Anda di halaman 1dari 52

TANYA-JAWAB TENTANG PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS 1

Untuk mengajar ilmu ekonomi seorang guru disamping harus memahami pengertian
dan makna, ia harus memahami “ method of thingking sturure dan body of knowledge”
keilmuaannya coba jelaskan metohod of thingking, sturukture dan body of knowledge
ilmu ekonomi itu ?
Jawaban
Method of thinking yaitu metode berfikir yaitu dengan menggunakan model
matematik sebagai analisis dengan pendekatan grafis dan tabel sebagai alat untu
menggambarkan fakta-fakta dan pendekatan diagramatis yang digunakan sebagai alat untuk
menyederhanakan model berfikir dan metoda berfikir verbal dan kontekstual yaitu dengan
menggunakan konteks sebagai alat Bantu untuk menjelaskan fenomena-fenomena
sedangkan dilihat dari body of knowledge yaitu di pandang aksiomanya yaitu perlunya
alokasi distribusi dan kajiannya bersifat analitis dengan menggunakan teori ata model : yaitu
suatu penyederhanaan dari kenyataan yang digunakan ntuk membuat pkiran atas dunia nyata
dan kategori ilmu ekonomi menjelaskan bagaimana suat operekonoman belangsung aau
berbicara cara kerja perekonomian yait berdasarkan faktafakta yang kegunaan nya untuk
menjelaskan, memprediksi, memberi arahan/landasan dan digunakan sebagai pegangan.
Ilmu ekonomi dapat diringkas sebagai berikut :
Ilmu ekonomi adalah suatu studi ilmiah yang mengkaji bagaimana orang per orang
dan kelompok-kelompok masyarakat menentukan pilihan. Manusia mempunyai
keinginan yang tidak terbatas. Untuk memuaskan berbacam ragam keinginan tersebut,
tersedia seubmer daya yang dapat digunakan. Berbagai sumberdaya ini tidak tersedia
dengan bebas. Karenanya, sumber daya ini langka dan mempunyai berbagai kegunaan
laternatif. Pilihan kegunaan dapat terjadi antara penggunaan sekarang (hari ini) dan
penggunaan hari esok (masa depan). Karen itu, cakupan pilihan atas sumberdaya yang
tersdia meliputi penggunaan sekarang danpenggunaan masa depan. Selain itu,
penggunaan semberdaya tersebut menimbulkan pula biaya dan manfaat. Mengingat
adanya biaya dan manfaat, maka diperlukan pertimbangan efisiensi dalam
penggunaan sumber daya (Gerardo F Sikat)
Rumusan di atas merupakan difinisi paling lengkap mengenai subyek ilmu ekonomi
pada masa-masa sebelumnya, orang sering mendifinisikan ilmu ekonomi dalam satu kalimat
saja. Rumuan yang paling terkenal sebagai definisi ilmu ekonomi adalah studi mengenai
manusia dalam mempertahankan kehidupannya sehari-hari. Definisi lain merumuskannya
sebagai studi mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan kesejahteraan materil manusia.
Setiap upaya untuk membuat definisi yang teridiri dari satu kalimat saja cenderung
gagal karena masih ada sesuatu yangharus dijelaskan lebih lanjut agar dapat dipahami
sepenuhnya.
Hal yang paling penting sesungguhnya adalah mengenai aspek-aspek ilmu ekonomi berikut
ini :
1. meruapakan ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan prilaku manusia.
2. kajian utamanya adalah pilihan-pilihan baik sekarang maupun yang akan datang, yang
mempengaruhi produksi barang, distribusi, imbalan yang timbul dari proodkuksi itu dan
kahirnya konsumsi barang-barang tersesbut.
Dalam kaitan demikian, ilmu ekonomi berkaitan dengan kesejahteraan materil umat
manusia.
body of knowledge :
1. Ilmu ekonomi menayakan barang-barang apa (what) yang akan diproduksi, bagaimana
(how) barang-barang ini diproduksi dan untuk siapa (for home) diproduksi
2. ilmu ekonomi menganalisis setiap gerakan dan perubahan yang terjadi dalam keseluruhan
ekonomi misalnya kecenderungan (trend) dalam harga, hasil produksi, pengangguran, dan
perdagangan luar negeri.begitu gegala-gejala tadi bisa dipahami maka ilmu ekonomi
dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengenbangkan kebijakan-kebiajakan
ekonominya sehingga dapat memperbaiki perekonomian.
3. ilmu ekonomi mempelajari perdagangan diantara berbgai negera. Ilmu ini membantu
menenrangkan mengapa negara-negara mengeksport koomoditi tertentu dan mengimpor
yang lainnya.ilmuini juga menganalisis pengaruh pembaatasan terhadap perdagangan
internasional.
4. Ilmu ekonomi merupakan ilmu mengenai pilihan.ilmu ini memperlajari bagaimana orang
memilih menggunakan sumber daya prodksi yang langka atau terbatas (misalnya tenaga
kerja, mesin, keteramplilan teknis). Untuk memproduksi berbagai komoditui dan
menyalurkannya ke barbagai anggota masyarakat untuk segera dikonsumsikan.
5. Ilmu ekonomi merupakan suatu studi tentang uang, perbanakn, dan kekayaan.

Kemukakan tujuan pendidikan IPS dan bagaimana kaitannya dengan karakteristik


pembelajarannya ?
Jawab :
Tujuan merupakan ukuran untuk mengetahui tercapai tidaknya progam yang telah
ditetapkan. Setiap kegiatan walaupun ruang lingkupnya kecil pasti memiliki tujuan yang
ingin dicapai, lebih-lebih kegiatan yang berimplikasi terhadap kehidupan manusia secara
luas, seperti kegiatan pendidikan. Pendidikan IPS sebagai bagian integral dari program
pendidikan memiliki tujuan yang ingin dicapai dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan
secara umum.
Banyak pendapat yang mengemukakan tentang tujuan pendidikan IPS, di antaranya
oleh The Multi Consortium of Performance Based Teacher Education di AS pada tahun 1973
(Djahiri dan Ma’mun, 1978:8-10), yaitu sebagai berikut:
1. Mengetahui dan mampu menerapkan konsep-konsep ilmu sosial yang penting,
generalisasi (konsep dasar) dan teori-teori kepada situasi dan data baru.
2. Memahami dan mampu menggunakan beberapa struktur dari suatu disiplin atau
antar disiplin untuk digunakan sebagai bahan analisis data baru.
3. Mengetahui teknik-teknik penyelidikan dan metode-metode penjelasannya yang
dipergunakan dalam studi sosial secara bervariasi serta mampu menerapkannya
sebagai teknik penelitian dan evaluasi suatu informasi.
4. Mampu mempergunakan cara berpikir yang lebih tinggi sesuai dengan tujuan dan
tugas yang di dapatnya.
5. Memiliki keterampilan dalam memecahkan permasalahan (Problem Solving).
6. Memiliki self concept (konsep/prinsip sendiri) yang positif.
7. Menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
8. Kemampuan mendukung nilai-nilai demokrasi.
9. Adanya keinginan untuk belajar dan berpikir secara rasional.
10. Kemampuan berbuat berdasarkan sistem nilai yang rasional dan mantap.
Sedangkan menurut Somantri (2001:199): “Tujuan pendidikan IPS, di antaranya
untuk membantu tumbuhnya berpikir ilmuwan sosial dan memahami konsep-konsepnya,
serta membantu tumbuhnya warga negara yang baik”. Selanjutnya Somantri (2001:75),
mengemukakan bahwa: “Tujuan pendidikan IPS bisa bevariasi mulai dari penekanan pada:
(a) pendidikan kewarganegaraan, (b) pemahaman dan penguasaan konsep-konsep ilmu-ilmu
sosial, (c) bahan dan masalah yang terjadi dalam masyarakat yang dikembangkan secara
reflektif”.
Sementara menurut Wahab (1998:9): Tujuan pengajaran IPS di sekolah tidak lagi
semata-mata untuk memberi pengetahuan dan menghapal sejumlah fakta dan informasi akan
tetapi lebih dari itu. Para siswa selain diharapkan memiliki pengetahuan mereka juga dapat
mengembangkan keterampilannya dalam berbagai segi kehidupan dimulai dari keterampilan
akademiknya sampai pada keterampilan sosialnya.
Pendapat tersebut senada dengan tujuan IPS menurut penjelasan pasal 37 UU No. 20
tahun 2003 tentang Sisdiknas (2003:86), bahwa: “Bahan kajian ilmu pengetahuan sosial,
antara lain, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, kesehatan, dan sebagainya dimaksudkan untuk
mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis peserta didik terhadap
kondisi sosial masyarakat”.
Secara umum beberapa pendapat tentang tujuan pendidikan IPS sebagaimana di
uraikan di atas sesuai dengan tujuan pendidikan nasional berdasarkan pasal 3 UU No. 20
tahun 2003 tentang Sisdiknas, yaitu: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab (2003:11).
Dengan demikian jelas, bahwa Pendidikan IPS memegang peranan penting dalam
upaya mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Hal ini karena mengembangkan potensi
peserta didik menjadi manusia yang berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, sebagaimana yang
menjadi tujuan pendidikan nasional, juga merupakan tujuan pendidikan IPS.

Kemukakan dua pendekatan yang banyak digunakan untuk memperkuat mutu


pembelajaran IPS ?
Jawab :
PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME :
Seperti cendawan di musim hujan, kini terminologi ”konstruktivisme” telah merebak
dalam dunia pendidikan. Merebaknya istilah ”konstruktivisme’ itu sejalan dengan
kebingungan kita khususnya dalam menerapkan pada tataran praktis dunia pendidikan.
Menurut Brooks & Brooks (1993) konstruktivisme adalah lebih merupakan suatu filosofi dan
bukan suatu strategi pembelajaran. ”Constructivism is not an instructional strategy to be
deployed under appropriate conditions. Rather, constructivism is an underlying philosophy
or way of seeing the world”. Bahkan menurut Glasersfeld (1987) konstruktivisme sebagai
"teori pengetahuan dengan akar dalam “filosofi, psikologi dan cybernetics". Von Glasersfeld
mendefinisikan konstruktivisme radikal selalu membentuk konsepsi pengetahuan. Ia melihat
pengetahuan sebagai sesuatu hal yang dengan aktip menerima yang apapun melalui pikiran
sehat atau melalui komunikasi. Hal itu secara aktip teruama dengan membangun
pengetahuan. Kognisi adalah adaptif dan membiarkan sesuatu untuk mengorganisir
pengalaman dunia itu, bukan untuk menemukan suatu tujuan kenyataan (von Glasersfeld,
1989).
Hal ini berbeda dengan pandangan kaum objektivis bahwa pengetahuan adalah stabil
sebab kekayaan esensial objek pengetahuan dan secara relatif tak berubah-ubah. Dengan
demikian secara metafisik kaum objektivis berasumsi bahwa dunia adalah riil, hal itu adalah
tersusun, dan bahwa struktur itu dapat dimodelkan untuk siswa. Objectivisme masih
meyakini bahwa tujuan pikiran adalah untuk "cermin" bahwa kenyataan dan strukturnya itu
melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan decomposable (tidak dapat diubah).
Maksudnya bahwa hal itu diproduksi oleh proses berpikir yang di luar si pembelajar, dan
ditentukan oleh struktur dunia nyata (Murphy, 1997: 28).
Hal ini berbeda dengan pandangan konstruktivisme yang beranggapan bahwa
pengetahuan dan kenyataan itu tidak mempunyai suatu sasaran atau nilai mutlak atau, paling
sedikit, bahwa kita tidak punya cara untuk mengetahui kenyataan ini. Von Glasersfeld (1995)
menunjuk dalam hubungan ini dengan konsep kenyataan: "Hal itu terdiri dari jaringan
sesuatu hal dan berhubungan bahwa kita bersandar pada hidup kita, dan yang lain-pun sama
taerhadapnyaa, kita percaya, orang lain bersandar juga" (Murpy, 1997: 7). Siswa
menginterpretasikan dan membangun suatu kenyataan berdasarkan pada interaksi dan
pengalamannya dengan lingkungan. Bukannya berpikir tentang kebenaran dalam kaitannya
dengan suatu pencocokan dengan kenyataan, von Glasersfeld malahan memfokuskan pada
pemikiran-pemikiran kelangsungan hidup: "Untuk konstructivisme, konsep-konsep, model-
model, teori-teori, dan seterusnya adalah dapat berkembang terus jika mereka dapat
membuktikan cukup matang dalam konteks dengannya di mana mereka telah ciptakan". Oleh
karena itu dalam kontinum secara epistemologis, bahwa objectivisime dan konstructivisme
akan menghadirkan kebalikan yang ekstrim. Berbagai jenis konstruktivisme sudah
dimunculkan. Kita dapat membedakan antara konstruktivisme radikal, sosial, phisik,
evolusiner, konstruktivisme postmodern, konstruktivisme sosial, konstruktivisme pengolahan
informasi, dan konstruktivisme sistem cybernetic (Steffe & Gale, 1995; Prawat, 1996;
Heylighen,1993; Ernest,1995)
Dengan demikian ruang lingkup epistemologi konstruktivisme secara jelas begitu luas
dan sulit untuk dinamai. Tergantung pada siapa yang anda baca, anda boleh mendapatkan
sesuatu penafsiran yang sedikit berbeda. Namun demikian, banyak para penulis, pendidik dan
peneliti nampak memiliki persetujuan tentang bagaimana epistemologi konstructivisme ini
seharusnya dapat mempengaruhi belajar dan praktek pendidikan. Bagian yang berikut ini
mengingatkan kita, apa makna konstruktivisme untuk belajar. Hal itu penting untuk suatu
pertimbangan jika kita mengambil suatu bentuk aktivitas tertentu maka disamping
memberikan dalam aspek keingintahuan sebagai bagian nafsu akademisnya juga tidak kalah
pentingnya memahami makna yang terkandung dalam upaya perbaikan suatu sistem
pembelajaran yang memberikan sesuatu yang lebih bermanfaat, padu, dan meyakinkan
sebagai alternatif pendekatan pembelajaran yang lebih baik.
Dalam perkembangannya, konstructivisme memang banyak digunakan dalam
pendekatan-pendekatan pembelajaran. Konstruktivisme pada dasarnya adalah suatu
pandangan yang didasarkan pada aktivitas siswa dengan untuk menciptakan,
menginterpretasikan, dan mereorganisasikan pengetahuan dengan jalan individual
(Windschitl, dalam Abbeduto, 2004). Sejalan dengan pendapat tersebut menurut Schwandt
(1994) bahwa konstruktivisme adalah seperti interpretivis dan konstruktivis. Hal ini sejalan
pula dengan pendapat von Glaserfeld (1987) bahwa pengetahuan bukanlah suatu komunikasi
dan komoditas dapat dipindahkan dan tak satu pengantar-pun itu ada.
Belum banyak buku-buku yang beredar apalagi yang berbahasa Indonesia tentang
pembelajaran konstruktivisme. Namun demikan kita dapat memeperoleh beberapa sumber
tentang pembelajaran konstruktivisme dari literatur asing baik dari buku-buku maupun
internet. Seperti kita lihat dalam bagian penjelasan, Jacqueline Grennon Brooks dan Martin
G. Brooks dalam The case for constructivist classrooms. (1993) menawarkan lima prinsip
kunci konstruktivist teori belajar. Anda dapat menggunakan mereka untuk
membimbing/memandu pada kajian struktur kurikulum dan perencanaan pelajaran.
Menurutnya terdapat lima panduan prinsip konstruktivisme:
Prinsip 1: Permasalahan yang muncul sebagai hal yang relevan dengan siswa
Dalam banyak contoh, masalah style Anda mengajar mungkin akan menjadi relevan
dengan selera untuk para siswa, dan mereka akan mendekatinya, merasakan
keterkaitannya kepada kehidupan mereka.
Prinsip 2: Struktur belajar di sekitar konsep-konsep utama
Mendorong para siswa untuk membuat makna dari bagian-bagian yang
menyeluruh/utuh ke dalam bagian-bagian yang terpisah-pisah. Hindari mulai dengan
bagian-bagian dahulu untuk membangun kemudian sesuatu yang "menyeluruh/utuh."
Prinsip 3: Carikan dan hargai poin-poin pandangan siswa sebagai jendela memberi alasan
mereka.
Tantangan gagasan dan pencarian elaborasi yang tepat ditangkap siswa, sering
mengancam banyak siswa. Maksudnya adalah bahwa sering para siswa di dalam kelas
yang secara tradisional mereka tidak bisa menduka serta menghubungkan apa yang
guru maksudkan untuk jawaban yang benar dan cepat, agar ia tidak berada di luar
topik dari diskusi kelas yang diadakan. Mereka harus betul-betul "masuk" dan ”sibuk”
ikut mengkaji tugas-tugas dalam belajar sebagai konstruktivis lingkungan melalui
petanyaan-peranyaan, sanggahan, ataupun jawaban yang diajukan. Para siswa juga
harus mempunyai suatu kesempatan untuk mengelaborasi merinci dan menjelaskan.
Kadang-kadang, perasaan anda terlibat dalam, atau apa yang siswa pikirkan dan
kemukakan mereka bukanlah hal yang penting. Hal ini adaah anggapan yang keiru,
karena itu jika siswa memulai dengan konsep yang tidak/kurang jelas maka dapat
dilacak dengan peranyaan-peranyaan seperti; “mengapa”?, dan “bagaimana”?.
Gunakan jawaban siswa itu untuk mengarah kepada adanya evidesi-evidensi yang
kuat sehingga dapa mengokohkan vaiditas jawaban siswa tersebut. Sebab dalam
belajar konstruktivisme pengetahuan menuntut tidak hanya waktu untuk
mencerminkan atau menguaraikan tetapi juga untuk waktu praktik menjelaskan.
Dengan demikian kedudukan dan peranan demonstarsi, siswa tidak hanya dituntut
dalam pengembangan fluency-nya saja melainkan terhindar dari situasi dan kondisi
yang dapat menimbulkan verbalisme.
Prinsip 4. Sesuaikan pembelajaran dengan perkiraan menuju pengembangan siswa.
Memperkenalkan topik kajian pengembangan dengan tepat atau sesuai, adalah suatu
awal yang baik untuk dapat dipahami pengembangan konsep berikutnya.
Kebanyakan sekolah menengah para siswa akan temukan persiapan suatu naskah film
atau suatu ringkasan tentang keaneka ragaman suku bangsa dan budaya Indonesia.
Ketika para siswa terlibat dalam pembahasan topik, Anda harus memonitor jalannya
dan proses pengembangan persepsi mereka dalam belajar.
Prinsip 5; Nilai hasil belajar siswa dalam konteks pembelajaran.
Geser/ubah peniaian itu harus benar-benar sedang menilai apa yang benar-benar
sedang terjadi saat penilaian itu. Berlangsung, dan jangan sekali-kali menilai itu
dalam kebiasaan skor yang diperoleh seseorang dari waktu ke waktu. Ekspresi Anda
bisa bervariasi, kadang-kadang optimis, periang, namun sesekali bisa pesimis, sedih,
maupun marah. Namun peru diingat marahnya seorang guru dalam kerangka sedang
mendidik, dalam konteks pembelajaran, bukan marah mengekspresikan kekesalan.
Begitu juga ketika Anda memberikan bantuan pada seseorang atau beberapa siswa,
bantuan Anda lakukan benar-benar dalam kerangka mendidik, bukan sedang
menyintai seseorang, atau agar mendapat simpatik dari seorang siswi yang cantik. Di
siniah perlunya authentic assessment yakni suatu penilaian yang betul-betul menilai
apa yang terjadi sesungguhnya secara alami, tidak diwarnai oleh preseden penilaian
sebelumnya, melainkan suatu assessment di suatu konteks yang penuh arti ketika
berhubungan dengan permasalahan dan perhatian asli yang dihadapi oleh para siswa.
PENDEKATAN INKUIRI
Salah satu pendekatan pembelajaran yang dapat mengarahkan kepada terciptanya
aktifitas siswa dalam kegiatan belajar mengajar adalah metode Inkuiri. Adapun yang
dimaksud dengan metode inkuiri adalah seperti dikemukakan oleh Muhammad Ali
(1996:86), bahwa : Metode inquiry dan discovery pada dasarnya dua metode yang saling
berkaitan satu sama lain. inquiry artinya penyelidikan, sedangkan discovery adalah
penemuan. Melalui penyelidikan siswa akhirnya dapat memperoleh suatu penemuan.
Sedangkan A. Kosasih Djahiri (1992:30) mengemukakan tentang pengertian metode
pemecahan masalah dan metode inkuiri ini sebagai berikut :
Inkuiri maupun pemecahan masalah pada hakekatnya metode mencari dan mengkaji
(investigating) untuk selanjutnya diketemukan sesuatu berupa pemecahan masalah
yang diyakini (nalar) kebaikan dan keunggulannya/kehandalannya.
Metode inkuiri adalah metode belajar mencari pemecahan terbaik dari sesuatu
masalah melalui proses pencarian, penyimpulan dan pembuktian. Sedangkan metode
pemecahan masalah adalah metode belajar mencari berbagai pemecahan masalah
melalui proses pencarian, perumusan dan penyimpulan.
Dengan demikian bahwa metode pemecahan masalah atau “Problem Solving Method”
dan metode inkuiri pada dasarnya merupakan metode belajar mencari pemecahan masalah.
Perbedaan dari kedua metode ini terletak pada proses akhirnya serta hasil yang diperoleh dari
penyelesaian suatu masalah. Dimana dalam metode inkuiri proses penyelesaian suatu
masalah dilakukan sampai pada tahap pembuktian sehingga dapat diperoleh penyelesaian
terbaik dari suatu masalah. Sedangkan dalam metode pemecahan masalah, proses
penyelesaian suatu masalah hanya sampai pada tahap menyimpulkan, dan penyelesaian yang
diperoleh berupa alternatif penyelesaian dari suatu masalah.
Berdasarkan pembahasan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa metode
inkuiri adalah suatu cara penyampaian pelajaran dengan cara menekankan pada proses
pemecahan masalah dengan penentuan alternatif pemecahannya yang paling tepat sehingga
menciptakan kegiatan belajar mengajar yang mengarahkan kepada interaksi serta aktivitas
siswa dalam merespon pelajaran yang disampaikan.
Metode inkuiri dipandang sebagai metoda belajar yang paling tinggi karena respons
tidak bergantung hanya pada asosiasi masa lalu dan conditioning, tetapi bergantung kepada
kemampuan manipulasi ide-ide yang abstrak, menggunakan aspek-aspek dan perubahan-
perubahan dari belajar terdahulu, melihat perbedaan-perbedaan yang kecil dan
memproyeksikan diri sendiri ke masa yang akan datang. Pemecahan masalah dalam metode
inkuiri membutuhkan kreasi dan bukan pengulangan dari respon-respon apabila situasi yang
timbul sedemikian kompleknya sehingga inisiatif dan sintesis mental diperlukan untuk
menyesuaikan diri terhadap situasi itu.
Langkah-langkah yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar yang
menggunakan metode inkuiri Menurut A. Kosasih Djahiri, (1993:57) dapat diuraikan sebagai
berikut :
1. Stimulation, bertanya/menyuruh siswa untuk memperhatikan uraian
yang memuat permasalahan.
2. Problems Statement, mengidentifikasi masalah kemudian merumuskan
dalam bentuk pertanyaan.
3. Data Collection, pengumpulan informasi yang relevan melalui
bacaan/literature, pengamatan subjek, mewawancarai nara sumber dan uji coba.
4. Data Processing, mengolah semua informasi, diacak, dikelompokan,
ditabulasikan kemudian menghitung dengan cara tertentu.
5. Verivikation, menyatakan/pembuktian terhadap masalah yang telah
diuraikan.
6. generalization, menghubungkan setiap masalah kemudian ditarik suatu
kesimpulan.
Urutan sistemik dari proses pengajaran ini menunjukan kadar belajar siswa dengan
kadar tinggi, untuk hal ini sangat tepat kiranya dilaksanakan oleh guru dalam pembelajaran di
kelas. Adapun langkah-langkah yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan metode inkuiri
yang dikemukakan oleh Umar Hamalik, (1992:145) adalah :
1. Adanya kebutuhan yang dirasakan (felt need) pada individu,
2. Mengenal dan merumuskan masalah sekhusus mungkin.
3. Mengumpulkan data.
4. Merumuskan hipotesis.
5. Menguji hipotesis.
6. Merumuskan generalisasi.
Langkah-langkah tersebut di atas merupakan langkah kegiatan metode inkuiri dalam
kegiatan belajar mengajar. Hal tersebut juga harus didorong oleh kemahiran guru dalam
memberikan stimulus kepada siswa serta pandai dalam meramu berbagai pertanyaan
permasalahan sehingga mempermudah siswa untuk menelaah permasalahan sekaligus
mencari alternatif pemecahannya. Adapun langkah-langkah umum yang harus dilakukan oleh
guru dalam melaksanakan metode inkuiri adalah seperti dikemukakan Richard Suchman yang
dikutip oleh Muhammad Ali (1996:87-88), sebagai berikut :
1. Identifikasi kebutuhan siswa.
2. Seleksi pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian, konsep dan generalisasi
yang akan dipelajari.
3. Seleksi bahan dan problema atau tugas-tugas.
4. Membantu memperjelas :
- Tugas problema yang akan dipelajari
- Peranan masing-masing siswa
5. Mempersiapkan setting kelas dan alat-alat yang diperlukan.
6. Mencek pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan.
7. Memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan penemuan.
8. Membantu siswa dengan informasi/data jika diperlukan.
9. Memimpin analisis sendiri (self analysis) dengan pertanyaan yang mengarahkan
dan mengidentifikasikan proses.
10. Merangsang terjadinya interaksi antar siswa.
11. Memuji dan membesarkan siswa yang tergiat dalam proses penemuan.
12. Membantu siswa merumuskan prinsip-prinsip dan generalisasi atas hasil
penemuan.
Dengan memperhatikan langkah-langkah tersebut di atas maka seorang guru dalam
menggunakan metode inkuiri akan dapat memberikan bantuan kepada siswa dalam
menempuh langkah-langkah pemecahan masalah dari mulai identifikasi masalah sampai
penemuan atau bahkan sampai generalisasi penemuan, sehingga metode inkuiri dapat
memberikan kontribusinya bagi tercapainya tujuan dari suatu pembelajaran.

