Anda di halaman 1dari 7

Robby Akbariandi 6411421212

Rani Septiani 6411421214


Tasya Nur Rokhmah

Re-Emerging Disease Chikungunya

A. Definisi Chikungunya
Chikungunya adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus chikungunya
yang ditularkan oleh nyamuk Aedes sp (Restuastuti. 2011. 41). Nyamuk Aedes
aegypti (Ae. aegypti) adalah vektor utama yang menyebabkan penyebaran penyakit
chikungunya. Namun, penyakit ini juga dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk
Aedes albopictus (Ae. albopictus). Vektor penular chikungunya memiliki kemiripan
dengan vektor penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), yang berarti langkah-
langkah pencegahan yang diambil untuk mencegah chikungunya juga mirip dengan
yang dilakukan untuk mencegah DBD. Virus chikungunya telah menyebar ke Asia
sejak ditemukan pertama sekali di daerah Tanzania (Tanganyika) Afrika tahun 1952.
Pada tahun 1958, terjadi kejadian luar biasa penyebaran penyakit chikungunya
di Bangkok, Asia, dan kemudian menyebar ke negara-negara Asia Tenggara lainnya
seperti Vietnam, Myanmar, Malaysia, dan Brunei Darussalam (Ross. Di Indonesia,
pertama kali dilaporkan terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa) chikungunya pada Juni
1982 di Jambi, dan penyakit ini kemudian menyebar ke berbagai daerah di Indonesia.
Beberapa daerah di Indonesia menunjukkan keberadaan antibodi IgG yang positif
terhadap chikungunya, seperti Yogyakarta pada tahun 1999 (dengan tingkat kejadian
antara 68-74% pada kasus dan 28-32% pada daerah tanpa KLB), Bogor pada tahun
2001 (63% pada kasus), dan Bandung pada tahun 2003 (100%).
Data surveilans penyakit di Indonesia menunjukkan bahwa hampir setiap
tahun terjadi KLB di berbagai daerah di Indonesia. Pada tahun 1983 dan 1985,
penyakit ini sudah menyebar ke Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan
Tengah, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Dalam rentang waktu dua
tahun berturut-turut, yaitu 2008-2009, dilaporkan terjadi KLB di berbagai daerah
seperti DKI Jakarta, Provinsi Banten, Bangka Belitung, Sumatra Utara, Sumatra
Selatan, Jawa Tengah, Jawa Barat, Riau, Sumatra Barat, Kalimantan Selatan,
Lampung (pada tahun 2008), serta Aceh dan Jambi (pada tahun 2009) (Maha, M, S.
2014. 12).

B. Sejarah Chikungunya
Chikungunya (CHIK) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Arbovirus
dan disebarkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes serta acapkali
menimbulkan wabah. Wabah yang terjadi di daerah urban bersifat sporadik tetapi
karakteristiknya eksplosif. Wabah tersebut kemudian menghilang dan timbul lagi
berulang dalam interval yang tidak teratur. Penyakit CHIK untuk pertama kalinya
dilaporkan oleh Robinson dan Lumsden dari kejadian sebuah wabah di lembah
Makonde, sepanjang perbatasan Tanganyika dan Mozambique, pada tahun 1952.
Nama CHIK sebenarnya berasal dari kata kerja bahasa Makonde sendiri yaitu
“kungunyala” yang mempunyai arti “mengeringkan” (to dry up) atau “menjadi
bengkok” (to become contorted).
Selanjutnya Robinson menggunakan istilah tersebut secara lebih spesifik
untuk menggambarkan orang yang menderita CHIK jalannya membungkuk sebagai
akibat dari gejala artritis oleh penyakit tersebut. Pada awalnya CHIK dijumpai dalam
bentuk wabah di Afrika, dan menyebabkan penyakit yang memberi gejala gejala
seperti demam dengue.
Peristiwa timbulnya wabah di Indonesia diperkirakan dimulai dengan
terjadinya penyebaran virus CHIK sekitar tahun 1982-1985 dengan munculnya wabah
CHIK di Sumatera Selatan (Jambi) dan Kalimantan Barat (1982), Jawa (Yogyakarta,
1983), bagian Selatan dan Timur Kalimantan (1983), Nusa Tenggara Timur (1984),
Kepulauan Maluku (1985), Sulawesi Selatan dan Irian Jaya (1985). Wabah pertama
CHIK di Indonesia dikenal sebagai “knuckle fever”. Istilah ini berasal dari sebuah
catatan di zaman Belanda yang menuliskan adanya penyakit tersebut di Batavia pada
tahun 1779. Pada tahun 1973, suatu wabah penyakit demam yang tidak diketahui
penyebabnya dilaporkan melanda Samarinda dan Balikpapan di sepanjang pantai
timur Pulau Kalimantan. Penyakit ini menunjukkan gejala-gejala yang cocok dengan
infeksi CHIK. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya tahun 1983, suatu rentetan epidemi
CHIK terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan attack rate sekitar 70- 90%.
Delapan wabah lain yang mungkin sekali adalah CHIK dilaporkan terjadi di Indonesia
antara tahun 1982 dan 1985.
Sebanyak 8.068 kasus dilaporkan selama tahun 1983 dari 9 provinsi meliputi
29 kabupaten dan kota-kota di Indonesia. Setelah masa tenang (hiatus) selama sekitar
20 tahun, antara 2001 sampai 2003 dilaporkan adanya 24 kejadian wabah CHIK di
seluruh wilayah di Indonesia. Re-emergensi epidemi CHIK yang terjadi di seluruh
wilayah Indonesia setelah masa tenang selama 20 tahun tidak berbeda dengan apa
yang dialami sebelumnya oleh negara-negara lain seperti India dan Thailand. Periode
tenang tanpa aktivitas virus ini merupakan ciri epidemiologis yang membedakan
CHIK dari kebanyakan penyakit virus vector-borne lain yang memiliki vektor dan
dinamika transmisi yang serupa, terutama virus dengue. Pada umumnya re-emergensi
dan epidemi CHIK terjadi dalam siklus 7 atau 8 tahunan, meskipun demikian interval
dua atau tiga dekade juga pernah dilaporkan dari negara-negara seperti Uganda.
Jumlah kasus meningkat sesuai dengan peningkatan umur dan perempuan lebih
banyak dari pada laki-laki. Ini kemungkinan besar menggambarkan keadaan di mana
perempuan lebih banyak terpapar dengan aktivitas di lingkungan rumah pada siang
hari sehingga risiko mendapat gigitan nyamuk Aedes lebih besar.
Meskipun kasus-kasus CHIK umumnya ditemukan di daerah urban dan
suburban, kebanyakan episode wabah yang terjadi di Indonesia pada waktu akhir-
akhir ini mengenai daerah rural di Jawa yang berpenduduk padat.

C. Gambaran Umum dan Gejala Chikungunya


Penyakit Chikungunya umumnya tidak berakibat fatal, namun dapat
menimbulkan keluhan nyeri sendi yang parah sehingga mengganggu aktivitas sehari-
hari dan menimbulkan kerugian ekonomi secara tidak langsung. Gejala yang sering
muncul antara lain demam akut disertai nyeri sendi, sakit kepala, nyeri perut, dan
mual/muntah. Biasanya penyakit ini akan sembuh dengan sendirinya dalam waktu 7-
10 hari, kecuali nyeri sendi yang dapat berlangsung lebih lama bahkan menjadi kronis
(Maha, M, S. 2014. 12).
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis seperti demam dan nyeri sendi
yang menyerang banyak orang di area yang sama (tingkat serangan tinggi), atau
melalui pemeriksaan laboratorium dengan menggunakan teknik ELISA (enzyme-
linked immunosorbent assay) dan PCR (polymerase chain reaction). Namun karena
keterbatasan reagen dan peralatan, kedua jenis pengujian ini jarang dilakukan.
Perawatan yang biasa dilakukan adalah dukungan simtomatik, dan saat ini belum ada
vaksin yang tersedia untuk pencegahan. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi
gejala klinis utama yang dialami oleh pasien dengan infeksi virus chikungunya.

D. Patofisiologi Chikungunya
Patofisiologi penyakit chikungunya melibatkan serangkaian peristiwa
kompleks yang terjadi setelah manusia terinfeksi virus chikungunya melalui gigitan
nyamuk vektor. Setelah virus memasuki tubuh manusia, ia mulai menginfeksi sel
target, seperti sel epitel, fibroblas, dan sel imun. Virus menempel pada reseptor seluler
tertentu dan memasuki sel, di mana ia bereplikasi di dalamnya. Proses replikasi virus
ini menyebabkan kerusakan sel dan memicu respon imun tubuh. Sistem kekebalan
merespons infeksi dengan merangsang pelepasan berbagai sitokin proinflamasi,
termasuk interleukin-6 (IL-6), interferon-gamma (IFN-γ), dan tumor necrosis factor
alpha (TNF-α).
Sitokin ini memainkan peran penting dalam mengaktifkan respon inflamasi
dan menarik sel imun ke tempat infeksi. Peradangan lokal yang intens di sekitar
persendian adalah salah satu ciri utama penyakit chikungunya. Proses inflamasi yang
terjadi menyebabkan pembengkakan, kemerahan, dan nyeri pada sendi yang
terinfeksi. Selain itu, virus chikungunya dapat menyebar ke berbagai jaringan tubuh,
antara lain kulit, otot, dan sistem saraf pusat. Ini dapat menyebabkan kerusakan
langsung pada sel target dan menyebabkan gejala lain, seperti demam, sakit kepala,
sakit perut, dan mual/muntah.
Meski penyakit chikungunya umumnya tidak fatal, nyeri sendi yang parah
dapat mengganggu aktivitas sehari-hari penderitanya dan menimbulkan kerugian
ekonomi secara tidak langsung. Beberapa individu juga dapat mengalami komplikasi
serius, seperti ensefalitis, mielitis, dan sindrom kejang. Pemahaman tentang
patofisiologi chikungunya penting dalam mengembangkan strategi pengobatan yang
lebih baik dan mengelola komplikasi yang mungkin timbul. Selain itu, diperlukan
penelitian lebih lanjut untuk memahami lebih dalam tentang mekanisme patofisiologi
guna mengembangkan pendekatan terapi yang efektif untuk mengobati penyakit ini.

E. Pengobatan Chikungunya
Pengobatan penyakit chikungunya pada umumnya bersifat suportif dan
simptomatis, karena belum ada pengobatan khusus yang efektif untuk mengatasi
infeksi virus ini. Tujuan pengobatan adalah untuk meredakan gejala yang dialami oleh
penderita. Untuk itu dilakukan cara cara pengobatan, antara lain :
● Penggunaan Obat Pereda Nyeri dan Penurun Demam
● Istirahat dan Rehidrasi
● Terapi fisik seperti fisioterapi dan latihan jasmani
● Pemberian obat antiinflamasi kortikosteroid, seperti prednison, untuk
mengurangi peradangan dan nyeri.
● Pengobatan simptomatik

F. Pencegahan Chikungunya
Chikungunya adalah penyakit yang disebabkan oleh virus chikungunya yang
ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes. Meskipun tidak ada vaksin yang tersedia
untuk mencegah chikungunya, ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk
mengurangi risiko infeksi. Berikut ini adalah beberapa langkah pencegahan yang
dilakukan:
● Gunakan pakaian yang melindungi tubuh seperti baju lengan panjang dan
celana panjang saat berada di area yang terkena risiko penularan chikungunya.
● Pastikan tidak ada genangan air di sekitar rumah
● Usahakan untuk menghindari aktivitas di luar ruangan pada saat nyamuk
Aedes aktif, terutama pada pagi dan sore hari.
● Selalu menerapkan perilaku cuci tangan dengan sabun dan air bersih, terutama
sebelum makan atau setelah menggunakan toilet.

G. Faktor Penularan Chikungunya


1. Faktor Internal
Faktor internal Chikungunya sendiri meliputi ketahanan tubuh atau stamina
seseorang, jika kondisi tubuh tetap bugar, maka individu tersebut mempunyai
kemungkinan yang kecil untuk dapat terkena penyakit Chikungunya. Hal
tersebut dikarenakan tubuh memiliki daya tahan yang cukup kuat dari infeksi
baik yang disebabkan oleh bakteri, parasit, atau virus seperti penyakit
Chikungunya. Oleh karena itu, sangat penting untuk meningkatkan daya tahan
tubuh pada musim hujan dan pancaroba. Pada musim itu terjadi perubahan
cuaca yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan virus
penyebab Chikungunya. Hal ini menjadi kesempatan jentik nyamuk
berkembangbiak menjadi lebih banyak.

2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal dari penyakit Chikungunya adalah faktor yang datang dari
luar tubuh manusia. Faktor ini tidak mudah dikontrol karena berhubungan
dengan pengetahuan, lingkungan dan perilaku manusia baik di tempat tinggal,
lingkungan sekolah serta di tempat kerja. Faktor yang memudahkan seseorang
menderita Chikungunya dapat dilihat dari kondisi berbagai tempat
berkembangbiaknya nyamuk, seperti di tempat penampungan air, karena
kondisi ini memberikan kesempatan pada nyamuk untuk hidup dan
berkembangbiak dengan cepat.

Peran faktor lingkungan dan perilaku terhadap penularan Chikungunya, antara lain :
a. Keberadaan jentik pada kontainer
Keberadaan jentik pada kontainer dapat dilihat dari letak, macam, bahan,
warna, bentuk volume dan penutup container serta asal air yang tersimpan
dalam kontainer, hal ini sangat mempengaruhi bagi nyamuk Aedes aegypti
betina untuk menentukan pilihan tempat bertelurnya. Keberadaan kontainer
sangat berperan dalam kepadatan vektor nyamuk Aedes, karena semakin
banyak kontainer akan semakin banyak juga tempat perindukan dan akan
semakin padat populasi nyamuk Aedes. Semakin banyak populasi nyamuk
Aedes, maka semakin tinggi pula risiko terinfeksi virus Chikungunya dengan
waktu penyebaran lebih cepat sehingga jumlah kasus penyakit Chikungunya
cepat meningkat, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya KLB.
b. Kepadatan Vektor
Kepadatan vektor nyamuk Aedes yang diukur dengan menggunakan parameter
ABJ. Hal ini berperan dalam kepadatan vektor nyamuk Aedes terhadap daerah
yang terjadi kasus KLB. Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
peneliti sebelumnya yang menyatakan bahwa semakin tinggi angka kepadatan
vektor maka akan meningkatkan risiko penularan.
c. Tingkat Pengetahuan tentang Penyakit Chikungunya
Pengetahuan merupakan hasil proses keinginan untuk mengerti, dan ini terjadi
setelah seseorang melakukan penginderaan terutama indera pendengaran dan
penglihatan terhadap objek tertentu yang menarik perhatian terhadap stimulus
atau rangsangan yang masih bersifat terselubung, sedangkan tindakan nyata
seseorang yang belum terwujud (overt behavior). Pengetahuan itu sendiri
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, dimana pengetahuan kesehatan akan
berpengaruh kepada perilaku sebagai hasil jangka menengah (intermediate
impact) dari pendidikan kesehatan yang akan berpengaruh pada meningkatnya
indikator kesehatan masyarakat sebagai keluaran dari pendidikan.

H. Implementasi
Surveilans Epidemiologi Demam Chikungunya di Kec. Campalagian, Polewali
Mandar, Sulawesi Barat.
1. Tujuan Surveilans Chikungunya
a. Untuk memastikan adanya penyakit yang dicurigai sebagai demam
chikungunya (penegakan diagnosis KLB, bukan diagnosis individu,
tetapi diagnosis komunitas)
b. Penyelidikan penyebab penyakit serta mengetahui gambaran
epidemiologi penyakit di Kecamatan Campalagian
c. Bahan rekomendasi untuk seksi wabah dan bencana Dinas Kesehatan
Kabupaten Polewali Mandar dan Puskesmas Katumbangan untuk
melakukan tindakan-tindakan. pencegahan dan penanggulangan.
2. Epidemiologi Chikungunya
Gambaran epidemiologi demam chikungunya menurut umur yaitu umur yang
dikelompok:
1) Umur balita (0-5 tahun)
2) Anak sekolah (6-15 tahun)
3) Usia produktif (16-45 tahun)
4) Kelompok umur diatas 46 tahun

3. Laporan Surveilans Chikungunya


Laporan Surveilans Demam Chikungunya di Kec. Campalagian (Juni-Juli
2010):
GAMBAR 1
● Potongan warna hijau yaitu umur 16-45 tahun kelompok umur yang
dapat dikatakan usia produktif berada pada potongan terbesar (60% 18
penderita),
● Potongan terkecil terdapat pada golongan umur balita dan 6-15 tahun,
kelompok yang sangat perlu mendapat perlindungan khusus yaitu
masing-masing sebesar 3% = 1 penderita.
● Pada Potongan warna ungu kelompok usia 46 tahun keatas ditemukan
sebesar 34% = 10 penderita, merupakan kelompok usia lanjut. Tidak
mengherankan kalau penderita dengan kelompok usia lanjut ini
dicurigai juga menderita Rematik Atritis, salah satu alasan yang tepat
yang dapat menunjukkan tidak semua penderita (30 penderita) adalah
dicurigai sebagai demam chikungunya.

GAMBAR 2
Gambaran epidemiologi penderita menurut jenis kelamin
memperlihatkan kejadian demam chikungunya pada laki-laki hampir
sebanding dengan kejadian pada perempuan yaitu masing-masing 53% (16
penderita) dan 47% (14 penderita).

GAMBAR 3
Dapat dilihat kasus pertama terjadi pada minggu pertama Juni 2010
terjadi di Desa Katumbangan Lemo yaitu sebanyak 4 kasus, kemudian secara
berturut-turut ditemukan juga pada minggu kedua dan ketiga bulan Juni 2010
dan pada akhir bulan juni 2010 terjadi penurunan kasus (1 kasus), Namun
pada awal bulan Juli 2010 kasus ini mulai menunjukkan kurva alamiah
penyakit yang bersifat epidemic, sebelumnya hanya terjadi pada Desa
Katumbangan Lemo, mulai menyebrang pada Desa Tetangganya yaitu Desa
Katumbangan.
Puncak Kasus epidemi demam chikungunya ini terjadi pada minggu
ketiga Juli 2010. Adanya tindakan pencegahan dan penanggulangan pada
minggu keempat Juli 2010 mulai terlihat penurunan kasus.
I. Metode Penyelidikan KLB Chikungunya
J. Pelaksanaan Kegiatan Surveilans

DAFTAR PUSTAKA

Katiandagho, D., Jusran, M., & Sambuaga, J. V.I. (2018). Penyelidikan Kejadian Luar

Biasa (KLB) Demam Chikungunya Di Kelurahan Talawaan Kab. Minahasa Utara

Provinsi Sulawesi Utara. 368-372.

Suriptiastuti. (2007). Re-emergensi chikungunya: epidemiologi dan peran vektor pada

penyebaran penyakit. Vol.26 - No.2, 103-108.

Anda mungkin juga menyukai