Anda di halaman 1dari 13

AGAMA DAN KEKUASAAN POLITIK NEGARA

Nor Hasan
Jurusan Tarbiyah STAIN Pamekasan
Jl. Pahlawan Km. 04 Pamekasan. Email: enhas0867@yahoo.com

Abstrak
Agama dan negara adalah dua entitas yang sama-sama berfungsi bagi kehi-
dupan manusia. Jika negara berada pada dimensi kekinian manusia yang se-
kuler,memenuhi kebutuhan hidup di dunia, maka agama berperan pada di-
mensi relegius, menyeberang dari dimensi kekinian ke alam dimasa datang.
Sejatinya keduanya berdiri sejajar, namun dalam realitasnya memiliki dina-
mika tersendirinya. Awalnya, agama berdiri agak merunduk di belakang ne-
gara, kemudian bergerak disampingnya, akhirnya merangkul pundak negara
bahkan bertindak sebagai negara itu sendiri. Jadilah apa yang kita kenal aga-
ma-negara. Elite agama seringkali dijadikan alat penyambung lidah penguasa
pada masyarakatnya. Sehingga sering tampil sebagai nabi “negara” bukan
nabi “rakyat”. Dalam kedudukannya yang serba terkungkung akhirnya aga-
mapun tak berdaya berhadapan dengan negara.

Abstract
Religion and state are two entities that are working for human life. If the coun-
try is at present dimension, namely the secular man, who only needs to live in
the world, the role of religion in relegius dimension, crossing from the present
dimension to nature in the future. Indeed both stand in line, but in reality has
its own dynamics. Initially, religion stands somewhat ducked behind the
country, then it moved beside the country, finally it put its arm around the
country and even acted as the country itself. Be what we know state-religion.
Elite religion is often used as a mouthpiece of the ruling apparatus in the
community. So, he often appear as a prophet of "state", not a prophet of “the
people". In a position that completely confined, religion ultimately is power-
less to deal with the state.
Kata kunci
Agama, negara, kekuasaan politik.

Pendahuluan dipisahkan. Pertama, dimensi kekinian


Manusia sebagai zo on of political, yang bersifat sekuler, dimana manusia
atau makhluk yang berkongsi, tidak harus mempertahankan dan menjamin
hidup sendiri. Kongsi yang paling primer kehidupannya, di tengah kehidupan
adalah keluarga dan suku atau klan. Dari manusia lain. Kedua, dimensi religius
kongsi tersebut kemudian manusia adalah menyeberang kekiniannya dan
memahami kehidupannya yang terbagi mengkaitkan dengan asal mulanya
pada dua dimensi, antara keduanya sulit
Agama dan Kekuasaan Politik Negara

sekaligus dengan suatu alam di masa akademis besar sampai akhir abad ke-19
depan. mencair dari pemaknaan ulang mereka
Hal-hal yang berkaitan dengan sendiri yang sekuler, dipengaruhi oleh
dimensi kekinian, manusia hidup secara munculnya institusi-institusi negara,
kelompok, membentuk paguyuban dan kebutuhan nasional baru, dan hadirnya
kemudian menjadi masyarakat. Atas kelompok intelektual dalam gelombang
dasar kesepakatan bersama, tataran yang lebih besar. Kondisi semacam ini
berikutnya menghasilkan kota atau agama mulai mengalami pergeseran
wilayah (dalam tataran yang lebih luas makna, agama dianggap hal yang
berbentuk negara) yang diatur oleh membosankan, ditelaah sebagai bentuk
hukum. Namun demikian ketika manusia keingintahuan akan masa silam yang
berada dan mengurus kekiniannya ia tersingkirkan. Bukan hanya itu,
juga tidak terlepas dari nilai-nilai religius tampaknya agama sudah mulai
yang menyangkut nilai hidup. melupakan perannya bagi kehidupan
Dalam setiap detik hidupnya manusia, akibat keterkungkungannya
manusia beragama pasti menginginkan dari mahluk adi Kuasa yang bernama
dekat dengan Tuhannya, mungkin negara. Agama yang sejatinya menjadi
dengan cara merenung, berdzikir, uzlah, lem perekat yang menyatukan
medetasi ataupun ibadah lainnya.1 Dan masyarakat, memberikan legitimasi
institusi-institusi keagamaan sering kali perubahan sosial, dan mendefinisikan
menutupi latar belakang etnis atau banyak harapan dasar kita menyangkut
kedaerahan.2 tatanan politik, seringkali tampil sebagai
Konsensus agama yang alat pemecah umat terutama ketika
menggerakkan lembaga-lembaga masuk pada wilayah politik praktis.
Dalam hal ini politisi-politisi populis
1Sekedar menyebut contoh, di Amerika Serikat mempunyai andil besar atas kebodohan
saat ini muncul fenomena keasadaran beragama. rakyat melalui penggunan metafor-
Budaya keagamaan Amerika bisa digambarkan metafor keagamaan dalam kampanye-
sebagai sebuah pasar. Di manapun tempat mereka kampanye mereka yang begitu semangat.
terpanggil oleh Roh Kudus bisa mendirikan
rumah kebaktian dan layanan-layanan lainnya.
Elit-elit politik mengembangkan tema
Gereja menanamkan pelbagai keyakinan dan kampanye dan mengunakan citra agama
membentuk world view, memberikan struktur untuk membangun koalisi, yang sebagian
pemahaman dan menawarkan norma-norma didasarkan pada seruan-seruan
sosial, merumuskan pemikiran-pemikiran bagi keagamaan.
design dan tujuan sistem politik serta
membangkitkan pelbagai harapan kehidupan
Tulisan ini akan mengkaji tentang
akhir zaman dan akibat penyelamatannya. Gereja agama dan negara yang keduanya sama-
sering menjadi konteks pembangunan kesadaran sama memiliki fungsi bagi manusia,
diri-sebagai sesama. David C. Leege, Agama dan sekalipun pada perjalanan berikutnya
Politik dalam Perspektif Teoritis (Jakarta:Yayasan mengalami titik singgung satu dengan
Obor, 2006), 3; Tentang perkembangan studi
Agama di Amerika selengkapnya bisa dilihat
lainnya, sehingga muncullah wacana,
tulisan Joseph M. Kitagawa “ Sejarah Agama- bahwa negara adalah makhluk adikuasa
Agama di Amerika” dalam buku Metodologi yang menguasai manusia termasuk
Studi Islam ed. Ahmad Norma Permata agama. Dengan demikian muncullah
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 108-142. wacana pemisahan antara agama dan
2 David C. Leege, Agama dan Politik., 6.
negara, yang tak kalah menariknya

