OLEH :
Diyafakhri Andriandita
111.160.124
PLUG 5
2019
DAFTAR ISI
ii
BAB IV PEMBAHASAN ..................................................................................... 24
LAMPIRAN .......................................................................................................... 32
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR TABEL
v
Laboratorium Geologi Minyak dan Gas Bumi 2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
. Korelasi adalah sebuah bagian fundamental dari stratigrafi, dan lebih
lagi merupakan usaha dari stratigraphers dalam membuat unit stratigrafi
yang formal yang mengarah pada penemuan praktis dan metode yang dapat
dipercaya untuk korelasi unit ini dari suatu area dengan lainnya (Boggs,
1987).Setelah melakukan korelasi, hal yang dilakukan adalah melakukan
pemetaan geologi bawah permukaan.
BAB II
METODOLOGI
2.1 Korelasi Log
Korelasi dapat diartikan sebagai penentuan unit stratigrafi dan struktur
yang mempunyai persamaan waktu, umur dan posisi stratigrafi. Korelasi ini
digunakan untuk keperluan dalam pembuatan penampang dan peta bawah
permukaan. Data yang digunakan dalam korelasi antar sumur adalah berupa
wireline log dan seismik.
Korelasi dapat dibagi menjadi dua yaitu korelasi organik dan korelasi
anorganik. Korelasi organik,korelasi ini secara umum dilakukan berdasarkan
kandungan fosil yang terdapat pada suatu lapisan.Berdasarkan fosil yang
dipakai dibagi menjadi empat yaitu :
Untuk mendapatkan hasil korelasi yang lebih akurat jika semua data
tersedia maka sebaiknya korelasi didasarkan pada metode organik dan
anorganik.
1. Ketebalan
2. Pembajian lapisan
3. Perubahan fasies penyerpihan.
• Garis Kontur
Sebagaimana telah diuraikan garis kontur adalah garis iso, atau
persamaan nilai dari suatu sifat/keadaan yang dinyatakan dalam angka
numeris dan bersifat kuantitatif.
• Garis Bentuk (Formline)
Adalah semacam garis kontur yang tidak bersifat kuantitatif (tidak
numeris), tetapi kualitatif.
• Antara
Jarak antara dua garis kontur yang berdekatan secara horizontal/lateral
dinyatakan dalam ukuran skala.
• Interval Kontur
Perbedaan antara dua garis kontur yang berdekatan. Interval selalu
merupakan angka konstan untuk seluruh peta.
• Nilai Kontur
Nilai kontur harus selalu merupakan angka bulat atau angka yang
mudah.Pemilihan nilai kontur dan interval kontur sangat erat
hubungannya dengan:
1. Ketelitian data dalam titik kontrol, misalnya pembacaan kedalaman
tidak dapat lebih teliti dari 0,5 m maka interval kontur harus paling
sedikit 1 m.
2. Kecepatan perubahan nilai secara lateral atau antara (spacing)
3. Jika perubahan terlalu cepat maka interval harus besar sehingga
spacing tidak terlalu rapat.
4. Dalam pemilihan nilai kontur harus dipergunakan angka-angka
mudah, puluhan, ratusan, tengahan, limapuluhan, angka-angka
genap atau fraksi.
• Titik Kontrol
Titik Kontrol adalah setiap lokasi dalam dimana data didapatkan. Titik
ini dapat berupa sumur pemboran (kering ataupun yang menghasilkan
minyak) ataupun berupa sumur pemboran disebut control sumur (well-
control). Peta-peta, nama serta nomor biasanya dinyatakan pada titik
tersebut.
2.2.1 Prinsip Penggambaran Garis Kontur
1. Prinsip interpolasi / prinsip titik kontrol, garis kontur dengan nilai
tertentu digambarkan diantara titik-titik kontrol. Nilai garis kontrol
harus berada diantara nilai yang tercanum pada kedua titik kontrol.
2. Prinsip ekstrapolasi atau prinsip keseragaman antara (spacing),
penggambaran gariskontur dapat diteruskan diluar titik kontrol dengan
memelihara keseragaman spacing dari garis kontur dapat secara
perlahan-lahan melebaratau merapat kearah ekstrapolasi.
3. Garis kontur tidak mungkin bercabang, hal ini merupakan prinsip dari
segi estetika
4. Garis kontur tidak mungkin berpotongan (dengan pengecualian), ini
adalah akibat pada point 3. Sama halnya jika keadaan memaksa,
gambarkan dua garis kontur terpisah yang sama nilainya yang saling
menyerempet. Jika nilainya tidak sama hal ini tidak mungkin terjadi
kecuali dalam kontur struktuir suatu antiklin rebah (overtuned), maka
gambarkan garis yang ada disebelah bawah sebagai garis terputus-
putus.
