03 - Teori Sosiologi Islam - Aam PDF
03 - Teori Sosiologi Islam - Aam PDF
Abstrak
Teori-teori sosiologi yang dikembangkan di dunia pendidikan di Indonesia sekarang
dibangun atas dasar pengalaman masyarakat Barat. Karena itu sering kali tidak memadai,
bahkan menyesatkan, kalau digunakan untuk menjelaskan masyarakat non-Barat, khusunya
yang menyangkut Islam dan masyarakat muslim. Teori-teori tersebut menempatkan agama,
termasuk Islam, sebagai salah satu saja dari institusi-institusi dalam masyarakat. Padahal bagi
kaum muslim menempatkannya ideologi yang menentukan totalitas kehidupan muslim.
Oleha karena itulah, kajian sosiologis terhadap konsep-konsep sosiologi dalam Alquran
menjadi sangat penting dan merupakan kebutuhan hakiki umat Islam. Setidaknya ada tiga
konsep penting dari Alquran yang dapat diasumsikan sebagai teori sosiologi Islam, yaitu
tadafu’, ta’aruf dan ta’awun.
A. PENDAHULUAN
menentukan totalitas kehidupan muslim. Dalam rangka ini, menurut Prof. Ilyas Ba-
Yunus, diperlukan pendekatan sosiologi non-Barat untuk memahami dan
menjelaskan masyarakat muslim, yang disebut sebagai ‘sosiologi Islam’. Demikian
ringkasan pandangan sosiolog muslim, Ilyas Ba-Yunus, tentang Sosiologi dan
Realitas Sosial Muslim
Sangat ironis, bahwa sosiologi yang dipelajari dan dikembangkan di
tnengah-tengah umat Islam adalah sosiologi Barat. Di berbagai level pendidikan,
setidaknya pada level pendidikan menengah dan tinggi, teori-teori sosiologi yang
tidak beurusan dengan keimanan. Di satu sisi umat Islam harus mengembangkan
seluruh prilakunya, termasuk prilaku sosialnya, berdasar pada nilai-nilai iman, dan di
lain sisi mereka hanya dikenalkan pada ilmu sosial yang dinetralkan dari iman itu
sendiri.
Diakui dunia bahwa Rasulullah saw adalah tokoh terbaik dunia. Tokoh yang
paling berhasil dalam membangun masyakat terindah di dunia. Begitu beliau
dinobatkan sebagai nabi dan rasul, beliau langsung melakukan proses soial yang
diawali dengan analisis sosial melalui bimbingan “Iqra” sebagai wahyu pertama. Tak
lama kemudian, beliau masuk ke gelanggang masyarakatnya untuk memimpin
gerakan sosial melalui bimbingan “al-Muddatstsir”. Setelah pembangunan dan
pembinaan masyarakat Islam mulai menampakkan wujudya yang lebih baik di
kalangan orang Arab secara regional, segera beliaupun mengadakan hubungan
internasional dengan menawarkan Islam sebagai solusi kehidupan. Berbagai negara
besar di dunia saat itu dikirimnya surat yang isinya menawarkan Islam sebagai jalan
hidup dan acuan ideal dalam membangun masyarakat.
Bagi seorang Muslim, tiada keraguan lagi bahwa Al-Quran diturunkan dengan
menempatkan manusia sebagai sentral kepentingannya, di mana semua makluk lain
diposisikannya untuk melayani manusia (QS Al-Baqarah, 2:29). Dia adalah petunjuk
bagi segenap umat manusia (QS Al-Baqarah, 2:185) yang hadir sebagai solusi
terbaik bagi seluruh problematika alam dan kehidupan sepanjang zaman (QS Al-
Isrâ’, 17:9). Di dalamnya tidak sedikit pun terdapat keraguan (QS Al-Baqarah, 2:2)
dan kebengkokan (QS Al-Kahfi, 18:1). Sebelum dan sesudahnya tidak pernah dan
tidak akan tercemari kebatilan (QS Al-Fushshilat, 41:42). Keaslian dan
kemurniannya akan terjaga sepanjang masa (QS Al-Hijr, 15:9). Orang yang
berpegang dan mengikuti petunjuknya akan menemukan jalan-jalan keselamatan,
terbebas dari kesesatan, dan berjalan di atas jalan yang lurus dan benar (QS Al-
Mâ’idah, 5:16), dan orang yang berpaling daripadanya pasti akan menemukan
kehidupan yang sempit (QS Thâhâ, 20:124). Dia memberikan jaminan keunggulan
bagi orang yang benar-benar mengimaninya (QS Ali ’Imrân, 3:138-139).
Untuk kebaikan hidup manusia, Al-Quran (QS Ali ’Imrân, 3:112) menekankan
dua hal pokok saja, yaitu hubungan dengan Allah (hablumminallah) dan hubungan
dengan sesama manusia (hablumminannâs). Tanpa terjalinnya dua hubungan
tersebut dengan baik, hidup dan kehidupan manusia terancam sengsara dan hina.
