Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Mahaesa atas terselesaikannya buku Panduan
Penerapan Perangkat Penilaian Bangunan Hijau GREEENSHIP Versi 1.0, yang merupakan hasil studi
Direktorat Rating dan Teknologi dari Konsil Bangunan Hijau Indonesia (Green Building Council of
Indonesia – GBCI). Proses penyelesaian buku ini melibatkan sejumlah tenaga ahli dan profesional
dari berbagai disiplin ilmu dan instansi terkait. Diharapkan, terbitnya buku ini akan menjadi tonggak
penting dalam penerapan konsep bangunan hijau (green building) di Indonesia.
Panduan Penerapan Perangkat Penilaian Bangunan Hijau GREENSHIP Versi 1.0 ini disusun dengan
maksud membantu dimulainya praktik green building di Indonesia. Dengan demikian, diharapkan
dapat terjadi transformasi pasar dan perilaku. Panduan ini juga diharapkan dapat membantu untuk
memperkenalkan green building kepada seluruh lapisan masyarakat sehingga terjadi proses edukasi
yang berujung kepada perilaku hidup yang green. Oleh sebab itu, GBCI sebagai badan independen
yang diakui oleh World Green Building Council (WGBC) merasa terpanggil untuk berperan serta
dalam melakukan tugas ini, dengan menyusun perangkat penilaian yang disusun disesuaikan dengan
kondisi dan budaya di Indonesia. Dalam hal ini, kami terbuka terhadap umpan balik dan kritik yang
membangun dari pihak mana pun, sehingga dengan demikian diharapkan terjadi perbaikan yang
bersifat terus-menerus pada perangkat ini, yang tentunya akan berakibat pada semakin majunya
industri bangunan di Indonesia dalam menerapkan konsep green building.
Pada kesempatan yang berharga ini, kami juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada rekan-rekan founder (core dan corporate), para tenaga ahli, dan tim penyusun yang berperan
serta secara aktif dalam penyusunan ini.
Hormat kami,
Naning Adiwoso
(Ketua Umum)
KATA PENGANTAR
Buku Panduan Penerapan Bangunan Hijau GREENSHIP Versi 1.0 ini memuat sistem perangkat
penilaian bangunan hijau yang merupakan penyempurnaan akhir dari panduan kerangka konsep
versi pertama dan kedua. Sistem ini akan digunakan dalam melakukan sertifikasi green building di
Indonesia. Oleh karena itu, panduan penerapan tidak hanya berisi tolok ukur dan poin nilai seperti
versi sebelumnya, melainkan juga sudah dilengkapi dengan pengantar kepada proses sertifikasi dan
prosedur yang harus dilakukan sehingga dapat melaksanakan fungsinya.
Panduan ini merupakan kumpulan dari praktik-praktik terbaik serta pengetahuan yang tersebar, dan
terdiri atas berbagai disiplin ilmu yang kemudian dirangkum dan dikelompok-kelompokkan. Dalam
proses penyusunannya, panduan ini telah melalui serangkaian proses dan diskusi dengan para ahli
dari berbagai disiplin ilmu, kemudian dilegitimasi melalui proses Konsensus Nasional. Tentunya
isinya akan terus-menerus mengalami penyempurnaan seiring dengan waktu, kemajuan teknologi,
serta perkembangan keahlian dan ilmu pengetahuan dari para profesional dan industri bangunan
yang menerapkannya. Selanjutnya, diharapkan pula akan terjadi suatu proses berkesinambungan
yang mendorong peningkatan kinerja dari industri konstruksi dan bangunan di Indonesia, sehingga
dapat bersaing dengan standar internasional.
Dalam penyusunan ini, tentu masih dijumpai sejumlah kekurangan, kekurang-tepatan, serta struktur
penulisan yang masih harus disempurnakan. Oleh sebab itu, kami selalu terbuka terhadap masukan,
komentar, koreksi, serta usulan untuk butir-butir rating dan hal-hal lain berdasarkan pengalaman
dan pengetahuan, sehingga dapat terjadi proses perbaikan yang berkelanjutan terhadap perangkat
penilaian GREENSHIP versi-versi berikutnya. Untuk itu, semua saran, komentar, dan usul dapat
dikirimkan melalui email ke input@gbcindonesia.org. sehingga dapat dipertimbangkan dan diolah
oleh Direktorat Rating dan Teknologi GBCI untuk versi-versi selanjutnya.
Terakhir, perlu ditekankan bahwa panduan ini hanya akan terus berkembang bila melalui proses
penerapan dan dukungan dari semua pemangku kepentingan. Oleh karena itu, kami mengharapkan
partisipasi aktif dari kalangan industri dalam membangun industri bangunan di Indonesia.
Hormat Kami,
JUDUL
PENDAHULUAN 1-1
LATAR BELAKANG 1-2
TUJUAN 1-3
FILOSOFI GREENSHIP 1-4
PROSES PENYUSUNAN 1-5
Guidelines v1
Framework v2
Framework v3
Konsensus Nasional
SISTEMATIKA 2-1
GREEN SEBAGAI TUJUAN 2-2
NEW BUILDING/ BANGUNAN BARU 2-3
ELIGIBILITY 2-4
TOLOK UKUR 2-5
ACCREDITED PROFESSIONAL 2-6
PERANGKAT PENILAIAN 2-7
Kategori
Rating
Prerequisite
Nilai Point
Bonus
ELIGIBILITY 3-1
Tujuan
Latar belakang
TABEL 6-10
DAFTAR TABEL
Adjusment : Suatu usaha untuk mengatur besaran (parameter) operasional dari suatu
peralatan sehingga unjuk kerja dari peralatan tersebut sesuai dengan
perencanaan
AHU : Air handling unit atau unit pendistribusian udara dingin
Air conditioning : Pengondisian udara
Albedo : Daya refleksi panas matahari suatu permukaan yang dapat memengaruhi
heat island effect
AP : Accredited professional, yaitu seorang tenaga ahli yang sudah tersertifikasi,
bertugas untuk mengarahkan berjalannya proyek sejak tahap perencanaan
desain dan sebelum pendaftaran sertifikasi
Max.
No Category Benchmark Point
Point
ASD 17
Adanya vegetasi (softscape) bangunan taman
(hardscape) dengan luas area minimum 10% dari
luas total lahan atau 50% dari ruang terbuka dalam
tapak.
P1 Basic Green Area P P
Memiliki komposisi vegetasi 50% lahan tertutupi
luasan pohon ukuran kecil, ukuran sedang, ukuran
besar, perdu setengah pohon, perdu, semak dalam
ukuran dewasa dengan jenis tanaman.
Membangun di dalam kawasan perkotaan yang
masih berdensitas rendah, yaitu tingkat 1
okupansi/hunian <300 orang/Ha.
1 Site Selection Pembangunan yang berlokasi dan melakukan 2
revitalisasi diatas lahan yang bernilai negatif dan tak
1
terpakai karena bekas pembangunan / dampak
negatif pembangunan.
Terdapat minimal 7 jenis fasilitas umum dalam jarak
1
pencapaian jalan utama sejauh 1500m dari tapak.
Membuka akses pejalan kaki ke minimal 3 fasilitas
1
umum sejauh 300 m.
Menyediakan fasilitas/akses yang aman, nyaman dan
Community
2 bebas dari perpotongan akses kendaraan bermotor 2
Accessibility 2
ke minimal 3 fasilitas umum atau dan dengan stasiun
transportasi masal.
Membuka lantai dasar gedung sehingga dapat
menjadi akses pejalan kaki yang aman dan nyaman 2
selama minimum 10 jam sehari.
Adanya halte atau stasiun transportasi umum dalam
jangkauan 300 m (walking distance) dari gerbang 1
lokasi bangunan
atau
Menyediakan shuttle bus untuk pengguna tetap
gedung dengan jumlah unit minimum untuk 10% 1
3 Public Transportation pengguna tetap gedung. 2
Menyediakan fasilitas jalur pedestrian di dalam area
gedung untuk menuju ke stasiun transportasi umum
terdekat yang aman dan nyaman sesuai dengan
1
Peraturan Menteri PU 30/PRT/M/2006 mengenai
Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksessibilitas pada
Bangunan Gedung dan Lingkungan Bab 2 B.
Adanya parkir sepeda yang aman sebanyak 1 unit
1
parkir per 20 pengguna gedung.
4 Bicycle Apabila memenuhi butir 1 di atas dan menyediakan 2
shower sebanyak 1 unit untuk setiap 10 tempat 1
parkir sepeda.
Adanya area lansekap berupa vegetasi (softscape)
minimal 40% luas total lahan termasuk taman di atas
1
basement, roof garden, terrace garden, dan wall
garden.
Penambahan nilai sebesar 1 poin untuk setiap
5 Site Landscaping 3
penambahan sebesar 10% area lansekap dari luas 2
lahan di tolok ukur 1 di atas.
Penggunaan tanaman lokal (indigenous) dan
budidaya lokal dalam provinsi sebesar 60% luas 1
tajuk/jumlah tanaman.
Menggunakan material pada area atap gedung
sehingga nilai Albedo (daya refleksi panas matahari) 1
minimum 0,3.
Menggunakan material pada area non-atap sehingga
nilai Albedo (daya refleksi panas matahari) minimum 1
0,3.
Desain menunjukkan adanya pelindung pada
6 Micro Climate sirkulasi utama pejalan kaki di daerah luar ruangan 3
area luar ruang gedung menurut Peraturan Menteri 1
PU No. 5/PRT/M/2008 mengenai Ruang Terbuka
Hijau (RTH) Pasal 2.2.3.c mengenai Sabuk Hijau.
dan/atau
Desain Lanskap menunjukan adanya fitur yang
mencegah terpaan angin kencang kepada pejalan 1
kaki di daerah luar ruangan area luar ruang gedung.
Pengurangan beban volume limpasan air hujan
1
hingga 50% total volume hujan harian.
atau
Pengurangan beban volume limpasan air hujan
2
Storm Water hingga 85% total volume hujan harian.
7 3
Management Menunjukan adanya upaya penanganan
pengurangan beban banjir lingkungan dari luar lokasi 1
bangunan.
Menggunakan teknologi-teknologi yang dapat
1
mengurangi debit limpasan air hujan
EEC 26
Memasang kWh meter pada sistem tata udara ,
Electrical Sub
P1 sistem tata cahaya dan kotak kontak serta sistem P P
Metering
beban lainnya.
Menghitung selubung gedung OTTV yang akan
P2 OTTV Calculation P P
disertifikasi.
Menggunakan Energy Modelling Software untuk
menghitung konsumsi energi di gedung baseline dan
gedung designed. Setiap penghematan sebesar 2,5%
20 20
dimulai dari penurunan energi sebesar 10% dari
Energy Efficiency gedung baseline, mendapat nilai 1 poin dengan
1
Measures maksimum 20 poin (wajib untuk level platinum).
atau
Menggunakan perhitungan dengan worksheet.
Setiap penghematan 2% dari selisih antara gedung 15 15
designed dengan baseline mendapat nilai 1 poin.
Penghematan mulai dihitung dari penurunan energi
sebesar 10% dari gedung baseline.
atau
Memperhitungkan secara terpisah Overall Thermal
Transfer Value (OTTV) dari selubung bangunan dan
mempertimbangkan Pencahayaan Buatan,
Transportasi Vertikal dan Coefficient of Performance
(COP).
Building Envelope
Tiap penurunan 3 W/m2 dari nilai OTTV 45
5
W/m2 (SNI 03-6389-2000) mendapatkan nilai 1 1
poin (sampai maksimal 5 poin).
Non Natural Lighting
Menggunakan lampu dengan daya pencahayaan
sebesar 30% lebih hemat dari daya
1
pencahayaan yang tercantum dalam SNI 03
6197-2000.
Menggunakan 100% ballast frekuensi tinggi
1 2
(elektronik) untuk ruang kerja
Zonasi pencahayaan untuk seluruh ruang kerja
yang dikaitkan dengan sensor gerak (motion 1
sensor)
Penempatan tombol lampu dalam jarak
1
pencapaian tangan pada saat buka pintu
Vertical Transportation
Lift menggunakan Traffic Management System
yang sudah lulus traffic analysis atau 1
menggunakan regenerative drive system 1
Menggunakan fitur hemat energi pada lift,
menggunakan sensor gerak atau sleep mode 1
pada eskalator
COP
Menggunakan peralatan Air Conditioning
2
dengan COP minimum 10% lebih besar dari 2
standar SNI 03-6390-2000
Penggunaaan cahaya alami secara optimal minimal
30% dari luas lantai dengan intensitas cahaya alami
minimal sebesar 300 lux.
2
Khusus untuk pusat perbelanjaan minimal 20 %
dari luas lantai non service mendapatkan
2 Natural Lighting 4
intensitas cahaya alami minimal sebesar 300
lux.
Jika butir satu dipenuhi dan ditambah dengan
adanya lux sensor untuk otomatisasi pencahayaan
2
buatan apabila intensitas cahaya alami kurang dari
300 lux, mendapatkan tambahan nilai 2 poin.
Tidak mengkondisikan (tidak ber AC) ruang WC,
3 Ventilation tangga, koridor dan lobi lift serta melengkapi 1 1
ruangan tersebut dengan sistem ventilasi.
4 Climate Change Menyerahkan perhitungan pengurangan emisi CO2 1 1
Impact yang didapatkan dari selisih kebutuhan energi antara
design building dan base building dengan
menggunakan grade emission factor (konversi
antara CO2 dan energi listrik) yang telah ditetapkan
dalam “...” B/277/Dep.III/LH/01/2009.
Menggunakan sumber energi baru dan terbarukan.
Setiap 0,5% daya listrik gedung dari sumber energi
5 On-site Renewable 1B 5B
terbarukan, mendapatkan 1 poin (sampai maksimal
5 poin bonus).
WAC 21
Pemasangan alat meteran air (Volume meter) di
setiap sistem keluaran sumber air bersih seperti
sumber PDAM atau air tanah.
Pemasangan alat meteran air (Volume meter) untuk
P1 Water Metering P P
memonitor untuk keluaran sistem air daur ulang
Pemasangan alat meteran air (Volume meter) untuk
mengukur tambahan dari keluaran air bersih apabila
dari sistem daur ulang tidak mencukupi.
Konsumsi air bersih dengan jumlah tertinggi 80%
1
dari sumber primer.
Setiap penurunan konsumsi air bersih dari sumber
1 Water Use Reduction 8
primer sebesar 5% sesuai acuan pada poin no. 1
1
akan mendapatkan nilai 1 dengan dengan nilai
maksimum sebesar 7 poin.
Penggunaan water fixture yang sesuai dengan Tabel
lampiran 3, pada tekanan air 3 bar, sejumlah
1
minimal 25% dari total pengadaan produk water
fixture.
Atau
Penggunaan water fixture yang sesuai dengan Tabel
lampiran 3, pada tekanan air 3 bar, sejumlah
2 Water Fixtures 2 3
minimal 50% dari total pengadaan produk water
fixture.
Atau
Penggunaan water fixture yang sesuai dengan Tabel
lampiran 3, pada tekanan air 3 bar, sejumlah
3
minimal 75% dari total pengadaan produk water
fixture.
Instalasi daur ulang air dengan kapasitas yang cukup
3 Water Recycling untuk kebutuhan seluruh sistem flushing, irigasi dan 1 3
make up water cooling tower (jika ada).
Menggunakan salah satu dari tiga alternatif sebagai
berikut: air kondensasi AC, air bekas wudhu, atau air 1
Alternative Water hujan.
4 2
Resource Atau
Menggunakan lebih dari satu sumber air dari tiga
2
alternatif di atas.
Instalasi tanki penyimpanan air hujan dengan
5 Rainwater Harvesting berkapasitas 50% dari jumlah air hujan yang jatuh di 1 3
atas atap bangunan sesuai dengan kondisi intensitas
curah hujan tahunan setempat menurut BMKG
dalam waktu 10 menit.
Atau
Instalasi tanki penyimpanan air hujan berkapasitas
2
75% dari perhitungan di atas.
Atau
Instalasi tanki penyimpanan air hujan berkapasitas
3
100% dari perhitungan di atas.
Seluruh air yang digunakan untuk irigasi gedung
1
Water Efficiency tidak berasal dari sumber air tanah dan atau PDAM.
6 2
Landscaping Menerapkan sistem instalasi untuk irigasi lansekap
1
yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan tanaman.
MRC 14
Tidak menggunakan Chloro Fluoro Carbon (CFC)
Fundamental
P1 sebagai refrigeran dan Halon sebagai bahan P P
Refrigerant
pemadam kebakaran.
1 Menggunakan kembali semua material bekas setara
minimal 10% dari total biaya material baru fasad, 1
plafon, lantai, partisi, kusen, dinding
Building and Material
Atau 2
Reuse
Menggunakan kembali semua material bekas setara
minimal 20% dari total biaya material baru fasad, 2
plafon, lantai, partisi, kusen, dinding.
Menggunakan material yang bersertifikat ISO 14001
terbaru dan/atau sertifikasi lain yang setara bernilai 1
30% dari total biaya material.
Menggunakan material yang merupakan hasil
Environmentally
2 proses daur ulang senilai minimal 5% dari total biaya 1 3
Process Product
material.
Menggunakan material yang bahan baku utamanya
berasal dari sumber daya terbarukan minimal 2% 1
dari total biaya material.