KARSA, Vol. 22 No. 2, Desember 2014| 299


Nor Hasan

perbincangan ini terus berlanjut dalam berkesimpulan betapa mustahilnya


wacana pemikiran politik Islam. membangun kekuasaan atas dasar
moral.4
Relasi Agama dengan kekuasaan negara. Politik, dalam pandangan
Diskursus tentang negara hampir Mechiavelli, hanya digunakan untuk
tidak pernah berhenti, selalu menjadi menyebut dan mengingatkan para
topik menarik untuk diperbincangkan, pangeran (kelompok elite), bahwa
lebih-lebih di zaman modern. Karena mereka benar-benar saling berperang
dalam kenyataannya, tidak ada demi kekuasaan, bukan demi prinsip-
seorangpun yang terbebas dari jari-jemari prinsip mulia yang sering kali
negara. Konflik politik yang terjadi diobrolkan.5 Seringkali agama yang
selama ini, --baik di negara maju yang bermuatan moral menjadi alat kekuasaan
mungkin lebih sedikit kendor jeratan agar elite lain tidak “menganggu”
negara, ataupun lebih-lebih di negara kekuasaannya. Oleh karena itu demi
berkembang yang rata-rata jeratan kekuasaannya semestinya raja harus
negaranya lebih kencang-- tidak lain mencari penghargaan dan kemuliaan dari
karena jeratan negara tadi. rakyat. Rakyat hanya membutuhkan
Tak terbantahkan lagi bahwa ketenangan untuk bekerja mencapai
negara kini telah menjadi makhluk yang kemakmuran dan rasa aman.6
paling raksasa, paling berkuasa di atas Ibnu Khaldun,7menemukan
bumi.Tidak ada satu ruang kehidupan pemahaman yang berbeda. Dia
manusia yang tidak bisa diacak-acak oleh menemukan rakyat yang diberlakukan
negara. Kalau hati orang beriman terpatri secara tidak adil, tertindas atas nama
bahwa diatas manusia tidak ada instansi idealitas. Kemudian Ia mencoba
lain kecuali Tuhan, namun kenyataannya melokalisasi alasan yang mendasari
yang dirasakan manusia baik iman situasi ini. Berdasarkan analisisnya
maupun kafir, diatas manusia yang Khaldun menemukan sebab-sebab
secara riil ada dan benar-benar terasa alamiah terkait dengan tatanan sosial.
adanya adalah maha instansi yang Dalam pandangan Khaldun, masyarakat
bernama negara.3 Dalam konteks ini manusia yang didasarkan pada keluarga
negara semakin menjadi pemeran sifat besar (klan), cenderung menciptakan
kemahakuasaan Tuhan sebagai al- unit-unit sosial berdasarkan așâbiyah.
Mukhith yang Maha Meliputi.
Nicollo Machiavelli kadung
4 M. Sastraprateja dan Frans M. Parera, “Kata
memberikan citra buruk terhadap negara
Pengantar, Suatu Alternatif Kaedah Etika Politik”
yang lebih ditekankan pada politik. dalam Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa Surat
Mechiavelli --dengan merujuk kasus G. Seaorang Negarawan Kepada Pemimpin Republik, alih
Savanaralo (1452-1498) dari Ordo bahsa C. Woekisari, (Jakarta: Gramedia, 1987), x-
Dominikan dan didasari pengalamannya xxx., Zainuddin Maliki, Agama Priyai: Makna
Agama di Tangan Elite Penguasa (Yogyakarta:
mendampingi raja-raja Italia, serta kasus
Pustaka Marwa, 2004), 38.
Ferdinand dari Arragorn, Spanyol— 5 Abdelwahab El-Affendi, Masyarakat Tak
Bernegara, 7.
6 Zainuddin, Agama Priyayi, 39
3 Abdelwahab El-Affendi, Masyarakat Tak 7 Ide-ide Ibnu Khaldun tentang negara ini

Bernegara: Kritik Teori Politik Islam, (Yogyakarta: tertuang dalam karyanya, Muqaddimah (Beirut:
LkiS, 1994), v Dar al Fikr,tt).

300 | KARSA, Vol. 22 No. 2, Desember 2014


Agama dan Kekuasaan Politik Negara

Așâbiyah-lah sebagai pengikat solidaritas adilan pra-negara, jika otoritas tersebut


