Anda di halaman 1dari 396

Dra. Hj. Siti Farikhah, M.

Pd

Manajemen
LEMBAGA PENDIDIKAN

2015

i
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

MANAJEMEN LEMBAGA PENDIDIKAN

© Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd; Temanggung, 2015

xii + 384 Halaman; 14,5 X 21 cm


ISBN: 978-602-14834-0-4

Cetakan I: 2015

Penata Isi: lu_cy


Desain Cover: Agung

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak buku ini sebagian atau seluruhnya dalam bentuk
apapun juga, baik secara mekanis maupun elektronis, termasuk fotokopi,
rekaman dan lain-lain tanpa izin dari penerbit

Penerbit:
Aswaja Pressindo
Anggota IKAPI No. 071/DIY/2011
Jl. Plosokuning V No. 73 Minomartani,
Ngaglik, Sleman Yogyakarta
Telp.: (0274) 4462377
e-mail: aswajapressindo@gmail.com
aswajapressindo@yahoo.com
Website: www.aswajapressindo.co.id

ii
PENGANTAR
Prof. Dr. H. Mansur, MA

Assalamu’alaikum wr.wb.
Rasa puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan beberapa nikmat sehingga dapat
melaksanakan tugas hidup di dunia ini yakni beribadah kepada
Allah antara lain dengan menjunjung tinggi pendidikan secara
umum maupun pendidikan Islam khususnya. Pendidikan
tersebut dapat dilaksanakan dengan baik harus dilengkapi
dengan perencanaan yang baik, sampai dengan pengawasan
yang baik, oleh karena itu dalam pendidikan diperlukan
manajemen. Untuk mendukung hal itu maka diperlukan lit-
erature atau buku yang mengupas tentang manajemen dalam
lembaga pendidikan, maka sangat tepat penulis pada
kesempatan ini menyuguhkan buku yang berkaitan dengan
hal tersebut. Buku ini diharapkan dapat memungkinkan
pembaca untuk melakukan peninjauan dan perumusan
kembali manajemen kependidikan yang melandasi penye-
lenggaraan pendidikan secara umum maupun pendidikan
dalam nuansa Islam sekarang ini, agar penyelenggaraan
pendidikan lebih dinamis, akan tetapi tetap bersandar pada
nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku.

iii
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Salah satu cermin dan citra ilmiah yang paling solid dalam
kehidupan dunia kampus atau suatu lingkungan lembaga
ilmiah adalah sebuah buku. Sebab melalui buku orang dapat
menambah pengalaman ilmiah seperti memperluas wawasan,
memperluas cakrawala berpikir, orang menjadi kritis atau
sekurang-kurangnya berpindah dari tidak mengetahui menjadi
orang mengetahui. Dengan memanfaatkan buku sebagai
sebuah informasi, orang bahkan dapat mengkaji dan
menemukan dinamika tertentu dan kemudian terdorong
untuk merancang sesuatu atau bertindak untuk menciptakan
sesuatu yang lebih baik dan berguna baik bagi dirinya, bangsa
dan negaranya. Sebagai suatu kewajiban moral bagi setiap
insan kampus untuk senantiasa memunculkan minat,
motivasi, dan meningkatkan kemauan untuk selalu melekat-
kan diri pada buku, untuk menghadirkan buku yang
dibutuhkan masyarakat. Persembahan ini bukan hanya sebagai
cermin sisi kreatif seorang ilmuan, tetapi juga sebagai
pertanggungjawaban keberadaannya dalam ikut serta
mencerdaskan kehidupan bangsa. Pencarian hakekat
pendidikan merupakan persoalan akademis yang tidak pernah
mengenal titik akhir. Lebih-lebih dalam era perkembangan
pesat ilmu pengetahuan dan teknologi masa kini, pendidikan
makin dirasakan tidak mampu berpacu dengan tuntutan
perkembangan masyarakat. Karena itu setiap upaya kearah
pencarian sistem pendidikan yang mampu merespon tuntutan
masyarakat perlu mendapatkan dukungan. Buku-buku tentang
manajemen pendidikan tidaklah terlalu banyak diterbitkan.
Padahal informasi baru tentang bidang ini juga sangat
dibutuhkan khalayak, terutama bagi mereka yang bergelut
terhadap dunia pendidikan. Untuk itulah kiranya penulis buku
ini merasa terpanggil untuk mengantisipasi dan mengisi
kekosongan atau kelowongan ini. Hal tersebut sebagai
realisasi tanggung jawab untuk dapat memenuhi kebutuhan

iv
Pengantar

buku tentang manajemen lembaga pendidikan yang


memaparkan manajemen pendidikan pada umumnya maupun
pendidikan khusus yang bernuansa Islam.
Mudah-mudahan buku ini menjadi sebuah sumbangsih
yang bermanfaat bagi para mahasiswa, guru, dan masyarakat
pada umumnya yang peduli terhadap pendidikan anak bangsa.
Semoga kehadiran buku ini akan memberi manfaat ganda.
Pertama, akan diterima Allah SWT sebagai ilmu yang
bermanfaat bagi penulis, akan tetap mendapatkan pahala
walaupun sudah meninggal dunia. Kedua, diharapkan akan
dapat diterima sebagai sumbangan bagi khasanah ilmu
pengetahuan . Dengan segala keterbatasan dan kekurangannya
yang masih ditemui dalam buku ini, tidak akan mengurangi
maksud dan tujuan awal dari penulis, dan sekali lagi semoga
bermanfaat dan mendapatkan ridla Allah SWT. Amin.
Wassalamu’alaikum wr.wb.

Salatiga, Januri 2015

Prof.Dr.H. Mansur, M.A.

Guru Besar IAIN Salatiga

v
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

PENGANTAR PENULIS

yukur kehadirat Allah SWT yang telah memercikkan


S setetes dari keluasan lautan ilmu-Nya, sehingga
penulisan buku Manajemen Lembaga Pendidikan ini dapat
diselesaikan.
Buku ini merupakan salah satu sarana ikhtiar membantu
para mahasiswa dalam menempuh mata kuliah Manajemen
Lembaga Pendidikan yang disusun berdasarkan silabi yang
ada dan pengembangannya yang disesuaikan dengan
pendidikan kekinian.
Pengembangan lembaga pendidikan memerlukan seni
dan ilmu tersendiri. Sehingga objek kajian manajemen
pendidikan sangat penting dipelajari secara sistematis dan
mendalam untuk selanjutnya diimplementasikan dalam
aktivitas dan proses pendidikan, baik dalam lembaga
pendidikan secara umum maupun lembaga-lembaga
pendidikan yang lainnya.
Buku ini menawarkan berbagai pemikiran konseptual-
teoritik dan aplikasi-praktik untuk memudahkan guru atau
pendidik dalam menerapkannya di sekolah. Pada bagian
pertama memaparkan konsepsi dasar manajemen pendidikan;
bagian kedua, mengungkapkan ruang lingkup manajemen
pendidikan yang meliputi objek kajian manajemen lembaga

vi
Pengantar Penulis

pendidikan dan bidang garapan manajemen pendidikan yang


merupakan dapur intinya yang terdiri dari 8 (delapan) bidang
garapan manajemen pendidikan di sekolah. Bagian ketiga
membahas fungsi-fungsi manajemen dimana didalam
pengelolaan lembaga pendidikan terkait dengan perencanaan,
pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan. Pada bagian
keempat mengupas kewenangan lembaga pendidikan untuk
mengembangkan aktivitas pendidikan yang lebih akuntabel
melalui Manajemen Berbasis Sekolah, yaitu suatu program
pengembangan lembaga pendidikan dan peningkatan mutu
sekolah dengan merumuskan sistem pendidikan yang berbasis
pada kultur masyarakat dan muatan lokal diwilayah tertentu.
Bagian kelima mengkaji peran dan pentingnya keberadaan
pemimpin atau manajer dalam suatu lembaga pendidikan.
Bagian keenam, memaparkan suatu terobosan untuk
memaksimalkan daya saing organisasi melalui TQM, yaitu
manajemen mutu terpadu, merupakan salah satu pilihan yang
tepat dalam pengelolaan lembaga pendidikaan saat ini. Dalam
teori ini menawarkan manajemen perbaikan terus-menerus
meliputi produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan.
Pada bagian ketujuh, delapan dan sembilan, memfokuskan
pada kajian lembaga pendidikan bernuansa Islam meliputi
pendidikan Islam diera globalisasi dan pengelolaan pendidikan
di madrasah maupun pesantren.
Sedangkan pada bagian kesepuluh dan sebelas, menguraikan
pengelolaan perpustakaan sekolah. Dalam hal ini bertujuan
memberikan bekal kepada calon guru maupun guru agar
terampil mengelola perpustakaan sekolah.
Dalam penyusunan buku ini tidak lepas dari bantuan
beberapa pihak, terutama Prof.Dr.H.Mansur,MA yang telah
memberikan pengantar buku ini dan kontribusi pemikiran
tentang manajemen lembaga pendidikan Islam. Kemudian

vii
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Wiji Suwarno, S.PdI,MSi yang telah memberikan sumbangan


pemikiran dalam manajemen pengelolaan perpustakaan dan
semua pihak yang tidak bisa penulis sebut satu persatu, tidak
lain penulis ucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya dan
doa, semoga Allah SWT memberi berkah atas amal usahanya.
Amin.
Karya ini penulis persembahkan sepenuhnya untuk
keluarga tercinta, khususnya Drs.H.Ibnu Maksum Jaiz,MPd
(suami) sebagai mitra diskusi yang kritis dan tajam serta anak-
anakku Ikhma Novia Ummi Hana dan M.Irfan N.Fajar Albana
yang menjadi sumber inspirasi dan tumpuan harapan penulis.
Akhirnya, ada secercah harapan yang senantiasa
digantungkan, yaitu mudah-mudahan buku ini dapat
memberikan sedikit sumbangan berharga bagi pengembangan
pendidikan, terutama sebagai bekal mengelola pendidikan
bagi calon guru maupun guru yang sudah bertugas. Apresiasi
dalam bentuk kritik dan saran sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan buku ini.

Temanggung, Januari 2015

Penulis

viii
DAFTAR ISI

Halaman
Pengantar Prof. Dr. H. Mansur, MA ........................... iii
Pengantar Penulis .........................................................vi
Daftar Isi ....................................................................... ix

BAB I
KONSEP DASAR MANAJEMEN PENDIDIKAN....... 1
A. Pengertian Manajemen Pendidikan .......................... 1
B. Urgensi Manajemen Pendidikan .............................. 5
C. Model Manajemen Dalam Pendidikan ..................... 8
D. Prinsip-prinsip Manajemen .................................... 18
E. Perkembangan Teori Manajemen ........................... 22
F. Isu-isu Manajemen Pendidikan .............................. 30

BAB II
RUANG LINGKUP MANAJEMEN PENDIDIKAN .. 34
A. Obyek Kajian Manajemen Lembaga Pendidikan .... 34
B. Bidang Garapan Manajemen Pendidikan ................ 36
1. Manajemen Peserta Didik ............................... 37
2. Manajemen Kurikulum ................................... 55
3. Manajemen Personalia .................................... 71
4. Manajemen Sarana dan Prasarana ................... 82

ix
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

5. Manajemen Pembiayaan Pendidikan ............... 91


6. Manajemen Tata Usaha (Tata Laksana)
Pendidikan .................................................... 100
7. Manajemen Humas ....................................... 107

BAB III
PELAKSANAAN FUNGSI-FUNGSI MANAJEMEN
DALAM LEMBAGA PENDIDIKAN ........................ 119
A. Perencanaan ......................................................... 120
B. Struktur Organisasi dan Job Description ............. 125
C. Komunikasi dan Koordinasi ................................. 131
D. Pengawasan dan Pengendalian ............................. 132
E. Pengambilan Keputusan dan Pemecahan Masalah 137

BAB IV
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) ........ 145
A. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ...... 145
B. Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) .. 149
C. Sasaran dan Strategi Peningkatan Kualitas
Melalui MBS ......................................................... 153
D. Kendala-kendala Penerapan MBS ......................... 158
E. Indikator Keberhasilan Penerapan MBS ............... 160

BAB V
KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN ........................... 161
A. Pengertian Pemimpin dan Kepemimpinan ........... 161
B. Pendekatan Kepemimpinan.................................. 165
C. Fungsi Kepemimpinan ......................................... 169
D. Gaya Kepemimpinan ............................................ 177
E. Kepemimpinan Pendidikan .................................. 192

x
Daftar Isi

BAB VI
TOTAL QUALITY MANAGEMENT (TQM)
DALAM PENDIDIKAN ............................................ 208
A. Konsep Total Quality Management ...................... 208
B. Prinsip Total Quality Management ...................... 222
C. Penerapan TQM Dalam Pendidikan ..................... 226
D. Pemimpin Pendidikan Dalam Manajemen Mutu . 233

BAB VII
PENDIDIKAN ISLAM DALAM ERA
GLOBALISASI ........................................................... 237
A. Arti Pentingnya Pendidikan Islam ........................ 237
B. Globalisasi dan Tantangan Pendidikan Islam ....... 241
C. Peran Pendidikan Islam di Era Globalisasi ........... 246
D. Pentingnya Peningkatan Kualitas
Pendidikan Islam .................................................. 249
E. Perlunya manajemen dalam Lembaga Pendidikan
Islam .................................................................... 252
F. Kepemimpinan dalam Manajemen Sumber Daya
Manusia Era Globalisasi ....................................... 257

BAB VIII
MANAJEMEN DI LEMBAGA PENDIDIKAN
MADRASAH .............................................................. 261
A. Keberadaan Madrasah dari Berbagai Pandangan .. 261
B. Proses Manajemen dalam Pengelolaan Madrasah . 269
C. Prinsip-prinsip Manajemen Pendidikan
di Madrasah ......................................................... 270

xi
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

BAB IX
MANAJEMEN DI LEMBAGA PENDIDIKAN
PESANTREN ............................................................. 275
A. Makna Pesantren .................................................. 275
B. Perencanaan dalam Pendidikan Pesantren ........... 281
C. Pengorganisasian dalam Pendidikan Pesantren .... 303
D. Kepemimpinan dalam Pendidikan Pesantren ....... 305
E. Pengendalian dalam Pendidikan Pesantren .......... 306
F. Lembaga Pendidikan Pesantren Sub Sistem
Pendidikan Islam .................................................. 307

BAB X
MANAJEMEN PERPUSTAKAAN ........................... 322
A. Konsep Dasar Perpustakaan ................................. 322
B. Perpustakaan Sebagai Sumber Daya Informasi .... 324
C. Antara Perpustakaan, Lembaga Pendidikan dan
Informasi .............................................................. 325
D. Pengertian Perpustakaan ...................................... 326
E. Fungsi Perpustakaan ............................................ 330

BAB XI
PENGELOLAAN BAHAN PUSTAKA
JENIS BUKU .............................................................. 332
A. Pengadaan Bahan Pustaka .................................... 332
B. Pengolahan Bahan Pustaka ................................... 334

DAFTAR PUSTAKA .................................................. 377

TENTANG PENULIS ................................................ 383

xii
BAB I
KONSEP DASAR MANAJEMEN
PENDIDIKAN

A. Pengertian Manajemen Pendidikan


Istilah manajemen mempunyai konotasi dengan kata
pengelolaan maupun administrasi. Kata pengelolaan
merupakan terjemahan dari management dalam bahasa
Inggris,tetapi secara substansif belum mewakili, sehingga kata
management dibakukan dalam bahasa Indonesia menjadi
manajemen. Sedangkan kata administrasi apabila ditinjau dari
penggunaannya lebih condong pada konteks ketatalaksanaan
pendidikan; istilah manajemen lebih sering digunakan dalam
konteks pengelolaan pendidikan, seolah-olah menggantikan
istilah administrasi setelah munculnya gerakan manajemen
berbasis sekolah.
Oteng Sutisna (1999) menyatakan bahwa administrasi
lebih sesuai digunakan untuk lembaga-lembaga di bidang
sosial seperti pendidikan,pemerintahan,rumah sakit dan
sejenisnya, sehingga pemimpinnya disebut administrator.
Sedangkan manajemen cenderung digunakan oleh lembaga-
lembagaatau organisasi yang bersifat komersil,seperti
misalnya di bidang industri atau perusahaan, sehingga
pemimpinnya dinamakan manajer.Pendapat Mantja (2000)
berbeda dengan argumen sebelumnya, bahwa dalam studi

1
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

kepustakaan secara umum ada kecenderungan manajemen


merupakan bagian dari administrasi.Manajemen mengacu
pada hal-hal yang bersifat tehnis, sehingga ada istilah
manajerial tehnis.Keterampilan-keterampilan manajerial
tehnis merupakan hal-hal mendasar yang memperkuat
kegiatan administrasi yang dilakukan oleh administrator,
meliputi perencanaan,pengorganisasian,pelaksanaan dan
pengendalian.
Pada kenyataannya penerapan kedua istilah tersebut tidak
konsisten, buktinya lembaga pemerintah seperti BUMN dan
BUMD menggunakan istilah manajer untuk pemimpinnya
(Husaini, 2008). Sebenarnya para pakar pendidikan sekaligus
penggagas manajemen pendidikan sudah menetapkan bahwa
istilah manajemen pendidikan merupakan pengganti
administrasi pendidikan karena dianggap mempunyai nilai
komersial dan lebih bergengsi. Oleh karenanya istilah
manajemen pendidikan lebih banyak digunakan dari pada
istilah administrasi pendidikan.
Adapun pengertian manajemen sebagaimana dikemu-
kakan oleh beberapa ahli berikut ini, A.F.Stoner mengemu-
kakan manajemen adalah sebagai proses perencanaan,
pengorganisasian dan penggunaan sumber daya organisasi
agar mencapai tujuan yang telah ditetapkan (1982: 8). Definisi
tersebut senada dengan pendapat Terry dalam buku Principle
of Management,bahwa “Management is distinct process consist-
ing of planning,organizing,actuating and controlling,performed to
determine and accomplish stated objective by the use of human being
and other recorces”. (1977: 4). Menurut Terry tersebut bahwa
manajemen adalah proses yang terinci tentang perencanaan,
pengorganisasian, penggerakan dan pengendalian suatu
organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
dengan menggunakan manusia dan sumber daya lainnya.

2
Konsep Dasar Manajemen Pendidikan

Robbins (1996: 8) mengemukakan bahwa manajemen


adalah proses mengkoordinasikan dan mengintegrasikan
kegiatan kerja agar diselesaikan secara efektif dan efisien
melalui orang lain. Sedangkan Jonshon dalam Made Pidarta
(1998: 15) memberikan definisi manajemen hampir sama
dengan pendapat Robbins,yaitu proses mengintegrasikan
sumber-sumber yang tidak berhubungan menjadi sistem total
mencapai tujuan.
Dari beberapa pendapat ahli tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa manajemen mempunyai makna sebagai
suatu proses kegiatan yang melibatkan sejumlah orang untuk
mencapai tujuan tertentu yang ditetapkan secara efektif dan
efisien. Dalam manajemen terkandung unsur (1) proses
kegiatan yang meliputi perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan dan kontrol, (2) sekelompok orang yang bekerja
sama di dalam maupun di luar organisasi, (3) tujuan,
bermaksud pencapaian sasaran yang ditargetkan, dan (4)
efektif dan efisien mempunyai maksud bahwa efektif yaitu
kuantitas pencapaian hasil yang diharapkan, sedangkan efisien
memiliki arti sesuatu yang dikeluarkan dalam rangka
pencapaian tujuan, bisa berupa biaya,barang maupun
waktu,sehingga semakin sedikit biaya yang dikeluarkan berarti
semakin efisien.
Untuk sampai pada pemahaman manajemen pendidikan,
perlu disinggung terlebih dahulu mengenai pengertian
pendidikan. Dalam Undang-undang Sisdiknas No. 20 tahun
2003 dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan Negara.

3
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Mengacu pada pesan Undang-undang Sisdiknas tentang


pendidikan tersebut, maka dalam operasionalisasinya
diperlukan manajemen yang solid dalam rangka mencapai
tujuannya, yaitu manajemen pendidikan.
Tilaar (2004: 4) mengartikan manajemen pendidikan
sebagai suatu kegiatan yang mengimplikasikan adanya
perencanaan atau rencana pendidikan serta kegiatan
implementasinya. Manajemen pendidikan dapat pula
didefinisikan sebagai seni dan ilmu mengelola sumber daya
pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif
dan efisien. (Hartani, 2011: 8). Selanjutnya dikemukakan
bahwa sumber daya pendidikan yang dimaksud adalah
sesuatu yang dipergunakan dalam penyelenggaraan
pendidikan, baik dalam bentuk sumber daya manusia, sumber
daya finansial maupun sumber daya material, termasuk
didalamnya informasi dan teknologinya. Sedangkan Mulyasa
(2003: 20) mengemukakan bahwa manajemen pendidikan
adalah proses untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah
ditetapkan baik jangka pendek, jangka menengah maupun
jangka panjang. Suryosubroto memberikan definisi hampir
senada dengan pendapat sebelumnya bahwa manajemen
pendidikan adalah sebagai proses untuk mencapai tujuan
pendidikan dimana proses tersebut meliputi perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan,pemantauan dan penilaian.
(2004: 16).
Merujuk dari beberapa pendapat tentang manajemen
pendidikan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa makna
manajemen pendidikanadalah suatu proses pengelolaan
sumberdaya pendidikan baik personal maupun material
secara sistematis dan kontinuitas sebagai upaya pencapaian
tujuan pendidikan dengan cara efektif dan efisien.
Berdasarkan pemahaman tersebut di atas, perlu
ditegaskan bahwa manajemen pendidikan berbeda dengan

4
Konsep Dasar Manajemen Pendidikan

pendidikan, karena tidak semua kegiatan pencapaian tujuan


pendidikan adalah manajemen pendidikan.Manajemen
pendidikan lebih menyangkut kemampuan mengendalikan
kegiatan operasionalisasi pendidikan.Sedangkan pendidikan
itu sendiri suatu program dalam lembaga pendidikan yang
didalamnya terjadi proses mempengaruhi, memotivasi
kreatifitas peserta didik dengan menggunakan alat-alat
pendidikan, metode, media, sarana dan prasarana yang
dibutuhkan dalam melaksanakannya. Sehingga manajemen
pendidikan dapat dipahami sebagai pelayanan atau
pengabdian terhadap pendidikan, karena pada dasarnya
manajemen pendidikan berhubungan dengan pekerjaan yang
berkaitan dengan pengabdian dalam tugas penyelenggaraan
pendidikan.

B. Urgensi Manajemen Pendidikan


Manajemen pendidikan pada hakekatnya merupakan
proses kerja sama dalam rangka mencapai tujuan pendidikan
yang telah ditetapkan, sehingga keberadaannya menjadi
sangat penting dalam mengelola program pendidikan. Dengan
adanya kerja sama diantara personal lembaga pendidikan,
maka akan memudahkan pelaksanaan kegiatannya. Demikian
pula dalam menempatkan seseorang disesuaikan dengan
profesi dan keahliannya (the right man in the right place). Sebagai
contoh, pada jenjang pendidikan tinggi dosen mengampu
mata kuliah yang bukan keahliannya. Hal itu berarti
manajemen pendidikan pada lembaga pendidikan itu
kinerjanya buruk, sehingga tujuan pendidikan tidak tercapai
dengan baik.
Jadi pentingnya manajemen pendidikan adalah untuk
memudahkan pelaksanaan kegiatan pendidikan juga
menempatkan posisi personal sesuai dengan keahliannya,

5
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

sehingga tujuan pendidikan akan tercapai secara optimal. Dan


tujuan pendidikan akan mudah diraih apabila diterapkan
manajemen pendidikan yang baik, sehingga perlu
dilaksanakan fungsi manajemen dengan mengikuti langkah-
langkah sebagai berikut:
1. Menempatkan personalia pendidikan sesuai keahliannya.
2. Mempersiapkan biaya pendidikan yang memadai.
3. Menerapkan metode pendidikan yang tepat.
4. Menyediakan alat-alat pendidikan yang memadai.
5. Mempersiapkan sarana dan prasarana yang efektif.
6. Mengintegrasikan proses pendidikan antara teori dan
praktek.
7. Menerapkan desain pembelajaran sesuai dengan
lingkungan obyek pendidikan.
8. Sistem kontrol yang melekat terhadap tugas dan fungsi
kelembagaan secara internal maupun eksternal.
9. Mempersiapkan daya serap pasar yang baik bagi lulusan
lembaga pendidikan. (Hikmat, 2009: 26).
Mencermati perkembangan dunia pendidikan dewasa ini
sangat membutuhkan suatu manajemen atau pengelolaan
yang semakin baik, H.A.R. Tilaar mengkritisi bahwa terjadinya
krisis pendidikan berkisar pada krisis manajemen. Apabila
manajemen pendidikan yang dirumuskan adalah sebagai
mobilisasi semua sumber daya pendidikan untuk mencapai
tujuan pendidikan yang ditetapkan, maka yang apayang
dihadapi ialah berbagai hambatan yang menghadang
pencapaian tujuan tersebut. Misalnya masalah pembiayaan
pendidikan, masalah ketenagaan pendidikan,masalah
pengangguran lulusan pendidikan tinggi dan menengah,
masalah perguruan swasta, dan sebagai titik puncak dari
keseluruhan masalah manajemen tersebut ialah masih

6
Konsep Dasar Manajemen Pendidikan

rendahnya kualitas pendidikan. Manajemen menyangkut


efisiensi dalam pemanfaatan sumber yang ada, sehingga masih
lemahnya manajemen pendidikan menunjukkan sistem
pendidikan masih belum efisien. (2004: xii).
Berdasarkan pada pemikiran tersebut dapat ditarik
benang merah bahwa sistem pendidikan tidak hanya
membutuhkan konsep-konsep manajemen pendidikan yang
mantap, tetapi juga memerlukan manajer-manajer pendidikan
yang handal, mempunyai pengetahuan dan pengalaman luas
yang secara sistematis bisa dikembangkan dan diterapkan
dalam situasi dan kondisi sosial ekonomi negara yang
beraneka ragam. Oleh karenanya, studi tentang manajemen
pendidikan menjadi sangat penting dengan alasan sebagai
berikut:
1. Manajemen lembaga pendidikan merupakan bagian dari
usaha mencapai tujuan pendidikan.
2. Pelaksanaan kepemimpinan dalam kependidikan
merupakan upaya mengintegrasikan aktifitas pendidikan
agar semua kegiatan dapat dikendalikan dengan baik.
3. Pengembangan profesionalitas merupakan bagian dari
proses pengembangan sumberdaya manusia yang akan
mendorong laju perkembangan dan pertumbuhan
pendidikan yang lebih optimal dan efektif bagi seluruh
aktivitas akademik.
4. Kerjasama secara internal maupun eksternal merupakan
proses mempermudah tercapainya tujuan pendidikan.
5. Fokus kinerja dalam pelaksanaan pembelajaran merupakan
strategi untuk meraih target pendidikan bagi semua
peserta didik.
6. Pengawasan dan evaluasi pendidikan akan memberikan
gambaran tentang keberhasilan pendidikan, sehingga

7
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

dapat dirumuskan perencanaan yang lebih baik di masa


depan (Hikmat, 2009: 25).
7. Kebutuhan masyarakat sudah semakin tinggi taraf
pendidikannya,maka sudah saatnya diperlukan pendidikan
para manajer pendidikan dan pelatihan yang professional
serta terbuka kemungkinan direkrutnya pimpinan lembaga
pendidikan dari para manajer perusahaan. Karena
pendidikan dalam dunia industry modern merupakan
suatu industri tersendiri,sehingga perlu dikelola para
manajer (perusahaan) yang professional yang tentu saja
mempunyai kompetensi bidang pendidikan (Tilaar, 2004:
182).

C. Model Manajemen Dalam Pendidikan


Dalam prakteknya, melakukan manajerial dapat
menggunakan kemampuan atau keahlian dengan mengikuti
alur atau prosedur keilmuan secara ilmiah danada pula karena
berdasarkan pengalaman dengan lebih menonjolkan kekhasan
dalam mendayagunakan kemampuan orang lain. Pada
hakekatnya model-model manajemen dapat diterapkan pada
semua bentuk organisasi termasuk lembaga pendidikan; akan
tetapi setiap lembaga atau organisasinya. Made Pidarta (2004:
26) mengemukakan kajian model manajemen berdasarkan
perspektif tujuan dan tinjauannya, sebagai berikut:
1. Management By Objective,manajemen berdasarkan sasaran
atau tujuan yang akan dicapai, ciri-cirinya adalah:
a. Semua aktivitas manajerial diarahkan pada tujuan yang
telah ditetapkan
b. Fasilitas yang disediakan bersesuaian dengan tujuan
organisasi

8
Konsep Dasar Manajemen Pendidikan

c. Pengembangan sumber daya manusia sebagai upaya


meningkatkan kualitas personal dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya sehingga tujuan dapat dicapai
dengan lebih baik dan optimal.
d. Sasaran yang dituju telah disepakati oleh seluruh
anggota organisasi
e. Kerjasama diciptakan untuk memudahkan pelaksanaan
kegiatan agar tujuan tercapai dengan sebaik mungkin
f. Hasil yang dicapai dievaluasi dengan ukuran utama
tujuan yang telah ditentukan.
g. Hasil evaluasi dijadikan sandaran perencanaan
berikutnya.
h. Mengutamakan kontinuitas kerja organisasi
i. Dilakukan penjabaran terhadap tujuan agar memudah-
kan pencapaiannya
j. Fungsi-fungsi utama manajemen dianalisis secara
rasionaldan kondisional guna tercapainya tujuan.
k. Organisasi dikelola secara sinergis.
l. Seluruh anggota meningkatkan profesionalitas kerja.
m. Pelaksanaan kegiatan didasarkan pada jenis-jenis
tujuan dan lama waktu yang dibutuhkan.
n. Manajer bertindak sebagai pengarah dan pembina
seluruh pelaksana kegiatan organisasi.
o. Konsep tentang tujuan organisasi dirumuskan secara
strategis dan berkesinambungan.
p. Tujuan ditetapkan dengan mengacu pada jumlah yang
akan dicapai, yaitu tujuan tunggal (single goals) dan
tujuan yang banyak (multiple goals). Berdasarkan
kejelasan tujuan, tujuan ada yang jelas dinyatakan
(stated goals) dan tujuan yang actual atau nyata (real
goals). Berdasarkan keluasan dan waktu pencapaian,

9
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

tujuan terdiri atas: (1) tujuan strategis (strategic goals);


(2) tujuan taktis (tactical goals) dan (3) tujuan
operasional (operational goals).
q. Seluruh manajemen secara terus – menerus melakukan
pengawasan dan evaluasi terhadap kinerja yang
diterapkannya.
r. Diharapkan tidak ada kegiatan yang menyimpang dari
sasaran .
s. Memperbaiki sesegera mungkin terhadap pelaksanaan
kegiatan yang tidak relevan dengan tujuan.
t. Dalam melaksanakan kegiatan bersifat fleksibel
terhadap perubahan situasi dan kondisi agar sasaran
tetap dapat dicapai dengan baik.
u. Mementingkan adaptabilitas terhadap jenis-jenis tugas
yang diemban serta mengutamakan pendekatan yang
rasional, kondisional, dan akomodatif.
v. Pembuatan jadwal yang teratur dan sistematis.
w. Penganggaran biaya yang terukur dan memerhatikan
kemampuan finansial organisasi.
x. Kritis terhadap perkembangan situasi dan kondisi.
y. Menyiasati keadaan yang kadangkala bersifat tidak
menentu.
Menurut George Odiorne, penulis buku Management by
Objective (1978: 2) bahwa manajemen sasaran harus
memperhatikan kerjasama dan keterkaitan tugas serta fungsi
para pengelola organisasi. Demikian pula Hikmat (2009: 18)
menyatakan bahwa manajemen berdasarkan sasaran dalam
mengelola organisasi sangat mementingkan kontinuitas kerja,
maksudnya pelaksanaan kegiatan selalu berkelanjutan sesuai
dengan target –target yang ditetapkan meurut urutan dan
ukuran waktu dan biaya. Disamping itu, lembaga pendidikan

10
Konsep Dasar Manajemen Pendidikan

yang menerapkan manajemen sasaran juga harus selalu


membuat persamaan program organisasi sesuai dengan
struktur unit kerja yang ada.Program kerja perlu dirumuskan
oleh bidang – bidang yang menangani urusan tertentu dengan
skala prioritas.
Selanjutnya tahap-tahap yang harus dilaksanakan dalam
manajemen berdasarkan sasaran adalah sebagai berikut :
a. Menentukan strategi pelaksanaan kegiatan secara target.
b. Menentukan sasaran dengan pertimbangan prioritas yang
bebeda-beda.
c. Menentukan tujuan umum dan tujuan khusus.
d. Menentukan rencana tindakan dalam bentuk kalender
kegiatan yang sistematis.
e. Menentukan standar operasional kerja yang efektif dan
efisien didasarkan pada kemampuan dana organisasi.
f. Menentukan standar evaluasi kinerja personalia sesuai
dengan tugas dan kewajibannya.
g. Melaksanakan pembahasan dan diskusi tentang program
kerja dan berbagai strategi pelaksanaan kegiatan.
h. Menentukan penempatan para pegawai secara hierarkis
sesuai dengan kedudukan, tugas dan kewajibannya, serta
wewenannya masing-masing.
i. Melakukan evaluasi terhadap seluruh strategi pelaksanaan
kegiatan dan strategi pencapaian sasaran program.
j. Melaksanakan review secara berkala guna meningkatkan
relevansi antara strategi dengan tujuan yang hendak
dicapai.
k. Melakukan revisi kegiatan seara berkesinambungan untuk
seluruh unit kerja.

