Tanya Jawab Tentang Pembelajaran Pendidikan Ips 1
Tanya Jawab Tentang Pembelajaran Pendidikan Ips 1
Untuk mengajar ilmu ekonomi seorang guru disamping harus memahami pengertian
dan makna, ia harus memahami “ method of thingking sturure dan body of knowledge”
keilmuaannya coba jelaskan metohod of thingking, sturukture dan body of knowledge
ilmu ekonomi itu ?
Jawaban
Method of thinking yaitu metode berfikir yaitu dengan menggunakan model
matematik sebagai analisis dengan pendekatan grafis dan tabel sebagai alat untu
menggambarkan fakta-fakta dan pendekatan diagramatis yang digunakan sebagai alat untuk
menyederhanakan model berfikir dan metoda berfikir verbal dan kontekstual yaitu dengan
menggunakan konteks sebagai alat Bantu untuk menjelaskan fenomena-fenomena
sedangkan dilihat dari body of knowledge yaitu di pandang aksiomanya yaitu perlunya
alokasi distribusi dan kajiannya bersifat analitis dengan menggunakan teori ata model : yaitu
suatu penyederhanaan dari kenyataan yang digunakan ntuk membuat pkiran atas dunia nyata
dan kategori ilmu ekonomi menjelaskan bagaimana suat operekonoman belangsung aau
berbicara cara kerja perekonomian yait berdasarkan faktafakta yang kegunaan nya untuk
menjelaskan, memprediksi, memberi arahan/landasan dan digunakan sebagai pegangan.
Ilmu ekonomi dapat diringkas sebagai berikut :
Ilmu ekonomi adalah suatu studi ilmiah yang mengkaji bagaimana orang per orang
dan kelompok-kelompok masyarakat menentukan pilihan. Manusia mempunyai
keinginan yang tidak terbatas. Untuk memuaskan berbacam ragam keinginan tersebut,
tersedia seubmer daya yang dapat digunakan. Berbagai sumberdaya ini tidak tersedia
dengan bebas. Karenanya, sumber daya ini langka dan mempunyai berbagai kegunaan
laternatif. Pilihan kegunaan dapat terjadi antara penggunaan sekarang (hari ini) dan
penggunaan hari esok (masa depan). Karen itu, cakupan pilihan atas sumberdaya yang
tersdia meliputi penggunaan sekarang danpenggunaan masa depan. Selain itu,
penggunaan semberdaya tersebut menimbulkan pula biaya dan manfaat. Mengingat
adanya biaya dan manfaat, maka diperlukan pertimbangan efisiensi dalam
penggunaan sumber daya (Gerardo F Sikat)
Rumusan di atas merupakan difinisi paling lengkap mengenai subyek ilmu ekonomi
pada masa-masa sebelumnya, orang sering mendifinisikan ilmu ekonomi dalam satu kalimat
saja. Rumuan yang paling terkenal sebagai definisi ilmu ekonomi adalah studi mengenai
manusia dalam mempertahankan kehidupannya sehari-hari. Definisi lain merumuskannya
sebagai studi mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan kesejahteraan materil manusia.
Setiap upaya untuk membuat definisi yang teridiri dari satu kalimat saja cenderung
gagal karena masih ada sesuatu yangharus dijelaskan lebih lanjut agar dapat dipahami
sepenuhnya.
Hal yang paling penting sesungguhnya adalah mengenai aspek-aspek ilmu ekonomi berikut
ini :
1. meruapakan ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan prilaku manusia.
2. kajian utamanya adalah pilihan-pilihan baik sekarang maupun yang akan datang, yang
mempengaruhi produksi barang, distribusi, imbalan yang timbul dari proodkuksi itu dan
kahirnya konsumsi barang-barang tersesbut.
Dalam kaitan demikian, ilmu ekonomi berkaitan dengan kesejahteraan materil umat
manusia.
body of knowledge :
1. Ilmu ekonomi menayakan barang-barang apa (what) yang akan diproduksi, bagaimana
(how) barang-barang ini diproduksi dan untuk siapa (for home) diproduksi
2. ilmu ekonomi menganalisis setiap gerakan dan perubahan yang terjadi dalam keseluruhan
ekonomi misalnya kecenderungan (trend) dalam harga, hasil produksi, pengangguran, dan
perdagangan luar negeri.begitu gegala-gejala tadi bisa dipahami maka ilmu ekonomi
dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengenbangkan kebijakan-kebiajakan
ekonominya sehingga dapat memperbaiki perekonomian.
3. ilmu ekonomi mempelajari perdagangan diantara berbgai negera. Ilmu ini membantu
menenrangkan mengapa negara-negara mengeksport koomoditi tertentu dan mengimpor
yang lainnya.ilmuini juga menganalisis pengaruh pembaatasan terhadap perdagangan
internasional.
4. Ilmu ekonomi merupakan ilmu mengenai pilihan.ilmu ini memperlajari bagaimana orang
memilih menggunakan sumber daya prodksi yang langka atau terbatas (misalnya tenaga
kerja, mesin, keteramplilan teknis). Untuk memproduksi berbagai komoditui dan
menyalurkannya ke barbagai anggota masyarakat untuk segera dikonsumsikan.
5. Ilmu ekonomi merupakan suatu studi tentang uang, perbanakn, dan kekayaan.
Identifikasi masalah pembelajaran IPS yang sangat kritis dilihat dari aspek sumber
daya pembelajaran yang tersedia dilapangan.
Jawab :
Menurut Association for Educational Communication and Technology (AECT, 1977),
sumber pembelajaran adalah segala sesuatu atau daya yang dapat dimanfaatkan oleh guru,
baik secara terpisah maupun dalam bentuk gabungan, untuk kepentingan belajar mengajar
dengan tujuan meningkatkan efektivitas dan efisien tujuan pembelajaran.
Sumber pembelajaran dapat dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu:
1. Sumber pembelajaran yang sengaja direncanakan (learning resources by design),
yakni semua sumber yang secara khusus telah dikembangkan sebagai komponen
sistem intruksional untuk memberikan fasilitas belajar yang terarah dan bersifat
formal; dan
2. Sumber pembelajaran yang karena dimanfaatkan (learning resources by utilization),
yakni sumber belajar yang tidak secara khusus didesain untuk keperluan pembelajaran
namun dapat ditemukan, diaplikasikan dan dimanfaatkan untuk keperluan belajar.
Dinamika pendidikan nasional, agaknya masih menjadi kajian menarik untuk diangkat
sebagai bahan perbincangan, lebih-lebih dihadapan dunia akademis. Akhir-akhir ini,
dinamisasi pendidikan nasional sedang mencanangkan “gerakan peningkatan mutu
pendidikan”, yang telah dimulai sejak 2 Mei 2002.
Sebagai sebuah agenda era reformasi sekarang ini, sudah saatnya paradigma
pendidikan harus memiliki relevansi dengan nilai-nilai masyarakat. Pendidikan yang berbasis
masyarakat akan memungkinkan menjadi alternatif bagi terciptanya sumber daya manusia
(SDM) seutuhnya. Sebab, secara filosofis, pendidikan merupakan upaya pewarisan,
penyempurnaan dan pengembangan ilmu, pengalaman, kebiasaan dari satu generasi ke
generasi berikutnya, sesuai norma, nilai hukum yang menjadi acuan dalam kebudayaan
masyarakat.
Sejalan dengan hal itu, Rusman Tumanggor (2000) mensinyalir bahwa para ilmuan
dan tokoh Indonesia terkemuka mencetuskan world-view bangsa: Mewujudkan manusia
Indonesia seutuhnya” yang oleh WHO (World Health Organization) dinyatakan world-view
bagi kesempurnaan manusia sejagad, melalui konsep kesehatan meliputi kesehatan
kesempurnaan: fisik, mental, sosial dan spiritual (Health is a state of physical, mental, social,
and spiritual well being and not merely the absence of diseases or infirmity).
Melalui gagasan tersebut, pendidikan berarti upaya terbaik untuk meraih
kesempurnaan hidup manusia sesuai dengan realitas faktual yang ada di tengah kehidupan
masyarakat. Seiring dengan tuntutan otonomi daerah, perubahan paradigma pendidikan itu
dimaksudkan untuk mengembalikan pendidikan kepada basis masyarakat. Masyarakat
dilibatkan untuk memahami program-program yang dilakukan pendidikan dengan tujuan agar
mereka termotivasi untuk bisa memberikan bantuan yang maksimal terhadap pelaksanaan
program-program pendidikan tersebut.
Melalui konsep demikian, pendidikan pada dasarnya berbasis pada masyarakat.