Ayat ini dengan sangat jelas menempatkan aspek sosiologis pada posisi yang sangat
sentral dan penting, kedua setelah hubungan dengan Allah (keimanan). Ini
merupakan pengakuan dan penghargaan yang serius dan tinggi bagi sosiologi. Maka,
tidak ayal lagi bahwa kebanyakan ayat Al-Quran akan diorientasikan pada
pengaktualisasian dua hubungan tersebut. Bahkan, bentuk-bentuk ritual khusus yang
diformat untuk pengokohan hubungan manusia dengan Allah, seperti shalat, shaum,
dzikir dan lain sebagainya, tetap diorientasikan untuk pemantapan hubungan
manusia dengan sesamanya.
Dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan Imam Baihaqi, Nabi Muhammad
saw. bersabda:
“Allah hanya akan menerima shalat dari orang yang merendahkan diri di hadapan
keagungan-Ku, tidak sombong terhadap sesama makhluk-Ku, menghabiskan
siangnya dengan zikir kepada-Ku, tidak secara sengaja melakukan dosa di malam
harinya, suka memberi makan bagi orang yang lapar, memberi perlindungan bagi
orang yang kesulitan, menyayangi yang kecil, dan menghormati yang besar ...”
Begitu juga dengan hakikat iman. Bahwa keimanan seseorang baru diakui
kebenarannya apabila manifes pada tindakan sosial.
”Orang beriman itu bukan orang kenyang sendiri, padahal tetangga sedang lapar.”
(HR Baihaqi)
”Seseorang tidak dikatakan beriman, sebelum dia menginginkan (kebaikan) bagi
orang lain seperti bagi dirinya sendiri.” (HR Bukhari)
B. TADAFU’
“Seorang mukmin terhadap mukmin (lainnya) bagaikan satu bangunan, satu sama
lain saling menguatkan.” (HR Bukhari Muslim)
“Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan
saling berempati bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotanya merasakan sakit
maka seluruh tubuh turut merasakannya dengan berjaga dan merasakan demam.”
(HR. Muslim)
”Siapa yang tidak ihtimam (peduli) terhadap urusan umat Islam, maka bukan
termasuk golongan mereka.” (HR Thabrani)
”Alam yang kita tempati ini sangat luas terbentang. Dia merupakan bangunan
yang sangat solid, memiliki pergerakan yang teratur, dan tertata rapi dalam setiap
urusannya. Dia dibangun dengan satu cara mulai dari bagian-bagiannya yang
paling kecil sampai unit-unitnya yang paling besar.” (Ahmad Khalid Alam,
2005:243)
Maka, mulai dari partikel-partikel penyusun atom yang teramat terkecil sampai
materi terbesar; mulai dari planet-planet yang mengeliling bintang sehingga
membentuk tata surya, kemudian kumpulan bintang membentuk galaksi, kumpulan
galaksi membentuk cluster, dan kumpulan kluster membentuk supercluster, semua
berpadu dengan harmonis karena ada satu kekuatan dahsyat yang mengatur dan
mengendalikannya.
Sebagai sebuah sistem, setiap penyusunnya saling mempengaruhi antara satu
sama lain. Apabila di antara bagian-bagian tersebut tidak terjadi interaksi yang
harmonis, pasti akan ada bagian yang tumbang dan ada bagian yang tetap berdiri
kokoh. Dengan demikian, setiap bagian hanya akan bergerak atau beroperasi pada
dirinya saja. Alam semesta pun akan kehilangan gerak dan kedinamisannya. Inilah
yang kemudian mengakibatkan kehancuran.
Begitu pula halnya dengan kesatuan masyarakat manusia. Apabila dia tidak
berdiri pada prinsip adanya pihak yang mempengaruhi dan dipengaruhi, dan adanya
yang pihak bertahan dan pihak yang kalah, bagian-bagian dari sistem masyarakat
tersebut akan kehilangan hubungan. Bahkan, sistem itu sendiri akan sirna.
Akibatnya, kesejahteraan hidup manusia akan menjadi barang yang mustahil. Kalau
tidak adanya prinsip daf’u (penolakan atau pertahanan) seperti itu, yaitu tidak adanya
pihak yang unggul atau menang dan pengelolaan kehidupan dari konflik. Setiap
individu bisa melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan yang lain.
Kemudian, tidak ada pihak yang mencegah dan menyelaraskannya dengan
kepentingan yang lebih luas. Jika demikian, hubungan dan kesatuan masyarakat akan
runtuh. Prinsip ini sejalan dengan fitrah manusia yang dirancang untuk
bermasyarakat dan saling berdayakan.
Pada dasarnya, makna penolakan atau pertahanan dan unggul adalah suatu
makna umum yang berlaku pada seluruh kehidupan masyarakat manusia.