11
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

l. Merencanakan sasaran lanjutan berdasarkan hasil evaluasi


yang kemudian dibentuk program kerja berikutnya.
m. Menentukan tahapan pelaksanaan lanjutan.

2. Manajemen Berdasarkan Struktur


Struktur adalah organisasi, jadi strukturalisasi adalah
mengorganisasikan personalia dalam kedudukan, wewenang,
jabatan, pangkat, tanggung jawab, dan semua hal yang
melekat pada personal yang duduk dalam struktur tertentu,
sehingga ada perbedaan (misalnya insentif) antara struktur
yang satu dengan lainnya.
Jadi manajemen berdasarkan struktur menekankan pada
pandangan bahwa organisasi adalah struktur personalia. Oleh
karena itu, dalam lembaga pendidikan, pelaksanaan
manajerialnya disesuaikan dengan struktur yang ada mulai
dari struktur yang paling atas (pejabat) sampai pada bawahan-
bawahannya. Sehingga tugas dan fungsi pejabat struktural
sudah diatur secara organisatoris dan hierarkis. Dalam
penempatan struktur secara hierarkis, mempunyai maksud
bahwa setiap struktural memiliki tingkatan-tingkatan mulai
dari pangkat, jabatan yang akhirnya berpengaruh pada besar
kecilnya wewenang dan tanggungjawab masing-masing
jabatan struktural (Johnson et.al, 1973: 32). Penempatan
struktur juga selalu berkaitan erat dengan keahlian,
pengalaman, pendidikan, dan karier yang dicapai oleh para
personalia organisasi.
Adapun karakteristik model manajemen dengan
pendekatan struktural adalah sebagai berikut:
a. Tugas individu jelas
b. Jabatan jelas
c. Wewenang dan tanggungjawab yang jelas

12
Konsep Dasar Manajemen Pendidikan

d. Deskripsi tugas dan kegiatan yang jelas sesuai dengan


spesifikasinya yang terperinci bagi masing – masing
petugas.
e. Hubungan antar unit dan antar tugas yang jelas (David
Evans, 1981: 241)

3. Manajemen Berdasarkan Teknik


Model manajemen berdasarkan teknik yaitu mengelola
organisasi atau lembaga yang mengacu pada teknik
operasional. Hal-hal yang harus dipersiapkan dalam
manajemen teknik kinerja organisasi ialah penguasaan teknik-
teknik yang akan diterapkan dan semua fasilitas untuk
menerapkan teknik juga telah disediakan. Tahap-tahap
pelaksanaan manajemen berdasarkan teknik adalah sebagai
berikut:
a. Membahas semua rancangan kegiatan
b. Menempatkan dan menugaskan personal yang akan
melakukan kegiatan.
c. Mempersiapkan sarana dan prasarana serta alat-alat yang
membantu pelaksanaan kegiatan.
d. Melatih personal untuk meningkatkan keterampilan
teknisnya.
e. Mengembangkan kerjasama di seluruh pelaksana teknis
kegiatan.

4. Manajemen Berdasarkan Personal Organisasis


Yaitu model manajemen yang mengelola organisasi
dengan mempertimbangkan sumber daya manusia
sepenuhnya yang ada dalam organisasi. Dengan kata lain
dapat dijelaskan bahwa dalam praktiknya, pemimpin atau
manajer suatu lembaga memberikan perhatian yang sangat

13
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

besar kepada bawahannya atau personalia yang ada. Hal ini


beralasan bahwa setiap pemimpin berusaha agar mereka yang
menjadi bawahannya mau bekerja dengan baik dalam
menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya.Pada
kenyataannya menunjukkan bahwa pemimpin itu mem-
peroleh hasil-hasilnya melalui bawahan-bawahannya sehingga
pemimpin semakin memberikan perhatian yang besar kepada
bawahannya, bagaimana usaha agar para bawahan itu
memberikan prestasi- prestasinya yang besar dalam
merealisasi tujuan organisasi.
Adanya perhatian yang besar yang dicurahkan pada
bawahannya tersebut, membuktikan bahwa nyata-nyata
masalah kepegawaian dalam setiap lembaga atau organisasi
merupakan fungsi pemimpin yang tidak dapat dielakkan. Tay-
lor sendiri, dikenal sebagai bapak “scientific management”
berpendapat bahwa salah satu “duties of management” ialah
memilih pekerja yang terbaik untuk setiap tugas tertentu dan
selanjutnya melatih dan mendidiknya (1961: 2-3).
Dengan uraian tersebut, jelaslah bahwa masalah
personalia merupakan fungsi setiap manajer atau pemimpin
dalam setiap lembaga tanpa menjadi masalah tingkat
pimpinannya. Ciri–ciri manajemen dengan pendekatan
personalia adalah sebagai berikut :
a. Membangun hubungan horizontal dengan seluruh
personil organisasi.
b. Merencanakan tenaga kerja
c. Membangum komunikasi dan memotivasi kerja seluruh
personal organisasi
d. Memperhatikan kesejahteraan dan kesehatan personal
meskipun bukan bagian langsung dari wewenang
personalia.

14
Konsep Dasar Manajemen Pendidikan

e. Menciptakan iklim kepegawaian yang dinamis dan


kepemimpinan yang ideal.
f. Mengurus pangkat dan peningkatan tunjangan, insentif,
dan gaji pegawai.
g. Menilai prestasi kinerja personal organisasi.
h. Mengumumkan seluruh berita yang berhubungan dengan
kepegawaian tepat waktu.
i. Memberikan pengarahan, saran, dan petunjuk yang benar
tentang tata cara pengurusan jabatan dan pangkat pegawai
j. Menunjukkan sikap adil dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya yang menyangkut masa depan para pegawai.
(Hikmat, 2009: 37)

5. Manajemen Berdasarkan Informasi


Informasi memberikan wacana yang baik bagi masa
depan organisasi (Johnson,1993: 109). Demikian pula
dikatakan oleh Shrode (1974 : 448) bahwa informasi
merupakan agen yang menopang kehidupan organisasi.
Dengan adanya informasi dapat memberikan nilai
manfaat bagi lembaga atau organisasi, seperti dalam
mempercepat pengambilan keputusan, mempermudah
saluran kegiatan, dan pelaksanaan kegiatan yang tepat sasaran.
Disamping itu, informasi yang diperoleh dapat dijadikan
bahan perbincangan dalam rapat–rapat organisasi; seperti
informasi perkembangan pasar global, informasi kompetisi
pendidikan, informasi hasil penelitian, informasi yang
berkaitan dengan perubahan-perubahan kebijakan
pemerintah, dan sebagainya. Jadi organisasi atau lembaga
perlu mengembangkan manajemen berdasarkan informasi
guna pengembangan usaha-usahanya. Apalagi dalam era
globalisasi yang menghasilkan eksplosif informasi daya

15
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

didukung oleh kemajuan teknologi menjadikan lembaga


(pendidikan) semakin tak terbatas. Informasi ilmu
pengetahuan yang diperoleh peserta-peserta didik di sekolah
menjadi tidak bermakna apabila tidak diiringi oleh
kemampuan untuk menyerap dan menerapkan teknologi
pendidikan.

6. Manajemen Berdasarkan Lingkungan


Model manajemen dengan pendekatan lingkungan lebih
mengedepankan human relation, yaitu hubungan secara inter-
nal maupun eksternal.Hubungan internal organisasi adalah
hubungan antar warga di dalam lembaga, seperti misalnya
kepala sekolah dengan guru, guru dengan peserta didik, dan
sebagainya. Demikian pula yang berkaitan dengan alat-alat
atau instrument organisasi, strategi perencanaan dan
pelaksanaan kegiatan organisasi.Sedangkan hubungan
eksternal organisasi adalah hubungan organisasi atau lembaga
dengan lingkungan masyarakat di luar lembaga.Misalnya
kerjasama antar lembaga, lingkungan lintas pimpinan
lembaga, tokoh masyarakat, instansi terkait, dan sebagainya.
Lembaga pendidikan sangat perlu mengembangkan
lingkungan organisasi secara internal maupun eksternal
karena menyangkut hubungan sinergis antar personal
organisasi dan dengan kondisi lingkungan personalnya.
Misalnya sekolah yang letaknya berdekatan dengan
masyarakat desa, maka keberadaan sekolah harus memberikan
nilai positif untuk kehidupan masyarakatnyadalam berbagai
aspek, seperti ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan agama.
Ada model manajemen selain yang dipaparkan di muka
yaitu 5 (lima) model manajemen yang dikemukakan oleh Tony
Bush (2000: 40), yaitu:

16
Konsep Dasar Manajemen Pendidikan

1. Model Manajemen Formal, yaitu model manajemen yang


dalam struktur organisasi menekankan pentingnya
struktur hierarkis. Pengambilan keputusan diatur
pemimpin, dan tertutup terhadap lingkungan luar. Sistem
terbuka diterapkan hanya untuk kepentingan tertentu,
misalnya untuk merespon kebutuhan komunitas, untuk
menarik klien baru, sehingga menciptakan image yang
positif.
2. Model Manajemen Kebersamaan (Collegial), adalah model
manajemen yang cenderung fokus pada hubungan lateral
antar orang-orang profesional yang memiliki otoritas
keahlian. Pengambilan keputusan ataupun penetapan
tujuan ditentukan dalam sebuah kerangka kerja partisipa-
toris berdasarkan kesepakatan.
3. Model Manajemen Politis, yaitu model manajemen yang
memandang bahwa struktur organisasi bisa dijadikan
dasar untuk melawan dan modal bersaing dengan lawan
politiknya. Pengambilan keputusan dengan cara konflik
dan hubungan lingkungan tidak stabil.
4. Model manajemen subjektif, adalah model manajemen
yang lebih menekankan aspek kualitas personal individu
daripada posisinya dalam struktur organisasi. Penentuan
tujuan ditetapkan secara subjektif, sehingga sering timbul
permasalahan dari pimpinan, karena disebabkan oleh
pemaknaan oleh individu tersebut.
5. Model Manajemen Ambigu, ialah model manajemen
dengan tujuan tidak jelas, status struktur organisasi
bermasalah dan hubungan dengan lingkungan juga kabur,
sehingga selalu terjadi pergolakan dalam organisasi.
Lembaga pendidikan sebagai bentuk institusi yang
memadukan semua kepentingan melalui penetapan
konsensus tentang tujuan utama organisasi maka selayaknya

17
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

seorang pimpinan menerapkan tipe-tipe atau gaya


kepemimpinan yang disesuaikan dengan situasi kondisi ;
demikian pula dalam mengaplikasikan model manajemennya.
Namun tentunya lebih mengutamakan sistem manajerial yang
bersifat manusiawi.Karena dalam lembaga pendidikan,
manusia adalah objek kajian utama.Eksistensi manusia bukan
hanya ikut serta membangun sistem pendidikan yang baik,
tetapi lebih dari itu, manusia menciptakan dan menentukan
sistem pendidikan yang terpadu.

D. Prinsip – prinsip Manajemen


Prinsip – prinsip pengelolaan dalam manajemen menurut
Hikmat (2009:41) ada 5 (lima) yaitu:
1. Prinsip Efisiensi dan Efektifitas
Efisiensi merupakan teknik atau cara membuat sesuatu
dengan benar (doing things right) yang menekankan pada
perbandingan antara input atau sumber daya dengan output.
Jadi kegiatan dikatakan efisien apabila tujuan dapat dicapai
secara optimal dengan penggunaan sumber daya yang
minimal.Sumber daya yang dimaksud berkaitan dengan
tenaga, biaya dan waktu.
Sedangkanefektifitas berkaitan dengan keberhasilan
tujuan organisasi, dimana kenyataan hasil yang diperoleh
sesuai dengan hasil yang diharapkan. Kajian efektifitas
meliputi: (1) masukan yang merata; (2) kuantitas dan kualitas
keluaran yang tinggi; (3) ilmu dan keluaran yang relevan
kebutuhan masyarakat yang sedang membangun (4)
pendapatan tamatan yang memadai (Engkoswara, 2011: 90)
2. Prinsip Pengelolaan
Prinsip pengelolaan tidak lain adalah fungsi manajerial
yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengasahan

18
Konsep Dasar Manajemen Pendidikan

dan kontrol. Apabila seorang manajer melakukan tahap-tahap


tersebut dalam kegiatannya, maka akan mudah meraih tujuan
dengan baik.
Tahap perencanaan mengacu pada visi dan misi
organisasi, kemudian disusun program yang sistematis,
berdasarkan pada skala prioritas untuk program jangka
panjang, jangka menengah dan jangka pendek. Pelaksanaan
program tersebut sering berkaitan dan menunjang dalam
mencapai tujuan. Dengan demikian program jangka pendek
dilakukan sebagai bagian awal dari program jangka menengah,
sedangkan pelaksanaan program jangka menengah
dilaksanakan sebagai awal menujuprogram jangka panjang.
Tahap pengorganisasian merupakan bagian tugas
manajer, dimana program kerja yang ada diorganisir sesuai
dengan perencanaan, sehingga akan nampak hubungan antar
program tersebut. Dengan demikian, pada tahap-tahap
pelaksanaan, efisiensi dan efektifitas dapat diterapkan dan
diarahkan pada tujuan yang diterapkan. Selanjutnya pada
tahap pengawasan dan evaluasinya akan mudah terlaksana,
sehingga dapat meminimalisir faktor resiko kegagalan
pelaksanaan program.
3. Prinsip Pengutamaan Tugas Pengelolaan
Pengutamaan tugas pengelolaan merupakan tanggung-
jawab manajer secara internal maupun eksternal. Kedua
beban tanggungjawab didalam maupun keluar organisasi
secara sinergis harus diarahkan pada tujuan yang ditargetkan.
Seperti misalnya bagian produksi bekerja sama dengan bagian
promosi, dan bagian promosi berhubungan dengan
masyarakat. Dengan demikian baik tujuan pengelolaan ke
dalam maupun keluar merupakan satu kesatuan pengutamaan
pengelolaan yang saling mempengaruhi dan menunjangdalam
mencapai target.

19
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

4. Prinsip Kepemimpinan Efektif


Seorang pemimpin harus bisa mengembangkan
hubungan yang baik dengan semua anggotanya dan pandai
merealisasikanhuman relationship.Sehingga kepemimpinan
efektif adalah kepemimpinan yang dipegang oleh seorang
pemimpin yang memiliki kebijaksanaan dalam mengambil
keputusan, tegas, lugas, hemat waktu dan berkualitas.
Dengan demikian, pemimpin yang baik adalah pemimpin
yang mengingatkan dan menyarankan, bukan menyalahkan
anggota ; dan anggota yang baik tidak pernah protes dan gusar
kepada pimpinan, tetapi meluruskan dan menyadarkan dalam
konteks profesionalitas dan hubungan fungsional yang terkait
dalam upaya mencapai tujuan.
5. Prinsip Kerjasama
Prinsip Kerjasama merupakan pemberian struktur dalam
penyusunan atau penempatan personal, kegiatan-kegiatan,
materiil dan ide-ide di dalam struktur organisasi tersebut.
Dalam operasionalisasinya ada pemberian tugas, wewenang
dan tanggungjawab berdasarkan profesionalitas, sehingga
kerjasama di antara karyawan berjalan sinergis dan
mempermudah tugas organisasi.
Selanjutnya, ditegaskan bahwa secara umum organisasi
memiliki prinsip-prinsip dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Memiliki tujuan yang jelas.
b. Tiap anggota bisa memahami dan menerima tujuan.
c. Adanya kesatuan arah, termasuk kesatuan tindakan dan
pikiran.
d. Adanya kesatuan perintah.
e. Adanya keseimbangan antara wewenang dan tanggung-
jawab antar anggota.

20
Konsep Dasar Manajemen Pendidikan

f. Pembagian tugas sesuai dengan kemampuan, keahlian, dan


bakat masing-masing, sehingga kerjasama menjadi
harmonis dan kooperatif.
g. Pola organisasi relatif permanen dan struktur organisasi
sederhana sesuai kebutuhan, koordinasi, pengawasan dan
pengendalian.
h. Adanya jaminan keamanan dalam bekerja.
i. Gaji atau insentif sesuai dengan jasa atau pekerjaannya.
j. Garis kekuasaan dan tanggung jawab serta hierarki tata
kerjanya jelas tergambar dalam struktur organisasi.
(Ngalim Purwanto dalam Hikmat: 21)
Dalam praktiknya, lembaga pendidikan sebagai bentuk
institusi yang memadukan berbagai kepentingan yang
diarahkan pada tujuan tertentu, sering terjadi konflik
kepentingan dan kinerja organisasi. Hal ini ditemui misalnya
pada faktor perbedaan keahlian, tugas dan kewajiban.
Sehingga dalam suatu organisasi diperlukan suatu prinsip
yang memiliki esensi bahwa manajemen dalam ilmu dan
praktiknya harus memperhatikan tujuan, orang- orang, tugas-
tugas dan nilai-nilai. Hal ini selaras dengan apa yang
dikemukakan oleh Douglass (1963 : 13) yang merumuskan
prinsip-prinsip manajemen pendidikan sebagai berikut:
a. Mengutamakan tujuan organisasi daripada kepentingan
pribadi dan mekanisme kerja.
b. Mengkoordinasikan wewenang dan tanggungjawab.
c. Memberikan tanggung jawab pada personal sekolah
hendaknya sesuai dengan sifat–sifat dan kemampuannya.
d. Memahami dengan baik faktor-faktor psikologis manusia.
e. Relatifitas nilai-nilai.
Berdasarkan pemahaman tentang prinsip-prinsip
manajemen tersebut, maka pada dasarnya manajemen

21
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

lembaga pendidikan mengelola sistem pendidikan yang


terpadu. Dalam hal ini manajemen lembaga pendidikan
berkaitan dengan psikologi pendidikan karena membicarakan
potensi motivasi kerja dan kepribadian seluruh pelaku
pendidikan, termasuk guru, peserta didik dan sebagainya.
Demikian pula berkaitan dengan sosiologi pendidikan, karena
berbicara tentang sistem kerjasama secara terpadu dalam satu
sistem kependidikan yang berhubungan dengan masyarakat.
Misalnya peserta didik berhubungan dengan orang tuanya,
orang tua berhubungan dengan sekolah, dengan lingkungan-
nya, dengan orientasi pendidikannya dalam mewujudkan
harapan anak- anaknya yang berhubungan dengan pendidikan,
dan sebagainya.

E. Perkembangan Teori Manajemen


Sejarah perkembangan teori manajemen terdiri dari 3
(tiga) fase, yaitu:
1. Fase Pra Sejarah (sebelum tahun 1 Masehi)
Sebenarnya, manajemen telah ada sejak timbulnya
peradaban manusia.Hal ini terbukti pada zaman
Mesopotamia, uang logam telah menjadi alat tukar-menukar
yang dapat memperlancar perdagangan.Zaman Babilonia
menandakan adanya “TamanTergantung”yang sulit ditandingi
oleh manusia modern. Zaman mesir kuno juga membuktikan
telah berkembang manajemen pemerintahan, militer,
perhubungan, dan pembangunannya pasti ada perencanaan,
pengorganisasian, dan pengawasan. Disusul Tiongkok Kuno
dengan manajemen kepegawaiannya yang dikenal dengan
istilah “merit system”, yaitu sistem penilaian karyawan yang
dikaitkan dengan sistem balas jasa (gaji, insentif dan bonus)
yang digunakan sebagai dasar penetapan promosi. (Hikmat,
2009: 74). Romawi kuno dikenal seorang filsuf yang bernama

22
Konsep Dasar Manajemen Pendidikan

Cicero menciptakan buku berjudul”De Offici” (The Office) dan


De Legibus (The Law).Yunani Kuno dengan konsep
demokrasinya, bahwa kekuasaan ada di tangan rakyat.
2. Fase Sejarah (Tahun 1 Masehi sampai dengan 1886)
Berawal dari sumbangan gereja Katholik Roma yang telah
memiliki ajaran suci dan kerapian organisasi. Zaman ini telah
muncul tokoh-tokoh pengembangan manajemen, diantaranya
adalah George Van Zincke yang menulis karya ilmiah di
antaranya tentang manajemen pertanian. Revolusi Industri
di Inggris juga mempengaruhi sistem manajemen secara
luas.James Watt yang menemukan mesin uap, ikut andil dalam
percepatan resolusi tersebut.
3. Fase Modern
Fase ini diawali tahun 1886, dimana manajemen
dipandang sebagai ilmu pengetahuan, sedangkan pada fase
pra sejarah dan fase sejarah, manajemen dikenal sebagai seni.
Sejarah perkembangan manajemen sebagai ilmu, semakin
melejit setelah munculnya aliran-aliran teori manajemen.
Engkoswara (2010 : 96-99) memberikan gambaran pemikiran
manajemen sebagai praktik yang berlandaskan konsep teori
sesuai dengan aliran-aliran ilmu manajemen pada kurun
waktu tertentu.
1. Teori Manajemen Ilmiah (Scientific Management
Theory)
Tokoh-tokoh teori manajemen ilmiah adalah Frederick
W. Taylor, Henry L. Gautt, Frank Bunker Gilberth dan Lilian
Gilberth. Pemikiran-pemikiran mereka pada intinya suatu
konsep untuk meningkatkan produktifitas dengan unsur
para pekerja menyangkut keterampilannya, sistem upah
maupun motivasi kerja.

23
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Frederick W. Taylor menulis buku berjudul “Scientific


Management” sehingga dikenal sebagai “Bapak Manajemen
Ilmiah”.Sebagai penggagas prinsip dasar manajemen,
menjelaskan secara ilmiah bahwa perlu ada metode untuk
melaksanakan tugas, menyeleksi, melatih dan memotivasi
pekerja dengan teknik tertentu untuk mencapai efisiensi.
Teknik yang digunakan untuk melaksanakannya adalah
dengan studi gerak dan waktu(time and motion studi),
maksudnya menganalisis dan mengukur waktu dari
gerakan-gerakan pekerja dalam melakukan serangkaian
pekerjaan. Taylor juga menerapkan sistem tarif berbeda,
yaitu karyawan yang lebih produktif dan efisien mendapat
upah lebih besar dari lainnya dengan tujuan memperbaiki
metode kerja karyawan.
Prinsip dasar yang dirumuskan Taylor ada (empat),
yaitu:
a. Pengembangan teori manajemen ilmiah dapat disam-
paikan untuk menentukan metode dalam mencapai
tujuan.
b. Seleksi karyawan dilakukan secara ilmiah, sehingga
tugas dan tanggung jawabnya sesuai keahlian.
c. Pendidikan dan pengembangan karyawan.
d. Hubungan yang harmonis antara manajemen dan
karyawan.
Gantt memberikan kontribusinya dengan memper-
kenalkan metode grafik sebagai teknik scheduling,
produksi untuk perencanaan, koordinasi dan pengawasan
produksi yang disebut “Bagan Gantt” (Gantt Chart).
Disamping itu juga mengemukakan sistem upah bagi
pekerja, yaitu pemberian bonus bagi pekerja yang bekerja
seharian dan prinsip pengupahan yang seimbang bagi
seluruh prestasi karyawan.

24
Konsep Dasar Manajemen Pendidikan

Kadariman dkk dalam Hikmat (2009:85) menambah-


kan, bahwa masih ada tokoh-tokoh manajemen ilmiah lain
menyumbangkan pemikiran-pemikirannya, antara lain:
• Robert Owen, mengemukakan bahwa peningkatan
kondisi kerja dapat meningkatkan produksi dan
keuntungan. Oleh karenanya dasar terpenting adalah
pekerja sebagai mesin utama dalam proses produksi.
• Charles Babbage, menjelaskan bahwa penerapan
prinsip-prinsip ilmiah dalam proses kerja akan
meningkatkan produktivitas dan hemat biaya. Pekerja
bisa dilatih keterampilan tertentu dengan pembagian
kerja dan tanggung jawab terhadap pekerjaannya sesuai
dengan keterampilannya.
• Frank B. Gilbert dan Lilian Gilbert, mengemukakan
konsep kelelahan dan gerak (fatique and motion).
Ditegaskan bahwa sasaran akhir manajemen adalah
menolong pekerja untuk mencapai kemampuannya
yang optimal sebagai manusia. Sehingga ia
mengembangkan rencana tiga kedudukan untuk
keperluan promosi dan motivasi, yaitu pada saat yang
sama pekerja melaksanakan tugas saat ini, juga bersiap
diri untuk jabatan lebih tinggi dan sekaligus
mempersiapkan generasi pengganti (be a does, a leader
and a teacher).
• Manajemen Organisasi Klasik (Clasisical Organiation
Theory) atau Manajemen Operasional Modern
Tokoh teori manajemen operasional modern adalah
Henry Fayol yang dikenal dengan sebutan “Bapak Teori
manajemen Modern”. Fayol menulis buku berjudul “Gen-
eral and Industrial – Management” yang membahas tentang
pembagian aktifitas organisasi dalam 6 (enam) hal, yaitu

25
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

teknikal, komersial, keamanan, finansial, akuntansi dan


manajerial.
Ia juga terkenal dengan empat belas prinsip
manajemen, yaitu:
a. Pembagian kerja
b. Wewenang
c. Disiplin
d. Kesatuan perintah
e. Kesatuan pengarahan
f. Mengutamakan kepentingan umum diatas kepentingan
pribadi
g. Imbalan
h. Sentralisasi
i. Hierarki
j. Order (susunan)
k. Keadilan
l. Stabilitas staf organisasi
m. Inisiatif
n. Esprit de Corps (semangat corps)
Untuk menjadi manajer yang baik menurut Fayol
harus menguasai keterampilan dan prinsip dasar
manajemen.
2. Aliran perilaku (Behavioral Sciences)
Tokoh aliran perilaku adalah sebagai berikut:
• Elton Mayo dan FJ. Roesthlisberger, menemukan teori
tentang kelompok kerja informal lingkungan sosial
mempunyai pengaruh besar terhadap produktifitas.
Penelitian keduanya tentang perilaku manusia dalam
berbagai situasi kerja dilakukan di pabrik Hawthorne

26
Konsep Dasar Manajemen Pendidikan

milik perusahaan Western Electric, sehingga dikenal


dengan eksperimen Hawthorne.
• Mc Gregor, dikenal dengan teori X dan teori Y. ia
beranggapan perlu adanya perhatian pada kebutuhan
sosial dan aktualisasi diri karyawan dengan menun-
jukkan dua kategori manusia yaitu manusia yang harus
selalu dalam pengawasan dalam pekerjaannya dan
sebaliknya manusia tipe Y adalah manusia pekerja yang
mempunyai motivasi tinggi sebagai kesempatan
mengaktualisasi diri tanpa pengawasan sekalipun.
• Abraham Maslow, Frederick Herzberg dan Edgar
Schein. Ketiga tokoh tersebut mengembangkan aliran
perilaku organisasi. Mereka berasumsi bahwa
hubungan manusia dalam manajemen berada pada
lingkup organisasi, yaitu interaksi antara pimpinan dan
bawahannya dengan suasana kerja dalam organisasi
yang kondusif. Prinsip yang dicanangkan aliran
perilakuorganisasi adalah:
a. Organisasi merupakan satu kesatuan, bukan bagian
per bagian.
b. Motivasi karyawan penting untuk komitmen
pencapaian sasaran organisasi
c. Manajemen adalah suatu proses yang fleksibel,
tetapi tidak lepas dari peranan, prosedur dan
prinsip.
3. Pendekatan sistem (System Approach)
Pendekatan sistem adalah teori yang berasumsi bahwa
organisasi merupakan suatu kesatuansinergis yang terdiri
dari komponen – komponen atau bagian – bagian yang
saling berkaitan dan bekerja sama untuk mencapai tujuan.

27
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Tokoh pendekatan sistem, Chester I. Barnard dalam


karyanya “The Function of The Executive”, mengemukakan
bahwa tugas manajer adalah mengupayakan kerjasama
organisasi dengan menggunakan pendekatan sistem sosial
komprehensif dalam kegiatan “managing”.
Hubungan dalam pendekatan atau manajemen sistem
adalah hubungan antar komponen atau bagian-bagian,
yaitu:
a. Hubungan fungsional,berkaitan dengan gerak dari
fungsi aktivitas organisasi.
b. Hubungan timbal balik, yaitu hubungan saling
menguatkan dan memberi masukan untuk kepentingan
organisasi.
c. Hubungan sinergitas, ialah hubungan kerjasama antar
bagian walaupun beda tugas dan kewajiban.
d. Hubungan umpan balik, berkaitan dengan hubungan
yang saling melengkapi untuk penyempurnaan kinerja
organisasi.
e. Hubungan sebab akibat, berkaitan dengan kegiatan
organisasi dengan hasil yang dicapai dan dampaknya
terhadap pekerja.
f. Hubungan normatif, adalah hubungan yang berkaitan
dengan peraturan organisasi yang harus ditaati oleh
personal organisasi (Hikmat, 2009: 93)
Sistem merupakan himpunan komponen yang saling
berhubungan dan mampu mengatur diri serta menyesuai-
kan diri lingkungan organisasi. Adapun ciri-ciri pokok
sistem menurut William A. Schode dan Dan Voich Jr.
(Hikmat, 94) adalah sebagai berikut:
a. Mempunyai tujuan yang jelas.
b. Mempunyai batas.

