Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH ISLAM DAN PERADABAN MELAYU : TEORI-

TEORI MASUKNYA ISLAM DIKAWASAN MELAYU


BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Islam memiliki karakteristik global, yang mana bisa diterima dalam setiap ruang dan
waktu. Namun saat ia memasuki berbagai kawasan wilayah, karakteristik globalnya seolah-olah
hilang melebur ke dalam berbagai kekuatan lokal yang dimasukinya. Satu kecendrungan dimana
biasa Islam mengadaptasi terhadap kepentingan mereka. Khususnya dikawasan Nusantara,
dimana disana identik dengan budaya melayu, budaya Melayu yang ada di Nusantara
menjadikan Agama Islam disana berkarakter Islam melayu.Islam dan masyarakat tradisional
Melayu pada dasarnya adalah bentuk Islam pribumi, yang dianut sebagai prinsip-prinsip akidah
dengan ajaran-ajaran ritualnya yang bersifat wajib. Islamisasi orang-orang Melayu, seperti itu
juga yang dialami oleh orang-orang ditempat lain, tidak pernah berlangsung secara sekaligus,
akan tetapi melalui proses yang berjalan secara bertahap-tahap.
Rumusan Masalah
1.      Bagaimanaproses penyebaran islam di kawasan melayu ?
2.       Apasaja teori-teori  yang digunakan dalam proses penyebaran islam  di kawasan melayu ?
Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui proses penyebaran islam di kawasan melayu.
2.      Mengetahui teori-teori  yang digunakan dalam proses penyebaran islam  di kawasan melayu.
Kegunaan Makalah
Makalah ini dibuat sebagai tugas terstruktur dan sebagai bahan diskusi

BAB II
PEMBAHASAN
Proses Masuknya Islam Di Kawasan Melayu
Islam datang dikawasan  Melayu  diperkirakan pada sekitar abad ke-7. Kemudian
mengalami perkembangan secara intensif dan mengislamisasi masyarakat secara optimal yang
diperkirakan terjadi pada abad ke-13 M. Awal kedatangannya diduga akibat hubungan dagang
antara pedagang-pedagang Arab dari Timur Tengah (seperti Mesir, Yaman, atau Teluk Persia)
atau dari daerah sekitar India (seperti Gujarat, Malabar, dan Bangladesh), dengan kerajaan-
kerajaan di Nusantara, semacam Sriwijaya di Sumatra atau dengan di Maja Pahit di Jawa.
Perkembangan mereka pada abad ke-13 sampai awal abad ke-15 ditandai dengan banyaknya
pemukiman muslim baik di Sumatra seperti di Malaka, Aceh, maupun di Jawa seperti di pesisir-
pesisir pantai, Tuban, Gresik, Demak, dan sebagainya.
Pusat-pusat kekuatan ekonomi masyarakat Islam secara tidak langsung terlembagakan
dalam bentuk kota-kota dagang atau munculnya para saudagar muslim, baik di Malaka, Aceh,
maupun pesisir-pesisir pulau jawa. Saudagar-saudagar Arab, kelompok-kelompok sufi, dan para
mubaligh dari teluk persia, Oman maupun dari Gujarat-Persia tersebut atau dari berbagai tempat
lain dari Timur Tengah terus berakumulasi dengan kekuatan lokal, hingga terbentuknya
komunitas politik, yakni kesultanan pada abad ke-16. Dari sana para saudagar mendapat
perlingdungan dan semangat lebih untuk meneruskan langkah-langkah ekonomi dan dakwahnya
untuk menembus wilayah-wilayah Timur lainnya, seperti daerah-daerah Jawa, serta daerah
Maluku, seperti Ambon, Ternate, Tidore, dan seterusnya, termasuk Kalimantan, pulau-pulau
Sulu dan Filipina.
Pengaruh persia terhadap kebudayaan Melayu juga sangat terasa pada pemikiran-
pemikiran seni dan bahasa. Banyak pola-pola kata dan bahasa yang di adopsi dari pola-pola
Persia, simana huruf  akhiran “th” yang selalu dibaca tegas seperti pada kata
masyaraka(t), makluma(t), khiyana(t), dan sebagainya. Sementara dalam pola bahasa Arab
akhiran “t” selalu dibaca mati dan diganti dengan akhiran “h”; khiyanah, ma’lumah, dan
sebagainya.Istilah-istilah lain seperti cilla (duduk bersila), bazar (pasar) dan sebagainya,
termasuk pada pola dan wujud seni sastra Melayu yang hampir separuhnya terpengaruh Persia.
Mengenai teori kedatangan Islam di Melayu terdapat banyak pendapat dan masing-
masing pendapat diikuti dengan bukti-buktinya.Memang banyak hal yang dipermasalahkan
apabila membicarakan apabila membicarakan tentang kedatangan Islam.meskipun demikian
maka teori kedatangan Islam meliputi tiga hal pokok yakni dari mana asal kedatangan Islam
waktu kedatangan Islam dan siapa yang membawa Islam itu sendiri. Namun  terlepas dari teori
tersebut yang jelas Islam pada awalnya bertapak di kota-kota pelabuhan seperti Samudra Pasai,
Aceh, Malaka, Riau, dan kota-kota pelabuhan lainnya. Hal ini disebabkan karena Kepulauan
Melayu memang berada di persimpangan jalan laut bagi para pedagang yang akan melakukan
perjalanan perniagaan. Misalnya pedagang Arab, Persia, India, dan China dengan dua arah bolak
balik. Oleh sebab itu secara umum dikatakan bahwa Islam disebarkan oleh para pedagang
muslim yang melakukan perdagangan ke berbagai wilayah.
Sebelum islam datang ke tanah Melayu, orang-orang Melayu adalah penganut
annimisme, hinduisme, dan budhisme. Namun demikian, sejak kedatangannya Islam secara
berangsur-angsur mulai meyakini dan diterima sebagai agama baru oleh masyarakat Melayu
Nusantara. Proses islamisasi di Nusantara tidak dapat dilepaskan dari peranan kerajaan Islam.
Berawal ketika Raja setempat memeluk Islam, selanjutnya diikuti para pembesar istana, kaum
bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Dalam perkembangan selanjutnya, kesultanan
memainkan peranan penting tidak hanya dalam pemapanan kesultanan sebagai institusi politik
Muslim, pembentukan dan pengembangan institusi-institusi Muslim lainnya, seperti pendidikan
dan hukum (peradilan agama) tetapi juga dalam peningkatan syiar dan dakwah Islam.
Teori-Teori Penyebaran Islam Di Kawasan Melayu
1.      Teori Arab
Pendapat ini menyatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab atau lebih tepatnya dari
Hadramaut.Karena jika dilihat secara nyata jauh ke belakang sebenarnya telah terjadi hubungan
antara penduduk nusantara dengan bangsa Arab sebelum kelahiran Islam. Dalam  satu catatan
-shih” telah ditemui pada tahun 650 M/30 H. perkampungan tersebut dihuni oleh orang-orang
Arab yang datang ke Sumatera pada abad ke-7 M. Selain tu pula bahwa pada abad 7 M yakni
sekitar tahun 632 M berangkatlah satu ekspedisi yang terdiri dari beberapa orang saudagar Arab
dan beberapa orang mubaligh Islam berlayar ke negeri Cina dan tinggal di pelabuhan Aceh yaitu
di Lamuri. Kemudian dikatakan pula bahwa pada tahun 82 H atau tahun 717 M berlayar pula 33
buah kapal Arab-Persia yang diketuai oleh Zahid ke Tiangkok dan singgah pula di Aceh, Kedah,
Suam, Brunei dan lain-lain.  Kepentingan mereka adalah untuk berdagang dan menyebarkan
Islam. selanjutnya T. W. Arnold dalam bukunya “The Preaching Of Islam” menyebutkan pada
674 M telah ada koloni Arab di Pantai Barat Sumatra dan ada dari pembesar Arab itu yang
menjadi kepala koloni disana, yaitu sekitar 676 M.
Teori Arab ini sangat banyak menampilkan bukti-bukti tentang keberadaan orang Arab di
Wilayah Melayu, baik sebelum Islam maupun sesudah Islam.selain itu dapat juga dilihat bahwa
system aksara Arab-Melayu yang ada di nusantara merupakan saduran dari aksara Arab atau
aksara Timur Tengah. Hal ini menandakan telahh terjadinya interaksi yang dalam antara kedua
wilayah itu.
Dalam Hikayat Raja-raja Pasai menyebutkan Syeikh Ismail dengan kapal dari Mekkah
ke Pasai, djan lalu ia mengislamkan Merah Silu – penguasa setempat – yang kemudian diberi
gelar Sultan Malik al-Saleh. Demikian juga informasi yang diberikan dalam sejarah Melayu
(1952), Parameswara – penguasa melaka – juga di Islamkan oleh Sayyid Abdul Aziz, seorang
Arab dari Jeddah. Setelah masuk Islam ia diberi gelar Sultan Muhammad Syah. Historiografi
lainnya, Hikayat Mahawangsa meriwayatkan bahwa Syeikh Abdullah al-Yamani datang dari
Makkah ke Nusantara dan mengislamkan penguasa setempat, Phra Ong Mahawangsa(Merong
Mahawangsa) dan para mentrinya, serta sekalian penduduk Kedah. Setelah masuk Islam ia
bergelar Sultan Muzaffar Syah. Sementara itu, sebuah historiografi dari Aceh (1982)
menerangkan bahwa nenek moyang  Sultan Aceh berasal dari Arab yang bernama Syekh Jamal
al-‘Alam, yang dikirim Sultan Utsmani untuk mengislamkan penduduk Aceh. Riwayat Aceh
lainnya menyatakan bahwa Islam diperkenalkan di Aceh oleh seorang Arab yang bernama Syekh
Abdulah ‘Arif sekitar tahun 506 H/ 1111 M.
Dalam seminar sejarah masuknya Islam ke Indonesia tahun 1962, Hamka menyebutkan
bahwa Islam masuk ke Indonesia langsung dari Arab, bukan melalui india bukan pada abad 11
akan tetapi Islam masuk pada abad pertama Hijrah atau abad ke-7 Masehi. Pendapat ini
didukung oleh Naquib al-Attas dengan mengkaji literature Melayu abad ke-10 dan 11 H (16-17
M).karena dalam berbagai tulisan Melayu selalu disebutkan peran bangsa Arab dalam proses
Islamisasi.
2. Teori India
Teori kedatangan Islam ke Nusantara dibawa oleh pedagang-pedang dari India telah
dipelopori oleh orientalis seperti Snouck Horgronje dan Brain Harrison. Teori ini diperkuat lagi
dengan bukti lain yakni penemuan batu-batu nisan seperti batu nisan di Pasai yang bertanggal 17
Dzulhijjah 831 H (27 September 1428) mirip dengan batu nisan yang ada dimakam Maulana
Malik Ibrahim di Gresik Jawa Timur bahkan sama pula bentuknya dengan batu nisan yang
terdapat di Cambay, Gujarat. Sementara itu didapati juga pendapat yang mengatakan bahwa
Islam dibawa oleh pedagang-pedagang yang berasal dari Malabar bukan Gujarat.  Hal ini
dekarenakan adanya kesamaan mazhab yang di anut oleh masyarakat Nusantara dengan
masyarakat di Malabar yakni manganut Mazhab Syafi’i. Sedangkan di Gujarat, masyarakatnya
mengamalkan mazhab Hanafi. Selain itu Gujarat menerima Islam lebih belakang dari Pasai.
Ada pula pendapat lain yang mengatakan bahwa muslim yang banyak di Pasai adalah
orang-orang Benggali atau keturunan mereka. Islam muncul pertama kali di semenanjung
Malaya dari arah pantai Timur bukan dari pantai barat yaitu Malaka. Pendapat ini banyak dinilai
lemah oleh sejarawan karena alasannya tidak kuat  terutama dalam hal angka tahun.
3.      Teori China
Terdapat juga teori yang mengatakan bahwa Islam di bawa ke Nusantara melalui Negara
China karena Islam telah sampai ke China pada zaman pemerintahan Dinasti Tang sekitar tahun
659 M. pendapat ini didukung oleh Emanuel Godinho De Evedia yang digunakan oleh Othman
dalam tulisannya yang mengatakan bahwa Islam datang ke Nusantara dari China melalui Kanton
dan Hainan pada abad ke-9 M dengan bukti ditemukannya batu bersurat di Kuala Berang
Telengganu yang terletak di Pantai Timur Tanah Melayu.
Selain itu, teori ini didukung oleh fakta di mana telah terjadi kegiatan perdagangan antara
orang-orang Islam dari Asia barat (Arab-Persi) sejak abad ke-3 H (abad ke-9 M) atau lebih awal
yaitu abad pertama kali hijrah (abad ke-7).Menurut Syafi Abu Bakar dalam penelitiannya
mengatakan bahwa terdapat lebih kurang 200.000 pedagang-pedagang di pelabuhan Katon yang
sebagian besarnya adalah pedagang-pedagang Islam.Mengenai teori China ini sebenarnya masih
lemah karena secara area atau lokasi, negeri China berada di sebelah utara dan untuk sampai ke
China harus melalui Selat Malaka terlebih dahulu. Jika orang-orang Arab berdagang ke China
mestinya akan singgah terlebih dahulu di Nusantara sebelum Sampai ke China karena Nusantara
berada di tengah-tengah pelayaran perdagangan yang terkenal dengan nama selat Malaka. Oleh
karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa Islam telah ada di Nusantara sebelum ke China.
4.      Teori Eropa
Teori yang menyatakan bahwa Islam itu datang dari eropa secara mutlak berpegang pada
apa yang disebutkan oleh pengembara italia Marcopolo bahwa masuknya islam ke Asia
Tenggara adalah pada abad ke tiga belas Masehi di sebelah utara pulau sumatera. Dalam hal ini
mereka membatasi pendapat hanya pada perjalanan Marcopolo ke daerah tersebut yang terjadi
pada tahun 1292 M dengan pendapatnya sebagaimana yang tertulis di dalam Ensiklopedia dunia
islam sebagai berikut:
“sesungguhnya semua penduduk negeri ini adalah penyembah berhala kecuali di kerajaan kecil
perlak yang terletak di timur laut Sumatera dimana penduduk kotanya adalah orang-orang
islam. sedangkan penduduk yang tinggal di bukit-bukit mereka semuanya adalah penyembah
berhala atau orang-orang biadab yang memakan daging manusia,”
Selanjutnya, dikatakan pula bahwa karena penamaan ini sebelum kedatangan Marcopolo,
maka hal ini menmbulkan tanda Tanya. Mungkin saja daerah samara bukan samudra itu sendiri.
Tetapi jika ya demikian, maka Marcopolo salah ketika mengatakan kota itu bukan kota islam,
karena sesungguhnya di sana terdapat beberapa batu tertulis dan merupakan pemerintahan islam
pertama di samudra. Sultan Malaka yaitu Malik al-Shaleh berada di sana tahun 696 H (1297 M).
Dengan demikian itulah masa pertama yang jelas tentang adanya masyarakat islam yang pertama
di Nusantara.
5.      Teori Muslim
Ada beberapa pendapat sejarawan Arab dan Muslim tentang masuknya islam di Asia
Tenggara. Misalnya Muhammad Dhiya Syahab dan Abdullah bin Nuh mengatakan bahwa
banyak buku-buku sejarah dari Barat dan orang-orang yang mengikutinya yang mengira bahwa
islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13 M tetapi saya berkeyakinan bahwa masuknya islam
ke Asia Tenggara jauh sebelum masa yang diduga oleh orang-orang asing itu dan para pengikut
mereka.
Kemudian pendapat Syarif Alwi bin Thohir Al-Haddad salah seorang Mufti Kesultanan
Johor Malaysia mengatakan bahwa pendapat-pendapat para sejarawan tentang masuknya islam
ke Asia Tenggara adalah tidak tepat. Terutama pendapat sejarawan Eropa  yang menetapkan
masuknya islam ke jawa pada tahun 800-1300 H, di Sumatera dan Malaysia pada abad ke 7
Hijriah. Kenyataan yang benar bertentangan dengan apa yang mereka katakan. Karena
sesungguhnya islam telah mempunyai raja-raja di Sumatera pada abad ke enam bahkan ke lima
hijriah.
Kemudian ahli sejarah dan mufti ini mengatakan bahwa telah terjadi kesalahan tentang
masuknya islam ke sumatera, negeri-negeri melayu, kepulauan sulu dan Mindanao. Islam telah
masuk ke daerah-daerah tersebut sebelum waktu yang disebutkan oleh orang-orang eropa.Bukti-
bukti telah menunjukkan hal tersebut. Demikian juga yang terjadi tentang masuknya islam ke
jawa dan china. Rahasia (kunci) kesalahan ini sebagaimana dikatakan adalah, bahwasanya orang-
orang jawa tidak mempunyai penggalan tahunan yang tepat sebelum masuknya islam dan
sesungguhnya hal itu terjadi jauh setelah itu dan di masukkan pada kejadian-kejadian dalam
sejarah.
Keterangan-keterangan di atas ditambah lagi dengan apa yang disebutkan oleh sejarah-
sejarah Sulu dan Mindanao, bahwasanya Makhdum datang ke daerah-daerah tersebut sebagai
da’I pada tahun 1380 M yaitu tahun 782 hijriah bertepatan dengan 1308 tahun jawa. Maka antara
masuknya Makhdum Isha ke jawa dan tahun ini terdapat perbedaan yang tak kurang dari 47
tahun.
Selain itu, Dr. Muhammad Zaitun mengatakan bahwa walaupun para sejarahwan
menyebutkan masuknya islam ke Malaysia pada abad ke enam hijriah (abad ke 12 M), pendapat
yang lebih kuat adalah islam telah masuk kesana jauh sebelum itu. Mungkin tahun yang
disebutkan oleh mereka hanya menjelaskan catatan-catatan sejarah seperti yang tertulis di
prasasti yang sampai kepadanya sesudah pemerintah wilayah-wilayah tersebut memeluk agama
islam dan terbentuk kesultanan-kesultanan islam di daerah tersebut. Di Malaysia, wilayah kedah
adalah wilayah yang paling cepat memeluk islam.
6.      Teori Benggali (Bangladesh)
Teori yang menyatakan bahwa Islam itu datang dari Benggali (kini Bangladesh) yang
diajukan oleh Fatimi.Fatimi beragumentasi bahwa kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah
orang benggali atau keturunan mereka. Selain itu Fatimi menjelaskan bahwa Islam muncul
pertama kali di Semenanjung Malaya adalah dari arah pantai timur, bukan dari barat (Malaka),
pada abad ke 11 M, melalui Kanton, Phanrang, sementara elemen-elemen prasasti yang
ditemukan di Terengganu juga lebih mirip dengan prasasti yang ditemukan di Leran.
Teori Gujarat dan Bengali sebagai tempat asal Islam di Nusantara mempunyai
kelemahan-kelemahan tertentu.Ini dimunculkan oleh Morrison (1951).Ia menjelaskan meski
batu-batu nisan yang ditemukan di tempat-tempat tertentu di Nusantara boleh jadi berasal dari
Gujarat atau Bengali, itu tidak berarti Islam juga datang dari sana. Menurut Morrison, pada masa
Islamisasi Samudera Pasai yang raja pertamanng raja pertamanya wafat tahun 698 H/1297 M,
Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Barulah setahun kemudian (699 H/1298M) Cambay,
Gujarat ditahlukkan kekuasaan Muslim. Selanjutnya dinyaatakan, meski laskar Muslim beberapa
kali menyerang Gujarat - masing-masing 415 H/1024 M, 574 H/1178 M, 595 H/1197 M – raja
hindu disana mampu mempertahankan kekuasaannya hingga tahun 698 H/1297 M. Berdasarkan
hal tersebut, Morrisson mengemukakan bahwa Islam di Nusantara bukan berasal dari Gujarat,
melainkan dibawa para Muslim dari Pasai Coromandel pada akhir abad ke-13.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Islam datang dikawasan  Melayu  diperkirakan pada sekitar abad ke-7. Kemudian
mengalami perkembangan secara intensif dan mengislamisasi masyarakat secara optimal yang
diperkirakan terjadi pada abad ke-13 M. Awal kedatangannya diduga akibat hubungan dagang
antara pedagang-pedagang Arab dari Timur Tengah dari daerah sekitar India dengan kerajaan-
kerajaan di Nusantara.
Sebelum islam datang ke tanah Melayu, orang-orang Melayu adalah penganut annimisme,
hinduisme, dan budhisme. Namun demikian, sejak kedatangannya Islam secara berangsur-angsur
mulai meyakini dan diterima sebagai agama baru oleh masyarakat Melayu Nusantara. Proses
islamisasi di Nusantara tidak dapat dilepaskan dari peranan kerajaan Islam. Berawal ketika Raja
setempat memeluk Islam, selanjutnya diikuti para pembesar istana, kaum bangsawan dan
kemudian rakyat jelata.
Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan.Masih banyak
kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik yang kami sengaja maupun yang
tidak kami sengaja.Maka dari itu sangat kami harapkan saran dan kritik yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.Semoga dengan berbagai kekurangan yang ada ini
tidak mengurangi nilai-nilai dan manfaat dari mempelajari sejarah islam dan peradaban melayu.
DAFTAR PUSTAKA
C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modem (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,1991), him.
 Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (Bandung: Mizan, 2002)
hlm.20-21
P.A. Hosein Djadjadiningrat, “Islam di Indonesia”, dalam Kennet Morgan, ed., Islam Djalan
Mutlak, terj. Abu Salamah, ddk. (Djakarta : PT. Pembangunan, 1963), hlm. 99-140
Buku Silang Budaya Tiongkok Indonesia – Prof Kong Yuanzhi
Hasbullah, Islam dan Tamadun Melayu, Riau: Daulat Riau, 2009.
Helmiati, Islam dalam Masyarakat & Politik Malaysia, Pekanbaru: Suska Press UIN Suska
Riau, 2007.
Roza Ellya, Islam dan Tamadun Melayu, Pekanbaru-Riau: Daulat Riau, 2013.

