Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

UJI PRAKLINIK DAN KLINIK TANAMAN OBAT


“UJI KLINIK FASE I”

OLEH:
KELOMPOK I
STIFA B&D 018

Benedikta Winne Angela 1801072 (B)


Yumita Tallamma 1801096 (B)
Novia Alam 1801104 (B)
Agnesia Putri Pakendek 1801169 (D)
Andi Naurah Nurul Mufliha 1801180 (D)
Nurul Ulfah Ali 1801185 (D)
Komang kristiani 1801197 (D)
Yosia Alwina Balondo 1801202 (D)
Dhea Anggreani Sofhyan 1801212 (D)

DOSEN PENGAMPUH: Apt. ASRIL BURHAN, S.Farm., M.Si.

PROGRAM STUDI STRATA SATU FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI MAKASSAR
MAKASSAR
2020
BAB I
PENDAHULUAN

Dalam praktek sehari - hari seorang dokter akan selalu dihadapkan


pada keadaan dimana harus memilih dan menentukan aternatif terapi
terbaik bagi pasien. Keputusan yang diambil tidak saja didasarkan atas
pertimbangan klinis tetapi juga berbagai faktor yang akan mempengaruhi
proses terapi. Jika pengobatan menjadi salah satu atau bahkan satu-
satunya alternatif terapi yang diputuskan, maka diperlukan pertimbangan
yang seksama untuk memilih obat yang sesuai yang memberi
kemanfaatan maksimal dan risiko efek samping yang sekecilkecilnya.
Untuk menelaaah kemanfaatan suatu obat diperlukan penguasaan dasar-
dasar uji klinik (Santoso, 2006).
Informasi mengenai uji klinik sangat diperlukan, mengingat dalam
praktek sehari-hari seorang dokter akan selalu dihadapkan pada
bermacam-macam pilihan obat mulai dari yang sudah terbukti
kemanfaatannya hingga obat-obat baru yang kadang indikasi pemakaian
dan efek farmakologinya masih perlu dipertanyakan. Sementara informasi
yang datang dari pabrik obat umumnya lebih banyak bersifat sepihak,
karena mempertimbangkan segi pemasaran dan bisnis. Seorang praktisi
medis dituntut untuk dapat menilai suatu obat secara objektif. Dengan
mengetahui dan memahami metode uji klinik, kita akan lebih bijaksana
dalam menilai kemanfaatan suatu obat baru secara objektif dengan
mempertimbangkan segi manfaat dan risiko serta lebih mengutamakan
kepentingan pasien (Santoso, 2006).
Uji klinik adalah suatu pengujian khasiat obat baru pada manusia,
dimana sebelumnya diawali oleh pengujian pada binatang atau uji pra
klinik. Pada dasarnya uji klinik memastikan efektivitas, keamanan dan
gambaran efek samping yang sering timbul pada manusia akibat
pemberian suatu obat. Menggunakan manusia sehat atau sakit dalam
eksperimen dibenarkan dalam ilmu kedokteran karena akan bermanfaat
bagi masyarakat banyak untuk memahami efek obat tersebut sehingga
dapat digunakan pada masyarakat luas dengan lebih yakin tentang
efektifitas dan keamanannya (Santoso, 2006); (Zunilda, 2003).
Bila uji klinik seperti ini tidak dilakukan maka dapat terjadi
malapetaka pada banyak orang bila langsung dipakai secara umum
seperti pernah terjadi dengan talidomid (1959-1962) dan obat kontrasepsi
pria (gosipol) di Cina. Setiap obat yang ditemukan melalui eksperimen in
vitro atau hewan coba tidak terjamin bahwa khasiatnya benar-benar akan
terlihat pada penderita. Pengujian pada manusia sendirilah yang dapat
“menjamin” apakah hasil in vitro atau hewan sama dengan manusia.
Penapisan efektivitas terakhir ini dibuktikan melalui uji klinik obat (Iwan,
2001).
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Definisi Uji Klinik
Uji klinik adalah kegiatan penelitian dengan mengikutsertakan
subjek manusia disertai adanya intervensi produk uji, untuk menemukan
atau memastikan efek klinik, farmakologik dan/atau farmakodinamik
lainnya, dan/atau mengidentifikasi setiap reaksi yang tidak diinginkan,
dan/atau mempelajari absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi
dengan tujuan untuk memastikan keamanan dan/atau efektifitas produk
yang diteliti (BPOM, 2014).
II.2 Tujuan Uji Klinik
Uji klinik bertujuan untuk membuktikan atau menilai manfaat klinik
suatu obat, pengobatan, atau strategi terapetik tertentu secara objektif dan
benar. Dengan kata lain, uji klinik dimaksudkan untuk menghindari
