39 Tren Perubahan Luas Pulau Sebagai Akibat Perubahan Garis Pantai
(Abrasi & Akresi) di Semau 84
Gambar 3.40 Peta Perubahan Garis Pantai 20 Tahun Terakhir 87

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Two monks were arguing about a flag. One said, “The flag is moving.” The other said,
“The wind is moving.” The sixth patriarch, Zeno, happened to be passing by. He told
them, “Not the wind, not the flag; mind is moving.”
-Douglas R. Hofstadter, Gödel, Escher, Bach (Hess & Ostrom, 2007)

Dewasa ini kesadaran akan arti penting pengelolaan lingkungan dan sumberdaya
alam mulai menguat dan makin sering terdengar. Barrow (2006) menyatakan bahwa
terdapat beberapa hal yang menjadi motivasi yaitu mulai dari alasan pragmatis,
keinginan untuk menekan biaya (cost), memenuhi tuntutan regulasi, pergeseran etika
atau karena pengaruh makro-ekonomi. Hal ini kemudian dipercepat seiring makin
dirasakannya dampak dari eskalasi kejadian bencana. Djalante & Garshcagen (2017)
menyatakan sejak tahun 1990 s/d 2015 tercatat telah terjadi 429 kejadian bencana di
Indonesia dengan 238 ribu orang yang meninggal dan lebih dari 29 juta orang
terdampak serta total kerugian ekonomi mencapai lebih dari USD 44 juta. Dalam upaya
mencari penyebab kejadian ini, maka salah satu yang makin mencuat adalah persoalan
kerusakan lingkungan yang terkristalisasi pada isu pemanasan global (global warming)
dan perubahan iklim (climate change) (Miyata et al, 2018).
Oleh karena sifatnya global, maka serangkaian kejadian yang disebutkan diatas pun
tidak luput dirasakan dan terjadi di Pulau Semau, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa
Tenggara Timur (Sutedjo, dkk, 2009; Hormat & Heo, 2015). Bahkan dengan total luas
Pulau Semau yang “hanya” 26.570 ha (BPS, 2018) sehingga dapat digolongkan sebagai
pulau kecil1, menurut Busse & Nugroho (2014) serta Walshe & Stancioff (2018) akan
memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi dibandingkan pulau-pulau besar.
Sutedjo, dkk (2009) dan Hormat & Heo (2015) mencatat beberapa persoalan dalam
pengelolaan sumberdaya alam di Semau yaitu mulai dari tingkat kesuburan tanah
alami yang cukup rendah sehingga harus dikompensasi dengan pemberian pupuk
anorganik yang tinggi, produktivitas lahan dan tanaman relative rendah, krisis air serta
tragedy of common dalam pemanfaatan air yang antara lain juga disebabkan krisis

1 UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil mendefinisikan Pulau Kecil pulau dengan luas
lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 1


kelembagaan sosial politik hingga daya dukung ekosistem hutan sebagai agen hidro-
orologi makin berkurang akibat illegal dan legal logging untuk pemenuhan kebutuhan
akan kayu. Selain itu, Semau sebagai pulau kecil yang “terpisah” dari pulau besar oleh
Busse & Nugroho (2014) menyebutkan bahwa paling tidak terdapat dua persoalan yang
akan menghambat peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat yaitu (a) sumberdaya
alam cenderung terbatas dan meski akses terhadap sumberdaya laut umumnya sangat
melimpah, akan tetapi terbatas dalam hal teknologi; dan (b) tingkat konektivitas yang
buruk ke region lain yang lebih berkembang sehingga berimbas pada frekuensi,
keterandalan (reliability), biaya perjalanan, atau tidak tersedianya transport dari dan
menuju pulau pada saat-saat tertentu. Pada titik ini, sebagaimana yang dikatakan oleh
Zeno dalam lakon cerita diatas “not the wind, not the flag; mind is moving”, maka
diperlukan perubahan (cara) pikir untuk mengatasi berbagai persoalan diatas.
Sutedjo, dkk (2009) menyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya alam di Semau
harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan setempat, baik kondisi geofisik, sosial-
ekonomi dan sosial budaya yang dilaksanakan dengan prinsip keterpaduan (integrated)
dan keberlanjutan (sustainability) serta pelibatan masyarakat untuk berperan secara
aktif. Wiens et al. (2014) menyatakan bahwa dalam pengelolaan lingkungan akan
ditemukan sejumlah persoalan mulai dari kegamangan mengenai unit pengelolaan
(spesies vs ekosistem) hingga luaran yang diharapkan (hasil vs keberlanjutan). Untuk
mengatasi hal ini, Cook & VanDerZanden (2011) mengusulkan pola pendekatan
pembangunan yang berbasis bentang lahan (landscape) berkelanjutan. Pola
pendekatan ini lebih menitik-beratkan pada bagaimana menciptakan serta mengatur
bentang lahan yang lebih stabil secara ekologi dan membutuhkan lebih sedikit input.
Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan berbasis bentang lahan di Semau ini
penting sebagai bahan masukan dalam proses perencanaan pembangunan di Semau.
Meski dewasa ini jargon pendekatan pembangunan mulai diarahkan secara bottom-up,
akan tetapi dalam aras praktikal justru yang terjadi di Semau lebih banyak pendekatan
pembangunan secara top-down (Sutedjo, dkk, 2009). Hasilnya adalah banyak program
pembangunan yang mubazir dan tidak tepat sasaran dalam menjawab permasalahan
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan akibat belum diketahui secara jelas
kondisi bentang lahan serta bentuk pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan di
Semau yang oleh Hormat & Heo (2015) dapat dibagi kedalam enam elemen yaitu
pemukiman, lahan berkebun, hutan, sumber air, pantai dan laut. Ini sejalan dengan

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 2


Barrow (2006) yang menyatakan bahwa pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam
dapat mensuport pembangunan berkelanjutan melalui beberapa hal yaitu identifikasi
isu kunci; mengklarifikasi ancaman, peluang dan batasan (limit); pemantapan strategi
yang mungkin dilakukan (feasible); serta pemantauan untuk mengurangi peluang
keterkejutan (chance of surprises).

2. Maksud dan Tujuan


a. Maksud
Maksud dilakukannya studi ini adalah untuk mendapatkan informasi (data, analisis
dan peta) mengenai kondisi lingkungan dan sumberdaya alam yang terekam dalam
bentang lahan (geomorfologi, kondisi hidrologi dan neraca air, potensi sumberdaya air
permukaan, Daerah Aliran Sungai/DAS, kawasan hutan dan gambaran komposisi dan
struktur vegetasi hutan, tutupan lahan serta perubahan tutupan lahan multi-temporal,
evaluasi kesuburan tanah termasuk tingkat asupan bahan kimia tanah, serta
kesesuaian lahan untuk pengembangan pertanian, peternakan dan
perkebunan/kehutanan).

b. Tujuan
Tujuan dari studi ini adalah :
1. Menganalisis keadaan lingkungan dan sumberdaya alam pada bentang lahan di
Pulau Semau;
2. Mengeksplorasi masalah dan potensi dalam pengelolaan lingkungan dan
sumberdaya alam pada bentang lahan di Pulau Semau;

3. Luaran
Adapun beberapa luaran yang diharapkan dihasilkan dari studi ini, yaitu sebagai
berikut.
a. Dari hasil kajian bentang lahan yang tergambar dalam suatu pemetaan mengenai
kondisi geomorfologi (elevasi, kemiringan lereng/slopes dan bentuk
lahan/landform), kondisi hidrologi (curah hujan, suhu udara dan neraca air serta
DAS), geologi dan tanah (edafik);
b. Suatu kajian mengenai tutupan lahan (landcover), aspek perubahannya dalam
kurun waktu yang terhitung (30 tahun terakhir) pada keseluruhan Pulau Semau;

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 3


c. Peta dan kajian potensi sumber daya air permukaan dan air tanah berdasarkan DAS
dan kondisi geologi;
d. Peta dan kajian sebaran kawasan hutan, struktur dan komposisi vegetasi hutan
serta beberapa indicator ekologi (kemerataan dan kekayaan jenis serta
keragamanhayati) beberapa lokasi hutan (hutan negara dan hutan hak) serta
identifikasi potensi pengembangan hasil hutan bukan kayu (HHBK) di Semau;
e. Evaluasi kesuburan tanah sebagai indikasi tingkat asupan bahan kimia tanah
melalui sampel tanah di Desa Hansisi, Uiasa, Letbaun, Batuinan, Uitiutuan, dan
Uitiuana;
f. Rekomendasi tingkat kesesuaian lahan untuk pengembangan jenis tanaman
pertanian, peternakan, perkebunan dan kehutanan yang cocok dikembangkan pada
wilayah pengambilan sampel di Desa Hansisi, Uiasa, Letbaun, Batuinan, Uitiutuan
dan Uitiuana serta arahan perbaikan factor pembatas.

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 4


BAB II
METODE

1. Waktu dan Tempat


Studi ini dilakukan pada 2 Kecamatan (Semau dan Semau Selatan) di Pulau Semau
pada bulan Februari – Maret Tahun 2019.

Gambar 2.1
Peta Lokasi Studi

2. Metode Pengumpulan Data dan Analisis


a. Kondisi Umum (Pulau dan Wilayah Administrasi
Analisis kondisi umum dilakukan dengan menggunakan data spasial Rupa Bumi
Indonesia (RBI) dari Badan Informasi Geospasial serta peta wilayah administrasi dari
Bappeda Kabupaten Kupang yang disesuaikan dengan hasil digitasi on-screen pada
citra webgis Google Earth dan Sentinel 2 serta beberapa data numerik dari Badan Pusat
Statistik (BPS). Selain itu, juga dilakukan analisis buffer dari titik pusat wilayah

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 5


Kecamatan dan tumpang-susun (overlay) dengan data polygon pemukiman yang
bersumber dari Openstreetmap.
Adapun perangkatlunak (software) yang digunakan dalam analisis yaitu SAGA GIS
v7.2 dan Quantum GIS v3.4.

b. Kondisi Geomorfologi
Analisis kondisi geomorfologi yang ditunjukkan oleh parameter ketinggian tempat
(elevasi) dan kelas lereng akan dianalisis menggunakan data digital elevation model
nasional (DEMNAS) dengan resolusi spasial 8 meter dari Badan Informasi Geospasial
dan selanjutnya akan dilakukan pengkelasan-ulang (reclassify) grid menjadi beberapa
kelas elevasi dan lereng (%). Khusus untuk kelas lereng, maka reklasifikasi dilakukan
menjadi 5 kelas untuk menggambarkan kondisi relief sebagaimana Tabel 2.1 berikut.

Tabel 2.1 Kelas Lereng dan Relief


No Kelas Lereng / Relief Relief
1 0-8% Datar
2 9 - 15 % Landai
3 16 - 25 % Agak Curam
4 26 - 40 % Curam
5 > 41 % Sangat Curam

Analisis lain yaitu parameter bentuklahan (landforms) dihasilkan dari data


DEMNAS yang dianalisis dengan menggunakan algoritme Topographic Position Index
(TPI) sebagaimana algoritme yang dikembangkan oleh Weiss (2001).

Gambar 2.2
Posisi Bentuklahan (Weiss, 2001)

Sedangkan variable formasi geologi dihasilkan dari proses digitasi terhadap Peta
Geologi Lembar Kupang-Atambua Timor (skala 1:250.000) dan parameter jenis tanah
dianalisis dari data sekunder (BPDAS Benain Noelmina, 2013).

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 6


Adapun perangkatlunak (software) yang digunakan dalam analisis yaitu SAGA GIS
v7.2 dan Quantum GIS v3.4.

c. Kondisi Hidrologis
Dalam analisis kondisi hidrologis dibagi menjadi beberapa parameter yaitu
karakteristik hujan dan suhu udara oleh karena ketiadaan pos hujan di Semau
sehingga analisis karakteristik hujan Semau menggunakan data time-series Pos Hujan
di Stasiun Klimatologi Lasiana Kupang dari tahun 1986 – 2016 (31 tahun) serta
karakteristik suhu udara menggunakan data dari lokasi yang sama dari tahun 1986 -
2014 . Adapun hasil yang akan diperoleh yaitu rata-rata curah hujan tahunan/bulanan
dan penentuan tipe iklim berdasarkan klasifikasi Scmidt-Ferguson (Q) dan Oldeman
serta rata-rata suhu udara tahunan/bulanan.
Dalam klasifikasi iklim Scmidt dan Ferguson menggunakan kriteria bulan basah =
hujan > 100 mm, bulan kering = hujan < 60mm dan selanjutnya akan dihitung quasi
(Q) menggunakan persamaan sebagai berikut.
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑏𝑢𝑙𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
𝑄=
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑏𝑢𝑙𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ
Selanjutkan akan dilihat tipe iklim berdasarkan perhitungan nilai Q diatas
menggunakan tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.2 Tipe Iklim berdasarkan Klasifikasi Scmidt dan Ferguson


Tipe Iklim Nilai Q Keterangan
A 0 < Q < 0,143 Sangat Basah
B 0,143 < Q < 0,333 Basah
C 0,333 < Q < 0,6 Agak Basah
D 0,6 < Q < 1 Sedang
E 1 < Q < 1,67 Agak Kering
F 1,67 < Q < 3 Kering
G 3<Q<7 Sangat Kering
H 7<Q Luar Biasa Kering

Sedangkan dalam klasifikasi iklim Oldeman yang lebih condong digunakan


dalam penentuan musim tanam sesuai iklim (agroklimat) mengkategorikan bulan
basah adalah suatu bulan yang curah hujan rerata > 200 mm dan bulan kering adalah
bulan yang curah hujannya ≤100 mm yang kemudian diklasifikasi tipe iklim sesuai
kriteria pada Tabel 2.3 berikut.

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 7


Tabel 2.3 Tipe Iklim dan Kriteria berdasarkan Klasifikasi Oldeman
Tipe Iklim Kriteria
A >9 bulan basah berurutan
B 7 – 9 bulan basah berurutan
C 5 – 6 bulan basah berurutan
D 3 – 4 bulan basah berurutan
E <3 bulan basah berurutan

Selain itu, untuk mengetahui rejim kelembaban tanah, maka dilakukan


menggunakan pemodelan neraca air (water balance) menggunakan jNSM (java Newhall
Simulation Model) dengan prosedur Thornwaite untuk estimasi evapotranspirasi
potensial dengan rumus sebagai berikut.
EP = f.EPx
EPx = 16 (10 T/I)a
a = 675*10-9*I3 - 77*10-6*I2 + 0.1792*I + 0.4939
i = (T/5)1.514
I = ∑i
Dimana :
EPx = Evapotranspirasi potensial bulanan yang belum disesuaikan (mm/bulan)
EP = Evapotranspirasi potensial bulanan (mm/bulan)
T = Suhu udara rata-rata bulanan (oC)
f = Factor koreksi lama penyinaran matahari bulanan (letak lintang)
a = Nilai tetapan berdasarkan nilai I
i = Indeks panas bulanan
I Indeks panas tahunan

Adapun analisis sumberdaya air dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder,


baik dari BPS maupun Balai Wilayah Sungai (BWS) yang dilengkapi dengan data titik
lokasi embung hasil digitasi on-screen pada webgis Google Earth dan citra Sentinel-2.
Selain itu, untuk mengetahui potensi limpasan air atau air terdepresi diestimasi
menggunakan data DEMNAS yang dianalisis dengan menggunakan metode
Topographic Wetness Index (TWI). Sedangkan analisis daerah aliran sungai (DAS)
dilakukan dengan kombinasi menggunakan data sekunder DAS dari BPDASHL Benain
Noelmina tahun 2018 serta delineasi batas DAS menggunakan DEMNAS (BIG).
Adapun perangkatlunak (software) yang digunakan dalam analisis yaitu jNSM,
SAGA GIS v7.2 dan Quantum GIS v3.4.

d. Kawasan Hutan
Analisis kondisi kawasan hutan dilakukan dengan membandingkan tiga SK Menteri
terkait selama 20 tahun terakhir yaitu (a) SK Menhut no. 423/1999, (b) SK Menhut no.
3911/2014, dan (c) SK Men-LHK no. 357/2016 yang diperoleh dari Dinas Lingkungan

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 8


Hidup dan Kehutanan Prov NTT dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) NTT.
Selain itu, pembagian kawasan hutan per wilayah administrasi (kecamatan/desa)
dilakukan dengan cara tumpang-susun (overlay) data wilayah administrasi dengan peta
kawasan hutan berdasarkan SK Men-LHK no 357/2016.
Adapun perangkatlunak (software) yang digunakan dalam analisis yaitu SAGA GIS
v7.2 dan Quantum GIS v3.4.

e. Kondisi Vegetasi dan Keanekaragaman Jenis di Hutan


Metode pengambilan data pada setiap plot sampling menggunakan cara transek.
Dimana setiap lokasi sampel hutan masing-masing diambil 5 petak ukur. Arah transek
dari barat ke timur dilakukan dengan memotong garis kontur. Setiap transek dibagi
dalam petak-petak ukur dalam pengukuran pada beberapa tingkat tumbuhan, yaitu :
(1) petak berukuran 20 x 20 m untuk tingkat pohon, (2) petak 10 x 10 m untuk tingkat
tiang, (3) petak 5 x 5 m untuk tingkat pancang; (4) petak 2 x 2 m untuk tingkat semai.

Gambar 2.3
Contoh Jalur Transek dan Petak Ukur dalam Analisis Vegetasi

Parameter yang diukur yaitu jenis tumbuhan, diameter batang, jumlah jenis,
dan jumlah plot yang ditemukan suatu jenis tertentu untuk dilakukan perhitungan
Indeks Nilai Penting (INP) & Summed Dominance Ratio (SDR) yang merupakan
indeks komposit dari variabel kerapatan (density), frekuensi dan dominansi
sebagai berikut.
Kerapatan Jenis (K) merupakan jumlah suatu jenis per satuan luas contoh,
sedangkan kerapatan relatif (KR) merupakan persentase kerapatan dari suatu
jenis terhadap jumlah kerapatan semua jenis.

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 9


Jumlah individu
Kerapatan(K) =
Luas contoh
Kerapatan suatu jenis
Kerapatan relatif (KR) = x 100%
Kerapatan seluruh jenis

Dominansi dinyatakan dalam pengukuran luas bidang dasar. Luas bidang


dasar tegakan pohon dan tiang diketahui dengan melakukan pengukuran keliling
batang pohon pada ketinggian 1,30 m atau pada batas setinggi dada (DBH).
Luas bidang dasar
Dominasi (D) =
Luas petak contoh
Dominasi suatu jenis
Dominasi relatif(DR) = x 100%
Dominasi seluruh jenis

Frekuensi merupakan perbandingan jumlah kuadrat atau petak ukur yang


ditumbuhi oleh suatu jenis dengan jumlah total kuadrat/ petak ukur yang
dilakukan pengamatan.
Jumlah petak ditemukan suatu jenis
Frekuensi (F) =
Jumlah seluruh petak
Frekuensi suatu jenis
Frekuensi relatif (FR) = x 100%
Frekuensi seluruh jenis

Data dan informasi dari hasil pengukuran nilai kerapatan relatif (KR),
dominansi relatif (DR) dan frekuensi relatif (FR) digunakan sebagai nilai penting.
Indeks nilai penting (INP) = kerapatan relatif (KR) + Dominasi relatif (DR) +
Frekuensi relatif (FR)

INP
Summed Dominance Ratio (SDR) = 3
untuk tingkat pohon dan tiang
INP
Summed Dominance Ratio (SDR) = 2
untuk tingkat pancang dan semai

Selain itu, juga turut dilakukan penghitungan aspek kemerataan (equity)


menggunakan Indeks Simpson, kekayaan jenis (species richness) menggunakan indeks
Margalef, kesamaan jenis menggunakan persamaan Jaccard dan keanekaragaman
hayati komunitas vegetasi dengan menggunakan indeks Shannon atau Shannon index
of general diversity.
Adapun perangkatlunak (software) yang digunakan dalam analisis yaitu PAST 3,
SAGA GIS v7.2 dan Quantum GIS v3.4.

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 10


f. Tutupan Lahan dan Perubahan Tutupan Lahan
Analisis tutupan lahan dan perubahan tutupan lahan dilakukan dengan
menggunakan klasifikasi citra inderaja multi-temporal selama 30 tahun terakhir yaitu
citra Landsat 5 untuk citra tahun 1989, 1997 dan 2006 serta citra Landsat 8 tahun
2018. Pemilihan citra bebas awan yang sebelum dianalisis dilakukan koreksi geometric
dan radiometric (Top of Atmosphere Reflectance/ToA). Analisis citra dilakukan dengan
metode klasifikasi Pixel-based yaitu klasifikasi secara terbimbing (supervised
classification) dengan mendefinisikan training site/area melalui digitasi on-screen pada
masing-masing citra serta pembuatan polygon lokasi di lapangan.
Untuk menguji tingkat akurasi peta yang dihasilkan, maka dilakukan uji akurasi
dengan mengambil 20 titik ground-truth yang diletakkan secara acak (random) di
lapangan. Selain itu, untuk mengetahui pola perubahan tutupan lahan dilakukan
analisis confusion matrix dengan membandingkan grid tutupan lahan tahun 1989 dan
tahun 2018.
Adapun perangkatlunak (software) yang digunakan dalam analisis yaitu aplikasi
smartphone Avenza Maps, SAGA GIS v7.2 dan Quantum GIS v3.4.

g. Evaluasi Kesuburan Tanah Sebagai Indikator Asupan Bahan Kimia Tanah dan
Analisis Kesesuaian Lahan
Dalam survai ini dilakukan pengambilan sampel tanah pada setiap lokasi, yakni
setiap desa diambil sebanyak 1-2 titik sampel tanah sehingga total terdapat 12 sampel
tanah dari Desa Hansisi, Uiasa, Letbaun, Batuinan, Uitiutuan, dan Uitiuana. Tanah
diambil pada lapisan top soil atau kedalaman 0-20 cm sebanyak kurang lebih 1 kg dan
dimasukkan dalam kantong plastik dan diberi label. Tanah ini kemudian dianalisis sifat
kimia tanahnya yakni C-organik, N-total, P-tersedia, Kalium dapat tertukar, pH tanah
dan tekstur tanah. Pengamatan sifat morfologis tanah yaitu kedalaman solum tanah.
Selain itu dilakukan pengamatan di lapang terhadap kondisi topografi atau kemiringan
lereng, jenis-jenis tanaman yang ada atau penggunaan lahan. Sampel tanah kemudian
dianalisis di Laboratorium Tanah Faperta Undana.
Hasil analisis tanah kemudian ditentukan penilaian sifat kimia tanah (PPT, 1983)
yang lalu dimasukkan ke dalam tabel kesesuaian lahan dengan mencocokkan
(matching) dengan karakteritik lahan. Dalam analisis kesesuaian lahan untuk beberapa
kelompok tanaman dilakukan dengan menggunakan 6 parameter karakteristik lahan

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 11


meliputi suhu, ketersediaan air (water availability), media perakaran, retensi hara, hara
tersedia, dan bahaya erosi.
Adapun perangkatlunak (software) yang digunakan dalam analisis yaitu Sistem
Penilaian Kesesuaian Lahan (SPKL) Versi 2.1, SAGA GIS v7.2 dan Quantum GIS v3.4.

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 12


BAB III
HASIL & PEMBAHASAN

1. Wilayah Administrasi dan Jumlah Penduduk


Secara astronomi Pulau Semau terletak pada 10°20'22.82" - 10°5'5.75" lintang
selatan (LS) dan 123°16'10.5" - 123°33'34.24" bujur timur (BT). Berdasarkan posisi
geografis, Pulau Semau berbatasan dengan Laut Sabu di sebelah utara, Selat Pukuafu
di sebelah Selatan, Laut Sabu di sebelah barat dan Teluk Kupang di sebelah timur
(Gambar 1). Di Pulau Semau terdapat dua wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Semau
dan Kecamatan Semau Selatan serta 14 wilayah desa yang tersebar pada dua
kecamatan tersebut.
Total luas Pulau Semau mencapai 26.570 ha dengan perimbangan 54% merupakan
wilayah administrasi Kecamatan Semau dan 46% merupakan wilayah Kecamatan
Semau Selatan. Meski demikian, jika ditilik dari jumlah desa, terdapat 8 desa di
Kecamatan Semau Selatan, sedangkan di Kecamatan Semau hanya terdapat 6 desa.
Jika ditilik dari jumlah penduduk, maka sebagian besar penduduk lebih banyak berada
di Kecamatan Semau dengan total mencapai 7390 jiwa, dibandingkan di Kecamatan
Semau Selatan dengan total penduduk sebanyak 5386 jiwa (Tabel 3.1).

Tabel 3.1. Luas Wilayah Administrasi dan Jumlah Penduduk


No Desa Luas (Ha) % Jumlah Penduduk
A. Kecamatan Semau Selatan
1 Naikean 2,300 18.8 716
2 Akle 1,170 9.6 940
3 Uitiuhana 2,625 21.5 1670
4 Onansila 934 7.6 464
5 Uitiuhtuan 2,064 16.9 724
6 Uiboa 3,135 25.6 872
Total (A) 12,228 100 5.386
B. Kecamatan Semau
1 Bokunusan 2,125 14.8 1141
2 Otan 1,481 10.3 882
3 Uitao 1,226 8.5 877
4 Huilelot 2,356 16.4 859
5 Uiasa 2,358 16.4 1315
6 Hansisi 1,976 13.8 1445
7 Batuinan 513 3.6 388
8 Letbaun 2,307 16.1 483
Total (B) 14,342 100 7.390
Sumber : BPS (2018)

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 13


Gambar 3.1.
Peta Wilayah Administrasi di Pulau Semau

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 14


Meski demikian, dari hasil digitasi citra webgis Google Earth menunjukkan bahwa
luas Pulau Semau hanya 22.529,9 ha atau terdapat selisih sebanyak 4.050 ha dari data
luas Pulau diatas. Selain itu, data vector (shapefile) yang bersumber dari Bappeda
Kabupaten Kupang juga menunjukkan luasan wilayah administrasi yang sama dengan
hasil digitasi. Oleh karena pertimbangan teknis bahwa kajian ini tidak difokuskan pada
batas definitive wilayah admnistrasi, maka selanjutnya analisis hanya dilakukan
dengan menggunakan data yang ada.
Jika dilihat dari jarak orbitasi wilayah desa dari Ibukota Kecamatan menunjukkan
bahwa pada umumnya wilayah desa berada pada jarak 2,5 – 7.5 km dari Ibukota
Kecamatan dengan luas mencapai 16.885 ha (75%). Dengan asumsi bahwa lokasi
sentra fasilitas umum (pendidikan, kesehatan, pemerintahan, dll) umumnya akan
berada tak jauh dari Ibukota Kecamatan, maka jarak wilayah desa di Semau relatif
tidak jauh dari Ibukota Kecamatan. Akan tetapi, pengecualian untuk warga di Pulau
Kera yang termasuk di Desa Uiasa, Kec. Semau, jarak tempuh dari Ibukota Kecamatan
mencapai > 19 km dan mesti ditempuh dengan moda transportasi laut.
Jika dikaji lebih dalam pola sebaran pemukiman dan jarak orbitasi dari Ibukota
Kecamatan dengan tumpang-susun (overlay) antara data polygon pemukiman dari
openstreetmap (2019) dan jarak orbitasi menunjukkan bahwa total terdapat 5.9 ha
areal pemukiman/gedung di Pulau Semau dan sebagian besar pemukiman akan
ditemukan pada area < 2.5 km dari Ibukota Kecamatan (1,57 ha atau 26,8%). Meski,
hingga pada jarak > 10 km dari Ibukota Kecamatan masih ditemukan pemukiman,
akan tetapi dari scatter plot dibawah ini menunjukkan bahwa semakin jauh dari
Ibukota Kecamatan (variable bebas) terdapat kecenderungan (trend) penurunan luas
pemukiman (variable terikat), meski dengan koefisien determinan (R2) hanya 0.0396
atau 3.96%. Dengan kata lain, terdapat 96,04% variasi luas pemukiman yang akan
dipengaruhi oleh variable bebas lainnya selain jarak dari Ibukota Kecamatan.