Thohir Ajid, Studi Kawasan Dunia Islam Perspektif Etno-Linguistik dan Geo-Politik,  Jakarta:
Raja Pers, 2011.
Analisis: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 18, No. 2 (2018) 67 Analisis: Jurnal Studi Keislaman P-ISSN 2088-
9046, E-ISSN 2502-3969 http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/analisis DOI:
http://dx.doi.org/10.24042/ajsk.v18i2.3069 Volume 18. No. 2, Desember 2018, h. 67-100 Kedatangan
dan Penyebaran Islam di Asia Tenggara: Tela’ah Teoritik Tentang Proses Islamisasi Nusantara Faizal Amin
IAIN Pontianak faizalamin@hotmail.com Rifki Abror Ananda UIN Imam Bonjol Padang
rifkiabrorananda@gmail.com Abstract: The introduction and spread of Islam in South East Asia is an
entry point for Islamisation of Nusantara history, but it has been the most probelmatic and unclear. In
spite of that, there are some theories come up and set up the debates and polemic which have never
be`the end. This article aims to break down the discources of the Islamisation of Nusantara, especially
about the introduction and spread of Islam in South East Asia. Based on the prior library research with
the cuallitatif approach methodology, this article examines five of those theories, namely are Indian,
Arabian, Persian, Chinesee, and accomodative theories. Actually, those theories are arguments to
answer three core problem, namely the origin place of Islam in South East Asia, the actors who came
with, and the time of it’s introduction. The debates of those theories will never be`the end becouse of
the lack of data and the patisan interest to some core problems while ignore the other ones. This article
not only explains theories of accommodation as sintesys, but also describes some factors and channels
of Islamisation that has constructed some characteristics of Shoth East Asian Islam. These arguments are
used to place the position of South East Asia Islam or Nusantara Islam as a Islamic cultural spheres that
distinctive and equals to the others in the Muslim World. Faizal Amin & Rifki Abror Ananda DOI:
http://dx.doi.org/10.24042//ajsk.v18i2.3069 68 Abstrak: Kedatangan dan penyebaran Islam di Asia
Tenggara adalah titik tolak sejarah Islamisasi Nusantara, tetapi merupakan bagian yang paling
bermasalah dan tidak jelas. Meskipun demikian, teori-teorinya banyak bermunculan dan menimbulkan
perdebatan yang tidak kunjung tuntas. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis perdebatan akademik
tentang Islamisasi Nusantara terutama tetang teori-teori kedatangan dan penyebaran Islam di Asia
Tenggara. Melalui pendekatan kualitatif dalam bentuk studi kepustakaan (library research), artikel ini
membahas lima teori kedatangan dan penyebaran Islam di Asia Tenggara, yaitu teori India, teori Arabia,
teori Persia, dan Teori Cina, dan teori akomodasi. Secara keseluruhan teori-teori tersebut merupakan
upaya untuk menjawab tiga permasalahan pokok, yaitu kapan, dari mana, dan siapa pembawa agama
Islam ke Asia Tenggara. Perdebatan tentang permasalahan pokok tersebut tidak kunjung tuntas sebab
kurangnnya data yang dapat mendukung suatu teori tertentu dan adanya keberpihakan dari berbagai
teori-teori tertentu yang cenderung hanya menekankan aspekaspek khusus dari ketiga permasalahan
pokok, Selain menjelaskan teori-teori akomodasi yang merupakan sintesis terori-teori sebelumnya,
artikel ini juga menjelaskan sejumlah faktor dan saluran Islamisasi yang menjadi dasar karakteristik Islam
Asia Tenggara. Argumean ini digunakan untuk menempatkan posisi Islam Asia Tenggara atau Islam
Nusantara sebagai ranah kebudayaan Islam yang distingtif dan sejajar di Dunia Muslim. Kata kunci:
Pakaian, Minangkabau, Padri, Perempuan. A. Pendahuluan Sebagai fenomena sosial, agama Islam
pertama kali muncul di Jazirah Arab pada abad ke-7 Masehi. Nabi Muḥammad s.a.w, adalah orang yang
mula-mula memperkenalkan agama Islam kepada peduduk kota Makkah. Hanya dalam kurun waktu dua
dekade dari awal dakwahnya, Nabi Muhammad s.aw. telah berhasil menjadikan umat Islam menyebar
begitu pesat sehingga sampai ke luar Jazirah Arab. Jika dilihat pada peta modern penyebaran umat Islam
di seluruh dunia, maka kawasan Asia dan Afrika adalah wilayah yang paling dominan. 1 Islam tumbuh
berkembang tidak hanya menjadi sistem kepercayaan atau agama yang dianut masyarakat, tetapi juga
menjadi 1 Richard C. Martin, “Islām,” dalam Encyclopedia of Islam and the Muslim World (USA:
Macmillan Reference, 2004), h. 176. Kedatangan dan Penyebaran Islam di Asia Tenggara Analisis: Jurnal
Studi Keislaman, Vol. 18, No. 2 (2018) 69 sebuah peradaban dengan banyak imperium/kerajaan
sepeninggal Nabi Muhammad s.aw. dan generasi awal sahabatnya. 2 Kerajaan Umayyah, kerajaan
Abbasiyah pada periode awal hingga kerajaan Turki Usmani, Kerajaan Safawi, dan kerajaan Mughal pada
periode akhir adalah imperium-imperium kuat dan besar di dunia yang pernah menguasai wilayah
Semenanjung Balkan dan Eropa Tengah di Utara sampai wilayah Afrika Hitam di Selatan. Sementara di
Timur terdapat wilayah Maroko di Barat sampai dengan Asia Tenggara. Dengan demikian, Islam tidak
hanya agama yang dianut oleh bangsa-bangsa di pertengahan bumi ini, tetapi juga merupakan
peradaban yang terbentang dari Laut Afrika sampai tepi Laut Pasifik Selatan, dari Padang Rumput Siberia
sampai ke pelosok daerahdaerah kepulauan di Asia Tenggara. 3 Pengetahuan tentang dunia Islam
sejatinya pengetahuan tentang peradaban Islam yang telah menyebar di berbagai kawasan dunia. Studi
kawasan Islam merupakan kajian yang dapat menjelaskan terjadinya situasi yang ada saat ini di dunia
Islam. Fokus studi kawasan adalah menguraikan berbagai wilayah dalam dunia Islam dan lingkup
pranatanya sejak dari awal pertumbuhan, perkembangan, karakteristik sosial budaya, faktor-faktor
pendukung dan penghambatnya. Obyek studinya meliputi aspek geografis, demografis, historis, bahasa,
serta berbagai perkembangan sosial budaya yang merupakan karakteristik dari keseluruhan
perkembangan di setiap kawasan budaya. 4 Secara kultural, penduduk yang tersebar di kawasan Asia
Tenggara ini sangat heterogen dari aspek bahasa, budaya, etnis, agama dan lainnya. Beberapa wilayah
menjadi kantong basis agama Islam karena hampir seluruh penduduknya beragama Islam, bahkan telah
berhasil membentuk sebuah kerajaan dan pemerintahan yang bernafaskan Islam. Sementara di wilayah
yang lainnya, umat Islam ada yang menjadi golongan minoritas karena mereka hidup dengan
masyarakat yang berbeda agama yang jumlahnya lebih besar dan 2 Richard C. Martin, “Islām,”
Encyclopedia of Islam..., h. 175. 3 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam : Bagian ke-Satu dan
keDua, trans. oleh Ghufran A. Mas’adi, I, A History of Islamic Societies (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1999), h. vii. 4 Asep Ahmad Hidayat dkk., Studi Islam di Asia Tenggara (Bandung: Pustaka Setia,
2013), h. 5. Faizal Amin & Rifki Abror Ananda DOI: http://dx.doi.org/10.24042//ajsk.v18i2.3069 70
berada di bawah pemerintahan non-muslim. 5 Sebahagian besar penduduk di wilayah Asia Tenggara
berbudaya Melayu dan beragama Islam, yang menyebrang di Malaysia dan Indonesia hingga Filipina.
Sementara negara-negara di Semenanjung Indo-Cina merupakan negara-negara yang mendapat
pengaruh dari Cina, sehingga penduduknya banyak memeluk agama Buddha seperti di Myanmar,
Vietnam, Laos, dan Kamboja. 6 Oleh karena itu, kajian tentang Islam Asia Tenggara baik sebagai ranah
kebudayaan, maupun Islam di Asia Tenggara sebagai kawasan teritorial merupakan obyek kajian yang
menarik dan relevan. Menyadari hal tersebut, permasalahan yang menjadi fokus pembahasan artikel
adalah bagaimana para sarjana luar (outsiders) dan sarjana dalam (insiders) menjelaskan awal mula
kedatangan dan penyebaran Islam di Asia Tenggara. Mengapa mereka berbeda-beda dalam membangun
argumentasi teori-teori yang menjelaskan kedatangan dan penyebaran Islam di Asia. Bagaimana upaya
para sarjana melakukan sintesis terhadap teori India, teori Arabia, teori Persia, dan Teori Cina.
Bagaimanakah proses Islamisasi Nusantara dan karaktekteristiknya yang distingtif dibandingkan dengan
kawasan ranah kebudayaan Islam yang lain di Dunia Muslim. Artikel ini bertujuan untuk menelaah teori-
teori tentang kedatangan dan penyebaran Islam di Asia Tenggara sebagai bagian dari proses Islamisasi
Nusantara. Pembahasan difokuskan pada perdebatan akademik di kalangan para sarjana terkait teori
India, teori Arabia, teori Persia, dan Teori Cina. Selain keempat teori tersebut, artikel ini juga membahas
teori akomodasi yang merupakan upaya untuk ‘mensintesiskan’ temuan dan argumentasi yang
dikemukakan oleh teori-teori sebelumnya. Artikel ini juga dimaksudkan untuk menjadikan kajian Islam
Asia Tenggara sebagai bagian sejarah Dunia Islam yang sejajar (bukan sekedar pinggiran yang diabaikan)
dibandingkan dengan kawasan ranah kebudayaan Islam lainnya. Untuk menjawab permasalahan
tersebut, penelitian kepustakaan (library research) dilakukan dengan menggunakan pendekatan
kualitatif. Penelitian kepustakaan dilakukan cara 5 M Dahlan M, Dinamika Perkembangan Islam di Asia
Tenggara Perspektif Histori, Jurnal Adabiah Vol XIII Nomor 1/2013, h. 2-3. 6 Asep Ahmad Hidayat et al.,
Studi Islam Di Asia Tenggara, h. 4. Kedatangan dan Penyebaran Islam di Asia Tenggara Analisis: Jurnal
Studi Keislaman, Vol. 18, No. 2 (2018) 71 pengumpulan bibliografi yang berkenaan dengan sasaran
penelitian, teknik pengumpulan data dengan metode kepustakaan, sedangkan pengorganisasian dan
penyajian data dengan metode kualitatif. Menurut Danandjaja, 7 bibliografi yang dimaksud dalam
metode kepustakaan adalah karya tulis yang disusun untuk keperluan informasi dan ilmu pengetahuan.
menelaah buku, artikel, dan bahan pustakan yang relevan dengan topik pembahasan. Data yang telah
terkumpul kemudian dianalisis dengan cara melakukan pengorganisasian dan penyajian data. 8
Selanjutnya peneliti melakukan interpretasi data sesuai tujuan penelitian sehingga untuk jawaban tas
permasalahan penelitian dapat diperoleh. Ruang lingkup pembahasan artikel ini dibatasi pada kajian
tentang proses Islamisasi Nusantara yang secara geografis berada di kawasan Asia Tenggara. Hal ini
dikarenakan sejarah awal kedatangan Islam di Asia Tenggara adalah salah satu proses yang sangat
penting dalam memahami Islam Asia Tenggara, namun kenyataannya merupakan bagian yang paling
tidak jelas. 9 Yang dimaksud dengan Asia Tenggara (indo-Melayu) adalah sebuah kawasan yang terletak
di wilayah benua Asia sebelah Tenggara. Kawasan ini berbatasan langsung dengan Republik Rakyat Cina
di sebelah Utara, Samudra Pasifik di sebelah Timur, Samudra Hindia di sebelah Selatan dan di sebelah
Barat berbatasan dengan Samudra Hindia, Teluk Bengala dan Anak Benua India. 10 Secara geografis,
negara-negara dikawasan Asia Tenggara dibagi menjadi dua kategori. Pertama, Asia Tenggara Daratan
(ATD) yang terdiri dari beberapa Negara yaitu Kamboja, Laos, Myanmar, Thailand, dan Vietnam. Kedua,
Asia Tenggara Maritim (ATM) yang terdiri dari: Brunei, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura dan Timor
Leste. 11 7 James Danandjaja, Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lainlain, V (Jakarta: PT.
Pustaka Utama Grafiti, 1997), h. 83. 8 LIhat Rahayu S. Hidayat, “Pengantar,” dalam Sumber Sejarah dan
Penelitian Sejarah, oleh Mona Lohanda (Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga
Penelitian Universitas Indonesia, 1998), h. vii–viii. 9 Lihat Merle Calvin Ricklefs, Sejarah Indonesia
Modern 1200 - 2004, ed. oleh Merle Calvin Ricklefs dan Husni Syawie, trans. oleh Satrio Wahono dkk.
(Jakarta: Serambi, 2005), h. 27. 10 Asep Ahmad Hidayat dkk., Studi Islam di Asia Tenggara, h. 3. 11Ibid.
Faizal Amin & Rifki Abror Ananda DOI: http://dx.doi.org/10.24042//ajsk.v18i2.3069 72 Berdasarkan
penelaahan terhadap literatur yang relevan, tema kajian tentang teori-teori kedatangan Islam di Asia
Tenggara telah banyak dilakukan. Hampir semua buku dan/atau artikel yang membahas tentang sejarah
Islam di Indonesia dan Asia Tenggara biasanya menyinggung persoalan kedatangan dan proses
Islamisasinya. Berikut ini, tiga artikel terbitan berkala terbaru dan terkat langsung dengan tema kajian
artikel ini yang dapat berhasil ditelusuri, yaitu tulisan Baiti, 12 Syafrizal, 13 dan Husda. 14 Baiti
menarasikan sejumlah teori kedatangan dan Islamisasi di Indonesia, tetapi ruang lingkupnya terlalu luas
sehingga tidak menampilkan detail perdebatan akadaemik para sejarawan. Sebagaimana Syafrizal,
Husda juga menarasikan empat teori yang relatif sama, tetapi terdapat perbedaan dalam sejumlah detail
narasinya. Detail perdebatan akademik para sejarawan yang dijelaskan oleh Syafrizal dan Husda dapat
disimak lebih lengkap dalam artikel ini. Meskipun Syafrizal menjelaskan lima teori tentang sejarah
masuknya Islam ke Nusantara sebagaimana artikel ini, namun teori kelimanya berbeda. Husda
menjadikan teori Turki sebagai teori kelimanya, sedangkan artikel ini memberikan menjadikan teori
akomodasi sebagai teori kelima yang merupakan upaya sintesis atas keempat teori sebelumnya. Dalam
konteks ini, artikel ini juga berupaya menekankan adanya ketegangan antara para sarjana yang
menempatkan kajian Islam di luar Jaziran Arab sebagai kajian Islam pinggiran. Sedangkan sebahagian
yang lain berupaya menempatkannya sebagai kajian sama pentingnya sebab merupakan bagian dari
ranah kebudayaan di Dunia Musliam (Muslim World). B. Islam Asia Tenggara dan Kajian Islam Pinggiran
Penyebaran Islam ke luar dari jazirah Arab telah menciptakan peradaban Islam yang distingtif dari satu
wilayah dengan wilayah lainnya. Secara teoritis para sarjana telah melakukan pemetaan 12 Rosita Baiti,
“Teori dan Proses Islamisasi di Indonesia,” Wardah 15, no. 28 (2014), h. 133–45. 13 Achmad Syafrizal,
“Sejarah Islam Nusantara,” Islamuna 2, no. 2 (2015), h. 235–53. 14 Husaini Husda, “Islamisasi Nusantara:
Analisis terhadap Discursus Para Sejarawan,” Adabiya 18, no. 35 (2016), h. 17–29. Kedatangan dan
Penyebaran Islam di Asia Tenggara Analisis: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 18, No. 2 (2018) 73 kawasan
dunia dengan pendekatan geopolotik15 atau geografis dan pendekatan etnolinguistik16 atau ciri etnis
dan ras manusia. Dalam konteks ini, Azyumardi Azra membuat delapan kategori ranah kebudayaan Islam
(Islamic cultural spheres) yang ada di seluruh dunia Islam. 17 Kedelapan ranah budaya Islam tersebut
adalah (1) Arab, (2) Persia (Iran), (3) Sino-Islam, (4) Nusantara (Asia Tenggara), (5) Anak Benua India, (6)
Turki, (7) Afrika Hitam (SubSahara Afrika), dan (8) Dunia Barat (Western hemisphere). 18 Perbedaan
ranah kebudayan Islam di masing-masing wilayah tersebut dipengaruhi oleh faktor kebudayaan
masyarakat tempatan dan faktor ortodoksi Islam yang menjadi dasar praktik keberagamaanya. Sebagai
ilustrasi adalah tradisi berjilbab wanita muslim di Indonesia dan/atau Asia Tenggara yang modis dan
warna-warni jelas berbeda dengan tradisi berjilbab wanita muslim di Arab yang kuno dan ekawarna. Lain
halnya dengan tradisi berjilbab wanita muslim di Persia, Turki, Cina, Anak Benua India, Afrika, dan
Belahan Barat. 19 Meskipun “berjilbab” bagi seorang wanita muslimah didasarkan oleh 15 Berdasarkan
pendekatan geopolitik, Cantori dan Spigel membagai dunia ini menjadi 15 wilayah politik, yaitu (1) Eropa
Barat; (2) Eropa Timur; (3) Uni Soviet; (4) Amerika Utara; (5) Amerika Latin; (6) Afrika Utara; (7) Afrika
Barat; (8) Afrika Tengah; (9) Afrika Timur; (10) Afrika Selatan; (11) Timur Tengah; (12) Asia Selatan; (13)
Asia Timur; (14) Asia Tenggara; (15) Pasifik Selatan (Barat Daya). Lihat Asep Ahmad Hidayat dkk., Studi
Islam di Asia Tenggara, h. 13. 16 Samuel Huntington memetakan dunia Islam menjadi tiga varian
peradaban Islam, yaitu Arab, Persia (Turki), dan Melayu. Sementara Sayyed Hossein Nasr membegainya
menjadi lima kategori, yaitu Arab, Iran/Persia, Turki, Melayu, dan Afrika Hitam. Lihat ibid., h. 15-17. 17
Bandingkan dengan tujuh wilayah kebudayaan atau perdaban Islam yang sbelumnya dibuat oleh
Azyumardi Azra yaitu: (1) Islam-Arab; (2) IslamPersia; (3) Islam-Turki; (4) Islam-Afrika Hitam; (5) Islam-
Anak Benua India; (6) Islam Indo-Melayu, dan (7) Islam di Western hemisphere. Lihat Azyumardi Azra,
Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan, 2 ed. (Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya,
2000), h. 20. 18 Azyumardi Azra, “Kajian Islam CUHK-1,” REPUBLIKA.CO.ID, Kamis, Oktober 2014, bag.
Berita Kolom Resonansi, hlm. 1, http://m.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/10/22/ndurfj-
kajian-islamcuhk-1. 19 Peter O’Brien, ed., “Veil,” dalam The Muslim Question in Europe, Political
Controversies and Public Philosophies (Temple University Press, 2016), h. 104–43,
http://www.jstor.org/stable/j.ctt1kft8dx.7. Faizal Amin & Rifki Abror Ananda DOI:
http://dx.doi.org/10.24042//ajsk.v18i2.3069 74 perintah menutup aurat yang sama, namun pilihan
model, warna, gaya, dan aksesorisnya berbeda-beda sesuai dengan ruang, waktu, kultur, dan ortodoksi
Islam yang dianut oleh masyarakatnya. Adanya perbedaan-perbedaan tradisi Islam tersebut merupakan
sebuah keniscayaan sosio-kultural yang menjadi tantangan umat Islam di masing-masing wilayahnya.
Dengan watak atau karakteristik Islam terpentingnya sebagai Islam yang damai, ramah, dan toleran,
Islam Asia Tenggara berbeda dengan watak Islam di kawasan lain. 20 Persoalannya adalah bahwa masih
ada sebahagian sarjana pengkaji Islam yang beranggapan bahwa sejarah peradaban Islam hanya sejarah
Islam Arab. Sejarah Islam di luar Timur Tengah 21 dianggap tidak ada. Para ahli dan pengkaji Islam ini
tidak memperlakukan sejarah Islam dan dunia Muslim (Muslim world) di luar kawasan Timur Tengah
sebagai bagian dari sejarah peradaban Islam. Sejarah peradaban Islam telah berakhir dengan runtuhnya
Dinasty Abbasyiah pada tahun 1258 M. Mereka berpendapat bahwa sejarah Islam tidak lebih dari
sejarah hidup nabi Muhammad – Khulafā’ al-Rāshidīn– Dinasti Ummayyah dan Dinasti Abbasiyyah. Oleh
karena itu wajar jika Islam Indonesia atau Asia Tenggara masih diperlakukan sebagai bukan bagian
integral dari dunia Islam dan dunia muslim. 22 Islam di kawasan ini pada praktiknya dianggap sebagai
bagian periferal secara geografis dan marjinal secara doktrinal dari entitas Islam dan muslim Arab. 23
Beberapa sarjana yang berpandangan negatif diantaranya adalah Harry J Benda, 24 20 Taufik Abdullah,
“Pengantar ‘Kebangkitan Islam’ di Asia Tenggara?,” dalam Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah
Wacana dan Kekuasaan, oleh Azyumardi Azra, 2 ed. (Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya, 2000), h. xv–xix.
21 Timur Tengah adalah kawasan kekuasaan Arab. Kawasan Timur Tengah sebenarnya hanya 20% dari
Dunia Muslim yang mencakup negaranegara di semenanjung Arabia dan yang berada di sebelah Utara
sampai Syria dan yang berada di sebelah Barat sampai Mesir dan Sudan. Angel M. Rabasa et al., The
Muslim World After 9/11 (Santa Monica: RAND Corporation, 2004), h. 31, http://www.rand.org/. 22
Azyumardi Azra, “Intelektual Muslim Baru dan Kajian Islam,” Studia Islamika: Indonesian Journal for
Islamic Studies 19, no. 1 (2012), h. 200. 23 Testriono, “Is Indonesian Islam Different? Islam in Indonesia
in a Comparative International Perspective,” Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies 18,
no. 1 (2011), h. 200. 24 Harry J. Benda, Bulan Sabit Dan Matahari Terbit (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980).
Kedatangan dan Penyebaran Islam di Asia Tenggara Analisis: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 18, No. 2
(2018) 75 Clifford Geertz,25 Wertheim,26 Robert Jay,27 Howard M. Fiderspiel,28 dan lain-lain. Mereka
mempersepsikan bahwa Islam di Indonesia adalah ‘Islam sinkretik’29 yang telah bercampur dengan
kebudayaan lokal suku asli masyarakat nusantara30 . Menurut Azyumardi Azra, 31pandangan tidak
menguntungkan tersebut mulai dikoreksi oleh sarjana Barat seperti Edward Said, Nikki Keddie, William