5. Satu garis kontur tidak dapat bertindak sebagai nilai maksimum,
dimana dalam kedua belaharah nilai garis kontur bersama-sama
meningkat atau bersama-sama menurun.
6. Prinsip keseragaman bentuk, dari segi estetika dan geologi penarikan
garis kontur harus dibimbing sedemikian rupa sehingga bentuknya
serupa, seragam atau subpararel.
7. Sesuaikan bentuk garis kontur dengan bentuk ideal geologi yang
dipetakan. Jika yang dipetakan adalah struktur geologi atau bentuk
tektonik, maka harus dapat kita bayangkan bentuk-bentuk lipatan,
1. Metode Volumetrik
2. Metode Material Balance
3. Metode Decline Curva (Kurva Penurunan Produksi)
43560 𝑥 𝑉𝑏 𝑥 𝜙 𝑥 𝑆ℎ (𝑆𝐶𝐹)
𝐼𝐺𝐼𝑃 =
𝐵𝐺𝐼
𝑉𝑏 𝑥 𝜙 𝑥 𝑆ℎ (𝑆𝑇𝑀3 )
𝐼𝐺𝐼𝑃 =
𝐵𝐺𝐼
Dimana :
Ф : Porositas batuan
Sh : Hidrokarbon saturasi
BAB III
GEOLOGI REGIONAL
3.1 Fisiografi Sumatera Selatan
Secara fisiografis Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan
Tersier berarah baratlaut-tenggara, yang dibatasi Sesar Semangko dan Bukit
Barisan di sebelah barat daya, Paparan Sunda di sebelah timurlaut, Tinggian
Lampung di sebelah tenggara yang memisahkan cekungan tersebut dengan
Cekungan Sunda, serta Pegunungan Dua Belas dan Pegunungan Tiga Puluh
di sebelah baratlaut yang memisahkan Cekungan Sumatra Selatan dengan
Cekungan Sumatera Tengah. Blake (1989) menyebutkan bahwa daerah
Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan busur belakang berumur
Tersier yang terbentuk sebagai akibat adanya interaksi antara Paparan Sunda
(sebagai bagian dari lempeng kontinen Asia) dan lempeng Samudera India.
Daerah cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510 km2, dimana sebelah
barat daya dibatasi oleh singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah timur
oleh Paparan Sunda (Sunda Shield), sebelah barat dibatasi oleh Pegunungan
Tigapuluh dan ke arah tenggara dibatasi oleh Tinggian Lampung (Wisnu &
Nazirman, 1997).
B. Bagian Tengah, bagian ini merupakan jalur vulkanis (Inner Arc) yang
menduduki bagian tengah Pulau Sumatra dengan posisi agak ke Barat.
Jalur ini dikenal denan sebutan Bukit Barisan. Bukit barisan ini memiliki
lebar yang tidak sama. Bukit Barisan (Zone Barisan) mengalami peristiwa-
peristiwa geologis yang berulang-ulang dan kenampakan sekarang adalah
sebagai hasil fenomena geologis yang terjadi pada Plio – Pleistocene.
Berdasarkan fenomena pada Plio – Pleistocenemaka zone Barisan dapat
diuraikan menjadi tiga yaitu Zona Barisan Selatan, Zone Barisan Tengah
dan Zona Barisan Utara (Van Bemmelen, 1949, 678).
Zona Barisan Sumatra Selatan dibagi menjadi tiga unit blok sesaran yaitu:
a) Blok Bengkulu (The Bengkulu Block) Pada Bagian Barat membentuk
monoklinal dengan kemiringan 5 – 10 derajat ke arah Laut India (Indian
Ocean) dan tepi Timur Laut berupa bidang patahan. Batas Timur Laut
Blok Bengkulu adalah Semangko Graben, Ujung Selatan Semangko
Graben berupa Teluk Semangko di Selat Sunda.Sedangkan panjang
Graben Semangko yang membentang dari Danau Ranau – Kota Agung
di Teluk Semangko adalah 45 Km dan lebarnya 10 Km.
