Just In Time
Just In Time adalah sebuah filosofi manajemen yang berasal dari Jepang yang telah
diaplikasikan secara nyata sejak awal tahun 1970 pada perusahaan manufaktur di Jepang.
Pada awalnya Toyota Motor, Taichi Ono dan tangan kanannya Shigeo Shingo mengadaptasi
strategi Henry Ford yang disesuaikan dengan etos kerja masyarakat Jepang sehingga lahirlah
sebuah filosofi yang disebut sebagai Just In Time. (Mulla, 2009, hal. 115)
Just In Time pertama kali dikembangkan di negara Jepang oleh perusahaan Toyota
pada dekade yang lalu, dan kemudian diadopsi oleh banyak Perusahaan Manufaktur di
Jepang dan Amerika Serikat seperti: Hewlet Packard, IBM, dan Harley Davidson. Salah satu
pendekatan untuk mengeliminasi pemborosan dalam perusahaan manufaktur telah muncul
yaitu suatu filosofi operasi yng disebut Just In Time. Just In Time merupakan suatu filosofi
operasi manajemen, yaitu sumber daya, termasuk material personel, dan fasilitas yang
digunakan dalam keadaan tepat waktu.
Latar belakang munculnya just in time dapat ditelusuri pada keadaan negara Jepang
yang mengalami kekurangan sumber daya alam dan mempunyai ruang terbatas. Jepang
sangat tidak menyukai adanya pemborosan. Bertolak belakang dengan negara Jepang,
industri Barat melakukan penyimpanan barang yang berlebihan, mempunyai lingkungan
operasi yang kurang efisien, mengerjakan pekerjaan pencatatan akuntansi yang berlebihan
dengan menggunakan metode yang kurang efisien dalam memecahkan masalah yang timbul
dalam produksi. Akibatnya jumlah waktu yang diperlukan untuk memproduksi suatu produk
menjadi lama, biaya operasi yang tinggi dan produk yang dihasilkan kurang baik mutunya.
Pemborosan diartikan sebagai barang yang cacat, memproduksi kembali suatu produk dan
bahan yang terbuang.
Menurut just in time pemborosan diartikan sebagai setiap penggunaan bahan yang
tidak dibutuhkan atau penggunaan bahan yang berlebihan dalam memproduksi suatu produk
seperti, cadangan persediaan, jam kerja, tenaga kerja produksi yang tidak diperlukan,
jamkerja ulang yang diperlukan untuk memperbaiki hasil produksi yang kurang baik mutunta,
hasil produksi yang sedikit, tata letak produk yang kurang baik, pekerjaan pencatatan
akuntansi yang berlebihan, bahan baku yang rusak, kebanyakan pemasok, kebanyakan
pesanan pembelian, kecepatan atau keterlambatan penerimaan bahan, fasilitas penyimpanan
yang terlalu besar, perencaan bahan yang tidak baik, mengganti pemasok dan lain-lain.
Just In Time tidak mentoleransi adanya pemborosan. Just In Time merupakan suatu
sistem produksi yang didesain untuk mengeliminasi pemborosan dalam lingkungan produksi.
Menurut just in time pemborosan adalah sesuatu yang tidak memberi nilai tambah secara
langsung kepada nilai suatu produk. (Santoso, 2001, hal. 5)
Just In Time adalah sebuah filosofi pemecahan masalah secara berkelanjutan dan
memaksa yang mendukung produksi yang ramping (lean). Produksi yang ramping
(lean Production) memasok pelanggan persis sesuai dengan keinginan pelanggan ketika
pelanggan menginginkannya, tanpa pemborosan, melalui perbaikan berkelanjutan. Sasaran
utama just in time adalah meningkatkan produktivitas system produksi atau operasi dengan
cara menghilangkan semua macam kegiatan yang tidak menambah nilai (pemborosan) bagi
suatu produk. Sasaran just in time menitikberatkan pada continuos improvement untuk
mencapai biaya produksi yang rendah, tingkat produktivitas yang lebih tinggi, kualitas dan
reabilitas produk yang lebih baik, memperbaiki waktu penyerahan produk akhir dan
memperbaiki hubungan kerja antara pelanggan dengan pemasok. Definisi Just In
Time didefinisikan sebagai sistem manajemen pabrikasi dan persediaan komprehensif dimana
bahan baku dan berbagai suku cadang dibeli dan diproduksi pada saat diproduksi pada saat
(just in time) akan digunakan dalam setiap tahap proses produksi/pabrikasi.