Roff, Richard W. Bulliet, Anthony Johns dan lainnya pada tahun 1980-an. Mereka berhasil membuktikan
bahwa Islam Indonesia adalah tidak periferal dan marjinal sebagaimana dipersepsikan oleh para ahli dan
pengkaji Islam sampai dengan dua dasawarsa terakhir. Tingkat ketaatan umat Islam di Indonesia terbukti
lebih baik dibandingkan dengan ketaatan umat Islam di Timur Tengah dan negara-negara lainnya. Gejala
sinkretisme Islam dengan budaya lokal tidak hanya terjadi dan ditemukan di Indonesia, tetapi juga
terdapat di banyak wilayah muslim lain dari kawasan Maghrib, Arabia, Asia Selatan dan seterusnya. 25
Clifford Geertz, Abangan, Santri Dan Priyayi Dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981). 26
W.F. Wertheim, Indonesian Society in Transition (Bandung: Sumur, 1956). 27 Robert Jay, Santri,
Abangan, Religious Schism in Rural Java (Harvard: Harvard University, 1957). 28 Howard M. Fiderspiel,
Persatuan Islam, Pembaruan Islam Indonesia Abad XX (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996),
h. 1-3. 29 Ada dua pemahaman dalam konsep sinkretik ini, yaitu (1) bercampurnya ajaran agama Islam
dengan nilai-nilai tempatan yang hidup dan dipraktikan masyarakat sejak sebelum kedatangan Islam;
dan (2) ajaran Islam yang telah bercampur dengan nilai-nilai dan tradisi pedagang India dan/atau Persia
yang datang membawa ajaran Islam ke nusantara. Fachry Ali and Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru
Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru (Bandung: Mizan, n.d.), h. 37. 30 Dalam
konteks ini, gagasan Islam Nusantara acapkali dirujuk kepada “pribumisasi Islam” yang diusung oleh
Abdurrahman Wahid. Muhammad Labib Syauqi, “Islam (Di) Nusantara; Esensi, Genealogi, Serta
Identitasnya,” Analisis: Jurnal Studi Keislaman 15, no. 2 (Desember 2015): h. 321–33; Lihat Abdurrahman
Wahid, “Pribumisasi Islam,” in Islam Indonesia Menatap Masa Depan, ed. Muntaha Azhari and Abdul
Mun’im (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), 1989), h. 81. 31 Azra,
“Intelektual Muslim Baru Dan Kajian Islam,” h. 200. Faizal Amin & Rifki Abror Ananda DOI:
http://dx.doi.org/10.24042//ajsk.v18i2.3069 76 Carool Kersten bahkan menyesalkan marjinalisasi
muslim dan Islam Indonesia atau Asia Tenggara secara keseluruhan karena di kawasan wilayah ini
terdapat konsentrasi terbesar umat Islam dunia dengan dinamika sejarah dan intelektualisme yang
intens. 32 Sebagaimana sarjana terkemuka seperti Wilfred Cantwell Smith, Fazlur Rahman, Dale F.
Eickelman, Jon W. Anderson dan lainnya, Carool Kersten 33 sependapat bahwa lingkungan intelektual
Islam Indonesia dapat memberikan lahan subur bagi tumbuhnya cara-cara baru mengaitkan warisan
intelektual Islam (al-turāth al-islāmiyyah) dengan dunia kontemporer, sehingga berpotensi secara riil
untuk membentuk kembali kesarjanaan dalam kajian Islam baik di lingkungan muslim maupun non
muslim. Dengan kata lain, lingkungan intelektual Islam di Indonesia begitu kondusif menghasilkan
kontribusi indigenous bagi cara menagani warisan Islam dan menjadi tuan rumah yang pemurah untuk
menerima berbagai gagasan untuk merumuskan agenda baru kajian Islam yang dperkenalkan dari luar.
34 Oleh karena itu, Carool Kersten 35 berpendapat bahwa perkembangan intelektual Islam di Indonesia
telah berlepas dari provinsi periferi (pheriveral), bahkan menantang Timur Tengah sebagai pusat
(center) yang selama ini dipandang sebagai sebagai sumber segalanya, terutama untuk mendapatkan
‘yang benar’ dan yang murni’. C. Asal-usul Kedatangan Islam di Asia Tenggara Pertanyaan klise tetapi
masih relevan untuk diajukan sebagai masalah pokok dalam kajian Islam Asia Tenggara ataupun Islam di
Asia Tenggara adalah kapan tepatnya waktu kedatangan Islam di wilayah Nusantara? Pertanyaan ini
secara diplomatis dapat dijawab dengan menyatakan bahwa Islam datang ke Asia Tenggara atau
Nusantara pada zaman setelah Muhammad bin Abdullah diutus oleh Allah SWT menjadi Nabi dan
Rasulullah SAW. Jawaban ini tentu 32 Carool Kersten, Cosmopolitans and Heretics: New Muslim
Intellectuals and the Study of Islam (London: Hurst & Company, 2011), h. 8. 33 Azra, “Intelektual Muslim
Baru dan Kajian Islam,” h. 201. 34 Testriono, “Is Indonesian Islam Different? Islam in Indonesia in a
Comparative International Perspective,” h. 199-202. 35 Azra, “Intelektual Muslim Baru dan Kajian Islam,”
h. 202. Kedatangan dan Penyebaran Islam di Asia Tenggara Analisis: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 18, No.
2 (2018) 77 saja benar tetapi tidak memuaskan kuriositas dan menyisakan perdebatan akademik lebih
lanjut. Perdebatan tentang kedatangan Islam di Asia Tenggara lazimnya terkait dengan tiga permasalah
pokok, yaitu: waktu dan tempat asal usul kedatangan Islam, serta orang yang membawanya. Perdebatan
tentang permasalahan pokok ini telah melahirkan banyak teori dan pembahasan yang tindak kunjung
tuntas karena kurangnnya data yang dapat mendukung suatu teori tertentu dan adanya keberpihakan
dari berbagai teori yang ada. Terdapat kecenderungan kuat, suatu teori tertentu hanya menekankan
aspek-aspek khusus dari ketiga masalah pokok, sementara mengabaikan aspek-aspek lain. Akibatnya,
kebanyakan teori gagal menjelaskan kedatangan Islam, konversi ke Islam yang terjadi, dan proses-proses
Islamisasi yang terlibat di dalamnya. Meskipun demikian lazimnya sebuah perdebatan akademik, suatu
teori tertentu tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tandingan yang diajukan teori-teori lain.
36 Setidaknya, ada empat teori utama tentang asal-usul Islam di Nusantara yang diperdebatkan dalam
membahas kedatangan, penyebaran dan Islamisasi Nusantara, yaitu: “Teori India”, “Teori Arab”, “Teori
Persia”, dan “Teori Cina”. 37 Pertama, Teori India diusung oleh sejumlah sarjana Belanda diantaranya
Pijnappel [Gujarat dan Malabar], Snouck Hurgronje [Deccan], T.W. Arnold [Corommandel dan Malabar],
D.G.E Hall [Gujarat], R.O. Winstead [Gujarat], Brian Harrison [Gujarat], dan H.E. Wilson [Gujarat], J.P.
Moquette [Gujarat], G.E. Morrison [Corommandel], de Jong, W.F. Wertheim [Corommandel], S.Q. Fāṭīmī
(Bengal), Keyzer (Bengal), dan G.W.J. Drewes (Bengal). Kedua, Teori Arabia dikemukakan sejumlah
sarjana Belanda, Indonesia, dan Malaysia seperti Marsden [Arabia], Crawfurd [Arabia], Keijzer [Arabia],
Niemman [Arabia], De Hollander [Arabia], al-‘Aṭṭās [Arab atau Persia], Hashimi, dan Saifudin Zuhri dan
Hamka (Arabia). Teori . Ketiga, Teori Persia diusung oleh Hoesin Djayadiningrat [Persia]. Keempat, Teori
Cina diusung oleh H.J. de Graaf, Slamet Muljana, dan Denys Lombard. 36 Azyumardi Azra, Edisi Perenial
Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad VII dan XVIII: Akar Pembaruan Islam
Indonesia (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013), h. 2-19. 37 Nor Huda, Sejarah Sosial
Intelektual Islam di Indonesia, 1 ed. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015), h. 2. Faizal Amin & Rifki
Abror Ananda DOI: http://dx.doi.org/10.24042//ajsk.v18i2.3069 78 1. Teori India Teori India yang secara
umum menyatakan bahwa Islam berasal dari India. Meskipun demikian, para sarjana pendukung teori
ini masih memperdebatkan daerah-daerah di India (Anak Benua India) yang menjadi asal-usul, para
pembawa dan kurun waktu kedatangan Islam. Perbedaan ini merupakan konsekuensi dari perbedaan
alat bukti historiografi yang digunakan dan perbedaan penafsirannya. Kebanyakan sarjana orientalis
yang menekuni kajian Islam di Asia Tenggara mendukung Teori India dan berpendapat bahwa tempat
asal-usul agama Islam di Kepulauan Nusantara adalah dari Anak Benua India; bukan Arab atau Persia. 38
Teori ini pertama kali diungkapkan oleh Pijnappel yang merupakan professor pertama tentang studi
Melayu di Universitas Leiden. 39 Pijnappel berargumen bahwa penyebaran Islam ke seluruh Nusantara
berafiliasi pada madzhab fiqh Shāfi’ī Arab dari Gujarat dan Malabar. 40 Hal ini dikarenakan daerah-
daerah tersebut sangat sering ditemukan dalam sejarah awal Nusantara. Meskipun demikian, Pijnappel
tetap beranggapan bahwa para da’i (proselytizer) yang awal mula menyebarkan Islam adalah orang-
orang Arab dari Gujarat dan Malabar, bukan orang-orang India sendiri. 41 Teori Pijnappel kemudian
dikembangkan oleh sarjana Belanda lainnya yaitu Snouck Hurgronje yang juga berpendapat bahwa Islam
dibawa ke Nusantara dari India, dan bukan langsung dari Arab. 42 Menurut Hurgronje (1883), India
Selatan adalah asalusul Islam di Nusantara. Hurgronje berargumen bahwa ketika Islam telah menguasai
kota-kota pelabuhan di India Selatan, sejumlah orang Islam dari Decca yang tinggal di sana diperlakukan
sebagai “orangorang menangah” (middlemen) dalam perdagangan antara negara- 38 Azra, Edisi Perenial
Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad VII dan XVIII: Akar Pembaruan Islam
Indonesia, h. 2. 39 G.J.W. Drewes, “New Light on the Coming of Islam to Indonesia,” dalam BKI, 1968, h.
440-441. 40 Azra, Edisi Perenial Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad VII dan
XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia, h. 3. 41 Drewes, “New Light on the Coming of Islam to
Indonesia,” h. 440-441. 42 Lihat Isma’īl Ḥāmid, “A Survey of Theories on the Introduction of Islam the
Malay Archipelago,” Islamic Studies 21, no. 3 (1982), h. 90., http://www.jstor.org/stable/20847210.
Kedatangan dan Penyebaran Islam di Asia Tenggara Analisis: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 18, No. 2
(2018) 79 negara Muslim Timur Dekat (Near-Estearn Muslim states) dan Nusantara (Malay Archipelago).
Para pedagang muslim inilah yang merupakan orang-orang yang pertama kali mengislamkan penduduk
di Nusantara. Setelah itu barulah bangsa Arab terutama dari zuriat Raulullah s.a.w. yang menyelesaikan
dakwah Islam baik sebagai seorang “pendakwah,” “pangeran pendakwah” atau Sulṭān. Menurut
Hurgronje, tahun 1200 adalah periode waktu paling awal yang mungkin bagi terjadinya Islamisasi
penduduk atau orang-orang Nusantara. Proses Islamisasi yang paling awal telah dilakukan oleh orang-
orang India yang telah memiliki hubungan dengan Nusantara selama berabad-abad lamanya. 43
Penyebar paling awal Islam ke Nusantara adalah para pedagang-pedakwah (trader-missionaries) dan
masuk secara damai karena menarik bagi orang-orang Indonesia yang secara kultural merupakan orang-
orang inferior. 44 Berbeda dengan para pendahulunya, J.P. Moquette (1912) mengatakan bahwa agama
Islam dibawa ke Nusantara dari Gujarat, India. Teori Moquette tersebut berdasarkan temuan gaya batu
nisan di Pasai khususnya yang berangka tahun 1424 yang sama persis dengan gaya batu nisan yang
ditemukan di makam Maulana Malik Ibrahim (w. 1419) di Gresik. Bukti ini diperkuat oleh temuan yang
menyatakan bahwa batu nisan di Pasai dan Gresik ternyata memiliki kesamaan dengan batu nisan yang
ditemukan di Cambay, Gujarat. Berdasarkan fakta tersebut, Moquette berasumsi bahwa produksi batu
nisan Gujarat tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal, namun juga telah diekspor ke pasar
luar negeri, khususnya pasarpasar di Sumatra dan Jawa. 45 Berdasarkan contoh-contoh temuan di Pasai-
Sumatera, Gresik-Jawa, dan Cambay-Gujarat tersebut, Moquette berkesimpulan bahwa dengan
mengimpor batu nisan dari Gujarat, orang-orang Nusantara juga mengambil Islam dari Gujarat. 46
Kesimpulan Moquette bahwa agama Islam di Asia Tenggara berasal dari India, yaitu Gujarat ini ditentang
keras oleh Fatimi yang 43 Drewes, “New Light on the Coming of Islam to Indonesia,” h. 441-443. 44 D. G.
E. Hall, “Looking at Southeast Asian History,” The Journal of Asian Studies 19, no. 3 (1960), h. 250.,
https://doi.org/10.2307/2943485. 45 S.Q. Fāṭimī, Islam Comes to Malaysia (Singapura: Malaysian
Sociological Research Institute, 1963), h. 31-32. 46 Azra, Edisi Perenial Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad VII dan XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia, h. 3. Faizal Amin & Rifki
Abror Ananda DOI: http://dx.doi.org/10.24042//ajsk.v18i2.3069 80 berargumen bahwa keliru
mengaitkan seluruh batu nisan di Pasai, termasuk batu nisan Mālik al-Shālih dengan batu nisan Gujarat.
Menurut penelitiannya, bentuk dan gaya batu nisan Mālik al-Shālih berbeda sepenuhnya dengan batu
nisan yang terdapat di Gujarat dan batu-batu nisan lain yang ditemukan di Nusantara. Fatimi
berpendapat, bentuk dan gaya batu nisan Gujarat justru mirip dengan batu nisan yang terdapat di
Bengal. 47 Karena itulah, Fatimi menyimpulkan bahwa Islam yang datang ke Nusantara berasal dari
wilayah Bengal, bukan Gujarat. 48 Dalam kaitannya dengan “teori batu nisan” ini, Fatimi juga mengkritik
para sarjana yang tampak mengabaikan adanya batu nisan Siti Fatimah (berangka tahun 475/1082) yang
ditemukan di Laren, Jawa Timur. 49 Para sarjana yang dikritik oleh Fatimi umumnya beranggapan bahwa
batu-batu nisan yang ditemukan di daerah pesisir laut Nusantara tersebut adalah batubatu yang
digunakan sebagai pemberat kapal dalam pelayaran. Para sarjana tersebut jelas telah mengabaikan
banyaknya jumlah batu-batu nisan yang ditemukan sebagaimana layaknya sebuah kompleks
pemakaman muslim. 50 Teori Fatimi yang menyatakan Islam Nuantara berasal dari Bengal ini juga tidak
luput dari kritik, misalnya terkait adanya perbedaan madhhab fiqh yang dianut umat Islam di Nusantara
yang Syāfi’ī, sedangkan madhhab fiqh kaum muslim di Bengal adalah Hambālī. Dengan demikian, teori
Fatimi gagal meruntuhkan teori Moquette karena sejumlah sarjana Barat lain yang datang kemudian
justru mengambil alih teori Moquette dan menjadikan bukti-bukti Moquette sebagai dasar teori mereka
sendiri tentang asal-usul Islam di Nusantara. Diantara sejumlah sarjana tersebut adalah R.A. Kern, R.O.
Winstead, Schrieke, Brian Harrison, G.H. Bousquet, B.H.M. Viekke, J. Gonda, H.E. Wilson, dan D.G.E Hall.
51 Mereka 47 Fāṭimī, Islam Comes to Malaysia, h. 5-6. 48 Lihat Azra, Edisi Perenial Jaringan Ulama Timur
Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad VII dan XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia, h. 4. 49
Berdasarkan temuan ini, Islam disinyalir telah datang pada abad ke-11 Masehi. Lihat Fāṭimī, Islam Comes
to Malaysia, h. 31-32. 50 Budi Sulistio, Majapahit dan Islam Nusantara, mp3a, Islam in Southeast Asia
(SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta R-208, 2017). 51 Lihat Azra, Edisi Perenial Jaringan Ulama Timur
Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad VII dan XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia, Kedatangan dan
Penyebaran Islam di Asia Tenggara Analisis: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 18, No. 2 (2018) 81 mendukung
teori Gujarat karena menggunakan bukti-bukti yang ditemukan oleh Moquette yang menyatakan adanya
kesamaan batu nisan di Gujarat, Sumatera, dan Jawa. 52 Meskipun demikian, beberapa argumen
mereka ditambahkan untuk mendukung teori Moquette. R.O. Winstead misalnya, mengemukakan
tentang penemuan batu nisan yang mirip bentuk dan gayanya di Bruas, pusat kerajaan kuno Melayu di
Perak, Semenanjung Malaya. Berdasarkan bukti tambahan ini, Winstead berargumen bahwa karena
semua batu nisan di Bruas, Pasai, dan Gresik telah diimpor dari Gujarat, maka Islam semestinya juga
telah dibawa dari Gujarat. Winstead menambahkan bahwa manuskrip Sejarah Melayu (Bagian VII)
memberikan bukti-bukti yang mengkonfirmasi adanya kebiasaan pada masa lampau di negaranegara
Melayu dalam mengimpor batu nisan dari India. 53 Lebih jauh Schrieke yang mendukung teori ini
menekankan argumennya pada signifikasi peranan penting yang dimainkan oleh pedagang muslim
Gujarat dalam perdagangan di Nusantara dan kemungkinan kontribusinya dalam penyebaran Islam. 54
Brian Harrison yang juga berpegang pada teori Gujarat menyatakan bahwa pada masa lampau, India
dipandang oleh Asia Tenggara sebagai inspirasi kebudayaan (cultural inspiration). Hal ini dibuktikan
dengan India yang telah mulai mengubah kepercayaan penduduk Nusantara dengan agamaagama di
India, yaitu Hindu dan Buddha. Kemudian ketika Islam telah masuk ke India, maka Islam juga dibawa ke
Nusantara oleh orang-orang Islam India.55 H.E. Wilson juga sependapat dengan teori Islam datang ke
Nusantara dari India. 56 Teori Gujarat sebagai tempat asal Islam di Nusantara ternyata juga memiliki
sejumlah kelemahan. Hal ini dibuktikan oleh G.E. 4.; Ḥāmid, “A Survey of Theories on the Introduction of
Islam the Malay Archipelago,” h. 91-92. 52 D.G.E. Hall, A History of South-East Asia (London: Macmillan,
1964), h. 190-191. 53 R.O. Winstead, “The Advent of Muhammadanism in the Malay Peninsula and
Archipellago,” JMBRAS Vol. 77 (1917), h. 173. 54 Lihat Azra, Edisi Perenial Jaringan Ulama Timur Tengah
dan Kepulauan Nusantara Abad VII dan XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia, h. 5. 55 Brian Harrison,
South-East Asia, A Short History (London, 1957), h. 43. 56 H.E. Wilson, “The Islamization of South-East
Asia: A Reassesment,” JHR Vol. 15, no. 1 (Agustus 1972), h. 5. Faizal Amin & Rifki Abror Ananda DOI:
http://dx.doi.org/10.24042//ajsk.v18i2.3069 82 Morrison dengan mempertanyakan validitas proporsi
bahwa Islam telah datang ke Nusantara dari Gujarat. Morrison berargumen bahwa meskipun batu nisan
dari pemimpim umat Islam Nusantara berasal dari Gujarat – atau Bengal seperti dikemukakan oleh
Fatimi--, namun hal itu tidak berarti bahwa Islam telah datang dari Gujarat. Morison membantah teori
Gujarat dengan menunjukkan bahwa pada masa Islamisasi kerajaan Samudra-Pasai, dengan raja
pertamanya yang meninggal dunia pada tahun 698H/1297M, Gujarat masih merupakan Kerajaan Hindu.
Sementara Cambay, Gujarat ditaklukkan oleh kekuasaan Islam baru terjadi pada tahun 1298, setahun
kemudian. Jika Gujarat merupakan pusat Islam yang menjadi tempat persinggahan para pendakwah
Islam melakukan perjalanan ke Nusantara, maka seharusnya Islam sudah mapan, mewarnai, dan
menguasai Gujarat sebelum wafatnya Malik al-Ṣālih pada tahun 1297M. 57 Menurut Morison sebelum
berhasil menguasai Gujarat, kekuatan muslim telah beberapa kali menyerang Gujarat, masingmasing
415H/1024M, 574H/1178M, dan 595H/1197M, namun raja Hindu di sana mampu mempertahankan
kekuasaannya hingga jatuh pada tahun 698H/1297M. Morrison juga menambahkan bahwa Bengal
adalah daerah pantai di Benua India yang ditaklukkan oleh umat Islam pada awal mula abad ke-13 dan
yang kemudian mulai muncul sebagai pusat dakwah Islam yang dibawa ke Nusantara. 58 Berdasarkan
bukti tersebut, Morison mengemukakan teorinya bahwa Islam di Nusantara bukan berasal dari Gujarat,
melainkan dari pantai Coromandel yang dibawa pada akhir abad ke-13. 59 Pendapat Morrison ini
didukung oleh de Jong dan W.F. Wertheim, 60 yang berargumen bahwa sejak penguasa Pasai, Merah
Silu, berdasarkan sumber-sumber Cina konteporer, menggunakan gelar Thakur dari Bengali, maka
Merah Silu semestinya merupakan orang Bengali 57 G.E. Marrison, “The Coming of Islam to the east
Indies,” JBRAS Vol. 24, no. 1 (1951), h. 31-36. 58 Ibid., h. 31-36. 59 Lihat Azra, Edisi Perenial Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad VII dan XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia, h.
5-6. 60 Fāṭimī, Islam Comes to Malaysia, h. 6. Kedatangan dan Penyebaran Islam di Asia Tenggara
Analisis: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 18, No. 2 (2018) 83 (Bengali stock). Argumen Morrison ini
didasarkan pada laporan Tom Pires. 61 Teori Morison ini didukung oleh T.W. Arnold yang juga
mengklaim bahwa Islam dibawa ke Nusantara dari Coromandel dan Malabar India. Arnold menyokong
teori Morison berdasarkan bukti tentang adanya kesamaan-kesamaan aliran madzhab fiqh yang
ditemukan di Nusantara, Coromandel, dan Malabar. Sampai saat ini, mayoritas umat Islam di Nusantara
menganut madzhab fiqh Shāfi’ī yang juga mendominasi wilayah-wilayah Coromandel dan Malabar di
India. Dominasi mazhab Shāfi’ī ini telah menyebar sejak masa kunjungan Ibn Baṭṭūṭah di tempat-tempat
tersebut. 62 Persamaan madhhab fiqh Shāfi’ī di kedua wilayah tersebut menjadi dasar argument Arnold
untuk menyatakan bahwa Islam dibawa ke Nusantara antara lain juga berasal dari Coromandel dan