Kemukakan dua model dalam pembelajaran pendidikan IPS ?


Jawab :
Model adalah suatu pola atau gaya dari suatu proses pembelajaran yang berlangsung
untuk mencapai keberhasilan dari suatu program pembelajaran. Sedangkan pembelajaran
adalah suatu upaya yang sistematik dan disengaja untuk menciptakan kondisi agar terjadi
proses belajar mengajar. Model Konvensional adalah model lama yang kering dengan variasi
dan terjebak kedalam rutinitas metode ceramah pasif dan proses “menghafal” materi
pelajaran. Hal ini diungkapkan oleh Al Mukhtar (1999:70) yang menyatakan :
Proses belajar masih lemah dan terperangkap pada “proses menghafal”, menyentuh
kognitif tingkat rendah. Proses belajar belum mengembangkan kemampuan berfikir
tingkat tinggi…Kualitas partisipasi siswa dalam belajar masih rendah, mereka
belum diperankan sebagai pembelajar secara mandiri melakukan kegiatan belajar.
Lebih dari itu, belajar belum diartikan sebagai pengembangan potensi berfikir,
posisi menerima masih banyak dilakukan oleh siswa. Begitu pula siswa belum
dilibatkan secra optimal dalam pembentukan konsep berdasarkan potensi intelektual
dan emosional dirinya sendiri.
Slavin (1995:19) menjelaskan bahwa secara historis cooperative learning telah
dikenal sejak lama. Pada saat itu guru mendorong para siswa untuk kerja sama dalam
kegiatan-kegiatan tertentu seperti diskusi atau tutor sebaya. Hal ini dilakukan karena
didasarkan pada keyakinan bahwa siswa akan lebih baik apabila mengajar atau diajar oleh
siswa yang lain. Ini berarti bahwa keberhasilan dalam belajar bukan semata-mata harus
diperoleh dari guru saja, melainkan dapat juga dilakukan melalui teman lain yaitu teman
sebaya. Hal ini dilakukan karena keyakinan bahwa siswa akan lebih baik apabila mengajar
atau diajar oleh siswa lain. Ini berarti bahwa keberhasilan dalam belajar bukan semata-mata
harus diperoleh dari guru saja, melainkan dapat juga dilakukan melalui teman sebaya.
Cooperative adalah mengerjakan sesuatu bersama-sama dengan saling membantu satu
sama lainnya sebagai satu tim. Sedangkan Cooperative Learning artinya belajar bersama-
sama dan memastikan bahwa setiap orang dalam kelompok mencapai tujuan atau tugas yang
telah ditentukan sebelumnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa cooperative
learning adalah menyangkut teknik pengelompokkan yang didalamnya siswa bekerja terarah
pada tujuan belajar bersama dalam kelompok kecil yang umumnya terdiri dari 4-5 orang
(Bernet dalam Broto Kiswoyo, 1995 :9)
Cooperative Learning adalah model pembelajaran yang sistematis yang
mengelompokkan siswa untuk tujuan menciptakan pendekatan pembelajaran yang efektif
yang mengintegrasikan keterampilan sosial yang bermuatan akademis (Davidson dan
Warsharn :1992).
Pada hakekatnya cooperative learning sama dengan kerja kelompok, oleh karena itu
banyak guru mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang aneh dalam cooperative learning
karena mereka menganggap telah terbiasa menggunakannya. Walaupun cooperative learning
terjadi dlam bentuk kerja kelompok, tetapi tidak setiap kerja kelompok dikatakan cooperative
learning. Ishak Abdullah (2001:19-20) menjelaskan bahwa pembelajaran cooperative
dilaksanakan melalaui sharing proses antara peserta belajar, sehingga dapat mewujudkan
pemahaman bersama di antara peserta belajar itu sendiri.
Menurut Bernet dalam Broto Kiswoyo (1995:9) ada lima unsur dasar yang dapat
membedakan antara cooperative learning dengan belajar kelompok .
1. Positive interdependence, yaitu hubungan antar timbal balik yang didasari adanya
kepentingan yang sama atau perasaan yang sama diantara anggota kelompok dimana
keberhasilan seseorang merupakan keberhasilan yang lain pula atau sebaliknya.
2. Interaction Face to face, yaitu interaksi yang langsung terjadi antara siswa tanpa
adanya perentara. Tidak adanya penonjolan kekuatan individu dan yang ada hanya
pola interaksi dan perubahan yang bersifat verbal diantara siswa.
3. Adanya tanggung jawab pribadi mengenai materi pelajaran dalam anggota kelompok
sehingga siswa termotivasi untuk membantu temannya, karena tujuan dalam
cooperative learning adalah menjadikan setiap anggota kelompok lebih kuat
pribadinya.
4. Membutuhkan keluwesan, yaitu menciptakan hubungan antar pribadi,
mengembangkan kemampuan kelompok dan memelihara hubungan kerja yang
efektif.
5. Meningkatkan keterampilan bekerjasama dalam memecahkan masalah (proses
kelompok), yaitu tujuan terpenting yang diharapkan dapat tercapai dalam cooperative
learning adalah siswa belajar keterampilan bekerjasama dan berhubungan. Ini
merupakan keterampilan yang penting dan diperlukan dalam masyarakat.
Beberapa konsep dasar pengembangan Model Cooperative Learning seperti yang
tertera berikut ini :
1. Kejelasan tujuan pembelajaran
2. Penerimaan siswa secara menyeluruh tentang tujuan belajar
3. Saling membutuhkan sesama anggota kelompok
4. Keterbukaan dalam interaksi pembelajaran
5. Tanggung jawab individu
6. Heterogenitas kelompok
7. Sikap dan perilaku sosial yang positif
8. Defrefing (refleksi)
9. Kepuasan dalam belajar
Menurut Al Muchtar (2003:13) pendidikan multikultural sebagai sebuah paradigma
dalam pengembangan pendidikan yang diunggulkan dan dijadikan wacana berkaitan dengan
bagaimana memperkuat peran pendidikan dalam mentransformasikan nilai-nilai
kemajemukan, pluralitas dan keragaman untuk membentuk sikap keterbukaan, toleransi dan
memperkuat demokrasi, dengan demikian dapat memperkuat ketahanan budaya. Lebih lanjut
Al Muchtar (2003:17) mengemukakan, bahwa pendidikan multikultural bertujuan
memperkuat makna dan validitas sosial budaya pendidikan, menginternalisasikan nilai-nilai
untuk menghargai pluralitas dengan menekankan ajaran etika nilai budaya yang bersumber
dari ajaran agama, yang menekankan keseimbangan antara kecerdasan intelektual,
kematangan emosional dan spiritual serta pengamalan akhlak mulia. Sementara menurut
Wiriaatmadja (2002:255) tujuan utama pendidikan multikultural ialah mempersiapkan anak
didik dengan sejumlah pengetahuan, sikap dan keterampilan yang diperlukan dalam
lingkungan budaya etnik mereka, budaya nasional dan antar budaya etnik lainnya.
Adapun sasaran pendidikan multikultural menurut Banks sebagaimana dikutip oleh
Skeel (1995:102) mengarahkan siswa tanpa memandang perbedaan jender, sosial, budaya,
ras, dan etnik memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan/pengalaman
belajar siswa di sekolah; membantu siswa untuk mengembangkan sikap positif terhadap
adanya perbedaan budaya, suku, dan agama/kepercayaan; memberikan kekuatan kepada
siswa yang menjadi korban tindak kejahatan dengan mengajarkan kepada mereka bagaimana
mengambil keputusan dan keterampilan sosial; membantu para siswa mengembangkan
ketergantungan lintas budaya dan cara pandang mereka terhadap perbedaan kelompok.
Langkah-langkah operasional pendidikan multikultural yang disajikan di kelas
majemuk, miniatur Indonesia. Memberi penjelasan dan pemahaman kepada siswa bahwa kita
(Indonesia) ditakdirkan menjadi bangsa yang majemuk, sehingga diharapkan siswa dapat
menyadarinya. Kemajemukan bukan sesuatu hal yang dapat dijadikan alasan oleh kita untuk
saling bermusuhan, tetapi justru sebagai aset bangsa yang dapat mempersatukan kita. Bagi
kita bersatu dalam kemajemukan adalah suatu anugrah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa
yang patut kita syukuri.
a. Mengarahkan siswa akan keharusan dalam kehidupan masyarakat
dan bangsa yang majemuk, di antaranya saling menghormati/menghargai
perbedaan, toleransi, dan tenggang rasa.
b. Menanamkan kesadaran/keyakinan kepada siswa, bahwa hidup
damai tanpa konflik akan membuahkan ketenangan dan kesejahteraan.
Perbedaan pendidikan global dengan pendidikan multikultural. Menurut Sapriya
(2002:155), pendidikan global merupakan upaya untuk menanamkan suatu pandangan
(perspective) tentang dunia kepada para siswa dengan memfokuskan bahwa terdapat saling
keterkaitan antar budaya, umat manusia dan kondisi planet bumi. Pada umumnya, tujuan
pendidikan setiap mata pelajaran untuk kondisi saat ini menekankan pada kemampuan siswa
dalam berpikir kritis (critical thinking skill), namun ada hal yang unik dalam pendidikan
global, yakni fokus substansinya yang berasal dari hal-hal mendunia yang semakin bercirikan
pluralisme, interdependensi dan perubahan. Tujuan pendidikan global adalah untuk
mengembangkan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan sikap (attitudes) yang
diperlukan untuk hidup secara efektif dalam dunia yang sumber daya alamnya semakin
menipis dan ditandai oleh keragaman etnis, pluralisme budaya dan semakin saling
ketergantungan. Sementara Kniep (Sapriya, 2002:158) mengemukakan bahwa isi pendidikan
global dirumuskan dari realitas sejarah dan kondisi saat ini yang menggambarkan dunia
sebagai masyarakat global. Dari hasil analisisnya ini, Kniep memperkenalkan empat unsur
kajian yang dianggap esensial dan mendasar dari pendidikan global: (1) kajian tentang nilai
manusia (the study of human values); (2) kajian tentang sistem global (the study of global
systems); (3) kajian tentang masalah-masalah dan isu-isu global (the study of global problems
and issues); dan (4) kajian tentang sejarah hubungan dan saling ketergantungan antar orang,
budaya, dan bangsa (the study of the history of contacts and interdependence among peoples,
cultures, and nations).
Perbedaan antara pendidikan global dengan pendidikan multikultural, yaitu bahwa
pendidikan global ini lebih menekankan hal-hal yang sifatnya mendunia yang bercirikan
pluralisme, interdependensi dan perubahan. Contoh materi pendidikan global: Isu-isu global
seperti HAM, terorisme dan wabah HIV/AIDS; dan peranan organisasi-organisasi
internasional.
Sedangkan pendidikan multikultural lebih menekankan kepada keragaman budaya
pada tingkat lokal dan nasional dalam rangka memperkuat ketahanan budaya dan integritas
nasional. Contoh materi pendidikan multikultural: teloransi; dan pemahaman keragaman
budaya, etnik dan agama.

Kemukakan alasan mengapa pengembangan kemampuan berpikir dan nilai dipandang


strategis untuk meningkatkan mutu pembelajaran IPS ?
Jawab :
Bagi ilmu-ilmu sosial, kajian-kajiannya tidak selalu dapat di amati oleh karena itu
kemampuan berpikir abstrak merupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap orang yang
mengkaji mengenai masalah-masalah sosial. Bagaimana manusia dapat memahami benda-
benda teknologi atau pranata kehidupan sosial budaya manusia berdasarkan bentuk fisik yang
terlihat dan terjadi, maka mereka dituntut berpikir abstrak sehingga mampu memahami dan
menjelaskan apa yang ada dibalik fenomena yang diamati, dan memikirkan bagaimana
alternatif yang dilakukan. Fenomena kehidupan yang dikembangkan dalam konsep-konsep
ilmu sosial misalnya : rasa cinta tanah air, semangat nasionalisme, kekuasaan, kekuatan, rasa
kecewa dan sebagainya adalah fenomena- fenomena yang abstrak.
Bagaimana implementasi dalam pendidikan ?. Atas dasar sifat fenomena yang dikaji
ilmu-ilmu sosial dan sifat hubungan yang tidak langsung, maka kemampuan berpikir abstrak
dalam belajar disiplin ilmu sosial adalah suatu prasyarat yang mutlak harus dimiliki siswa.
Tanpa kemampuan berpikir abstrak maka siswa hanya akan belajar sesuatu yang bersifat
permukaan dari apa yang dihasilkan disiplin ilmu-ilmu sosial. Karena berpikir siswa
diarahkan pada permukaan saja, maka siswa tidak pernah di latih untuk berpikir abstrak,
karena apa yang dilakukan siswa hannyalah menghafal saja. Artinya siswa kehilangan
kesempatan terbaik belajar ilmu-ilmu sosial.
Jean Piaget mengatakan bahwa : proses belajar terjadi apabila terjadi proses
pengolahan data yang aktif di pihak yang belajar. Pengolahan data yang aktif itu merupakan
aktivitas lanjut dari kegiatan mencari informasi dan dilanjutkan dengan kegiatan penemuan-
penemuan. Piaget berpendapat bahwa apa yang suda ada pada diri seseorang adalah dasar
untuk menerima yang baru. Dalam kaitan dengan proses perubahan pada siswa, maka Piaget
mengemukakan dua skema yaitu : 1). Asimilasi. 2). Akomodasi.
Tugas mengajar suatu mata pelajaran kepada anak didik pada usia manapun adalah
memperkenalkan struktur keilmuan mata pelajaran tersebut sesuai dengan cara anak
didik berpikir . (Bruner dalam bukunya “ The Process of Education” (1960:33))
Bruner ( 1960 : 23-26 ) mengatakan bahwa ada empat keuntungan pembelajaran disiplin
ilmu. Keempat keuntungan tersebut adalah :
1. Pemahaman terhadap struktur keilmuan akan menyebabkan bahan pelajaran menjadi
semakin konprehensif. Artinya, apabila siswa memahami struktur suatu disiplin ilmu
maka ia akan memiliki kemampuan untuk melihat masalah secara lebih luas dan lebih
mendalam.
2. Penguasaan struktur suatu disiplin ilmu akan menyederhanakan cara menyimpan dan
menggunakan ingatan ( memory ). Peyederhanaan itu terjadi karena yang di simpan
dalam ingatan bukan semua rincian fakta yang tidak punya arti tetapi garis besar yang
satu sama lain membentuk hubungan dan memberi makna tertentu. Maka yang
diberikan itu menyebabkan informasi yang disampaikan merupakan sesuatu yang
dapat disimpan lama. Kenyataan ini sejalan dengan pendapat Phenix (1965:138) yang
mengatakan bahwa ” Pengetahuan bukanlah sekedar akumulasi dari informasi yang
bebas dan terakumulasi”.
3. Penguasaan struktur disiplin ilmu merupakan jembatan bagi tercapainya transfer of
training. Dengan demikian, penguasaan suatu struktur disiplin ilmu tentu akan
memberikan dasar yang memudahkan siswa mempelajari struktur disiplin ilmu
lainnya.
4. Dengan mempelajari struktur disiplin ilmu secara tepat, baik di SMP maupun di SMA
maka siswa memiliki kesempatan untuk mengembangkan ketajaman dalam analisis
sehingga mereka dapat merasakan perbedaan yang sifatnya tipis tapi prinsipil antara ”
pengetahuan dasar ” dengan ” pengetahuan yang lebih maju ”.
(S. Hamid Hasan (1996))
Menurut pasal 1 ayat (19) UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas: Kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan tentang tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara
yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai
tujuan pendidikan tertentu. Adapun prinsip-prinsip pengembangan kurikulum menurut
Sukmadinata (2001:150-154), yaitu: Prinsip-prinsip umum, meliputi relevansi, fleksibilitas,
kontinuitas, praktis, dan efektivitas. Prinsip-prinsip khusus berkenaan dengan tujuan
pendidikan, isi pendidikan, proses belajar mengajar, media dan alat pengajaran, serta kegiatan
penilaian.
Selama ini pengembangan kurikulum di Indonesia lebih berorientasi pada materi (isi
kurikulum) daripada proses pembelajaran. Hal ini menimbulkan berbagai permasalahan di
lapangan baik dalam budaya belajar maupun dalam budaya mengajar. Permasalahan tersebut
antara lain:
a. Budaya belajar lebih berorientasi pada bentuk menghapal daripada belajar
berpikir; belajar menyimak pengetahuan ilmu-ilmu sosial daripada berpikir untuk
mempertinggi apresiasi nilai sosial budaya; motivasi belajar hanya sekedar mendapatkan
nilai daripada mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan mandiri; belajar menerima
informasi daripada mencari, mengolah dan menggunakan informasi; belajar pasif
daripada belajar aktif; belajar santai daripada belajar kompetitif secara sehat; belajar
mengumpulkan pengetahuan ilmu-ilmu sosial dari pada memecahkan masalah sosial.
b. Budaya mengajar yang selama ini tumbuh di lapangan, antara lain kebiasaan
memberi matari pelajaran daripada menyajikan bahan pelajaran IPS dalam bentuk
masalah sebagai media stimulus bagi perkembangan berpikir dan nilai; kebiasaan
berperan sebagai satu-satunya sumber daya belajar daripada berperan sebagai fasilitator
belajar yang dapat memberi kemudahan belajar; kebiasaan menciptakan pola interaksi
satu arah daripada menciptakan pola interaksi komunikasi serba arah; kebiasaan
mengajarkan nilai daripada mengklarifikasi nilai; kebiasaan memberikan hapalan
daripada merangsang untuk berpikir tingkat tinggi.
Kondisi tersebut tidak/kurang mendukung pencapaian sasaran pembelajaran IPS.
Menurut Djahiri dan Ma’mun (1978:36), sasaran pengajaran IPS antara lain membina insan
sosial yang paripurna yang mampu hidup dalam arena kehidupan masyarakat serta dapat
berpartisipasi secara aktif dan penuh tanggung jawab; membina kemampuan berpikir kritis
dan mengambil keputusan-keputusan yang baik, kemampuan hidup mandiri, kemampuan
melakukan hubungan dengan sesama (berinteraksi sosial), kemampuan ekonomis yang
survive, rasa tanggung jawab sebagai insan mandiri/sosial dan politik, kemampuan teknis
dalam mempelajari sesuatu (learning how to learn). Untuk itu pengembangan kurikulum IPS
harus mengarah kepada upaya pencapaian sasaran tersebut.
Secara empirik permasalahan dalam pengembangan kurikulum IPS, di antaranya:
a. Pengembangan kurikulum IPS lebih berorientasi pada pengembangan ilmu-
ilmu sosial, ketimbang pengembangan kemampuan berpikir dan kemampuan
mengklarifikasi nilai-nilai sosial budaya yang berkembang di masyarakat.
b. Pendekatan sentralistik dalam pengembangan kurikulum (kurikulum 1994)
pendidikan IPS mengakibatkan semakin tumbuh dan berkembangnya budaya belajar
mengajar untuk mencapai target kurikulum sebagai tuntutan kedinasan.
c. Muatan materi yang padat (kurikulum 2004) tidak diimbangi dengan alokasi
waktu yang cukup, akibatnya guru sebagai pengembang kurikulum mengalami
kesulitan dalam pembelajaran.
d. Banyak guru IPS terutama di daerah terpencil yang tidak memiliki kualifikasi
atau kelayakan untuk mengemban tugas sebagai guru IPS, sehingga mereka
mengalami kesulitan dalam mengembangkan kurikulum IPS.
Kondisi tersebut apabila terus dibiarkan akan memperlemah proses dan hasil
pendidikan IPS serta memperkokoh anggapan sementara pihak bahwa pendidikan IPS kurang
bermanfaat dibandingkan dengan MIPA. Untuk itu guru IPS harus berani mengambil
terombosan di antaranya dengan menggunakan pendekatan pengembangan berpikir dan nilai
dalam pembelajaran IPS.
Hasil penelitian dan pengkajian akademis yang dilakukan oleh Al Muchtar (2004:233-
236) merupakan gagasan inovatif untuk meningkatkan mutu pendidikan IPS, yaitu:
a. Pendidikan IPS memerlukan reorientasi dan transformasi dasar konseptual dari konsepsi
yang lebih menekankan pada orientasi upaya mempersiapkan peseta didik untuk
melanjutkan belajar ke perguruan tinggi dengan praktik pendidikan melatih mereka
supaya berhasil dalam Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) kepada orientasi
yang harmonis antara mempersiapkan peserta didik untuk dapat belajar lebih lanjut
dengan membekali pengetahuan, sikap dan keterampilan sosial untuk menjalani
kehidupan di masyarakat.
b. Ketidakjelasan dasar konseptual pendidikan IPS yang selama ini terjadi, perlu
dihilangkan dengan cara dikembangkan suatu definisi dalam wawasan pengembangan
berpikir dan nilai secara konsisten. Difinisi tersebut bersifat kontekstual dan
memungkinkan terjadinya dinamisasi pemikiran inovatif di kalangan para pelaku
pendidikan IPS. Definisi yang dimaksud tidak dalam suatu rumusan formal yang kaku
sehingga kreativitas para pengembang pendidikan IPS terbelenggu. Untuk itu perlu
dikembangkan atas acuan: (1) tujuan yang berorientasi pada pengembangan kemampuan
berpikir dan nilai; (2) tujuan dengan orientasi pengembangan IPTEK dan era informasi
modern serta globalisasi, (3) tujuan dengan orientasi pengembangan ilmu sosial dan peran
ilmu sosial.
c. Gagasan ini dapat dikembangkan dengan cara mengembangkan ke arah
budaya otonomisasi untuk mengembangkan kurikulum pendidikan IPS dalam perspektif
nasional dan lokal dengan para guru dan kepala sekolah bertindak tidak hanya sebagai
pelaksana kurikulum, akan tetapi harus lebih bertindak sebagai pengembang kurikulum
(curicullum developer). Adanya wawasan konseptual yang jelas, maka identifikasi dan
pencarian alternatif pemecahan masalah dalam pendidikan IPS yang selama ini sulit
dilakukan, akan mendapatkan konseptual yang jelas sehingga usaha peningkatan mutu
mudah untuk dilaksanakan. Di samping itu perlu dikembangkan sikap guru untuk
memberi makna terhadap pendekatan pengembangan sentralistik, dengan cara tidak
berpikir tekstual dan sektoral yang dapat mempersempit wawasan dan semangat inovasi
sebagai pengembang kurikulum. Untuk itu pengembangan IPS hendaknya diperankan
sebagai bagian dari pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sehingga
pengembangan tidak terbatas pada lingkup pendidikan persekolahan semata.
Sebaik apapun gagasan hasil kajian akademik untuk mengatasi permasalahan dalam
pendidikan IPS apabila tidak didukung oleh political will dari pengambil kebijakan
(pemerintah), hasilnya tidak akan optimal apalagi maksimal. Sedangkan menurut Wahab
(1998:7), bahwa: Upaya perbaikan dalam arti reorientasi dan revitalisasi bagi
refungsionalisasi PIPS di sekolah harus dimulai dari para guru IPS sendiri dengan
menunjukkan kemampuan profesionalnya dalam pendidikan IPS melalui upaya perubahan
dan perbaikan terhadap berbagai kekurangan dalam pengajaran IPS yang selama ini
dilakukan di sekolah. Hal ini patut disadari bersama oleh karena guru merupakan ujung
tombak dari berbagai kebijakan termasuk upaya reorientasi dan revitalisasi pengajaran IPS di
sekolah tersebut. Perubahan apapun yang dilakukan tanpa komitmen dan kerja keras guru
semuanya akan menjadi sia-sia atau gagal sama sekali. Bukti-bukti menunjukkan bahwa
banyak inovasi pendidikan yang telah dilakukan namun gagal atau bahkan ditinggalkan sama
sekali pada tingkat diseminasi dan implementasi hanya karena guru kurang memperoleh
informasi dan karena kurangnya komitmen profesional guru.
Antara political will dari pengambil kebijakan (pemerintah) dengan tekad dan
semangat dari komunitas pendidikan IPS baik akademisi maupun praktisi harus berjalan
secara simultan, tanpa itu upaya meningkatkan mutu pendidikan IPS sulit untuk diwujudkan.
Jadi, political will pemerintah dan tekad serta semangat komunitas pendidikan IPS
merupakan kunci utama untuk mengatasi permasalahan pendidikan IPS.
Bahan pelajaran IPS akan lebih fungsional bagi pengembangan berpikir dan nilai jika
diorganisir atas dasar acuan struktur ilmu-ilmu sosial sebagai sumber keilmuan dan masalah
sosial budaya sebagai sumber nilai yang diorganisir secara “integrated” dalam kemasan
problematis sebagai media stimulus bagi pengembangan kemampuan memecahkan masalah
dan pembinaan kemampuan menginternalisasi nilai-nilai sosial budaya. Jika hal ini dilakukan
maka anggapan bahwa pendidikan IPS sebagai bahan yang “paling tidak menarik” yang
selama ini berkembang dikalangan peserta didik akan berubah menjadi mata pelajaran yang
menantang dan menarik untuk dipikirkan dan dipelajari secara serius hal ini dapat dilakukan
apabila para guru bertindak sebagai pengembang kurikulum yang memiliki wawasan
penguasaan materi selain berupa konsep-konsep ilmu sosial, juga diperkaya dengan
penguasaan dan kemampuan pengetahuan sosial budaya dan perkembangannya (Al Muchtar,
2004:239-240).
Lebih lanjut menurut Al Muchtar (2004:240), bahwa: Transformasi yang harus
dilakukan oleh guru dan penulis buku IPS, adalah dari kebiasaan memberikan bahan
pelajaran sebanyak-banyaknya dalam kemasan informasi dan pengetahuan kepada penyajian
bahan yang diseleksi atas petimbangan esensial dalam kemasan problematik untuk
mengembangkan kemampuan berpikir dan membina kemantapan internalisasi nilai.
Dalam penyusunan materi pembelajaran, ada beberapa prinsip (Depdiknas, 2003:14)
yang harus diperhatikan, yaitu:
d. Relevansi, yaitu relevan atau sinkron antara materi pembelajaran dengan
kemampuan dasar yang ingin dicapai.
e. Konsistensi, yaitu konsisten, ada keajegan antara materi pembelajaran dengan
kemampuan dasar dan standar kompetensi.
f. Adequasi (kecukupan), berarti cakupan materi pelajaran yang diberikan cukup
lengkap untuk tercapainya kemampuan yang telah ditentukan.
Lebih lanjut dalam menentukan urutan materi pembelajaran (Depdiknas, 2003:13), perlu
ditempuh pendekatan prosedural, dari materi pembelajaran yang sederhana ke yang sukar,
konkrit ke abstrak, spiral, tematis, hirarkis, terpadu, dan terjala.