Just In Time adalah suatu sistem produksi yang dirancang untuk mendapatkan
kualitas, menekankan biaya, dan mencapai waktu penyerahan seefisien mungkin dengan
menghapus seluruh jenis pemborosan yang terdapat dalam proses produksi sehingga
perusahaan mampu menyerahkan produknya (baik barang maupun jasa) sesuai kehendak
konsumen tepat waktu. Untuk mencapai sasaran dari sistem ini, perusahaan memproduksinya
hanya sebanyak jumlah yang dibutuhkan, sehingga dapat mengurangi biaya pemeliharaan
maupun menekan kemungkinan kerusakan atau kerugian akibat menimbun barang. Tujuan
utama dari JIT adalah menghilangkan pemborosan dan konsisten dalam meningkatkan
produktivitas. Oleh karena itu penggunaan istilah JIT seringkali diartikan dengan “zero
inventories”. JIT pada dasarnya berusaha menghilangkan semua biaya (pemborosan) yang
tidak memberikan nilai tambah terhadap produk yang dihasilkan. (Efrianti, 2014, hal. 101)
JIT merupakan suatu metode pemikiran produksi yang diprakarsai oleh Jepang,
konsep JIT adalah memproduksi item yang dibutuhkan pada saat yang tepat dan dalam
jumlah yang cermat. Dengan diterapkannya JIT melalui mekanisme kanban, diharapkan dapat
memecahkan permasalahan dalam penanganan persediaan bahan baku sehingga dapat
mencapai efisiensi biaya produksi dan meningkatkan laba perusahaan. Penerapan Just In
Time dapat memperbaiki aset produktivitas, pertumbuhan penjualan, karakteristik perusahaan
pada dunia bisnis modern. Just In Time hanya meminta unit yang dibutuhkan tersedia dalam
jumlah yang dibutuhkan dan pada saat yang dibutuhkan. (Dania, 2015, hal. 2)
Ide-ide yang mendukung Just In Time adalah sebagai berikut: (a) Sederhana adalah
lebih baik, (b) Penekanan pada kualitas dan perbaikan yang berkesinambungan, (c)
Mempertahankan persediaan yang menjadi sumber pemborosan dan pekerjaan jelek yang
tersembunyi, (d) Setiap aktivitas atau fungsi yang tidak menambah nilai harus dihilangkan,
(e) Barang diproduksi apabila dibutuhkan, (f) Pekerja harus berketerampilan banyak dan
berpartisipasi dalam memperbaiki efisiensi dan kualitas produk. Sasaran utama just in
time adalah meningkatkan produktivitas system produksi atau operasi dengan cara
menghilangkan semua macam kegiatan yang tidak menambah nilai (pemborosan) bagi suatu
produk. Sasaran just in time menitikberatkan pada continous improvement untuk mencapai
biaya produksi yang rendah, tingkat produktivitas yang tinggi, kualitas dan realibitas produk
yang lebih baik, memperbaiki waktu penyerahan produ akhir dan memperbaiki hubungan
kerja antara pelanggan dengan pemasok.
JIT memiliki 8 prinsip dasar, yaitu: (a) Seek a produce-to order production schedule,
(b) Seek unitary production, (c) Seek eliminate waste, (d) Seek continous product flow
improvement, (e) Seek product quality perfection, (f) Respect people, (g) Seek to eliminate
contingencies, (h) Maintain long term emphasis. Berdasarkan berbagai pengertian tersebut
dapat diketahui bahwa eliminasi pemborosan merupakan jantung dari IT. Dengan
mengeliminasi pemborosan, maka perusahaan akan menghasilkan produk yang lebih baik
dengan biaya yang lebih rendah. Berdasarkan uraian diatas maka indikator JIT yang
dimunculkan adalah biaya produksi yang rendah, tingkat produktivitas yang lebih tinggi,
hubungan antara pelanggan dengan pemasok.