28
Konsep Dasar Manajemen Pendidikan

c. Terbuka, dalam arti hubungan dengan lingkungan.


d. Terdiri dari berbagai komponen yang saling mem-
pengaruhi dan berhubungan.
e. Melakukan proses transformasi dari masukan (input)
menjadi keluaran (output).
f. Melakukan kontrol berdasarkan umpan balik.
Mengacu pada ciri-ciri pokok sistem tersebut, maka
sesuatu dapat disebut sistem apabila memiliki keterbukaan
terhadap lingkungan, mampu melakukan transformasi dan
evaluasi dari semua komponen yang saling berinteraksi
untuk mencapai tujuan bersama.
4. Pendekatan Kontingensi atau Pendekatan
Situasional
Yaitu teori manajemen yang menitikberatkan pada
situasi dan kondisi tertentu, dalam mengembangkan
berbagai pendekatan dan menerapkannya. Namun tidak
mengharuskan untuk pendekatan yang sekiranya tidak
sesuai untuk situasi dan kondisi yang ada. Oleh karenanya,
dalam situasi dan kondisi tertentu bisa digunakan
pendekatan yang cocok secaramanajerial.
5. Manajemen Birokrasi
Birokrasi mempunyai makna kekuasaan ada pada
orang-orang yang berada dibelakang meja. Bintoro
Tjokroamidjojo (Hikmat :98) berpendapat bahwa birokrasi
adalah tipe organisasi yang digunakan di pemerintahan
modern untuk pelaksanaan tugas-tugas yang bersifat
khusus, dalam sistem administrasi aparatur negara.
Jadi manajemen birokrasi merupakan manajemen yang
syarat dengan muatan aturan sesuai dengan kapasitas per-
sonal organisasi. Sehingga memiliki karakteristik sebagai
berikut : (1) pengelolaan organisasi teratur, (2) melayani

29
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

kepentingan umum, (3) berkaitan langsung secara


birokrasi, (4) organisasi maju dengan pesat, (5) disiplin
tinggi.

F. Isu – isu Manajemen Pendidikan


Suatu masyarakat industri dalam era informasi
merupakan masyarakat pembelajar (life long learning society),
karena jika tidak terus- menerus belajar maka akan tertinggal
dari laju ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat
perkembangannya. Oleh sebab itu pendidikan juga harus
disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat industri modern,
yaitu pendidikan berkualitas.
Untuk mewujudkan pendidikan berkualitas tidak
semudah membalikkan telapak tangan, namun membutuhkan
pemikiran–pemikiran yang cerdas dan bijaksana dalam
menyikapinya. Karena semakin canggih sistem pendidikan,
maka semakin dibutuhkan pengelola pendidikan yang
professional.Sehingga pendidikan dan pelatihan yang
profesional untuk para manajer pendidikan merupakan suatu
keharusan dalam dunia industri modern ini.
Berpijak pada permasalahan-permasalahan tersebut,
maka isu-isu utama manajemen pendidikan yang dapat
dikemukakan antara lain sebagai berikut:
• Isu terbaru yang menjadi perhatian dalam manajemen
pendidikan adalah mempertanyakan kompetensi manajer
pendidikan yang menyongsong manajemen perubahan dan
teknologi pendidikan. Apabila suatu lembaga pendidikan
berharap tetap eksis, maka diperlukan kemampuan untuk
menyesuaikan secara kreatif dan pintar. Manajemen
perubahan meliputi perubahan pola pikir (mindset),
perilaku, penampilan, kebiasaan (abilitas), kemampuan
(kapabilitas), keberhasilan, nilai dan keyakinan normatif,

30
Konsep Dasar Manajemen Pendidikan

kultur, motivasi kerja, selera dan gaya hidup, serta karakter


(Hartani, 2011: 34). Seorang manajer pendidikan harus
responsif dalam menyikapi konteks perubahan tersebut.
• Lahirnya undang-undang sisdiknas nomor 20 tahun 2003
menandai terjadinya reformasi pendidikan. Terutama yang
berkaitan denganmanajemen pendidikan dengan berharap
pendidikan mampu memberikan nilai lebih pada
peningkatan kesejahteraaan masyarakat melalui proses
pendidikan. Disamping itu pendidikan diharapkan mampu
bersaing ditingkat global. Oleh karena itu manajemen
pendidikan di tingkat pusat maupun daerah adalah
merupakan pembantu yang melayani semua keperluan
lembaga pendidikan, sedangkan manajemen pada lembaga
pendidikan (sekolah) sebagai pembantu belajar yang
mempunyai tanggung jawab terhadap kualitas manajemen
dan lulusan pendidikan yang relevan dan kompetitif serta
unsur lain yang berkaitan dengan pendidikan.
• Munculnya manajemen berbasis sekolah (MBS)
merupakan gagasan perubahan manajemen sekolah yang
bertujuan meningkatkan mutu manajemen yng kompetitif,
yaitu suatu pola manajemen sekolah yang memberdayakan
potensi semua unsur sekolah mulai dari pimpinan hingga
pelaksana pendidikan tingkat bawah yang dilakukan secara
optimal dan proporsional. Sehingga semua komponen di
sekolah adalah sebagai manajer terhadap tugas dan
tanggung jawabnya masing – masing.
• Manajemen pendidikan luar biasa perlu upaya peningkatan
dan pelayanan khusus, agar bisa lebih memberi kepedulian
dan kesempatan anak – anak berkebutuhan khusus untuk
mengenyam pendidikan secara layak. Pengelolaan
pendidikannya sudah saatnya ditata secara profesional,
baik dari segi pendidiknya, sarana prasarana maupun
seluruh unsur yang dibutuhkan dalam pendidikan,

31
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

sehingga anak-anak tersebut tidak merasa sempit ruang


geraknya.
• Pembelajaran sistem klasikal masih sangat mendominasi
kegiatan belajar di sekolah. Padahal dalam lembaga
pendidikan (sekolah) perbedaan individual peserta didik
sangat membutuhkan perhatian guru kaitannya dengan
manajemen pengajaran, agar proses pembelajaran lancar
dan sukses. Perbedaan individu peserta didik meliputi (1)
perbedaan biologis, yaitu berkaitan dengan fisik dan
kesehatan serta mental anak; (2) perbedaan inteligensi,
ialah kemampuan dalam memahami dan menyesuaikan
dengan situasi baru dengan cepat dan efektf, kemampuan
untuk menggunakan konsep yang abstrak secara efektif
dan kemampuan memahami hubungan dan mempela-
jarinya dengan cepat; (3) perbedaan psikologis, terutama
berkaitan dengan minat dan perhatian peserta didik
terhadap materi pelajaran yang berdampak pada motivasi
belajarnya (Syaiful Sagala: 55).
Dengan adanya fenomena tersebut, guru perlu mem-
perbaiki manajemen pembelajarannya dengan lebih
memahami jiwa dan watak peserta didik beserta keberadaan-
nya dengan arif bijaksana, agar proses pembelajaran menjadi
kondusif. Sehingga berhasil membentuk dan membangun
kepribadian peserta didik yang berguna bagi agama, nusa dan
bangsa.
Beberapa isu dan problematika manajemen pendidikan
tersebut memberi jawaban bahwa manajemen pendidikan
tidak hanya sekadar manajemen sekolah atau manajemen
pembelajaran saja, namun lebih dari itu walaupun semua
kebijakan manajemen pendidikan akhirnya berujung di
sekolah pada semua jenjang dan jenisnya.Jadi manajemen
pendidikan yang terkait dengan pengambil kebijakan adalah

32
Konsep Dasar Manajemen Pendidikan

pemerintah yang berhubungan dengan biaya pendidikan,


standar kurikulum, standar personal pendidikan, akreditasi,
pelayanan kebutuhan sekolah dan pendidikan latihan (diklat).
Adapun manajemen pendidikan pada satuan pendidikan
berhubungan dengan aplikasi teori teori pembelajaran,
konseling belajar, manajemen sekolah serta semua aktivitas
yang turut menyukseskan kegiatan sekolah dalam rangka
meraih tujuan yang telah ditetapkan.

33
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

BAB II
RUANG LINGKUP MANAJEMEN
PENDIDIKAN

empelajari ruang lingkup manajemen pendidikan akan


M dilihat dari dua sudut pandang, yaitu pertama ditinjau
dari objek kajian manajemen lembaga pendidikan, kedua
berdasarkan bidang garapan manajemen pendidikan.

A. Objek Kajian Manajemen Lembaga Pendidikan


Objek kajian manajemen lembaga pendidikan dilihat dari
beberapa aspek penting yang diperlukan dalam kelembagaan
pendidikan:
ƒ Manajemen lembaga pendidikan pada aspek struktur,
menjelaskan struktur organisasi pendidikan, analisis unit
kerja,deskripsi tugas, spesifikasi pelaku pendidikan,
otoritas, hierarkhis jabatan, dinamika lingkungan
struktural organisasi dan perbedaan profesionalitas pelaku
pendidikan serta semua aktifitasnya.
ƒ Manajemen lembaga pendidikan ditinjau dari aspek teknik
meliputi proses perencanaan, kegiatan lembaga perwu-
judan tugas-tugas dan strategi pelaksanaan pengembangan
lembaga.

34
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

ƒ Manajemen lembaga pendidikan dilihat dari unsur


personalia, menekankan pada penempatan personalia,
studi kelayakan guru dan lembaga pengelolanya,sumber
daya personal, hubungan antar personal, peevaluasi dan
promosi serta kesejahteraan personalia.
ƒ Manajemen lembaga pendidikan ditinjau dari aspek
informasi, meliputi sistem informasi lembaga pendidikan,
sistem kontrol internal dan eksternal lembaga,
pengawasan pegawai dan respons manajerial terkait
masalah di dalam maupun diluar lembaga.
ƒ Manajemen lembaga pendidikan dilihat pada aspek
lingkungan masyarakat,meliputi peran masyarakat dalam
pengembangan lembaga, hubungan lembaga pendidikan
dan masyarakat, peran pelaku pendidikan dalam
masyarakat, kerja sama lembaga dan masyarakat,sosialisasi
lembaga dan kegiatan lembaga pendidikan yang mengikut-
sertakan komponen masyarakat dan aparatur pemerintah.
ƒ Manajemen lembaga pendidikan pada aspek keterampilan
manajerial, berhubungan dengan profesionalitas kerja
pelaku pendidikan, keterampilan pemimpin dalam
rancangan konsep, keterampilan manusiawi, keterampilan
tehnik,dan keterampilan proyeksi masa depan lembaga
dan out put lembaga.
ƒ Manajemen lembaga pendidikan ditinjau dari aspek
pengembangan sumber daya manusia, terdiri dari pendi-
dikan dan pelatihan manajerial kelembagaandan
kependidikan, mutu pimpinan berdasarkan kriteria AD
dan ART (statuta), pengelolaan supervisi dan tipe instruksi
pimpinan lembaga yang berkaitan dengan intelektualitas
pelaku pendidikan, baik secara struktural maupun kultural.
(Hikmat,2009:155-156).

35
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Telaah manajemen lembaga pendidikan berdasarkan


tinjauan beberapa aspek tersebut memberikan gambaran
bahwa manajemen lembaga pendidikan merupakan
manajemen pada suatu institusi pendidikan sebagai kegiatan
utama yang membedakan satu institusi dengan institusi lain
dalam memenuhi pelayanan kepada manusia dalam bidang
pendidikan.Dan pada hakekatnya objek kajian manajemen
lembaga pendidikan merupakan sistem organisasi pendidikan,
yaitu satu kesatuan utuh yang terdiri dari bagian-bagian yang
tersusun secara sistematis, mempunyai hubungan antara satu
dengan lainnya sesuai konteksnya.

B. Bidang Garapan Manajemen Pendidikan


Tinjauan manajemen pendidikan dilihat dari bidang
garapannya bertitik tolak pada aktifitas “dapur inti” yaitu
program pembelajaran di kelas, setidaknya ada 8 (delapan)
bidang garapan manajemen, meliputi manajemen peserta
didik, manajemen kurikulum, manajemen personalia,
manajemen pembiayaan pendidikan, manajemen sarana dan
prasarana, manajemen ketatalaksanaan,manajemen organisasi
dan manajemen humas. Di samping kedelapan bidang garapan
tersebut,ada unsur lain yang mempunyai fungsi membina dan
mengendalikan masing-masing atau pun keseluruhan bidang
garapan manajemen tersebut yaitu supervisi pendidikan. Pada
pembahasan berikutnya yang menjadi sentral adalah ruang
lingkup menurut bidang garapan, sedangkan urutan kegiatan
dan pelaksana secara implisit diintegrasikan pada setiap
bidang garapan tersebut.
Urutan kegiatan yang dimaksudkan adalah adanya asumsi
bahwa dalam pengertian manajemen terkandung makna
proses kegiatan yang berarti ada urutan kegiatan dari awal
sampai akhir. Proses kegiatan tersebut tidak lain adalah fungsi

36
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

manajemen yang secara umum diklasifikasikan menjadi tiga


kegiatan, yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian
(organizing) dan pengontrolan (controlling).
Sedangkan apabila manajemen dipandang dari pelaksa-
nanya, maka ada anggapan bahwa yang bertanggung jawab
melaksanakan manajemen pendidikan hanyalah kepala
sekolah dan staf tata usaha. Anggapan tersebut keliru, semua
unsur pendidikan terlibat dalam pengelolaan sekolah,
melaksanakan manajemen pendidikan di sekolah. Di kelas
misalnya, guru harus melaksanakan kegiatan manajemen
untuk mengatur proses pembelajaran, mengatur kelas,
mengatur peserta didik yang sedang belajar, mengatur
perangkat-perangkat manajemen yang diperlukan, dan
sebagainya. Di sekolah, kepala sekolah adalah manajer,yang
bertanggung jawab mengelola adalah semua unsur yang ada
di sekolah.Misalnya mengatur guru, staf tata usaha, pem-
bagian tugas mengajar termasuk penjadwalan menjadi
tanggung jawabnya dalam memegang manajemen sekolah,
namun secara tehnis biasanya dibantu para wakilnya dan staf
tata usaha.
Jadi rangkaian kegiatan manajemen yang tidak lain adalah
fungsi manajemen itu sendiri dan pelaksana manajemen akan
melekat pada masing-masing bidang garapan, artinya tidak
diadakan pembahasan secara khusus.
1. Manajemen Peserta Didik
Peserta didik merupakan subyek pendidikan dimana
semua aktifitas yang dilakukan dilembaga pendidikan
(sekolah) pada akhirnya bermuara. Sesuai dengan definisi
peserta didik di dalam Undang-Undang Sisdiknas No. 20
Tahun 2003 pasal 1 dinyatakan bahwa peserta didik adalah
anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi
diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur,

37
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. Mengacu pada


pernyataan tersebut, dalam mencermati upaya pengembangan
potensi diri, maka pendidikan yang dilakukan juga hendaknya
memperhatikan adanya ketidaksamaan potensi yang
dimilikinya. Pemahaman berbagai karakteristik subyek didik
secara menyeluruh akan mengantarkan para guru atau
pendidik kepada pemahaman dan penghayatan secara
mendalam tentang keperbedaan individual subyek didik.
Dengan demikian guru akan mampu menyelenggarakan
proses pembelajaran secara arif dan bijaksana tanpa
mengenyampingkan keunikan dan potensi masing-masing
peserta didik .
Untuk mendukung paradigma tersebut, tidak semata
memberikan ruang yang setara dalam belajar, tapi mampu
menjunjung tinggi kebebasan berpikir sesuai dengan kapasitas
potensi peserta didik.Apabila hal ini dapat digelar secara
kongkrit dan praktis, maka sesungguhnya merupakan sebuah
prestasi yang dinamis dan luar biasa dalam dunia pendidikan.
Akhirnya dengan mengalirnya nilai-nilai pembaharuan
berimbas pada kegiatan manajemen peserta didik, dimana
peserta didik adalah manusia dinamis yang bisa dilibatkan
bersama dalam menetapkan corak proses pendidikan masing-
masing.
Manajemen peserta didik merupakan sebagian kegiatan
manajemen pendidikan yang berhubungan dengan peserta
didik yang berupa pengelolaan peserta didik atau data tentang
peserta didik dimulai sejak peserta akan masuk suatu lembaga
pendidikan hingga keluar dalam arti selesai studi (lulus) atau
alasan yang lain. AL.Hartani (2011: 35) mengartikan
manajemen peserta didik sebagai proses perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan,pengarahan dan pengendalian
peserta didik mulai dari admisi (penerimaan), registrasi dan
ketatausahaannya sampai peserta didik menyelesaikan

38
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

pendidikannya dalam arti tamat belajar atau karena sebab


lain. Namun tidak semua kegiatan peserta didik masuk dalam
manajemen peserta didik. Seperti proses pembelajaran di
kelas adalah kegiatan peserta didik tetapi bukan manajemen
peserta didik, melainkan manajemen pembelajaran yang
menjadi ruang lingkup manajemen kurikulum.
Cakupan manajemen peserta didik meliputi pengelolaan
penerimaan peserta didik baru, pengelolaan bimbingan dan
penyuluhan, pengelolaan Organisasi Siswa Intra Sekolah
(OSIS) dan pengelolaan data peserta didik.
a. Pengelolaan Penerimaan Peserta Didik
Penerimaan peserta didik baru merupakan momen-
tum penting bagi sekolah, karena merupakantitik awal yang
menentukan kelancaran aktifitas sekolah, mewarnai sukses
tidaknya usaha pendidikan di sekolah tersebut.Disamping
itu kegiatan penerimaan peserta didik baru di Indonesia
ini sudah menjadi fenomena sosial yang menarik perhatian
masyarakat maupun pemerintah. Asumsi masyarakat,
pendidikan dipercaya sebagai alat strategis untuk
meningkatkan taraf hidup manusia. Sehingga melalui
pendidikan manusia menjadi cerdas, memiliki keteram-
pilan, perilaku hidup yang baik dan akhirnya dapat hidup
bermasyarakat, membantu dirinya sendiri, keluarga dan
juga masyarakat. Demikian pula, pendidikan menjadi
investasi yang memberi keuntungan sosial dan pribadi yang
menjadikan bangsa yang bermartabat dengan individu yang
memiliki derajat.
Berpijak pada paparan tersebut, maka tidak heran
masyarakat semakin cerdas dan sangat antusias dalam
menyikapi momen penerimaan peserta didik baru sesuai
dengan tingkat partisipasi dan wawasan kependidikannya.
Masyarakat berusaha mengejar sekolah atau lembaga

39
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

pendidikan yang dipandang berkualitas, favorite dan


bergengsi. Disamping alasan lain misalnya terjangkau
pendanaannya maupun transportasinya. Bahkan sering
terjadi pemaksaan kehendak orang tua yang berambisi
menyekolahkan anaknya di sekolah yang menjadi
pilihannya, maka dengan jalur persaingan yang tidak sehat
pun ditempuh.
Inilah perlunya faktor kehati-hatian seorang manajer
atau kepala sekolah dalam memprakarsai pembentukan
panitya penerimaan peserta didik baru (biasa disingkat
PPDB), sehingga tidak merusak citra sekolah dan tujuan
pendidikan itu sendiri.
Hal-hal yang perlu diperhatikandalam pengelolaan
penerimaan peserta didik baru adalah pembentukan
panitya PPDB, persyaratan calon peserta didik baru,
pendaftaran, testing, seleksi, dan pengumuman hasil
seleksi.
1) Kepanitiaan
Kegiatan panitia ini meliputi urusan pendaftaran,
penyelenggaraan tes masuk, seleksi dan pengumuman
hasil seleksi.Unsur-unsur personalia yang ada dalam
kepanityaan harus memiliki kompetensi untuk
mendukung kegiatan-kegiatan tersebut. Selanjutnya
panitya merumuskan program kerja yang terdiri
dari:macam kegiatan, jadwal waktu kegiatan, pembagian
tugas, beberapa aspek yang berkaitan dengan seleksi,
jumlah calon yang akan diterima, sarana dan prasarana
yang diperlukan, dan rencana anggaran.
2) Persyaratan calon peserta didik
Persyaratan yang dikenakan bagi calon peserta didik
sangat bervariatif, karena jenis sekolah yang beraneka

40
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

ragam,masing-masing lembaga pendidikan mempunyai


kepentingan tertentu, sehingga persyaratan yang
ditetapkan menjadi berbeda-beda. Namun secara umum
berkaitan dengan indikator-indikator berikut: usia,
kesehatan, prestasi akademik dan persyaratan admin-
istratif lainnya.
Bagi calon peserta didik SD/MI menurut ketentuan
UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 sekurang-kurangnya
berusia 6 tahun. Artinya di bawah usia 6 tahun termasuk
dalamprogram pendidikan pra sekolah yaitu Pendidikan
Anak Usia Dini (PAUD). Pengelompokan program
pendidikannya berdasarkan faktor usia, yaitu usia 4-6
tahun untuk Taman Kanak-Kanak dengan pembagian
TK A usia 4-5 tahun dan TK B usia 5-6 tahun. Sedangkan
anak berusia di bawah 4 tahun masuk dalam kelompok
bermain (play group).
Di masyarakat kadang-kadang masih menunjukkan
gejala pemaksaan orang tua untuk memasukkan
anaknya ke sekolah sebelum mencapai usia siap sekolah
dengan alasan anaknya sudah pintar, atau dari pada di
rumah tidak ada yang menjaga. Misalnya anaknya baru
berusia 3 tahun dipaksakan untuk memasuki pendidikan
TK, atau anak usia baru 5 tahun didaftarkan ke jenjang
pendidikan SD dan sebagainya. Hal tersebut sering
dilakukan para orang tua dengan caramelobby pihak
sekolah dengan dalih yang bermacam-macam. Karena
obsesi dan keinginan orang tua yang tidak terkendali,
sehingga menimbulkan potensi praktek pungutan liar.
Tentu saja hal tersebut tidak dibenarkan. Di
samping mengotori image sekolah, ada sesuatu yang
lebih penting dari itu, yaitu berkaitan dengan kondisi
psikhis anak. Berdasarkan tinjauan psikhologis, apabila
seorang anak dipaksakan untuk menduduki bangku

41
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

sekolah tidak sesuai dengan usia matang pada jenjang


pendidikan tertentu maka si anak akan mengalami
“kejenuhan sekolah” pada level-level tertentu. Misalnya
anak usia 4,5 tahun duduk di kelas satu SD, maka di
kelas-kelas di atasnya dia akan menunjukkan gejala
bosan sekolah bahkan tidak mau sekolah.
Kemudian persyaratan untuk masuk kelas satu SD
tidak ada keharusan untuk memiliki sertifikat TK.
Demikian pula tidak diperkenankan adanya tes calistung
atau dalam bentuk lain dalam persyaratan masuk jenjang
pendidikan sekolah dasar. Karena hal ini sudah tentu
bertentangan dengan prinsip pendidikan nasional.
Sedangkan persyaratan untuk memasuki jenjang
pendidikan SMP/MTs, SMA/SMK/MA pada umumnya
adalah Surat Tanda Tamat Belajar (STTB), salinan raport
kelas tertinggi, akte kelahiran, surat keterangan
kesehatan, pas photo ukuran 3x4 atau 4x6 , sejumlah
yang dibutuhkan, mengisi blangko pendaftarandan
membayar biaya pendaftaran. Persyaratan apapun yang
ditetapkan oleh sekolah hendaknya sebelum waktu
pendaftaran sudah disosialisasikan kepada masyarakat
untuk ketertiban dan kelancaran proses pendaftaran
calon peserta didik.
3) Pendaftaran
Dalam prakteknya pendaftaran calon peserta didik
baru untuk jenjang pendidikan dasar yaitu meliputi SD/
MI dan SMP/MTs biasanya dikelola oleh masing-masing
lembaga pendidikan. Sedangkan untuk jenjang
menengah yang terdiri dari SMA/MA/SMK/MAK atau
yang sederajat, kadang-kadang dikelola per wilayah dan
diberlakukan menyeluruh bagi lembaga pendidikan yang
berada dalam wilayah tersebut. Hal ini untuk

42
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

menghindari terjadinya ketimpangan animo pendaftar,


sehingga pembagian calon siswa secara merata ada pada
semua lembaga pendidikan, tidak ada lembaga pendi-
dikan yang kelebihan animo, demikian pula tidak ada
lembaga pendidikan yang kekurangan animo.
Manajemen pendaftaran yang kerap diterapkan
pada jenjang pendidikan menengah adalah pengelolaan
mandiri, dimana tidak ada ketentuan bersama antar
lembaga pendidikan menengah. Sehingga kesan
terjadinya ajang kompetitif nampak lebih menonjol.
Dengan adanya kemajuan teknologi informasi yang
sudah membumi sangat membantu lembaga pendidikan
dalam melakukan manajemen pendaftaran peserta didik
baru. Via jalur internet dengan tehnik online calon
peserta didik bisa mengisi data yang dipersyaratkan
tanpa harus antri datang di sekolah. Fitur yang tersedia
biasanya meliputi persyaratan dan prosedur; schedule
pelaksanaan pendaftaran, tes dan pengumuman;alur
pendaftaran; data pendaftar; daya tampung; sistem
orderisasi rangking nilai UN, prestasi raport dan nilai
tambahan di luar akademik; info sekolah; arsip hasil
PPDB tahun lalu; dan sebagainya.
Dengan manajemen pendaftaran sistem online ini,
panitya PPDB menjadi ringan tugasnya, tidak banyak
kerja yang sifatnya manual dan lebih hemat dari segi
pembiayaannya. Bagi calon peserta didik juga
beruntung, karena cukup memantau di rumah atau di
warnet melalui internet tentang alur penerimaan peserta
didik baru termasuk kondisi lembaga pendidikan yang
menjadi pilihannya.

43
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

4) Testing
Salah satu kegiatan penerimaan peserta didik baru
adalah menyelenggarakan tes sebagai upaya untuk
mendapatkan skala nilai bagi calon peserta didik
sehingga dapat ditetapkan diterima atau tidak dalam
lembaga yang dipilihnya.
Untuk jenjang pendidikan SD/MI diharapkan
semua pendaftar yang memenuhi persyaratan usia bisa
diterima dengan memperhatikan daya tampung sekolah.
Sedangkan untuk jenjang pendidikan dasar SMP/MTs
dan jenjang pendidikan menengah SMA/MA/SMK/
MAK dan pendidikan yang sederajat pada tahun-tahun
terakhir ini pada umumnya tidak menerapkan tes
tertulis yang mengukur prestasi akademik.Untuk
melihat kemampuan hasil belajarnya dari Nilai Ujian
Nasional/NUN (istilah dahulu NEM) yang dilampirkan.
Namun untuk melengkapi pertimbangan diterima
tidaknya calon peserta didik, diadakan tes kepribadian,
tes bakat dan minat serta wawancara. Hal ini penting
dilakukan untuk mengukur sikap dan perilaku juga
potensi yang dimiliki calon peserta didik, sehingga
sekolah benar-benar mendapatkan input yang baik, tidak
semata-mata mempunyai intelegensi tinggi.
5) Seleksi
Tahap seleksi diadakan setelah selesai pelaksanaan
tes.Dari hasil seleksi inilah yang menentukan diterima
tidaknya calon peserta didik. Untuk jenjang pendidikan
SD/MI cara menyeleksi calon peserta didik adalah
pertama mencatat dan menerima semua pendaftar yang
berusia 6 tahun; kedua apabila masih ada kuota yang
tersisa, maka prioritas penerimaan diurutkan mulai dari
usia 7 tahun, 8 tahun, 9 tahun, 10 tahun dan 11 tahun.

44
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

Seleksi calon peserta didik baru untuk jenjang


pendidikan SMP/MTs dan SMA/MA/SMK/MAK dan
yang sederajat dilakukan secara transparan, yaitu
berdasarkan Jumlah NUN ditambah nilai tes
kepribadian, tes bakat dan wawancara ditambah lagi
dengan nilai prestasi di luar akademik (jika ada),
misalnya juara olimpiade,mengikuti jambore pramuka,
pelajar teladan, dan sebagainya. Nilai tersebut dikemas
dalam jurnal harian yang dapat dipantau setiap saat
sampai dengan hari terakhir seleksi, sebelum
pengumuman. Dalam masa seleksi tersebut setiap hari
dapat dilihat calon peserta didik yang tereliminasi dan
calon peserta didik yang masih bertahan. Calon peserta
didik yang memiliki jumlah nilai rendah, berada pada
urutan dibawah kuota, maka dengan sendirinya gugur
dan tidak diterima atau mungkin dapat masuk lagi
sebagai cadangan. Sedangkan bagi calon peserta didik
yang mempunyai jumlah nilai yang bisa masuk dalam
jumlah kuota sampai akhir masa seleksi dengan
sendirinya lolos atau bisa diterima, namun ada
kemungkinan tidak lolos apabila pada saat tertentu
posisinya tergeser oleh calon peserta didik yang lain
yang memiliki jumlah nilai lebih baik.
Selain ditetapkan sejumlah calon peserta didik yang
diterima sesuai kuota, ditentukan pula sejumlah calon
peserta didik (biasanya berkisar 5 orang) diterima
sebagai cadangan. Calon peserta didik cadangan inilah
yang nantinya akan menggantikan posisi calon peserta
didik yang diterima tetapi mengundurkan diri.
6) Pengumuman hasil seleksi
Hal yang paling penting dalam kaitannya dengan
pengumuman adalah ketepatan waktu sesuai schedule

45
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

yang telah diinformasikan.Sehingga tidak meresahkan


calon peserta didik, terutama yang tidak diterima. Sebab
mereka yang gagal masih ada kemungkinan untuk
menindaklanjuti berbagai peluang mendaftar di lembaga
pendidikan yang lain. Bagi calon peserta didik yang
diterima pun ingin segera berbenah, mempersiapkan
segala sesuatunya berkaitan dengan peserta didik baru.
Ada dua macam sistem pengumuman yang bisa
dilakukan yaitu dengan sistem terbuka dan sistem
tertutup. Pengumuman dengan sistem terbuka biasanya
ditempel di papan pengumuman yang ditempatkan pada
posisi yang strategis, bisa ditaruh di dalam maupun di
luar sekolah, sekiranya bisa dijamin keamanannya.
Disamping itu juga bisa memanfaatkan media cetak
untuk menyebarluaskan pengumuman tersebut.Tetapi
untuk jenjang pendidikan di bawah jenjang pendidikan
tinggi lebih memilih pengumuman yang dipajang di
papan pengumuman sekolah.
Adapun pengumuman dengan sistem tertutup,
biasanya menggunakan amplop tertutup kemudian
diserahkan pada peserta tes masuk calon peserta didik
baru yang datang ke sekolah, atau bisa dilakukan dengan
cara dikirimkan melalui Pos. Ada satu cara lain yang
lebih efektif dan efisien yaitu melalui internet.
b. Pengelolaan Bimbingan dan Konseling
Dalam konteks bidang garapan manajemen peserta
didik,bimbingan konseling yang dimaksudkan terutama
pada aspek pengelolaannya.Pembahasan pengelolaan
bimbingan dan konseling meliputi pedoman pelaksana-
annya, tenaga (konselor),dan pengelolaan data pribadi
peserta didik.

