Anda di halaman 1dari 23

TUGAS

ILMU PENYAKIT TROPIS


(PENYAKIT CHIKUNGUNYA)

DISUSUN OLEH :

NAMA : LIDIA SEBARU


NIM : 1807010447

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
2021

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara berkembang, dengan angka kematian penyakit menular cukup
tinggi dan prevalensinya meningkat karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan serta perilaku hidup
masyarakat.Terlebih dalam kondisi sosial ekonomi yang kurang mendukung, tentu saja kejadian kasus
penyakit menular ini memerlukan penanganan yang lebih vital, profesional dan berkualitas (MDG,
keenam). Manusia sangat erat hubungannya dengan lingkungan, karena lingkungan merupakan daya
dukung manusia untuk kelangsungan hidupnya. Dalam perkembangan ilmu epidemiologi
menggambarkan secara spesifik bahwa lingkungan sejak lama mempengaruhi terjadinya suatu penyakit
atau wabah.Chikungunya misalnya, penyakit ini dikenal dengan penyakit flu tulang, yang ditularkan
oleh vektor nyamuk Aedes aegypti dan Aedesalbopictus, yang vektor penular penyakitnya sama dengan
penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) yang cara penanggulangan telah dikenal oleh masyarakat
secara luas (Depkes RI, 2007). Penyakit ini ditandai oleh gejala flu, sakit tulang belakang, sakit pada
persendian, arthtritis pada sendi-sendi di tangan dan tungkai. Penderita mengeluh tidak dapat bangun
atau berjalan.Pada penderita ada yang sembuh dalam beberapa hari, dan ada pula yang sakit sampai
berbulan-bulan. Penyakit Chikungunya tidak menyebabkankematian, akan tetapi dapat mengganggu
aktivitas manusia. Penyakit Chikungunya ini dapat juga menyatu dengan penyakit Demam Berdarah
ataupun dengan penyakit Demam Kuning yang mematikan (Sembel, 2008).Pada tahun 1960-an virus
chikungunya merupakan suatu penyakit yang biasa menyerang bagian Tenggara Asia.
Thaikruea et.al. (1997) melaporkan bahwa virus Chikungunya pertama-tama didiagnosis di Thailand
pada 1960. Sesudah terjadi ledakan di India, Srilanka, Burma dan Thailand akhirnya menghilang di
daerah-daerah tersebut. Namun, pada tahun 1982-1985 terjadi ledakan-ledakan lokal dan kasus-kasus
sporadik di Burma, Thailand, dan Filiphina (Sembel, 2008).Penyakit chikungunya merupakan
penyakit re-emerging yaitu penyakit yang keberadaannya sudah ada sejak lama tetapi sekarang muncul
kembali. Sejak tahun 1779 di Batavia (Jakarta), telah dilaporkan penyakit yang memiliki gejala mirip
Chikungunya yang dikenal dengan nama penyakit Knuckle Fever, di Kairo (1779) Knee Trouble, di
Calcuta, Madras dan Gujarat (1824) Scarletina Rhematica. Setelah hampir 20 tahun tidak ada kejadian
maka pada tahun 2001 mulai dilaporkan adanya Kejadian Luar Biasa (KLB) chikungunya di Indonesia
yaitu di Aceh, Sumatera Selatan,Jawa Barat. Pada tahun 2002 banyak daerah melaporkan terjadinya
KLB Chikungunya seperti Palembang, Semarang, Jawa Barat dan Sulawesi Utara.Pada awalnya terjadi
kebingungan untuk membedakan DEN (Dengue) dengan Chik (Chikungunya), tetapi sejak dapat
dilakukan isolasi virus maka kedua penyakit ini dapat dibedakan, demikian juga gejala klinisnya yaitu
Chikungunya lebih dominan pada nyeri di sendi-sendi.Demam Chikungunya banyak dijumpai di daerah
tropis dan sering menyebabkan epidemi dalam interval tertentu (10-20 tahun). Beberapa faktor yang
mempengaruhi munculnya demam Chikungunya antara lain rendahnya status kekebalan kelompok
masyarakat, kepadatan populasi nyamuk penular karena banyak tempat perindukan nyamuk yang
biasanya terjadi pada musim penghujan seperti saat ini (Depkes, 2009).
Dewasa ini banyak sekali permasalahan yang menyangkut tentang kesehatan, terutama di
negara kita Indonesia. Masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia sekarang ini adalah tentang
kurangnya pemeliharaan kesehatan yang efisien oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Akibatnya
banyak masyarakat Indonesia yang terkena penyakit, karena dari kurangnya memperhatikan kesehatan
masyarakat di lingkungan mereka sendiri secara tidak langsung mereka juga tidak memperhatikan
masalah kesehatan tempat tinggal mereka. Demam Chikungunya sering rancu dengan penyakit

2
demam dengue, demam berdarah dengue, dan campak, tetapi gejala nyeri sendi merupakan gejala yang
penting pada demam Chikungunya. Serangan demam Chikungunya dalam bentuk KLB (kejadian luar
biasa) sudah sering terjadi, terutama karena penyebarannya oleh nyamuk. Untuk mencegah serangan
demam Chikungunya, maka rumah, asrama, hotel, sekolah, pasar, terminal dan tempat-tempat lainnya,
harus terbebas dari media berkembang biaknya nyamuk, termasuk 200 meter sekitarnya.
Tak ada cara lain untuk mencegah demam chikungunya kecuali mencegah gigitan nyamuk serta
memberantas tempat perindukan nyamuk dengan tiga M (menutup,menguras dan mengubur barang
bekas yang bisa menampung air) atau menaburkan bubuk abate pada penampungan air sebagaimana
mencegah demam berdarah.Chikungunya adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang ditularkan
ke manusia melalui gigitan nyamuk. Penyakit ini pertama dideskripsikan pada tahun 1955 oleh Marion
Robinsoni dan W.H.R Lumsden diikuti oleh kejadian KLB tahun 1952 di Makonde, Plateau, daerah
sepanjang Tanganyika and Mozambique.seperti halnya penyakit malaria dan DBD, penyakit infeksi ini
kebanyakan menjadi endemic di Negara India, khususnya India bagian tengah dan selatan (Kamath at
all, 2006).Sebagai masyarakat Indonesia kita dituntut unuk lebih memperhatikan kesehatan dan
kebersihan lingkungan disekitar kita, agar tidak lagi terjadi kejadian luar biasa (KLB).

1.2 Rumusan Masalah


Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi timbulnya penyakit chikungunya, apa dampak yang
ditimbulkan, dan bagaimana penanganan yang tepat dapat dilakukan untuk mencegah timbulnya
penyakit tersebut.

1.3 Tujuan Penulisan


Ingin mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit chikungunya, apa dampak
yang ditimbulkan, dan bagaimana penanganan yang tepat dapat dilakukan untuk mencegah
timbulnya penyakit tersebut.

1.4 Manfaat Penulisan


✓ Sebagai bahan informasi tentang penyakit Chikungunya itu sendiri kepada pembaca.
✓ Sebagai bahan masukan untuk mengetahui cara pencegahan yang tepat dalam menangani
masalah yang ditimbulkan dari penyakit Chikungunya.
✓ Sebagai bahan referensi bagi mahasiswa lain dalam mengetahui kasus mengenai penyakit
chikungunya.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Demam Chikungunya


Chikungunya adalah penyakit yang ditandai dengan demam mendadak, nyeri pada persendian
terutama sendi lutut, pergelangan, jari kaki dan tangan serta tulang belakang yang disertai ruam
(kumpulan bintik-bintik kemerahan) pada kulit. Gejala lainnya yang dapat dijumpai adalah nyeri otot,
sakit kepala, menggigil, kemerahan pada konjunktiva, pembesaran kelenjar getah bening di bagian
leher, mual, muntah dan kadang-kadang disertai dengan gatal pada ruam. Belum pernah dilaporkan
adanya kematian karena penyakit ini (Suharto, 2007).
Demam Chikungunya sering rancu dengan penyakit demam dengue, demam berdarah dengue,
dan campak, tetapi gejala nyeri sendi merupakan gejala yang penting pada demam Chikungunya.
Serangan demam Chikungunya dalam bentuk KLB (kejadian luar biasa) sudah sering terjadi, terutama
karena penyebarannya oleh nyamuk. Untuk mencegah serangan demam Chikungunya, maka rumah,
asrama, hotel, sekolah, pasar, terminal dan tempat-tempat lainnya, harus terbebas dari media
berkembang biaknya nyamuk, termasuk 200 meter sekitarnya. Ada gelombang epidemi 20 tahunan.
Mungkin terkait perubahan iklim dan cuaca. Antibodi yang timbul dari penyakit ini membuat penderita
kebal terhadap serangan virus selanjutnya. Oleh karena itu, perlu waktu panjang bagi penyakit ini untuk
merebak kembali (Suharto, 2007).

