Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Manusia memiliki hubungan timbal balik dengan lingkungan dalam hal ini
menitikberatkan pada interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Kejadian
penyakit merupakan hasil hubungan interaktif antara penduduk dengan
lingkungan yang memiliki atau mengandung potensi bahaya yang menimbulkan
gangguan kesehatan, salah satunya adalah penyakit yang ditularkan melalui
vektor. Mewabahnya penyakit yang disebabkan oleh vektor itu diakibatkan oleh
kondisi lingkungan yang buruk (Anies, 2006).
Kondisi faktor lingkungan fisik seperti adanya perubahan iklim,
pencahayaan yang kurang, kelembaban yang tinggi, kondisi lingkungan
disekitar rumah yang buruk menyebabkan perkembangbiakan vektor semakin
meningkat, salah satunya adalah penyakit demam Chikungunya. Disamping
kasus demam berdarah yang merebak di sejumlah wilayah Indonesia dan
penderitanya semakin banyak, masyarakat direpotkan pula dengan kasus
Chikungunya. Demam Chikungunya banyak ditemukan di daerah – daerah
beriklim tropis dan subtropis. Penyakit ini tidak menimbulkan kematian tetapi
apabila mewabah dapat menimbulkan kerugian karena akan menurunkan
produktivitas individu (Anies, 2006)
Demam chikungunya merupakan penyakit yang disebabkan oleh arbovirus
yang ditransmisikan oleh nyamuk Aedes. Penyakit ini pertama kali tercatat
dalam bentuk wabah di nama chikungunya ini sebenarnya berasal dari dialek
‘makonde’ yang berarti ‘yang membungkuk’, yang mengindikasikan gambaran
fisik dari pasien dengan penyakit yang berat. Penyakit ini dilaporkan terjadi di
negara-negara Afrika selatan dan timur, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan pada
tahun 2007 ditemukan juga di Itali. Di regio Asia tenggara, wabah Chikungunya
pernah dilaporkan terjadi di India, Indonesia, Maldiva, Myanmar, Sri Lanka,
dan Thailand. Terdapat banyak wabah yang besar dari demam chikungunya
dalam beberapa tahun di India, dan juga di negara kepulauan Samudera Hindia.
Maldiva melaporkan wabah Chikungunya pertama kali pada bulan Desember
2006. Meskipun bukan penyakit yang mematikan, angka morbiditasnya yang
tinggi dan poliartritis yang memanjang menyebabkan kecacatan yang besar
dalam populasi yang terkena dan dapat memberikan dampak pada bidang
sosioekonomi suatu negara (Widoyono, 2008; Powers A dan Logue CH, 2008).
Infeksi chikungunya ini dimulai dengan periode inkubasi yang singkat
selama 2-4 hari. Dimana dalam waktu kira-kira 48 jam setelah digigit nyamuk
yang membawa virus, pasien akan mengalami demam tinggi yang mendadak
dengan diikuti menggigil. Beberapa pasien juga menunjukkan adanya ruam
makulopapuler di badan, tungkai, dan wajah. Hal ini terjadi selama 3 – 4 hari.
Biasanya pasien juga merasakan mialgia dan arthralgia yang berat. Nyeri sendi
ini biasanya dimulai pada pada sendi kecil pada tangan dan kaki, pergelangan
tangan dan kaki, dan kemudian pada sendi besar. Gejala non-spesifik lainnya
dapat meliputi sakit kepala, fotofobia ringan dan insomnia (Gilles P, Bernard-
AG, Stéphane J, et al, 2007).
Di Indonesia, demam Chikungunya dilaporkan pertama kali di Samarinda
tahun 1973. Kemudian berjangkit di Kuala Tunkal, Jambi tahun 1980. Tahun
1983 merebak di Martapura, Ternate dan Yogyakarta. Setelah vakum hampir 20
tahun, awal 2001 terjadi kejadian luar biasa (KLB) demam Chikungunya terjadi