46
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

1) Pedoman pelaksanaan bimbingan dan


konseling.
Program bimbingan dan konseling hendaknya
dilaksanakan berdasarkan pada pedoman sebagai
berikut:
a) Penanggungjawab utama dalam perencanaan dan
pelaksanaan program bimbingan dan konseling
adalah kepala sekolah.
b) Program bimbingan konseling meliputi bimbingan
pribadi, bimbingan belajar, bimbingan sosial dan
bimbingan karir.
c) Pelaksanaan bimbingan dan konseling hendaknya
dilakukan secara kontinu untuk program yang
membutuhkan penanganan secara terus-menerus
dan berkelanjutan, sedangkan bimbingan yang
munculnya sewaktu-waktu bisa dilakukan secara
insidental.
d) Perencanaan program bimbingan dan konseling
dirumuskan secara cermat sepadan dengan
keperluan sekolah.
e) Pelaksanaan bimbingan dan konseling berdasarkan
pada pendekatan perseorangan maupun kelompok
tergantung permasalahan dan pemecahannya.
f) Diperlukan adanya kerjasama dengan konselor atau
psikolog maupun lembaga-lembaga terkait lainnya
untuk memperlancar proses bimbingan dan
konseling.
g) Waktu bimbingan yang sifatnya rutin sangat
penting untuk dialokasikan. Karena program
bimbingan dan konseling ini justru sangat mem-
bantu mengatasi kesulitan peserta didik dalam
mengikuti pembelajaran. Inilah nilai manfaat pro-

47
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

gram bimbingan konseling yang selama ini sekolah


lebih mementingkan waktu untuk proses
pembelajaran, semakin banyak materi yang
disampaikan kepada peserta didik semakin baiklah
peserta didik tersebut. Oleh karena itu sekolah
perlu memperhatikan jadwal tertentu, misalnya
seminggu sekali masuk kelas,hingga memungkin-
kan bimbingan dan konseling bisa berjalan kontinu.
h) Deskripsi tugas masing-masing pelaksana
bimbingan konseling (guru-guru BK) harus jelas
dan teratur.
i) Data pendukung proses bimbingan konseling harus
selalu menyertai dan memadai.
j) Supervisi terhadap pelaksanaan program bim-
bingan dan konseling perlu dilakukan untuk koreksi
dan penyempurnaan program yang akan datang.
2) Petugas Bimbingan dan Konseling
Pengelolaan program bimbingan dan konseling di
sekolah ditangani oleh guru yang memiliki kompetensi
dalam bidang bimbingan konseling, disebut guru BK.
Namun dari segi kuantitas keberadaan guru BK di
sekolah biasanya kurang memadai. Dalam kenyataannya
dari jumlah petugas berkisar 2-3 orang mustahil bisa
menangani sekian peserta didik dalam satu sekolah.
Pada hakekatnya program bimbingan di sekolah
menjadi tanggung jawab semua aparatur sekolah mulai
dari kepala sekolah, dewan guru dan tenaga tata usaha.
Semua itu ikut aktif membimbing, mengarahkan,
menasehati, membina peserta didik dalam rangka
mengantarkan mereka menuju kesuksesan studi.
Sehingga tugas guru tidak hanya mentrasfer
pengetahuan saja tetapi juga membentuk karakter

48
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

peserta didik. Dalam mengevalusi hasil belajar peserta


didik pun akhirnya tidak melulu menilai kemampuan
otak saja tetapi juga bagaimana sikap dan perilakunya.
Dengan demikian, semua guru yang ada di sekolah
meliputi guru bidang studi,guru wali kelas, kepala
sekolah, ditambah karyawan tata usaha dan termasuk
guru bimbingan dan konseling itu sendiri mempunyai
tugas dan tanggung jawab dalam pelaksanaan bimbingan
dan konseling di sekolah sesuai dengan obyek garapan
dan kapasitas masing-masing. Pembagian tugas dan
tanggung jawab hendaknya diatur dengan jelas dan
tertib untuk menghindari terjadinya tumpang tindih
(over Lapping) dan kesemrawutan dalam pelaksanaannya.
Kepala sekolah sebagai penanggungjawab utama
dalam pengelolaan program bimbingan dan konseling
kaitannya dengan perencanaan program, penyatuan
program bimbingan dalam program pembelajaran,
supervisi terhadap pelaksanaan bimbingan dan
konseling, merekomendasikan pemberian alokasi
waktu, dana dan sarana lain.
Sedangkan guru bimbingan dan konseling (guru
BK) sebagai petugas yang dibebani sebagai penanggung
jawab penuh dalam pelaksanaan bimbingan dan
konseling. Adapun tugasnya adalah menghimpun data
peserta didik yang bersumber dari guru bidang studi
yang terkait dengan prestasi dan selanjutnya menen-
tukan program bimbingan yang akan dilaksanakan. Di
samping itu juga mengumpulkan data dari guru wali
(kelas) yang berkaitan dengan masalah pelanggaran,tata
tertib sekolah, dan kasus-kasus penyimpangan peserta
didik hingga perlu penanganan guru bimbingan
konseling. Termasuk menjalin kerjasama dengan
lembaga diluar sekolah terutama untuk menyelesaikan

49
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

masalah yang sulit dipecahkan, misalnya minta bantuan


tenaga psikologi.
Adapun guru wali bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan program bimbingan dan konseling peserta
didik khusus di kelas yang diampunya.Masalah yang
ditangani seputar persoalan akademis maupun diluar
akademis yang nantinya data yang diperoleh dilaporkan
kepada guru bimbingan dan konseling. Apabila masalah
yang dialami peserta didik cukup pelik hingga tidak bisa
diselesaikan secara tuntas, maka diteruskan pada ahlinya
yaitu guru bimbingan dan konseling.
Guru bidang studi bertugas memberikan bimbingan
dalam pembelajaran khususnya di bidang studi yang
diampunya. Data spesifikasi peserta didik yang mem-
butuhkan penanganan lebih lanjut diserahkan kepada
guru bimbingan dan konseling.
Sedangkan tenaga tata usaha secara tehnis mem-
bantu program bimbingan dan konseling dalam hal
penyediaan fasilitas, pendataan peserta didik maupun
pemberian informasi terkait permasalahan peserta didik
di dalam mapun di luar sekolah.
3) Data Pribadi Peserta Didik
Sebagai landasan pelaksanaan program bimbingan
dan konseling dibutuhkan data pribadi peserta didik.
Data tersebut harus tersimpan rapi dan tertutup untuk
umum, sehingga terjaga kerahasiaannya. Tentu saja data
pendukung yang lengkap dan detail sangat membantu
kelancaran proses bimbingan dan konseling. Berikut
beberapa hal yang berkaitan dengan data pribadi peserta
didik:
a). Identitas peserta didik, berisi nama peserta didik,
tempat tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, bidang

50
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

studi yang disenangi, bidang studi yang tidak


disukai, partisipasi dalam pembelajaran di sekolah,
waktu belajar di rumah, keikutsertaan dalam
ekstrakurikuler,dan hobby.
b). Latar belakang orang tua,mencakup identitas or-
ang tua, pekerjaan, kepedulian terhadap pendidikan
anaknya, perhatiannya terhadap belajar anaknya di
rumah, pengamatan orang tua terhadap sikap anak
dan kegiatan sehari-harinya.
c). Keterlibatan peserta didik dalam proses
pembelajaran di kelas.
d). Kelainan-kelainan sikap peserta didik di dalam
kelas.
e). Kebiasaan dan tingkah laku peserta didik di luar
kelas.
f). Keakraban dengan teman sekolah dan di rumah.
g). Ragam masalah yang berkaitan dengan agama,
moral, sosial, kesehatan, kesukaan, hubungan
lawan jenis, kehidupan keluarga, adaptasi dengan
kondisi sekolah, cita-cita, dan sebagainya.
h). Frekwensi kunjungan rumah (home visit) dan
temuan yang diperoleh.
Data pendukung tersebut mempunyai nilai positif
sebagai penentu kebijakan proses bimbingan dan
konseling. Oleh karena itu, untuk memperjelas
pemahaman tentang keterangan yang diperoleh
alangkah baiknya data tersebut dikemas dalam bentuk
matriks, sehingga konselor bisa lebih cepat mempelajari
kondisi peserta didik yang sebenarnya.

51
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

c. Pengelolaan Organisasi Siswa Intra Sekolah


Selama peserta didik mengenyam pendidikan di suatu
sekolah, maka dengan sendirinya menjadi anggota OSIS
di lembaga pendidikan tersebut. Dengan OSIS maka
peserta didik diharapkan mampu melatih diri untuk
berorganisasi dibawah bimbingan dan pengawasan 2 (dua)
aspek, yaitu pertama aspek keorganisasiannya, dan kedua
aspek kegiatannya. Dilihat dari segi keorganisasiannya,
maka di dalam OSIS harus ada hal-hal berikut ini:
1). Bagan Struktur kelembagaan OSIS.
2). Pengurus OSIS terpilih berdasarkan seleksi.
3). Fungsi, wewenang dan deskripsi tugas masing-masing
divisi.
4). Susunan rencana kerja OSIS.
Untuk melatih dan membina peserta didik tentang
keorganisasian biasanya melalui kegiatan Latihan Dasar
Kepemimpinan (LDK) yang diperuntukkan bagi pengurus
OSIS.
Ditinjau dari aspek kegiatannya, diklasifikasikan
menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu:
1). Kelompok pengembangan pengetahuan dan kemam-
puan penalaran peserta didik, meliputi kegiatan
diskusi, seminar, penelitian, karyawisata, menulis
karya ilmiah.
2). Kelompok kegiatan pengembangan keterampilan
sesuai minat dan hobby peserta didik, seperti:
kepramukaan, PMR, UKS, Dokter kecil,seni music,
teatre, tata boga, tata busana, olah raga, pencinta alam,
keterampilan tehnik elektro, mesin dan sebagainya.
3). Kelompok pengembangan sikap dan perilaku meliputi:
pengadaan bank sampah, menghimpun dana sosial,

52
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

amal jum’at, memperingati hari besar nasional dan


keagamaan, majelis taklim, kerja bakti bersama
masyarakat, jum’at bersih,dan sebagainya.
Kegiatan-kegiatan tersebut perlu dipersiapkan dengan
perencanaan di awal tahun ajaran, agar tidak terjadi over
lapping atau tumpang tindih dengan kegiatan pembelajaran.
Beberapa aspek yang harus ditentukan dalam perencanaan
di antaranya schedule program kegiatan, jenis kegiatan,
kegiatan wajib bagi seluruh peserta didik, kegiatan pilihan,
koordinator, guru Pembina, tenaga ahli dari luar, dan
anggaran program kegiatan.
Kegiatan OSIS pada sebagian besar sekolah masih di
bawah bimbingan dan arahan tim guru Pembina OSIS
maupun Waka Kesiswaan. Sehingga nampak keterlibatan
peserta didik dalam kegiatan tersebut masih kurang, karena
sangat bergantung pada instruksi Pembina sesuai dengan
kapasitasnya sebagai motor penggerak. Berbeda dengan
beberapa sekolah yang sudah mulai menyerahkan kegiatan
OSIS sepenuhnya kepada peserta didik yang terpilih dalam
seleksi pengurus OSIS, maka peserta didik lebih aktif dan
bertanggungjawab. Namun tentu saja masih dalam
pengawasan sekolah, artinya apabila ada kegiatan tertentu
harus sepengetahuan Pembina sebatas sebagai konsultan.
d. Pengelolaan Data Peserta Didik
Pengelolaan data peserta didik merupakan salah satu
bidang garapan manajemen peserta didik yang harus
ada.Setiap peserta didik sebagai warga sekolah mulai dari
proses pendaftaran, registrasi, mengikuti pendidikan
hingga selesai atau hal lain yang menyebabkan peserta
didik tersebut meninggalkan sekolah harus dicatat datanya
secara tertib dan teratur. Karena data peserta didik mem-

53
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

punyai arti penting terutama bagi sekolah untuk


dipergunakan dalam berbagai ragam kepentingan.
Pada dasarnya data yang perlu dikelola dapat
diklasifikasikan menjadi 4(empat), yaitu:
1). Data Identitas peserta didik,memuat tentang segala
sesuatu yang berkaitan dengan diri pribadi peserta
didik.
2). Data Hasil Belajar peserta didik, berisi tentang daftar
bidang studi yang ditempuh peserta didik dan
perolehan nilai serta keterangan penting lainnya dari
awal sampai akhir pendidikan.
3). Data Presensi pesrta didik, yaitu data kehadiran peserta
didik dan beberapa catatan penting yang menyertainya
yang bisa dibuat per bulan berdasarkan data presensi
harian.
4). Data Tata tertib dan Skoring Pelanggaran, berisi data
tentang tata tertib sekolah dan skor pelanggaran yang
dimiliki peserta didik beserta beberapa ketentuan
sangsi akibat pelanggaran tata tertib tersebut.
Data identitas siswa biasanya dicatat dalam buku
Induk dibantu dengan buku Klapper, sebagai catatan
pelengkap. Namun dewasa ini melalui komputerisasi
pencatatan maupun penyimpanannya menjadi lebih
mudah, rapi dan aman.Tetapi tidak ada salahnya untuk
mengantisipasi sesuatu hal yang tidak diinginkan, alangkah
baiknya apabila pencatatan data disamping di dalam file
computer, juga dicatat secara manual.
Adapun manfaat data peserta didik adalah pertama
sebagai dasar pertimbangan dalam bimbingan konseling;
kedua sebagai bahan pertimbangan untuk menyampaikan
saran kepada orang tua peserta didik tentang belajar
anaknya; ketiga untuk menetapkan keputusan sekolah

54
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

tentang beberapa hal yang berkenaan dengan peserta didik;


keempat sebagai bahan rekomendasi bagi peserta didik
untuk kelanjutan studi atau melamar pekerjaan; kelima
untuk kepentingan pengecekan data, apabila dikemudian
hari terdapat kesalahan atau mungkin terjadi pemalsuan;
keenam untuk kepentingan mutasi ke sekolah lain, sehingga
mempermudah pembinaan terhadap peserta didik yang
bersangkutan dan ketujuhsebagai bahan pertimbangan bagi
sekolah untuk menentukan punishman atau punreward pada
peserta didik, agar pemberian penghargaan maupun
hukuman berdampak positif.

2. Manajemen Kurikulum
Manajemen kurikulum merupakan salah satu bidang
garapan manajemen pendidikan yang sangat penting. Karena
pada dasarnya kurikulum adalah alat untuk mencapai tujuan
pendidikan nasional yang telah ditetapkan dalam Undang-
Undang Sisdiknas. Dan lebih khusus lagi kurikulum
merupakan instrumen dalam rangka meraih tujuan institu-
sional sesuai dengan ragam dan jenjang pendidikan, tujuan
kurikuler bidang-bidang studi, dan tujuan pembelajaran yang
disusun atas prakarsa guru di RPP (Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran). Semua tujuan itu tidak akan tercapai tanpa
adanya kurikulum, sehingga kurikulum harus dikelola dengan
baik dan benar.
S.Nasution menegaskan bahwa kualitas bangsa di masa
yang datang sangat bergantung pada pendidikan yang
dirasakan anak-anak saat ini, terutama dalam pendidikan for-
mal di sekolah.Realitas apapun yang dicapai sekolah,
ditentukan oleh kurikulum sekolahnya.(2003:1). Sehingga
bisa dikatakan bahwa siapa pun yang menguasai kurikulum,
maka dialah yang mempunyai peran penting dalam mengatur
bangsa dan Negara di kemudian hari.Sedangkan pendapat

55
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

S.Bellen (2000: 49) agak sedikit berbeda, bahwa menurutnya


kurikulum bukan satu-satunya penentu kualitas pendidikan
dan bukan pula perangkat tunggal penjabaran visi pendidikan.
Karena fungsi kurikulum dalam peningkatan kualitas dan
paparan visi sangat tergantung pada kecerdasan guru dalam
memahami substansi kurikulum yang tertuang pada buku ajar
dan proses evaluasi belajar.Jadi dapat dipahami bahwa sekolah
sebagai pelaksana kurikulum terutama pendidik atau guru
harus bisa memahami dan mengembangkan kurikulum secara
inspiratif, inovatif dan progresif dalam skala kelas.
Kurikulum pendidikan dasar dan menengah di Indone-
sia mengalami perkembangan sebagai berikut:
™ Tahun 1964: perencanaan kurikulum sekolah dasar.
™ Tahun 1973: kurikulum sekolah PPSP (Proyek Perintis
Sekolah Pembangunan).
™ Tahun 1975: dikenal dengan Kurikulum 1975,yaitu
Kurikulum SD.
™ Tahun 1984: Kurikulum 1984
™ Tahun 1994: Kurikulum 1994
™ Tahun 1997: revisi kurikulum 1997
™ Tahun 2004: rintisan KBK (Kurikulum Berbasis
Kompetensi).
™ Tahun 2006: Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP).
™ Tahun 2013: Kurikulum 2013, yang mulai diimple-
mentasikan pada tahun ajaran 2013/2014.
Kurikulum 2013 merupakan pengembangan dari
kurikulum 2006 yang berlandaskan pada pemikiran tentang
tantangan abad 21 yang dikenal dengan abad ilmu
pengetahuan, knowledge-based society dan kompetensi masa
depan.Disamping itu alasan yang sangat mendasar adalah

56
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

pertama perlu adanya perubahan proses pembelajaran (dari


siswa diberi tahu menjadi mencari tahu) dan perubahan
proses penilaian (dari berbasis output menjadi berbasis proses
dan output), kedua perlu penambahan jam pelajaran, karena
banyak Negara mengalokasikan jam pelajaran lebih banyak,
sedangkan Indonesia relatif lebih singkat. (Pedoman Diklat
Kurikulum 2013: 2).
Implementasi kurikulum 2013 dimulai bulan Juli 2013
dan dilaksanakan secara bertahap, untuk jenjang pendidikan
SD/MI kelas I dan IV, jenjang SMP/MTs kelas VII dan jenjang
SMA/MA/SMK kelas X. Selain kelas-kelas tersebut masih
menggunakan kurikulum 2006 sampai dengan batas yang
belum ditentukan.
Adapun manajemen kurikulum mencakup kegiatan
perencanaan,pelaksanaan sampai dengan evaluasi terhadap
pelaksanaan kurikulum tersebut.Kegiatan perencanaan telah
dilakukan oleh Pusat, yaitu Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, dalam hal ini yang berwenang adalah Pusat
Kurikulum dan Perbukuan di bawah naungan Badan Penelitian
dan Pengembangan. Pusat Kurikulum dan Perbukuan bertugas
melakukan penyusunan kebijakan tehnis,pengembangan
kurikulum, metodologi pembelajaran dan perbukuan
pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan
menengah, pendidikan non formal dan pendidikan informal.
Oleh karena itu, pembahasan selanjutnya lebih fokus pada
manajemen pelaksanaan kurikulum di sekolah.
Telah disinggung di atas bahwa yang dimaksud
manajemen kurikulum adalah semua proses perencanaan,
pengorganisasian,dan pengontrolan kurikulum dalam rangka
mencapai tujuan pendidikan nasional secara umum dan tujuan
peningkatan mutu pembelajaran di sekolah. Dengan demikian
dalam manajemen pelaksanaan kurikulum di sekolah akan
dibahasberturut-turut tentang struktur kurikulum,

57
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

pengelolaan pelaksanaan kurikulum dan evaluasi program


pembelajaran serta evaluasi hasil belajar.Pembahasan
beberapa hal tersebut mengacu pada Kurikulum 2013,
bahwasanya kurikulum 2013 menekankan pada usaha yang
terpadu antararekonstruksi kompetensi lulusan, kesesuaian
dan kecukupan serta keluasan dan kedalaman materi, revolusi
pembelajaran, dan reformasi penilaian.(Kemendikbud-
Implementasi Kurikulum 2013). Sedangkan inti kurikulum
itu sendiri pada pasal 38 Undang-Undang Sisdiknas No 20
tahun 2003 dinyatakan sebagai seperangkat rencana dan
pengaturan tentang tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara
yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Berdasarkan paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa
munculnya kurikulum 2013 merupakan perubahan mind set
terhadap kurikulum terutama pada perubahan kultur sekolah,
sebagai pelaksana kurikulum, lebih-lebih sebagai agen
pembelajaran. Sehingga sekolah dituntut untuk bisa
menciptakan anak bangsa yang mempunyai kecerdasan sikap,
keterampilan dan pengetahuan yang memadai agar bermakna
bagi dirinya,bangsanya serta dunia dan peradabannya. Hal
ini sesuai dengan tujuan kurikulum 2013, yaitu memper-
siapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup
sebagai pribadi, dan warga Negara yang berilmu, produktif,
kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan
peradaban dunia.
a. Struktur Kurikulum
Struktur kurikulum merupakan salah satu indikator
komponen kurikulum yang mencakup kompetensi inti,
kompetensi dasar, muatan pembelajaran, mata pelajaran
dan beban belajar. Komponen kurikulum juga memuat

58
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

indikator lain, meliputi kerangka dasar, silabus dan


Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Penjabaran
struktur kurikulum pada setiap jenjang pendidikan
mengacu pada ketentuan sebagai berikut:
Sekolah Dasar (SD):
9 Secara holistik berbasis sains (alam, sosial dan budaya).
9 Jumlah mata pelajaran dari 10 menjadi 6.
9 Jumlah jam bertambah 4 jam pelajaran per minggu,
akibat perubahan pendekatanpembelajaran.
Sekolah Menengah Pertama (SMP):
9 TIK menjadi media semua mata pelajaran.
9 Pengembangan diri terintegrasi pada setiap mata
pelajaran dan ekstrakurikuler.
9 Jumlah mata pelajaran dari 12 menjadi 10.
9 Jumlah jam bertambah 6 jam pelajaran sebagai dampak
dari perubahan pendekatan pembelajaran.
Sekolah Menengah Atas (SMA):
9 Perubahan sistem, yaitu adanya mata pelajaran wajib
dan mata pelajaran pilihan sesuai bakat dan minatnya.
9 Terjadi pengurangan mata pelajaran.
9 Jumlah jam bertambah 1 jam pelajaran per minggu
sebagai akibat pendekatan pembelajaran.
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK):
9 Adanya penyesuaian jenis keahlian berdasarkan
spektrum kebutuhan terkini.
9 Pengurangan adaptif dan normatif,ada penambahan
produktif.
9 Produktif disesuaikan dengan trend perkembangan
terkini.

59
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Adapun penjabaran struktur kurikulum untuk jenjang


pendidikan dasar dan menengah sesuai dengan Permendikbud
adalah sebagai berikut:
SD/MI:
No. Komponen I II III IV V VI
1 . Pendidikan Agama 4! 4! 4! 4! 4! 4!
2 . PPKn 5! 6! 6! 5! 5! 5!
3. Bahasa Indonesia 8! 8! 10! 7! 7! 7!
4. Matematika 5 6 6 6 6 5
IPA - - - 3! 3! 3!
IPS - - - 3! 3! 3!
5. Sn Budaya & Prakarya 4! 4! 4! 4! 4! 4!
6. Pend.Jasmani,Or.&Kes. 4! 4! 4! 4! 4! 4!
30! 32! 34! 36! 36! 36!
Fenomena alam, sosial dan budaya sebagai obyek
pembelajaran.Oleh karena itu secara substantif tetap
diajarkan, meskipun tidak ada mata pelajaran IPA dan IPS
untuk kelas I, II dan III.Tetapi diintegrasikan ke mata
pelajaran lainnya.Sedangkan mata pelajaran Seni budaya
dan Prakarya, PJOK serta bahasa Daerah bisa dimasukkan
dalam muatan lokal.
SMP/MTs :
No.Komponen VII VIII IX
1. Pendidikan Agama 3! 3! 3!
2. Pend.Pancasila dan Kewarg. 3! 3! 3!
3. Bahasa Indonesia 6! 6! 6!
4. Matematika 5! 5! 5!
5. I P A 5! 5! 5!
6. I P S 4! 4! 4!
60
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

7. Bahasa Inggris 4! 4! 4!
8. Seni Budaya (Mulok) 3! 3! 3!
9. P J O K (Mulok) 3! 3! 3!
10. Prakarya (Mulok) 2! 2! 2!
38 38 38
Muatan lokal dapat memuat Bahasa Daerah.

SMA/MA/SMK/MAK :
Kelompok A (Wajib): X XI XII
1. Pendidikan Agama 3! 3! 3!
2. Pend. Pancasila dan Kewarg. 2! 2! 2!
3. Bahasa Indonesia 4! 4! 4!
4. Matematika 4! 4! 4!
5. Sejarah Indonesia 2! 2! 2!
6. Bahasa Inggris 2! 2! 2!
Kelompok B (Wajib):
7. Seni Budaya 2! 2! 2!
8. P J O K 3! 3! 3!
9. Prakarya dan Kewirausahaan 2! 2! 2!
Jumlah jam pelajaran kel.A dan B 24! 24! 24!

Kelompok C (Peminatan): X XI XII


Mata pelajaran akademik (SMA) 18! 20! 20!
Mata pelajaran peminatan 24! 24! 24!
akademik dan Vokasi (SMK)
Jumlah jam pelajaran per minggu 42! 44! 44!
(SMA)
Jumlah jam pelajaran per minggu 48! 48! 48!
(SMK)

61
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Sedangkan Struktur Kurikulum Peminatan SMA/MA


adalah sebagai berikut:
Mata Pelajaran Kelas X XI XII
Kelompok A dan B (wajib) 24! 24! 24!
Kelompok C (peminatan):
I. Peminatan Matematika dan Ilmu Alam
1. Matematika 3! 4! 4!
2. Biologi 3! 4! 4!
3. Fisika 3! 4! 4!
4. Kimia 3! 4! 4!
II. Peminatan Ilmu Sosial
1. Geografi 3! 4! 4!
2. Sejarah 3! 4! 4!
3. Sosiologi dan Anthropologi 3! 4! 4!
4. Ekonomi 3! 4! 4!
III. Peminatan Ilmu Bahasa Dan Budaya
1. Bahasa dan Sastra Indonesia 3! 4! 4!
2. Bahasa dan Sastra Inggris 3! 4! 4!
3. Bahasa dan Sastra asing lainnya 3! 4! 4!
4. Antropologi 3! 4! 4!
Mata Pelajaran Pilihan:
Pilihan lintas kelompok atau 6! 4! 4!
pendalaman minat
Jumlah jam pelajaran yang 68! 72! 72!
tersedia per minggu
Jumlah jam pelajaran yang harus 42! 44! 44!
ditempuh per minggu

62
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

(Sumber: Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013-


Kemendikbud).
b. Pengelolaan Pelaksanaan Kurikulum
Kegiatan pengelolaan pelaksanaan kurikulum di
sekolah meliputi 1)pembagian tugas guru dan penyusunan
jadwal pelajaran, 2)proses pembelajaran,3)penyusunan
silabus dan RPP.
1) Pembagian Tugas Gurudan penyusunan jadwal
pelajaran.
Kegiatan yang berkaitan dengan tugas mengajar
diadakan pada saat akan dimulainya semester baru,
biasanya melalui agenda rapat dewan guru. Tentu
sajapembagian tugas guru ini mengacu pada jadwal
pelajaran yang telah tersusun. Sehingga guru mem-
peroleh beban mengajar sesuai dengan keahliannya.
Kepala sekolah sebagai penanggungjawab utama dalam
pembagian tugas guru, biasanya dibantu oleh beberapa
guru yang bertindak sebagai koordinator pelaksana,
yaitu:
a) Waka Kurikulum, bertugas mengatur dan
mengkoordinasikan semua kegiatan pembelajaran
di sekolah secara keseluruhan, dan membantu
kepala sekolah dalam merencanakan dan menyusun
jadwal pelajaran.
b) Waka Kesiswaan,bertugas membina kegiatan
ekstrakurikuler atau kegiatan tambahan diluar
akademik.
c) Guru Koordinator Jurusan, yaitu mengkoordina-
sikan kegiatan pembelajaran di jurusan.
d) Guru Bimbingan dan Konseling, bertugas membina
aktifitas bimbingan dan konseling.

63
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

e) Guru Wali, bertugas mengelola kelas yang menjadi


beban tugasnya.
f) Guru Piket, yaitu guru yang diberi tugas untuk
melakukan pengawasan atau kontrol pelaksanaan
pembelajaran sehari-hari sesuai dengan jadwal
piketnya.
g) Guru Bidang Studi,yaitu yang bertanggungjawab
atas pelaksanaan pembelajaran sesuai bidang studi
masing-masing.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam
pembagian tugas guru adalah aspek perimbangan bobot
tugas yang diemban masing-masing guru dan perbedaan
hak dan wewenang sesuai dengan pangkat guru, apabila
diberlakukan sistem kredit dalam kenaikan pangkatnya.
Adapun jadwal pelajaran di sekolah disusun
berdasarkan struktur kurikulum untuk tiap jenjang dan
dan jenis sekolah yang berisi macam program, bidang
studi dan alokasi waktu untuk tiap-tiap periode penyam-
paiannya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
menyusun jadwal pelajaran adalah sebagai berikut:
a) Penyusunan jadwal pelajaran mengacu pada
kurikulum yang sedang berlaku, terutama mengenai
jumlah mata pelajaran dan alokasi waktu pelajaran
atau bobot jam pelajaran.
b) Program penyampaian menggunakan sistem semes-
ter yang berkisar rata-rata 120 hari efektif.
c) Materi belajar yang sifatnya wajib hendaknya
dijadwalkan pada hari Senin sampai Jum’at,
sedangkan pada hari Sabtu untuk materi pilihan
atau yang bersifat rekreatif.

64
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

d) Susunan mata pelajaran tidak berurutan terus-


menerus agar tidak menimbulkan kejenuhan,
sehingga perlu diselingi mata pelajaran lain.
e) Mata pelajaran yang membutuhkan pemikiran
tingkat tinggi dijadwalkan pada jam-jam awal,
sedangkan jam-jam akhir untuk pelajaran yang
bersifat praktis atau kerja fisik.
f) Waktu istirahat harus disediakan secukupnya.
g) Perlu dikondisikan ketenangan belajar di masing-
masing kelas,sehingga pemasangan mata pelajaran
dibuat sedemikian rupa agar tidak menganggu
pembelajaran di kelas yang lain.
h) Jadwal pelajaran harus disesuaikan dengan keahlian
guru pengampu,setidaknya yang paling mendekati
potensi guru dengan pembagian beban mengajar
yang merata.
2) Proses Pembelajaran
Proses pembelajaran merupakan aktifitas peserta
didik dan guru dalam rangka meningkatkan potensi
peserta didik,agar menjadi pribadi yang mampu berpikir
dan bertindak yang berorientasi pada kompetensi sikap,
keterampilan dan pengetahuan.Adapun prinsip proses
pembelajaran adalah a).memberdayakan semua potensi
peserta didik untuk meningkatkan pemahamannya
tentang materi yang dipelajarinya,sehingga akan nampak
kemampuannya dalam berpikir logis, kritis dan kreatif;
2).belajar melalui perbuatan dengan cara mengembang-
kan kreatifitas peserta didik, menciptakan kondisi
menyenangkan dan menantang, mengembangkan
beragam kemampuan yang bermuatan nilai dan
menyediakan pengalaman belajar yang beragam.
(AL.Hartani,2011:81). Dan proses pembelajaran akan

65
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

lebih sempurna apabila digunakan berbagai macam


metode yang bisa merespons semua indera sesuai dengan
sifat materi yang dipelajari.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses
pembelajaran yang disesuaikan dengan kekinian adalah
sebagai berikut:
a) Standar proses pembelajaran dahulu berfokus pada
eksplorasi,elaborasi dan konfirmasi; sekarang
dilengkapi dengan mengamati, menanya,mengolah,
menyajikan, menyimpulkan dan mencipta.
b) Belajar tidak hanya di dalam kelas,tetapi juga di
lingkungan sekolah dan masyarakat.
c) Sumber belajar tidak hanya guru, namun mencakup
semua aspek yang sangat luas.
d) Mengedepankan kompetensi sikap melalui contoh
dan teladan,dan tidak diajarkan secara verbal.
e) Guru perlu memperhatikan perkembangan psikologi
anak, lingkup dan kedalaman materi, kesinam-
bungan dan lingkungan.
Sedangkan proses pembelajaran yang mengacu pada
kurikulum 2013 memiliki karakteristik berikut ini;
a). Berorientasi pada 3 (tiga) kompetensi, yaitu:
1) Sikap
(menerima, menjalankan, menghargai,
menghayati dan mengamalkan).
2) Keterampilan
(mengamati, menanya, mencoba, menalar,
menyaji dan mencipta).