✓ Etiologi dan Patogenesis


Virus Chikungunya merupakan anggota genus Alphavirus dalam famili Togaviridae.
Strain Asia merupakan genotipe yang berbeda dengan yang dari Afrika. Virus Chikungunya
disebut juga Arbovirus A Chikungunya Type, CHIK, CK. Virions mengandung satu molekul
single stranded RNA. Virus dapat menyerang manusia dan hewan. Virions dibungkus oleh lipid
membran; pleomorfik; spherikal; dengan diameter 70 nm. Pada permukaan envelope
didapatkan glycoprotein spikes (terdiri atas 2 virus protein membentuk heterodimer).
Necleocapsids isometric; dengan diameter 40 nm (Suharto, 2007).

2.2 Nyamuk Penular Demam Chikungunya


Vektor penular penyakit demam Chikungunya adalah Nyamuk A. aegypti dan A. africanus. A.
aegypti yang paling berperan dalam penularan penyakit demam Chikungunya karena hidup dalam dan
sekitar tempat tinggal manusia sehingga banyak kontak dengan manusia. A. aegypti adalah spesies
nyamuk tropis dan sub tropis (Suharto, 2007).
Nyamuk ini berkembang biak di dalam air bersih dan tempat-tempat gelap yang lembab, baik
di dalam maupun di dekat rumah. Tempat yang sering dijadikan sarang untuk bertelur adalah drum,
batok kelapa, kaleng-kaleng bekas, pot bunga, ember, vas bunga, tangki air tempat penampungan air
pada lemari es, ban-ban bekas dan botol-botol kosong serta salah satu yang lain adalah talang atap
rumah yang tergenang sisa air hujan (Depkes RI, 2003).
Nyamuk A. aegypti berukuran kecil dibanding nyamuk lain. Ukuran badan 3-4 mm, berwarna
hitam, dengan hiasan bintik-bintik putih di badannya; dan pada kakinya warna putih melingkar.
Nyamuk dapat hidup berbulan-bulan. Nyamuk jantan tidak menggigit manusia, ia makan buah. Hanya
nyamuk betina yang menggigit, yang diperlukan untuk membuat telur. Telur nyamuk Aedes diletakkan
induknya menyebar; berbeda dengan telur nyamuk lain yang dikeluarkan berkelompok. Nyamuk
bertelur di air bersih. Telur menjadi pupa beberapa minggu.
Nyamuk Aedes bila terbang hampir tidak berbunyi, sehingga manusia yang diserang tidak
mengetahui kehadirannya; menyerang dari bawah atau dari belakang, terbang sangat cepat. Telur

4
nyamuk Aedes dapat bertahan lama dalam kekeringan (dapat > 1 tahun). Virus dapat masuk dari
nyamuk ke telur; nyamuk dapat bertahan dalam air yang chlorinated (Widoyono, 2008).
Nyamuk A. aegypti merupakan vektor Chikungunya (CHIK) virus (alphavirus). Beberapa
nyamuk resisten terhadap CHIK virus namun sebahagian susceptibility. Ternyata susceptibility gene
berada di kromosom 3. Vektor Chikungunya di Asia adalah A. aegypti, A. albopictus. Di Africa A.
furcifer dan A. Africanus (Suharto, 2007).

2.3 Bionomik Vektor


Bionomik vektor sangat penting diketahui karena berhubungan dengan tindakan–tindakan
dalam pencegahan dan pemberantasannya yang berhubungan dengan tempat perindukan, kebiasaan
mengigit, tempat istirahat, jarak terbang dan siklus hidup.

✓ Tempat Perindukan (Breeding Place)


Tempat perindukan utama adalah tempat-tempat penampungan air di dalam dan di luar sekitar
rumah. Nyamuk A. aegypti tidak berkembang biak di genangan air yang langsung berhubungan
dengan tanah. Jenis-jenis tempat perindukan nyamuk A. aegypti dapat dikelompokan sebagai
berikut:
1. Tempat penampungan air (TPA), untuk keperlakuan sehari-hari seperti drum, tengki reservoir,
tempayan, bak mandi, WC, ember dan lain- lain.
2. Tempat penampungan bukan keperluan sehari-hari seperti tempat minum burung, vas bunga,
perangkap semut, barang-barang bekas (ban, kaleng, botol, plastik dan lain-lain).

a.) Tempat minum hewan piaraan


Tempat minum hewan piaraan yang dimaksud adalah tempat–tempat minum hewan
piaraan yang dimiliki oleh responden yang berada di lingkungan sekitar rumah baik di
dalam rumah maupun di luar rumah, misalnya: tempat minum burung, tempat minum
ayam, dan hewan piaraan yang lain.
b.) Barang-barang bekas
Barang-barang bekas yang dimaksud adalah barang–barang yang sudah tidak terpakai
yang dapat menampung air, yang berada di dalam maupun di luar rumah responden.
Barang-barang tersebut antara lain: kaleng, ban bekas, botol, pecahan gelas, dll.
c.) Vas bunga
Vas bunga yang dimaksud adalah vas bunga yang berisi air yang terletak di dalam rumah
responden yang memungkinkan nyamuk A. aegyptiberkembangbiak di dalam vas bunga
tersebut.
d.) Perangkap semut
Perangkap semut yang dimaksud adalah tempat perangkap semut yang berisi air yang
biasanya diletakkan dibawah kaki meja untuk mencegah semut–semut naik keatas meja
yang berisi makanan yang terletak didalam rumah responden.
e.) Penampungan air dispenser
Penampungan air dispenser yang dimaksud adalah tempat penampungan air yang menyatu
dengan dispenser yang terletak dibawah alat yang digunakan untuk mengalirkan air di
dalam wadah/galon dispenser, letaknya di dalam rumah responden.
f.) Pot tanaman air
Pot tanaman air yang dimaksud adalah pot – pot berisi air yang digunakan sebagai media
tanaman air untuk hidup, yang terletak di dalam maupun di luar rumah responden.

3. Tempat penampungan air ilmiah seperti lubang pohon, pelepah daun, tempurung kelapa, talang
penampungan air hujan (Suroso, 2000 dan Soedarmo, 1988).

5
✓ Kebiasaan Mengigit (Feeding Habit)
Nyamuk A. aegypti lebih menyukai darah manusia dari pada binatang (antropofilik). Darahnya
diperlukan untuk mematangkan telur jika dibuahi oleh nyamuk jantan sehingga menetas. Waktu
yang diperlukan untuk menyelesaikan perkembangan telur mulai dari nyamuk menghisap darah
sampai telur dikeluarkan biasanya bervariasi antara 3-4 hari. Jangka waktu tersebut satu siklus
gonotropik (Suroso, 2000 dan Soedarmo, 1988).
Nyamuk ini aktif pada siang hari dan mengigit di dalam dan diluar rumah. Mempunyai dua
puncak aktifitas dalam mencari mangsa yaitu mulai pagi hari dan petang hari yaitu antara pukul
09.00 - 10.00 WIB dan 16.00 - 17.00 WIB.

✓ Tempat Istirahat (Resting Place)


Tempat yang disayangi nyamuk untuk beristirahat selama menunggu bertelur adalah tempat
yang gelap, lembab dan sedikit angin. Nyamuk A. aegypti biasanya hinggap di dalam rumah pada
benda-benda yang bergantungan seperti pakaian, kelambu (Suroso, 2000 dan Soedarmo, 1988).

✓ Jarak Terbang (Flight Habit)


Pergerakan nyamuk A. aegypti dari tempat perindukan ke tempat mencari mangsa dan tempat
istirahat ditentukan oleh kemampuan terbang nyamuk A. aegyptibetina adalah rata-rata 40-100
meter. Namun secara pasif karena angin dapat terbang sejauh 2 km (Depkes RI, 1992).

2.4 Siklus Hidup Nyamuk


Siklus hidup nyamuk A. aegypti mengalami metamorfosa sempurna dengan tahap telur, larva,
pupa dan dewasa.