Malabar, sebagaimana juga ada yang berasal dari Arabia. Menurut Arnold, para pedagang dari
Coromandel dan Malabar berperan penting dalam perdagangan India dan Nusantara. Sejumlah besar
pedagang ini datang ke berbagai pelabuhan dagang di Dunia Melayu-Indonesia di mana mereka ternyata
tidak hanya terlibat dalam perdagangan, tetapi juga dalam penyebaran agama Islam. 63 2. Teori Arabia
Meskipun demikian, Coromandel dan Malabar bukan merupakan satu-satunya tempat yang menjadi
asal-usul agama Islam di Nusantara, tetapi juga agama Islam berasal langsung dari Arabia. Menurut
Arnold, sebagaimana dikutip Azra, bahwa para pedagang Arab juga menyebarkan Islam ketika mereka
mendominasi perdagangan di Barat-Timur sejak beberapa abad awal Hijriah atau abad ke-7 dan ke-8
Masehi. 64 Meski tidak terdapat rekaman sejarah tentang kegiatan mereka dalam penyebaran Islam,
namun kita dapat mengasumsikan bahwa mereka terlibat pula dalam penyebaran Islam kepada
penduduk lokal di Nusantara. Asumsi ini didukung oleh fakta yang disebut-sebut oleh sumber Cina yang
menjelaskan adanya 61 Ibid., h. 35. 62 T.W. Arnold, The Preaching of Islam: A History of the Propagation
of the Muslim Faith (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1975), h. 368. 63 Lihat ibid., h. 364-365. 64 Azra,
Edisi Perenial Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad VII dan XVIII: Akar
Pembaruan Islam Indonesia, h. 6. Faizal Amin & Rifki Abror Ananda DOI:
http://dx.doi.org/10.24042//ajsk.v18i2.3069 84 seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah
pemukiman Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera pada perempat akhir abad ke-7. Beberapa
pedagang Arab ini dilaporkan telah menikah dengan penduduk lokal, sehingga mereka membentuk
komunitas muslim yang merupakan campuran pendatang dari Arab dan penduduk lokal. Anggota-
anggota komunitas muslim ini juga aktif melakukan kegiatan penyebaran Islam. 65 Dalam konteks ini
kitab ‘Ajāib al-Hind merupakan sumber Timur Tengah (aslinya berbahasa Persia) yang paling awal
tentang Nusantara yang menjelaskan eksistensi komunitas muslim lokal di wilayah Kerajaan Hindu-
Buddha Zabaj (Sriwijaya). Kitab yang ditulis oleh Buzurg bin Shahriyar al-Rahurmuzi sekitar tahun
390/1000 ini meriwayatkan tentang kunjungan para pedagang muslim ke Kerajaan Zabaj yang
menyaksikan kebiasaan penduduknya “bersila” ( ‫ ( برسيال‬ketika ingin menghadap raja. 66 Kata “bersila”
yang ditulis dengan aksara Arab menunjukkan sudah adanya pengaruh Islam dalam budaya Melayu
Nusantara. Teori Arabia juga dipegang oleh Crawfurd yang menyatakan bahwa interaksi penduduk
Nusantara dengan kaum muslim yang berasal dari pantai timur India juga merupakan fakrtor penting
dalam penyebaran Islam di Nusantara. Sementara itu, Keijzer memandang Islam di Nusantara berasal
dari Mesir atas dasar pertimbangan kesamaan kepemelukan penduduk muslim di kedua wilayah pada
madhhab fiqh Syāfi’ī. Teori Arab ini juga dipegang oleh Niemman dan de Hollander yang sedikit
melakukan revisi dengan menyatakan bahwa Islam di Nusantara bukan berasal dari Mesir, melainkan
berasal dari Haḍramawt. Sebahagian ahli Indonesia setuju dengan teori Arab ini yang menyatakan
bahwa Islam di Nusantara datang langsung dari Arabia, tidak dari India, tidak pada abad ke 12 atau ke13,
melainkan dalam abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 Masehi. Kesimpulan ini dihasilkan dari seminar
tentang kedatangan Islam ke Indonesia yang diselenggarakan pada tahun 1969 dan 1978.67 Dalam 65
Azra, Edisi Perenial Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara, h. 6–7. 66 Azra, Edisi
Perenial Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara, h. 9. 67 Azra, Edisi Perenial Jaringan
Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara, h. 8. Kedatangan dan Penyebaran Islam di Asia
Tenggara Analisis: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 18, No. 2 (2018) 85 hal ini, Hamka menolak keras
terhadap teori Gujarat sebagiama dikemukakan dalam Seminar Sejarah Masuknya Islam di Indonesia
yang diselenggarakan di Medan dari tanggal 17 sampai dengan 20 Maret 1963. Hamka juga menolak
teori yang menyatakan Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 karena itu ia berpendapat bahwa
Islam telah datang ke Indonesia jauh sebelumnya, yaitu pada abad ke-7 Masehi. 68 Sementara itu G.W.J.
Drewes juga tampak mendukung teori Arab. Dengan merujuk pada teori Keyzer, seorang sarjana Hukum
Islam yang awal di Inggris, Drewes menyatakan bahwa telah ada hubungan antara Mesir dan Nusantara
pada masa lampau yang dibuktikan oleh pengamatan bahwa aliran fiqh madhhab Syāfi’ī telah
menduduki posisi penting di kedua wilayah Mesir dan Nusantara. Niemann (w. 1861) dan de Hollander
(w. 1861) juga menyebutkan adanya pernan Arab dalam Islamisasi Nusantara. 69 John Crawfund adalah
sarjana lain yang membuat klaim yang sama dan menyatakan bahwa Islam mungkin telah dibawa ke
Nusantara oleh para pendakwah Arab dari Jazirah Arab karena kekuatan lautnya yang telah dominan. 70
Marsden telah mencatat adanya peranan yang sama dari para pendakwah Arab dalam mengubah
kepercayaan orang-orang Melayu menjadi Islam. Marsden mengutip bukti pernyataannya dari Diego de
Couto, seorang sejarawan Portugis yang telah melakukan penelitian di India dan telah melaporkan
bahwa para pendakwah Arab telah mengislamkan penguasa Malaka. 71 Diantara pembela “teori Arab”
yang juga sebagai penentang “teori India” adalah S.M.N. al-‘Aṭṭās. Sebagaimana Morison al- ‘Aṭṭas tidak
bisa menerima temuan epigrafis Moquette pada batu nisan di Pasai dan Gresik yang berasal dari Gujarat
untuk dijadikan sebagai bukti langsung bahwa Islam telah dibawa ke Pasai dan Gresik 68 M. Natsir,
“Sekilas Proses Masuknya Islam di Kalimantan Barat (Kalbar),” dalam Islam di Borneo: Sejarah,
Perkembangan, dan Isu-isi Kontemporer, ed. oleh Jamil Hj. Hamali dan et. al. (Seminar Serantau
Perkembangan Islam Borneo 1, Universiti Teknologi MARA Serawak: Pusat Penerbit Universiti (UPENA)
UT MARA, t.t.), h. 52-53. 69 Drewes, “New Light on the Coming of Islam to Indonesia,” h. 439. 70 John
Crawfurd, History of Indian Archipelago (Edinburg, 1820), h. 259- 260. 71 William Marsden, The History
of Sumatra (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1966), h. 344. Faizal Amin & Rifki Abror Ananda DOI:
http://dx.doi.org/10.24042//ajsk.v18i2.3069 86 oleh orang-orang muslim India. Batu-nisan dan barang-
barang lainnya yang dibutuhkan oleh penduduk wilayah itu sengaja dibawa dari India karena kedekatan
jaraknya ke Nusantara jika dibandingkan dengan Jazirah Arab. Meskipun demikian, al-‘Aṭṭās menyatakan
bahwa bukti yang paling penting yang dapat dikaji ketika mempertimbangkan kedatangan Islam ke
Nusantara adalah berdasarkan karakteristik-karakteristik “internal” dari agama Islam itu sendiri. 72
Argumen al-‘Aṭṭas yang menyatakan kelangsungan asal susul agama Islam di Asia Tenggara dari Arab
tersebut selaras dengan narasi historiografi lokal tentang Islamisasi di dunia mereka yang sering
bercampur dengan mitos dan legenda. Meskipun demikian, data historigrafi lokal dari sejumlah
manukrip/naskah tersebut tetap relevan seperti naskah Hikayat Raja-raja Pasai (>1350),73 Sejarah
Melayu (>1500),74 Hikayat Merong Mahawangsa (>1630),75 Tarsilah dari Kesultanan Sulu,76 Tuhfah al-
Nafis, Hikayat Habīb Husin alQadrī dan lain-lainya. Menurut Azyumardi Azra, historiografi klasik tersebut
berisi empat tema pokok, yaitu: (1) Islam dibawa langsung dari Arabia, (2) Islam diperkenalkan oleh para
guru dan penyair “profesional” yang memang bermaksud menyebarkan Islam, (3) yang mula-mula
masuk Islam adalah para penguasa, dan (4) kebanyakan 72 S.M. Naguib al-‘Aṭṭās, Islam dalam Sejarah
dan Kebudayaan Melayu (Kuala Lumpur: UKM, 1972), h. 33-34. 73 Syeikh Ismail datang dari Makkah
melalui Malabar dan Persia dan telah mengislamkan Merah Silau, penguasa setempat. Setelah menjadi
muslim, Merah Silau berganti nama dan bergelar Mālik al-Ṣālih yang dicatat wafat pada tahun 698/1297.
74 Sayyid ‘Abd al‘Azīz, seorang Arab yang berasal dari Jeddah telah mengislamkan penguasa Malaka
yang bernama Prameswara. Begitu masuk Islam, penguasa itu berganti nama dan bergelar Sultan
Muhammad Syah. 75 Syeikh ‘Abd Allāh al-Yamānī yang datang dari Makkah (atau Baghdad ?)
mengislamkan penguasa setempat yang bernama Phra Ong Mahawangsa, para meterinya dan penduduk
Keddah. Setelah masuk Islam, Phra Ong Mahawangsa berganti nama dan bergelar Sultan Muzhafar Syah.
76 Proses Islamisari Kerajaan Sulu di Philipina berlangsung sejak paruh kedua Abad ke-8/14; dimulai dari
kedatangan Sharif Awliya’ Karim alMakhdūm pada tahun 782/1380, seorang Arab datang dari Malaka
yang disebut sebagai ayah dari Mawlānā Mālik Ibrāhīm. Kemudian datanglah Amīn Allāh al-Makhdūm
yang bergelar Sayyid al-Niqāb, dan Sayyid Abū Bakr yang kemudian diangkat menjadi sultan pertama
dengan gelar Syarif al-Hashīm. Kedatangan dan Penyebaran Islam di Asia Tenggara Analisis: Jurnal Studi
Keislaman, Vol. 18, No. 2 (2018) 87 para penyebar Islam “profesional” itu datang ke Nusantara pada
abad ke-12 dan ke-13. Hal ini menunjukkan kemungkinan benar bahwa Islam sudah diperkenalkan ke
dan ada di Nusantara pada abad-abad pertama Hijriyyah dan proses Islamisasi mengalamai akselerasi
antara abad ke-12 dan ke-16. 77 Menurut al-‘Aṭṭās sejak abad ke-17 ke belakang tidak ada bukti-bukti
literatur yang ditemukan berasal dari pengarang India atau karya yang berasal dari India. Beberapa
pengarang yang digambarkan sebagai “orang India” atau karya yang “berasal dari India” oleh sarjana
Barat sebenarnya adalah Arab atau Pesia secara etnis atau budaya. Nama-nama para pendakwah awal
juga menunjukkan bahwa mereka adalah orang Arab atau Persia. Beberapa pendakwah diantaranya ada
yang datang melalui India, sebagaimana ada juga yang datang langsung dari Arab atau melalui Persia
yang kemudian melalui Cina. Beberapa karya memang ada yang ditulis di India, tetapi asal-usul meraka
adalah orang Arab atau Persia; atau mereka bias jadi merupakan orang Turki atau Afrika (Maghrībī) dan
yang paling penting adalah isi keberagamaan mereka adalah Timur Tengah, bukan India. 78 Dengan
demikian Teori Arabia dikemukakan oleh T.W. Arnold, Crawfurd, Keijzer, Niemman, De Holander, al-
‘Aṭṭās, Hashimi, dan Hamka. 3. Teori Persia Teori ini menyatakan bahwa Islam yang datang di Nusantara
berasal dari Persia, nukan India atau Arabia. Teoeri ini didasarkan pada kesamaan unsur budaya Persia,
khususnya Shiah yang ada dalam unsur kebudayaan Islam Nusantara, khususnya di Indonesia dengan
Persia. Diantara pendukung teori ini adalah Hoesin Djajadiningra yang menyatakan tiga alasan. Pertama,
ajaran manunggaling kawula gusti Sheikh Siti Jenar dan/atau waḥdah alwujūd Hamzah al-Fansūrī dalam
mistik Islam (sufisme) Indonesia adalah pengaruh sufisme Persia dari ajaran waḥdah al-wujūd al-Hallāj
Persia. Kedua, penggunaan istilah bahasa Persia dalam sistem mengeja huruf Arab, terutama untuk
tanda bunyi harakat dalam 77 Azra, Edisi Perenial Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad VII dan XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia, h. 10-12. 78 S.M. Naguib al-‘Aṭṭās,
Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of Malay-Indonesian Archipelago (Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1969), h. 25. Faizal Amin & Rifki Abror Ananda DOI:
http://dx.doi.org/10.24042//ajsk.v18i2.3069 88 pengajaran al-Qur’an sepeti kata “jabar” dalam bahasa
Persia untuk kata “fathah” dalam bahasa Arab, kata “jer” dalam bahasa Persia untuk “kasrah” dalam
bahasa Arab, dan pes dalam bahasa Perisa untuk “ḍammah” dalam bahasa Arab. Ketiga, tradisi
peringatan 10 Muharram atau ‘Ashshūrā sebegai hari peringatan Shiah terhadap shahidnya Husein bin
Ali bin Abi Thalib di Karbala. Teori Persia ini dibantah oleh Saifuddin Zuhri yang menyatakan bahwa Islam
masuk ke Kepulauan Nusantara pada abad ketujuh Hijriyah, yaitu masa kekuasaan Bani Umayyah,
sehingga tidak mungkin Islam berasal dari Persia pada saat keuasaan politik dipegang oleh bangsa Arab.
79 4. Teori Cina Teori ini didasarkan pada argument yang relatif sama dengan Teori Persia, yaitu
banyaknya unsur kebudayaan Cina dalam beberapa unsur kebudayaan Islam di Indonesia. Menurut H.J.
de Graaf yang telah menyunting beberapa literatur Jawa Klasik (Catatan Tahunan Melayu)
memperlihatkan adanya peranan orang-orang Cina dalam pengembangan Islam di Inonesia. Dalam
tulisan tersebut disebtkan bahwa tokoh-tokoh besar seperti Sunan Ampel (Raden Rahmat/Bong Swi
Hoo), Dan Raja Demak (Raden Fatah/Jin Bun) merupakan orang-orang keturnan Cina. Pandangan ini
didukung oleh Slemat Muljana dalam bukunya yang kontroverisal, Runtuhnya Kerajaan Hindu jawa dan
Timbulnya Negara-negara Islam Nusantara. Sementara Denys Lombard menunjukkan banyaknya silang
budaya Cina dalam berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia, seperti makanan, pakaian, bahasa, seni,
bangunan, dan sebagainya. 80 5. Teori Akomodasi Sejumlah perbedaan yang tampak dalam perdebatan
tentang kedatangan, penyebaran, dan Islamisasi Asia tenggara tersebut telah mendorong sejumlah
sarjana untuk melakukan akomodasi. Teori akomodasi ini menyatakan bahwa tahap permulaan Islam di
Nusantara telah terjadi pada abad ke-7M, sedangkan abad ke-13 merupakan proses penyebaran dan
terbentuknya masyarakat Islam di Nusantara. Para pembawa Islam yang datang pada abad ke-7 sampai
abad ke-13 tersebut adalah orang-orang muslim yang berasal dari 79 Natsir, “Sekilas Proses Masuknya
Islam di Kalimantan Barat (Kalbar),” h. 52. 80 Huda, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, h. 7-8.
Kedatangan dan Penyebaran Islam di Asia Tenggara Analisis: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 18, No. 2
(2018) 89 Arabia, Persia, dan India (Gujarat, Bengal). Dalam konteks ini, Uka Tjandrasasmita menyatakan
bahwa sebelum abad ke-13 merupakan tahap proses Islamisasi, sedangkan abad ke-13 merupakan masa
pertumbuhan Islam sebagai kerajaan bercorak Islam yang pertama di Indonesia. Sementara Hasan
Muarif Ambary membagi fase Islamisasi menjadi tiga, yaitu: (1) fase kehadiran para pedagang muslim
pada abad ke-7 sampai abad ke-11; (2) fase terbentuknya kerajaan Islam pada abad ke-13 sampai ke-16,
dan (3) fase perlembagaan Islam terjadi sesudah abad-abad tersebut. Setidaknya ada dua teori
akomodasi lainnya yang juga patut dipertimbangkan adalah teori “mata air” dan “rempah-rempah”.
Teori pertama ini dikemukakan oleh Azyumardi Azra. Teori “mata air” untuk menyatkan bahwa
penyebaran sama Islam seperti air yang mengalir dari Asal usul kedatangan Islam di wilayah Asai
Tenggara sebagai sebuah “mata air” yang boleh jadi berasal dari Cina sebagaimana dikemukakan Slamet
Muljana. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan adanya “mata air” lain yang menjadi asal-usul
kedatangan Islam di kawasan Nusantara seperti Kelantan, Benggali, Persia, dan Mesir. Sementara “mata
air” terbesar adalah dari Arabia yang mencakup Irak, Yaman, sampai Makkah dan Madinah. 81
Sementara teori “rempah-rempah” yang diusung oleh Budi Sulistiono menunjukkan eksistensi para
pedagang muslim di kawasan nusantara dalam jalur perdagangan rempah-rempah (spicy-road) dan juga
dalam jalur perdagangan sutera (silk-road). Asia Tenggara pernah mengalami pencapaian yang disebut
oleh Sejarawan Asia Tenggara Anthoni Reid sebagai “Era Perdagangan” (Age of Commerce) 82 ini Age of
Commerce di Asia Tenggara yang ditandai dengan adanya dinamika perdagangan global yang melibatkan
orangorang luar dan para profesional yang datang dari seluruh penjuru Dunia. Pencapaian ini terjadi
pada abad ke-14 sampai ke-16 pada saat Asia Tenggara menjadi pusat perdagangan dunia yang paling
sejahtera (the world’s most prosperous trading centres). 83 81 Azra, “Kajian Islam CUHK-1,” h. 1. 82
Lihat Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce, 2 vols. (New Haven, CT: Yale University
Press, 1988). 83 Sumanto Al-Qurtuby, “Southeast Asia: History, Modernity, and Religious Change,” Al-
Albab 2, no. 2 (Desember 2013), h. 151. Faizal Amin & Rifki Abror Ananda DOI:
http://dx.doi.org/10.24042//ajsk.v18i2.3069 90 Berdasarkan bukti-bukti arkeologis, Budi Sulistiyo
menunjukkan adanya kesinambungan sejarah kesultanan Nusantara dari masa ke masa. Budi Sulistyo
menyatakan bahwa kesultanan-kesultanan Islam sesunagguhnya telah berdiri di Nusantara sejak abad
ke-8 Hijriah yang diawali oleh Kesultanan Peureulak di Aceh Timur pada tahun 840-1108 M, Samudra
Pasai di Pasai Aceh pada 1267 M, yang raja pertamanya Sultan Mālik al-Ṣālih wafat pada tahun 1296 M.
Secara kronologis, kesultanan itu muncul silih berganti jika dilihat dari masa sejak sebelum kelahiran
Kerajaan Majapahit dan masa sesudahnya. 84 D. Penyebaran Islam dan Islamisasi Asia Tenggara
Menurut pendapat Ḥamid, 85 ketika mempincangkan proses Islamisasi Nusantara, kita tidak boleh
mengabaikan keberadaan sejumlah laporan oleh penduduk asli (native people) di wilayahnya, baik yang
terdapat dalam rekaman tertulis atau tradisi lisan. Tradisitradisi asli (native tradition) ini membicarakan
tentang kerajaankerajaan masa lampau, dan meskipun dicampur dengan elemenelemen fiktif, mereka
telah merekam sejarah masa lampau wilayahnya. 86 Beberapa tradisi asli berbicara tentang proses
Islamisasi yang terjadi di daerahnya. Sebahagian besar penulis tradisi asli ini menyebutkan bahwa para
pendakwah muslim awal yang mengislamkan nenek moyang mereka adalah orang Arab atau yang
berasal dari Arab. Para pendakwah tersebut datang langsung dari Jazirah Arabia dan beberapa orang
diantaranya bahkan tinggal menetap secara permanen di daerah-daerah tertenti di Timur. Kebanyakan
pendakwah ini kemudian menikah dengan perempuan asli setelah mengislamkan mereka. Anak
keturunan mereka melanjutkan perenan dalam mendakwahkan agama baru ini. Beberapa orang
diantaranya mengislamkan penguasa asli and menikan dengan putrid-putri kerajaan dan kemudian
melahirkan keturunan yang menjadi sulṭān atau penguasa daerah tertentu; sebahagian yang lain
menguasai kantor-kantor urusan keagamaan sebagai Qāḍī, Mufṭī, atau guru-guru agama. 84 Budi
Sulistio, Majapahit dan Islam Nusantara. 85 Ḥāmid, “A Survey of Theories on the Introduction of Islam
the Malay Archipelago", h. 94-95. 86 Jan Vansina, Oral Tradition, A Study in Historical Methodology
(Chicago: Aldine Publishing Co., 1965), h. 154-157. Kedatangan dan Penyebaran Islam di Asia Tenggara
Analisis: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 18, No. 2 (2018) 91 Manuskrip Sejarah Melayu melaporkan bahwa
pendakwa Islam awal yang mengislamkan penguasa Malaka, Sulṭān Muḥammad Shāh, adalah Sayyīd
‘Abdul ‘Azīz, seorang Arab yang berasal dari Jazirah Arabia.87 Manuskrip Ḥikāyat Raja-raja Pasai88 dan
Sejarah Melayu, 89 keduanya menyatakan bahwa Sharīf Makkah telah mengirim seorang Shaykh Ismā‘īl
sebagai pempimpin misi Islam untuk berdakwah di Sumatera. 90 Manuskrip Kedah Annals atau Ḥikāyat
Merong Mahawangsa menceriterakan tentang bagaimana seorang Shaikh ‘Abdullah al-Yamanī datang
langsung dari Jazirah Arabia dan mengislamkan penguasa atau raja Kedah yang kemudian dikenal
sebagai Sulṭān Muzaffar Shah. 91 Sebuah manuskrip atau naskah sejarah bangsa Aceh melaporkan
bahwa Islam yang masuk ke daerah sebelah utara pulau Sumatera diperkenalkan oleh pendakwah dari
Arab yang dikenal dengan Shaikh ‘Abdullah ‘Arif. Satu diantara para pendamping (disciples) dakwahnya
adalah Shaikh Burhān alDīn, yang kemudian melanjutkan dakwahnya sepanjang Priaman. 92 Genealogi
Sulu memuat laporan bahwa para pendakwah Islam awal yang datang ke Sulu dan Mindanao adalah
berasal dari Arab, contohnya Sharīf Awlya, Sharīf Ḥasan dan Sharīf Maraja. Winstead menyebutkan
bahwa pendakwah Islam yang pertama kali datang ke Jawa adalah seorang Arab. Pendakwah ini,
Mawlāna Malik Ibrāhīm, datang ke Gresik dan tinggal di sana sampai beliau wafat pada tahun 1419.
Pada saat jatuhnya kerajaan Majapahit, pendakwah arab yang lain, Shaykh Nūr al-Dīn Ibrāhīm bin