kelompok agar selalu bersama-sama dan diîdasarkan pada tirani yang tidak
merupakan basis otoritas politik. terkendali. Itulah dalam gambaran
Otoritas politik diperlukan untuk Hobbes mengapa banyak orang memilih
membuat urusan manusia menjadi keberadaan masyarakat tanpa negara
tertata. Otoritas politik ini dipegang oleh sebagai tempat tinggal ketimbang hidup
individu-individu atau kelompok yang dibawah tirani.9 Oleh karena itu ia
paling berkuasa dalam masyarakat. mengajukan gagasan pemerintahan
Dengan merujuk pada sejarah persaingan terbatas berdasarkan persetujuan rakyat.
antar klan, Ibn khaldun membagi otoritas Negara seharusnya melayani
politik pada dua bagian yaitu; otoritas rakyat, dengan mekanisme yang
formal atau negara (mulk) dan meyakinkan pemerintah harus bisa
kepemimpinan informal (riyasah). Dalam bertanggung jawab kepada rakyat, bukan
negara, kekuatan politik yang memaksa sebaliknya. Semestinya penguasa “to
dipegang oleh klan yang paling kuat, reign” bukan “ to rule” (pemerintah
kemudian disusul dengan ekspansi memberi pengarahan bukan semata
terhadap klan-klan lain. Disinilah negara menggunakan kekuasaan).10
mengalami kehancuran secara alamiah Pemerintahan yang tidak terbatas
dan diganti oleh negara yang lebih muda memiliki kecenderungan menciptakan
dan lebih kuat. klik-klik penguasa, mementingkan
Negara secara alamiah tumbuh tujuan-tujuan pribadi, bertentangan
dari tatanan sosial, karena tanpa sentral dengan kepentingan umum. Untuk
dan otoritas tak tersaingi, masyarakat mengatasi hal tersebut, otoritas politik
akan hancur oleh peperangan yang tiada harus dibatasi dengan pembagian
hentinya. Disinilah muncul sifat kekuasaan (kekuasan legislatif dan
keserakahan manusia, -sekalipun tidak eksekutif tidak boleh diberikan pada satu
semua keserakahan tersebut selalu organ).
bermakna negatif-, karena justru dengan Sudah menjadi karakteristik kaum
keserakahan tersebut manusia terdorong elite penguasa mencari dan
untuk mencari kekuasaan, kemudian mempertahankan kekuasaannya.
menciptakan kapasitas untuk Biasanya upaya yang dilakukannya
memerintah. Agar pemerintahan tersebut melalui institusi-institusi pembentuk
tidak berbahaya maka otoritas tersebut kesadaran misalnya lembaga,
perlu dibatasi.8 Karena ketika tidak ada pendidikan, pengetahuan bahkan juga
batasan dalam otoritas, yang terjadi agama, untuk mendukung kepentingan
adalah hegemoni atau absolutisme, mereka. Mills berkaitan dengan ini
masyarakat terkungkung tidak memiliki menyatakan, semua elit mengarahkan
kebebasan sama sekali. Dengan energinya untuk kepentingan yang sama
demikian, otoritas kedaulatan negara yakni berupaya mempertahankan
bisa lebih berbahaya ketimbang ketidak
9Abdel Wahhab El-Afanndi, Masyarakat, 13.
8David C. Leege, Agama, 8. Pembatasan otoritas 10Olaf Schumann, “Agama, Negara dan Civil
negara dalam hal tertentu misalnya, kekayaan Society” dalam Islam Negara dan Civil Society:
pribadi, kehidupan keluarga dan kehidupan Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer,
perorangan. Komaruddin Hidayat (ed) (Jakarta:
Paramadina2005), 101.

KARSA, Vol. 22 No. 2, Desember 2014| 301


Nor Hasan

kekuasaan, dan lalu mempertahankan Kelas pengusaha tidak saja


setiap kebijakan-kebijakan mereka.11 menjustifikasi kekuasaannya secara
Atas nama kebijakan negara, defacto, tetapi berusaha untuk
siapapun yang membangkang, tidak menemukan dasar moral dan
patuh, dan kritis terhadap pemerintah legalitasnya. Begitu pula pemekaran
harus disingkirkan. Dua kekuatan yang birokrasi dan organisasi tak lebih
dimiliki negara –dalam istilah merupakan proses rasionalisasi yang
Althusser —Refresive State Apparatuses
12 mengarah pada dominasi –sekalipun
(RSA) dan Ideological State Apparatuses patut dipertanyakan untuk/menurut
(ISA) menjadi kekuatan efektif untuk siapa rasional itu, apakah itu rasional
memaksakan keinginan dengan dalih untuk/menurut penguasa atau rakyat?--,
kebijakan negara terhadap rakyat.13 sosialisasi dan menjadikan sebagai
Negara –dengan dalih sebagai pemegang bentuk penanaman keyakinan kepada
otoritas-betul-betul memanfaatkan power masyarakat yang dipengaruhi.
secara efektif sebagai alat produksi untuk Proses rasionalisasi birokrasi
menghegemoni, dan hanya negaralah semacam ini –dalam istilah Weber-
yang memiliki kekuatan itu. menjelma menjadi “sangkar besi” (iron
Otoritas tidak lebih dari sebuah cage).14 Dengan berselubung rasionalitas,
topeng kekuasaan, semua justifikasi dan kekuasaan politik pada hakikatnya
legitimasi dari aturan elite atas izin yang menindas masyarakat itu sendiri. Cita-
dimanipulasi dari yang dikuasai. cita membangun manusia yang memiliki
Bagaimanapun –dalam perspektif Weber otonomi menjadi tidak tercapai.15 Hal ini
–elite selalu berusaha merasionalisasi sejalan dengan penganut teori kritis,
aturannya, baik untuk dirinya sendiri Jurgen Habermas yang menilai bahwa
maupun ketika mengelola massa dengan tindakan yang menekankan pada
menggunakan political formula atau pencarian instrumen (zweckrasionalist)
metode lain dalam pembenaran diri. yang mengacu kepada pencapaian
tujuan setinggi-tingginya dan tidak
11Zainuddin, Agama, 17.
mengindahkan rasionalitas nilai
12 Lebih rinci tentang pemikiran Louis Althusser (wertrationalitat), berkembang menjadi
ini bisa dibaca: Louis Althusser, Tentang Ideologi: “totalitas historis” sebuah “bentuk
Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studis, kehidupan” (lebensform) yang memenjara
(Yogyakarta: Jala Sutra, 2004). masyarakat.16
13 Hal semacam ini dalam konteks Indonesia
terjadi pada masa orde Baru, betapa negara
Baik Habermas, Parsons, Arendt
menghegemoni masyarakat dengan legalisasi dan pengikut Weberian sependapat
undang-undang subversif, pemberlakuan P4 dan bahwa masyarakat telah memberikan
pemberlakuan asas tunggal. Dalam perspektif mandat pada penguasa untuk
kebijakan-kebijakan tersebut, hanya menjalankan kekuasaan bahkan
pemerintahlah yang memiliki hak otoritas untuk
menafsirkan. Akibatnya tidak sedikit para aktifis
dominasi, baik melalui kekerasan
hilang dan tertindas dibawah tekanan refresif
negara. Negara pada tataran ini –dalam teori 14 Ibid., 24.
Marxis-Leninis- betul-betul sebagai suatu 15 F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat
kekuatan eksekusi dan intervensi represif untuk Komunikatif Ilmu, Masyarakat Politik dan
kepentingan kelas penguasa (borjuis) dan Postmodernisme Menurut Jurgan Habermas
sekutunya. (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 75-77.
16 Zainuddin, Agama, 24.

