Anda di halaman 1dari 4

REVIEW BAB 5 BUKU LAUT DAN MASYARAKAT ADAT MENGENAI

TRANSFORMASI SEKE DAN TULUDE DI DESA KAWALUSO SULAWESI UTARA

Yuta Tri Waskita/ 13030119130073

Buku yang berjudul Laut dan Masyarakat adat ini, merupakan buku
terbitan Kompas pada tahun 2017 dibawah bimbingan dan arahan Kementrian
kelautan, dan perikanan. Buku ini, berisi bab yang berbeda-beda. Tiap bab juga
memiliki penulisyang bebrbeda. Dalam review ini, bab yang akan di review
adalah bab 5. Bab ini, berjudul Transformasi Seke dan Tulude di Pulau
Kawaluso, yang ditulis oleh Nur Hannah dkk. Bab ini, terdiri dari 3 sub bab,
yang terbagi dalam 30 halaman. Bab ini, secara garis besar menceritakan
perubahan upacara adat Tulude di pulau Kawaluso Sulawesi utara pada masa
moderen sekarang, yang disebabkan oleh kekurangan dana untuk
melaksanakan upacara tersebut. Perubahan ini, juga menyebabkan perubahan
dan transformasi Aturan Sosial Pulau Pada bab ini juga dijelaskan bentuk
perubahan dan kearifan-kearifan lokal masyarakat pulau, dalam hal menjaga
laut mereka dari kerusakan dan eksploitasi yang berlebihan. Salah satunya
adalah dengan metode seke, yakni metode penangkapan tradisonal
masyarakat Kawaluso. Metode ini. Sudah tak dijalanan sejak 1960. Pada
pembahasanbab ini, akan mengurai benang merah mengenai transformasi
Seke dan Tulude serta aturan-aturan sosial masyarakat Kawaluso dan
penyesuasian nya pada abad ke 21 sekarang.

Pada sub bab yang pertama, buku ini menjelaskan kondisi alam desa
Kawaluso di Sulawesi Utara, baik dari pembagian administratif, letak koordinat,
pendidikan, dan bagaimana cara mencapai ke desa tersebut atau akamodasi
Akan tetapi, mengenai kondisi alam desa ini dalam subab pembuka malah
kurang dijabarkan. Pada susbab ini, penulis lebih fokus terhadap potensi desa
dan gambaran umum, yang bisa dibilang terlalu umum. Pada poin ke 2 subab 1
ini, disebutkan juga mengenai wisata bahari bawah laut 1 yang dimiliki oleh
kepulauan Sangihe, namun hal tersebut hanya disebutkan saja dan tak
dijelaskan lebih lanjut dalam poin maupun subab selanjutnya. terlepas dari
kekurangan nya, subab 1 ini sudah mulai memberi penjelasan yang cukup
untuk sekedar mengetahui profil pulau Kawaluso secara umum, dari gambaran
umum nya, Sarana dan prasarana, serta potensi yang dimiliki.

Bahasan dari subbab yang ke dua adalah mengenai profil masyarakat


pualu kawaluso. Pada subab ini, penulis telah menjelaskan secara cukup detil
terhadap komposisi penduduk desa dari segi pendidikan, agama, status sosial,
ekonomi, serta adat dan istiadat nya. akan tetapi, dalam beberapa hal seperti
agama, kurang jelas dalam membagi perbedaan agama yang ada. Dalam buku
tertulis, mayoritas agama penduduk adalah Kristen, akan tetapi tak dijabarkan

1
Spot bawah lau favori adalah Gunung Api Banuawuhu yang sudah tak aktif dan hanya ada 2 di dunia
(Spot Diving Gunung Api Bawah Laut Hanya Ada Dua di Dunia, Salah Satunya di Kepulauan Sangihe,
tribun-bali.com. 2018. Akses 1 desember 2020)
lebih lanjut dari denominasi apa2. Subbab dua ini, berjudul profil Masyarakat
Pulau Kawaluso, akan tetapi, setelah ditelisik lebih lanjut, subbab ini lebih
banyak membahas hal ikhwal ekonomi masyarakat. Hal ini dapat dilihat dengan
begitu rinci ya bahasan pada poin ekonomi. Kekurangan lain yang ada pada
subbab ini adalah tidak penjelasan yang dikemukakan secara detil mengenai
alasan perubahan tradisi Tulude, yang terjadi karena kekurangan dana.
Terlepas dari kekurangan tersebut, penjabaran kegiatan ekonomi dan potensi
ekonomi pulau tersebut, sudah lengkap, dan disertai dengan berbagai data
pendukung seperti laporan tabel, hasil wawancara, foto-foto komoditas
unggulan seperti cengkeh, kopra, dan tempat-tempat aktifitas ekonomi
masyarakat. Dalam penjabaran pada bidang ekonomi pun, terdapat rata-rata
penghasilan yang dihasilkan oleh masyarakat, dalam sekali melaut atau panen.
Dari poim ke 4 subab 2 ini, juga diketahui bahwa pulau Kawaluso, merupakan
penghasil rempah-rempah seperti Biji Pala, dengan tiga macam kualitas yakni
A, B, dan C, serta cengkeh, sebagai mana layak nya daerah lain di Sulawesi
Utara3.