✓ Telur
Nyamuk A. aegypti betina suka bertelur diatas permukaan air pada dinding vertikal bagian
dalam tempat-tempat yang berisi air jernih dan terlindung dari cahaya matahari langsung. Tempat air
yang dipilih adalah tempat air di dalam rumah dan dekat. Telur A. aegypti berwarna hitam seperti sarang
tawon (Soedarmo, 1988).
Telur diletakkan satu persatu di tempat yang gelap, lembab dan tersembunyi di dalam rumah
dan bangunan, termasuk di kamar tidur, kamar mandi, kamar kecil, maupun dapur. Perkembangan
embrio biasanya selesai dalam 48 jam di lingkungan yang hangat dan lembab. Begitu poses emberionasi
selesai, telur akan menjalani masa pengeringan yang lama (lebih dari satu tahun). Telur akan menetas
pada waktu yang sama. Kapasitas telur untuk menjalani masa pengeringan akan membantu
mempertahankan kelangsungan spesies selama kondisi iklim buruk (Suroso, 2003).

✓ Larva
Telur yang tidak menetas karena keadaan lingkungan yang tidak sesuai membentuk larva yang
dilapisi kista dapat bertahan lebih dari setahun berbentuk oval dan berwarna putih. Larva A. aegypti
menempel di permukaan dinding vartikel sampai pada waktu menetas (Suroso, 2003).
Perkembangan larva tergantung pada suhu, ketersediaan makanan dan kepadatan larva pada
sarang. Pada kondisi yang optimum, waktu yang dibutuhkan mulai dari penetasan sampai kemunculan
nyamuk dewasa akan berlangsung sedikitnya selama 7 hari termasuk dua hari untuk masa menjadi pupa,
sedangkan pada suhu yang rendah membutuhkan beberapa minggu untuk kemunculan nyamuk dewasa.
Habitat alami larva jarang ditemukan, tetapi dapat ditemukan di lubang pohon, pangkal daun dan
tampurung kelapa. Selain di tempat alami larva dapat juga ditemukan pada kendi air, kaleng, pot bunga,
botol, tempat penampung air terbuat dari logam dan kayu, ban (Suroso, 2003).

6
Pada daerah yang panas dan kering, tangki air diatas, tangki penyimpanan air di tanah dan septic
tank bisa menjadi tempat habitat larva yang utama dan pada wilayah yang persediaan airnya tidak
teratur, penghuni menyimpan air untuk kegunaan rumah tangga sehingga memperbanyak jumlah habitat
yang ada untuk larva (Suroso, 2003).

✓ Pupa
Pupa nyamuk A. aegypti bentuk tubuhnya bengkok, dengan bagian kepala dada lebih besar
dibandingkan dengan bagian perutnya, sehingga tampak seperti tanda baca ”koma”. Pada bagian
punggung (dorsal) dada terdapat alat pernapasan seperti terompet. Pada ruas perut ke-8 terdapat
sepasang alat pengayuh yang berguna untuk berenang. Alat pengayuh tersebut berjumbai panjang dan
bulu pada ruas perut tidak bercabang. Pupa adalah bentuk tidak makan, tampak gerakannya lebih lincah
bila dibandingkan dengan larva. Waktu istirahat posisi pupa sejajar dengan bidang permukaan air
(Soegeng, 2006).

✓ Nyamuk Dewasa
Nyamuk Aedes larva dan nyamuk dewasa banyak ditemukan disepanjang tahun di semua kota
di Indonesia sesaat setelah menjadi dewasa akan kawin dengan nyamuk betina yang sudah dibuahi dan
akan menghisap darah dalam waktu 24-36 jam. Darah merupakan sumber protein yang esensial untuk
mematangkan telur (Depkes RI, 2004).

2.5 Paradigma Kesehatan Lingkungan


Hubungan interaktif antara manusia serta perilakunya dengan komponen lingkungan yang
memiliki potensi bahaya penyakit juga dikenal sebagai proses kejadian penyakit. Proses kejadian satu
penyakit dapat pula disebut sebagai patogenesis penyakit. Tiap penyakit memiliki patogenesis sendiri-
sendiri. Dengan mempelajari patogenesis penyakit, kita dapat menentukan pada titik mana atau di
simpul mana kita bisa melakukan pencegahan. Tanpa memahami patogenesis atau proses kejadian
penyakit, kita tidak dapat melakukan pencegahan (Achmadi, 2008). Dinamika perubahan-perubahan
komponen lingkungan yang memiliki potensi menimbulkan dampak terhadap kesehatan masyarakat
dapat digambarkan mulai dari sumber perubahan (munculnya komponen dengan memiliki potensi
bahaya tersebut), dinamika dan kinetika komponen tersebut dalam lingkungan disekitar manusia
(ambient), interaksi manusia proses fisiologis dan patologis, hingga komponen tersebut tidak lagi
menimbulkan bahaya kesehatan masyarakat (Achmadi, 2008).

Adapun Teori Simpul dari timbulnya demam Chikungunya tersebut sebagai berikut :

1. penderita demam chikungunya → Virus Chik



2. vektor yaitu nyamuk A.aegypti → Variabel lain yaitu : air bersih, manusia.
↓↑
3. adanya virus chik dalam darah penderita → Semua golongan umur di daerah endemis.

4. sakit/sehat →

7
Penderita Adanya Virus
Vektor yaitu Chik Dalam
Demam nyamuk Sakit / sehat
Darah Penderita
Chikungunya A.aegypti

Variabel lain yang berpengaruh :


Variasi musiman, ketinggian tempat, curah hujan,
temperatur.

Diagram Skematik Patogenesis Penyakit

Dengan mengacu pada gambaran skematik tersebut di atas, maka patogenesis dapat diuraikan
ke dalam 4 simpul yakni :
a. Simpul 1, kita sebut sebagai sumber penyakit. Dan dalam hal ini sumber penyakit yaitu orang
yang menderita demam Chikungunya, dan sebagai agent penyebab penyakit itu adalah virus
chik (CHIKV).
b. Simpul 2, yaitu komponen lingkungan yang merupakan media transmisi penyakit yang dapat
memindahkan agent penyakit. Dalam hal ini yang memindahkan agent yaitu nyamuk A.
Aegypti sebagai vektor penular. Selain itu, variabel lain yang berpengaruh pada penularan
penyakit ini adalah air bersih dan manusia.
c. Simpul 3, penduduk yang dalam darahnya terdapat virus Chik karena telah tertular dari orang
lain melalui vektor yaitu nyamuk. Serta ini semua terjadi pada semua golongan umur, baik itu
anak-anak maupun dewasa, laki-laki maupun perempuan di daerah endemis.
d. Simpul 4, penduduk yang dalam keadaan sehat atau sakit setelah mengalami interaksi dengan
komponen lingkungan tersebut yang telah mengandung agent penyakit (Achmadi, 2008).

Adapun variabel lain yang berpengaruh dalam paradigma kesehatan lingkungan yaitu meliputi
faktor lingkungan, antara lain :
a.) Variasi Musiman
Pola berjangkit virus Chikungunya tidak jauh beda dengan virus dengue yaitu dipengaruhi
oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-32°C) dengan kelembaban
yang tinggi, nyamuk Aedes akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu yang lama. Di
Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu
terjadinya penyakit agak berbeda di setiap tempat. Pada musim hujan tempat
perkembangbiakan A. aegypti yang pada musim kemarau tidak terisi, mulai terisi air. Telur-
telur yang belum sempat menetas pada waktu singkat akan menetas. Selain itu pada musim
hujan semakin banyak tempat-tempat penampungan air alamiah yang terisi air hujan yang
dapat digunakan sebagai tempat perkembangan nyamuk ini. Karena itu pada musim
penghujan popolasi nyamuk A. aegypti meningkat. Dengan bertambahnya populasi nyamuk
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan virus Chikungunya. Faktor lain
yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus Chikungunya sangat kompleks,

8
yaitu pertumbuhan penduduk yang tinggi, urbanisasi yang tidak terencana dan tidak
terkendali, tidak adanya kotrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis dan
peningkatan sarana transportasi (Depkes RI, 2004).

b.) Ketinggian Tempat


Ketinggian tempat berpengaruh terhadap perkembangan nyamuk. Wilayah dengan
ketinggian diatas 1000 meter dari permukaan laut tidak ditemukan nyamuk A. Universitas
Sumatera Utaraaegypti karena ketinggian tersebut suhu terlalu rendah sehingga tidak
memungkinkanbagi kehidupan nyamuk (Soedarmo, 1988).

c.) Curah Hujan


Hujan akan menambah genangan air sebagai tempat perindukan dan menambah kelembaban
udara. Temperatur dan kelembaban selama musim hujan sangat kondusif untuk
kelangsungan hidup nyamuk yang terinfeksi (Suroso, 2003).

d.) Temperatur
Virus Chikungunya hampir sama dengan virus dengue yaitu hanya endemik di daerah tropis
dimana suhu memungkinkan untuk perkembangbiakan nyamuk. Suhu optimum
pertumbuhan nyamuk adalah 25°C-27°C. Pertumbuhan akan terhenti sama sekali bila suhu
kering dari 10º C atau lebih dari 40ºC (Suroso, 2003).