Mawlānā Isrā’īl atau Sunan [Gunung] Jati telah tinggal di Jati, dekat Cirebon. Sunan Jati dan keluarga
memperoleh kekusaan politik yang besar, dan kemudian berhasil menguasai Cirebon. Wilayah Jakarta
[Raden Fatah] dan 87 C.C. Brown, penerj., Sejarah Melayu or Malay Annals, an Annotated Translation
(Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1970), h. 43-44. 88 A.H. Hill, ed., “Hikayat Raja-raja Pasai,”
JMBRAS 33 (Juni 1960), h. 58-60. 89 Brown, Sejarah Melayu or Malay Annals, an Annotated Translation,
h. 31. 90 Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusasteraan Melayu Klasik (Singapura: Pustaka Nasional, 1975), h.
228-229. 91 al-‘Aṭṭās, Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of Malay-
Indonesian Archipelago, h. 11. 92 Cesar Adib Majul, Muslims in the Philipines (Quezon: University of
Philippines, 1973), h. 54-60. Faizal Amin & Rifki Abror Ananda DOI:
http://dx.doi.org/10.24042//ajsk.v18i2.3069 92 Banten (Ḥasan al-Dīn) pada waktu itu diperintah oleh
wilayah Jakarta pada waktu itu dikuasai oleh keturunannya. 93 Raden Rahmat yang berperan penting
dalam proses Islamisasi Jawa adalah anak dari seorang pendakwah Arab dari Champa. Keturunan Arab
lain yang menjadi pendakwah Islam di Jawa adalah Mawlānā Isḥāq dari Pasai yang telah berhasil
mengislamkan Blambangan di sebegian besar Wilayah Timur pulau Jawa. 94 Temuan-temuan baru
tentang hubungan antara India Selatan dan Nusantara telah membuktikan bahwa adanya pernan para
pendakwah muslim dari India dalam proses Islamisasi Nusantara. Kontribusi para pendakwah muslim
India, persaudaraan keimanan (brethren) Arab dan Persia mereka, dan kontribusi pendudukan asli
sendiri; semuanya telah membantu penyebaran Islam ke seluruh wilayah di Nusantara. Bagaimanapun
tidak dapat dipungkiri bahwa para pendakwah Arab awal telah memainkan peranan penting dalam
meratakan jalan bagi penyebaran Islam di berbagai wilayah Nusantara. Cesar Adib Majul menyatakan
bahwa untuk mendapatkan gambaran menyeluruh tentang pengaruh India di Malaysia Islam, kiranya
perlu mempertimbangkan keterlibatan peranan penting Gujarat dan India Selatan secara bersamaan.
Sebaliknya, harus dicermati adanya bahaya memberikan penekanan yang berlebihan (overemphasizing)
kepada pernan kaum muslim India dalam mengubah kepercayaan penduduk tempatan, karena hal itu
akan dapat menafikan atau menegasikan kemungkinan pernan yang dimaikan oleh para Sharīf Arab,
Sayyid dan para pengembara dari Jazirah Arabia. Demikian halnya dengan peranan orang-orang Melayu
sendiri yang mengislamkan diri mereka sendiri. 95 Beberapa teori tentang bagaimana Islam telah
diperkenakan ke Nusantara dan menyebar ke seluruh wilayahnya telah diperluas. Penjelasan yang paling
umum dan teori yang paling tua adalah bahwa kedatangan dan penyebaran Islam tersebut telah
diselesaikan/dikerjakan melalui perdagangan, sebagaimana 93 Winstead, “The Advent of
Muhammadanism in the Malay Peninsula and Archipellago,” h. 175. 94 al-‘Aṭṭās, Preliminary Statement
on a General Theory of the Islamization of Malay-Indonesian Archipelago, h. 13. 95 Cesar Adib Majul,
“Theories on the Introduction and Expansion of Islam in Malaysia,” SJ Vol. 11, no. 4 (1964), h. 344.
Kedatangan dan Penyebaran Islam di Asia Tenggara Analisis: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 18, No. 2
(2018) 93 disarankan oleh Tome Pires, yang telah menulis sekitar tahun 1515. Teori ini menyatakan
bahwa Islamisasi Nusantara telah dilakukan secara damai oleh para pedagang, who tinggal di beberbagai
wilayah dan melakukan kawin silang dengan penduduk asli. N. Kern juga berpegang pada pandangan
yang sama dan ia lebih memusatkan perhatiannya pada kesamaan antara Islamisasi dan Hindusiasai
Nusantara yang menurut pendapatnya juga dilakukan oleh para pedagang. 96 H. Kern juga berpegang
pada teori yang sama dan ia menambahkan bahwa sejak para saudagar/pedagang kaya menikah dengan
keluarga-keluarga berbagai macam penguasa, mereka dapat memperoleh kekuasaan politik. 97
Sementara itu, A.H. John yang mengembangkan teori yang berbeda, mempertahankan bahwa Islam
tidak mungkin (unlikely) dibawa ke Nusantara oleh para pedagang, karena merupakan hal yang tidak
biasa pada umumnya menganggap barang dagangan sebagai pembawa (bearer) agama. Sebaliknya yang
mungkin adalah bahwa ada barang dagangan tertentu, miliki kaum sufi, yang didampingi oleh para
shaykh yang melakukan kerja-kerja dakwah di Nusantara. 98 S.Q. Fatimi mendukung pandangan ini
dalam mempertahankan bahwa Islamisasi wilayah Nusantara adalah kerja para kaum Ṣūfī. 99 Van Leur
telah mengembangkan teori bahwa proses Islamisasi di Nusantara ditentukan oleh situasi politik dan
motif-motif politik. Van Leur mendasarkan teorinya pada pernyataan bahwa Malaka telah dikonversi
menjadi Islam karena menginginkan dukungan politik dari pada pedagang muslim. Demikian halnya, Van
Leur mengatakan bahwa kerajaan-kerajaan pesisir Indonesia menerima Islam sebagai cara menolak
pengaruh Majapahit. Dinastidinasti Islam baru ini mengklaim legitimasi Islam, sehingga memperoleh
dukungan umat Islam. Sementara bagi para penguasa yang menginginkan pertumbuhan aktivitas
perdagangan di kerajaankerajaan mereka, beralih ke Islam dapat memastikan dukungan perdagangan
muslim kepada mereka. Oleh karena itu, Van Leur telah 96 Cesar Adib Majul, “Theories on the
Introduction and Expansion of Islam..., h. 347. 97 Ibid. 98 A.H. John, “Sufism as a Category in Indonesian
Literature and History,” JSAH Vol. 2, no. 2 (Juli 1961): 3.; Fāṭimī, Islam Comes to Malaysia, h. 71–72. 99
Fāṭimī, Islam Comes to Malaysia, h. 100. Faizal Amin & Rifki Abror Ananda DOI:
http://dx.doi.org/10.24042//ajsk.v18i2.3069 94 mengilustrasikan bagaimana alas an-alasan politik-
ekonomi telah menciptakan penerimaan Islam di berbagai kerajaan kecil di Nusantara. 100 Menurut Van
Leur sebagaimana dikutip Hall, pada tahap paling awal, gerakan penyebaran Islam di Nusantara adalah
gerakan politik secara keseluruhan, sebuah perselingkuhan (affair) dari para penguasa (rulers) dan
pejabat (aristocracy). Islam bukan hanya membawa peradaban yang lebih tinggi melainkan juga
perkembangan ekonomi. Menurut Van Leur tidak mungkin terjadi konversi agama ke Islam secara missal
karena faktanya hukum Islam tidak berpengaruh signifikan dan bangsa Indonesia tetap berpegang pada
hukum adatnya sendiri. 101 Schrieke tetap berpendapat bahwa perkawinan para saudagar/pedagang
muslim kaya raya dengan anggota keluarga kerajaan di Nusantara adalah satu faktor yang
mempengaruhi penyebaran Islam secara berangur-angsur, bahkan terkadang menjadi penyebab
terjadinya konversi masal dari penduduk di daerah-daerah tertentu. Perkawinan silang semacam ini
telah menciptakan konversi agama hanya pada kelompok kecil. Schrieke mencari hubungan penyebaran
Islam di Nusantara dengan upaya untuk memeriksa perluasan Kristen di bagian dunia ini. Konfrontasi
antara Islam dan Kristen di Timur Tengah dan Semenanjung Iberia di Eropa sedang berlanjut di
Nusantara. Satu perjuangan merupakan kemajuan antara Portugis pada satu sisi dan pedagang muslim,
pengeran dari Arabia, Persia, dan India pada sisi yang lain. Dengan demikian, marwah/kekuatan ekspansi
Islam di Asia Tenggara dapat dianggap telah dibalas periksa (counter-check) pada pengaruh Kristen. 102
Akhirnya, penjelasan terbaik terhadap adanya konversi masal oleh penduduk di sebuah wilayah/daerah
adalah daya tarik ideologis (ideological appeal) dari agama Islam. Perubahan radikal atau konversi massa
jarang terjadi ini masyarakat manapun kecuali ada tensi atau tekanan dan ketidakpuasan dengan sistem
yang ada yang menyediakan insentif untuk mencari nilai-nilai keimanan yang baru. Wertheim
menggarisbawahi bagaimana gagasan kesetaraan dan 100 Majul, “Theories on the Introduction and
Expansion of Islam in Malaysia,” h. 373-376. 101 Hall, “Looking at Southeast Asian History,” h. 250. 102
Majul, “Theories on the Introduction and Expansion of Islam in Malaysia,” h. 373-377. Kedatangan dan
Penyebaran Islam di Asia Tenggara Analisis: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 18, No. 2 (2018) 95
penghargaaan individu bagi seorang manusia di dalam komunitas muslim merupakan hal yang begitu
banyak menarik bagi orang-orang Nusantara dibandingkan dengan sistem kasta yang rigid dalam agama
Hindu. 103 Konsep Islam tentang kesetaraan manusia ini menarik dukungan masyarakat, baik di wilayah
perdagangan dimana para pedangan muslim memanggil, maupun di dalam kerajaan-kerajaan Hindu.
Dinamika perkembangan intelektualisme Islam Nusantara lebih lanjut terkait dengan kekuasaan para
sultan di bumi nusantara yang telah menjadi patron bagi para ulama untuk berkarya. Oleh karena itu
puncak kejayaan Islam nusantara berjalan seiring dengan puncak kejayaan lembaga kekuasaan atau
kesultanan di kerajaankerajaan Islam di bumi nusantara. Pemetaan kemunculan intelektualisme Islam
nusantara Islam adalah berbeda-beda, Pada abad 17 terjadi di Aceh, abad ke-18 terjadi di Palembang,
dan abad ke-19 terjadi di Jawa. Sampai dengan akhir abad ke-19 masih ditemukan karya-karya ulama
seperti Hasan Mustafa di Jawa Barat yang mula-mula dikumpulkan oleh ajengan Wiranata. Hubungan
patron-klien antara penguasa kerajaan dan para ulama Islam Nusantara acapkali menimbulkan
pertanyaan tentang independesi inteletualisme ulama dalam memproduksi ilmu pengetahuan keislaman
dan secara khusus ortodoksi Islam yang dikembangkan kepada penganutnya. Islamisasi di Dunia Melayu
sekalipun tidak mewakili seluruh Asia Tenggara telah terjadi pada abad ke-7, yang ditandai dengan
keberadaaan pedagang muslim di wilayah ini dan banyaknya kaum pribumi yang menjadi muslim. Secara
umum Islam masuk ke Asai Tenggara dengan cara damai. Melalui kegiatan kaum pedagang dan para
sufi. Adapun tiga faktor utama yang menyebabkan Islam begitu cepat tersebar dan berterima di bumi
Nusantara adalah (1) ajaran Islam menekankan prinsip ketauhidan dalam sistem ketuhanannya yang
membebaskan diri pemeluknya dari kekuatan apapun selain Tuhan; (2) fleksibilitas ajaran Islam dengan
nilai-nilai universalnya sehingga senantiasa relevan dengan konteks ruang dan waktu yang berbeda-
beda; (3) karakteristik ajaran Islam yang menjadi salah satu faktor perlawanan terhadap kekuatan
kolonialisme. 103 Cesar Adib Majul, “Theories on the Introduction and Expansion of Islam…, h. 382–383.
Faizal Amin & Rifki Abror Ananda DOI: http://dx.doi.org/10.24042//ajsk.v18i2.3069 96 Setidaknya ada
lima karakteristik Islam di Asia Tenggara; (1) Islam masuk dengan jalan damai yang menjadi dominan
secara kultural disamping terjadi proses Islamisasi secara struktural; (2) letak geografis Asai Tenggara
yang strategis mendorong banyak orang asing mengunjunginya sehingga Asia Tenggara merupakan
kawasan yang bersifat terbuka; (3) Karena kondisi geografis/geopolitis, Islam di Asia Tenggara bersifat
variatif dan dinamis; (4) Umat Islam di Asia Tenggara merupakan salah satu wilayah yang penduduknya
mayoritas beragama Islam; dan (5) fenomena Islam pesisir yang merupakan Islam agama kota yang tidak
kaku, terbuka, tidak terkonsentrasi pada orangnya, bersedia menerima perubahan dan sebagainya. Lain
halnya dengan karakteristika Islam daratan dan/atau pedalaman yang cenderung statis, formalistik,
struktural, dan kaku. E. Simpulan Secara keseluruhan teori India, teori Arabia, teori Persia, dan Teori
Cina, dan teori akomodasi adalah merupakan upaya para sarjana untuk menjawab tiga permasalahan
pokok, yaitu kapan, dari mana, dan siapa pembawa agama Islam ke Asia Tenggara. Perbedaan yang
muncul diantara teori-teori tersebut disebabkan kurangnnya data pendukung dan adanya keberpihakan
yang cenderung hanya menekankan aspek-aspek khusus dari ketiga permasalahan pokoknya, Alih-alih
mempertentangkan argumen yang pedebatannya tidak akan pernah tuntas, teori-teori tersebut
sejatinya saling melengkapi dan menutupi kekurangan satu sama lainnya. Kawasan Asia Tenggara adalah
wilayah kepulauan yang dapat dijangkau dari berbagai penjuru dan masing-masing wilayah berbeda-
beda karakteristinya. Oleh karena itu, Islam di Asia Tenggara dan Islam Asia Tenggara adalah dua hal
yang berbeda tapi tidak dapat dipisahkan. Islam di Asia Tenggara adalah Islam historis, yang tumbuh dan
berkembang di kawasan Asia Tenggara Islam dari masa ke masa sesuai dengan konteks ruang dan
waktunya. Sementara Islam Asia Tenggara adalah salah satu ranah kebudayaan Islam yang distingtif dan
setara dengan tujuh ranah kebudayaan Islam lain di Dunia Muslim. Islam di Asia Tenggara dipengaruhi
oleh sejumlah faktor-faktor dan saluran-saluran dalam Islamisasi yang menjadi dasar pembentukan
karakteristik distingtif Islam Asia Tenggara. [.] Kedatangan dan Penyebaran Islam di Asia Tenggara
Analisis: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 18, No. 2 (2018) 97 Referensi Abdullah, Taufik. “Pengantar
‘Kebangkitan Islam’ di Asia Tenggara?” Dalam Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan
Kekuasaan, oleh Azyumardi Azra, 2 ed. Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya, 2000. Ali, Fachry, dan Bahtiar
Effendy. Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru.
Bandung: Mizan, 1990. Al-Qurtuby, Sumanto. “Southeast Asia: History, Modernity, and Religious
Change.” Al-Albab 2, no. 2 (Desember 2013): 145– 67. Arnold, T.W. The Preaching of Islam: A History of
the Propagation of the Muslim Faith. Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1975. Asep Ahmad Hidayat,
Samsudin, Dadan Rusmana, dan Ajid Hakim. Studi Islam di Asia Tenggara. Bandung: Pustaka Setia, 2013.
‘Aṭṭās, S.M. Naguib al-. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. Kuala Lumpur: UKM, 1972. ———.
Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of Malay-Indonesian Archipelago. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1969. Azra, Azyumardi. Edisi Perenial Jaringan Ulama Timur Tengah
dan Kepulauan Nusantara Abad VII dan XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia. Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2013. ———. “Intelektual Muslim Baru dan Kajian Islam.” Studia Islamika:
Indonesian Journal for Islamic Studies 19, no. 1 (2012): 191–202. ———. “Kajian Islam CUHK-1.”
REPUBLIKA.CO.ID, Kamis, Oktober 2014, bag. Berita Kolom Resonansi.
http://m.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/10/22/ndur fj-kajian-islam-cuhk-1. ———.
Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan. 2 ed. Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya,
2000. Baiti, Rosita. “Teori dan Proses Islamisasi di Indonesia.” Wardah 15, no. 28 (2014): 133–45. Faizal
Amin & Rifki Abror Ananda DOI: http://dx.doi.org/10.24042//ajsk.v18i2.3069 98 Benda, Harry Jinrich.
Bulan Sabit dan Matahari Terbit. Jakarta: Pustaka Jaya, 1980. Brown, C.C., trans. oleh. Sejarah Melayu or
Malay Annals, an Annotated Translation. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1970. Budi Sulistio.
Majapahit dan Islam Nusantara. Mp3a. Islam in Southeast Asia. SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta R-
208, 2017. Crawfurd, John. History of Indian Archipelago. Edinburg, 1820. Danandjaja, James. Folklor
Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. V. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1997. Drewes,
G.J.W. “New Light on the Coming of Islam to Indonesia.” Dalam BKI, 1968. Fang, Liaw Yock. Sejarah
Kesusasteraan Melayu Klasik. Singapura: Pustaka Nasional, 1975. Fāṭimī, S.Q. Islam Comes to Malaysia.
Singapura: Malaysian Sociological Research Institute, 1963. Fiderspiel, Howard M. Persatuan Islam,
Pembaruan Islam Indonesia Abad XX. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996. Geertz, Clifford.
Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya, 1981. Hall, D. G. E. “Looking
at Southeast Asian History.” The Journal of Asian Studies 19, no. 3 (1960): 243–53.
https://doi.org/10.2307/2943485. Hall, D.G.E. A History of South-East Asia. London: Macmillan, 1964.
Ḥāmid, Isma’īl. “A Survey of Theories on the Introduction of Islam the Malay Archipelago.” Islamic
Studies 21, no. 3 (1982): 89– 100. http://www.jstor.org/stable/20847210. Harrison, Brian. South-East
Asia, A Short History. London, 1957. Hidayat, Rahayu S. “Pengantar.” Dalam Sumber Sejarah dan
Penelitian Sejarah, oleh Mona Lohanda. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga
Penelitian Universitas Indonesia, 1998. Hill, A.H., ed. “Hikayat Raja-raja Pasai.” JMBRAS 33 (Juni 1960):
58–60. Kedatangan dan Penyebaran Islam di Asia Tenggara Analisis: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 18, No.
2 (2018) 99 Huda, Nor. Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. 1 ed. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2015. Husda, Husaini. “Islamisasi Nusantara: Analisis terhadap Discursus Para Sejarawan.”
Adabiya 18, no. 35 (2016): 17–29. Ira M. Lapidus. Sejarah Sosial Ummat Islam : Bagian ke-Satu dan
keDua. Diterjemahkan oleh Ghufran A. Mas’adi. I. A History of Islamic Societies. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1999. Jay, Robert. Santri, Abangan, Religious Schism in Rural Java. Harvard: Harvard
University, 1957. John, A.H. “Sufism as a Category in Indonesian Literature and History.” JSAH Vol. 2, no.
2 (Juli 1961): 3. Kersten, Carool. Cosmopolitans and Heretics: New Muslim Intellectuals and the Study of
Islam. London: Hurst & Company, 2011. Majul, Cesar Adib. Muslims in the Philipines. Quezon: University
of Philippines, 1973. ———. “Theories on the Introduction and Expansion of Islam in Malaysia.” SJ Vol.
11, no. 4 (1964): 344. Marrison, G.E. “The Coming of Islam to the east Indies.” JBRAS Vol. 24, no. 1
(1951): 31–36. Marsden, William. The History of Sumatra. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1966.
Martin, Richard C. “Islām.” Dalam Encyclopedia of Islam and the Muslim World, 2:171–77. USA:
Macmillan Reference, 2004. Natsir, M. “Sekilas Proses Masuknya Islam di Kalimantan Barat (Kalbar).”
Dalam Islam di Borneo: Sejarah, Perkembangan, dan Isu-isi Kontemporer, disunting oleh Jamil Hj. Hamali
dan et. al., 52-57. Universiti Teknologi MARA Serawak: Pusat Penerbit Universiti (UPENA) UT MARA, t.t.
O’Brien, Peter, ed. “Veil.” Dalam The Muslim Question in Europe, 104–43. Political Controversies and
Public Philosophies. Temple University Press, 2016. http://www.jstor.org/stable/j.ctt1kft8dx.7. Rabasa,
Angel M., Cheryl Benard, Peter Chalk, C. Christine Fair, Theodore Karasik, Rollie Lal, Ian Leseer, dan
David Thaler. The Muslim World After 9/11. Santa Monica: RAND Corporation, 2004.
http://www.rand.org/. Faizal Amin & Rifki Abror Ananda DOI:
http://dx.doi.org/10.24042//ajsk.v18i2.3069 100 Reid, Anthony. Southeast Asia in the Age of Commerce.
2 vol. New Haven, CT: Yale University Press, 1988. Ricklefs, Merle Calvin. Sejarah Indonesia Modern 1200
- 2004. Disunting oleh Merle Calvin Ricklefs dan Husni Syawie. Diterjemahkan oleh Satrio Wahono, Bakar
Bilfagih, Hasan Huda, Miftah Helmi, Joko Sutrisno, dan Has Manadi. Jakarta: Serambi, 2005. Syafrizal,
Achmad. “Sejarah Islam Nusantara.” Islamuna 2, no. 2 (2015): 235–53. Syauqi, Muhammad Labib. “Islam
(di) Nusantara; Esensi, Genealogi, serta Identitasnya.” Analisis: Jurnal Studi Keislaman 15, no. 2
(Desember 2015): 321–33. Testriono. “Is Indonesian Islam Different? Islam in Indonesia in a Comparative
International Perspective.” Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies 18, no. 1 (2011): 199–
202. Vansina, Jan. Oral Tradition, A Study in Historical Methodology. Chicago: Aldine Publishing Co.,
1965. Wahid, Abdurrahman. “Pribumisasi Islam.” Dalam Islam Indonesia Menatap Masa Depan,
disunting oleh Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im, 81. Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren
dan Masyarakat (P3M), 1989. Wertheim, W.F. Indonesian Society in Transition. Bandung: Sumur, 1956.
Wilson, H.E. “The Islamization of South-East Asia: A Reassesment.” JHR Vol. 15, no. 1 (Agustus 1972): 5.
Winstead, R.O. “The Advent of Muhammadanism in the Malay Peninsula and Archipellago.” JMBRAS Vol.
77 (1917).