b) Blok Semangko (Semangko Central Block) Terletak diantara Zone
Semangko Sesaran Lampung (Lampung Fault). Bagian Selatan dari
blok Semangko terbagi menjadi bentang alam menjadi seperti
pegunungan Semangko, Depresi Ulehbeluh dan Walima, Horst Ratai
dan Depresi Telukbetung. Sedangkan bagian Utara Blok Semangko
(Central Block) berbentuk seperti Dome (diameter + 40 Km).
c) Blok Sekampung (The Sekampung Block) Blok Sekampung merupakan
sayap Timur Laut Bukit Barisan di sumatra Selatan. Blok ini merupakan
Pasang Blok Bengkulu. Kalau dilihat secara keseluruhan maka Zona
Barisan bagian Selatan (di daerah Lampung) memperlihatkan sebagai
geantiklin yang besar di mana Bengkulu Block sebagai sayap Barat
Daya, lebar 30 Km kemudian Sekampung Blok sebagai sayap Timur
Laut, lebar 35 Km dan puncak geantiklinnya adalah central block (Blok
Semangko) dengan lebar 75 Km.
utama yaitu, berarah timur laut-barat daya (Pola Jambi), berarah barat laut-
tenggara (Pola Sumatra), dan berarah utaraselatan (Pola Sunda). Hal inilah
yang membuat struktur geologi di daerah Cekungan Sumatra Selatan lebih
kompleks dibandingkan cekungan lain di daerah Sumatra seperti Cekungan
Sumatera Bagian Tengah , Bagian Utara,dan lainnya.
1. Tektonik Pertama
Tektonik pertama ini berupa gerak tensional pada Kapur Akhir sampai
Tersier Awal yang menghasilkan sesar-sesar bongkah (graben) berarah
timur laut-barat daya atau utara-selatan. Sedimentasi mengisi cekungan
atau graben di atas batuan dasar bersamaan dengan kegiatan gunung
api.
2. Tektonik Kedua
Tektonik ini berlangsung pada Miosen Tengah-Akhir (Intra
Miosen) menyebabkan pengangkatan tepi-tepi cekungan dan diikuti
pengendapan bahan-bahan klastika
3. Tektonik Ketiga
Tektonik berupa gerak kompresional pada Plio-Plistosen
menyebabkan sebagian Formasi Airbenakat dan Formasi Muaraenim
telah menjadi tinggian tererosi, sedangkan pada daerah yang relatif
turun diendapkan Formasi Kasai. Selanjutnya, terjadi pengangkatan
Gumai (GUF). Sedangkan yang terbentuk pada tahap susut laut disebut
Kelompok Palembang (Spruyt, 1956) dari umur Miosen Tengah – Pliosen
terdiri atas Formasi Air Benakat (ABF), Formasi Muara Enim (MEF), dan
Formsi Kasai (KAF).
lapisan batulempung tufan dan batupasir yang lepas, pada bagian teratas
terdapat lapisan tuf batuapung yang mengandung sisa tumbuhan dan kayu
terkersikkan berstruktur sediment silang siur, lignit terdapat sebagai lensa-
lensa dalam batupasir dan batulempung tufan (Spruyt, 1956). Tobler
(1906) menemukan moluska air tawar Viviparus spp dan Union spp,
umurnya diduga Plio-Plistosen.Lingkungan pengendapan air payau
sampai darat.Satuan ini terlempar luas dibagian timur Lembar dan
tebalnya mencapai 35 meter.
1. Batuan Induk
Hidrokarbon pada cekungan Sumatera Selatan diperoleh dari batuan
induk lacustrine formasi Lahat dan batuan induk terrestrial coal dan
coaly shale pada formasi Talang Akar. Batuan induk lacustrine
diendapkan pada kompleks half-graben, sedangkan terrestrial coal dan
coaly shale secara luas pada batas half-graben. Selain itu pada batu
gamping formasi Batu Raja dan shale dari formasigumai
memungkinkan juga untuk dapat menghasilkan hirdrokarbon pada area
lokalnya (Bishop, 2000). Gradien temperatur di cekungan Sumatera
Selatan berkisar 49° C/Km. Gradien ini lebih kecil jika dibandingkan
dengan cekungan Sumatera Tengah, sehingga minyak akan cenderung
berada pada tempat yang dalam. Formasi Batu Raja dan formasi Gumai
berada dalam keadaan matang hingga awal matang pada generasi gas
termal di beberapa bagian yang dalam dari cekungan, oleh karena itu
dimungkinkan untuk menghasilkan gas pada petroleum system
(Bishop, 2000).