Kemukakan beberapa masalah yang dihadapi dalam memperkuat proses pembelajaran


pendidikan IPS ?
Jawab :
Salah satu praktek kependidikan di sekolah yang perlu dibenahi adalah kebiasaan
anak dengan ‘budaya konsumtif’. Ini perlu dialihkan pada kebiasaan dengan ’budaya
produktif’. Budaya konsumtif antara lain meliputi, kebiasaan siswa menerima informasi
secara pasif: mencatat - mendengar - meniru sedangkan budaya produktif adalah kebiasaan
siswa untuk menghasilkan karya/gagasan: menulis gagasan - merancang/ membuat model -
meneliti - memecahkan masalah - menemukan rumus/gagasan baru. Guru perlu menciptakan
lingkungan belajar dengan budaya produktif kalau ingin meraih lulusan menjadi SDM yang
profesional, produktif, dan efisien.
Meskipun belum ada data akurat, disinyalir sejumlah lulusan sekolah kurang
produktif. Mereka kurang mahir menulis gagasannya, kurang berani mengungkapkan
gagasan, kurang terampil memecahkan masalah, kurang terampil merencanakan penelitian,
kurang berani mengambil keputusan dengan mempertimbangkan risiko, kurang mahir
berpikir alternatif untuk menemukan solusi masalah yang beragam, cenderung cepat putus
asa jika menemui masalah yang sulit dipecahkan. Biasanya, suatu masalah baru dapat
diselesaikannya jika dilengkapi dengan resep dan rumus yang operasional. Mengapa ini
terjadi? Apakah anak kita tidak potensial untuk produktif atau apakah peluang untuk menjadi
produktif belum tersedia secara optimal?
Bagaimanapun juga, kebiasaan produktif merupakan sikap bawaan anak sejak kecil
sebab setiap anak kecil memiliki dua sikap dasar: sikap ingin tahu dan sikap imajinatif. Kalau
kedua sikap ini dikembangkan dengan serius anak akan terlatih menjadi produktif. Sikap
pertama lazim teramati pada prilaku anak sehari-hari seperti bertanya tentang apa dan
mengapa, mengamati benda dan bagian benda yang kecil-kecil, mencoba-coba mainan baru.
Sikap ini mendorong anak untuk mengeksplorasi dan berinteraksi dengan alam sekitar - yang
kemudian berlanjut pada pembangunan pengetahuan , meskipun dalam wujud ‘gagasan naif’.
Sedangkan, sikap imajinatif sering muncul sewaktu anak bermain-main. Anak sering
membuat aneka ragam model bangunan pasir sewaktu bermain di pantai, sering melukis
macam-macam gambar sesuai seleranya, sering berandai-andai dirinya menjadi makhluk
selain manusia. Dengan demikian, ketika bersekolah, sebenarnya anak sudah memiliki kedua
sikap ini, suatu modal dasar untuk melatih anak menjadi produktif.
Supaya peran siswa sebagai ‘produsen’ seimbang dengan peran ‘konsumen’, guru
perlu melakukan pengajaran edukatif (educative teaching) dengan menempatkan diri dalam
peran sebagai fasilitator. Para ahli membedakan pengajaran edukatif dengan pengajaran
(teaching) yang berkonotasi pelatihan (training), pengkondisian (conditioning), dan
indoktrinasi (indoctrination’). Pengajaran edukatif adalah pengajaran yang melibatkan dan
menghargai pemikiran/tindakan siswa untuk menilai sesuatu yang akan dipelajari. Karena itu,
penanaman keyakinan terhadap sesuatu konsep/prinsip tidak cukup hanya menyediakan
bukti-bukti tetapi juga perlu mendorong siswa untuk mencari/menyediakan bukti sendiri dan
menilai bukti yang disajikan sebelum suatu konsep/prinsip dapat diterima dan dipahaminya.
Sementara itu, pengajaran dalam bentuk training/ drill lebih mengacu pada upaya
peningkatan ketrampilan tentang tehnik dan cara (know how) dari pada pemahaman tentang
hakekat apa dan mengapa (know what and why) suatu konsep. Lalu, pengajaran dalam bentuk
conditioning adalah bentuk kegiatan yang menyediakan stimulus (S) supaya bentuk prilaku
respon (R) yang dinginkan dapat ditunjukkan oleh siswa. Pemberian penghargaan (reward)
kalau siswa berbuat baik merupakan bentuk conditioning. Bentuk lain pengajaran adalah
indoctrination. Jenis pengajaran ini – yang beberapa ahli pendidikan mengelompokkannya
dalam kategori cara mengajar yang tidak edukatif - mengacu pada pemaksaan keyakinan/
kepercayaan terhadap konsep tertentu. Dengan demikian, bentuk indoktrinasi ini
bertentangan dengan baik metoda ilmiah maupun sikap ilmiah. Di sekolah, diduga guru yang
mengajar dengan cara indoctrination dan training/drill untuk mata pelajaran dengan sasaran
kognitif seperti kelompok mata pelajaran IPA dan IPS ini masih ada (dan bahkan mungkin
masih banyak). Di antara ketiga jenis pengajaran ini mungkin bentuk conditioning agak lebih
baik meski perlu ditingkatkan kearah bentuk educative teaching.
Dengan demikian, pada masa mendatang dalam upaya meningkatkan kualitas lulusan,
guru perlu melakukan perubahan wawasan yang selanjutnya berimplikasi pada perubahan
perlakukan guru ke siswa, dari peran siswa sebagai konsumen ke peran siswa sebagai
produsen. Dalam Tabel, disajikan beberapa contoh perlakuan yang disajikan dalam dua kutub
ekstrim, yaitu kkutub siswa sebagai konsumen kutub siswa sebagai produsen.
Perlakuan Guru Terhadap Siswa di Kelas
Siswa Sebagai Konsumen Siswa Sebagai Produsen
 Mendengarkan penjelasan guru  Mengajukan pertanyaan,
sepanjang hari tanpa memberikan berkomentar terhadap suatu
respon dan penilaian terhadap materi pendapat, menjawab pertanyaan
yang disajikan secara kreatif
 Mencatat semua informasi yang  Membuat karangan kreatif
dituliskan guru di papan tulis dan berdasarkan pengalaman dan
didiktekan guru secara lisan tanpa imajinasinya. Kadangkala dalam
sedikitpun memberikan pandangan dan karangan itu disertai gambar untuk
catatan menurut pikirannya memperjelas bahasa tulis.
 Memberikan jawaban dengan  Memberikan jawaban sendiri secara
mengulangi kata-kata yang pernah kritis dengan alasan melalui hasil
disampaikan guru atau mengulangi penelaran logis
informasi yang tertuang dalam buku  Mengomentari jawaban guru sambil
teks.
 Mengulangi kata-kata guru secara koor mengungkapkan alasan tanda
sewaktu guru memberikan jawaban kesetujuannya atau ketidaksetujuaan
sepotong-potong dan potongan jawaban  Menghasilkan karya dalam bentuk
yang lain dijawab bersama-sama seperti model, tulisan, produk teknologi
‘Mahluk hidup selalu berna ………’ , sederhana
kata guru dan anak meneruskan dengan
‘faaaas’  Membuat laporan dengan bahasa
dan pola sendiri. Laporannya penuh
 Menghasilkan karya dan solusi imaginasi dan uraian yang disajikan
permasalahan setelah disajikan ‘resep’ sangat lengkap dan rinci
rinci dari guru.
 Ketika seorang siswa SD bertanya,
 Membuat laporan dengan bahasa dan ‘Pak, apakah ada kehidupan di
pedoman baku dari guru. Kadangkala planet Mars?’ Guru langsung
jenis laporan seperti ini cukup hanya mengajukan pertanyaan juga,
melengkapi satu atau dua kata pada ‘Menurutmu bagaimana, ada atau
ruang kosong yang disediakan. tidak ada kehidupan? ‘Kalau ada,
 Ketika seorang siswa SD bertanya, apakah mahluk hidup di sana seperti
‘Pak, apakah ada kehidupan di planet mahluk hidup di bumi?’ ‘Kalau
Mars?’ Guru langsung mengatakan, tidak ada, apakah tidak mungkin
‘Kamu tahu kan bahwa di planet Mars planet itu dijadikan objek pariwisata
itu tidak ada udara maka disana tidak pada masa mendatang oleh umat di
mungkin ada kehidupan, ya…kan’. bumi?’
Jawaban guru disertai wajah sinis yang
terkesan menganggap pertanyaan siswa
itu sebagai pertanyaan konyol.
Menurut pandangan constructivism, otak anak (siswa) pada dasarnya tidak seperti
gelas kosong yang siap diisi dengan air informasi yang berasal dari pikiran guru. Otak anak
tidak kosong. Otak anak berisi pengetahuan-pengetahuan yang dikonstruksi anak sendiri
sewaktu anak berinteraksi dengan lingkungan/peristiwa yang dialaminya. Meskipun beberapa
pengetahuan yang dikonstruksi anak ini cenderung miskonsepsi, menurut anak pengetahuan-
pengetahuan ini cukup masuk akal (make sense). Pengetahuan-pengetahuan ini terikat dalam
satu jaringan dan struktur kognitif anak. Driver, S ( 1986) menyebutkan struktur kognitif ini
dengan schemata.
Sayang sekali, masih ada guru yang memandang anak tidak memiliki
pengetahuan/gagasan tentang materi yang diajarkan. Guru sering menampilkan diri sebagai
sosok ‘maha tahu’ yang tidak mungkin salah sedangkan anak - secara tidak sengaja -
diperlakukan sebagai sosok ‘maha tidak tahu’ yang tidak boleh salah. Lalu, kegiatan
mengajar dimaknai sebagai kegiatan mengalirkan informasi dari kepala guru ke ‘gelas’
kepala anak yang dianggap ‘kosong’.
Hasil survei the British Council (Sukandi, U. Karhami SKA, Maskur, 2000) terhadap
192 guru SD diketahui bahwa 63,5 % masih menganggap mengajar sebagai kegiatan
mentransfer informasi dan hanya 5,2 % yang menganggap mengajar sebagai menciptakan
kondisi sehingga peristiwa siswa belajar dapat berlangsung. Barangkali karena pandangan ini,
kegiatan mengajar lebih sering tampak sebagai kegiatan menceramahi melalui tirani
indoktrinasi. Padahal, dengan cara ini guru sudah memerankan diri sebagai destroyer siswa
akibat kegiatan belajar bermakna tidak terwujud.
Dalam zaman yang serba berubah dewasa ini, guru perlu merubah peran dirinya dari
peran destroyer menjadi peran facilitator siswa belajar. Peran facilitator ini dicirikan dengan
disediakannya peluang seluas-luasnya bagi tiap anak (ingat semua anak bukan hanya anak
pandai saja) untuk mengembangkan gagasannya secara kreatif supaya anak selalu aktif
menyempurnakan gagasan miskonsepsi sambil membangun pengetahuan yang lebih ilmiah.
Bersamaan dengan ini, guru senantiasa melatih anak untuk memiliki keterampilan dan sikap
tertentu agar dirinya mampu dan mau belajar sepanjang hayat. Kalau ini berhasil, lulusan
sekolah akan selalu belajar dan menjadikan lingkungannya sebagai sekolah alam tempat
dirinya belajar sepanjang hayat.
Dalam Tabel selanjutnya disajikan beberapa bentuk perlakuan guru terhadap siswa,
dimana pada kolom kiri merupakan prilaku yang dikategorikan destroyer (pengganggu
peristiwa belajar) dan pada kolom kanan yang dikategorikan ‘facilitator’ (pemermudah
peristiwa belajar).
Peran Guru di Kelas
Sebagai Destroyer Sebagai Facilitator
(Pengganggu Peristiwa Belajar) (Pemermudah Peristiwa Belajar)
 Guru yang menganggap masalah anak  Guru yang menempatkan masalah
sebagai masalah guru sehingga kalau anak sebagai masalah anak. Pada
anak memperoleh masalah guru langsung keadaan ini guru hanya berperan
menyelesaikannya lalu memberikannya menyediakan kondisi dan
jawaban langsung. Misalnya, ketika anak memberikan dorongan sehingga
bertanya; ‘Pak, soal no. 3 PR kemarin anak mau menyelesaikan
sulit!’. Menanggapi keluhan ini guru masalahnya tanpa beban. Misalnya
langsung memberikan uraian jawaban ketika anak memeperoleh PR/soal
secara panjang lebar sehingga tidak ada matematika tentang jual beli yang
ruang bagi anak untuk menambahkan dianggapnya sulit guru hanya
gagasannya. mengajukan pertanyaan seperti;
‘Apakah kamu sudah mencoba
dengan rumus itu?’ atau,
‘Bagaimana kalau soalnya dirinci
menjadi seperti ini?’ atau
‘Bagaimana kalau melakukan
pengamatan langsung pada
pedagang ke pasar?’
 Ketika siswa bertanya pada guru Bahasa  Ketika siswa bertanya pada guru
Inggeris: ‘Bu apa arti kata bahasa Bahasa Inggeris: ‘Bu apa arti kata
Inggeris bewilder itu?’ Menanggapi bahasa Inggeris bewilder itu?’,
pertanyaan, seorang Ibu guru Bahasa guru langsung memberikan kamus
Inggeris yang fasih berbahasa Inggeris untuk mencarinya sendiri arti kata
langsung memberikan respon. ‘Masak tersebut.
tidak tahu, bewilder itu kan artinya
mengembara’.
Dalam era kesejagatan yang penuh dengan perubahan dan yang kecepatan
perubahannya pun berlangsung begitu cepat, prilaku dan lingkungan belajar peserta didik ikut
berubah. Menyikapi situasi ini, praktisi pendidikan khususnya guru perlu melakukan
perubahan pola pikir/pandangan dan pola tindak. Perubahan-perubahan itu meliputi:
1. Pola pikir dan pandangan tentang hakikat belajar-mengajar. Belajar lebih diartikan
pada pembangunan gagasan yang bermakna oleh pebelajar (baca: siswa) dalam suatu
jaringan schemata kognitif sedangkan peristiwa ‘mengajar’ baru terjadi kalau
peristiwa ‘belajar’ benar-benar sudah berlangsung. Dengan kata lain, dalam konteks
belajar mengajar, ‘mengajar’ sebagai dimensi ‘sebab’ dan belajar sebagai dimensi
‘akibat’.
2. Dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, guru perlu menggeser peran siswa supaya
menjadi lebih variatif dalam rentangan peran sebagai ‘konsumen’ (baca: meniru
gagasan secara pasif) dan sebagai ‘produsen’ (baca: menggagas gagasan secara
kreatif). Kurangi peran siswa yang melulu hanya diposisikan sebagai ‘konsumen’
yang lazim dicirikan dengan kebiasaan mengulangi kata-kata guru/buku, menyalin,
mendengarkan.
3. Konsekuensi dari orientasi pada proses learning dari pada proses teaching
mengharuskan guru untuk berperan sebagai facilitator peristiwa belajar. Untuk
keperluan ini guru perlu menyediakan kegiatan teaching dalam wajah educative
teaching atau conditioning sambil menghindari dominasi kegiatan teaching dalam
wujud indoctrination ataupun training.

Identifikasi masalah pembelajaran IPS yang sangat kritis dilihat dari aspek sumber
daya pembelajaran yang tersedia dilapangan.
Jawab :
Menurut Association for Educational Communication and Technology (AECT, 1977),
sumber pembelajaran adalah segala sesuatu atau daya yang dapat dimanfaatkan oleh guru,
baik secara terpisah maupun dalam bentuk gabungan, untuk kepentingan belajar mengajar
dengan tujuan meningkatkan efektivitas dan efisien tujuan pembelajaran.
Sumber pembelajaran dapat dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu:
1. Sumber pembelajaran yang sengaja direncanakan (learning resources by design),
yakni semua sumber yang secara khusus telah dikembangkan sebagai komponen
sistem intruksional untuk memberikan fasilitas belajar yang terarah dan bersifat
formal; dan
2. Sumber pembelajaran yang karena dimanfaatkan (learning resources by utilization),
yakni sumber belajar yang tidak secara khusus didesain untuk keperluan pembelajaran
namun dapat ditemukan, diaplikasikan dan dimanfaatkan untuk keperluan belajar.
Dinamika pendidikan nasional, agaknya masih menjadi kajian menarik untuk diangkat
sebagai bahan perbincangan, lebih-lebih dihadapan dunia akademis. Akhir-akhir ini,
dinamisasi pendidikan nasional sedang mencanangkan “gerakan peningkatan mutu
pendidikan”, yang telah dimulai sejak 2 Mei 2002.
Sebagai sebuah agenda era reformasi sekarang ini, sudah saatnya paradigma
pendidikan harus memiliki relevansi dengan nilai-nilai masyarakat. Pendidikan yang berbasis
masyarakat akan memungkinkan menjadi alternatif bagi terciptanya sumber daya manusia
(SDM) seutuhnya. Sebab, secara filosofis, pendidikan merupakan upaya pewarisan,
penyempurnaan dan pengembangan ilmu, pengalaman, kebiasaan dari satu generasi ke
generasi berikutnya, sesuai norma, nilai hukum yang menjadi acuan dalam kebudayaan
masyarakat.
Sejalan dengan hal itu, Rusman Tumanggor (2000) mensinyalir bahwa para ilmuan
dan tokoh Indonesia terkemuka mencetuskan world-view bangsa: Mewujudkan manusia
Indonesia seutuhnya” yang oleh WHO (World Health Organization) dinyatakan world-view
bagi kesempurnaan manusia sejagad, melalui konsep kesehatan meliputi kesehatan
kesempurnaan: fisik, mental, sosial dan spiritual (Health is a state of physical, mental, social,
and spiritual well being and not merely the absence of diseases or infirmity).
Melalui gagasan tersebut, pendidikan berarti upaya terbaik untuk meraih
kesempurnaan hidup manusia sesuai dengan realitas faktual yang ada di tengah kehidupan
masyarakat. Seiring dengan tuntutan otonomi daerah, perubahan paradigma pendidikan itu
dimaksudkan untuk mengembalikan pendidikan kepada basis masyarakat. Masyarakat
dilibatkan untuk memahami program-program yang dilakukan pendidikan dengan tujuan agar
mereka termotivasi untuk bisa memberikan bantuan yang maksimal terhadap pelaksanaan
program-program pendidikan tersebut.
Melalui konsep demikian, pendidikan pada dasarnya berbasis pada masyarakat.
Abuddin Nata mendefinisikan konsep tersebut, sebagai sebuah alternatif untuk ikut
memecahkan berbagai masalah pendidikan yang ditangani pemerintah, dengan cara
melibatkan peran serta masyarakat secara lebih luas. Jadi, masalah-masalah yang dihadapi
sekolah, madrasah, atau Perguruan Tinggi dapat dipecahkan bersama dengan masyarakat.
Masalah yang dihadapi lembaga pendidikan seperti siswa/mahasiswa, guru/dosen,
perlengkapan keuangan dan perumusan tujuan sekolah, madrasah, atau Perguruan Tinggi
dapat diatasi bersama-sama dengan masyarakat. Berbagai sarana dan prasarana yang ada di
masyarakat seperti lapangan olah raga, bengkel kerja, masjid, tempat-tempat kursus
ketrampilan, sumber daya manusia dan lain sebagainya dapat diakses dan dimanfaatkan oleh
lembaga pendidikan, tanpa harus membayar.
Upaya untuk mengembalikan pendidikan kepada masyarakat selaras dengan asas
demokrasi, keadilan, dan keterkaitan pendidikan dengan kehendak masyarakat. Lebih dari itu,
pendidikan berbasis masyarakat merupakan pilar untuk merealisasikan UU 22 dan nomor 25
tahun 1999 tentang otonomi daerah.
Peran serta masyarakat yang menjadi ciri konsep pendidikan era otonomi bukanlah
hal yang baru. Karena jauh sebelum itu, di setiap sekolah pada umumnya sudah ada apa yang
disebut BP3 (Badan Pembina dan Pengawasan Sekolah) yang anggotanya terdiri dari
orangtua siswa, atau di Perguruan Tinggi disebut POM (Persatuan Orangtua Mahasiswa)
yang anggotanya terdiri dari para orangtua mahasiswa.
Dengan membangun pendidikan berbasis masyarakat, diharapkan akan memberikan
peluang bagi institusi pendidikan agar semakin meningkat peranannya, yakni dengan cara
memberikan kemudahan kepada pimpinan sekolah atau Perguruan Tinggi untuk
memanfaatkan berbagai sarana dan prasarana yang ada di masyarakat, termasuk sumber daya
manusia. Dengan cara demikian, antara lembaga sekolah atau Perguruan Tinggi dan
masyarakat berada dalam satu visi, misi dan tujuan dalam ikut serta menyukseskan program
pendidikan.
Keharusan masyarakat ikut serta terlibat dalam menangani masalah-masalah
pendidikan tersebut sebenarnya sudah di atur dalam undang-undang No. 2 tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional tersebut. Pada bab I, ketentuan umum, pasal 1, butir 10 misalnya
dinyatakan bahwa sumber daya pendidikan adalah dukungan dan penunjang pelaksanaan
pendidikan yang terwujud sebagai tenaga, dana, sarana dan prasarana yang tersedia dan
diadakan serta didayagunakan oleh keluarga, masyarakat, peserta didik dan pemerintah, baik
sendiri-sendiri maupun bersama-sama (UUSPN,1993).
Perlu diakui bahwa pendidikan yang bermental ‘swasta’ adalah corak pendidikan
yang berbasis masyarakat. Pendidikan yang bermental swasta itu-baik yang berstatus negeri
maupun yang berstatus swasta betulan telah teruji dilapangan dalam penerapan pendidikan
yang berbasis masyarakat. Melalui pendidikan seperti inilah yang diharapkan mampu
bertarung dalam kompetisi era global.
Selama ini, pada umumnya pendidikan terbiasa menggantungkan batuan dari
pemerintah. Dengan ketergantungan tersebut, mengakibatkan keterbatasan, kekurangan dan
berbagai masalah muncul di lembaga-lembaga pendidikan. Untuk mengurangi
ketergantungan itu pendidikan diharapkan dapat memanfaatkan sumber-sumber potensi yang
terdapat di masyarakat.
Secara umum, pendidikan yang masih mengharapkan ‘pulung’ dari atas, selalu
menpengaruhi kinerja sistem penyelenggaraan di sekolah/Perguruan Tinggi. Dengan kembali
kepada ‘mental’ swasta diharapkan mampu meningkatkan kemauan, kemampuan ketrampilan
dan strategi dalam menggali sumber-sumber yang ada di masyarakat.
Pengalaman yang cukup menjadi referensi bagi kita saat ini adalah sistem pendidikan
yang diterapkan di negara-negara maju. Amerika misalnya, sejak lama telah menerapkan
pendidikan semacam ini. Pendidikan tidak bergantung pada pemerintah, tetapi justru
diserahkan kepada masyarakat. Karena pendidikan merupakan bagian dari cermin dan kultur
masyarakat. Dengan demikian, sudah seharusnya masyarakat diberikan ruang yang layak
untuk mengelola, menilai dan menikmatinya. Masyarakat diberi ruang partisipasi yang luas,
agar institusi penyelenggara pendidikan memperoleh dukungan dan mendapat legetimasi
sosial.
Sekali lagi, mengembalikan pendidikan kepada masyarakat berarti menghargai
keragaman budaya, kultur dan segala sumber daya yang dimiliki masyarakat. Pendidikan
harus timbul dari dalam masyarakat itu sendiri. Ali Khalil memberikan apresiasi bahwa
pendidikan adalah proses sosial. Karena itu, pendidikan dalam suatu masyarakat berbeda
dengan masyarakat lainnya, sesuai dengan karakter masyarakat itu sendiri. Dalam arti lain,
pendidikan adalah “pakaian” yang harus diukur dan dijahit sesuai dengan bentuk dan ukuran
pemakainya, berdasarkan identitas, pandangan hidup, serta nilai-nilai yang terdapat dalam
masyarakat atau negara tersebut.
Adanya berbagai variasi lembaga sosial, tempat pariwisata, kesenian dan sejumlah
aset masyarakat membuka seluas-luasnya untuk berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan
pendidikan. Antara masyarakat dengan pihak lembaga pendidikan betul-betul bisa
membangun kerjasama sinergis yang kompak dalam menunjukkan kegiatan pendidikan.
Prinsip-prinsip pendidikan untuk semua (education for all), pendidikan seumur hidup
(long life education), pendidikan demokratis yang ditandai dengan adanya program yang
disesuaikan dengan kesanggupan dan keinginan masyarakat, dan adanya otonomi yang luas
bagi masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan, sebagaimana diharapkan Tim
Reformasi Pendidikan Nasional.