di Muara Enim, Sumatera Selatan dan Aceh, disusul Bogor bulan Oktober.
Setahun kemudian, demam Chikungunya berjangkit lagi di Bekasi (Jawa Barat),
Purworejo dan Klaten (Jawa Tengah) tahun 2002. Jumlah kasus Chikungunya
yang terjadi sepanjang tahun 2001-2003 mencapai 3.918 kasus tanpa kematian
(Suharto, 2007).
Demam chikungunya tidak mengakibatkan kematian. Manifestasi terberat
yang ditemukan pada anak (jarang) antara lain adalah kejang demam,
perdarahan dan syok. Pada anak yang lebih besar, demam biasanya diikuti rasa
sakit pada otot dan sendi serta terjadi pembesaran KGB (kelenjar getah bening).
Pada orang dewasa rasa nyeri sendi dan otot sangat dominan sehingga
menimbulkan kelumpuhan sementara akibat nyeri bila berjalan. Kadang-kadang
timbul mual sampai muntah. Dengan kata lain seseorang yang menderita
penyakit ini dapat terganggu kenyamanan serta aktivitas sehari-harinya
(Suharto, 2007).
Belum tercatat di Indonesia adanya laporan kematian yang disebabkan oleh
Chikungunya, namun pada tahun 2005 – 2006 di pulau Reunion telah
dilaporkan sebanyak 200 orang meninggal yang dihubungkan dengan
Chikungunya dan KLB yang tersebar luas di India. 125 kematian dihubungkan
dengan chikungunya yang terjadi di India Selatan, lebih spesifiknya bagian
Kerala (Widoyono, 2008).
Tidak ada vaksin atau pengobatan khusus untuk melawan infeksi ini.
Untungnya penyakit ini dapat sembuh sendiri. Terapi dengan antipiretik dan
obat antiperadangan non steroid digunakan untuk mengendalikan demam dan
nyeri sendi. Demam biasanya menghilang setelah 2 – 3 hari. Nyeri otot dan
sendi dapat menetap sampai hari ke 5 – 7 namun pada beberapa kasus dapat
lebih lama lagi. Pasien dengan usia lanjut biasanya mengalami nyeri sendi dan
otot selama beberapa bulan (Widoyono, 2008).
Cara terbaik untuk mencegah terjadinya penyakit ini adalah dengan
mencegah penyebaran virus dengan mengendalikan vektornya. Yaitu dengan
mengeliminasi tempat perkembangbiakan nyamuk (I-C Sam, MRC Path, S Abu
Bakar, 2006).
I.2. Tujuan dan Manfaat
1.2.1. Tujuan
1. Tujuan Umum
Memaparkan materi mengenai chikungunya disertai gambaran
kasusnya, yang difokuskan pada definisi, epidemiologi, etiologi,
patogenesis dan patofisiologi, manifestasi klinis, penegakan
diagnosa, penatalaksanaan, edukasi, serta prognosis dan pencegahan
penyakit demam Chikungunya.
2. Tujuan Khusus
a. Menjelaskan definisi dari demam chikungunya
b. Memaparkan epidemiologi demam chikungunya secara global
maupun lokal
c. Menerangkan etiologi dari demam chikungunya, serta
menjelaskan patogenesis dan patofisiologi dari penyakit demam
Chikungunya
d. Memberikan penjelasan mengenai manifestasi klinis serta
penegakan diagnosa dari demam cikungunya
e. Memaparkan penatalaksanaan yang diperlukan dalam
menghadapi kasus demam Chikungunya
f. Menerangkan edukasi yang diperlukan, serta prognosis maupun
pencegahan penyakit demam cikungunya.
1.2.2. Manfaat
1. Bagi penulis
a. Menjadi bahan pembelajaran pribadi terkait materi yang dibahas
b. Menambah pengalaman dalam menyusun karya tulis ilmiah
c. Menjadi sumber pengetahuan dalam mengenali kasus demam
Chikungunya.
2. Bagi Mahasiswa P3D
Menjadi bahan pembelajaran bersama, khususnya dalam mengenali
berbagai aspek penting yang terkait dengan demam Chikungunya.
3. Bagi Institusi
Menjadi tambahan kepustakaan bagi Institusi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi dan Etiologi