Sebagai pembuka, subbab 3 ini, menjelaskan mengenai aturan dan


kegiatan adat yang masih dijalankan oleh masyarakat Kawaluso. Aturan dan
kegiatan adat tersebut meliputi antara lain Peneglolaan SDA, Kesenian, dan
Sosial Lingkungan. Pembuka subbab ini juga menyebutkan transformasi yang
dialami oleh kegaiatn adat diatas. Pada subbab in, juga disebutkan mengenai
asal usul masyarakat desa, akan tetapi kurang dijelaskan secara lebih rinci. Hal
tersebut dirasa cukup, karena mengingat bahasan utama dari subab ini adalah
transformasi Seke, Tulude, dan Aturan Sosial masyarakat Kawaluso. Seke
sendiri, merpakan kearifan masarakat Kawaluso dalam menangkap ikan.
Dalam bab ini, dijelaskan hal-hal yang cukup terperinci mengenai seke yang
masih dilakukan oleh masyarakat Kawaluso.

Seke sendiri, diperkirakan masuk ke Kawaluso sekitar tahun 1900 an.


Akan tetapi, dalam bab ini, tak dijelaskan lebih lanjut mengenai sejarah dan
perkembangan Seke di Kawaluso. Perkembangan nya, disebutkan dalam bab
ini terhenti pada tahun 1960, akan tetapi tanpa disebutkan mengapa. Selain itu,
tokoh-tokoh yang berhubungan dengan masuk nya tradisi seke ini juga tak
dijelaskan atau bahkan disebutkan sekilas. Mengenai asal usul Seke dalam bab
ini, benar-benar buta dan tak dijelaskan secara detil. Dalam subbab ini, hanya
dijelaskan Seke diperkenalkan oleh pendatang di desa Kawaluso,tanpa
menyebutkan pendatang itu siapa dan dari mana. Seke sendiri, dalam praktik
sehari-hari nya menggunakan bahan bambu, kayu, dan daun kelapa. Tiga
bahan ini, nantinya akan digunakan untuk membuat bagian-bagian dari seke

2
Denominasi Mayoritas di Sulawesi utara adalah Gereja Masehi Injil Minahasa atau GMIM (Sejarah
Singkat GMIM, https://www.gmim.or.id/. 2018. Akses 1 Desember 2020)
3
Produksi cengkeh Menurut provinsi di Indonesia 2016-2020, www.pertanian.go.id. Akses 5 desember
2020
yakni Pandihe atau anyaman bambu persegi panjang, kahuang atau tiang kayu,
dan Elise atau daun kelapa yang diikatkan pada tali seke.

Dalam penggunan seke ini, penulis menjelaskan hal yang sangat detil
baik dari cara pemakaian, dan sketsa alat ini. Penulis, dirasa sudah cukup baik
dalam menjabarkan cara pakai, dan fungsi seke ini. Penulis jiga secara detil
menjelaskan pembagian hasil tangkapan dari seke ini, sesuai kepemilikan
seke, dan status. Seperti, anggota keluarga, tugas, dan jumlah mereka dalam
menangkap ikan menggunka seke ini. Bahkan, saking detil nya, penulis juga
menjelaska jumlah tenaga yang dibutuhkan untuk menggunakan seke ini.
Tenaga yang dibutuhkan berjumlah 50 orang, dengan pembagian tugas
mengatur seke saat di air dan menarik nya keluar ketika sudah mendapatkan
hasil. Dalma pembagian tugas ini, anak-anak juga dilibatkan, akan tetapi harus
didaluhi dengan tes menyelam. Siapa yang bisa menyelam hingga dasar, akan
diberikan bagian yang lebih banyak dari pada yang di darat. Dalam parktik
penangkapan menggunakan seke, juga dikenal istilah buka sasi dan tutup sasi.
Dalam bab ini, penulis menjelaskan dengan detail mengenai aturan buka tutup
sasi ini, dan peran kepala adat dan Pendeta dalam membuak, dan menutup
sasi. Dalam bab ini, disebutkan seke mulai ditinggalkan karena moderenisasi
yang terjadi. Hal ini juga melunturkan nilai dan semangat gotong royong
masyrakat. Hingga kini, penggunaan seke hanya tersisa 1 atau 2 nelayan saja.