302 | KARSA, Vol. 22 No. 2, Desember 2014


Agama dan Kekuasaan Politik Negara

maupun legitimasi. Namun, hal itu Sementara kesatuan kultural dianggap


hanya berlaku pada ranah normatif, sebatas kesatuan politik dan teritorial.
bukan digunakan untuk menghadapi Masyarakat tak lebih dari gambaran
keserakahan manusia, baik individu massa yang tak terorganisasi, tidak sadar
maupun kelompok dalam sebuah akan kejahatan yang telah melanda
organisasi. Yang kerap kali terjadi, dirinya, yang penting mereka diberi
kekuasaan bukan dilakukan atas kenikmatan keuntungan sedikit saja,
persetujuan rakyat, tetapi dengan sekalipun mereka jauh dari kegiatan
berbagai cara, semisal; melalui keputusan kolektif karena mereka tidak dilibatkan
manipulatif, pembentukan opini secara dalam aktifitas kolektif. Penguasa
persuasif atau bahkan dengan praktek dalam hal ini telah membungkus
dominasi. kekerasan dengan manipulasi sentimen
Manipulasi kepercayaan massa masyarakat dan memberikan justifikasi
melalui kekuasaan yang diekpresikan politik dengan menggunakan ideologi
dalam bentuk jalinan politik, sosial, tertentu.17 Itulah yang disebut
budaya, melalui cara-cara persuasi serta higemony. Disamping itu pemerintah
18

melalui mekanisme konsensus itulah mampu mempergunakan secara apik


yang disebut dengan hegemony. otoritas yang secara legitímate,19
Hegemony ini kemudian akan diserahkan oleh rakyat kepadanya.
melahirkan formasi sosial yang asimetrik
yang mengakibatkan timbulnya 17 Ibid., 26.
dominasi serta arogansi elite yang 18 Terdapat perbedaan antara dominasi dan
membuatnya semakin jauh dari hegemoni sekaligus keduanya sama-sama
kehidupan masyarakat. berorientasi pada kekuasaan. Dominasi lebih
cenderung dengan cara pemaksaan dan kekerasan
Adalah Antonio Gramsci, seorang sebagai sarana dalam mencapai kekuasaan.
aktivis komunis Italia eksponen Sekolah Sementara hegemoni adalah penerimaan yang
Frankfrut periode kedua, merinci tentang spontan dan bebas karena seluruh alam pikiran
dominasi negara dengan melihat seseorang atau sekelompok orang telah dikuasai
kekuasan yang dikelola negara modern. dan dipengaruhi sedemikian rupa sehingga
dengan mudah dapat dipengaruhi dan digiring
Ia menyaksikan bahwa tidak sedikit kearah yang dikehendaki.
masyarakat bersedia menyerahkan 19 Legitimasi bukanlah keadilan atau hak dalam

loyalitas kepada negara, meskipun arti mutlak, ia merupakan konsep relatif yang
mereka harus menghadapi krisis, eksis dalam berbagai persepsi subjektif
semestinya mereka tidak percaya pada masyarakat. Semua rezim dalam melakukan
tindakan efektif semestinya didasarkan pada
negara, atau bahkan melakukan prinsip legitimasi. Karena legitimasi merupakan
perlawanan terhadap negara melalui hal yang sangat krusial bahkan bagi pemerintahan
revolusi atau pemilihan, ternyata hal itu diktator yang paling tidak adil dan kejam
tidak dilakukan. sekalipun. Sekedar menyebutkan contoh
Masyarakat tidak berdaya sebagaimana ditulis Fukuyama berkaitan dengan
otoritas legitimasi tersebut antara lain;
melawan negara, karena--meminjam pemerintahan Hitler yang dikenal sebagai
istilah Gramsci-- penguasa pada dasarnya seorang tiran yang mampu mengatur masyarakat
tidak punya pilihan lain kecuali bukan sepenuhnya berdasarkan kekuatan dan
menggunakan instrumen kekerasan. kemampuannya mengintimidasi masyarakat
Mereka mereduksi konsep kesatuan secara fisik, tetapi karena ia memiliki bawahan
yang setia dan percaya pada otoritasnya yang
sebagai fungsi dari mobilisasi militer. legitimate. Begitu pula pemerintahan diktator lain

KARSA, Vol. 22 No. 2, Desember 2014| 303


Nor Hasan

kekuasaan dunia, dan kekuasaan dunia


Agama-Kekuasaan dalam Perspektif diperluas kedalam daerah kekuasaan
Politik Islam agama. Kedua proses ini disebut oleh
Terdapat beberapa kemungkinan Max Weber sebagai hierokrasi22 dan
hubungan antara agama dan kekuasaan. caesaropapisme.23 Persatuan kekuasaan
Iqnas Kliden misalnya memprediksi ada politik dan agama sangat dimungkinkan
enam kemungkinan hubungan antara dalam ajaran sosial yang tidak
agama dan kekuasaan tersebut.20 membedakan antara kekuasaan
Pertama, kekuasaan dan ideologi selalu keduanya. 24