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 15


Gambar 3.2.
Peta Orbitasi Wilayah Pulau Semau

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 16


Scatter plot(Luas Pemukiman vs Ranking Jarak)

0.07

0.06 y = -0.0009x + 0.011


R² = 0.0396
Luas Pemukiman (Ha)

0.05

0.04

0.03

0.02

0.01

0
0 1 2 3 4 5 6
Ranking Jarak

Gambar 3.3.
Scatter Plot Luas Pemukiman dan Jarak dari Ibukota Kecamatan

2. Kondisi Geomorfologi
a. Ketinggian Tempat (Elevation)
Ketinggian tempat diukur dari rata-rata permukaan laut (dpl) sebagai titik nol
(datum horisontal). Dalam kaitannya dengan tanaman, secara umum sering dibedakan
antara dataran rendah (<200 m dpl.) dan dataran tinggi (>200 m dpl.). Namun dalam
kesesuaian tanaman terhadap ketinggian tempat berkaitan erat dengan temperatur dan
radiasi matahari. Semakin tinggi tempat di atas permukaan laut, maka temperatur dan
tingkat penerimaan insolasi semakin menurun, dan sebaliknya.

Tabel 3.2. Ketinggian Tempat (Elevasi) di Semau


Parameter Statistik Elevasi
Kecamatan Desa
Max Rata-Rata (mean) Simpangan Baku
Batuinan 76.7 38.3 21.0
Bokonusan 116.3 38.6 24.4
Hansisi 123.3 41.9 28.3
Huilelot 189.9 67.3 39.0
Semau
Letbaun 167.1 66.3 30.2
Otan 74.7 29.3 18.9
Uiasa 183.5 74.6 38.5
Uitao 183.5 48.8 42.3
Akle 94.2 29.0 19.4

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 17


Naikean 89.0 23.6 13.8
Onansila 131.4 53.1 28.2
Semau
Uiboa 120.6 52.9 20.2
Selatan
Uitiuh Ana 120.4 36.7 21.6
Uitiuh Tuan 95.2 27.4 20.1

Ketinggian tempat (elevasi) di Pulau Semau diperoleh dari analisis SIG terhadap data
Digital Elevation Model Nasional (DEMNAS) dengan resolusi spasial 8 meter
menunjukkan bahwa elevasi berkisar dari 0 – 190 mdpl dimana titik elevasi tertinggi di
Pulau Semau berada di Desa Huilelot. Selain itu, dengan rata-rata (mean) elevasi
wilayah di Semau hanya berkisar 27 – 75 mdpl dan sebaran elevasi berdasarkan nilai
simpangan baku menunjukkan bahwa pada umumnya di suatu wilayah desa tingkat
elevasi tidak banyak berbeda dan begitupula dengan perbandingan elevasi antar
wilayah desa. Berdasarkan elevasi tersebut, maka Pulau Semau dapat digolongkan
sebagai daerah dataran rendah karena tidak ada area yang memiliki elevasi >200 mdpl
oleh karena itu dalam pemilihan jenis tanaman mesti disesuaikan dengan karakteristik
agroekosistem dataran rendah yang lebih adaptif dan cocok dikembangkan pada
daerah-daerah dataran rendah sebagaimana pada wilayah Pulau Semau ini.

Tabel 3.3. Sebaran Luas Kelas Elevasi Per Wilayah Administrasi


Wilayah Luas (Ha) Kelas Elevasi (mdpl)
Administrasi 0 - 50 50 - 100 100 - 150 150 - 200
Semau 6,599 4,596 1,082 250
Batuinan 328 180 - -
Bokonusan 1,915 795 46 -
Hansisi 952 353 76 -
Huilelot 692 813 302 50
Letbaun 361 772 104 19
Otan 796 176 - -
Uiasa 631 1,267 426 115
Uitao 925 240 128 66
Semau Selatan 7,133 2,757 99
Akle 1,672 394 - -
Naikean 1,682 61 - -
Onansila 469 461 78 -
Uiboa 859 1,182 16 -
Uitiuh Ana 1,245 447 5 -
Uitiuh Tuan 1,207 212 - -
Grand Total 13,732 7,353 1,181 250
% 61.0 32.7 5.2 1.1

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 18


Jika ditilik dari luas masing-masing kelas elevasi menunjukkan sebagian besar
wilayah Pulau Semau berada pada kelas elevasi 0 – 50 mdpl dengan luas 13.732 ha
atau 61% dari total luas pulau. Jika diakumulasikan dengan luas kelas elevasi 50 –
100 mdpl, maka dapat dikatakan bahwa hampir seluruh wilayah Pulau Semau berada
pada kelas elevasi < 100 mdpl dengan luas total mencapai 21.085 ha atau 94% dari
total luas pulau sebagimana yang disajikan dalam Tabel 3.3 diatas.

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 19


Gambar 3.4.
Peta Ketinggian Tempat (Elevasi)

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 20


b. Kelas Lereng (Slopes) dan Bentuklahan (Landforms)
Relief atau kelas lereng erat hubungannya dengan faktor pengelolaan lahan dan
bahaya erosi. Kondisi relief sangat mempengaruhi kondisi drainase dan permukaan air
pada daerah yang kemiringannya besar sering terjadi erosi tanah. Akibatnya tanah-
tanah pada kemiringan yang besar akan memiliki solum yang tipis, kandungan bahan
organik yang rendah bila dibandingkan dengan tanah-tanah bergelombang dan datar.
Selain potensi hilangnya tanah akibat erosi, kemiringan lereng juga mempengaruhi
kecepatan limpasan air dan menurunkan infiltrasi air dalam tanah. Semakin curam
suatu lereng maka kecepatan aliran semakin besar, sehingga semakin singkat
kesempatan air untuk menyerap ke dalam tanah.
Kondisi relief di Semau diperoleh dari hasil analisis kecuraman lereng dalam unit
persen (%) menggunakan DEMNAS yang kemudian dilakukan pengkelasan-ulang
(reclassify) menjadi 5 kelas lereng sebagaimana yang ditampilkan pada tabel dibawah
ini. Hasil analisis kelas lereng menunjukkan bahwa kelas lereng 0 – 8 % atau relief
datar sangat dominan di Semau dengan luas mencapai 17.130 ha atau 76% dari total
luas pulau. Jika diakumulasi dengan kelas lereng 9 – 15% (landai), maka terdapat
21.198 ha atau 94% lahan di Semau yang tergolong datar s/d landai. Dengan demikian,
ini mengindikasikan peluang terjadinya erosi, air larian (run-off) dan aliran permukaan
(overland flow) pada sebagian besar lahan di Semau relatif rendah.

Tabel 3.4. Kelas Lereng Semau


Kelas Lereng / Relief Luas (Ha) %
0 - 8 % (Datar) 17,130 76.03
9 - 15 % (Landai) 4,068 18.06
16 - 25 % (Agak Curam) 1,088 4.83
26 - 40 % (Curam) 234 1.04
> 41 % (Sangat Curam) 11 0.05

Dari sebaran luas kelas lereng sebagaimana yang ditampilkan pada Tabel 3.5
menunjukkan bahwa kelas lereng yang tergolong agak curam (16-25%), curam (26-
40%) dan sangat curam (>41%) lebih banyak ditemui pada Kecamatan Semau dengan
akumulasi luas mencapai 1.026 ha, dibandingkan Kecamatan Semau Selatan dengan
akumulasi luas hanya 303 ha. Selain itu, jika ditilik lebih seksama pada kelas lereng
tersebut akan lebih banyak ditemui di Desa Uiasa, Desa Huilelot, Desa Hansisi dan
Desa Bokunusan.

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 21


Tabel 3.5. Sebaran Luas Kelas Lereng per Wilayah Administrasi
Luas Kelas Lereng (Ha)
Wilayah Administrasi
0-8% 9 - 15 % 16 - 25 % 26 - 40 % > 41 %
Semau 8,750 2,752 843 176 6
Batuinan 412 93 2 0.5 -
Bokonusan 2,197 443 97 19 0.4
Hansisi 890 362 109 19 0.0
Huilelot 876 714 213 53 1
Letbaun 1,110 122 20 2 1
Otan 870 94 8 - -
Uiasa 1,370 708 300 57 4
Uitao 1,026 216 93 24 -
Semau Selatan 8,375 1,311 242 56 5
Akle 1,739 265 57 4 -
Naikean 1,550 174 19 1 -
Onansila 788 168 35 15 2
Uiboa 1,780 224 38 16 0.1
Uitiuh Ana 1,402 246 39 9 0.3
Uitiuh Tuan 1,116 235 54 12 2

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 22


Gambar 3.5.
Peta Kelas Lereng Semau

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 23


Kondisi topografi dari Semau yang didominasi relief datar s/d landai dapat
dijustifikasi dari hasil analisis bentuklahan (landforms) berbasis topographic position
index (TPI) dari data DEMNAS yang menunjukkan bahwa sebagian besar bentuklahan
pada wilayah Semau merupakan lahan dataran (plains) dengan luas mencapai 13.911
ha atau 62,3% dari total luas pulau. Sedangkan bentuklahan lain yaitu lembah (valley)
seluas 1.726 ha (7,7%), lereng (slopes) seluas 3.478 ha (15.6%), perbukitan (ridges)
seluas 2.578 ha (11,6%) dan sungai seluas 623 ha (2,8%).

14,000

12,000

10,000

8,000

6,000

4,000

2,000

-
Dataran Lembah Lereng Perbukitan Sungai

Gambar 3.6.
Luas Bentuklahan di Pulau Semau

Gambar 3.7.
Tampilan 3 Dimensi Bentuk Lahan Pulau Semau

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 24


Dalam kegiatan pengecekan lapangan (ground checking) dan pengambilan
sampel tanah pada lokasi-lokasi budidaya pertanian menunjukkan bahwa 7 dari 12
titik sampel berada pada bentuklahan dataran. Ini mengindikasikan bahwa
bentuklahan dataran yang luas di Pulau Semau menjadi pilihan sebagai lahan
budidaya pertanian dan pilihan ini tergolong masuk akal (reasonable) karena pada
lahan-lahan ini akan memiliki tingkat akumulasi pengaliran (flow accumulation) dan
sedimentasi yang tinggi serta memiliki risiko degradasi lahan sebagai dampak erosi
yang relative lebih rendah. Akan tetapi, meski lahan dataran di Semau luas, akan tetapi
ini tidak mencerminkan potensi area yang bisa dikembangkan sebagai area pertanian
atau budidaya lainnya di Pulau Semau oleh karena terdapat sejumlah factor pembatas
lain seperti input presipitasi dan ketersediaan air dalam suatu neraca air (water
balance) serta faktor litologi/geologi. Pembahasan mengenai ini akan dapat ditemukan
pada bagian lain laporan ini.

Tabel 3.6. Sebaran Luas Bentuklahan Per Wilayah Administrasi


Wilayah Luas Bentuklahan (Ha)
Administrasi Dataran Lembah Lereng Perbukitan Sungai
Semau 6,703 1,368 2,323 1,551 462
Batuinan 338 72 60 27 6
Bokonusan 1,867 136 329 329 61
Hansisi 492 317 341 142 70
Huilelot 496 321 552 358 106
Letbaun 1,011 63 87 74 17
Otan 729 50 156 28 1
Uiasa 859 335 613 463 148
Uitao 911 75 186 130 53
Semau Selatan 7,208 358 1,154 1,027 162
Akle 1,390 181 286 171 17
Naikean 1,398 49 155 120 7
Onansila 601 54 165 127 55
Uiboa 1,667 11 119 226 26
Uitiuh Ana 1,156 43 240 199 46
Uitiuh Tuan 997 20 189 183 10
Grand Total 13,911 1,726 3,478 2,578 623
% 62.3 7.7 15.6 11.6 2.8

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 25


Gambar 3.8.
Bentuklahan Pulau Semau

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 26


Blasxcynski (1997 dalam Zawawi et al, 2014) menyatakan bahwa terdapat
korelasi yang kuat antara bentuklahan, kemiringan dan posisi lereng serta jenis tanah
terhadap aliran air permukaan (surface flow), proses sedimentasi, keterpaparan angin,
dan penerimaan radiasi matahari yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap
kualitas dan sebaran keragamanhayati (biodiversitas). Sebagai contoh, bentuklahan
perbukitan dan lereng curam umumnya solum tanahnya akan lebih tipis (shallow) dan
bertekstur lebih dominan pasir, sedangkan pada daerah lembah dan lereng tengah
(midslope) umumnya akan terdiri atas tanah-tanah alluvial dan bersolum dalam.
Dengan demikian, perlu disesuaikan bentuk penggunaan lahan (landuse) hutan dan
bentuklahan serta kelerengan di Pulau Semau sebagaimana ditampilkan pada Tabel
3.7 berikut ini.

Tabel 3.7. Arahan Penggunaan Lahan dan Fungsi Hutan berdasarkan Bentuklahan
dan Tingkat Kelerengan di Pulau Semau
Tingkat Arahan Penggunaan Lahan
Bentuklahan
Kelerengan dan Fungsi Hutan
Curam – Sangat Perlindungan, Konservasi, Ekowisata dan
Perbukitan
Curam Pendidikan
Agak Curam –
Lereng Agforestry, Perlindungan dan Pendidikan
Sangat Curam
Dataran Datar - Landai Pertanian dan Perkebunan
Datar – Agak Agroforestry, hutan komersial (produksi) dan
Lembah
Curam ekowisata
Agroforestry, Pertanian, Perkebunan dan
Sungai Datar – Landai
Konservasi

c. Formasi Geologi dan Tanah


Hasil digitasi Peta Geologi Lembar Kupang-Atambua Timor skala 1:250.000 (Rosidi,
dkk, 1996) menunjukkan bahwa terdapat tiga (3) formasi geologi di Semau dari umur
yang tertua hingga termuda, yaitu Kompleks Bobonaro (Tmb) yang terbentuk pada
masa Miosen tengah – Pliosen akhir, pada lapisan diatasnya kemudian ditemukan
formasi Batugamping Koral (Ql) yang terbentuk pada masa Plistosen, dan diatasnya
terdapat sedikit pembentukan formasi Aluvium (Qa) yang berasal dari sedimentasi
daerah dataran banjir (floodplain). Dari Gambar 3.9 dibawah ini menunjukkan formasi
batugamping koral merupakan formasi geologi terluas dan tersebar merata di seluruh
pulau dibandingkan formasi geologi lainnya.

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 27


Aluvium,
97 , 0%

Kompleks Bobonaro,
4,648 , 21%

Aluvium
Batugamping Koral
Kompleks Bobonaro

Batugamping Koral,
17,785 , 79%

Gambar 3.9.
Formasi Geologi di Semau

Dikarenakan sifat batuannya yang padu, Kompleks Bobonaro yang umumnya


terdiri dari lempung bersisik dan bongkah-bongkah batuan ini berumur lebih tua
dibandingkan jenis batuan lainnya sehingga relatif kurang mampu meloloskan air. Oleh
karena itu, kelompok ini digolongkan sebagai kelompok lapisan kedap air (kelompok
akiklud), yang diduga menjadi alas dari sistim akuifer di Semau. Pada satuan batuan
yang lebih muda, yakni satuan batugamping koral (coraline limestone) dan endapan
alluvial umumnya mempunyai kemampuan meloloskan air lebih baik, sehingga kedua
satuan ini digolongkan sebagai kelompok pembawa air (kelompok akuifer). Sutedjo, dkk
(1996) juga menyatakan bahwa batu lempung Bobonaro bersifat kedap air sehingga
dapat menampung air permukaan, tetapi sulit meresapkan air hujan, sedangkan batu
endapan Aluvium dan Batu gamping Koral merupakan jenis porous yang berpotensi
sebagai penyimpanan air bawah tanah.

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 28


Gambar 3.10.
Peta Formasi Geologi Semau

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 29


Jika dikaji luas sebaran formasi geologi per wilayah administrasi menunjukkan
formasi batuan Aluvium hanya terdapat pada Desa Bokonusan, Kec. Semau dimana
pada lokasi tersebut ditemukan danau alam yang merupakan tempat sedimentasi dan
akumulasi pengaliran (flow accumulation). Selain itu, tanah pada formasi batuan
alluvial umumnya ditemukan dalam bentuk lempung berpasir dan lumpur hitam yang
terdapat di daerah rawa-nawa dan dataran pantai. Formasi Batugamping Koral
umumnya cenderung tersebar merata di seluruh Semau. Formasi batuan Kompleks
Bobonaro lebih banyak ditemukan di Kecamatan Semau terutama di Desa Uiasa
dengan luas mencapai 765 ha dan Desa Huilelot dengan luas 753 ha, sedangkan di
Kecamatan Semau Selatan lebih banyak ditemukan di Desa Akle dengan luas 422 ha.

Tabel 3.8. Luas Sebaran Formasi Geologis Per Wilayah Administrasi


Wilayah Luas (Ha) Formasi Geologi
Administrasi Aluvium Batugamping Koral Kompleks Bobonaro
Semau 97 9,316 3,123
Batuinan - 454 54
Bokonusan 97 2,262 399
Hansisi - 1,233 148
Huilelot - 1,106 753
Letbaun - 1,127 129
Otan - 972 0.13
Uiasa - 1,676 765
Uitao - 485 874
Semau Selatan - 8,469 1,526
Akle - 1,645 422
Naikean - 1,524 219
Onansila - 702 306
Uiboa - 1,707 351
Uitiuh Ana - 1,684 13
Uitiuh Tuan - 1,206 214

Dari hasil pengecekan lapangan dan pengambilan sampel tanah pada 12 titik
lahan budidaya pertanian dan hasil digitasi on-screen dari citra Sentinel-2 dan webgis
Google Earth sebanyak 36 titik embung di seluruh Semau (lihat Gambar 3.10 diatas)
yang kemudian ditumpang-susun (overlay) dengan peta geologi menunjukkan bahwa
10 dari 12 titik lahan budidaya berada pada formasi geologi Batugamping Koral. Diduga
pada lahan ini tergolong porous sehingga tingkat ketersediaan air cenderung lebih baik
untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Sebaliknya terdapat 19
titik lokasi embung yang dibangun pada batuan Kompleks Bobonaro yang merupakan

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 30


lapisan kedap air sehingga dapat menampung air permukaan dan hujan pada embung-
embung tersebut. Meski demikian, terdapat 17 titik lokasi embung yang dibangun
diatas batuan gamping Koral yang tergolong porous sehingga diperlukan pembangunan
dinding embung yang lebih kuat sehingga kedap air.

20 19
Batugamping Koral
18 17
Kompleks Bobonaro
16
14
12
10
10
8
6
4
2
2
0
Budidaya Embung

Gambar 3.11.
Overlay Titik Lahan Budidaya dan Embung dengan Formasi Geologi

Sebagai produk dari pelapukan bahan induk, tanah merupakan salah satu factor
penting dalam karakteristik lahan di Semau. Hasil analisis dari data BPDASHL Benain
Noelmina (2013), menunjukkan bahwa sebagian besar tanah di Semau adalah tanah
Litosol dengan luas mencapai 18.613 ha (83%), jika dibandingkan tanah Alfisol (4%)
dan Mollisol (13%).

Mollisol, 3,061 ,
13%
Alfisol, 856 , 4%

Litosol, 18,613 ,
83%

Gambar 3.12.
Jenis Tanah di Semau

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 31


Dalam taksonomi tanah, jenis tanah jenis tanah Litosol merupakan tanah
mineral yang tebalnya 20 - 25 cm atau kurang dimana ini disebabkan karena di
bawahnya terdapat batuan keras yang padu/kukuh. Selain itu, umumnya jenis tanah
Litosol ini memiliki struktur lepas, tekstur berpasir, kadar bahan organic tanah rendah,
serta umumnya memiliki sifat kimia dan fisika tanah yang jelek serta peka terhadap
erosi. Oleh karena itu, tanah-tanah Litosol ini umumnya memiliki tingkat produktivitas
yang rendah dan lebih cocok untuk hutan, rerumputan untuk ternak, tegalan, atau
tanaman keras.
Sedangkan jenis tanah Alfisol merupakan tanah yang sudah cukup melapuk
serta umumnya tergolong subur. Tanah Alfisol biasanya akan memiliki tingkat
konsentrarasi kation hara yang tinggi (Ca, Mg, K, Na) dan memiliki lapisan sub-soil
yang kaya akan liat (clay) sehingga relative memiliki kemampuan tahanan air dan hara
yang baik. Meski tanah Alfisols mempunyai potensi sangat produktif kalau
dikonservasi, akan tetapi dapat dengan cepat terdegradasi jika mengalami erosi.
Sedangkan jenis tanah Mollisol umumnya dicirikan dari tingginya akumulasi dan
dekomposisi bahan organic tanah, baik dalam bentuk dekomposisi bahan organic
maupun polimerisasi bahan residu (humus).
Jika ditilik dari sebaran jenis tanah per wilayah administrasi menunjukkan
bahwa jenis Litosol cenderung tersebar merata di seluruh Semau. Sedangkan jenis
tanah Alfisol sebagian besar berada di Kecamatan Semau (Desa Bokonusan dan Desa
Otan), sebaliknya jenis tanah Mollisoll lebih banyak ditemukan di Kecamatan Semau
Selatan dan umumnya cukup tersebar merata per wilayah desa, kecuali Desa
Uitiuhtuan.

Tabel 3.9. Luas Sebaran Jenis Tanah Per Wilayah Administrasi


Wilayah Luas (Ha) Jenis Tanah
Administrasi Alfisol Litosol Mollisol
Semau 730 10,360 1,419
Batuinan - 507 -
Bokonusan 518 1,703 531
Hansisi - 1,296 81
Huilelot - 1,284 570
Letbaun - 1,255 -
Otan 212 758 -
Uiasa - 2,360 76
Uitao - 1,197 161

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 32


Semau Selatan 126 8,208 1,640
Akle - 1,891 171
Naikean 113 1,406 221
Onansila - 430 577
Uiboa - 1,840 216
Uitiuh Ana - 1,258 437
Uitiuh Tuan 12 1,384 18

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 33


Gambar 3.13.
Peta Jenis Tanah Semau

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 34


3. Kondisi Hidrologis
a. Karakteristik Hujan & Klasifikasi Iklim
Karakteristik hujan pada suatu wilayah sangat erat kaitannya dengan isu
ketersediaan air dan keragaman corak aktivitas budidaya tanaman serta bentuk
penggunaan lahan. Wilayah NTT secara umum merupakan wilayah yang dominan
beriklim kering, dimana dalam setahun musim hujan berlangsung selama 5 bulan
(November – Maret), dan musim kemarau berlangsung selama 7 bulan (April – Oktober).
Oleh karena tidak terdapat pos pengamatan cuaca dari Badan Meteorologi Klimatologi
dan Geofisika (BMKG) yang masih beroperasi atau memiliki record data secara time-
series minimal selama 10 tahun di Semau, sehingga dalam analisis lebih lanjut akan
menggunakan data pos hujan Stasiun Klimatologi Lasiana, Kupang dari tahun 1986
s/d 2016 (31 tahun).

396 401 Rerata CH/bulan (mm)

265
242

111
85

18 10 19
6 1 4

JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES

Gambar 3.14.
Pola Curah Hujan di Semau

Hasil analisis rerata hujan selama 31 tahun menunjukkan bahwa rerata hujan
tahunan (annual rainfall) yaitu 1.558 mm/tahun dengan pola hujan eratik dimana
musim hujan/bulan basah berdasarkan klasifikasi Mohr (bulan basah = hujan > 100
mm, bulan kering = hujan < 60mm) terjadi selama 5 bulan (November – Maret), bulan
lembab hanya terjadi 1 bulan (April), dan 6 bulan diantaranya terkategori sebagai bulan
kering. Keragaman iklim pada wilayah Semau ini erat kaitannya dengan pola

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 35


monsoonal (musiman) yang dicirikan oleh bentuk pola hujan yang bersifat unimodal
(satu puncak musim hujan yaitu pada bulan Februari).
Dengan demikian, maka ini mengindikasikan terjadinya ketidak-seimbangan antara
input (hujan) dan luaran (ET, run-off, overlandflow, dll) pada wilayah Semau sehingga
meski input hujan tahunan tinggi, akan tetapi hanya mengumpul pada durasi waktu
yang singkat (5 bulan) dan peluang air hilang akan besar oleh karena panjangnya
musim kemarau (drought) yang terjadi selama 6 bulan dalam setahun. Hal ini kemudian
terakumulasi dengan fakta bahwa seluruh daerah tangkapan (catchment area) yang
berukuran sangat kecil, jenis tanah umumnya dangkal dengan sistem batuan (geologi)
yang umumnya tidak kedap air sehingga berimplikasi secara alami bahwa hasil air
(water yield) akan rendah dengan pola ketersediaan air cenderung mengikuti pola
musim.

Tabel 3.10. Perhitungan Data Curah Hujan dalam Penentuan Tipe Iklim
Hujan Kategori Schmidt-
Bulan Kategori Oldeman
(mm/tahun) Ferguson
Jan 396 BB BB
Feb 401 BB BB
Mar 242 BB BB
Apr 85 BL BK
May 18 BK BK
Jun 10 BK BK
Jul 6 BK BK
Aug 1 BK BK
Sep 4 BK BK
Oct 19 BK BK
Nov 111 BB BL
Dec 265 BB BB
Total 1558 BB = 5, BK = 6 BB = 4, BK = 7

Hasil analisis klasifikasi iklim berdasarkan klasifikasi Schmidt-Ferguson yang


menggunakan quotient (Q) antara bulan basah (CH ≥ 100 mm) dan bulan kering (CH ≤
60) menunjukkan bahwa pola iklim di Semau tergolong dalam iklim E (agak kering).
Oleh karena itu, secara alami wilayah dengan klasifikasi E merupakan daerah agak
kering dengan vegetasi hutan sabana yang jamak ditemukan sebagai vegetasi yang
umum pada wilayah Semau.
Sedangkan, jika dianalisis berdasarkan klasifikasi Oldeman yang
mengkategorikan bulan basah adalah suatu bulan yang curah hujan rerata lebih besar

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 36


dari pada 200 mm dan bulan kering adalah bulan yang curah hujannya sama atau
lebih kecil dari pada 100 mm, maka curah hujan pada semua bulan tidak ada yang
terdapat 4 bulan yang terkategori sebagai bulan basah (Desember – Maret) dan terdapat
7 bulan secara berturut-turut yang terkategori sebagai bulan kering (April – Oktober).
Dengan demikian, tipe iklim ini terkategori sebagai zona D4 yang menunjukkan bahwa
daerah ini mungkin hanya dapat satu kali tanam padi atau palawija dalam setahun,
itupun tergantung adanya persediaan air irigasi. Hasil klasifikasi iklim Oldeman ini
mengkonfirmasi bahwa padi ladang bukan merupakan komoditi pangan dengan luas
panen (1.175 ha pada tahun 2017) dan produksi (3.981,3 ton pada tahun 2017) yang
tertinggi pada wilayah Semau (BPS, 2018). Hal ini diduga berkaitan erat dengan masa
tanam padi ladang yang cuma 1x berkaitan dengan pola curah hujan tahunan yang
terjadi pada wilayah Semau.
Unsur iklim lainnya yang juga penting untuk dikaji adalah suhu udara dalam
kaitannya dengan tingkat ketersediaan air berkenaan dengan proses evapotraspirasi.
Berdasarkan data suhu udara secara time-series (tahun 1986 – 2014) dari pos Staklim
Lasiana menunjukkan bahwa rerata suhu udara tahunan adalah 27,2 0C dengan suhu
maksimum terjadi pada bulan November (29 0C) dan suhu terendah pada bulan Juli
dan Agustus (26 0C). Pola suhu udara ini diduga berkaitan erat dengan posisi semu
matahari terhadap letak posisi wilayah.