Tidak menggunakan bahan perusak ozon pada
3 Non ODS Usage 1 2
seluruh sistem bangunan
Menggunakan bahan material kayu yang
bersertifikat legal sesuai Peraturan Pemerintah asal
kayu (Faktur Angkutan Kayu Olahan/FAKO, Sertifikat 1
Perusahaan dll) dan sah terbebas dari perdagangan
4 Certified Wood 2
kayu illegal sebesar 100% biaya total material kayu.
Jika 30% dari butir di atas menggunakan kayu
bersertifikasi dari pihak Lembaga Ekolabel Indonesia 1
(LEI) atau Forest Stewardship Council (FSC).
Desain yang menggunakan material modular atau
5 Modular Design pra fabrikasi (tidak termasuk equipment) sebesar 1 3
30% dari total biaya material.
Menggunakan material yang lokasi asal bahan baku
utama atau fabrikasinya berada di dalam radius 1000
1
6 Regional Material km dari lokasi proyek mencapai 50% dari total biaya 2
material.
Apabila material di atas berasal dari dalam wilayah 1
Republik Indonesia (RI) mencapai 80% dari total
biaya material.
IHC 10
Desain ruangan yang menunjukkan adanya potensi
Outdoor Air
P1 introduksi udara luar minimal sesuai dengan Standar P P
Introduction
SNI 03-6572-2001 Tabel. 4.4.2.
Untuk banquet, ruang rapat umum, general office
(ruangan dengan kepadatan tinggi) dilengkapi
1 CO2 Monitoring dengan Instalasi sensor gas Karbon dioksida (CO2) di 1 1
dalam ruangan tidak lebih dari 1.000 ppm. Sensor
diletakkan 1,5 m di atas lantai dekat return air grill.
Memasang tanda “Dilarang Merokok di Seluruh
Area Gedung” dan tidak menyediakan
Environmental
bangunan/area khusus untuk merokok. Apabila
2 Tobacco Smoke 2 2
tersedia bangunan/area rokok, maka minimal berada
Control
pada jarak 5 m dari pintu masuk, outdoor air intake
dan bukaan jendela.
Menggunakan cat dan coating yang mengandung
kadar Volatile Organic Compounds (VOCs) rendah. 1
Ditandai dengan label/sertifikasi yang diakui GBCI..
Menggunakan produk kayu komposit dan produk
agrifiber, antara lain produk kayu lapis, papan
partikel, papan serat; insulasi busa; dan laminating
3 Chemical Pollutants 3
adhesive. Dengan syarat: tanpa tambahan urea 1
formaldehyde atau memiliki kadar emisi
formaldehida rendah. Ditandai dengan
label/sertifikasi yang diakui GBCI.
Tidak menggunakan material yang mengandung
1
asbes, merkuri dan styrofoam.
Apabila 75% dari Net Lettable Area (NLA)
menghadap langsung ke pemandangan luar yang
4 Outside View 1 1
dibatasi bukaan transparan apabila ditarik suatu
garis lurus.
Menggunakan lampu dengan iluminansi (tingkat
5 Visual Comfort pencahayaan) ruangan sesuai dengan SNI 03-6197- 1 1
2000 Tabel 1.
Menetapkan perencanaan kondisi termal ruangan
6 Thermal Comfort secara umum pada suhu 25°C dan kelembaban 1 1
relatif 60%.
Tingkat kebisingan pada 90% dari Nett Lettable Area
7 Acoustic Level (NLA) tidak lebih dari atau sesuai dengan SNI 03- 1 1
6386-2000 Tabel 1.
BEM 13
Adanya instalasi atau fasilitas untuk memilah dan
P1 Basic Waste Facility mengumpulkan sampah sejenis sampah rumah P P
tangga berdasarkan jenis organik dan anorganik.
Melibatkan seorang tenaga ahli yang sudah
tersertifikasi Accredited Professional (AP), bertugas
AP as A Member of
1 untuk mengarahkan berjalannya proyek sejak tahap 1 1
Design Team
perencanaan desain dan sebelum pendaftaran
sertifikasi.
Memiliki Rencana Manajemen Sampah konstruksi
2 Limbah padat, dengan menyediakan area 1
Pollution and pengumpulan, pemisahan dan sistem pencatatan.
2
Construction Activity Memiliki Rencana Manajemen Sampah konstruksi
limbah cair, dengan menjaga kualitas seluruh air 1
yang timbul dari aktivitas konstruksi.
Adanya instalasi pengomposan limbah organik di
1
lokasi tapak bangunan.
Advance Waste Memberikan pernyataan atau rencana kerjasama
3 2
Management untuk pengelolaan limbah anorganik secara mandiri
1
dengan pihak ketiga di luar sistem jaringan
persampahan kota.
Melakukan prosedur Testing- Commissioning sesuai
petunjuk GBCI termasuk training dengan baik dan
2
benar agar peralatan/sistem berfungsi dan
Proper
4 menunjukkan kinerja sesuai perencanaan dan acuan. 3
Commissioning
Desain serta spesifikasi teknik harus lengkap dan
saat konstruksi melaksanakan pemasangan seluruh 1
measuring-adjusting instruments.
Menyerahkan data implementasi Green Building
1
sesuai dengan form dari GBCI.
Submission Green
Memberi pernyataan bahwa pemilik gedung akan
Building
5 menyerahkan data implementasi Green Building dari 2
Implementation Data
bangunannya dalam waktu 12 bulan setelah tanggal 1
for Data Base
sertifikasi kepada GBCI dan suatu pusat data energi
Indonesia yang akan ditentukan kemudian.
Memiliki surat perjanjian dengan penyewa gedung
atau tenant yang terdiri atas penggunaan
6 Fit Out Agreement Menggunakan kayu yang bersertifikat. Dan 1 1
Mengikuti training yang akan dilakukan oleh
Managemen Bangunan.
Memberi pernyataan bahwa pemilik gedung akan
mengadakan survey suhu dan kelembaban paling
lambat 12 bulan setelah tanggal sertifikasi.
GREEN BUILDING
Konsep green yang mengacu kepada prinsip sustainability/keberlanjutan dan menerapkan praktik-
praktik ramah lingkungan merupakan hal yang baru di Indonesia. Tetapi, kenyataannya, telah banyak
pelaku pasar yang sudah menggunakan label green. Ini menunjukkan adanya kecenderungan pasar
terhadap kesadaran betapa pentingnya penerapan prinsip ini, sehingga muncul keinginan untuk
menerapkan praktik ramah lingkungan dan prinsip keberlanjutan dalam kehidupan sehari-hari.
Walaupun sudah ada keinginan, masyarakat umum belum memiliki pengetahuan yang cukup serta
aksesibiltas terhadap informasi, praktik-praktik, dan produk-produk ramah lingkungan. Oleh karena
itu, perlu ada suatu jembatan yang menghubungkan konsep sesungguhnya dengan persepsi yang
tersebar di masyarakat.
Di dunia internasional, baik di Eropa, di Amerika, maupun di Asia Tenggara, konsep green sudah
mulai diadaptasi dan telah menjadi praktik umum. Karena itu, di era globalisasi ini, praktik green
building pada industri bangunan menjadi tinggi urgensinya, terutama bagi perusahaan multinasional
yang berhubungan dengan masyarakat internasional dan harus memenuhi standar mereka. Predikat
ini sudah menjadi suatu label yang dikenali sebagai penjaminan bagi suatu gedung yang berkualitas
tinggi dan memiliki pengaruh negatif yang lebih sedikit kepada lingkungan hidup di sekitarnya.
Dalam waktu yang bersamaan, penerapan teknologi dan best practice juga merangsang industri
pendukung dalam mengadakan riset dan inovasi untuk menghasilkan green products. Dengan
demikian, hal itu akan meningkatkan perekonomian dan menyediakan kesempatan kerja baru bagi
masyarakat. Dapat dikatakan, praktik ramah lingkungan juga memiliki potensi dan berperan dalam
pengentasan kemiskinan serta pertumbuhan ekonomi nasional. Tapi gerakan ini hanya dapat
berhasil bila didukung oleh semua stakeholder, sehingga dapat mentransformasi cara berpikir, gaya
hidup, dan perilaku.
SISTEM RATING
Sistem rating GREENSHIP merupakan alat bantu bagi para pelaku industri bangunan, baik
pengusaha, engineer, maupun pelaku lainnya dalam menerapkan best practices dan mencapai
standar terukur yang dapat dipahami oleh masyarakat umum, terutama tenant dan pengguna
bangunan. Standar yang ingin dicapai dalam penerapan GREENSHIP adalah terjadinya suatu
bangunan hijau (green building) yang ramah lingkungan sejak tahap perencanaan, pembangunan,
hingga pengoperasian dan pemeliharaan sehari-hari. Kriteria penilaiannya dikelompokkan menjadi
enam kategori, yaitu:
Appropriate site development /ASD (tepat guna lahan)
Energy efficiency and conservation/EEC (efisiensi dan konservasi energi)
Water conservation /WAC (konservasi air)
Material resources and cycle /MRC (sumber dan siklus material)
Indoor air health and comfort /IHC (kualitas udara dan kenyamanan ruangan)
Building and environment management /BEM (manajemen lingkungan bangunan)
Perangkat rating GREENSHIP adalah sistem penilaian yang merupakan bentuk dari salah satu upaya
untuk menjembatani konsep ramah lingkungan dan prinsip keberlanjutan dengan praktik yang
nyata. Diharapkan, dengan adanya perangkat rating ini, secara pasti akan terjadi transformasi di
industri bangunan sehingga praktik-praktik ramah lingkungan dapat diterapkan di Indonesia. Dengan
sistem penilaian ini, setiap bangunan yang mendeklarasikan diri sebagai green building akan dinilai
dan disertifikasi berdasarkan kriteria-kriteria baku yang ada dalam sistem penilaian. Sistem penilaian
ini juga dapat mengedukasi industri bangunan dan khalayak umum tentang aspek apa saja yang
harus dipenuhi sebuah green building.
Sejalan dengan baru dimulainya proses transformasi ini, sistem rating yang disusun pun seperti itu.
Kriteria penilaian GREENSHIP bukan merupakan penemuan baru melainkan kumpulan dan
pengelompokan dari praktik-praktik terbaik di industri bangunan yang kemudian diidentifikasi oleh
GBCI. Penyusunan ini dilakukan oleh putra-putri indonesia. Oleh karena itu, ia sarat dengan
pertimbangan yang didasarkan pada kondisi khas Indonesia yang unik dan spesifik. Dan penyusunan
ini dilakukan sambil menjalani proses pembelajaran, sehingga tipologi rating yang dipilih dimulai dari
yang mudah. Karena itu, dipilihlah jenis rating untuk gedung baru komersial (new building) sebagai
langkah awal proses pembelajaran.
Bangunan baru komersial adalah bangunan yang didirikan di atas lahan kosong, atau bangunan lama
yang dibongkar dengan peruntukan sebagai perkantoran, pertokoan, dan/atau hotel. Jenis bangunan
ini dipandang mudah karena pola penggunaan, penggunanya, serta aktivitas yang terjadi di
dalamnya lebih mudah diprediksi dibandingkan dengan jenis bangunan lain. Jenis bangunan ini
biasanya menjadi icon/ landmark dari suatu kawasan, serta menjadi properti yang terbuka bagi
umum sehingga membantu promosi konsep bangunan hijau itu sendiri.
TUJUAN PENYUSUNAN
FILOSOFI
Dari awal, GBCI sudah berketatapan akan menyusun suatu rating system yang sesuai dengan kondisi
dan situasi lokal Indonesia serta menetapkan teknik-teknik yang dapat diimplementasikan di negeri ini.
Dan beberapa prinsip yang dipergunakan, yang menjadi dasar penyusunannya adalah:
1. Sederhana (simple),
2. Dapat dan mudah diimplementasi (applicable),
3. Teknologi tersedia (available technology), serta
4. Menggunakan kriteria penilaian sedapat mungkin berdasarkan standard lokal baku seperti
Undang-Undang (UU), Keputusan Presiden (Keppres), Instruksi Presiden (Inpres), Peraturan
Menteri (Permen), Keputusan Menteri (Kepmen), dan Standar Nasional Indonesia (SNI).
Dengan adanya keempat dasar tersebut, diharapkan para pelaku industri bangunan berkeinginan
untuk mengimplementasikan konsep bangunan hijau karena tidak sulitnya kriteria yang dituntut
sistem rating tersebut. Dengan dimulainya gerakan ini, diharapkan semakin banyak pihak yang
menerapkan konsep ini sehingga pelaksanaan konsep bangunan hijau merupakan suatu hal yang
akan menjadi sasaran yang umum dari setiap pengembang bangunan.
Rating yang disusun dan tolok ukur standar pencapaiannya dimulai dari yang mudah. Tentu ini lebih
sederhana dibanding sistem rating lain di luar negeri, yang sudah lebih dahulu berkembang dan
diakui reputasinya. Di sini terdapat lima tingkat kesulitan dari rating yang ditetapkan, yaitu:
1. Rating yang untuk pencapaiannya relatif mudah dan tanpa biaya besar,
2. Rating yang untuk pencapaiannya relatif mudah tapi terdapat hambatan dalam
penerapannya,
3. Rating yang untuk pencapaiannya relatif sulit, butuh biaya besar, tetapi bila dilakukan
memiliki dampak lingkungan yang signifikan,
4. Rating yang untuk pencapaiannya relatif sulit, butuh biaya besar, dan teknologi yang
tersedia belum cukup maju untuk mencapai dampak lingkungan yang signifikan, serta
5. Rating yang untuk proses penilaiannya relatif sulit dilakukan.
Tingkat kesulitan yang dipetakan ini dapat tercermin dari bobot nilai rating tersebut. Rating yang
relatif mudah pencapaiannya tanpa biaya besar tentunya berbobot rendah, sedangkan semakin
tinggi tingkat kesulitannya semakin tinggi pula bobotnya. Untuk rating yang pencapaiannya masih
sulit karena teknologinya belum tersedia, diberi nilai bonus sebagai penghargaan atas usahanya
dalam menerapkan teknologi ramah lingkungan.
Perangkat rating ini juga berfungsi sebagai media pembelajaran bagi industri bangunan di Indonesia.
Oleh karena itu, bila dirasakan, dari masa ke masa para pelaku industri bangunan sudah dapat
mencapai rating ini dengan mudah. Akibatnya, standarnya akan dinaikkan sehingga terjadi
peningkatan kualitas, baik dari segi produk maupun keterampilan sumber daya manusianya.
Penyusunan perangkat rating ini juga dalam proses pembelajaran dan akan berubah dari waktu ke
waktu seiring dengan peningkatan praktik-praktik pelaku industri bangunan dan urgensi isu
lingkungan yang terjadi. Untuk itu, sistem penilaian akan selalu direvisi untuk mendapatkan versi
yang lebih baru, dengan tolok ukur yang lebih tinggi. Dan tidak terutup kemungkinan adanya
penambahan atau pengurangan jumlah rating ataupun bobot nilai yang dikandungnya di masa yang
akan datang, karena pada dasarnya tidak akan pernah ada sistem yang sempurna. Rating akan terus
berubah mengikuti kemajuan teknologi, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan isu
lingkungan yang ada.
PROSES PENYUSUNAN
Guidelines v1
Beberapa core founder dari sejumlah 50 orang dibagi dalam beberapa gugus tugas sesuai dengan
kategori pengelompokan rating, dengan tugas menyusun konsep awal sistem rating. Berdasarkan
hasil penyusunan konsep awal itu, GBCI menerbitkan terlebih dahulu Panduan Bangunan Hijau
(Green Building guidelines ) versi GBCI, yang hanya berisi butir-butir sistem rating yang sedang
disusun. Panduan ini belum dilengkapi tolok ukur (kriteria) dan nilai (point), sehingga buku belum
dapat digunakan untuk menilai atau mengevaluasi bangunan hijau, melainkan digunakan untuk
menguji tingkat pemahaman tentang konsep bangunan hijau.
Framework v2
Setelah guidelines versi 1 diterbitkan, yang berisi kategori dan jenis rating yang diusulkan untuk
menjadi isi sistem rating GREENSHIP, dimulailah proses yang lebih jauh dari penyusunan
GREENSHIP, yaitu menentukan tolok ukur dan penilaian. GBCI melalui Direktorat Rating dan
Teknologi membentuk tim yang terdiri atas para analis dan penulis ilmiah. Mereka membedah enam
sistem rating di dunia yang dipandang cukup mewakili, yaitu LEED dari USA, BREEAM dari Inggris
Raya, Greenstar dari Australia, Greenmark dari Singapura, dan GBI dari Malaysia. Dari keenam sistem
itu, pertama-tama dicari rating-rating yang minimal tertera di empat sistem rating (four common),
karena dianggap dapat berlaku secara universal, kemudian disarikan menjadi three common dan two
common. Pertimbangannya adalah, dapat dilakukan adopsi dengan menilik kondisi yang ada di
Indonesia.
Rating-rating tersebut dianalisis berdasarkan kesesuaian kondisi dan tolok ukur baku yang berlaku di
Indonesia seperti tertera pada UU, Keppres, Inpres, Permen, Kepmen, dan SNI. Selain diskusi
internal, juga dilakukan diskusi dengan berbagai pihak, terutama para ahli yang berasal dari:
lembaga penelitian
instansi pemerintah
universitas
asosiasi profesi
asosiasi industri, dan sebagainya.