Nama : Diyafakhri Andriandita
NIM : 111.160.124
Plug : 5 21
Laboratorium Geologi Minyak dan Gas Bumi 2019
2. Reservoar
Dalam cekungan Sumatera Selatan, beberapa formasi dapat menjadi
reservoir yang efektif untuk menyimpan hidrokarbon, antara lain adalah
pada basement, formasi Lahat, formasi Talang Akar, formasi Batu Raja,
dan formasi Gumai. Sedangkan untuk sub cekungan Palembang Selatan
produksi hidrokarbon terbesar berasal dari formasi Talang Akar dan
formasi Batu Raja. Basement yang berpotensi sebagai reservoir terletak
pada daerah uplifted dan paleohigh yang didalamnya mengalami
rekahan dan pelapukan. Batuan pada basement ini terdiri dari granit dan
kuarsit yang memiliki porositas efektif sebesar 7 %. Untuk formasi
Talang Akar secara umum terdiri dari quarzone sandstone, siltstone,
dan pengendapan shale. Sehingga pada sandstone sangat baik untuk
menjadi reservoir. Porositas yang dimiliki pada formasi talang Akar
berkisar antara 15-30 % dan permeabilitasnya sebesar 5 Darcy. Formasi
Talang Akar diperkirakan mengandung 75% produksi minyak dari
seluruh cekungan Sumatera Selatan (Bishop, 2000). Pada reservoir
karbonat formasi Batu Raja, pada bagian atas merupakan zona yang
porous dibandingkan dengan bagian dasarnya yang relatif ketat (tight).
Porositas yang terdapat pada formasi Baturaja berkisar antara 10-30 %
dan permeabilitasnya sekitar 1 Darcy (Ariyanto, 2011).
3. Batuan Penutup
Batuan penutup cekungan Sumatra Selatan secara umum berupa lapisan
shale cukup tebal yang berada di atas reservoir formasi Talang Akar
dan Gumai itu sendiri (intraformational seal rock). Seal pada reservoir
batu gamping formasi Batu Raja juga berupa lapisan shale yang berasal
dari formasi Gumai. Pada reservoir batupasir formasi Air Benakat dan
Muara Enim, shale yang bersifat intraformational juga menjadi seal
rock yang baik untuk menjebak hidrokarbon (Ariyanto, 2011).
4. Trap
Jebakan hidrokarbon utama diakibatkan oleh adanya antiklin dari arah
baratlaut ke tenggara dan menjadi jebakan yang pertama dieksplorasi.
Antiklin ini dibentuk akibat adanya kompresi yang dimulai saat awal
miosen dan berkisar pada 2-3 juta tahun yang lalu (Bishop, 2000).
Selain itu jebakan hidrokarbon pada cekungan Sumatra Selatan juga
diakibatkan karena struktur. Tipe jebakan struktur pada cekungan
Sumatra Selatan secara umum dikontrol oleh struktur-struktur tua dan
struktur lebih muda. Jebakan struktur tua ini berkombinasi dengan sesar
naik sistem wrench fault yang lebih muda. Jebakan sturktur tua juga
berupa sesar normal regional yang menjebak hidrokarbon. Sedangkan
jebakan struktur yang lebih muda terbentuk bersamaan dengan
pengangkatan akhir Pegunungan Barisan (pliosen sampai pleistosen)
(Ariyanto, 2011).
5. Migrasi
Migrasi hidrokarbon ini terjadi secara horisontal dan vertikal dari
source rock serpih dan batubara pada formasi Lahat dan Talang
Akar.Migrasi horisontal terjadi di sepanjang kemiringan slope, yang
membawa hidrokarbon dari source rock dalam kepada batuan reservoir
dari formasi Lahat dan Talang Akar sendiri.Migrasi vertikal dapat
terjadi melalui rekahan-rekahan dan daerah sesar turun
mayor.Terdapatnya resapan hidrokarbon di dalam Formasi Muara Enim
dan Air Benakat adalah sebagai bukti yang mengindikasikan adanya
migrasi vertikal melalui daerah sesar kala Pliosen sampai Pliestosen
(Ariyanto, 2011).