saling mengandaikan, karena tidak ada Keempat, hubungan antara agama


ideologi yang tidak mempunyai muatan dan negara ditandai oleh persaingan
kekuasaan. diantara peran keimaman dan peran
Kedua, setiap agama –dikehendaki kenabian agama. Semakin banyak agama
atau tidak dikehendaki– selalu memainkan peran keimanan, maka
berhadapan dengan kemungkinan semakin dekat agama itu kepada negara,
menjadi ideologis, dan sebaliknya setiap dan semakin agama itu menjalankan
ideologi yang ingin memantapkan diri peran kenabian, maka semakin kritis
cenderung menempuh jalan untuk agama itu terhadap negara.
memberikan warna keagamaan dirinya. Kelima, setiap agama memiliki
Ideologisasi agama selalu diimbangi fungsi ganda sebagai suatu institusi sosial
dengan religiofikasi ideologi.21 dan sebagai jalan kesempurnaan pribadi.
Ketiga, agama sebagai suatu Hubungan diantara keduanya bisa saling
lembaga cenderung mempunyai sejumlah menunjang, tetapi juga bisa saling
kekuasaan dalam dirinya dan selalu bertentangan bahkan saling merugikan.
terdapat suatu proses sosial dimana Peran sosial agama ditandai
kekuasaan agama diperluas menjadi dengan fungsinya menjaga integrasi
sosial, ketenangan, perkembangan dan
yang sangat dibenci masyarakatnya, tetapi kelanjutan reproduksi masyarakat,
mampu mempertahankan kekuasaan selama dengan menghindari kemungkinan
beberapa dasawarsa, seperti rezim Alawi di Syiria,
faksi Ba’ath dan beberapa pemerintahan junta
terjadinya konflik yang membawa pada
militer dan oligarki di Amerika Latin. Lebih rinci
lihat, Francis Fukuyama, The End oh History and
The Last Man, terj. M.H. Amrullah (Yogyakarta:
22 Istilah hierokrasi menunjuk kepada keadaan
Penerbit Qalam, 2003), 37-39. dimana kekuasaan agama atau diperluas menjadi
20 Lebih rinci lihat Iqnas Kliden, “Kekuasaan, kekuasaan politik sekaligus menjadi para
Ideologi dan Peran Agama-agama di Masa pemimpin politik.
23 Caesaropapisme menunjuk kepada proses dimana
Depan” dalam buku, Agama-Agama Memasuki
Milenium Ketiga, Olaf Schumann, et.al (Jakarta: PT. seorang pemimpin politik (caesar) sekaligus
Grasindo, 2000), 21-32. menjadi seorang pemimpin agama (papa = paus) ,
21Kecenderungan ideologis dapat dilihat pada dua dan kekuasaan agama sekaligus menjadi
gejala. Pertama, ketika agama dalam berhadapan kekuasaan politik.
24Kondisi demikian berbeda dengan negara
dengan kekuasaan, maka tidak menjalankan
fungsi kritisnya, tetapi lebih banyak menjalankan modern yang munculkan gagasan pemisahan
peran sebagai sarana legetimasi kekuasaan. Kedua, antara kekuasaan agama dan politik (pemisahan
jika agama karena tugasnya menyampaikan Geraja yang dianggap memiliki kekuasaan
keselamatan dan mengajarkan kesempurnaan diwilayah sakral dari negara yang memiliki
hidup, maka ia menjadi sarana yang ampuh kekuasaan dibidang profan).
untuk menciptakan hegemoni.

304 | KARSA, Vol. 22 No. 2, Desember 2014


Agama dan Kekuasaan Politik Negara

disintegrasi sosial. Sementara peran merekonstruksi pemikiran politik Islam


personal agama ditandai dengan klasik dengan cara memisahkan urusan
fungsinya sebagai jalan bagi individu agama dengan negara, menghangat pada
untuk mencapai kesempurnaan diri. Pada awal abad ke-20.
peran ini kadangkala agama melupakan Hal ini dipicu antara lain oleh
peran yang pertama yakni mengabaikan kebijakan politik penguasa Turki –
dan merugikan peran sosialnya. Mustafa Kemal Attaturk—yang
Keenam, ketegangan antara peran menghapus pranata khilafah. Institusi
institusional agama dan peran individual khilafah ini eksis dan menjadi simbol
dan personal agama –dalam milinium konstruksi politik Islam selama berabad-
ketiga-- akan diatasi oleh peran abad. Kondisi sosial politik yang
individual agama, karena hal itu sangat menyebabkan dilikuidasinya pranata
ditunjang oleh tendensi umum kearah khilafah tersebut antara lain bersumber
proses deinstitusionalisasi berbagai dari kekalahan Turki Utsmani dalam
lembaga sosial. Hal ini tentunya terjadi perang dunia I, disamping obsesi Mustafa
ketika agama dalam kedudukannya Kemal untuk mendirikan negara
sebagai ideologi beralih fungsinya sekuler. .
27

sebagai utopia.25 Sejak itu, polemik seputar relasi


Diskursus tentang relasi politik agama dan negara menjadi wacana
(negara) dan agama, –dalam wacana hangat yang belum pernah mencapai kata
keislaman– selalu mengasumsikan sepakat, hingga saat ini.Bahkan HTI
adanya interconnectionism26 Upaya bertekad bulat untuk memberlakukan
kembali sistem khilafah dalam Islam.
25 Perbedaan antara ideologi dengan utopia:
pertama jika ideologi berfungsi melegitimasi
keadaan yang ada, utopia justru mempunyai Pemikiran ‘Ali Abd al Raziq” Jurnal Studi
kekuatan mempertanyakan dan mengguncang Keislaman STAIN Pamekasan vol V No 1 April 2004,
keadaan yang ada. Kedua, ideologi menjalankan 324-338.
fungsi integratif untuk menjaga identitas 27. Lihat Harun Nasution. Pembaharuan dalam