pracondong/bias pemakai obat (prescriber), pasien, atau dari perjalanan
alami penyakit itu sendiri. Di samping itu, uji klinik harus dapat
memberikan jawaban yang benar (valid) mengenai manfaat klinik
intervensi terapi tertentu, jika memang bermanfaat harus terbukti
bermanfaat, dan jika tidak bermanfaat harusterbukti tidak bermanfaat.
Berdasarkan pembuktian melalui uji klinik ini, maka suatu obat,
pengobatan atau strategi terapetik tertentu baru dapat diterapkan secara
luas dalam praktek. Dalam pengembangan obat-obat baru, maka prinsip
penilaian obat atau calon obat didasarkan pada metode uji klinik secara
ketat.
II.3 Persyaratan Uji Klinik
Syarat Uji Klinik, Uji Klinik Obat Herbal yang dilakukan harus
(BPOM, 2014):
a. Memberikan manfaat nyata bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan
kepentingan masyarakat;
b. Mendapatkan persetujuan etik dari Komisi Etik;
c. Mendapatkan persetujuan atau menyampaikan notifikasi kepada
Kepala Badan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Nomor 9 Tahun 2014 tentang Tata
Laksana Persetujuan Uji Klinik; dan
d. Mengacu kepada Pedoman CUKB dan Pedoman Uji Klinik Obat Herbal
II.4 Asas Uji Klinik
Semua penelitian yang melibatkan subjek manusia harus dilakukan
sesuai dengan prinsip-prinsip etika yang terkandung dalam versi saat ini
dari Deklarasi Helsinki. Tiga prinsip dasar etika didefinisikan oleh revisi
dari
International Ethical Guidelines for Biomedical Research Involving Human
Subject yang dikeluarkan oleh Council for International Organizations of
Medical Sciences (CIOMS) (WHO, 1995).
1) Asas Menghormati Orang (Principle of Respect for Persons)
Asas menghormati orang menggabungkan setidaknya dua
pertimbangan etis yang mendasar, yaitu (CIOMS, 2002):
a. Menghormati otonomi; calon subjek harus mampu diajak
bermusyawarah untuk menentukan keputusan mengenai pilihan
pribadi mereka dengan menghormati kapasitas mereka untuk
menentukan nasib sendiri; dan
b. Perlindungan terhadap penyandang cacat atau otonomi yang
dikecilkan, yang mensyaratkan bahwa mereka yang tergantung atau
rentan akan diberikan keamanan terhadap bahaya atau kekerasan.
c. Pelaksanaan prinsip umum ini adalah persyaratan untuk persetujuan
dari masing-masing calon subjek.
2) Asas Kebaikan (Principle of Beneficence)
Asas kebaikan mengacu pada kewajiban etik untuk
memaksimalkan manfaat dan meminimalkan bahaya. Prinsip ini
menimbulkan norma-norma yang membutuhkan bahwa risiko penelitian
harus masuk akal dalam menerangkan manfaat yang diharapkan,
bahwa desain penelitian harus diberitahukan, dan bahwa para peneliti
akan kompeten baik untuk mengarahkan penelitian dan untuk menjaga
kesejahteraan dari subjek penelitian. Asas kebaikan pun melarang
peneliti untuk membahayakan subjek secara sengaja. Aspek kebaikan
biasanya dinyatakan sebagai prinsip tidak membahayakan
(nonmaleficence) (CIOMS, 2002).
3) Asas Keadilan (Principle of Justice)
Asas keadilan mengacu pada kewajiban etik untuk memperlakukan
setiap orang sesuai dengan apa yang secara moral benar dan tepat,
untuk memberikan yang wajar bagi subjek. Dalam etika penelitian yang
melibatkan subjek manusia, asas merujuk untuk keadilan distributif
yang memerlukan pemerataan baik beban dan manfaat dari partisipasi
dalam penelitian. Perbedaan dalam distribusi beban dan manfaat yang
dibenarkan hanya jika mereka didasarkan pada perbedaan yang
relevan secara moral antara orang-orang; satu perbedaan tersebut
adalah kerentanan. '' Kerentanan '' mengacu pada ketidakmampuan
substansial untuk melindungi kepentingan sendiri karena hambatan
(CIOMS, 2002).
II.5 Tahapan Fase Uji Klinik
Uji Klinik yaitu suatu pengujian khasiat obat baru pada manusia,
dimana sebelumnya diawali oleh pengujian pada binatang atau pra klinik
(Katzung, 1989). Pada dasarnya uji klinik memastikan efektivitas,
keamanan dan gambaran efek samping yang sering timbul pada manusia