Abuddin Nata mendefinisikan konsep tersebut, sebagai sebuah alternatif untuk ikut
memecahkan berbagai masalah pendidikan yang ditangani pemerintah, dengan cara
melibatkan peran serta masyarakat secara lebih luas. Jadi, masalah-masalah yang dihadapi
sekolah, madrasah, atau Perguruan Tinggi dapat dipecahkan bersama dengan masyarakat.
Masalah yang dihadapi lembaga pendidikan seperti siswa/mahasiswa, guru/dosen,
perlengkapan keuangan dan perumusan tujuan sekolah, madrasah, atau Perguruan Tinggi
dapat diatasi bersama-sama dengan masyarakat. Berbagai sarana dan prasarana yang ada di
masyarakat seperti lapangan olah raga, bengkel kerja, masjid, tempat-tempat kursus
ketrampilan, sumber daya manusia dan lain sebagainya dapat diakses dan dimanfaatkan oleh
lembaga pendidikan, tanpa harus membayar.
Upaya untuk mengembalikan pendidikan kepada masyarakat selaras dengan asas
demokrasi, keadilan, dan keterkaitan pendidikan dengan kehendak masyarakat. Lebih dari itu,
pendidikan berbasis masyarakat merupakan pilar untuk merealisasikan UU 22 dan nomor 25
tahun 1999 tentang otonomi daerah.
Peran serta masyarakat yang menjadi ciri konsep pendidikan era otonomi bukanlah
hal yang baru. Karena jauh sebelum itu, di setiap sekolah pada umumnya sudah ada apa yang
disebut BP3 (Badan Pembina dan Pengawasan Sekolah) yang anggotanya terdiri dari
orangtua siswa, atau di Perguruan Tinggi disebut POM (Persatuan Orangtua Mahasiswa)
yang anggotanya terdiri dari para orangtua mahasiswa.
Dengan membangun pendidikan berbasis masyarakat, diharapkan akan memberikan
peluang bagi institusi pendidikan agar semakin meningkat peranannya, yakni dengan cara
memberikan kemudahan kepada pimpinan sekolah atau Perguruan Tinggi untuk
memanfaatkan berbagai sarana dan prasarana yang ada di masyarakat, termasuk sumber daya
manusia. Dengan cara demikian, antara lembaga sekolah atau Perguruan Tinggi dan
masyarakat berada dalam satu visi, misi dan tujuan dalam ikut serta menyukseskan program
pendidikan.
Keharusan masyarakat ikut serta terlibat dalam menangani masalah-masalah
pendidikan tersebut sebenarnya sudah di atur dalam undang-undang No. 2 tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional tersebut. Pada bab I, ketentuan umum, pasal 1, butir 10 misalnya
dinyatakan bahwa sumber daya pendidikan adalah dukungan dan penunjang pelaksanaan
pendidikan yang terwujud sebagai tenaga, dana, sarana dan prasarana yang tersedia dan
diadakan serta didayagunakan oleh keluarga, masyarakat, peserta didik dan pemerintah, baik
sendiri-sendiri maupun bersama-sama (UUSPN,1993).
Perlu diakui bahwa pendidikan yang bermental ‘swasta’ adalah corak pendidikan
yang berbasis masyarakat. Pendidikan yang bermental swasta itu-baik yang berstatus negeri
maupun yang berstatus swasta betulan telah teruji dilapangan dalam penerapan pendidikan
yang berbasis masyarakat. Melalui pendidikan seperti inilah yang diharapkan mampu
bertarung dalam kompetisi era global.
Selama ini, pada umumnya pendidikan terbiasa menggantungkan batuan dari
pemerintah. Dengan ketergantungan tersebut, mengakibatkan keterbatasan, kekurangan dan
berbagai masalah muncul di lembaga-lembaga pendidikan. Untuk mengurangi
ketergantungan itu pendidikan diharapkan dapat memanfaatkan sumber-sumber potensi yang
terdapat di masyarakat.
Secara umum, pendidikan yang masih mengharapkan ‘pulung’ dari atas, selalu
menpengaruhi kinerja sistem penyelenggaraan di sekolah/Perguruan Tinggi. Dengan kembali
kepada ‘mental’ swasta diharapkan mampu meningkatkan kemauan, kemampuan ketrampilan
dan strategi dalam menggali sumber-sumber yang ada di masyarakat.
Pengalaman yang cukup menjadi referensi bagi kita saat ini adalah sistem pendidikan
yang diterapkan di negara-negara maju. Amerika misalnya, sejak lama telah menerapkan
pendidikan semacam ini. Pendidikan tidak bergantung pada pemerintah, tetapi justru
diserahkan kepada masyarakat. Karena pendidikan merupakan bagian dari cermin dan kultur
masyarakat. Dengan demikian, sudah seharusnya masyarakat diberikan ruang yang layak
untuk mengelola, menilai dan menikmatinya. Masyarakat diberi ruang partisipasi yang luas,
agar institusi penyelenggara pendidikan memperoleh dukungan dan mendapat legetimasi
sosial.
Sekali lagi, mengembalikan pendidikan kepada masyarakat berarti menghargai
keragaman budaya, kultur dan segala sumber daya yang dimiliki masyarakat. Pendidikan
harus timbul dari dalam masyarakat itu sendiri. Ali Khalil memberikan apresiasi bahwa
pendidikan adalah proses sosial. Karena itu, pendidikan dalam suatu masyarakat berbeda
dengan masyarakat lainnya, sesuai dengan karakter masyarakat itu sendiri. Dalam arti lain,
pendidikan adalah “pakaian” yang harus diukur dan dijahit sesuai dengan bentuk dan ukuran
pemakainya, berdasarkan identitas, pandangan hidup, serta nilai-nilai yang terdapat dalam
masyarakat atau negara tersebut.
Adanya berbagai variasi lembaga sosial, tempat pariwisata, kesenian dan sejumlah
aset masyarakat membuka seluas-luasnya untuk berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan
pendidikan. Antara masyarakat dengan pihak lembaga pendidikan betul-betul bisa
membangun kerjasama sinergis yang kompak dalam menunjukkan kegiatan pendidikan.
Prinsip-prinsip pendidikan untuk semua (education for all), pendidikan seumur hidup
(long life education), pendidikan demokratis yang ditandai dengan adanya program yang
disesuaikan dengan kesanggupan dan keinginan masyarakat, dan adanya otonomi yang luas
bagi masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan, sebagaimana diharapkan Tim
Reformasi Pendidikan Nasional.
Identifikasi masalah pembelajaran IPS yang sangat kritis dilihat dari aspek kadar
kegiatan peserta didik.
Jawab :
Potensi sumber daya manusia merupakan aset nasional sekaligus sebagai modal dasar
pembangunan bangsa. Potensi ini hanya dapat digali dan dikembangkan serta. dipupuk secara efektif
melalui strategi pendidikan dan pembelajaran yang terarah dan terpadu, yang dikelola secara serasi
dan seimbang dengan memperhatikan pengembangan potensi peserta didik secara utuh dan optimal.
Oleh karena itu, strategi manajemen pendidikan perlu secara khusus memperhatikan pengembangan
potensi peserta didik Yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa (unggul), yaitu dengan
cara penyelenggaraan program pembelajaran yang mampu mengembangkan keunggulan-keunggulan
tersebut, baik keunggulan dalam hal potensi intelektual maupun bakat khusus yang bersifat
keterampilan (gifted and talented).
Strategi pembelajaran yang dilaksanakan selama ini masih bersifat massal, yang
memberikan perlakuan dan layanan pendidikan Yang sama kepada semua peserta didik.
Padahal, mereka berbeda tingkat kecakapan, kecerdasan, minat, bakat, dan kreativitasnya.
Strategi pelayanan pendidikan seperti ini memang tepat dalam konteks pemerataan
kesempatan, akan tetapi kurang menunjang usaha mengoptimalkan pengembangan potensi
peserta didik secara cepat. Hasil beberapa penelitian Depdikbud (1994) menunjukkan sekitar
sepertiga peserta didik yang dapat digolongkan sebagai peserta didik berbakat (gifted and
talented) mengalami gejala “prestasi kurang” (underachiever). Hal sama dikemukakan oleh
Munandar (1992) cukup banyak peserta didik berbakat yang prestasinya di sekolah tidak
mencerminkan potensi intelektual mereka yang menonjol. Salah satu penyebabnya adalah
kondisi-kondisi ekstemal atau lingkungan belajar yang kurang menunjang, kurang menantang
kepada mereka untuk mewujudkan kemampuannya secara optimal. Padahal, upaya untuk
mencapai keunggulan, melalui strategi pelayanan pendidikan massal akan memiliki
konsekuensi sumberdaya pendidikan (dana, tenaga dan sarana) yang kurang menguntungkan.