Dari proses tersebut, dapat diidentifikasi enam kategori yang berisi 42 (empat puluh dua) rating
dengan jumlah nilai total 96 (sembilan puluh enam). Rating yang telah diidentifikasi inilah yang
dibukukan dalam buku Kerangka Konsep untuk Bangunan Hijau Tipe Bangunan Baru Versi 2
(GREENSHIP Green Building Framework for New Construction Version 2).
Framework v3
Setelah peluncuran Framework Versi 2, banyak masukan diterima, baik berupa email maupun diskusi
langsung dengan berbagai pihak. Dari diskusi itu berkembanglah rating-rating baru yang dipertajam
dengan identifikasi keperluan data yang harus dimasukkan ke dalam penilaian sertifikasi.
Penyusunan naskah ini juga telah mempertimbangkan cara teknis penilaian dan proses sertifikasi.
Naskah yang telah lebih komprehensif ini kemudian disusun dan diberi judul ‘Kerangka Konsep untuk
Bangunan Hijau Tipe Bangunan Baru Versi 3’ (GREENSHIP Green Building Framework for New
Building Version 3).
Konsensus Nasional
Setelah selesai disusun, naskah ‘Kerangka Konsep untuk Bangunan Hijau Tipe Bangunan Baru Versi 3’
kemudian dijadikan bahan diskusi dengan technical advisory group (TAG) dan dibandingkan dengan
proyek percontohan. Yang bergabung dalam TAG ini adalah industri bangunan yang mengirimkan
wakil ahlinya untuk turut mempertajam rating GREENSHIP NB Version 1. Setelah mengalami
serangkaian diskusi yang membahas kategori per kategori, dikristalkanlah sebuah naskah yang di
sebut ‘Perangkat Rating Bangunan Hijau GREENSHIP untuk Bangunan Baru Versi 1, 2010’. Naskah ini
dibukukan menjadi buku ‘Perangkat Rating Bangunan Hijau GREENSHIP untuk Bangunan Baru Versi
1, 2010 (GREENSHIP Rating Tools for New Building Version 1, 2010). Dan untuk melengkapi buku ini
dalam praktik, juga dibukukan ‘Bangunan Hijau GREENSHIP untuk Bangunan Baru Versi 1, 2010’.
SISTEMATIKA
Penerapan konsep green building merupakan bagian dari green practice atau tindakan ramah
lingkungan. Keuntungan membangun sebuah green building, antara lain adalah:
Desain yang lebih kompak dan efisien sehingga mengoptimalkan fungsi-fungsi gedung,
Efisiensi yang tinggi dalam konsumsi energi listrik dan air,
Biaya yang hemat dalam operasional sehari-hari untuk energi dan konsumsi air,
Kesehatan jasmani-rohani yang lebih baik bagi pengguna gedung,
Produktivitas dan kinerja yang meningkat paada pengguna gedung,
Biaya pemeliharaan dan operasional yang rendah dalam jangka panjang,
Preferensi pasar yang lebih tinggi, terutama perusahaan internasional/multinasional,
Didapatnya pengakuan internasional sebagai produk unggulan dalam industri rancang
bangun,
Munculnya ketertarikan yang tinggi, baik pada konsumen/klien maupun karyawan karena
merupakan sebuah produk/perusahaan yang memerhatikan lingkungan, dan
Tumbuhnya sikap ramah lingkungan pada para penggunanya, yang diharapkan dapat
meneruskan sikap tersebut di rumah tangga masing-masing dan menimbulkan efek
multiplier.
Untuk menciptakan sebuah green building, harus dilaui serangkaian proses. Bagi sebuah bangunan
baru, tentunya terlebih dahulu ditetapkan bahwa bangunan yang akan dirancang dan dibangun akan
menjadi suatu green building. Pemilik atau pihak manajemen sudah harus menetapkan peringkat
mana yang ingin dicapai.
Penetapan tujuan ini diperlukan karena untuk mencapai tingkatan tertentu tentu diperlukan
pencapaian nilai minimum. Semakin tinggi peringkat yang diinginkan, semakin banyak nilai yang
harus dicapai. Pencapaian nilai minimum ini mencerminkan usaha dan produk akhir tertentu yang
diharapkan berlanjut hingga ke pengoperasian. Dari awal tentu pemilik sudah dapat
memproyeksikan apakah usaha yang dilakukan setara dengan pengembalian investasi yang akan
diperoleh atau tidak. Ada empat tingkat peringkat GREENSHIP, yaitu:
NILAI TERKECIL
PREDIKAT
NILAI PERSENTASE (%)
PLATINUM 70 73
EMAS 54 57
PERAK 44 46
PERUNGGU 33 35
Peringkat dari GREENSHIP mencerminkan usaha pemilik gedung. Butir rating yang dimuat di
dalamnya mengombinasikan berbagai tingkat kesulitan. Angka yang ditetapkan sebagai nilai minimal
peringkat perunggu adalah jumlah nilai yang dapat dicapai apabila sebuah proyek memenuhi nilai
maksimum dari rating yang pencapaiannya relatif mudah, tidak membutuhkan biaya tambahan, dan
yang membutuhkan biaya tidak terlalu besar. Nilai minimal perak dapat dicapai bila sebuah proyek
memenuhi semua rating yang pencapaiannya relatif mudah serta sepertiga dari rating yang
pencapaiannya sulit dan butuh biaya relatif besar. Nilai minimal emas diperoleh bila sebuah proyek
memenuhi semua rating yang pencapaiannya relatif mudah dan dua per tiga dari rating yang
pencapaiannya sulit dan butuh biaya relatif besar. Peringkat platinum dapat dicapai bila sebuah
proyek memenuhi rating yang pencapaiannya membutuhkan biaya relatif lebih besar dan
teknologinya belum tersedia sehingga dapat dikatakan sangat sulit pencapaiannya.
Langkah kedua adalah membentuk suatu tim desain yang terintegrasi. Dari awal tahap perencanaan
desain, unsur-unsur perencana desain gedung, yaitu arsitektur, interior, lansekap, struktur,
mekanikal elektrikal, dan sipil sudah mulai berinteraksi dan membentuk integrated design team.
Prosedur ini diperlukan agar dapat tercapai suatu desain yang optimal dan tidak tambal sulam. Hasil
koordinasi sejak tahap awal ini menjadikan desain sebuah gedung lebih well designed, kompak,
efisien, dan bahkan mendorong terjadinya kreasi baru desain yang inovatif. Di tahap inilah sebaiknya
tim desain sudah mulai dituntun oleh seorang accredited professional (AP) yang memahami
penggunaan perangkat penilaian GREENSHIP dan implementasinya pada desain.
Yang dimaksud dengan gedung baru komersial adalah suatu bangunan yang didirikan di atas suatu
lahan kosong atau bangunan lama yang dibongkar dengan peruntukan sebagai fungsi perkantoran,
pertokoan, rumah sakit, hotel, dan apartemen. Pertimbangan yang dilakukan dalam memilih tipe NB
ini sebagai perangkat penilaian yang pertama kali disusun adalah karena dinilai lebih mudah
dibandingkan dengan tipe lain seperti gedung terbangun (existing building) dan lain-lain.
TOLOK UKUR
Tolok ukur (benchmark) adalah patokan yang dianggap sebagai implementasi dari praktik terbaik
sehingga menjadi syarat pencapaian suatu rating. Dari tolok ukur inilah batasan pencapaian suatu
rating dapat diukur. Sebagian besar tolok ukur menggunakan standar yang berlaku di Indonesia.
Sebagian rating yang belum memiliki standar lokal mengacu kepada standar yang berlaku secara
universal. Untuk sebagian kecil rating yang belum memiliki tolok ukur tetapi praktiknya dirasa
memiliki dampak yang signifikan kepada lingkungan, tim proyek diberi kesempatan untuk memilih
dan membuktikan validitas tolok ukur yang digunakan.
Kategori
Yang dimaksudkan dengan kategori adalah pembidangan aspek-aspek yang dinilai secara signifikan,
dan harus menjadi perhatian utama dalam konsep bangunan hijau. Kategori ini mengandung rating-
rating yang menjadi inti penilaian perangkat rating GREENSHIP ini.
Rating
Rating adalah bagian dari kategori, berisi muatan apa saja yang dinilai, tolok ukur apa saja yang
harus dipenuhi, dan berapa nilai poin yang terkandung di dalamnya. Ada 3 (tiga) jenis penilaian,
yaitu rating prasyarat, rating biasa, dan rating bonus.
Rating Prasyarat (Prerequisite)
Rating prasayarat adalah butir rating yang mutlak harus dipenuhi dan diimplementasi dalam suatu
kategori. Apabila butir ini tidak dipenuhi, butir-butir rating lainnya dalam kategori ini tidak dapat
dinilai dan tidak akan mendapatkan nilai sehingga proses sertifikasi tidak dapat dilanjutkan. Butir
rating ini sendiri tidak memiliki butir nilai.
Rating Biasa
Rating biasa adalah turunan dalam kategori selain butir prasyarat. Butir ini baru dapat dinilai dan
diberi nilai kalau semua butir prasyarat dalam kategori tersebut telah dipenuhi atau telah
dilaksanakan. Butir rating ini memiliki butir nilai tertentu, sesuai dengan ketentuan pencapaian tolok
ukur yang sudah ditetapkan.
Rating Bonus
Rating bonus adalah butir rating yang dapat dinilai seperti butir rating biasa tetapi keberadaannya
tidak diperhitungkan dalam jumlah total butir rating yang digunakan sebagai nilai pembagi dalam
perhitungan persentase penilaian. Suatu rating dipertimbangkan sebagai rating bonus apabila dinilai
untuk mencapai rating tersebut diperlukan usaha atau biaya yang besar, dan apabila dilakukan
menimbukan impact yang besar terhadap lingkungan, tetapi teknologi yang ada belum cukup
memadai untuk mendukung usaha tersebut sehingga terdapat kendala seperti biaya yang relatif
tinggi.
PERSYARATAN AWAL (ELIGIBILITY)
TUJUAN
Membatasi lingkup target dari sistem rating GREENSHIP untuk bangunan baru komersial pada
bangunan besar dengan luas minimum 2500 m2
LATAR BELAKANG
Bangunan gedung berpotensi memerlukan energi dan sumber daya dalam jumlah yang besar pada
saat membangun, mengoperasikan, dan memeliharanya. Keadaan ini menjadikan keberadaannya
dapat memberi pengaruh yang signifikan pada lingkungan. Dengan perbaikan yang dimulai dari
gedung baru berskala besar, dapat dirasakan bagaimana pengaruhnya yang nyata terhadap
lingkungan secara signifikan. Mengingat sistem rating untuk bangunan hijau adalah hal yang baru di
Indonesia, maka target penilaian pertamanya adalah bangunan besar yang dapat dengan mudah
diakses oleh masyarakat umum dan dirasakan keberadaannya sebagai suatu icon.
TUJUAN
LATAR BELAKANG
Membangun di kawasan yang sesuai dengan RTRW memberikan dampak positif bagi pengembang
dikarenakan bangunan memiliki lokasi yang stabil di dalam kawasannya. Dengan kata lain, bangunan
tersebut tidak akan rentan terhadap penggusuran yang dapat merugikan banyak pihak, baik dari
aspek ekonomi maupun sosial. Di lain pihak, bila pembangunan dilakukan pada peruntukan Ruang
Tata Hijau atau RTH, hal ini akan berdampak negatif terhadap lingkungan hidup perkotaan. Peran
RTH tidak hanya memiliki fungsi ekologis dan estetika bagi lingkungan perkotaan. Lebih jauh lagi,
RTH dapat menjadi nilai kebanggaan dan identitas suatu kota.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
Pasal 18, setiap gedung harus didirikan sesuai dengan peruntukan lokasi yang ditetapkan dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota setempat, yang klasifikasi tersebut mengacu pada UU RI No. 26
tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Bersedia menandatangani surat yang berisi persetujuan untuk memperbolehkan
data gedung yang berhubungan dengan penerapan green building
III dipergunakan untuk dipelajari dalam studi kasus yang diselenggarakan oleh
GBCI
TUJUAN
Menghimpun data base yang akurat sehingga dapat menjadi salah satu dasar perbaikan sistem
rating GREENSHIP, baik untuk bangunan baru maupun bangunan existing
LATAR BELAKANG
Sebelum sebuah bangunan gedung dievaluasi, pihak pemilik atau manajemen gedung akan
mendaftarkan diri kepada GBCI secara sukarela. Proses mengevaluasi setiap bangunan gedung
membutuhkan data dari pihak manajemen gedung. Untuk itu, diperlukan perjanjian antara pihak
manajemen gedung dan pihak GBCI mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak untuk
bekerja sama selama proses evaluasi tersebut.
TUJUAN
LATAR BELAKANG
Esensi pembangunan adalah untuk mewujudkan kesejahteraan umat manusia. Dengan teknologi,
manusia akan mendapat manfaat pembangunan sebagai dampak positif. Namun, di saat yang
bersamaan, kerusakan akibat teknologi itu sendiri akan berdampak negatif terhadap lingkungan
hidup. Supaya pembangunan tetap berkelanjutan dengan ide dasar memenuhi kebutuhan di masa
kini tanpa mengurangi kesempatan generasi di masa datang untuk melakukan hal yang sama,
diperlukan suatu tindakan yang dapat menjamin daya dukung lingkungan hidup.
Upaya pemantauan dan pengelolaan lingkungan pada sebuah bangunan gedung adalah wujud usaha
dalam meringankan beban suatu kawasan yang mendapat dampak negatif dari pembangunan. Hal
ini merupakan investasi jangka panjang yang hasilnya tidak hanya dari aspek ekonomi melainkan
juga aspek lingkungan dan sosial.
Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal
34, setiap jenis usaha yang tidak termasuk mengubah bentang alam dan mengeksploitasi sumber
daya alam harus memiliki Usaha Pengelolaan Lingkungan dan Usaha Pengelolaan Lingkungan.
Bersedia menandatangani surat yang menyatakan bahwa gedung yang
V
bersangkutan akan dibuat tahan gempa
TUJUAN
Menjamin keamanan penghuni dari ancaman bencana gempa bumi serta mempertahankan secara
optimal fungsi bangunan atas ketahanan struktur dan konstruksi terhadap beban bencana gempa
LATAR BELAKANG
Indonesia berada dalam daerah yang sarat dengan bencana gempa bumi. Oleh karena itu,
pembangunan gedung harus menjamin keselamatan dan keamanan penghuninya dari gempa bumi.
Ketahanan suatu bangunan gedung terhadap beban (termasuk gempa) bergantung pada sistem
struktur dan konstruksi yang diterapkan. Semakin tinggi tingkat ketahanan struktur dan konstruksi
yang diterapkan, semakin tinggi pula tingkat keamanan dan efisiensi pemeliharaan apabila terjadi
gempa bumi.
Berdasarkan UU No.28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung Pasal 33, setiap bangunan gedung
harus memiliki ketahanan terhadap semua beban, baik untuk muatan tetap maupun muatan tidak
tetap seperti dari angin dan gempa.
TUJUAN
Mendorong pembangunan fisik yang responsif terhadap perbedaan kemampuan fisik setiap individu
sebagai bentuk usaha dalam mewujudkan persamaan kesempatan sehingga berdampak positif baik
secara ekonomi maupun lingkungan
LATAR BELAKANG
Lingkungan yang inklusif merupakan suatu bentuk usaha dalam mewujudkan keberlanjutan dari
aspek sosial yang tentunya akan berdampak positif baik pada aspek ekonomi maupun lingkungan.
Mengingat bangunan gedung merupakan pembangunan fisik, lingkungan fisik yang inklusif harus
mulai diwujudkan. Sebagai langkah awal, kesadaran masyarakat akan perbedaan kemampuan fisik
setiap individu harus dimulai. Sehingga hal ini dapat berdampak pada tingkat responsisivitas suatu
bangunan gedung terhadap perbedaan tersebut dengan menjunjung keamanan, kenyamanan, dan
kemandirian penggunanya.
Penyediaaan aksesibilitas untuk penyandang cacat harus mulai dipandang secara luas. Fasilitas yang
memiliki standar aksesibilitas tidak hanya berguna bagi penyandang cacat melainkan juga untuk
manula. Semakin maju perkembangan zaman, jumlah populasi manula juga meningkat. Maka,
semakin banyak pula kebutuhan terhadap fasilitas yang responsif bagi mereka. Bila suatu bangunan
telah memiliki fasilitas yang responsif, kemungkinan untuk melakukan perbaikan atau renovasi akan
semakin kecil .
Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung Pasal 60,setiap bangunan gedung
harus menyediakan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan manula yang dapat menjamin
keamanan, kenyamanan, dan kemandirian mereka untuk bermobilitas dan beraktivitas di dalamnya.
Mendorong penurunan risiko kebakaran pada bangunan sehingga keamanan dan keselamatan
pengguna gedung terjamin
LATAR BELAKANG
Kebakaran adalah nyala api, baik berskala besar maupun kecil, yang tidak direncanakan dan
umumnya sulit untuk dikendalikan. Setiap sistem bangunan memiliki probabilitas untuk mengalami
kebakaran. Kerugian yang ditimbulkan dari bencana kebakaran tidak hanya materi, namun meliputi
sosial dan lingkungan. Karena itu, sistem proteksi kebakaran tidak hanya diterapkan untuk
mengurangi risiko kebakaran yang telah terjadi melainkan juga untuk mencegah kemungkinan
terjadinya kebakaran.