66
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

3) Pengetahuan
(mengetahui, memahami, menerapkan,
menganalisis, mengevaluasi dan mencipta).
b). Menggunakan pendekatan saintifik, karakteristik
kompetensi sesuai jenjang pendidikan:
SD : tematik terpadu.
SMP : tematik terpadu, IPA-IPS dan Mapel.
SMA : tematik dan mapel.
c). MengutamakanDiscovery learning dan Project Based
learning.
Standar Kompetensi Lulusan (SKL) untuk ketiga
ranah atau kompetensi dirumuskan sebagai berikut:
Sikap, yaitu pribadi yang beriman, berakhlak mulia,
percaya diri,dan bertanggungjawab dalam berinteraksi
secara efektif dengan lingkungan sosial, alam sekitar
serta dunia dan peradabannya.
Keterampilan, yaitu pribadi yang berkemampuan
pikir dan tindakan yang produktif dan kreatif dalam
ranah abstrak dan konkrit.
Pengetahuan, yaitu pribadi yang menguasai ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, budaya dan berwawasan
kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan dan peradaban.
3). Penyusunan Silabus Dan RPP
Silabus merupakan rencana pembelajaran pada
mata pelajaran atau tema tertentu yang meliputi
kompetensi inti, kompetensi dasar, materi pembel-
ajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian, alokasi waktu
dan sumber belajar.
Dalam penyusunannya mengacu pada pedoman
pengembangan silabus yang dirumuskan oleh

67
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Pemerintah, dalam hal ini Dikdasmen-Kemendikbud


yang bertugas mempelajari kurikulum untuk diwujud-
kan dalam silabus, kemudian menyebarluaskan silabus
ke daerah dan terakhir memantau silabus sekaligus
penerapannya di tingkat kabupaten/kota. Sedangkan di
tingkat sekolah, berdasarkan silabus tersebut dibuat
rambu-rambu pengembangan silabus sesuai kebutuhan
sekolah oleh tim pengembang silabus sekolah. (Hartani,
2011:86).
Tiap-tiap sekolah mempunyai rumusan silabus yang
berbeda-beda tergantung dengan ciri khas masing-
masing sekolah.Dalam penyusunannya pun tidak ada
aturan mengenai isi maupun formatnya,sehingga
sekolah dan guru bisa leluasa mengekspresikan
pemikirannya dengan penuh tanggungjawab. Sekolah
juga dapat mengundang beberapa aparat terkait diluar
sekolah,seperti instansi pemerintah dan swasta, dewan
pendidikan, pemerhati pendidikan dan lain-lain untuk
ikut menuangkan aspirasinya dalam menyusun silabus.
Adapun Rencana Program Pembelajaran (RPP)
merupakan pedoman pelaksanaan kegiatan pembe-
lajaran yang memuat komponen-komponen sebagai
berikut:
a) Identitas Sekolah yaitu nama satuan pendidikan.
b) Identitas Mata pelajaran atau tema/sub tema.
c) Kelas/Semester
d) Materi Pokok
e) Alokasi waktu
f) Tujuan Pembelajaran
g) Kompetensi Dasar dan indikator pencapaian
kompetensi.

68
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

h) Materi pembelajaran
i) Metode Pembelajaran
j) Media Pembelajaran
k) Sumber Belajar
l) Langkah-langkah pembelajaran
m) Penilaian hasil pembelajaran.
RPP dibuat oleh masing-masing guru disesuaikan
dengan mata pelajaran yang diampu dan sejumlah
bidang studi yang menjadi beban tugasnya. Penyusunan
RPP mengacu pada silabus yang telah disusun tim
pengembang silabus tingkat sekolah.
c. Evaluasi Program Pembelajaran Dan Hasil Belajar
Mengevaluasi program pembelajaran dan hasil belajar
peserta didik merupakan bagian dari evaluasi pelaksanaan
kurikulum.Sehingga bisa dijadikan sebagai dasar penentu
kebijakan pendidikan di tingkat pusat, daerah maupun
sekolah untuk perbaikan dan penyempurnaan hasil yang
lebih maksimal.
Secara operasional yang menjadi basis pelaksanaan
kurikulum di sekolah adalahproses pembelajaran yang
dilaksanakan guru di kelas. Oleh karenanya, bentuk
evaluasi program pembelajaran pada hakekatnya adalah
evaluasi terhadap proses kinerja guru.
Evaluasi program pembelajaran terdiri dari 2 (dua)
hal, evaluasi perencanaan program pembelajaran dan
evaluasi pelaksanaan program pembelajaran. Tahap-tahap
yang harus diikuti dalam evaluasi tersebut adalah sebagai
berikut:1)mengidentifikasi aspek-aspek yang dievaluasi,
2)menentukan indikator, 3)menetapkan kriteria keber-
hasilan, 4)merumuskan skor, 5)menentukan hasil skor dan
interpretasinya,dan 6)rekomendasi dan follow upnya.

69
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Supervisor evaluasi program pembelajaran bisa Kepala


Sekolah, Pemilik Sekolahmaupun Pengawas Sekolah atau
pun kolega (teman sesama guru). Hal yang urgen dalam
evaluasi program pembelajaran,disamping untuk
mengetahui seberapa jauh upaya pelaksanaan kurikulum
di sekolah,juga adanya kepentingan untuk meningkatkan
profesionalisme guru dalam mengampu mata pelajaran
yang menjadi beban tugasnya.
Sedangkan evaluasi hasil belajar pada hakekatnya juga
merupakan salah satu bentuk evaluasi kurikulum yang
secara langsung mengukur ketercapaian tujuan pembe-
lajaran yang telah ditetapkan. Jadi obyek yang dikenai
evaluasi hasil belajar adalah peserta didik. Hal ini sesuai
dengan tujuan akhir setiap program pembelajaran yaitu
kompetensi tertentu yang harus dimiliki peserta didik
seperti rumusan yang telah ditetapkan dalam kurikulum.
Evaluasi hasil belajar juga dapat digunakan untuk: 1)
memberikan feedback atau umpan balik kepada guru, 2)
menetapkan kemajuan belajar peserta didik, 3) membantu
penempatan peserta didik (misalnya untuk penjurusan)
dan 4)membantu program bimbingan dan konseling untuk
kepentingan pembinaan peserta didik.
Mengacu elemen penilaian hasil belajar pada
kurikulum 2013 diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Penilaian berbasis kompetensi.
2) Menggunakan authentic assessment,yaitu mengukur
semua kompetensi sikap,keterampilan dan pengeta-
huan berdasarkan proses dan hasil.
3) Memperkuat Penilaian Acuan Patokan (PAP), yaitu
pencapaian hasil belajar didasarkan pada posisi skor
yang diperolehnya terhadap skor ideal (maksimal).

70
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

4) Penilaian tidak hanya pada level Kompetensi Dasar


(KD), tetapi juga kompetensi inti dan Standar
Kompetensi Lulusan (SKL).
5) Mendorong pemanfaatan portopolioyang dibuat
peserta didik sebagai instrumen utama penilaian.
6) Rapor memuat penilaian kuantitatif tentang pengeta-
huan dan deskripsi kualitatif tentang sikap dan
keterampilan.

3. Manajemen Personalia
Istilah Manajemen Personalia dimaknai sebagai suatu
ilmu yang mempelajari cara bagaimana memberikan fasilitas
untuk perkembangan pegawai dan rasa partisipasi pegawai
dalam suatu unit kegiatan. Sedangkan Manajemen Personalia
yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah manajemen
pendidik dan tenaga kependidikan sebagai penyelenggara
program pendidikan di sekolah.
Dalam Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional Pasal 39 dijelaskan bahwa tenaga
kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelola-
an, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan tehnis untuk
menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan. Pada
pasal selanjutnya disebutkan bahwa pendidik merupakan
tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksa-
nakan proses pembelajaran, melakukan pembimbingan dan
pelatihan, serta melakukan penelitan dan pengabdian kepada
masyarakat,terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.
Sebutan pendidik meliputi guru, dosen, tutor, widyaiswara,
instruktur,fasilitator, konselor dan lain-lain. Sedangkan tenaga
kependidikan meliputi kelompok manajer lembaga pendi-
dikan seperti kepala sekolah,ketua, direktur, dan rektor;
kelompok tenaga fungsional pendidikan seperti penilik,
pengawas, peneliti dan pustakawan; kelompok tenaga tehnis

71
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

pendidikan seperti staf ketatausahaan pendidikan, tehnisi


sumber belajar dan tehnisi laboratorium pendidikan.
Sebutan guru merupakan pendidik yang mengajar pada
satuan pendidikan dasar dan menengah. Sesuai dengan
pernyataan di dalam Undang-Undang No.14 tahun 2005
pasal 1 bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas
utama mendidik, mengajar, membimbing,mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasipeserta didik pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah. Secara khusus guru
mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional yang
berfungsi meningkatkan martabat dan perannya sebagai agen
pembelajaran dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan
nasional. Selanjutnya kedudukan tersebut bertujuan
melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan
tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa,berakhlakmulia, sehat,berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga Negara yang
demokratis dan bertanggungjawab.(pasal 6).
Telah disinggung di atas bahwa profesi guru merupakan
bidang pekerjaan khusus, sehingga dalam pelaksanaannya
harus memenuhi prinsip-prinsip profesionalitas sebagai
berikut:
a. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme.
b. Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendi-
dikan, keimanan, ketakwaan,dan akhlak mulia.
c. Memiliki kualitas akademik dan latar belakang pendidikan
sesuai dengan bidang tugas.
d. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan
bidang tugas.

72
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

e. Memiliki tanggungjawab atas pelaksanaan tugas


keprofesionalan.
f. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan
prestasi kerja.
g. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan
keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar
sepanjang hayat.
h. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam
melaksanakan tugas keprofesionalan.
i. Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan
mengatur hal-hal yang berkaitan yang berkaitan dengan
tugas keprofesionalan guru.
Disamping itu, dalam melaksanakan tugas keprofe-
sionalan, guru harus memenuhi kewajiban-kewajiban berikut:
a. Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses
pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan
mengevaluasi hasil pembelajaran.
b. Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik
dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
c. Bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar
pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi
fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status
sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran.
d. Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan,
hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan
etika.
e. Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan
bangsa. (UU No.14 Th.2005pasal 20).
Adapun kompetensi yang wajib dimiliki guru meliputi
pertama kompetensi pedagogik; kedua kompetensi kepribadian;

73
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

ketiga kompetensi sosial dan keempat kompetensi profesional.


Maksud kepemilikan kompetensi-kompetensi tersebut
adalahbahwa guru harus mampu mengelola pembelajaran
peserta didik; mempunyai pribadi yang mantap, berakhlak
mulia,arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik.
Selanjutnya guru harus mampu berkomunikasi dan berinte-
raksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama
guru, orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar
juga guru harus menguasai materi pelajaran secara luas dan
mendalam.
Kompetensi-kompetensi tersebut merupakan se-
perangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang
harus dimiliki, dihayati,dan dikuasai oleh guru dalam
melaksanakan tugas keprofesionalan. Sedangkan istilah
profesional itu sendiri berarti suatu pekerjaan atau aktifitas
yang dilakukan seseorang dan menjadi sumber penghasilan
kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau
kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu
serta memerlukan pendidikan profesi. Guru mempunyai
kedudukan sebagai tenaga profesional, sehingga memperoleh
sertifikat pendidik sebagai bukti formalnya. Tentu saja
sertifikat pendidik yang dimaksud diberikan kepada guru
apabila telah memenuhi persyaratan yang berlaku.Guru yang
telah memiliki sertifikat pendidik mendapatkan tunjangan
profesi dari pemerintah setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok
guru.

Ruang Lingkup Manajemen Personalia Pendidikan


Pada dasarnya proses memenej personel khususnya di
sekolah meliputi tahap-tahap:
Pengadaan (perekrutan), penempatan (penugasan),
pemeliharaan, pembinaan dan pengembangan, pemutusan
hubungan kerja dan pensiun.

74
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

a. Tahap Pengadaan (Perekrutan)


Proses aktifitas pengadaan personel atau perekrutan
dilakukan karena adanya formasi yang harus diisi. Formasi
adalah susunan pegawai sesuai dengan jumlah dan pangkat
yang diperlukan untuk mampu melaksanakan tugas di suatu
lembaga.Adanya formasi bisa dikarenakan adanya tuntutan
kebutuhan lembaga akibat bertambahnya beban tugas dan
atau terjadi mutasi personel.
Kegiatan pengadaan personel baik tenaga pendidik
maupun tenaga kependidikan yang lain biasanya dimulai dari
pengumuman kebutuhan, menyeleksi sampai pada pengang-
katannya. Hal ini sesuai dengan pasal 41 UU Sisdiknas No.
20 Tahun 2003 dinyatakan bahwa pengangkatan, penempatan
dan penyebaran pendidik dan tenaga kependidikan diatur oleh
lembaga yang mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan
pendidikan formal. Bagi sekolah swasta aktifitas perekrutan
ini dilakukan secara mandiri.Berbeda dengan sekolah negeri,
biasanya personelnya merupakan jatah dari daerah atau pusat,
sehingga sekolah tinggal memenej saja.
b. Tahap Penempatan (Penugasan)
Prinsip dasar penempatan (penugasan) adalah kesesuaian
tugas dengan kemampuan yang dimiliki personel (the right
man in the right place).Dalam tahap ini dibutuhkan kecermatan
dalam menempatkan dan menugaskan personel sesuai dengan
latar belakang pendidikan, kemampuan, pengalaman dan
kesanggupannya.
c. Tahap Pemeliharaan Personel
Dalam tahap pemeliharaan personel sekolah ini memuat
tentang kewajiban dan hak personel yang mengacu pada UU
Sisdiknas No.20 Tahun 2003 pasal 40 (ayat 1 dan 2),
dinyatakan bahwa:

75
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

1). Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban:


a) menciptakan suasana pendidikan yang bermakna,
menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis.
b) mempunyai komitmen secara professional untuk
meningkatkan mutu pendidikan.
c) memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga
profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan
yang diberikan kepadanya.
2). Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh:
a) penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang
pantas dan memadai.
b) penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja.
c) pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengem-
bangan kualitas.
d) perlindunganhukum dalam melaksanakan tugas dan
hak atas hasil kekayaan intelektual.
e) kesempatan untuk menggunakan sarana dan prasarana
serta fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran
pelaksanaan tugas.
Berdasarkan ketentuan dalam pasal tersebut, maka
tenaga pendidik dan kependidikan harus memenuhi tuntutan
kewajiban dan sekaligus memperoleh haknya.
Adapun yang dimaksud dengan penghasilan yang pantas
dan memadai adalah penghasilan yang mencerminkan
martabat tenaga profesional di atas Kebutuhan Hidup Mini-
mum (KHM).Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum
dimaknai sebagai pendapatan yang cukup memenuhi
kebutuhan hidup personel dan keluarganya secara wajar, baik
sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, rekreasi, dan
jaminan hari tua.

76
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

Di samping itu, secara umum tenaga kependidikan yang


berstatus PNS juga memperoleh hak cuti, seperti cuti
tahunan, cuti besar, cuti sakit, cuti melahirkan, cuti karena
alasan penting dan cuti di luar tanggungan Negara.
d. Tahap Pembinaan (Pengembangan) Personel
Maksud pembinaan atau pengembangan personel yaitu
usaha-usaha yang dilakukan untuk memajukan dan
meningkatkan mutu serta efisiensi kerja semua tenaga
personalia yang berada di lingkungan lembaga baik pendidik
maupun tenaga kependidikan yang lain. Pembinaan dan
pengembangan personel menurut UU Sisdiknas no.20 tahun
2003 pasal 43 ditegaskan bahwa promosi dan penghargaan
bagi pendidik dan tenaga kependidikan dilakukan berdasarkan
latar belakang pendidikan, pengalaman, kemampuan, dan
prestasi kerja dalam bidang pendidikan. Selanjutnya dalam
pasal 44 dijelaskan bahwa pembinaan dan pengembangan
tenaga kependidikan pada satuan pendidikan menjadi
tanggungjawab pemerintah dan pemerintah daerah dan
penyelenggara pendidikan serta masyarakat.
Promosi dimaknai sebagai kenaikan pangkat yang
merupakan salah satu jenis usaha peningkatan dan pembinaan
personel, meliputi sistem karier dan sistem prestasi kerja.
Sistem karir merupakan sistem kepegawaian, dimana untuk
pengangkatan pertamanya berdasarkan atas kecakapan yang
bersangkutan, tetapi untuk pengembanganselanjutnya dengan
memperhitungkan masa kerja, pengalaman, kesetiaan,
pengabdian dan syarat-syarat yang lain. Sedangkan sistem
prestasi kerja adalah suatu sistem pengangkatan kepegawaian
berdasarkan atas kecakapan dan prestasi kerja yang dibuktikan
secara nyata.
Bentuk pembinaan dan pengembangan personalia yang
lain adalah kenaikan pangkat. Ada berbagai macam jenis

77
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

kenaikan pangkat, yaitu kenaikan pangkat regular, istimewa,


pilihan, pengabdian, anumerta, dalam tugas belajar, menjadi
pejabat Negara, dalam penugasan di luar lembaga, dalam
wajib militer, dan penyesuaian ijazah.
Pembinaan dan pengembangan khusus tenaga pendidik
(guru) termaktub dalam UU nomor 14 tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen pasal 32. Didalam pasal tersebut ditegaskan
bahwa pembinaan dan pengembangan guru meliputi
pembinaan dan pengembangan profesi dan karier.Untuk
pembinaan dan pengembangan profesi meliputi kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan
kompetensi profesional yang dilakukan melalui jabatan
fungsional. Sedangkan pembinaan dan pengembangan karier
guru meliputi penugasan, kenaikan pangkat dan promosi.Ada
pembinaan dan pengembangan guru dalam bentuk
penghargaan. Guru yang berprestasi, berdedikasi luar biasa
dan atau bertugas di daerah khusus berhak memperoleh
penghargaan. Demikian pula guru yang gugur dalam melaksa-
nakan tugas di daerah khusus memperoleh penghargaan dari
pemerintah, pemerintah daerah dan /atau masyarakat.
Penghargaan dapat diberikan pada tingkat satuan pendidikan,
tingkat desa/kelurahan, tingkat kecamatan, tingkat propinsi,
tingkat nasional, dan/atau tingkat internasional dalam bentuk
tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa, finansial, piagam
maupun bentuk yang lain.
e. Tahap Pemutusan Hubungan Kerja
Maksud pemutusan hubungan kerja adalah pember-
hentian seorang pegawai, sehingga yang bersangkutan
kehilangan statusnya sebagai pegawai. Seorang pegawai (PNS)
diberhentikan karena alasan-alasan sebagai berikut:

78
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

1) mencapai batas usia tahun pensiun. Dilakukan pada usia


60 (enam puluh) tahun untuk pendidik (guru) dan 58
(lima puluh delapan) untuk tenaga kependidikan yang lain.
2) Pemberhentian atas permintaan sendiri (pensiun dini).
3) Pemberhentian karena melakukan penyelewengan atau
pelanggaran.
4) Pemberhentian karena penyederhanaan organisasi.
5) Pemberhentian tidak sehat jasmani dan rohani, sehingga
tidak dapat menjalankan tugas secara terus-menerus
selama 12 (dua belas) bulan atau.
6) Pemberhentian karena tidak melaksanakan tugas selama
1 (satu) bulan atau lebih secara terus-menerus.
7) Pemberhentian karena meninggal dunia.
8) Pemberhentian karena sebab-sebab lain.
Penilaian personalia (PNS) mengacu pada PP No.46
Tahun 2011 tentang Penilaian Kinerja PNS dan PERBA BKN
No.1 Tahun 2013 tentang Ketentuan Penilaian Prestasi Kerja
PNS yang diberlakukan mulai 1 Januari 2014. Aspek yang
dinilai terdiri dari:
a. Sasaran Kerja Pegawai (SKP) adalah rencana kerja dan
target yang akan dicapai oleh seorang pegawai yang dibuat
diawal tahun (kontrak kerja antara bawahan dan
pimpinan). Bobot nilainya sebesar 60%.
Target yang dinilai meliputi:
1) kuantitas/output
2) kualitas/mutu kerja
3) waktu
4) biaya(apabila diperlukan dalam menyelesaikan
pekerjaan)

79
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

b. Perilaku Kerja Pegawai (PKP) adalah setiap tingkah laku,


sikap, tindakan yang seharusnya atau tidak seharusnya
dilakukan pegawai sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku. Bobot nilai sebesar 40%.
Target yang dinilai meliputi:
1) orientasi pelayanan
2) integritas
3) komitmen
4) disiplin
5) kerja sama
6) kepemimpinan (bagi pejabat struktural).
Sasaran kerja pegawai dan perilaku kerja pegawai dibuat
berdasarkan karakteristik, sifat dan jenis kegiatan pada
masing-masing unit kerja.
Adapun rincian kegiatan yang dapat dinilai dalam Sasaran
Kerja Pegawai adalah sebagai berikut:
1) Rincian/uraian tugas jabatan sehari-hari yang dapat
diukur, relevan, jelas, memiliki target waktu dan dapat
dicapai.
2) Tugas Tambahan, yaitu tugas yang diberikan pimpinanatau
pejabat penilai yang berkaitan dengan tugas jabatandan
dibuktikan melalui surat keterangan.
3) Menunjukkan kreatifitas yang bermanfaat bagi organisasi
dalam melaksanakan tugas jabatan dan dibuktikan dengan
surat keterangan.
Sedangkan penilaian untuk perilaku kerja pegawai
berdasarkan pada pengamatan antara pejabat penilai terhadap
pegawai yang dinilai.
Ada 3 (tiga) macam blangko yang harus dibuat dalam
proses penilaian prestasi kinerja pegawai:

80
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

1) SKP (Sasaran Kerja Pegawai), yaitu kontrak kerja diawal


tahun.
2) PSK (Penilaian Sasaran Kerja), yaitu penilaian realisasi
diakhir tahun.
3) PPK (Penilaian Prestasi Kerja), yaitu raport hasil prestasi
kerja.
4) Rumus perhitungan dalam penilaian SKP adalah sebagai
berikut:
a) Penghitungan aspek output/Kuantitas : RO/TO x 100
b) Penghitungan aspek Mutu/Kualitas : RK/TK x 100
c) Penghitungan aspek Waktu : 100% - (RW/TW x 100%)
d) Penghitungan aspek Biaya : 100% - (RB/TB x 100%)
Keterangan:
RO : Realisasi Output ; TO : Target Output
RK : Realisasi Kualitas; TK : Target Kualitas
RW: Realisasi Waktu; TW: Target Waktu
RB : Realisasi Biaya; TB: Target Biaya
Nilai Prestasi Pegawai dinyatakan dengan angka dan
sebutan sebagai berikut:
No. Angka Sebutan
1). 91 – keatas Sangat Baik
2). 76 – 90 Baik
3). 61 – 75 Cukup
4). 51 – 60 Kurang
5). 50 kebawah Buruk
(Sumber: PP No.46 Th.2011 tentang PPK PNS).

81
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

4. Manajemen Sarana Dan Prasarana


a. Konsep Manajemen Sarana dan Prasarana
1. Pengertian Manajemen Sarana dan Prasarana
Pada dasarnya manajemen sarana dan prasarana
pendidikan terdiri dari dua unsur, yaitu sarana dan
prasarana. Menurut Mulyasa, sarana pendidikan adalah
peralatan dan perlengkapan yang secara langsung
dipergunakan dan menunjang proses pendidikan,
khususnya proses pembelajaran, seperti papan tulis,
spidol, penghapus, alat tulis, buku, dan media penga-
jaran. Sedangkan yang dimaksud dengan prasarana
pendidikan adalah fasilitas yang secara tidak langsung
menunjang jalannya suatu proses pendidikan atau
pengajaran di suatu lembaga pendidikan, seperti
gedung, ruang kelas, halaman, kebun sekolah, jalan
menuju sekolah, dan sebagainya. Namun, apabila
prasarana tersebut digunakan secara langsung untuk
kegiatan pembelajaran, misalnya kebun sekolah
digunakan untuk kegiatan belajar biologi maka kebun
sekolah menjadi sarana pendidikan. (Baharudin dkk,
2010: 84)
Manajemen sarana dan prasarana merupakan suatu
kegiatan untuk mengatur dan mengelola sarana dan
prasarana pendidikan secara efektif dan efisien dalam
rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Dengan
demikian, manajemen sarana dan prasarana adalah
proses kerjasama pendayagunaan semua sarana dan
prasarana pendidikan yang dimiliki oleh sekolah secara
efektif dan efisien. Tugas manajemen sarana dan
prasarana yaitu mengatur dan menjaga sarana dan
prasarana pendidikan agar dapat memberikan kontribusi
secara optimal dan berarti dalam proses pendidikan.

82
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

2. Tujuan Manajemen Sarana dan Prasarana


Pendidikan
Pada dasarnya manajemen sarana dan prasarana
pendidikan memiliki tujuan sebagai berikut:
a) Menciptakan sekolah atau madrasah yang bersih,
rapi, indah, sehingga menyenangkan bagi warga
sekolah atau madrasah.
b) Tersedianya sarana dan prasarana yang memadai
baik secara kualitas maupu kuantitas dan relevan
dengan kepentingan dan kebutuhan pendidikan.
Secara lebih rinci Tim Pakar Manajemen Universi-
tas Negeri Malang mengidentifikasi beberapa hal
mengenai tujuan sarana dan prasarana pendidikan yaitu:
a) Untuk mengupayakan pengadaaan sarana dan
prasarana pendidikan melalui sistem perencanaan
dan pengadaan secara hati-hati dan saksama,
sehingga sekolah atau madrasah memiliki sarana
dan prasarana yang baik sesuai dengan kebutuhan
dana yang efisien.
b) Untuk mengupayakan pemakaian sarana dan
prasarana sekolah itu harus secara tepat dan efisien.
c) Untuk mengupayakan pemeliharaan sarana dan
prasarana pendidikan secara teliti dan tepat,
sehingga keberadaan sarana dan prasarana tersebut
akan selalu dalam keadaaan siap pakai ketika akan
digunakan atau diperlukan. (Tim,2010:85)
Jadi, tujuan manajemen sarana dan prasarana
pendidikan yaitu agar dapat memberikan kontribusi
yang optimal terhadap proses pendidikan dalam
mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.

83
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

3. Prinsip-Prinsip Manajemen Sarana dan


Prasarana Pendidikan
Menurut Hunt Pierce sebagaimana dikutip Barnawi
dkk.(2012:82) bahwa prinsip dasar dalam manajemen
sarana dan prasarana di sekolah sebagai berikut:
1. Lahan bangunan dan perlengkapan perabot sekolah
harus menggambarkan cita dan citra masyarakat
seperti halnya yang dinyatakan dalam filsafat dan
tujuan pendidikan.
2. Perencanaan lahan bangunan, dan perlengkapan-
perlengkapan perabot sekolah hendaknya
merupakan pancaran keinginan bersama dan
dengan pertimbangan suatu tim ahli yang cukup
cakap yang ada di masyarakat.
3. Lahan bangunan dan perlengkapan-perlengkapan
perabot sekolah hendaknya disesuaikan dan
memadai bagi kepentingan peserta didik, demi
terbentuknya karakter mereka dan dapat melayani
serta menjamin mereka diwaktu belajar, bekerja,
dan bermain sesuai dengan bakat.
4. Lahan bangunan dan perlengkapan-perlengkapan
perabot sekolah serta alat-alatnya hendaknya
disesuaikan dengan kepentingan pendidikan yang
bersumber dari kepentingan serta kegunaan atau
manfaat bagi peserta didik dan guru.
5. Sebagai penanggung jawab harus membantu pro-
gram sekolah secara efektif, melatih para petugas
serta memilih alatnya dan cara menggunakannya
agar mereka dapat menyesuaikan diri serta
melaksanakan tugas-tugasnya sesuai dengan fungsi
dan profesinya.

84
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

6. Seorang penanggung jawab sekolah harus mem-


punyai kecakapan untuk mengenal, baik kualitatif
maupun kuantitatif serta menggunakan dengan
tepat fungsi bangunan dan perlengkapannya.
7. Sebagai penanggung jawab harus mampu meme-
lihara dan menggunakan bangunan dan tanah
sekitarnya sehingga ia dapat membantu terwujud-
nya kesehatan, keamanan, kebahagiaan serta
kemajuan sekolah dan masyarakat.
8. Sebagai penanggung jawab, sekolah bukan hanya
mengetahui kekayaan sekolah yang dipercayakan
kepadanya, melainkan harus memperhatikan
seluruh alat-alat pendidikan yang dibutuhkan oleh
peserta didiknya.
b. Proses Manajemen Sarana dan Prasarana
Pendidikan
Manajemen sarana dan prasarana pendidikan meliputi
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan,
dan evaluasi kegiatan pengadaaan barang, pembagian dan
penggunaan barang, perbaikan barang, dan tukar tambah
maupun penghapusan barang. (Mulyono, 2010:157)
Proses yang dilakukan dalam manajemen sarana dan
prasarana pendidikan memiliki beberapa tahap, yaitu
sebagai berikut:
1) Perencanaan sarana dan prasarana pendidikan
Perencanaan sarana atau alat pelajaran tidak
semudah perencanaan prasarana (meja kursi) yang
hanya mempertimbangkan selera dan dana yang
tersedia. Untuk proses pengadaan sarana harus
mempertimbangkan lebih banyak dan semuanya bersifat
edukatif. Adapun tahap-tahap perencaaan sarana (alat
pelajaran) sebagai berikut:

85
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

a. Mengadakan analisis tentang mata pelajaran apa


saja yang membutuhkan sarana dalam penyampaian
pembelajarannya. Hal ini dilakukan oleh para guru
bidang studi.
b. Apabila kebutuhan sarana yang diajukan para guru
melampaui kemampuan daya beli sekolah, maka
diadakan seleksi yang berdasarkan pada prioritas
terhadap alat-alat yang mendesak pengadaannya.
c. Mengadakan inventarisasi terhadap alat atau me-
dia yang telah ada. Alat yang sudah ada ini perlu
ditinjau lagi, dan mengadakan re-inventarisasi.
d. Mengadakan seleksi terhadap alat pelajaran/media
yang masih dapat dimanfaatkan, baik dengan
reparasi atau modifikasi maupun tidak.
e. Mencari dana apabila masih kekurangan dana dalam
pengadaaan sarana pendidikan.
f. Menunjuk seseorang dalam melaksanakan
pengadaan sarana dan prasarana. Penunjukkan ini
sebaiknya berdasarkan pada keahlian, kelincahan
berkomunikasi, kejujuran, dan sebagainya.
2) Pengadaan Sarana dan Prasarana
Pengadaan sarana pendidikan merupakan kegiatan
yang bertujuan untuk memperoleh sarana pendidikan
yang dibutuhkan untuk kelancaran proses pendidikan
dan pengajaran. Pengadaan sarana pendidikan dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Pembelian artinya sarana pendidikan tersebut harus
dibeli sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
b. Membuat sendiri yaitu sarana pendidikan dapat
dibuat sendiri oleh sekolah.

86
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

c. Menerima hibah atau bantuan atau sumbangan dari


pihak lain, dan menyewa atau meminjam artinya
sarana pendidikan yang diperlukan disewa atau
dipinjam dari pihak lain dalam jangka waktu
tertentu.
d. Guna susun artinya suatu pengadaan barang dengan
menggunakan barang-barang yang sudah tidak
bisadipakai kemudian disusun kembali sehingga
menjadi sarana pendidikan atau daur ulang.
3) Pemeliharaan dan Penyimpanan Sarana dan
Prasarana
Kegiatan setelah proses pengadaan adalah penca-
tatan, penyimpanan, dan pemeliharaan sarana pendi-
dikan. Pencatatan atau yang lebih dikenal dengan
inventarisasi harus dilaksanakan secara terperinci.
Tujuan dari inventarisasi adalah sebagai berikut:
a. Tertib administrasi dan tertib sarana pendidikan
b. Pendaftaran, pengendalian dan pengawasan setiap
sarana
c. Usaha untuk memanfaatkan penggunaan setiap
sarana
d. Menunjang proses pembelajaran
4) Penggunaan Sarana dan Prasarana
Sarana pendidikan yang disediakan dimaksudkan
untuk memperlancar proses pembelajaran. Sarana
pendidikan ditinjau dari fungsinya dapat digolongkan
menjadi:
a) Sarana pendidikan yang langsung digunakan dalam
proses pembelajaran, seperti alat pelajaran, alat
peraga, dan media pendidikan.