akibat pemberian suatu obat. Uji klinik ini terdiri dari uji fase I sampai fase
IV (Gunawan, 2005).
Uji Klinik Tahap Awal adalah suatu uji klinik tanpa pembanding
(uncontrolled trial). Tahap ini bertujuan untuk melihat adanya
kemungkinan manfaat klinik, menentukan dosis yang dapat menimbulkan
efek tersebut serta untuk uji klinik tahap lanjut merupakan uji klinik yang
definitif dengan jumlah penderita yang lebih banyak dan dilakukan dengan
persyaratan-persyaratan metodologi dan monitoring yang ketat
(exploratory trial). Uji klinik dilakukan dengan kelompok pembanding dapat
berupa placebo atau obat standar (baku) yang sudah diketahui secara
pasti. Uji klinik dapat dilakukan disalah satu pusat penelitian (mono centre)
atau di beberapa pusat penelitian (multi centre) (Menkes, 1996).
Uji klinis pada umumnya diklasifikasikan menjadi empat fase.
Proses pengembangan obat biasanya akan berlanjut melalui keempat
fase selama bertahun-tahun (Pengawas Obat dan Makanan AS, 2018).
Jika obat berhasil melewati Tahap I, II, dan III, biasanya obat tersebut
akan disetujui oleh badan pengawas nasional untuk digunakan pada
populasi umum (Pengawas Obat dan Makanan AS, 2018). Uji coba fase
IV adalah studi 'pasca-pemasaran' atau 'pengawasan' yang dilakukan
untuk memantau keamanan selama beberapa tahun (Pengawas Obat dan
Makanan AS, 2018).
II.6 Uji Klinik Fase I
Fase ini merupakan pengujian suatu obat baru untuk pertama
kalinya pada manusia. Hal yang diteliti di sini ialah keamanan obat, bukan
efetifitasnya dan dilakukan pada sukarelawan sehat. Tujuan fase ini ialah
menentukan besarnya dosis tunggal yang dapat diterima, artinya yang
tidak menimbulkan efek samping serius. Dosis oral (lewat mulut) yang
diberikan pertama kali pada manusia biasanya 1/50 x dosis minimal yang
menimbulkan efek pada hewan. Tergantung dari data yang diperoleh pada
hewan, dosis berikutnya ditingkatkan sedikit-sedikit atau dengan kelipatan
dua sampai diperoleh efek farmakologik atau sampai timbul efek yang
tidak diinginkan. Untuk mencari efek toksik yang mungkin terjadi dilakukan
pemeriksaan hematologi, faal hati, urin rutin dan bila perlu pemeriksaan
lain yang lebih spesifik (Santoso, 2006); (Zunilda, 2003).
Pada fase ini diteliti juga sifat farmakodinamika dan
farmakokinetikanya pada manusia. Hasil penelitian farmakokinetika ini
digunakan untuk meningkatkan pemilihan dosis pada penelitian
selanjutnya. Selain itu, hasil ini dibandingkan dengan hasil uji pada hewan
coba sehingga diketahui pada spesies hewan mana obat tersebut
mengalami proses farmakokinetika seperti pada manusia. Bila spesies ini
dapat ditemukan maka dilakukan penelitian toksisitas jangka panjang
pada hewan tersebut (Santoso, 2006); (Zunilda, 2003).
Uji klinik fase I ini dilaksanakan secara terbuka, artinya tanpa
pembanding dan tidak tersamar, pada sejumlah kecil subjek dengan
pengamatan intensif oleh orang-orang ahli dibidangnya, dan dikerjakan di
tempat yang sarananya cukup lengkap. Total jumlah subjek pada fase ini
bervariasi antara 20-50 orang (Santoso, 2006); (Zunilda, 2003).
Uji coba fase I dapat dibagi lagi:
a. Dosis naik tunggal (Fase Ia)
Dalam studi dosis naik tunggal, kelompok kecil subjek diberi dosis
tunggal obat sementara mereka diamati dan diuji untuk jangka waktu
tertentu untuk memastikan keamanan (American Cancer Society, 2020).
Biasanya, sejumlah kecil peserta, biasanya tiga, dimasukkan secara
berurutan pada dosis tertentu (Norfleet, 2009). Jika mereka tidak
menunjukkan efek samping yang merugikan, dan data farmakokinetik
secara kasar sejalan dengan nilai aman yang diprediksi, dosisnya
ditingkatkan, dan kelompok subjek baru kemudian diberi dosis yang lebih
tinggi. Jika toksisitas yang tidak dapat diterima diamati pada salah satu
dari tiga peserta, sejumlah peserta tambahan, biasanya tiga, diperlakukan
dengan dosis yang sama (Mets, 2010).
Ini dilanjutkan sampai tingkat keamanan farmakokinetik yang