Identifikasi penyebab rendahnya mutu pembelajaran IPS pada jenjang sekolah


tertentu dianalisis dari aspek kemampuan guru.
Jawab :
Salah satu upaya untuk memperbaiki kondisi pendidikan di Indonesia dilakukan
melalui pembaharuan Kurikulum dari Kurikulum 1994 menjadi Krikulum 2004. Dengan
paradigma utamanya yaitu KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), Kurikulum 2004 secara
mendasar diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah besar yang dialami di Indonesia.
Salah satu masalah besar dalam bidang pendidikan di Indonesia yang banyak
diperbincangkan adalah rendahnya mutu pendidikan yang tercermin dari rendannya rata-rata
prestasi belajar siswa. Masalah lain dalam bidang pendidikan di Indonesia yang, juga banyak
diperbincangkan adalah bahwa pendekatan dalaria pembelajaran masih terlalu didominasi
oleh peran guru (teacher centered). Guru lebih banyak menempatkan siswa sebagai objek dan
bukan sebagai subjek didik. Pendidikan kita kurang memberikan kesempatan kepada siswa
dalam berbagai mata pelajaran untuk mengembangkan kemampuan berpikir holistik
(meinyeluruh), kreatif, objektif, dan logis. Pendidikan juga belum memanfaatkan quantum
learning sebagai salah satu paradigma menarik dalam pembelajaran, serta kurang
memperhatikan ketuntasan belajar secara individual.
Demikian juga proses pendidikan dalam sistem persekolahan kita umumnya belum
menerapkan pembelajaran sampai anak menguasai materi pembelajaran secara tuntas.
Kebanyakan guru dalam mengelola pembelajarannya, begitu saja berpindah dari satuan
pembelajaran satu ke satuan pembelajaran berikutnya, tanpa menghiraukan siswa-siswa yang
lamban, kurang memahami, atau bahkan gagal mencapai kompetensi-kompetensi yang
direncanakan. Akibatnya, tidak aneh bila banyak siswa yang tidak menguasai materi
pembelajaran meskipun sudah dinyatakan tamat dari sekolah. Tidak heran pula kalau mutu
pendidikan secara nasional masih rendah. Sistem persekolahan yang tidak memberikan
pembelajaran sampai tuntas ini telah menyebabkan pemborosan anggaran pendidikan.
Sesuai dengan cita-cita dan harapan dari tujuan pendidikan nasional, guru perlu memiliki
beberapa prinsip mengajar yang mengacu pada peningkatan kemampuan internal siswa di dalam
merangsang keterlibatan siswa dalam strategi pembelajaran ataupun melaksanakan pembelajaran.
Peningkatan potensi internal itu misalnya dengan menerapkan jenis-jenis strategi pembelajaran yang
memungkinkan siswa mampu mencapai kompetensi secara penuh, utuh dan kontekstual. Karena itu
bila kita berbicara tentang rendahnya daya serap atau prestasi belajar, atau belum terwujudnya
keterampilan proses dan pembelajaran yang menekankan pada peran aktif siswa, maka sebenarnya
inti persoalannya adalah pada masalah "ketuntasan belajar" yakni pencapaian taraf penguasaan
minimal yang ditetapkan bagi setiap kompetensi atau unit bahan ajaran secara perorangan.
Masalah ketuntasan dalam belajar merupakan masalah yang penting, sebab
menyangkut masa depan siswa, terlebih bagi mereka yang mengalami kesulitan belajar.
Pendekatan pembelajaran tuntas adalah salah satu usaha dalam pendidikan yang bertujuan
untuk memotivasi siswa mencapai penguasaan (mastery level) terhadap kompetensi tertentu.
Dengan menempatkan pembelajaran tuntas sebagai salah satu prinsip utama dalam
mendukung pelaksanaan Kurikulum 2004, maka berarti pembelajaran tuntas ini merupakan
sesuatu yang harus dipahami dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh seluruh warga
sekolah. Pada kenyataannya, pembelajaran tuntas ini belum banyak dilaksanakan di sekolah,
dan masih banyak sekolah yang melaksanakan pembelajarannya secara konvensional. Untuk
itu perlu adanya pedoman yang membedakan arah serta petunjuk bagi guru dan warga
sekolah tentang bagaimana pembelajaran tuntas (mastery learning) seharusnya dilaksanakan.
Pembelajaran tuntas (mastery learning) sendiri diartikan sebagai sistem pembelajaran
yang mengharapkan setiap siswa harus mampu menguasai kompetensi-kompetensi dasar
(basic learning objectives) secara tuntas, yakni sekurang-kurangnya harus mencapai skor
minimal 75.

Identifikasi masalah pembelajaran IPS yang sangat kritis dilihat dari aspek kadar
kegiatan peserta didik.
Jawab :
Potensi sumber daya manusia merupakan aset nasional sekaligus sebagai modal dasar
pembangunan bangsa. Potensi ini hanya dapat digali dan dikembangkan serta. dipupuk secara efektif
melalui strategi pendidikan dan pembelajaran yang terarah dan terpadu, yang dikelola secara serasi
dan seimbang dengan memperhatikan pengembangan potensi peserta didik secara utuh dan optimal.
Oleh karena itu, strategi manajemen pendidikan perlu secara khusus memperhatikan pengembangan
potensi peserta didik Yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa (unggul), yaitu dengan
cara penyelenggaraan program pembelajaran yang mampu mengembangkan keunggulan-keunggulan
tersebut, baik keunggulan dalam hal potensi intelektual maupun bakat khusus yang bersifat
keterampilan (gifted and talented).
Strategi pembelajaran yang dilaksanakan selama ini masih bersifat massal, yang
memberikan perlakuan dan layanan pendidikan Yang sama kepada semua peserta didik.
Padahal, mereka berbeda tingkat kecakapan, kecerdasan, minat, bakat, dan kreativitasnya.
Strategi pelayanan pendidikan seperti ini memang tepat dalam konteks pemerataan
kesempatan, akan tetapi kurang menunjang usaha mengoptimalkan pengembangan potensi
peserta didik secara cepat. Hasil beberapa penelitian Depdikbud (1994) menunjukkan sekitar
sepertiga peserta didik yang dapat digolongkan sebagai peserta didik berbakat (gifted and
talented) mengalami gejala “prestasi kurang” (underachiever). Hal sama dikemukakan oleh
Munandar (1992) cukup banyak peserta didik berbakat yang prestasinya di sekolah tidak
mencerminkan potensi intelektual mereka yang menonjol. Salah satu penyebabnya adalah
kondisi-kondisi ekstemal atau lingkungan belajar yang kurang menunjang, kurang menantang
kepada mereka untuk mewujudkan kemampuannya secara optimal. Padahal, upaya untuk
mencapai keunggulan, melalui strategi pelayanan pendidikan massal akan memiliki
konsekuensi sumberdaya pendidikan (dana, tenaga dan sarana) yang kurang menguntungkan.
Model strategi pelayanan pendidikan altematif perlu dikembangkan untuk menghasilkan
peserta didik yang unggul melalui pemberian perhatian, perlakuan dan layanan pendidikan
berdasarkan bakat, minat dan kemampuannya.
Peserta didik yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa merupakan
kelompok kecil. Data di Balitbang Depdikbud (1994) menunjukkan hanya 2 – 5 % dari
seluruh peserta didik yang ada. Jumlah ini semakin meningkat pada jenjang yang lebih tinggi.
Di tingkat SLTP jumlah peserta didik berkemampuan dan berkecerdasan luar biasa mencapai
8 %. Lebih lanjut dikemukakan berdasarkan intelegensi Wechsler peserta didik berbakat
intelektual tergolong "sangat unggul" (IQ 130 keatas) berjumlah 2,2% dan tergolong
"unggul" (IQ 120-129) berjumlah 6,7% dari populasinya. Jumlah ini memang masih
tergolong kecil, namun secara potensial mereka unggul dalam salah satu atau beberapa
bidang yang meliputi bidang-bidang intelektual umum, dan akademia khusus, berpikir kreatif
produktif, kepemimpinan, seni dan psikomotorik.
Strategi pelayanan pendidikan altematif dalam manajemen pendidikan perlu
dikembangkan untuk menghasilkan peserta didik yang unggul, melalui pemberian perhatian,
perlakuan dan layanan pendidikan berdasarkan bakat minat dan kemampuannya. Agar
pelayanan pendidikan yang selama ini diberikan kepada peserta, didik mencapai sasaran yang
optimal, maka pembelajaran harus diaelaraskan dengan potensi peserta didik. Oleh karena itu
guru perlu melakukan pelacakan potensi peserta didik.
Mengajar atau "teaching" adalah membantu peserta didik memperoleh informasi, ide,
keterampilan, nilai, cara berfikir, sarana untuk mengekspresikan dirinya, dan cara-cara belajar
bagaimana belajar (Joyce dan Well, 1996). Sedangkan pembelajaran adalah upaya untuk
membelajarkan peserta didik. Secara impliait dalam pembelajaran terdapat kegiatan memilih,
menetapkan; mengembangkan metode untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan.
Pemilihan, penetapan, dan pengembangan metode didasarkan pada kondisi pembelajaran
yang ada. Kegiatan-kegiatan tersebut pada dasamya merupakan inti dari perencanaan
pembelajaran. Dalam hal ini istilah pembelajaran memiliki hakekat perencanaan atau
perancangan sebagai upaya untuk membelajarkan peserta didik. Itulah sebabnya dalam
belajar peserta didik tidak hanya berinteraksi dengan guru sebagai salah satu sumber belajar,
tetapi berinteraksi juga dengan keseluruhan sumber belajar yang lain. Oleh karena itu
pembelajaran menaruh perhatian pada "bagaimana membelajarkan peserta didik, dan bukan
pada "apa yang dipelajari peserta didik". Dengan demikian pembelajaran menempatkan
peserta didik sebagai subyek bukan sebagai obyek. Oleh karena itu agar pembelajaran dapat
mencapai hasil yang optimal guru perlu memahami karakteriatik peserta didik.
Hakikat belajar adalah suatu aktivitas yang mengharapkan perubahan tingkah laku
(behavioral change) pada diri individu yang belajar. Perubahan tingkah laku terjadi karena
usaha individu yang bersangkutan. Belajar dipengaruhi oleh berbagai faktor misalkan bahan
yang dipelajari, instrumental, lingkungan, dan kondisi individual si pelajar. Faktor-faktor
tersebut diatur sedemikian rupa, agar mempunyai pengaruh yang membantu tercapainya
kompetensi secara optimal.
Proses belajar yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan dan
pembelajaran merupakan proses yang kompleks dan senantiasa berlangsung dalam berbagai
situasi dan kondisi. Percival dan Ellington (1984) menggambarkan model sistem pendidikan
dalam proses belajar, bahwa masukan (input) untuk sistem pendidikan, atau sistem belajar
terdiri dari orang, informasi, dan sumber lainnya. Sedangkan keluaran (output) terdiri dari
orang/siswa dengan penampilan yang lebih maju dalam berbagai aspek. Di antara masukan
dan keluaran terdapat kotak hitam (black box) yang berupa proses belajar atau pendidikan.
Belajar selalu melibatkan tiga hal pokok yaitu: adanya perubahan tingkah laku, sifat
perubahannya relatif tetap (permanen) serta perubahan tersebut disebabkan oleh interaksi
dcngan lingkungan, bukan oleh proses kedewasaan ataupun perubahan-perubahan kondisi
fisik yeng temporer sifatnya. Oleh karena itu pada prinsipnya belajar adalah poses perubahan
tingkah-laku sebagai akibat dari interaksi antara siswa dengan sumber-sumber belajar, baik
sumber yang didesain maupun yang dimanfaatkan. Proses belajar tidak hanya terjadi karena
adanya interaksi antara siswa dengan guru. Hasil belajar yang maksimal dapat pula diperoleh
lewat interaksi antara siswa dengan sumber-sumber belajar lainnya.
Untuk memberikan landasan akademik/filosofts terhadap pelaksanaan pembelajaran
khususnya pada jenjang SMP, maka perlu dikemukakan sejumlah pandangan dari para ahli
pendidikan serta pembelajaran. Ada tiga pakar pendidikan yang teori serta pandangannya bisa
digunakan sebapi acuan dalam mengembangkan dan mengimplementasikan Kurikulum 2004,
yaitu John Dewey, Vygotsky, dan Ausubel. Menurut Dewey (2001), tugas sekolah adalah
memberi pengalaman belajar yang tepat bagi siswa. Selanjutnya ditegaskan bahwa tugas guru
adalah membantu siswa menjalin pengalaman belajar yang satu dengan yang lain, termasuk
yang baru dengan yang lama. Pengalaman belajar baru melalui pengalaman belajar yang lama
akan melekat pada struktur kognitif siswa dan menjadi pengetahuan baru bagi siswa.
Menurut Vygotsky (2001), terdapat hubungan yang erat antara pengalaman sehari-
hari dengan konsep keilmuan (scientific), tetapi terdapat perbedaan secara kualitatif antara
berpikir kompleks dan berpikir konseptual. Berpikir kompleks berdasarkan pada
pengkategorisasian objek berdasarkan suatu situasi, dan berpikir konseptual berbasis pada
pengertian yang lebih abstrak. Ditegaskan bahwa pengembangan kemampuan dalam hal
menganalisis, membuat hipotesis, dan menguji pengalaman sehari-hari pada dasarnya
terpisah dari pengalaman sehari-hari. Kemampuan ini tidak ditentukan oleh pengalaman
sehari-hari saja, tetapi lebih tergantung pada tipe spesifik interaksi sosial.
Menurut Ausubel (1969), pengalaman belajar baru akan masuk ke dalam memori
jangka panjang dan akan menjadi pengetahuan baru apabila memiliki makna. Pengalaman
belajar adalah interakasi antara subjek belajar dengan bahan ajar, misalnya siswa
mengerjakan tugas membaca, melakukan pemecahan masalah, mengamati suatu gejala,
peristiwa, percobaan, dan sejenisnya. Agar pengalaman belajar yang baru menjadi
pengetahuan baru, semua konsep dalam mata pelajaran diusahakan memiliki nilai terapan di
lapangan.
Joyce, Weil, dan Showers (1992) menyatakan bahwa hakikat mengajar (teaching)
adalah membantu siswa memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai, cara berfikir, sarana
untuk mengekspresikan dirinya, dan cara-cara belajar bagaimana belajar. Hasil akhir atau
hasil jangka panjang dari proses mengajar adalah kemampuan siswa yang tinggi untuk dapat
belajar dengan mudah dan efektif di masa mendatang. Tekanan dari kegiatan mengajar tetap
saja pada siswa yang belajar. Dengan demikian hakikat mengajar adalah memfasilitasi siswa
dalam belajar agar mereka mendapadw kemudahan dalam belajar
Ada beberapa alasan mengapa Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menjadi
pilihan dalam Kurikulum 2004 sebagai upaya perbaikan kondisi pendidikan di tanah air, di
antaranya:
(1) potensi siswa berbeda-beda, dan potensi tersebut akan berkembang jika
stimulusnya tepat;
(2) mutu hasil pendidikan yang masih rendah serta diabaikin aspek-aspek moral,
akhlak, budi pekerti, seni & olah raga, serta life skill.
(3) persaingan global yang menyebabkan siswa/anak yang mampu akan
berhasil/eksis, dan yang kurang mampu akan gagal;
(4) persaingan pada kemampuan SDM (Sumber .Daya Manusia) produk lembaga
pendidikan, serta
(5) persaingan yang terjadi pada lembaga pendidikan, sehingga perlu rumusan yang
jelas mengenai standar kompetensi lulusan.
Upaya-upaya dalan rangka perbaikan dan pengembangan kurikulum menuju Kurikulum
2004 meliputi: kewenangan pengembangan, pendekatan pembelajaran, penataan isi/konten,
serta model sosialisasi, yang lebih disesuaikan dengan perkembangan situasi dan kondisi
serta era yang terjadi saat ini. Upaya perbaikan dan pengembangan kurikulum tersebut
berlangsung secara bertahap dan
terus-menerus, yang mengarah pada terwujudnya azas keluwesan dalam isi kurikulum dan
pengelolaan proses belajar mengajar dalam rangka pengembangan kegiatan intrakurikuler,
kokurikuler, dan ekstrakurikuler. Pendekatan pembelajaran dalam Kurikulum 2004 diarahkan
pada upaya mengembangkan kemampuan siswa dalam mengelola perolehan belajar
(kompetensi) yang paling sesuai dengan kondisi masing-masing. Dengan demikian proses
belajar lebih mengacu kepada bagaimana siswa belajar dan bukan lagi pada apa yang
dipelajari.
Sebagai sebuah, konsep, sekaligus sebagai sebuah program, Kurikulum Berbasis
Kompetensi memiliki ciri-ciri: (1) menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik
secara individual maupun klasikal; (2) berorientasi pada hasil dan keberagaman; (3)
penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi; (4)
sumber belajar bukan hanya guru tetapi unsur belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif,
(5) penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan suatu
kompetensi (Siskandar, 2003).
Kurikulum 2004 dengan paradigmanya pembelajaran berbasis kompetensi
menempatkan siswa sebagai subjek didik, yakni lebih banyak mengikut sertakan siswa dalam
proses pembelajaran. Pendekatan ini bertolak dari anggapan bahwa siswa memiliki potensi
untuk berpikir sendiri dan potensi tersebut hanya dapat diwujudkan apabila mereka diberi
banyak kesempatan untuk berpikir sendiri. Oleh karena itu maka guru tidak boleh lagi
dipandang sebagai orang yang paling tahu segalanya, melainkan lebih berperan sebagai
fasilitator terjadinya proses belajar pada individu siswa, dan siswa tentunya juga harus secara
terus menerus berusaha menyempurnakan diri sehingga dari waktu ke waktu makin
meningkat kemampuannya. Kemampuan atau keterampilan mendasar dalam belajar, atau bisa
dikenal juga sebagai keterampilan proses antara lain adalah kemampuan atau keterampilan
dalam :
1. mengobservasi/mengadakan pengamatan
2. menghitung
3. mengukur
4. mengklasifikasi
5. mencari hubungan ruang/waktu
6. membuat hipotesis
7. merencanakan penelitian/eksperimen
8. mengendalikan variabel
9. menginterpretasi atau. Menafsirkan data
10. menyusun kesimpulan sementara (inferensi)
11. meramalkan (memprediksi)
12. menerapkan (mengaplikasikan
13. mengkomunikasikan
Dengan mengembangkan keterampilan-keterampilan memproses perolehan, anak
akan mampu menemukan dan mengembangkan sendiri fakta dan konsep serta
menumbuhkan dan mengembangkan sikap dan nilai yang dituju. Seluruh irama, gerak atau
tindakan dalam pembelaiaran seperti ini akan menciptakan kondisi belajar yang mampu
mengaktifkan siswa secara optimal.
Mendasarkan pada uraian di atas maka pendekatan dalam pengembangan KBK
sebagai ciri Kurikulum 2004, dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut:
a. Berorientasi pada pencapaian hasil dan dampaknya (outcome oriented)
b. Berbasis pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
c. Bertolak dari Kompetensi Tamatan/Lulusan
d. Memperhatikan pengembangan kurikulum berdiversifikasi
e. Mengembangkan kompetensi secara utuh dan menyelurah (holistik)
f. Menerapkan prinsip ketuntasan belajar (mastery learning)