Semakin tinggi kualitas sistem proteksi kebakaran suatu bangunan gedung, semakin besar
keberpihakannya terhadap lingkungan, terutama dalam hal keselamatan pengguna gedung untuk
menghindarin jatuhnya korban karena bencana kebakaran. Lebih jauh lagi, mengingat kebakaran
juga menghasilkan gas-gas beracun yang berdampak negatif bagi lingkungan sekitar, sistem proteksi
yang baik juga meminimalisasi derajat pencemaran lingkungan dari bencana tersebut.
Berdasarkan UU No 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung Pasal 34, setiap bangunan gedung
harus memiliki sistem proteksi terhadap bahaya kebakaran, baik yang bersifat pasif maupun aktif.
RATING DAN PENILAIAN
IHC
Laju perkembangan kawasan urban semakin menggurita karena umumnya pemilihan lokasi
pembangunan di Indonesia lebih mengutamakan faktor harga tanah daripada faktor lingkungan
hidup dan pertimbangan keberlanjutan. Persepsi bahwa pembangunan yang menggunakan lahan
BEM
baru dinilai lebih murah daripada menggunakan lokasi yang dilengkapi oleh berbagai jaringan
fasilitas umum meningkatkan laju urban sprawl sehingga konversi lahan rural menjadi urban
semakin tidak terelakkan. Seiring dengan pertumbuhan luasnya kawasan urban, ketersediaan ruang
terbuka hijau (RTH) yang mendukung populasi penduduk justru semakin terbatas. Selain itu, gaya
hidup urban menyerap banyak energi dan air serta menghasilkan CO2 dan jejak karbon yang besar.
Saat ini, perencanaan pembangunan kawasan urban atau perkotaan di Indonesia semakin dilengkapi
berbagai fasilitas, seperti jaringan dan moda transportasi, komunikasi, utilitas, serta berbagai
fasilitas umum lainnya. Keterhubungan dengan semua fasilitas dan infrastruktur ini memberikan
kemudahan dan fleksibilitas agar efisiensi energi dan biaya tercapai. Terciptanya efisiensi energi,
terutama energi fosil, dapat mengakibatkan turunnya jejak karbon dan jejak ekologis, dan
meningkatnya kulitas lingkungan hidup.
Pembangunan kawasan urban yang dilakukan harus dapat menunjang keberlanjutan kawasan dan
kualitas ruang secara makro, tanpa mengurangi kualitas lingkungan dan kualitas hidup manusia
seperti produktivitas, kesempatan kerja, dan ekonomi masyarakat di sekitarnya. Sebaliknya, semua
itu mestinya dapat meningkat. Dengan memerhatikan aspek lokasi dan lahan, diharapkan adanya
upaya mengurangi pengaruh negatif keberadaan bangunan terhadap lingkungan hidup dan
lingkungan sekitarnya.
NILAI
ASD P1 BASIC GREEN AREA MAKS
P
TUJUAN
EEC Memelihara atau memperluas kehijauan kota untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup,
mengurangi emisi gas rumah kaca, mengurangi beban limpasan permukaan sistem drainase, dan
meminimalkan dampak terhadap neraca air bersih dan sistem air tanah selama penggunaan
bangunan
WAC
TOLOK UKUR NILAI
MRC Adanya area lansekap berupa vegetasi (softscape) yang bebas dari struktur bangunan dan P
struktur sederhana bangunan taman (hardscape) di atas permukaan tanah atau di bawah
tanah, dengan luas area minimum 10% dari luas total lahan atau 50% dari ruang terbuka
dalam tapak
IHC
Area ini memiliki vegetasi mengikuti Permendagri Pasal 13 (12a) dengan komposisi 50%
lahan tertutupi luasan pohon ukuran kecil, ukuran sedang, ukuran besar, perdu setengah
BEM pohon, perdu, semak dalam ukuran dewasa dengan jenis tanaman sesuai dengan Permen
PU No. 5/PRT/M/2008 mengenai Ruang Terbuka Hijau (RTH) Pasal 2.3.1 tentang Kriteria
Vegetasi untuk Pekarangan.
2. Untuk pembangunan yang berlokasi dan melakukan revitalisasi di atas lahan yang 1 IHC
bernilai negatif dan tak terpakai karena bekas pembangunan atau dampak negatif
pembangunan, seperti tempat pembuangan akhir (TPA), badan air yang tercemar, dan
daerah padat yang sarana dan prasarananya di bawah standar Peraturan Pemerintah BEM
Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 1999 Paragraf Ketiga tentang Persyaratan Utilitas
Kasiba Pasal 68 butir a-e, revitalisasi dilakukan dengan melengkapi tapak dengan sarana
prasarana tersebut.
Tolok ukur 2:
Foto lokasi prapembangunan
Gambar rencana revitalisasi
Di beberapa tempat di negara lain, adanya pembangunan kembali di daerah bekas lahan
yang sudah mengalami kerusakan yang dikenal dengan brownfield merupakan hal yang
lazim digunakan. Lahan yang dimaksud dapat berupa TPA, badan air yang tercemar, dan daerah
padat yang sarana dan prasarananya di bawah standar.
Selain itu, salah satu akibat pembangunan perkotaan yang tidak terencana adalah
meluasnya wilayah daerah belakang perkotaan (hinterland and suburban) yang umumnya
menyerang kawasan pertanian yang berfungsi sebagai sumber pasokan makanan dan
daerah penyangga. Tetapi keadaan ini berlangsung terus-menerus sehingga daerah ini
makin lama makin meluas. Pada kenyataanya daerah perkotaan dapat ditingkatkan
kepadatannya dengan pembangunan yang lebih vertikal dan melakukan revitalisasi
lingkungan. Karena itu, perlu didorong adanya gerakan untuk mengoptimalkan lahan yang
ada di perkotaan.
NILAI
ASD ASD-2 COMMUNITY ACCESSIBILITY MAKS
2
TUJUAN
EEC Untuk mendorong pembangunan di tempat yang sudah memiliki jaringan konektivitas dan
meningkatkan pencapaian pengguna gedung sehingga mempermudah masyarakat dalam
menjalankan kegiatan sehari-hari dan menghindari penggunaan kendaraan bermotor
WAC TOLOK UKUR NILAI
1. Terdapat minimal 7 jenis fasilitas umum dalam jarak pencapaian jalan utama sejauh 1
1500 m dari tapak
MRC
2. Membuka akses pejalan kaki selain ke jalan utama di luar tapak yang menghubungkan- 1
nya dengan jalan sekunder dan/atau lahan milik orang lain sehingga tersedia akses ke
IHC minimal 3 fasilitas umum sejauh 300 m jarak pencapaian pejalan kaki
3. Menyediakan fasilitas/akses yang aman, nyaman, dan bebas dari perpotongan dengan 2
BEM akses kendaraan bermotor untuk menghubungkan secara langsung bangunan dengan
bangunan lain, di mana terdapat minimal 3 fasilitas umum dan/atau dengan stasiun
transportasi masal
4. Membuka lantai dasar gedung sehingga dapat menjadi akses pejalan kaki yang aman 2
dan nyaman selama minimum 10 jam sehari
atau
B. Menyediakan shuttle bus untuk pengguna tetap gedung dengan jumlah unit minimum IHC
untuk 10% pengguna tetap gedung
2. Menyediakan fasilitas jalur pedestrian di dalam area gedung untuk menuju ke stasiun 1
transportasi umum terdekat yang aman dan nyaman sesuai dengan Peraturan Menteri BEM
PU 30/PRT/M/2006 mengenai Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada
Bangunan Gedung dan Lingkungan Bab 2B
Tolok ukur 2:
Gambar rencana tapak dan detail yang menunjukkan penyediaan fasilitas menunggu
transportasi umum bagi pengguna gedung
MRC 2. Apabila butir 1 di atas terpenuhi, perlu tersedianya shower sebanyak 1 unit untuk 1
setiap 10 tempat parkir sepeda
DOKUMEN YANG DINILAI
IHC Tolok ukur 1:
Perhitungan jumlah parkir sepeda terhadap penghuni gedung
Gambar perletakan tempat parkir sepeda
BEM
Tolok ukur 2:
Gambar denah yang menunjukkan perletakan shower pengguna sepeda
2. Penggunaan tanaman lokal (indigenous) dan budidaya lokal dalam skala provinsi 1
menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebesar 60% luas tajuk/ jumlah
tanaman
2. Menggunakan berbagai material untuk menghindari efek heat island pada area non-atap 1
IHC sehingga nilai albedo (daya refleksi panas matahari) minimum 0,3 sesuai dengan
perhitungan
BEM 3. A. Desain menunjukkan adanya pelindung pada sirkulasi utama pejalan kaki di daerah 1
luar ruangan area luar ruang gedung menurut Peraturan Menteri PU No.
5/PRT/M/2008 mengenai Ruang Terbuka Hijau (RTH) Pasal 2.2.3.c mengenai Sabuk
Hijau
dan/atau
B. Desain lansekap menunjukkan adanya fitur yang mencegah terpaan angin kencang 1
kepada pejalan kaki di daerah luar ruangan area luar ruang gedung
Meluasnya heat island akan menyebabkan penurunan kenyamanan kehidupan manusia. Kondisi di
Indonesia yang suhu udaranya relatif panas menjadi bertambah panas sehingga manusia
membutuhkan pendingin seperti AC dan kipas angin yang lebih besar. Situasi ini akhirnya akan
berdampak pada pemborosan energi listrik dan polusi yang menyebabkan green house effect. Perlu
dipikirkan penataan ruang yang memperhitungkan luasan dan formasi area hijau dan tingginya
kepadatan penduduk. Mengingat semakin meluasnya penyebaran kawasan urban di setiap kota di
Indonesia, perubahan iklim mikro di setiap kota akan berdampak pada pemanasan global.
NILAI
ASD-7 STORM WATER MANAGEMENT MAKS ASD
3
TUJUAN
Mengurangi beban jaringan drainase kota dari kuantitas limpasan air hujan dengan sistem EEC
manajemen air hujan secara terpadu
TOLOK UKUR NILAI
1. A. Pengurangan beban volume limpasan air hujan ke jaringan drainase kota dari lokasi 1 WAC
bangunan hingga 50% total volume hujan harian yang dihitung menurut data BMKG
atau MRC
1. B. Pengurangan beban volume limpasan air hujan ke jaringan drainase kota dari lokasi 2
bangunan hingga 85% total volume hujan harian yang dihitung menurut data BMKG
IHC
2. Menunjukkan adanya upaya penanganan pengurangan beban banjir lingkungan dari luar 1
lokasi bangunan
3. Menggunakan teknologi-teknologi yang dapat mengurangi debit limpasan air hujan 1
BEM
Tolok ukur 2:
Gambar potongan tapak keseluruhan
Laporan penanganan stormwater yang berisi:
- skema penanganan,
- Perhitungan, dan
- rencana penanganan stormwater.
Konsumsi energi paling besar dialokasikan pada operasional pengondisian suhu ruang dalam gedung
berupa pendingin ruangan (air conditioning/AC), transportasi vertikal, dan penerangan.
Pengoperasian sistem tersebut dengan menggunakan teknologi dan cara yang tidak efisien dan
memiliki dampak yang besar pada perubahan iklim serta pemanasan global karena adanya efek
rumah kaca.
Untuk memerangi perubahan iklim, perlu adanya praktik-praktik baru, sejak tahap desain hingga
pengoperasian gedung, sehingga efisiensi konsumsi energi dapat meningkat dan jejak karbon,
potensi pemanasan global, serta potensi penipisan lapisan ozon berkurang.
NILAI
ASD P1 ELECTRICAL SUBMETERING MAKS
P
TUJUAN
EEC Sebagai fasilitas pendukung prosedur pemantauan dan pencatatan konsumsi listrik sehingga
data yang dicatat dapat digunakan untuk usaha penghematan selanjutnya
PERKECUALIAN
WAC
1. Untuk rumah sakit, tidak termasuk instalasi ruang khusus yang memiliki peralatan besar
2. Untuk hotel, tidak termasuk laundry dan F&B
MRC 3. Untuk apartemen, tidak termasuk tiap unit
4. Untuk perkantoran, tidak termasuk data centre
Submeter listrik semakin memegang peranan penting untuk gedung-gedung baru di Indonesia
mengingat fungsinya yang penting dalam pemantauan dan pengontrolan konsumsi energi agar
menjadi lebih efisien dan hemat.
NILAI
P2 OTTV CALCULATION MAKS
ASD
P
TUJUAN
Mendorong penyebaran arti selubung gedung yang baik untuk penghematan energi EEC
TOLOK UKUR NILAI
Menghitung selubung gedung OTTV untuk gedung yang akan disertifikasi P
WAC
DOKUMEN YANG DINILAI
Perhitungan OTTV berdasarkan SNI 03-6389-2000 tentang Konservasi Energi Selubung Bangunan
pada Bangunan Gedung MRC
LATAR BELAKANG RATING
Komponen beban yang memberikan kontribusi terbesar atau cukup besar terhadap beban
IHC
pendinginan perlu dicermati agar dapat dicari peluang penghematan energinya. Salah satu
komponen beban adalah bahan bangunan dan beban selubung bangunan.
Bahan bangunan: Identifikasi bahan bangunan akan menentukan nilai transmitansi termal yang
BEM
menjadi salah satu variabel dalam perhitungan beban pendinginan.
Beban selubung bangunan: OTTV (overall total transfer value) atau nilai perpindahan termal
menyeluruh adalah suatu nilai yang ditetapkan sebagai kriteria perancangan untuk dinding dan
kaca bagian luar bangunan gedung yang dikondisikan. Beban pendinginan yang berasal dari luar
melalui selubung bangunan, misalnya untuk gedung kantor satu Iantai, di Indonesia dapat
mencapai 40% hingga 50% dari beban pendingin seluruhnya pada waktu terjadi beban puncak.
NILAI
ASD EEC-1 ENERGY EFFICIENCY MEASURES MAKS
20
TUJUAN
EEC Mendorong penghematan konsumsi energi melalui aplikasi langkah-langkah efisiensi energi
PERKECUALIAN
WAC Untuk rumah sakit, tidak termasuk ruang-ruang tertentu, seperti laboratorium, ruang periksa, ruang
operasi, unit gawat darurat, ruang mayat, ruang sterilisasi, ruang peralatan khusus, ICU, dan ruang
MRC isolasi
atau
2. EEC 1-2. Worksheet standar GBCI
Dengan menggunakan perhitungan worksheet, setiap penghematan 2% dari selisih
antara gedung designed dan baseline mendapat nilai 1 poin. Penghematan mulai 15
dihitung dari penurunan energi sebesar 10% dari gedung baseline. Worksheet
dimaksud disediakan oleh GBCI.
atau
3. EEC 1-3. Penghematan per komponen yang sudah ditentukan
Caranya adalah dengan memperhitungkan secara terpisah overall thermal transfer
value (OTTV) dari selubung bangunan dan mempertimbangkan pencahayaan buatan,
10
transportasi vertikal, dan coefficient of performance (COP).
EEC 1-3-1 BUILDING ENVELOPE 5
2 2
Tiap penurunan 3 W/m dari nilai OTTV 45 W/m (SNI 03-6389-2000) 1
mendapatkan nilai 1 poin (sampai maksimal 5 poin).
3. Zonasi pencahayaan untuk seluruh ruang kerja yang dikaitkan dengan sensor 1
gerak (motion sensor)
4. Penempatan tombol lampu dalam jarak pencapaian tangan pada saat buka 1
pintu
EEC 1-3-3 VERTICAL TRANSPORTATION* 1
1. Lift menggunakan traffic management system yang sudah lulus traffic analysis 1
atau menggunakan regenerative drive system ASD
2. Menggunakan fitur hemat energi pada lift, menggunakan sensor gerak, atau 1
sleep mode pada eskalator
EEC
EEC 1-3-4 COP 2
Menggunakan peralatan air conditioning dengan COP minimum 10% lebih besar 2
dari standar SNI 03-6390-2000 WAC
DOKUMEN YANG DINILAI
Perhitungan melalui energy modelling software yang direkomendasikan GBCI atau hasil MRC
perhitungan dengan worksheet atau hasil perhitungan per komponen saat desain
Perhitungan baru yang memasukkan semua unsur perubahan sesudah konstruksi
IHC
LATAR BELAKANG RATING
Rencana/desain hemat energi tidak semata-mata ranah ahli mechanical electrical, tetapi suatu hasil
dari kreativitas para perancang bangunan lintas bidang (arsitektur, struktur, ME, lighting specialist, BEM
dan arsitek lansekap). Sistem penilaian yang berbeda-beda ini dapat mendorong kreativitas, desain,
dan pelaksanaan yang terpadu.
Keterangan (*):
Non-natural lighting maksimum mendapat nilai 2.
Vertical transportation maksimum mendapat nilai 1.