Substansinya adalah menggiring pihak lain dengan berbagai cara menuju arah yang
diinginkan oleh manusia (secara umum) dan mempertahankannya dari berbagai
kendala dan rintangan yang menghalangi. Ini adalah makna umum yang ada pada
perang dan damai, pada saat genting dan tenang, pada saat sibuk dan santai, dan
antara seluruh individu pada seluruh masyarakat di dunia.
Imam Asy-Sya’rawi menafsirkannya dengan sangat singkat. Beliau
mengemukakan, “Dalam ayat ini Allah menyajikan prinsip alam tentang yang ada,
yaitu bahwa perang merupakan keniscayaan sosiologis, bahwa mempertahankan
manusia dengan manusia. Kalau di hadapan suatu kekuatan tidak ada kekuatan lain,
binasalah alam. Kalau di dunia ini hanya ada satu kekuatan, dia pun akan binasa.
Menarik untuk diperhatikan tentang kemunculan prinsip tadafu’ (saling tolak
menolak) pada ayat tersebut. Seadainya Allah Ta’ala tidak menolak (keganasan)
sebagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Akan tetapi,
Allah Ta’ala mempunyai anugerah (yang dicurahkan) atas semesta alam. Hal ini
dilatarbelakangi oleh peristiwa peperangan yang terjadi pada zaman Nabi Daud as.,
yaitu antara tentara Jalut dan Thalut.
Begitu pula apabila kita memperhatikan kaidah tadafu’ yang terdapat dalam QS
Al-Hajj, 22:40 yang berarti:
Kaidah tadafu’ pada ayat ini pun diantarkan dengan dikeluarkannya izin untuk
memerangi orang-orang zalim. Kehadiran konsep tadafu’ menunjukkan bahwa sifat
saling menolak atau konflik merupakan ketetapan (hukum) Allah yang berlaku pada
kehidupan manusia. Artinya, kehadiran tadafu’ merupakan keniscayaan dari tuntutan
fitrah manusia untuk mempertahankan kebenaran yang diyakininya. Tujuannya tiada
lain agar terciptanya kehidupan masyarakat yang baik dan harmonis. Tujuan ini
terbaca dengan jelas pada ayat selanjutnya:
“Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya
mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan
mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allahlah kembali segala
urusan.” (QS Al-Hajj, 22:41)
Semua perbuatan yang disebutkan pada ayat ini adalah perbuatan seseorang
(penguasa) di tengah masyarakat dan diarahkan untuk membangun dan memperbaiki
kehidupan masyarakatnya. Dengan demikian, tadafu’ (saling tolak menolak atau
konflik) adalah suatu kenyataan yang melekat pada kehidupan manusia. Al-Quran
telah membuktikannya dengan menampilkan kehidupan umat-umat terdahulu
sepanjang sejarah kehidupan manusia.
Perjalanan sejarah umat manusia pun memperjelas itu semua. Peperangan dan
konflik bagai sebuah ”menu wajib” sekaligus misteri yang pernah terjadi di semua
peradaban. Peperangan seakan menjadi ritual kronis yang seolah wajib dijalankan
oleh setiap generasi manusia. Ahuizotl telah mengorbankan 20.000 jiwa musuhnya
di Kuil Tenochtitlan, Julius Caesar mengorbankan ratusan ribu nyawa prajuritnya
dan juga prajurit lawannya dalam Perang Munda untuk merebut semenanjung Iberia,
Zerzes mengerahkan 250.000 orang tentara untuk membinasakan 300 orang Sparta,
dan Jenderal William Sherman memimpin pasukan Union mengalahkan pasukan
Konfederasi dalam Perang Saudara (Civil War) yang memakan korban jutaan orang
Amerika. Lalu peristiwa 11 September 2001 menelan korban sekitar 6000 jiwa
hanya dalam hitungan menit, jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki
menewaskan ratusan ribu jiwa dalam sekejap dan menyisakan derita bagi jutaan
lainnya untuk jangka waktu yang lama. Perang di kawasan Teluk yang
berkepanjangan telah membunuh ratusan ribu manusia, genosida di Bosnia,
pembantaian suku di Rwanda, kekisruhan di Somalia, konflik berkepanjangan di
Afghanistan, Irak, Suriah, Palestina, dan banyak lagi perang yang memakan korban
jiwa yang sia-sia terus terjadi dipertahankan sebagai sebuah tradisi yang sakral oleh
manusia. Bahkan, apabila kita tarik ke masa asal dakwah Islam, Rasulullah
Muhammad saw. dan para sahabat pun harus melewati sejumlah peperangan besar
sehingga menjadikan Islam eksis di muka bumi.
Itulah mengapa, pada umumnya ulama tafsir, seperti Ibnu Asyur (II:490),
Abdurrahman As-Sa’di (II:108), Fakhruddin Ar-Razi (III:422-425), Ath-Thantawi
(I:460), Asy-Sya’rawi (II:1058-1059), Abu Zahrah (II:911), dan lainnya, cenderung
menafsirkan dengan subtansi makna yang sama. Perbedaan di antara mereka terletak
pada cara menjelaskan. Thabathaba’i dan Ibnu Asyur cenderung panjang lebar dan
bersifat ilmiah.