Identifikasi penyebab rendahnya mutu pembelajaran IPS pada jenjang sekolah


tertentu dianalisis dari budaya belajar.
Jawab :
Dalam standar kompetensi Mata Pelajaran Pengetahuan Sosial Depdiknas (2003:5)
dinyatakan “melalui mata pelajaran Pengetahuan Sosial, peserta didik diarahkan, dibimbing dan
dibantu untuk menjadi warga negara Indonesia dan warga dunia yang baik”.
Menjadi warga negara dan warga dunia yang baik merupakan tantangan yang berat karena
masyarakat global selalu mengalami perubahan yang besar setiap saat, untuk itulah Pengetahuan
Sosial harus dirancang untuk membangun dan merefleksikan kemampuan peserta didik dalam
kehidupan masyarakat yang selalu berubah dan berkembang secara terus menerus.
Kemajuan ilmu dan teknologi menambah pengetahuan kita tentang bumi. Namun
demikian, kemajuan teknologi yang mendorong industrialisasi menghasilkan dampak negatif
seperti polusi dan limbah industri yang mengotori tanah, air, dan udara tidak hanya di tempat
sumber limbah akan tetapi juga secara global. Untuk menanamkan betapa berharganya bumi,
dan bagaimana memelihara dan melestarikannya, sebaiknya kepada siswa dimasukkan
pengetahuan dan pemahaman tentang bumi beserta subsistenmya seperti terbentuknya dan
evolusi bumi sebagai salah satu planet dalam sistem alam semesta, siklus iklimnya, kekayaan
energi bumi, dan lain-lain. Selanjutnya perlu juga dipelajari tentang kesehatan masyarakat,
kependudukan, kekayaan alam, ilmu dan teknologi dalam tantangan lokal, nasional. dan
global. Topik-topik demikian harus masuk dalam kurikulum IPS.
Perubahan-perubahan yang terjadi sebagai dampak kemajuan ilmu dan teknologi,
serta dengan masuknya arus globalisasi, membawa pengaruh yang multidimensional. Di
bidang pendidikan perubahan ini dituntut oleh kebutuhan siswa, masyarakat, dan lapangan
kerja. Salah satu bentuk perubahan yang dituntut dari kurikulum IPS adalah menyesuaikan
dengan perubahan yang terjadi secara global tersebut.
Karena itu melalui jalur pendidikan IPS, sejak dini peserta didik sudah harus
dibiasakan berfikir global, melihat segala sesuatu dengan perspektif global. Menurut Nursid
Sumaatmadja dan Kuswaya Wihardi, (1999:14): “yang dimaksud dengan "perspektif global"
adalah suatu cara pandang atau cara berpikir terhadap suatu masalah, kejadian atau kegiatan
dari sudut pandang global, yaitu dari sisi kepentingan dunia atau internasional. Oleh karena
itu, sikap dan perbuatan kita juga diarahkan untuk kepentingan global.”
Era globalisasi yang ditandai oleh adanya persaingan semakin tajam, arus deras dari
informasi dan komunikasi, keterbukaan merupakan salah satu pendorongnya, apabila kita
tidak mengikutinya dengan seksama menyebabkan ketertinggalan. Ketertinggalan ini
disebabkan juga karena globalisasi merupakan proses di mana manusia di bumi ini di-
inkorporasikan atau dimasukkan ke dalam masyarakat dunia yang tunggal, yaitu masyarakat
global; dan dalam proses itu kejadian, keputusan, dan kegiatan di salah satu bagian dunia
menjadi konsekuensi yang signifikan bagi individu atau masyarakat di daerah lainnya yang
jauh di muka bumi ini (Nursyid:1999:15). Selain itu, globalisasi juga melahirkan masyarakat
yang terbuka, yang memberikan nilai kepada individu, kepada hak dan kewajiban sehingga
semua manusia mempunyai kesempatan yang sama. untuk mengembangkan potensinya dan
menyumbangkan kemampuannya bagi kemajuan bangsa.
Landasan pemikiran lainnya adalah karena bumi tempat yang kita huni adalah planet
yang sangat unik dan berharga. Keindahan dan nilai bumi bagi manusia dapat kita temui
melalui bacaan dan lukisan. Untuk itulah manusia harus menunjukkan apresiasinya yang
tinggi dengan penuh pengertian mengenai subsistem bumi dan dengan perilaku yang penuh
tanggung jawab untuk kelestariannya. Selain itu bumi kita itu juga sangat rapuh dan
sumberdaya alanya terbatas; penggunaannya oleh manusia seringkali berlebih lebihan dan
disalahgunakan. Salah satu sikap, manusia yang demikian, tidak lain karena pertambahan
jumlah penduduk, yang terus menerus, yang mempercepat habisnya kekayaan alam,
pengrusakan lingkungan, dan pemusnahan makhluk" bumi lainnya.
Sebenarnya kurikulum (IPS) 2004 sudah melihat kemungkinan (mengantisipasi),
setidak-tidaknya untuk waktu sepuluh tahun kedepan dalam hal fenomena yang ada baik di
tingkat masyarakat lokal, nasional, maupun global. Tetapi itu hanya kurikulum dalam bentuk
ide dan dokumen, namun dalam bentuk kurikulum sebagai implimentasi (proses), masih akan
sangat dipengaruhi oleh beberapa masalah, yaitu:
1. Sebagian besar guru IPS belum terampil menggunakan beberapa
model mengajar seperti cooperative learning, inquiry, problem solving, atau dengan
menggunakan pendekatan perspektif global misalnya.
2. Ketersediaan alat dan bahan belajar di sebagian besar sekolah, ikut
mempengaruhi proses belajar mengajar IPS.
3. Karena itu (point 1 dan 2), proses belajar mengajar IPS masih
dilakukan dalam bentuk pembelajaran konvensional, sehingga peserta didik hanya
memperoleh hasil secara fatual saja, dan tidak mendapat hasil proses.
4. Dalam hal implementasi atau proses pelaksanaan kurikulum ini guru
yang mendapat sosialisasi dalam bentuk penataran atau diklat sangat terbatas sekali,
sehingga faktor ini juga menyebabkan mereka masih belum memahami hakikat
kurikulum baru ini sebagaimana mestinya.
5. Sebagian besar masyarakat Indonesia belum siap untuk mengadaptasi
atau mengadopsi budaya dan peradaban asing yang mulai merambah secara global,
karena berbenturan dengan nilai-nilai tradisi ataupun agama.
Tujuan bidang studi IPS tidak berfokus pada penguasaan materi IPS semata
melainkan menitik beratkan pada penguasaan kecakapan proses, yang dapat diunjukkerjakan
dalam bentuk verbal (verbal performance), sikap (attitudinal performance), dan perbuatan
(physical performance), atau adanya integrasi antara afektif, kognitif dan motorik.
(Suderadjat,2003:47).
Materi IPS yang dibelajar mengajarkan haruslah memiliki kualitas untuk dapat
bersaing secara internasional, dengan memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan apa
yang akan terjadi di era perdagangan bebas, terutama AFTA dan APEC. Karena, dapat
dikembangkan kompetensi, dalam hal ini (PIPS), dikembangkan kompetensi sosial, yang
dapat mempersiapkan peserta didik untuk mampu hidup dengan berbagai keterampilan dan
kecakapan (life skills), sehingga mampu bersaing dan menang dalam persaingan global, tanpa
harus kehilangan jati diri, dan lepas dari nilai-nilai dan budaya bangsanya.
Perlunya Pendidikan IPS yang berkualitas internasional, seperti yang dikatakan oleh
Alvin Tofler “kita harus berfikir global, dan bertindak lokal”. Globalisasi merambah ke
semua penjuru dunia, dan oleh karena itu tidak dapat kita bendung, dan kita harus masuk, ikut
serta di dalamnya bertarung untuk menjadi pemenang (winner). Pasar bebas seperti AFTA,
APEC, pasti datang karena itu kita harus mempersiapkan para peserta didik agar dapat
menjadi pemenang dalam persaingan tersebut, sehingga dapat menjadi tuan di negara sendiri.
Bukan menjadi penonton di rumah sendiri sebagai pihak yang kalah (loser). Oleh karena itu
Pendidikan IPS juga harus mempersiapkan kompetensi sosial bagi para peserta didiknya.
Materi Pendidikan IPS yang berwawasan global tersebut, diantaranya adalah:
a. Tentang Kesadaran diri; sebagai mahluk Tuhan, eksistensi, potensi dan jati diri
sebagai warga dari sebuah bangsa yang berbudaya dan bermartabat sederajat dengan
bangsa lain di dunia (tidak lebih rendah dari bangsa lain).
b. Tentang kacakapan berfikir seperti kecakapan; berfikir kritis, menggali informasi,
mengolah informasi, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah.
c. Tentang kecakapan akademik tentang ilmu-ilmu sosial, seperti kemampuan
memahami fakta, konsep dan generalisasi tentang sistem sosial budaya, lingkungan
hidup, perilaku ekonomi dan kesejahteraan, serta twntang waktu dan keberlanjutan
perubahan yang terjadi di dunia.
d. Mengembangkan social skills, dengan maksud supaya pada masa datang kita tidak
hanya menjadi objek penguasaan globlisasi belaka. Keterampilan sosial yang perlu
dimiliki oleh peserta didik menurut Marsh Colin dalam Nana Supriatna (2002:15)
adalah; keterampilan memperoleh informasi, berkomunikasi, pengendalian diri,
bekerja sama, menggunakan angka, memecahkan masalah, serta keterampilan dalam
membuat keputusan.
Sedangkan keterampilan sosial yang telah dikembangkan oleh NCSS (1984:249)
adalah “keterampilan dalam memperoleh informasi, (keterampilan membaca, keterampilan
belajar, mencari informasi, dan keterampilan dalam menggunakan alat-alat teknologi),
keterampilan yang berkaitan dengan hubungan sosial serta partisipasi dalam masyarakat
(keterampilan diri yang sesuai dengan kemampuan dan bakat, bekerja sama, berpartisipasi
dalam masyarakat)”.
Keterampilan sosial seperti ini nampaknya relevan untuk dikembangkan dalam
kurikulum Pendidikan IPS di Indonesia, agar kelak para peserta didik dapat hidup sebagai
warga masyarakat, warga negara, dan warga dunia yang dapat berperan dalam
masyarakatnya.
Perubahan-perubahan yang terjadi sebagai dampak kemajuan ilmu dan teknologi,
serta dengan masuknya arus globalisasi, membawa pengaruh yang multidimensional. Di
bidang pendidikan perubahan ini dituntut oleh kebutuhan siswa, masyarakat, dan lapangan
kerja. Salah satu bentuk perubahan yang dituntut dari kurikulum IPS adalah menyesuaikan
dengan perubahan yang terjadi secara global tersebut. Sehingga sejak dini siswa sudah
dibiasakan melihat, memahami, menganalisis, merefleksikan, memprediksi berbagai
fenomena yang terjadi secara global.
Dengan perspektif global, siswa mampu melihat dunia beserta penduduknya dengan
pengertian dan kepedulian. Dengan perspektif ini siswa dididik untuk ikut bertanggung jawab
terhadap berbagai kebutuhan hidup penduduk dunia dan komitmen untuk ikut menyelesaikan
berbagai permasalahan dunia dengan adil dan damai.
Dunia di sekitar kita berubah dengan cepat. Para siswa yang akan menjadi warga
negara masa depan, hidup dan belajar di tengah-tengah kancah eksploitasi kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang tiada bandingannya dalam sejarah umat manusia
sebelumnya. Mereka tidak dapat mempelajari semuanya atau seluruhnya bahan materi yang
akan mereka perlukan selanjutnya, kecuali pedoman kemampuan, keterampilan dan sikap
yang akan diperlukan untuk menghadapi zaman tersebut. Pemanfaatan secara efektif
kurikulum yang kualitasnya baku, harus disertai dengan kualitas kemampuan dan
keterampilan guru dalam memilih bahan, menciptakan lingkungan belajar yang berkualitas,
memperhatikan dan mengikuti perkembangan pengetahauan dan penelitian yang mutakhir
dan menunjukkan perhatian dan kepedulian terhadap perkembangan siswa di dalam
membangun pengetahuan dan ilmunya.
Cara untuk membangkitkan budaya belajar di kalangan siswa.
Banyak cara yang dapat ditempuh untuk membangkitkan budaya belajar siswa di
antaranya dengan menggunakan multi metode, media, dan evaluasi dalam pembelajaran. Cara
lain dengan mengembangkan PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan
Menyenangkan). Menurut Silberman (2004:19) proses belajar akan meningkat jika siswa
diminta untuk melakukan hal-hal berikut ini:
a. Mengemukakan kembali infomasi dengan kata-kata
mereka sendiri.
b. Memberikan contohnya.
c. Mengenalinya dalam bermacam bentuk dan situasi.
d. Melihat kaitan antara informasi itu dengan fakta atau gagasan lain.
e. Menggunakannya dengan beragam cara.
f. Memprediksikan sejumlah konsekuensinya.
g. Menyebutkan lawan atau sebaliknya.
Sementara menurut Al Muchtar (2004:251-252), bahwa: Peningkatan kualitas pendidikan
IPS dengan pengembangan berpikir dan nilai, perlu adanya transformasi budaya belajar
antara lain dari kebiasaan belajar hanya dalam bentuk menghapal menjadi budaya belajar
berpikir; dari belajar menyimak pengetahuan ilmu-ilmu sosial ke arah berpikir untuk
mempertinggi apresiasi nilai sosial budaya. Peningkatan motivasi dan tujuan belajar dari
hanya sekedar mendapatkan nilai yang cukup memadai menjadi budaya belajar yang
berorientasi untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan mandiri; dari kebiasaan
belajar menerima informasi menjadi belajar mencari, mengolah, dan menggunakan informasi.
Dari kebiasaan belajar pasif menerima informasi dari guru berkembang menjadi cara belajar
aktif. Dari cara belajar santai ke arah belajar kompetitif dengan persaingan yang sehat. Dari
cara belajar mengumpulkan pengetahuan ilmu-ilmu sosial ke arah memecahkan masalah
sosial.
Lebih lanjut Al Muchtar (2004:252), mengemukakan bahwa: Proses transformasi tersebut
dapat berjalan jika dilakukan pula transformasi budaya mengajar yang selama ini tumbuh di
lapangan, antara lain dari kebiasaan memberi materi pelajaran ke arah menyajikan bahan
pelajaran IPS dalam bentuk masalah sebagai media stimulus bagi pengembangan berpikir dan
nilai. Dari kebiasaan berperan sebagai satu-satunya sumber daya belajar ke arah berperan
sebagai direktur belajar yang dapat memberi kemudahan belajar. Dari kebiasaan menciptakan
pola interaksi satu arah menjadi pola interaksi serba arah. Dari kebiasaan mengajarkan nilai
ke arah mengklarifikasi nilai, dari kebiasaan memberikan hapalan ke arah merangsang untuk
berpikir tingkat tinggi.
Jadi, sebaik apapun pendekatan, metode, media yang digunakan untuk membangkitkan
budaya belajar siswa, akhirnya terpulang kepada guru sebagai ujung tombak dalam proses
belajar mengajar. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Wahab (1998:7), bahwa:
Perubahan apapun yang dilakukan tanpa komitmen dan kerja keras guru semuanya akan
menjadi sia-sia atau gagal sama sekali.

Pilih salah satu masalah dalam pembelajaran pendidikan IPS di sekolah, kemudian
kemukakan factor dan alternative pemecahannya.
Jawab :
Masalah yang selalu dianggap menarik dalam pembelajaran IPS selama ini, adalah
temuan dari beberapa penelitian (Hasan 2002), dan tulisan (Al Mukhtar, 2004. Azis, 2002,
Supriatna, 2002) mengisyaratkan bahwa pembelajaran IPS di sekolah selalu disajikan dalam
bentuk faktual, konsep yang kering, guru hanya mengejar target pencapaian kurikulum, tidak
mementingkan proses, karena itu pembelajaran IPS selalu menjenuhkan dan membosankan,
dan oleh peserta didik dianggap sebagai pelajaran kelas dua (Somantri, 2001).
Aziz (2002) mengatakan “padahal dalam pembelajaran IPS proses itu amat penting.
Dalam pembelajaran PIPS, peserta didik diharapkan dapat memperoleh pengetahuan,
pengalaman-pengalaman dalam menggunakan pengetahuan tersebut dalam kehidupan
demokratis, termasuk mepraktekkan berpikir dan pemecahan masalah.”
Pembelajaran IPS di sekolah juga belum berupaya melaksanakan dan membiasakan
pengalaman nilai-nilai kehidupan demokratis, sosial kemasyarakatan dengan melibatkan
siswa dan komunitas sekolah dalam berbagai aktifitas kelas dan sekolah. Selain itu dalam
pembelajaran IPS lebih menekankan pada aspek pengetahuan, fakta dan konsep-konsep yang
bersifat hafalan belaka. Inilah yang dituding sebagai kelemahan yang menyebabkan
“kegagalan” pembelajaran IPS di sekolah-sekolah di Indonesia.
Jika pembelajaran IPS selama ini tetap diteruskan, (terutama hanya menekankan pada
imformasi, fakta dan hafalan, lebih mementingkan isi dari pada proses, kurang diarahkan
pada proses berfikir (tingkat tinggi), dan kurang diarahkan pada pembelajaran yang bermakna
dan berfungsi bagi kehidupannya), maka pembelajaran IPS tidak akan mampu membantu
peserta didiknya untuk dapat hidup secara efektif dan produktif dalam kehidupan masa
datang. Oleh karena itu sudah semestinyalah pembelajaran IPS masa kini dan ke depan
mengikuti berbagai perkembangan yang terjadi di di dunia secara global.
Wiriaatmadja (2002: 276), Guru harus selalu memperbaharui kemahiran
profesionalnya (professional skills). Di antara kamahiran guru yang selalu perlu ditingkatkan
adalah kemampuan mengajarnya (teaching skills). Melalui pelatihan lokakarya, seminar, atau
pertemuan-pertemuan MGMP (Musyawarah Guru Mata Palajaran), dan lain-lain kemahiran-
kemahiran itu dapat diupayakan dan diperoleh dengan mendatangkan nara sumber.
Nana Supriatna (2002:18) menyebut terdapat beberapa strategi dalam mengajarkan
keterampilan sosial kepada peserta didik melalui IPS, diantaranya adalah cooperative
learning, konstruktivistik dan inquiry. Pertama, Wiriaatmadja (2002:277) juga menyebutkan
salah satu aspek dari kemahiran mengajar guru IPS yang dituntut untuk ditingkatkan dengan
masuknya arus globalisasi adalah menyajikan pembelajaran IPS dengan menggunakan
pendekatan-pendekatan dan model-model pembelajaran yang relevan dengan apa yang
menjadi tujuan pembelajaran. Misalnya dengan cooperative learning, maka pelajaran IPS
tidak semata-mata menghafal fakta, konsep, dan pengetahuan yang bersifat kognitif rendah
lainnya serta guru sebagai satu-satunya sumber informasi - melainkan akan membawa siswa
untuk berpartisipasi aktif, karena mereka akan diminta melakukan berbagai tugas seperti
bekerja secara berkelompok, melakukan inkuiri, dan melaporkan hasil kegiatannya kepada
kelas.
Ini berarti bahwa guru bukan satu-satunya yang memberikan informasi karena siswa
akan mencari sumber yang beragam dan terlibat dalam. berbagai kegiatan belajar yang
beragam pula. Sedangkan peran guru kecuali harus bertindak sebagai fasilitator dalam. semua
kegiatan ini, ia juga harus mengamati proses pembelajaran untuk memberikan penilaian
(assessment), tidak hanya untuk perolehan pengetahuan keIPSan (product) saja, melainkan
menilai keterampilan sosial siswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung (process), yang
mencakup penilian untuk ranah afektif dan psikomotornya.
Kedua, Strategi serta pendekatan konstruktivisme yang menempatkan siswa sebagai
mitra pembelajaran dan pengembang materi pembelajaran dapat digunakan oleh guru IPS
dalam mengembangkan keterampilan sosial. Keterampilan siswa dalam hal memperoleh,
mengolah dan memanfaatkan informasi untuk memiliki, berdayakan dirinya dapat dilakukan
melalui proses pembelajaran di kelas. Guru IPS yang konstruktivistis harus dapat
memfasilitasi para siswanya dengan kesempatan untuk berlatih dalam mengklasifikasi,
menganalisis dan mengolah informasi berdasarkan sumber-sumber yang mereka terima.
Sikap kritis siswa terhadap informasi harus dapat dikembangkan dalam proses pembelajaran
di kelas. Guru juga harus selalu membiasakan siswa untuk memprediksi, mengklasifikasi dan
menganalisis, dengan demikian aspek kognitif siswa yang dikembangkan tidak hanya
keterampilan dalam menghafal dan mengingat melainkan juga menganalisis, memprediksi,
mengkritisi dan mengevaluasi informasi yang mereka terima
Di Era global ini sumber-sumber informasi yang tidak terbatas dapat digunakan
sebagai materi pembelajaran IPS untuk mengembangkan keterampilan yang terkait dengan
informasi tersebut. Kemajemukan informasi berdasarkan sumber serta keobjektivitasan dan
kesubjektivitasan merupakan bahan yang menarik untuk mengembangkan keterampilan
tersebut di dalam kelas.
Ketiga, Menurut Marsh Colin dalam Supriatna (2002:19), Strategi inquiry
menekankan peserta didik menggunakan keterampilan sosial dan intelektual, strategi ini
menekankan peserta didik menggunakan keterampilan intelektual dalam memperoleh
pengalaman baru atau informasi baru melalui investigasi yang sifatnya mandiri. Dengan
demikian keterampilan memperoleh informasi baru berdasarkan pengetahuan mengenai
informasi atau pengalaman belajar sebelumnya merupakan kondisi baik untuk
mengembangkan keterampilan yang terkait untuk menguasai informasi.
Selanjutnya Supriatna (2002:19), mengatakan beberapa keuntungan strategi ini yang
terkait dengan penguasaan informasi diantaranya adalah:
1. Strategi ini memungkinkan peserta didik melihat isi pelajaran libih realistik dan
posistif ketika menganalisis dan mengaflikasikan data dalam memecahkan masalah.
2. Memberi kesempatan kepada siswa untuk merefleksikan isu-isu tertentu, mencari data
yang relevan, serta membuat keputusan yang bermakna bagi mereka secara pribadi.
3. Menempatkan guru sebagai fasilitator belajar sekaligus mengurangi perannya sebagai
pusat kegiatan belajar.
Wiriaatmadja (2002:305-306) mengatakan belajar dan mengajar Ilmu-ilmu Sosial
agar menjadi berdaya apabila proses pembelajarannya bermakna (meaningful), yaitu:
a. Siswa belajar menjalin pengetahuan, keterampilan, kepercayaan, dan sikap yang
mereka anggap berguna bagi kehidupannya di sekolah atau di luar sekolah,
b. Pengajaran ditekankan kepada pendalaman gagasan gagasan penting yang terdapat
dalam topik-topik yang dibahas, demi pernahaman, apresiasi dan aplikasi siswa.
c. Kebermaknaan dan pentingnya materi pengajaran ditekankan kepada bagaimana cara.
penyajiannya dan dikembangkannya melalui kegiatan aktif.
d. Interaksi di dalam kelas difokuskan pada pendalaman topik-topik terpilih dan bukan
pada pembahasan sekilas sebanyak mungkin materi.
e. Kegiatan belajar yang bermakna dan strategi assessment (penilaian) hendaknya
difokuskan pada perhatian siswa terhadap pikiran-pikiran atau gagasan-gagasan yang
penting yang terpateri dalam apa yang mereka pelajari.
f. Guru hendaknya berpikir reflektif dalam melakukan perencanaan/persiapan,
pemberlakuan, dan asessment pembelajaran.

Jelaskan tujuan inovasi pembelajaran dalam pendidikan IPS.


Jawab :
Sebagai program pendidikan, IPS memiliki misi khusus, yaitu : Pertama, membantu
peserta didik mengembangkan kompetensi-kompetensi dirinya dalam menggali dan
mengembangkan sumber-sumber fisik dan sosial yang ada di lingkungan sosialnya, sehingga
mereka dapat hidup selaras dengannya, Kedua, mempersiapkan peserta didik menyongsong
kehidupannya di masa depan dengan penuh harapan dan kemampuan diri dalam memecahkan
persoalan-persoalan yang dihadapainya. IPS berkenaan dengan human being, proses
pemanusiaan yang kedap terhadap keragaman sistem, pola kehidupan, bentuk dan struktur
sosial, melalui penemuan makna di dalam aktivitasnya, dan kebutuhan-kebutuhan dasar,
dengan perkembangan sistem sosialnya, di berbagai lingkungan yang berbeda.
Bertolak dari prinsip diatas, maka terdapat suatu pertanyaan yang sering kita
dengarkan yakni : Mengapa pelajaran IPS dianggap sangat membosankan ?. Hal ini
desebabkan oleh beberapa faktor yakni;
Kelemahan pembelajaran IPS selama ini adalah kurang mengikut sertakan siswa
dalam proses pembelajaran. Guru tidak mengembangkan berbagai pendekatan maupun
metode dalam pembelajaran. Kebanyakan para pendidik menempuh cara yang mudah saja
dengan menggunakan metode ceramah dan mengandalkan penghafalan fakta-fakta belaka.
a. Pendekatan ekspositori sangat menguasai keseluruhan proses belajar mengajar.
Kalaupun ada diskusi tetapi tidak ada hubungannya dengan prosedur berpikir ilmu
sosial.
b. Hierarki belajar hampir tidak di temui baik dalam penyusunan satuan pelajaran,
proses belajar, konstruksi tes maupun dalam buku pelajaran.
c. Tingkat pengetahuan sebahagian besar peserta didik berada dalam kelompok
peringkat satu (fakta) dan peringkat dua (konsep), sedang generalisasi sebagai
peringkat tiga hampir tidak digunakan.
d. Penyebaran kawasan tujuan instruksional tidak memungkinkan peserta didik belajar
aktif.
e. Mata pelajaran sejarah dan ilmu sosial lainnya sangat membosankan dan kurang
membantu dalam permulaan di perguruan tinggi maupun manfaatnya bagi kehidupan
masyarakat. (Numan Somantri, 2001 : 39)
Kelemahan proses pembelajaran salah satu juga di titik beratkan pada guru. Guru
dianggap tidak memiliki kemampuan mengembangkan proses pembelajaran IPS.
Akibatnya, berbagai proyek untuk meningkatkan kemampuan guru IPS, dan guru
lain, di laksanakan di berbagai daerah. Kemampuan guru setelah penataran meningkat
tetapi proses pembelajaran IPS tetap saja tidak mejadi lebih baik. Beban guru IPS
hampir tidak medapat perhatian. Berbagai metode mengajar diketahui dan dikuasai
para guru tersebut menjadi sia-sia. Guru IPS menjadi ”lesu darah” dan mengambil
prinsip alamiah yang universal yaitu ” melakukan yang dapat dilakukan ”. Keinginan
untuk menyalahkan guru tampaknya melebihi kejernihan berpikir dalam
mengidentifikasi masalah dan mennyelesaikan masalah yang sesuai dengan masalah
yang di indentifikasi tadi. (S. Hamid Hasan, 2006 : 1-2 )
Faktor lain yang tidak pernah mendapat perhatian serius dan realisasi yang sungguh
dalam memperbaiki pendidikan IPS adalah menerapkan prinsip pendidikan. Perubahan
kurikulum yang sifatnya seragam untuk seluruh mata pelajaran, sebagaimana di tunjukan oleh
sejarah kurikulum di indonesia, menyebabkan karakteristik tujuan dan mata pelajaran
terabaikan kecuali kalau karakteristik materi tersebut dibuat seragam.
Perubahan materi kurikulum berkenaan hannya dengan disiplin ilmu yang di ajarkan
secara mengorganisasikan materi tersebut. Hal yang terjadi, materi IPS di SD dan
SMP harus sama dengan materi di SMA, dan harus sama pula dengan mata pelajaran
lainnya. Materi disiplin ilmu adalah materi yang memenuhi persyaratan tersebut dan
oleh karena pendidikan IPS adalah pendidikan disiplin ilmu. Model kurikulum IPS
adalah model kurikulum disiplin ilmu, sedangkan proses pembelajaran IPS adalah ”
transfer of knowledge ” evaluasi hasil belajar adalah evaluasi mengenai kemampuan
mengingat. Dengan demikian keseluruhan proses pendidikan IPS lengkap, dan dari
beban mengajar guru sampai kepada lingkungan kerja yang tidak medukung guru
untuk produktif, inovatif, dan mencapai hasil yang di tuntut masyarakat. ( S. Hamid
Hasan, 2006 : 2 )
Penyebab lain siswa kurang bergairah mengikuti pelajaran IPS adalah karena
pembelajaran IPS dianggap tidak dapat mengaplikasikan untuk mengetahui secara lebih jauh
apa yang dipelajarinya, karena itu pembelajaran pendidikan IPS dinggap hannya sekedar
untuk kepentinggan ” sesaat ” tanpa ada manfaat praktis dalam kehidupan sehari- hari di
masyarakat. Tantangan lain dalam pendidikan IPS adalah belum menjadi nilai sosial budaya
yang berkembang di lingkungan masyarakat atau dilingkungan peserta didik menjadi sumber
belajar. Sehingga kadang kala peserta didik tidak merespon kejadian-kejadian yang ada di
sekitarnya.
Nilai sosial budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat lingkungan
peserta didik tidak dijadikan sumber pelajaran IPS. Kalaupun dilakukan amat terbatas
hannya sebagai bahan pelengkap tidak merupakan inti bahasan untuk melatih
kemampuan penalaran nilai. Dampaknya pendidikan IPS tidak mendekatkan dan
mengakrapkan peserta didik dengan lingkungan sosial budayanya. Akibatnya
pendidikan IPS belum mampu berperan sebagai media bagi pengembangan
kemampuan penalaran nilai bagi peserta didik.
( Al-Muchtar, 2004 : 220 )
Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang berhasil mengembangkan potensi
seseorang siswa secara maksimum. Hal ini hanya akan tercapai apabila pendidikan
dapat mengembangkan apa yang disebut ”Ausubel dan Robinson, (1969)” dengan
istilah meaningful learning ( belajar bermakna ). . (S. Hamid Hasan (1996)).
Bagi ilmu-ilmu sosial, kajian-kajiannya tidak selalu dapat di amati oleh karena itu
kemampuan berpikir abstrak merupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap orang yang
mengkaji mengenai masalah-masalah sosial. Bagaimana manusia dapat memahami benda-
benda teknologi atau pranata kehidupan sosial budaya manusia berdasarkan bentuk fisik yang
terlihat dan terjadi, maka mereka dituntut berpikir abstrak sehingga mampu memahami dan
menjelaskan apa yang ada dibalik fenomena yang diamati, dan memikirkan bagaimana
alternatif yang dilakukan. Fenomena kehidupan yang dikembangkan dalam konsep-konsep
ilmu sosial misalnya : rasa cinta tanah air, semangat nasionalisme, kekuasaan, kekuatan, rasa
kecewa dan sebagainya adalah fenomena- fenomena yang abstrak.