NILAI
ASD EEC-2 NATURAL LIGHTING MAKS
4
TUJUAN
EEC Mendorong penggunaan pencahayaan alami yang optimal untuk mengurangi konsumsi energi dan
mendukung desain bangunan yang memungkinkan penggunaan pencahayaan alami seluas mungkin
PERKECUALIAN
WAC Untuk rumah sakit, tidak termasuk ruang periksa, laboratorium, ruang operasi, unit gawat darurat,
ruang mayat, ruang sterilisasi, ruang peralatan khusus, intensive care unit, dan ruang isolasi
TOLOK UKUR NILAI
MRC 1. Penggunaaan cahaya alami secara optimal sehingga minimal 30% luas lantai yang 2
digunakan untuk bekerja mendapatkan intensitas cahaya alami minimal sebesar 300
lux
IHC
Khusus untuk pusat perbelanjaan, minimal 20% luas lantai nonservice mendapatkan
intensitas cahaya alami minimal sebesar 300 lux
BEM
2. Jika butir satu dipenuhi lalu ditambah dengan adanya lux sensor untuk otomatisasi 2
pencahayaan buatan apabila intensitas cahaya alami kurang dari 300 lux, didapatkan
tambahan nilai 2 poin
Tolok ukur 2:
Salinan nota pembelian lux sensor
Spesifikasi dapat berupa katalog lux sensor yang digunakan
Gambar rencana mekanikal elektrikal yang menunjukkan perletakan lux sensor pada bangunan
Daerah-daerah di Indonesia memiliki iklim yang beragam. Untuk gedung-gedung yang ada di dataran
tinggi yang sejuk, ventilasi alami bisa dijadikan alternatif menarik untuk pendinginan dan
kenyamanan penggunanya. Namun, untuk daerah panas dan lembap seperti Jakarta, penggunaan
ventilasi alami hampir tidak cukup sehingga diperlukan ventilasi mekanis.
NILAI
ASD EEC-4 CLIMATE CHANGE IMPACT MAKS
1
TUJUAN
EEC Memberikan informasi atau pengertian bahwa pola konsumsi energi yang berlebihan akan
berpengaruh terhadap perubahan iklim
TOLOK UKUR NILAI
WAC Menyerahkan perhitungan pengurangan emisi CO2 yang didapatkan dari selisih kebutuhan 1
energi antara design building dan base building dengan menggunakan grade emission
factor (konversi antara CO2 dan energi listrik) yang telah ditetapkan dalam Keputusan DNA
MRC dalam B/277/Dep.III/LH/01/2009
Apabila ada perubahan setelah konstruksi, dilampirkan dokumen hasil perhitungan ulang dari item di
atas.
LATAR BELAKANG RATING
Global warming mengakibatkan dampak yang luas dan sangat serius, baik bagi lingkungan bio-
geofisik maupun bagi sosial-ekonomi manusia. Di antara dampak itu adalah kenaikan permukaan air
laut, peningkatan curah hujan dan banjir, perubahan iklim, migrasi fauna dan hama penyakit,
gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, penurunan produktivitas lahan
pertanian, peningkatan risiko kanker dan wabah penyakit, dan sebagainya.
Negara-negara Asia Tenggara sangat rentan terhadap perubahan iklim, padahal perubahan iklim saat
ini sedang terjadi dan yang lebih parah lagi akan terus dihadapi jika tidak dilakukan tindakan mitigasi
secepatnya. Bila hal ini terjadi, bukan saja perubahan iklim yang harus menjadi masalah melainkan
juga pembangunan berkelanjutan. Lalu, usaha pengentasan kemiskinan pun menjadi terhambat.
NILAI
EEC-5 ON-SITE RENEWABLE ENERGY (BONUS) MAKS
ASD
5
TUJUAN
Mendorong penggunaan sumber energi baru dan terbarukan yang bersumber dari dalam tapak
EEC
TOLOK UKUR NILAI
Menggunakan sumber energi baru dan terbarukan. Setiap 0,5% daya listrik yang 1
dibutuhkan gedung yang dapat dipenuhi oleh sumber energi terbarukan mendapatkan 1 WAC
poin (sampai maksimal 5 poin).
WAC
Latar Belakang Isu
MRC
Siklus iklim dan curah hujan di Indonesia menjadi terganggu dengan adanya perubahan iklim,
pemanasan global, pembalakan hutan, konversi lahan hijau, dan perusakan wetland yang tidak
terkendali. Selain itu, hal tersebut juga mengakibatkan keseimbangan neraca air serta ketersediaan IHC
air tanah dan air permukaan ikut terganggu. Di saat musim kemarau terjadi kekurangan air, dan di
saat musim hujan terjadi banjir. Berdasarkan perhitungan sumber daya air oleh Ditjen Sumber Daya
Air DPU, pulau Jawa, Bali, dan NTT mengalami defisit air terutama pada musim kemarau. Defisit ini BEM
akan bertambah parah dengan pertambahan penduduk dan meningkatnya kegiatan ekonomi.
3
Saat ini, kebutuhan total air di Indonesia mencapai 8,903 x 106 m dengan kenaikan sekitar 10% per
tahun. Di kawasan urban, pemenuhan kebutuhan ini mengandalkan sumber air olahan dari PDAM
dan eksploitasi air tanah. Penggunaan air bersih secara umum adalah untuk memenuhi kegiatan
mandi, cuci, kakus, minum, dan irigasi lansekap. Pola konsumsi air dalam kondisi urban seperti
Jakarta memerlukan 150 liter/jiwa/hari, sedangkan menurut kajian Pasific Institute (2006),
kebutuhan air rata-rata Indonesia adalah sekitar 80 liter/jiwa/hari. Angka-angka ini sangat boros
apabila dibandingkan dengan angka konsumsi air ideal, yaitu 50 liter/jiwa/hari.
Selain isu konsumsi air bersih, juga terjadi masalah dalam manajemen limbah (grey water dan black
water) di kawasan perkotaan, yang daya dukung lingkungannya rendah. Manajemen limbah yang
tidak terpadu mengakibatkan pencemaran badan air dan menurunkan kualitas lingkungan.
NILAI
ASD P1 WATER METERING MAKS
P
TUJUAN
Memfasilitasi pengontrolan penggunaan air sehingga dapat menjadi dasar penerapan manajemen
EEC
air yang lebih baik
Kondisi pemakaian di Indonesia yang lebih banyak bergantung pada kebutuhan hidup yang semakin
meningkat beriringan dengan meningkatnya perekonomian. Selain itu, orang Indonesia lebih banyak
menggunakan air karena kondisi iklimnya tropis, sehingga negeri ini memerlukan aspek sanitasi yang
lebih banyak, baik untuk mandi, mencuci, maupun untuk keperluan ibadah. Budaya penggunaan air
untuk sanitasi di Indonesia cukup mengakar.
NILAI
ASD WAC-2 WATER FIXTURES MAKS
3
TUJUAN
EEC Memfasilitasi upaya penghematan air dengan pemasangan water fixture efisiensi tinggi
TOLOK UKUR NILAI
1 A. Penggunaan water fixture yang sesuai dengan kapasitas buangan di bawah standar 1
WAC maksimum kemampuan alat keluaran air sesuai dengan lampiran (Tabel 4), pada
tekanan air 3 bar, sejumlah minimal 25% dari total pengadaan produk water fixture
MRC atau
B. Penggunaan water fixture yang sesuai dengan kapasitas buangan di bawah standar 2
maksimum kemampuan alat keluaran air sesuai dengan lampiran (Tabel 4), pada
IHC tekanan air 3 bar, sejumlah minimal 50% dari total pengadaan produk water fixture
atau
BEM C. Penggunaan water fixture yang sesuai dengan kapasitas buangan di bawah standar 3
maksimum kemampuan alat keluaran air sesuai dengan lampiran (Tabel 4), pada
tekanan air 3 bar, sejumlah minimal 75% dari total pengadaan produk water fixture
Kondisi pemborosan air juga dipengaruhi kurangnya kesadaran dan perilaku hemat air, seperti lupa
menutup keran dan kurangnya perawatan pada water fixtures. Usaha untuk melaksanakan
penghematan air kini semakin berkembang dengan banyaknya produk peralatan plambing yang
semakin menekankan penghematan air. Upaya penghematan air dari teknologi keran dan toilet
cukup berperan dalam menghemat penggunaan air, bisa sekitar 30% dari total kebutuhan air
domestik. Penggunaan air bersih untuk menyiram toilet kini juga disadari tidak perlu diilakukan.
NILAI
WAC-3 WATER RECYCLING MAKS ASD
1
TUJUAN
Menyediakan air dari sumber daur ulang air limbah gedung untuk mengurangi kebutuhan air dari EEC
sumber air utama
PERKECUALIAN
Untuk rumah sakit, tidak termasuk ruang-ruang tertentu, antara lain sink pada laboratorium, ruang WAC
periksa, ruang operasi, ruang unit gawat darurat, ruang mayat, ruang sterilisasi, ruang peralatan
khusus, ruang intensive care unit, dan ruang isolasi
MRC
TOLOK UKUR NILAI
Instalasi daur ulang air dengan kapasitas yang cukup untuk kebutuhan seluruh sistem 1
flushing, irigasi, dan make up water cooling tower (jika ada) IHC
Tolok ukur 2:
Perhitungan melalui worksheet mengenai irigasi tanaman yang dikaitkan dengan sistem
otomatisasi dari irigasi
Gambar mekanikal elektrikal yang menunjukkan sistem irigasi lansekap dengan sistem
otomatisasinya
Desain lanskap di Indonesia juga masih mementingkan selera dan masih sedikit yang berorientasi
kepada keberlanjutan lingkungan. Sering sekali, baik tanaman yang digunakan maupun teknik
penanamanannya, menyebabkan kebutuhan irigasi yang tinggi. Cara irigasi yang tidak tepat juga
mengakibatkan rendahnya efektivitas irigasi yang dilakukan. Dengan menerapkan teknik irigasi dan
desain penanaman yang tepat diharapkan dapat diturunkan kebutuhan air irigasi. Penggunaan air
untuk lansekap disesuaikan dengan masa tumbuh tanaman sehingga diperlukan teknologi yang tepat
untuk menyesuaikan ketersediaan air dengan kebutuhan tanaman.
Material Resources and Cycle/MRC (Sumber dan Siklus Material)
Untuk menahan eksploitasi laju sumber daya alam tidak terbarui, diperlukan upaya memperpanjang
daur hidup material. Proses ini dimulai dari tahap eksploitasi produk, pengolahan dan produksi,
desain bangunan dan aplikasi yang efisien (reduce), hingga upaya memperpanjang masa akhir pakai
produk material. Pada tahap eksploitasi dan transportasi material perlu diperhatikan jejak ekologis
dan jejak karbon yang ditinggalkan. Untuk itu, minimalisasi jejak karbon dapat dilakukan dengan
menggunakan produk lokal setempat. Dalam pemilihan material, perlu diperhatikan dampaknya
pada manusia dan lingkungan hidup, dengan tidak menggunakan bahan beracun dan berbahaya
(B3). Untuk memperpanjang daur produk material, diperlukan upaya penggunaan kembali (reuse)
atau proses daur ulang (recycle).
Dengan menjaga keberlanjutan alam melalui pengelolaan daur hidup material yang lebih baik,
diharapkan pembangunan green building dapat menjadi salah satu media pembangunan
berkelanjutan, yang akan membawa Indonesia menuju kondisi seimbang dalam pembangunan dan
pelestarian alam.
NILAI
ASD P1 FUNDAMENTAL REFRIGERANT MAKS
P
TUJUAN
EEC Mencegah pemakaian bahan perusak ozon (BPO) yang mempunyai ozone depleting potential (ODP)
sama atau lebih besar dari 1 yang dapat merusak lapisan ozon di stratosfer
TOLOK UKUR NILAI
WAC Tidak menggunakan chloro fluoro carbon (CFC) sebagai refrigeran dan halon sebagai P
bahan pemadam kebakaran
DOKUMEN YANG DINILAI
MRC Spesifikasi produk peralatan air conditioning dan sistem pemadam kebakaran
ASD
EEC
WAC
MRC
IHC
BEM
NILAI
ASD MRC-3 NON-ODS USAGE MAKS
1
TUJUAN
EEC Menggunakan bahan dengan zero ODP
TOLOK UKUR NILAI
Tidak menggunakan bahan perusak ozon pada seluruh sistem bangunan 1
WAC DOKUMEN YANG DINILAI
Spesifikasi produk tentang peralatan air conditioning dan sistem pemadam kebakaran
LATAR BELAKANG RATING
MRC Protokol Montreal secara bertahap menghapuskan material yang masih mengandung sifat ODP.
Tahap penghapusan dilakukan berdasarkan tingkat ODP yang dimilikinya. Pada tahapan awal,
penghapusan ditujukan pada tingkat ODP yang lebih besar dari 1. Tahapan selanjutnya ditujukan
IHC pada bahan dengan tingkat ODP 0. Dalam rangka merespons Protokol Montreal tersebut, diperlukan
suatu sistem yang menggerakkan pasar agar mulai untuk tidak menggunakan bahan yang memiliki
ODP.
BEM
NILAI
MRC-4 CERTIFIED WOOD MAKS ASD
2
TUJUAN
Menggunakan bahan baku kayu yang dapat dipertanggungjawabkan asal-usulnya untuk melindungi
EEC
kelestarian hutan
TOLOK UKUR NILAI
1. Menggunakan bahan material kayu yang bersertifikat legal sesuai dengan Peraturan 1
Pemerintah tentang asal kayu (seperti faktur angkutan kayu olahan/FAKO, sertifikat
WAC
perusahaan, dan lain-lain) dan sah terbebas dari perdagangan kayu ilegal sebesar
100% biaya total material kayu
2. Jika 30% dari butir di atas menggunakan kayu bersertifikasi dari pihak Lembaga 1 MRC
Ekolabel Indonesia (LEI) atau Forest Stewardship Council (FSC)
DOKUMEN YANG DINILAI
Tolok ukur 1: IHC
Spesifikasi kayu bersertifikat legal sesuai dengan peraturan pemerintah
Perhitungan perbandingan biaya material kayu bersertifikat legal pemerintah terhadap total
biaya kayu BEM
Surat pernyataan dari pihak produsen bahwa produknya legal (dapat berupa salinan dokumen
sertifikat legal kayu)
Surat pernyataan dari pihak supplier bahwa kuantitas kayu bersertifikat legal dibeli oleh pihak
kontraktor atau owner, dengan melampirkan SPB
Tolok ukur 2:
Spesifikasi kayu bersertifikasi internasional yang digunakan dari pihak QS
Perhitungan perbandingan biaya material kayu bersertifikat LEI atau FSC terhadap total biaya
kayu
Surat pernyataan dari pihak produsen bahwa produknya legal (dapat berupa salinan dokumen
salinan sertifikat LEI atau FSC kayu)
Surat pernyataan dari pihak supplier bahwa kuantitas kayu bersertifikat LEI atau FSC dibeli oleh
pihak kontraktor atau owner, dengan melampirkan SPB
LATAR BELAKANG RATING
Penebangan yang tidak terkendali dapat menyebabkan kehancuran hutan, punahnya hewan liar,
erosi tanah, sedimentasi sungai, polusi udara, dan timbulnya sampah. Oleh karena itu, diperlukan
sistem pengaturan melalui proses sertifikasi kayu yang menjamin bahwa hasil kayu tersebut tidak
melalui penebangan liar. Di sisi lain, kayu yang telah bersertifikat juga memberikan perlindungan
bagi para petani kayu dari para tengkulak yang bisa menaikkan pendapatan sekitar 5-10% dari sistem
konvensional.
NILAI
ASD MRC-5 MODULAR DESIGN MAKS
1
TUJUAN
Meningkatkan efisiensi dalam penggunaan material dan mengurangi sampah konstruksi
EEC
TOLOK UKUR NILAI
Desain yang menggunakan material modular atau prafabrikasi (tidak termasuk 1
equipment) sebesar 30% dari total biaya material
WAC
DOKUMEN YANG DINILAI
Spesifikasi material modular atau prafabrikasi
MRC Perhitungan perbandingan biaya material modular atau prafabrikasi terhadap total biaya material
Surat pernyataan dari pihak supplier bahwa kuantitas material modular atau pra fabrikasi dibeli
oleh kontraktor atau owner, dengan melampirkan SPB
LATAR BELAKANG RATING
IHC Penggunaan material modular atau prafabrikasi juga berkontribusi dalam mengurangi beban TPA
kota akibat aktivitas konstruksi. Hal ini dikarenakan sistem penggunaan dan pemasangan material
dapat langsung disesuaikan dengan kebutuhan bangunan berdasarkan pemesanan. Sampah yang
BEM dihasilkan dari konstruksi material modular atau prafabrikasi cenderung lebih sedikit dari sampah
yang dihasilkan dengan cara konvensional. Ditambah lagi, sampah tersebut langsung dapat
dikembalikan kepada pihak produsennya untuk diolah kembali. Dari aspek ekonomi, penggunaan
material modular atau prafabrikasi dapat meningkatkan efisiensi biaya konstruksi dikarenakan
cenderung cepat dan mudah untuk diimplementasikan.