kelompok, sementara utopia melakukan Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:
eksplorasi terhadap apa yang masih mungkin. Bulan Bintang, 1991), 142-154. Bandingkan Hamid
Ketiga, Kalau ideologi hanya mampu melakukan Enayat. Modern Islamic Political Thought (London:
distorsi terhadap apa yang ada, maka utopia Macmilan Press, 1995), 52. Likuidasi institusi
mampu menyingkirkan seseorang atau kelompok khilafah itu sendiri terjadi pada bulan Maret 1924
orang dari keadaan yang ada dan membawanya setelah pembentukan negara nasional sekuler
ke situasi (bayangan) yang sama sekali lain dan Republik Turki pada 29 Oktober 1923. Lihat
baru. Kliden, “Kekuasaan, 31-32. Wayne S. Vucinich, The Ottoman Empire, Its Record
26 Dalam konteks ini dapat dilihat misalnya dari and Legacy. (Toronto: Van Nostron, 1955), 115.
konsep “khilafah” Sunni maupun “imamah” Sepak terjang Mustafa Kemal dalam melikuidasi
Shi’ah, yang memperkuat statement di atas. Selain insitusi khilafah sekaligus pada saat bersamaan
itu, sejumlah literatur klasik tentang politik Islam mempromosikan semangat sekularisme di Turki,
berbicara tentang hal di atas, seperti al-Ahkam al- dapat dilihat dalam Lord Kinross, Attaturk: A
Sultaniyyah karya Abu Hasan al-Mawardi, al- Biography of Mustafa Kemal, Father of Modern Turkey
Siyasah al-Shar’iyyah karya Ibn Taymiyyah. Lihat (New York: William Morrow, 1965). Tentang
juga Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam: bagaimana proses sekularisme di Turki itu
Telaah Kritis Ibn Taymiyyah Tentang Pemerintahan dijalankan sekaligus para tokoh penggagasnya,
dalam Islam. Ter. Masrahim (Surabaya: Risalah periksa Niyazi Berkes, The Development of
Gusti, 1995), 1-18. Lihat juga Edi Susanto, Secularism in Turkey. (Montreal: McGill University
“Sekularisasi Politik Islam: Telaah Hermeneutik Press, 1964).

KARSA, Vol. 22 No. 2, Desember 2014| 305


Nor Hasan

Fenomena tersebut, memunculkan negara (dawlah), realisasinya terwujudnya


reaksi beragam, yakni reaksi pro dan negara Islam.
kontra. Faksi yang pro beranggapan Kelompok ini setia membela dan
bahwa sudah waktunya untuk dipikirkan senantiasa mendengungkan Islâm huwa al-
kembali bentuk sintesis relasi agama dan dῑn wa al-dawlah, yang lengkapnya
negara yang selama ini hanya berbunyi “Laisa al-Islâm dῑnan faqat bal
terrepresentasikan dalam konsep khilafah, huwa dῑnun wadawlatun”.29 Kelompok ini
dimana institusi ini –dalam pandangan memandang bahwa Islam –sedari awal—
mereka–dirasa sudah tidak mampu lagi merupakan agama yang mengatur
beradaptasi dan berinteraksi dengan urusan politik, yang pada ujungnya
aspirasi politik modern –yang sudah sangat mengidealisasikan pemberlakuan
terpengaruhi konsep politik modern kembali pranata khilafah30
Barat—yakni ide nation state. Konsep ini Lebih jauh Munawir Sjadzali
(nation state) dalam Islam awalnya tidak melakukan tipologisasi pemikiran politik
dikenal. Islam hanya mengenal konsep Islam pada tiga kelompok31. Pertama,
Ummah yang melahirkan orde kelompok yang beranggapan bahwa
masyarakat yang hanya diikat oleh Islam adalah ajaran yang menyangkut
kesamaan agama. hubungan antara Tuhan dengan manusia
Adapun konsep nation state sekaligus menyangkut segala aspek
mengimplikasikan munculnya negara kehidupannya, termasuk dalam
karena adanya persamaan kepentingan, kehidupan bernegara. Tokohnya antara
etnologis dan geografis masyarakat, lain Rashid Rida, Sayyid Qutb dan Abu
tanpa membedakan agama yang dianut, al-A’la al-Mawdudi. Kedua, kelompok
dan ini berasal dari konsep politik Barat. yang menyatakan bahwa Islam hanya
Akibatnya, konsep tersebut menimbulkan berurusan dengan masalah agama dan
ketegangan konsepsional dan historis tidak bersangkut paut dengan urusan
dengan komunitas masyarakat Muslim.28 politik. Tokoh kelompok kedua ini antara
Sementara faksi yang kontra lain ‘Ali ‘Abd al-Raziq dan Taha Husayn.
beralasan bahwa Islam adalah sistem nilai Ketiga, dimotori oleh Muhammad Husayn
komprehensif, antara urusan agama Haykal.32
dengan urusan politik –termasuk
negara— saling terkait integral dan 29 Lihat Nazih Ayubi. Political Islam: Religion and
organis. Pandangan demikian, telah Politics in The Arab World (London: Routledge,
mendorong pemeluk Islam untuk 1991), 63-64; Lihat juga Muhammad Yusuf Musa.
Nizâm al-Hukm fῑ al-Islâm (Kairo: Dar al-Kitab al-
meyakini bahwa Islam merupakan suatu ‘Arabi, 1966), 18.
totalitas yang mencakup agama (dῑn) dan 30 Gerakan ini dimotori –terutama—oleh Rashid

Rida setelah khilafah dibubarkan. Lihat Erwin IJ


Rosental. Islam in The National State (Cambridge:
28.Elaborasi tentang konsep Ummah ini periksa Cambridge University Press, 1965), 66; Abdul
Djaka Soetapa. Ummah: Komunitas Religius, Sosial Wahab el-Affendi. Masyarakat Tak Bernegara. Ter.
dan Politik dalam al-Qur’an. (Yogyakarta: Duta Amiruddin al-Rani (Yogyakarta: LkiS, 1994).
Wacana University Press, 1991). Sedangkan 31 Munawir Sjadzali. Islam dan Tata Negara: Ajaran,

pembahasan tentang Islam dan nation state, Sejarah dan Pemikiran. (Jakarta: UI Press, 1990), 1-2.
periksa PJ. Vatikiotis. Islam and The State (London: 32 Ahmad Sukardja. “ Fiqh Siyasah” dalam

Routledge, 1991); James Piscatori. Islam in a World Ensiklopedi Tematis Dunia Islam 3: Ajaran Ed.
of Nation State (Cambridge: Cambridge University Taufik Abdullah (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
Press, 1988). 2002), 191-223. Dalam perspektif A. Luthfi As-