Demam chikungunya merupakan penyakit yang disebabkan oleh arbovirus
yang ditransmisikan oleh nyamuk Aedes. Penyakit ini pertama kali tercatat
dalam bentuk wabah dimana secara terminologi chikungunya sebenarnya
berasal dari bahasa Swahili (dialek “makonde”) berdasarkan gejala pada
penderita, yang berarti (posisi tubuh) “Orang yang jalannya membungkuk dan
menekuk lututnya”, (that which contorts or bends up), mengacu pada postur
penderita yang membungkuk akibat nyeri sendi hebat (arthralgia) (Erin J S,
Robert FB, dan Ann M.P, 2009).
Etiologi dari demam chikungunya tidak lain adalah virus chikungunya
(CHIKV), yang disebut juga Buggy Creek virus. Istilah Chikungunya digunakan
untuk menamai virus yang pertama kali diisolasi dari serum darah penderita
penyakit tersebut pada tahun 1953 saat terjadi KLB di negara tersebut. Virus ini
termasuk dalam genus Alphavirus dari famili Togaviridae. Selain virus
chikungunya, terdapat juga anggota Alphavirus lainnya yang dapat
menyebabkan demam, ruam, dan artralgia, seperti virus O’nyong-nyong,
Mayaro, Barmah Forest, Ross River, dan Sindbis. Virus chikungunya paling
dekat hubungannya dengan virus O’nyong-nyong, meskipun secara genetik
berbeda (Depkes 2012; Erin J S, Robert FB, dan Ann M.P, 2009).
Virus chikungunya terdiri dari 1 molekul single strand RNA (sehingga
termasuk virus RNA rantai tunggal), yang dibungkus oleh membran lipid,
berbentuk spherical dan pleomorphic,dengan diameter ± 70 nm. Pada
permukaan envelope didapatkan glikoprotein, yang terdiri dari 2 protein virus
berbentuk heterodimer. Nucleocapsid virus ini isometrik dengan diameter 40
nm.1 Sekuens genom lengkapnya terdiri dari 11.805 nukleotida. Terdapat tiga
antigen dan genotip yang berbeda yang berhasil diidentifikasi: dua kelompok
filogenetik dari Afrika dan satu dari Asia. Strain virus Chikungunyayang
diisolasi di India selama wabah tahun 2006 sangat dekat dengan strain yang
diisolasi di pulau Réunion pada tahun yang sama (WHO, 2008).
Virus Chikungunya tidak tahan panas dan sensitif terhadap suhu lebih dari
58oC. Virus dapat menyerang manusia dan hewan, serta berkembangbiak dalam
sitoplasma sel inangnya, menyerang semua usia, baik anak-anak maupun
dewasa. Virus ini pertama kali diisolasi pada tahun 1952-1953 keduanya dari
manusia dan nyamuk selama epidemi demam yang secara klinis sulit dibedakan
dari demam dengue di Tanzania. Virus ini berpindah dari satu penderita ke
penderita lain melalui gigitan nyamuk, terutama dari genus Aedes, seperti
Aedes aegypti (WHO, 2008).
Nyamuk Aedes aegypti (yang juga menularkan demam dengue dan demam
kuning) merupakan vektor utama untuk demam chikungunya. Virus yang
ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti ini akan berkembang biak di dalam tubuh
manusia. Aedes aegypti merupakan vektor yang bertanggung jawab terhadap
transmisi dalam lingkungan perkotaan sedangkan Aedes albopictus bertanggung
jawab terhadap penyebaran penyakit ini dalam pedesaan. Penelitian yang
terbaru menunjukkan bahwa virus ini teah bermutasi sehingga dapat
ditransmisikan oleh Aedes albopictus. Nyamuk Aedes berkembang biak dalam
lingkungan rumah seperti di vas bunga, tempat penyimpanan air, pendingin
udara, dan lain-lain. Serta di luar rumah seperti lokasi pembangunan, tempurung
kelapa, brang-barang rongsokan (ban bekas, lastik, dan kaleng-kaleng, dan lain-
lain). Nyamuk betina dewasa beristirahat di daerah yang dingin dan gelap di
lingkungan rumah maupun di luarnya dan hanya menggigit di siang hari (Eppy,
2008).
2.2. Epidemiologi
Demam Chikungunya banyak ditemukan di daerah – daerah beriklim tropis
dan subtropis, terutama daerah urban di Asia, India, Afrika Timur. Penyakit ini
menimbulkan epidemi di wilayah tropis Asia dan Afrika sejak diidentifikasi
tahun 1952 – 1953 di Afrika Timur. Sejak 1954, virus menyebabkan epidemi di
negara-negara Asia termasuk Filipina, Thailand, Cambodia, India, Birma, dan
Sri Lanka. Terjangkitnya penyakit Chikungunya erat kaitannya dengan migrasi
dan musim (Suharto, 2007).
Dibeberapa negara, Chikungunya dianggap sebagai penyakit ”emerging”
dan ”re-emerging”, yakni penyakit yang keberadaannya sudah ada sejak lama
tetapi kemudian muncul kembali. Dari sejarah diduga KLB Chikungunya