JIT adalah suatu filosofi bisnis yang khusus membahas bagaimana mengurangi waktu
produksi sekaligus mengurangi kegagalan produksi baik dalam proses manufaktur maupun
proses non-manufaktur. Istilah lain JIT adalah short-cycle atau lean
manufacturing. (Witjaksono, 2013, hal. 221). JIT adalah filosofi yang berfokus pada kegiatan
pekerjaa yang dibutuhkan atau yang diminta pada saat itu juga. JIT merupakan suatu
pendekatan manufaktur yang mempertahankan bahwa produk-produk harus ditarik dari
seluruh sistem dengan adanya permintaan, dan bukannya mendorong seluruh sistem dengan
skedul yang tetap untuk mengantisipasi permintaan (a pull system). JIT berpengaruh dalam
hal mengurangi persediaan sampai pada tingkat yang sangat rendah. Usaha untuk mencapai
tingkat persediaan sampai tingkat yang tidak signifikan sangat vital bagi kesuksesan JIT.
Namun demikian, gagasan untuk mencapai persediaan yang tidak signifikan niscaya akan
menentang alasan-alasan tradisional untuk menyimpan pesediaan yang telah disebutkan
sebelumnya. JIT memecahkan masalah kinerja tepat waktu dengan cara mengurangi waktu
tunggu, dan bukannya dengan meningkatkan persediaan. Waktu tunggu dalam hal ini tidak
hanya sampai pesanan diterima di perusahaan, namun sampai bahan baku diolah menjadi
barang jadi (output). Waktu tunggu yang lebih singkat akan meningkatkan kemampuan
perusahaan untuk memenuhi permintaan pengiriman pada tanggal yang diminta oleh
pelanggan dan sekaligus dapat dengan cepat menghadapi permintaan pasar. Dengan
demikian, daya saing perusahaan meningkat. JIT mengurangi waktu tunggu dengan
menghindari kegagalan mesin, kerusakan bahan baku atau suku cadang, tidak tersedianya
bahan baku atau suku cadang, dan dengan menggunakan proses manufaktur sel. Sel-sel
manufaktur mengurangi jarak perjalanan antara mesin dan persediaan.
Kebanyakan penghentian produksi terjadi karena salah satu dari tiga alasan berikut
ini, yaitu: kegagalan mesin, kerusakan bahan baku atau suku cadang, dan tidak tersedianya
bahan baku atau suku cadang. Penyimpanan persediaan merupakan salah satu solusi untuk
ketiga masalah tersebut. Mereka yang mendukung pendekatan JIT mengklaim bahwa
persediaan tidak memecahkan masalah melainkan hanya menyembunyikan atau menutup-
nutupi masalah-masalah tersebut. JIT dapat memecahkan masalah dengan menekankan
pemeliharaan preventif, total kontrol kualitas, dan dengan menjaga relasi yang baik
dengan supplier. Ada terdapat empat aspek penting dalam JIT:
1. Penghapusan semua kegiatan yang tidak menambah nilai produksi atau jasa.
2. Diperlukan suatu komitmen untuk tingkat kualitas yang lebih tinggi.
3. Diperlukan suatu komitmen untuk perbaikan terus menerus dalam efisiensi kegiatan.
4. Penekanan pada penyederhanaan dan meningkatkan pengidentifikasian terhadap aktivitas
yang tidak menambah nilai.
Dari penjelasan diatas, dapat dikatakan bahwa JIT adalah persediaan dengan nilai nol
atau mendekati nol, artinya perusahaan sebisa mungkin tidak menanggung biaya
penyimpanan. Bahan baku akam tetap datang pada saat dibutuhkan. Model yang demikian
tentu saja pemasoknya adalah pemasok yang setia dan profesional. Dengan model ini terjadi
efisiensi biaya persediaan bahan baku.