NILAI
MRC-6 REGIONAL MATERIAL MAKS ASD
2
TUJUAN
Mengurangi jejak karbon dan mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri
EEC
TOLOK UKUR NILAI
1. Menggunakan material yang lokasi asal bahan baku utama atau fabrikasinya berada di 1
dalam radius 1.000 km dari lokasi proyek mencapai 50% dari total biaya material WAC
2. Apabila material di atas berasal dari dalam wilayah Republik Indonesia mencapai 80% 1
dari total biaya material
DOKUMEN YANG DINILAI
MRC
Tolok ukur 1:
Spesifikasi material yang berada dalam radius 1.000 km dari lokasi proyek
Perhitungan perbandingan biaya material yang berada dalam radius 1.000 km terhadap total IHC
biaya material
Surat pernyataan dari pihak supplier bahwa kuantitas material yang berada dalam radius 1.000
km dibeli oleh kontraktor atau owner, dengan melampirkan SPB BEM
Tolok ukur 2:
Spesifikasi material yang berada dalam wilayah Republik Indonesia
Perhitungan perbandingan biaya material yang berada dalam wilayah Republik Indonesia
terhadap total biaya material
Surat pernyataan dari pihak supplier bahwa kuantitas material yang berada dalam wilayah
Republik Indonesia dibeli oleh kontraktor atau owner, dengan melampirkan SPB
LATAR BELAKANG RATING
Pembelian material pada kawasan yang berdekatan berangkat dari dua isu penting. Pertama, dengan
membeli material yang radiusnya cenderung dekat berarti memperkecil jejak karbon yang dihasilkan
oleh moda transportasi untuk pengangkutannya ke lokasi proyek. Kedua, penggunaan material pada
kawasan berdekatan memiliki kemungkinan yang lebih besar bahwa produk tersebut merupakan
hasil produksi dalam negeri, sehingga berdampak pada peningkatan pendapatan dalam negeri atau
daerah setempat.
Indoor Air Health and Comfort/IHC (Kualitas Udara dan Kenyamanan Ruangan)
ASD
Prasyarat-1. Outdoor Air Introduction (Introduksi Udara Luar Ruang)
IHC-1. CO2 Monitoring (Pemantauan Kadar CO2)
IHC-2. Environmental Tobacco Smoke (Pengendalian Lingkungan atas Asap Rokok) EEC
IHC-3. Chemical Pollutants (Polutan Kimia)
IHC-4. Outside View (Pemandangan ke Luar Ruang)
IHC-5. Visual Comfort (Kenyaman Visual) WAC
IHC-6. Thermal Comfort (Kenyamanan Termal Ruangan)
IHC-7. Acoustic Level (Tingkat Kebisingan di Dalam Ruang)
MRC
Latar Belakang Isu
Kualitas udara dalam ruang sangat memengaruhi kesehatan manusia, karena hampir 90% hidup IHC
manusia berada dalam ruangan. Kualitas udara dalam ruang yang buruk dapat menimbulkan gejal-
gejala gangguan kesehatan pada manusia, yang biasa disebut dengan sick building syndrom (SBS),
seperti sakit kepala, pusing, batuk, sesak napas, bersin-bersin, pilek, iritasi mata, pegal-pegal, mata BEM
kering, gejala flu, dan depresi. Keadaan seperti ini berpotensi menurunkan produktivitas kerja.
Sumber pencemaran di dalam ruangan antara lain adalah pencemaran dari alat-alat di dalam
gedung, pencemaran di luar gedung, pencemaran akibat bahan bangunan, dan gangguan ventilasi
udara berupa kurangnya udara segar yang masuk, buruknya distribusi udara, dan kurangnya
perawatan sistem ventilasi. Selain oleh sumber pencemaran, kualitas udara dalam ruang juga
dipengaruhi oleh pengondisian udara. Pada umumnya suhu udara di Indonesia tinggi, 250-350C,
dengan kelembapan yang juga relatif tinggi, yaitu 44-98%. Pengendalian kualitas udara dalam ruang
memerlukan strategi yang baik sehingga produktivitas manusia serta tingkat okupansi gedung dapat
berlangsung secara optimal.
NILAI
ASD P-1 OUTDOOR AIR INTRODUCTION MAKS
P
TUJUAN
Menjaga dan meningkatkan kualitas udara di dalam ruangan dengan melakukan introduksi udara
EEC
luar ruang
TOLOK UKUR NILAI
WAC Desain ruangan yang menunjukkan adanya potensi introduksi udara luar minimal sesuai P
dengan Standar SNI 03-6572-2001 Tabel. 4.4.2
DOKUMEN YANG DINILAI
MRC Perhitungan yang menunjukkan jumlah introduksi udara luar sesuai dengan standar SNI yang
ditentukan
LATAR BELAKANG RATING
IHC Indonesia merupakan negara tropis dengan kondisi udara yang panas dan kelembapan yang tinggi.
Oleh karena itu, bangunan di Indonesia yang tidak memiliki sistem pengondisian udara sangat
bergantung pada jendela-jendela ukuran besar sebagai media untuk pemasukan atau pergantian
BEM udara dari luar ke dalam. Hal ini bertujuan untuk mengatasi pengap di dalam bangunan melalui
penggantian udara yang lebih segar dari luar bangunan (Nediaskha, 2002; Sobasi, 1997).
Sumber pencemaran udara dalam ruang dapat berasal dari udara luar ruang dan dari dalam
ruangan. Kualitas udara dalam ruang yang buruk dapat menurunkan produktivitas dan mengganggu
kenyamanan penghuni gedung. Ventilasi mengurangi pencemaran udara di dalam ruangan karena
aliran udara yang masuk ke dalam ruangan mampu melakukan pengenceran dan pembersihan zat
pencemar. Oleh karena itu, diperlukan tingkat ventilasi minimum yang memadai pada suatu
bangunan.
NILAI
IHC-1 CO2 MONITORING MAKS ASD
1
TUJUAN
Memonitor konsentrasi CO2 dalam mengatur masukan udara segar sehingga menjaga kesehatan
EEC
pengguna gedung
TOLOK UKUR NILAI
Untuk ruangan tertentu, antara lain banquet, ruang rapat umum, general office (ruangan 1 WAC
dengan kepadatan tinggi) dilengkapi dengan instalasi sensor gas karbon dioksida (CO2)
yang memiliki mekanisme untuk mengatur jumlah ventilasi udara luar sehingga
konsentrasi C02 di dalam ruangan tidak lebih dari 1.000 ppm, sensor diletakkan 1,5 m di
MRC
atas lantai dekat return air grill.
DOKUMEN YANG DINILAI
Gambar denah bangunan yang menunjukkan perletakan sensor CO2
Spesifikasi alat sensor CO2 terpasang IHC
Gambar diagram yang menunjukkan mekanisme pengaturan ventilasi udara luar pada saat
konsentrasi CO2 lebih dari 1000 ppm
BEM
LATAR BELAKANG RATING
Sumber utama CO2 di gedung perkantoran berasal dari respirasi penghuni bangunan. Konsentrasi
CO2 yang tinggi dapat membuat konsentrasi O2 berkurang, sehingga menyebabkan kesulitan
bernapas bahkan keracunan pada pengunanya. Peningkatan kadar CO2 dalam ruangan juga memiliki
korelasi positif terhadap peningkatan prevalensi dari satu atau lebih gejala sick building syndrome
(SBS), berupa sakit kepala, kelelahan, iritasi mata, iritasi hidung, dan gangguan saluran pernapasan
(Seppanen et, al, 1999). Untuk itu, diperlukan sistem monitor kandungan CO2 yang dapat menjaga
konsentrasi CO2 dalam ruangan dengan bukaan ventilasi.
NILAI
ASD IHC-2 ENVIRONMENTAL TOBACCO SMOKE MAKS
2
TUJUAN
Mengurangi lingkungan yang tercemar asap rokok dan paparannya kepada para pengguna gedung,
EEC
permukaan ruangan di dalam gedung, serta instalasi ventilasi yang benar di dalam ruangan gedung
PERKECUALIAN
WAC 1. Untuk rumah sakit, ini tidak berlaku.
2. Untuk hotel, disediakan lantai khusus untuk kamar tamu perokok, atau dibuat insulasi
antarkamar untuk mencegah asap rokok berinfiltrasi ke kamar lain.
3. Untuk apartement, tolok ukur ditambah dengan disediakannya insulasi antarunit untuk
MRC
mencegah asap rokok berinfiltrasi ke unit lain.
TOLOK UKUR NILAI
Memasang tanda “Dilarang Merokok di Seluruh Area Gedung” dan tidak menyediakan 2
IHC bangunan/area khusus untuk merokok. Apabila tersedia, bangunan/area merokok itu
minimal berada pada jarak 5 m dari pintu masuk, outdoor air intake, dan bukaan
jendela.
BEM DOKUMEN YANG DINILAI
Gambar denah bangunan yang menunjukkan letak ruang/area khusus merokok
Surat pernyataan yang ditandatangani oleh Pemilik Gedung bahwa akan ada larangan merokok
di seluruh areal dalam gedung dan rencana lokasi pemasangan tanda tersebut
ASD
Prasyarat-1. Basic Fasility for Waste Management (Fasilitas Dasar Pengelolaan Sampah)
BEM-1. AP as a Member of Design Team (Melibatkan Accredited Professional (AP) sejak Tahap
Perancangan)
BEM-2. Pollutant of Construction Activity (Polusi dari Aktifitas Konstruksi) EEC
BEM-3.Advance Waste management (Pengelolaan Sampah Tingkat lanjut)
BEM-4. Proper Commissioning (Komisioning Sistem yang Baik dan Benar)
BEM-5. Submission Green Building Implementation Data for Data Base (Penyerahan Data WAC
Implementasi Green building sebagai Data Dasar)
BEM-6. Fit-Out Agreement (Kesepakan dalam Melakukan Aktifitas Fit-Out)
BEM-7. Occupant Survey (Survey kepada Pengguna Gedung) MRC
Merencanakan operasional gedung yang ramah lingkungan sudah harus dipikirkan sejak tahap BEM
perencanaan desain. Cakupannya adalah pengelolaan sumber daya melalui rencana operasional
konsep yang berkelanjutan, kejelasan informasi (data), dan penanganan dini yang membantu
pemecahan masalah, termasuk manajemen sumber daya manusia dalam penerapan konsep
bangunan hijau untuk mendukung penerapan tujuan pokok dari kategori lain.
Adanya kategori ini juga memberikan penekanan pada pentingnya faktor manusia sebagai salah satu
sumber daya yang memegang peranan penting dalam keberlangsungan suatu bangunan hijau. Suku
bangsa di Indonesia lebih dari 300 kelompok etnik dengan bahasa dua kali lipat dari jumlah
kelompok itu. Adanya luasan geografis yang besar, bentang alam yang beragam, serta pembangunan
dan standar pendidikan yang belum merata menyebabkan perbedaan cara dan standar kerja dari
tiap manusia.
Dalam pengoperasian suatu bangunan hijau, sangat diperlukan suatu standar manajemen yang
terencana dan baku untuk mengarahkan tindakan dari pelaku operasional bangunan dalam
melakukan pengeloalaan gedung agar dapat menunjukkan hasil yang ramah lingkungan (green
performance).
NILAI
ASD P1 BASIC WASTE FACILITY MAKS
P
TUJUAN
EEC Mendorong gerakan pemilahan sampah secara sederhana yang mempermudah proses daur ulang
Peran-serta berbagai pemangku kepentingan sangat dibutuhkan dalam mengurangi volume sampah
perkotaan. Pemangku kepentingan, baik dari sektor swasta maupun sektor pemerintahan, memiliki
tanggung jawab yang sama dalam mengendalikan dampak lingkungan melalui pengelolaan sampah
yang dihasilkan. Langkah awal pengelolaan sampah pada suatu bangunan adalah dengan
menyediakan fasilitas pembuangan sampah yang terpisah antara tempat sampah organik dan
anorganik untuk memudahkan proses pengolahan sampah selanjutnya, seperti reuse, reduce, dan
recycle.
NILAI
BEM-1 AP AS A MEMBER OF DESIGN TEAM MAKS ASD
1
TUJUAN
Mengarahkan langkah-langkah desain suatu green building sejak tahap awal sehingga memudahkan EEC
tercapainya suatu desain yang memenuhi rating
TOLOK UKUR NILAI
Melibatkan seorang tenaga ahli yang sudah tersertifikasi Accredited Professional (AP), 1 WAC
yang bertugas untuk mengarahkan berjalannya proyek sejak tahap perencanaan desain
dan sebelum pendaftaran sertifikasi
DOKUMEN YANG DINILAI MRC
Daftar nama AP yang terlibat dalam proyek dan spesialisasi keahliannya
Daftar hadir AP selama proyek berlangsung, yang diketahui oleh penanggung jawab proyek
bersangkutan
Daftar hadir rapat koordinasi selama proyek berlangsung IHC
Tolok ukur 2:
Gambar diagram pihak kontraktor utama yang menunjukkan upaya pengendalian kualitas
air yang berasal dari aktivitas konstruksi ke saluran drainase kota
Foto mengenai pengendalian kualitas air yang berasal dari aktivitas konstruksi
Aktivitas konstruksi memiliki dampak negatif terhadap lingkungan. Berdasarkan penelitian mengenai
manajemen industri konstruksi, terdapat lima faktor yang umumnya menjadi dampak dari
pelaksanaan aktivitas konstruksi, di antaranya adalah level kebisingan, kualitas udara, kuantitas dan
kualitas air, getaran, dan fasilitas jalan (Sutrisno et, al, 2009). Terdapat satu faktor yang juga tak
kalah pentingnya, yaitu sampah, yang dapat berkontribusi membebani TPA. Dampak-dampak negatif
tersebut sudah seharusnya diantisipasi oleh para pelaku jasa konstruksi, agar pelaksanaan aktivitas
tersebut tidak mengganggu lingkungan sekitar, di mana terdapat manusia di dalamnya.
NILAI
BEM-3 ADVANCE WASTE MANAGEMENT MAKS
ASD
2
TUJUAN
Mendorong manajemen kebersihan dan sampah secara terpadu sehingga mengurangi beban TPA. EEC
TOLOK UKUR NILAI
1. Adanya instalasi pengomposan limbah organik di lokasi tapak bangunan 1
WAC
2. Memberikan pernyataan atau rencana kerja sama untuk pengelolaan limbah anorganik 1
secara mandiri dengan pihak ketiga di luar sistem jaringan persampahan kota
Tolok ukur 2:
Gambar mekanikal elektrikal yang menunjukkan instalasi alat-alat ukur dan adjustment
Spesifikasi peralatan ukur dan adjustment
Foto peralatan ukur dan adjustment
LATAR BELAKANG RATING
Gedung merupakan suatu produk yang berasal dari perakitan berbagai material yang belum tentu
cocok satu sama lain. Hal ini menjadikan setiap gedung unik. Karena itu, untuk memastikan semua
sistem berjalan dengan baik, perlu diadakan suatu proses yang berkesinambungan untuk
memastikan semua sistem, terutama pada peralatan (equipment,) berjalan sesuai dengan rencana
dan berkelanjutan.
Commissioning gedung merupakan sebuah proses sistematis yang memadukan dan meningkatkan
fungsi-fungsi yang sebelumnya terlihat terpisah, dokumentasi operasional peralatan dan fasilitas
pelatihan untuk staf, serta uji fungsi dan verifikasi kinerja. Commissioning adalah sebuah proses
pemastian kualitas mulai dari pradesain sampai dengan proses konstruksi, start up, dan
meningkatkan kesesuaian harapan pemilik gedung. Commissioning memungkinkan pemilik gedung
untuk memulai siklus hidup pada produktivitas optimal dan menyelia dalam pempertahankan
kinerja terbaik.
ASD
EEC
WAC
MRC
IHC
BEM
NILAI
SUBMISSION GREEN BUILDING IMPLEMENTATION DATA
ASD BEM-5 FOR DATABASE
MAKS
2
TUJUAN
Melengkapi database implementasi green building di Indonesia untuk mempertajam standar-
EEC
standar dan bahan penelitian
PERKECUALIAN
Untuk apartemen, tidak termasuk unitnya.
WAC Untuk rumah sakit, mal, dan hotel, tidak termasuk laundry dan F&B.
Untuk perkantoran, tidak termasuk data centre.
TOLOK UKUR NILAI
MRC Menyerahkan data implementasi green building sesuai dengan form dari GBCI, yang 2
merupakan prasyarat untuk mendaftarkan diri dalam rating kategori
Memberi pernyataan bahwa pemilik gedung akan menyerahkan data implementasi
IHC green building dari bangunannya dalam waktu 12 bulan setelah tanggal sertifikasi
kepada GBCI dan suatu pusat data energi Indonesia yang akan ditentukan kemudian
Catatan:
BEM GBC-Indonesia akan menjaga kerahasiaan sumber data dan tidak akan menyebarluaskan
kepada pihak lain.
DOKUMEN YANG DINILAI
Perhitungan persentase kenaikan investasi pembangunan gedung green building terhadap
pembangunan gedung konvensional
Surat pernyataan yang ditandatangani pemilik gedung untuk menyerahkan data implementasi
kepada GBCI, yang berupa:
Konsumsi energi setiap tahun (dalam satuan kWh/m2.tahun), yang meliputi:
• IKE total,
• IKE untuk sistem tata udara,
• IKE listrik untuk sistem tata cahaya dan kotak kontak, dan
• IKE listrik untuk sistem lainnya
Konsumsi air dari sumber air primer (PDAM dan air tanah) selama satu tahun
Konsumsi air dari sumber alternatif selama satu tahun
Volume sampah organik selama satu tahun
Volume sampah anorganik selama satu tahun
Oleh sebab itu, diperlukan upaya-upaya yang dapat mendorong hal tersebut, dengan tujuan
untuk mengetahui implementasi aspek-aspek ramah lingkungan dari setiap gedung. Hal
tersebut dapat memperkaya database mengenai gedung-gedung di Indonesia, yang dapat
digunakan sebagai kepentingan ilmiah, seperti penelitian, bahkan kepentingan pihak pembuat
kebijakan agar dalam penyusunan peraturan dapat merespons kondisi riil di Indonesia .