Awal terbentuknya komunitas dan etnitas poliyik


muslim dikawasan melayu
BAB I
PENDAHULUAN
1.1          Latar Belakang Masalah
Islam memiliki karakteristik global, yang mana bisa diterima dalam setiap ruang dan
waktu. Namun saat ia memasuki berbagai kawasan wilayah, karakteristik globalnya seolah - olah
hilang melebur ke dalam berbagai kekuatan lokal yang dimasukinya. Satu kecendrungan dimana
biasa Islam mengadaptasi terhadap kepentingan mereka. Khususnya dikawasan Nusantara,
dimana disana identik dengan budaya melayu, budaya Melayu yang ada di Nusantara
menjadikan Agama Islam disana berkarakter Islam melayu. Islam dan masyarakat tradisional
Melayu pada dasarnya adalah bentuk Islam pribumi, yang dianut sebagai prinsip prinsip akidah
dengan ajaran-ajaran ritualnya yang bersifat wajib. Islamisasi orang-orang Melayu, seperti itu
juga yang dialami oleh orang-orang ditempat lain, tidak pernah berlangsung secara sekaligus,
akan tetapi melalui proses yang berjalan secara bertahap – tahap.
Sebelum islam datang ke tanah Melayu, orang-orang Melayu adalah penganut annimisme,
hinduisme, dan budhisme. Namun demikian, sejak kedatangannya Islam secara berangsur-angsur
mulai meyakini dan diterima sebagai agama baru oleh masyarakat Melayu Nusantara. Proses
islamisasi di Nusantara tidak dapat dilepaskan dari peranan kerajaan Islam. Berawal ketika Raja
setempat memeluk Islam, selanjutnya diikuti para pembesar istana, kaum bangsawan dan
kemudian rakyat jelata. Dalam perkembangan selanjutnya, kesultanan memainkan peranan
penting tidak hanya dalam pemapanan kesultanan sebagai institusi politik Muslim, pembentukan
dan pengembangan institusi-institusi Muslim lainnya, seperti pendidikan dan hukum (peradilan
agama) tetapi juga dalam peningkatan syiar dan dakwah Islam.[1]