Tujuan utama dari JIT adalah menghilangkan pemborosan dan konsisten dalam
meningkatkan produktivitas. Oleh karena itu penggunaan istilah JIT seringkali diartikan
dengan “zero inventories”. JIT pada dasarnya berusaha menghilangkan semua biaya
(pemborosan) yang tidak memberikan nilai tambah terhadap produk yang dihasilkan. Untuk
mencapai tujuan JIT tersebut, diperlukan asumsi sebagai berikut:
1. Ukuran lot kecil
2. Konsistensi kualitas tinggi
3. Pekerja dapat diandalkan
4. Persediaan menjadi minimum atau sebisa mungkin menjadi nol
5. Mesin dapat diandalkan
6. Rencana produksi stabil
7. Kepastian jadwal operasi
8. Keseragaman komitmen dan pandangan antara manajemen perusahaan dan karyawan,
dimana memiliki komitmen yang tinggi terhadap penerapan JIT yang dilakukan di
perusahaan. (Sinuraya, 2011)
B. Konsep Just In Time
Dalam konsep Just In Time, menyatakan terdapat empat aspek fundamental dalam
konsep Just In Time, yaitu: (1). Menghilangkan segala aktivitas yang tidak memberikan nilai
tambah bagi seluruh produk atau jasa. Dalam hal ini mencakup seluruh aktivitas atau sumber
daya yang menjadi sasaran untuk pengurangan atau penghilangan, (2). Komitmen tinggi
terhadap mutu melakukan secara benar segala sesuatunya dari awal adalah esensial manakala
tidak ada waktu untuk mengerjakan ulang. Perusahaan perlu memiliki komitmen untuk
mencapai dan mempertahankan tingkat mutu yang tinggi dalam semua aspek aktivitas-
aktivitas perusahaan, (3). Upaya perbaikan yang berkelanjutan dalam efisiensi aktivitas
perusahaan. Perusahaan perlu mencanangkan komitmen terhadap perbaikan
berkesinambungan (continous improvement) pada semua aktivitas perusahaan dan kegunaan
data yang dihasilkan bagi manajemennya. Perbaikan yang berkesinambungan adalah
pengupayaan terus-menerus nilai yang kian besar yang diberikan kepada pelanggan, (4).
Penekanan pada penyederhanaan dan peningkatan visibilitas aktivitas nilai tambah, hal ini
membantu untuk mengidentifkasi aktivitas yang tidak menambah nilai. (Putra, 2014, hal. 4-5)
D. Implikasi Just In Time
1. JIT sederhana dalam teori, namun sangat sulit diwujudkan terutama dalam manufaktur.
2. Salah satu alasan utama banyak perusahaan enggan menerapkan JIT adalah dengan
ketiadaan barang dalam proses, disertai kekhawatiran seluruh proses produksi akan terhenti
bilamana suatu masalah muncul pada salah satu rantai proses produksi.
3. Perusahaan yang hendak menerapkan JIT hendaknya terlebih dahulu menghilangkan
seluruh hal yang berpotensi menjadi penyebab kegagalan sistem antara lain dengan cara:
a. Mendesain kembali proses produksi sehingga tidak menimbulkan biaya tinggi bila hendak
memproduksi satu atau sejumlah kecil item produk pada saat tertentu.
b. Alternatif yang biasa dilakukan untuk mengurangi biaya adalah dengan memperpendek
jarak antar proses, memperkerjakan pegawai yang memiliki kemampuan beradaptasi dengan
tuntutan tugas baru dan menggunakan peralatan yang serba guna.
4. Inti utama dari sistem JIT adalah para pegawai yang sangat terlatih dan senantiasa mampu
memenuhi tuntutan untuk mencapai standar kualitas produk barang/jasa tertinggi.
5. Bilamana seorang pekerja menjumpai masalah pada komponen produk yang diterimanya,
maka pekerja yang bersangkutan berkewajiban untuk segera melaporkan hal tersebut pada
atasannya agar segera dapat diambil tindakan yang diperlukan.
6. Para pemasok dituntut agar mampu memproduksi sekaligus mengirimkan produk yang
bebas cacat (free defect) kapan saja diperlukan.
7. Implikasi JIT pada sistem akuntansi manajemen:
a. Bagian akuntansi manajemen wajib mendukung peralihan dari sistem konvensional menuju
sistem JIT dengan cara melakukan pemantauan, identifikasi dan komunikasi pada para
pengambil keputusan mengenai asal-muasal/sumber penundaan (delay), kesalahan (error)
dan pemborosan (waste).
b. Kegiatan klerikal akuntansi manajemen menjadi lebih sederhana, karena berkurangnya
mutasi persediaan yang harus dipantau.
8. Untuk mengukur tingkat reabilitas sistem JIT memanfaatkan ukuran berikut ini sebagai
patok duga (bench mark) efektivitas siklus manufaktur, antara lain:
a. Defect Rate
b. Cycle Time
c. Prosentasi ketetapan waktu pengiriman produ pada pelanggan
d. Akurasi perintah produksi/ pengadaan bahan
e. Perbandingan antara produksi aktual dengan rencana produksi
f. Perbandigan antara jam mesin aktual dengan jam mesin yang tersedia
9. Rasio produktivitas konvensional berkenaan dengan tenaga kerja dan mesin kerap tidak
konsisten dengan filosofi JIT.