Model strategi pelayanan pendidikan altematif perlu dikembangkan untuk menghasilkan
peserta didik yang unggul melalui pemberian perhatian, perlakuan dan layanan pendidikan
berdasarkan bakat, minat dan kemampuannya.
Peserta didik yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa merupakan
kelompok kecil. Data di Balitbang Depdikbud (1994) menunjukkan hanya 2 – 5 % dari
seluruh peserta didik yang ada. Jumlah ini semakin meningkat pada jenjang yang lebih tinggi.
Di tingkat SLTP jumlah peserta didik berkemampuan dan berkecerdasan luar biasa mencapai
8 %. Lebih lanjut dikemukakan berdasarkan intelegensi Wechsler peserta didik berbakat
intelektual tergolong "sangat unggul" (IQ 130 keatas) berjumlah 2,2% dan tergolong
"unggul" (IQ 120-129) berjumlah 6,7% dari populasinya. Jumlah ini memang masih
tergolong kecil, namun secara potensial mereka unggul dalam salah satu atau beberapa
bidang yang meliputi bidang-bidang intelektual umum, dan akademia khusus, berpikir kreatif
produktif, kepemimpinan, seni dan psikomotorik.
Strategi pelayanan pendidikan altematif dalam manajemen pendidikan perlu
dikembangkan untuk menghasilkan peserta didik yang unggul, melalui pemberian perhatian,
perlakuan dan layanan pendidikan berdasarkan bakat minat dan kemampuannya. Agar
pelayanan pendidikan yang selama ini diberikan kepada peserta, didik mencapai sasaran yang
optimal, maka pembelajaran harus diaelaraskan dengan potensi peserta didik. Oleh karena itu
guru perlu melakukan pelacakan potensi peserta didik.
Mengajar atau "teaching" adalah membantu peserta didik memperoleh informasi, ide,
keterampilan, nilai, cara berfikir, sarana untuk mengekspresikan dirinya, dan cara-cara belajar
bagaimana belajar (Joyce dan Well, 1996). Sedangkan pembelajaran adalah upaya untuk
membelajarkan peserta didik. Secara impliait dalam pembelajaran terdapat kegiatan memilih,
menetapkan; mengembangkan metode untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan.
Pemilihan, penetapan, dan pengembangan metode didasarkan pada kondisi pembelajaran
yang ada. Kegiatan-kegiatan tersebut pada dasamya merupakan inti dari perencanaan
pembelajaran. Dalam hal ini istilah pembelajaran memiliki hakekat perencanaan atau
perancangan sebagai upaya untuk membelajarkan peserta didik. Itulah sebabnya dalam
belajar peserta didik tidak hanya berinteraksi dengan guru sebagai salah satu sumber belajar,
tetapi berinteraksi juga dengan keseluruhan sumber belajar yang lain. Oleh karena itu
pembelajaran menaruh perhatian pada "bagaimana membelajarkan peserta didik, dan bukan
pada "apa yang dipelajari peserta didik". Dengan demikian pembelajaran menempatkan
peserta didik sebagai subyek bukan sebagai obyek. Oleh karena itu agar pembelajaran dapat
mencapai hasil yang optimal guru perlu memahami karakteriatik peserta didik.
Hakikat belajar adalah suatu aktivitas yang mengharapkan perubahan tingkah laku
(behavioral change) pada diri individu yang belajar. Perubahan tingkah laku terjadi karena
usaha individu yang bersangkutan. Belajar dipengaruhi oleh berbagai faktor misalkan bahan
yang dipelajari, instrumental, lingkungan, dan kondisi individual si pelajar. Faktor-faktor
tersebut diatur sedemikian rupa, agar mempunyai pengaruh yang membantu tercapainya
kompetensi secara optimal.
Proses belajar yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan dan
pembelajaran merupakan proses yang kompleks dan senantiasa berlangsung dalam berbagai
situasi dan kondisi. Percival dan Ellington (1984) menggambarkan model sistem pendidikan
dalam proses belajar, bahwa masukan (input) untuk sistem pendidikan, atau sistem belajar
terdiri dari orang, informasi, dan sumber lainnya. Sedangkan keluaran (output) terdiri dari
orang/siswa dengan penampilan yang lebih maju dalam berbagai aspek. Di antara masukan
dan keluaran terdapat kotak hitam (black box) yang berupa proses belajar atau pendidikan.
Belajar selalu melibatkan tiga hal pokok yaitu: adanya perubahan tingkah laku, sifat
perubahannya relatif tetap (permanen) serta perubahan tersebut disebabkan oleh interaksi
dcngan lingkungan, bukan oleh proses kedewasaan ataupun perubahan-perubahan kondisi
fisik yeng temporer sifatnya. Oleh karena itu pada prinsipnya belajar adalah poses perubahan
tingkah-laku sebagai akibat dari interaksi antara siswa dengan sumber-sumber belajar, baik
sumber yang didesain maupun yang dimanfaatkan. Proses belajar tidak hanya terjadi karena
adanya interaksi antara siswa dengan guru. Hasil belajar yang maksimal dapat pula diperoleh
lewat interaksi antara siswa dengan sumber-sumber belajar lainnya.
Untuk memberikan landasan akademik/filosofts terhadap pelaksanaan pembelajaran
khususnya pada jenjang SMP, maka perlu dikemukakan sejumlah pandangan dari para ahli
pendidikan serta pembelajaran. Ada tiga pakar pendidikan yang teori serta pandangannya bisa
digunakan sebapi acuan dalam mengembangkan dan mengimplementasikan Kurikulum 2004,
yaitu John Dewey, Vygotsky, dan Ausubel. Menurut Dewey (2001), tugas sekolah adalah
memberi pengalaman belajar yang tepat bagi siswa. Selanjutnya ditegaskan bahwa tugas guru
adalah membantu siswa menjalin pengalaman belajar yang satu dengan yang lain, termasuk
yang baru dengan yang lama. Pengalaman belajar baru melalui pengalaman belajar yang lama
akan melekat pada struktur kognitif siswa dan menjadi pengetahuan baru bagi siswa.
Menurut Vygotsky (2001), terdapat hubungan yang erat antara pengalaman sehari-
hari dengan konsep keilmuan (scientific), tetapi terdapat perbedaan secara kualitatif antara
berpikir kompleks dan berpikir konseptual. Berpikir kompleks berdasarkan pada
pengkategorisasian objek berdasarkan suatu situasi, dan berpikir konseptual berbasis pada
pengertian yang lebih abstrak. Ditegaskan bahwa pengembangan kemampuan dalam hal
menganalisis, membuat hipotesis, dan menguji pengalaman sehari-hari pada dasarnya
terpisah dari pengalaman sehari-hari. Kemampuan ini tidak ditentukan oleh pengalaman
sehari-hari saja, tetapi lebih tergantung pada tipe spesifik interaksi sosial.
Menurut Ausubel (1969), pengalaman belajar baru akan masuk ke dalam memori
jangka panjang dan akan menjadi pengetahuan baru apabila memiliki makna. Pengalaman
belajar adalah interakasi antara subjek belajar dengan bahan ajar, misalnya siswa
mengerjakan tugas membaca, melakukan pemecahan masalah, mengamati suatu gejala,
peristiwa, percobaan, dan sejenisnya. Agar pengalaman belajar yang baru menjadi
pengetahuan baru, semua konsep dalam mata pelajaran diusahakan memiliki nilai terapan di
lapangan.
Joyce, Weil, dan Showers (1992) menyatakan bahwa hakikat mengajar (teaching)
adalah membantu siswa memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai, cara berfikir, sarana
untuk mengekspresikan dirinya, dan cara-cara belajar bagaimana belajar. Hasil akhir atau
hasil jangka panjang dari proses mengajar adalah kemampuan siswa yang tinggi untuk dapat
belajar dengan mudah dan efektif di masa mendatang. Tekanan dari kegiatan mengajar tetap
saja pada siswa yang belajar. Dengan demikian hakikat mengajar adalah memfasilitasi siswa
dalam belajar agar mereka mendapadw kemudahan dalam belajar
Ada beberapa alasan mengapa Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menjadi
pilihan dalam Kurikulum 2004 sebagai upaya perbaikan kondisi pendidikan di tanah air, di
antaranya:
(1) potensi siswa berbeda-beda, dan potensi tersebut akan berkembang jika
stimulusnya tepat;
(2) mutu hasil pendidikan yang masih rendah serta diabaikin aspek-aspek moral,
akhlak, budi pekerti, seni & olah raga, serta life skill.
(3) persaingan global yang menyebabkan siswa/anak yang mampu akan
berhasil/eksis, dan yang kurang mampu akan gagal;
(4) persaingan pada kemampuan SDM (Sumber .Daya Manusia) produk lembaga
pendidikan, serta
(5) persaingan yang terjadi pada lembaga pendidikan, sehingga perlu rumusan yang
jelas mengenai standar kompetensi lulusan.