Suhu Udara (0C)


29.0

28.4
28.0

27.4
27.3 27.2
26.9 26.9 26.8

26.3
26.0 26.0

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

Gambar 3.15.
Pola Suhu Udara di Semau

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 37


b. Analisis Neraca Air
Untuk mengetahui rejim kelembaban tanah yang merefleksikan rasio antara input
presipitasi (P) serta output dalam bentuk evapotranpirasi (ETP) dan run-off, maka
dilakukan menggunakan pemodelan neraca air (water balance). Untuk pemodelan
dilakukan menggunakan jNSM (java Newhall Simulation Model) dengan prosedur
Thornwaite untuk estimasi evapotranspirasi potensial (Newhall & Berdanier, 1996).
Jackson (1977 dalam Simanjuntak, dkk, 2016) menyatakan apabila curah hujan
melebihi evapotranspirasi potensial (P>ETP), maka terjadi peningkatan airtanah
sehingga air tersedia dan bahkan lahan mengalami kelebihan air atau surplus (S), dan
jika sebaliknya presipitasi lebih rendah dari evapotranspirasi potensial (P<ETP), maka
akan terjadi deficit (D).

Tabel 3.11. Rejim Kandungan Air Tanah Bulanan (mm/bulan) di Semau

Rerata
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Tahunan
Mean Monthly Precipitation (mm)
396 401 242 85 18 10 6 1 4 19 111 265 1,558
Mean Monthly Air Temperature (oC)
27.3 26.9 26.9 27.4 27.2 26.3 26.0 26.0 26.8 28.4 29.0 28.0 27
Modeled Estimate of Monthly Total PET (mm)
150.7 131 141.8 138.1 140.9 122.5 121.9 121.3 135 156.7 163.2 162.6 1685.6
Modeled Estimate of Monthly Total Water Balance (mm)
245.3 270.1 100.3 -53.1 -122.9 -112.5 -115.9 -120.3 -131 -137.7 -52.2 102.4 -127.5
S S S D D D D D D D D S

Gambar 3.16
Model Neraca Air (Presipitasi dan ETP) di Semau

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 38


Hasil analisis menunjukkan bahwa ETP tertinggi terjadi pada bulan November
(163,2 mm) dan terendah pada bulan Agustus (121,3 mm). Jika dikaitkan dengan ETP
dan pola curah hujan serta suhu udara, pada bulan November meski hujan sudah
mulai terjadi (111 mm/bulan), akan tetapi karena pada bulan November terjadi suhu
udara bulanan maksimum (29 0C) sehingga memicu tingkat penguapan (ETP)
maksimum pada bulan November. Sedangkan ETP terendah pada bulan Juli terjadi
lebih berkaitan dengan input presipitasi yang terendah dalam setahun (1 mm)
sedangkan suhu udara bulanan tergolong rendah (26 0C) sehingga ETP menjadi rendah.
Dari pemodelan neraca air menunjukkan bahwa periode surplus (P>ETP) di Semau
hanya terjadi selama 4 bulan (Desember – Maret), sedangkan periode deficit (P<ETP)
terjadi selama 8 bulan (April – November). Dengan total kandungan air tanah selama
bulan Desember – Maret sebanyak 718 mm, maka terdapat beberapa kelompok
tanaman yang dapat dibudidayakan selama musim tanam di Semau antara lain
kelompok serealia, umbi-umbian, kacang-kacangan, buah-buahan, obat/rempah-
rempah serta pakan ternak. Penjelasan lebih lanjut bisa dilihat pada bagian lain
laporan ini.
Jika dikaitkan dengan kemampuan tanah dalam menahan air (water holding
capacity/WHC) dengan asumsi bahwa tekstur tanah di Semau didominasi oleh
lempung berpasir sehingga WHC = 200 mm (soil moisture regime = ustic/semi-arid) dan
offset suhu udara-tanah = 1,2 0C, jika ditilik rejim kandungan air tanah per dasarian
(10 hari), maka dapat terlihat bahwa periode musim tanam di Semau dapat berlangsung
mulai dari pertengahan dasarian Desember II (pertengahan bulan Desember) –
pertengahan dasarian Mei III (akhir bulan Juni). Hal ini disebabkan karena tanah masih
tergolong lembab sehingga air relative masih tersedia. Sedangkan pada pertengahan
dasarian Mei III – pertengahan dasarian November II, sudah memasuki masa bera
(fallow period) karena rejim tanah sudah tergolong kering, kecuali tersedia air irigasi
atau air dari embung-embung serta hasil panen air hujan lainnya.

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 39


Tabel 3.12. Rejim Air Tanah dan Waktu Defisit/Surplus Per Dasarian di Semau

Bulan Dasarian I Dasarian II Dasarian III


1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
Keterangan :
1. Warna hijau = kondisi tanah lembab (moist)
2. Warna oranye = kondisi tanah sedang (antara lembab dan kering)
3. Warna Merah = kondisi tanah kering (dry)

c. Sumberdaya Air
Sumberdaya air di Pulau selain dari hujan, juga berasal dari embung, Cekdam, Mata
air dan Sumur/Perigi. Sutedjo, dkk (2009) menyatakan bahwa air bagi masyarakat
Semau selain digunakan untuk kebutuhan dasar seperti air minum, mandi dan cuci,
juga digunakan untuk pertanian, peternakan, industry kecil dan keperluan lainnya.
Salah satu usaha yang memberikan manfaat dalam penyediaan air baku terutama pada
musim kemarau adalah dibangunnya embung-embung. Berdasarkan hasil digitasi on-
screen pada citra Sentinels-2 tahun 2018 dan webgis Google Earth total ditemukan 36
embung di seluruh Semau (Gambar 14). Meski demikian, berdasarkan rekapitulasi data
BPS (2018) jumlah embung di seluruh Semau hanya 30 embung (Tabel 3.13).
Sedangkan berdasarkan SISDA Balai Wilayah Sungai (BWS) NTT (2015) terdapat 25
embung di Semau yang dibangun dari tahun 1991 s/d 2014 (Tabel 3.14).

Tabel 3.13. Sumber Air di Semau Menurut Jenisnya


Kecamatan Semau
No Desa Embung Cekdam Mata Air Perigi
1 Bokonusan 3 - - 22
2 Otan 3 - - 49
3 Uitao 3 - 1 98
4 Huilelot 4 - - 10
5 Uiasa 2 - 1 5
6 Hansisi 3 - - 37
7 Batuinan 1 - - 24

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 40


8 Letbaun 2 - - 5
Total 21 - 2 250
Kecamatan Semau Selatan
1 Naikean 4 1 15 30
2 Akle 1 - 3 57
3 Uitiuhana 2 1 - 78
4 Onansila 1 - 5 31
5 Uitiuhtuan - - 25 63
6 Uiboa 1 1 16 27
Total 9 3 64 286
Grand Total 30 3 66 536
Sumber : BPS (2018)

Embung sangat berperan penting bagi wilayah Semau dengan intensitas dan
distribusi hujan yang tidak merata sepanjang tahun, embung dapat digunakan untuk
menahan kelebihan air dan menjadi sumber air irigasi pada musim kemarau. Terutama
dengan fakta Semau sebagai pulau kecil dengan bentuk DAS yang seluruhnya
berukuran sangat kecil, maka peluang air presipitasi untuk cepat melimpas ke laut
juga sangat besar. Oleh karena itu, embung dapat berperan untuk menahan air
permukaan sehingga dapat mendistribusikan air dan menjamin kontinuitas
ketersediaan pasokan air untuk keperluan tanaman ataupun ternak di musim kemarau
dan penghujan.

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 41


Tabel 3.14. Data Embung Kecil di Semau Sampai Tahun 2015
Nama Daya Target Pelayanan
Panjang Tinggi Tahun
No Embung Kecamatan Lokasi Tampung Kebun Sumber
Tanggul Tanggul Manusia Hewan Anggaran
Kecil Bersih (m2) (Ha)
1 Batukopak Batukopak 157 8 49,900 184 554 9 1997 APBN
2 Tutun Hansisi 60 8 22,018 90 98 6 2012 APBN
3 Kauan Barat Hansisi 120 7 23,330 86 258 4 1995 APBN
4 Uipermisi Huilelot 100 9 41,284 79 105 6 2012 APBN
5 Ahleten Letbaun 80 10 36,697 77 101 5 2012 APBN
6 Bolantami Otan 90 8 33,028 98 105 5 2012 APBN
7 Uisokat Otan 96 7 15,294 57 171 3 1998 APBN
8 Otan Semau Otan 56 7 19,152 71 213 4 1997 APBN
9 Paluntaba Paluntaba 123 9 40,600 150 451 8 1997 APBN
10 Hansisi II Semau 108 9 15,000 56 166 3 1991 APBD
11 Hansisi I Semau 139 11 30,000 196 588 10 1991 NA
12 Kulun Uiasa 100 9 25,110 93 279 5 1995 APBN
13 Holain Uiasa 60 9 23,660 87 261 4 1995 APBN
14 Iungmake Uitao 80 10 36,697 80 102 7 2012 APBN
15 Uimasi Uitao 60 6 11,600 43 129 2 1998 APBN
16 Oesalaen Akle 115 10 85,559 69 60 4 2014 APBN
17 Uiliang Batuinan 105 10 35,000 68 105 4 2013 APBN
18 Uitimus Bokonusan 143 9 32,000 75 104 4 2013 APBN
19 Kauan Hansisi 90 10 30,000 77 96 7 2013 APBN
20 Watuasu Semau Huilelot 100 10 35,000 79 110 6 2013 APBN
21 Tuadalen Selatan Naikean 118 9 70,032 70 40 5 2014 APBN
22 Iungbluan Oetefu Kecil 230 8 40,761 74 66 5 2014 APBN
23 Balilang Onansila 153 7 21,501 73 72 4 2014 APBN
24 Pahlelo Uiboa 172 8 32,206 60 63 4 2014 APBN
25 Samaliang Uisa 140 9 35,000 77 78 4 2013 APBN
Sumber : http://sisda.bwsnt2.org/index.php/embung_kecil/kabupaten/2 (diakses 7 Maret 2019)

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 42


Gambar 3.17.
Peta Lokasi Embung di Semau

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 43


Oleh karena peran penting embung sebagai bagian dari sistem pemanenan air
permukaan (surface water harvesting) di Semau, maka identifikasi lokasi yang sesuai
serta desain teknis embung menjadi sangat penting. Oleh karena itu, metode
Topographic Wetness Index (TWI) dengan menggunakan grid akumulasi pengaliran dan
kemiringan lereng yang dihasilkan dari DEMNAS digunakan untuk mengestimasi
kesesesuaian lokasi embung di Semau. TWI digunakan karena model ini akan
menggambarkan kecenderungan akumulasi air pada titik tertentu dengan
mempertimbangkan factor kelandaian/kecuraman lereng serta pergerakan air. Lokasi
dengan nilai TWI yang tinggi (>10) mengindikasikan air akan tergenang pada lokasi
tersebut, dan sebaliknya.
Hasil analisis model TWI menunjukkan terdapat 1.644 ha lahan di Semau yang
dapat dijadikan sebagai lokasi embung karena memiliki nilai TWI yang tinggi sehingga
berpotensi menjadi tempat akumulasi pengaliran (flow accumulation) dan daerah
genangan berkaitan dengan kelerengan yang datar. Jika ditilik per wilayah kecamatan,
maka Kec. Semau Selatan memiliki lahan yang sesuai untuk pembangunan embung
yang lebih luas (915 ha) dibandingkan Kec. Semau (728 ha). Selain itu, jika
pembangunan embung lebih diarahkan pada lokasi dengan formasi batuan Kompleks
Bobonaro yang kedap air, maka terdapat 399,2 ha lahan yang tergolong sesuai untuk
pembangunan embung di Semau jika dilihat dari factor TWI dan formasi geologi.

Tabel 3.15. Luas Lahan Sesuai untuk Embung di Semau Hasil Analisis TWI
Wilayah Administrasi Luas Lahan Sesuai Embung (Ha)
Semau 728
Batuinan 21
Bokonusan 184
Hansisi 64
Huilelot 63
Letbaun 61
Otan 85
Uiasa 144
Uitao 105
Semau Selatan 915
Akle 84
Naikean 164
Onansila 134
Uiboa 256
Uitiuh Ana 136
Uitiuh Tuan 142
Grand Total 1,644

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 44


Gambar 3.18.
Peta Lokasi Sesuai untuk Pembangunan Embung di Semau

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 45


Jika ditilik dari nilai TWI lokasi 36 embung eksisting di Semau, menunjukkan
nilai TWI dari embung eksisting akan berkisar dari 5,27 – 13,3 dengan rata-rata (mean)
TWI 8,13 serta simpangan baku 2,55. Hal ini mengindikasikan bahwa lokasi embung
eksisting di Semau pada umumnya tidak berada pada lokasi dengan nilai TWI yang
tinggi (TWI>10). Diduga lokasi-lokasi tersebut tidak berada pada zona akumulasi aliran
permukaan yang tertinggi serta bukan menjadi daerah genangan utama. Hal ini
disebabkan karena pada umumnya daerah dengan TWI yang tinggi akan cenderung
digunakan sebagai lahan budidaya sehingga akan menyisakan lahan-lahan
disekitarnya sebagai lokasi embung, meski bukan daerah genangan utama.

Box plot (TWI_Embung)


14
13 13.3
12
TWI_Embung

11
10
9
8 Mean, 8.1
7
6
5 5.3

Mean Minimum/Maximum

Gambar 3.19.
Grafik Nilai TWI dari Embung Eksisting di Semau

Gambar 3.20.
Tampilan 3 Dimensi TWI dan Posisi Eksisting Embung

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 46


Tabel 3.13 diatas juga menunjukkan bahwa sumber air paling dominan yang
terdapat di Pulau Semau adalah berasal dari Perigi atau sumur galian yang tersebar di
seluruh desa di Semau. Berdasarkan data BPS (2018), total terdapat 536 perigi di
seluruh Semau (250 perigi di Kec. Semau dan 286 di Kec. Semau Selatan). Sutedjo, dkk
(2009) menyatakan bahwa air yang berasal dari perigi ini dapat digunakan sepanjang
tahun, walapun terkadang airnya terasa asin (payau) yang diduga disebabkan adanya
intrusi air laut kedalam sumber-sumber air tersebut. Akan tetapi, dalam penelusuran
lapangan, tidak ditemukan keluhan mengenai air payau pada Perigi milik warga.

d. Daerah Aliran Sungai (DAS)


Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu wilayah yang dibatasi oleh
pegunungan/perbukitan yang sama yang memiliki fungsi hidro-orologis, yaitu
menampung air, menyimpan dan mengalirkan air hujan melalui satu outlet utama.
Dalam konteks pengelolaan lingkungan, maka bentuk pengelolaan yang berbasis DAS
dapat memadukan semua komponen dalam ekosistem DAS tanpa ada sekat-sekat
wilayah administratif. Selain itu, dengan mengamati karakteristik DAS (morfometri,
topografi, tutupan lahan, dll) dapat mengindikasikan kondisi hidrologi suatu wilayah
termasuk di Semau.

Tabel 3.16. Daerah Aliran Sungai di Semau


% Total Luas Klasifikasi Luas
No DAS Luas DAS (Ha)
Semau DAS*)
1 Batuina 0.03 0.0001 Sangat Kecil
2 Pulau Pasir 2 0.11 0.0005 Sangat Kecil
3 Pulau Pasir 1 0.14 0.001 Sangat Kecil
4 Merah 2 0.01 Sangat Kecil
5 Leten Kaua 3 12 0.05 Sangat Kecil
6 Bokosuman 2 25 0.11 Sangat Kecil
7 Kambing 2 34 0.15 Sangat Kecil
8 Bokonusan 46 0.21 Sangat Kecil
9 Kera 58 0.26 Sangat Kecil
10 Kambing 1 62 0.28 Sangat Kecil
11 Uiasa 67 0.30 Sangat Kecil
12 Tabui 96 0.43 Sangat Kecil
13 Kulun 121 0.54 Sangat Kecil
14 Kataba 448 1.99 Sangat Kecil
15 Onamkalin 451 2.00 Sangat Kecil
16 Oibua 459 2.04 Sangat Kecil
17 Akle 2 569 2.52 Sangat Kecil
18 Akle 1 600 2.67 Sangat Kecil

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 47


19 Oelelak 611 2.71 Sangat Kecil
20 Leten Silato 793 3.52 Sangat Kecil
21 Tuaatu 2,104 9.34 Sangat Kecil
22 Uitimus 2,729 12.11 Sangat Kecil
23 Uitiuhtuan 3,369 14.95 Sangat Kecil
24 Kilu 4,085 18.13 Sangat Kecil
25 Kaisalun 5,787 25.69 Sangat Kecil
*)Penentuan klasifikasi luas DAS mengacu pada P.3/2013 tentang Pedoman Identifikasi Karakteristik DAS

Padahal, semakin luas suatu DAS, hasil akhir (water yield) yang diperoleh akan
semakin besar, karena hujan yang ditangkap juga semakin banyak. Oleh karena itu
dengan bentuk penampang DAS-DAS yang sebagian berukuran sangat kecil yang
notabene berfungsi sebagai processing dari input presipitasi, maka dapat diperkirakan
persoalan ketersediaan dan kontinuitas ketersediaan air dapat menjadi salah satu
faktor penghambat dalam pengembangan produktifitas pertanian di Semau, jika
praktek-praktek konservasi tanah dan air luput untuk dilakukan untuk menahan
selama mungkin air permukaan ataupun air tanah yang merupakan aliran dasar (base
flow) saat musim kemarau serta memperkecil peluang terjadinya erosi dan sedimentasi
yang membawa dampak negatif, baik on-site maupun off-site.
Meski demikian, data DAS dari BPDASHL Benain Noelmina ini seringkali
menggabungkan beberapa DAS kecil menjadi satu unit DAS yang besar. Padahal,
adagiumnya adalah ‘satu sungai, satu DAS’ atau DAS akan ditentukan oleh hanya 1
outlet utama yaitu 1 sungai utama. Dengan demikian, hasil delineasi DAS dari
DEMNAS diperoleh total terdapat 332 DAS di seluruh Semau dengan luas DAS terbesar
yaitu 2.014 ha dan DAS terkecil seluas 1 ha. Jika ditilik dari luasan DAS, maka seluruh
DAS dapat diklasifikasikan sebagai DAS sangat kecil. Sebagai perbandingan, 287 DAS
diantaranya (86%) adalah DAS yang tidak lebih besar dari kompleks kampus
Universitas Nusa Cendana (± 100 ha).

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 48


Gambar 3.21.
Peta DAS di Semau

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 49


Gambar 3.22.
Tampilan 3 Dimensi DAS Hasil Delineasi DEMNAS

4. Kawasan Hutan
a. Pemetaan Kawasan Hutan
Dalam perspektif Semau sebagai pulau kecil, maka hutan memainkan peranan
sangat penting tidak saja sebagai agen konservasi tanah dan air, akan tetapi juga
sebagai penyedia sumberdaya alam yang penting, baik secara ekologi, ekonomi dan
sosial. Berdasarkan UU 41/1999 tentang Kehutanan terutama dalam Pasal 18 ayat (2)
menyatakan bahwa harus terdapat 30% kawasan hutan yang tersebar secara
proporsional dalam DAS dan atau pulau. Meski, harus dibedakan antara hutan sebagai
kesatuan ekosistem yang didominasi pepohonan dan kawasan hutan yang merupakan
wilayah yang ditunjuk/ditetapkan oleh Pemerintah (hutan negara) dan wilayah hutan
milik masyarakat (hutan hak).
Berdasarkan penelusuran legal formal kawasan hutan di Semau, maka paling tidak
dalam 20 tahun terakhir sudah terdapat tiga (3) SK Menteri terkait, yaitu (a) SK Menhut
no. 423/1999, (b) SK Menhut no. 3911/2014, dan (c) SK Men-LHK no. 357/2016
dengan 2 fungsi hutan : hutan lindung dan hutan konservasi yang dibagi menjadi
kawasan suaka alam (KSA) yaitu Suaka Margasatwa dan kawasan pelestarian alam

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 50


(KPA) yaitu Taman Wisata Alam Laut (TWAL) dan Taman Wisata Alam (TWA) yang
sempat ditetapkan di Pulau Tabui dalam SK Menhut no. 423/1999, namun tidak lagi
ada pada SK setelahnya.

SK Menhut No. 423/1999


SK Menhut No. 3911/2014 64,058.78
64,059 63,510.55
SK Men-LHK No. 357/2016

15,582.84
15,570.29
13,582 6,443.89
8,343 6,425.90
452.84
457 456.75 102 - -

Areal Penggunaan Hutan Lindung Suaka Margasatwa Taman Wisata Taman Wisata
Lain Alam Laut Alam

Gambar 3.23.
Perubahan Luas Kawasan Hutan Semau dari Tahun 1999 s/d 2016

Jika tidak mempertimbangkan TWAL Teluk Kupang, maka kondisi terkini


sebagaimana yang dapat dilihat dalam SK Men-LHK no 357/2016 di daratan Pulau
Semau terdapat 2 jenis kawasan hutan, yaitu Hutan Lindung (6.426 ha) dan Suaka
Margasatwa (453 ha) dengan luas total kawasan hutan yaitu 6.879 ha atau 31% dari
total luas pulau. Jika ditilik sebaran luas kawasan hutan per wilayah wilayah
administrasi menunjukkan luas areal penggunaan lain (APL) atau non kawasan hutan
paling banyak ditemukan di Kec. Semau dibandingkan Kec. Semau Selatan.
Sebaliknya, luas kawasan hutan (baik HL maupun SM) terluas ditemukan di Kec.
Semau Selatan jika dibandingkan Kec. Semau (lihat Tabel 3.17).

Tabel 3.17. Luas Kawasan Hutan (SK no 357/2016) Per Wilayah Administrasi
Wilayah Luas (Ha) Kawasan Hutan
Administrasi APL Hutan Lindung SM
Semau 10,286 2,089 84
Batuinan 360 148 -
Bokonusan 2,281 393 84
Hansisi 1,375 - -
Huilelot 1,635 215 -
Letbaun 921 335 -
Otan 952 20 -
Uiasa 1,570 813 -
Uitao 1,192 166 -

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 51


Semau Selatan 5,262 4,337 369
Akle 538 1,516 -
Naikean 1,274 469 -
Onansila 134 764 109
Uiboa 1,428 630 -
Uitiuh Ana 676 753 259
Uitiuh Tuan 1,212 204 -

Dalam UU No. 41/1999 dan PP No. 6/2007 (dan perubahannya dalam PP 3/2008)
menyebutkan pula bahwa bentuk pemanfaatan hutan lindung terbatas pada
pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan
bukan kayu (HHBK). Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung dapat berupa
budidaya tanaman obat, lebah, dan penangkaran. Sedangkan pemanfaatan jasa
lingkungan antara lain sebagai ekowisata, pemanfaatan air, dan perdagangan karbon.
Khusus pemanfaatan kawasan hutan lindung untuk pemungutan HHBK hanya
berupa HHBK hasil reboisasi dan/atau tersedia secara alami. Dalam PP 3/2008 jelas
menyebutkan bahwa pemungutan HHBK di hutan lindung hanya boleh dilakukan oleh
masyarakat di sekitar kawasan hutan. Khusus untuk HHBK, Prov NTT telah
menetapkan 14 komoditas sebagai HHBK Unggulan, yaitu Kemiri, Bambu, Madu,
Mete, Pinang, Lontar, Asam, Pala, Kelor, Sirih, Alpukat, Kayu Putih, Kutu Lak, dan
Kenari. Berdasarkan data BPS (2018) menunjukkan paling tidak 5 komoditi HHBK
Unggulan (Bambu, Asam, Madu, Jambu Mente dan Lontar) telah dikembangkan oleh
masyarakat Semau. Dengan demikian, pemanfatan kawasan hutan lindung melalui
kegiatan pemungutan HHBK mesti menjadi mainstream di Semau terutama potensi
hasil hutan kayu (HHK) dari ekosistem hutan dari berbagai riset menunjukkan hanya
kurang lebih 10%, sedangkan 90% diantaranya dalam bentuk HHBK (Riwu Kaho, dkk,
2018).

Tabel 3.18. Produksi Komoditi HHBK di Semau


Jenis HHBK Kecamatan Unit Produksi
Bambu Semau Selatan Batang 2500
Asam Semau Selatan Ton 1
Semau Selatan Liter 9000
Madu
Semau Liter 50
Semau Selatan Ton 12
Jambu Mente
Semau Ton 41
Lontar Semau Ton 1
Sumber : BPS (2018)

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 52


Gambar 3.24.
Peta Kawasan Hutan Semau

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 53


b. Usulan Model Pengelolaan Hutan di Semau
Berangkat dari kondisi factual status kawasan hutan di Semau yang dapat
digolongkan kedalam dua fungsi hutan yaitu hutan lindung dan hutan konservasi
(kawasan suaka alam/KSA) sebagaimana ditampilkan pada Tabel 3.17 diatas. Selain
itu, fakta lain menunjukkan bahwa tutupan lahan hutan (primer dan sekunder)
terbesar justru berada diluar kawasan hutan negara atau yang disebut sebagai hutan
hak (lihat pembahasan pada bagian Tutupan Lahan dan Perubahan Tutupan Lahan)
serta aktivitas masyarakat dalam memanfaatkan potensi sumberdaya alam dalam
bentuk hasil hutan kayu (HHK) dan hasil hutan bukan kayu (HHBK), baik dalam
kawasan hutan negara maupun hutan hak. Dengan demikian, model pengelolaan
hutan di Semau dapat ditampilkan pada Gambar 3.25 sebagai berikut.

