0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
111 tayangan11 halaman
Uji klinik fase I adalah uji klinik awal untuk obat baru yang bertujuan untuk mengetahui keamanan dan dosis obat yang aman bagi manusia, menguji efek samping potensial, dan mengumpulkan data farmokinetik awal. Uji klinik fase I melibatkan jumlah subjek manusia yang kecil, biasanya antara 20-80 orang yang sehat.
Uji klinik fase I adalah uji klinik awal untuk obat baru yang bertujuan untuk mengetahui keamanan dan dosis obat yang aman bagi manusia, menguji efek samping potensial, dan mengumpulkan data farmokinetik awal. Uji klinik fase I melibatkan jumlah subjek manusia yang kecil, biasanya antara 20-80 orang yang sehat.
Uji klinik fase I adalah uji klinik awal untuk obat baru yang bertujuan untuk mengetahui keamanan dan dosis obat yang aman bagi manusia, menguji efek samping potensial, dan mengumpulkan data farmokinetik awal. Uji klinik fase I melibatkan jumlah subjek manusia yang kecil, biasanya antara 20-80 orang yang sehat.
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI MAKASSAR MAKASSAR 2020 BAB I PENDAHULUAN
Dalam praktek sehari - hari seorang dokter akan selalu dihadapkan
pada keadaan dimana harus memilih dan menentukan aternatif terapi terbaik bagi pasien. Keputusan yang diambil tidak saja didasarkan atas pertimbangan klinis tetapi juga berbagai faktor yang akan mempengaruhi proses terapi. Jika pengobatan menjadi salah satu atau bahkan satu- satunya alternatif terapi yang diputuskan, maka diperlukan pertimbangan yang seksama untuk memilih obat yang sesuai yang memberi kemanfaatan maksimal dan risiko efek samping yang sekecilkecilnya. Untuk menelaaah kemanfaatan suatu obat diperlukan penguasaan dasar- dasar uji klinik (Santoso, 2006). Informasi mengenai uji klinik sangat diperlukan, mengingat dalam praktek sehari-hari seorang dokter akan selalu dihadapkan pada bermacam-macam pilihan obat mulai dari yang sudah terbukti kemanfaatannya hingga obat-obat baru yang kadang indikasi pemakaian dan efek farmakologinya masih perlu dipertanyakan. Sementara informasi yang datang dari pabrik obat umumnya lebih banyak bersifat sepihak, karena mempertimbangkan segi pemasaran dan bisnis. Seorang praktisi medis dituntut untuk dapat menilai suatu obat secara objektif. Dengan mengetahui dan memahami metode uji klinik, kita akan lebih bijaksana dalam menilai kemanfaatan suatu obat baru secara objektif dengan mempertimbangkan segi manfaat dan risiko serta lebih mengutamakan kepentingan pasien (Santoso, 2006). Uji klinik adalah suatu pengujian khasiat obat baru pada manusia, dimana sebelumnya diawali oleh pengujian pada binatang atau uji pra klinik. Pada dasarnya uji klinik memastikan efektivitas, keamanan dan gambaran efek samping yang sering timbul pada manusia akibat pemberian suatu obat. Menggunakan manusia sehat atau sakit dalam eksperimen dibenarkan dalam ilmu kedokteran karena akan bermanfaat bagi masyarakat banyak untuk memahami efek obat tersebut sehingga dapat digunakan pada masyarakat luas dengan lebih yakin tentang efektifitas dan keamanannya (Santoso, 2006); (Zunilda, 2003). Bila uji klinik seperti ini tidak dilakukan maka dapat terjadi malapetaka pada banyak orang bila langsung dipakai secara umum seperti pernah terjadi dengan talidomid (1959-1962) dan obat kontrasepsi pria (gosipol) di Cina. Setiap obat yang ditemukan melalui eksperimen in vitro atau hewan coba tidak terjamin bahwa khasiatnya benar-benar akan terlihat pada penderita. Pengujian pada manusia sendirilah yang dapat “menjamin” apakah hasil in vitro atau hewan sama dengan manusia. Penapisan efektivitas terakhir ini dibuktikan melalui uji klinik obat (Iwan, 2001). BAB II PEMBAHASAN II.1 Definisi Uji Klinik Uji klinik adalah kegiatan penelitian dengan mengikutsertakan subjek manusia disertai adanya intervensi produk uji, untuk menemukan atau memastikan efek klinik, farmakologik dan/atau farmakodinamik lainnya, dan/atau mengidentifikasi setiap reaksi yang tidak