2.6 Dinamika atau Kinetika Perjalanan Agent Penyakit


Virus Chikungunya disebarkan oleh gigitan nyamuk yang terinfeksi. Nyamuk terinfeksi ketika
mereka menggigit orang yang terinfeksi virus chikungunya. Nyamuk yang terinfeksi kemudian dapat
menyebarkan virus ke manusia lain ketika mereka menggigit. Monyet, dan hewan liar lainnya, juga
dapat berfungsi sebagai reservoir virus.

Transmisi penyakit Chikungunya

Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus adalah vektor utama virus chikungunya ke
manusia. Spesies ini menggigit pada siang hari dengan aktivitas puncak pada pagi dan sore hari yaitu
antara pukul 09.00 – 10.00 WIB dan 16.00 - 17.00 WIB. Nyamuk ini aktif pada siang hari dan mengigit
di dalam dan diluar rumah. Keduanya ditemukan menggigit luar rumah namun Ae. Aegypti juga
akan siap menggigit dalam ruangan. Nyamuk A. Aegypti tersebar di wilayah Asia, Afrika, dan Eropa.
Berbagai spesies nyamuk yang tinggal di hutan di Afrika telah ditemukan terinfeksi dengan virus.

9
Nyamuk Aedes aegypti dapat mengandung virus Chikungunya pada saat menggigit manusia
yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum demam sampai 5 hari setelah demam timbul.
Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic
incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Di
tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4-7 hari (intrinsic incubation period) sebelum
menimbulkan penyakit.
Setelah 3-5 hari demam, timbul ruam makulopapular minimal dan limfadenopati, injeksi
konjungtiva, pembengkakan kelopak mata, faringitis dan gejala-gejala serta tanda-tanda dari penyakit
traktus respiratorius bagian atas umum terjadi, tidak ada enantema. Beberapa bayi mengalami kurva
demam bifasik. Artralgia mungkin sangat hebat, walaupun hal tersebut jarang tampak.
Demam pada umumnya akan mereda setelah 2 hari, namun keluhan lain, seperti nyeri sendi,
sakit kepala dan insomnia, pada sebagian besar kasus akan menetap 5-7 hari. Penderita bahkan dapat
mengeluhkan nyeri sendi dalam jangka waktu yang lebih lama. Nyeri sendi ini dapat berlangsung
berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan pada beberapa kasus hingga beberapa tahun, tergantung
dari umur penderita.

2.7 Parameter Perubahan Lingkungan Serta Dampaknya


Parameter perubahan komponen lingkungan yang memiliki potensi dampak atau lazim disebut
parameter kesehatan lingkungan, yaitu parameter yang mempunyai potensi bahaya kesehatan
masyarakat, serta bagaimana mengukur berbagai parameter perubahan ataupun dinamika hubungan
interaktif tersebut. Dalam teori simpul berbagai parameter kesehatan lingkungan dapat diukur, yaitu :
✓ Simpul 1, yaitu pengukuran pada sumbernya. Dan dalam hal ini sumber penyakit yaitu orang
yang menderita demam Chikungunya. Hal ini dapat diukur dari diagnosis yang menyatakan
bahwa orang tersebut terjangkit penyakit Chikungunya setelah kontak langsung dengan agent
melalui gigitan nyamuk.
✓ Simpul 2, yaitu komponen lingkungan yang merupakan media transmisi penyakit yang dapat
memindahkan agent penyakit. Dalam hal ini yang memindahkan agent yaitu nyamuk A.
Aegypti sebagai vektor penular. Hal ini dapat diukur dari pengukuran survei jentik nyamuk dan
pengukuran vektor nyamuk A. Aegypti. Di mana ABJ (Angka Bebas Jentik) dengan nilai
ambang batas 95%, apabila kurang dari angka tersebut, maka resiko penularan penyakit akan
tinggi.
✓ Simpul 3, yaitu penduduk yang dalam darahnya terdapat virus Chik karena telah tertular dari
orang lain melalui vektor yaitu nyamuk. Pengukuran dapat ditentukan dari pemeriksaan
makroskopis yaitu pemeriksaan uji hambatan aglutinasi (HI), serum netralisasi, dan IgM
capture ELISA. Di mana dari pemeriksaan menyatakan bahwa diagnosis pasti pada penyakit
Chikungunya bila terdapat salah satu hal berikut, yaitu pemeriksaan Titer antibodi naik 4 kali
lipat, Isolasi virus, dan deteksi virus dengan PCR.
✓ Simpul 4, yaitu penduduk yang dalam keadaan sehat atau sakit setelah mengalami interaksi
dengan komponen lingkungan tersebut yang telah mengandung agent penyakit. Dalam hal ini,
penyakit Chikungunya bersifat self limiting disease, yang berarti sembuh dengan sendirinya
dan tidak pernah dilaporkan kejadian kematian, namun keluhan sendi mungkin berlangsung
lama. Brighton meneliti pada 107 kasus infeksi virus chikungunya, 87,9% sembuh sempurna;

10
3,7% mengalami kekakuan sendi atau mild discomfort; 2,8% mempunyai persisten residual
joint stiffnes, tetapi tidak nyeri; dan 5,6% mempunyai keluhan sendi yang persisten, kaku dan
sering mengalami efusi sendi.

2.8 Identifikasi Population at Risk


Virus ini menyerang semua umur baik anak-anak maupun dewasa di daerah endemis. Pada anak
kecil dimulai dengan demam mendadak, kulit kemerahan serta sering disertai gejala flu. Bahkan ada
anak dijumpai dengan demam tinggi yang mengakibatkan kejang demam. Pada anak yang lebih besar
dan orang dewasa, demam diikuti rasa sakit pada otot dan sendi sehingga sulit untuk berjalan dan
pembesara kelenjar getah bening. Mual dan muntah juga bisa menyertai. Demam ini biasanya hanya 3
hari tanpa perdarahan.
Seperti DBD, chikungunya endemik di daerah yang banyak ditemukan kasus DBD. Kasus DBD
pada wanita dan anak lebih tinggi dengan alasan mereka lebih banyak berada dirumah pada siang hari
saat nyamuk menggigit. KLB chikungunya bersifat mendadak dengan jumlah penderita relatif banyak.
Selain manusia, virus chikungunya juga dapat menyerang tikus, kelinci, monyet, baboon dan simpanse.

2.9 Standard Normalitas


Setiap hasil pengukuran merujuk pada nilai-nilai standar normal sebagai bahan acuan dalam
menghitung potensi bahaya yang dapat menimbulkan masalah. Standar normalitas yang digunakan
dalam pengukuran ini yaitu pengukuran keberadaan jentik (melalui survei jentik) dan vektor nyamuk
A. Aegypti :

✓ Survei Jentik
Pada Survei Entomologi DBD ada 5 Kegiatan Pokok, yaitu : pengumpulan data terkait, survei telur,
survei jentik atau larva, survei nyamuk, dan survei lain-lain (Depkes RI, 2002). Yang mengamati
perilaku dari berbagailingkungan, vektor, cara-cara pemberantasan vektor dan cara-cara menilai hasil
pemberantasan vektor. Survei jentik dapat dilakukan dengan cara :

A. Metode Single Larva


Pada setiap kontainer yang ditemukan ada jentik, maka satu ekor jentik akan diambil dengan
cidukan (gayung plastik) atau menggunakan pipet panjang jentik sebagai sampel untuk pemeriksaan
spesies jentik dan identifikasi lebih lanjut jenis jentiknya. Jentik yang diambil ditempatkan dalam botol
kecil/vial bottle dan diberi label sesuai dengan nomor tim survei, nomor lembar formulir berdasarkan 1
nomor rumah yang di survei dan nomor kontainer dalam formulir.