Hutan Desa : Hak


Lembaga Pengelola Pengelolaan
Hutan Lindung &
Hutan Desa (LPHD) Hutan Desa
Produksi (HPHD)

Masyarakat sekitar
Hutan hutan dalam
Hutan Negara : Kemasyarakatan
Ijin Usaha Harus Sesuai
kelompok / Pemanfaatan Peta Indikatif
Lindung & (HKM) : Hutan gabungan HKm (IUPHKm) & Areal
Konservasi Lindung & Produksi kelompok Perhutanan
Sosial
(PIAPS)
(P.83/2016,
Perorangan (petani Psl 5, Ayat 1)
Hutan Tanaman hutan), kelompok
Rakyat (HTR) : IUP Hasil Hutan
tani hutan,
Kayu HTR
Hutan Produksi gabungan
Pengelolaan Hutan kelompok tani
(IUPHHK-HTR)

Berbasis hutan

Masyarakat : Kemitraan
Perhutanan Sosial Kehutanan : Hutan Masyarakat setempat
Perjanjian
Produksi, Lindung, (koperasi atau kelompok
Kerjasama
Konservasi tani); pengelola hutan Kemitraan
(KPH); Pemegang IUP

Private Forest/
Farm Forest

Hutan Hak
Sistem Hutan
Kerakyatan :
Mamar, dll
Masyarakat hukum
adat yang
SK Men-LHK
mengajukan
Hutan Adat pengakuan hutan
tentang Penetapan
Hutan Adat
adat kepada
Menteri LHK

Gambar 3.25.
Model Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
Pada Kawasan Hutan Negara dan Hutan Hak di Semau

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 54


Adapun bentuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Semau dilakukan dalam
skema perhutanan sosial (social forestry). Ini sesuai dengan Permen LHK P.83/2016
tentang Perhutanan Sosial yang mendefinisikan perhutanan sosial sebagai “sistem
pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan
hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hokum
adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan
lingkungan, dan dinamika sosial budaya dalam bentuk hutan desa, hutan
kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat dan kemitraan kehutanan”.
Jika lokasi hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat dan kemitraan
kehutanan berada didalam hutan negara, maka hutan ada berada pada hutan hak
(Firdaus, 2018). Suharti (2016) menambahkan pada hutan hak juga dapat dilakukan
pengelolaan hutan privat/hutan kebun serta sistem hutan kerakyatan.
Oleh karena di Semau hanya ditemukan 2 fungsi hutan, yaitu hutan lindung dan
konservasi, maka berdasarkan P.83/2016 bentuk pengelolaan hutan tanaman rakyat
(HTR) tidak dapat dilakukan pada kawasan hutan negara di Semau karena HTR hanya
dapat dilakukan pada hutan produksi dengan produknya adalah hasil hutan kayu
(HHK). Dengan demikian, di Semau hanya dapat diusulkan pengelolaan perhutanan
sosial pada kawasan hutan negara dalam bentuk hutan desa (HD), hutan
kemasyarakatan (HKm), dan kemitraan kehutanan dengan pengelola hutan yaitu dalam
hal ini adalah unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Kabupaten Kupang.
Akan tetapi, dalam P.83/2016 ayat 5, pasal (1) menegaskan bahwa pemberian hak
pengelolaan hutan desa (HPHD) dan ijin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan
(IUPHKm) harus berdasarkan pada Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial (PIAPS).
Namun, berdasarkan SK MenLHK No 744/2019 tentang PIAPS revisi III, hutan di
wilayah Semau tidak termasuk didalamnya. Hal ini berarti, minimal hingga 6 bulan
kedepan (Juli 2019), maka HD dan HKm di Semau tidak bisa dilakukan
pengusulannya. Ini pun dengan catatan bahwa dalam waktu dekat sudah ada
pengusulan melalui KPH/Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi NTT terkait
HD dan HKm di Semau. Dengan demikian, yang paling memungkinkan saat ini adalah
pengelolaan hutan negara melalui skema Kemitraan Kehutanan dengan KPHP Kab
Kupang.
Selain dalam kawasan hutan negara, maka bentuk pengelolaan hutan lain di Semau
adalah melalui pengelolaan hutan hak. Berdasarkan Permen-LHK No. P.32/2015

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 55


tentang Hutan Hak mendefinisikan hutan hak sebagai “hutan yang berada pada tanah
yang dibebani hak atas tanah” yang terdiri atas hutan adat dan hutan
perseorangan/badan hukum (hutan rakyat). Meski terbuka peluang untuk pengelolaan
hutan dengan skema hutan adat di Semau, akan tetapi sebelum ditetapkan hutan adat
melalui SK Menteri LHK, maka terlebih dahulu harus ada peraturan daerah (perda)
terkait masyarakat hukum adat dan wilayah adat yang merupakan hilir dari sejumlah
hal antara lain : harus ada peta wilayah adat yang clean-and-clear, dan tidak ada konflik
yang belum terselesaikan dengan pemilik izin atau pemangku hutan. Dalam konteks
Semau sesuai hasil studi awal Geng Motor Imut (GMI, tahun tidak diketahui) yang
menemukan ketidakjelasan penguasaan hutan marga, dimana ada saling klaim antar
tuan tanah dari marga-marga besar (Dae Lam Tua dan Kaka Ama) yang menyebabkan
minimnya pemeliharaan hutan di Semau. Dengan demikian, pengelolaan hutan
berbasis masyarakat di Semau yang paling masuk akal (reasonable) saat ini adalah
pengelolaan hutan pada hutan hak terutama pada hutan privat atau hutan kebun milik
masyarakat serta sistem hutan kerakyatan (jika ada) di Semau.

5. Kondisi Vegetasi dan Keanekaragaman Jenis Vegetasi Hutan


Untuk mengetahui kondisi vegetasi hutan, maka dilakukan pengambilan data
vegetasi pada setiap struktur yang dibagi menjadi 4 tingkat yaitu pohon, tiang, sapihan
dan semai pada 3 titik lokasi di Semau, yaitu di Uinao Timur, Tuadaen dan Ingubluan
(Gambar 3.26). Jika ditilik dari fungsi kawasan, maka pada lokasi Uinao Timur
merupakan hutan hak karena berada pada kawasan areal penggunaan lain (APL),
sedangkan pada lokasi Tuadaen dan Ingubluan berada pada kawasan hutan negara
dengan fungsi hutan lindung. Selain itu, pada lokasi Tuadaen ini merupakan salah satu
lokasi sentra lebah madu di Pulau Semau.
Data lapangan selanjutnya dianalisis nilai penting tiap jenis (indeks nilai penting
dan perbandingan nilai penting /summed dominance ratio) yang merupakan indeks
komposit dari variabel kerapatan, frekuensi dan dominansi (Indriyanto, 2006;
Kusmana, 2017).
Kerapatan (density) adalah jumlah individu suatu jenis tumbuhan dalam suatu
luasan tertentu, misalnya 100 individu/ha. Dengan demikian, makin banyak jumlah
individu suatu jenis ditemukan, maka nilai kerapatan jenis tersebut akan semakin
tinggi, dan sebaliknya.

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 56


Frekuensi suatu jenis tumbuhan adalah jumlah petak contoh dimana
ditemukannya jenis tersebut dari sejumlah petak contoh yang dibuat dan biasanya
dinyatakan dalam unit persentase. Misalnya jenis Kusambi ditemukan dalam 5 petak
contoh dari total 10 petak contoh, sehingga frekuensi jenis Kusambi tersebut adalah
5/10 x 100% = 50%. Kusamana (2017) menyatakan dalam penentuan frekuensi tidak
ada counting, tetapi hanya suatu perisalahan mengenai keberadaan suatu jenis saja.
Dengan demikian, frekuensi suatu jenis akan menunjukkan semakin sering suatu jenis
dapat ditemukan.
Dominansi adalah proporsi permukaan tanah yang ditutupi oleh proyeksi tajuk
tumbuhan (%) atau proyeksi basal areal (luas bidang dasar). Basal area ini merupakan
suatu luasan areal dekat permukaan tanah yang dikuasai oleh tumbuhan yang diukur
pada diameter setinggi dada (diameter breast height/dbh = 1,3 m dari permukaan
tanah). Dengan demikian, semakin tinggi nilai dominansi menunjukkan penguasaan
area oleh suatu jenis akan semakin tinggi.

Gambar 3.26.
Lokasi Analisis Vegetasi
a. Komposisi dan Struktur Vegetasi
 Lokasi Uinao Timur

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 57


Berdasarkan analisis nilai penting vegetasi (INP/SDR) menunjukkan bahwa di
hutan Uinao Timur umumnya vegetasi dengan nilai penting tertinggi yaitu jenis Kai
Bua (nama local setempat), baik di tingkat struktur pohon, tiang dan semai, meski pada
tingkat sapihan tidak ditemukan jenis ini. Jika ditilik lebih detail, pada tingkat pohon
dan tiang meski jenis Kai Bua memiliki nilai penting yang tertinggi, akan tetapi tidak
terlalu berbeda dibandingkan jenis Kola (nama local), Beringin (Ficus benjamina),
Faloak (Sterculia comosa), dan Kanunak (nama local). Begitu pula pada tingkat sapihan,
meski jenis Kai Bua dan Kai Mai (nama local setempat) memiliki nilai penting tertinggi,
akan tetapi tidak berbeda jauh dibandingkan dengan jenis tanaman lainnya. Hal ini
mengindikasikan bahwa tingkat kemerataan jenis (eveness) di hutan Uinao Timur
tergolong cukup baik (akan dibahas dibagian lain laporan ini).

(a) (b) (c)


Gambar 3.27. Pengambilan Data Vegetasi di Uinao Timur
(a) Pengukuran Diameter pohon Beringin, (b) Jenis Tumbuhan Dominan
(b) pada Strata Pohon, (c) Jenis Tumbuhan pada Lantai Hutan di Uinao Timur

Tabel 3.19. Komposisi dan Struktur Tingkat Pohon di Uinao Timur


No Nama Vegetasi K KR F FR D DR INP SDR
1 Kai Bua* 20 22.22 0.40 15.38 6.71 16.58 54.18 18.06
2 Kola* 15 16.67 0.40 15.38 7.12 17.59 49.65 16.55
3 Beringin Merah (Ficus benjamina) 5 5.56 0.40 15.38 10.93 27.01 47.95 15.98
4 Faloak (Sterculia comosa) 15 16.67 0.20 7.69 7.24 17.88 42.23 14.08
5 Kayu Sisi* 10 11.11 0.20 7.69 1.87 4.62 23.42 7.81
6 Kai Mae* 5 5.56 0.20 7.69 1.98 4.89 18.14 6.05
7 Soti* 5 5.56 0.20 7.69 1.66 4.10 17.34 5.78
8 Namon* 5 5.56 0.20 7.69 1.14 2.83 16.08 5.36
9 Kayu Merah (Caesalpinia sappan) 5 5.56 0.20 7.69 1.10 2.72 15.97 5.32
10 Hliu* 5 5.56 0.20 7.69 0.73 1.79 15.04 5.01
Tabel 3.20. Komposisi dan Struktur Tingkat Tiang di Uinao Timur
No Nama Vegetasi K KR F FR D DR INP SDR

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 58


1 Kai Bua* 70 41.18 0.60 23.08 2.40 30.25 94.50 31.50
2 Kanunak* 10 5.88 0.20 7.69 1.66 20.93 34.50 11.50
3 Soti* 20 11.76 0.40 15.38 0.43 5.43 32.58 10.86
4 Nun Lote* 10 5.88 0.20 7.69 0.91 11.43 25.01 8.34
5 Kola* 10 5.88 0.20 7.69 0.80 10.13 23.70 7.90
6 Hliu* 10 5.88 0.20 7.69 0.53 6.69 20.26 6.75
7 Pliu* 10 5.88 0.20 7.69 0.38 4.79 18.36 6.12
8 Siet* 10 5.88 0.20 7.69 0.31 3.96 17.53 5.84
9 Mai Mae* 10 5.88 0.20 7.69 0.25 3.20 16.78 5.59
10 Faloak (Sterculia comosa) 10 5.88 0.20 7.69 0.25 3.20 16.78 5.59

Tabel 3.21. Komposisi dan Struktur Tingkat Sapihan di Uinao Timur


No Nama Vegetasi K KR F FR INP SDR
1 Kai Mae* 340 40.48 0.60 17.65 58.12 29.06
2 Kleha* 120 14.29 0.60 17.65 31.93 15.97
3 Ngasi* 60 7.14 0.40 11.76 18.91 9.45
4 Namon* 60 7.14 0.40 11.76 18.91 9.45
5 Dapun* 40 4.76 0.40 11.76 16.53 8.26
6 Nunun* 60 7.14 0.20 5.88 13.03 6.51
7 Kola* 60 7.14 0.20 5.88 13.03 6.51
8 Bunga Kuning* 60 7.14 0.20 5.88 13.03 6.51
9 Katen* 20 2.38 0.20 5.88 8.26 4.13
10 Hliti* 20 2.38 0.20 5.88 8.26 4.13

Tabel 3.22. Komposisi dan Struktur Tingkat Semai di Uinao Timur


No Nama Vegetasi K KR F FR INP SDR
1 Kai Bua* 1800 25.00 0.40 9.52 34.52 17.26
2 Kai Mae* 1300 18.06 0.40 9.52 27.58 13.79
3 Kleha* 400 5.56 0.40 9.52 15.08 7.54
4 Plalat* 400 5.56 0.40 9.52 15.08 7.54
5 Katen* 400 5.56 0.40 9.52 15.08 7.54
6 Faloak (Sterculia comosa) 700 9.72 0.20 4.76 14.48 7.24
7 Aus Sehen* 700 9.72 0.20 4.76 14.48 7.24
8 Sirih Hutan (Piper caducibracteum C.DC) 300 4.17 0.20 4.76 8.93 4.46
9 Damar Merah (Agathis dammara) 300 4.17 0.20 4.76 8.93 4.46
10 Ngasi* 200 2.78 0.20 4.76 7.54 3.77
11 Blua Ulu* 200 2.78 0.20 4.76 7.54 3.77
12 Dapun* 100 1.39 0.20 4.76 6.15 3.08
13 Hliti* 100 1.39 0.20 4.76 6.15 3.08
14 Kai Mitang* 100 1.39 0.20 4.76 6.15 3.08
15 Maba Mitang* 100 1.39 0.20 4.76 6.15 3.08
16 Lole* 100 1.39 0.20 4.76 6.15 3.08
Ket : * = nama lokal

 Lokasi Tuadaen
Berdasarkan analisis nilai penting vegetasi (INP/SDR) menunjukkan bahwa di
hutan Tuadaen umumnya vegetasi dengan nilai penting tertinggi yaitu jenis Kusambi
(Schleichera oleosa) pada tingkat pohon dan tiang. Meski demikian, jenis ini tidak
ditemukan pada tingkat sapihan dan baru terlihat pada tingkat semai, namun dengan
nilai penting yang lebih rendah. Ini menandakan pada stratifikasi IV (semak tinggi) – VI
(pohon diatas tajuk), jenis Kusambi paling dominan di hutan Tuadaen. Akan tetapi,
berkurang drastis pada tingkat permudaan (sapihan dan semai). Ini mengindikasikan

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 59


pola permudaan atau suksesi vegetasi yang tergolong buruk yang diduga disebabkan
gangguan (disturbance) terhadap ekosistem yang terjadi secara kontinu. Indriyanto
(2006) menyatakan bahwa kemungkinan terjadinya retrogresi vegetasi akan semakin
meningkat seiring dengan kontinuitas gangguan terhadap ekosistem tersebut. Pada
lokasi Tuadaen juga ditemukan jenis Hliu (nama local) yang menjadi pohon sarang
lebah. Meski demikian, nilai penting jenis Hliu tergolong sangat rendah pada tingkat
pohon dan tiang dan bahkan pada tingkat sapihan dan semai tidak ditemukan jenis
Hliu dalam petak ukur pengamatan.

(a) (b)
Gambar 3.28. Pengambilan Data Vegetasi di Tuadaen :
(a) Pohon Hliu sebagai Sarang Lebah Madu, dan
(b) Pengukuran Diameter Jenis Kusambi di Tuadaen

Tabel 3.23. Komposisi dan Struktur Tingkat Pohon di Tuadaen


No Nama Vegetasi K KR F FR D DR INP SDR
1 Kusambi (Schleichera oleosa) 50 50 0.80 28.57 11.73 53.62 132.19 44.06
2 Kayu Merah (Caesalpinia sappan) 10 10 0.40 14.29 2.37 10.86 35.14 11.71
3 Kula* 10 10 0.40 14.29 1.73 7.91 32.20 10.73
4 Beringin Merah (Ficus benjamina) 5 5 0.20 7.14 1.41 6.46 18.60 6.20
5 Biul Tasi* 5 5 0.20 7.14 1.14 5.23 17.38 5.79
6 Kapuk Hutan ( Bombax malabaricum) 5 5 0.20 7.14 0.98 4.49 16.63 5.54
7 Hliu* 5 5 0.20 7.14 0.98 4.49 16.63 5.54
8 Tuak (Borassus flabellifer) 5 5 0.20 7.14 0.76 3.47 15.62 5.21
9 Bloa* 5 5 0.20 7.14 0.76 3.47 15.62 5.21

Tabel 3.24. Komposisi dan Struktur Tingkat Tiang di Tuadaen


No Nama Vegetasi K KR F FR D DR INP SDR
1 Kusambi (Schleichera oleosa) 80 40 0.6 21.43 3.19 38.68 100.11 33.37
2 Mulin* 20 10 0.4 14.29 1.43 17.31 41.59 13.86
3 Bilu* 20 10 0.4 14.29 1.24 15.00 39.29 13.10
4 Biul Tasi* 20 10 0.2 7.14 0.40 4.81 21.95 7.32
5 Hliu* 10 5 0.2 7.14 0.49 5.95 18.09 6.03
6 Ael Boa* 10 5 0.2 7.14 0.42 5.04 17.18 5.73
7 Kai Bua* 10 5 0.2 7.14 0.38 4.61 16.75 5.58
8 Kai Siat* 10 5 0.2 7.14 0.31 3.81 15.95 5.32
9 Hotoboa* 10 5 0.2 7.14 0.28 3.44 15.58 5.19
10 Biul Samu* 10 5 0.2 7.14 0.11 1.37 13.51 4.50

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 60


Tabel 3.25. Komposisi dan Struktur Tingkat Sapihan di Tuadaen
No Nama Vegetasi K KR F FR INP SDR
1 Gamal (Gliricidia sepium) 140 20 0.4 11.76 31.76 15.88
2 Ngasi* 80 11.43 0.6 17.65 29.08 14.54
3 Plalat* 120 17.14 0.4 11.76 28.91 14.45
4 Kai Mae* 60 8.571 0.4 11.76 20.34 10.17
5 Kai Bung Mea* 60 8.571 0.2 5.88 14.45 7.23
6 Buil Dae* 60 8.571 0.2 5.88 14.45 7.23
7 Dala* 40 5.714 0.2 5.88 11.60 5.80
8 Maba* 40 5.714 0.2 5.88 11.60 5.80
9 Ihae Pua* 40 5.714 0.2 5.88 11.60 5.80
10 Anonak (Annona squamosa) 20 2.857 0.2 5.88 8.74 4.37
11 Namon* 20 2.857 0.2 5.88 8.74 4.37
12 Klengo* 20 2.857 0.2 5.88 8.74 4.37

Tabel 3.26. Komposisi dan Struktur Tingkat Semai di Tuadaen


No Nama Vegetasi K KR F FR INP SDR
1 Kai Mae* 800 21.05 0.80 12.50 33.55 16.78
2 Plalat* 500 13.16 0.60 9.38 22.53 11.27
3 Biul Daen* 400 10.53 0.40 6.25 16.78 8.39
4 Kusambi (Schleichera oleosa) 450 11.84 0.20 3.13 14.97 7.48
5 Klengo* 150 3.95 0.40 6.25 10.20 5.10
6 Fau Siku* 100 2.63 0.40 6.25 8.88 4.44
7 Buhun* 100 2.63 0.40 6.25 8.88 4.44
8 Ubi Hutan (Dioscorea hispida) 200 5.26 0.20 3.13 8.39 4.19
9 Maba* 150 3.95 0.20 3.13 7.07 3.54
10 Lhiti* 100 2.63 0.20 3.13 5.76 2.88
11 Bunga Putih (Chromolaena odorata) 100 2.63 0.20 3.13 5.76 2.88
12 Kai Suki* 100 2.63 0.20 3.13 5.76 2.88
13 Kai Bua* 100 2.63 0.20 3.13 5.76 2.88
14 Ius Butai* 100 2.63 0.20 3.13 5.76 2.88
15 Nunun* 50 1.32 0.20 3.13 4.44 2.22
16 Un Bukun* 50 1.32 0.20 3.13 4.44 2.22
17 Bloa* 50 1.32 0.20 3.13 4.44 2.22
18 Duil Matikun* 50 1.32 0.20 3.13 4.44 2.22
19 Liuk Lian* 50 1.32 0.20 3.13 4.44 2.22
20 Kai Blaho 50 1.32 0.20 3.13 4.44 2.22
21 Klamsi* 50 1.32 0.20 3.13 4.44 2.22
22 Ut Bing* 50 1.32 0.20 3.13 4.44 2.22
23 Tail Tua* 50 1.32 0.20 3.13 4.44 2.22
Ket : * = nama local
** = jenis pohon sarang lebah madu

 Lokasi Ingubluan
Berdasarkan analisis nilai penting vegetasi (INP/SDR) menunjukkan bahwa di
hutan Ingubluan memiliki jenis vegetasi dengan nilai penting yang tertinggi yang
beragam pada setiap struktur vegetasinya. Pada tingkat pohon didominasi oleh
Beringin Merah (Ficus benjamina), jenis Ngasi (nama local) pada tingkat tiang, jenis Ut
Bing 2 pada tingkat sapihan (disebut sebagai Ut Bing 2 dalam nama local karena daun
jenis ini biasanya dijadikan sayur dan dapat dipetik lagi setelah 2 hari setelah dipanen
pertama kali atau sayur 2 hari), dan Kai Mae (nama local) pada tingkat semai.

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 61


Pada lokasi Ingubluan ini juga menjadi salah satu sentra lebah madu di Pulau
Semau dengan jenis Hliu (nama local) yang menjadi pohon sarang lebah. Jika ditilik
lebih detail, bahwa meski bukan merupakan jenis vegetasi paling dominan, namun
pada tingkat pohon dan tiang jenis ini tidak terlalu berbeda jauh dibandingkan jenis
paling dominan. Ini menandakan pada stratifikasi IV (semak tinggi) – VI (pohon diatas
tajuk), jenis Hliu cukup dominan. Akan tetapi, pada tingkat sapihan dan semai tidak
ditemukan jenis Hliu dalam petak ukur pengamatan. Ini mengindikasikan pola
permudaan atau suksesi vegetasi yang tergolong buruk yang diduga disebabkan
gangguan (disturbance) terhadap ekosistem yang terjadi secara kontinu. Indriyanto
(2006) menyatakan bahwa kemungkinan terjadinya retrogresi vegetasi akan semakin
meningkat seiring dengan kontinuitas gangguan terhadap ekosistem tersebut.
Diduga hal tersebut, sedikit atau banyak, dipengaruhi status lahan sebagai
kawasan “hutan pemerintah” atau hutan negara dengan status hutan lindung secara
de jure, namun dalam praktek secara de facto telah digunakan oleh masyarakat sebagai
kawasan pemukiman dan area budidaya atau pertanian. Dengan demikian, diperlukan
upaya pengelolaan hutan secara berkelanjutan yang disesesuaikan dengan fungsi
kawasan hutan sebagai hutan lindung. Praktek pemanenan lebah madu sebenarnya
merupakan praktek pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang cocok jika
ditilik dengan regulasi dan aturan legal formal pengelolaan hutan lindung. Dengan
demikian, upaya rehabilitasi hutan di Ingubluan perlu untuk mempertimbangkan
jenis-jenis tanaman local termasuk Hliu sebagai pohon sarang lebah madu sebagai
potensi HHBK yang ada pada lokasi ini.

Tabel 3.27. Komposisi dan Struktur Tingkat Pohon di Ingubluan


No Nama Vegetasi K KR F FR D DR INP SDR
1 Beringin Merah (Ficus benjamina) 5 6.67 0.2 8.33 12.30 46.36 61.36 20.45
2 Hliu** 15 20 0.6 25.00 2.95 11.12 56.12 18.71
3 Kula* 15 20 0.4 16.67 2.84 10.71 47.38 15.79
4 Kusambi (Schleichera oleosa) 10 13.33 0.4 16.67 2.75 10.38 40.38 13.46
5 Kai Buin* 15 20 0.2 8.33 2.18 8.23 36.56 12.19
6 Kayu Merah (Caesalpinia sappan) 5 6.67 0.2 8.33 1.41 5.33 20.33 6.78
7 Kapuk Hutan ( Bombax malabaricum) 5 6.67 0.2 8.33 1.14 4.32 19.32 6.44
8 Buhun* 5 6.67 0.2 8.33 0.94 3.55 18.55 6.18

Tabel 3.28. Komposisi dan Struktur Tingkat Tiang di Ingubluan


No Nama Vegetasi K KR F FR D DR INP SDR
1 Ngasi* 60 21.4 0.8 22.2 1.1 13.7 57.3 19.1
2 Hliu** 70 25.0 0.6 16.7 1.0 13.1 54.8 18.3
3 Kula* 30 10.7 0.2 5.6 2.6 33.3 49.6 16.5
4 Kai Mae* 30 10.7 0.2 5.6 0.4 4.9 21.2 7.1
5 Kai Blaho* 20 7.1 0.4 11.1 0.2 2.2 20.5 6.8
6 Kai Buin* 10 3.6 0.2 5.6 0.7 9.1 18.2 6.1

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 62


7 Kai Bua* 10 3.6 0.2 5.6 0.6 7.3 16.5 5.5
8 Kai Angin* 10 3.6 0.2 5.6 0.6 7.3 16.5 5.5
9 Naen* 10 3.6 0.2 5.6 0.3 4.0 13.2 4.4
10 Namon* 10 3.6 0.2 5.6 0.2 2.3 11.4 3.8
11 Klais* 10 3.6 0.2 5.6 0.1 1.5 10.6 3.5
12 Ut Manu* 10 3.6 0.2 5.6 0.1 1.2 10.3 3.4

Tabel 3.29. Komposisi dan Struktur Tingkat Sapihan di Ingubluan


No Nama Vegetasi K KR F FR INP SDR
1 Ut Bing 2* 280 34.15 0.8 36.36 70.51 35.25
2 Ihae* 220 26.83 0.6 27.27 54.10 27.05
3 Kai Mae* 160 19.51 0.4 18.18 37.69 18.85
4 Kleha* 100 12.2 0.2 9.09 21.29 10.64
5 Ngasi* 60 7.317 0.2 9.09 16.41 8.20

Tabel 3.30. Komposisi dan Struktur Tingkat Semai di Ingubluan


No Nama Vegetasi K KR F FR INP SDR
1 Kai Mae* 750 20.55 0.4 14.29 34.83 17.42
2 Lamtoro (Leucaena leucocephala) 1000 27.40 0.2 7.14 34.54 17.27
3 Aus Sehen* 500 13.70 0.2 7.14 20.84 10.42
4 Rumput Bambu (Lophatherum gracile) 350 9.59 0.2 7.14 16.73 8.37
5 Bunga Putih (Chromolaena odorata) 200 5.48 0.2 7.14 12.62 6.31
6 Fau Sekut* 200 5.48 0.2 7.14 12.62 6.31
7 Kleha* 200 5.48 0.2 7.14 12.62 6.31
8 Aus Sehen* 150 4.11 0.2 7.14 11.25 5.63
9 Karbiti* 100 2.74 0.2 7.14 9.88 4.94
10 Kai Bua* 50 1.37 0.2 7.14 8.51 4.26
11 Plalat* 50 1.37 0.2 7.14 8.51 4.26
12 Klais* 50 1.37 0.2 7.14 8.51 4.26
13 Buitai* 50 1.37 0.2 7.14 8.51 4.26
Ket : * = nama local
** = jenis pohon sarang lebah madu

b. Komparasi Tingkat Kekayaan, Kemerataan, Keragaman dan Kesamaan Jenis


Antar Lokasi
Berdasarkan hasil analisis vegetasi pada ketiga lokasi sampel, maka ditemukan 70
jenis vegetasi (taxa) pada seluruh tingkat vegetasi (pohon, tiang, sapihan dan semai)
secara keseluruhan. Dimana 30 jenis vegetasi ditemukan di lokasi Uinao Timur, 43
jenis vegetasi di Tuadaen dan 28 jenis vegetasi di Ingubluan. Jika ditilik per tingkat
vegetasi, maka terdapat pola makin banyak jumlah spesies/jenis yang ditemukan akan
berbanding positif dengan jumlah individu. Hal ini diperkuat dengan hasil korelasi
parametric (Pearson) antara jumlah spesies dan jumlah individu yang menunjukkan
terdapat korelasi positif yang tergolong kuat dan sangat signifikan (r = 0,71, p-value <
0.01). Selain itu, juga terdapat kecenderungan (trend), semakin bergerak kearah
vegetasi beta (sapihan dan semai), maka jumlah jenis dan jumlah individu, akan
semakin meningkat, dan sebaliknya.
Banilodu (2003) menyatakan bahwa stratifikasi jumlah individu jenis menurut kelas
regenerasi pada suatu komunitas alami yaitu tingkat semaian dengan jumlah

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 63


terbanyak dan kemudian diikuti semakin menurun ke tingkat sapihan, tiang dan
pohon. Jika dibandingkan dengan hasil yang diperoleh, maka dapat dikatakan bahwa
pola regenerasi di 3 lokasi sampel hutan Semau masih menyerupai pola regenerasi di
komunitas vegetasi alami. Atau dengan kata lain, hutan di Semau masih tergolong
alami (natural) dengan pola suksesi dan regenerasi yang masih tergolong baik.