10. Inovasi manajemen, termasuk JIT memerlukan perubahan kultur organisasi secara
keseluruhan, contohnya:
a. JIT dapat mengubah irama kerja dan disiplin kerja organisasi secara keseluruhan.
b. Perombakan tata letak pabrik (plan lay out) untuk membentuk shop, sangat mungkin
memerlukan renovasi besar-besaran yang haus diperhitungkan sebagai investasi.
11. Karena ide dasar JIT adalah minimalisasi pemborosan sekaligus keseragaman alur kerja,
menyebabkan banyak pekerja yang tidak siap dengan perubahan tersebut. Karenanya
sosialisasi penerapan JIT harus dilakukan jauh sebelum hari-H.
12. JIT sangat menekankan kerja sama tim, maka kerap dijumpai pekerja yang mengalami stress,
terutama mereka yang berasal dari lingkungan kerja yang selama ini terisolasi atau mereka
yang memiliki kepribadian yang tidak tearn orinted. (Witjaksono, 2013, hal. 227-228)
2. Cellular Layout
Dalam sistem Just In Time, mesin-mesin diatur sedemikian rupa menyerupai setengah
lingkaran atau ditata dengan pola selular untuk tujuan efisiensi sehingga dapat mengurangi
berbagai pemborosan. Setiap sel dirancang untuk memproduksi satu produk tertentu. Produk
dipindahkan dari satu mesin ke mesin lainnya dari awal hingga akhir. Setiap sel merupakan
miniatur pabrik secara keseluruhan.
3. Pull System
Dalam pull system, proses produksi akan ditentukan oleh adanya permintaan dari
onsumen. Ketika permintaan konsumen masuk, bagian akhir dari perakitan akan memberikan
tanda ke bagian sebelumnya untuk mengirimkan sejumlah partisi atau bahan yang dibutuhkan
pada bagian tersebut. Demikian seterusnya, bagian di belakangnya akan mengirimkan tanda
ke bagian yang ada di belakangnya lagi untuk mengirimkan barang setengah jadi sesuai
dengan kebutuhan.
4. Quick Set up
Set up merupakan aktivitas yang terdiri dari menyiapkan bahan, mengubah setting mesin,
mempersiapkan peralatan, dan melakukan pengujian. Dalam sistem Just In Time, set up yang
berulang-ulang tidak diperlukan lagi karena mesin telah dirancang untuk satu jenis produk.
5. Small-lot Production
Perusahaan yang menerapkan sistem Just In Time hanya akan berproduksi sesuai dengan
permintaan konsumen. Tidak seperti yang dilakukan dalam sistem tradisional yang
menerapkan sistem mass production. Produksi dalam jumlah yang kecil ini dimaksudkan
untuk mengurangi biaya-biaya yang tidak perlu seperti biaya gudang, biaya pemeliharaan
barang, dan lain-lain.
6. Quality at The Source
Barang cacat dapat menimbulkan masalah besar dalam lingkungan Just In Time. Jika
sejumlah unit produk jadi yang dihasilkan mengandung produk cacat, perusahaan tidak dapat
mengirimkan sejumlah barang yang diminta oleh konsumen dan perusahaan harus mengulang
kembali proses produksi hanya untuk membuat pengganti produk yang cacat saja. Kondisi ini
akan menimbulkan adanya penundaan dalam pengiriman barang kepada konsumen dan
menimbulkan kekecewaan konsumen. Jadi, dalam lingkungan Just In Time kualitas
merupakan elemen yang sangat penting disamping elemen yang lain.
7. Supplier Networks
Just In Time sangat membutuhkan hubungan khusus antara pemasok dengan perusahaan
pembeli. Pemasok diharapkan mampu mengirim barang dalam frekuensi yang lebih banyak
dengan jumlah yang lebih kecil. Kedua belah pihak dituntut untuk dapat bekerja sama guna
mencapai keberhasilan bersama di masa mendatang.