pernah terjadi pada tahun 1779 di Batavia (Jakarta) dan Kairo; 1823 dan 1870 di
Zanzibar; 1824, 1871 dan 1901 di India; 1923 di Calcuta, Madras dan Gujarat
(Depkes 2012). Pada tahun 1779, di Batavia pernah dilaporkan penyakit yang
mirip dengan gejala chikungunya yang dikenal dengan nama penyakit knucle
fever. Pada tahun yang sama di Kairo, dilaporkan kasus dengan gambaran
hampir sama yang dikenal dengan istilah knee trouble, dan pada tahun 1923 di
Calcuta, Madras dan Gujarat sebuah penyakit dengan gambaran serupa (dikenal
dengan nama scarletina rhematica) juga dilaporkan (Adriyani S, 2012).
Wabah signifikan Chikungunya di perkotaan pertamakali berhasil
didokumentasi pada tahun 1960 di Bangkok dan dari 1963 – 1973 di India
(Shah KV, Gibbs CJ, dan Banerjee G, 1964; Padbidri VS, dan Gnaneswar TT,
1979). Wabah minor kemudian secara periodik muncul sepanjang 30 tahun
kemudian, namun tidak ada wabah mayor yang terekam hingga tahun 2004, saat
epidemi luas dimulai di pesisir pantai Kenya. Wabah ini memulai periode 4
tahun dimana virus chikungunya (CHIKV) menyebar ke berbagai pulau di
samudera hindia, India dan beberapa bagian Asia tenggara (Sergon K, Yahaya
AA, Brown J, et al, 2007; Chretien JP, Linthicum KJ, 2007). Sebagai tambahan,
sedikitnya 18 negara Asia lainnya, Eropa dan Amerika Utara
mendokumentasikan kasus demam Chikungunya yang berasal dari luar, dan
beberapa dari negara ini mengembangkan terjadi transmisi lokal virus tersebut
(Powers AM, Logue CH, 2007).
Studi epidemiologi molekular terhadap strain yang bertanggung jawab
terhadap wabah ini mengindikasikan bahwa virus tersebut berasal dari Kenya
(Kariuki Njenga M, Nderitu L, Ledermann JP, et al, 2008; Arankalle VA,
Shrivastava S, Cherian S, et al, 2007). Mulai tahun 2004, Kenya mengalami 2
gelombang wabah demam Chikungunya. Wabah pertama di Lamu
menghasilkan 13.500 kasus, yang merepresentasikan >70% populasi di pulau
tersebut (Sergon K, Njuguna C, Kalani R, et al, 2008). Awalnya wabah ini
dianggap sebagai malaria, namun sebenarnya, test membuktikan bahwa CHIKV
adalah penyebabnya. Beberapa bulan setelah wabah di Lamu, wabah kedua
muncul di kota Mombasa.
Wabah yang sebelumnya terjadi di Afrika jarang diikuti penyebaran
penyakit di luar kontinen Afrika. Namun demikian, di Januari 2005, sebuah
wabah yang menyerupai dengue dideteksi di Komoro. Selama beberapa bulan
kemudian, wabah di pulau tersebut menyebabkan 63% populasi terinfeksi
dengan CHIKV, mengindikasikan bahwa sejumlah 225.000 infeksi telah
muncul. Investigasi entomologis mendeteksi CHIKV dalam nyamuk aedes
aegypti (Sergon K, Yahaya AA, Brown J, et al, 2007; Sang RC, Ahmed O, Faye
O, et al, 2005).
Virus Chikungunya menjadi endemis di wilayah Asia Tenggara sejak tahun
1954. Pada akhir tahun 1950 dan 1960 virus berkembang di Thailand, Kamboja,
Vietnam, Manila dan Burma. Tahun 1965 terjadi KLB di Srilanka. Di
Indonesia, KLB penyakit Chikungunya pertama kali dilaporkan dan tercatat
pada tahun 1973 terjadi di Samarinda Provinsi Kalimantan Timur dan di DKI
Jakarta, Tahun 1982 di Kuala Tungkal Provinsi Jambi dan tahun 1983 di daerah
Istimewa Yogyakarta. KLB Chikungunya mulai banyak dilaporkan sejak tahun
1999 yaitu di Muara Enim (1999), Aceh (2000), Jawa Barat (Bogor, Bekasi,
Depok) pada tahun 2001, yang menyerang secara bersamaan pada penduduk di
satu kesatuan wilayah (RW/Desa) (Depkes, 2012).
Pada tahun 2002 banyak daerah melaporkan terjadinya KLB Chikungunya
seperti Palembang, Semarang, Indramayu, Manado, DKI Jakarta , Banten, Jawa
Timur dan lain-lain. Pada tahun 2003 KLB Chikungunya terjadi di beberapa
wilayah di pulau Jawa, NTB, Kalimantan Tengah. Tahun 2006 dan 2007 terjadi
KLB di Provinsi Jawa Barat dan Sumatera Selatan. Dari tahun 2007 sampai
tahun 2012 di Indonesia terjadi KLB Chikungunya pada beberapa provinsi
dengan 149.526 kasus tanpa kematian (Depkes, 2012).
Penyebaran penyakit Chikungunya biasanya terjadi pada daerah endemis
Demam Berdarah Dengue. Banyaknya tempat perindukan nyamuk sering
berhubungan dengan peningkatan kejadian penyakit Chikungunya. Saat ini
hampir seluruh provinsi di Indonesia potensial untuk terjadinya KLB
Chikungunya. KLB sering terjadi pada awal dan akhir musim hujan. Penyakit
Chikungunya sering terjadi di daerah sub urban (Depkes, 2012).