Tabel 3.31. Jumlah Jenis dan Individu per Tingkat Struktur Vegetasi
Tingkat Lokasi Jumlah Spesies Jumlah Individu
Uinao Timur 10 18
Pohon

Tuadaen 9 20
Ingubluan 8 15
Rerata 9 17.67
Uinao Timur 10 17
Tiang

Tuadaen 10 20
Ingubluan 12 28
Rerata 10.67 21.67
Uinao Timur 10 42
Sapihan

Tuadaen 12 35
Ingubluan 5 41
Rerata 9 39.33
Uinao Timur 16 72
Semai

Tuadaen 23 76
Ingubluan 13 73
Rerata 17.33 73.67

80 Jumlah Spesies
Jumlah Individu
76
70 Trend Jumlah Spesies 72 73
Tren Jumlah Individu y = 5.8986x - 0.2576
60 R² = 0.8324

50

40 42 41

35
30
28 y = 0.6783x + 7.0909
20 R² = 0.2924
20 20
18 17
15 23
10
16
12 12 13
10 9 8 10 10 10
5
0
Uinao Tuadaen Ingubluan Uinao Tuadaen Ingubluan Uinao Tuadaen Ingubluan Uinao Tuadaen Ingubluan
Timur Timur Timur Timur
Pohon Tiang Sapihan Semai

Gambar 3.29.
Tren Jumlah Spesies dan Individu vegetasi pada Lokasi Sampel

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 64


Jika ditilik dari kesamaan jenis vegetasi antar lokasi sampel menggunakan
indeks kesamaan Jaccard yang akan menunjukkan nilai kesamaan spesies penyusun
komunitas pada suatu lokasi dengan lokasi lainnya. Dimana makin mendekati 0
menunjukkan penyusun kedua komunitas tersebut tidak sama, dan sebaliknya makin
mendekati 100% menunjukkan penyusun kedua komunitas tersebut sama. Hasil
analisis (Tabel 3,32) menunjukkan bahwa tingkat kesamaan komunitas vegetasi antar
lokasi tergolong rendah yaitu berkisar antara 13% - 17 %.

Tabel 3.32. Indeks Kesamaan Jaccard Jenis Vegetasi Antar Lokasi


Oenao Timur Tuadaen Ingubluan
Oenao Timur 13 % 16 %
Tuadaen 13 % 17 %
Ingubluan 16 % 17 %

Hasil diatas mengindikasikan bahwa tiap lokasi hutan di Semau sangat spesifik
atau tidak sama dalam hal lingkungan penyusunnya serta bentuk-bentuk pengelolaan-
nya. Bahkan komunitas hutan yang berdekatan yaitu hutan Ingubluan dan hutan
Tuadaen yang notabene berada dalam satu kawasan hutan yang sama, indeks
kesamaan jenis hanya 17%. Diduga hal ini disebabkan karena adanya variasi kondisi
lingkungan, baik secara fisik, kimia maupun interaksinya dengan sejumlah factor
biotik (hayati) termasuk manusia yang memungkinkan keragaman jenis vegetasi antar
lokasi hutan di Semau.
Meski kesamaan jenis dalam komunitas vegetasi tergolong rendah, akan tetapi
terdapat 9 jenis vegetasi yang ditemukan berada pada 3 lokasi hutan sekaligus. Ke-9
jenis tersebut yaitu Beringin Merah (Ficus benjamina), Hliu, Kai Bua, Kai Mae, Kayu
Merah (Caesalpinia sappan), Kola, Namon dan Ngasi. Diduga ke-9 jenis ini memiliki
spectrum toleransi ekologi yang luas sehingga mampu beradaptasi pada ketiga lokasi
sampel hutan di Semau. Khusus jenis Hliu yang menjadi pohon sarang lebah madu
menunjukkan bahwa potensi budidaya lebah madu dengan menggunakan jenis Hliu
juga dapat dilakukan pada kedua lokasi lainnya diluar lokasi Ingubluan. Selain itu, ke-
9 jenis tumbuhan ini juga direkomendasikan sebagai tanaman penghijauan serta
rehabilitasi hutan dan lahan di Semau karena diduga akan lebih mampu beradaptasi
dan toleran terhadap kondisi lingkungan hutan.
Jika ditilik dari indeks kemerataan Simpson yang menunjukkan tingkat
kemerataan antar jenis dalam suatu komunitas vegetasi, maka menunjukkan bahwa

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 65


tingkat kemerataan jenis pada 3 lokasi penelitian, baik pada tingkat pohon, tiang,
sapihan dan semai, tergolong hampir sama. Sedangkan perbedaan yang paling jelas
terlihat adalah pada tingkat kekayaan jenis berdasarkan Indeks Margalef. Jika ditilik
dari kekayaan jenis yang ditentukan dari banyaknya jumlah jenis yang ditemukan
dalam suatu komunitas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kekayaan jenis antar
lokasi serta antar tingkatan struktur vegetasi. Jika ditilik per struktur vegetasi, maka
pada tingkat semai cenderung memiliki tingkat kekayaan jenis yang lebih tinggi
dibandingkan tingkat struktur vegetasi yang lain. Jika ditilik per lokasi, maka pada
lokasi Ingubluan, kecuali pada tingkat tiang, cenderung memiliki tingkat kekayaan
jenis yang lebih rendah dibandingkan kedua lokasi lainnya.

Tabel 3.33. Indeks Kemerataan, Kekayaan Jenis dan Keragaman Antar Lokasi
Pohon Tiang Sapihan Semai
Indikator Uinao Tuad Ingubl Uinao Tuad Ingubl Uinao Tuad Ingubl Uinao Tuad Ingubl
Timur aen uan Timur aen uan Timur aen uan Timur aen uan
Jumlah Jenis 10.0 9.0 8.0 10.0 10.0 12.0 10.0 12.0 5.0 16.0 23.0 13.0
Jumlah
18.0 20.0 15.0 17.0 20.0 28.0 42.0 35.0 41.0 72.0 76.0 73.0
Individu
Index
Kemerataan 0.9 0.7 0.8 0.8 0.8 0.9 0.8 0.9 0.8 0.9 0.9 0.8
Simpson
Index
Kekayaan
3.1 2.7 2.6 3.2 3.0 3.3 2.4 3.1 1.1 3.5 5.1 2.8
Jenis
Margalef
Index
Keragaman 2.1 1.7 2.0 2.0 2.0 2.2 1.9 2.3 1.5 2.4 2.7 2.1
Shannon

Hasil analisis keragamanhayati antar lokasi berdasarkan indeks Shannon-


Winner menunjukkan tingkat keanekaragaman komunitas tumbuhan pada ketiga
lokasi pada umumnya tergolong sedang, kecuali pada tingkat struktur semai di
Tuadaen yang tergolong memiliki keragaman jenis yang tinggi. Jika ditilik lebih
mendalam, Indeks Shannon-Winner merupakan suatu indeks komposit yang
mengombinasikan 2 hal sekaligus yaitu (1) kekayaan spesies (species richness), dan (2)
kemerataan spesies (species evenees). Dengan demikian maka dapat diduga pada
umumnya bahwa jumlah dan kemerataan spesies pada ketiga lokasi hutan di Semau
tergolong melimpah sedang pada semua struktur vegetasi. Atau dengan kata lain, jenis
tumbuhan pada ketiga lokasi tergolong cukup melimpah dan cukup merata.
Keragaman ini penting untuk memastikan keberlanjutan hutan dan sekaligus
mengindikasikan tingkat kestabilan ekosistem. Selain itu, berdasarkan hasil
wawancara dengan tokoh masyarakat sekitar lokasi pengambilan data ditemukan

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 66


bahwa beberapa jenis tumbuhan di hutan memiliki berbagai kegunaan, mulai dari
sebagai obat-obatan tradisional, sebagai penanda berakhirnya musim hujan, dapat
dimakan sebagai sayur maupun sebagai sumber air di hutan.

Tabel 3.34. Kegunaan Beberapa Jenis Tumbuhan di Hutan


No Jenis Jenis Penggunaan bagi Masyarakat*)
1 Biul Daen Obat racun
2 Bloa Ketika menjelang berbunga merupakan pertanda hujan berhenti
3 Dala Kulit batang sebagai obat BAB darah (direndam di Laru / Moke)
Faloak (Sterculia
4 Sebagai obat hepatitis
comosa)
5 Hliu Daun sebagai obat malaria dan sebagai pohon sarang lebah
6 Kanunak Daun sebagai obat gatal-gatal
7 Katen Air dari batang dapat diminum langsung
8 Kayu Sisi kulit batang sebagai obat Ambeien
Pucuk sebagai antidot racun ular hijau (dicampur dengan
9 Kleha
tembakau muda)
10 Maba Obat luka
11 Soti Daun sebagai obat racun
12 Ut Bing 2 Dapat dimakan sebagai Sayur
*) hasil wawancara dengan tokoh masyarakat disekitar lokasi pengambilan data

6. Tutupan Lahan dan Perubahan Tutupan Lahan


a. Analisis Tutupan Lahan
Hasil analisis tutupan lahan (land cover) dari citra Landsat 8 tahun 2018 yang
diklasifikasikan secara terbimbing (supervised classification) menunjukkan paling tidak
terdapat 7 jenis tutupan lahan yang bisa diidentifikasi di Pulau Semau yaitu hutan
lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder (terganggu), lahan
pertanian/pemukiman, semak belukar/ lahan pertanian, hutan mangrove, tanah
terbuka dan tubuh air yang disesuaikan dengan jenis tutupan lahan hasil pengamatan
lapangan serta pedoman jenis tutupan lahan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG).
Tutupan lahan hutan lahan kering primer merupakan tutupan lahan hutan dengan
tingkat kepadatan vegetasi yang tinggi (dense), sebaliknya tutupan lahan kering
sekunder adalah tutupan lahan hutan dengan tingkat kepadatan sedang. Tingkat
kepadatan akan di-segmentasi dari citra satelit berdasarkan nilai spectral signature.
Sedangkan tutupan lahan lahan pertanian hasil pengamatan lapangan dapat ditemui
di dekat pemukiman sebagai kebun di pekarangan (Gambar 3.30) serta semak belukar.
Semak belukar (shrubland/bushland) dapat diestimasi dari tingkat kepadatan vegetasi
yang rendah dan diduga akan dimanfaatkan sebagai lahan budidaya pada saat musim
hujan (Gambar 3.31). Biasanya lahan semak belukar/lahan pertanian relative jauh dari

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 67


pemukiman warga. Sedangkan tanah terbuka akan merepresentasikan lahan
terbuka/pantai/pemukiman atau penutupan vegetasi dengan kepadatan yang sangat
rendah (rumput). Tutupan lahan tubuh air akan merujuk pada segala karakteristik
spectral dari tubuh air seperti embung, danau/waduk, dan sebagainya.

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 68


Gambar 3.30.
Peta Orthomosaic Hasil Foto Udara
Tutupan Lahan Pertanian/Pemukiman di Desa Hansisi (Dusun 1)

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 69


Gambar 3.31.
Peta Orthomosaic Hasil Foto Udara
Tutupan Lahan Semak Belukar/Lahan Pertanian di Desa Batuinan

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 70


Jika ditilik per jenis tutupan lahan, maka tutupan lahan lahan kering/semak
belukar merupakan jenis tutupan lahan terluas (10.950 ha) dan sebaliknya tutupan
lahan terkecil adalah hutan mangrove (51 ha) di Pulau Semau. Selain itu, hasil uji
akurasi pemetaan tahun 2018 yang dibandingkan dengan 20 titik ground truth (tahun
2019) diperoleh akurasi keseluruhan (overall accuracy) sebesar 90% yang tergolong
memiliki tingkat akurasi yang tinggi.

Tabel 3.35. Luas Tutupan Lahan Per Wilayah Administrasi


Luas Tutupan Lahan (Ha)
Wilayah Hutan Lahan Lahan Semak Belukar
Hutan Lahan Tanah Tubuh
Administrasi Kering Sekunder Pertanian / / Lahan Mangrove
Kering Primer Terbuka Air
Terganggu Pemukiman Pertanian
Semau 368 3,896 1,642 5,850 30 373 321
Batuinan 4 77 76 333 4 11
Bokonusan 67 1,097 345 988 7 158 83
Hansisi 58 326 234 707 11 39
Huilelot 90 629 117 959 4 5 45
Letbaun 25 523 67 580 48 8
Otan 10 191 206 470 73 19
Uiasa 90 793 356 1,078 65 49
Uitao 25 260 241 735 19 9 66
Semau Selatan 346 1,972 1,625 5,095 20 122 766
Akle 69 323 478 1,078 9 12 89
Naikean 8 91 250 1,313 1 29 44
Onansila 62 542 69 240 6 6 81
Uiboa 77 508 299 1,095 23 47
Uitiuh Ana 101 310 276 654 1 4 341
Uitiuh Tuan 30 198 254 714 2 48 164
Grand Total 714 5,863 3,280 10,950 51 496 1,120

Hasil analisis tutupan lahan juga menunjukkan bahwa luas tutupan hutan lahan
kering primer hampir sama antar kedua kecamatan. Pola yang serupa juga ditemukan
untuk tutupan lahan pertanian/pemukiman, lahan pertanian/semak belukar,
mangrove, dan tanah terbuka. Sedangkan tutupan hutan lahan kering sekunder
terluas berada di Kec. Semau (luas 3.896 ha) dan tutupan tubuh air lebih dominan
berada di Kec. Semau Selatan (766 ha). Hal ini mengindikasikan bahwa kegiatan
budidaya dengan basis pertanian (dalam arti luas) yang ditandai dari lahan pertanian
yang berimbang cenderung dipraktekkan oleh sebagian besar masyarakat pada 2
wilayah kecamatan di Semau.

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 71


Gambar 3.32.
Peta Tutupan Lahan Pulau Semau

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 72


Hal lain yang menarik untuk dicermati adalah jika di tumpang-susun (overlay)
antara tutupan lahan dan fungsi kawasan hutan, maka baik tutupan hutan lahan
kering primer dan hutan lahan kering sekunder, justru lebih banyak berada pada area
non kawasan hutan (areal penggunaan lain-APL) atau hutan hak milik masyarakat. Hal
ini menunjukkan bahwa ruang pengelolaan hutan oleh masyarakat di Semau
sebenarnya masih terbuka luas terutama pada hutan hak.

Tabel 3.36. Luas Tutupan Lahan dalam Kawasan Hutan


Luas Tutupan Lahan (Ha)
Jenis Tutupan Lahan
APL HL SM Total
Hutan Lahan Kering Primer 372 338 4 714
Hutan Lahan Kering Sekunder 3,694 2,038 138 5,870
Lahan Pertanian/Pemukiman 2,531 688 28 3,248
Lahan Pertanian/Semak Belukar 7,686 3,154 103 10,943
Mangrove 37 2 5 44
Tanah Terbuka 413 45 0.3 458
Tubuh Air 744 137 173 1,054

Gambar 3.33.
Kegiatan Budidaya dalam Kawasan Hutan

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 73


Selain itu, dalam kawasan hutan (APL maupun SM), juga ditemukan terdapat
tutupan lahan pertanian/pemukiman serta lahan pertanian/semak belukar. Dalam
pengamatan lapangan di beberapa titik kawasan hutan lindung banyak yang
digunakan sebagai kebun/ladang jagung, area pemukiman dan bahkan rumah ibadah.
Dan, menurut masyarakat yang ditemui saat studi lapangan menyatakan tidak
mengetahui area kebun/ladang mereka berada dalam kawasan hutan. Dan bahkan,
telah menggunakan area tersebut sejak lama sebagai area budidaya.

b. Perubahan Tutupan Lahan


Hasil analisis perubahan tutupan lahan (land cover changes) di Semau dengan
menggunakan citra Landsat multi-temporal selama 30 tahun terakhir (tahun 1989,
tahun 1997, tahun 2006 dan tahun 2018) menunjukkan telah terjadi perubahan
tutupan lahan di Pulau Semau. Tutupan lahan hutan lahan kering primer yang
dicirikan dari tutupan hutan yang padat (dense) telah berkurang seluas 560 ha atau
44% jika dibandingkan kondisi tahun 1989 dan 2018. Tren serupa juga ditemukan
pada jenis tutupan hutan lahan kering sekunder berkurang seluas 3.311 ha (36%),
hutan mangrove berkurang seluas 47 ha (48%), dan tanah terbuka seluas 579 ha (54%).
Meski demikian, tren sebaliknya terjadi pada tutupan lahan pertanian/pemukiman
yang meningkat seluas 2.647 ha, lahan pertanian/semak belukar seluas 964 ha dan
tubuh air yang juga meningkat seluas 916 ha dari kondisi tahun 1989 dibandingkan
dengan kondisi terkini (tahun 2018).

Tabel 3.37. Perubahan Luas Tutupan Lahan Multi-Temporal


Luas Tutupan Lahan (Ha)
Tutupan Lahan
Tahun 1989 Tahun 1997 Tahun 2006 Tahun 2018
Hutan Lahan Kering Primer 1,274 1,913 1,035 714
Hutan Lahan Kering Sekunder 9,174 9,464 7,567 5,863
Lahan Pertanian/Pemukiman 633 347 2,486 3,280
Lahan Pertanian/Semak Belukar 9,986 10,077 10,762 10,950
Mangrove 98 79 80 51
Tanah Terbuka 1,075 307 280 496
Tubuh Air 204 300 222 1,120

Hasil ini mengindikasikan bahwa telah terjadi konversi /perubahan tutupan lahan
hutan, baik hutan primer maupun sekunder, selama 30 tahun terakhir di Semau yang
diduga kemudian digunakan sebagai lahan-lahan budidaya, baik untuk pertanian,
pemukiman atau area terbangun lainnya. Hal ini juga diindikasikan oleh perubahan

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 74


tutupan tanah terbuka yang makin sedikit dan tubuh air yang makin luas yang
mengindikasikan bahwa lahan-lahan tidur di Semau banyak yang sudah digunakan
untuk kegiatan budidaya seiring dengan penambahan luas tubuh air dalam bentuk
embung-embung. Akan tetapi, Semau sebagai Pulau Kecil, maka terdapat peran
penting dari hutan mangrove, akan tetapi dari data diatas menunjukkan tutupan hutan
mangrove yang makin berkurang dari waktu ke waktu.

Hutan Lahan Kering Primer Hutan Lahan Kering Sekunder


Lahan Pertanian/Pemukiman Lahan Pertanian/Semak Belukar
Linear (Hutan Lahan Kering Primer) Linear (Hutan Lahan Kering Sekunder)
Linear (Lahan Pertanian/Pemukiman) Linear (Lahan Pertanian/Semak Belukar)

12000 y = 357.59x + 9549.8


R² = 0.9116

10000

8000
y = -1182.9x + 10974
R² = 0.8457
Luas (Ha)

6000

4000 y = 1008.2x - 833.85


R² = 0.8353

2000 y = -255.73x + 1873.2


R² = 0.4236

0
Tahun 1989 Tahun 1997 Tahun 2006 Tahun 2018
Tutupan Lahan

Gambar 3.34.
Tren Perubahan Luas Tutupan Lahan di Semau

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 75


Gambar 3.35.
Tutupan Lahan Semau Tahun 1989

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 76


Gambar 3.36.
Tutupan Lahan Semau Tahun 1989

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 77


Gambar 3.37.
Tutupan Lahan Semau Tahun 2006

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 78


Hasil analisis pola perubahan tutupan lahan dengan menggunakan confusion matrix
yang merupakan perbandingan antara grid tutupan lahan tahun 1989 sebagai kondisi
awal (initial state) dan grid tutupan lahan tahun 2018 sebagai kondisi akhir (final state)
dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Hanya 71,6 ha tutupan lahan hutan primer pada tahun 1989 yang tetap menjadi
tutupan lahan hutan primer pada tahun 2018. Desa Uitiuh Ana (Kec. Semau
Selatan) dengan luas 14 ha serta Desa Hansisi (10,5 ha) dan Desa Huilelot (10,4 ha)
merupakan 3 desa di Semau dengan luas tutupan hutan primer yang masih tetap
sama dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Dalam kurun waktu yang sama,
sebagian besar tutupan lahan hutan primer kemudian makin berkurang tingkat
kepadatannya sehingga menjadi tutupan lahan hutan sekunder seluas 134,5 ha
dan semak belukar seluas 90,1 ha. Perubahan tutupan lahan hutan primer menjadi
sekunder terutama dapat terlihat pada Desa Uiboa (34 ha) dan Desa Akle (20,3 ha)
pada Kec. Semau Selatan. Di saat yang sama, perubahan tutupan lahan hutan
primer menjadi semak belukar juga terjadi di Desa Akle (35,8 ha) dan Desa Uiboa
(22,1 ha).
2. Masih terdapat 2.363,7 ha tutupan lahan hutan sekunder pada tahun 1989 yang
tetap menjadi tutupan lahan hutan sekunder pada tahun 2018. Desa Bokonusan
(455,4 ha) dan Desa Uiasa (401,4 ha) merupakan 2 desa di Semau dengan luas
tutupan hutan sekunder yang masih tetap sama dalam kurun waktu 30 tahun
terakhir. Meski demikian, dalam kurun waktu yang sama, sebagian besar tutupan
lahan hutan sekunder kemudian berubah menjadi tutupan lahan semak belukar
seluas 3.911,3 ha. Yang menarik, Desa Bokonusan (504,8 ha) dan Desa Uiasa (422,3
ha) juga merupakan 2 desa di Kec. Semau serta Desa Uiboa (507,8 ha) di Kec. Semau
Selatan dengan perubahan tutupan hutan sekunder menjadi semak belukar terluas
di Semau. Diduga ini hal ini terjadi sebagai akibat lahan-lahan hutan yang
digunakan sebagai kebun/ladang berpindah (shifting cultivation) yang dikelola
dengan teknik tebas-bakar (slash-and-burn) menyebabkan klimaks dari suksesi
vegetasi berubah menjadi klimaks semak belukar (Riwu Kaho, 2005; Sutedjo, 2009).
3. Jika ditilik dari tutupan lahan budidaya (lahan pertanian/pemukiman)
menunjukkan bahwa jenis tutupan lahan ini cenderung tidak berubah. Dimana
lahan budidaya yang tetap selama 30 tahun terakhir di Semau seluas 97,5 ha. Meski
terdapat tutupan lahan budidaya yang berubah menjadi tutupan semak belukar

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 79


seluas 86,4 ha, akan tetapi diduga ini lebih disebabkan karena lahan-lahan ini
adalah lahan tidur yang ketika tidak diusahakan, maka suksesi vegetasinya menjadi
semak belukar (Riwu Kaho, 2005). Selain itu, dapat terlihat bahwa selain perubahan
menjadi semak belukar, maka tutupan lahan budidaya ini cenderung amat kecil
peluang menjadi jenis tutupan lahan lainnya sebagai dampak dari pertanian yang
menjadi pola pengusahaan lahan utama di Semau. Hal ini diperkuat dengan pola
perubahan lahan budidaya menjadi tubuh air seluas 16,7 ha yang diduga
dipengaruhi oleh pembangunan embung serta bangunan jebakan air lainnya di
Semau dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Berdasarkan data Balai Wilayah
Sungai (BWS), maka sampai tahun 2015 sudah terdapat 25 embung embung di
Semau yang dibangun dari tahun 1991 s/d 2014.
4. Tutupan lahan semak belukar umumnya masih tetap menjadi tutupan lahan semak
belukar dari tahun 1989 s/d 2018 dengan luas 9.926,5 ha. Meski demikian,
terdapat 1.311,7 ha tutupan lahan semak belukar yang menjadi tutupan hutan
sekunder yang diduga berkaitan dengan klimaks suksesi vegetasi terutama pada
area-area dengan tingkat gangguan terhadap ekosistem yang rendah (Indriyanto,
2006). Selain itu, juga terdapat 1.038,3 ha lahan semak belukar yang berubah
menjadi lahan budidaya. Hal ini diduga sebagai implikasi dari pola ladang
berpindah (shifting cultivation) yang memanfaatkan semak belukar untuk dijadikan
sebagai ladang/kebun.
5. Hanya 6,4 ha tutupan lahan mangrove pada tahun 1989 yang tetap menjadi tutupan
lahan mangrove pada tahun 2018. Sebagian besar tutupan lahan mangrove diduga
hilang dan menjadi tutupan tubuh air (109,7 ha). Dengan demikian, ini
mengindikasikan bahwa tutupan mangrove yang penting dalam konteks pulau kecil
seperti Semau telah terdeforestasi dan terdegradasi selama 30 tahun terakhir.
6. Meski masih terdapat 588,6 ha tutupan lahan tanah terbuka selama 30 tahun
terakhir, akan tetapi sebagian besar tanah terbuka telah berubah menjadi semak
belukar (866,3 ha) dan lahan budidaya (243,7 ha). Hal ini diduga disebabkan selain
karena proses suksesi vegetasi secara alami, juga menunjukkan masifnya
penggunaan lahan sebagai area budidaya di Semau.
7. Tutupan lahan tubuh air cenderung tidak berubah dari tahun 1989 sampai 2018
dengan luas 263,6 ha.