Upaya-upaya dalan rangka perbaikan dan pengembangan kurikulum menuju Kurikulum
2004 meliputi: kewenangan pengembangan, pendekatan pembelajaran, penataan isi/konten,
serta model sosialisasi, yang lebih disesuaikan dengan perkembangan situasi dan kondisi
serta era yang terjadi saat ini. Upaya perbaikan dan pengembangan kurikulum tersebut
berlangsung secara bertahap dan
terus-menerus, yang mengarah pada terwujudnya azas keluwesan dalam isi kurikulum dan
pengelolaan proses belajar mengajar dalam rangka pengembangan kegiatan intrakurikuler,
kokurikuler, dan ekstrakurikuler. Pendekatan pembelajaran dalam Kurikulum 2004 diarahkan
pada upaya mengembangkan kemampuan siswa dalam mengelola perolehan belajar
(kompetensi) yang paling sesuai dengan kondisi masing-masing. Dengan demikian proses
belajar lebih mengacu kepada bagaimana siswa belajar dan bukan lagi pada apa yang
dipelajari.
Sebagai sebuah, konsep, sekaligus sebagai sebuah program, Kurikulum Berbasis
Kompetensi memiliki ciri-ciri: (1) menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik
secara individual maupun klasikal; (2) berorientasi pada hasil dan keberagaman; (3)
penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi; (4)
sumber belajar bukan hanya guru tetapi unsur belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif,
(5) penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan suatu
kompetensi (Siskandar, 2003).
Kurikulum 2004 dengan paradigmanya pembelajaran berbasis kompetensi
menempatkan siswa sebagai subjek didik, yakni lebih banyak mengikut sertakan siswa dalam
proses pembelajaran. Pendekatan ini bertolak dari anggapan bahwa siswa memiliki potensi
untuk berpikir sendiri dan potensi tersebut hanya dapat diwujudkan apabila mereka diberi
banyak kesempatan untuk berpikir sendiri. Oleh karena itu maka guru tidak boleh lagi
dipandang sebagai orang yang paling tahu segalanya, melainkan lebih berperan sebagai
fasilitator terjadinya proses belajar pada individu siswa, dan siswa tentunya juga harus secara
terus menerus berusaha menyempurnakan diri sehingga dari waktu ke waktu makin
meningkat kemampuannya. Kemampuan atau keterampilan mendasar dalam belajar, atau bisa
dikenal juga sebagai keterampilan proses antara lain adalah kemampuan atau keterampilan
dalam :
1. mengobservasi/mengadakan pengamatan
2. menghitung
3. mengukur
4. mengklasifikasi
5. mencari hubungan ruang/waktu
6. membuat hipotesis
7. merencanakan penelitian/eksperimen
8. mengendalikan variabel
9. menginterpretasi atau. Menafsirkan data
10. menyusun kesimpulan sementara (inferensi)
11. meramalkan (memprediksi)
12. menerapkan (mengaplikasikan
13. mengkomunikasikan
Dengan mengembangkan keterampilan-keterampilan memproses perolehan, anak
akan mampu menemukan dan mengembangkan sendiri fakta dan konsep serta
menumbuhkan dan mengembangkan sikap dan nilai yang dituju. Seluruh irama, gerak atau
tindakan dalam pembelaiaran seperti ini akan menciptakan kondisi belajar yang mampu
mengaktifkan siswa secara optimal.
Mendasarkan pada uraian di atas maka pendekatan dalam pengembangan KBK
sebagai ciri Kurikulum 2004, dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut:
a. Berorientasi pada pencapaian hasil dan dampaknya (outcome oriented)
b. Berbasis pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
c. Bertolak dari Kompetensi Tamatan/Lulusan
d. Memperhatikan pengembangan kurikulum berdiversifikasi
e. Mengembangkan kompetensi secara utuh dan menyelurah (holistik)
f. Menerapkan prinsip ketuntasan belajar (mastery learning)
Pilih salah satu masalah dalam pembelajaran pendidikan IPS di sekolah, kemudian
kemukakan factor dan alternative pemecahannya.
Jawab :
Masalah yang selalu dianggap menarik dalam pembelajaran IPS selama ini, adalah
temuan dari beberapa penelitian (Hasan 2002), dan tulisan (Al Mukhtar, 2004. Azis, 2002,
Supriatna, 2002) mengisyaratkan bahwa pembelajaran IPS di sekolah selalu disajikan dalam
bentuk faktual, konsep yang kering, guru hanya mengejar target pencapaian kurikulum, tidak
mementingkan proses, karena itu pembelajaran IPS selalu menjenuhkan dan membosankan,
dan oleh peserta didik dianggap sebagai pelajaran kelas dua (Somantri, 2001).
Aziz (2002) mengatakan “padahal dalam pembelajaran IPS proses itu amat penting.
Dalam pembelajaran PIPS, peserta didik diharapkan dapat memperoleh pengetahuan,
pengalaman-pengalaman dalam menggunakan pengetahuan tersebut dalam kehidupan
demokratis, termasuk mepraktekkan berpikir dan pemecahan masalah.”
Pembelajaran IPS di sekolah juga belum berupaya melaksanakan dan membiasakan
pengalaman nilai-nilai kehidupan demokratis, sosial kemasyarakatan dengan melibatkan
siswa dan komunitas sekolah dalam berbagai aktifitas kelas dan sekolah. Selain itu dalam
pembelajaran IPS lebih menekankan pada aspek pengetahuan, fakta dan konsep-konsep yang
bersifat hafalan belaka. Inilah yang dituding sebagai kelemahan yang menyebabkan
“kegagalan” pembelajaran IPS di sekolah-sekolah di Indonesia.
Jika pembelajaran IPS selama ini tetap diteruskan, (terutama hanya menekankan pada
imformasi, fakta dan hafalan, lebih mementingkan isi dari pada proses, kurang diarahkan
pada proses berfikir (tingkat tinggi), dan kurang diarahkan pada pembelajaran yang bermakna
dan berfungsi bagi kehidupannya), maka pembelajaran IPS tidak akan mampu membantu
peserta didiknya untuk dapat hidup secara efektif dan produktif dalam kehidupan masa
datang. Oleh karena itu sudah semestinyalah pembelajaran IPS masa kini dan ke depan
mengikuti berbagai perkembangan yang terjadi di di dunia secara global.
Wiriaatmadja (2002: 276), Guru harus selalu memperbaharui kemahiran
profesionalnya (professional skills). Di antara kamahiran guru yang selalu perlu ditingkatkan
adalah kemampuan mengajarnya (teaching skills). Melalui pelatihan lokakarya, seminar, atau
pertemuan-pertemuan MGMP (Musyawarah Guru Mata Palajaran), dan lain-lain kemahiran-
kemahiran itu dapat diupayakan dan diperoleh dengan mendatangkan nara sumber.
Nana Supriatna (2002:18) menyebut terdapat beberapa strategi dalam mengajarkan
keterampilan sosial kepada peserta didik melalui IPS, diantaranya adalah cooperative
learning, konstruktivistik dan inquiry. Pertama, Wiriaatmadja (2002:277) juga menyebutkan
salah satu aspek dari kemahiran mengajar guru IPS yang dituntut untuk ditingkatkan dengan
masuknya arus globalisasi adalah menyajikan pembelajaran IPS dengan menggunakan
pendekatan-pendekatan dan model-model pembelajaran yang relevan dengan apa yang
menjadi tujuan pembelajaran. Misalnya dengan cooperative learning, maka pelajaran IPS
tidak semata-mata menghafal fakta, konsep, dan pengetahuan yang bersifat kognitif rendah
lainnya serta guru sebagai satu-satunya sumber informasi - melainkan akan membawa siswa
untuk berpartisipasi aktif, karena mereka akan diminta melakukan berbagai tugas seperti
bekerja secara berkelompok, melakukan inkuiri, dan melaporkan hasil kegiatannya kepada
kelas.
Ini berarti bahwa guru bukan satu-satunya yang memberikan informasi karena siswa
akan mencari sumber yang beragam dan terlibat dalam. berbagai kegiatan belajar yang
beragam pula. Sedangkan peran guru kecuali harus bertindak sebagai fasilitator dalam. semua
kegiatan ini, ia juga harus mengamati proses pembelajaran untuk memberikan penilaian
(assessment), tidak hanya untuk perolehan pengetahuan keIPSan (product) saja, melainkan
menilai keterampilan sosial siswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung (process), yang
mencakup penilian untuk ranah afektif dan psikomotornya.