Pengembangan kurikulum IPS, harus mampu mengakomodasi semua tujuan dari


pendidikan IPS tersebut. Namun demikian perubahan kurikulum harus melihat realita
kehidupan di masyarakat, sehingga pembelajaran IPS dapat disampaikan kepada siswa bukan
hanya sebagai pengetahuan saja, akan tetapi dapat diterapkan langsung di masyarakat.
Perubahan kurikulum yang dimaksud adalah merubah jenis pembelajarannya,
gurunya, media dan sumber pelajarannya serta perilaku siswa yang tadinya sebagai penerima
informasi, kini harus menjadi pelaku informasi.
Mempersiapkan warga negara yang mampu menentukan pilihan yang cerdas
diantara berbagai macam alternatif yang terdapat dalam suatu masyarakat, merupakan tugas
utama dari Pendidikan IPS. Salah satu konsekuensinya dari suatu masyarakat yang
demokratis adalah semakin luas dan kompleksnya pilihan-pilihan bagi setiap orang baik
dalam kehidupan pribadinya maupun dalam kehidupan masyarakat. Dengan semakin
pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi yang mengikuti perkembangan zaman,
maka semakin berat pula tanggung jawab pendidik. Hal ini berarti bahwa pendidikan IPS
menjadi lebih penting sehingga harus dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah.

Kemukakan masalah yang dihadapi dalam melakukan inovasi pembelajaran


pendidikan IPS.
Jawab :
Sejak tahun pertama masuk sekolah para pelajar hendaknya diajak ikut serta untuk
dapat memecahkan berbagai persoalan, khusnya yang timbul dalam masyarakat, agar mereka
menjadi warga negara yang analitis, kritis serta menghargai nilai-nilai demokratis. Pelajar
semacam itu hendaknya dimulai dari sekolah dasar, kemudian ke sekolah lanjutan serta
perguruan tinggi yang dimulai dari konsep sederhana, gagasan pengetahuan yang semakin
sukar dan mendalam/dari yang konkrit menuju yang abstrak. Guna melaksanakan hal-hal
tersebut maka diperlukan adanya alam lingkungan yang demokratis agar tujuan yang telah
ditetapkan dapat tercapai. Hal ini berarti bahwa sistem pendidikan itu sendiri harus meliputi
serta mempraktekkan dasar-dasar demokrasi. Menurut Jacques Barzun bahwa “adalah tidak
mungkin mengajarkan demokrasi, atau kewargaan negara/kehidupan perkawinan yang
bahagia hanya melalui bahan-bahan yang harus dihafalkan saja, walaupun hal ini penting,
melainkan melalui perwujudan dari diri dan tingkah laku seseorang. Bukan dari pelajaran,
melainkan dari pelajaran, melainkan dari jiwa manusia. Berdasarkan pemikiran tersebut maka
peranan pendidikan IPS menjadi fokus pembahasan, guna dapat mengembangkan; warga
negara yang bertanggung jawab, warga negara yang analitis serta warga negara yang
berpartisipasi.
Akan tetapi walaupun demikian manusia dapat merasakan pengaruhnya implikasi
tersebut. Pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi dirasakan baik langsung maupun tidak,
karena cara hidup masyarakat, cara kerja, barang-barang kebutuhan yang dibeli, keadaan
sekeliling dan bahkan nilai hidup yang dianut cepat berubah dan jelas terlihat dipengaruhi
oleh kemajuan-kemajuan tersebut. Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
bukan saja dirasakan oleh individu, akan tetapi dirasakan pula oleh masyarakat, bangsa dan
negara. Bagi negara-negara yang telah maju mengenai teknologinya pengaruh tersebut telah
lama terasa karena dalam negara-negara berkembang pengaruh tersebut baru dirasakan
sehubungan dengan pengaruh-pengaruh di atas, maka pendidikan serta sekolah tidak luput
dari pengaruh-pengaruh itu. Sekolah bertanggung jawab dalam membekali para siswa dalam
menghadapi perubahan zaman. Hal itu berarti akan terjadi perubahan-perubahan pada
kurikulum, buku pelajaran, tujuan yang harus dicapai, metode mengajar, evaluasi pelajaran
dan lain-lain. Demikian pula pengaruh-pengaruh itu terjadi dalam Pendidikan IPS. Tingkah
laku pelajar dipengaruhi dan diwujudkan oleh pengertiannya kepada ilmu pengetahuan dan
teknologi yang relevan. Dengan demikian pengetahuan yang terdapat dalam pendidikan IPS
akan dikembangkan pada konsep-konsep serta generalisasi penting mengenai permasalahan
yang timbul dalam masyarakat. Para pelajar hendaknya dibantu untuk mempergunakan fakta
tertentu yang mereka pelajari agar dapat mengembangkan konsep-konsep dan generalisasi-
generalisasi yang penting. Pada waktu melakukan hal-hal tersebut para pelajar harus
diperkenalkan dengan tingkatan yang sesuai dengan kedewasaannya, kepada metode
penyelidikan yang dipergunakan oleh para ahli ilmu dalam usaha mencari kebenaran.

Kemukakan gambaran masalah pembelajaran pendidikan IPS yang menuntut


dilakukannya inovasi pembelajaran.
Jawab :
Sebagaimana kita ketahui bahwa selama ini pembelajaran IPS di lapangan masih
menemui kendala. Bebarapa kelemahan pembelajaran IPS di lapangan seperti diungkapkan
oleh Suwarma (2001) diantaranya ialah :
a) Proses pembelajaran kurang ditunjang dengan pengembangan
dan penggunaan media dan alat pembelajaran.
b) proses pembelajaran lebih menekankan kepada pengembangan
aspek kognitif daripada efektif dan psikomotor.
c) proses pembelajaran kurang menyentuh aspek nilai sosial dan
keterampilan sosial.
d) Proses pembelajaran lebih menekankan kepada pencurahan isi
buku dari pada proses penalaran isi buku.
e) proses pembelajaran lebih menempatkan siswa sebagai
penerima informasi dalam soal belajar satu arah dari pada melibatkan siswa dalam proses
berfikir.
f) proses pembelajaran lebih menempatkan guru sebagai sumber
informasi yang dominan disamping terbatasnya penggunaan sumber daya belajar lainnya.
g) proses pembelajaran belum banyak mengakses pada
penguatan sistem nilai keimanan dan ketakwaan.
h) proses pembelajaran belum secara tegas mengakses kepada
penguasaan IPTEK.
Kelemahan-kelemahan tersebut kiranya dapat dicarikan alternatif pemecahannya,
diantaranya dengan merubah paradigma belajar yang selama ini masih konvensional menjadi
budaya belajar yang aktif, kreatif dan efektif. Antara lain dari kebiasaan belaiar hanya dalam
bentuk menghapal menjadi budaya belaiar berfikir, dari belajar menyimak pengetahuan
ilmu-ilmu sosial kearah berpikir untuk mempertinggi apresiasi nilai sosial budaya.
Budaya belajar yang berorientasi untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis
dan mandiri dari kebiasaan belajar menerima informasi menjadi belajar mencari, mengolah
dan menggunakan informasi. Dari kebiasaan belajar pasif menerima informasi dari guru
berkembang menjadi cara belaiar aktif Dari cara belajar santai ke arah belajar kompetitif
dengan persaingan yang sehat. Dari cara belajar mengumpulkan pengetahuan ilmu-ilmu
sosial ke arah memecahkan masalah sosial.
Kemudian gurunyapun harus dapat merubah cara mengajarnya dengan melakukan
transformasi budaya mengajar kebiasaan memberikan materi dari buku dalam kemasan
informasi, ke arah sebagai penyaji masalah yang menjadikan buku pelajaran sebagai bahan
untuk didiskusikan oleh peserta didik. Dari mengajar dengan monoton satu arah ke arah
mengajar serba arah. Dari komunikasi verbal ke arah yang empri rasional.
Apabila hal ini dapat dilaksanakan maka kelemahan-kelembahan pembelajaran IPS
yang semala ini terjadi dapat kita atasi, tergantung apakah kita mau melaksanakannya atau
tidak.

Kemukakan karakteristik inovasi pembelajaran IPS berdasarkan masalah tersebut di


atas.
Jawab :
Menurut Suwarma (2001) menyatakan beberapa prinsip dalam inovasi pendidikan
diantaranya ialah :
a) Inovasi pembelajaran harus bertumpu pada upaya pembelajaran peserta
didik secara penuh baik intelektual maupun emosional dengan memperhatikan
perkembangan dan psikologi social.
b) Inovasi pembelajaran harus mengakses pada strategi pengembangan
berpikir tingkat tinggi untuk dapat menguasai IPTEK seiring dengan pembinaan nilai
untuk memperkuat system nilai agar dapat mengambil kompetitif dalam gerak perubahan
social dan persaingan global.
c) Inovasi pembelajaran dapat memungkinkan peserta didik memiliki
kemampuan untuk mengakses berbagai sumber informasi.
d) Inovasi pembelajaran perlu dijadikan unggulan dalam melakukan upaya
peningkatan mutu pendidikan dengan dukungan kebijakan nasional untuk menjadi
gerakan budaya pendidikan.
e) Inovasi pembelajaran perlu dilakukan dengan berorientasi pada
penyempurnaan dan peningkatan kualitas pembelajaran dari pengalaman yang ada
dengan dukungan penelitian dan evaluasi implementasi kutikulum.
f) Inovasi pembelajaran perlu melibatkan secara optimal guru sebagai
inisiator dan innovator pembelajaran dengan memberikan peluang untuk
mengembangkan kreatifitasnya.
g) Inovasi pembelajaran perlu dilakukan secara terbuka dengan melibatkan
partisipasi dari berbagai pihak dengan melibatkan partisipasi dari berbagai pihak dengan
dilakukan secara berkesinambungan.
h) Inovasi pembelajaran memperhatikan aspek social budaya dan
lingkungan peserta didik, factor psikologis diarahkan pada pengembangan kemampuan
berfikir secara kreatif.
i) Inovasi pembelajaran hendaknya mengembangkan secara optimal
potensi berpikir peserta didik untuk menguasai IPTEK yang terintegrasi dengan IMTAQ.
Dari pendapat tersebut jelas bahwa dalam inovasi pembelajaran harus
memperhatikan berbagai aspek diantaranya memperhatikan aspek intelektual maupun
emosional peserta didik, memberdayakan lingkungan, ilmu pengetahuan dan teknologi
sebagai media informasi, serta evaluasi yang berkesinambungan. Inovasi pembelajaran IPS
yang demikian dapat meningkatkan mutu pendidikan IPS.

Kemukakan factor penentu keberhasilan inovasi pembelajaran dalam pendidikan IPS.


Jawab :
Inovasi dan kreativitas berpikir adalah nikmat yang dianugrahkan Allah dalam bentuk
akal, langkah berani dan menggelora, yang mendobrak permanensi taglid, monotonitas kerja
dan kejenuhan rutinitas, yang kadang benar dan salah. Ia memiliki sifat seperti seorang bayi
yang masih merah ; membutuhkan seseorang yang akan mengayomi dan merawatnya,
menjaganya dari terpaan angin kejumudan (kebekuan) yang akan meredupkan sinarnya dan
mengacam perasaannya, serta melindungi harapan yang menyapanya dari jauh, yang
seringkali mati oleh ketakutan yang bersemayam dalam batin kita, dan mendekam dalam
dada kita. Akibatnya, seringkali kita berlepas diri dari gagasan inovatif dan kreatif ini hanya
karena orang lain tidak mempercayainya.
Pengetahuan tentang tokoh-tokoh pembaharu yang dapat memperkaya kehidupan
budaya, sosial, keagamaan, pemikiran, keilmuan,dan kesenian kita telah menggugah
kerinduan dan emosi kami untuk membahas tema ini dan menapak tilas jejak-jejak para tokoh
mereka. Agar mata air peradaban kita yang dulu meluap-meluap jangan sampai kini menjadi
kering !
Anda dan saya boleh saja bertanya-tanya di manakah figur-figur seperti Al Aqqad,
Thaha Husein, Al Mazini, Shadiq Ar-Rafi’I, Hasan Al Banna, Mushthafa Musyrifah, Samirah
Musa, Taufik Al Hakim, Muhammad Al Ghazali, Asy Sya’rawi dan pelita-pelita lain yang
masih memancarkan sinarnya seperti Al Qardhawi, Ahmad Zuwail, Najib Mahfudz, dan
Majdi Ya’qub serta simbol-simbol keahlian lainnya dalam berbagai aspek kemanusiaan ?
Apakah mereka dan yang lainnya merupakan segelintir orang dari sekelompok
komunitas yang sudah cukup untuk menutup fardhu kifayah di tengah masyarakat kita yang
luas dimensinya, ataukah kita masih membutuhkan figur-figur lain untuk menutup
kekurangan-kekurangan di berbagai bidang kehidupan ?
Sebelum menjadi kreatif, maka perlu belajar berinovasi terlebih dahulu melalui 4
(empat) ‘channel’ yaitu : Penemu, Perakit, Pengembang atau Peniru. Apapun ‘channel’ yang
anda pilih ketika kita bicara kreativitas dan inovasi, maka sangat terkait dengan kerja otak
kanan. Bahasa otak kanan adalah imajinasi, futuris, acak, dan ketidakmungkinan. Sedangkan
otak kiri adalah akademis, pragmatis, sistematis, dan kemungkinan-kemungkinan. Terus
terang, pendidikan yang kita alami sejak kecil hingga dewasa lebih banyak menitikberatkan
pada porsi otak kiri ketimbang otak kanan. Bahkan kecerdasan seseorang diukur dengan
seberapa tinggi kemampuan akademisnya. Inilah yang sering saya sebut sebagai ‘ inbox
thinking’ dan akhirnya akan melahirkan ‘manusia-manusia kardus’. Kreativitas dan inovasi
akan tumbuh subur apabila anda memulai dengan ‘outbox thinking’. Dalam menuju proses
inovasi, Abdul Jawwad mengatakan ada 4 (empat) aspek fudanmental yang harus dipenuhi
yaitu :
POSE (produktivitas, Orisinalitas, Sensitivitas dan Elastisitas). Produktif artinya
kemampuan untuk menghasilkan jawaban-jawaban sebanyak mungkin untuk sebuah
pertanyaan. Sedangkan orisinalitas adalah kemampuan untuk menghasilkan gagasan-gagasan
yang unik dan baru. Adapun sensitivitas adalah kepekaan dalam melihat fenomena yang ada
disekeliling dirinya. Dan akhirnya elastisitas adalah kemampuan menghasilkan pemikiran-
pemikiran variatif sebanyak mungkin. Kreativitas dan inovasi dapat menjadi faktor
penyelamat (safety factor) dalam suatu lembaga atau perusahaan dari ‘declining process’
proses penurunan kualitas bahkan sampai pada sebuah stagnasi. Kita semua percaya bahwa
tidak pernah ada keberhasilan abadi sebagaimana sebagaimana tidak pernah ada kegagalan
abadi. Oleh karena itu, kehadiran sebuah kreativitas dan inovasi merupakan pintu gerbang
menuju change management. Hanya sumber daya manusia yang cerdaslah mampu bersaing
di tengah persaingan global yang semakin tajam.
Sifat-sifat apakah yang harus dimiliki para inovator dan kreator ? Abdul Jawwad
menyatakan ada 50 (lima puluh) karakteristik, yang intisarinya dapat disingkat dengan :
CODES
Championship - Tekun dan tidak mudah menyerah serta berputus asa.
Out of Status Quo - Anti kemampanan.
Dynamic - Berusaha menjauhkan diri dari rutinitas kerja.
Extraordinary - Siap menghadapi kekacauan, ketidakmenentuan dan tidak segan
berbeda dengan main stream pemekiran yang ada.
Strong motivation - Kepercayaan diri yang besar.
Kita tidak hanya berbicara seputar hal-hal yang dapat meningkatkan kreativitas dan
inovasi tapi juga hal-hal yang dapat membunuhnya. Di istilahkan dalam hal ini sebagai The 3
Big Killers.
1. Motivasi terlalu rendah (Very Low Motivation).
2. Lingkungan yang buruk (Bad Environment)
3. Bahasa yang meracuni (Poisoned Language)
Pernahkah mendengar kalimat-kalimat seperti ini, “kita tidak akan mampu melaksanakan gagasan-
gagasan seperti ini, sesungguhnya hal itu di luar tanggung jawab kita, mengapa harus melakukan
perubahan ?, gagasan ini terlalu dini untuk saat sekarang, pimpinan tertinggi pasti tidak setuju, berarti
kita dituntut bekerja ekstra.” Boleh jadi kalimat-kalimat di atas terkesan sepele, tapi perlu anda ketahui
bahwa untuk berpikir dan bertindakkreatif harus dimulai dengan bahasa positif. Tidak mudah untuk
berbicara dengan bahasa positif karena seringkali anda dihadapkan pada mental block yang kuat. Dan,
apakah anda tahu mental block no. 1 ? Ya, itulah yang dinamakan fear to failure (takut gagal). Dalam
konteks kelembagaan satu departemen yang harus dihidupkan kembali peran dan fungsinya sebagai
pembangkit kreativitas dan inovasi yaitu Departemen Litbang, bukan plesetan sulit berkembang, tapi
penelitian dan pengembangan. Begitu signifikan departemen ini sehingga tidaklah heran kalau GE
(General Electric), Top Ten Company in The World tercatat dalam Fortune Magazine menghabiskan
hampir 30 – 40 % budget perusahaannya hanya untuk riset dan pengembangan produk serta SDM.
Perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh perubahan global,
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta seni dan budaya. Perubahan secara
terus menerus ini menuntut perlunya perbaikan sistem pendidikan nasional termasuk
penyempurnaan kurikulum untuk mewujudkan masyarakat yang mampu bersaing dan
menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.
Untuk itu upaya peningkatan mutu pendidikan harus dilakukan secara menyeluruh
yang mencakup pengembangan dimensi manusia Indonesia seutuhnya, yakni aspek-aspek
moral, akhlaq, budi pekerti, pengetahuan, keterampilan, seni, olah raga, dan perilaku.
Pengembangan aspek-aspek tersebut bermuara pada peningkatan dan pengembangan
kecakapan hidup (life skill) yang diwujudkan melalui pencapaian kompetensi peserta didik
untuk bertahan hidup, menyesuaikan diri, dan berhasil di masa datang. dengan demikian
peserta didik memiliki ketangguhan, kemandirian, dan jati diri yang dikembangkan melalui
pembelajaran dan atau pelatihan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan.
Pendidikan IPS adalah suatu program pendidikan yang memilih bahan pendidikan
dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniti, yang diorganisir dan disajikan secara ilmiah dan
psikologis untuk tujuan pendidikan (Wesley, 1989). Berdasarkan pengertian ini ditunjukkan
bahwa salah satu ciri utama pendidikan IPS adalah kerjasama disiplin ilmu pendidikan
dengan disiplin ilmu-ilmu sosial.
Menurut Djahiri (1993) mengkonsepsikan program Pendidikan IPS yang: (a) secara
kognitif melatih dan membekali anak didik dengan conceptual-knowledge yang layak,
kemampuan berpikir dan memecahkan masalah yang cukup; (b) secara metacognitive-
awareness and skills membekali kemampuan penalaran dan belajar yang luas; (c) secara
moral-afektual membina perbekalan tatanan nilai, keyakinan dan keadilannya maupun
pengalaman dan kemampuan afektual siswa; dan (d) secara sosial membina ketegaran akan
harga diri dan self-concept serta kemampuan melakukan interpersonal relationship.
Pendidikan IPS erat kaitannya dengan ilmu sosial, yaitu ilmu pengetahuan yang membahas
hubungan manusia dengan masyarakat dan tingkah laku manusia dalam masyarakat.
Sementara itu Wahab, (1986) menyatakan, guru IPS dalam merencanakan pelajaran
dapat menciptakan suasana yang demokratis-kreatif, di mana siswa terlibat secara aktif
sebagai subjek maupun objek pelajaran. Pengertian belajar demokratis ini dapat diartikan
sebagai suatu upaya merubah diri siswa dalam meningkatkan kemampuan siswa sesuai
dengan potensi dan minatnya. Apapun strategi belajar-mengajar yang dipergunakan dalam
proses belajar mengajar haruslah diusahakan agar kadar keterlibatan mental siswa setinggi
mungkin.
Lebih jauh Djahiri (1993) mengemukakan bahwa kualitas suatu pengajaran diukur
dan ditentukan oleh sejauh mana kegiatan belajar-mengajar tertentu dapat merupakan alat
perubah tingkah laku individu ke arah yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Sehubungan dengan itu maka guru dalam mengelola kegiatan belajar-mengajar di kelas
hendaknya mampu mengembangkan pola interaksi antara berbagai pihak yang terlibat di
dalamnya. Guru harus pandai memotivasi siswa untuk terbuka, kreatif, responsif, interaktif,
dan evaluatif.
Demikian pula menurut Suwarma (2004) Pendidikan IPS sebagai salah satu
program pendidikan, dihadapkan kepada tantangan untuk mempersiapkan manusia Indonesia
yang mampu berkiprah dalam kehidupan masyarakat modern. Namun dewasa ini masih
dihadapkan kepada masalah peningkatan kualitas yang amat serius, bahkan diduga dapat
mengancam eksistensinya sebagai program pendidikan yang dapat membantu peserta didik
dalam mengembangkan kemampuan berfikir dan apresiasi dan internalisasi nilai.
Untuk melaksanakan sebagaimana yang diungkapkan di atas maka perlu adanya
pengembangan kurikulum IPS, yang mampu mengakomodasi semua tujuan dari pendidikan
IPS tersebut. Namun demikian perubahan kurikulum harus melihat realita kehidupan di
masyarakat, sehingga pembelajaran IPS dapat disampaikan kepada siswa bukan hanya
sebagai pengetahuan saja, akan tetapi dapat diterapkan langsung di masyarakat.