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 80


Tabel 3.38. Perubahan Luas Tutupan Lahan (Ha) Antara Tahun 1989 dan 2018
Kecamatan Semau Kecamatan Semau Selatan Grand
Perubahan Tutupan Lahan Uitiuh Uitiuh
Batuinan Bokonusan Hansisi Huilelot Letbaun Otan Uiasa Uitao Akle Naikean Onansila Uiboa Total
Ana Tuan
Hutan Primer>> Hutan Primer 1.2 10.5 10.4 1.7 1.9 8.8 2.1 5.8 0.2 0.5 8.4 14.0 6.0 71.6
Hutan Primer>> Hutan
0.4 11.2 13.4 10.4 4.6 1.0 12.5 15.8 20.3 0.3 1.5 34.0 2.7 6.3 134.5
Sekunder
Hutan Primer>> Lahan
0.1 0.4 0.1 0.4 0.5 2.0 0.5 0.1 0.2 1.1 0.2 1.0 6.4
Budidaya
Hutan Primer>> Semak
1.1 4.3 3.1 4.6 1.1 0.5 4.6 8.0 35.8 3.2 0.5 21.1 0.2 2.2 90.1
Belukar
Hutan Primer>> Tanah
0.1 0.1 2.4 0.4 0.1 0.4 3.4
Terbuka
Hutan Primer>> Tubuh Air 0.1 4.2 1.0 1.3 0.9 4.0 7.8 1.2 6.2 2.3 1.0 13.2 3.8 10.6 57.6
Hutan Sekunder >> Hutan
0.1 7.2 5.7 8.5 1.3 0.4 6.4 0.4 6.6 0.1 8.8 5.0 25.9 1.7 77.8
Primer
Hutan Sekunder >> Hutan
18.1 455.4 163.1 248.6 230.3 48.9 401.4 68.1 114.6 10.2 243.2 191.5 119.7 50.4 2,363.7
Sekunder
Hutan Sekunder >> Lahan
2.0 13.8 9.3 4.6 7.5 2.6 17.4 5.8 4.2 6.7 9.3 28.7 10.7 14.3 136.9
Budidaya
Hutan Sekunder >> Semak
52.1 504.8 215.0 195.6 189.9 39.9 422.3 146.5 103.8 184.1 118.9 570.8 222.1 153.3 3,119.3
Belukar
Hutan Sekunder >> Tanah
0.7 10.0 1.2 1.5 1.4 0.3 2.9 3.3 1.5 4.7 1.9 3.1 32.5
Terbuka
Hutan Sekunder >> Tubuh Air 0.2 56.4 2.4 5.8 3.8 2.9 16.7 2.2 4.3 7.3 40.2 35.0 154.6 45.7 377.4
Lahan Budidaya >> Hutan
0.2 0.5 0.1 0.1 0.8
Primer
Lahan Budidaya >> Hutan
0.5 0.6 1.3 0.2 0.1 0.1 0.1 2.8
Sekunder
Lahan Budidaya >> Lahan
0.1 23.6 6.3 1.8 2.4 5.0 9.6 39.3 0.7 0.5 0.5 4.7 3.1 97.5
Budidaya
Lahan Budidaya >> Semak
0.8 6.3 5.0 4.5 0.5 3.4 13.4 7.8 22.4 5.9 1.6 4.0 5.0 5.7 86.4
Belukar
Lahan Budidaya >> Tanah
0.6 0.8 0.5 0.7 2.1 0.2 0.1 0.4 5.4
Terbuka
Lahan Budidaya >> Tubuh Air 0.5 2.4 2.2 0.7 0.1 2.1 2.3 1.7 0.5 0.5 2.3 1.4 16.7
Semak Belukar >> Hutan
0.5 1.2 2.8 0.3 0.9 1.2 12.3 0.1 1.7 4.6 0.1 25.6
Primer
Semak Belukar >> Hutan
14.6 262.9 33.0 196.1 86.8 67.4 143.5 62.3 102.1 5.1 173.9 65.6 72.6 25.9 1,311.7
Sekunder
Semak Belukar >> Lahan
18.1 126.5 76.6 30.3 8.5 66.1 92.2 66.8 183.1 81.6 18.6 63.1 109.3 97.6 1,038.3
Budidaya
Semak Belukar >> Semak
335.7 799.7 592.8 966.3 522.0 475.4 992.3 677.3 1,134.2 1,198.4 259.9 787.8 554.2 630.5 9,926.5
Belukar
Semak Belukar >> Mangrove 0.1 0.2 0.2
Semak Belukar >> Tanah
0.4 46.4 12.2 9.0 10.8 10.8 14.8 11.7 10.5 15.9 9.3 21.6 6.5 12.8 192.8
Terbuka
Semak Belukar >> Tubuh Air 8.3 62.5 30.3 28.7 8.9 28.9 37.7 41.4 75.9 51.6 52.8 40.5 283.2 146.3 897.1

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 81


Mangrove >> Semak Belukar 0.4 1.0 1.4

Mangrove >> Mangrove 0.5 3.0 1.7 0.3 0.9 6.4

Mangrove >> Tubuh Air 7.1 0.7 9.5 0.6 1.3 28.6 6.2 29.2 0.1 3.7 22.6 109.7
Tanah Terbuka >> Hutan
9.6 1.4 4.9 1.6 0.9 2.0 0.5 0.2 3.0 0.9 0.5 25.5
Sekunder
Tanah Terbuka >> Lahan
3.9 13.5 26.3 5.2 2.7 21.0 35.8 30.7 38.2 16.7 3.6 18.0 11.4 16.7 243.7
Budidaya
Tanah Terbuka >> Semak
25.3 67.0 95.8 40.3 86.7 92.1 67.7 102.7 33.7 76.8 10.4 88.0 31.5 48.3 866.3
Belukar
Tanah Terbuka >> Tanah
8.4 180.3 12.9 4.7 73.0 92.3 77.9 10.5 10.8 33.2 5.8 25.5 3.1 50.3 588.6
Terbuka
Tanah Terbuka >> Tubuh Air 7.1 8.1 15.5 1.2 2.5 3.6 20.3 5.9 17.1 14.5 1.9 7.5 8.2 43.2 156.5

Tubuh Air >> Hutan Sekunder 0.2 0.3 0.2 0.9 0.8 0.3 0.4 3.0

Tubuh Air >> Lahan Budidaya 1.5 0.8 0.3 2.4 1.4 2.6 0.4 0.4 1.4 0.2 11.4

Tubuh Air >> Semak Belukar 1.4 5.1 10.6 7.9 0.7 4.8 1.0 5.9 4.6 0.0 0.8 3.5 1.0 47.1

Tubuh Air >> Mangrove 4.2 0.3 8.4 0.5 13.3

Tubuh Air >> Tanah Terbuka 0.8 0.2 0.4 1.0 0.8 0.1 0.4 0.2 3.8

Tubuh Air >> Tubuh Air 5.3 40.4 23.1 38.0 3.0 13.0 51.1 28.6 9.7 4.2 9.1 26.0 12.1 263.6

Keterangan :
1. Hutan primer = hutan lahan kering primer
2. Hutan sekunder = hutan lahan kering sekunder
3. Lahan Budidaya = lahan pertanian/pemukiman
4. Semak belukar = semak belukar/lahan pertanian

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 82


Gambar 3.38.
Perubahan Tutupan Lahan Tahun 1989 - 2018

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 83


Selain perubahan tutupan lahan, maka salah satu ancaman yang saat ini diduga
telah, sedang dan akan terus terjadi adalah perubahan garis pantai (coastline) dalam
kaitannya dengan perubahan luas pulau akibat abrasi dan akresi. Hasil analisis
perubahan garis pantai multi-temporal menggunakan citra Landsat selama 20 tahun
terakhir (tahun 1997 s/d 2018) yang dianalisis menggunakan metode Normalized
Difference Water Index (NDWI) menunjukkan pada tahun 1997 hasil analisis
menunjukkan luas Semau adalah 23.410 ha, kemudian pada tahun 2006 luas Semau
berkurang menjadi 23.031 ha, dan pada tahun 2018 luas Semau sedikit meningkat
menjadi 23.088 ha. Akan tetapi, jika dianalisis kecenderungan (trend analysis), maka
terdapat tren penurunan luas pulau Semau secara liniear sebagai akibat abrasi garis
pantai seluas 14,2 ha/dasawarsa atau 1,4 ha / tahun. Selain itu, jika ditilik
berdasarkan nilai koefisien determinan (R2), menunjukkan bahwa 54% dari variasi
penurunan luas pulau dapat dijelaskan oleh perubahan waktu.

23450 1997, 23410


23400
y = -14.244x + 51765
23350 R² = 0.5394

23300

23250
Luas (Ha)

23200

23150 2018, 23088

23100 2006, 23031


23050

23000

22950
1995 2000 2005 2010 2015 2020
Tahun

Luas Pulau Tren Luas Pulau

Gambar 3.39.
Tren Perubahan Luas Pulau Sebagai Akibat
Perubahan Garis Pantai (Abrasi & Akresi) di Semau

Mentaschi et al, (2018) menyatakan bahwa terdapat sebab alami (natural) dan dapat
dipercepat oleh sebab antropogenik terhadap fenomena erosi dan akresi garis pantai
secara global. Beberapa penyebab antropogenik antara lain melalui pembangunan dam

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 84


(bendungan) yang dapat memerangkap sedimen yang seharusnya bergerak secara
alami untuk terdeposisi di dekat pantai, pembangunan di dekat pantai, serta kerusakan
ekosistem hutan mangrove. Sedangkan sebab alam antara lain gelombang dan arus
laut yang kuat, bencana tsunami dan badai, serta fenomena kenaikan muka air laut
relative sebagai akibat pemanasan global. Jika melihat fakta bahwa laju abrasi dan
akresi di Semau, maka diduga ini disebabkan kombinasi antara sebab antropogenik
dan alam sehingga menyebabkan laju sedimentasi yang tinggi di daerah dekat pantai.

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 85


Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 86
Gambar 3.40.
Perubahan Garis Pantai 20 Tahun Terakhir

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 87


7. Evaluasi Kesuburan Tanah Sebagai Indikator Asupan Bahan Kimia Tanah
1. Desa Hansisi
Lokasi pengambilan sampel tanah yang pertama di Desa Hansisi berada di
Dusun I yang secara geografik terletak pada koordinat 55268 (easting) dan 8876260
(northing) pada ketinggian 16 mdpl. Tanah ini memiliki solum tipis dan tekstur
lempung berpasir. Penggunaan lahan meliputi kebun di pekarangan dengan jenis
tanaman utama adalah Jagung. Sifat kimia tanah pada lokasi ini tergolong baik
yakni C-organik termasuk kategori sangat tinggi (5.04%), N-total tanah kategori
tinggi (0,65 %), Fosfor termasuk kategori sangat tinggi (64.86 ppm) serta Kalium
dapat tukar termasuk kategori sangat tinggi (1,92 me/100g). Jika ditilik dari reaksi
tanah atau pH tergolong agak alkalis/basa (pH 7.9) dan kapasitas mempertukarkan
kation (KTK) termasuk kategori tinggi (39,13 me/100g).
Lokasi pengambilan sampel tanah selanjutnya berada di Oesemuk yang terletak
pada koordinat 551672 (easting) dan 8873812 (northing) pada ketinggian 28 mdpl.
Tanah ini memiliki solum tipis dan tekstur lempung berpasir. Penggunaan lahan
meliputi kebun di pekarangan dengan jenis tanaman utama adalah Jagung. Sifat
kimia tanah pada lokasi ini tergolong baik yakni C-organik termasuk kategori tinggi
(4,42%), N-total tanah kategori tinggi (0,57 %), Fosfor termasuk kategori sangat
tinggi (54,92 ppm) serta Kalium dapat tukar termasuk kategori sangat tinggi (1,63
me/100g). Jika ditilik dari reaksi tanah atau pH tergolong agak alkalis/basa (pH
7.8) dan kapasitas mempertukarkan kation (KTK) termasuk kategori tinggi (38,45
me/100g).
2. Desa Uiasa
Lokasi pengambilan sampel tanah yang pertama di Desa Uiasa berada di lokasi
kejadian semburan lumpur yang secara geografik terletak pada koordinat 549799
(easting) dan 8873812 (northing) pada ketinggian 78 mdpl. Tanah ini memiliki solum
tipis dan tekstur lempung berliat. Penggunaan lahan adalah lahan terbuka yang
tertutupi oleh lumpur. Sifat kimia tanah pada lokasi ini tergolong buruk yakni C-
organik termasuk kategori sangat rendah (0.06%), N-total tanah kategori sangat
rendah (0,09 %), Fosfor termasuk kategori sangat rendah (2.67 ppm) serta Kalium
dapat tukar termasuk kategori rendah (0,32 me/100g). Jika ditilik dari reaksi tanah
atau pH tergolong alkalis/basa (pH 10,4) dan kapasitas mempertukarkan kation
(KTK) termasuk kategori sedang (19,91 me/100g).

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 88


Lokasi pengambilan sampel tanah selanjutnya di Desa Uiasa berada di luar
lokasi semburan lumpur yang terletak pada koordinat 549751 (easting) dan
8874036 (northing) pada ketinggian 78 mdpl. Tanah ini memiliki solum sedang dan
tekstur lempung. Penggunaan lahan berupa semak belukar dengan jenis pohon
dominan adalah Kabesak Hitam (Vachellia nilotica). Sifat kimia tanah pada lokasi
ini tergolong buruk yakni C-organik termasuk kategori sangat rendah (0.06%), N-
total tanah kategori sangat rendah (0,09 %), Fosfor termasuk kategori sangat rendah
(2,68 ppm) serta Kalium dapat tukar termasuk kategori rendah (0,32 me/100g). Jika
ditilik dari reaksi tanah atau pH tergolong alkalis/basa (pH 8,66) dan kapasitas
mempertukarkan kation (KTK) termasuk kategori sedang (20 me/100g).
3. Desa Huilelot
Lokasi pengambilan sampel tanah yang pertama di Desa Huilelot berada di lokasi
Kampung Baru yang secara geografik terletak pada koordinat 548683 (easting) dan
8873484 (northing) pada ketinggian 79 mdpl. Tanah ini memiliki solum tipis dan
tekstur lempung berpasir. Penggunaan lahan meliputi kebun di pekarangan dengan
jenis tanaman utama adalah Jagung. Sifat kimia tanah pada lokasi ini tergolong
sedang s/d baik yakni C-organik termasuk kategori sedang (2,99%), N-total tanah
kategori sedang (0,4 %), Fosfor termasuk kategori sangat tinggi (33.85 ppm) serta
Kalium dapat tukar termasuk kategori tinggi (1,01 me/100g). Jika ditilik dari reaksi
tanah atau pH tergolong agak alkalis/basa (pH 7.96) dan kapasitas
mempertukarkan kation (KTK) termasuk kategori tinggi (37,51 me/100g).
Lokasi selanjutnya berada di lokasi sekitar Embung Ui Permisi yang secara
geografik terletak pada koordinat 548191 (easting) dan 8873484 (northing) pada
ketinggian 85 mdpl. Tanah ini memiliki solum tipis dan tekstur lempung berpasir.
Penggunaan lahan meliputi kebun di pekarangan dengan jenis tanaman utama
adalah Jagung. Sifat kimia tanah pada lokasi ini tergolong buruk yakni C-organik
termasuk kategori sangat rendah (0,75%), N-total tanah kategori rendah (0.16 %),
Fosfor termasuk kategori rendah (6.93 ppm) serta Kalium dapat tukar termasuk
kategori sedang (0.39 me/100g). Jika ditilik dari reaksi tanah atau pH tergolong
agak alkalis/basa (pH 8.26) dan kapasitas mempertukarkan kation (KTK) termasuk
kategori tinggi (24,97 me/100g).
Lokasi selanjutnya berada di lokasi Ingulikahu yang secara geografik terletak
pada koordinat 548079 (easting) dan 8873507 (northing) pada ketinggian 84 mdpl.

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 89


Tanah ini memiliki solum tipis dan tekstur lempung. Penggunaan lahan meliputi
kebun di pekarangan dengan jenis tanaman utama adalah Jagung. Sifat kimia
tanah pada lokasi ini tergolong buruk yakni C-organik termasuk kategori sangat
rendah (0,79%), N-total tanah kategori rendah (0.17 %), Fosfor termasuk kategori
rendah (7.74 ppm) serta Kalium dapat tukar termasuk kategori sedang (0.42
me/100g). Jika ditilik dari reaksi tanah atau pH tergolong agak masam (pH 5.69)
dan kapasitas mempertukarkan kation (KTK) termasuk kategori tinggi (26.49
me/100g).
4. Desa Letbaun
Lokasi pengambilan sampel tanah berada di lokasi Buhun yang secara geografik
terletak pada koordinat 546645 (easting) dan 8878815 (northing) pada ketinggian
55 mdpl. Tanah ini memiliki solum tipis dan tekstur lempung berpasir. Penggunaan
lahan meliputi kebun di pekarangan dengan jenis tanaman utama adalah Jagung.
Sifat kimia tanah pada lokasi ini tergolong sedang yakni C-organik termasuk
kategori sedang (2.56%), N-total tanah kategori sedang (0,36 %), Fosfor termasuk
kategori sangat tinggi (28.96 ppm) serta Kalium dapat tukar termasuk kategori
tinggi (0.86 me/100g). Jika ditilik dari reaksi tanah atau pH tergolong agak
alkalis/basa (pH 8.08) dan kapasitas mempertukarkan kation (KTK) termasuk
kategori tinggi (36.99 me/100g).
5. Desa Batuinan
Lokasi pengambilan sampel tanah berada di lokasi Baitani yang secara geografik
terletak pada koordinat 543795 (easting) dan 887919 (northing) pada ketinggian 36
mdpl. Tanah ini memiliki solum tipis dan tekstur lempung berpasir. Penggunaan
lahan meliputi kebun dengan jenis tanaman utama adalah Jagung yang ditumpang-
sari dengan beberapa jenis buah-buahan. Sifat kimia tanah pada lokasi ini
tergolong sedang s/d baik (kecuali untuk C-organik) yakni C-organik termasuk
kategori rendah (1.98%), N-total tanah kategori sedang (0,29 %), Fosfor termasuk
kategori sangat tinggi (20.61 ppm) serta Kalium dapat tukar termasuk kategori
tinggi (0.61 me/100g). Jika ditilik dari reaksi tanah atau pH tergolong netral (pH
7.48) dan kapasitas mempertukarkan kation (KTK) termasuk kategori tinggi (32.62
me/100g).

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 90


6. Desa Uitiu Tuan
Lokasi pengambilan sampel tanah berada di lokasi Iungsinu yang secara
geografik terletak pada koordinat 535523 (easting) dan 8864066 (northing) pada
ketinggian 20 mdpl. Tanah ini memiliki solum tipis dan tekstur lempung berpasir.
Penggunaan lahan meliputi kebun dengan jenis tanaman utama adalah Jagung.
Sifat kimia tanah pada lokasi ini tergolong sedang s/d baik yakni C-organik
termasuk kategori sedang (2.47%), N-total tanah kategori sedang (0,31 %), Fosfor
termasuk kategori sangat tinggi (24.32 ppm) serta Kalium dapat tukar termasuk
kategori tinggi (0.73 me/100g). Jika ditilik dari reaksi tanah atau pH tergolong agak
alkalis/basa (pH 8.12) dan kapasitas mempertukarkan kation (KTK) termasuk
kategori tinggi (32.15 me/100g).
7. Desa Uitiu Ana
Lokasi pengambilan sampel tanah yang pertama berada di lokasi Iungtomo yang
secara geografik terletak pada koordinat 541752 (easting) dan 8862482 (northing)
pada ketinggian 13 mdpl. Tanah ini memiliki solum tebal dan tekstur lempung
berpasir. Penggunaan lahan meliputi kebun dengan jenis tanaman utama adalah
Jagung yang ditumpang-sari dengan beberapa pohon buah-buahan seperti Buah
Naga dan Pepaya California. Sifat kimia tanah pada lokasi ini tergolong buruk yakni
C-organik termasuk kategori sangat rendah (0.19%), N-total tanah kategori rendah
(0,18 %), Fosfor termasuk kategori rendah (9.3 ppm) serta Kalium dapat tukar
termasuk kategori sedang (0.45 me/100g). Jika ditilik dari reaksi tanah atau pH
tergolong agak alkalis/basa (pH 7.98) dan kapasitas mempertukarkan kation (KTK)
termasuk kategori tinggi (25.51 me/100g).
Lokasi pengambilan sampel tanah selanjutnya berada di lokasi Tuapalu yang
secara geografik terletak pada koordinat 541922 (easting) dan 8865746 (northing)
pada ketinggian 40 mdpl. Tanah ini memiliki solum tipis dan tekstur lempung
berpasir. Penggunaan lahan meliputi kebun dengan jenis tanaman utama adalah
Jagung. Sifat kimia tanah pada lokasi ini tergolong sedang yakni C-organik
termasuk kategori rendah (1.7%), N-total tanah kategori sedang (0.27 %), Fosfor
termasuk kategori tinggi (17.38 ppm) serta Kalium dapat tukar termasuk kategori
sedang (0.52 me/100g). Jika ditilik dari reaksi tanah atau pH tergolong agak masam
(pH 6.06) dan kapasitas mempertukarkan kation (KTK) termasuk kategori tinggi
(31.15 me/100g).

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 91


Tabel 3.39. Hasil Analisis Tanah pada Lokasi Pengambilan Sampel Tanah
No Elevasi Slope C-Org N P K KTK
Lokasi Sampel Solum pH Kelas Tekstur
Sampel (mdpl) (%) % (ppm) (me/100g)
1 Desa Hansisi/ Dusun 1 15.61 7.55 30 cm 5.04 0.65 64.86 1.92 39.13 7.93 Lempung Berpasir
2 Desa Hansisi/ Oesemuk 27.69 4.90 30 cm 4.42 0.57 54.92 1.63 38.45 7.8 Lempung Berpasir
3 Desa Uiasa (Lumpur) 78.45 1.82 65 cm 0.06 0.09 2.67 0.32 19.91 10.4 Lempung Berliat
4 Desa Uiasa (Diluar Lumpur) 78.27 0.69 65 cm 0.06 0.09 2.68 0.32 20 8.66 Lempung
5 Desa Huilelot, Kampung Baru 78.51 5.99 36 cm 2.99 0.4 33.85 1.01 37.51 7.96 Lempung Berpasir
6 Desa Huileot, Embung Permisi 84.07 4.36 35 cm 0.75 0.16 6.93 0.39 24.97 8.26 Lempung Berpasir
7 Desa Huilelot, Ingulikahu 83.91 3.22 30 cm 0.79 0.17 7.74 0.42 26.49 5.69 Lempung
8 Desa Letbaun, Buhun 55.28 2.87 30 cm 2.56 0.36 28.96 0.86 36.99 8.08 Lempung Berpasir
9 Desa Batuinan 36.51 6.50 30 cm 1.98 0.29 20.61 0.61 32.62 7.48 Lempung Berpasir
10 Desa Uitiu Tuan, Iungsinu 20.02 8.70 30 cm 2.47 0.31 24.32 0.73 32.15 8.12 Lempung Berpasir
11 Desa Uitiu Ana, Iungtomo 13.28 6.90 78 cm 0.96 0.18 9.3 0.45 25.51 7.98 Lempung Berpasir
12 Desa Uitiu Ana, Tuapalu 40.87 3.11 35 cm 1.7 0.27 17.38 0.52 31.15 6.06 Lempung Berpasir

Tabel 3.40. Status Hara pada Lokasi Pengambilan Sampel Tanah


No C-Org N K KTK
Lokasi Sampel Slope (%) Solum P (ppm) pH Kelas Tekstur
Sampel % (me/100g)
1 Desa Hansisi/ Dusun 1 7.55 Tipis ST T ST ST T AA Lempung Berpasir
2 Desa Hansisi/ Oesemuk 4.90 Tipis T T ST ST T AA Lempung Berpasir
3 Desa Uiasa (Lumpur) 1.82 Tipis SR SR SR R S A Lempung Berliat
4 Desa Uiasa (Diluar Lumpur) 0.69 Tipis SR SR SR R S A Lempung
5 Desa Huilelot, Kampung Baru 5.99 Tipis S S ST T T AA Lempung Berpasir
6 Desa Huileot, Embung Permisi 4.36 Tipis SR R R S T AA Lempung Berpasir
7 Desa Huilelot, Ingulikahu 3.22 Tipis SR R R S T AM Lempung
8 Desa Letbaun, Buhun 2.87 Tipis S S ST T T AA Lempung Berpasir
9 Desa Batuinan 6.50 Tipis R S ST T T N Lempung Berpasir
10 Desa Uitiu Tuan, Iungsinu 8.70 Tipis S S ST T T AA Lempung Berpasir
11 Desa Uitiu Ana, Iungtomo 6.90 Sedang SR R R S T AA Lempung Berpasir
12 Desa Uitiu Ana, Tuapalu 3.11 Tipis R S T S T AM Lempung Berpasir

Keterangan :
1. SR = Sangat Rendah, R = Rendah, S = Sedang, T = Tinggi, ST = Sangat Tinggi
2. AM = Agak Masam, N = Netral, AA = Agak Alkalis, A = Alkalis
3. Warna hijau = tingkat harkat yang Baik, Kuning = Sedang, Merah = Buruk bagi pertumbuhan tanaman

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 92


Hasil analisis kesuburan tanah (Tabel 3.40 dan 3.41) dapat dijelaskan lebih lanjut
sebagai berikut.

1. pH Tanah
Reaksi tanah menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang
dinyatakan dengan nilai pH. Nilai pH menunjukkan banyaknya konsentrasi ion
hidrogen (H+) di dalam tanah. Makin tinggi kadar ion H+ didalam tanah, semakin
masam tanah tersebut, dan sebaliknya (Njurumana, dkk, 2008). Kondisi pH tanah
pada lokasi seluruh sampel umumnya tergolong pada kondisi agak alkalis (basa)
yang menunjukkan unsur-unsur hara tidak terlalu mudah diserap oleh tanaman
karena banyaknya konsentrasi ion hidrogen pada tanah. Diduga ini dipengaruhi
oleh factor geologi yang didominasi oleh liat bobonaro kompleks dan batugamping
(limestone) yang umumnya tersusun oleh Calcium Carbonate (CaCO 3) yang terlarut
dalam tanah sehingga meningkatkan pH tanah. Selain itu, factor klimatik terutama
curah hujan juga berpengaruh penting karena dengan curah hujan tahunan yang
hanya terakumulasi pada periode yang singkat (3-4 bulan) dalam setahun
menyebabkan penguapan air (evapotranspirasi) melalui input presipitasi
menyebabkan masih ada garam-garam yang tertinggal dalam tanah (salinisasi)
terutama NaCl, Na2SO4, CaCO3, dan/atau MgCO3.
Pada tanah-tanah dengan kondisi agak alkalis/basa yang mempunyai pH agak
tinggi ini secara kimia tanah dapat menurunkan ketersediaan hara mikro (Fe, Cu,
Zn dan/atau Mn) dan umumnya memiliki nilai salinitas yang relative tinggi sehingga
dapat menyebabkan terjadi plasmolysis pada tanaman. Jika ditilik dari segi fisik
tanah, tanah basa pada umumnya akan menyebabkan pengenangan saat musim
penghujan dan sebaliknya pada musim kemarau tanah akan nampak retak-retak
dan membentuk kerak di permukaan sehingga menurunkan porositas tanah dan
aerasi menjadi terhambat.
Beberapa solusi yang dapat dilakukan antara lain pemberian air irigasi dalam
bentuk pemanan air tawar yang disimpan (conserve) saat musim penghujan,
pengolahan tanah lapisan atas, penanaman tanaman toleran/adaptif, pembuatan
drainase, serta pemupukan dengan bahan organic. Bahan organik mempunyai
keunggulan dalam memperbaiki sifat fisik tanah seperti memperbaiki struktur
tanah, aerasi tanah dan sekaligus memperbaiki pH tanah. Di lokasi pengambilan

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 93


sampel tanah terdapat banyak sumber pupuk organik seperti sisa tanaman, daun
gamal dan kotoran ternak. Penggunaan pupuk kimia tidak disarankan karena
pupuk kimia jika digunakan secara terus menerus akan mengakibatkan tanah
menjadi keras dan merusak drainase dan aerasi tanah serta menyebabkan tanah
menjadi keras.
2. Unsur Hara
 Nitrogen (N) merupakan hara makro utama yang sangat penting untuk
pertumbuhan tanaman. Diantara ketiga unsur hara makro (N, P, dan K),
nitrogen memiliki efek paling cepat dan paling menonjol. Hasil analisis nitrogen
(N-Total) pada lokasi sampel menunjukkan harkat yang tergolong sangat rendah
- sedang. Diduga pada lokasi sampel terjadi kehilangan N akibat N dalam bentuk
NO3- (nitrat) yang mudah tercuci oleh air air hujan (leaching) dan juga dengan
semakin banyaknya hujan, maka ada kecenderungan N menjadi rendah. Rerata
hujan tahunan pada lokasi penelitian tergolong rendah, namun intensitas hujan
yang tinggi saat musim hujan yang cenderung mengumpul pada periode yang
singkat merupakan ciri pola iklim monsoonal yang membawa dampak
kehilangan nitrogen tanah. Dengan demikian, integrasi jenis leguminosae seperti
Lamtoro (Leucaena leucacephala) atau Turi/Gala-gala (Sesbania grandiflora)
dalam sistem lahan tidak saja dapat berfungsi untuk menambah hara N melalui
proses penambatan (fiksasi) Nitrogen bebas (N2) dari udara, tetapi juga dapat
menjadi multi-purpose tree species (MPTS) dan hijauan makanan ternak.
 Fosfor (P) meski memiliki jumlah dalam tanaman lebih kecil dibandingkan
dengan hara makro lainnya, tetapi, P dianggap sebagai kunci kehidupan (key of
life) yang langsung berperan dalam proses kehidupan tanaman. Botta (2015)
menyatakan bahwa P pada tanaman akan berguna dalam penyimpanan dan
transfer energi, pertumbuhan awal akar dan batang serta proses pembentukan
nodul pada legume. Hasil analisis fosfor pada lokasi sampel menunjukkan
harkat P yang umumnya tergolong tinggi sehingga dapat membantu proses
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Meski demikian, terdapat 5 lokasi
sampel dengan harkat P yang tergolong sangat rendah-rendah. Meskipun pada
umumnya P sukar tercuci oleh air hujan, namun defisiensi P dalam tanah dapat
terjadi sebagai akibat pengikatan (fiksasi) oleh Ca pada tanah alkalis

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 94


sebagaimana hasil pH tanah pada lokasi penelitian yang umumnya tergolong
agak alkalis.
 Kalium (K). Serupa dengan Nitrogen dan Fosfor, maka kalium (K) juga
merupakan hara makro tanaman. Botta (2015) menyatakan bahwa hara K
penting dalam mengatur penyerapan air dan hara, pembungaan dan biji, serta
resistensi tanaman terhadap cekaman lingkungan dan penyakit. Serupa dengan
unsur P, maka kalium (K) juga mudah tercuci oleh air hujan (leaching) yang
dapat menyebabkan hara K menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Kondisi K pada
lokasi sampel umumnya tergolong sedang s/d sangat tinggi. Namun meski K
ditemukan dalam jumlah banyak di dalam tanah, tetapi hanya sebagian kecil
yang dipergunakan tanaman. Tanaman cenderung mengambil K dalam jumlah
yang lebih banyak dari yang dibutuhkan, tetapi tidak menambah produksi.
 Kandungan hara C Organik pada lokasi sampel umumnya menunjukkan harkat
yang tergolong sangat rendah hingga rendah. Kandungan C-organik yang rendah
merupakan indikator rendahnya jumlah bahan organik tanah yang tersedia
dalam tanah. Pada tanah dengan kandungan C-organik yang rendah dapat
menyebabkan tanah tidak mampu menyediakan hara yang cukup, disamping itu
unsur hara yang diberikan melalui pupuk tidak mampu dipegang oleh
komponen tanah sehingga mudah tercuci, kapasitas tukar kation menurun,
agregrasi tanah (struktur tanah) melemah, hara mikro mudah tercuci dan daya
mengikat air menurun. Pada tanah-tanah ini menyebabkan meningkatnya
kebutuhan pupuk, namun efisiensinya akan makin berkurang akibat mudahnya
tercuci (leaching). Rendahnya kandungan bahan organik pada lokasi sampel
diduga disebabkan karena pencucian unsur hara pada saat hujan, minim upaya
perbaikan hara melalui penimbunan seresah tanaman, serta masih minimnya
pemberian pupuk organik. Oleh karena itu penambahan pupuk organik pada
lokasi penelitian sangat disarankan untuk dilakukan selain perlu dilakukannya
pembiaran terhadap seresah tanaman yang dapat menambah kandungan bahan
organik tanah.