2.3. Faktor Risiko


Terdapat tiga faktor yang memegang peranan dalam penularan penyakit
Chikungunya, yaitu: manusia, virus dan vektor perantara.
Beberapa faktor penyebab timbulnya KLB demam Chikungunya adalah:
1. Perpindahan penduduk dari daerah terinfeksi
2. Sanitasi lingkungan yang buruk.
3. Berkembangnya penyebaran dan kepadatan nyamuk (sanitasi lingkungan
yang buruk)
Ada gelombang epidemi 20 tahunan mungkin terkait perubahan iklim dan
cuaca. Anti bodi yang timbul dari penyakit ini membuat penderita kebal
terhadap serangan virus selanjutnya. Oleh karena itu perlu waktu panjang bagi
penyakit ini untuk merebak kembali (Depkes, 2012).
2.4. Mekanisme Penularan
Virus Chikungunya ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk
Aedes SPP. Nyamuk lain mungkin bisa berperan sebagai vektor namun perlu
penelitian lebih lanjut. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus
Chikungunya pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia,
yaitu 2 hari sebelum demam sampai 5 hari setelah demam timbul. Kemudian
virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari
(extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia
pada saat gigitan berikutnya. Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa
tunas 4-7 hari (intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit
(Depkes, 2012).

Gambar 2.1. Mekanisme Penularan Chikungunya

Sumber : (Depkes, 2012)