Kedua, Strategi serta pendekatan konstruktivisme yang menempatkan siswa sebagai
mitra pembelajaran dan pengembang materi pembelajaran dapat digunakan oleh guru IPS
dalam mengembangkan keterampilan sosial. Keterampilan siswa dalam hal memperoleh,
mengolah dan memanfaatkan informasi untuk memiliki, berdayakan dirinya dapat dilakukan
melalui proses pembelajaran di kelas. Guru IPS yang konstruktivistis harus dapat
memfasilitasi para siswanya dengan kesempatan untuk berlatih dalam mengklasifikasi,
menganalisis dan mengolah informasi berdasarkan sumber-sumber yang mereka terima.
Sikap kritis siswa terhadap informasi harus dapat dikembangkan dalam proses pembelajaran
di kelas. Guru juga harus selalu membiasakan siswa untuk memprediksi, mengklasifikasi dan
menganalisis, dengan demikian aspek kognitif siswa yang dikembangkan tidak hanya
keterampilan dalam menghafal dan mengingat melainkan juga menganalisis, memprediksi,
mengkritisi dan mengevaluasi informasi yang mereka terima
Di Era global ini sumber-sumber informasi yang tidak terbatas dapat digunakan
sebagai materi pembelajaran IPS untuk mengembangkan keterampilan yang terkait dengan
informasi tersebut. Kemajemukan informasi berdasarkan sumber serta keobjektivitasan dan
kesubjektivitasan merupakan bahan yang menarik untuk mengembangkan keterampilan
tersebut di dalam kelas.
Ketiga, Menurut Marsh Colin dalam Supriatna (2002:19), Strategi inquiry
menekankan peserta didik menggunakan keterampilan sosial dan intelektual, strategi ini
menekankan peserta didik menggunakan keterampilan intelektual dalam memperoleh
pengalaman baru atau informasi baru melalui investigasi yang sifatnya mandiri. Dengan
demikian keterampilan memperoleh informasi baru berdasarkan pengetahuan mengenai
informasi atau pengalaman belajar sebelumnya merupakan kondisi baik untuk
mengembangkan keterampilan yang terkait untuk menguasai informasi.
Selanjutnya Supriatna (2002:19), mengatakan beberapa keuntungan strategi ini yang
terkait dengan penguasaan informasi diantaranya adalah:
1. Strategi ini memungkinkan peserta didik melihat isi pelajaran libih realistik dan
posistif ketika menganalisis dan mengaflikasikan data dalam memecahkan masalah.
2. Memberi kesempatan kepada siswa untuk merefleksikan isu-isu tertentu, mencari data
yang relevan, serta membuat keputusan yang bermakna bagi mereka secara pribadi.
3. Menempatkan guru sebagai fasilitator belajar sekaligus mengurangi perannya sebagai
pusat kegiatan belajar.
Wiriaatmadja (2002:305-306) mengatakan belajar dan mengajar Ilmu-ilmu Sosial
agar menjadi berdaya apabila proses pembelajarannya bermakna (meaningful), yaitu:
a. Siswa belajar menjalin pengetahuan, keterampilan, kepercayaan, dan sikap yang
mereka anggap berguna bagi kehidupannya di sekolah atau di luar sekolah,
b. Pengajaran ditekankan kepada pendalaman gagasan gagasan penting yang terdapat
dalam topik-topik yang dibahas, demi pernahaman, apresiasi dan aplikasi siswa.
c. Kebermaknaan dan pentingnya materi pengajaran ditekankan kepada bagaimana cara.
penyajiannya dan dikembangkannya melalui kegiatan aktif.
d. Interaksi di dalam kelas difokuskan pada pendalaman topik-topik terpilih dan bukan
pada pembahasan sekilas sebanyak mungkin materi.
e. Kegiatan belajar yang bermakna dan strategi assessment (penilaian) hendaknya
difokuskan pada perhatian siswa terhadap pikiran-pikiran atau gagasan-gagasan yang
penting yang terpateri dalam apa yang mereka pelajari.
f. Guru hendaknya berpikir reflektif dalam melakukan perencanaan/persiapan,
pemberlakuan, dan asessment pembelajaran.
Vocational skill
Konsep pendidikan kecakapan hidup atau life skill education dalam kurun waktu 3-4
tahun menjadi wacana yang gencar dikumandangkan jajaran Departemen Pendidikan
Nasional yang bahkan sampai hari ini telah menjadi suatu kebijakan pemerintah dalam
bidang pendidikan. Tidak kalah pentingnya, dalam rancangan kurikulum berbasis kompetensi
(KBK) secara tersirat telah mengakomodasi kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada
pencapaian kecakapan hidup bagi setiap peserta didik. Hal ini diperkuat dengan terbitnya PP
nomor 19 Tahun 2005 Pasal 13 dan Panduan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
yang dikeluarkan oleh BSNP, bahwa pada tingkat pendidikan dasar dan menengah atau
sederajat dapat memasukkan pendidikan kecakapan hidup. Baik PP maupun dalam panduan
BSNP tersebut tidak memberikan ketegasan bahwa sekolah diharuskan memasukkan
pendidikan kecakapan hidup. Namun demikian, apabila sekolah akan mengimplementasikan
pendidikan kecakapan hidup dalam proses pembelajaran, hal ini berimplikasi terhadap
perlunya sekolah menyiapkan seperangkat pendukung pelaksanaan pembelajaran yang
mengembangkan kegiatan-kegiatan yang berorientasi kepada kecakapan hidup.
Pengembangan tersebut menyangkut pengembagan dimensi manusia seutuhnya yaitu
pada aspek-aspek moral, akhlak, budi pekerti, pengetahuan, keterampilan, kesehatan, seni dan
budaya. Pengembangan aspek-aspek tersebut bermuara pada peningkatan pengembangan
kecakapan hidup yang diwujudkan melalui pencapaian kompetensi peserta didik untuk
bertahan hidup serta menyesuaikan diri agar berhasil dalam kehidupan. Oleh karena itu,
pendidikan kecakapan hidup dalam KTSP terintegrasi melalui kegiatan-kegiatan
pembelajaran yang ada pada setiap mata pelajaran, sehingga tidak berdampak pada alokasi
waktu yang ditetapkan.
Pendidikan kecakapan hidup sudah menjadi suatu kebijakan seiring dengan
berlakunya Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan. Standar isi dan standar kompetensi
lulusan tersebut menjadi acuan daerah/sekolah dalam mengembangkan kurikulum tingkat
satuan pendidikan (KTSP) pada masing-masing jenjang pendidikan. Oleh karena itu,
pengembangan kecakapan hidup dengan sendirinya harus mengacu kepada standar-standar
yang telah ditetapkan pemerintah. Standar isi dan standar kompetensi lulusan merupakan
salah satu bagian dari Standar Nasional Pendidikan. Standar isi terdiri dari: ruang lingkup
materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan,
kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus
dipenuhi oleh satuan pendidikan. Dokumen standar isi mencakup: (1) kerangka dasar
kurikulum, (2) struktur kurikulum, (3) standar kompetensi dan kompetensi dasar, (4) beban
belajar, dan (5) kalender pendidikan.
Muatan wajib yang harus ada dalam kurikulum adalah: pendidikan agama; pendidikan
kewarganegaraan; bahasa; matematika; ilmu pengetahuan alam; ilmu pengetahuan sosial;
seni dan budaya; pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan; keterampilan/kejuruan;
muatan lokal; dan pengembangan diri. Masing-masing muatan memiliki tujuan pendidikan
yang berbeda dan berpeluang untuk memasukkan kecakapan hidup secara terintegratif.