3. Kapasitas Tukar Kation (KTK)


Kapasitas tukar kation (KTK) merupakan jumlah maksimum kation yang dapat
diikat oleh tanah dalam bentuk dapat dipertukarkan. Hasil analisis KTK pada lokasi

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 95


sampel umumnya menunjukkan harkat yang tinggi. Nilai KTK tergolong ideal ini
akan berpengaruh terhadap ketersediaan hara yang semakin banyak karena
penjerapan hara menjadi semakin besar oleh karena tanah dengan KTK tinggi
mampu menyerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan
KTK rendah. Kuat dugaan nilai KTK yang tergolong tinggi ini lebih dipengaruhi oleh
tekstur tanah pada lokasi penelitian yang didominasi tekstur lempung berpasir.
4. Tekstur Tanah
Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa lokasi penelitian pada umumnya
menunjukkan perimbangan elemen liat yang terkadang lebih dominan dalam
bentuk lempung berpasir. Pada lokasi budidaya tanaman seringkali tekstur tanah
seperti ini umumnya memiliki kemampuan infiltrasi yang cukup baik sehingga
meminimalisasi efek saturasi tanah serta memiliki kapasitas tahan air (water
holding capacity) yang baik. Hal ini akan berdampak terhadap ketersediaan hara
oleh karena sebagian besar hara akan larut dalam air sehingga menjadi
termanfaatkan oleh tanaman. Meski demikian, tetap diperlukan upaya pengolahan
tanah serta pemberian pupuk organik yang tidak saja menyediakan hara tetapi juga
dapat memperbaiki sifat fisik tanah.

8. Kesesuaian Lahan
Kesesuaian lahan adalah gambaran tingkat kecocokan sebidang lahan lahan
untuk suatu tanaman tertentu melalui 2 tahapan, yaitu : (a) menilai persyaratan
tumbuh tanaman yang akan diusahakan atau mengetahui sifat-sifat tanah dan
lokasi yang pengaruhnya bersifat negatif terhadap tanaman; dan (b)
mengidentifikasikan dan membatasi lahan yang mempunyai sifat-sifat yang tidak
diinginkan.
Dalam analisis kesesuaian lahan untuk beberapa kelompok tanaman dilakukan
dengan menggunakan 6 parameter karakteristik lahan meliputi suhu, ketersediaan
air (water availability), media perakaran, retensi hara, hara tersedia, dan bahaya
erosi yang dapat terlihat pada Tabel 3.42. Proses pencocokan (matching) dengan
kriteria kesesuaian lahan untuk beberapa kelompok tanaman dilakukan dengan
menggunakan perangkat lunak (software) Sistem Penilaian Kesesuaian Lahan
(SPKL) Versi 2.1.

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 96


Tabel 3.41. Parameter Karakteristik Lahan untuk Analisis Kesesuaian Lahan
No Karakteristik Lahan Symbol
I Temperatur TC
1. Temperatur rerata (0C) tc1
2. Ketinggian (mdpl) tc2
II Ketersediaan Air WA
1. Curah hujan tahunan (mm/tahun) wa2
2. Jumlah bulan kering (<100 mm) wa3
III Media Perakaran RC
1. Kelas tekstur rc2
2. Kedalaman tanah (cm) rc4
IV Retensi Hara NR
1. Kapasitas Tukar Kation (KTK) nr1
2. pH H2O nr3
3. C-Organik nr4
V. Hara Tersedia NA
1. N-Total (%) na2
2. K2O Total (mg/100g) na3
3. P2O5 Olsen (ppm) na5
VI. Bahaya Erosi EH
1. Lereng (%) eh1
2. Tingkat Bahaya Erosi eh2

Dalam proses evaluasi lahan, progam SPKL ini mengacu pada framework (FAO,
1986) dengan jumlah kelas sebanyak empat kelas yakni S1, S2, S3, dan N. Berikut
adalah definisi dari masing-masing kelas:
a. Kelas S1 (sangat sesuai): Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti
atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan atau faktor pembatas
bersifat minor yang tidak akan mereduksi produktifitas lahan secara nyata.
b. Kelas S2 (cukup sesuai): Lahan mempunyai faktor pembatas, faktor pembatas
ini akan berpengaruh terhadap produktivitas, memerlukan tambahan masukan
(input). Biasanya petani dapat mengatasi pembatas tersebut.
c. Kelas S3 (sesuai marjinal): Lahan dengan faktor pembatas berat, dan faktor
pembatas tersebut akan mempengaruhi produktivitasnya. Memerlukan
tambahan masukan yang lebih banyak daripada lahan pada kelas S2. Untuk
mengatasi pembatas pada S3 memerlukan modal tinggi, sehingga diperlukan
bantuan atau campur tangan pemerintah atau pihak swasta. Tanpa bantuan
tersebut petani tidak mampu mengatasinya.
d. Kelas N (tidak sesuai): Lahan yang tidak sesuai (N) karena mempunyai faktor
pembatas yang sangat berat dan/atau sulit diatasi.

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 97


Tabel 3.42. Hasil Kesesuaian Lahan untuk Beberapa Jenis Komoditi Tanaman Pertanian

Kelas Kesesuaia Lahan & Faktor Pembatas


No Lokasi Umbi- Kacang- Obat/Rempa Pakan
Serealia Sayuran Buah-Buahan
Umbian Kacangan h Ternak
Bawang Merah
(S3rc2/na3), Bawang Kencur
Ubi Talas Setaria
Kacang Tanah Putih (S3wa2/rc2), Kubis (S3rc2/nr3),
(S3rc2/rc4/ (S3rc4/nr3/n
(S3rc4/nr3), (S3wa2/rc2/rc4), Bayam Blewah (S3wa2/rc2), Kunyit
Desa Hansisi/ Jagung nr3), Iles- a3), Rumput
1 Kedelai (S3tc1/wa2/wa3/rc2/rc4), Melon (S3wa2/rc2), (S3rc2/nr3),
Dusun 1 (S3rc2/rc4/na3) iles Gajah
(S3rc2/rc4/nr Terung (S3wa2/rc2/rc4), Nenas (S3rc4/nr3) Lengkuas
(S3rc2/rc4/ (S3rc4/nr3/n
3) Brokoli (S3wa2/rc2/rc4), (S3rc2/rc4/nr
nr3) a3)
Tomat (S3wa2/rc2), Cabai 3),
Merah (S3rc2/rc4/na3)
Bawang Merah
(S3rc2/na3), Bawang Kencur
Setaria
Kacang Tanah Putih (S3wa2/rc2), Kubis (S3rc2/nr3),
(S3rc4/nr3/n
Iles-iles (S3rc4/nr3), (S3wa2/rc2/rc4), Bayam Blewah (S3wa2/rc2), Kunyit
Desa Hansisi/ Jagung a3), Rumput
2 (S3rc2/rc4/ Kedelai (S3tc1/wa2/wa3/rc2/rc4), Melon (S3wa2/rc2), (S3rc2/nr3),
Oesemuk (S3rc2/rc4/na3) Gajah
nr3) (S3rc2/rc4/nr Terung (S3wa2/rc2/rc4), Nenas (S3rc4/nr3) Lengkuas
(S3rc4/nr3/n
3) Brokoli (S3wa2/rc2/rc4), (S3rc2/rc4/nr
a3)
Tomat (S3wa2/rc2), Cabai 3)
Merah (S3rc2/rc4/na3)
Pepaya (S3rc4/nr4),
Bawang Merah Jambu Biji
(S3nr3/nr4/na1/na3), (S3rc4/nr3/nr4),
Setaria
Jagung Bawang Putih Belimbing
Kencur (S3nr3/na1/
(S3nr3/nr4/na1/ (S3wa2/nr3/nr4), Kubis (S3rc4/nr3/nr4),
Kacang Tanah (S3nr3/nr4), na3),
na3), Padi Sawah Ubi Talas (S3wa2/nr3), Bayam Blewah
Desa Uiasa (S3nr3/nr4), Kunyit Rumput
3 (S3nr3/nr4/na3), (nr3), Iles- (S3tc1/wa2/wa3/nr3/nr4) (S3wa2/nr3/nr4),
(Lumpur) Kedelai (S3nr3/nr4), Gajah
Padi Gogo iles (S3nr3) , Terung (S3wa2/nr3/nr4), Melon
(S3nr3/nr4) Lengkuas (S3na1/na3),
(S3nr3/nr4/na1/ Brokoli (S3wa2/nr3), (S3wa2/nr3/nr4),
(S3nr3/nr4) Leguminosae
na3) Tomat (S3wa2/nr3/nr4), Skrikaya
(S3nr3)
Cabai Merah (S3rc4/nr3), Sawo
(S3nr3/nr4/na1/na3) (S3rc4/nr3/nr4),
Nenas (S3nr3/nr4)

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 98


Pepaya (S3rc4/nr4),
Bawang Merah Jambu Biji
(S3nr3/nr4/na1/na3), (S3rc4/nr3/nr4),
Setaria
Jagung Bawang Putih Belimbing
Kencur (S3nr3/na1/
(S3nr3/nr4/na1/ (S3wa2/nr3/nr4), Kubis (S3rc4/nr3/nr4),
Kacang Tanah (S3nr3/nr4), na3),
na3), Padi Sawah Ubi Talas (S3wa2/nr3), Bayam Blewah
Desa Uiasa (S3nr3/nr4), Kunyit Rumput
4 (S3nr3/nr4/na3), (nr3), Iles- (S3tc1/wa2/wa3/nr3/nr4) (S3wa2/nr3/nr4),
(Diluar Lumpur) Kedelai (S3nr3/nr4), Gajah
Padi Gogo iles (S3nr3) , Terung (S3wa2/nr3/nr4), Melon
(S3nr3/nr4) Lengkuas (S3na1/na3),
(S3nr3/nr4/na1/ Brokoli (S3wa2/nr3), (S3wa2/nr3/nr4),
(S3nr3/nr4) Leguminosae
na3) Tomat (S3wa2/nr3/nr4), Skrikaya
(S3nr3)
Cabai Merah (S3rc4/nr3), Sawo
(S3nr3/nr4/na1/na3) (S3rc4/nr3/nr4),
Nenas (S3nr3/nr4)

Bawang Merah
(S3wa2/rc2), Bawang Kencur
Setaria
Talas Kacang Tanah Putih (S3wa2/rc2), Kubis (S3rc2/nr3),
(S3rc4/nr3/n
(S3rc2/rc4/ (S3rc4/nr3), (S3wa2/rc2/rc4), Bayam Blewah (S3wa2/rc2), Kunyit
Desa Huilelot, Jagung a3), Rumput
5 nr3), Iles- Kedelai (tc1/wa2/wa3/rc2/rc4), Melon (S3wa2/rc2), (S3rc2/nr3),
Kampung Baru (S3rc2/rc4/na3) Gajah
iles (S3rc2/rc4/nr Terung (S3wa2/rc2/rc4), Nenas (S3rc4/nr3), Lengkuas
(S3rc4/nr3/n
(S3rc4/nr3) 3) Brokoli (S3wa2/rc2/rc4), (S3rc2/rc4/nr
a3)
Tomat (S3wa2/rc2), Cabai 3)
Merah (Src2/rc4/na3)

Bawang Merah
(S3rc2/na3), Bawang
Putih
Kencur
(S3wa2/rc2/nr3/nr4), Setaria
Talas Kacang Tanah (S3rc2/nr3),
Kubis (S3rc4/nr3/n
Jagung (S3rc2/rc4/ (S3rc4/nr3/nr Blewah (S3wa2/rc2), Kunyit
Desa Huileot, (S3wa2/rc2/rc4/nr3), a3), Rumput
6 (S3rc2/rc4/nr3/n nr3), Iles- 4), Kedelai Melon (S3wa2/rc2), (S3rc2/nr3),
Embung Permisi Bayam Gajah
r4/na3) iles (S3rc2/rc4/nr Nenas (S3rc4/nr3) Lengkuas
(S3tc1/wa2/wa3/rc2/rc4), (S3rc4/nr3/n
(S3rc4/nr3) 3/nr4) (S3rc2/rc4/nr
Terung (S3wa2/rc2/rc4), a3)
3)
Brokoli (S3wa2/rc2/rc4),
Tomat (S3wa2/rc2), Cabai
Merah (S3rc2/rc4/na3)

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 99


Bawang Merah (S3nr4),
Bawang Putih Setaria
Kencur
(S3wa2/nr3/nr4), Kubis (S3rc4),
Kacang Tanah Blewah (S3nr4),
Talas (S3wa2/rc4/nr3), Bayam Rumput
Desa Huilelot, (S3rc4/nr4), (S3wa2/nr4), Melon Kunyit
7 Jagung (S3nr4) (S3rc4), Iles- (S3tc1/wa2/wa3/rc4/nr4) Gajah
Ingulikahu Kedelai (S3wa2/nr4), Nenas (S3nr4),
iles (S3rc4) , Terung (S3wa2/rc4/nr4), (S3rc4),
(S3rc4/nr4) (S3nr4) Lengkuas
Brokoli (S3wa2/rc4/nr3), Leguminosae
(S3rc4/nr4)
Tomat (S3wa2/rc2), Cabai (S3rc4)
Merah (S3rc4/nr4)

Bawang Merah
(S3rc2/nr3/na3), Bawang
Putih (S3wa2/rc2/nr3),
Kubis
Kencur
(S3wa2/rc2/rc4/nr3), Setaria
Talas Kacang Tanah Blewah (S3rc2/nr3),
Bayam (S3rc4/nr3/n
(S3rc2/rc4/ (S3rc4/nr3), (S3wa2/rc2/nr3), Kunyit
Desa Letbaun, Jagung (S3tc1/wa2/wa3/rc2/rc4/ a3), Rumput
8 nr3), Iles- Kedelai Melon (S3rc2/nr3),
Buhun (S3rc2/rc4/na3) nr), Terung Gajah
iles (S3rc2/rc4/nr (S3wa2/rc2/nr3), Lengkuas
(S3wa2/rc2/rc4/nr3), (S3rc4/nr3/n
(S3rc4/nr3) 3) Nenas (S3rc4/nr3) (S3rc2/rc4/nr
Brokoli a3)
3)
(S3wa2/rc2/rc4/nr3),
Tomat (S3wa2/rc2), Cabai
Merah
(S3rc2/rc4/nr3/na3)
Bawang Merah
(S3rc2/na3), Bawang
Kencur
Putih (S3wa2/rc2), Kubis Setaria
Kacang Tanah (S3rc2),
(S3wa2/rc2/rc4), Bayam Blewah (S3wa2/rc2), (S3rc4/na3),
Jagung Iles-iles (S3rc4), Kunyit
9 Desa Batuinan (S3tc1/wa2/wa3/rc2/rc4), Melon (S3wa2/rc2), Rumput
(S3rc2/rc4/na3) (S3rc4) Kedelai (S3rc2),
Terung (S3wa2/rc2/rc4), Nenas (S3rc4/nr3) Gajah
(S3rc2/rc4) Lengkuas
Brokoli (S3wa2/rc2/rc4), (S3c4/na3)
(S3rc2/rc4)
Tomat (S3wa2/rc2), Cabai
Merah (S3rc2/rc4/na3)

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 100


Bawang Merah
(S3rc2/nr3/na3/eh1),
Bawang Putih
(S3wa2/rc2/nr3), Kubis
Kencur
(S3wa2/rc2/rc4/nr3/eh1), Setaria
Kacang Tanah Blewah (S3rc2/nr3),
Bayam (S3rc4/nr3/n
Jagung (S3rc4/nr3), (S3wa2/rc2/nr3), Kunyit
Desa Uitiu Tuan, Iles-iles (S3tc1/wa2/wa3/rc2/rc4/ a3), Rumput
10 (S3rc2/rc4/nr3/n Kedelai Melon (S3rc2/nr3),
Iungsinu (S3rc4/nr3) nr3), Terung Gajah
a3/eh2) (S3rc2/rc4/nr (S3wa2/rc2/nr3), Lengkuas
(S3wa2/rc2/rc4/nr3), (S3rc4/nr3/n
3) Nenas (S3rc4/nr3) (S3rc2/rc4/nr
Brokoli a3)
3)
(S3wa2/rc2/rc4/nr3),
Tomat (S3wa2/rc2/nr3),
Cabai Merah
(S3rc2/rc4/nr3/na3/eh1)
Jambu Biji
Bawang Merah
(S3rc2/rc4/nr3),
(S3rc2/na3), Bawang Setaria
Belimbing Kencur
Putih (S3wa2/rc2), Kubis (S3nr3/na3),
Talas Kacang Tanah (S3rc2/rc4), Blewah (S3rc2/nr3),
(S3wa2/rc2), Bayam Rumput
Desa Uitiu Ana, Jagung (S3rc2/nr3), (S3nr3), (S3wa2/rc2), Melon Kunyit
11 (S3tc1/wa2/wa3/rc2), Gajah
Iungtomo (S3rc2/na3) Iles-iles Kedelai (S3wwa2/rc2), (S3rc2/nr3),
Terung (S3wa2/rc2), (S3nr3/na3),
(S3rc4/nr3) (S3rc2/nr3) Skrikaya Lengkuas
Brokoli (S3wa2/rc2), Leguminosae
(S3rc2/rc4/nr3), (S3rc2/nr3)
Tomat (S3wa2/rc2), Cabai (S3nr3)
Sawo (S3rc2/rc4),
Merah (S3rc2/na3)
Nenas (S3nr3),
Bawang Merah
(S3rc2/na3), Bawang Setaria
Kencur
Putih (S3wa2/rc2), Kubis (S3rc4/na3),
Kacang Tanah Blewah (S3wa2/rc2), (S3rc2),
(S3wa2/rc2/rc4), Bayam Rumput
Desa Uitiu Ana, Iles-iles (S3rc4), Melon (S3wa2/rc2), Kunyit
12 Jagung (S3rc2) (S3tc1/wa2/wa3/rc2/rc4), Gajah
Tuapalu (S3rc4) Kedelai Nenas (S3rc2),
Terung (S3wa2/rc2/rc4), (S3rc4/na3),
(S3rc2/rc4) (S2tc1/rc2/rc4) Lengkuas
Brokoli (S3wa2/rc2/rc4), Leguminosae
(S3rc2/rc4)
Tomat (S3wa2/rc2), Cabai (S3rc4)
Merah (S3rc2/rc4/na3)

Keterangan : makna symbol dari sub-ordo kelas kesesuaian lahan dapat dilihat pada Tabel 3.41

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 101


Keterangan dari simbol pada kesesuaian lahan untuk setiap tanaman seperti tertera
pada Tabel di atas yang ditunjukkan dengan huruf kecil menunjukkan faktor pembatas
dari setiap jenis tanaman pada masing-masing lokasi pengambilan sampel tanah.
Sedangkan simbol S dengan huruf besar menunjukkan tingkat kesesuaian lahan untuk
tanaman bersangkutan. Tingkat kesesuaian lahan S2 atau cukup sesuai yakni
mempunyai pembatas yang mudah diperbaiki dan tidak membutuhkan biaya yang
besar. Namun untuk kesesuaian lahan kelas S3 merupakan pembatas yang berat dan
membutuhkan biaya yang besar untuk memperbaikinya dan kelas kesesuaian S3
hampir seluruhnya ditemukan dalam analisis kesesuaian lahan diatas.
Faktor pembatas yang tidak dapat diperbaiki seperti kondisi iklim (curah hujan dan
suhu) dan kedalaman solum tanah, namun pembatas yang dapat diperbaiki seperti pH
tanah, C-organik dan keberadaan unsur hara dapat tukar di tanah (N,P,K). Meski tidak
dapat diperbaiki, namun dalam secara mikro dapat dilakukan sejumlah tindakan
agronomi untuk menurunkan kelas kesesuaian S3 menjadi sesuai (S2) atau sangat
sesuai (S1) melalui sejumlah tindakan sebagai berikut :
a. Pemberian pupuk organic yang tidak saja dapat mengatasi kekurangan hara
tanah, tetapi juga dapat memperbaiki sifat fisik tanah (struktur dan tekstur
tanah) dan memperbaiki pH tanah menjadi netral.
b. Pengolahan tanah minimal, terutama pada lapisan tanah bagian atas. Hal ini
ditujukkan agar tanah menjadi lebih gembur dan meningkatkan porositas tanah
sehingga aerasi menjadi lebih baik serta dapat memperbaiki pH tanah.
c. Pemberian air irigasi terutama yang berasal dari air bersih yang disimpan saat
musim hujan melalui embung-embung, panen air hujan (rainwater harvesting)
maupun teknik konservasi air lainnya.
d. Diperlukan praktek konservasi tanah dan air untuk mencegah erosi,
meningkatkan kekasaran permukaan tanah untuk menurunkan kecepatan
aliran air permukaan, memperpendek panjang lereng dan mengurangi
kemiringan lereng, memperbesar laju infiltrasi air hujan, serta mencegah
terkonsentrasinya aliran air permukaan membentuk saluran-saluran air yang
kondusif terhadap terbentuknya erosi parit. Beberapa teknik konservasi tanah
dan air yaitu praktek konservasi berbasis aktivitas agronomi dengan
menggunakan tanaman tertentu, pengelolaan tanah dan metode mekanis.

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 102


e. Daur hara melalui pemanfaatan sisa-sisa tanaman atau limbah pertanian,
misalnya jerami, brangkasan jagung dan brangkasan kacang setelah panen serta
kotoran ternak sebagai pupuk kandang.
f. Pengelolaan lahan melalui pola agroforestry dengan mengkombinasikan
tanaman pangan, ternak dan tanaman kayu berumur panjang yang bisa berguna
sebagai MPTS (multi-purpose tree species) dalam pola tanam yang disesuaikan
dengan kondisi setempat (pola pertanaman lorong/alley cropping, tanaman sela,
dan sebagainya). Komponen tanaman kayu berumur panjang dapat dipilih jenis
legume seperti Lamtoro (Leucaena leucecaphala), Turi (Sesbania grandiflora)
atau Lamtoro Teramba yang dapat berfungsi sebagai hijauan pakan ternak dan
dapat menyuburkan tanah melalui proses fiksasi N dari udara.