2.5. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis
Virus chikungunya ditemukan dalam kelenjar nyamuk vektor. Jumlah virus
yang dapat memperbanyak diri pada nyamuk dari berbagai strain sangat
bervariasi, yakni antara 1046-1074 PFU setiap nyamuk. Penelitian de Moor dan
Stephen menunjukkan bahwa tingkat endemisitas virus chikungunya sangat
berhubungan erat dengan populasi nyamuk Aedes di daerah tersebut. Lamanya
kehidupan nyamuk tersebut merupakan faktor penting yang menentukan luas
tidaknya penyebaran virus chikungunya (Widoyono, 2008).
Hampir keseluruhan data menunjukkan bahwa infeksi chikungunya terjadi
di wilayah dimana nyamuk Aedes yang terinfeksi virus chikungunya menggigit
manusia. Apabila nyamuk ditemukan sangat banyak dan menggigit banyak
orang di sekitarnya maka kemungkinan kejadian infeksi dapat diestimasikan
sangat tinggi, terutama pada ibu dan anak yang selalu tinggal di rumah sejak
pagi hingga sore hari. Otot rangka merupakan tempat utama replikasi virus.
Pada tikus didapatkan adanya miositis, serta perdarahan saluran cerna dan
subkutan. Isolasi virus chikungunya kebanyakan diperoleh dari kasus-kasus
berat dengan manifestasi kelainan otot yang umumnya pada penderita dewasa
(Suriptiastuti, 2007).
Pada manusia, virus chikungunya sudah dapat menimbulkan penyakit dalam
2 hari sesudah gigitan nyamuk. Penderita mengalami viremia yang tinggi dalam
2 hari pertama sakit. Viremia berkurang pada hari ke-3 atau ke-4 demam, dan
biasanya menghilang pada hari ke-5. Silent infection dapat terjadi, akan tetapi
bagaimana hal itu bisa terjadi belum dapat dimengerti. Antibodi yang timbul
dari penyakit ini membuat penderita kebal terhadap serangan virus selanjutnya.
Oleh karena itu perlu waktu panjang bagi penyakit ini untuk merebak kembali.
Infeksi akut ditandai dengan timbulnya IgM terhadap IgG anti-chikungunya
yang diproduksi sekitar 2 minggu sesudah infeksi.
Infeksi CHIK merupakan penyakit infeksi yang melumpuhkan penderita
ditandai dengan gejala demam, sakit kepala, mual, muntah dan nyeri otot dan
sendi. Dilaporkan bahwa attack rate pada populasi yang rentan berkisar antara
40-85% dan rasio simtomatik terhadap asimtomatik adalah 1,2:1 (Sam I-C, Abu
Bakar S, 2006). Masa inkubasi penyakit antara 2-12 hari, tetapi umumnya 3-7
hari. Setelah masa inkubasi, suhu badan mendadak meningkat sampai 390-400
C diikuti gejala menggigil yang intermiten. Fase akut ini berlangsung 2-3 hari,
selanjutnya demam menghilang untuk 1-2 hari dan kemudian timbul lagi
sehingga memberi kurve demam dengan gambaran seperti “pelana” (saddle-
back fever). Demam pada CHIK secara tipikal berlangsung beberapa hari tetapi
pada beberapa kasus rasa lemah (fatigue) yang menyertai penyakit ini dapat
berlangsung lama seperti pada dengue, O’nyong-nyong, West Nile atau infeksi
arbovirus lain (Kamath S, Das AK, Parikh FS, 2006).
Selain demam, gejala klasik CHIK adalah myalgia, arthralgia, dan rash.
Arthralgia yang terjadi sifatnya poliartikuler, berpindah (migratory), dan
terutama mengenai sendi-sendi kecil dari tangan, pergelangan tangan,
pergelangan kaki dan kaki, sedangkan sendisendi besar sedikit saja dikenai.
Pembengkakan sendi terjadi sebagai akibat pengumpulan cairan. Myalgia
umum dan nyeri otot bagian belakang dan bahu adalah gejala yang biasa
dijumpai. Anak-anak jarang sekali mengalami nyeri sendi. Penderita dengan
manifestasi artikuler ringan biasanya bebas dari gejala nyeri sendi setelah
beberapa minggu, tetapi mereka yang gejala-gejala artikulernya berat
memerlukan waktu beberapa bulan untuk sembuh secara menyeluruh.
Manifestasi kulit adalah tipikal untuk penyakit ini dan pada banyak penderita
berupa kemerahan (flush) di daerah muka dan badan. Suatu kelainan berupa
ruam (rash) makulopapuler mengikuti gejala flushing tersebut. Ruam
makulopapuler terutama terdapat pada badan dan lengan tetapi telapak tangan
dan kaki dapat juga dikenai. Rasa gatal dan iritasi dapat menyertai erupsi ini
(Sam I-C, Abu Bakar S, 2006).
Pada saat berlangsungnya keadaan akut dari penyakit, kebanyakan penderita
mengeluh sakit kepala. Fotofobia dan nyeri retro-orbital dapat dijumpai. Pada
bayi dan anak-anak, flushing yang jelas dan adanya ruam makulopapuler secara
dini atau urtikaria adalah petunjuk yang bermanfaat. Namun, gejala-gejala yang
ditampilkan oleh CHIK sering kali secara klinis tidak dapat dibedakan dari
demam dengue. Isolasi yang simultan dari kedua virus tersebut dari sera
penderita pernah dilaporkan sebelumnya dan merupakan petunjuk adanya
infeksi gabungan (dual infection) (Kamath S, Das AK, Parikh FS, 2006). Oleh
karena itu sangat penting untuk membedakan infeksi virus CHIK dari demam
dengue.
Secara umum, manifestasi perdarahan tidak dijumpai pada infeksi virus
CHIK. Pada infeksi yang tanpa komplikasi, gejala akut akan menghilang dalam
waktu sekitar 10 hari dan mayoritas penderita akan sembuh secara total tetapi
ada laporan mengenai beberapa kasus yang masih menderita nyeri sendi selama
beberapa tahun setelah sembuh (Sam I-C, Abu Bakar S, 2006). Komplikasi
yang serius sangat jarang dan kasuskasus yang fatal belum pernah secara
konklusif ditemukan (Kamath S, Das AK, Parikh FS, 2006).