dihitung sebelumnya tercapai, atau efek samping yang tidak dapat
ditoleransi mulai muncul (pada titik mana obat dikatakan telah mencapai
dosis maksimum yang dapat ditoleransi (MTD)) (Mets, 2010). Jika
toksisitas tambahan yang tidak dapat diterima diamati, maka peningkatan
dosis dihentikan dan dosis tersebut, atau mungkin dosis sebelumnya,
dinyatakan sebagai dosis yang dapat ditoleransi secara maksimal.
Rancangan khusus ini mengasumsikan bahwa dosis yang ditoleransi
secara maksimal terjadi ketika sekitar sepertiga dari peserta mengalami
toksisitas yang tidak dapat diterima. Variasi desain ini ada, tetapi sebagian
besar serupa (Mets, 2010).
b. Beberapa dosis naik (Fase Ib)
Beberapa studi dosis menaik menyelidiki farmakokinetik dan
farmakodinamik dari beberapa dosis obat, melihat keamanan dan
tolerabilitasnya. Dalam studi ini, sekelompok pasien menerima beberapa
dosis rendah obat, sementara sampel (darah, dan cairan lain)
dikumpulkan pada berbagai titik waktu dan dianalisis untuk memperoleh
informasi tentang bagaimana obat tersebut diproses di dalam tubuh. Dosis
selanjutnya ditingkatkan untuk kelompok selanjutnya, hingga tingkat yang
telah ditentukan (American Cancer Society, 2020).
Efek makanan Uji coba singkat yang dirancang untuk menyelidiki
perbedaan penyerapan obat oleh tubuh, yang disebabkan oleh makan
sebelum obat diberikan. Studi-studi ini biasanya dijalankan sebagai studi
crossover, dengan relawan diberi dua dosis obat yang identik saat
berpuasa, dan setelah diberi makan (Norfleet, 2009).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
Uji klinis pada umumnya diklasifikasikan menjadi empat fase. Uji
klinik fase I merupakan pengujian suatu obat baru untuk pertama kalinya
pada manusia. Hal yang diteliti di sini ialah keamanan obat, bukan
efetifitasnya dan dilakukan pada sukarelawan sehat. Tujuan fase ini ialah
menentukan besarnya dosis tunggal yang dapat diterima, artinya yang
tidak menimbulkan efek samping serius. Fase I terbagi menjadi: dosis naik
tunggal (Fase Ia) dan beberapa dosis naik (Fase Ib). Jika obat berhasil
melewati tahap I, akan berlanjut ke tahap fase II, III, dan IV.
DAFTAR PUSTAKA
American Cancer Society. 18 Agustus 2020. Diakses tanggal 15
September 2020.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI).
2014. Pedoman Uji Klinik Obat Herbal. Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2014. Jakarta.
Gunawan, S. G., Setiabudy R., Nafrialdi, Elysabeth (Editor). 2005.
Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Departemen Farmakologi dan
Terapeutik FK UI: Jakarta.
Iwan Darmansjah. 2001. Masalah etika dalam uji klinik obat di Indonesia,
Seminar Etika Biomedis Pusat Pengembangan Etika Universitas
Atma Jaya: Jakarta.
Katzung, B. G. 1989. Farmakologi Dasar dan Klinik, diterjemahkan oleh
Staf Pengajar Laboratorium Farmakologi, 287. Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya, EGC, Jakarta Mets D, Friedman L, Furberg C.
2010. Fundamentals of Clinical Trials (edisi ke-4th). Peloncat. ISBN
978-1-4419-1585-6.
Norfleet E, Gad SC. 2009. Uji Klinis Tahap I. In Gad SC (ed). Buku
Pegangan Uji Klini p. 247. ISBN 978-0-470-46635-3.
Pengawas Obat dan Makanan AS. 4 Januari 2018. Diakses tanggal 17
Agustus 2020.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik lndonesia No.
761/Menkes/SK/IX/1992. Pedoman Fitofarmaka. Menteri Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta.
Santoso, B., Suryawati, S., SalehD anu,S. 2006. Evaluasi Khasiat dan
Keamanan Obat (Uji klinik), Dalam Farmakologi Klinik dan
Farmakoterapi, hal 183-9. UGM: Jogjakarta.
World Health Organization (WHO). 1995. Guidelines for good clinical
practice (GCP) for trials on pharmaceutical products. WHO Technical
Report Series, No. 850, Annex 3.
Zunilda SB Arini Setiawati F.D. Suyana. 2003. Pengantar Farmakologi.
Dalam Farmakologi dan Terapi, hal 1-23. FK UI: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai