Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Chikungunya
1. Definisi
Menurut Ditjen PP&PL Kementerian kesehatan RI, 2012 menyatakan
bahwa Demam Chikungunya adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh virus Chikungunya (CHIKV) yang ditularkan melalui gigitan nyamuk
(Arthropod borne virus/ mosquito-borne virus). Virus Chikungunya
termasuk genus Alphavirus, famili Togaviridae (Ditjen PP&PL, 2012)
Menurut World Health Organization, 2008 menyatakan bahwa Demam
Chikungunya adalah penyakit virus yang disebabkan oleh arbovirus yang
ditularkan oleh nyamuk Aedes. pertama kali dalam bentuk wabah di
Tanzania. Nama ini berasal dari dialek 'makonde' yang berarti 'yang
membungkuk', menunjukkan tampilan fisik pasien dengan gambaran
klinis berat (WHO, 2008)
Menurut Central for Disease Control and Prevention, 2011 menyatakan
bahwa Demam Chikungunya (CHIK) adalah penyakit nyamuk yang
disebabkan oleh alphavirus, virus Chikungunya (CHIKV). Penyakit ini
ditularkan terutama oleh Ae. aegypti dan Ae. albopictus, spesies yang
sama yang terlibat dalam transmisi demam berdarah (CDC, 2011)
Chikungunya adalah penyakit virus nyamuk yang menyebabkan gejala
seperti demam, nyeri sendi, nyeri otot, sakit kepala dan hidung dan
perdarahan gusi (ECDC, 2015)
2. Etiologi
Ada dua vektor utama CHIKV, Aedes aegypti dan Ae. Albopictus Kedua
spesies nyamuk tersebut tersebar luas di seluruh daerah tropis dengan
Ae. Albopictus juga hadir pada garis lintang yang lebih beriklim sedang.
Mengingat distribusi vektor di seluruh Amerika, seluruh wilayah rentan
terhadap invasi virus dan menyebar (CDC, 2011)
Menurut WHO, 2008 Virus chikngunya termasuk family togaviridae dan
genus alphavirus yang terdiri atas genom RNA yang berpolaritas positif
dengan diameter kapsid 60-70nm diselimuti fosfolipid, dan sensitive
diatas suhu 58c
a. Agent
Chikungunya disebabkan oleh virus chikv yang merupakan virus RNA
beruntai tunggal, labil panas dan sensitif terhadap suhu diatas 58 c
dalam genus Alphavirus dari Togaviridae, keluarga yang terdiri dari
sejumlah virus yang ditularkan oleh Arthropoda
b. Vector
Aedes aegypti adalah vektor umum bertanggung jawab untuk transmisi di
daerah perkotaan sedangkan Aedes albopictus telah terlibat di daerah
pedesaan, Nyamuk betina dewasa hidup di daerah sejuk dan teduh dalam
factor mendukung perkembangbiakan dan penularan serta gigitan pada
siang hari
c. Reservoir
Reservoir yang mendukung perkembangbiakan dan penularan aedes
aegypti dan aedes albopictus seperti vas bunga, wadah penyimpan air,
pendingin udara, dll dan daerah seperti lokasi konstruksi, batok kelapa,
pembangan limbah rumah tangga (ban, plastik dan logam kaleng, dll) .
(WHO, 2008)
Infeksi manusia diakibatkan oleh gigitan Aedes aegypti dan aedes
albopictus yang terinfeksi dengan transmisi manusia-nyamuk-manusia.
Gigitan nyamuk yang terinfeksi menyebabkan pengendapan virus
Chikungunia (CHIKV) di jaringan subkutan yang mengakibatkan viremia.
Respons demam menandakan replikasi virus dengan pelepasan sitokin
inflamasi. Pembekuan perivaskular limfositik dan ekstravasasi eritrosit dari
kapiler terlihat pada biopsi ruam kutaneous. Pada tahap selanjutnya,
keterlibatan ruang sendi sinovial menyebabkan radang sendi, Tidak ada
kerusakan tulang atau tulang rawan. CHIKV juga dapat menyebabkan
manifestasi SSP dalam bentuk ensefalitis, encephalomyelitis dan neuritis
optic (NVBDCP, 2016)
Menurut Kafeel, 2011 dalam Fauzia, 2012, tahap infeksi sampai terjadi
chikungunya :
a. Tahap awal infeksi
Virus masuk ke tubuh manusia pada saat nyamuk betina aedes
menghisap darah dan bersamaan dengan masuknya virus tersebut
kedalam tubuh manusia
b. Tahap infeksi seluler
Virus ke sitoplasma lalu ke inti seldan meletakkan materi genom.
Setelah melewati tahap seluler, virus masuk ke jaringan dan
menginfeksi sel lain. Menyebabkan virus berpoliferasi di dalam darah
manusia selama 2-12 hari dari gigitan nyamuk
c. Tahap nyamuk
Saat nyamuk menghisap darah manusia yang terinfeksi, virus akan
segera berpindah ke tubuh nyamuk dan bereplikasi dan bereproduksi
serta bermigrasi di kelenjar ludah nyamuk (Fauzia, 2012)
3. Epidemiologi
Menurut WHO, 2017 menjelaskan bahwa Chikungunya terjadi di Afrika,
Asia dan sub-benua India. Infeksi manusia di Afrika pada tingkat yang
relatif rendah selama beberapa tahun, namun pada tahun 1999-2000
terjadi wabah besar di Republik Demokratik Kongo, dan pada tahun 2007
terjadi wabah di Gabon.
Mulai Februari 2005, wabah besar chikungunya terjadi di pulau-pulau di
Samudera Hindia. Sejumlah besar kasus yang diimpor di Eropa terkait
dengan wabah ini, kebanyakan pada tahun 2006 ketika epidemi Samudera
Hindia berada pada puncaknya. Wabah besar chikungunya di India terjadi
pada tahun 2006 dan 2007. Beberapa negara lain di Asia Tenggara juga
terpengaruh. Sejak tahun 2005, India, Indonesia, Maladewa, Myanmar dan
Thailand telah melaporkan lebih dari 1,9 juta kasus. Pada tahun 2007
transmisi dilaporkan untuk pertama kalinya di Eropa, dalam wabah lokal di
Italia timur laut. Ada 197 kasus yang tercatat selama wabah ini dan
dikonfirmasi bahwa wabah yang ditularkan oleh nyamuk oleh Ae.
Albopictus masuk akal di Eropa.
Pada bulan Desember 2013, Prancis melaporkan 2 kasus autochthonous
yang dikonfirmasikan oleh laboratorium di bagian Prancis dari pulau
Karibia di St Martin. Sejak saat itu, transmisi lokal telah dikonfirmasi di
lebih dari 43 negara dan wilayah di Wilayah WHO di Amerika. Ini adalah
wabah chikungunya yang terdokumentasi pertama dengan transmisi
genetis di Amerika. Per April 2015, lebih dari 1 379 788 kasus dugaan
Chikungunya telah tercatat di kepulauan Karibia, negara-negara Amerika
Latin, dan Amerika Serikat. 191 kematian juga disebabkan oleh penyakit
ini selama periode yang sama. Kanada, Meksiko dan Amerika Serikat juga
telah mencatat kasus impor.
Pada tanggal 21 Oktober 2014, Prancis mengkonfirmasi 4 kasus infeksi
chikungunya di Montpellier, Prancis. Pada akhir 2014, wabah dilaporkan
terjadi di kepulauan Pasifik. Saat ini wabah chikungunya sedang
berlangsung di Kepulauan Cook dan Kepulauan Marshall, sementara
jumlah kasus di Samoa Amerika, Polinesia Prancis, Kiribati dan Samoa
telah berkurang. WHO menanggapi wabah kecil chikungunya pada akhir
2015 di kota Dakar, Senegal, dan negara bagian Punjab, India.
Di Amerika pada tahun 2015, 693 489 kasus yang dicurigai dan 37480
kasus chikungunya dikonfirmasi dilaporkan ke kantor regional Pan
American Health Organization (PAHO), dimana Kolombia menanggung
beban terbesar dengan 356 079 kasus yang dicurigai. Ini kurang dari
tahun 2014 ketika lebih dari 1 juta kasus yang dicurigai dilaporkan di
wilayah yang sama.
Pada 2016 ada 349 936 yang dicurigai dan 146.914 kasus yang
dikonfirmasi laboratorium dilaporkan ke kantor regional PAHO, setengah
beban dibandingkan tahun sebelumnya. Negara yang melaporkan
kebanyakan kasus adalah Brasil (265.000 kasus yang dicurigai), Bolivia
dan Kolombia (19.000 kasus yang dicurigai, masing-masing). 2016 adalah
pertama kalinya transmisi autochthonous chikungunya dilaporkan di
Argentina setelah terjadi wabah lebih dari 1.000 kasus yang dicurigai. Di
wilayah Afrika, Kenya melaporkan wabah chikungunya yang
mengakibatkan lebih dari 1.700 kasus yang dicurigai. Pada 2017, Pakistan
terus menanggapi wabah yang dimulai pada 2016 (WHO, 2017)
Di Indonesia, KLB penyakit Chikungunya pertama kali dilaporkan dan
tercatat pada tahun 1973 terjadi di Samarinda Provinsi Kalimantan Timur
dan di DKI Jakarta, Tahun 1982 di Kuala Tungkal Provinsi Jambi dan tahun
1983 di Daerah Istimewa Yogyakarta. KLB Chikungunya mulai banyak
dilaporkan sejak tahun 1999 yaitu di Muara Enim (1999), Aceh (2000),
Jawa Barat (Bogor, Bekasi, Depok) pada tahun 2001, yang menyerang
secara bersamaan pada penduduk di satu kesatuan wilayah (RW/Desa)
(Ditjen PP&PL, 2012)
Dalam profil kesehatan Indonesia 2015 menyatakan bahwa dari tahun
2009 - 2015 terdapat 10 kab/kota terjadi KLB demam chikungunya dari 8
provinsi yaitu Aceh (kabupaten aceh selatan), riau (kabupaten Kampar
dan kabupaten siak), bengkulu (kota bengkulu), lampung (kota Bandar
lampung), jawa tengah (kabupaten pekalongan), jawa timur (kabupaten
bangkalan dan kabupaten pasuruan), sulawesi tengah (kabupaten parigi
mouton), dan Sulawesi selatan (kabupaten sinjai) (Kemenkes RI, 2016)
*gambar diagram batang jumlah kasus chikungunya tahun 2015 dan tulis
sumber*
4. Definisi Kasus
a. Kasus suspect
Penyakit akut yang ditandai demam mendadak dengan beberapa
gejala seperti nyeri sendi, sakit kepala, sakit punggung, ruam kulit dll
b. Kasus probable
Gejala yang timbul sama seperti kasus suspect ditambah dengan hasil
uji serologi positif
c. Kasus confirmed
Peningkatan kasus empat kali lipat perbedaan antibody HI dalam
sampel serum berpasangan; terdeteksinya antibody IgM; pengisolasian
virus dari serum; dan pendeteksian asam nukleat virus chikungunya
dalam serum dengan metode RTT-PCR (Fauzia, 2012)
5. Gejala klinis
Gejala klinis menurut Judarwanto, 2007 dalam Widjastuti, 2012 yaitu
berupa demam tinggi yang timbul mendadak di sertai menggigil dan
panas tinggi selama 2-4 hari kemudian kembali normal. Sakit persendian
muncul sebelum demam hingga terkadang merasa lumpuh pada sendi
lutut, pergelangan, jari kaki dan tangan serta tulang belakang. Nyeri otot
dapat terjadi pada otot bagian kepala dan daerah bahu kadang terjadi
pembengkakkan pada oto sekitar mata kaki. Bercak kemerahan atau ruam
kulit pada hari pertama demam umumnya pada hari ke 4-5 saat demam di
daerah muka, badan, tangan, dan kaki kadang terjadi perdarahan pada
gusi. Sakit kepala gejala paling sering di temui. Kejang biasanya pada
anak karena panas yang terlalu tinggi. Gejala lain yang kadang dijumpai
adalah pembesaran kelenjar getah bening di bagian leher (Widjastuti,
2012)
6. Diagnosis dan Komplikasi
Hingga saat ini kepastian diagnosis penyakit cikungunya hanya dapat
dilakukan melalui uji laboratorium, namun munculnya penyakit harus
dicurigai saat terjadi penyakit epidemic dengan tiga karakteristik utama
berupa demam, ruam, dan nyeri pada persendian yang termasuk kasus
suspect (Dinkes, 2015)
Penyebab utama kematian pada pasien chikungunya antara lain karena
dehidrasi berat, ketidak seimbangan elektrolit, dan hipoglikemia.
Mayoritas pasien akan pulih setelah masa infeksi berlalu namun 10-15%
pasien akan tetap merasakan nyeri dan kekakuan sendi yang kronis
selama beberapa waktu. Komplikasi bisa saja terjadi namun kasusnya
jarang ditemukan, antaralain gangguan perdarahan (epistaksis,
perdarahan pada gastrointestinal bagian atas) yang menyebabkan
trombositopenia; komplikasi neurologis (meningo-ensefalitis, paresis pada
anggota badan, dan kesulitan berbicara dengan jelas); kemunduran
system kardiovaskuler; pneumonia dan kegagalan pernapasan; dan
kematian (Swaroop et al, 2007 dalam Fauzia, 2012)
Tiga jenis utama tes laboratorium digunakan untuk mendiagnosis CHIK:
isolasi virus, reverse chain (RT PCR), dan serologi. Pada kasus chikungunya
kronis dengan komplikasi meningitis, tes serologi yang di ambil adalah
cairan cerebrospinal, sedangkan akut dengan gejala umum dapat di ambil
lewat darah (CDC, 2011)
Chikungunya adalah penyakit yang biasanya tidak fatal dan kematian
sangat jarang terjadi. Dalam wabah Chikungunya dalam epidemi Pulau
Reunion, ada 237 kasus kematian dengan angka kematian kasus 1/1000
kasus. Namun, tidak diketahui pasti apakah kematian tersebut terkait
langsung dengan Chikungunya atau morbiditas yang ada sekarang
memburuk dengan infeksi Chikungunya (Jessaron L et al, 2006; Ledroms M
et al, 2007). Infeksi Chikungunya dapat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas akibat infeksi yang terjadi bersamaan (NVBDCP. 2016)
7. Penularan dan Penyebaran
Chikungunya termasuk salah satu vector borne disease atau penyakit
yang ditularkan oleh hewan perantara. Hewan perantara tersebut dapat
menularkan agen penyakit dari sumber kepada pejamu yang berisiko
(CDC, 2008)
Menurut triad epidemiologi, virus hanya dapat hidup ditubuh manusia dan
nyamuk sehingga factor lingkungan dan juga factor dari manusia itu
sendiri yang mempengaruhi transmisi virus. factor lingkungan
mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk, jika perkembangbiakan
terhambat maka nyamuk tidak dapat beradaptasi dilingkungan, maka
transmisi virus pun akan terhambat. Ditjen PP&PL, 2012 juga
menyebutkan Kemampuan terbang nyamuk Aedes spp betina rata-rata 40
meter, namun secara pasif misalnya karena angin atau terbawa
kendaraan dapat berpindah lebih jauh. Aedes spp tersebar luas di daerah
tropis dan sub-tropis, di Indonesia nyamuk ini tersebar luas baik di rumah
maupun di tempat umum. Nyamuk Aedes spp dapat hidup dan
berkembang biak sampai ketinggian daerah 1.000 m dpl. Pada
ketinggian diatas 1.000 m dpl, suhu udara terlalu rendah, sehingga
tidak memungkinkan nyamuk berkembangbiak (Ditjen PP&PL, 2011)
Menurut NVBDCP, 2016 mengatakan bahwa anggota rumah tangga juga
dapat turun dengan infeksi Chikungunya karena mereka juga memiliki
lingkungan yang sama. Oleh karena itu, tidak perlu mengisolasi pasien
atau untuk memisahkan pasien. Penting untuk mengurangi populasi
vektor di rumah tangga.
Wanita hamil bisa terkena infeksi Chikungunya pada setiap tahap
kehamilan. Virus Chikungunya juga bisa ditularkan dari ibu ke anak. Waktu
risiko terbesar penularan virus Chikungunya dari ibu ke janin nampaknya
saat lahir. Berbagai studi pendahuluan menunjukkan bahwa kontaminasi
semacam itu "jarang serius" ketika bayi terinfeksi selama kelahiran,
tanda-tanda infeksi muncul sekitar hari ke 4. dan lebih dari 90% bayi yang
baru lahir sembuh dengan cepat tanpa gejala sisa. Imunoglobulin M [IgM],
antibodi, umumnya muncul antara 4 dan 7 hari setelah onset tanda klinis.
IgM, bagaimanapun, tidak melewati penghalang plasenta. Tubuh mulai
memproduksi Imunoglobulin G [IgG] sekitar hari ke 15 dan
menyebarkannya melalui plasenta dan memberi kekebalan pada janin.
Demam, secara umum, dapat memicu kontraksi rahim, keguguran atau
kematian janin.
Kemungkinan menularkan infeksi ke janin sangat sedikit walaupun
penelitian terbaru di pulau-pulau Reuni Perancis menunjukkan untuk
pertama kalinya transmisi ibu-janin dari virus Chikungunya, jika wanita
hamil terinfeksi pada saat persalinan, virus tersebut Dapat ditularkan ke
anak yang baru lahir. Jadi penting untuk memastikan bahwa di daerah
Chikungunya ada wanita hamil terlindungi dari gigitan nyamuk.
Pengamatan kasus neonatal pada wabah pulau Reunion di Prancis tahun
2005 menunjukkan kemungkinan transmisi janin selama kehamilan. Studi
ini selanjutnya mengungkapkan bahwa meskipun risiko kontaminasi janin
tampaknya jarang terjadi sebelum kehamilan 22 minggu, mereka
berpotensi berbahaya. Setelah 22 minggu kehamilan, infeksi bayi baru
lahir terjadi jika ibu mengalami viremia positif saat melahirkan. Transmisi
transplasental dicurigai, namun mekanisme patogen tetap tidak diketahui.
Sesuai dengan literatur yang ada tidak ada dampak infeksi Chikungunya
pada hasil kehamilan kecuali jumlah rawat inap di rumah sakit. Tidak ada
bukti yang menunjukkan bahwa virus Chikungunya ditularkan melalui ASI
(Langlet Y et al, 2006; Ramful D. et al, 2007, Gerardin P et al, 2008 dalam
NVBDCP, 2016)
8. Pengobatan
Menurut soedarto dkk, 2007:155 dalam Santoso, 2011 mengatakan
bahwa Chikungunya pada dasarnya self limiting disease, dapat sembuh
dengan sendirinya. Tidak ada vaksin maupun obat khusus, oleh sebab itu
pengobatan ditujukan untuk mengatasi gejala yang mengganggu. Obat
yang digunakan adalah obat antipiretik, analgetik, (non aspirin analgetik;
non steroid anti inflamasi drug parasetamol, antalgin, natrium diklofenak,
piroksikam, ibuprofen, obat antimual dan muntah; dimenhidramin atau
metoklopramid). Terapi lain disesuaikan dengan gejala (Santoso, 2011)
9. Pencegahan
Upaya pencegahan penyakit chikungunya perorangan (fisik) hanya
dengan mengurangi kebiasaan buruk seperti menggantung pakaian di
belakang pintu, jarang menguras tempat penampunyan air, jarang
mengecek kebersihan rumah, dll. Upaya pencegahan penyakit
chikungunya di titikberatkan pada pemberantasan nyamuk penular
(Vektor) bagaimana cara orang itu sendiri menghindari penyakit tular
vektor (Widoyono, 2008 dalam Santoso, 2011)
B. Vector Transmisi Chikungunya
1. Karakteristik dan Morfologi
Menurut Ditjen PP & PL, 2011 Masa pertumbuhan dan perkembangan
nyamuk dapat dibagi menjadi empat yaitu :
1.1) Telur
telur berwarna hitam dengan ukuran 0,80 mm, berbentuk oval yang
mengapung satu perstu pada permukaan air yang jernih, atau
menempel pada dinding tempat penampungan air yang terletak
ditempat lembab dan dapat bertahan hidup hingga 6 bulan di tempat
kering
*gambar telur aedes aegypti dan aedes albopictus dan sumber*
1.2) Larva
larva nyamuk membutuhkan 5-10 hari dalam tahap pertumbuhan, dan
pada umumnya bergerak dalam dua cara yaitu menyentakkan
tubuhnya untuk bergerak atau dengan cara propulsi menggunakan
mulutnya. Larva nyamuk akan menyelam ketika tiba-tiba terganggu
atau ada bayangan yang melaluinya.
Berikut empat tingkat pertumbuhan larva :
i. Instar I : berukuran paling kecil, 1-2 mm
ii. Instar II : berukuran 2,5-3,8 mm
iii. Instar III : berukuran sedikit lebih besar dari larva instar II
iv. Instar IV : berukuran maksimal 5 mm
*gambar Larva aedes aegypti dan aedes albopictus dan sumber*
d.3) Pupa
ketika mengalami perubahan dari larva ke pupa, pupa nyamuk
berwarna putih, tetapi dalam waktu singkat menunjukkan perubahan
pigmen warna. Pupa berbentuk seperti koma, berbentuk lebih besar
dan biasanya berlangsung 2-4 hari dan cukup aktif bergerak
*gambar Pupa aedes aegypti dan aedes albopictus dan sumber*
d.4) Nyamuk Dewasa
nyamuk dewasa berukuran lebih kecil dari nyamuk lain dan
mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian
toraks dan kakinya (Ditjen PP&PL, 2011)
*gambar nyamuk dewasa aedes aegypti dan aedes albopictus dan
sumber*
2. Siklus Hidup
Siklus hidup aedes sp, mengalami metamorphosis sempurna, telur-larva-
pupa-nyamuk dewasa,. Stadium telur, jentik dan pupa hidup didalam air.
Pada umumnya telur menetas menjadi larva atau jentik dalam waktu 2
harisetelah telur terendam air. Stadium larva atau jentikbiasanya
berlangsung 5-10 hri, dan stadium pupa berlangsung 2-4 hari.
Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk dewasa selama 9-10 hari. Umur
nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan di lingkungan yang optimal
(Ditjen PP&PL, 2011)
*sertai gambar siklus dan sumber*
3. Habitat
Habitat perkembangn nyamuk dapat di dikelompokkan sebagai berikut
menurut CDC, 2009 dan Ditjen PP&PL, 2011) :
a. Tempat penampungan air (keperluan sehari-hari)
Contoh: bak mandi, Wc, toren air, dll
b. Tempat penampungan air (bukan untuk keperluan sehari-hari)
Contoh : vas bunga, pot tanaman, tempat pembuangan air kulkas
atau dispenser, dll
c. Tempat penampungan air (alamiah)
Contoh : lubang pohon, lubang batu, pelepah daun, battok kelapa,
dll
d. Rongga dalam struktur bangunan
Contoh : lubang di pagar, talang air di atap, dll (Ditjen PP&PL, 2011)
4. Perilaku nyamuk
Menurut Ditjen PP&PL, 1966 dan Ditjen PP&PL, 2011 bahwa Setelah keluar
dari fase pupa, nyamuk istirahat di permukaan air untuk sementara
waktu. Beberapa saat itu, sayap meregang menjadi kaku, sehingga
nyamuk mampu terbang mencari maaknan, nyamuk jantan menghisap
cairan tubuh atau sari bunga untuk keperluan hidupnya, sedangkan
nyamuk betina menghisap darah. Nyamuk betina lebih menyukai darah
manusia daripada hewan(bersifat antropofilik). Darah diperlukan untuk
pematangan sel telur agar dapat menetas. Waktu yang diperlukan
menyelesaikan perkembangan telur mulai dari nyamuk menghisap darah
sampai telur dikeluarkan memerlukan 3-4 hari. Jangka waktu tersebut
disebut dengan siklus gonotropik.