2.6. Penegakan Diagnosa


1. Definisi Klinis
Diagnosis kasus Demam Chikungunya ditegakkan berdasarkan kriteria
sebagai berikut: (Modifikasi Klasifikasi WHO SEARO,2009)
a. Kriteria Klinis : Demam mendadak > 38,5ºC dan nyeri persendian
hebat (severe athralgia) dan atau dapat disertai ruam (rash).
b. Kriteria Epidemiologis : Bertempat tinggal atau pernah berkunjung ke
wilayah yang sedang terjangkit Chikungunya dengan sekurang-
kurangnya 1 kasus positif RDT/ pemeriksaan serologi lainnya, dalam
kurun waktu 15 hari sebelum timbulnya gejala (onset of symptoms)
c. Kriteria Laboratoris : sekurang-kurangnya salah satu diantara
pemeriksaan berikut :
➢ Isolasi virus
➢ Terdeteksinya RNA virus dengan RT-PCR
➢ Terdeteksinya antibodi IgM spesifik virus Chik pada sampel serum
➢ Peningkatan 4 kali lipat (four-fold) titer IgG pada pasangan sampel
yang diambil pada fase akut dan fase konvalesen (interval sekurang-
kurangnya 2-3 minggu)
Berdasarkan kriteria di atas, Diagnosis Demam Chikungunya
digolongkan dalam 3 kategori yaitu :
➢ KASUS TERSANGKA (Suspected case/ Possible case)
Penderita dengan kriteria klinis.
➢ KASUS PROBABEL (Probable case)
Penderita dengan kriteria klinis + kriteria epidemiologis
➢ KASUS KONFIRM (Confirmed case)
Penderita dengan kriteria laboratoris (Depkes, 2012).
2. Diagnosis Banding
Diagnosis banding penyakit Chikungunya yang paling mendekati adalah
Demam Dengue atau Demam Berdarah Dengue.

Tabel 2.1. Manifestasi Utama yang membedakan Chikungunya dengan


Dengue (WHO SEARO, 2009)

3. Pemeriksaan Laboratorium
Untuk memastikan diagnosis perlu pemeriksaan laboratorium yang dapat
dilakukan dengan beberapa metode yaitu: Isolasi virus dari inokulasi serum
fase akut, pemeriksaan serologis dengan cara ELISA, pemeriksaan IgG dan
IgM dengan metode Immuno Fluorescent Assay(IFA), pemeriksaan materi
genetik dengan Polymerase Chain Reaction (PCR), pemeriksaan antibodi
dengan uji Hemaglutinasi Inhibisi (H.I Test) menggunakan serum diambil
pada masa akut (hari ke 5 mulai demam) dan serum konvalesen pada
minggu ke 2 sesudah demam serta sequencing.
a. Isolasi Virus
Isolasi virus chikungunya didasarkan pada inokulasi spesimen biologis
dari nyamuk atau dari manusia (serum) secara invitro dengan
menggunakan kultur jaringan sel vero, BHK-21, HeLa sel dan sel C6/36.
Isolasi virus juga dapat dilakukan secara in vivo dengan menggunakan
anak mencit yang masih menyusui (suckling mice). Jenis untuk isolasi
virus chikungunya adalah serum pada masa akut 0-6 hari, tetapi ada
beberapa literatur menyebutkan bisa sampai 8 hari. Spesimen yang
berasal dari nyamuk juga dapat digunakan untuk bahan isolasi virus.
Semua spesimen biologis untuk isolasi virus harus diproses secepatnya,
bila memang perlu ditunda maksimal penundaan adalah 48 jam dengan
disimpan pada suhu 2-8 oC.
b. Deteksi Viral RNA
Deteksi viral RNA virus chikungunya dapat dilakukan pada saat akut
penderita (<8 hari). Deteksi viral RNA juga dapat menggunakan
spesimen biologis dari nyamuk (vektor). Deteksi viral RNA didasarkan
pada gen NSP1 atau E16 saat ini telah dikembangkan berbagai macam
teknik deteksi viral RNA virus chikungunya yaitu secara RT-PCR
(Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction) dan Real Time
PCR.
c. Serologi (Deteksi IgM dan atau IgG)
Infeksi Chikungunya juga dapat dideteksi secara serologi dengan
mendeteksi anti-chik berupa IgM atau IgG. Sampai saat ini telah banyak
dikembangkan teknik diagnostik untuk mendeteksi chikungunya secara
serologi diantaranya Haemaglutination, Complement Fixation Test
(CFT), Immuno flourescent assay (IFA), dan Plaque Reduction
Neutralization Testing (PRNT). Antibodi IgM dapat dideteksi dari hari
ke-4 infeksi sampai beberapa minggu waktu lamanya. Antibodi IgG
dapat dideteksi hari ke-15 sampai beberapa tahun lamanya (Depkes,
2012).