B. Metode Visual
Hanya dilihat dan dicatat ada tidaknya jentik didalam kontainer tidak dilakukan pengambilan
dan pemeriksaan spesies jentik. Survei ini dilakukan pada survei lanjutan untuk memonitor indek-indek
jentik atau menilai PSN yang dilakukan (Depkes RI, 2002). Tiga indeks yang biasa dipakai untuk
memantau tingkat gangguan A. Aegypti, yaitu:

1. House Index (HI) yaitu persentase rumah yang terjangkit larva/ jentik.
HI = Jumlah yang rumah yang terjangkit x 100

11
Jumlah rumah diperiksa yang

2. Container index (CI) yaitu persentase penampungan air yang terjangkit larva atau jentik.
CI = Jumlah Penampung yang positif x 100
Jumlah Penampung yang diperiksa

3. Breteau index (BI) yaitu jumlah penampung air yang positif per 100 rumah yang diperiksa.
BI = Jumlah Penampung yang positif x 100
Jumlah rumah yang diperiksa

✓ Vektor Nyamuk Aedes Aegypti


Virus chik ditularkan dari orang sakit ke orang sehat melalui gigitan nyamuk aedes dari sub
genus stegomyia.Di Indonesia ada 3 jenis nyamuk aedes yang bisa menularkan virus chik yaitu: A.
aegypti, A. albopictus dan A. scutellaris (Depkes RI, 2002). Dari ketiga jenis nyamuk tersebut A.
Aegypti lebih berperan dalam penularan penyakit Chikungunya. Nyamuk ini banyak ditemukan di
dalam rumah atau bangunan dan tempat perindukanya juga lebih banyak terdapat di dalam rumah.
Keberadaan jentik berhubungan dengan keberadaan vektor nyamuk A. aegypti juga, oleh karena itu
untuk mengetahui kepadatan populasi nyamuk A. aegypti di suatu lokasi dapat dilakukan beberapa
survei di rumah yang dipilih secara acak. Survei nyamuk dilakukan dengan cara penangkapan nyamuk
umpan orang di dalam dan di luar rumah, masing-masing selama 20 menit per rumah dan penangkapan
nyamuk biasanya dilakukan dengan menggunakan aspirator.
Indek-indek nyamuk yang di gunakan adalah:
1. Bitting/Landing Rate = Jumlah A. aegypti yang tertangkap umpan orang
Jumlah penangkapan x Jumlah jam penangkapan
2. Resting/Rumah = Jumlah A.aegypti betina pada penangkapan nyamuk hinggap
Jumlah rumah yang dilakukan penangkapan
Karena vektor penyakit Chikungunya sama dengan vektor penyakit DBD, maka secara teoritis
dinyatakan bahwa, angka bebas jentik (ABJ) akan berbanding terbalik dengan angka kesakitan DBD.
Bila ABJ nya rendah maka kemungkinan besar angka kesakitannya akan tinggi, karena risiko
penularannya pun tinggi. Angka bebas jentik ini sangat dipengaruhi oleh banyak factor selain perilaku,
sikap, nilai-nilai lainnya dan juga keadaan curah hujan. Oleh karena itu kebijakan dalam pelaksanan
PSN menetapkan bahwa, ABJ dengan nilai ambang batas 95 %, apabila ABJ kurang dari angka tersebut
maka, risiko penularan penyakit akan tinggi dan harus menjadi perhatian semua pihak.

2.10 Identifikasi Potensi Bahaya Ikutan atau Sekunder


Potensi bahaya juga dapat ditimbulkan dari kegiatan-kegiatan lainnya yang mendukung
terjadinya insidensi penyakit Chikungunya di suatu daerah, yaitu :
1. Imigran (pendatang baru)
Seorang imigran yang berasal dari daerah endemis dan positif terinfeksi virus Chik, masuk ke
wilayah tidak endemis akan meningkatkan resiko penyebaran penyakit Chikungunya tersebut
di daerah yang sebelumnya tidak endemis tersebut.
2. Transportasi
Kegiatan yang mendukung terjadinya penyebaran penyakit adalah melalui transportasi, dalam
artian suatu transportasi yang membentuk suatu kegiatan di suatu wilayah, contohnya
transportasi kapal yang berlabuh di suatu pelabuhan. Virus tersebut bisa di bawa dari hewan
ataupun manusia yang terbawa dari transportasi tersebut.

12
3. Bukaan Lahan Baru
Suatu daerah yang awalnya merupakan daerah hutan dan dengan perkembangan zaman
menuntut orang-orang untuk membuka kawasan hutan tersebut untuk dijadikan sebagai
kawasan tertentu, seperti perumahan. Hal ini menyebabkan banyak nyamuk bersarang pada
wilayah bukaan baru tersebut dan berkembang di daerah tersebut. Sehingga meningkatkan
resiko perkembangan agent pada vektor dan berpengaruh pada peningkatan resiko penularan
pada manusia.

2.11 Investigasi Wabah Chikungunya

✓ Simulasi Kasus
Pada tanggal 08 Januari 2012 Dinas Kesehatan Kota Salatiga mendapat laporan dari Puskesmas
Siderejo Lor kemungkinan telah terjadi KLB Chikungunya di Kelurahan Siderejo Lor dengan
jumlah kasus sebanyak 46 orang dengan gejala demam, nyeri persendian dan menggigil dalam
waktu priode waktu 2-4 hari. Dan pada tanggal 9-12 Januari pasien chikungunya bertambah
menjadi 72 kasus (Dinkes Kota Salatiga, 2012).

✓ Langkah-langkah Dalam Melakukan Investigasi Wabah Chikungunya


1. Memastikan Adanya Wabah
Penetapan untuk memastikan adanya wabah/KLB dilakukan karena keresahan yang
terjadi di masyarakat. Keresahan diakibatkan karena ketidak tahuan masyarakat perihal
penyakit ini. Keresahan semakin meluas semenjak ada beberapa orang menderita penyakit dan
keluhan yang sama dalam beberapa hari yaitu mendadak demam serta beberapa anggota tubuh
terutama tangan dan kaki sulit untuk digerakkan.
Kasus demam chikungunya di Kelurahan Siderejo Lor merupakan kejadian luar biasa
(KLB). Hal ini didasarkan pada laporan W1 (laporan KLB/wabah/24 jam) dan didukung
dengan laporan mingguan W2 Puskesmas Siderejo Lor. Penetapan adanya KLB juga dilakukan
dengan membandingkan data surveilans Puskesmas Siderejo Lor dan Dinas Kesehatan Kota
Salatiga selama ini belum pernah ditemukan kasus demam chikungunya di daerah tersebut.
Jadi kasus demam chikungunya yang terjadi merupakan kasus pertama.
Puskesmas siderejo Lor selama 3 tahun kebelakang belum pernah terjadi kasus
chikungunya. Penetapan KLB untuk penyakit chikungunya adalah jika ditemukan lebih dari
satu kasus demam chikungunya yang berhubungan secara epidemilogis atau terjadi secara
berkelompok (Depkes RI, 2009).

2. Memastikan Diagnosa
Pemastian diagnosis dilakukan melalui identifikasi 3 gejala klinis untuk penetapan
kasus chikungunya yaitu mendadak demam, nyeri sendi, bercak merah pada kulit serta gejala
lainnya seperti nyeri otot, sakit kepala, menggigil.
Berdasarkan identifikasi dan observasi di lapangan ditemukan 7 gejala dengan proporsi
terbesar pada kasus tersangka. Tanda dan gejala klinis pada kasus tersangka dalam
penyelidikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Distribusi Gejala Klinis Demam Chikungunya di Rukun Tetangga (RT) 06 dan RT
11 Kelurahan Siderejo Lor Kec.Siderejo Kota Salatiga
3. Tahun 2012

13
Gejala Klinis Jumlah Persentase
Demam 84 100,0
Nyeri persendian 73 86,9
Nyeri otot 73 86,9
Ruam pada kulit 43 51,2
Sakit Kepala 40 47,6
Gejala lain seperti mual dan
muntah 13 15,5
Kejang 1 1,2

Berdasarkan Tabel 1 bahwa gejala yang paling dominan terjadi pada kasus adalah
demam, nyeri sendi, nyeri otot dibandingkan dengan gejala lainnya. Pemastian diagnosis
secara laboratorium, telah dilakukan pemeriksaan immunoglobulin terhadap 7 tersangka kasus
dengan menggunakan rapid diagnostic test (RDT) adalah negatif, pengambilan darah oleh
petugas Dinas Kesehatan Kota Salatiga.
Pemastian perbedaan diagnosis demam chikungunya dengan penyakit lainnya
berdasarkan gejala klinis yang mirip dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Perbedaan Diagnosis Berdasarkan Gejala Klinis


Gejala yang
Cam Mala Demam
Gejala klinis Chikungunya DBD ditemukan
pak ria typoid
dilapangan
Nyeri sendi + + - - - +
Demam + + + + + +
Ruam + + - - - +
Sakit kepala + + - + + +
Mual/muntah + + - + - +
Mata merah + - + - - -
Renjatan
(shock) - + - + - +
Pedarahan - + - - - -
Nyeri ulu hati - + - - - -
Batuk - - + - + -
Pilek - - + - - -
Kulit bersisik - - + - - -
Diare - - + + - -
Bercak koplek
di muka - - + - - -
Menggigil - - - + + -
Kejang - - - + - -
Ikterus - - - + - -
Berkeringat - - - + - -
Rose spot - - - - + -
Sumber : Control of Communicable Diseases Manual, 2000.
Gejala klinis penderita pada KLB ini dibandingkan dengan gejala klinis penyakit-
penyakit pada Tabel 6 lebih mendekati pada gejala klinis demam chikungunya.