1.2     Rumusan Masalah
`         Adapun rumusan masalah yang dapat diangkat dari latar belakang masalah diatas adalah
sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah Proses Masuknya Islam di Kawasan Melayu?
2.      Bagaimanakah Awal-mula Terbentuknya Komunitas Muslim di Kawasan
Melayu?
3.      Bagaimanakah Awal-mula Terbentuknya Entitaas Politik di Kawasan Melayu?
1.3     Tujuan
    Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Mengetahui dan memahami proses masuknya islam di kawasan melayu
2.      Mengetahui dan memahami awal-mula terbentuknya komunitas muslim di
kawasan melayu
3.      Mengetahui dan memahami awal-mula terbentuknya entitas politik di kawasan melayu

BAB II
PEMBAHASAN
2.1     Proses Masuknya Islam di Kawasan Melayu
Islam datang dikawasan  Melayu  diperkirakan pada sekitar abad ke-7. Kemudian
mengalami perkembangan secara intensif dan mengislamisasi masyarakat secara optimal yang
diperkirakan terjadi pada abad ke-13 M. Awal kedatangannya diduga akibat hubungan dagang
antara pedagang-pedagang Arab dari Timur Tengah (seperti Mesir, Yaman, atau Teluk Persia)
atau dari daerah sekitar India (seperti Gujarat, Malabar, dan Bangladesh), dengan kerajaan-
kerajaan di Nusantara, semacam Sriwijaya di Sumatra atau dengan di Maja Pahit di Jawa.
Perkembangan mereka pada abad ke-13 sampai awal abad ke-15 ditandai dengan banyaknya
pemukiman muslim baik di Sumatra seperti di Malaka, Aceh, maupun di Jawa seperti di pesisir-
pesisir pantai, Tuban, Gresik, Demak, dan sebagainya. Muslim melayu yang tersebar antara
semenanjung Malaya dengan Indonesia, diperkirakan berjumlah 170 juta jiwa.[2]
Pusat-pusat kekuatan ekonomi masyarakat Islam secara tidak langsung terlembagakan
dalam bentuk kota-kota dagang atau munculnya para saudagar muslim, baik di Malaka, Aceh,
maupun pesisir-pesisir pulau jawa. Saudagar-saudagar Arab, kelompok-kelompok sufi, dan para
mubaligh dari teluk persia, Oman maupun dari Gujarat-Persia tersebut atau dari berbagai tempat
lain dari Timur Tengah terus berakumulasi dengan kekuatan lokal, hingga terbentuknya
komunitas politik, yakni kesultanan pada abad ke-16. Dari sana para saudagar mendapat
perlingdungan dan semangat lebih untuk meneruskan langkah-langkah ekonomi dan dakwahnya
untuk menembus wilayah-wilayah Timur lainnya, seperti daerah-daerah Jawa, serta daerah
Maluku, seperti Ambon, Ternate, Tidore, dan seterusnya, termasuk Kalimantan, pulau-pulau
Sulu dan Filipina.[3]
Pengaruh persia terhadap kebudayaan Melayu juga sangat terasa pada pemikiran-
pemikiran seni dan bahasa. Banyak pola-pola kata dan bahasa yang di adopsi dari pola-pola
Persia, simana huruf  akhiran “th” yang selalu dibaca tegas seperti pada kata
masyaraka(t), makluma(t), khiyana(t), dan sebagainya. Sementara dalam pola bahasa Arab
akhiran “t” selalu dibaca mati dan diganti dengan akhiran “h”; khiyanah, ma’lumah, dan
sebagainya.Istilah-istilah lain seperti cilla (duduk bersila), bazar (pasar) dan sebagainya,
termasuk pada pola dan wujud seni sastra Melayu yang hampir separuhnya terpengaruh Persia.
Mengenai teori kedatangan Islam di Melayu terdapat banyak pendapat dan masing-masing
pendapat diikuti dengan bukti-buktinya.Memang banyak hal yang dipermasalahkan apabila
membicarakan apabila membicarakan tentang kedatangan Islam.meskipun demikian maka teori
kedatangan Islam meliputi tiga hal pokok yakni dari mana asal kedatangan Islam waktu
kedatangan Islam dan siapa yang membawa Islam itu sendiri. Namun  terlepas dari teori tersebut
yang jelas Islam pada awalnya bertapak di kota-kota pelabuhan seperti Samudra Pasai, Aceh,
Malaka, Riau, dan kota-kota pelabuhan lainnya. Hal ini disebabkan karena Kepulauan Melayu
memang berada di persimpangan jalan laut bagi para pedagang yang akan melakukan perjalanan
perniagaan. Misalnya pedagang Arab, Persia, India, dan China dengan dua arah bolak balik. Oleh
sebab itu secara umum dikatakan bahwa Islam disebarkan oleh para pedagang muslim yang
melakukan perdagangan ke berbagai wilayah.[4]
2.2     Awal-Mula Terbentuknya Komunitas Muslim di Kawasan Melayu
Sebelum kesultanan demak lahir, penyebaran agama islam dijawa sudah dilakukan baik
dari orang asing maupun bumi putera sendiri. Ada pun cara-cara penyebaran yang dilakukan
antara lain melalui pernikahan dengan wanita setempat, dakwah, pendidikan, dan kesenian.
Sebagai penyebaran agama islam, beberapa antaranya tergolong dalam wali songo, penyebaran
agama islam juga ditunjukan kepulau-pulau lain, seperti maluku, lombok, kalimantan, dan
sulawei, penyebaran tersebut dipelopori oleh para ulama, termasuk wali song, dan mendapatkan
dukungan dari para penguasa.
Hal semacam ini tampak dalam penyebaran islam misalnya dikalimantan selatan. Pada
tahap awalnya islam disebarkan dinusantara melalui jalur perdagangan, dalam arti islam dibawa
dan diperkenalkan pada masyarakat nusantara oleh para pedagang asing.
Kata melayu di dapat didokumen cina sejak tahun 644M yg menceritakan pengiriman
utusan dari sumatera bagian selayab kecina.  Menurut dokumen tersebut peziarah budha kecina
sudah dua kali dtang kedaerah ini pertama kejambi tahun 671dan kedua kemelayu yang berada
disriwijaya.begitu juga catatan rahib budha I-Tsing menggunakan kata ma-lo-yu untuk tentang
dua kerajaan yang disinggahinya tahun 675M yaitu kerajaan melayu disungai batang dan
kerajaan sriwijaya dipalembang. Pada catatan kesusasteraan cina juga menyebutkan bahwa,
pengembara yang singgah kenusantara mendapati bahasayang di tuturkan oleh penduduk
setempat bahasa K UN-LUN  yang dipercaya oleh penyelidik sebagai bahasa melayu kuno.
Defenisi melayu menurut etimologi menurut beberapa pendapat adalah kata melaya
kependekatan himalaa yaitu tempa himalaya yaitu tempat bersaji, kata melayapura menunjuk
kota melayu atau kerajaan melayu,dalam kata bahassa jawa kuno kata melayu bermaksud
mengembara atau pergi kemana-mana,van der tuuk menyebutkan kata melayu berarti
menyeberang yang merujuk kepada orang melayu yang melayu menyeberang atau menukar
agama mereka dari agama hindu-budha kepada agama islam.
Pengertian yang sempit yaitu dikatakan melayu dengan ciri-ciri yang lazim berbahasa
melau, kebudayaan melayu dan beragama islam seperti beragama islam seperti dikemukakan
pelembagaan malaysia perkara 13.
sedangkan berdasarkan etnik dengan berbhasa melayu dan kebudayaan melayu walapun
tidak beragama islam yaiu oraang-orang melayu seperti yang terdapat dalam pelembagaan
malaysia,orang-orang melayu yang mendiami kawasan selatan thai, pesisir sumatra utara
(medan,deli,serdang,palembag,riau,lingga)
Pengertian luas melayu lebih mengutamakan ras dan peradaban maka dikemukakan lah
konsep dunia melayu hampir setiap masyarakat melayu memiliki dan mengklaim pengertian
melayu secara geografis,ras,dan budaya menuru sifat dan keadaan mereka diberbagai tempat
mereka diasia tenggara, ini karna banyaknya pengertian melayu dan sedikit pengertian itu
bermakna sama.maka sampai saat inipun pengertia istilah melayu secara khas masih berbeda.
Namun paling tika dapat mengambil suatu garisan bahwa melayu menujuk satu bangsa, wilayah,
suku, kerajaan, peradaban, dan lain-lain yang berhubungan dengan melayu. 
1.      Masuknya Islam diwilayah Melayu
Sebenarnya yang disebut melayu bukanlah suau komunitas etnik atau suku bangsa. Namun
dalam hal ini masyarakat merupakan kumpulan etnik-etnik serumpun yang menganut agama
yang sama dengan menggunakan bahasa yang sama. Etnik-etnik serumpun yang lain pada
umumnya menempati suatu daerah tertentu. Dimanapun berada bahasa dan agama mereka sama,
melayu dan islam.kepulauan melayu merupakan gerbang masuk terdapat bagi pelayaran ketimur.
Karna itu tidak heran jika kerajaan-kerajaan islam awal seperti samudra pasai.
Masuknya islam dimelayu menurut beberapa ahli ada beberapa teori yaitu
a.       Islam datang langsung dari arab tepatnya hadramaut sekitar abad 7 M.
b.      Islam datang ketanah melayu dari india yang bermazhab syafiin yakni dari gujarat, malabar,
keasia tenggara melalui perdagangan karna banyak ditemukan kota pelabuhan dan pusat-pusat
perdagangan.
c.       Islam datang dari benggali yang anak keturunan mereka menyebar kepasai islam datang
pertama kali disenanjung melaya pada abad ke-11 melalui kantong phanrang (vietnam).
Adapun masuknya islam dimasyarakat melayu dimadagaskar dibawa oleh pedagag arab
dan masyarakat melayu dari nusantara.kedatangan islam ketanah melayu secara damai diserap
baik-bai hamir seluruh kalangan bahkan menjadi peroses islamisasi dari berbagai sendi
kehidupan seperti dalam hal politik telah menggubah kerajaan melayu dengan sistem
kesultanan.dalam hal ini azzumardi azra dalam bukunya diasia tenggara mengemukakan “dengan
kedatangan islam entitas politik melayu kemudian secara variatif disebut ”kerjaan dan
kesultanan”.bahkan gelar sultan diperoleh dari pengguasa tertentu ditimur tenggah dan penguasa
islam diturki.istilah-istilah dan jabatan politik pun sarat dengan identitas politik islam.
Dalam bidang hukum kerajaan atau kesultanan melayu pun mengadopsi dan menerakan
hukum islam diwilayah kekuasaan masing-masing.misal hukum potong tangan atau potong kaki
bagi pencuri pada kerajaan diaceh,berunai,banten, dan beberapa kesultanan disemenanjung
malaya . selain itu juga hukuman keras diberlakukan pada kejahatan seksual misal dikesultanan
pattani seorang bangsawan yang menghukum mati anak peremuan yang terbukti melakukan
pelanggaran seksual. Dikesultanan jambi mewajibkan rakyatnya memkai  pakaian panjang.begitu
juga dimakasar kaum perempuan diwajibkan memakai pakaian model arab.selain itu kaum lelaki
yag telah menjadi muslim diperintahkan untuk berambut pendek.
2.      Islam Melayu divietnam
Vietnam saat ini merupakan negara yang terbentuk republik sosialis,terletak diantara
kamboja dan laos dibagian barat dan cina bagian utara ibukotanya hanoy. Masuknya islam
kedaerah ini diperkirakan pada abad 10 dan 11M melalui jamah india,persia, dan
perdagangan  arab yang pada waktu itu disini telah ada kerajaan cham.umat islam disini
menganut dua mazhab  yaitu mazhab suni dan mazzhab bani divietnam umat islam terbagi tiga
kelompok kelasik umat islam yaitu kelompok pertama muslim cham yang merupakan kelompok
myoritas, kelompok kedua adalah umat yang berasal dari suku-suku yang beragama, mereka
adalah pedagang muslim yang datang dari negeri yang beragam. Kelompok ini dengan jumlah
umat muslim terbesar, kelompok ketiga adalah muslim dari warga negara vietnam asli yang
warganya masuk islam atau islam karna pernikahan.
3.      Islam Melayu diberuneidarussalam
Islam menjadi agama dibrunei ketika rajanya awang alak betatar masuk islam dan berganti
nama menjadi sultan Muhammad syah tahun 1406-1408. Lalu seluruh istana masuk islam.
Kemudian islam berkembang pesat ketika brunei mengambil alih pusat penyebaran islam,
kebudyaan islam dan perdagangan ketika malaka jatuh oleh portugis tahun 1511.
4.      Islam Melayu difilipina
 Islam datang kefilipina pada abad ke-12 yang dibawa oleh orang arab melalui
perdagangan yang melewati malaka dan filipina. Islam berkembang cukup baik disini hal ini
ditunjukan adanya masyarakat muslim dan berdirinya kerajaan islam.
5.      Islam Melayu disemenanjung Malaya
Semenanjung malaya adalah wilayah setrategis dan menjadi pusat perdagangan diselat
malaka yang berdampingan dengan pulau sumatra. Kesultanan malaka terletak disenanjung
malaya ini.pendirinya adalah parameswara dari majapahit, syamsul munir mengemukakan lebih
lanjut bahwa  kesultanan malaka ini berasal dari kesultanan samudra pasai.parameswara menikah
dengan putri sultan samudra pasai lalu masuk islam,dan menjadi raja pertama bergelar megat
iskandar syah.
6.      Datangnya islam keindonesia
Sampai saat ini waktu kedatangan islam diindonesia belum diketahui secara pasti.dan
memang sulit untuk mengetahui kapan suatu kepercayaan mulai diterima oleh suatu komunitas
tertentu.disamping wilayah itu nusantara yang luas dengan banyak daerah perdagangan yang
memungkinkan terjadinya kontak dengan orang asing, mengakibatkan suatu daerah mungkin
lebih awal menerima pengaruh islam dari pada daerah lain.
Beberapa ahli menyebutkan bahwa berdasarkan berita cina dari dinasti tang, islam sudah
mulai diperkenalkan kepada masyarakat indonesia pada abad ke-VII-VIII M. beria tersebut
meneceritakan bahwa orang ta-shih mengurungkan niatnya untuk menyerang kerajaan holing
yang dipimpin ratu simo karena pemerintah di holing sangat kuat.meskipun hal itu tidak
dapat  diartikan bahwa orang islam belum menjejakan kakinya dibumi indonesia.namun paling
tidak memungkinkan belum terbentuknya komunitas muslim.
2.3     Awal-Mula Terbentuknya Entitas Politik di Kawasan Melayu
            Dinusantara umumnya entitas atau masyarakat politik disebit kerajaan A.C. milner
menyebutnya sebagai “kondisi memiliki seorang raja “ entitas politik islam ini  sebenarnya
merupakan kelanjutan dari entitas  politik pada masa-masa pra-islam, dimana raja-raja
mempunyai kedudukan yang sangat pentingdan sering dipandang sebagai pribadi yang
tercerahkan.
 Dari berbagai sumber, disepakati bahwa budaya awal masyarakat Indonesia adalah budaya
yang identik dengan animisme dan dinamisme. Animisme ialah suatu paham dimana setiap
benda memiliki animus atau jiwa yang diyakini memiliki pengaruh bagi manusia, seperti azimat-
azimat, tongkat dan sebagainya. Sedangkan dinamisme ialah kepercayaan dimana setiap benda
memiliki kekuatan seperti gunung-gunung, batu-batu dan sebagainya. Pada perkembangannya
budaya yang mencirikan budaya primitif ini, mulai beralih ke budaya Hindu-Budha, meminjam
istilah dari Taufik Abdullah yang mengatakan bahwa pra-Islam masyarakat terlebih dahulu
mengalami yang namanya “Hindunisasi”, proses Hindunisasi ini memberikan landasan yang kuat
bagi pondasi kebudayaan masyarakat melayu. Tampilnya Islam, sebagai agama dan kekuatan
dagang di tanah melayu, tidak serta merta merusak landasan ini, tetapi secara perlahan-lahan
mengubah dasar ideologinya.
Abdul Karim dalam bukunya menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang berubah pasca
kedatangan Islam.
Pertama, dibidang ketuhanan, ditetapkan tauhid yang patut dipuja dan diyakini memiliki
kekuasaan Yang Maha Besar ialah Allah Yang Tunggal. Ke-dua, Manusia dihadapan Allah SWT
memiliki derajat yang sama, kemuliaan diperoleh apabila manusia bertawakal kepada Allah
SWT, dan taqwa menjadi ukuran kemuliaan.  Ke-Tiga, kehidupan manusia dalam masyarakat
terikat dalam kesatuan dan persatuan yang terbagi-bagi menurut susunan kemasyarakatan.
Ke-empat, kehidupan bermasyarakat diatur oleh aturan-aturan yang dibuat secara
bersmusyawarah sesuai dengan kehendak bersama. Ke-lima, nikmat Allah yang tertuang
dilangit, bumi, dan diantara keduanya harus dinikmati secara merata.
Pada mulanya kedatangan Islam lebih menekankan atau memperhatikan unsur-unsur yang
berhubungan dengan keyakinan dan peribadatan atau ritual, tetapi pada perkembangannya, Islam
juga mengarahkan manusia untuk berbudaya, karena Islam menganggap bahwa kebudayaan
merupakan bagian dari agama.  Seperti pertanyaan HAR Gibb yang dikutip oleh Nasir yang
mengatakan bahwa “Islam is indeed much-morew than a system of theology, it is complete
civilization”, Islam sesungguhnya lebih dari sekedar sebuah agama, ia adalah suatu peradaban
yang sempurna, lebih lanjut Nasir menambahkan bahwa landasan perdaban Islam adalah
kebudayaan Islam, terutama wujud idealnya, sementara landasan kebudayaan Islam adalah
agama, dalam Islam agama bukanlah kebudayaan, tetapi agama dapat melahirkan kebudayaan.
Hal diatas bersesuaian dengan hasil kajian sebagian besar sarjana dan peneliti yang
mengkaji islam dikawasan nusantara, mereka sependapat bahwa sejak era formatif pada masa
awalnya, Islam memainkan peran penting dalam perjalanan sejarah, sosial budaya, intelektual,
politik dan ekonomi Nusantara atau Asia Tenggara umumnya. Dalam konteks ini Judith Nagata,
ahli Islam Asia Tenggara, menyimpulkan bahwa “It is almost imposible to think of Malay
without reference to Islam”. Hal ini menjelaskan bahwa mustahil rasanya jika memikirkan
Melayu tanpa mengkaitkan dengan Islam. Begitu juga Ernest Gellner yang menyatakan Islam
telah menjadi cara hidup dan sebagai high culture oleh masyarakat muslim pribumi, termasuk di
nusantara.  Setidaknya ke-dua ungkapan ini memberikan jawaban bahwa pernyataan “Dunia
Melayu adalah Dunia Islam dan Budaya Melayu adalah Budaya Islam”, bukanlah suatu
ungkapan yang berlebihan, tetapi memang landasan budaya masyarakat melayu pada saat itu
adalah Islam.[5]