87
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

b) Sarana pendidikan yang tidak langsung terlibat


dalam proses pendidikan (pra sarana) seperti
gedung, perabot kantor, kamar mandi dan
sebagainya.
Pengaturan penggunaan sarana pendidikan
dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:
a) Banyaknya sarana pendidikan untuk tiap-tiap
jenisnya.
b) Banyaknya kelas masing-masing level.
c) Banyaknya peserta didik dalam tiap-tiap kelas.
d) Banyaknya ruang atau kelas yang ada di sekolah.
e) Banyaknya guru atau karyawan yang terlibat dalam
penggunaan sarana pendidikan.
Dengan memperhatikan faktor-faktor di atas
penggunaan sarana pendidikan dapat diatur sebagai
berikut:
a) Sarana pendidikan untuk kelas tertentu.
Maksudnya suatu alat yang hanya digunakan untuk
kelas tertentu sesuai dengan materi kurikulum, jika
banyaknya alat untuk mencukupi banyaknya kelas,
maka sebaiknya alat-alat disimpan di kelas agar
mempermudah penggunaan.
b) Sarana pendidikan untuk beberapa kelas.
Apabila jumlah alat yang tersedia terbatas, padahal
yang membutuhkan lebih dari satu kelas, maka alat-
alat tersebut terpaksa digunakan bersama secara
bergantian atau dibuat jadwal penggunaan.
c) Sarana pendidikan untuk semua kelas.
Penggunaan alat untuk semua kelas dapat dilakukan
dengan membawa ke kelas yang membutuhkan

88
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

secara bergantian atau siswa yang akan menggu-


nakan mendatangi ruangan tertentu.
d) Sarana pendidikan yang dapat digunakan oleh
umum.
Sarana pendidikan yang digunakan untuk beberapa
kelas dan semua peserta didik, dan mereka yang
akan membutuhkannya akan dibawa ke ruang atau
kelas tersebut disebut kelas berjalan.
5) Penghapusan Sarana dan Prasarana
Kerusakan kecil pada sarana pendidikan masih
mungkin diperbaiki tetapi apabila kerusakan besar
diperbaiki sudah tidak ekonomis, efektif dan efisien,
sarana tersebut sebaiknya dihapuskan. Penghapusan
sarana dari daftar inventaris berfungsi sebagai berikut:
a) Mencegah atau mengurangi kerugian yang lebih
besar.
b) Mengurangi pemborosan biaya.
c) Meringankan beban kerja inventarisasi.
d) Membebaskan tanggung jawab satuan organisasi
terhadap suatu barang atau sarana pendidikan.
Beberapa pertimbangan yang dapat dipakai sebagai
alasan penghapusan sarana pendidikan adalah sebagai
berikut:
a) Dalam keadaan rusak berat sehingga tidak dapat
dipergunakan atau diperbaiki lagi.
b) Perbaikan memerlukan biaya yang besar sehingga
tidak ekonomis.
c) Kegunaan sarana pendidikan tidak sebanding
dengan biaya pemeliharaan dan perbaikannya.

89
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

d) Penyusutan sarana di luar kekuasaan pengurus


sarana.
e) Tidak sesuai dengan kebutuhan saat ini.
f) Barang kelebihan, jika disimpan lebih lama akan
rusak dan tidak terpakai lagi.
g) Adanya penurunan efektifitas kerja.
h) Barang atau sarana pendidikan sudah tidak ada,
karena dicuri, terbakar atau hilang.
Penghapusan barang atau sarana pendidikan dapat
dilakukan dengan berbagai macam antara lain:
a) Penjualan, barang atau sarana pendidikan dijual.
b) Tukar menukar barang, barang yang tidak dipakai
ditukarkan dengan barang baru atau sarana baru.
c) Dihibahkan, barang atau sarana pendidikan yang
tidak dipakai dihibahkan kepada lembaga lain yang
membutuhkan.
d) Dibakar, barang yang tidak mungkin dijual atau
dihibahkan bisa dibakar.
Sebelum tahap penghapusan, sebenarnya ada tahap
pengendalian, apabila dibutuhkan.Maksudnya sebelum
dilakukan penghapusan barang atau sarana maupun
prasarana pendidikan, maka dievaluasi terlebih dahulu
atau dikendalikan.Hal tersebut bertujuan penghematan
anggaran, yaitu barang yang sudah rusak kalau
memungkinkan bisa diperbaiki, sehingga dapat
digunakan kembali.Inilah yang disebut sebagai tahap
pengendalian, dimana harus dilakukan penyortiran
barang sebelum penghapusan.
Pengawasan (supervisi) terhadap sarana dan
prasarana pendidikan di sekolah menjadi tanggung
jawab pemimpin pendidikan yaitu kepala sekolah

90
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

beserta waka sarana prasarana. Supervise bisa dilakukan


setiap saat maupun secara periodik (berkala), sehingga
manajemen sarana dan prasarana akan tertata dengan
tertib, dan dapat difungsikan sebagai penunjang proses
pembelajaran sebagaimana mestinya.

5. Manajemen Pembiayaan Pendidikan


Pembiayaan pendidikan merupakan unsur yang sangat
penting bagi penyelenggaraan pendidikan. Sehingga proses
pendidikan tidak dapat terlaksana dengan baik tanpa ditopang
biaya.
Pendidikan dipandang sebagai sektor publikyang dapat
melayani masyarakat dengan berbagai pembelajaran,
bimbingan dan latihan yang dibutuhkan oleh peserta didik.
Manajemen pembiayaan dalam lembaga pendidikan berbeda
dengan manajemen pembiayaan perusahaan yang berorientasi
profit atau laba. Organisasi pendidikan dikategorikan sebagai
organisasi publik yang nirlaba (non profit).Oleh karena itu,
manajemen pembiayaan memiliki keunikan sesuai dengan
misi dan karakterisrik pendidikan.
Penerapan peraturan dan sistem manajemen pembiayaan
yang baku dalam lembaga pendidikan tidak dapat disangkal
lagi. Permasalahan yang terjadi didalam lembaga terkait
dengan manajemen pembiayaan pendidikan diantaranya
sumber dana yang terbatas, pembiayaan program yang
serampangan, tidak mendukung visi, misi dan kebijakan
sebagaimana tertulis didalam rencana strategis lembaga
pendidikan. Disatu sisi, lembaga pendidikan perlu dikelola
dengan tata pamong yang baik (good governance), sehingga
menjadikan lembaga pendidikan yang bersih dari berbagai
malfungsi dan malpraktik pendidikan yang merugikan
pendidikan.

91
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

a. Pengertian manajemen pembiayaan pendidikan


Pada dasarnya, manajemen pembiayaan pendidikan
merupakan kegiatan yang berkaitan dengan sumber,
penggnaan dan pertanggungjawaban dana disuatu lembaga
pendidikan.
Adapun Badrudin dkk (2004:62) memberikan definisi
administrasi pembiayaan adalah pengelolaan biaya yang
berhubungan dengan pendidikan mulai dari tingkat
perencanaan sampai pada pengukuran biaya yang efisien
dalam proses pendidikan. Sedangkan Masyhud (2005:187)
mengemukakan bahwa administrasi pembiayaan dalam arti
luas, yaitu suatu kebijakan dalam pengadaan keuangan
untuk mewujudkan kegiatan kerja yang berupa perenca-
naan, pengurusan dan pertanggungjawaban lembaga
terhadap penyandang dana, baik individual maupun
lembaga.
Istilah administrasi pada kedua pengertian tersebut
dalam hal ini dikonotasikan dengan manajemen atau
pengelolaan.Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam
manajemen pembiayaan pendidikan terdapat kegiatan yang
meliputi perencanaan pembiayaaan pendidikan atau
penyusunan anggaran, pelaksanaan pembiayaan pendi-
dikan atau pembukuan dan pengawasan serta pertanggung-
jawaban.
b. Prinsip manajemen pembiayaan pendidikan
Manajemen pembiayaan pendidikan mengacu pada
prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Sesuai dengan rencana anggaran
2. Terarah dan terkendali diselaraskan dengan rencana
kegiatan
3. Transparan atau terbuka

92
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

4. Efisien dan efektif sesuai petunjuk dan tehnis(juknis).


5. Berusaha memanfaatkan produksi dalam negeri
c. Sumber-sumber pembiayaan pendidikan
Dalam UUD 1945 pasal 31, ayat 1 dan 2 mengamanat-
kan bahwa :setiap warga Negara berhak mendapatkan
pengajaran, pemerintah mengusahakan dan melaksanakan satu
system pengajaran nasional.Jika perhatikan secara seksama
dari pengertian diatas bahwa yang menjadi sumber biaya
untuk terlaksananya pendidikan dan pengajaran bagi
semua warga negaranya.Akan tetapi pada dewasa ini masih
banyak orang yang belum merasakan kesempatan belajar.
Oleh karena itu dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional No. 20 tahun 2003, ditegaskan secara jelas bahwa
pengadaaan dan pendayagunaan sumber-sumber daya
pendidikan dilakukan oleh semua pihak termasuk
didalamnya adalah pemerintah, masyarakat, serta keluarga
peserta didik, untuk mempermudah dalam memberi
kesempatan belajar bagi semua warga negaranya.
Sedangkan Supriadi (2003:5) mengatakan bahwa
sumber-sumber biaya pendidikan adalah sebagai berikut:
1) Dari Pemerintah Pusat dan Daerah
Pada tingkat pusat (nasional) berasal dari a) sektor
pajak; b) sektor pajak, seperti pemanfaatan sumber daya
alam (gas atau non migas); c) keuntungan dari ekspor
barang dan jasa; d) investasi saham pada perusahaan
Negara (BUMN), dan e) bantuan dalam bentuk hibah
(grant) dan pinjaman luar negeri (loan) dari lembaga-
lembaga keuangan internasional (Bank Dunia, ADB,
IMF, IDB) maupun kerja sama multilateral atau bilat-
eral.

93
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Sedangkan pada tingkat propinsi dan kabupaten/


kota (Daerah), pembiayaan pendidikan sebagian besar
dari dana yang diturunkan pemerintah pusat ditambah
dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dituangkan
dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (RAPBD).
Sejalan dengan berlakunya otonomi daerah (era
desentralisasi) sekarang, tanggungjawab pengalikasian
dana diserahkan sepenuhnya kepada daerah dalam
bentuk paket yaitu Dana Alokasi Umum (DAU) dan
Dana Alokasi Khusus (DAK).
Pada daerah-daerah yang mempunyai sumber daya
alam yang dikuasai Negara (misal hasil tambang) seperti
Aceh, Riau, Kalimantan Timur, Irian Jaya), disamping
pendapatan dari PADS dan DAU juga dari bagi kasil
yang diturunkan pemerintah pusat ke Daerah (propinsi)
kemudian diteruskan ke tingkat kabupaten/kota.
Sehingga daerah-daerah tersebut sangat mungkin untuk
mengalokasikan dana yang lebih besar untuk bidang
pendidikan.
2) Pada level satuan pendidikan (sekolah), biaya
pendidikan diperoleh dari subsidi pemerintah pusat
melalui pemerintah daerah yang disebut Bantuan
Operasional Sekolah (BOS). BOS diterima sekolah
setiap 3 bulan sekali, dengan nominal yang bervariasi,
disesuaikan dengan jumlah peserta didik di sekolah,
semakin banyak jumlah peserta didik maka
penerimaannya semakin besar. Namun tidak semua
sekolah mau menerima BOS, karena konsekuensi
penerima BOS tidak boleh menarik biaya pendidikan
dari orang tua peserta didik. Hal ini sejalan dengan
program pemerintah tentang wajib belajar 12 tahun.
Artinya proses pendidikan dari jenjang pendidikan

94
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

dasar sampai menengah gratis. Pada sekolah-sekolah


tertentu (misal sekolah unggulan) yang sudah terbiasa
menghabiskan biaya operasional sekolah yang tinggi,
maka lebih memilih menarik Sumbangan Pembinaan
Pendidikan (SPP) dari orang tua peserta didik dari pada
mengandalkan kontribusi pemerintah (BOS) yang
jumlahnya relative kecil. Dalam realitasnya, banyak
sekolah yang menerima BOS, tetapi masih
memanfaatkan iuran keluarga peserta didik melalui
musyawarah komite sekolah.
Sumber pembiayaan yang lain adalah penerimaan
sumbangan-sumbangan sukarela dari masyarakat,
seperti lembaga swasta atau perusahaan, perorangan
maupun keluarga. Sumbangan yang diberikan tidak
hanya berupa finansial, tetapi juga tanah, tenaga, dan
bahan bangunan untuk kepentingan mendirikan
bangunan sekolah.
d. Kegiatan Dalam Manajemen Pembiayaan
Pendidikan
1) Perencanaan
Menyusun suatu perencanaan pembiayaan atau
rencana anggaran perlu memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
a) Mengidentifikasi kegiatan-kegiatan yang akan
dilakukan selama periode anggaran.
b) Mengidentifikasikan sumber-sumber yang
dinyatakan dalam uang, jasa, dan barang
c) Semua sumber dinyatakan dalam bentuk uang
sebab uang pada dasarnya merupakan pernyataan
finansial

95
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

d) Memformulasikan anggaran dalam bentuk format


yang telah disetujui dan dipergunakan oleh instansi
tertentu
e) Menyusun usulan anggaran untuk memperoleh
persetujuan pihak yang berwenang
f) Melakukan revisi usulan anggaran
g) Persetujuan revisi anggaran
h) Pengesahan anggaran
Kegiatan perencanaan dituangkan dalam Rencana
Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah (RAPBS) yang
mencerminkan power sekolah dalam membiayai
program pendidikannya, dan kadang-kadang dijadikan
gambaran status sosial ekonomi keluarga peserta
didik.RAPBS terdiri dari rencana pendapatan dan
rencana pengeluaran (belanja sekolah). Dalam rencana
pendapatan, terdapat beberapa komponen sumber
pembiayaan (sudah dipaparkan dimuka). Sedangkan
dalam rencana pengeluaran terdiri dari komponen gaji
guru/pegawai, dan non gaji yaitu pemeliharaan,
pengadaan sarana penunjang seperti alat peraga,
pelaksanaan proses pembelajaran dan program
ekstrakurikuler.
2) Pelaksanaaan
Pelaksanaan administrasi keuangan terdiri dari hal-
hal sebagai berikut:
a) Pengurusan Keuangan. Hal-hal yang berkenaan
dengan pengurusan keuangan adalah:
1) SK Bendaharawan Sekolah
2) Bendaharawan bukan Guru atau Kepala Tata
Usaha

96
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

3) Penunjukkan Bendaharawan memenuhi


persyaratan
4) Pemeriksaan keuangan oleh Kepala Sekolah
5) Pemisahan antara bendaharawan: Rutin, BOS,
SPP, Komite Sekolah
b) Kelengkapan Tata Usaha keuangan sekolah,
meliputi:
1) Daftar Gaji
2) Daftar lembur dan atau daftar honorarium
3) Buku kas tabelaris, buku kas dan buku kas
pembantu
4) Tempat penyimpanan uang, kertas berharga dan
tanda bukti pengeluaran
5) Brand kas
c) Pencatatan Keuangan, Pencatatan keuangan terdiri
dari:
1) Pengerjaan pembukuan kas umum/tabelaris
sesuai dengan peraturan yang berlaku
2) Penerimaan SPMU otorisasi rutin, dibukukan
pada buku register SPMU, sedangkan
penerimaan OPP dalam buku tersendiri
3) Penerimaan dan penyetoran SPP dibukukan
sesuai dengan peraturan yang berlaku (tanda
bukti setoran)
4) Penerimaan dan penggunaan DPP dibukukan
sesuai dengan peraturan yang berlaku
5) Penerimaan dan penyetoran PPh dan PPn
dibukukan pada buku kas umum/tabelaris

97
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

6) Penerimaan dan penggunaan dana bantuan


pemerintah setempat atau dari Komite Sekolah
dibukukan dalam buku kas khusus
7) Telah dibuat berita acara penutupan kas pada
saat penutupan buku kas setiap tiga bulan
(inspeksi mendadak minimal tiga bulan sekali)
8) Tanda bukti pengeluaran (surat pertanggungan
jawab disampaikan ke KPKN, tidak melewati
tanggal 10 bulan berikutnya)
9) Laporan penggunaan keuangan menurut
sumbernya kepada atasan yang bersangkutan
10)Peringatan/teguran tertulis kepada Bendaha-
rawan apabila ada penggunaan uang yang tidak
sesuai dengan tanda bukti yang ada dan
penggunaan diluar rencana
11)Perlu diperhatikan/diteliti ada tidaknya
tunggakan untuk pembayaran listrik, telepon,
air, atau gas pada sekolah yang bersangkutan
3) Pengawasan
Pengawasan adalah usaha untuk mencegah terjadi-
nya penyimpangan dari aturan, prosedur atau ketentuan
dengan pengawasan (controlling) diharapkan penyim-
pangan yang mungkin terjadi dapat ditekan sehingga
kerugian dapat dihindari. Pengawasan dapat ditempuh
melalui:
Pemeriksaan Kas
Pemeriksaan adalah suatu proses sistematis untuk
memperoleh bukti secara objektif tentang
pernyataan-pernyataan berbagai kejadian/kegiatan
sekolah dengan tujuan untuk menetapkan tingkat
kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut

98
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

dengan kriteria yang telah ditetapkan, dan


penyampaian hasil-hasilnya kepada yang
berkepentingan.
Prosedur pemeriksaan kas yang biasa dilakukan
adalah sebagai berikut :
a) Dilakukan dengan tiba-tiba
b) Bendaharawan wajib mengeluarkan uang yang
dikuasainya dalam lingkup tanggung jawab
atasnya
c) Adakah bukti-bukti pembayaran yang belum
dibukukan
d) Adakah surat-surat berharga
e) Bendaharawan harus membuat surat pernyataan
dengan bentuk yang sudah dibaukan
f) Adakah bukti-bukti pengeluaran yang belum
disahkan oleh kepala sekolah
g) Sisa kas harus sama dengan sisa kas di buku
umum
h) Setelah selesai pemeriksaan kas, perlu dibuat
register penutupan buku kas
i) Selanjutnya buku ditutup dan ditandatangani
oleh bendahara dan kepala sekolah
j) Buat berita acara pemeriksaan kas dengan for-
mat yang telah ditentukan
k) Sampaikan berita pemeriksaan kas

4) Pertanggungjawaban
Pertanggungjawaban dapat disampaikan kepada
kepala sekolah (pimpinan), sumber pemberi dana
maupun kepada personil sekolah untuk dapat diketahui
bersama. Hal ini perlu dilakukan mengingat “keuangan”

99
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

adalah hal yang sangat sensitive. Ketidakjelasan laporan


pertanggungjawaban keuangan sekolah akan menambah
anggapan negative terhadap kepala sekolah dalam hal
penyelenggaraan keuangan sekolah yang tidak tertib.
Masalah pembiayaan pendidikan di Indonesia
sangat kompleks, karena sistem anggarannya yang
rumit, birokratis, kaku dan melibatkan banyak instansi
dengan aturannya masing-masing. Pada era otonomi
daerah sekarang ini juga belum banyak perubahan.
Anggaran pendidikan tetap sangat kompleks perma-
salahan, sehingga sering terjadi kebocoran maupun
pemborosan dalam pengelolaannya.

6. Manajemen Tata Usaha (Tata Laksana) Pendidikan


a. Pengertian Manajemen Tata Usaha
Tata Usaha (Tata Laksana) merupakan unit kerja
pendukung dalam suatu organisasi (sekolah) yang
mempunyai kedudukan penting dan strategis dalam
pencapaian tujuan suatu lembaga.
Sedangkan Manajemen Tata Usaha adalah kegiatan
pengelolaan teknis surat-menyurat sesuai dengan
fungsinya yaitu mulai dari menerima (menghimpun),
mencatat, mengolah, menggandakan, mengirim, dan
menyiapkan semua bahan informasi yang diperlukan
organisasi (sekolah).
b. Fungsi Tata Usaha
Berdasarkan pengertian Tata Usaha, maka fungsi tata
usaha tidak lain mencakup 6 (enam) kegiatan yang
berkaitan dengan clerical work atau pekerjaan tulis-menulis,
yaitu:
1) Menghimpun: yaitu kegiatan-kegiatan mencari data,
mengusahakan tersedianya segala keterangan yang

100
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

tadinya beluma ada, sehingga siap untuk dipergunakan


bilamana diperlukan.
2) Mencatat: yaitu kegiatan membubuhkan dengan
berbagai peralatan tulis keterangan yang diperlukan
sehingga terwujud tulisan yang dapat dibaca, dikirim
dan disimpan. Dalam perkembangan teknologi mod-
ern, maka dapat termasuk alat-alat perekam suara.
3) Mengolah: bermacam kegiatan mengerjakan
keterangan-keterangan dengan maksud menyajikan
dalam bentuk yang lebih berguna.
4) Menggandakan: yaitu kegiatan memperbanyak dengan
berbagai cara dan alat.
5) Mengirim: yaitu kegiatan menyampaikan dengan
berbagai cara dan alat dari satu pihak kepada pihak
lain.
6) Menyimpan: yaitu kegiatan menaruh dengan berbagai
cara dan alat di tempat tertentu yang aman.
c. Ruang Lingkup Kegiatan Tata Usaha Sekolah
Di sekolah memerlukan kegiatan Tata Usaha yang
tertib dan terarah.Pada lembaga pendidikan yang belum
ada bagian tata usaha, maka kegiatan tehnis persekolahan
biasanya diserahkan kepada masing-masing guru kelas dan
bertanggung jawab langsung kepada kepala sekolah. Ruang
lingkup kegiatan tata usaha sekolah secara global meliputi
hal-hal sebagai berikut:
1) Menyusun Program Kerja tata usaha sekolah
2) Pengelolaan keuangan sekolah
3) Pengurusan manajemen ketenagaan dan peserta didik
4) Pembinaan dan pengembangan karier pegawai tata
usaha sekolah
5) Penyusunan manajemen perlengkapan sekolah

101
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

6) Penyusunan dan penyajian data/statistik sekolah


7) Mengkoordinasikan dan melaksanakan 7 K
(Kebersihan, Kesehatan, Keamanan, Ketertiban,
Keindahan, Kekeluargaan dan Keseimbangan)
8) Penyusunan laporan pelaksanaan kegiatan, pengurusan
ketatausahaan secara berkala
9) Pengurusan manajemen persuratan
10) Pengelolaan perpustakaan
11) Pengelolaan laboratorium
12) Pengelolaan Tugas Pokok Pesuruh atau Penjaga Sekolah
Secara terperinci kegiatan-kegiatan tersebut menjadi
tugas pokok atau job description masing-masing bagian, di
antaranya:
a) Tugas Pokok Bendaharawan Sekolah
Melaksanakan seluruh Manajemen Keuangan
Sekolah, meliputi keuangan rutin atau UYHD (Usaha
Yang Harus Dipertanggungjawabkan) atau BOPS (Biaya
Operasional Penyelenggaraan Sekolah), Dana BOS,
Dana Komite Sekolah dan Dana dari sumber lainnya,
bertanggung jawab langsung kepada Kepala Tata Usaha,
dengan rincian tugas sebagai berikut:
• Menyimpan Dokumen, Rekening Giro atau Bank
Keuangan sekolah
• Mengajukan Pembayaran
• Membuat Laporan Penggunaan Keuangan BOPS,
BOS, Komite Sekolah dan sumber lainnya.
• Melaksanakan Pengambilan dan Pengembalian
serta pembayaran Keuangan Negara sesuai
petunjuk.
• Menyimpan arsip/dokumen dan SPJ Keuangan

102
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

• Membuat Laporan posisi anggaran (daya serap)


• Membuat Lembar Hasil Waskat
• Menjadi / melaksanakan tugas kebendaharaan dari
setiap kepanitiaan yang dibentuk sekolah. mem-
bentuk keuangan berdasarkan sumber keuangan-
nya pada buku kas umum, pembantu dan tabelaris.
b) Tugas pokok urusan inventarisasi dan
perlengkapan
Melaksanakan Manajemen Inventarisasi dan
Kelengkapan sekolah bertanggung jawab kepada Kepala
Tata Usaha, dengan rincian tugas sebagai berikut:
• Mencatat Penerimaan Barang Inventaris dan Non
Iventaris
• Mengisi Buku Induk Iventaris
• Mengisi Buku Golongan Inventaris
• Membuat Buku Penerimaan dan Pengeluaran
Barang Non Inventaris
• Membuat Buku Pengeluaran / Penggunaan Barang
Inventaris
• Membuat Kode/Sandi pada Barang Inventaris
• Membuat Laporan Keadaan Barang Inventaris
• Mengisi Kartu Barang
• Membuat Berita Acara Penghapusan Barang
Inventaris
• Menyimpan Dokumen Kepemilikan Barang-barang
Inventaris dan dokumen lainnya
• Membuat Daftar kebutuhan Sarana atau Prasarana
atau ruang
• Membuat Daftar Pengumuman Barang Inventaris
pada setiap ruangan

103
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

c) Tugas Pokok Urusan Manajemen Kepegawaian


• Mengisi Buku Induk Pegawai
• Membuat DUK. R7/R6 (F-3) dan DSO (F-1,2) guru
atau pegawai
• Membuat Daftar Prediksi Kenaikan Tingkat atau
Golongan gaji Berkala Guru/Pegawai
• Membuat dan mengajukan berkas usul permo-
honan kenaikan Gaji Berkala Guru atau Pegawai
• Membuat Daftar hadir Guru dan Pegawai
• Menyimpan Berkas data atau arsip Kepegawaian
• Membuat SK Pembagian Tugas dan Surat Tugas
• Membuat Daftar Gaji
• Membuat Daftar Pembayaran Honorarium dan
Kesejahteraan
d) Tugas Pokok Urusan Manajemen Peserta Didik
Melaksanakan Manajemen Peserta Didik, ber-
tanggung jawab kepada Kepala Tata Usaha, dengan
rincian tugas sebagai berikut:
• Membuat Daftar Nomor Induk Peserta Didik
• Mengisi Buku Klaper Peserta Didik
• Mengisi Buku Induk Peserta Didik
• Mengisi Buku Mutasi Peserta Didik
• Membuat Daftar Keadaan Peserta Didik
• Membukukan Daftar Keadaan Peserta Didik
• Membukukan Daftar Peserta Didik
• Mencatat Pendaftaran Peserta Didik
• Membuat usulan peserta ujian
• Menyimpan daftar Lulusan

104
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

• Menyimpan Daftar Penerimaan atau penyerahan


STTB
• Menyimpan Daftar kumpulan nilai (leger)
• Menyediakan Blanko Pemanggilan Orang Tua
Peserta Didik
• Membuat Surat keterangan dan surat mutasi
Peserta Didik
• Menyediakan Blanko izin keluar masuk kelas
• Mengisi papan data keadaan Peserta Didik
e) Tugas Pokok Urusan Manajemen persuratan
Melaksanakan Manajemen Persuratan, bertanggung
jawab kepada Kepala Tata Usaha, dengan rincian tugas
sebagai berikut:
• Membuat Nomor Agenda Surat Masuk dan keluar
• Mengisi Buku Agenda Surat Masuk dan Keluar
• Menggandakan surat atau dokumen sekolah
• Mengisi Buku Ekspedisi
• Menyimpan Arsip dan menyampaikan surat
• Memelihara dan menata kearsipan dan dokumen
surat keputusan, laporan dan lainnya.
• Membantu kelancaran manajemen sekolah
• Menyimpan dan menjaga kerahasiaan data sekolah
f) Tugas Pokok Pengelola perpustakaan
Melaksanakan Manajemen Perpustakaan, ber-
tanggung jawab kepada Kepala Tata Usaha, dengan
rincian tugas sebagai berikut:
• Mengisi buku induk Perpustakaan dan Buku Paket
• Membuat Nomor/Kode Klasifikasi Buku
• Membuat Buku Pengunjung Perpustakaan

105
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

• Membuat Kelengkapan Kartu, Date due slip,


Katalog Anggota Peminjam
• Membuat Statistik/Grafik Pengunjung dan
peminjam
• Membuat Laporan Keadaan Buku
• Membuat Daftar penggunaan barang inventaris di
perpustakaan
g) Tugas Pokok Pengelola Laboratorium
Melaksanakan Manajemen Laboratorium, ber-
tanggung jawab kepada kepala Tata Usaha, dengan
rincian sebagai berikut:
• Mencatat/Membukukan barang-barang labora-
torium
• Menyediakan Buku Penggunaan barang labora-
torium
• Membuat daftar penggunaan laboratorium
• Melayani kebutuhan alat-alat praktikum
• Menata, menjaga, dan merawat alat-alat labora-
torium
• Membuat daftar laporan keadaan dan mutasi alat-
alat
• Membuat daftar kebutuhan bahan praktikum
h) Tugas Pokok Pesuruh atau Penjaga sekolah
Melaksanakan Kegiatan kebersihan dan pengamanan
sekolah, bertanggung jawab kepada Kepala Tata Usaha,
dengan rincian sebagai berikut:
• Menjaga dan melaksanakan kebersihan ruang
seluruh bangunan sekolah

106
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

• Membantu menyediakan kebutuhan guru/pegawai


• Menyiapkan air minum
• Mencuci dan menyimpan alat-alat minum dan
makan
• Membuka dan mengunci seluruh ruangan
• Kebersihan toilet
• Kebersihan dan kerapihan taman Sekolah
• Melaksanakan piket malam, dan sebagainya.
Kegiatan Tata Usaha harus menjunjungfungsi
manajemen, sehigga perlu direncanakan, diarahkan,
dikoordinasikan, dikontrol dan dikomunikasikan secara
efektif dan efisien. Demikian pula, kegiatan Tata Usaha
sering disebut sebagai Manajemen perkantoran, (office
management), namun tidak sekedar berkaitan dengan
tugas tulis-menulis, akan tetapi menyangkut pula unsur-
unsur pengaturan dan penyediaan tempat kerja, lokasi
belajar yang nyaman dengan sistem kerja yang efektif.
7. Manajemen Hubungan Masyarakat
a. Pengertian Manajemen Hubungan Sekolah
Dengan Masyarakat
Istilah hubungan sekolah dengan masyarakat
merupakan terjemahan dari Public School Relations yang
bermakna hubungan timbal balik antara lembaga
pendidikan (sekolah) dengan masyarakat atau lingkungan
terkait.
Kegiatan humas di sekolah dimaksudkan sebagai
hubungan masyarakat internal dan eksternal.Dalam
hubungan internal terjadi komunikasi antar warga sekolah
yang terdiri dari Kepala Sekolah, Dewan guru, Tenaga Tata
usaha dan peserta didik. Sedangkan humas eksternal
merupakan hubungan sekolah dengan masyarakat di luar

107
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

sekolah, meliputi instansi terkait, lembaga-lembaga


pendidikan, komite sekolah, tokoh-tokoh masyarakat dan
masyarakat pada umumnya.
b. Pentingnya Kegiatan Humas
Keberhasilan pendidikan tidak hanya ditentukan oleh
proses pendidikan di sekolah dan tersedianya sarana dan
prasarana saja, tetapi juga ditentukan oleh lingkungan
keluarga dan atau masyarakat. Karena itu pendidikan
adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah
(sekolah), keluarga dan masyarakat. Ini berarti mengisya-
ratkan bahwa orang tua peserta didik dan masyarakat
mempunyai tanggung jawab untuk berpartisipasi, turut
memikirkan dan memberikan bantuan dalam penye-
lenggaraan pendidikan di sekolah.
Tingkat partisipasi yang tinggi dari orang tua peserta
didik dalam pendidikan di sekolah merupakan salah satu
ciri dari pengelolaan sekolah yang baik, artinya sejauh mana
masyarakat dapat diberdayakan dalam proses pendidikan
di sekolah adalah indikator terhadap manajemen sekolah
yang bersangkutan. Pemberdayaan masyarakat dalam
pendidikan ini merupakan sesuatu yang esensial bagi
penyelenggaraan sekolah yang baik. Tingkat partisipasi
masyarakat dalam proses pendidikan di sekolah ini
memberikan pengaruh yang besar bagi kemajuan sekolah,
kualitas pelayanan pembelajaran di sekolah yang pada
akhirnya akan bermuara pada kemajuan dan prestasi belajar
peserta didik di sekolah.
Tentu saja keterlibatan masyarakat termasuk orang tua
peserta didik sangat bergantung pada usaha dan kreatifitas
sekolah dalam memberdayakannya sebagai mitra untuk
menuju pendidikan yang berkualitas. Hal ini penting sekali,
sebagai permulaan munculnya perhatian dan dukungan.