Keberhasilan pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup sangat ditentukan oleh
program/rancangan yang disusun sekolah dan kreativitas guru dalam merumuskan dan
menentukan metode pembelajarannya. Langkah-langkah yang ditempuh dalam penyusunan
program pembelajaran sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi standar kompetensi dan kompetensi dasar
2. Mengidentifikasi bahan kajian/materi pembelajaran
3. Mengembangkan indikator
4. Mengembangkan kegiatan pembelajaran yang bermuatan
kecakapan hidup
5. Menentukan bahan/alat/sumber yang digunakan
6. Mengembangkan alat penilaian yang sesuai dengan aspek
kecakapan hidup
Pendidikan kecakapan hidup dikembangkan dengan memperhatikan beberapa hal
berikut:
1. Pembentukan kepribadian peserta didik secara utuh baik
keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia
2. Mengakomodasi semua mata pelajaran untuk dapat menunjang
peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia, serta meningkatkan toleransi dan
kerukunan antar umat beragama dengan mempertimbangkan norma-norma agama
yang berlaku
3. Memungkinkan pengembangan keragaman potensi, minat dan
bakat, kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, dan kinestetik peserta didik secara
optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya
4. Sesuai tuntutan dunia kerja dan kebutuhan kehidupan
Program kecakapan hidup hendaknya memungkinkan untuk membekali peserta didik
dalam memasuki dunia kerja/usaha serta relevan dengan kebutuhan kehidupan sesuai
dengan tingkat perkembangan peserta didik
5. Kecakapan-kecakapan yang perlu dikembangkan mencakup: kecakapan personal,
sosial, akademis, dan vokasional
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
6. Mempertimbangkan lima kelompok mata pelajaran berikut:
a) Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia
b) Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian
c) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi
d) Kelompok mata pelajaran estetika
e) Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan
Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam
materi pembelajaran/bahan kajian, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian
kompetensi untuk proses penilaian. Dalam mengembangkan silabus dan perangkat lainnya
mengacu pada Standar Isi yang ditetapkan oleh BSNP. Langkah-langkah pengembangan
silabus secara umum mencakup:
1. Menentukan standar kompetensi
2. Menentukan kompetensi dasar
3. Mengembangkan indikator, sebagai penjabaran dari SK dan KD
4. Menentukan materi pembelajaran
5. Merumuskan dan mengembangkan kegiatan pembelajaran yang berorientasi
kecakapan hidup
6. Mempertimbangkan alokasi waktu
7. Menentukan media/alat/sumber/bahan yang sesuai
8. Menentukan jenis dan bentuk penilaian
Uraian masing-masing langkah dalam pengembangan silabus adalah sebagai berikut:
a. Menentukan Standar Kompetensi
Standar kompetensi adalah kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang
menggambarkan penguasaan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diharapkan
dicapai. Standar kompetensi yang dipilih atau digunakan sesuai dengan yang terdapat
dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran. Sebelum menentukan
atau memilih standar kompetensi, terlebih dahulu mengkaji standar kompetensi dan
kompetensi dasar mata pelajaran dengan memperhatikan hal-hal berikut:
1) urutan berdasarkan hierarki konsep disiplin ilmu dan/atau tingkat kesulitan materi;
2) keterkaitan antar standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam mata pelajaran;
3) keterkaitan standar kompetensi dan kompetensi dasar antar mata pelajaran.
b. Menentukan Kompetensi Dasar
Kompetensi dasar merupakan sejumlah kemampuan yang harus dimiliki peserta didik
dalam mata pelajaran tertentu sebagai rujukan untuk menyusun indikator kompetensi.
Kompetensi dasar yang digunakan atau dipilih sesuai dengan yang tercantum dalam
standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran. Sebelum menentukan atau
memilih kompetensi dasar, terlebih dahulu mengkaji standar kompetensi dan kompetensi
dasar mata pelajaran dengan memperhatikan hal-hal berikut:
1) urutan berdasarkan hierarki konsep disiplin ilmu dan/atau tingkat kesulitan materi;
2) keterkaitan antar standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam mata pelajaran;
3) keterkaitan standar kompetensi dan kompetensi dasar antar mata pelajaran.
c. Merumuskan Indikator
Indikator merupakan penjabaran dari kompetensi dasar yang menunjukkan tanda-
tanda, perbuatan dan atau respon yang dilakukan atau ditampilkan oleh peserta
didik. Indikator dirumuskan sesuai dengan karakteristik satuan pendidikan,
potensi peserta didik, dan dirumuskan dalam kata kerja operasional yang terukur
dan atau dapat diobservasi. Indikator digunakan sebagai dasar dalam menyusun
alat penilaian. Kriteria merumuskan indikator:
1) sesuai tingkat perkembangan berpikir peserta didik.
2) berkaitan dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar.
3) memperhatikan aspek manfaat dalam kehidupan sehari-hari
4) harus dapat menunjukkan pencapaian hasil belajar peserta didik secara utuh
[kognitif (pengetahuan dan pengembangan konsep), afektif (sikap), dan
psikomotor (keterampilan)]
5) memperhatikan sumber-sumber belajar yang relevan
6) dapat diukur/dapat dikuantifikasi
7) memperhatikan ketercapaian standar lulusan secara nasional
8) berisi kata kerja operasional
9) tidak mengandung pengertian ganda (ambigu)
d. Mengidentifikasi Materi Pembelajaran
Dalam mengidentifikasi materi pembelajaran harus mempertimbangkan:
1) tingkat perkembangan fisik
2) tingkat perkembangan intelektual
3) tingkat perkembangan emosional
4) tingkat perkembangan sosial
5) tingkat perkembangan spritual
6) nilai guna dan manfaat
7) struktur keilmuan
8) kedalaman dan keluasan materi
9) relevansi dengan kebutuhan dan tuntutan lingkungan
10) alokasi waktu
Selain itu juga harus memperhatikan beberapa hal berikut:
1) validitas materi; artinya materi harus teruji kebenaran dan kesahihannya
2) tingkat kepentingan; materi yang diajarkan memang benar-benar diperlukan
oleh peserta didik
3) kebermanfaatan : materi memberikan dasar-dasar pengetahuan dan
keterampilan pada jenjang berikutnya
4) layak dipelajari : materi layak dipelajari baik dari aspek tingkat kesulitan
maupun aspek pemanfaatan bahan ajar
5) menarik minat (interest): materinya menarik minat peserta didik dan
memotivasinya untuk mempelajari lebih lanjut
e. Mengembangkan Kegiatan pembelajaran
Kegiatan pembelajaran adalah kegiatan fisik maupun mental yang dilakukan peserta didik
dalam berinteraksi dengan bahan ajar. Kriteria dalam mengembangkan kegiatan
pembelajaran sebagai berikut:
1) kegiatan pembelajaran disusun bertujuan untuk memberikan bantuan
kepada guru, agar mereka dapat bekerja dan melaksanakan proses
pembelajaran secara profesional sesuai dengan tuntutan kurikulum
2) kegiatan pembelajaran disusun berdasarkan atas satu tuntutan kompetensi
dasar secara utuh
3) kegiatan pembelajaran memuat rangkaian kegiatan yang harus dilakukan
oleh peserta didik secara berurutan untuk mencapai kompetensi dasar
4) kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik (student centered)
5) mengandung kegiatan-kegiatan yang mendorong peserta didik mencapai
kompetensi
6) materi kegiatan pembelajaran dapat berupa pengetahuan, sikap, dan
keterampilan
7) perumusan kegiatan pembelajaran harus jelas materi/konten yang ingin
dikuasai peserta didik
8) penentuan urutan langkah pembelajaran sangat penting artinya bagi materi-
materi yang memerlukan prasyarat tertentu
9) pendekatan pembelajaran yang digunakan bersifat spiral (mudah-sukar;
konkret-abstrak; dekat-jauh) dan juga memerlukan urutan pembelajaran yang
terstruktur
10) rumusan pernyataan dalam kegiatan pembelajaran minimal mengandung
dua unsur penciri yang mencerminkan pengelolaan kegiatan pembelajaran
peserta didik, yaitu kegiatan peserta didik dan materi
Dalam memilih kegiatan peserta didik perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai
berikut:
memberikan peluang bagi peserta didik untuk mencari, mengolah dan
menemukan sendiri pengetahuan, di bawah bimbingan guru
mencerminkan ciri khas dalam pengembangan kemampuan mata pelajaran.
disesuaikan dengan kemampuan peserta didik, sumber belajar dan sarana yang
tersedia
bervariasi dengan mengkombinasikan kegiatan individu atau perorangan,
berpasangan, kelompok, dan klasikal
memperhatikan pelayanan terhadap perbedaan individual peserta didik seperti:
bakat, minat, kemampuan, latar belakang keluarga, sosial-ekonomi dan budaya
serta masalah khusus yang dihadapi peserta didik yang bersangkutan.
f. Menentukan Jenis dan Bentuk Penilaian
Penilaian merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan
menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan
secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang
bermakna dalam pengambilan keputusan. Kriteria penilaian:
1) penulisan jenis penilaian harus disertai dengan aspek-aspek yang akan
dinilai sehingga memudahkan dalam pembuatan soal-soalnya
2) penilaian diarahkan untuk mengukur pencapaian indikator.
3) penilaian menggunakan acuan kriteria; yaitu berdasarkan apa yang bisa
dilakukan peserta didik setelah peserta didik mengikuti proses pembelajaran,
dan bukan untuk menentukan posisi seseorang terhadap kelompoknya.
4) sistem penilaian yang berkelanjutan, artinya semua indikator ditagih,
kemudian hasilnya dianalisis untuk menentukan kompetensi dasar yang telah
dimiliki dan yang belum, serta untuk mengetahui kesulitan peserta didik.
5) hasil penilaian dianalisis untuk menentukan tindakan perbaikan, berupa
program remedi. Apabila peserta didik belum menguasai suatu kompetensi
dasar, ia harus mengikuti proses pembelajaran lagi (remedial), sedang bila
telah menguasai kompetensi dasar, ia diberi tugas pengayaan.