14
4. Membuat Definisi Kasus Chikungunya
Pada tanggal 08 Januari 2012 Dinas Kesehatan Kota Salatiga mendapat laporan dari
Puskesmas Siderejo Lor kemungkinan telah terjadi KLB Chikungunya di Kelurahan Siderejo
Lor dengan jumlah kasus sebanyak 46 orang dengan gejala demam, nyeri persendian dan
menggigil dalam waktu priode waktu 2-4 hari. Dan pada tanggal 9-12 Januari pasien
chikungunya bertambah menjadi 72 kasus (Dinkes Kota Salatiga, 2012).

5. Mendeskripsikan Wabah Chikungunya


a. Deskripsi Kasus Berdasarkan Variabel Tempat
Pertama kali yang melaporkan adanya kasus Chikungunya adalah di RT 06 RW 08, dimana
warganya mengalami gejala panas, persendian sakit, pusing, demam, badan menggigil, tulang
linu dan tidak bisa berjalan, kemudian menyebar ke RT 11 yang sangat berdekatan dengan
gejala yang sama. Distribusi kasus demam chikungunya menurut tempat dapat dilihat pada
Tabel 3.

Tabel 3. Distribusi Penderita Demam Chikungunya Berdasarkan di RT di Kelurahan Siderejo


Lor Kec.Siderejo Kota Salatiga
Tahun 2012
Jumlah AR
RT Jumah penduduk
Penderita (%)
RT 06 116 48 41,3
RT 11 118 36 30,5
Jumlah 234 84 35,8
Berdasarkan Tabel 7 bahwa penderita demam chikungunya di Kelurahan Siderejo Lor
hanya terjadi di RW 08 yang terdiri dari 2 RT, dan RT yang paling banyak kasusnya adalah
RT 06 sebanyak 48 orang, sedangkan RT 11 sebanyak 36 orang, di RT 06 lebih banyak
menderita chikungunya (AR=41,3%) bila dibandingkan dengan RT 11.

b. Deskripsi Kasus Berdasarkan Variabel Orang


Deskripsi kasus demam chikungunya di Kelurahan Siderejo Lor di RW 08 menurut
variabel orang adalah sebagai berikut :

Tabel 4. Distribusi Penderita Demam Chikungunya Berdasarkan Jenis Kelamin di RT


6 dan RT 11 di Kelurahan Siderejo Lor
Kec.Siderejo Kota Salatiga Tahun 2012
Jumlah Jumlah Penderita AR
Jenis Kelamin
penduduk (%)
Laki-laki 108 38 35,3
Perempuan 126 46 36,4
Jumlah 234 84 35,8

Dari Tabel 4 diperoleh bahwa distribusi penderita demam chikungunya berdasarkan jenis
kelamin lebih banyak pada jenis kelamin perempuan (AR = 36,4%). Hal ini disebabkan oleh
karena perempuan lebih banyak berada di rumah dibandingkan dengan laki-laki.

15
Tabel 5. Distribusi Penderita Demam Chikungunya Berdasarkan Tingkat Pendidikan di RT 6
dan RT 11 di Kelurahan Siderejo Lor
Kec.Siderejo Kota Salatiga Tahun 2012
Jumah AR
Pendidikan Jumlah Penderita
penduduk (%)
Tidak sekolah 11 1 9,3
Belum sekolah 28 6 21,7
Belum tamat SD 12 9 75,0
SD 39 16 40,6
SLTP 38 15 39,2
SLTA 75 32 42,4
Sarjana 31 5 16,1
Jumlah 234 84 35,8

Berdasarkan Tabel 5 di peroleh bahwa penderita chikungunya lebih banyak terjadi pada
pendidikan SLTA sedangkan menurut AR maka yang paling tinggi terjadi pada yang belum
tamat SD (AR=75,0%) sedangkan yang paling rendah terjadi pada yang tidak sekolah.

Tabel 6. Distribusi Penderita Demam Chikungunya Berdasarkan Pekerjaan di RT 6 dan RT


11 di Kelurahan Siderejo Lor Kec.Siderejo
Kota Salatiga Tahun 2012
Jumah Jumlah AR
Pekerjaan
Penduduk Penderita (%)
Ibu rumah tangga (IRT) 18 13 72,2
Pedagang 18 3 16,7
Pelajar/siswa (termasuk tidak)
42 9 21,4
berkerja
PNS 8 3 37,5
Wiraswasta 82 32 39,0
Buruh pabrik 34 4 11,8
Petani 8 1 12,5
Pegawai swasta 18 1 5,6
Pensiunan 6 2 33,3
Jumlah 234 84 35,8

Berdasarkan Tabel 6 di peroleh bahwa penderita chikungunya paling banyak terjadi pada
wiraswasta, sedangkan menurut angka AR paling tinggi terjadi pada IRT dengan AR=72,2%,
hal ini disebabkan oleh karena ibu rumah tangga lebih banyak berada di rumah dibandingkan
dengan pekerjaan yang lainnya.

c. Deskripsi Kasus Berdasarkan Variabel Waktu


Kejadian luar biasa chikungunya di Kelurahan Siderejo Lor dapat diketahui perkiraan
pola penularan, periode paparan, puncak kejadian serta periode terjadinya kejadian luar
biasa dengan pengamatan data terjadi penularan terus menerus dalam satu tempat
sepanjang masa paparan penyakit. Dengan menarik kebelakang sebesar masa inkubasi
terpendek (3 hari) dari kasus pertama dan inkubasi terpanjang pada kasus yang terakhir

16
(12 hari), maka dengan demikian dapat diketahui bahwa waktu paparan terjadi pada
tanggal 17 Desembar 2011 sampai 18 Januari 2012 atau 33 hari.

6. Mengembangkan Hipotesis
Hasil analisis bivariat di dapatkan variabel :
1. Kebiasaan tidur siang merupakan faktor risiko (OR=2,68) dan secara statistik bermakna
dimana (CI=1,384-5,226, p=0.003).
2. Kebiasaan tidak menggunakan obat anti nyamuk merupakan faktor risiko (OR=2,640)
dan secara statistik bermakna dimana (CI=1.405-4.960, p=0,002).
3. Rumah yang tidak menggunakan kawat kasa anti nyamuk merupakan faktor risiko
(OR=4,281) dan secara statistik bermakna (CI=2,046-8,956, p=0,000).
4. Rumah yang dekat dengan kebun merupakan faktor risiko (OR=3,900) menderita
chikungunya dan secara statistik bermakna dimana (CI=1,909-7,967, p=0,000).
Kota Salatiga berada di cekungan kaki bukit diantara gunung-gunung kecil serta curah
hujan cukup tinggi yaitu 1.935 mm per tahun terutama pada Desember sampai Pebruari
peningkatan kejadian chikungunya erat kaitannya dengan semakin banyaknya tempat
perindukan nyamuk dengan meningkatnya curah hujan serta meningkatnya mobilisasi
penduduk.
Di Kelurahan Siderejo Lor terutama di RT 11 dan RT 06 terdapat dua pengusaha yang
pengumpul barang-barang bekas di lingkungan warga, sehingga barang-barang bekas dapat
menampung air hujan yang memungkinkan untuk tempat nyamuk bertelur seperti kaleng-
kaleng bekas, tempat air mineral bekas, dan lain-lain yang berada disekitar rumah penduduk
yang dapat menjadi tempat perindukan vektor penyakit demam chikungunya dan
ditemukan juga kebun jati yang dimana terdapat cekungan di pohon tersebut sehingga dapat
merupakan tempat perindukan nyamuk yang akan meningkatnya populasi nyamuk.