Aktifitas menggigin nyamuk Aedes sp. Biasanya dimulai pada pagi dan
petang hari dengan 2 puncak aktifitas antara pukul 09.00-10.00 dan
16.00-17.00. Aedes sp. Mempunyai kebiasaan menghisap darah
berulangkali dalam satu siklus gonotropik untuk memenuhi lambungnya
dengan darah. Oleh karena itu namuk ini sangat efektif sebagai penular
pnyakit.
Setelah menghisap darah nyamuk akan beristirahat pada tempat yang
gelap dan lebap di dalam atau diluar rumah yang berdekatan dengan
habitat perkembangbiakannya di daerah dengan suhu udara relative statis
dan kelembaban udara tinggi. Pada siang hari sebagian besar spesies
nyamuk lebih memilik untuk beristirahat ditempat gelap dan menghindari
cahaya. Tempat hinggap yang disenangi olehnyamuk adalah benda-benda
yang tergantung seperti pakaian, kelambu, atau tumbuhan di dekat
tempat perkembangbiakannya.
Setelah beristirahat dan proses pematangan telur selesai, nyamuk betina
akan meletakkan telurnya di atas permukaan air. Kemudian telur menepi
dan melekat pada dinding-dinnding habitat perkembangbiakanyya. Pada
umumnya telur akan menetas menjadi larva/jentik dalam waktu 2 hari.
Setiap kali bertelur nyamuk betina dapat meghasilkan telur sebanyak
100 butir. Telur tersebut dapat bertaha di tempat yang kering (tanpaair)
selama 6 bulan pada suhu -2C hingga 42C dan jika tempat tersebut
kemudian tergenang air atau kelebaban udaranya tinggi maka telur akan
menetas lebih cepat.
Kemampuan terbang nyamuk aedes sp betina rata-rata 400-100 meter,
namur secara pasif misalnya karena angin atau terbawa kendaraan
sehingga dapat berpindah lebih jauh. Nyamuk ini dapat hidup dan
berkembang biak di suatu tempat dengan ketingggian 1000 mdpl. Pada
ketinggian diatas 1000 mdpl,suhu udara terlalu rendah sehingga tidak
memungkinkan nyamuk berkemmbang biak (DitjenPP & PL,1966, Ditjen
PP&PL,2011)
5. Pengendalian dan Pemberantasan
Pengendalian dan pemberantasan perorangan yang dapat dilakukan yaitu
dengan pemberantasan jentik nyamuk dengan cara kimiawi, biologi, fisik
menurut Santoso, 2011 :
a. Kimiawi
Dengan menaburkan bubuk larvasida untuk menghambat proses
perkembangan nyamuk. Ada 2 jenis yang dapat digunakan pada
wadah penampung air :
i. Temephos 1% *sertai gambar dan sumber*
Keefektifan selama 8-12 minggu atau 2-3 bulan dengan
penggunaan 1 sdmuntuk 100 l air
ii. Insect Growth Regulator *sertai gambar dan sumber*
Keefektifan selama 3-6 bulan dengan dosis rendah wadah
dipenampung air
b. Biologi
Dengan penerapan yang ditujukan terhadap jentik hanya terbatas
pada operasi berskala kecil misalnya memelihara ikan pemakan jentik
(gambusia, affins, poecilia, reticulate, dan ikan adu) atau dengan
bakteri (bakteri endotoksin yang memproduksi baccilus thuringiensis
dan baccilus sphaericus) *sertai gambar dan sumber (2 baccilus)*
c. Fisik
Dengan penerapan 3M yaitu dengan menguras tempat penampungan
air seminggu sekali agar nyamuk tidak dapat berkembang biak,
menutup tempat penampungan air, serta mengubur barang bekas
seperti botol, kaleng bekas, dll yang memungkinkan adanya
penampungan air (Santoso, 2011)
prosedur pengendalian vektor yang harus dipertimbangkan untuk
mengurangi risiko ekspansi CHIKV di suatu daerah menurut CDC, 2008
yaitu :
a. Manajemen lingkungan :
Mengurangi habitat larva
Mengelola wadah (cuci / tutup)
Buang / daur ulang wadah
Kurangi kontak vektor manusia
Pasang layar jendela
b. Kontrol larva :
Pengurangan sumber
Kontrol kimiawi
Kontrol biologis
c. Kontrol nyamuk dewasa :
Penggunaan tirai IT
Lambung ovitraps
Semprotan ruang (CDC, 2008)
6. Faktor pendukung
a. Factor lingkungan
Yang berpengaruh terhadap kehidupan vector adalah :
i. Suhu Udara
Virus chikungunya hampir sama dengan virus dengue yaitu
hanya endemic di daerah tropis dimana suhu memungkinkan
untuk perkembang biakan nyamuk. Suhu optimum perkembang
biakan nyamuk adalah 25c - 27c (Suroso, 2003 dalam Santoso,
2011)
ii. Kelembaban
Angka kelembaban di Indonesia bisa mencapai 85%. Hal ini
disebabkan Indonesia merupakan Negara yang kepulauannya
lebih luas dari pada daratan sehingga udara lebih banyak
mengandung air. Rata-rata kelembaban untuk pertumbuhan
nyamuk adalah 65% - 90% (Santoso.L, 1990 dalam Santoso,
2011)
b. Lingkungan Biologik
Yang mempengaruhi kepadatan nyamuk adalah tanaman hias, dan
tanaman pekarangan yang mempengaruhi kelembaban dan
pencahayaan dalam rumah dan halaman karena itu factor pendukung
tempat yang disenangi nyamuk (Sari, 2005 dalam Santoso, 2011)
c. Lingkungan social
Sebagai lingkungan yang timbul akibat adanya interaksi antar manusia
yang dapat mempengaruhi pengetahuan, perilaku, adat istiadat,
budaya, dan kebiasaan masyarakat terhadap suatu penyakit. Interaksi
dapat menimbulkan gangguan kesehatan atau penyakit (Achmadi,
2005 dalam Andiyani, 2012)
7. Faktor Risiko
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan dalam penularan penyakit
Chikungunya, yaitu: manusia, virus dan vektor perantara. Beberapa faktor
penyebab timbulnya KLB demam Chikungunya adalah:
a. Perpindahan penduduk non imun dari daerah terinfeksi
b. Sanitasi lingkungan yang buruk
c. Berkembangnya penyebaran dan kepadatan nyamuk (sanitasi
lingkungan yang buruk) (Ditjen PP&PL, 2012)
C. Tujuan Pengendalian
Semakin kompleks nya faktor resiko suatu penyakit bersumber nyamuk
yang disertai adanya perkembangan agent penyakit menuntut semua
sektor untuk dapat menurunkan kejadian kasus di masyarakat dengan
cepat, akurat dan transparan. yang melatarbelakangi adanya
pengendalian vektor terpadu (PVT) (FK. UGM, 2017)
Mengingat keberadaan vektor dipengaruhi oleh lingkungan fisik, biologis
dan sosial budaya, maka pengendaliannya tidak hanya menjadi tanggung
jawab sektor kesehatan saja tetapi memerlukan kerjasama lintas sektor
dan program.
PERMENKES RI, 2010 nomor 374 pasal 3 menyatakan bahwa tujuan
upaya pengendalian vektor adalah untuk mencegah atau membatasi
terjadinya penularan penyakit tular vektor di suatu wilayah, sehingga
penyakit tersebut dapat dicegah dan dikendalikan
Dari tujuan tersebut diharapkan agar dapat mengurangi habitat vector,
menurunkan kepadatan vector, mengahambat proses penularan penyakit,
mengurangi kontak manusia dengan vector sehingga penularan penyakit
tular vector dapat di kendalikan (PERMENKES RI, 2010)
D. Sasaran pengendalian
Sasaran program Dalam Rencana Aksi Program PP&PL 2015-2019
menyatakan bahwa Sasaran strategis Ditjen PP&PL dalam rencana aksi
program PP&PL merupakan sasaran strategis dalam Renstra Kemenkes,
sasaran tersebut adalah meningkatnya pengendalian penyakit pada tahun
2019 dengan :
a. Meningkatnya persentase kab/kota yang memenuhi kualitas kesehatan
lingkungan sebesar 40%
b. Meningkatnya jumlah persentase kab/kota yang mempunyai kebijakan
kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan
masyarakat yang berpotensi wabah 100%
c. Meningkatnya surveilans berbasis laboratorium sebesar 50%
d. Meningkatnya pelabuhan/bandara/PLBD yang melaksanakan
kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan
masyarakat yang berpotensi wabah 100% (Ditjen PP&PL, 2015)
Dalam hal ini artinya, sasaran kemenkes adalah dilakukannya
pengendalian yaitu oleh Seluruh lapisan masyarakat, SDM Kesehatan,
Stakeholders/ pemangku kepentingan terkait (KEMENKES RI, 2012)
E. Kebijakan pengendalian
Arah kebijakan Ditjen PP&PL dalam mendukung arah kebijakan
Kementrian kesehatan dengan cara :
a. Peningkatan surveilans epidemiologi factor risiko dan penyakit
b. Perlindungan kelompok berisiko
c. Penatalaksanaan epidemiologi kasus dan pemutusan rantai penularan
d. Pencegahan dan penanggulangan KLB/wabah
e. Peningkatan pemanfaatan dan teknologi tepat guna untuk pencegahan
dan pengendalian penyakit
f. Pemberdayaan dan peningkatan peran swasta dan masyarakat
g. Peningkatan keterpaduan program promotif dan preventif dalam
pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan (Ditjen PP&PL,
2015)
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI, 2010 menyatakan bahwa
kebijakan dalam pengendalian vector adalah dengan :
a. Pengendalian vektor merupakan satu diantara komponen program
penanggulangan penyakit tular vector
b. Metode yang digunakan dalam pengendalian vektor lebih
mengutamakan pendekatan PVT
c. Pestisida yang digunakan dalam pengendalian vektor harus mendapat
ijin Menteri Pertanian atas saran dan atau pertimbangan Komisi
Pestisida (KOMPES) dan menperhatikan petunjuk teknis WHO
d. Peralatan yang digunakan dalam pengendalian vektor harus memenuhi
standar (SNI) atau rekomendasi WHO
e. Pengendalian vektor terpadu harus dilakukan oleh tenaga terlatih
(PERMENKES, 2010)
F. Strategi pengendalian (penyakit, vector, dan programnya)
Dalam Rencana Aksi Program PP&PL, Ditjen PP&PL menyebutkan bahwa
Kebijakan-kebijakan tersebut didukung dengan adanya 10 strategi yang
dilakukan, yaitu :
a. Melaksanakan review dan memperkuat aspek legal
b. Melaksanakan advokasi dan sosialisasi
c. Melaksanakan intensifikasi, akselerasi dan inovasi program
d. Meningkatkan kompetensi sumberdaya manusia di bidang penceghan dan
pengendalian penyakit
e. Memperkuat jejaring kerja dan kemitraan
f. Memperkuat manajemen logistic
g. Meningkatkan surveilans dan aplikasi teknologi pendukung
h. Melaksanakan monitoring, evaluasi dan pendampingan teknis
i. Mengembangkan dan memperkuat system pembiayaan program
j. Meningkatkan pengembangan teknologi preventif
Arah kebijakan dan strategi Ditjen PP&PL didasarkan pada arah kebijakan
Kementerian Kesehatan yang mendukung arah kebijakan dan strategi
nasional 2015-2019 (Ditjen PP&PL, 2015)
Penyelenggaraan PVT menggunakan kombinasi beberapa metode
pengendalian vektor yang efektif dan efisien yang berbasis bukti (evidence
based) dan dilaksanakan secara terpadu, lintas program, lintas sektor, serta
bersama masyarakat (Ditjen PP&PL, 2012)
G. Pengendalian factor risiko
Pengendalian factor risiko berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia nomor 82 tahun 2014 tentang penanggulangan penyakit menular
dijelaskan bahwa pada pasal 16 pengendalian factor risiko untuk memutus
rantai penularan dengan cara :
a. Perbaikan kualitas media lingkungan
b. Pengendalian vector
c. Rekayasa lingkungan
d. Peningkatan
H. Ruang Lingkup Penanggulangan (penyakit, vector, dan programnya)
Ruang Lingkup dalam pengendalian vector yaitu meliputi Penyelenggaraan,
Perizinan, Pembiayaan, Peran Serta Masyarakat, Monitoring dan Evaluasi
serta Pembinaan dan Pengawasan (Permenkes, 2010)
Menurut Ditjen PP&PL, 2012 penyelenggaraan program penanggulangan
vector dengan cara :
a. Penyelenggaraan
a.1 Pengabutan (fogging/ULV)
Pelaksana : Petugas dinas kesehatan kabupaten/kota, puskesmas dan
tenaga lain yang telah dilatih.
Lokasi : Meliputi seluruh wilayah terjangkit Sasaran : Rumah dan
tempat-tempat umum
Insektisida : Sesuai dengan dosis
Alat : Mesin fog atau ULV
Cara : Pengasapan/ULV dilaksanakan 2 siklus dengan interval satu
minggu (petunjuk fogging terlampir)
a.2 Pemberantasan sarang nyamuk
Pelaksana : Masyarakat di lingkungan masing-masing
Lokasi : Meliputi seluruh wilayah terjangkit dan wilayah sekitarnya dan
merupakan satu kesatuan epidemiologis
Sasaran : Semua tempat potensial bagi perindukkan nyamuk : tempat
penampungan air,barang bekas ( botol , pecahan gelas,ban bekas, dll)
lubang pohon/tiang pagar/pelepah pisang, tempat minum burung, alas
pot, dispenser, tempat penampungan air di bawah kulkas, dibelakang
kulkas dsb, di rumah/bangunan dan tempat umum
Cara : Melakukan kegiatan 3 M plus. (disesuaikan dengan lokal spesifik
daerah terjangkit)
Contoh :
- Untuk daerah sulit air PSNnya tidak menguras, tetapi larvasidasi,
ikanisasi, dll).
- Untuk daerah tandus tidak mengubur namun diamankan agar tidak
menjadi tempat penampungan air.
- Untuk daerah mudah mendapatkan air menguras dengan sikat dan
sabun
- PLUS: membakar obat nyamuk, menggunakan repelen, kelambu,
menanam pohon sereh, zodia, lavender,geranium, pasang, obat
nyamuk semprot, pasang kasa dll.
a.3 Larvasidasi
Pelaksana : Tenaga dari masyarakat dengan bimbingan petugas
puskesmas/dinas kesehatan kabupaten/kota Lokasi : Meliputi seluruh
wilayah terjangkit
Sasaran : Tempat penampungan air (TPA) di rumah dan tempattempat
umum
Insektisida: Sesuai dengan dosis. Disesuaikan dengan sirkulasi
pemakaian insektisida instruksi Dirjen PP dan PL
Cara : Larvasidasi dilaksanakan diseluruh wilayah KLB
Penanggulangan fokus (PF)
a. Pengertian : adalah kegiatan Pemberantasan nyamuk penular Chikungunya yg
dilaksanakan dengan melakukan pemberantasan sarang nyamuk Chikungunya,
larvasidasi, penyuluhan, dan pengabutan panas (termal fog)/ pengabutan dingin
(Ultra Low Volume / ULV) menggunakan insektisida
b. Tujuan Untuk membatasi penularan Demam Chikungunya dan mencegah
terjadinya KLB meluas ke lokasi lainnya. Kegiatan dilakukan di tempat tinggal
penderita Demam Chikungunya dan rumah / bangunan sekitar dan tempat-tempat
umum yang berpotensi menjadi tempat penularan Chikungunya lebih lanjut.
c. Kriteria PF Bila pada hasil PE ditemukan penderita Chikungunya lainnya disekitar
kasus pertama, dengan melakukan PSN masal dan fogging.
d. Langkah-langkah pelaksanaan kegiatan
1). Petugas Puskesmas setelah menerima laporan adanya kasus segera mencatat
di buku harian dan mempersiapkan peralatan untuk melaksanakan kegiatan
penyelidikan epidemiologi (PE)
2). Petugas segera melapor ke Lurah dan Ketua RT/RW setempat bahwa di
wilayahnya ada penderita/tersangka Chikungunya dan akan dilaksanakan
langkah-langkah penanggulangan KLB
3). Dalam melaksanakan kegiatan sebaiknya didampingi oleh Ketua RT/
Kader/Bidan desa atau tokoh masyarakat lainnya
4). Petugas melakukan wawancara dengan keluarga penderita untuk mengetahui
ada/tidaknya penderita demam disertai nyeri sendi lainnya saat itu dan dalam
kurun waktu 1 minggu sebelumnya. Jika ditemukan penderita lainnya yang
demam disertai nyeri sendi tanpa sebab yang jelas, kemudian dilakukan
pemeriksaan terhadap tandatanda dari Chikungunya
5). Melakukan pemeriksaan jentik pada tempat penampungan air (TPA) serta
benda-benda lainnya yang dapat menampung air baik di dalam maupun di luar
rumah. Hasilnya kemudian dicatat dalam Laporan PE
6). Hasil PE dilaporkan kepada Kepala Puskesmas dan selanjutnya Kepala
Puskesmas melaporkan hasil dan rencana penanggulangan kepada Lurah dan
Camat
7). Hasil positif : jika ditemukan 1 penderita/tersangka Chikungunya lainnya dan
ditemukan jentik (house index) lebih dari 5%
8). Hasil negatif : jika tidak ditemukan penderita/tersangka Chikungunya lainnya
dan house index < 5%, atau dapat dikatakan kemungkinan sumber penularan
dari tempat lain
9). Secara operasional sebaiknya dilakukan pengambilan sampel darah 5-10
orang untuk memastikan diagnose
10).Untuk memutuskan rantai penularan maka dilakukan:
Penyuluhan intensif
Penggerakan masyarakat untuk melakukan gerakan PSN 3M Plus
Larvasidasi massal, yaitu penapuran bubuk larvasida secara serentak di
seluruh wilayah/daerah tertentu disemua tempat penampungan air baik
terdapat jentik maupun tidak ada jentik di seluruh bangunan/rumah, termasuk
sekolah, tempat ibadah dan kantor.