306 | KARSA, Vol. 22 No. 2, Desember 2014


Agama dan Kekuasaan Politik Negara

Kelompok ini meyakini bahwa Dalam konteks ini, Azyumardi


Islam bukanlah sebuah sistem yang serba Azra menyebut beberapa alasan
lengkap dan mengatur semua masalah terjadinya varian tersebut, pertama,
kehidupan, namun juga tidak serta merta negara ideal Madinah, baik pada masa
memisahkan –secara dikotomis- nabi maupun khulafa’ al-Râshidῑn tidak
konfrontatif—urusan agama dengan menawarkan suatu elaborasi yang bisa
politik. Didalamnya terdapat seperangkat dijadikan pattern aplikasi bentuk negara
etika prinsipil bagi kehidupan bernegara. Islam di alam modern. Kedua, praktik
Varian tersebut timbul, tidak kekhalifahan pada masa sesudahnya –
terlepas dari realitas bahwa Islam sendiri Bani Umayyah maupun daulat
–dalam konteks ini—sangat elastis- ‘Abbasiyyah tidak meninggalkan
interpretatif. Mesti diakui bahwa kaum kerangka sistem politik yang baku,
muslimin tidak memiliki model “negara bahkan dalam beberapa aspek berbeda
Islam” yang jelas dan konkret33, sehingga secara diametral dengan tradisi politik
mewujudkan interpretasi yang beragam, sebelumnya. Ketiga, seringnya terjadi
baik terhadap teks ayat maupun praksis kegagalan dalam mendirikan “negara
politiknya34. Islam” yang mengakibatkan idealisasi
politik Islam menjadi utopis dan sangat
normatif teoritis35. Keempat, hubungan
Syaukanie, timbulnya varian pemikiran semacam
ini, sebenarnya berawal dari Muhammad Abduh,
agama dan negara selama berabad-abad
yang kemudian darinya melahirkan gerakanan ternyata menimbulkan interpretasi
kanan dan kiri yang semakin jauh sehingga beragam36
menuju titik ekstrim. Gerakan kanan semakin
bergerak ke arah ekstrimitas sehingga menjadi Penutup
fundamentalis yang dimulai dari Rashid Rida,
Agama dan Negara sesungguhnya
Hasan al-Banna dan Sayyid Qutb. Sementara,
gerakan kiri juga berkembang menuju ekstrimitas memiliki fungsi yang sama bagi
sehingga akhirnya menjadi kaum sekularis, yang
dimulai dari ‘Ali ‘Abd Raziq, Taha Hussayn,
Muhammad ‘Imarah dan Hassan Hanafi. Baca A. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan
Luthfi As-Syaukanie. “Tipologi dan Wacana Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta:
Pemikiran Arab Kontemporer” dalam Paramadina Paramadina, 1998), 11.
1 (Juli-Desember 1999), 71 35 Usaha mengkonkretkan “ilusi negara Islam”
33 Ini, jelas dalam perspektif Sunni, sementara tidak jelas arahnya. Kegagalan politik Islam
dalam perspektif kaum Shi’ah, Nabi justru telah dewasa ini “lebih disebabkan” oleh kebangkrutan
merumuskan mekanisme suksesi kepemimpinan, intelektual Islam dalam menawarkan konsep
yakni dengan menunjuk ‘Ali bin Abi Talib sebagai negara Islam Revolusi Islam tidak berhasil
penggantinya sebagaimana dinyatakan dengan mewujudkan prototype masyarakat yang
jelas dalam hadith al-Ghadir. Tentang teori Shi’ah menjanjikan. Kemenangan politik yang terjadi
ini, baca Ainur Rofiq al-Amien, “Studi Makna pada beberapa negara Islam hanya sedikit
Mawla dalam Hadith al-Ghadir: Analisis menyingkap problematika yang tengah mereka
Hermeneutika” Akademika Vol.9 Nomor 1 hadapi, sementara masalah lain –seperti
(September 2001), 45-71. pengentasan kemiskinan, persamaan hak diantara
34 Pada satu sisi hampir setiap Muslim meyakini warga negara, gender—tidak mendapatkan porsi
akan pentingnya prinsip-prinsip Islam dalam yang seimbang. Lihat Oliver Roy. The Failure of
kehidupan sehari-hari, sementara pada sisi lain, Political Islam (Massachusset: Harvard University
karena sifat Islam yang elastis-multi interpretatif, Press, 1994).
tidak pernah ada satu pandangan tunggal tentang 36 Azyumardi Azra. Pergolakan politik Islam Dari

bagaimana seharusnya Islam dan politik itu Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post
dipertautkan dengan tepat. Lihat Bahtiar Effendi. Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), 22.