7. Menguji Hipotesis
Untuk menguji hipotesis pada kasus ini digunakan penelitian Kasus Kontrol.
a. Batasan Kasus
Mereka yang diagnosis chikungunya dengan gejala klinis utama demam, nyeri pada persendian
dan bintik-bintik merah pada kulit (ruam) dan gejala lainnya yang dapat dijumpai adalah nyeri
otot, sakit kepala, selama 1-10 hari dan bertempat tinggal di Kelurahan Siderejo Lor Kota
Salatiga.

b. Batasan Kontrol
Mereka yang tidak sakit dan tidak baru mengalami sakit dengan gejala klinis utama demam,
nyeri pada persendian dan bintik-bintik merah pada kulit (ruam) pada saat terjadi KLB dan
bertempat tinggal di Kelurahan Siderejo Lor Kota Salatiga.

c. Cara Pengambilan Kasus/Kontrol


Semua penderita atau yang pernah memiliki riwayat menderita selama 2 minggu terakhir
dengan gejala klinis utama demam, nyeri pada persendian dan bintik-bintik merah pada kulit
(ruam) diambil sebagai kasus, sedangkan orang yang tinggal satu rumah atau tetangga
penderita tetapi tidak sakit diambil sebagai kontrol. Survei kontak (kunjungan kerumah
berdasarkan alamat kasus yang diperoleh dari Puskesmas, Dinkes Kota Salatiga dan informasi
dari ketua RT untuk mencari tahu sumber penularan yang memungkinkan.

17
d. Variabel Penelitian
Variabel yang akan diteliti adalah :
• Kebiasaan tidur siang
• Baju atau celana panjang
• Tidur siang menggunakan kelambu
• Tidak menggunakan anti nyamuk
• Tidur siang menggunakan selimut
• Melaksanakan PSN
• Kebiasaan menggantung pakaian
• Pengetahuan tentang chikungunya
• Kawat kasa anti nyamuk
• Rumah dekat kebun

8. Memperbaiki Hipotesis
Analisis bivariat menunjukkan bahwa dari variabel faktor kebiasaan tidur siang,
menggunakan anti nyamuk, kawat kasa anti nyamuk, rumah dekat kebun, untuk melihat
faktor resiko yang dominan tersebut berhubungan terhadap kejadian KLB, dilakukan analisis
multivariabel pada faktor risiko yang secara statistik bermakna.
Dari hasil analisis dengan regresi logistik diketahui bahwa faktor risiko yang dominan
berhubungan dengan KLB chikungunya adalah :
1. Rumah yang tidak menggunakan kawat kasa anti nyamuk merupakan faktor risiko
(OR=4,281) dan secara statistik bermakna (CI=2,046-8,956, p=0,000), hal ini mungkin
karena penderita lebih banyak digigit di dalam rumah dimana perempuan (AR=36,4%),
lebih banyak menghabiskan waktu di rumah serta kebiasaan anak-anak yang belum tamat
SD (AR=75,0%), yang memiliki kebiasaan bermain di dalam, halaman dan sekitar rumah,
2. Rumah yang dekat dengan kebun memiliki peluang 4 kali (OR=3,900) lebih besar
menderita chikungunya dan secara statistik bermakna dimana (CI=1,909-7,967, p=0,000),
hal ini disebabkan karena kebun yang tidak dirawat tersebut terdapat cekungan-cekungan
dan terdapat kaleng-kaleng bekas dimana pada musim penghujan dapat menampung air
sehingga dapat menjadikan media yang baik bagi nyamuk untuk berkembang biak.

9. Melaksanakan Pengendalian dan Pencegahan


• Kepada dinas Kesehatan Kota Salatiga :
a. Meningkat sistem kewaspadaan dini terhadap KLB dengan melaksanakan kegiatan
surveilands aktif, serta pembinaan secara kontinyu terhadap pemegang program
surveilands Puskesmas tentang penyakit-penyakit yang potensial wabah.
b. Meningkatkan kemampuan petugas kesehatan dalam melakukan analisis data kejadian
penyakit sehingga diketahui trends setiap penyakit.
c. Meningkatkan kerjasama lintas program dengan bagian Promosi kesehatan untuk
meningkatkan pengetahuan masyarakat melalui kegiatan penyuluhan tentang
chikungunya.
d. Meningkatkan kegiatan penyelidikan epidemiologis terhadap penyakit serta pemantauan
perkembangan KLB chikungunya setiap saat.

• Kepada Puskesmas Siderejo Lor :

18
a. Meningkatkan peran serta masyarakat melalui kegiatan pemberantasan sarang nyamuk
dengan merangkul tokoh masyarakat, tokoh agama serta mengaktifkan forum kesehatan
kelurahan (FKK).
b. Sistem pencatatan dan pelaporan surveilands (W1, W2) ditingkatkan sehingga apabila
terjadinya peningkatan kasus akan segera diketahui dengan melaksanakan pelatihan-
pelatihan singkat di puskesmas.

• Kepada Masyarakat Siderejo Lor :


a. Melaksanakan kegiatan gotong royong melalui forum kesehatan kelurahan (FKK)
sehingga kegiatan tersebut lebih terorganisir dengan melibatkan seluruh masyarakat
melalui peraturan dari Kelurahan.
b. Lebih meningkatkan kembali kegiatan PSN di lingkungan rumah masing-masing untuk
mengurangi populasi jentik nyamuk yang dapat dilakukan seminggu atau dua minggu
sekali.
c. Masyarakat dianjurkan untuk selalu menghindari gigit nyamuk seperti menggunakan
kawat kasa anti nyamuk di rumah-rumah, menggunakan obat anti nyamuk, menggunakan
baju atau celana panjang jika keluar rumah.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penyakit chikungunya disebabkan oleh sejenis virus yang disebut virus Chikungunya. Virus ini
termasuk keluarga Togaviridae, genus alphavirus atau “group A” antropho borne viruses. Virus ini telah

19
berhasil diisolasi di berbagai daerah di Indonesia. Sejarah Chikungunya di Indonesia Penyakit ini
berasal dari daratan Afrika dan mulai ditemukan di Indonesia tahun 1973.
Virus chikungunya termasuk kelompok virus RNA yang mempunyai selubung, merupakan salah
satu anggota grup A dari arbovirus, yaitu alphavirus dari famili Togaviridae.
Penularan demam Chikungunya terjadi apabila penderita yang sakit digigit oleh nyamuk penular,
kemudian nyamuk penular tersebut menggigit orang lain. Virus menyerang semua usia, baik anak-anak
maupun dewasa di daerah endemis (berlaku dengan kerap di suatu kawasan atau populasi dan senantiasa
ada).
Gejalanya adalah demam, sakit persendian, nyeri otot, bercak kemerahan pada kulit, dan sakit
kepala.
Untuk memperoleh diagnosis akurat perlu beberapa uji serologik antara lain uji hambatan
aglutinasi (HI), serum netralisasi, dan IgM capture ELISA.
Pengobatan terhadap penderita ditujukan terhadap keluhan dan gejala yang timbul. Perjalanan
penyakit ini umumnya cukup baik, karena bersifat “self limited disease”, yaitu akan sembuh sendiri
dalam waktu tertentu.
Chikungunya tidak menyebabkan kematian atau kelumpuhan. Dengan istirahat cukup, obat
demam, kompres, serta antisipasi terhadap kejang demam, penyakit ini biasanya sembuh sendiri dalam
tujuh hari.

3.1.1. Pemberantasan Nyamuk Penular Demam Chikungunya


Pemberantasan nyamuk demam Chikungunya seperti penyakit menular lainnya, didasarkan
atas pemutusan rantai penularan. Beberapa cara untuk memutuskan rantai penularan penyakit demam
Chikungunya yaitu:
a. Melenyapkan virus dengan cara mengobati semua penderita dengan obat anti virus.
b. Solusi penderita agar tidak menjadi sumber penularan bagi orang lain
c. Mencegah gigitan nyamuk/vektor.
d. Immunisasi terhadap orang sehat.
e. Membasmi/ memberantas sarang nyamuk.
Cara yang biasa dipakai adalah memberantas sumber nyamuk, penyehatan lingkungan ataupun
chemical control. Penyehatan lingkungan merupakan cara terbaik. Untuk mencapai tujuan ini di
perlukan usaha yang terus-menerus secara berkesinambungan. Hasil yang diharapkan memang tidak
tampak dengan segera.