NILAI
BEM-6 FIT-OUT AGREEMENT MAKS ASD
1
TUJUAN
Mengimplementasikan prinsip green building saat fit-out gedung
EEC
PERKECUALIAN
Perkantoran yang tidak disewakan, rumah sakit, hotel, dan apartemen tidak berlaku
WAC
TOLOK UKUR NILAI
Memiliki surat perjanjian dengan penyewa gedung atau tenant, yang terdiri atas: 1
a. Menggunakan kayu yang bersertifikat MRC
b. Mengikuti training yang akan dilakukan oleh manajemen bangunan
c. Terdapat rencana manajemen indoor air quality (IAQ) setelah konstruksi, dan
implementasi ditandatanganinya surat perjanjian ini merupakan prasyarat
dalam rating kategori gedung terbangun. IHC
DOKUMEN YANG DINILAI
Surat pernyataan yang ditandatangani pemilik gedung untuk memasukkan klausul yang
tersebut dalam tolok ukur BEM
Salinan surat perjanjian dengan tenant yang menyebutkan klausul yang bersangkutan
Penyerahan data ini merupakan prasyarat untuk mendaftarkan diri dalam rating
kategori existing building.
DOKUMEN YANG DINILAI
Surat pernyataan yang ditandatangani oleh pemilik gedung bahwa akan mengadakan survei
kenyamanan tersebut setiap tahun
LATAR BELAKANG RATING
Salah satu perhatian dari prinsip keberlanjutan adalah kenyamanan manusia. Dalam rating ini,
didorong suatu tindakan survei untuk mengetahui kenyamanan termal pengguna gedung. Dan bila
dapat, diadakan penghematan energi.
Salah satu pendekatan survei yang digunakan, yang terkait dengan kenyamanan termal, adalah
pendekatan adaptif. Pendekatan adaptif menggunakan responden penghuni bangunan yang telah
beradaptasi dengan kondisi iklim sekitar. Premis utama model adaptif adalah bahwa penghuni
bangunan tidak dianggap sebagai penerima pasif lingkungan termal, tetapi sebaliknya memiliki
peran penting dalam menciptakan kondisi yang disukai terkait dengan lingkungan termalnya,
dengan tiga jenis adaptasi, yakni pengaturan perilaku, fisiologis, dan psikologis (Brager and Dear,
2001).
SERTIFIKASI PROYEK
Telah kita ketahui bahwa rating yang tersedia tersebar atas berbagai bidang dan disiplin ilmu.
Bahkan, mencapai tingkat sertifikasi yang terendah tidak dapat dengan mengandalkan satu bidang
saja. Untuk dapat membangun suatu green building yang kompak dan efisien diperlukan suatu
kolaborasi yang sudah dilakukan pada tahap sedini mungkin dalam proses desain.
Tim desain terdiri dari arsitek, ahli mekanikal-elektrikal, ahli struktur, ahli sipil, arsitek lansekap,
desainer interior, tenaga marketing, dan tenaga manajemen gedung. Sejak awal tim perancang dan
pelaksana, yang dibantu seorang AP, sudah dapat menargetkan mana saja rating dan kriteria yang
hendak dicapai sehingga dapat diprediksikan tingkat sertifikasi yang dapat diperolehnya.
Alur Pendaftaran
Suatu proyek sudah mulai dapat didaftarkan sejak tahap advice planning. Penanggung jawab dapat
mengisi formulir yang sudah disiapkan oleh GBCI. Berdasarkan data yang diisikan dalam formulir dan
dokumen pendukungnya, suatu proyek dapat dipelajari kelayakan (eligibility)-nya. Setelah itu,
sebuah gedung memasuki tahap registered project yang diberi berbagai perlengkapan berupa akses
kepada berbagai formulir penilaian versi cetak dari buku Petunjuk Penggunaan Sistem Rating
GREENSHIP dan informasi terbatas di website GBCI. Suatu proyek terdaftar juga berhak
mendapatkan konsultasi dari GBCI berupa lokakarya setengah hari yang diselenggarakan oleh
pemilik proyek. Selain itu juga berhak mendapatkan konsultasi dan klarifikasi lain melalui email.
Sebaiknya proses konsultasi ini dilakukan secara optimal sebelum melalui IMB. Dengan demikian,
apabila terjadi perubahan yang fundamental pada fasad, program ruang, dan sistem lain pada
gedung yang dilakukan sebagai hasil dari konsultasi, Proyek Terdaftar tersebut tidak perlu
mengulangi proses IMB.
Perlu diingat bahwa isi perangkat penilaian ini dapat berubah sewaktu-waktu apabila dirasakan
perlu. Versi terbaru ini tersedia di website dan dapat diunduh secara terbatas. Versi yang digunakan
untuk menilai suatu proyek terhitung dari tanggal terdaftar sesuai dengan versi yang terpublikasi di
website GBCI.
Gambar 1. Skema Alur Pendaftaran
Pengakuan Desain (Design Recognition)
Proyek Terdaftar akan mendapatkan sertifikat dan legitimasi sebagai sebuah green building setelah
selesai masa konstruksi. Masa ini sangatlah panjang karena proses perancangan suatu gedung dapat
berlangsung mulai dari enam bulan hingga satu tahun. Masa konstruksi bahkan memakan waktu
yang lebih lama. Proses persiapan hingga serah-terima/okupansi memakan waktu 1-2 tahun,
bergantung pada skala proyek. Berdasarkan keadaan ini, maka untuk memotivasi dan mendorong
kreativitas dan semangat para praktisi dan industri pendukungnya dalam penerapan konsep ini, pada
tahap desain dapat diberikan suatu pengakuan atas pemenuhan rating dalam desain. Karena itu,
diberi kesempatan untuk melakukan penilaian yang parameternya berdasarkan penilaian desain dan
konsep.
Program seritifikasi ini dilakukan segera setelah pendaftaran. Kriteria yang digunakan adalah
sebagian dari rating sertifikasi biasa yang sudah ditentukan GBCI untuk menilai desain dan konsep.
Metode penilaian dan sertifikasi menggunakan mekanisme yang sama dengan sertifikasi biasa, tetapi
menggunakan dasar penilaian yang berbeda. Dasar penilaian dari sertifikasi pendahuluan ini adalah
dokumen tahap tender. Dan sertifikat akan dikeluarkan selambat-lambatnya 60 hari kerja setelah
data diterima secara lengkap.
Hasil pengisian pada setiap formulir dapat langsung terkirim ke database GBCI melalui internet via
akses terbatas. Dokumen pendukung dikirim dalam bentuk PDF dan dapat diunggah langsung ke
website GBCI, dengan akses terbatas. Apabila semua pemasukan sudah selesai, dokumen penilaian
ini akan diperiksa keabsahannya dan kesesuaiannya oleh suatu tim yang bernama Tim Asesor
Tersumpah (assessor) berdasarkan perbandingan dengan dokumen yang dilampirkan. Lalu, assessor
akan merekomendasikan apakah pencapaian suatu rating sudah sesuai dengan yang diusulkan oleh
tim desain proyek terdaftar atau belum.
Tim Asesor Tersumpah terdiri dari personel dengan latar belakang yang berbeda-beda. Tim ini
diketuai oleh seorang yang sudah bersertifikasi GREENSHIP professional. Tim bertugas memeriksa
semua pemasukan formulir dan dokumen pendukung dari Proyek Terdaftar. Hasil pemeriksaan
tersebut dituangkan dalam sebuah formulir rekomendasi yang berisikan apakah suatu rating dinilai
tercapai seperti diusulkan oleh Proyek Terdaftar. Apabila tidak, perlu ditunggu apa rekomendasi dari
asesor bagi proyek untuk dapat mencapai rating tersebut. Hasil rekomendasi ini adalah sebuah
laporan yang kemudian diteruskan kepada tim verifier.
Rating yang diusulkan dapat disusun dalam sebuah presentasi berformat powerpoint. Dalam format
ini dicantumkan secara runtut semua pencapaian rating yang diusulkan dan image pendukung yang
relevan dalam menggambarkan kondisi proyek sebenarnya dan dokumen proyek sebagai ilustrasi.
Terdapat berbagai macam data yang dapat diketahui dalam berbagai tahap proyek. Tahap pertama
adalah sebelum proyek berjalan, seperti ASD 1 dan ASD 2-1. Data seperti ini sudah dapat disiapkan
sebelum proyek berjalan.
Pengambilan data kedua dilakukan pada tahap konstruksi, untuk menilai rating yang berhubungan
pada masa konstruksi, seperti BEM 2. Pada saat itu sudah dilakukan berbagai dokumentasi yang
berhubungan dengan penilaian.
Pengambilan data ketiga adalah rating yang pembuktiannya berupa as built drawing (gambar
terbangun). Penilaian berdasarkan gambar terbangun mencakup sekitar 80% dari semua rating yang
ada. Kebutuhan ini menuntut adanya suatu manajemen dan koordinasi yang baik antara perancang
dan kontraktor. Gambar yang dilampirkan hanya gambar yang relevan sehingga sejak awal sudah
diketahui gambar apa saja yang harus segera dipersiapkan.
Pengambilan data keempat adalah pada saat on site assessment atau pengukuran lapangan.
Pengukuran perlu dilakukan untuk menilai beberapa rating yang sudah dapat diukur pencapaian
sebenarnya sebelum dihuni, seperti EEC 2. Pada saat itu diperlukan beberapa orang yang
berkompeten mengikuti proses dan menandatangani laporan pelaksanaan pengukuran. Pengukuran
ini dapat dilakukan dalam masa konstruksi apabila memang desain yang relevan sudah
dimungkinkan.
Pengambilan data kelima adalah 12 bulan setelah sertifikasi. Rating yang berhubungan sudah dapat
diperoleh hanya dengan menandatangani surat pernyataan seperti BEM 5. Pemenuhan data yang
diminta merupakan prasyarat dari proyek gedung yang sudah tersertifikasi dalam mengikuti
sertifikasi untuk existing building/gedung terbangun.
Data diisi dalam formulir penilaian dengan format PDF oleh pihak pemilik proyek. Cara seperti ini
dianggap yang terbaik sehingga assessor dapat secara optimal dan benar menilai Proyek Terdaftar.
Assessor akan me-review resume sebelum memeriksa keabsahan dokumen dan formulir. Dari review
yang dilakukan, assessor membuat laporan rekomendasi yang akan dikirimkan kepada verifier dari
GBCI dan di-CC-kan kepada tim desain dan pelaksana. Isi rekomendasi adalah pencapaian rating dan
nilai yang diperoleh. Apabila terdapat hal yang meragukan atau rating yang dinilai tidak dapat
dicapai, diberi penjelasan. Prosedur ini bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi Proyek
Terdaftar untuk dapat mengoptimalkan pencapaiannya. Tentu saja supaya tim desain dan
pelaksanaan dapat memperbaiki rating yang diragukan sehingga dapat dipenuhi.
Pemasukan berikutnya adalah setelah dilakukan pengukuran sebenarnya. Formulir dan dokumen
mengikuti prosedur yang sama seperti pemasukan sebelumnya. Pada saat ini juga masih diberi
kesempatan satu kali lagi perbaikan apabila assessor tidak merekomendasikan pencapaian suatu
rating.
Rekomendasi dari assessor disahkan oleh tim verifier yang terdiri atas tiga orang pejabat GBCI yang
berkompeten. Verifier akan me-review Proyek Terdaftar berdasarkan presentasi dengan hasil
rekomendasi assessor untuk kemudian disahkan menjadi proyek tersertifikasi, dengan peringkat
tertentu.
Sertifikasi
Pada dasarnya proses sertifikasi terbagi atas tiga bagian besar, yaitu pendaftaran, konsultasi, dan
penilaian. Kegiatan pendaftaran dimulai sejak pengisian formulir data gedung dan pemasukan
dokumen pendukungnya. Pada tahap ini, suatu proyek diperiksa kelayakannya untuk kemudian
diterima sebagai Proyek Terdaftar. Proses pendaftaran ini memakan waktu selambat-lambatnya 14
hari kerja setelah administrasi dan pemasukan semua data yang dibutuhkan dilengkapi. Proyek
Terdaftar yang telah menyelesaikan proses administrasi akan dimasukkan ke dalam daftar Proyek
Terdaftar yang dipublikasikan pada website GBCI.
Untuk gedung komersial, diadakan suatu program tambahan untuk sertifikasi pendahuluan. Program
ini dilakukan untuk merespons keinginan industri dalam memperoleh pengakuan konsep dan desain
yang ramah lingkungan. Program ini juga bertujuan untuk mendorong lini perencana dalam industri
bangunan untuk lebih mengeksplorasi kreativitas dan menggali pengetahuan dalam praktik ramah
lingkungan. Lini perencana merupakan tulang punggung dalam industri bangunan dan harus dihargai
karyanya sebagai kekayaan intelektual, sehingga penerapan konsep ramah lingkungan dapat meluas
dengan lebih cepat. Proses ini memakan waktu selambat-lambatnya 60 hari kerja setelah semua
formulir dan dokumen dilengkapi.
Proses penilaian gedung dapat dimulai setelah semua pemasukan formulir selesai. GBCI akan
menunjuk tim assessor secara rahasia sehari setelah pemasukan selesai. Tim assessor secara
elektronik akan mengunduh data dan melakukan assessment. Data yang diunduh dinilai dan
dibandingkan dengan dokumen yang disertakan untuk menentukan apakah rating yang diajukan
terpenuhi atau tidak. Hasil penilaian dituangkan dalam sebuah laporan yang berisi perolehan nilai
dan rekomendasi bila perlu.
Laporan tim assessor diteruskan kepada tim verifier dan ditembuskan kepada pemilik proyek.
Maksud penembusan ini adalah, apabila ada rating yang belum dapat dipenuhi melalui laporan yang
disampaikan, tim proyek dapat melakukan perbaikan berdasarkan rekomendasi yang dapat
dilengkapi pemenuhannya oleh tim proyek. Tim proyek mendapatkan waktu dua minggu untuk
menanggapi. Apabila setelah dua minggu tidak ada perbaikan yang dilakukan, maka verifier akan
langsung melakukan penilaian dan pengambilan keputusan.
Keputusan verifier akan dibritahukan via email kepada pemilik proyek dan ditembuskan kepada tim
assessor. Pemilik proyek kembali diberi waktu dua minggu untuk memberi komentar sebelum secara
resmi diumumkan oleh GBCI melalui website. Pemilik proyek berhak mendapatkan plakat dan
mencantumkan predikat sebagai GREENSHIP Green Building Gedung Baru selama 3 tahun, terhitung
sejak tanggal sertifikasi dikeluarkan.
Terdapat beberapa rating yang pada tahap sertifikasi hanya berupa surat pernyataan. Pemenuhan
dari rating tersebut dilakukan setelah satu tahun sejak tanggal sertifikasi. Pemasukan data ini
merupakan faktor eligibility guna mendaftarkan proses sertifikasi green building untuk gedung
terbangun.
DAFTAR PUSTAKA
A. Lawless State. 2006. Europe’s Borders Must Close to Trade in Illegal Timber. Ancient Forest
Destruction Fact File.
Agency for Toxic Substances and Disease Registry. 2007. Styrene. ATSDR. Atlanta. USA.
American Association of State Highway and Transportation (AASHTO). 1999. Guide for the
development of bicycle facilities. AASHTO. Washington. USA.
Anies. 2006. Manajemen Berbasis Lingkungan, Solusi Mencegah Penyakit Menular. PT Elex Media
Komputindo. Jakarta. Indonesia.
Anonymous. 2010. Daur Ulang Sampah Anorganik dan Pemberdayaan Pemulung. [Homepage of
Docstoc][Online] http://www.docstoc.com/docs/3379776/daur-ulang/
Anonymous. 2009. Designing Out Waste: A Design Team Guide for Buildings Royal Institue British
Architects. England.
Anonymous. 2009. The Economics of Climate Change in Southeast Asia. A Regional Review. ADB.
Asdak, Chay. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta. Indonesia.
Audubon. 2009. Why Conservating landscape: Principles and Steps. Landscaping for a Healthy
Planet. Pennsylvania. USA. http://www.envirolandscaping.org/conservation.htm
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). 2010. Tingkat Keasaman (pH) Rata-rata
Air Hujan Bulan Oktober dan November2009. BMKG. Jakarta. Indonesia.
http://202.90.199.39/dataDetail-d.bmkg?Jenis=Teks&IDS=0530535451163.
022369&IDD=4339493031962412772
BCA. BCA Green Mark For Non-Residential Building Version 3.0. BCA. Singapore.
BCA. BCA Green Mark for Non-Residential Building Version NRB/3.0. BCA. Singapore.
BCA. 2008. BCA Green Mark For Non-Residential Building Version 3.0. BCA. Singapore.
BCA. 2008. BCA Green Mark For Non-Residential Building Version NRB/3. BCA Green Mark.
Singapore.
BEAM Plus. 2009. BEAM Society Building Environmental Assessment Menthod New Building.
Hongkong.
Black, J. 1981. Urban Transport Planning: Theory and Practice, John Hopkins University Press.
Baltimore. USA.
Boulware, B. 2009. Rainwater Catchment Design and Installation Standards. The American
Rainwater Catchment Systems Association. Austin. USA.
BPKSDM. 2009. Benarkah Tenaga Ahli Konstruksi Indonesia MAsih Kurang Percaya Diri. Badan
Pembinaan Konstruksi dan Sumber Daya Manusia. Jakarta. Indonesia. bpksdm.pu.go.id
BREEAM. 2009. BRE Environmental and Sustainability Standard. BES 5055: ISSUE 3.0 (BREAM
Offices 2008 Assessor Manual). Bre Global Ltd.