Analisis ketentuan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, kemudian


rumuskan arah pengembangan pembelajarannya.
Jawab :
Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan
pelaksanaan otonomi daerah dan wawasan demokrasi dalam penyelenggaraan pendidikan.
Hal ini berdampak pada sistem penyelenggaraan pendidikan dari sentralistik menuju
desentralistik. Desentralisasi penyelenggaraan pendidikan ini terwujud dalam UU No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Salah satu substansi yang didesentralisasi
adalah kurikulum. Lebih lanjut Pasal 36 ayat (1) dinyatakan bahwa “pengembangan
kurikulum dilakukan dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional”. Sekolah harus menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
dan silabusnya dengan cara melakukan penjabaran dan penyesuaian Standar Isi dan Standar
Kompetensi Lulusan. Untuk itu, sekolah/daerah harus mempersiapkan secara matang, karena
sebagian besar kebijakan yang berkaitan dengan implementasi Standar Nasional Pendidikan
dilaksanakan oleh sekolah/daerah. Penyusunan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan
jenjang pendidikan dasar dan menengah berpedoman pada panduan yang disusun oleh BSNP
(Pasal 16 ayat 1). Lebih lanjut dalam PP nomor 19 tahun 2005 Pasal 13 ayat (1) dinyatakan
bahwa “kurikulum untuk SMP/MTs/SMPLB atau bentuk lain yang sederajat,
SMA/MA/SMALB atau bentuk lain yang sederajat, SMK/MAK atau bentuk lain yang
sederajat dapat memasukkan pendidikan kecakapan hidup”. Ayat (2) pendidikan kecakapan
hidup sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) mencakup kecakapan personal (pribadi),
kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan vokasional. Sementara dalam
panduan KTSP yang dikeluarkan oleh BSNP, kurikulum untuk SD/MI/SDLB,
SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB, SMK/SMAK dapat memasukkan pendidikan
kecakapan hidup. Atas dasar itu, baik sekolah formal maupun non-formal memiliki
kepentingan untuk mengembangkan pembelajaran berorientasi kecakapan hidup.
Konsep kecakapan hidup sejak lama menjadi perhatian para ahli dalam
pengembangan kurikulum. Tyler (1947) dan Taba (1962) misalnya, mengemukakan bahwa
kecakapan hidup merupakan salah satu fokus analisis dalam pengembangan kurikulum
pendidikan yang menekankan pada kecakapan hidup dan bekerja. Pengembangan kecakapan
hidup itu mengedepankan aspek-aspek berikut: (1) kemampuan yang relevan untuk dikuasai
peserta didik, (2) materi pembelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik, (3)
kegiatan pembelajaran dan kegiatan peserta didik untuk mencapai kompetensi, (4) fasilitas,
alat dan sumber belajar yang memadai, dan (5) kemampuan-kemampuan yang dapat
diterapkan dalam kehidupan peserta didik. Kecakapan hidup akan memiliki makna yang luas
apabila kegiatan pembelajaran yang dirancang memberikan dampak positif bagi peserta didik
dalam membantu memecahkan problematika kehidupannya, serta mengatasi problematika
hidup dan kehidupan yang dihadapi secara proaktif dan reaktif guna menemukan solusi dari
permasalahannya.
Berdasarkan pernyataan di atas, sekolah/daerah memiliki kewenangan yang luas
untuk mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan kondisi peserta
didik, keadaan sekolah, potensi dan kebutuhan daerah. Berkenaan dengan itu, Indonesia yang
terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang memiliki keanekaragaman multikultur (adat
istiadat, tata cara, bahasa, kesenian, kerajinan, keterampilan daerah, dll) merupakan ciri khas
yang memperkaya nilai-nilai kehidupan bangsa. Keanekaragaman harus selalu dilestarikan
dan dikembangkan dengan tetap mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia melalui
upaya pendidikan kecakapan hidup. Pengenalan keadaan lingkungan, sosial, dan budaya
kepada peserta didik memungkinkan mereka untuk lebih mengakrabkan dengan lingkungan
kehidupan peserta didik. Pengenalan dan pengembangan lingkungan melalui pendidikan
diarahkan untuk menunjang peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan pada akhirnya
diarahkan untuk meningkatkan kompetensi peserta didik.
Kebijakan yang berkaitan dengan dimasukkannya program pendidikan kecakapan
hidup dalam Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dilandasi kenyataan
bahwa dalam pendidikan tidak hanya mengejar pengetahuan semata tetapi juga pada
pengembangan keterampilan, sikap, dan nilai-nilai tertentu yang dapat direfleksikan dalam
kehidupan peserta didik. Sekolah tempat program pendidikan dilaksanakan merupakan
bagian dari masyarakat. Oleh karena itu, program pendidikan kecakapan hidup di sekolah
perlu memberikan wawasan yang luas pada peserta didik mengenai keterampilan-
keterampilan tertentu yang berkaitan dengan pengalaman peserta didik dalam keseharian
pada lingkungannya. Untuk memudahkan pelaksanaan program pendidikan kecakapan hidup
diperlukan adanya model pengembangan yang bersifat umum untuk membantu guru/sekolah
dalam mengembangkan muatan kecakapan hidup dalam proses pembelajaran. Pendidikan
kecakapan hidup bukan merupakan mata pelajaran yang berdiri sendiri melainkan terintegrasi
melalui matapelajaran-matapelajaran, sehingga pedidikan kecapakan hidup dapat merupakan
bagian dari semua mata pelajaran yang ada.
Di samping itu perlu kesadaran bersama bahwa peningkatan mutu pendidikan
merupakan komitmen untuk meningkatkan mutu sumberdaya manusia, baik sebagai pribadi
maupun sebagai modal dasar pembangunan bangsa, dan pemerataan daya tampung
pendidikan harus disertai dengan pemerataan mutu pendidikan sehingga mampu menjangkau
seluruh masyarakat. Oleh kerenanya pendidikan harus dapat mengembangkan potensi peserta
didik agar berani menghadapi problema yang dihadapi tanpa merasa tertekan, mau dan
mampu, serta senang mengembangkan diri untuk menjadi manusia unggul. Pendidikan juga
diharapkan mampu mendorong peserta didik untuk memelihara diri sendiri, sambil
meningkatkan hubungan dengan Tuhan YME, masyarakat, dan lingkungannya. Dengan
demikian jelas bahwa perlu dirancang suatu model pendidikan kecakapan hidup untuk
membantu guru/sekolah dalam membekali peserta didik dengan berbagai kecakapan hidup,
yang secara integratif memadukan potensi generik dan spesifik guna memecahkan dan
mengatasi problema hidup peserta didik dalam kehidupan di masyarakat dan lingkungannya
baik secara lokal maupun global. Panduan ini merupakan suatu model atau contoh yang dapat
digunakan sebagai acuan sekolah atau guru dalam mengembangkan pembelajaran
berorientasi kecakapan hidup sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah bersangkutan.
Tujuan dari pendidikan kecakapan hidup terdiri atas, tujuan umum dan tujuan khusus.
Secara umum pendidikan kecakapan hidup bertujuan memfungsikan pendidikan sesuai
dengan fitrahnya, yaitu mengembangkan potensi peserta didik dalam menghadapi perannya
di masa mendatang. Secara khusus bertujuan untuk:
1. mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk
memecahkan problema yang dihadapi, misalnya: masalah narkoba, lingkungan sosial,
dsb
2. memberikan wawasan yang luas mengenai pengembangan karir peserta didik
3. memberikan bekal dengan latihan dasar tentang nilai-nilai yang berkaitan dengan
kehidupan sehari-hari
4. memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran yang
fleksibel dan kontekstual
5. mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya di lingkungan sekolah, dengan memberi
peluang pemanfaatan sumberdaya yang ada di masyarakat sesuai dengan prinsip
manajemen berbasis sekolah
Banyak pendapat dan literatur yang mengemukakan bahwa pengertian kecakapan
hidup bukan sekedar keterampilan untuk bekerja (vokasional) tetapi memiliki makna yang
lebih luas. WHO (1997) mendefinisikan bahwa kecakapan hidup sebagai keterampilan atau
kemampuan untuk dapat beradaptasi dan berperilaku positif, yang memungkinkan seseorang
mampu menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan dalam kehidupan secara lebih efektif.
Kecakapan hidup mencakup lima jenis, yaitu: (1) kecakapan mengenal diri, (2) kecakapan
berpikir, (3) kecakapan sosial, (4) kecakapan akademik, dan (5) kecakapan kejuruan.
Barrie Hopson dan Scally (1981) mengemukakan bahwa kecakapan hidup merupakan
pengembangan diri untuk bertahan hidup, tumbuh, dan berkembang, memiliki kemampuan
untuk berkomunikasi dan berhubungan baik secara individu, kelompok maupun melalui
sistem dalam menghadapi situasi tertentu. Sementara Brolin (1989) mengartikan lebih
sederhana yaitu bahwa kecakapan hidup merupakan interaksi dari berbagai pengetahuan dan
kecakapan sehingga seseorang mampu hidup mandiri. Pengertian kecakapan hidup tidak
semata-mata memiliki kemampuan tertentu (vocational job), namun juga memiliki
kemampuan dasar pendukung secara fungsional seperti: membaca, menulis, dan berhitung,
merumuskan dan memecahkan masalah, mengelola sumber daya, bekerja dalam kelompok,
dan menggunakan teknologi (Dikdasmen, 2002).
Dari pengertian di atas, dapat diartikan bahwa pendidikan kecakapan hidup
merupakan kecakapan-kecakapan yang secara praksis dapat membekali peserta didik dalam
mengatasi berbagai macam persoalan hidup dan kehidupan. Kecakapan itu menyangkut aspek
pengetahuan, sikap yang didalamnya termasuk fisik dan mental, serta kecakapan kejuruan
yang berkaitan dengan pengembangan akhlak peserta didik sehingga mampu menghadapi
tuntutan dan tantangan hidup dalam kehidupan. Pendidikan kecakapan hidup dapat dilakukan
melalui kegiatan intra/ekstrakurikuler untuk mengembangkan potensi peserta didik sesuai
dengan karakteristik, emosional, dan spiritual dalam prospek pengembangan diri, yang
materinya menyatu pada sejumlah mata pelajaran yang ada. Penentuan isi dan bahan
pelajaran kecakapan hidup dikaitkan dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan agar peserta
didik mengenal dan memiliki bekal dalam menjalankan kehidupan dikemudian hari. Isi dan
bahan pelajaran tersebut menyatu dalam mata pelajaran yang terintegrasi sehingga secara
struktur tidak berdiri sendiri.
Menurut konsepnya, kecakapan hidup dapat dibagi menjadi dua jenis utama, yaitu:
a) Kecakapan hidup generik (generic life skill/GLS), dan
b) Kecakapan hidup spesifik (specific life skill/SLS).
Masing-masing jenis kecakapan itu dapat dibagi menjadi sub kecakapan. Kecakapan hidup
generik terdiri atas kecakapan personal (personal skill), dan kecakapan sosial (social skill).
Kecakapan personal mencakup kecakapan dalam memahami diri (self awareness skill) dan
kecakapan berpikir (thinking skill). Kecakapan mengenal diri pada dasarnya merupakan
penghayatan diri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, sebagai anggota masyarakat dan
warga negara, serta menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimiliki
sekaligus sebagai modal dalam meningkatkan dirinya sebagai individu yang bermanfaat bagi
lingkungannya. Kecapakan berpikir mencakup antara lain kecakapan mengenali dan
menemukan informasi, mengolah, dan mengambil keputusan, serta memecahkan masalah
secara kreatif. Sedangkan dalam kecakapan sosial mencakup kecakapan berkomunikasi
(communication skill) dan kecakapan bekerjasama (collaboration skill).
Kecakapan hidup spesifik adalah kecakapan untuk menghadapi pekerjaan atau
keadaan tertentu. Kecakapan ini terdiri dari kecakapan akademik (academic skill) atau
kecakapan intelektual, dan kecakapan vokasional (vocational skill). Kecakapan akademik
terkait dengan bidang pekerjaan yang lebih memerlukan pemikiran atau kerja intelektual.
Kecakapan vokasional terkait dengan bidang pekerjaan yang lebih memerlukan keterampilan
motorik. Kecakapan vokasional terbagi atas kecakapan vokasional dasar (basic vocational
skill) dan kecakapan vokasional khusus (occupational skill).
Menurut konsep di atas, kecakapan hidup adalah kemampuan dan keberanian untuk
menghadapi problema kehidupan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari dan
menemukan solusi untuk mengatasinya. Pendidikan berorientasi kecakapan hidup bagi
peserta didik adalah sebagai bekal dalam menghadapi dan memecahkan problema hidup dan
kehidupan, baik sebagai pribadi yang mandiri, warga masyarakat, maupun sebagai warga
negara. Apabila hal ini dapat dicapai, maka ketergantungan terhadap ketersediaan lapangan
pekerjaan, yang berakibat pada meningkatnya angka pengangguran, dapat diturunkan, yang
berarti produktivitas nasional akan meningkat secara bertahap. (Depdiknas, diolah)
Konsep kecakapan hidup sebagaimana telah dijelaskan di atas, dapat diilustrasikan
sebagai berikut:

Personal skill Mengenal diri

Berpikir rasional Generic life skill


LIF
E Social skill
SK
IL
L Academic skill

Specific life skill

Vocational skill
Konsep pendidikan kecakapan hidup atau life skill education dalam kurun waktu 3-4
tahun menjadi wacana yang gencar dikumandangkan jajaran Departemen Pendidikan
Nasional yang bahkan sampai hari ini telah menjadi suatu kebijakan pemerintah dalam
bidang pendidikan. Tidak kalah pentingnya, dalam rancangan kurikulum berbasis kompetensi
(KBK) secara tersirat telah mengakomodasi kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada
pencapaian kecakapan hidup bagi setiap peserta didik. Hal ini diperkuat dengan terbitnya PP
nomor 19 Tahun 2005 Pasal 13 dan Panduan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
yang dikeluarkan oleh BSNP, bahwa pada tingkat pendidikan dasar dan menengah atau
sederajat dapat memasukkan pendidikan kecakapan hidup. Baik PP maupun dalam panduan
BSNP tersebut tidak memberikan ketegasan bahwa sekolah diharuskan memasukkan
pendidikan kecakapan hidup. Namun demikian, apabila sekolah akan mengimplementasikan
pendidikan kecakapan hidup dalam proses pembelajaran, hal ini berimplikasi terhadap
perlunya sekolah menyiapkan seperangkat pendukung pelaksanaan pembelajaran yang
mengembangkan kegiatan-kegiatan yang berorientasi kepada kecakapan hidup.
Pengembangan tersebut menyangkut pengembagan dimensi manusia seutuhnya yaitu
pada aspek-aspek moral, akhlak, budi pekerti, pengetahuan, keterampilan, kesehatan, seni dan
budaya. Pengembangan aspek-aspek tersebut bermuara pada peningkatan pengembangan
kecakapan hidup yang diwujudkan melalui pencapaian kompetensi peserta didik untuk
bertahan hidup serta menyesuaikan diri agar berhasil dalam kehidupan. Oleh karena itu,
pendidikan kecakapan hidup dalam KTSP terintegrasi melalui kegiatan-kegiatan
pembelajaran yang ada pada setiap mata pelajaran, sehingga tidak berdampak pada alokasi
waktu yang ditetapkan.
Pendidikan kecakapan hidup sudah menjadi suatu kebijakan seiring dengan
berlakunya Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan. Standar isi dan standar kompetensi
lulusan tersebut menjadi acuan daerah/sekolah dalam mengembangkan kurikulum tingkat
satuan pendidikan (KTSP) pada masing-masing jenjang pendidikan. Oleh karena itu,
pengembangan kecakapan hidup dengan sendirinya harus mengacu kepada standar-standar
yang telah ditetapkan pemerintah. Standar isi dan standar kompetensi lulusan merupakan
salah satu bagian dari Standar Nasional Pendidikan. Standar isi terdiri dari: ruang lingkup
materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan,
kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus
dipenuhi oleh satuan pendidikan. Dokumen standar isi mencakup: (1) kerangka dasar
kurikulum, (2) struktur kurikulum, (3) standar kompetensi dan kompetensi dasar, (4) beban
belajar, dan (5) kalender pendidikan.
Muatan wajib yang harus ada dalam kurikulum adalah: pendidikan agama; pendidikan
kewarganegaraan; bahasa; matematika; ilmu pengetahuan alam; ilmu pengetahuan sosial;
seni dan budaya; pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan; keterampilan/kejuruan;
muatan lokal; dan pengembangan diri. Masing-masing muatan memiliki tujuan pendidikan
yang berbeda dan berpeluang untuk memasukkan kecakapan hidup secara terintegratif.
Keberhasilan pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup sangat ditentukan oleh
program/rancangan yang disusun sekolah dan kreativitas guru dalam merumuskan dan
menentukan metode pembelajarannya. Langkah-langkah yang ditempuh dalam penyusunan
program pembelajaran sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi standar kompetensi dan kompetensi dasar
2. Mengidentifikasi bahan kajian/materi pembelajaran
3. Mengembangkan indikator
4. Mengembangkan kegiatan pembelajaran yang bermuatan
kecakapan hidup
5. Menentukan bahan/alat/sumber yang digunakan
6. Mengembangkan alat penilaian yang sesuai dengan aspek
kecakapan hidup
Pendidikan kecakapan hidup dikembangkan dengan memperhatikan beberapa hal
berikut:
1. Pembentukan kepribadian peserta didik secara utuh baik
keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia
2. Mengakomodasi semua mata pelajaran untuk dapat menunjang
peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia, serta meningkatkan toleransi dan
kerukunan antar umat beragama dengan mempertimbangkan norma-norma agama
yang berlaku
3. Memungkinkan pengembangan keragaman potensi, minat dan
bakat, kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, dan kinestetik peserta didik secara
optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya
4. Sesuai tuntutan dunia kerja dan kebutuhan kehidupan
Program kecakapan hidup hendaknya memungkinkan untuk membekali peserta didik
dalam memasuki dunia kerja/usaha serta relevan dengan kebutuhan kehidupan sesuai
dengan tingkat perkembangan peserta didik
5. Kecakapan-kecakapan yang perlu dikembangkan mencakup: kecakapan personal,
sosial, akademis, dan vokasional
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
6. Mempertimbangkan lima kelompok mata pelajaran berikut:
a) Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia
b) Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian
c) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi
d) Kelompok mata pelajaran estetika
e) Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan
Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam
materi pembelajaran/bahan kajian, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian
kompetensi untuk proses penilaian. Dalam mengembangkan silabus dan perangkat lainnya
mengacu pada Standar Isi yang ditetapkan oleh BSNP. Langkah-langkah pengembangan
silabus secara umum mencakup:
1. Menentukan standar kompetensi
2. Menentukan kompetensi dasar
3. Mengembangkan indikator, sebagai penjabaran dari SK dan KD
4. Menentukan materi pembelajaran
5. Merumuskan dan mengembangkan kegiatan pembelajaran yang berorientasi
kecakapan hidup
6. Mempertimbangkan alokasi waktu
7. Menentukan media/alat/sumber/bahan yang sesuai
8. Menentukan jenis dan bentuk penilaian
Uraian masing-masing langkah dalam pengembangan silabus adalah sebagai berikut:
a. Menentukan Standar Kompetensi
Standar kompetensi adalah kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang
menggambarkan penguasaan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diharapkan
dicapai. Standar kompetensi yang dipilih atau digunakan sesuai dengan yang terdapat
dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran. Sebelum menentukan
atau memilih standar kompetensi, terlebih dahulu mengkaji standar kompetensi dan
kompetensi dasar mata pelajaran dengan memperhatikan hal-hal berikut:
1) urutan berdasarkan hierarki konsep disiplin ilmu dan/atau tingkat kesulitan materi;
2) keterkaitan antar standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam mata pelajaran;
3) keterkaitan standar kompetensi dan kompetensi dasar antar mata pelajaran.
b. Menentukan Kompetensi Dasar
Kompetensi dasar merupakan sejumlah kemampuan yang harus dimiliki peserta didik
dalam mata pelajaran tertentu sebagai rujukan untuk menyusun indikator kompetensi.
Kompetensi dasar yang digunakan atau dipilih sesuai dengan yang tercantum dalam
standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran. Sebelum menentukan atau
memilih kompetensi dasar, terlebih dahulu mengkaji standar kompetensi dan kompetensi
dasar mata pelajaran dengan memperhatikan hal-hal berikut:
1) urutan berdasarkan hierarki konsep disiplin ilmu dan/atau tingkat kesulitan materi;
2) keterkaitan antar standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam mata pelajaran;
3) keterkaitan standar kompetensi dan kompetensi dasar antar mata pelajaran.
c. Merumuskan Indikator
Indikator merupakan penjabaran dari kompetensi dasar yang menunjukkan tanda-
tanda, perbuatan dan atau respon yang dilakukan atau ditampilkan oleh peserta
didik. Indikator dirumuskan sesuai dengan karakteristik satuan pendidikan,
potensi peserta didik, dan dirumuskan dalam kata kerja operasional yang terukur
dan atau dapat diobservasi. Indikator digunakan sebagai dasar dalam menyusun
alat penilaian. Kriteria merumuskan indikator:
1) sesuai tingkat perkembangan berpikir peserta didik.
2) berkaitan dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar.
3) memperhatikan aspek manfaat dalam kehidupan sehari-hari
4) harus dapat menunjukkan pencapaian hasil belajar peserta didik secara utuh
[kognitif (pengetahuan dan pengembangan konsep), afektif (sikap), dan
psikomotor (keterampilan)]
5) memperhatikan sumber-sumber belajar yang relevan
6) dapat diukur/dapat dikuantifikasi
7) memperhatikan ketercapaian standar lulusan secara nasional
8) berisi kata kerja operasional
9) tidak mengandung pengertian ganda (ambigu)
d. Mengidentifikasi Materi Pembelajaran
Dalam mengidentifikasi materi pembelajaran harus mempertimbangkan:
1) tingkat perkembangan fisik
2) tingkat perkembangan intelektual
3) tingkat perkembangan emosional
4) tingkat perkembangan sosial
5) tingkat perkembangan spritual
6) nilai guna dan manfaat
7) struktur keilmuan
8) kedalaman dan keluasan materi
9) relevansi dengan kebutuhan dan tuntutan lingkungan
10) alokasi waktu
Selain itu juga harus memperhatikan beberapa hal berikut:
1) validitas materi; artinya materi harus teruji kebenaran dan kesahihannya
2) tingkat kepentingan; materi yang diajarkan memang benar-benar diperlukan
oleh peserta didik
3) kebermanfaatan : materi memberikan dasar-dasar pengetahuan dan
keterampilan pada jenjang berikutnya
4) layak dipelajari : materi layak dipelajari baik dari aspek tingkat kesulitan
maupun aspek pemanfaatan bahan ajar
5) menarik minat (interest): materinya menarik minat peserta didik dan
memotivasinya untuk mempelajari lebih lanjut
e. Mengembangkan Kegiatan pembelajaran
Kegiatan pembelajaran adalah kegiatan fisik maupun mental yang dilakukan peserta didik
dalam berinteraksi dengan bahan ajar. Kriteria dalam mengembangkan kegiatan
pembelajaran sebagai berikut:
1) kegiatan pembelajaran disusun bertujuan untuk memberikan bantuan
kepada guru, agar mereka dapat bekerja dan melaksanakan proses
pembelajaran secara profesional sesuai dengan tuntutan kurikulum
2) kegiatan pembelajaran disusun berdasarkan atas satu tuntutan kompetensi
dasar secara utuh
3) kegiatan pembelajaran memuat rangkaian kegiatan yang harus dilakukan
oleh peserta didik secara berurutan untuk mencapai kompetensi dasar
4) kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik (student centered)
5) mengandung kegiatan-kegiatan yang mendorong peserta didik mencapai
kompetensi
6) materi kegiatan pembelajaran dapat berupa pengetahuan, sikap, dan
keterampilan
7) perumusan kegiatan pembelajaran harus jelas materi/konten yang ingin
dikuasai peserta didik
8) penentuan urutan langkah pembelajaran sangat penting artinya bagi materi-
materi yang memerlukan prasyarat tertentu
9) pendekatan pembelajaran yang digunakan bersifat spiral (mudah-sukar;
konkret-abstrak; dekat-jauh) dan juga memerlukan urutan pembelajaran yang
terstruktur
10) rumusan pernyataan dalam kegiatan pembelajaran minimal mengandung
dua unsur penciri yang mencerminkan pengelolaan kegiatan pembelajaran
peserta didik, yaitu kegiatan peserta didik dan materi
Dalam memilih kegiatan peserta didik perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai
berikut:
 memberikan peluang bagi peserta didik untuk mencari, mengolah dan
menemukan sendiri pengetahuan, di bawah bimbingan guru
 mencerminkan ciri khas dalam pengembangan kemampuan mata pelajaran.
 disesuaikan dengan kemampuan peserta didik, sumber belajar dan sarana yang
tersedia
 bervariasi dengan mengkombinasikan kegiatan individu atau perorangan,
berpasangan, kelompok, dan klasikal
 memperhatikan pelayanan terhadap perbedaan individual peserta didik seperti:
bakat, minat, kemampuan, latar belakang keluarga, sosial-ekonomi dan budaya
serta masalah khusus yang dihadapi peserta didik yang bersangkutan.
f. Menentukan Jenis dan Bentuk Penilaian
Penilaian merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan
menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan
secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang
bermakna dalam pengambilan keputusan. Kriteria penilaian:
1) penulisan jenis penilaian harus disertai dengan aspek-aspek yang akan
dinilai sehingga memudahkan dalam pembuatan soal-soalnya
2) penilaian diarahkan untuk mengukur pencapaian indikator.
3) penilaian menggunakan acuan kriteria; yaitu berdasarkan apa yang bisa
dilakukan peserta didik setelah peserta didik mengikuti proses pembelajaran,
dan bukan untuk menentukan posisi seseorang terhadap kelompoknya.
4) sistem penilaian yang berkelanjutan, artinya semua indikator ditagih,
kemudian hasilnya dianalisis untuk menentukan kompetensi dasar yang telah
dimiliki dan yang belum, serta untuk mengetahui kesulitan peserta didik.
5) hasil penilaian dianalisis untuk menentukan tindakan perbaikan, berupa
program remedi. Apabila peserta didik belum menguasai suatu kompetensi
dasar, ia harus mengikuti proses pembelajaran lagi (remedial), sedang bila
telah menguasai kompetensi dasar, ia diberi tugas pengayaan.
6) dalam sistem penilaian berkelanjutan, guru harus membuat kisi-kisi
penilaian dan rancangan penilaian secara menyeluruh untuk satu semester
dengan menggunakan teknik penilaian yang tepat
7) penilaian dilakukan untuk menyeimbangkan berbagai aspek pembelajaran:
kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan menggunakan berbagai model
penilaian, formal dan tidak formal secara berkesinambungan.
8) penilaian merupakan suatu proses pengumpulan pelajaran dan penggunaan
informasi tentang hasil belajar peserta didik dengan menerapkan prinsip
penilaian berkelanjutan, bukti-bukti otentik, akurat dan konsisten sebagai
akuntabilitas publik.
9) penilaian merupakan proses identifikasi pencapaian kompetensi dan hasil
belajar yang dikemukakan melalui pernyataan yang jelas tentang standar yang
harus dan telah dicapai disertai dengan peta kemajuan hasil belajar peserta
didik.
10) penilaian berorientasi pada standar kompetensi, kompetensi dasar dan
indikator Dengan demikian hasil penilaian akan memberikan gambaran
mengenai perkembangan pencapaian kompetensi.
11) penilaian dilakukan secara berkelanjutan (direncanakan dan dilakukan
terus-menerus) guna mendapatkan gambaran yang utuh mengenai
perkembangan penguasaan kompetensi oleh peserta didik, baik sebagai efek
langsung (main effect) maupun efek pengiring (nurturant effect) dari proses
pembelajaran.
12) sistem penilaian harus disesuaikan dengan kegiatan pembelajaran yang
ditempuh dalam proses pembelajaran. Misalnya, jika pembelajaran
menggunakan pendekatan tugas observasi lapangan maka evaluasi harus
diberikan baik pada proses (keterampilan proses) misalnya teknik wawancara,
maupun produk/hasil melakukan observasi lapangan yang berupa informasi
yang dibutuhkan.
g. Mempertimbangkan Alokasi Waktu
Alokasi waktu adalah waktu yang dibutuhkan untuk ketercapaian satu kompetensi
dasar, dengan memperhatikan:
1) minggu efektif per semester
2) alokasi waktu per mata pelajaran
3) jumlah kompetensi per semester
Apabila pendidikan kecakapan hidup dilakukan secara terintegrasi dengan mata
pelajaran.
h. Menentukan Sumber/Bahan/Alat/Media
1) Sumber
Merupakan rujukan, referensi atau literatur yang digunakan dalam penyusunan
silabus atau pembelajaran.
2) Bahan
Bahan adalah segala sesuatu yang diperlukan dalam proses praktikum atau
pembelajaran lain, misalnya: milimeter blok, benang, daun, kertas, tanah liat,
glukosa, dan bahan lain yang relevan
3) Alat/Media
Alat/media adalah segala sesuatu yang digunakan dalam proses pembelajaran
baik melalui praktikum maupun pembelajaran lainnya, misalnya: slide, alat
bantu belajar, mikroskop, gelas ukur, globe, harmonika, matras, dan
sebagainya.
Dalam implementasinya, silabus perlu dijabarkan dalam rencana pelaksanaan
pembelajaran. Oleh karena itu, silabus harus dikaji dan dikembangkan secara berkelanjutan
dengan memperhatikan masukan dari evaluasi hasil belajar, evaluasi proses (pelaksanaan
pembelajaran), dan evaluasi rencana pembelajaran.
Pada intinya pendidikan kecakapan hidup membantu peserta didik dalam
mengembangkan kemampuan belajar, menyadari dan mensyukuri potensi diri untuk
dikembangkan dan diamalkan, berani menghadapi problema kehidupan, serta
memecahkannya secara kreatif. Pendidikan kecakapan hidup bukanlah mata pelajaran,
sehingga dalam pelaksanaannya tidak perlu merubah kurikulum dan menciptakan mata
pelajaran baru. Yang diperlukan disini adalah mereorientasi pendidikan dari mata pelajaran
ke orientasi pendidikan kecakapan hidup melalui pengintegrasian kegiatan-kegiatan yang
pada prinsipnya membekali peserta didik terhadap kemampuan-kemampuan tertentu agar
dapat diterapkan dalam kehidupan keseharian peserta didik. Pemahaman ini memberikan arti
bahwa mata pelajaran dipahami sebagai alat dan bukan tujuan untuk mengembangkan
kecakapan hidup yang nantinya akan digunakan oleh peserta didik dalam menghadapi
kehidupan nyata. Prinsip-prinsip pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup sebagai berikut:
1. Tidak mengubah sistem pendidikan yang berlaku
2. Tidak mengubah kurikulum yang berlaku
3. Pembelajaran menggunakan prinsip empat pilar, yaitu: belajar untuk tahu, belajar menjadi
diri sendiri, belajar untuk melakukan, dan belajar untuk mencapai kehidupan bersama
4. Belajar konstekstual (mengkaitkan dengan kehidupan nyata) dengan menggunakan
potensi lingkungan sekitar sebagai wahana pendidikan
5. Mengarah kepada tercapainya hidup sehat dan berkualitas, memperluas wawasan dan
pengetahuan, dan memiliki akses untuk memenuhi standar hidup secara layak.
Keempat dimensi kecakapan hidup secara berkelanjutan harus dimiliki oleh peserta
didik sejak TK hingga sekolah menengah, dan bahkan perguruan tinggi sekalipun. Akan
tetapi dalam praktik pengembangannya, penekanan pendidikan kecakapan hidup tetap
mempertimbangkan tingkat perkembangan peserta didik sesuai dengan jenis dan jenjang
pendidikan. Kecakapan hidup pada TK dan sekolah dasar (SD) berbeda dengan sekolah
menengah pertama (SMP), demikian pula kecakapan hidup pada sekolah menengah pertama
berbeda dengan sekolah menengah atas (SMA), bergantung kepada tingkat perkembagan
psikologis dan fisiologis peserta didik. Gambar berikut ini merupakan contoh dominasi
pendidikan kecakapan hidup pada jenis/jenjang pendidikan TK/SD/ SMP, SMA, dan SMK.
Peningkatan mutu pendidikan merupakan sebuah komitmen bersama yang harus
dipegang teguh. Oleh karena itu, pendidikan kecakapan hidup sebagai salah satu upaya dalam
melahirkan generasi yang bukan hanya mampu hidup tetapi juga mampu bertahan hidup, dan
bahkan dapat unggul (excel) dalam kehidupan dikemudian hari. Contoh dominasi pendidikan
kecakapan hidup sebagaimana dipaparkan dalam gambar di atas, memperlihatkan bahwa
pendidikan kecapakan hidup pada jenjang TK/SD/SMP lebih menekankan kepada kecakapan
hidup umum (generic life skill), yaitu mencakup aspek kecakapan personal (personal skill)
dan kecakapan sosial (social skill). Hal ini memberikan gambaran bahwa untuk jenjang yang
lebih rendah lebih berorientasi pada kecakapan hidup yang bersifat dasar/umum sesuai
dengan tingkat perkembangannya. Bukan berarti bahwa pada jenjang ini tidak perlu
dikembangkan kecakapan hidup spesifik (specific life skill), yakni kecakapan akademik dan
vokasional, akan tetapi apabila dikembangkan maka baru pada tataran awal, misalnya
berpikir kritis dan rasional, menumbuhkan sikap jujur dan toleransi.
Aspek dasar yang harus dimiliki peserta didik pada jenjang pendidikan TK/SD/SMP
adalah kecakapan personal dan sosial yang sering disebut sebagai kecakapan generik (generic
life skill). Proses pembelajaran dengan pembenahan aspek personal dan sosial merupakan
prasyarat yang harus diupayakan berlangsung pada jenjang ini. Peserta didik pada usia
TK/SD/SMP tidak hanya membutuhkan kecakapan membaca-membaca-berhitung, melainkan
juga butuh suatu kecakapan lain yang mengajaknya untuk cakap bernalar dan memahami
kehidupan secara arif, sehingga pada masanya peserta didik dapat berkembang, kreatif,
produktif, kritis, jujur untuk menjadi manusia-manusia yang unggul dan pekerja keras.
Pendidikan kecakapan hidup pada jenjang ini lebih menekankan kepada pembelajaran akhlak
sebagai dasar pembentukan nilai-nilai dasar kebajikan (basic goodness), seperti: kejujuran,
kebaikan, kepatuhan, keadilan, etos kerja, kepahlawanan, menjaga kebersihan diri dan
lingkungan, serta kemampuan bersosialisasi.
a. Kecakapan personal (personal skill)
Kecapakan personal mencakup kesadaran diri dan berpikir rasional. Kesadaran diri
merupakan tuntutan mendasar bagi peserta didik untuk mengembangkan potensi dirinya di
masa mendatang. Kesadaran diri dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) kesadaran akan
eksistensi diri sebagai makhluk Tuhan YME, makhluk sosial, dan makhluk lingkungan, dan
(2) kesadaran akan potensi diri dan dorongan untuk mengembangkannya. (Dikdasmen,
2004 diolah).
(1) Kesadaran diri difokuskan pada kemampuan peserta didik untuk melihat sendiri potret
dirinya
Pada tataran yang lebih rendah peserta didik akan melihat dirinya dalam hubungannya
dengan lingkungan keluarga, kebiasaannya, kegemarannya, dan sebagainya. Pada
tataran yang lebih tinggi, peserta didik akan semakin memahami posisi drinya di
lingkungan kelasnya, sekolahnya, desanya, kotanya, dan seterusnya, minat, bakat, dan
sebagainya.
(2) Kecakapan berpikir merupakan kecakapan dalam menggunakan rasio atau pikiran.
Kecakapan ini meliputi kecakapan menggali informasi, mengolah informasi, dan
mengambil keputusan secara cerdas, serta mampu memecahkan masalah secara tepat
dan baik. Pada jenjang pendidikan menengah (SMP dan SMA) ketiga kecakapan
tersebut jauh lebih kompleks ketimbang dengan tingkat sekolah dasar (SD).
Sebagaimana diketahui bahwa dalam kurikulum berbasis kompetensi (KBK),
kemampuan berpikir mengambil keputusan secara cerdas dan memecahkan masalah
secara baik dan tepat menjadi isue utama dalam pembelajaran kecakapan hidup pada
peserta didik sekolah menengah (Wasino 2004, diolah).
b. Kecakapan sosial (social skill)
Kecakapan sosial dapat dipilah menjadi dua jenis utama, yaitu (1) kecakapan
berkomunikasi, dan (2) kecakapan bekerjasama
(1) Kecakapan berkomunikasi
Kecakapan berkomunikasi dapat dilakukan baik secara lisan maupun tulisan. Sebagai
makhluk sosial yang hidup dalam masyarakat tempat tinggal maupun tempat kerja,
peserta didik sangat memerlukan kecakapan berkomunikasi baik secara lisan maupun
tulisan. Dalam realitasnya, komunikasi lisan ternyata tidak mudah dilakukan.
Seringkali orang tidak dapat menerima pendapat lawan bicaranya, bukan karena isi
atau gagasannya tetapi karena cara penyampaiannya yang kurang berkenan. Dalam
hal ini diperlukan kemampuan bagaimana memilih kata dan cara menyampaikan agar
mudah dimengerti oleh lawan bicaranya. Karena komunikasi secara lisan adalah
sangat penting, maka perlu ditumbuhkembangkan sejak dini kepada peserta didik.
Lain halnya dengan komunikasi secara tertulis. Dalam hal ini diperlukan kecakapan
bagaimana cara menyampaikan pesan secara tertulis dengan pilihan kalimat, kata-
kata, tata bahasa, dan aturan lainnya agar mudah dipahami orang atau pembaca lain.
(2) Kecakapan bekerjasama
Bekerja dalam kelompok atau tim merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat
dielakkan sepanjang manusia hidup. Salah satu hal yang diperlukan untuk bekerja
dalam kelompok adalah adanya kerjasama. Kemampuan bekerjasama perlu
dikembangkan agar peserta didik terbiasa memecahkan masalah yang sifatnya agak
kompleks. Kerjasama yang dimaksudkan adalah bekerjasama adanya saling
pengertian dan membantu antar sesama untuk mencapai tujuan yang baik, hal ini agar
peserta didik terbiasa dan dapat membangun semangat komunitas yang harmonis.
c. Kecakapan akademik (academic skill)
Kecakapan akademik seringkali disebut juga kecakapan intelektual atau kemampuan
berpikir ilmiah yang pada dasarnya merupakan pengembangan dari kecakapan berpikir
secara umum, namun mengarah kepada kegiatan yang bersifat keilmuan. Kecakapan ini
mencakup antara lain kecakapan mengidentifikasi variabel, menjelaskan hubungan suatu
fenomena tertentu, merumuskan hipotesis, merancang dan melaksanakan penelitian.
Untuk membangun kecakapan-kecakapan tersebut diperlukan pula sikap ilmiah, kritis,
obyektif, dan transparan.
d. Kecakapan vokasional (vocational skill)
Kecakapan ini seringkali disebut dengan kecakapan kejuruan, artinya suatu kecakapan
yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di masyarakat atau
lingkungan peserta didik. Kecakapan vokasional lebih cocok untuk peserta didik yang
menekuni pekerjaan yang mengandalkan keterampilan psikomotorik daripada kecakapan
berpikir ilmiah. Namun bukan berarti peserta didik SMP dan SMA tidak layak untuk
menekuni bidang kejuruan seperti ini. Misalnya merangkai dan mengoperasikan
komputer. Kecakapan vokasional memiliki dua bagian, yaitu: kecakapan vokasional dasar
dan kecakapan vokasional khusus yang sudah terkait dengan bidang pekerjaan tertentu
seperti halnya pada peserta didik di SMK. Kecakapan dasar vokasional bertalian dengan
bagaimana peserta didik menggunakan alat sederhana, misalnya: obeng, palu, dsb;
melakukan gerak dasar, dan membaca gambar sederhana. Kecakapan ini terkait dengan
sikap taat asas, presisi, akurasi, dan tepat waktu yang mengarah kepada perilaku
produktif. Sedangkan vokasional khusus hanya diperlukan bagi mereka yang akan
menekuni pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya. Misalnya pekerja montir, apoteker,
tukang, tehnisi, atau meramu menu bagi yang menekuni pekerjaan tata boga, dan
sebagainya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pendidikan kecakapan hidup yang diberikan
sampai dengan jenjang sekolah menengah lebih berorientasi pada upaya mempersiapkan
peserta didik menghadapi era informasi dan era globalisasi. Pada intinya pendidikan
kecakapan hidup ini membantu dan membekali peserta didik dalam pengembangan
kemampuan belajar, menyadari Kecakadan mensyukuri potensi diri, berani menghadapi problema
Substan
kehidupan, serta mampu memecahkan pansi persoalan secara kreatif. Pendidikan kecakapan hidup
bukan mata pelajaran baru, akan Matpel
Hidup
tetapi sebagai alat dan bukan sebagai tujuan. Penerapan
konsep pendidikan kecakapan hidup terkait dengan kondisi peserta didik dan lingkungannya
seperti substansi yang dipelajari, karakter peserta didik, kondisi sekolah dan lingkungannya.
Lebih lanjut penekanan pembelajaran kecakapan hidup pada masing-masing jenjang
dapat digambarkan sebagai berikut