Dalam konteks ini, kita perlu mengkaji pula proses peperangan yang terjadi
antara tentara Thalut dan Jalut. Bagaimana Thalut memenangkan peperangan
tersebut? Mengapa dia menang? Analisis ini akan memberikan garis atau prinsip
yang jelas tentang masyarakat yang unggul atau lolos dari konflik secara mulia.
Pada derajat atau tataran tertentu, bisa saja kaidah tadafu’ dalam Al-Quran
didekatkan dengan teori konflik, khususnya pada tataran aktual. Akan tetapi, pada
tataran konsep atau asumsi dasarnya terdapat perbedaan yang prinsipal. Menurut Ba-
Yunus, sosiologi Marxian (teori konflik) berlandaskan dua asumsi dasar. Pertama,
aktivitas ekonomi dipandang sebagai penentu utama dari seluruh aktivitas sosial.
Kedua, masyarakat manusia dipandang sebagai kenyataan konfliktual sepanjang
sejarah.
Adapun kaidah tadafu’ berlandaskan pada asumsi dasar bahwa (1) manusia
sebagai makhluk Tuhan yang harus mengabdikan totalitas hidupnya kepada-Nya,
sehingga seluruh pertimbangan, keputusan dan tindakannya harus diselaraskan
dengan ajaran-Nya. Kemudian, (2) tadafu’ atau konflik merupakan proses alamiah
(sunnatullah) yang harus dilalui sebagai konsekuensi dari hakikat fitrah manusia
yang memiliki kecenderungan dan tanggung jawab untuk membela kebenaran dan
keadilan.
C. TA’ARUF
Kaidah atau konsep ta’aruf diangkat dari firman Allah Ta’ala yang terungkap
dalam QS Al-Hujurât, 49:13.
”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari orang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku supaya
kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah adalah orang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Konsep ta’aruf pada ayat ini (ﺎرﻓُﻮا َ ) ِﻟﺘ َ َﻌsering diartikan atau ditafsirkan sebagai
”saling kenal mengenal”. Makna tersebut cukup terasa jelas dan sederhana. Akan
tetapi, ketika kita ditanya apa yang dimaksud dengan “saling kenal mengenal” itu
dan sejauh mana, kita akan menyadari bahwa penafsiran yang ada belum
menjelaskan konsep ta’aruf secara menyeluruh.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu mengungkap makna asal dari
kata ta’aruf itu sendiri. Kata atau konsep ta’aruf berasal dari kata arafa ()ﻋﺮف.
Menurut Ibnu Faris (4:281), materi kata yang terbentuk dari huruf ف – ر – ع
memiliki dua makna asli. Pertama, kesinambungan atau terus menerusnya hubungan
sesuatu dengan yang lainnya atau satu bagian dengan bagian yang lainnya. Untuk
makna ini muncul kata ‘urf () ﻋ ُْﺮف. Kedua, bermakna diam dan ketenangan. Untuk
makna ini terdapat kata ma’rifah ( ) َﻣ ْﻌ ِﺮﻓَﺔdan ‘irfan ()ﻋ ِْﺮﻓَﺎن. Jika ada kalimat “ ﻋ َﺮفَ
ﻌﺮﻓﺔﻣ
ِ َ و ً ﺎِﺮﻓﺎﻧ
ﻋ ً ﺎﻓﻼﻧ ٌ
ﻓﻼن “ (seseorang mengenal seseorang yang lain), ini mengandung
arti bahwa dia diam dan tenang terhadap hal tersebut. Sebab, apabila
mengingkarinya, dia tidak akan diam dan merasa tenang dengannya.
Selain dua makna tersebut, kata ta’aruf ( )ﺗﻌﺎرفsebagai bentuk derivasi dari kata
‘arafa ()ﻋﺮف, mengandung makna saling atau hubungan timbal balik antara
seseorang dengan yang lainnya (interaksi). Hal ini menguatkan adanya makna
interaksi pada kata tersebut. Sebab, tanpa derivasi pun makna interaksi telah menjadi
bagian daripada makna aslinya, seperti yang telah dijelaskan pada makna pertama.
Dengan menganalisis makna aslinya, konsep ta’aruf memiliki makna yang sangat
dalam dan luas. Setidaknya ada tiga makna pokok dari konsep tersebut: (1) adanya
hubungan timbal balik (interaksi) antara satu pihak dan pihak lain; (2) hubungan atau
interaksi tersebut terjadi atas dasar pengenalan atau pengetahuan yang benar; (3)
interaksi yang terjadi menimbulkan hubungan dan kebersamaan yang harmoni di
antara pihak-pihak yang terlibat.