Fogging fokus 2 siklus dengan interval 1 minggu. Kegiatan penanggulangan
tersebut diatas harus dilakukan segera secara bersamaan, sambil menunggu
hasil pemeriksaan laboratorium serologis untuk memastikan etiologinya
(Ditjen PP&PL, 2012)
*sertakan bagan penyelidikan epidemiologi dan sumber*
b. Perizinan
Penyelenggara Pengendalian Vektor yang dilakukan oleh swasta harus
berbentuk badan hukum dan memiliki izin operasional dari Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota.
berlaku selama 2 tahun dan dapat diperpanjang, Untuk mendapatkan izin
operasional harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
i. Memiliki surat izin usaha dan surat izin tempat usaha
ii. Memiliki NPWP
iii. Memiliki tenaga entomologi atau tenaga kesehatan lingkungan dan
tenaga terlatih
iv. Memiliki persediaan bahan dan peralatan sesuai ketentuan yang
berlaku

c. Pembiayaan
Pembiayaan pengendalian vektor dibebankan pada anggaran belanja dan
pendapatan negara dan anggaran belanja dan pendapatan daerah serta
sumber lain yang tidak mengikat sesuai peraturan perundang-undangan

d. Peran serta masyarakat


Pengendalian vektor dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat untuk
berperan serta meningkatkan dan melindungi kesehatannya melalui
peningkatan kesadaran, kemauan dan kemampuan serta pengembangan
lingkungan sehat sendiri

e. Monitoring dan evaluasi


Pemerintah dan Pemerintah daerah monitoring dan evaluasi terhadap
penyelenggaraan pengendalian vector, dilaksanakan secara berjenjang
mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan pusat,
dilaporkan kepada Pemerintah secara berkala dan berjenjang, laporan
berisi metode yang digunakan dan hasil pengendalian, Pihak Swasta yang
melakukan pengendalian vektor wajib melaporkan kegiatannya kepada
Dinas Kesehatan kabupaten/ kota

f. Pembinaan dan pengawasan


Menteri, kepala dinas kesehatan provinsi dan kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota melakukan pembinaan terhadap penyelenggaran
pengendalian vektor dengan melibatkan instansi, organisasi profesi, dan
asosiasi terkait. Dalam rangka membantu pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan pengendalian vektor, di tingkat Nasional dibentuk
Komisi Ahli (Komli) Pengendalian Vektor yang bertugas melakukan kajian
dan evaluasi terhadap kebijaksanaan operasional pengendalian vector
(Permenkes, 2010)

DAFTAR PUSTAKA
1. DITJEN PP&PL. 2012. Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya, edisi 2.
Jakarta
2. PAHO/CDC. 2011. Preparedness and Response for Chikungunya Virus
Introduction in The Americas. Washington, D. C.
3. KEMENKES RI. 2012. Pedoman Penggunaan Insectisida (Pestisida) dalam
Pengendalian Vektor. Jakarta
4. DITJEN PP&PL. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
: 374/MENKES/PER/III/2010 Tentang Pengenalian Vektor. Jakarta
5. DITJEN PP&PL. 2015. Rencana Aksi Program Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan Tahun 2015-2019. Jakarta
6. KEMENKES RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
82 Tahun 2014 Tentang Penanggulangan Penyakit Menular. Jakarta
7. KEMENKES RI. 2010. Berita Negara Republik Indonesia : Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia nomor 1501/MENKES/PER/X/2010 Tentang Jenis
Penyakit Menular Tertentu yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya
Penanggulangan. Jakarta
8. KEMENKES RI. 2016. Profil Kesehatan Indonesia 2015. Jakarta
9. Santoso, F. 2011. Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Chikungunya di Wilayah Kerja Puskesmas Gunungpati Kota Semarang Tahun
2010. Skripsi Ilmu Kesehatan Masyarakat. Universitas Negeri Semarang
10.Widjastuti, Y. T. 2012. Hubungan Antara Pengetahuan dan Sikap Ibu Rumah
Tangga Tentang Chikungunya dengan Praktik Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN) di Rw 08 Kel. Grogol Kec. Limo Kota Depok Tahun 2012.
Skripsi Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia
11.Fauzia, S. 2012. Analisis pasial Kejadian Chikungunya di Kota Depok Tahun
2008-2011. Skripsi Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia
12.Adriyani, S. 2012. Hubungan Antara Faktor Iklim dengan Kejadian Penyakit
Chikungunya di Wilayah Jawa Barat Tahun 2002-2010. Tesis Kesehatan
Masyarakat. Universitas Indonesia
13.NVBDCP. 2016. National Guideline for Clinical Management of Chikungunya.
India
14.WHO. 2008. Guidelines on Clinical Management of Chikungunya Fever.
india
15.Ditjen PP&PL. 2011. Modul Pengendalian Demam Berdarah Dengue. Jakarta
16.WHO. 2017. Chikungunya. [diakses : 7 mei 2017]
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs327/en/
17.ECDC.
http://ecdc.europa.eu/en/healthtopics/chikungunya_fever/Pages/index.aspx
18.CDC. 2015. Chikungunya. [diakses : 7 mei 2017].
https://www.cdc.gov/chikungunya/

Anda mungkin juga menyukai