| | | | | |
TK SD SMP SMA S1 S2 dst ...
Gambar di atas menunujukkan penekanan porsi pembelajaran antara kecakapan hidup
dan substansi mata pelajaran yang ada di masing-masing jenjang pendidikan. Pada jenjang
TK/SD/SMP, porsi kecakapan hidup sangat besar dan porsi substansi mata pelajaran masih
kecil. Sedangkan pada jenjang SMA, porsi kecakapan hidup makin berkurang dan substansi
mata pelajaran semakin bertambah. Begitu pula pada jenjang S1 dan S2, porsi kecakapan
hidup semakin berkurang karena porsi akademik semakin besar.
Prinsip pembelajaran kecapakan hidup lebih kepada pembelajaran kontekstual, yaitu
adanya keterkaitan antara kehidupan nyata dengan lingkungan dan pengalaman peserta didik.
Lebih lanjut hubungan antara mata pelajaran, kecakapan hidup, dan kehidupan nyata dapat
digambarkan sebagai berikut.

MATA
PELAJARAN

LIFE SKILL
Kontribusi hasil
pembelajaran

KEHIDUPAN NYATA

Pendidikan kecakapan hidup bukan sebagai mata pelajaran melainkan bagian dari
materi pendidikan yang terintegrasi dalam mata pelajaran. Perangkat pembelajaran untuk
semua jenis baik mata pelajaran maupun jenjang pendidikan yang mengintegrasikan
kecakapan hidup, dirancang/disusun secara kontekstual, sebagaimana digambarkan dalam
ilustrasi berikut ini.
Semua jenis mata Permasalahan dalam
pelajaran pada semua KONTEKSTUAL kehidupan nyata yang harus
jenis dan jenjang disikapi dan dihadapi dengan
pendidikan kecakapan-kecakapan tertentu

Perangkat
pembelajaran yang
mengintegrasikan
Kecakapan Hidup

Pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup terintegrasi dengan beragam mata pelajaran


yang ada di semua jenis dan jenjang pendidikan. Misalnya pada mata pelajaran Matematika
yang mengintegrasikan pendidikan kecakapan hidup di dalamnya, selain mengajarkan peserta
didik agar pandai matematika, juga pandai memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari,
seperti: membaca data, menganalisis data, membuat kesimpulan, mempelajari ilmu lain, dan
sebagainya.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam menjabarkan kecakapan hidup yang
terintegrasi dalam mata pelajaran, antara lain:
a. melakukan identifikasi unsur kecakapan hidup yang dikembangkan dalam
kehidupan nyata yang dituangkan dalam bentuk kegiatan pembelajaran
b. melakukan identifikasi pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai
yang mendukung kecakapan hidup
c. mengklasifikasi dalam bentuk topik/tema dari mata pelajaran yang sesuai
dengan kecakapan hidup
d. menentukan metode pembelajaran
e. merancang bentuk dan jenis penilaian
 Penilaian dapat diklasifikasikan kedalam penilaian eksternal dan penilaian
internal. Penilaian eksternal merupakan penilaian yang dilakukan oleh pihak lain yang tidak
melaksanakan proses pembelajaran. Penilaian eksternal dilakukan oleh suatu lembaga, baik
dalam maupun luar negeri, dimaksudkan antara lain untuk pengendali mutu. Sedangkan
penilaian internal adalah penilaian yang dilakukan dan direncanakan oleh guru pada saat
proses pembelajaran berlangsung dalam rangka penjaminan mutu.
 Penilaian kelas merupakan penilaian internal (internal assessment) terhadap
hasil belajar peserta didik yang dilakukan oleh guru di kelas atas nama sekolah untuk menilai
kompetensinya pada tingkat tertentu pada saat dan akhir pembelajaran, sehingga dapat
diketahui perkembangan dan ketercapaian berbagai kompetensi peserta didik. Penilaian kelas
merupakan suatu proses yang dilakukan melalui langkah-langkah perencanaan, pengumpulan
informasi melalui sejumlah bukti yang menunjukkan pencapaian hasil belajar peserta didik,
pelaporan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar peserta didik. Penilaian kelas
dilaksanakan melalui berbagai cara, seperti tes tertulis (paper and pencil test), penilaian hasil
kerja peserta didik melalui kumpulan hasil kerja/karya peserta didik (portofolio), penilaian
produk, penilaian proyek dan penilaian unjuk kerja (performance) peserta didik. Bentuk
penilaian seperti ini disebut dengan penilaian hasil belajar.
Penilaian hasil belajar baik formal maupun informal diadakan dalam suasana yang
menyenangkan, sehingga memungkinkan peserta didik menunjukkan apa yang dipahami dan
mampu dikerjakannya. Hasil belajar seorang peserta didik tidak dianjurkan untuk
dibandingkan dengan peserta didik lainnya, tetapi dengan hasil yang dimiliki peserta didik
tersebut sebelumnya. Dengan demikian peserta didik tidak merasa dihakimi oleh guru tetapi
dibantu untuk mencapai apa yang diharapkan.
 Penilaian kelas bertujuan untuk menilai kompetensi peserta didik pada tingkat
tertentu pada saat proses dan akhir pembelajaran, sehingga dapat diketahui perkembangan
dan ketercapaian berbagai kompetensi yang telah dicapai peserta didik.
Dalam melaksanakan penilaian, sebaiknya guru perlu:
 memandang penilaian dan kegiatan belajar-mengajar secara terpadu.
 mengembangkan strategi yang mendorong dan memperkuat penilaian sebagai cermin
diri.
 melakukan berbagai strategi penilaian di dalam program pengajaran untuk menyediakan
berbagai jenis informasi tentang hasil belajar peserta didik.
 mempertimbangkan berbagai kebutuhan khusus peserta didik.
 mengembangkan dan menyediakan sistem pencatatan yang bervariasi dalam
pengamatan kegiatan belajar peserta didik.
 menggunakan cara dan alat penilaian yang bervariasi.
Agar penilaian objektif, guru harus berupaya secara optimal untuk:
 memanfaatkan berbagai bukti hasil kerja peserta didik dan tingkah laku dari sejumlah
penilaian.
 membuat keputusan yang adil tentang penguasaan kompetensi peserta didik dengan
mempertimbangkan hasil kerja (karya).
Beragam teknik dapat dilakukan untuk mengumpulkan informasi tentang kemajuan
belajar peserta didik, baik yang berhubungan dengan proses belajar maupun hasil belajar.
Teknik mengumpulkan informasi tersebut pada prinsipnya adalah cara penilaian kemajuan
belajar peserta didik berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang harus
dicapai. Penilaian kompetensi dasar dilakukan berdasarkan indikator-indikator pencapaian
kompetensi yang memuat satu ranah atau lebih. Dengan indikator-indikator ini, dapat
ditentukan penilaian yang sesuai. Untuk itu, ada tujuh teknik yang dapat digunakan, yaitu: (1)
penilaian unjuk kerja, (2) penilaian sikap, (3) penilaian tertulis, (4) penilaian proyek, (5)
penilaian produk, (6) penggunaan portofolio, dan (7) penilaian diri.
Tindak lanjut merupakan langkah penting untuk dilakukan sebagai suatu rencana
kegiatan (action plan) untuk memaksimalkan atau mengoptimalkan ketercapaian kompetensi
peserta didik. Rencana tindak lanjut ini juga dapat dipergunakan sebagai alat untuk
"memantau dan mengevaluasi" efektifitas pelaksanaan proses pembelajaran itu sendiri.
Dalam implementasinya, silabus harus dikaji dan dikembangkan secara berkelanjutan dengan
memperhatikan masukan hasil penilaian terhadap hasil belajar, proses, pelaksanaan
pembelajaran, serta evaluasi rencana pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Azis Wahab, (1998). Reorientasi dan Revitalisasi Pendidikan Ilmu-ilmu
Sosial di Sekolah. Bandung: PPS IKIP Bandung (2002), Tantangan
Pembelajaran PIPS di Sekolah, JPIS No. 19
Badeni, (2001), Masalah dan Solusi Pembelajaran IPS dengan Pendekatan
Cooperative Learning, dalam Jurnal Ilmu Pendidikan Sosial (JPIS),
No.18
Banks, James A. & Ambrose A. Clegg Jr, (1985), Teaching Strategies for the
Social Studies, New York: Longman, Inc
Brooks, Jacqueline Grennon and Brooks, Martin G. (1993). The case for
constructivist classrooms. Alexandria, VA: ASCD
Brown, J.S., Collins, A. & Duguid, S. (1989). Situated cognition and the
culture of learning. Educational Researcher, 18(1), 32-42.
Departemen Pendidikan Nasional, (2003), Kurikulum 2004, Jakarta, Depdiknas. (2003), Kumpulan Pedoman
Kurikulum 2004, Jakarta. (2003), Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran
Pengetahuan Sosial SMP dan MTS, Jakarta. (2004), Contoh Silabus Berdiversifikasi dan Penilaian
Berbasis Kelas, Jakarta
Departemen Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Nasional Pusat Kurikulum,
2005. Model Integerasi Pendidikan Kecakapan Hidup
Dewey, John (1964) John Dewey on education: Selected writings. Chicago: University of Chicago Press.
Ernest, P. (1995). The one and the many. In L. Steffe & J. Gale (Eds.). Constructivism in education (pp.459-
486). New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates,Inc.
Gergen, K. (1995). Social construction and the educational process. In L. Steffe & J. Gale (Eds.).
Constructivism in education, (pp.17-39). New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates,Inc.
Hasan S. Hamid, (1996), Pendidikan Ilmu Sosial, Jakarta, P2TA. (2002), Pendidikan IPS dan Ilmu Sosial di
Masa Mendatang, JPIS, No. 19, Bandung.
Hidayah, Zulyani (2001) Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta: LP3ES.
Jarolimek, John, (1993), Social Studies in Elementary Education, New York: Macmillan Publishing Co. Ltd
Koentjaraningrat, (1970) Manusia dan Kebudayaannya di Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia Press.
(1986) “Peranan Local Genius dalam Akulturasi’, dalam Ayatrohaedi Ed. , Kepribadian Budaya
Bangsa (Local Genius), Jakarta: Pustaka Jaya.
Nursid Sumaatmadja dan Kuswaya Mardi, (1999), Perspektif Global, Jakarta: Penerbit UT.
Mulyasa, E. (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan Implementasi. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Murphy, Elizabeth (1997) Constructivism
Peacock, James L. (2005) Ritus Modernisasi Aspek Sosial & Simbolik Teater Rakyat Indonesia, Penerjemah
Eko Prasetyo, Depok: Desantara.
Somantri, M.N. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Supriatna, Nana, (2002), Mengajarkan Keterampilan Sosisal yang Diperlukan Siswa Memasuki Era Global,
JPIS No. 19
Suwarma Al Muchtar, (1999). Epistimologi Dasar Konseptual Strategi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial.
Forum Pendidikan IKIP Bandung. (2003). Otonomi Daerah dan Multikulturalisme. Bandung: FPIPS
UPI Bandung. (2004), Pengembangan Berpikir dan Nilai Dalam pendidikan IPS, Bandung, Gelar
Pustaka Mandiri
----Strategi Pembelajaran Pendidikan IPS. Sekolah Pascasarjana UPI
Steffe, Leslie P. & and D'Ambrosio, Beatriz S. (1995). Toward a working model of constructivist teaching: A
reaction to Simon. Journal for Research in Mathematics Education, 26, 146-159.
Winataputra, U.S., et al. (2004). Kedudukan, Fungsi, Peran Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial dan
Pendidikan Kewarganegaraan dalam Sistem Pendidikan Nasional. Yogyakarta: HISPISI.
http://www.waspada.co.id/opini/artikel/artikel.php?article_id=45053
http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/35/mengubah_wawasan_peran.htm
http://tiger.coe.missouri.edu/~jonassen/courses/CLE/
http://www.kn.pacbell.com/wired/fil/pages/listconstrucsa1.html.
http://www.ctheory.com/

Anda mungkin juga menyukai