6) dalam sistem penilaian berkelanjutan, guru harus membuat kisi-kisi
penilaian dan rancangan penilaian secara menyeluruh untuk satu semester
dengan menggunakan teknik penilaian yang tepat
7) penilaian dilakukan untuk menyeimbangkan berbagai aspek pembelajaran:
kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan menggunakan berbagai model
penilaian, formal dan tidak formal secara berkesinambungan.
8) penilaian merupakan suatu proses pengumpulan pelajaran dan penggunaan
informasi tentang hasil belajar peserta didik dengan menerapkan prinsip
penilaian berkelanjutan, bukti-bukti otentik, akurat dan konsisten sebagai
akuntabilitas publik.
9) penilaian merupakan proses identifikasi pencapaian kompetensi dan hasil
belajar yang dikemukakan melalui pernyataan yang jelas tentang standar yang
harus dan telah dicapai disertai dengan peta kemajuan hasil belajar peserta
didik.
10) penilaian berorientasi pada standar kompetensi, kompetensi dasar dan
indikator Dengan demikian hasil penilaian akan memberikan gambaran
mengenai perkembangan pencapaian kompetensi.
11) penilaian dilakukan secara berkelanjutan (direncanakan dan dilakukan
terus-menerus) guna mendapatkan gambaran yang utuh mengenai
perkembangan penguasaan kompetensi oleh peserta didik, baik sebagai efek
langsung (main effect) maupun efek pengiring (nurturant effect) dari proses
pembelajaran.
12) sistem penilaian harus disesuaikan dengan kegiatan pembelajaran yang
ditempuh dalam proses pembelajaran. Misalnya, jika pembelajaran
menggunakan pendekatan tugas observasi lapangan maka evaluasi harus
diberikan baik pada proses (keterampilan proses) misalnya teknik wawancara,
maupun produk/hasil melakukan observasi lapangan yang berupa informasi
yang dibutuhkan.
g. Mempertimbangkan Alokasi Waktu
Alokasi waktu adalah waktu yang dibutuhkan untuk ketercapaian satu kompetensi
dasar, dengan memperhatikan:
1) minggu efektif per semester
2) alokasi waktu per mata pelajaran
3) jumlah kompetensi per semester
Apabila pendidikan kecakapan hidup dilakukan secara terintegrasi dengan mata
pelajaran.
h. Menentukan Sumber/Bahan/Alat/Media
1) Sumber
Merupakan rujukan, referensi atau literatur yang digunakan dalam penyusunan
silabus atau pembelajaran.
2) Bahan
Bahan adalah segala sesuatu yang diperlukan dalam proses praktikum atau
pembelajaran lain, misalnya: milimeter blok, benang, daun, kertas, tanah liat,
glukosa, dan bahan lain yang relevan
3) Alat/Media
Alat/media adalah segala sesuatu yang digunakan dalam proses pembelajaran
baik melalui praktikum maupun pembelajaran lainnya, misalnya: slide, alat
bantu belajar, mikroskop, gelas ukur, globe, harmonika, matras, dan
sebagainya.
Dalam implementasinya, silabus perlu dijabarkan dalam rencana pelaksanaan
pembelajaran. Oleh karena itu, silabus harus dikaji dan dikembangkan secara berkelanjutan
dengan memperhatikan masukan dari evaluasi hasil belajar, evaluasi proses (pelaksanaan
pembelajaran), dan evaluasi rencana pembelajaran.
Pada intinya pendidikan kecakapan hidup membantu peserta didik dalam
mengembangkan kemampuan belajar, menyadari dan mensyukuri potensi diri untuk
dikembangkan dan diamalkan, berani menghadapi problema kehidupan, serta
memecahkannya secara kreatif. Pendidikan kecakapan hidup bukanlah mata pelajaran,
sehingga dalam pelaksanaannya tidak perlu merubah kurikulum dan menciptakan mata
pelajaran baru. Yang diperlukan disini adalah mereorientasi pendidikan dari mata pelajaran
ke orientasi pendidikan kecakapan hidup melalui pengintegrasian kegiatan-kegiatan yang
pada prinsipnya membekali peserta didik terhadap kemampuan-kemampuan tertentu agar
dapat diterapkan dalam kehidupan keseharian peserta didik. Pemahaman ini memberikan arti
bahwa mata pelajaran dipahami sebagai alat dan bukan tujuan untuk mengembangkan
kecakapan hidup yang nantinya akan digunakan oleh peserta didik dalam menghadapi
kehidupan nyata. Prinsip-prinsip pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup sebagai berikut:
1. Tidak mengubah sistem pendidikan yang berlaku
2. Tidak mengubah kurikulum yang berlaku
3. Pembelajaran menggunakan prinsip empat pilar, yaitu: belajar untuk tahu, belajar menjadi
diri sendiri, belajar untuk melakukan, dan belajar untuk mencapai kehidupan bersama
4. Belajar konstekstual (mengkaitkan dengan kehidupan nyata) dengan menggunakan
potensi lingkungan sekitar sebagai wahana pendidikan
5. Mengarah kepada tercapainya hidup sehat dan berkualitas, memperluas wawasan dan
pengetahuan, dan memiliki akses untuk memenuhi standar hidup secara layak.
Keempat dimensi kecakapan hidup secara berkelanjutan harus dimiliki oleh peserta
didik sejak TK hingga sekolah menengah, dan bahkan perguruan tinggi sekalipun. Akan
tetapi dalam praktik pengembangannya, penekanan pendidikan kecakapan hidup tetap
mempertimbangkan tingkat perkembangan peserta didik sesuai dengan jenis dan jenjang
pendidikan. Kecakapan hidup pada TK dan sekolah dasar (SD) berbeda dengan sekolah
menengah pertama (SMP), demikian pula kecakapan hidup pada sekolah menengah pertama
berbeda dengan sekolah menengah atas (SMA), bergantung kepada tingkat perkembagan
psikologis dan fisiologis peserta didik. Gambar berikut ini merupakan contoh dominasi
pendidikan kecakapan hidup pada jenis/jenjang pendidikan TK/SD/ SMP, SMA, dan SMK.
Peningkatan mutu pendidikan merupakan sebuah komitmen bersama yang harus
dipegang teguh. Oleh karena itu, pendidikan kecakapan hidup sebagai salah satu upaya dalam
melahirkan generasi yang bukan hanya mampu hidup tetapi juga mampu bertahan hidup, dan
bahkan dapat unggul (excel) dalam kehidupan dikemudian hari. Contoh dominasi pendidikan
kecakapan hidup sebagaimana dipaparkan dalam gambar di atas, memperlihatkan bahwa
pendidikan kecapakan hidup pada jenjang TK/SD/SMP lebih menekankan kepada kecakapan
hidup umum (generic life skill), yaitu mencakup aspek kecakapan personal (personal skill)
dan kecakapan sosial (social skill). Hal ini memberikan gambaran bahwa untuk jenjang yang
lebih rendah lebih berorientasi pada kecakapan hidup yang bersifat dasar/umum sesuai
dengan tingkat perkembangannya. Bukan berarti bahwa pada jenjang ini tidak perlu
dikembangkan kecakapan hidup spesifik (specific life skill), yakni kecakapan akademik dan
vokasional, akan tetapi apabila dikembangkan maka baru pada tataran awal, misalnya
berpikir kritis dan rasional, menumbuhkan sikap jujur dan toleransi.
Aspek dasar yang harus dimiliki peserta didik pada jenjang pendidikan TK/SD/SMP
adalah kecakapan personal dan sosial yang sering disebut sebagai kecakapan generik (generic
life skill). Proses pembelajaran dengan pembenahan aspek personal dan sosial merupakan
prasyarat yang harus diupayakan berlangsung pada jenjang ini. Peserta didik pada usia
TK/SD/SMP tidak hanya membutuhkan kecakapan membaca-membaca-berhitung, melainkan
juga butuh suatu kecakapan lain yang mengajaknya untuk cakap bernalar dan memahami
kehidupan secara arif, sehingga pada masanya peserta didik dapat berkembang, kreatif,
produktif, kritis, jujur untuk menjadi manusia-manusia yang unggul dan pekerja keras.
Pendidikan kecakapan hidup pada jenjang ini lebih menekankan kepada pembelajaran akhlak
sebagai dasar pembentukan nilai-nilai dasar kebajikan (basic goodness), seperti: kejujuran,
kebaikan, kepatuhan, keadilan, etos kerja, kepahlawanan, menjaga kebersihan diri dan
lingkungan, serta kemampuan bersosialisasi.
a. Kecakapan personal (personal skill)
Kecapakan personal mencakup kesadaran diri dan berpikir rasional. Kesadaran diri
merupakan tuntutan mendasar bagi peserta didik untuk mengembangkan potensi dirinya di
masa mendatang. Kesadaran diri dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) kesadaran akan
eksistensi diri sebagai makhluk Tuhan YME, makhluk sosial, dan makhluk lingkungan, dan
(2) kesadaran akan potensi diri dan dorongan untuk mengembangkannya. (Dikdasmen,
2004 diolah).