Makna ini baru ditinjau dari kata ta’aruf saja. Jika ditinjau dari kata atau konsep-
konsep sebelumnya, yaitu kalimat-kalimat yang mengatarkannya, makna ta’aruf
akan terasa lebih dalam dan lebih luas. Kata atau konsep-konsep tersebut antara lain:
ُ ﯾَﺎ أَﯾﱡ َﮭﺎ اﻟﻨﱠ, (2) إِﻧﱠﺎ َﺧﻠَ ْﻘﻨَﺎ ُﻛ ْﻢ, (3) ﻣِ ْﻦ ذَﻛ ٍَﺮ َوأ ُ ْﻧﺜَﻰ, dan (4) ﺷﻌُﻮﺑًﺎ َوﻗَﺒَﺎﺋِ َﻞ
(1) ﺎس ُ و َﺟﻌَ ْﻠﻨَﺎ ُﻛ ْﻢ.
َ Konsep-
konsep ini tentu saja memiliki makna penting dan berkontribusi signifikan bagi
makna ta’aruf. Sesungguhnya konsep ta’aruf hadir sebagai akumulasi kepentingan
dari konsep-konsep sebelumnya.
Pertama, ﺎس ُ َﯾﺎ أَﯾﱡ َﮭﺎ اﻟﻨﱠ. Frasa ini merupakan panggilan atau seruan yang ditujukan
kepada semua umat manusia. Seruan ini berlaku untuk segenap umat manusia tanpa
kecuali, dari manusia pertama sampai manusia akhir zaman. Semua tercakup di
dalamnya. Hal ini dapat dipahami karena Islam diturunkan untuk untuk menjadi
bimbingan dan kebaikan bagi semesta alam.
Kedua, ( ِإﻧﱠﺎ َﺧﻠَ ْﻘﻨَﺎ ُﻛ ْﻢsesungguhnya Kami telah menciptakan kalian). Kalimat ini
merupakan pernyataan yang menggunakan penguat ()إن ّ untuk menepis
pengingkaran-pengingkaran yang dilakukan oleh manusia. Kalimat ini menyatakan
eksistensi manusia sebagai makhluk dan Rabb sebagai Khalik. Penegasan ini sangat
penting karena hadirnya kesadaran manusia sebagai makhluk, sekaligus pengakuan
keberadaan Tuhan sebagai Khalik, akan sangat berpengaruh terhadap cara pandang
dan penataannya terhadap diri dan segala sesuatu di luar dirinya. Selain itu,
pengakuan kemakhlukan merupakan pengakuan hakikat eksistensi manusia yang
tergantung kepada Khaliknya. Jika makna al-‘alaq (QS Al-’Alaq, 96:2)
dikembalikan kepada makna aslinya, hal ini mengandung arti bahwa manusia
diciptakan dari “ketergantungan”, baik menyangkut keberadaan dirinya, pemenuhan
kebutuhan, maupun pengembangan dirinya; baik menyangkut aspek biologis,
psikologis, maupun sosiologis.
Ketiga, ( ﻣِ ْﻦ ذَﻛ ٍَﺮ َوأ ُ ْﻧﺜَﻰdari seorang laki-laki dan seorang wanita). Frasa ini ingin
mengatakan bahwa seluruh manusia berasal dari satu asal, satu jenis, dari seorang
laki-laki dan seorang wanita, yaitu Adam dan Hawwa (Abdurrahman As-Sa’di,
I/802). Frasa ini menjelaskan prinsip yang penting tentang kesatuan dan kesamaan
manusia, yaitu bahwa manusia memiliki potensi dan kecenderungan yang sama
karena diciptakan dari dua unsur yang sama. Pada satu sisi, manusia diciptakan dari
unsur tanah (QS Al-Qashash, 38:71). Pada sisi lain, Allah Ta’ala meniupkan ruh
kepadanya (QS Al-Hijr, 15:29). Sebagian ulama memaknai bahwa manusia
merupakan makhluk dua dimensional, yaitu dimensi bumi dan dimensi langit.
Dimensi bumi berarti dorongan rendah yang dapat mambawa manusia pada
kehinaan. Adapun dimensi langit berarti dorongan baik yang membawanya kepada
kemuliaan dan ketinggian. Inilah yang dimaksud dengan ayat yang menyatakan
bahwa manusia merupakan satu umat (QS Al-Baqarah, 2:213).
ُ ( َو َﺟﻌَ ْﻠﻨَﺎ ُﻛ ْﻢdan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan
Keempat, ﺷﻌُﻮﺑًﺎ َوﻗَﺒَﺎﺋِﻞ
bersuku-suku). Frasa ini menjelaskan bahwa sekalipun manusia berasal dari satu dan
memiliki potensi dasar yang sama akan berkembang dan membuahkan aneka
perbedaan, baik perbedaan yang berangkat dari hubungan darah atau keturunan
seperti perbedaan suku atau kabilah, maupun perbedaan yang berangkat dari
perbedaan geografis seperti perbedaan bangsa. Akan tetapi, perbedaan tersebut
bukan sesuatu yang permanen atau hadir sebagai tujuan, melainkan hanya sebagai
instrumen untuk mewujudkan suatu tatanan dan hubungan yang lebih indah, yaitu
ta’aruf. Perbedaan-perbedaan tersebut bukan untuk saling mengunggulkan dan
saling membanggakan di antara sesama manusia, melainkan untuk saling mengenal
dan membangun kebersamaan yang solid. Sesungguhnya, keunggulan dan kemuliaan
di antara sesama manusia hanya diukur dengan ketakwaan.