Sistem Just In Time telah diterapkan oleh perusahaan-perusahaan yang ada di dunia,
seperti Toyota Motor Company di Jepang yang merupakan negara pencetus dari ide ini, Dell
Computer, Intel, Mc. Donald, Black and Decker, Goodyear, dan lain-lain. Sistem ini tidak
hanya bisa diterapkan di perusahaan manufaktur saja, tetapi juga dapat diterapkan di jenis
perusahaan lainnya, seperti perusahaan dagang maupun jasa. Di Indonesia. Ada beberapa
perusahaan yang telah mencoba untuk menerapkan sistem Just In Time, seperti PT Astra
Daihatsu Motor, PT Triangle Motor, PT Ardi Indah, dan lain-lain. Diantara perusahaan-
perusahaan tersebut, ada beberapa perusahaan yang telah berhasil menerapkan sistem ini,
seperti PT Astra Daihatsu Motor, perusahaan ini telah berhasil meningkatkan kualitas
produknya, mengurangi biaya, dan meningkatkan partisipasi dari pekerja-pekerjanya. Bagi
perusahaan-perusahaan di Indonesia, sistem ini merupakan suatu hal yang baru karena hanya
beberapa perusahaan yang mampu menerapkannya dengan baik. Ada beberapa faktor yang
menyebabkan sistem ini sulit untuk diterapkan di Indonesia, seperti ketersediaan bahan baku,
tenaga kerja, dan yang paling penting adalah masalah dana. (Agustina, 2007, hal. 139-141)
G. Kanban
Di Jepang, Kanban berarti “kartu”. Para pekerja menggunakan seperangkat kartu
pengendali untuk memberi tanda saat bahan dan produk harus dipindahkan dari satu operasi
ke lini perakitan lainnya. Kanban digunakan dengan JIT untuk menurunkan “lead time”
secara signifikan, menurunkan persediaan dan meningkatkan produktivitas dengan
menghubungkan semua operasi produksi secara lancar tanpa terputus.
Dengan sistem Kanban, proses atau tahap sebelumnya tidak dapat mengirim suku
cadang atau komponen yang sedang diproses ke tahap berikutnya jika tidak diminta oleh
kartu kanban dari proses di bawahnya. Langkah berikutnya mengendalikan jumlah yang
diproduksi, Jadi tidak akan terjadi overproduksi, prioritas dalam produksi menjadi jelas dan
pengendalian persediaan menjadi lebih mudah.
I. Karakteristik Just In Time
Ada beberapa karakteristik utama dari perusahaan yang telah menerapkan sistem Just
In Time, diantaranya adalah:
1. Kualitas yang tinggi. Perusahaan yang telah menerapkan system JIT berupaya mencapai
tingkat kualitas dimana mereka dapat beroperasi dengan persediaan yang rendah dan skedul
yang ketat. Sistem JIT berupaya menghapus sumber-sumber yang tidak efisien dan gangguan
serta melibatkan karyawan dalam operasi untuk terus melakukan perbaikan. Dengan kata
lain, perusahaan berpegang pada konsep lebih baik menghasilkan barang yang berkualitas
tinggi dengan biaya produksi sedikit lebih mahal, daripada menghasilkan barang dengan
biaya produksi murah tapi kualitasnya rendah.
2. Tingkat persediaan rendah. Dalam system JIT, persediaan dianggap suatu pemborosan
karena dengan adanya persediaan diperlukan biaya penyimpanan dan biaya tambahan
lainnya. Persediaan digudang tidak banyak, yang ada hanya secukupnya untuk melanjutkan
proses produksi kepada unit kerja berikutnya dan kalau habis baru dikirim lagi, sehingga ada
arus kerja yang berkesinambungan.
3. Jalur produksi yang fleksibel. Sistem produksi menggunakan sellular manufacturing
technique yaitu pengaturan layout dan peralatan proses produksi yang fleksibel sehingga
barang yang diproduksi tidak terlalu sering mengalami perpindahan produk terlalu sering
dianggap sebagai non value added activity.
4. Perubahan struktur organisasi yang mengarah ke produk. Konsep JIT meghendaki setiap
bagian dalam proses produksi mempunyai service departement masing-masing sehingga
apabila ada penyimpangan dapat ditelusuri sedini mungkin. Penggunaan teknologi informasi
secara efektif. Merupakan salah satu syarat utama dalam penerapan sistem JIT. Sistem JIT
merupakan konsep tepat waktu maka tidak ada keterlambatan dari jadwal induk sekecil
apapun (non schedule interruption) yang dapat ditolelir, disebabkan penyimpangan sekecil
apapun dari jadwal rutin akan menyebabkan kemacetan proses produksi. (Diaz, 2015, hal. 4)
Adapun keuntungan dan kerugian penerpan JIT Purchasing. Berikut ini beberapa
keuntungan dari JIT purchasing, antara lain:
1. Keuntungan Bagi Pembeli
Berbagai keuntungan penerapan JIT purchasing antara lain: penurunan biaya bahan
baku, penurunan rework, lebih tepat waktu, penurunan biaya administrative, penurunan biaya
persediaan, penurunan inspeksi, serta kualitas barang jadi lebih baik.