(1) Kesadaran diri difokuskan pada kemampuan peserta didik untuk melihat sendiri potret
dirinya
Pada tataran yang lebih rendah peserta didik akan melihat dirinya dalam hubungannya
dengan lingkungan keluarga, kebiasaannya, kegemarannya, dan sebagainya. Pada
tataran yang lebih tinggi, peserta didik akan semakin memahami posisi drinya di
lingkungan kelasnya, sekolahnya, desanya, kotanya, dan seterusnya, minat, bakat, dan
sebagainya.
(2) Kecakapan berpikir merupakan kecakapan dalam menggunakan rasio atau pikiran.
Kecakapan ini meliputi kecakapan menggali informasi, mengolah informasi, dan
mengambil keputusan secara cerdas, serta mampu memecahkan masalah secara tepat
dan baik. Pada jenjang pendidikan menengah (SMP dan SMA) ketiga kecakapan
tersebut jauh lebih kompleks ketimbang dengan tingkat sekolah dasar (SD).
Sebagaimana diketahui bahwa dalam kurikulum berbasis kompetensi (KBK),
kemampuan berpikir mengambil keputusan secara cerdas dan memecahkan masalah
secara baik dan tepat menjadi isue utama dalam pembelajaran kecakapan hidup pada
peserta didik sekolah menengah (Wasino 2004, diolah).
b. Kecakapan sosial (social skill)
Kecakapan sosial dapat dipilah menjadi dua jenis utama, yaitu (1) kecakapan
berkomunikasi, dan (2) kecakapan bekerjasama
(1) Kecakapan berkomunikasi
Kecakapan berkomunikasi dapat dilakukan baik secara lisan maupun tulisan. Sebagai
makhluk sosial yang hidup dalam masyarakat tempat tinggal maupun tempat kerja,
peserta didik sangat memerlukan kecakapan berkomunikasi baik secara lisan maupun
tulisan. Dalam realitasnya, komunikasi lisan ternyata tidak mudah dilakukan.
Seringkali orang tidak dapat menerima pendapat lawan bicaranya, bukan karena isi
atau gagasannya tetapi karena cara penyampaiannya yang kurang berkenan. Dalam
hal ini diperlukan kemampuan bagaimana memilih kata dan cara menyampaikan agar
mudah dimengerti oleh lawan bicaranya. Karena komunikasi secara lisan adalah
sangat penting, maka perlu ditumbuhkembangkan sejak dini kepada peserta didik.
Lain halnya dengan komunikasi secara tertulis. Dalam hal ini diperlukan kecakapan
bagaimana cara menyampaikan pesan secara tertulis dengan pilihan kalimat, kata-
kata, tata bahasa, dan aturan lainnya agar mudah dipahami orang atau pembaca lain.
(2) Kecakapan bekerjasama
Bekerja dalam kelompok atau tim merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat
dielakkan sepanjang manusia hidup. Salah satu hal yang diperlukan untuk bekerja
dalam kelompok adalah adanya kerjasama. Kemampuan bekerjasama perlu
dikembangkan agar peserta didik terbiasa memecahkan masalah yang sifatnya agak
kompleks. Kerjasama yang dimaksudkan adalah bekerjasama adanya saling
pengertian dan membantu antar sesama untuk mencapai tujuan yang baik, hal ini agar
peserta didik terbiasa dan dapat membangun semangat komunitas yang harmonis.
c. Kecakapan akademik (academic skill)
Kecakapan akademik seringkali disebut juga kecakapan intelektual atau kemampuan
berpikir ilmiah yang pada dasarnya merupakan pengembangan dari kecakapan berpikir
secara umum, namun mengarah kepada kegiatan yang bersifat keilmuan. Kecakapan ini
mencakup antara lain kecakapan mengidentifikasi variabel, menjelaskan hubungan suatu
fenomena tertentu, merumuskan hipotesis, merancang dan melaksanakan penelitian.
Untuk membangun kecakapan-kecakapan tersebut diperlukan pula sikap ilmiah, kritis,
obyektif, dan transparan.
d. Kecakapan vokasional (vocational skill)
Kecakapan ini seringkali disebut dengan kecakapan kejuruan, artinya suatu kecakapan
yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di masyarakat atau
lingkungan peserta didik. Kecakapan vokasional lebih cocok untuk peserta didik yang
menekuni pekerjaan yang mengandalkan keterampilan psikomotorik daripada kecakapan
berpikir ilmiah. Namun bukan berarti peserta didik SMP dan SMA tidak layak untuk
menekuni bidang kejuruan seperti ini. Misalnya merangkai dan mengoperasikan
komputer. Kecakapan vokasional memiliki dua bagian, yaitu: kecakapan vokasional dasar
dan kecakapan vokasional khusus yang sudah terkait dengan bidang pekerjaan tertentu
seperti halnya pada peserta didik di SMK. Kecakapan dasar vokasional bertalian dengan
bagaimana peserta didik menggunakan alat sederhana, misalnya: obeng, palu, dsb;
melakukan gerak dasar, dan membaca gambar sederhana. Kecakapan ini terkait dengan
sikap taat asas, presisi, akurasi, dan tepat waktu yang mengarah kepada perilaku
produktif. Sedangkan vokasional khusus hanya diperlukan bagi mereka yang akan
menekuni pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya. Misalnya pekerja montir, apoteker,
tukang, tehnisi, atau meramu menu bagi yang menekuni pekerjaan tata boga, dan
sebagainya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pendidikan kecakapan hidup yang diberikan
sampai dengan jenjang sekolah menengah lebih berorientasi pada upaya mempersiapkan
peserta didik menghadapi era informasi dan era globalisasi. Pada intinya pendidikan
kecakapan hidup ini membantu dan membekali peserta didik dalam pengembangan
kemampuan belajar, menyadari Kecakadan mensyukuri potensi diri, berani menghadapi problema
Substan
kehidupan, serta mampu memecahkan pansi persoalan secara kreatif. Pendidikan kecakapan hidup
bukan mata pelajaran baru, akan Matpel
Hidup
tetapi sebagai alat dan bukan sebagai tujuan. Penerapan
konsep pendidikan kecakapan hidup terkait dengan kondisi peserta didik dan lingkungannya
seperti substansi yang dipelajari, karakter peserta didik, kondisi sekolah dan lingkungannya.
Lebih lanjut penekanan pembelajaran kecakapan hidup pada masing-masing jenjang
dapat digambarkan sebagai berikut
| | | | | |
TK SD SMP SMA S1 S2 dst ...
Gambar di atas menunujukkan penekanan porsi pembelajaran antara kecakapan hidup
dan substansi mata pelajaran yang ada di masing-masing jenjang pendidikan. Pada jenjang
TK/SD/SMP, porsi kecakapan hidup sangat besar dan porsi substansi mata pelajaran masih
kecil. Sedangkan pada jenjang SMA, porsi kecakapan hidup makin berkurang dan substansi
mata pelajaran semakin bertambah. Begitu pula pada jenjang S1 dan S2, porsi kecakapan
hidup semakin berkurang karena porsi akademik semakin besar.
Prinsip pembelajaran kecapakan hidup lebih kepada pembelajaran kontekstual, yaitu
adanya keterkaitan antara kehidupan nyata dengan lingkungan dan pengalaman peserta didik.
Lebih lanjut hubungan antara mata pelajaran, kecakapan hidup, dan kehidupan nyata dapat
digambarkan sebagai berikut.
MATA
PELAJARAN
LIFE SKILL
Kontribusi hasil
pembelajaran
KEHIDUPAN NYATA
Pendidikan kecakapan hidup bukan sebagai mata pelajaran melainkan bagian dari
materi pendidikan yang terintegrasi dalam mata pelajaran. Perangkat pembelajaran untuk
semua jenis baik mata pelajaran maupun jenjang pendidikan yang mengintegrasikan
kecakapan hidup, dirancang/disusun secara kontekstual, sebagaimana digambarkan dalam
ilustrasi berikut ini.
Semua jenis mata Permasalahan dalam
pelajaran pada semua KONTEKSTUAL kehidupan nyata yang harus
jenis dan jenjang disikapi dan dihadapi dengan
pendidikan kecakapan-kecakapan tertentu
Perangkat
pembelajaran yang
mengintegrasikan
Kecakapan Hidup