diinginkan, dan/atau mempelajari absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi dengan tujuan untuk memastikan keamanan dan/atau efektifitas produk yang diteliti (BPOM, 2014). II.2 Tujuan Uji Klinik Uji klinik bertujuan untuk membuktikan atau menilai manfaat klinik suatu obat, pengobatan, atau strategi terapetik tertentu secara objektif dan benar. Dengan kata lain, uji klinik dimaksudkan untuk menghindari pracondong/bias pemakai obat (prescriber), pasien, atau dari perjalanan alami penyakit itu sendiri. Di samping itu, uji klinik harus dapat memberikan jawaban yang benar (valid) mengenai manfaat klinik intervensi terapi tertentu, jika memang bermanfaat harus terbukti bermanfaat, dan jika tidak bermanfaat harusterbukti tidak bermanfaat. Berdasarkan pembuktian melalui uji klinik ini, maka suatu obat, pengobatan atau strategi terapetik tertentu baru dapat diterapkan secara luas dalam praktek. Dalam pengembangan obat-obat baru, maka prinsip penilaian obat atau calon obat didasarkan pada metode uji klinik secara ketat. II.3 Persyaratan Uji Klinik Syarat Uji Klinik, Uji Klinik Obat Herbal yang dilakukan harus (BPOM, 2014): a. Memberikan manfaat nyata bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan kepentingan masyarakat; b. Mendapatkan persetujuan etik dari Komisi Etik; c. Mendapatkan persetujuan atau menyampaikan notifikasi kepada Kepala Badan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 9 Tahun 2014 tentang Tata Laksana Persetujuan Uji Klinik; dan d. Mengacu kepada Pedoman CUKB dan Pedoman Uji Klinik Obat Herbal II.4 Asas Uji Klinik Semua penelitian yang melibatkan subjek manusia harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip etika yang terkandung dalam versi saat ini dari Deklarasi Helsinki. Tiga prinsip dasar etika didefinisikan oleh revisi dari International Ethical Guidelines for Biomedical Research Involving Human Subject yang dikeluarkan oleh Council for International Organizations of Medical Sciences (CIOMS) (WHO, 1995). 1) Asas Menghormati Orang (Principle of Respect for Persons) Asas menghormati orang menggabungkan setidaknya dua pertimbangan etis yang mendasar, yaitu (CIOMS, 2002): a. Menghormati otonomi; calon subjek harus mampu diajak bermusyawarah untuk menentukan keputusan mengenai pilihan pribadi mereka dengan menghormati kapasitas mereka untuk menentukan nasib sendiri; dan b. Perlindungan terhadap penyandang cacat atau otonomi yang dikecilkan, yang mensyaratkan bahwa mereka yang tergantung atau rentan akan diberikan keamanan terhadap bahaya atau kekerasan. c. Pelaksanaan prinsip umum ini adalah persyaratan untuk persetujuan dari masing-masing calon subjek. 2) Asas Kebaikan (Principle of Beneficence) Asas kebaikan mengacu pada kewajiban etik untuk memaksimalkan manfaat dan meminimalkan bahaya. Prinsip ini menimbulkan norma-norma yang membutuhkan bahwa risiko penelitian harus masuk akal dalam menerangkan manfaat yang diharapkan, bahwa desain penelitian harus diberitahukan, dan bahwa para peneliti akan kompeten baik untuk mengarahkan penelitian dan untuk menjaga kesejahteraan dari subjek penelitian. Asas kebaikan pun melarang peneliti untuk membahayakan subjek secara sengaja. Aspek kebaikan biasanya dinyatakan sebagai prinsip tidak membahayakan (nonmaleficence) (CIOMS, 2002). 3) Asas Keadilan (Principle of Justice) Asas keadilan mengacu pada kewajiban etik untuk memperlakukan setiap orang sesuai dengan apa yang secara moral benar dan tepat, untuk memberikan yang wajar bagi subjek. Dalam etika penelitian yang melibatkan subjek manusia, asas merujuk untuk keadilan distributif yang memerlukan pemerataan baik beban dan manfaat dari partisipasi dalam penelitian. Perbedaan dalam distribusi beban dan manfaat yang dibenarkan hanya jika mereka didasarkan pada perbedaan yang relevan secara moral antara orang-orang; satu perbedaan tersebut adalah kerentanan. '' Kerentanan '' mengacu pada ketidakmampuan substansial untuk melindungi kepentingan sendiri karena hambatan (CIOMS, 