• Pemberantasan Nyamuk Dewasa


Pemberantasan terhadap nyamuk dewasa dilakukan dengan cara pengasapan (fogging) dengan
insektisida. Hal ini dilakukan mengingat kebiasaan nyamuk yang hinggap di benda-benda
tergantung karena itu tidak dilakukan penyemprotan di dinding rumah seperti pada
pemberantasan nyamuk penular penyakit demam Chikungunya (Depkes RI, 2002). Insektisida
yang digunakan adalah insektisida golongan organophospat misalnya malathion dan
feritrothion, pyrectic syntetic misalnya lamda sihalotrin dan parmietrin, dan karbamat. Alat

20
yang digunakan untuk menyemprot ialah mesin fog atau mesin ultra low volume(ULV), karena
penyemprotan dilakukan dengan cara pengasapan, maka tidak mempunyai efek residu (Suroso,
2003).
Penyemprotan insektisida dilakukan interval 1 minggu untuk membatasi penularan
virus Chikungunya. Penyemprotan siklus pertama semua nyamuk mengandung virus
Chikungunya (nyamuk inaktif) dan nyamuk-nyamuk lainnya akan mati. Penyemprotan
insektisida ini dalam waktu singkat dapat membatasi penularan akan tetapi tindakan ini perlu
diikuti dengan pemberantasan jentik agar populasi nyamuk dapat ditekan serendah-rendahnya
(Suroso, 2003).

• Pemberantasan Larva (Jentik)


Pemberantasan terhadap jentik A. Aegypti dikenal dengan istilah Pemberantasan
Sarang Nyamuk (PSN) dilakukan dengan tiga cara yaitu kimia, biologi dan fisik.
1.) Cara kimia
Cara pemberantasan jentik A. Aegypti secara kimia dengan menggunakan insektisida
pembasmi jentik (larva) atau dikenal dengan abatisasi. Larvasida yang biasanya digunakan
adalah temephos. Dosis yang digunakan adalah 1 ppm atau 10 gram (lebih kurang atau
satu sendok makan rata) untuk tiap 100 liter air. Bentuk fisik temephos yang digunakan
ialah granula (sand granula). Abatisasi dengan temephos ini mempunyai efek residu tiga
bulan (Depkes RI, 2004 dan Soedarmo, 1988).
2.) Cara Biologi
Pemberantasan cara biologi dengan memanfaatkan predator alami seperti memelihara ikan
pemakan jentik misalnya ikan kepala timah, ikan gufi, ikan nila merah dan ikan lega. Selain
itu dapat pula dengan golongan serangga yang dapat mengendalikan pertumbuhan larva
(Depkes RI, 2004).
3.) Cara Fisik
Pemberantasan cara fisik melalui kegiatan 3 M + 1 T yaitu mengubur atau memusnahkan
barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat terisinya air hujan, menguras tempat
penampungan air minimal 1 kali seminggu, menutup tempat penampungan air, dan
menelungkupkan barang – barang yang dapat menjadi tempat perindukan nyamuk A.
aegypti (Depkes RI, 2004).

Keberhasilan pemberantasan sarang nyamuk hanya dapat diperoleh dengan peran serta
masyarakat untuk melaksanakannya. Oleh karena itu dilakukan usaha penyuluhan dan motivasi kepada
masyarakat secara kontinu dalam waktu lama, sebab keberadaan jentik nyamuk berkaitan erat dengan
perilaku masyarakat (Depkes RI, 1992)

.
3.1.2. Jenis Kegiatan Pemberantasan Nyamuk
Jenis kegiatan pemberantasan nyamuk penular demam Chikungunya meliputi:
1. Penyemprotan massal
Desa/kelurahan rawan dapat merupakan sumber penyebarluasan penyakit ke wilayah lain.
Kejadian luar biasa/wabah demam Chikungunya sering kali dimulai dari peningkatan jumlah
kasus demam Chikungunya di wilayah lain. Biasanya di desa/kelurahan ini, pada tahun-tahun
berikutnya akan terjadi kasus demam Chikungunya. Oleh karena itu penularan penyakit di

21
wilayah ini diperlukan segera dibatasi dengan penyemprotan insektisida dan diikuti PSN oleh
masyarakat untuk membasmi jentik-jentik penular demam Chikungunya. Penyemprotan ini
dilaksanakan sebelum musim penularan penyakit demam Chikungunya di desa rawan agar
sebelum terjadi puncak penularan virus Chikungunya, populasi nyamuk penular dapat ditekan
serendah-rendahnya sehingga KLB dapat dicegah (Depkes RI, 2004).
2. Pemantauan Jentik Berkala (PJB)
Pemantauan jentik berkala adalah pemeriksaan tempat penampungan air dan tempat
perkembangbiakan nyamuk A. aegypti untuk mengetahui adanya jentik nyamuk yang
dilakukan di rumah dan di tempat umum secara teratur sekurang-kurangnya tiap 3 bulan untuk
mengetahui keadaan populasi jentik nyamuk penular penyakit demam Chikungunya.
3. Pemberantasan Sarang Nyamuk
Pencegahan yang dilaksanakan oleh masyarakat di rumah dan di tempat tempat umum dengan
melaksanakan PSN meliputi:
a.) Menguras tempat penampungan air sekurang kurangnya seminggu sekali atau
menutupnya rapat-rapat.
b.) Mengubur barang bekas yang dapat menampung air.
c.) Menaburkan racun pembasmi jentik (abatisasi).
d.) Memelihara ikan dan cara-cara lain untuk membasmi jentik (Soedarmo, 1988).

3.2 Saran
Bagi penderita sangat dianjurkan makan makanan yang bergizi, cukup karbohidrat dan terutama
protein dapat meningkatkan daya tahan tubuh, serta minum air putih sebanyak mungkin untuk
menghilangkan gejala demam. Perbanyak mengkonsumsi buah-buahan segar (sebaiknya minum jus
buah segar).
Cara mencegah penyakit ini adalah membasmi nyamuk pembawa virusnya, termasuk
memusnahkan sarangpembiakan larva untuk menghentikan rantai hidup dan penularannya. Cara
sederhana yang sering dilakukan masyarakat misalnya:
✓ Menguras bak mandi, paling tidak seminggu sekali. Mengingat nyamuk tersebut berkembang
biak dari telur sampai dewasa dalam kurun waktu 7-10 hari.
✓ Menutup tempat penyimpanan air
✓ Mengubur sampah
✓ Menaburkan larvasida.
✓ Memelihara ikan pemakan jentik
✓ Pengasapan
✓ Pemakaian anti nyamuk
✓ Pemasangan kawat kasa di rumah.
Insektisida yang digunakan untuk membasmi nyamuk ini adalah dari golongan malation,
sedangkan themopos untuk mematikan jentik-jentiknya. Malation dipakai dengan cara pengasapan,
bukan dengan menyemprotkan ke dinding. Hal ini dikarenakan nyamuk Aedes aegypti tidak suka
hinggap di dinding, melainkan pada benda-benda yang menggantung.
DAFTAR PUSTAKA

• ANALISIS FAKTOR…lib.unnes.ac.id/7989/4/8571.pdf diakses pada tgl 15/3/2013


• Demam Chikungunya 2.1.1 …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23166/…/Chapter%
20II.pd diakses pada tgl 15/3/2013

22
• http://bahankuliahkesehatan.blogspot.com/2011/03/chikungunya.html diakses pada tgl
15/3/2013
• http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20945/4/Chapter%20IIchikungunya.pdf diak
ses pada tgl 17/3/2013
• HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN
FISIK …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20945/…/Chapter%20II.pdf diakses pada
tgl 17/3/2013
• Indonesia merupakan …etd.eprints.ums.ac.id/16086/2/BAB_I.pdf diakses pada tgl 15/3/2013
• http://kompael.wordpress.com/2010/08/26/contoh-laporan/
• Kajian Kebijakan Penanggulangan (Wabah)
Penyakit …kgm.bappenas.go.id/document/makalah/18_makalah diakses pada tgl 17/3/2013
• pengertian chikungunya « Blognya Ummu
Kautsar ummukautsar.wordpress.com/tag/pengertian-chikungunya diakses pada tgl
15/3/2013

23

Anda mungkin juga menyukai