Hasil analisis kesesuian lahan pada Tabel 4 diatas menunjukkan terdapat beberapa
jenis tanaman yang tergolong cukup sesuai (sesuai marginal) untuk dikembangkan
pada lokasi sampel pengamatan yang dibagi menjadi kelompok tanaman serealia,
umbi-umbian, kacang-kacangan, buah-buahan, obat/rempah-rempah serta pakan
ternak sebagai berikut.
1. Untuk kelompok tanaman Serealia umumnya pada lahan-lahan lokasi pengamatan
dan pengambilan sampel tanah tergolong cukup sesuai ditanami Jagung (Zea mays).
Secara eksisting Jagung sudah dibudidayakan oleh masyarakat di Semau. Ini
terbukti dari data rata-rata selama 5 tahun terakhir (2013 – 2013) luas lahan
penanaman Jagung di Kecamatan Semau mencapai 1470 ha dengan produksi
mencapai 3.840 ton atau dengan produktivitas 2,6 ton/ha dan di Kecamatan Semau
Selatan mencapai 751,8 ha dengan produksi mencapai 8.807,6 ha atau dengan
produktivitas 11.7 ton/ha (Kecamatan dalam Angka, BPS, 2014 – 2018). Dapat
terlihat bahwa meski luas lahan penanaman Jagung di Kecamatan Semau Selatan
lebih rendah ketimbang Kecamatan Semau, akan tetapi dari segi produksi dan
produktivitas Jagung di Kecamatan Semau Selatan lebih tinggi. Dengan demikian,
untuk meningkatkan produktivitas Jagung, maka diperlukan sejumlah upaya
untuk mengatasi sejumlah factor pembatas seperti yang ditampilkan pada Tabel 4
diatas.
2. Untuk kelompok tanaman umbi-umbian umumnya pada lahan-lahan lokasi
pengamatan dan pengambilan sampel tanah tergolong cukup sesuai ditanami Talas

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 103


(Colcasia esculenta) dan Iles-Iles atau Porang (Amorphophalus ancophyllus). Khusus
untuk jenis Iles-iles, tanaman tergolong mudah dibudidayakan, toleran naungan
(dapat tumbuh pada kondisi 50-60% ternaungi) sehingga mampu ditanam dibawah
tegakan tanaman umur panjang dalam pola agroforestry, mempunyai produktivitas
yang tinggi, hama/penyakit yang menyerang relatif sedikit, permintaan pasar baik
dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Di Provinsi NTT, rata-rata produksi
Porang sekitar 88.620 ton/tahun dan 98% diantaranya berasal dari Kabupaten
Belu. Disamping itu, Porang merupakan jenis tanaman hasil hutan bukan kayu
(HHBK) sehingga bisa dikembangkan dalam kawasan hutan negara dan hak. Selain
itu, baik Talas maupun Porang juga dapat menjadi tanaman penghasil karbohidrat,
lemak, protein, mineral, vitamin, dan serat pangan.
3. Untuk kelompok tanaman kacang-kacangan umumnya pada lahan-lahan lokasi
pengamatan dan pengambilan sampel tanah tergolong cukup sesuai ditanami
Kacang Tanah (Arachis hypogea) dan Kedelai (Glicine maximum). Berbeda dengan
Kedelai yang belum dibudidayakan secara luas di Semau, berdasarkan data BPS
(2014-2018), rata-rata luas tanam Kacang Tanah di Semau mencapai 588,6 ha
dengan produksi mencapai 526,3 ton atau dengan produktivitas hanya 0,9 ton/ha.
Padahal secara umum produksi Kacang Tanah di NTT adalah sebanyak 10.455 ton
(BPS, 2017), sedangkan Sumarno (2015) mencatat rata-rata hasil Kacang Tanah di
NTT mencapai 1,18 ton/ha. Padahal Sumarno, et al. (2000 dalam Sumarno, 2015)
menemukan bahwa dari penelitian di lahan petani (on farm research) dengan
teknologi maju dapat meningkatkan produksi dari rata-rata 1,3 ton/ha menjadi 2,1
ton/ha polong kering. Dengan demikian, dengan sejumlah perbaikan factor
pembatas pada Tabel 4 diatas, maka diharapkan dapat meningkatkan produktivitas
tanaman Kacang Tanah di Semau.
4. Untuk kelompok tanaman sayur-sayuran umumnya pada lahan-lahan lokasi
pengamatan dan pengambilan sampel tanah tergolong cukup sesuai ditanami
Bawang Merah (Allium oscolonicum), Bawang Putih (Allium sativum), Kubis (Brassica
oleracea L.), Bayam (Amaranthus spe. Div.), Terung (Solanum melongena), Brokoli
(Brassica oleracea var italica), Tomat Sayur (Solanum lycopersicon esculentum) dan
Cabai Merah (Capsicum annum). Khusus untuk jenis Bawang Merah dan Cabai
Merah pada umumnya telah dibudidayakan luas di Semau dengan angka rata-rata
produksi (tahun 2013 – 2017) untuk Bawang Merah mencapai 804,9 ton dan Cabai

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 104


Merah sebanyak 27,4 ton (BPS, 2014-2018). Sedangkan, untuk jenis lain seperti
Bayam, Terung, dan Tomat lebih banyak dibudidayakan di Kecamatan Semau
Selatan, ketimbang di Kecamatan Semau yang bahkan tidak memiliki rekaman data
produksi komoditi tersebut padahal dari tingkat kesesuaian lahan sudah tergolong
cukup sesuai (S3) untuk dikembangkan di seluruh wilayah sampel pengamatan.
5. Untuk kelompok tanaman buah-buahan umumnya pada lahan-lahan lokasi
pengamatan dan pengambilan sampel tanah tergolong cukup sesuai ditanami
Blewah (Passiflora quandrangularia), Melon (Citrulus vulgaris) dan Nenas (Ananas
comosus). Disamping itu, pada beberapa lokasi dengan tingkat ketebalan solum
tanah yang sedang juga cukup sesuai untuk dilakukan budidaya tanaman Jambu
Biji (Psidium guajava), Belimbing (Averrhoa bilimbi), Skrikaya (Annona squamosa),
dan Sawo (Marchas zapota).
6. Untuk kelompok tanaman obat/rempah-rempah umumnya pada lahan-lahan lokasi
pengamatan dan pengambilan sampel tanah tergolong cukup sesuai ditanami
Kencur (Kaempferia galangal), Kunyit (Curcuma domestica), dan Lengkuas (Alpina
galanga). Tanaman-tanaman ini pada umumnya cukup toleran terhadap naungan
sehingga dapat ditanam dibawah tegakan pohon atau di sela-sela tanaman pangan.
7. Untuk kelompok tanaman pakan ternak umumnya pada lahan-lahan lokasi
pengamatan dan pengambilan sampel tanah tergolong cukup sesuai ditanami
Rumput Setaria (Setaria spachelata) dan Rumput Gajah (Pennisetum purpureum).
Disamping itu, pada beberapa lokasi dengan tingkat ketebalan solum tanah yang
sedang juga cukup sesuai untuk dilakukan budidaya pakan ternak jenis Legum
seperti Lamtoro (Leucaena leucocephala), Turi (Sesbania grandiflora), dan
sebagainya. Jenis-jenis ini pada umumnya merupakan tanaman yang tahan
kekeringan dan selalu hijau dalam setahun sehingga berpotensi dapat digunakan
sebagai pakan ternak diluar musim hujan.

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 105


BAB IV
PENUTUP

1. Kesimpulan
Adapun beberapa point kesimpulan yang dapat diambil dari hasil dan pembahasan
yaitu sebagai berikut.
a. Total luas Pulau Semau adalah 26.570 ha dengan 2 wilayah kecamatan dan 14 desa
serta jumlah total penduduk sebanyak 12.776 jiwa. Pada umumnya (75%) wilayah
desa berada pada rentang jarak 2.5 – 7.5 km dari ibukota kecamatan, kecuali Pulau
Kera yang berada pada jarak > 19 km dari ibukota Kecamatan Semau. Selain itu,
sebaran pemukiman penduduk umumnya berada di dekat ibukota kecamatan dan
terdapat kecenderungan (trend) makin jauh dari ibukota kecamatan, jumlah
pemukiman makin sedikit.
b. Elevasi di Semau umumnya berkisar antara 0 – 190 meter diatas permukaan laut
(mdpl) sehingga seluruh wilayah Semau dapat digolongkan sebagai daerah dataran
rendah (< 200 mdpl). Jika ditilik dari kelas lereng, maka sebagian besar (76%)
wilayah Semau tergolong datar (0-8%). Ini diperkuat dengan hasil analisis
bentuklahan (landforms) yang menunjukkan 62,3% wilayah Semau merupakan
lahan dataran (plains). Jika ditilik dari formasi geologi, maka jenis batuan
batugamping koral yang bersifat porous ini sangat dominan (79%) tersebar di
seluruh wilayah Semau. Selain itu, jenis tanah Litosol juga amat dominan di Semau
(83%) dimana jenis tanah ini dicirikan dari solum tanah yang tipis (20-25 cm), sifat
kimia dan fisika yang jelas, bahan organic tanah rendah serta peka erosi sehingga
umumnya memiliki tingkat produktivitas yang rendah.
c. Rata-rata curah hujan tahunan (annual rainfall) di Pulau Semau yaitu 1.558
mm/tahun dengan 5 bulan basah (November-Maret) dan 6 bulan kering (Mei-
Oktober) dan rerata suhu udara tahunan adalah 27,20C dengan suhu maksimum
terjadi pada bulan November (290C) dan suhu terendah pada bulan Juli dan Agustus
(260C). Berdasarkan klasifikasi iklim Scmidt & Ferguson tergolong dalam klasifikasi
E (agak kering). Sedangkan jika ditilik dari agroklimat Oldeman menunjukkan
bahwa di Semau masuk dalam tipe iklim D4 yang berarti mungkin hanya dapat 1x
tanam padi/palawija dalam setahun (tergantung adanya persediaan air irigasi). Jika
ditilik dari neraca air, menunjukkan periode surplus air (P>ETP) hanya terjadi

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 106


selama 4 bulan (Desember-Maret), dan 8 bulan deficit air (P<ETP). Jika dibagi
kedalam dasarian (10 hari), maka periode tanam di Semau dapat berlangsung mulai
dari pertengahan dasarian Desember II – pertengahan Mei III karena rejim air tanah
masih lembab. Selain hujan, terdapat beberapa sumberdaya air lainnya di Semau
yaitu embung, cekdam, mata air dan sumur/perigi. Jika ditilik dari hasil digitasi on-
screen citra satelit dan beberapa data sekunder lainnya ditemukan jumlah embung
di seluruh Semau berkisar antara 25 – 36 buah embung yang dibangun dari tahun
1991 - 2014. Hasil analisis topographic wetness index (TWI) menunjukkan terdapat
1.644 ha area dengan TWI tinggi (TWI > 10), namun dari hasil tumpang-susun
(overlay) dengan titik lokasi embung mengindikasikan lokasi embung eksisting di
Semau pada umumnya tidak berada pada lokasi dengan nilai TWI yang tinggi. Selain
embung, sumber mata air lainnya di Semau adalah sumur/perigi sebanyak 536
buah yang tersebar cukup merata di 2 kecamatan. Jika ditilik dari daerah
tangkapan air (DTA) atau daerah aliran sungai (DAS) menunjukkan di Semau
terdapat 25 DAS (data BPDASHL Benain Noelmina) – 332 DAS (hasil delineasi dari
DEMNAS) yang seluruhnya berukuran sangat kecil sehingga kemampuan
menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan tergolong sangat rendah.
d. Di Semau terdapat kawasan hutan seluas 31% dari total luas pulau dengan fungsi
hutan lindung (6.426 ha), hutan konservasi/kawasan suaka alam (KSA) Suaka
Margasatwa seluas 453 ha serta Taman Wisata Alam Laut Teluk Kupang yang
membentang dari Kota Kupang, Sulamu hingga sebagian wilayah Semau.
Berdasarkan sejumlah regulasi yang ada, pemanfaatan hutan lindung hanya
terbatas untuk pemanfaatan kawasan (budidaya tanaman obat, lebah dan
penangkaran), pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan
kayu (HHBK). Ini berarti kegiatan pemungutan HHBK seperti lebah madu yang
sudah lama dilakukan di Semau merupakan kegiatan yang “diperbolehkan” secara
regulasi. Selain itu, model pengelolaan hutan berbasis masyarakat dapat dilakukan
dengan skema perhutanan sosial (social forestry), baik dalam kawasan hutan negara
maupun hutan hak. Adapun dari berbagai model pengelolaan hutan yang ada, maka
yang paling memungkinkan untuk dilakukan dalam waktu dekat di Semau adalah
skema pengelolaan Kemitraan Kehutanan dengan KPHP Kab Kupang pada kawasan
hutan negara serta pengelolaan hutan privat/hutan kebun dan sistem hutan
kerakyatan pada hutan hak.

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 107


e. Hasil analisis vegetasi (struktur dan komposisi vegetasi) pada hutan di Uinao Timur,
Tuadaen dan Ingubluan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jenis vegetasi
antar lokasi. Di hutan Uinao Timur umumnya didominasi oleh jenis Kai Bua (nama
local). Pada lokasi hutan Tuadaen umumnya didominasi jenis Kusambi pada tingkat
pohon dan tiang namun pada tingkat sapihan dan semai tidak ditemukan jenis ini
yang diduga disebabkan pola regenerasi alami yang buruk serta factor antropogenik.
Sedangkan pada lokasi hutan Ingubluan nilai penting spesies dominan pada setiap
struktur vegetasi akan beragam. Pada ketiga lokasi hutan yang dikaji sama-sama
ditemukan pohon sarang lebah madu (Hliu, nama local) yang menunjukkan potensi
pengembangan lebah madu di Semau sangat tinggi karena ketersediaan pohon
sarang lebah. Jika ditilik dari indek kesamaan jenis antar lokasi cenderung rendah
(13-17%), sedangkan dari aspek kemerataan jenis dan tingkat kekayaan jenis
(species richness) cenderung tidak terlalu berbeda signifikan antar lokasi, serta
tingkat keragamanhayati jenis vegetasi yang hampir seluruhnya tergolong sedang.
f. Dari hasil analisis tutupan lahan (landcover) dapat diidentifikasi 7 tipe tutupan
lahan di Semau dimana tutupan lahan lahan kering/semak belukar merupakan
jenis tutupan lahan terluas (10.950 ha) dan sebaliknya tutupan lahan terkecil
adalah hutan mangrove (51 ha) di Pulau Semau. hasil uji akurasi diperoleh overall
accuracy 90% (sangat tinggi). Baik, tutupan hutan lahan kering primer dan hutan
lahan kering sekunder, justru lebih banyak berada pada area non kawasan hutan
(areal penggunaan lain-APL) atau hutan hak milik masyarakat yang menunjukkan
ruang pengelolaan hutan oleh masyarakat di Semau sebenarnya masih terbuka
luas. Selain itu, juga turut ditemukan banyak lahan pertanian dan pemukiman yang
justru berada dalam kawasan hutan negara. Jika ditilik perubahan tutupan lahan
di Semau dengan menggunakan citra Landsat multi-temporal selama 30 tahun
terakhir menunjukkan tutupan lahan hutan lahan kering primer telah berkurang
sekitar 44%, tutupan hutan lahan kering sekunder berkurang 36%, hutan mangrove
berkurang 48%, dan tanah terbuka berkurang 54%. Tren sebaliknya terjadi pada
tutupan lahan pertanian/pemukiman yang meningkat seluas 2.647 ha, lahan
pertanian/semak belukar seluas 964 ha dan tubuh air yang juga meningkat seluas
916 ha dalam kurun waktu yang sama.
g. Dari hasil sampel tanah pada 12 lokasi di 6 desa (Desa Hansisi, Uiasa, Letbaun,
Batuinan, Uitiutuan dan Uitiuana) secara umum menunjukkan ketebalan solum

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 108


tanah tergolong tipis/dangkal, C-organik tanah (bahan organik tanah) serta
Nitrogen yang umumnya sangat rendah-rendah. Meski hara makro lainnya
(phosphor dapat tukar dan kalium) umumnya tinggi, akan tetapi pada beberapa
lokasi terdapat tingkat P dan K tanah yang tergolong rendah - sedang. Hal ini
mengindikasikan bahwa tingkat kesuburan tanah pada lokasi sampel tanah
umumnya rendah sehingga dalam kegiatan budidaya tanaman mesti dibarengi
dengan input pupuk anorganik secara kontinu. Padahal penggunaan pupuk kimia
tidak disarankan karena pupuk kimia jika digunakan secara terus menerus akan
mengakibatkan tanah menjadi keras dan merusak drainase dan aerasi tanah serta
menyebabkan tanah menjadi keras. Disisi yang lain kapasitas tukar kation (KTK)
tergolong tinggi yang diduga dipengaruhi tekstur tanah yang sebagian besar berupa
lempung berpasir. Akan tetapi, hampir seluruh lokasi sampel tanah memiliki derajat
pH yang tergolong agak tinggi (agak basa-basa) yang menunjukkan unsur-unsur
hara tidak terlalu mudah diserap oleh tanaman karena banyaknya konsentrasi ion
hidrogen pada tanah. Diduga derajat pH yang tinggi ini dipengaruhi oleh factor
geologi dan klimatik.
8. Hasil analisis kesesuian lahan menunjukkan terdapat beberapa jenis tanaman yang
tergolong cukup sesuai untuk dikembangkan pada lokasi sampel yaitu untuk
kelompok tanaman Serealia umumnya cukup sesuai ditanami Jagung (Zea mays).
Untuk kelompok tanaman umbi-umbian cukup sesuai ditanami Talas (Colcasia
esculenta) dan Iles-Iles atau Porang (Amorphophalus ancophyllus). Untuk kelompok
tanaman kacang-kacangan cukup sesuai ditanami Kacang Tanah (Arachis hypogea)
dan Kedelai (Glicine maximum). Untuk kelompok tanaman sayur-sayuran cukup
sesuai ditanami Bawang Merah (Allium oscolonicum), Bawang Putih (Allium sativum),
Kubis (Brassica oleracea L.), Bayam (Amaranthus spe. Div.), Terung (Solanum
melongena), Brokoli (Brassica oleracea var italica), Tomat Sayur (Solanum
lycopersicon esculentum) dan Cabai Merah (Capsicum annum). Untuk kelompok
tanaman buah-buahan tergolong cukup sesuai ditanami Blewah (Passiflora
quandrangularia), Melon (Citrulus vulgaris) dan Nenas (Ananas comosus). Untuk
kelompok tanaman obat/rempah-rempah cukup sesuai ditanami Kencur
(Kaempferia galangal), Kunyit (Curcuma domestica), dan Lengkuas (Alpina galanga).
Untuk kelompok tanaman pakan ternak cukup sesuai ditanami Rumput Setaria
(Setaria spachelata) dan Rumput Gajah (Pennisetum purpureum).

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 109


2. Rekomendasi
a. Pembangunan embung di Semau sebaiknya diarahkan pada lokasi-lokasi yang
sesuai, baik secara geologi yang merupakan formasi kedap air yaitu batuan
Kompleks Bobonaro maupun yang menjadi lokasi dengan tingkat peluang limpasan
yang tinggi.
b. Perlu ada upaya massif agar praktek konservasi tanah dan air menjadi mainstream
dan terintegrasi dengan pola budidaya tanaman di Semau. Praktek-praktek seperti
pembuatan jebakan air, rorak, guludan, maupun penanaman MPTS dalam pola
agroforestry dapat menjadi pilihan, namun perlu disesuaikan dengan kondisi local
setempat.
c. Oleh karena tingkat perubahan lahan di Semau berlangsung sangat dinamis
terutama dalam upaya untuk pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat dengan
demikian diperlukan perlindungan serta pengembangan secara lahan pertanian
pangan. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemetaan lahan pertanian pangan
berkelanjutan (LP2B) dan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan (LCP2B)
di Semau dengan sejumlah luaran antara lain : (1) identifikasi lahan pertanian
basah dan lahan kering, (2) identifikasi luas lahan pertanian berdasarkan intensitas
penananam dan produktivitas.
d. Perlu ada upaya rehabilitasi hutan dan lahan, baik pada kawasan hutan negara dan
hutan hak terutama pada daerah tangkapan air (catchment) hulu dengan
menggunakan tanaman-tanaman local yang adaptif dan jika perlu menggunakan
jenis-jenis pohon local yang berpotensi dikembangkan sebagai hasil hutan bukan
kayu (HHBK).
e. Perlu ada upaya rehabilitasi area mengrove di sepanjang pesisir Pulau Semau.
f. Perlu ada pemantauan tingkat kesehatan hutan pada plot-plot permanen di Semau
secara berkala untuk memastikan keberlanjutan hutan. Salah satu metode
pemantauan yang baku secara global dan sudah diterapkan di Indonesia yaitu forest
health monitoring (FHM) dengan beberapa indicator yaitu produktivitas,
biodiversitas, vitalitas dan kondisi lokasi (tingkat pohon/cluster) yang diukur baik
secara kualitatif maupun kuantitatif. Pemilihan indicator pemantauan kesehatan
hutan harus memenuhi beberapa kriteria yaitu efisien dalam hal waktu dan biaya,
mudah diaplikasikan, dapat diukur (measurable) dan didefinisikan secara tepat.

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 110


g. Perlu ada pengukuran dan pengkajian lebih lanjut mengenai kemampuan
penambatan karbon (carbon sequestration) serta potensi biomassa dari berbagai
lokasi hutan di Semau.
h. Perlu dilakukan pengusulan perhutanan sosial apakah dalam bentuk hutan desa,
hutan kemasyarakatan, maupun kemitraan kehutanan dan jika memungkinkan,
hutan adat, pada kawasan hutan negara. Dengan demikian, masyarakat dapat
memanfaatkan potensi sumberdaya hutan (terutama HHBK), namun tetap
memastikan keberlanjutan hutan serta mendapatkan pengakuan oleh pemerintah.
i. Pengelolaan hutan berbasis hasil hutan bukan kayu (HHBK) mesti menjadi
mainstream dalam pengelolaan hutan di Semau. Hal ini disebabkan karena selain
sesuai dengan regulasi yang ada, juga terdapat potensi HHBK local yang sudah
dimanfaatkan oleh masyarakat local serta dampak kerusakan dari HHBK yang
umumnya jauh lebih rendah ketimbang hasil hutan kayu (HHK) dan ini penting
untuk memastikan keberlanjutan pengelolaan hutan di Semau.
j. Dalam pengembangan pertanian di Semau terdapat beberapa tindakan agronomi
yang perlu dilakukan antara lain sebagai berikut :
 Pemberian pupuk organic yang tidak saja dapat mengatasi kekurangan hara
tanah, tetapi juga dapat memperbaiki sifat fisik tanah (struktur dan tekstur
tanah) dan memperbaiki pH tanah menjadi netral.
 Pengolahan tanah minimal, terutama pada lapisan tanah bagian atas.
 Pemberian air irigasi terutama yang berasal dari air bersih yang disimpan
saat musim hujan melalui embung-embung, dan panen air
 Praktek konservasi tanah dan air mesti dan harus terintegrasi dalam setiap
kegiatan budidaya tanaman di Semau.
 Daur hara melalui pemanfaatan sisa-sisa tanaman atau limbah pertanian,
misalnya jerami, brangkasan jagung dan brangkasan kacang setelah panen
serta kotoran ternak sebagai pupuk kandang.
 Pengelolaan lahan melalui pola agroforestry. Komponen tanaman kayu
berumur panjang dapat dipilih jenis legume seperti Lamtoro (Leucaena
leucecaphala), Turi (Sesbania grandiflora) atau Lamtoro Teramba yang dapat
berfungsi sebagai hijauan pakan ternak dan dapat menyuburkan tanah
melalui proses fiksasi N dari udara.

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 111


Daftar Pustaka

Banilodu, L. 2003. Peramalan Dampak Pengelolaan Terhadap Kecenderungan


Pemulihan Ekosistem di Kawasan Cagar Alam Gunung Mutis, Timor-Indonesia.
WWF Nusa Tenggara Project, Kupang.
Barrow, C.J. 2006. Environmental Management for Sustainable Development (2 nd
Edition). Routledge Taylor & Francis Group. New York.
Botta, C. 2015. Understanding Your Soil Test (Step by Step). Yea River Catchment
Landcare Group. Australia.
Busse, W & S. Nugroho. 2014. The Development of Small Islands (Challenge for
Students, Entrepreneurs and Scientists). 7th International Conference on
Engineering & Business Education/ 5th International Conference on Innovation
and Entrepreneurship; Shijiazhuang, China, 13 - 15 October, 2014.
Badan Pusat Statistik. 2018. Kecamatan Semau dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Kupang.
Badan Pusat Statistik. 2018. Kecamatan Semau Selatan dalam Angka. Badan Pusat
Statistik Kabupaten Kupang.
Cook, T.W & A. M VanDerZanden. Sustainable Landscape Management (Design,
Construction and Maintenance). John Wiley & Sons, Inc., New Jersey.
Djalante, R & M. Garschagen. 2017. A Review of Disaster Trend and Disaster Risk
Governance in Indonesia : 1900-2015. In Disaster Risk Reduction in Indonesia
(Progress, Challenge & Issues). Djalante, R., M. Garschagen., F. Thomalla & R.
Shaw (eds). Springer International Publishing AG. Switzerland.
Firdaus, A.Y. 2018. Panduan Praktis Penerapan Kebijakan Perhutanan Sosial
(Kerangka Percepatan Reformasi Tenurial Hutan). Pusat Penelitian Kehutanan
Internasional (CiFOR). Bogor.
Hess, C & E. Ostrom. 2007. Understanding Knowledge as a Commons : from Theory to
Practice. The MIT Press. London, England.
Hormat, G & M. Heo. 2015. Profil Sistem Sumber Daya di Desa Uiboa, Desa Uitiuh
Tuan, Desa Batuinan, dan Desa Uitiuh Ana di Pulau Semau, Kab. Kupang, NTT.
Perkumpulan PIKUL. Kupang.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. PT Bumi Aksara. Jakarta.
Kusmana, C. 2017. Metode Survey dan Interpretasi Data Vegetasi. Penerbit IPB Press.
Bogor.
Mentaschi, L., M.I Vousdoukas., J-F. Pekel., E. Voukouvalas & L. Feyen. 2018. Global
Long-Term Observations of Coastal Erosion and Accretion. Scientific Reports.
(2018) 8:12876 | DOI:10.1038/s41598-018-30904-w.
Miyata, Y., H. Shibusawa., I. Permana & A. Wahyuni. 2018. Environmental and Natural
Disaster Resilience of Indonesia. pringer Nature Singapore Pte Ltd. Singapore.
Newhall, F & C.R. Berdanier. 1996. Calculation of soil moisture regimes from the
climatic record. Soil Survey Investigations Report No. 46, National Soil Survey
Center, Natural Resources Conservation Service, Lincoln, NE.
Njurumana, G.ND; M. Hidayatullah & T. Butarbutar. 2008. Kondisi Tanah pada Sistem
Kaliwu dan Mamar di Timor dan Sumba. Jurnal Info Hutan Vol. V, No 1:45-51,
2008, Yogyakarta.

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 112


Riwu Kaho, L. M. 2005. Api Dalam Ekosistem Savana : Kemungkinan Pengelolaanya
Melalui Pengaturan Waktu Membakar (Studi Pada Savana Eucalyptus Timor
Barat). Disertasi pada PPS UGM, Jogjakarta Bidang Ilmu Kehutanan, Yogjakarta.
Riwu Kaho, N.P.L.B., S. Wila Huky., G. Njurumana & Y.F. Nomeni. 2018. Grand
Strategy Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Provinsi Nusa Tenggara
Timur. Tidak diterbitkan. Kupang.
Rosidi, H.M.D., S. Tjokrosapoetro & S. Gafoer. 1996. Peta Geologi Lembar Kupang-
Atambua, Timor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Jakarta.
Simanjunyak, B.H., Y.H Agus & S. Yulianto. 2016. Kajian Ketersediaan Air Tanah untuk
Penentuan Surplus-Defisit Air Tanah dan Pola Tanam. Prosiding Konser Karya
Ilmiah Vol. 2, Agustus 2016, ISSN : 2460-5506.
Suharti, S. 2016. Review on Community Based Forest Management (CBFM) Planning
Procedures in Indonesia. Center for Forest Research and Development, Agency of
Research, Development and Innovation. Ministry of Environment and Forestry of
Indonesia. Bogor.
Sumarno. 2015. Status Kacang Tanah di Indonesia. Monograf Balitkabi No. 13, Tahun
2015. Malang.
Sutedjo, IN. P., U. Aspartia., M.T Surayasa & I. Rachmawati. 2009. Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Pulau Semau. Yayasan Keaenekaragaman
hayati (KEHATI) & Fakultas Pertanian UNDANA. Kupang.
Walshe, R.A & C.E Stancioff. 2018. Small Island Perspectives on Climate Change. Island
Studies Journal, 13(1), pp. 13-24. Institute of Island Studies, University of Prince
Edward Island, Canada.
Weiss, A. (2001). Topographic Position and Landforms Analysis (Poster). ESRI Users
Conference. San Diego, CA: ESRI.
Wiens, J.A., B. Van Horne & B. R Noon. 2014. Integraring Landscape Structure and
Scale into Natural Resource Management. In Integrating Landscape Ecology into
Natural Resource Management. J. Liu & W.W Taylor (eds). Cambridge University
Press. United Kingdom.
Zawawi, A. H., M. Shiba & N.J.N Jemali. 2014. Landform Classification for Site
Evaluation and Forest Planning: Integration between Scientific Approach and
Traditional Concept (Pengelasan Bentuk Muka Bumi bagi Tujuan Penilaian
Kawasan dan Perancangan Hutan: Integrasi antara Pendekatan Sains dan
Konsep Tradisi). Sains Malaysiana 43(3)(2014): 349–358.

Kajian Bentang Lahan Semau - 2019 Hal 113

Anda mungkin juga menyukai