Dengan memperhatikan pikiran-pikiran yang mengantarkan konsep ta’aruf,
keberadaan ta’aruf menjadi lebih jelas dasar dan urgensinya. Pikiran-pikiran tersebut
mencakup beberapa poin penting. Pertama, manusia adalah makhluk yang memiliki
ketergantungan kepada Khaliknya dan saling ketergantungan di antara sesamanya.
Kedua, manusia berasal dari satu asal dan memiliki potensi dasar serta
kecenderungan yang sama karena diciptakan diciptakan dari unsur yang sama (tanah
dan ruh). Ketiga, perbedaan-perbedaan yang terjadi di antara manusia, baik yang
diakibatkan oleh hubungan darah atau keturunan maupun oleh perbedaan geografis,
bukan perbedaan yang permanen, melainkan sebagai instrumen untuk menciptakan
hubungan dan kebersamaan yang lebih indah (ta’aruf). Dengan demikian,
keberadaan konsep ta’aruf benar-benar hadir sebagai tujuan. Dia setidaknya
memiliki tiga makna pokok, yaitu kesinambungan hubungan timbal balik antara satu
pihak dengan pihak lain, berdasar atas pengetahuan dan pemahaman yang
proporsional dan benar, serta menciptakan tatanan dan kebersamaan yang harmonis.
Konsep ta’aruf dengan demikian menghendaki pengembangan interaksi
berdasarkan atas pengetahuan dan pemahaman yang benar untuk menciptakan
kebersamaan (bermasyarakat) yang solid dan harmonis. Kebersamaan tersebut tidak
berarti meniadakan keunggulan, kelebihan, dan persaingan di dalamnya, terlebih
bahwa kebersamaan tersebut berlatar belakang dari berbagai perbedaan.
Keunggulan, kelebihan dan persaingan yang ada tetap diberi tempat untuk
berkembang dengan syarat bernaung di bawah nilai ketakwaan. Semuanya harus
D. TA’AWUN
Konsep ini diangkat dari QS Al-Mâ’idah ayat kedua yang berbunyi. “Saling
tolong menolonglah dalam kebajikan dan ketakwaan, dan janganlah saling tolong
menolong dalam dosa dan permusuhan”. Konsep ini mengakui adanya perbedaan
sekaligus mengakui bahwa setiap (individu) memiliki potensi dan kekuatan, sekecil
apapun adanya. Konsep ini menghendaki agar perbedaan potensi dan kekuatan
(keunggulan, kelemahan, kaya, miskin, dan lain sebagainya) fungsional secara
positif dalam membangun kehidupan bersama yang harmonis.
Konsep ta’awun memiliki makna yang komprehensif dan sistemik. Itu mengapa,
sebagian ulama tafsir menafsirkannya sebagai prinsip besar dalam kehidupan secara
menyeluruh. Hadis dari Nabi Muhammad saw. menganalogikan ta’awun sebagai
suatu bangunan yang saling menguatkan atau suatu badan. Apabila ada bagian yang
sakit, rasa sakit tersebut akan terasa oleh bagian yang lainnya.
Tubuh manusia secara mikro merupakan representasi dari alam secara makro.
Munculnya gerak sederhana dari manusia merupakan hasil perpaduan dan kerjasama
yang kompleks dari berbagai unsur dan elemen yang ada dan terlibat di dalamnya.
Semua bekerja secara sistemik sehingga menghasilkan gerak harmonis melalui
proses alamiah yang sangat rapi dan terencana. Semuanya memiliki batas-batas yang
jelas untuk menjaga keseimbangannya. Ada 9000 kuncup perasa pada lidah manusia
di mana setiap kuncup mendapat tugas untuk menangkap jenis rasa tertentu; masing-
masing tersambung kepada melalui saraf yang senantiasa berkerja dengan cepat dan
tepat. Semua bagian dari tubuh manusia memiliki tugas yang jelas dan tersambung
kepada pusat komando yang mampu mengkomunikasikan dan mengintegrasikannya
secara cepat dan tepat, sehingga muncul respons atau tindakan yang tepat.
Kerumitan dan kecermatan sistem kerja seluruh unsur dan elemen yang ada pada
tubuh manusia hadir bukan karena kehebatan dirinya, sebab manusia tidak pernah
merancang dan menciptakan dirinya. Keunikan dan kerumitan sistem kerja saraf,
otak, ginjal, jantung, paru-paru, dan sebagainya membuktikan adanya kekuatan yang
merancang dan mengendalikan yang berada di atas kemampuan manusia sendiri.