108
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

Oleh karenanya komunikasi sekolah terhadap masyarakat


internal maupun eksternal sekolah harus selalu dibangun,
agar mereka turut serta memikirkan dan memberikan
dukungan demi suksesnya pendidikan di sekolah.
Seperti di Negara-negara maju, sekolah memang
dikreasikan oleh masyarakat, sehingga mutu sekolah
menjadi pusat perhatian mereka dan selalu mereka
upayakan untuk dipertahankan. Hal ini dapat terjadi karena
mereka sudah meyakini bahwa sekolah merupakan cara
terbaik dan meyakinkan untuk membina perkembangan
dan pertumbuhan anak-anak mereka. Mengingat keyakinan
yang tinggi akan kemampuan sekolah dalam pembetukan
anak-anak mereka dalam membangun masa depan yang
baik tersebut membuat mereka berpartisipasi secara aktif
dan optimal mulai dalam perencanaan, pelaksana maupun
pengawasan terhadap pengelolaan dan penyelenggaraan
sekolah, karena kesadaran yang tinggi dari masyarakat yang
bersangkutan.
Sehingga hubungan sekolah dengan masyarakat
mempunyai kepentingan yang menguntungkan antara
kedua pihak tersebut.Bagi sekolah, dari informasi dan
penjelasan yang diberikan kepada masyarakat, maka
terbentuklah opini terhadap sekolah. Di samping itu
sekolah mendapatkan berbagai macam sumber daya
masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk proses
pembelajaran dan kegiatan pendidikan yang lain-lain.
Demikian pada masyarakat dapat menggunakan hasil-hasil
pemikiran dan perkembangan pengetahuan serta teknologi
yang bermanfaat bagi masyarakat.

109
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

c. Model dan Tehnik Hubungan Sekolah Dengan


Masyarakat
Dalam manajemen Humas, ada 5 (lima) model
kegiatan humas dengan berbagai pihak, termasuk tehnik
hubungan yang bisa dilakukan. Berikut, paparan
Abdurrahman Mala berdasarkan materi kuliah Adminis-
trasi Pendidikan (tidak diterbitkan):
1) Hubungan Sekolah dengan Komite Sekolah
Perubahan paradigma penyelenggaraan pendidikan
dalam era reformasi, dan era otonomi penyelenggaraan
pendidikan sampai pada tingkat kabupaten.kota dan
bahkan otonomi pada tingkat sekolah, memberikan
keleluasaan bagi setiap sekolah untuk berkreasi dan
berinovasi dalam penyelenggaraan sekolah. Dengan
demikian diharapkan akan memacu percepatan
peningkatan mutu penyelenggaraan sekolah yang pada
gilirannya mempercepat peningkatan mutu hasil belajar
secara keseluruhan. Konsekuensi dari paradigma
pendidikan yang memberikan otonomi sampai pada
tingkat sekolah menuntut sekolah untuk member-
dayakan semua sumber daya yang dimilikinya.Salah satu
sumber daya yang sangat potensial dan dimiliki oleh
sekolah adalah masyarakat dan orang tua peserta didik.
Di Amerika Serikat, pengembangan sekolah di
pedesaan atau di daerah-daerah urban berada di tangan
dewan masyarakat sekolah (SCC-School Community
Council).Dewan ini terdiri dari unsur-unsur tenaga pro-
fessional pendidikan dan anggota masyarakat, dalam
rangka pengembangan staf.Aspek struktural dari
pelibatan masyarakat berarti adanya kesamaan atau
keseimbangan antar struktur yang terlibat dalam
pembuatan keputusan.Aspek prosedural pelibatan

110
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

masyarakat berarti mengandung makna adanya


kesamaan masukan dari kelompok professional dan
anggota-anggota masyarakat dalam menentukan
aktivitas pengembangan staf untuk meningkatkan
praktek-praktek penyelenggaraan seolah yang
berkualitas. Secara organisatoris dewan SCC ini
memiliki tanggung jawab bersama sekolah untuk
meningkatkan mutu pelayanan sekolah. Di sisi lain SCC
ini ternyata juga mempunyai tanggung jawab untuk
melakukan analisis kebutuhan sekolah dan kebutuhan
masyarakat melalui survey yang dilakukannya.
Hasil analisis yang dilakukan dewan ini didiskusi-
kan bersama pihak sekolah denga melibatkan para ahli
seperti konsultan dan sebagainya untuk diterjemahkan
menjadi kebijakan dan program sekolah. Kebijakan
model pelibatan masyarakat dalam pendidikan melalui
lembaga SCC seperti di Amerika ini sebenarnya sudah
sejak lama dikenal dan dilakukan oleh pendidikan dan
persekolahan di Indonesia, mulai dari POM, POMG,
BP3, hingga sekarang yang dikenal dengan Komite
Sekolah. Tetapi hasilnya belum terlalu nampak karena
keterlibatan mereka lebih banyak pada membantu
keuangan sekolah. Akhir-akhir ini pemerintah Indone-
sia dalam hal ini Kemendikbud membuat kebijakan baru
dengan mengganti istilah BP3 menjadi Dewan
Pendidikan di tingkat Kabupaten/Kota dan Komite
Sekolah di tingkat sekolah.
2) Komunikasi dengan masyarakat dan lingkungan
di luar sekolah
Keberadaan sekolah berlandaskan kemauan baik
negara dan masyarakat yang mendukungnya. Oleh
karena itu orang-orang bekerja di sekolah mau tidak

111
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

mau harus bekerja sama dengan masyarakat. Masyarakat


dapat berwujud orang tua peserta didik, badan-badan,
organisasi-organisasi, baik negeri maupun swasta.Salah
satu alasan mengapa sekolah perlu dukungan dari
masyarakat tempat sekolah itu berada ialah karena
sekolah harus dibiayai. Tugas sekolah ialah bagaimana
menumbuhkan rasa ikut memiliki (senseaf belonging) dan
rasa ikut bertanggung jawab (senseresponsibility)
masyarakat terhadap sekolah. Dalam hal ini perhim-
punan administrator sekolah di Amerika Serikat (the
American Association of School Administrators) telah
mengumpulkan beberapa indikator (petunjuk) tentang
hubungan sekolah dengan masyarakat, yaitu bahwa para
kepala sekolah harus memahami:
1. Unsur-unsur penting pada anggota masyarakat
lingkungan sekolah, kesetiaan, kepatuhan dan
perasaan terikat yang ada pada masyarakat, cara-
cara beraksi, menangani ide baru.
2. Tradisi dan adat-istiadat.
3. Organisasi anggota masyarakat.
4. Kepemimpinan/struktur kekuatan yang terdapat
dalam masyarakat.
5. Situasi fisik masyarakat, ciri-ciri pengelompokkan
formal dan hubungan ciri-ciri populasi.
Jika para kepala sekolah memperoleh keterangan –
keterangan di atas, berarti ia mendapat informasi yang
diperlukan untuk mengembangkan hubungan yang
sehat dan sukses antara sekolah dan masyarakat.

112
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

3) Hubungan Sekolah dengan Pemerintah dan


Lembaga Masyarakat
a) Hubungan Sekolah dengan Pemerintah
Dalam era otonomi sekolah, khususnya dengan
implementasi pendekatan manajemen sekolah
berbasis masyarakat, sekolah memang memiliki
keleluasaan dan atau otonomi yang lebih luas.
Otonomi pemerintahan yang berbasis pada
pemerintah daerah Kabupaten/Kota meletakkan
pembinaan dan penyelenggaraan pendidikan berada
di tingkat Kabupaten dan Kota, sehingga nampak-
nya peranan Pemerintah provinsi dan pusat tidak
dominan.Meskipun demikian bukan berarti pusat
dan propinsi tidak memiliki tanggung jawab
terhadap pendidikan.Dalam paradigma otonomi
seperti sekarang diperlukan kemampuan sekolah
(kepala sekolah) untuk membangun kerjasama yang
harmonis dengan berbagai institusi pemerintahan
mulai dari tingkat pusat sampai dengan tingkat
Kabupaten/kota/Kecamatan bahkan kelurahan.
Di samping institusi pemerintahan, sekolah juga
perlu membangun kerjasama yang sinergis dengan
lembaga masyarakat seperti karang taruna,
kepramukaan dan berbagai lembaga LSM yang
bergerak dalam membantu dan membangun
pendidikan.Hal yang sangat penting untuk
diperhatikan dalam kerjasama dengan lembaga ini
adalah jangan sampai sekolah larut dan dapat
dibawa kepada masalah-masalah lain selain untuk
kepentingan pendidikan.Sekolah tidak boleh
terbawa arus kepada kegiatan politik praktis dan
kepentingan kelompok tertentu.

113
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Kerjasama dengan berbagai institusi tersebut di atas


menjadi kemutlakan bagi sekolah dalam upaya
mengembangkan sekolah secara optimal, sebab
sekolah adalah lembaga interaksi sosial yang tidak
bisa lepas dari masyarakat secara keseluruhan,
khususnya masyarakat di sekitarnya.Banyak hal
yang tidak dapat dilakukan sekolah tanpa bantuan
masyarakat tersebut, katakanlah sekolah mengada-
kan perayaan ulang tahun sekolah, untuk menjaga
keamanan, maka sekolah mutlak meminta bantuan
kepolisian atau petugas keamanan lingkungan
setempat. Berbagai bentuk atau tehnik kerjasama
yang dapat dikembangkan dengan berbagai institusi
tersebut antara lain:
1. Pemberian dan atau penggunaan fasilitas
bersama. Berbagai fasilitas yang tidak dimiliki
oleh sekolah mungkin saja terdapat dan dimiliki
oleh lembaga tertentu. Untuk menunjang
kegiatan pendidikan sekolah dapat membangun
kerjasama dengan pemilik fasilitas tersebut.
Misalnya tempat pameran, gedung olah raga dan
lain-lain.
2. Pelaksana kegiatan peningkatan kemampuan
peserta didik. Misalnya sekolah ingin
meningkatkan pemahaman dan kemampuan
peserta didik tentang kesehatan, dapat
bekerjasama dengan puskesmas, dalam
memanfaatkan berbagai fasilitas kesenian (alat-
alat seni, seperti seni tradisional) sekolah bisa
menjalin kerja sama dengan komunitas seni dan
budaya di masyarakat.
3. Pemanfaatan sumber daya manusia secara
mutualism, sekolah dapat memanfaatkan

114
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

sumber daya manusia di masyarakat dan


sebaliknya masyarakat dapat memanfaatkan
sumber daya manusia yang dimiliki sekolah.
b) Hubungan Sekolah Dengan Lembaga Masyarakat
Pada saat ini sangat banyak masyarakat yang
mengikat dirinya dalam satu kelompok organisasi, baik
yang bersifat organisasi sosial, organisasi profesi,
organisasi untuk community tertentu yang bersifat
kedaerahan maupun organisasi yang mementingkan
laba. Dari berbagai organisasi tersebut banyak sekali
yang sangat peduli terhadap pendidikan, tetapi tidak
sedikit juga organisasi yang menjadi stressor bagi dunia
pendidikan.Disadari bahwa organisasi-organisasi
tersebut sangat besar peranannya dalam membantu
pendidikan apabila diberdayakan secara optimal dan
murni. Beberapa organisasi yang memfokuskan dirinya
terhadap pendidikan antara lain: Ikatan Sarjana
Pendidikan Indonesia (IPSI), Ikatan Sarjana Manajemen
Pendidikan Indonesia (ISMAPI), Persatuan Guru
Republik Indonesia (PGRI), Masyarakat Peduli
Pendidikan Indonesia, Asosiasi Bimbingan Konseling
Idonesia (ABKINS), Gerakan Nasional Orang Tua Asuh
(GN OTA) 65, Himpunan Masyarakat Psikologi Indo-
nesia (HIMAPSI), Kelompok Budayawan, Seni Tari dan
Musik, dan lain-lain.
Organisasi tersebut sangat besar manfaatnya
apabila sekolah mampu menjadikannya sebagai mitra
bagi pengembangan dan peningkatan mutu sekolah.
Sebagai contoh, kalau sekolah ingin meningkatkan
bagaimana implementasi manajemen berbasis sekolah
yang berkualitas, maka Ikatan sarjana Manajemen
Pendidikan Indonesia yang ada di masing-masing daerah

115
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

dapat dimanfaatkan sebagai mitra, baik dalam


pengembangan konsep, implementasi kegiatan maupun
dalam pembinaan sehari-hari. Hal yang sama juga dapat
dilakukan kerjasama dengan kelompok seni tari,
misalnya kalau sekolah menyelenggarakan ekstra
kurikuler seni tari musik atau drama. Sangat mungkin
suatu sekolah pada masa sekarang ingin meningkatkan
peran guru di samping sebagai pengajar juga sebagai
pembimbing. Untuk meningkatkan kemampuan guru
tersebut sekolah dapat bekerja sama dengan asosiasi
bimbingan ABKINS (Asosiasi Bimbingan Konseling
Indonesia), atau juga dengan HIMAPSI (Himpunan
Masyarakat Psikologi Indonesia).
Dalam kenyataan sehari-hari sering terjadi
organisasi masyarakat melaksanakan kegiatannya justru
menggunakan sekolah sebagai sasarannya, seperti
pengabdian masyarakat mereka tentang penyuluhan
NARKOBA. Hal ini harus dimanfaatkan oleh sekolah
sebagai peluang dalam pembinaan pesrta didik di
sekolahnya. Oleh sebab itu tidak salah kalau sekolah
selalu memprogramkan berbagai kegiatan tersebut
sebagai upaya meningkatkan mutu di sekolah.
4) Hubungan antara Sekolah dengan Orang Tua
Peserta Didik (Hubungan Edukatif)
Hubungan efektif sekolah, orang tua dan
masyarakat dapat dilakukan melalui:
• Mengadakan pertemuan dengan keluarga dan
kelompok masyarakat untuk memperkenalkan diri.
Jelaskan kepada mereka makna keragaman dalam
kelas dan pelajaran yang ramah.
• Jadwalkan diskusi informal, satu atau dua kali
dalam setahun dengan orang tua dan komite

116
Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan

sekolah untuk menggali potensi belajar peserta


didik mereka. Tunjukkan contoh hasil karya peserta
didik, tekankan bakat dan prestasi yang dimiliki
pesesrta didik, dan bicarakan bagaimana agar dapat
belajar lebih baik jika ia bisa mengatasi
hambatannya.
• Kirim hasil karya peserta didik ke rumahnya agar
orang tuanya mengetahui perkembangan potensi
peserta didik kemudian mintalah pendapat mereka.
• Biasakanlah peserta didik membahas apa yang telah
dipelajari di rumah dengan memanfaatkan infor-
masi pelajaran yang diperoleh dari sekolah. Juga
komunikasikan dengan orang tua bagaimana dan
apa yang telah dipelajari di kelas dengan mengait-
kan kegiatan dan perannya di rumah. Dengan kata
lain, tunjukkan bagaimana pengetahuan yang
diperoleh di kelas bisa digunakan di rumah dan di
masyarakat.
• Lakukan kunjungan sumber belajar di masyarakat
atau minta peserta didik mewawancarai orangtua-
nya, atau kakek neneknya tentang kegiatan saat
masa kanak-kanak dalam kehidupan ber-
masyarakat.
5) Memberi pengertian kepada masyarakat tentang
fungsi sekolah melalui teknik-teknik
komunikasi.
a) Media-media hubungan Sekolah dengan
Masyarakat
• Media visual (majalah, gambar, posterposter dan
sebagainya).
• Media Audio (microphone, telephone,
handphone, radio dan lain-lain).

117
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

• Media Audio Visual (televisi, film, dan


sebagainya).
b) Jalur-jalur komunikasi Sekolah dengan Masyarakat
Ada beberapa jalur yang dapat ditempuh walaupun
demikian jalur yang paling menguntungkan adalah
jalur yang langsung berhubungan dengan peserta
didik dan situasi pertemuan langsung (face to face),
diantaranya adalah:
• Peserta didik
• Surat-surat selebaran dan buletin sekolah.
• Mass Media (Media Masa)
• Pertemuan Informal
• Laporan Kemajuan
• Kontak Formal
Pada dasarnya, lembaga pendidikan bukanlah
lembaga yang berdiri sendiri dalam membina pertum-
buhan dan perkembangan peserta didik, tetapi sekolah
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
masyarakat yang luas, dan bersama masyarakat mem-
bangun dan meningkatkan segala upaya untuk
memajukan sekolah.

118
BAB III
PELAKSANAAN FUNGSI-FUNGSI
MANAJEMEN DALAM LEMBAGA
PENDIDIKAN

alam mengoperasionalisasikan fungsi-fungsi manajemen,


D pendidikan membutuhkan perencanaan pengelolaan yang
baik, sebagaimana adanya pengorganisasian, pengarahan, dan
pengawasan untuk semua kegiatan pendidikan. Fungsi-fungsi
manajemen yang lazim diterapkan pada lembaga atau
organisasi termasuk pendidikan mengacu pada pendapat
Henry Fayol, seorang pakar ilmu manajemen yang memerinci
secara sistematis, yaitu meliputi: (1) planning (perencanaan),
(2) organizing (pengorganisasian), (3) coordinating
(pengoordinasian), (4) commanding (pengarahan), dan (5)
controlling (pengawasan). (Hikmat, 2009 : 39). Di samping
memaparkan fungsi manajemen, Henry Fayol juga
memunculkan azas-azas manajemen yang meliputi (1) azas
pembagian kerja, (2) azas wewenang dan tanggung jawab,
(3) disiplin, (4) kesatuan perintah, (5) kesatuan arah, (6)
azas kepentingan umum, (7) pemberian janji yang wajar, (8)
pemusatan wewenang, (9) azas keteraturan, (10) azas
keadilan, (11) kestabilan masa jabatan, (12) inisiatif, (13)
azas kesatuan.

119
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Pemaparan dalam bab ini meliputi perencanaan, struktur


organisasi dan job description, komunikasi dan koordinasi,
pengawasan dan pengendalian serta diakhiri dengan
pengambilan keputusan dan pemecahan masalah.

A. Perencanaan
Perencanaan adalah suatu rangkaian kegiatan yang telah
ditetapkan sebelumnya untuk mencapai tujuan tertentu.
Sedang Hartani (2011: 23) menjelaskan bahwa perencanaan
pendidikan adalah kegiatan yang akan dilakukan di masa yang
akan datang untuk mencapai tujuan pendidikan. Perencanaan
mengandung unsur-unsur (1) sejumlah kegiatan yang
ditetapkan sebelumnya, (2) adanya proses (3) hasil yang ingin
dicapai, (4) menyangkut masa depan dalam kurun waktu
tertentu.
Mengamati pelaksanaan perencanaan program pendi-
dikan, kepala sekolah bersama-sama stakeholder sekolah
merumuskan dan menetapkan visi-misi sekolah sebagai pra
perencanaan merupakan tolak ukur atau acuan dalam
melakukan program perencanaan pendidikan.
¾ Visi Sekolah:
• Dijadikan sebagai cita-cita bersama warga sekolah dan
segenap pihak yang berkepentingan pada masa yang
akan datang;
• Mampu memberikan inspirasi, motivasi, dan kekuatan
pada warga sekolah dan segenap pihak yang
berkepentingan;
• Dirumuskan berdasar masukan dari berbagai warga
sekolah dan pihak-pihak yang berkepentingan, selaras
dengan visi institusi di atasnya serta visi pendidikan
nasional;

120
Pelaksanaan Fungsi-fungsi Manajemen dalam Lembaga Pendidikan

• Diputuskan oleh rapat dewan pendidik yang dipimpin


oleh kepala sekolah dengan memperhatikan masukan
komite sekolah;
• Disosialisasikan kepada warga sekolah dan segenap
pihak yang berkepentingan;
• Ditinjau dan dirumuskan kembali secara berkala sesuai
dengan perkembangan dan tantangan di masyarakat.
¾ Misi Sekolah:
• Memberikan arah dalam mewujudkan visi sekolah
sesuai dengan tujuan pendidikan nasional;
• Merupakan tujuan yang akan dicapai dalam kurun
waktu tertentu;
• Menjadi dasar program pokok sekolah;
• Menekankan padamutu layanan peserta didik dan
mutu lulusan yang diharapkan oleh sekolah;
• Memuat pernyataan umum dan khusus yang berkaitan
dengan program sekolah;
• Memberikan keluwesan dan ruang gerak
pengembangan kegiatan satuan-satuan unit sekolah
yang terlibat;
• Dirumuskan berdasarkan masukan dari segenap pihak
yang berkepentingan termasuk komite sekolah dan
diputuskan oleh rapat dewan pendidik yang dipimpin
oleh kepala sekolah;
• Disosialisasikan kepada warga sekolah dan segenap
pihak yang berkepentingan;
• Ditinjau dan dirumuskan kembali secara berkala sesuai
dengan perkembangan dan tantangan di masyarakat.
Secara substansial, perencanaan pendidikan mengandung
3 (tiga) hal yang mendasar, yaitu: (1) tujuan pendidikan,

121
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

(2) pertimbangan kebijakan, (3) pelaksanaan rencana


pendidikan. Tujuan pendidikan perlu dirumuskan,
ditetapkan dan dikembangkan, karena merupakan target
yang akan dicapai dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan.
¾ Tujuan pendidikan:
• Menggambarkan tingkat kualitas dan kuantitas yang
perlu dicapai dalam jangka pendek, menengah,
maupun panjang;
• Mengacu pada visi, misi, dan tujuan pendidikan
nasional serta relevan dengan kebutuhan masyarakat;
• Mengacu pada standar kompetensi lulusan yang sudah
ditetapkan oleh sekolah dan pemerintah;
• Mengakomodasi masukan dari berbagai pihak yang
berkepentingan termasuk komite sekolah dan
diputuskan oleh rapat dewan pendidik yang dipimpin
oleh kepala sekolah;
• Disosialisasikan kepada warga sekolah dan segenap
pihak yang berkepentingan.
Dalam mempertimbangkan kebijakan pendidikan secara
umum, perencanaan pendidikan harus mengacu pada
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Di dalam BAB II Pasal 2, dinyatakan
bahwa,
Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-
undang Dasar 1945, dalam pasal 3 dijelaskan bahwa pendi-
dikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yag bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,

122
Pelaksanaan Fungsi-fungsi Manajemen dalam Lembaga Pendidikan

dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung


jawab.
Di samping itu, lebih ditegaskan lagi bahwa sistem
pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan
kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi
dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi
tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal,
nasional dan global, sehingga perlu perubahan pendidikan
terencana dan berkesinambungan.
Rencana pendidikan di sekolah dijadikan sebagai dasar
pengelolaan sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian,
kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas.
Sedangkan isi perencanaan pendidikan tersebut harus
memuat bidang garapan manajemen pendidikan di sekolah
yang meliputi kesiswaan, kurikulum, tenaga personalia,
sarana, dan pra sarana, pembiayaan, budaya, dan lingkungan
sekolah, hubungan masyarakat dan kemitraan, dan Tata
Laksana. Secara terperinci, Husaini (2010: 641) memaparkan
pedoman pelaksanaan rencana pendidikan di sekolah sebagai
berikut:
• Sekolah membuat dan memiliki pedoman yang mengatur
berbagai aspek pengelolaan secara tertulis yang mudah
dibaca oleh pihak-pihak yang terkait.
• Perumusan pedoman sekolah:
1) Mempertimbangkan visi, misi, dan tujuan sekolah;
2) Ditinjau dan dirumuskan kembali secara berkala sesuai
dengan perkembangan masyarakat.
• Pedoman pengelolaan sekolah meliputi:
1) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP);
2) Kalender pendidikan/akademik
3) Pembagian tugas diantara guru;

123
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

4) Pembagian tugas diantara tenaga kependidikan;


5) Peraturan akademik;
6) Tata tertib sekolah;
7) Kode etik sekolah;
8) Biaya operasional sekolah.
• Pedoman sekolah sebagai petunjuk pelaksanaan
operasional.
• Pedoman pengelolaan KTSP, kalender pendidikan, dan
pembagian tugas pendidik dan tenaga kependidikan
dievaluasi dalam skala tahunan, sementara lainnya
dievaluasi sesuai kebutuhan.
Beberapa hal yang berkaitan dengan pelaksanaan
perencanaan pendidikan di sekolah:
• Kegiatan sekolah dilaksanakan berdasarkan macam kerja
minimal satu tahun.
• Dilaksanakan dan penanggung jawab kegiatan berdasarkan
sumber daya yang ada.
• Pelaksanaan kegiatan sekolah yang tidak sesuai dengan
rencana yang sudah ditetapkan perlu mendapatkan
persetujuan melalui rapat dewan pendidik dan komite
sekolah;
• Kepala sekolah mempertanggungjawabkan pelaksanaan
pengelolaan bidang akademik pada rapat dewan pendidik
dan bidang non akademik pada rapat komite sekolah dalam
bentuk laporan pada akhir tahun ajaran yang disampaikan
sebelum penyusunan rencana kerja tahunan berikutnya.

124
Pelaksanaan Fungsi-fungsi Manajemen dalam Lembaga Pendidikan

B. Struktur Organisasi dan Job Description


Organisasi secara umum dapat diartikan memberi
struktur atau susunan yakni orang-orang dalam satu
kelompok kerjasama, dengan maksud menempatkan masing-
masing/penentuan struktur, hubungan tugas, dan tanggung
jawab itu dimaksudkan agar tersusun suatu pola kegiatan
untuk menuju kepadatercapainya tujuan bersama.Sekolah
sebagai suatu lembaga pendidikan yang didalamnya terdapat
kepala sekolah, guru-guru, pegawai tata usaha, dan murid-
murid, memerlukan adanya organisasi yang baik agar jalannya
sekolah itu lancar menuju kepada tujuannya.
Perlunya organisasi sekolah yang baik adalah karena
tugas-tugas di sekolah tidak hanya mengajar saja, juga
pegawai-pegawai tata usaha, pesuruh dan penjaga sekolah,
dan lain-lain, semuanya harus bertanggung jawab dan
diikutsertakan dalam menjalankan roda sekolah itu secara
keseluruhan.Dengan demikian agar jangan terjadi overlapping
(tabrakan) dalam memegang atau menjalankan tugasnya
masing-masing, diperlukan organisasi sekolah yang baik dan
teratur.Dengan organisasi sekolah yang baik dimaksudkan
agar pembagian tugas dan tanggung jawab dapat merata
kepada semua orang sesuai dengan kecakapan dan fungsinya
masing-masing. Tiap orang mengerti dan menyadari tugasya
dan tempatnya dalam struktur organisasi itu.Dengan
demikian, dapat dihindari pula adanya tindakan yang
sewenang-wenang atau otoriter dari kepala sekolah, dan
sebaliknya dapat diciptakan adanya suasana yang demokratis
didalam menjalankan roda sekolah itu.
Struktur organisasi sekolah adalah susunan komponen-
komponen (unit-unit kerja) yang ada di sekolah. Struktur
organisasi tersebut menunjukkan adanya pembagian kerja dari
berbagai unit kegiatan yang berbeda-beda dapat dikondisikan,
digerakkan dan diserasikan sesuai dengan sumber daya
125
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

pendidikan di sekolah. Dengan adanya Struktur Organisasi


Sekolah, semua pimpinan, pendidik, dan tenaga kependidikan
lainnya mempunyai tugas wewenang, dan tanggung jawab
yang jelas tentang keseluruhan penyelenggaraan manajemen
sekolah.
Sebuah sekolah terdiri dari berbagai bagian-bagian yang
keseluruhannya memerlukan pengaturan dan uraian
pekerjaan pada masing-masing bagian tersebut.Oleh
karenanya diperlukan uraian kerja masing-masing. Job descrip-
tion (uraian pekerjaan) merupakan dokumen formal organisasi
yang berisi ringkasan informasi penting mengenai suatu
jabatan untuk memudahkan dalam membedakan pekerjaan
yang satu dengan yang lain dalam suatu organisasi. Uraian
pekerjaan tersebut disusun dalam suatu format yang
terstruktur sehingga informasi mudah dipahami oleh setiap
pihak yang berkaitan di dalam organisasi.
Pada hakikatnya, uraian pekerjaan merupakan bahan baku
dasar dalam pengelolaan SDM di organisasi, dimana suatu
pekerjaan dijelaskan dan diberikan batasan. Informasi dasar
dan penting mengenai jabatan ini diperlukan oleh banyak
pihak, mulai dari pemegang jabatan (agar ia mengerti apa
yang dituntut dari jabatan tersebut), perekrut (agar mengerti
orang seperti apa yang sesuai untuk mengisinya), alasan
(supaya memahami apa yang ia tuntut dari pekerjaan
bawahannya dan menjadi dasar yang objektif untuk
mengkomunikasikan ekspektasi organisasi terhadap
bawahannya, serta dasar untuk pengukuran kinerja), hingga
bagi pengelola pelatihan (agar mengerti kompetensi apa yang
perlu dimiliki oleh setiap pemegang jabatan). Penyusunan
uraian jabatan harus dilakukan dengan baik agar mudah
dimengerti. Untuk itulah diperlukan suatu proses yang
terstruktur pula yang dikenal dengan analisis jabatan.