2002). II.5 Tahapan Fase Uji Klinik Uji Klinik yaitu suatu pengujian khasiat obat baru pada manusia, dimana sebelumnya diawali oleh pengujian pada binatang atau pra klinik (Katzung, 1989). Pada dasarnya uji klinik memastikan efektivitas, keamanan dan gambaran efek samping yang sering timbul pada manusia akibat pemberian suatu obat. Uji klinik ini terdiri dari uji fase I sampai fase IV (Gunawan, 2005). Uji Klinik Tahap Awal adalah suatu uji klinik tanpa pembanding (uncontrolled trial). Tahap ini bertujuan untuk melihat adanya kemungkinan manfaat klinik, menentukan dosis yang dapat menimbulkan efek tersebut serta untuk uji klinik tahap lanjut merupakan uji klinik yang definitif dengan jumlah penderita yang lebih banyak dan dilakukan dengan persyaratan-persyaratan metodologi dan monitoring yang ketat (exploratory trial). Uji klinik dilakukan dengan kelompok pembanding dapat berupa placebo atau obat standar (baku) yang sudah diketahui secara pasti. Uji klinik dapat dilakukan disalah satu pusat penelitian (mono centre) atau di beberapa pusat penelitian (multi centre) (Menkes, 1996). Uji klinis pada umumnya diklasifikasikan menjadi empat fase. Proses pengembangan obat biasanya akan berlanjut melalui keempat fase selama bertahun-tahun (Pengawas Obat dan Makanan AS, 2018). Jika obat berhasil melewati Tahap I, II, dan III, biasanya obat tersebut akan disetujui oleh badan pengawas nasional untuk digunakan pada populasi umum (Pengawas Obat dan Makanan AS, 2018). Uji coba fase IV adalah studi 'pasca-pemasaran' atau 'pengawasan' yang dilakukan untuk memantau keamanan selama beberapa tahun (Pengawas Obat dan Makanan AS, 2018). II.6 Uji Klinik Fase I Fase ini merupakan pengujian suatu obat baru untuk pertama kalinya pada manusia. Hal yang diteliti di sini ialah keamanan obat, bukan efetifitasnya dan dilakukan pada sukarelawan sehat. Tujuan fase ini ialah menentukan besarnya dosis tunggal yang dapat diterima, artinya yang tidak menimbulkan efek samping serius. Dosis oral (lewat mulut) yang diberikan pertama kali pada manusia biasanya 1/50 x dosis minimal yang menimbulkan efek pada hewan. Tergantung dari data yang diperoleh pada hewan, dosis berikutnya ditingkatkan sedikit-sedikit atau dengan kelipatan dua sampai diperoleh efek farmakologik atau sampai timbul efek yang tidak diinginkan. Untuk mencari efek toksik yang mungkin terjadi dilakukan pemeriksaan hematologi, faal hati, urin rutin dan bila perlu pemeriksaan lain yang lebih spesifik (Santoso, 2006); (Zunilda, 2003). Pada fase ini diteliti juga sifat farmakodinamika dan farmakokinetikanya pada manusia. Hasil penelitian farmakokinetika ini digunakan untuk meningkatkan pemilihan dosis pada penelitian selanjutnya. Selain itu, hasil ini dibandingkan dengan hasil uji pada hewan coba sehingga diketahui pada spesies hewan mana obat tersebut mengalami proses farmakokinetika seperti pada manusia. Bila spesies ini dapat ditemukan maka dilakukan penelitian toksisitas jangka panjang pada hewan tersebut (Santoso, 2006); (Zunilda, 2003). Uji klinik fase I ini dilaksanakan secara terbuka, artinya tanpa pembanding dan tidak tersamar, pada sejumlah kecil subjek dengan pengamatan intensif oleh orang-orang ahli dibidangnya, dan dikerjakan di tempat yang sarananya cukup lengkap. Total jumlah subjek pada fase ini bervariasi antara 20-50 orang (Santoso, 2006); (Zunilda, 2003). Uji coba fase I dapat dibagi lagi: a. Dosis naik tunggal (Fase Ia) Dalam studi dosis naik tunggal, kelompok kecil subjek diberi dosis tunggal obat sementara mereka diamati dan diuji untuk jangka waktu tertentu untuk memastikan keamanan (American Cancer Society, 2020). Biasanya, sejumlah kecil peserta, biasanya tiga, dimasukkan secara berurutan pada dosis tertentu (Norfleet, 2009). Jika mereka tidak menunjukkan efek samping yang merugikan, dan data farmakokinetik secara kasar sejalan dengan nilai aman yang diprediksi, dosisnya ditingkatkan, dan kelompok subjek baru kemudian diberi dosis yang lebih tinggi. Jika