KARSA, Vol. 22 No. 2, Desember 2014| 307


Nor Hasan

kehidupan manusia. Jika Negara tugas politik agar hakikat sejati politik tetap
pokoknya adalah mengatur dan terpelihara.
memenuhi kesejahteraan manusia pada
dimensi kekiniannya, agama berfungsi Daftar Pustaka
bagi manusia untuk bahagia dalam al-Amien, Ainur Rofiq, “Studi Makna
kehidupan kekinian dan masa depan Mawla dalam Hadith al-Ghadir:
bahkan sampai hidup lagi. Semestinya Analisis Hermeneutika”
antara keduanya sejalan seiring. Namun Akademika Vol.9 Nomor 1
dalam perjalanannya justru terjadi (September 2001), 45-71.
kenyataan yang berbeda. Althusser, Louis, Tentang Ideologi:
Negara sering menjadikan agama Marxisme Strukturalis,
sebagai alat produksi guna menindas Psikoanalisis, Cultural Studis,
rakyat, menjustifikasi atas keputusan dan (Yogyakarta: Jala Sutra, 2004).
segala kebijakan yang tidak “populis” As-Syaukanie, A. Luthfi,. “Tipologi dan
sekalipun dengan alasan-alasan ideologis Wacana Pemikiran Arab
sehingga masyarakat menjadi tak Kontemporer” dalam
berdaya dibawah tekanan, hegemoni Paramadina 1 (Juli-Desember
makhluk yang bernama negara. 1999), 71
Semestinya agama tampil sebagai Ayubi, Nazih, Political Islam: Religion and
juru penyelamat atas ketertindasan Politics in The Arab World
manusia. Keberadaan agama dapat (London: Routledge, 1991)
menjadi roh sekaligus inspirasi bagi Azra. Azyumardi, Pergolakan politik Islam
demokratisasi. Terbukti kehadiran semua Dari Fundamentalisme,
agama membawa imbas pada Modernisme Hingga Post
perombakan struktur masyarakat yang Modernisme (Jakarta:
tercekam oleh kekuasaan despotik dan Paramadina, 1996).
otoriter, menuju masyarakat baru yang Berkes, Niyazi, The Development of
demokratis. Namun, karena agama yang Secularism in Turkey. (Montreal:
sering ditampilkan adalah agama atas McGill University Press, 1964).
nama kelompok, lembaga atau apapun Effendi. Bahtiar, Islam dan Negara:
namanya dengan kecenderungan kaum Transformasi Pemikiran dan
elit agama tersebut cenderung menjadi Praktik Politik Islam di Indonesia
corong penguasa, maka jadilah agama (Jakarta: Paramadina, 1998).
pada akhirnya yang tidak memiliki El-Affendi, Abdelwahab, Masyarakat Tak
kekuatan apa pun. Bernegara: Kritik Teori Politik
Seharusnya, agama menarik garis Islam, (Yogyakarta: LkiS, 1994).
pisah yang jelas dari politik agar tidak Hardiman, F. Budi, Menuju Masyarakat
terkooptasi dan disubordinasi. Ketika Komunikatif Ilmu, Masyarakat
dikooptasi politik negara, agama hanya Politik dan Postmodernisme
akan menjadi alat legitimasi penguasa. Menurut Jurgan Habermas
Agamapun akan membisu ketika (Yogyakarta: Kanisius, 1993).
ketidakadilan dan ketidakbenaran Enayat. Hamid, Modern Islamic Political
merajalela. Namun di sisi lain agama Thought (London: Macmilan
sebagai sebuah institusi dalam Press, 1995).
masyarakat harus pula mengoreksi

308 | KARSA, Vol. 22 No. 2, Desember 2014


Agama dan Kekuasaan Politik Negara

Fukuyama, Francis, The End oh History Nasution, Harun, Pembaharuan dalam


and The Last Man, terj. M.H. Islam: Sejarah Pemikiran dan
Amrullah (Yogyakarta: Penerbit Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang,
Qalam, 2003). 1991)
Jindan, Khalid Ibrahim, Teori Politik Islam: Rosental. Erwin IJ, Islam in The National
Telaah Kritis Ibn Taymiyyah State (Cambridge: Cambridge
Tentang Pemerintahan dalam University Press, 1965)
Islam. Ter. Masrahim (Surabaya: Roy. Oliver, The Failure of Political Islam
Risalah Gusti, 1995) (Massachusset: Harvard
Kinross, Lord, Attaturk: A Biography of University Press, 1994).
Mustafa Kemal, Father of Modern Schumann, Olaf, “Agama, Negara dan
Turkey (New York: William Civil Society” dalam Islam
Morrow, 1965). Negara dan Civil Society: Gerakan
Kitagawa, Joseph M. “ Sejarah Agama- dan Pemikiran Islam Kontemporer,
Agama di Amerika” dalam Komaruddin Hidayat (ed)
buku Metodologi Studi Islam ed. (Jakarta: Paramadina2005), 101.
Ahmad Norma Permata Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara:
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran.
2000). (Jakarta: UI Press, 1990).
Kliden, Iqnas, “Kekuasaan, Ideologi dan Soetapa. Djaka, Ummah: Komunitas
Peran Agama-agama di Masa Religius, Sosial dan Politik dalam
Depan” dalam buku, Agama- al-Qur’an. (Yogyakarta: Duta
Agama Memasuki Milenium Wacana University Press, 1991).
Ketiga, Olaf Schumann, et.al Sukardja, Ahmad,. “ Fiqh Siyasah” dalam
(Jakarta: PT. Grasindo, 2000), 21- Ensiklopedi Tematis Dunia Islam 3:
32. Ajaran Ed. Taufik Abdullah
Leege, David C. Agama dan Politik dalam (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Perspektif Teoritis Hoeve, 2002).
(Jakarta:Yayasan Obor, 2006). Susanto, Edi, “Sekularisasi Politik Islam:
Maliki, Zainuddin, Agama Priyai: Makna Telaah Hermeneutik Pemikiran
Agama di Tangan Elite Penguasa ‘Ali Abd al Raziq” Jurnal Studi
(Yogyakarta: Pustaka Marwa, Keislaman STAIN Pamekasan vol
2004). V No 1 April 2004, 324-338.
M. Sastraprateja dan Frans M. Parera, Piscatori. James, Islam in a World of Nation
“Kata Pengantar, Suatu State (Cambridge: Cambridge
Alternatif Kaedah Etika Politik” University Press, 1988).
dalam Niccolo Machiavelli, Sang Vatikiotis. PJ., Islam and The State
Penguasa Surat Seaorang (London: Routledge, 1991).
Negarawan Kepada Pemimpin Vucinich, Wayne S., The Ottoman Empire,
Republik, alih bahsa C. Its Record and Legacy. (Toronto:
Woekisari, (Jakarta: Gramedia, Van Nostron, 1955)
1987), x-xxx.
Musa, Muhammad Yusuf, Nizâm al-
Hukm fῑ al-Islâm (Kairo: Dar al-
Kitab al-‘Arabi, 1966).

KARSA, Vol. 22 No. 2, Desember 2014| 309
Nor Hasan

310 | KARSA, Vol. 22 No. 2, Desember 2014

Anda mungkin juga menyukai