2. Keuntungan Bagi Pemasok
Keuntungan bagi pemasok antara lain: capacity requirements dan jadwal produksi
lebih konsisten serta pemindahan finishedgoods yang lebih dapat diprediksi.
Selain itu terdapat beberapa kerugian penerapan metode JIT purchasing, antara lain:
perusahaan akan sulit untuk beralih ke pemasok lain, keterlambatan pengiriman akan
mengakibatkan kegiatan produksi terganggu, serta ketiadaan inspeksi
mengakibatkan substandard finished goods. (Suryandi, 2011, hal. 6-7)
K. Sistem Pembelian Just In Time
Istilah purchasing atau pembelian mencakup proses pembelian barang atau jasa yang
berkualitas baik, dalam kuantitas benar, pemilihan pemasok, pencapaian harga, mengeluarkan
kontrak atau pesanan dan melakukan tindak lanjut untuk memastikan pengiriman yang baik.
Sistem pembelian Just In Time mengharuskan adanya sistem penjadwalan pengadaan
barang dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat dilakukan penyerahan segera untuk
memenuhi permintaan atau penggunaan. Pembelian Just In Time adalah pembelian bahan-
bahan atau barang sedemikian sehingga mereka dikirimkan hanya pada saat dibutuhkan bagi
produksi atau penjualan. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelian Just
In Time adalah sistem pembelian penjadwalan pengadaan barang atau bahan yang tepat waktu
sehingga dapat dilakukan pengiriman atau penyerahan secara cepat dan tepat untuk
memenuhi permintaan.
Perbedaan Just In Time Purchasing dengan Pembelian Tradisional, di dalam metode
pembelian Just In Time Purchasing dan pembelian tradisional tedapat bebrapa perbedaan
dasar yaitu:
1. Pemasok, Just In Time Purchasing hanya menggunakan pemasok dalam jumlah sedikit
untuk memperoleh bahan yang bermutu tinggi, mencapai pengiriman yang tepat waktu dan
jumlah, serta berharga murah. Sedangkan sistem tradisional menggunakan banyak pemasok
untuk memperoleh barang dengan harga murah dan bermutu tinggi. Dan akibatnya aktifitas-
aktifitas tidak bernilai tambah yaitu untuk memperoleh harga yang murah harus membeli
dalam jumlah yang banyak atau mungkin mutunya lebih rendah.
2. Kontrak Pembelian, Just In Time Purchasing menerapkan kontrak pembelian jangka
panjang dengan beberapa pemasoknya guna membangun hubungan baik yang saling
menguntungkan sehingga dapat dipilih pemasok:
a. Memasok bahan yang murah
b. Bermutu tinggi
c. Berkinerja pengiriman tepat waktu dan tepat jumlah
d. Mengurangi frekuensi pemesanan
Sedangkan pada sistem tradisional menerapkan kontrak-kontrak jangka pendek
dengan banyak pemasok.
3. Aktivitas dalam arus pembelian bahan, pada Just In Time Purchasing, aktivitas pembelian
bahan hanya melalui sedikit tahap daripada sistem pembelian tradisional yang melalui banyak
tahapan-tahapan. Dalam rangka menerapkan Just In Time, maka kondisi dan proses
pembelian harus diatur dengan mempertimbangkan hal-hal berikut:
a. Dekat dengan pemasok.
b. Sedikit pemasok.
c. Pemasok tahu kualitas yang diinginkan perusahaan.
d. Meminimalisasi inspeksi.
e. Eliminasi penggudangan.
L. Peranan Just In Time
Dalam sistem Just In Time ada beberapa peranan penting yaitu menghasilkan sebuah
produk hanya ketika dibutuhkan dan hanya dalam kuantitas yang diminta oleh
pelanggan. Just In Time memiliki beberapa peranan penting diantaranya:
1. Meningkatkan laba.
2. Meningkatkan posisi persaingan perusahaan yang dicapai melalui:
a. Pengendalian biaya.
b. Peningkatan kualitas.
c. Perbaikan kinerja kualitas. (Putra, 2014, hal. 5)