Dialah Zat Yang Maha segala-galanya.
Begitulah sistem kerja dalam tubuh manusia sebagai dunia mikro yang menjadi
representasi dari dunia makro. Maka, begitu pulalah sistem kerja alam yang
termasuk manusia di dalamnya. Al-Quran menyatakan bahwa “tidak selembar daun
pun jatuh dari pohonnya melainkan berada dalam sistem kontrol Allah”. Lantas
bagaimana mungkin pertimbangan, pilihan dan tindakan manusia terjadi secara
melayang dan keluar dari sistem tersebut. Ini memastikan bahwa gerak manusia,
sekecil dan sesedarhana apapun, harus bersifat sistemik. Artinya, semua harus
terkoordinasikan dengan tatanan makro yang terencana rapih dan sistemik tersebut.
Sistem ini mengacu pada satu sentral yang tidak tergantung, di mana semua
tergantung kepadanya. Dia adalah Al-Ahad (satu-satunya sentral) Ash-Shamadu
(tempat bergantung semuanya) Al-Ghaniyyu (Maha tidak tergantung kepada
apapun). Sistem inilah yang mengendalikan bagaimana seorang individu bersifat
fungsional bagi yang lain. Inilah yang memungkin manusia selalu berusaha memilih
kata, sikap dan tindakan terbaik untuk orang lain.
Kaidah fungsionalisme ini sebenarnya merupakan keniscayaan dari hakikat
eksistensi manusia yang memiliki saling ketergantungan. Manusia memang
diciptakan dari ketergantungan (ﻖ ٍ َﻋﻠ َ اﻹ ْﻧ
َ ﺴﺎنَ ِﻣ ْﻦ ِ ْ َ) َﺧﻠَﻖ. Artinya, manusia memiliki
ketergantungan, baik secara biologis, sosiologis, maupun secara psikologis. Ayat
tersebut memiliki alasan yang kuat untuk ditafsirkan demikian. Antara lain, (1)
makna asli dari kata al-‘alaq adalah ketergantungan, bukan darah, (2) frasa ﻖ ٍ َﻋﻠ
َ ﻣِ ْﻦ
dapat berkedudukan sebagai keterangan sesuai dengan kaidah nahwu yang berlaku,
(3) ilmu embriologi modern menjelaskan bahwa dalam proses tersebut tidak terdapat
darah, (4) ditinjau dari hubungan kalimat atau ayat (fashal-washal) pada ayat ini
menunjukkan bahwa kalimat tersebut sedang menjelaskan eksistensi manusia yang
memiliki ketergantungan sebagai alasan (‘ilat) atas seruan َ◌ ْاﻗ َﺮأْ ِﺑﺎﺳ ِْﻢ َر ِﺑّﻚ, dan (5)
penafsiran tersebut sejalan dengan penemuan fisika modern yang menyatakan bahwa
ada adalah saling berhubungan dan saling ketergantungan. Kalau manusia mencoba
memutuskan hubungan dan saling ketergantugannya, baik saling ketergantungan
dalam dirinya sendiri maupun dengan luar dirinya, dia akan musnah dalam waktu
yang singkat.
Dalam Al-Quran, Allah Ta’ala berfirman:
sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu
lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS Az-Zukhruf, 43:32)
Ayat di atas menjelaskan bahwa potensi, kekuatan dan derajat manusia itu
berbeda-beda. Dengan adanya perbedaan tersebut diharapkan agar sebagian dari
mereka funsional secara positif bagi sebagian yang lainnya. Kehidupan bersama
yang dinamis, damai dan harmonis hanya akan terjadi apabila perbedaan-perbedaan
tersebut terjembatani dengan kerjasama di mana sebagiannya fungsional bagi
sebagian yang lainnya secara positif. Memperhatikan bunyi ayat “dan Kami telah
meninggikan sebagai mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat” ada
kecenderungan bahwa perbedaan derajat di antara manusia tersebut mencakup
perbedaan yang bersifat stuktural. Apalagi apabila dipahami dari makna penggalan
ayat berikutnya “agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain”.
Artinya, bahwa perbedaan derajat tersebut harus menjadi jembatan yang efektif
dalam memberdayakan sebagian manusia oleh sebagian yang lainnya. Perbedaan
derajat tersebut mencakup perbedaan potensi, kemampuan, kedudukan, kekuatan,
pengetahuan, keterampilan, kekuasaan, kekayaan, status soial dan lain sebagainya.
Struktur inilah yang dapat memberdayakan berbagai potensi yang dimiliki manusia
secara luas dan efektif. Keberadaan struktur merupakan kebutuhan dasar manusia.