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Korelasi Stratigrafi dan Stratigrafi daerah Telitian
Korelasi Stratigrafi yang dilakukan menggunakan datum berupa lapisan
tipis batulempung pada bagian atas/top batugamping formasi baturaja atau
MFS (Maximum Flooding Surface) yang mempunyai penyebaran luas dan
terdapat pada semua sumur. Sementara pengkorelasian tetap pada sand to
sand, dengan melihat kanampakan elektrofasiesnya sehingga dapat
diinterpretasi dan dikorelasikan. Dari hasil korelasi stratigrafi lapisan
batupasir pada sumur GMB 34, GMB 47, GMB 26, GMB 35, GMB 23, GMB
49, GMB 06, GMB 46, GMB 54, GMB 27, GMB 45, dengan mencocokkan
posisi sumur pada basemap dapat diketahui pola penyebaran lapisan batupasir
yang berfungsi sebagai batuan reservoar, baik reservoar minyak maupun gas.
Pola penyebaran lapisan batupasir tersebut secara vertikal apabila dikorelasi
ada yang menebal maupun menipis, terlihat dari pola log yang mengalami
beberapa perubahan, hal tersebut dapat disebabkan oleh suplai material
sedimennya dan rate of subsidence serta GSL (Global Sea Level). Stratigrafi
daerah telitian termasuk dalam 3 formasi mulai daei yang paling tua yaitu
Formasi Talang Akar dengan penciri litologi batupasir perselingan lempung,
sisipan serpih atau lanau, Formasi Batu Raja dengan penciri bagtugamping
trumbu, dan Formasi Gumai dengan penciri atas napal tufaan berwarna
kelabu cerah sampai kelabu gelap.
Peta ini didapatkan dari hasil trace kontur pada Peta Top Structure dan Peta
Bottom Structure dengan kontur yang sesuai dengan kedalaman sesuai
GWC.
4. Peta Net Res
Peta ini dibuat berdasarkan ketebalan reservoar setelah dikurangi
ketebalan lempung.
5. Peta Net Pay
Peta ini merupakan hasil penampalan Peta Fluid Contact dan Peta Net Res.
Kontur pada Peta Net Res yang melebihi Fluid Contact, harus dipotong
ketika digambarkan pada Peta Net Pay.
4. Metode Volumetrik
5. Metode Material Balance
6. Metode Decline Curva (Kurva Penurunan Produksi)
43560 𝑥 𝑉𝑏 𝑥 𝜙 𝑥 𝑆ℎ (𝑆𝐶𝐹)
𝐼𝐺𝐼𝑃 =
𝐵𝐺𝐼
𝑉𝑏 𝑥 𝜙 𝑥 𝑆ℎ (𝑆𝑇𝑀3 )
𝐼𝐺𝐼𝑃 =
𝐵𝐺𝐼
Dimana :
Ф : Porositas batuan
Sh : Hidrokarbon saturasi
1. Cara Pyramidal
Metode ini digunakan bila harga perbandingan antara kontur yang
berurutan kurang atau sama dengan 0,5 atau An+1/An < 0,5
(Sylvan,J.Pirson,1985). Persamaan yang digunakan adalah:
ℎ
𝑉𝑏 = 𝑥 (𝐴𝑛 + 𝐴𝑛+1 + √𝐴𝑛 𝑥 𝐴𝑛+1 )
3
2. Cara Trapezoidal
Metode ini digunakan bila harga perbandingan antara kontur yang
berurutan lebih dari 0,5 atau An+1/An>0,5 (Sylvan,J.Pirson,1985).
Persamaan yang digunakan adalah:
ℎ
𝑉𝑏 = 𝑥 (𝐴𝑛 + 𝐴𝑛+1 )
2
Berdasarkan data sumur kemudian dibuat peta-peta yaitu Peta Top
Structure, Peta Bottom Structure, Peta Fluid Contact, Peta Net Res, dan Peta
Net Pay, lalu dimasukkan ke dalam rumus-rumus di atas, maka didapatkan
perhitungan sebagai berikut:
No Jumlah kotak ( 1mm ) Jumlah Kotak 1 cm² Skala ( m )² Luas asli ( m ²) Luas Acre
A0 2264 38917 389,17 62500 24.323.125 6.007,8119
Perb. Luas Interval meter interval ( feet ) Rumus Volume acre (ft) IGIP
No Jumlah kotak ( 1mm ) Jumlah Kotak 1 cm² Skala ( m )² Luas asli ( m ²) Luas Acre
A0 1656 6244 62,44 62500 3.902.500 963,917500
10.917.500,000000
Perb. Luas Interval meter interval ( feet ) Rumus Volume acre (ft) IGIP
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Setelah dilakukan pembuatan peta dan perhitungan cadangan, maka
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
De Coster, G. L. 1974. "The Geology of The Central and South Sumatra Basins."
3rd Annual Convention Proceedings. IPA. 77-110.
31
LAMPIRAN
32