BAB III
PENUTUP
3.1         Kesimpulan
Islam datang dikawasan  Melayu  diperkirakan pada sekitar abad ke-7. Kemudian
mengalami perkembangan secara intensif dan mengislamisasi masyarakat secara optimal yang
diperkirakan terjadi pada abad ke-13 M. SAwal kedatangannya diduga akibat hubungan dagang
antara pedagang-pedagang Arab dari Timur Tengah (seperti Mesir, Yaman, atau Teluk Persia)
atau dari daerah sekitar India (seperti Gujarat, Malabar, dan Bangladesh), dengan kerajaan-
kerajaan di Nusantara, semacam Sriwijaya di Sumatra atau dengan di Maja Pahit di Jawa.
Perkembangan mereka pada abad ke-13 sampai awal abad ke-15 ditandai dengan
banyaknya pemukiman muslim baik di Sumatra seperti di Malaka, Aceh, maupun di Jawa seperti
di pesisir-pesisir pantai, Tuban, Gresik, Demak, dan sebagainya.
Pusat-pusat kekuatan ekonomi masyarakat Islam secara tidak langsung terlembagakan
dalam bentuk kota-kota dagang atau munculnya para saudagar muslim, baik di Malaka, Aceh,
maupun pesisir-pesisir pulau jawa. Saudagar-saudagar Arab, kelompok-kelompok sufi, dan para
mubaligh dari teluk persia, Oman maupun dari Gujarat-Persia tersebut atau dari berbagai tempat
lain dari Timur Tengah terus berakumulasi dengan kekuatan lokal, hingga terbentuknya
komunitas politik, yakni kesultanan pada abad ke-16. Dari sana para saudagar mendapat
perlingdungan dan semangat lebih untuk meneruskan langkah-langkah ekonomi dan dakwahnya
untuk menembus wilayah-wilayah Timur lainnya, seperti daerah-daerah Jawa, serta daerah
Maluku, seperti Ambon, Ternate, Tidore, dan seterusnya, termasuk Kalimantan, pulau-pulau
Sulu dan Filipina.
Sampai saat ini waktu kedatangan islam diindonesia belum diketahui secara pasti.dan
memang sulit untuk mengetahui kapan suatu kepercayaan mulai diterima oleh suatu komunitas
tertentu.disamping wilayah itu nusantara yang luas dengan banyak daerah perdagangan yang
memungkinkan terjadinya kontak dengan orang asing, mengakibatkan suatu daerah mungkin
lebih awal menerima pengaruh islam dari pada daerah lain. Beberapa ahli menyebutkan bahwa
berdasarkan berita cina dari dinasti tang, islam sudah mulai diperkenalkan kepada masyarakat
indonesia pada abad ke-VII-VIII M. beria tersebut meneceritakan bahwa orang ta-shih
mengurungkan niatnya untuk menyerang kerajaan holing yang dipimpin ratu simo karena
pemerintah di holing sangat kuat.meskipun hal itu tidak dapat  diartikan bahwa orang islam
belum menjejakan kakinya dibumi indonesia.namun paling tidak memungkinkan belum
terbentuknya komunitas muslim.
Sebenarnya yang disebut melayu bukanlah suau komunitas etnik atau suku bangsa. Namun
dalam hal ini masyarakat merupakan kumpulan etnik-etnik serumpun yang menganut agama
yang sama dengan menggunakan bahasa yang sama. Etnik-etnik serumpun yang lain pada
umumnya menempati suatu daerah tertentu. Dimanapun berada bahasa dan agama mereka sama,
melayu dan islam.kepulauan melayu merupakan gerbang masuk terdapat bagi pelayaran ketimur.
Karna itu tidak heran jika kerajaan-kerajaan islam awal seperti samudra pasai. Abad ke-13
agama islam mulai berkembang pesat dikepulauan melayu, karena pada saat itu agama hindu dan
budha mengalami kemunduran pada peranan politiknya.yang ditandai dengan mundurnya
kerajaan sriwijaya dan swarnabumi dan dengan kerisisnya ekonomi yang membelitnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://ainalyakin123.blogspot.com/2016/01/makalah-islam-dan-peradaban-melayu.html
Dr. S. Ahmed Akbar, CITRA MUSLIM Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, Jakarta : Ciracas
Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, Bandung: Mizan, 2002,
hlm.20-21
http://devijulianti97.blogspot.com

[1] http://ainalyakin123.blogspot.com/2016/01/makalah-islam-dan-peradaban-melayu.html
[2] CITRA MUSLIM Tinjauan Sejarah dan Sosiologi/Dr. Akbar S. Ahmed, Penerbit : ERLANGGA
[3] Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (Bandung: Mizan, 2002) hlm.20-21
[4] http://ainalyakin123.blogspot.com/2016/01/makalah-islam-dan-peradaban-melayu.html
[5] http://devijulianti97.blogspot.com

Syekh Hamzah Fansuri

1. Biografi Syekh Hamzah Fansuri


Beliau merupakan ulama dan tokoh sufi,
sastrawan, pujangga, dan juga guru agama yang lahir pada pertengahan abad ke-15, dan wafat
pada tahun 1527 M. Menurut Profesor Zamakhsyari Dhofier, beliau merupakan pendiri sekaligus
cikal bakal tradisi pesantren di Nusantara. Sebagai guru agama, beliau juga pernah menjadi guru
Syekh Nurullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Sebagai seorang sufi, beliau banyak berjasa
dalam berbagai kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan di Nusantara. Sebagai pujangga, beliau
adalah orang yang pertama kali menulis puisi sufi dalam bahasa Melayu-Indonesia, sehingga
disebut pemula puisi Indonesia.

Hamzah Fansuri adalah tokoh tasawuf beraliran sunni yang hidup di Aceh dan memiliki peran besar
dalam penyebaran Islam di Aceh dan sekitarnya. Ini adalah bukti bahwa Aceh memang layak
disebut sebagai “Serambi Mekkah” atau halaman depan, juga pintu gerbang Tanah Suci Mekkah.
Menurut catatan sejarah, Hamzah Fansuri dilahirkan di kota Barus, sebuah kota yang oleh seorang
Arab pada zaman itu dinamai “Fansur”. Nama ini yang kemudian menjadi laqab nama Hamzah,
yaitu al-Fansuri. Nama Panchur atau Pansur berasal dari orang orang Gujarat, Persia, Arab, Keling
dan Bengali yang menyebutnya dengan nama Panchur. Sebuah kajian terbaru yang dilakukan oleh
Bargansky, mendapatkan hasil positif mengenai masa hidup Syekh Hamzah Fansuri, bahwa ulama
sufi ini hidup hingga masa akhir pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) di Kesultanan
Aceh. Dan kemungkinan wafat beberapa tahun sebelum kedatangan Syekh ar-Raniry untuk kedua
kalinya ke Aceh pada tahun 1637 M.

Setelah belajar di Barus, beliau mengembara ke Kerajaan Aceh Darussalam. Disana beliau menjadi
pemuka agama dan mendampingi raja yang berkuasa saat itu. Menurut catatan sejarah lain, beliau
hidup pada masa pemerintahan Sultan ‘Alauddin Ri’ayat Syah (1588-1604 M) sampai awal
pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M).

Adapun syair berikut ini menunjukkan bahwa beliau berasal dari Barus:

Hamzah nin asalnya Fansuri

Mendapat wujud di tanah Shahrnawi

Beroleh khilafat ‘ilmu yang ‘ali

Daripada ‘Abd Qadir Jailani

2. Pemikiran dan Ajaran Syekh Hamzah Fansuri


Paham tasawuf yang dianut oleh Syekh Hamzah Fansuri adalah wahdatul wujud atau atau tasawuf
wujudiyah. Pemikiran Syekh Hamzah Fansuri lainnya dalam bidang tasawuf ialah tentang hakikat
wujud dan penciptaan. Dalam mengembangkan wujud Tuhan dan alam semesta, beliau
mencitrakan wujud Tuhan bagaikan lautan dalam yang tidak bergerak, sedangkan alam semesta
merupakan gelombang lautan.

Adapun penggambaran beliau mengenai jasad dan ruh, diungkapkanya dalam syair sebagai
berikut :

Hamzah Fansur di dalam Mekah

Mencari Tuhan di Baitul Ka’bah

Di Barus ke Kudus terlalu payah

Akhirnya di dapat di dalam rumah

Paham ini berasal dari paham Wahdatul Wujud Ibnu ‘Arabi. Syekh Hamzah Fansuri juga termasuk
pengikut Tarekat Qadariyah, yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani ra.

3. Pokok ajaran Syekh Hamzah Fansuri dalam bidang Tasawuf  Wujudiyah ialah:

 Bagi Syekh Hamzah Fansuri, wujud hanyalah satu. Meskipun terlihat banyak, wujud yang
satu adakalanya terdiri dari kulit (kenyataan lahir) dan isi (kenyataan batin).
 Allah swt. adalah Zat yang Mutlak dan Qadim, sebab Allah swt. merupakan pencipta alam
semesta.
 Hakikat Zat Allah swt. ialah mutlak dan la ta’ayun (tidak dapat ditentukan).
 Manusia sebagai makhluk penjelmaan yang paling sempurna dan berpotensi untuk
menjadi insan kamil (manusia yang sempurna).

4. Karya Syekh Hamzah Fansuri yang juga sebagai sumbangsihnya bagi peradaban Islam di
Nusantara.

Adapun syair karya beliau sebagai berikut :

 Syair Burung Pingai


 Syair Dagang
 Syair Pungguk
 Syair Sidang Faqir
 Syair Ikan Tongkol
 Syair Perahu

Adapun kitab ilmiah karya beliau di antaranya :

 Asfarul ‘Arifin fi Bayani ‘Ilmis Suluki wa Tauhid


 Syarbul ‘Asyiqin
 Al-Muhtadi
 Ruba’i Hamzah al-Fansuri
Syekh Hamzah Fansuri diyakini wafat pada tahun 1607 M. Sejumlah penelitian dan kajian
menunjukkan bahwa makamnya berada di Desa Oboh, Kecamatan Rundeng, Kota Subulussalam,
yang dahulu termasuk wilayah Aceh Singkil.

Syekh Nawawi al-Bantani

1. Biografi Syekh Nawawi al-Bantani

Syekh Nawawi al-Bantani merupakan tokoh


ulama besar dan populer bagi masyarakat Nusantara, khususnya Provinsi Banten. Syekh Nawawi
al-Bantani, lahir dengan nama Abu Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin ‘Arabi. Nama al-
Bantani merupakan gelar yang diberikan lantaran beliau lahir di Banten, yakni di kampung Tanara,
sebuah desa kecil di Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Sedangkan di
kalangan penduduk Indonesia, Syaikh Nawawi lebih dikenal dengan panggilan Kyai Haji Nawawi
Putra Banten. Syaikh Nawawi adalah anak lelaki pertama K.H ‘Umar dari tujuh saudara kandung
yaitu : 1. Syaikh Nawawi, 2. Ahmad Shihabuddin, 3. Sa’id, 4. Tamin, 5. ‘Abdullah, 6. Shakilah, 7.
Shahriyah.

Beliau lahir tahun 1230 H atau 1815 M (ada yang menyebut 1814 M), dan wafat tanggal 24/25
Syawal tahun 1313/1314 H atau 1897 M) di Shi’ib ‘Ali, Mekkah dalam usia 84 tahun. Dari segi nasab
ayahnya, beliau keturunan Maulana Hasanuddin Banten, putra Sunan Gunung Jati, Cirebon. Beliau
juga merupakan keturunan ke-12 dari Sultan Banten, nasabnya melalui jalur ini sampai kepada
Rasulullah saw. Ayahnya bernama KH. ‘Umar bin ‘Arabi, seorang penghulu dan ulama di Tanara,
Banten. Ibunya bernama Zubaidah yang merupakan penduduk asli Tanara.

Beberapa ulama masyhur yang merupakan guru beliau di Mekkah di antaranya:


 Syekh Khatib as-Sambasi
 Syekh Sayyid Ahmad Nahrawi
 Syekh Ahmad Dimyati
 Syekh Muhammad Khatib Hambali
 Syekh Junaid al-Betawi

Berikut ini beberapa gelar yang disematkan kepada beliau, di antaranya :

 Dokter Ketuhanan (yang diberikan oleh Snouck Hourgronje, seorang orientalis Barat).


 Al-Imam wa al-Fahm al-Mudaqqiq (tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat
mendalam).
 As-Sayyid al-‘Ulama’ al-Hijjaz (tokoh ulama Hijaz, yaitu Jazirah Arab atau Saudi Arabia
sekarang, bahkan nama beliau masyhur hingga ke Mesir).
 “Bapak Kitab Kuning Indonesia” merupakan gelar dari para ulama Indonesia untuknya.

2. Pemikiran dan Ajaran Syekh Nawawi al-Bantani

Syekh Nawawi al-Bantani merupakan sosok ulama masyhur dan produktif. Dalam berbagai uraian
pemikirannya banyak mengemukakan al-Qur’an, sunnah, dan pemikiran salaf ash-shalih, baik masa
klasik maupun abad pertengahan. Kitab karangannya dalam masalah ibadah banyak dituangkan
dalam kitab Kasyifatussyaja yang juga dijadikan bahan kajian pesantren di Indonesia.

Dalam ilmu tauhid, beliau memperkenalkan teori adanya Allah swt., yang menggunakan teori Daur
Tasalsul (lingkaran yang berantai) atau lingkaran yang tidak ada ujungnya. Dalam proses
pengamalannya, syariat (hukum) dan tarekat merupakan awal dari perjalanan (ibtida’) seorang sufi,
sementara hakikat adalah hasil dari syariat dan tarekat.

Beliau juga andil dalam bidang perkembangan pendidikan, di antaranya sebagai berikut :

 Perkembangan pemikiran pendidikan Islam pada abad klasik, abad pertengahan dan abad
modern.
 Prinsip prinsip ajaran madzhab (Syafi’I) dan tarekat (Qadiriyah Naqsabandiyah), yang
dianutnya.
 Para guru yang mendidik dan membentuk kepribadiannya.

3. Karya Syekh Nawawi al-Bantani

Beliau mengarang sekitar 115 kitab dan beberapa sumber menyebutkan 99 kitab. Menurut
Brockelman, seperti yang dikutip Asep dalam buku Yahudi dan Nasrani dalam Al-Qur’an, karya
Syekh Nawawi al-Bantani meliputi 8 cabang utama ilmu keislaman, yakni tafsir, hadits, fiqih,
ushuluddin, tasawuf, biografi nabi, tata bahasa arab, dan retorika.

4. Berikut adalah karyanya dalam bidang ilmu fikih :

 Fath al-mujib (1276 H / 1859 H), diterbitkan oleh Bulaq.


 Kasyifah as-saja’ (1292 H / 1875 M), merupakan komentar Safinah an-Naja karya Salim bin
Samir dari Shihr.
 Suluk al-Jadda (1300 H / 1882 M).
 Suluk al-Munajat (1297 H / 1897 M), merupakan komentar atas Safinah as-Saja, karangan
Abdullah bin Yahya al-Hadrami.
5. Karamah Syekh Nawawi al-Bantani, di antaranya:

 Jari-jari yang mengeluarkan cahaya.


 Memperlihatkan ka’bah dari Jakarta.
 Syekh Abdul Hamid Kudus
 Biografi Syekh Abdul Hamid Kudus

Syekh Abdul Hamid Kudus

1. Biografi Syekh Abdul Hamid Kudus

Nama lengkapnya adalah Syekh Abdul


Hamid bin Muhammad Ali Qudus bin Abdul Qadir al-Khathib bin Abdullah bin Mujir Qudus. Beliau
merupakan ulama besar yang menjadi imam madzhab Syafi’i di Maqam Ibrahim.

Mengenai tahun kelahirannya, terdapat berbagai versi. Versi pertama (dalam Mukhtashar Nasyrun
Naur Waz Zahar), menyatakan bahwa Syekh Abdul Hamid Kudus, lahir tahun 1277 H / 1860 M.
Versi kedua (dalam Siyar Wa Tarajim), menyebutkan bahwa beliau lahir tahun 1280 H / 1863 M.
Sedangkan versi ketiga (dalam kitab kanzan-Najah wa as-Surur), beliau lahir pada tahun 1277 /
1278 H di rumah ayahnya dekat Bab Daribah (salah satu pintu Masjidil Haram). Namun ahli sejarah
bersepakat bahwa beliau lahir dan wafat di Mekkah. Keluarganya berasal dari Hadramaut yang
kemudian hijrah ke Nusantara, tepatnya di Kudus.

Sejak kecil beliau sudah belajar pendidikan ilmu agama pada ayahnya, Syekh Muhammad Ali Quds
(wafat 1293 H), dan juga belajar di Al-Azhar (Mesir). Sejak kecil beliau sudah menghafal Al-Qur’an,
kemudian dilanjut menghafal Matan al-Ajurrumiyah, Matan Alfiyah, Matan ar-Rahbiyah, Matan as-
Sanusiyah, Matan as-Sullam, Matan az-Zubad, dan Matan lainnya. Syekh Abdul Hamid Kudus,
wafat pada tahun 1334 H / 1915 M. Beliau wafat pada umur sekitar 57 tahun, dan dimakamkan
di Ma’la, Mekkah.

2. Beberapa guru Syekh Abdul Hamid Kudus, adalah :


 Syekh Muhammad ‘Ali Quds, ayahnya sendiri (wafat 1293 H).
 Al-Imam Syaikhul Islam as-Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan al-Hasani al-Jilani al-Makki. Mufti
madzhab Syafi’i di Mekkah (wafat 1304 H).
 As-Sayyid Utsman Syatha (wafat 1290 H). Darinya, ia mempelajari kitab Hasyiah
al-‘Asymaawi ‘ala al-Ajrumiyyah dan Syarah al-Ghaayah dalam ilmu fikih.
 As-Sayyid Bakri Syatha, pengarang kitab I’anah ath-Thalibin (wafat 1310 H). Beliau
merupakan guru utama Syekh Abdul Hamid Kudus.

3. Karya Karya Syekh Abdul Hamid Kudus, diantaranya adalah :

 Irsyad al-Muhtadiila Syarh Kifayah al-Mubtadi, diselesaikan sesudah dzuhur, kamis 3


Muharrom 1306 H. Kitab ini berisi tentang akidah sekaligus syarah atas karya ayahnya, Syekh
Muhammad Ali Quds.
 Al-Anwar as-Saniyah ‘ala ad-Durar al-Bahiyah, diselesaikan pertengahan Rabiul Akhir, 1331
H. Kitab ini membahas tentang akidah, fikih dan juga tasawuf. Karya ini juga menjadi syarah karya
gurunya, yaitu Sayyid Abi Bakar Syatha.
 Risalah fi al-Basmalah min Nahiyah al-Balaghah.
 Fiqih Rubu’ ‘Ibadah.

Referensi

Rizem Aizid, Biografi Ulama’ Nusantara, Yogyakarta : DIVA Press, 2016

Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, Bandung : Pustaka Setia, 2001.

Abd. Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada Abad ke-
19, Jakarta : INIS, 1995.

Chaidar, Sejarah Pujangga Islam Shaykh Nawawi Banteni, Jakarta : CV Sarana Utama.1978 M.

Ensiklopedia Islam, cetakan ke-3, juz. 4, Jakarta : PT, ichtiar baru Van Hoeve, 1994.

Abdurahman, Nawawi al-Bantani An Intelectual Master of the Pesantren Tradition, Dalam Studi


Islamika, no. 3, vol. 3, Jakarta : INIS, 1996.

Oleh : Muhammad Ulin Nuha Hasan, Semester VI

Anda mungkin juga menyukai