Rasulullah saw bersabda: Apabila tiga orang bepergian, hendaklah mereka
mengangkat salah seorang daripadanya sebagai pemimpin. Selanjutnya, di antara
mereka akan terjadi pembagian tugas sesuai dengan kebutuhan dan kemungkinan
yang dimiliki oleh masing-masing anggotanya. Semakin besar perkumpulan manusia
dan semakin luas wilayah teritorialnya, semakin komplek pula permasalahannya.
Maka akan semakin luas dan variatif juga perbedaan kedudukan dan derajat yang
harus mereka kembangkan dalam mencapai cita-cita bersamanya. Inilah yang
dimaksud dengan struktur pada kaidah ini. Proses tersebut terjadi secara alami,
dalam arti sesuai dengan hukum alam yang telah Allah tetapkan. Kenyataan ini
tercakup dalam makna ayat “dan Kami telah meninggikan sebagai mereka atas
sebagian yang lain beberapa derajat” Selanjutnya Alquran pun menegaskan bahwa
perbedaan derajat tersebut diciptakan oleh Allah agar sebagian memiliki kemampuan
untuk menggunakan atau memberdayakan sebagian yang lainnya , “agar sebagian
mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain”.
Selain dari adanya perbedaan derajat, keberadaan struktur terkanndung secara
ekplisit dari makna kata “sukhriyya” (Ύ ˸ γ˵ Ύ
̒ϳή˶Ψ π˱ ό˸Α
˴Ϣ˵π
˸Ϭ ˴˴άΨ
˵ ό˸Α ˶͉ Θ
ϴ
˴ϟ˶). Dalam menafsirkan
konsep tersebut, Imam Ibn ‘Asyur setidaknya mengangkat dua makna. Pertama,
berarti sesuatu atau seseorang yang dipekerjakan secara tunduk dan patuh. Kedua
berarti sesuatu atau seseorang yang diperolok-olokan. Menurutnya, jelas bahwa
makna yang dimaksud pada ayat ini adalah makna yang pertama. Untuk menguatkan
pemilihan makna tersebut, Ibn ‘Asyur menyadur pendapat Ibn Athiyah dan Imam
Thabari yang menegaskan bahwa makna konsep tersebut adalah mempekerjakan
secara patuh. Penafsiran tersebut senada dengan penafsiran al-Alusi, dan beliau
38 Jurnal Pendidikan Agama Islam -Ta’lim Vol. 12 No. 1 - 2014
Teori Sosiologi Islam Aam Abdussalam
E. DAFTAR PUSTAKA
Abdul Baqi, Muhammad Fuad. t.th. Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al-
Karîm. t.t: Dar al-Hadîts.
Abu al-Qâsim, t.th. Al-Râgib al-Ashfahânî. “Mufradât Alfazh al-Qur’ân”. Al-
Maktabah al-Syâmilah. Damaskus: Dar al-Qalam.
Al-Khatib, Abdul Karîm. t.th. “Al-Tafsîr al-Qur’ani li al-Qur’an al-Karîm”. Al-
Maktabah al-Syâmilah. Kairo: Dar al-Fikr al-Arabî.
Al-Razî, Abu Abdillah Muhammad bin Amr. t.th. “Mafâtih al-Gaib”. Al-Maktabah
al-Syâmilah. t.t: t.p.
Al-Sa’dî, Abdurrahmân bin Nashir bin. 2000. Taisîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr
Kalâm al-Mannân. t.t. : Majma’ Malik Fahd.
Al-Thabathaba’î, Al-Allamah. t.th. “ Tafsîr al-Mîzân”. Al-Maktabah al-Syâmilah.
t.t: t.p.
Gazlaba, Sidi. 1994. Mesjid: Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka
Al-Husna.
Ibn Asyur, Muhammad Thahir. t.th. “Al-Tahrîr wa al-Tanwîr min al-Tafsîr”. Al-
Maktabah al-Syâmilah. t.t. t.p.
Johnson, Doyle Paul, 1986, Teori Sosiologi Klasik dan Modern. (terj. Robert
Lawang). Jakarta: PT Gramedia.
Kahmad, Dadang, Prof. Dr. (2006), Sosiologi Agama, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Kuntowojoyo, Dr. 1999. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana
Yogya.
Muthahhri, Murtadha, 1995. Masyarakat dan Sejarah. (terj. M. Hashem). Bandung:
Mizan.
-------, 2008. Fithrah: Menyingkap hakikat, potensi dan jati diri manusia. (terj. Afif
Muhammad. Jakarta: Penerbit Lentera.
Shihab, M. Quraish. 2001. Menyingkap Tabir Ilahi: Al-Asmâ al-Husnâ dalam
Perspektif Al-Qur’ân. Jakarta: Lentera Hati.
-----. 2006. Tafsîr al-Mishbah: Pesan. Kesan dan Keserasian al-Qur’ân. Jakarta:
Lentera Hati.
Syariati, ‘Alî. 1992. Humanisme antara Islam dan Madzhab Barat. terj. Afif
Muhamad. Jakarta: Pustaka Hidayah.