Gambar 2.2. Timeline Antibody

Sumber : Depkes 2012

Interpretasi:
a. Bila IgM (-) dan IgG (-) dengan gejala klinis jelas, pemeriksaan
diulang 10-14 hari kemudian. Bila hasil pemeriksaan ulang IgM (+)
IgG(-) berarti infeksi akut primer.
b. Bila IgM (-)IgG(+) dilakukan pemeriksaan ulang 10-14 hari
kemudian. Bila hasil pemeriksaan ulang IgG (+) dengan kenaikan
titer >4X berarti infeksi sekunder.
c. Bila IgM (+) IgG(+) berarti sedang terjadi infeksi sekunder.
Untuk saat ini untuk pemeriksaan konfirmasi diagnosis chikungunya
dapat dilakukan di Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
(BALIT BANGKES), B/BTKL PP, RSPI Soelianti Saroso, Labkesda.
Metode yang digunakan adalah secara deteksi Antibodi (IgM dan atau
IgG), deteksi molekuler (RT-PCR) dan Isolasi virus jika diperlukan.
Spesimen yang digunakan adalah Serum atau Plasma penderita pada
masa akut. Jumlah spesimen yang dibutuhkan untuk konfirmasi KLB
chikungunya adalah 5-10 spesimen dari setiap satuan KLB (per
kecamatan/ per puskesmas). jika jumlah penderita > 10, namun jika
jumlah penderita < 10 maka untuk konfirmasi jumlah spesimen yang
diperiksa jumlah penderita (Depkes, 2012).
Untuk pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan :
a. Hematologi rutin
➢ Pemeriksaan Kadar Hemoglobin.
Biasanya dijumpai Hb normal atau anemia bila ada perdarahan .
➢ Pemeriksaan Trombosit
Dapat ditemukan Trombositopenia
➢ Pemeriksaan Hematokrit
Ht normal atau meningkat bila dengan dehidrasi
➢ Pemeriksaan Leukosit
Leukopenia atau juga leukositosis
➢ Hitung Jenis Leukosit
Pada hitung jenis bisa dijumpai relatif limfositosis.
➢ Pemeriksaan Laju Endap Darah
LED meningkat karena adanya infeksi
b. Kimia Klinik
Fungsi hati : SGOT, SGPT dan bilirubin total/direk yang bisa
meningkat bila dijumpai hepatomegali. CK (Creatinin Kinase) yang
meningkat karena adanya nyeri otot.
c. Serologis Chik: Rapid Diagnostic Test (RDT) terhadap anti-IgM
Chikungunya dapat dilakukan sebagai penapisan (screening) untuk
diagnosis chikungunya. Pemilihan Rapid Diagnostik Test (RDT)
juga harus memenuhi persyaratan sensitifitas dan spesifisitas diatas
85% dengan uji lokal.
d. Serologis Dengue : Anti Dengue IgM-IgG untuk menyingkirkan
DBD (Depkes, 2012).
2.7. Terapi
Chikungunya merupakan self limiting disease, sampai saat ini penyakit ini
belum ada obat ataupun vaksinnya, pengobatan hanya bersifat simtomatis dan
suportif.
1. Simtomatis
Antipiretik : Parasetamol atau asetaminofen (untuk meredakan demam)
Analgetik : Ibuprofen, naproxen dan obat Anti-inflamasi Non Steroid
(AINS) lainnya (untuk meredakan nyeri persendian/athralgia/arthritis).
Catatan: Aspirin (Asam Asetil Salisilat) tidak dianjurkan karena adanya
resiko perdarahan pada sejumlah penderita dan resiko timbulnya Reye’s
syndrome pada anak-anak dibawah 12 tahun.
2. Suportif
a. Tirah baring (bedrest), batasi pergerakkan
b. Minum banyak untuk mengganti kehilangan cairan tubuh akibat muntah,
keringat dan lain-lain.
c. Fisioterapi
3. Pencegahan penularan
Penggunaan kelambu selama masa viremia sejak timbul gejala (onset of
illness) sampai 7 hari (Depkes, 2012).
2.8. Prognosis
Penyakit ini bersifat self limiting disease, tidak pernah dilaporkan adanya
kematian. Keluhan sendi mungkin berlangsung lama. Brighton meneliti pada
107 kasus infeksi Chikungunya, 87,9% sembuh sempurna, 3,7% mengalami
kekakuan sendi atau mild discomfort, 2,8% mempunyai persistent residual joint
stiffness, tapi tidak nyeri, dan 5,6% mempunyai keluhan sendi yang persistent,
kaku dan sering mengalami efusi sendi (Depkes, 2012).
2.9. Komplikasi
Dalam literatur ilmiah belum pernah dilaporkan kematian, kasus
neuroinvasif, atau kasus perdarahan yang berhubungan dengan infeksi virus
Chikungunya. Pada kasus anak komplikasi dapat terjadi dalam bentuk : kolaps
pembuluh darah, renjatan, Miokarditis, Ensefalopati dsb, tapi jarang ditemukan
(Depkes, 2012).

Anda mungkin juga menyukai