Building Commissioning Association. 2005. Commissioning for Great Buildings. BCA. Portland.
USA.
Cassidy, R. 2009. What Building Teams Are Doing To Conserve Water Inside Building. Building
Design+Construction , 18-25.
Chapin, Stuart, Jr. 1965, Urban Land Use Planning: Second Edition, University of Illinois. USA.
Chow, Vente. Et al. 1988. Applied Hydrology. McGraw-Hill Book Company. New York. USA.
CIRIA. 2000. Sustainable Urban Drainage System. London. England.
Delaware Department of Natural Resources and Environment Control, Sediment, and Stormwater
Program. 2000. Green Technologies Best Management Practices.
http://www.dnrec.state.de.us/NREC2000/Divisions/Soil/Stormwater/PDF/GreenTechnology.pdf
Departemen ESDM.. Tata Cara Penghematan Energi. Permen ESDM No. 0031/2005. Jakarta.
Indoneisa.
Depnaker. Peraturan Mentri Perburuhan No.7 Tahun 1964 tentang Syarat Kesehatan, Kebersihan,
serta Penerangan dalam Tempat Kerja. Jakarta. Indonesia.
Dina Olivia, Surjamanto Wonoraharjo, Suwardi Tedja, Benedictus Edward. 2008. Kajian Aspek
Kecepatan dalam Teknologi Membangun Gedung di Indonesia. KK Teknologi Bangunan.
Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kota. ITB. Bandung. Indonesia.
Direktorat Jenderal Bina Marga, Direktorat Bina Teknik. 1995. Tata Cara Pemeliharaan Tanaman
Lansekap Jalan. Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta. Indonesia.
Dixon, Tim. Et al. 2007. Sustainable Brownfield Regeneration: Liveable Places from Problem
Spaces. Blackwell Publishing Ltd. Oxford. England.
Doust, K., & Black, J. 2009. Sustainable Transportation: An International Perspective. MIT Journal of
Planning, 9, BCA. Singapore.
Dramstad, W. E., Olson, J. D., & Forman, R. T. 1996. Landscape Ecology Principles in Landscape
Architecture and Land-Use Planning. Island Press. Washington D. C. USA.
Ervianto, Wulfram I., 2008. Potensi Penggunaan Sistem Modular pada Proyek Konstruksi. Program
Studi Teknik Sipil Universitas Atmajaya. Yogyakarta. Indonesia.
Fadem, P., & Conant, J. 2008. A Community Guide to Environmental Health. Hesperian Foundation.
Berkeley. USA.
Faikah Makhyani, Hariyati, M. Yamin Jinca. 2009. Pencemaran Udara Karbon Monoksida dan
Nitrogen Oksida Akibat Kendaraan Bermotor pada Ruas Jalan Padat Lalu Lintas di Kota
Makassar. Simposium XII FSTPT, Universitas Kristen Petra. Surabaya. Indonesia.
Farina, Almo. 1998. Principles And Methods In Landscape Ecology. Chapman & Hall Ltd. London.
England.
Fitria L. Wulandari R.A. Hermawati E. Susanna D. 2008. Kualitas Udara dalam Ruang Perpustakaan
Universitas “X”Ditinjau dari Kualitas Biologi, Fisik, dan Kimiawi. Jurnal Makara, Kesehatan,
Vol.12, No.2, Desember 2008. Jakarta.
Frey, P. 2008. Building Reuse:Finding a Place on American Climate Policy Agendas. National Trust
for Historic Preservation. USA.
http://www.preservationnation.org/issues/sustainability/additional-resources/buillding_reuse.pdf
FWI/GFW. 2001. Keadaan Hutan Indonesia. Forest Watch Indonesia. Bogor. Indonesia.
Gandha, V. 2008. Recycle Reuse [Reduce] Architecture. Archicentrum - Architecture & Interior
Design. http://www.archicentrum.com/index.php?mod=com_article&pg=detail_article&atid=105
GBI. 2009. GBI Assessment Criteria for Non-Residential New Construction (Nrnc). Version 1.0. First
Edition.
GBI. 2009. GBI Assessment Criteria for Non-Residential New Constructiion (NRNC). Version 1.0.
First Edition. Green Building Index. Malaysia.
Gleick, P. H. 2000. Anticipating Future and Demand Supply. Water Working Group. Berkeley. USA.
Green Building Council Australia. 2008. Technical Manual Green Star Retail Centre Version 1.
GBCA. Australia.
Green Building Council Australia. 2008. Technical Manual Green Star Office Design and Office as
Built Version 3. GBCA. Australia.
Green Building Index. 2009. GBI Assessment Criteria 2009. Kuala Lumpur. Malaysia.
Grondzik, W. T. 2009. Principles of Building Commissioning. John Wiley & Sons, Inc. New Jersey.
USA.
Gubernur DKI. 2002. SK Gubernur No 72 Tahun 2002 tentang Ketentuan Pengawasan Pelaksanaan
Kegiatan Membangun di Propinsi DKI Jakarta. Jakarta. Indonesia.
Halgamuge M.N., Chan T.K., Mendis P. 2009. Ventilation Efficiency and Carbon Dioxide (CO2)
Concentration. PIERS Online, Vol. 5, No. 7, 2009. Australia.
Hardjasoemantri, K. 2002. Hukum Tata Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Indonesia.
Harris, W. C., & Dines, N. T. 1995. Time-Saver Standards For Landscape Architecture. McGraw-
Hill. Singapore.
Hatma Suryamoto. 2010. Peran Hutan sebagai Penyedia Jasa Lingkungan Jurusan Konservasi
Sumber Daya Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Indonesia.
http://ksdh.ugm.ac.id/admin/PERAN%20HUTAN-JASLING.pdf
Hendry County Extension. 2006. Environmental landscape management. Hendry County Cooperative
Extension. http://hendry.ifas.ufl.edu/environment/landscape_management.shtml
http://digilib.petra.ac.id/viewer.php?page=1&submit.x=0&submit.y=0&qual=high&fname=/jiunkpe/s
1/ars4/2009/jiunkpe-ns-s1-2009-22405061-12403-modular_housing-chapter1.pdf
http://en.wikipedia.org/wiki/HVAC
http://en.wikipedia.org/wiki/Solar_energy
http://ozonsilampari.wordpress.com/2008/01/30/lapisan-ozon-menipis-akibat-pemakaian-cfc-
clorofluorocarbonbagian-ii/ Lapisan Ozon Menipis Akibat Pemakaian CFC, [The Hompepage of
Ozon Silampari] [Online]
http://www.almeco.it/applicazioni_pdf/1270624698_daylighting_bassa.pdf
http://www.eere.energy.gov/buildings/commercial/onsite_renew_energy.html
http://www.eia.doe.gov/emeu/cbecs/contents.html
http://www.nrel.gov/docs/fy02osti/31505.pdf
http://www.pollutionissues.com/Re-Sy/Soil-Pollution.html
http://www.somfy-
architecture.com/index.cfm?page=/buildings/home/bioclimatic_facades/natural_light
INFORM. 2003. Purchasing for Pollution Prevention: Specifying and Sourcing Mercury-Fre HVAC
and Building Eqipment. INFORM. New York. USA.
James, J. 2008. Bicycle Rack Utilization Study & Facilities Improvement Report. University of
Washington. Washington. USA.
Joga, N. 2009. Opini: Mewujudkan Pemukiman Ramah Lingkungan. Housing Estates.
http://www.housing-
estate.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1146&Itemid=63
Kaplan R. 1993. The Role of Natural in The Context of The Workplace. Journal Landscape and Urban
Planning. Elsevier Science Publisher B. V. Amsterdam. Holland.
http://deepblue.lib.umich.edu/bitstream/2027.42/30542/1/0000175.pdf
Kastaman, R & A. Moetangad. 2006. Perancangan Reaktor Sampah Terpadu dan Pengembangan
Mikroba Penghilang Bau Sampah dalam Rangka Mengatasi Masalah Sampah di Perkotaan.
Jurnal Agrikultura Volume 17 Nomor 3, Desember 2006.
Kementrian Pekerjaan Umum. 2007. Apresiasi Terhadap Tenaga Ahli Konsultan Nasional Masih
Rendah. Jakarta. Indonesia. PU-net
Kepresidenan. 1998. Keppres RI No. 23/1992. In Which It is Forbidden to Use and to Distribute CFC: R
12 Since The Beginning of 1998. Jakarta. Indonesia.
Kepresidenan. 1991. Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1991 tentang Konservasi Energi. Jakarta.
Indonesia.
Krieger J., Higgins D. L. 2002. Housing and Health. Dalam Nindya T. S. Sulistyorini L. 2005.
Hubungan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Anak
Balita. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.2, No.1, Juli 2005: 43-52. Indonesia.
Kuhre, W. Lee. 1996. Sertifikasi ISO 14001 Sistem Manajemen Lingkungan. Prehallind. Jakarta.
Leather P., Pyrgas M., Beale D., Lawrence C. 1998. Windows in The Workplace: Sunlight, View, and
Occupational Stress. Journal: Enironmental Behaviour, Nov. 1, 1998; 30(6), 15/04/2010.
http://www.accessmylibrary.com/article-1G1-21250903/windows-workplace-sunlight-view.html
Li Yuguo. 2003. Indoor Air Quality, Part 2-Ventilation. The University of Hongkong. Hongkong.
http://www.docstoc.com/docs/1009772/Natural-Ventilation---Theory-and-Design
Media Indonesia. 2009. Toilet Hemat Air telah Lahir. Digilib AMPL.
http://digilibampl.net/detail/detail.php?row=0&tp=kliping&ktg= sanitasi&kode=9250
Mediastika C.E. 2002. Desain Jendela Bangunan Domestik untuk Mencapai Cooling Ventilation.
Dimensi Teknik Arsitektur Vol 30, No.1, Juli 2002.
http://puslit.petra.ac.id/search_engine/cache/ARS/ARS023001/ARS02300110.txt , 08/04/2010
Moersidik, S. S. 2010. Pengelolaan Limbah. Materi Kuliah Program Magister Ilmu Lingkungan
2009/2010. Universitas Indonesia. Jakarta. Indonesia.
N.C. Departement of Environment and Natural Resources. 2009. Water Efficientcy Manual for
Commercial, Industrial, and Institutional Facilities. North Carolina. USA.
Nisandi. 2007. Pengolahan dan Pemanfaatan Sampah Organik Menjadi Briket Arang dan Asap Cair.
Fakultas Teknik UGM. Yogyakarta. Indonesia.
Noerbambang, S. M., & Morimura, T. 2000. Perancangan dan Pemeliharaan Sistem Plambing.
Pradnya Paramita. Jakarta. Indonesia.
Norback D, Nordstrom K. 2008. Sick Building Syndrome in Relation to Air Exchange Rate, CO2.
Room Temperature and Realtive Humidity in University Computer Classrooms. An Experimental
Study. International Archieves of Occupational and Environmental Health Vol.82, No.1/Oktober
2008. Springer Berlin. Heidelberg. Germany.
Odum, E. P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. (T. Samingan, Trans.). Gajahmada University Press.
Yogyakarta. Indonesia.
PAM and ACEM. 2009. Green Building Index for Non-Residential New Construction. Kuala Lumpur.
Malaysia.
Pasific Institue. 2006. Freshwater Withdrawal, by Country and Sector. The World's Water.
http://www.worldwater.org/data.html
Persily A. K. 1996. The Relationship Between Indoor Air Quality and Carbon Dioxide. Indoor Air
’96, The 7th International Conference on Indoor Air Quality and Climate, Vol.2. Nagoya. Japan.
http://fire.nist.gov/bfrlpubs/build96/PDF/b96103.pdf , 14/04/2010
Prasasti C. I, Mukono J, Sudarmaji. 2005. Pengaruh Kualitas Udara dalam Ruangan ber-AC
terhadap Gangguan Kesehatan. Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol. 1, No. 2, Januari 2005.
Indonesia.
Prodita, Sabarini. 2009. Buildings Recycle Water to Save Money, Environment. The Jakarta Post.
Jakarta. Indonesia. http://digilib-ampl.net/detail/detail.php?row=&tp=kliping&ktg=airminum
&kode=9180
Pudjiastuti L, S. Rendra, S. R. Santosa. 1998. Kualitas Udara dalam Ruang. Dirjen Dikti Depdikbud.
Jakarta. Indonesia.
Pusat Komunikasi Publik PU. 2009. Peran Ruang Terbuka Hijau dalam Masa Depan Perkotaan.
Departemen Pekerjaan Umum RI. Jakarta. Indonesia.
http://www.pu.go.id/index.asp?site_id=001&news=ppw081009gt.htm&ndate=10/8/2009%203:14
:42%20PM
Queen, R. 2006. Water Efficency Guide: Office and Public Buildings. Departement of the
Environment and Heritage. Canberra. Australia.
Republika. 2007. Pemakaian Air Tanah Sulit Terdeteksi. Forum Komunitas dan Arsip Berita. Jakarta.
Indonesia. http://forum.infoanda.com/viewtopic.php?f=3&t=15326
Riyo, Y.M.A. 2009, Air Hujan dan Kita. Penerj: Basuki, Witono. PT Kompas Gramedia. Jakarta.
Indonesia.
Saptoadi. 2003. Studi Potensi Pengomposan Sampah Kota sebagai Salah Satu Alternatif Pengelolaan
Sampah di TPA dengan Menggunakan Aktivator EM4 (Effective Microorganism). Dalam
Budiharjo, M. A. 2006. Jurnal Presipitasi, Volume 1 Nomor 1 September 2006.
Schell M., Hout D. I. 2001. Demand Control Ventilation Using CO2. .ASHRAE Journal, Februari
2001.
Schmidlapp, E. L. 2009. Building Reuse in Streetscape Environments: Building Code Issues. Mt.
Lebanon. Pennsylvania. USA. http://www.mtlebanon.org/DocumentView.aspx?DID=3368
Seppänen O. A., Fisk W. J., and Mendell M. J. 1999. Association of Ventilation Rates and CO2.
Concentrations with Health and Other Responses in Commercial and Institutional Buildings.
Indoor Air. Berkeley. USA. http://www.epa.gov/iaq/base/pdfs/base_3c2o2.pdf 14/03/2010.
Siagian, Indira Shita. 2005. Bangunan yang Ramah Lingkungan –Salah Satu Aspek Penting dalam
Konsep Sustainable Development. Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas
Sumatera Utara. Medan. Indonesia.
SNI 03-2396. 1991. Tata Cara Perancangan Penerangan Alami Siang Hari untuk Rumah dan
Gedung.
SNI 03-2396. 2001. Tata Cara Perancangan Sistem Pencahayaan Alami pada Bangunan Gedung.
SNI 03-6575. 2001. Tata Cara Perancangan Sistem Pencahayaan Buatan pada Bangunan Gedung.
Sobari. 1997. Kajian Prevalensi Sick Building Syndrome. Tesis Program Pascasarjana. Kajian
Lingkungan. Universitas Indonesia. Jakarta. Indonesia.
Soefaat. 1999. Hubungan Fungsional Teknik Sipil dengan Tata Ruang Kota dan Daerah. PT Medisa.
Jakarta. Indonesia.
Srinivas, H. 2007. Rainwater Harvesting and Utilisation. Rainwater Harvesting and Management.
http://www.gdrc.org/uem/water/rainwater/
Sugandhy, Aca. 1999. Penataan Ruang dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. PT Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta. Indonesia.
Suma’mur, P. K. 1987. Hiperkes Keselamatan Kerja dan Ergonomi. Dharma Bakti Muara Agung.
Dalam Padmanaba, C. G. R. 2006. Pengaruh Penerangan dalam Ruang terhadap Produktivitas
Kerja Mahasiswa Desain Interior. Dimensi Interior, Vol.4, No.2, Desember 2006. Jakarta.
Indonesia. http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.php?DepartmentID=INT
Sutrisni, Agus & Han, Go Chin. 2009. Manajemen Industri Konstruksi. Universitas Kristen Petra.
Surabaya. Indonesia.
Suyoto, Bambang. 2008. Rumah Tangga Ramah Lingkungan. Prima Infosarana Media. Jakarta.
Indonesia.
Tursilowati, L. 2007. Urban Heat Island dan Kontribusinya pada Perubahan Iklim dan Hubungannya
dengan Perubahan Lahan. Prosiding Seminar Nasional Pemanasan Global dan Perubahan Global
Fakta, Mitigasi, dan Adaptasi. Lapan. Bandung. Indonesia.
U. S. Green Building Council. 1996. Sustainable Building Technical Manual: Green Building Design,
Construction, and Operations. Public Technology Inc. USA.
U.S. Green Building Council. 2009. LEED for New Construction and Major Renovation. USGBC.
Washington. USA.
Water Supplies Departement HKSARG. 2001. Handbook on Plumbing Installation for Buildings.
Hongkong Special Administrative Region Government. Hongkong.
Williams, D. E. 2007. Sustainable Design: Ecology, Architecture, and Planning. John Wiley & Sons.
New Jersey. USA.
World Health Organization. 2006. Eliminiation of Asbestos-Related Diseases. Public Health and the
Environment WHO. Genewa. Switzerland.
www.earthresource.org/campaigns/capp/capp-styrofoam.html 16/04/2010
www.epa.gov/iaq/formalde.html 14/04/2010
www.epa.gov/mercury/ 16/04/2010