Anda di halaman 1dari 12

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Gambar 5. Lokasi Penelitian

1. Keadaan Geografis

Puskesmas Watopute merupakan pusat pelayanan kesehatan

masyarakat Kecamatan Watopute yang difungsikan sejak tahun 2013.

Berada di Kelurahan Watopute Kecamatan Watopute, dengan jarak ± 5

km dari ibu kota Kabupaten Muna.

Letak teritorial Kecamatan Watopute yaitu : Sebelah Barat

berbatasan dengan Kelurahan Dana, Sebelah Timur berbatasan dengan

Warangga, sebelah Utara berbatasan dengan Desa Bangunsari Kecamatan

Lasalepa dan sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Liabalano

Kecamatan Kontunaga.

Wilayah kerja Puskesmas Watopute terbagi dalam 5 (lima) desa

yaitu: desa Bangkali barat, desa Bangkali, desa Wali, Kelurahan

Watopute, dan desa Labaha.

38
39

2. Keadaan Demografi

Jumlah penduduk wilayah kerja Puskesmas Watopute adalah 5866

jiwa dan jumlah KK 1558 dengan rincian penduduk tiap desa dapat

dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3. Distribusi Penduduk di Wilayah Puskesmas Watopute


Kabupaten Muna
Desa/Kelurahan Jumlah penduduk
Desa Wali 1.190
Desa Bangkali barat 936
Desa Bangkali 1.536
Kelurahan Watopte 1.200
Desa Labaha 1.004
Jumlah 5.866
Sumber Data sekunder Tahun 2019

3. Ketenagaan

Ketenagaan Puskesmas Wakobalu masih kurang memadai

terutama tenaga PNS, tenaga PNS hanya 17 orang dan tenaga honorer

daerah 40 orang, tenaga pengabdi suka rela 6 orang . Dengan banyaknya

program kesehatan yang dilaksanakan di wilayah puskesmas sehingga

tenaga pengabdi di fungsikan dan bahkan masih ada petugas yang

rangkap program.

B. Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini digambarkan dengan analisis univariat dan analisis

bivariat. Analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan variabel

dependen dan variabel independen untuk memperoleh gambaran

karakteristik. Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara

indeks massa tubuh dan pola konsumsi makanan dengan Kejadian

Hiperurisemia di Puskesmas Watopute Kabupaten Muna.


40

Sampel dalam penelitian ini berjumlah 68 responden yang terdiri dari

sampel kasus yang mengalami Hiperurisemia sebanyak 34 responden dan

sampel kontrol yang tidak mengalami Hiperurisemia sebanyak 34 responden.

1. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan terhadap tiap variabel yaitu

karakteristik umur, jenis kelamin, indeks masa tubuh dan pola konsumsi

makanan dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5.

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan


Karakteristik Penelitian di Puskesmas Watopute
Kabupaten Muna
No Karakteristik Responden Kasus Kontrol
1 Umur (tahun) n % n %
40-50 24 70,6 22 64,7
51-60 8 23,5 11 32,4
61-70 2 5,9 1 2,9
2 Jenis Kelamin
Laki-laki 17 50 11 32,4
Perempuan 17 50 23 67,6
Jumlah 34 100 34 100
Data Primer, 2019

Tabel 4 menunjukan bahwa dari 34 responden kasus, umur

responden yang mendominasi adalah 40-50 tahun sebanyak 24 orang

(70,6%) dan yang paling sedikit sebanyak 2 orang (5,9%) sedangkan dari

34 responden kontrol, umur responden yang mendominasi adalah

responden yang berumur 40-50 tahun sebanyak 22 orang (64,7%) dan

yang paling sedikit adalah berumur antara 61-70 tahun sebanyak 1 orang

(2,9%) Selain itu, dari 34 responden kasus, responden yang berjenis

kelamin laki-laki dan perempuan masing-masing sebanyak 17 orang (50%)

sedangkan dari 34 responden kontrol, responden laki-laki sebanyak 11

orang (32,4%) dan perempuan sebanyak 23 orang (67,6%).


41

Tabel 5 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Variabel


Penelitian di Puskesmas Watopute Kabupaten Muna
No Karakteristik Responden Kasus Kontrol
1 Indeks Masa Tubuh n % n %
Berisiko 25 73,5 16 47,1
Tidak Birisiko 9 26,5 18 52,9
2 Pola Konsumsi Makanan
Tinggi Purin 26 76,5 15 44,1
Rendah Purin 8 23,5 19 55,8
Jumlah 34 100 34 100
Data Primer, 2019

Tabel 5 menunjukan berdasarkan indeks massa tubuh responden

bahwa dari 34 responden kasus, terdapat 25 orang (73,5%) memiliki IMT

yang berisiko (> 25,0 kg/m2) dan terdapat 9 orang (26,5%) memiliki IMT

yang tidak berisiko (IMT < 25 kg/m2) sedangkan dari 34 responden

kontrol, terdapat 16 orang (47,1%) memiliki IMT yang berisiko (> 25,0

kg/m2) dan 18 orang (52,9%) memiliki IMT yang tidak berisiko (IMT < 25

kg/m2).

Berdasarkan pola konsumsi makanan responden bahwa dari 34

responden kasus, terdapat 26 orang (76,5%) memiliki pola konsumsi

makanan yang tinggi purin dan terdapat 8 orang (23,5%) yang memiliki

pola konsumsi makanan rendah purin sedangkan dari 34 responden

kontrol, terdapat 15 orang (44,1%) yang memiliki pola konsumsi makanan

tinggi purin dan terdapat 19 orang (55,8%) yang memiliki pola konsumsi

makanan rendah purin.


42

2. Analisis Bivariat

a. Analisis Hubungan Indeks Masa Tubuh dengan Kejadian

Hiperurisemia di Puskesmas Watopute Kabupaten Muna

Analisis Hubungan Indeks Masa Tubuh dengan Kejadian

Hiperurisemia di Puskesmas Watopute Tabel 6.

Tabel 6 Analisis Hubungan Indeks Masa Tubuh dengan Kejadian


Hiperurisemia di Puskesmas Watopute Kabupaten Muna
Kejadian Hiperurisemia
95% CI
Indeks Kasus Kontrol Jumlah p
OR
Masa value
n % n % n % LL UL
Tubuh
Berisiko 25 73,5 16 47,1 41 60,3
Tidak
9 26,5 18 52,9 27 39,7 0,026 3,125 1,130 8,639
Berisiko
Jumlah 34 100 34 100 68 100
Sumber : Data Primer, 2019

Berdasarkan Tabel 6 di atas dapat diketahui bahwa dari total 68

responden yang terdiri dari responden kasus dan kontrol. Dari 34

responden kasus, terdapat 25 responden (73,5%) yang berisiko atau

IMT (>25,0 kg/m2) menderita hiperurisemia dan terdapat 9 responden

(26,5%) yang tidak berisiko atau IMT (<25,0 kg/m2) menderita

hiperurisemia sedangkan dari 34 responden kontrol, yang tidak

menderita hiperurisemia tetapi berisiko atau IMT (>25,0 kg/m2)

berjumlah 16 responden (47,1%) dan responden yang tidak berisiko

atau IMT (<25,0 kg/m2) dan tidak menderita hiperurisemia berjumlah

18 responden (52,9%).

Hasil uji statistik didapatkan p-value 0,026 (ρ<0,05). Hal ini

menunjukkan bahwa H1 diterima atau terdapat hubungan antara Indeks

Masa Tubuh dengan kejadian hiperurisemia di Puskesmas Watopute.


43

Interpretasi nilai OR 3,125 (OR > 1) yang diperoleh dari analisis uji

statistik menunjukan bahwa Indeks Massa Tubuh merupakan faktor

resiko terhadap kejadian Hiperurisemia di Puskesmas Watopute.

Analisis uji statistik dengan tingkat kepercayaan 95% berada pada

interval 1,130-8,639 menunjukan nilai antara lower limit dan upper

limit melebihi nilai 1 (satu), maka hasil analisis dinyatakan bahwa

indeks masa tubuh berhubungan dengan Kejadian Hiperurisemia di

Puskesmas Watupute dan merupakan salah satu faktor resiko yang

menyebabkan kejadian Hiperurisemia.

b. Analisis Hubungan Pola Konsumsi Makanan dengan Kejadian

Hiperurisemia di Puskesmas Watopute Kabupaten Muna

Analisis Hubungan Pola Konsumsi Makanan dengan Kejadian

Hiperurisemia di Puskesmas Watopute Kabupaten Muna Tabel 7.

Tabel 7 Analisis Hubungan Pola Konsumsi Makanan dengan


Kejadian Hiperurisemia di Puskesmas Watopute
Kabupaten Muna
Pola Kejadian Hiperurisemia
p 95% CI
Konsumsi Kasus Kontrol Jumlah OR
value
Makanan n % n % n % LL UL
Tinggi
26 76,5 15 44,1 41 60,3
Purin
Rendah 0,006 4,117 1,452 11,673
8 23,5 19 55,8 27 39,7
Purin
Jumlah 34 100 34 100 68 100
Sumber : Data Primer, 2019

Berdasarkan Tabel 7 di atas dapat diketahui bahwa dari total 68

responden yang terdiri dari responden kasus dan kontrol. Dari 34

responden kasus, terdapat 26 responden (76,5%) yang mengkonsumsi

makanan yang tinggi purin menderita hiperurisemia dan terdapat 8

responden (23,5%) yang mengkonsumsi makanan rendah purin


44

menderita hiperurisemia sedangkan dari 34 responden kontrol,

terdapat 15 responden (44,1%) yang mengkonsumsi makanan yang

tinggi purin tidak menderita hiperurisemia dan terdapat 19 responden

(55,8%) yang mengkonsumsi makanan rendah purin tidak menderita

hiperurisemia.

Hasil uji statistik didapatkan p-value 0,006 (ρ<0,05). Hal ini

menunjukkan bahwa H1 diterima atau terdapat hubungan antara pola

konsumsi makanan dengan kejadian Hiperurisemia di Puskesmas

Watopute. Interpretasi nilai OR 4,117 (OR > 1) yang diperoleh dari

analisis uji statistik menunjukan bahwa pola konsumsi makanan

merupakan faktor resiko terhadap kejadian Hiperurisemia di

Puskesmas Watopute. Analisis uji statistik dengan tingkat

kepercayaan 95% berada pada interval 1,452-11,673 menunjukan nilai

antara lower limit dan upper limit melebihi nilai 1 (satu), maka hasil

analisis dinyatakan bahwa pola konsumsi makanan berhubungan

dengan Kejadian Hiperurisemia di Puskesmas Watopute dan

merupakan salah satu faktor resiko yang menyebabkan kejadian

Hiperurisemia.

C. Pembahasan

1. Hubungan Indeks Masa Tubuh dengan Kejadian Hiperurisemia di

Puskesmas Watopute Kabupaten Muna

Kelebihan berat badan (IMT ≥ 25 kg/m2) merupakan salah satu

faktor yang menyebabkan hiperurisemia dan juga memberikan beban yang


45

berat pada penopang sendi tubuh. Seseorang dengan IMT ≥ 25 kg/m²

mempunyai risiko terhadap hiperurisemia sebesar 2,7 lebih besar

dibandingkan dengan seseorang dengan IMT ≤ 25 kg/m² karena kadar

leptin yang berfungsi untuk meregulasi kadar asam urat dalam darah

(Purwaningsih, 2010).

Berdasarkan hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi

Square didapatkan hasil ρ value 0,026< 0,05 yang artinya H1 diterima dan

H0 ditolak menunjukkan terdapat hubungan antara indeks masa tubuh

dengan kejadian Hiperurisemia di Puskesmas Watopute. Hasil analisis

bivariat menggunakan uji chi-square didapatkan Odds Ratio (95%

Confidence Interval) diperoleh nilai OR hitung = 3,125 (nilai OR > 1)

pada interval 1,130-8,639, hal ini menunjukkan bahwa indeks masa tubuh

merupakan faktor resiko terhadap Kejadian Hiperurisemia di Puskesmas

Watopute.

Menurut Sutanto (2013), orang yang obesitas memiliki risiko

empat kali lebih mudah terserang penyakit asam urat dari pada orang yang

memiliki IMT yang normal, akan tetapi faktor yang sangat berpengaruh

dan berisiko terjadi hiperurisemia adalah kadar kreatinin dan tekanan

darah. Kadar kreatinin ≥ 1,2 mg/dl memiliki risiko terserang hiperurisemia

5,1 kali dibandingkan dengan orang yang kadar kreatininnya < 1,2 mg/dl

dan tekanan darah ≥140/90 mmHg memiliki risiko terserang hiperurisemia

5,2 kali dibandingkan dengan orang yang tidak menderita peningkatan

tekanan darah.
46

Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Listri

(2014) yang menunjukan bahwa nilai 0,018 (<0,05) maka hipotesi Ha

diterima, artinya ada hubungan indeks massa tubuh dengan hiperurisemia

pada usia dewasa di Dusun Daleman Gadingharjo Sanden Bantul. Indeks

massa tubuh melebihi normal (overweight) maka timbunan lemak dalam

tubuh meningkat. Lemak akan dibakar menjadi kalori akan meningkatkan

keton darah (ketosis) yang akan menghambat pembuangan asam urat

melalui urin sehingga menyebabkan kadar asam urat dalam darah

meningkat (hiperurisemia). Semakin tinggi IMT sesorang dapat

meningkatkan terjadinya hiperurisemia.

Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Aldhi (2016) yang menunjukan bahwa Indeks massa tubuh (IMT)

merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya hiperurisemia pada

responden dengan melihat nilai CI (95%) yang melebihi angka 1 yaitu

5,318 – 24,382. Nilai Odds Ratio membuktikan bahwa responden yang

memiliki status gizi overweight memicu terjadinya hiperurisemia yaitu

sebesar 11,387. Pada lansia yang memiliki status gizi overweight lebih

beresiko 11,387 kali lebih besar dibandingkan dengan sampel yang

memiliki status gizi normal ataupun kurus. Pada orang yang overweight

(IMT > 25 kg/m²), kadar leptin dalam tubuh akan meningkat hal ini

berbeda dengan IMT kurus yang kadar leptin tidak akan meningkat. Leptin

merupakan protein dalam bentuk heliks yang disekresi oleh jaringan


47

adipose. Peningkatan kadar leptin seiring dengan meningkatnya kadar

asam urat dalam darah (Choi et all, 2008 dalam Aldhi,2016)

2. Hubungan Pola Konsumsi Makanan dengan Kejadian Hiperurisemia

di Puskesmas Watopute Kabupaten Muna

Penyakit asam urat masih menjadi masalah kesehatan yang penting

di Indonesia. Penyakit asam urat menjadi penyebab sendi tidak bisa

berfungsi semestinya. Timbulnya penyakit asam urat lebih disebabkan

oleh pola hidup yang tidak sehat, tidak seimbangnya antara pola konsumsi

dan aktivitas fisik. Konsumsi pangan merupakan faktor utama dalam

memenuhi kebutuhan status gizi untuk menyediakan tenaga bagi tubuh,

mengatur metabolisme dalam tubuh dan memperbaiki jaringan tubuh.

Melalui gizi yang baik, usia produktif mereka dapat ditingkatkan sehingga

tetap dapat ikut serta berperan dalam pembangunan(Sutanto,2013).

Berdasarkan hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi

Square didapatkan hasil ρ value 0,006< 0,05 yang artinya H1 diterima dan

H0 ditolak menunjukkan terdapat hubungan antara pola konsumsi makanan

dengan kejadian Hiperurisemia di Puskesmas Watopute. Hasil analisis

bivariat menggunakan uji chi-square didapatkan Odds Ratio (95%

Confidence Interval) diperoleh nilai OR hitung = 4,117 (nilai OR > 1)

pada interval 1,452-11,673, hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi

makanan merupakan faktor resiko terhadap kejadian Hiperurisemia di

Puskesmas Watopute.
48

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Imran

(2015) yang menunjukan bahwa ada hubungan antara pola makan dengan

kejadian penyakit gout arthritis di RSUD Toto Kabila Kabupaten Bone

Bolango dimana didapatkan X2 hitung = 4,356 pada taraf signifikansi α =

0,05, derajat kebebasan (df) = 1, dan X2 tabel = 3,481. Nilai Odds Ratio

menunjukkan nilai 4,136, artinya bahwa mereka yang pola makannya tidak

baik berisiko 4,1 kali untuk menderita penyakit gout arthritis dari pada

mereka yang pola makannya baik. Produksi asam urat meningkat akibat

asupan eksogen yang berlebih dapat disebabkan tingginya asupan makanan

yang kaya akan purin seperti daging dan hidangan laut.

Penelitian Kusmayanti (2015) menunjukan bahwa salah satu faktor

penyebab hiperurisemia adalah konsumsi bahan makanan mengandung

purin tinggi atau sekitar >1000 mg/hari. Asupan makanan tinggi purin,

tingkat konsumsi purin dan serta frekuensi konsumsi bahan makanan

sumber purin signifikan terhadap kejadian hiperurisemia. Diketahui bahwa

sebagian besar subjek rendah mengonsumsi makanan sumber purin,

hampir sebagian besar (96,6%) subjek mengonsumsi purin 100-500

mg/hari. Hanya 3,4% subjek gemar mengonsumsi makanan sumber purin.

Baik pria maupun wanita tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam

konsumsi makanan sumber purin (p>0,05).

Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Lestari (2014) menunjukan bahwa ada hubungan antara konsumsi

makanan sumber purin dengan kadar asam urat pada wanita usia 45-59
49

tahun di Desa Sanggarahan Kecamatan Kranggan Kabupaten

Temanggung. Asupan purin yang tinggi seperti konsumsi daging dan

seafood juga terbukti sebagai faktor risiko yang berhubungan dengan

tingginya prevalensi hiperurisemia.

Hiperurisemia bisa timbul akibat produksi asam urat yang

berlebihan dan pembuangan asam urat yang berkurang. Faktor yang

menyebabkan hiperurisemia adalah produksi asam urat di dalam tubuh

meningkat terjadi karena tubuh memproduksi asam urat berlebihan

penyebabnya antara lain adanya gangguan metabolisme purin bawaan

(penyakit keturunan), berlebihan mengkonsumsi makanan berkadar purin

tinggi, dan adanya penyakit kanker atau pengobatan (kemoterapi) serta

pembuangan asam urat sangat berkurang keadaan ini timbul akibat dari

minum obat (anti TBC, obat duretik/HCT, dan salisilat), dalam keadaan

kelaparan (Soekamto, 2012).

D. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk lihat hubungan antara indeks massa

tubuh dan pola kunsumsi makanan dengan kejadian hiperurisemia di

Puskesmas Watopute. Dengan keterbatasan variabel dalam penelitian ini,

maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan variabel berbeda

seperti riwayat mengkonsumsi alkohol dan gangguan metabolik lain.

Anda mungkin juga menyukai