toksisitas yang tidak dapat diterima diamati pada salah satu dari tiga peserta, sejumlah peserta tambahan, biasanya tiga, diperlakukan dengan dosis yang sama (Mets, 2010). Ini dilanjutkan sampai tingkat keamanan farmakokinetik yang dihitung sebelumnya tercapai, atau efek samping yang tidak dapat ditoleransi mulai muncul (pada titik mana obat dikatakan telah mencapai dosis maksimum yang dapat ditoleransi (MTD)) (Mets, 2010). Jika toksisitas tambahan yang tidak dapat diterima diamati, maka peningkatan dosis dihentikan dan dosis tersebut, atau mungkin dosis sebelumnya, dinyatakan sebagai dosis yang dapat ditoleransi secara maksimal. Rancangan khusus ini mengasumsikan bahwa dosis yang ditoleransi secara maksimal terjadi ketika sekitar sepertiga dari peserta mengalami toksisitas yang tidak dapat diterima. Variasi desain ini ada, tetapi sebagian besar serupa (Mets, 2010). b. Beberapa dosis naik (Fase Ib) Beberapa studi dosis menaik menyelidiki farmakokinetik dan farmakodinamik dari beberapa dosis obat, melihat keamanan dan tolerabilitasnya. Dalam studi ini, sekelompok pasien menerima beberapa dosis rendah obat, sementara sampel (darah, dan cairan lain) dikumpulkan pada berbagai titik waktu dan dianalisis untuk memperoleh informasi tentang bagaimana obat tersebut diproses di dalam tubuh. Dosis selanjutnya ditingkatkan untuk kelompok selanjutnya, hingga tingkat yang telah ditentukan (American Cancer Society, 2020). Efek makanan Uji coba singkat yang dirancang untuk menyelidiki perbedaan penyerapan obat oleh tubuh, yang disebabkan oleh makan sebelum obat diberikan. Studi-studi ini biasanya dijalankan sebagai studi crossover, dengan relawan diberi dua dosis obat yang identik saat berpuasa, dan setelah diberi makan (Norfleet, 2009). BAB III PENUTUP Kesimpulan: Uji klinis pada umumnya diklasifikasikan menjadi empat fase. Uji klinik fase I merupakan pengujian suatu obat baru untuk pertama kalinya pada manusia. Hal yang diteliti di sini ialah keamanan obat, bukan efetifitasnya dan dilakukan pada sukarelawan sehat. Tujuan fase ini ialah menentukan besarnya dosis tunggal yang dapat diterima, artinya yang tidak menimbulkan efek samping serius. Fase I terbagi menjadi: dosis naik tunggal (Fase Ia) dan beberapa dosis naik (Fase Ib). Jika obat berhasil melewati tahap I, akan berlanjut ke tahap fase II, III, dan IV. DAFTAR PUSTAKA American Cancer Society. 18 Agustus 2020. Diakses tanggal 15 September 2020. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI). 2014. Pedoman Uji Klinik Obat Herbal. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2014. Jakarta. Gunawan, S. G., Setiabudy R., Nafrialdi, Elysabeth (Editor). 2005. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI: Jakarta. Iwan Darmansjah. 2001. Masalah etika dalam uji klinik obat di Indonesia, Seminar Etika Biomedis Pusat Pengembangan Etika Universitas Atma Jaya: Jakarta. Katzung, B. G. 1989. Farmakologi Dasar dan Klinik, diterjemahkan oleh Staf Pengajar Laboratorium Farmakologi, 287. Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, EGC, Jakarta Mets D, Friedman L, Furberg C. 2010. Fundamentals of Clinical Trials (edisi ke-4th). Peloncat. ISBN 978-1-4419-1585-6. Norfleet E, Gad SC. 2009. Uji Klinis Tahap I. In Gad SC (ed). Buku Pegangan Uji Klini p. 247. ISBN 978-0-470-46635-3. Pengawas Obat dan Makanan AS. 4 Januari 2018. Diakses tanggal 17 Agustus 2020. Peraturan Menteri Kesehatan Republik lndonesia No. 761/Menkes/SK/IX/1992. Pedoman Fitofarmaka. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Santoso, B., Suryawati, S., SalehD anu,S. 2006. Evaluasi Khasiat dan Keamanan Obat (Uji klinik), Dalam Farmakologi Klinik dan Farmakoterapi, hal 183-9. UGM: Jogjakarta. World Health Organization (WHO). 1995. Guidelines for good clinical practice (GCP) for trials on pharmaceutical products. WHO Technical Report Series, No. 850, Annex 3. Zunilda SB Arini Setiawati F.D. Suyana. 2003. Pengantar Farmakologi. Dalam Farmakologi dan Terapi, hal 1-23. FK UI: Jakarta.