Untuk transformasi Tulude sendiri, sama seperti seke asal usul nya juga
tak dijelaskan sama sekali dalam bab ini oleh penulis. Tulude sendiri,
diperkirakan masuk ke Kawaluso sekitar tahun 1900 an. Akan tetapi, dalam bab
ini, tak dijelaskan lebih lanjut mengenai sejarah dan perkembangan Tulude di
Kawaluso. Selain itu, tokoh-tokoh yang berhubungan dengan masuk nya tradisi
Tulude ke Kawaluso ini juga tak dijelaskan atau bahkan disebutkan sekilas.
Mengenai asal usul Tulude dalam bab ini, benar-benar buta dan tak dijelaskan
secara detil. Dalam subbab ini, hanya dijelaskan Tulude diperkenalkan oleh
pendatang di desa Kawaluso, tanpa menyebutkan pendatang itu siapa dan dari
mana, sama hal nya dengan Seke4.

Kawaluso sendiri, tadinya merayakan upacara Tulude pada hari jadi


Kabupaten Sangihe yakni 31 Januari. Akan tetapi seiring berjalann nya waktu,
lambat laun semua kecamatn di Kabupaten Sangihe sudah tak merayakan
acara ini lagi, yang disebabakan oleh kekurangan dana. Akan tetapi, dalam
keterangan nya, penulis tak menjabarkan secara lebih rinci lagi mengenai hal
ikhwal kekurangan dana ini. Kawaluso, berhenti merayakan sejak 2010, akan
tetapi kembali merayakan namun tanggal nya diganti yang tadi nya 31 Januari
menjadi 25 Desember, dan dengan cara yang lebih sederhana lagi. Hal ini
dikarenakan alasan tadi yaitu kekurangan dana. Dalam penjabaran nya, penulis
tak menjelaskan tahun mulai nya Tulude setelah berhenti, serta acara yang
dilakukan dalam Tulude sebelum berhenti tersebut. Kekurangan ini,
menyebabkan pembaca tidak mengetahui acara dan ritual yang dilakukan

4
Diperkirakan sudah dianut sekitar atau 6 abad yang lalu (Djakaria, Salmin. 2018: 4)
sebelum TUlude berhenti karena masalah dana. Dijelaskan dalam bab ini,
kegiatan Tlude dilakukan pada tanggal 25 Desember dengan cara verkeliling
kampung, dan mengumandangkan alat musik tradisional. Sayang nya, jenis
alat musik yang dipakai tak disebutkan dalam bab ini. Tulude sendiri, bagi
masyarakat Kawaluso, berguna sebagai rasa syukur terhadap datang nya akhir
tahun. 5

Terlepas dari kekurangan bab ini secara keseluruhan, bab ini telah
berhasil menejlaskan perubahan-perubahan yang dialami oleh tradisi Tulude
yang mana merupakan hal terpenting bagi masyarakat kawaluso dan
merupakan warisan budaya mereka. Bab ini, menurut hemat saya, juga dapat
dijadikan sebagai rujukan dan dasar dalam menulis kebudayaan masyarakat
Kawaluso, tinggal nanti peneliti selanjutnya, memperluas dan melengkapi
bahasan-bahasan yang masih dianggap kurang pada bab ini, seperti Bentang
alam nya, Wisata Bawah Laut, Transformasi Ritual Tulude sebelum berhenti,
dan beberapa poin lain nya. sebagai sebuah buku bab untuk memberi
pengetahuan bagi masyarakat umum dan dalam rangka mengkonservasi
kekayaan budaya bahari, bab ini dirasa sudah cukup, dan sudah seirama
dengan tujuan penulisan nya yaitu Nawa Cita program pemerintahan Presiden
Jokowi.

Daftar Pustaka

1. Spot Diving Gunung Api Bawah Laut Hanya Ada Dua di Dunia, Salah Satunya di
Kepulauan Sangihe, tribun-bali.com. 2018. (Akses 1 desember 2020)
2. Sejarah Singkat GMIM, https://www.gmim.or.id/. 2018. (Akses 1 Desember 2020)
3. Produksi cengkeh Menurut provinsi di Indonesia 2016-2020, www.pertanian.go.id.
Akses 5 desember 2020
4. Djakaria, Salmin, “Analisa Hermeneutik Pada Teks Tata Upacara Tulude Dwarga
Diaspora Sangihe Di Desa Serei”, Jurnal HOLISTIK no 21. 2018, hal 4-6

5
Ibid. hal:5-6

Anda mungkin juga menyukai