126
Pelaksanaan Fungsi-fungsi Manajemen dalam Lembaga Pendidikan

Analisa jabatan adalah sebuah proses untuk memahami


suatu jabatan dan kemudian menyadurnya ke dalam format
yang memungkinkan orang lain untuk mengerti tentang
jabatan tersebut. Ada 3 tahap penting dalam proses analisis
jabatan, yaitu (1) mengumpulkan informasi, (2) menganalisis
dan mengelola informasi jabatan, dan (3) menyusun informasi
jabatan dalam suatu format yang baku. Analisis jabatan yang
dilakukan dengan baik akan menghasilkan uraian jabatan yang
baik pula, dan kemudian dapat dijadikan bahan baku yang
baik untuk proses pengelolaan SDM yang lain (evaluasi
jabatan, rekrutmen dan seleksi, manajemen kinerja,
penyusunan kompetensi, pelatihan).
Ada sejumlah prinsip penting yang harus dipegang
adalam melakukan proses analisis jabatan. Pertama, proses
analisis dilakukan untuk memahami apa tanggung jawab
setiapjabatan dan kontribusi hasil jabatan tersebut terhadap
pencapaian hasil atau tujuan organisasi. Dengan analisis ini,
maka nantinya uraian jabatan akan menjadi daftar tanggung
jawab, bukan daftar tugas atau aktivitas. Kedua, yang dianalisis
adalah jabatan, bukan pemegang jabatan yang saat ini
kebetulan sedang memangku jabatan tersebut. Ini penting
untuk menghindari kebiasaan menganalisis jabatan
berdasarkan kemampuan, kinerja, gaya atau metode kerja dari
pemegang jabatan saat ini. Yang perlu dianalisis adalah standar
desain jabatan tersebut berdasarkan struktur organisasi yang
ada saat ini.Ketiga, kondisi jabatan saat ini berdasarkan fakta
yang ada sesuai rancangan strategi dan struktur
organisasi.Prinsip-prinsip ini penting untuk dipahami karena
sering terjadi di banyak organisasi, uraian jabatan dibuat
berdasarkan “selera” masing-masing atasan, atau bahkan
diserahkan untuk dibuat oleh pemegang jabatan.Ini membuat
tidak adanya standar batasan jabatan yang sebenarnya
diinginkan oleh organisasi. Jika hal ini terjadi, maka akan

127
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

mudah untuk diperkirakan munculnyabanyak masalah


mengenai tumpang tindih tanggung jawab antar jabatan, atau
rangkap tanggung jawab oleh karena ada beberapa tanggung
jawab yang ternyata tidak tercakup di jabatan apapun. Juga
akan dapat terjadi adanya jabatan yang beban yang
tanggungjawabnya sangat besar/luas, sementara jabatan lain
terlihat sangat sempit dan ringan, sehingga tidak ada
perimbangan cakupan pekerjaan, yang dapat menimbulkan
banyak masalah.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam job de-
scription (uraian pekerjaan) diantaranya sebagai berikut : 1.
Perumusan fungsi, tugas atau kegiatan yang jelas dan tegas,
2. Penempatan orang secara tepat yaitu atas dasar pertim-
bangan yang obyektif. 3. Kejelasan dan ketegasan wewenang
serta tanggung jawab. 4. Kejelasan pertanggungjawaban dari
masing-masing anggota seperti laporan kegiatan, keuangan
dan lain-lain. 5. Membebaskan pucuk pimpinan (top man-
agement).
Perlunya Job Description Dalam Organisasi Sekolah.
Tidak dapat dipungkiri bahwa di lingkungan sekolah
adalah lingkungan orang-orang yang memiliki sumber daya
manusia yang cukup dalam bidang masing-masing, namun
tidak dapat dielakkan juga kenyataan bahwa dengan
perbedaan latar belakang pengetahuan dan disiplin ilmu
tersebut mengakibatkan lingkungan sekolah rentan dengan
konflik yang tidak perlu.Ini bisa saja diakibatkan oleh mis
manajemen.Oleh karenanya manajemen sumber daya
manusia sangat dibutuhkan di sekolah, dimana dalam MSDM
tersebut berbicara tentang seni mengatur dan mengelola
SDM.
Sumber daya manusia memiliki perbedaan-perbedaan
meskipun latar belakang spesialisasi ilmu yang sama apalagi

128
Pelaksanaan Fungsi-fungsi Manajemen dalam Lembaga Pendidikan

jika berangkat dari spesialisasi dan latar belakang disiplin ilmu


yang berbeda. Sebagai ilustrasi bahwa pemberian perintah
kepada dua orang dengan perintah yang sama dan
penyampaian yang sama akan dapat ditafsirkan berbeda oleh
dua orang tesebut menurut tingkat pemikiran dan kehalusan
perasaan masing-masing dan hal ini tentunya akan sangat
berpengaruh dalam mencapai tujuan organisasi sekolah
tersebut. Oleh karenanya maka benar bahwa manajemen
sumber daya manusia merupakan seni dan sekaligus ilmu,
karena itu menuntut bagaimana dapat melakukan suatu
pengelolaan dengan cara yang dapat diterima oleh semua
orang dengan pemahaman yang diharapkan sama sehingga
tujuan organisasi dapat tercapai secara efektif dan efisien.
Kenyataan ini menguatkan bahwa dalam sebuah
organisasi sekolah yang di dalamnya terdapat berbagai tugas
manajemen, diantaranya manajemen kurikulum, manajemen
kesiswaan, manajemen personalia, manajemen keuangan, dan
manajemen perawatan preventif sarana dan prasarana, semua
harus dapat memastikan bahwa pembagian tugas dapat
terdistribusi dengan baik. Karena job description (uraian
pekerjaan) adalah sebagai dokumen formal organisasi sekolah
yang memuat uraian kerja maka ini menjadi sangat perlu
adanya sehingga dapat dijadikan sebagai dokumen kontrol
pelaksanaan pekerjaan bagi masing-masing pegawai, yang
sekaligus juga dapat dijadikan sebagai kontrol keberhasilan
pekerjaan karyawan atau pegawai tersebut.Selain itu, bagi
organisasi sekolah sendiri ini dapat dijadikan sebagai
pegangan apabila terjadi rolling atau mutasi pegawai sehingga
pegawai baru dapat melaksanakan tugasnya dengan mudah.
Berikut, beberapa contoh pembagian tugas dan job de-
scription Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, dan Kepala
Tata Usaha:

129
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Kepala sekolah, bertugas memimpin dan mengkoor-


dinasikan semua pelaksanaan rencana kerja harian, mingguan,
bulanan, semester, dan tahunan.Juga mengadakan hubungan
dan kerjasama dengan pejabat-pejabat resmi setempat dalam
usaha pembinaan sekolah. Wakil Kepala Sekolah Bidang
Kurikulum, bertugas membuat perencanaan dan mengkoor-
dinasikan pembagian tugas guru-guru per semester merekap
daya serap dan target pencapaian kurikulum per semester
dan per tahun pelajaran, serta segala kegiatan yang
berhubungan dengan urusan kurikulum dan pengajaran
bidang intra-kurikuler. Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan
bertugas membuat perencanaan penerimaan siswa baru,
mutasi siswa dan pendaftaran ulang siswa, membina dan
membimbing OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) dan
mengkoordinasikan semua yang berkaitan dengan kegiatan
siswa di bidang ekstra kurikuler. Wakil Kepala Sekolah Bidang
Sarana dan Prasarana Pendidikan, bertugas mengkoordinasikan
segala kegiatan yang berkaitan dengan pengadaan,
pemeliharaan dan penghapusan barang-barang inventaris/non
inventaris baik fisik maupun non-fisik milik sekolah.Kepala
Tata Usaha, bertugas mengkoordinasikan seluruh kegiatan
yang berkaitan dengan manajemen sekolah, meliputi
penyusunan program tahunan, kepegawaian, keuangan,
pelaporan, inventaris dan kesiswaan.
Semua gambaran ini memperjelas bahwa job decription
dalam sebuah sekolah sangat diperlukan adanya, oleh
karenanya pihak sekolah harus benar-benar memperhatikan
dan merumuskan dengan baik tentang uraian pekerjaan sesuai
dengan tujuan yang diinginkan, serta selalu terbuka dengan
pengaruh perkembangan teknologi sehingga dapat
menyesuaikan diri dengan arus globalisasi di era teknologi
yang lebih pesat sekarang ini.

130
Pelaksanaan Fungsi-fungsi Manajemen dalam Lembaga Pendidikan

C. Komunikasi dan Koordinasi


Untuk menuju manajemen yang baik diantaranya
diperlukan komunikasi dan koordinasi yang lancar dan tepat.
Pengertian komunikasi adalah proses penyampaian dan
penerimaan dari seseorang kepada orang lain secara tertulis,
lisan maupun isyarat baik secara langsung (face to face)
maupun tidak langsung (melalui media tertentu).
Dalam proses komunikasi terdapat unsur-usur sebagai
berikut:
(1)Pengirim pesan (sender) atau komunikator dan materi (isi)
pesan,
(2)Bahasa pesan (coding)
(3)Media (Telepon, TV, radio) mikrofon, surat, memo, com-
puter, internet, dan sebagainya
(4)Menginterprestasikan pesan
(5)Penerima pesan
(6)Respons (balikan penerima pesan)
(7)Gangguan komunikasi (error) (Hartani, 2011: 25)
Komunikasi ini sangat diperlukan untuk mengantisipasi
kesalahpahaman penerima pesan tentang isi pesannya.
Menurut Amstrong seperti dikutip Hartani (2011: 26)
bahwa seorang manajer yang baik adalah manajer yang lebih
banyak mendengar dari pada bicara. Pada dasarnya manajer
adalah komunikator; sehingga seorang manajer perlu
menguasai tehnik berkomunikasi yang baik, cara mengatasi
kendala berkomunikasi dan terampil menjadi pendengar yang
baik.
Selanjutnya, koordinasi dapat didefinisikan sebagai
tindakan kerjasama antar personil, unit atau bagian tentang
segala sesuatu dalam hubungan yang harmonis dan produktif
untuk mencapai suatu tujuan. Rencana program pendidikan

131
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

di sekolah sangat kompleks dan saling berkaitan antara bidang


satu dan lainnya, sehingga dibutuhkan adanya koordinasi.
Koordinasi tersebut perlu untuk mengatasi kemungkinan
adanya duplikasi tugas, menyatukan satu pemahaman,
mengantisipasi perebutan hak dan tanggung jawab,
kesimpangan dalam menjalankan tugas dan kewajiban dan
sebagainya.

D. Pengawasan dan Pengendalian


1. Pengawasan (Controlling)
Istilah pengawasan sering dikaitkan dengan kata evaluasi
(evaluating), koreksi (correcting), sepervisi (supervision), dan
pemantauan.Semua istilah tersebut lebih tepatnya sebagai
tehnik dalam kegiatan pengawasan.Secara umum pengawasan
merupakan kunci keberhasilan manajemen.Karena adanya
pengawasan suatu organisasi, perencanaan, kebijakan dan
upaya peningkatan mutu dapat dilaksanakan dengan baik.
Pengertian pengawasan menurut Jhonson (Syaiful, 2006:
59) adalah sebagai fungsi sistem yang melakukan penyesuaian
terhadap rencana, mengusahakan agar penyimpangan-
penyimpangan tujuan sistem hanya dalam batas-batas yang
dapat ditoleransi. Sedangkan Engkoswara (2011: 219)
mengemukakan bahwa pengawasan pada dasarnya
membandingkan kondisi yang ada dengan yang seharusnya
terjadi. Jadi bila dalam proses terjadi penyelewengan atau
hambatan segera dilakukan tindakan koreksi. Pengawasan
tidak hanya dilakukan pada akhir proses manajemen, tetapi
pada setiap tahap kegiatan sehingga lebih efektif.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan
bahwa pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen
yang melakukan penyelesaian terhadap rencana dan sebagai

132
Pelaksanaan Fungsi-fungsi Manajemen dalam Lembaga Pendidikan

kontrol terjadinya penyelewengan-penyelewengan, sehingga


kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan yang direncanakan.
Tujuan Pengawasan
Secara umum pengawasan tidak bertujuan untuk mencari
kesalahan ataupun memberi hukuman dari pimpinan pada
bawahannya, tetapi pengawasan mempunyai tujuan sebagai
dasar bagi pimpinan untuk menentukan kebijakan dan
mengambil keputusan yang strategis, menuju organisasi yang
lebih baik.
Tujuan pengawasan berdasarkan konsep sistem
manajemen adalah membantu mempertahankan hasil atau
output yang sesuai sistem. Artinya melalui pengawasan apa
yang telah ditetapkan dalam rencana dan program, pembagian
tugas dan tanggung jawab, pelaksanaannya serta evaluasinya,
senantiasa dipantau dan diarahkan sehingga tetap berada
dalam ketentuan. (Fattah, 1996: 103).
Sedangkan Engkoswara (2011: 221) menjabarkan tujuan
pengawasan sebagai berikut:
• Agar pihak yang diawasi merasa terbantu, sehingga visi
dan misi organisasi bisa tercapai secara efektif dan efisien.
• Agar tercipta suasana keterbukaan, kejujuran, partisipasi,
saling percaya dan akuntabilitas.
• Untuk meningkatkan kelancaran kegiatan organisasi
• Untuk memotivasi terwujudnya good governance
Dengan kata lain, tujuan pengawasan adalah untuk
menentukan solusi yang tepat, efisien, dan efektif dalam
mengatasi berbagai problema organisasi (kependidikan).
Fungsi pengawasan
Menurut Donn (Engkoswara, 2011: 221) pengawasan
mempunyai 4 (empat) fungsi, yaitu:

133
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

¾ Fungsi eksplanasi : menjelaskan bagaimana kegiatan


dilakukan meliputi hambatan dan
kesulitan serta alasan adanya
perbedaan hasil kegiatan.
¾ Fungsi akuntansi : dilakukan auditing terhadap
penggunaan sumber daya dan
tingkat out put yang dicapai. Hal
ini bermanfaat untuk melakukan
program lanjutan atau bahkan
untuk pengembangan program.
¾ Fungsi pemeriksaan : mengkaji kesesuaian pelaksanaan
kerja nyata dengan rencana.
¾ Fungsi kepatuhan : mulai sejauh mana ketaatan per-
sonal dengan aturan, sehingga
dapat (coomplience) diketahui
tingkat kedisiplinannya.
Selanjutnya dikatakan bahwa pengawasan yang efektif
berfungsi sebagai “Early warning system” yaitu sistem
peringatan dini, untuk memberikan informasi awal tentang
persiapan, pelaksanaan dan keberhasilan program.
Prinsip pengawasan
Pengawasan mempunyai prinsip tidak hanya dilakukan
dari pihak pimpinan kepada bawahan, tetapi juga bisa
sebaliknya, sebatas mengingatkan. Massic dalam Syaiful
(2006:60) mengemukakan prinsip-prinsip pengawasan yang
perlu diperhatikan, meliputi:
™ Pengawasan tertuju pada kunci strategis mencapai sasaran
yang menentukan keberhasilan
™ Pengawasan harus menjadi umpan balik (feed back) sebagai
bahan revisi dalam mencapai tujuan.

134
Pelaksanaan Fungsi-fungsi Manajemen dalam Lembaga Pendidikan

™ Pengawasan harus harus fleksibel dan responsif terhadap


perubahan kondisi dan lingkungan.
™ Pengawasan cocok diterapkan untuk organisasi sistem
terbuka misalnya pendidikan
™ Pengawasan lebih dijadikan sebagai kontrol diri sendiri.
™ Pengawasan lebih bersifat langsung, artinya control di
tempat pekerjaan
™ Pengawasan lebih memperhatikan hakekat manusia dalam
mengontrol personal.
Proses pengawasan
Ada 4 langkah dasar proses pengawasan:
• Menetapkan standar dan metode mengukur prestasi kerja,
penentuan standar berdasarkan padatujuan atau sasaran
secara spesifik dan mudah diukur. Sedangkan pengukuran
prestasi dapat diambil berdasarkan standar dan metode
kerja.
• Mengukur prestasi kerja. Dilakukan berdasarkan
pengamatan langsung atau melalui penggunaan instru-
ment beberapa indikator efektifitas kerja
• Menetapkan keserasian prestasi kerja dengan standar.
Hasil pengukuran dijadikan informasi untuk dibandingkan
antara standar dengan keadaan di lapangan.
• Menentukan tindakan korektif, apabila diketahui terjadi
penyimpangan pada hasil pengukuran. (Mockler dalam
Engkoswara 2011: 220).
Pada intinya proses pengawasan meliputi 3 (tiga) tahap,
meliputi penetapan standar pelaksanaan, pengukuran
pelaksanaan dan membandingkan antara pelaksanaan dengan
standar dan rencana.

135
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Jenis Pengawasan
Jenis pengawasan yang lazim dilakukan di lembaga
pendidikan (sekolah) pada umumnya meliputi :
• Pengawasan yang dilakukan oleh kepala sekolah sebagai
top leader dan supervisor di sekolah. Hal ini dilakukan
sebagai upaya pengabdian, agar pimpinan bisa memonitor
efektivitas proses manajemen dan dapat mengambil
tindakan korektif sesuai kebutuhan.
• Pengawasan yang dilakukan oleh seorang penilik atau
pengawas sekolah sebagai pengawas fungsional, yaitu
melaksanakan pembinaan terhadap personal sekolah, agar
profesional dan dapat mengembangkan diri secara opti-
mal.
2. Pengendalian
Pada umumnya proses pengendalian dikaitkan dengan
proses pengawasan. Dalam proses pengendalian ada upaya
untuk membina dan meluruskan dalam rangka mengendali-
kan mutu suatu organisasi.
Mengendalikan organisasi yaitu menciptakan organisasi
secara kondusif bisa mencapai tujuan secara efektif dan
efisien.Apabila terjadi penyelewengan harus dilakukan upaya
mengembalikan ke arah semula sesuai dengan hasil evaluasi.
Pengertian pengendalian dalam hal ini adalah proses yang
menetapkan kepastian bahwa kegiatan yang dilakukan sesuai
dengan perencanaan. Tahap-tahap pengendalian meliputi:
• Menetapkan standar kinerja
• Mengukur kinerja
• Membandingkan hasil kerja dengan standar kinerja
• Menentukan tindakan korektif apabila terjadi penye-
lewengan.

136
Pelaksanaan Fungsi-fungsi Manajemen dalam Lembaga Pendidikan

E. Pengambilan Keputusan dan Pemecahan Masalah


Semua fungsi manajemen seperti perencanaan,
pengorganisasian, motivasi, kepemimpinan, komunikasi,
koordinasi, pengawasan, dan pengendalian memerlukan
pengambilan keputusan dan pemecahan masalah.
Perubahan situasi dan kondisi yang sangat cepat menjadi
faktor yang harus dipertimbangkan dalam manajemen yang
mendorong manajer untuk mampu membuat sejumlah
keputusan yang tepat dan cepat.Untuk mampu mengimbangi
cepatnya perubahan waktu, seorang manajer harus sanggup
menghadapi minimal tiga tantangan yaitu (1) keadaan yang
sangat kompleks, (2) keadaan yang tidak menentu, (3)
tuntutan untuk dapat bertindak luwes.
Kualitas suatu keputusan merupakan cermin dari daya
pikir manajer.Oleh karena itu, berfikir dalam hubungannya
dengan mengambil keputusan dan memecahkan masalah
harus diusahakan agar kegiatan manajemen efektif dan efisien.
Pengertian Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan ialah proses memilih sejumlah
alternatif. Artinya pengambilan keputusan penting bagi
manajer pendidikan karena proses pengambilan keputusan
mempunyai peran penting dalam memotivasi, kepemimpinan,
komunikasi, koordinasi, dan perubahan organisasi. Keputusan
yang diambil berpengaruh terhadap pelanggan pendidikan
terutama peserta didik.Oleh karena itu, setiap manajer
pendidikan harus memiliki keterampilan mengambil
keputusan secara cepat dan tepat. (Husaini, 2006: 321-322).
Suatu keputusan merupakan jawaban yang pasti terhadap
suatu pernyataan. Keputusan harus dapat menjawab
pertanyaan tentang apa yang dibicarakan dalam hubungannya
dengan perencanaan. Keputusan dapat pula berupa tindakan

137
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

terhadap pelaksanaan yang sangat menyimpang dari rencana


semula.(Hasan, 2004).
James A. F..Stoner (1996) memberikan definisi atau
pengertian keputusan sebagai pemilihan diantara alternatif-
alternatif. Definisi ini mengandung tiga pengertian, yaitu :
1) Ada pilihan atas dasar logika atau pertimbangan
2) Ada beberapa alternatif yang harus ada dan dipilih salah
satu yang terbaik
3) Ada tujuan yang ingin dicapai, dan keputusan itu makin
mendekatkan pada tujuan tertentu.
Keputusan adalah sutau reaksi terhadap beberapa solusi
alternatif yang dilakukan secara sadar dengan cara
menganalisis kemungkinan-kemungkinan dari alternatif
tersebut bersama konsekuensinya. Setiap keputusan akan
membuat pilihan terakhir, dapat berupa tindakan atau
opini.Itu semua bermula ketika perlu untuk melakukan
sesuatu tetapi tidak tahu apa yang harus dilakukan. Untuk
itu keputusan dapat dikatakan rasional atau irrasional dan
dapat berdasarkan asumsi kuat atau asumsi lemah.
Model-model pengambilan Keputusan
Ditinjau dari karakteristiknya, keputusan diklarifikasikan
menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:
• Keputusan Otoritatif
Keputusan otoritatif adalah setiap keputusan yang
dipaksakan oleh seorang kepala sekolah kepada orang lain,
seperti guru dan staf tata usaha. Keputusan semacam ini
biasanya berupa kebijakan yang dibuat oleh pimpinan
sekolah yang otoriter, yang pelaksanaannya dipaksakan
kepada bawahan yang tidak berdaya. Manajemen sekolah
yang membuat keputusan secara otoriter tidak mengenal
bawahan yang banyak bicara. Bawahan tidak diberi

138
Pelaksanaan Fungsi-fungsi Manajemen dalam Lembaga Pendidikan

kesempatan untuk membuat alasan apakah dia menerima


atau menolak keputusan yang telah dibuatnya.Bawahan,
oleh pimpinan atau manajer, hanya dianggap sebagai aparat
pelaksana atau “sapi perahan” yang dapat dikendalikan
sedemikian rupa.
• Keputusan Pribadi
Keputusan pribadi adalah setiap keputusan yang
diambil oleh individu atas nama pribadi. Kalau hal itu
diambil oleh orang uang sedang menjabat, keputusan ini
harus benar-benar terpisah dari statusnya sebagai pejabat,
meski statusnya sedang menduduki jabatan tertentu.
Ketika seorang pejabat membuat keputusan itu benar-benar
atas nama pribadi. Jika tidak ada ketegasan semacam itu,
akanmelahirkan dilema bagi organisasi. Bahkan dengan
menyebut bahwa keputusan yang diambil itu atas nama
pribadi, seringkali dikaitkan dengan posisinya sehingga
melahirkan problema organisasional.
• Keputusan Organisasi
Setiap keputusan yang diambil oleh organisasi
formal.Keputusan organisasi merupakan keputusan
kolektif, ketika personal organisasional harus mematuhi
kebijakan itu.Keputusan kepala sekolah mutlak diperlukan,
karenakeberlangsungan organisasi ditentukan oleh sampai
seberapa jauh organisasi itu dapat membuat keputusan-
keputusan baru.
Adakalanya ketiga jenis keputusan ini dikacaukan.
Pada situasi tertentu, misalnya dalam keadaan memaksa,
seorang pimpinan membuat keputusan otoritatif karena
tidak ada pilihan lain.
Keputusan organisasi telah menjadi tanggung jawab
individu atau kelompok yang ada di dalam organisasi.

139
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Mungkin saja keputusan hanya diambil oleh pimpinan


puncak, tetapi kesiapan personal organisasional secara
keseluruhan mutlak diperlukan untuk merealisasikan
keputusan itu.
Sedang model-model pengambilan keputusan yang lain
adalah sebagai berikut :
• Model Mintzberg, Drucker, dan Simon
™ Mintzberg, et al. (1976) memberikan tiga tahap dalam
proses pengambilan keputusan yaitu:
1) Pada tahap identifikasi, pengambilan keputusan
memahami dan peluang membuat diagnosis.
2) Pada tahap pengembangan, mengambil keputusan
mencari standar prosedur yang tersedia atau
pemecahan masalah sebagai desain baru.
3) Sedangkan pada tahap pemilihan, pengambilan
keputusan dapat memilih dengan menggunakan
pertimbangan, analisis logis, basis sistematis, atau
bargain.
™ Drucker (1993) seorang ahli pemimpin organisasi
memberikan enam langkah dalam pengambilan
keputusan, yaitu:
1) Mengidentifikasi masalah
2) Menganalisis masalah
3) Mengembangkan alternatif pemecahan masalah
4) Memutuskan atau pemecahan masalah terbaik
5) Merencanakan tindakan yang efektif
6) Memantau dan menilai hasilnya.
™ Simon (1997) pemenang Nobel teori pengambilan
keputusan menggambarkan proses pengambilan
keputusan dalam tiga tahap, yaitu:

140
Pelaksanaan Fungsi-fungsi Manajemen dalam Lembaga Pendidikan

1) Kegiatan inteligen, pengambilan keputusan diawali


dengan mengintai dan mengidentifikasi situasi dan
kondisi lingkungan.
2) Kegiatan desain, mengambil keputusan mene-
mukan, mengembangkan dan menganalisis
kemungkinan dari aksi yang akan diambil.
3) Kegiatan pemilihan, pengambilan keputusan
dengan memilih satu yang terbaik dari sejumlah
alternatif.
Dari ketiga pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa proses pengambilan meliputi tiga kegiatan, yaitu (1)
kegiatan yang menyangkut pengenalan, penentuan dan diag-
nosis masalah, (2) kegiatan yang menyangkut pengembangan
alternatif pemecahan masalah, dan (3) kegiatan yang
menyangkut evaluasi dan memilih pemecahan masalah
terbaik.
ƒ Keputusan rasional
Keputusan dapat dibedakan atas dua tipe, yaitu :
a. Keputusan terprogram ialah keputusan yang selalu
diulang kembali. Contohnya : keputusan kenaikan kelas
peserta didik, pengangkatan, penetapan gaji pegawai
baru, keputusan pensiun, dan sebagainya.
b. Keputusan tidak terprogram ialah keputusan yang
diambil untuk menghadapi masalah yang rumit atau
baru. Contohnya : keputusan lembaga baru, keputusan
terjadinya musibah kebakaran, robohnya bangunan
sekolah, dan sebagainya.
ƒ Keputusan berdasarkan lapangan
Model ini paling banyak digunakan sekolah karena ingin
melibatkan partisipasi warga sekolah dalam mengambil

141
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

keputusan. Empat teknik penting dalam pengambilan


keputusan berdasarkan lapangan adalah:
1) Curah pendapat (brainstorming),
2) Teknik grup nominal,
3) Teknik Delphi,
4) Pembela yang menantang apa yang dianggap baik
(devil‘s advocate).
ƒ Keputusan Pokok Masalah
Masalah yang dihadapi adalah buruknya manajemen,
akibatnya adalah rendahnya mutu.Penyebabnya adalah
perencanaan tidak mantap, pelaksanaan tidak tepat,
pengawasan tidak ketat.
Dipilih lagi satu penyebab yang prioritas misalnya
pelaksanaan tidak tepat.Penyebab pelaksanaan tidak tepat
adalah rendahnya motivasi kerja, lemahnya
kepemimpinan, lambatnya memecahkan masalah, kurang
baiknya komunikasi, dan kurang baiknya koordinasi.
Penyebab pelaksanaan tidak tepat tidak boleh
samamaknanya, misalnya lemahnya koordinasi, yang lain
lagi kurang baiknya koordinasi atau koordinasi belum
efektif.
Penyebab Terjadinya Kesulitan Pengambilan Keputusan
• Kurang lengkapnya informasi dan data yang diperlukan
• Kesulitan menggunakan tolak ukur
• Munculnya tujuan ganda
• Adanya lebih dari satu orang yang berwenang mengambil
keputusan
Pemecahan Masalah dalam Manajemen Pendidikan
Pemecahan masalah ialah suatu proses pengamatan dan
pengenalan serta usaha mengurangi perbedaan antara keadaan

142
Pelaksanaan Fungsi-fungsi Manajemen dalam Lembaga Pendidikan

sekarang (das sein) dengan keadaan yang akan datang yang


diharapkan (das sollen). Pemecahan masalah mengusahakan
pendekatan antara jurang pemisah kesenjangan yang
ada.Masalah ialah perbedaan das sein dengan das sollen.
Dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari, manajer
selalu berhadapan dengan berbagai masalah karena masalah
merupakan dinamika kehidupan.Manusia masih hidup,
selama itu pula masalah pasti ada, baik itu masalah besar
atau masalah kecil.Jika masalah satu telah berhasil
dipecahkan, maka timbul pula masalah lainnya.Tidak jarang
pemecahan masalah satu belum selesai, justru menimbulkan
masalah baru. Demikian seterusnya, permasalahan yang
mungkin dihadapi oleh manajer sekolah antara lain ialah
masalah proses pembelajaran, kesiswaan, ketenagaan, sarana,
prasarana, keuangan, laboratorium, perpustakaan, dan
hubungan sekolah dengan masyarakat. Agar permasalahan
itu di atasi secara efektif dan efisien, manajer pendidikan harus
mampu mengintegrasikan permasalahan yang dihadapinya
dan mensinkronisasikan ketatalaksanaannya.Oleh sebab itu,
manajer pendidikan perlu dibekali kemampuan mengatasi
masalah dan mensinkronisasikan ketatalaksanaannya melalui
teori pemecahan masalah.
Langkah-langkah pemecahan masalah yang dapat
dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Menemukan persoalan
• Mengetahui mengapa persoalan itu harus dipecahkan.
• Mengetahui mana yang harus benar-benar bermakna.
• Membedakan persoalan dengan petunjuk adanya
persoalan.
2) Mencari sebab persoalan
Mencari semua penyebab yang memungkinkan terjadinya
permasalahan.

143
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

3) Mencari faktor yang paling berpengaruh


• Menemukan penyebab utama dari semua penyebab
yang mungkin.
• Mengakibatkan penyelesaian masalah yang paling
bermakna.
4) Merencanakan langkah-langkah yang tepat
• Menentukan tindakan yang perlu dilakukan dengan
menggunakan 5W + 1H.
5) Menjalankan sesuai rencana
6) Memeriksa hasilnya
• Membandingkan hasil dengan rencana.
• Mengetahui penyimpangan-penyimpangan yang
terjadi.
7) Mencegah timbulnya persoalan yang sama
• Apabila rencana terdapat buat standarisasi
• Apabila ada penyimpangan buat tindakan korektif dan
perbaikan
8) Memperhatikan persoalan yang masih ada.
• Melihat kembali persoalan yang belum terselesaikan.
• Untuk memulai kembali dengan langkah (1).

144
BAB IV
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
(MBS)

A. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)


Sejak dimulainya otonomi daerah (Otda) Januari 2001,
Pemerintah menggulirkan reformasi dan demokratisasi
pendidikan yaitu pemberdayaan sekolah di semua jenjang
pendidikan. Husaini (2010: 622) menjelaskan bahwa:
Tujuan otda di bidang pendidikan antara lain 1)
meningkatkan pelayanan pendidikan yang lebih dekat, cepat,
mudah, dan sesuai kebutuhan masyarakat dengan
menekankan pada prinsip demokratis dan berkeadilan, tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia,
nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa
(memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah),
sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna; 2)
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sepanjang
hayat ; 3) memberikan keteladanan, membangun kemauan ;
4) mengembangkan kreativitas peserta didik; 5)
mengembangkan budaya membaca, menulis, berhitung, dan
memberdayakan seluruh komponen masyarakat (peran serta
masyarakat); 6) pemerataan dan keadilan; 7) meningkatkan
kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan; 8)
akuntabilitas publik; 9) transparansi; 10) memperkuat

145
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

integritas bangsa (memelihara hubungan yang serasi antara


pusat dan daerah dan antar daerah dalam rangka keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI; 11)
meningkatkan daya saing di era global. Jika tujuan ini tercapai
maka hal-hal inilah yang menjadi dampak positif otda
terhadap input pendidikan.
Dengan adanya kebijakan otonomi daerah, kewenangan
pengelolaan pendidikan sebagian diserahkan ke pemerintah
daerah, meliputi administrasi pegawai, pembiayaan,
perlengkapan, dan sarana pendukungnya. Dampak positif
pemerintah tersebut sampai tingkat ke sekolah, dengan
menuntut pemerintah untuk memberikan otonomi
pengelolaan sekolah. Depdiknas (sekarang Kemendikbud)
kemudian terdorong untuk melakukan reorientasi Manajemen
Berbasis Sekolah/MBS (School Based Management / SBM)
atau site based management. Hal ini disadari, bahwa
kenyataan menunjukkan bahwa rendahnya mutu sekolah
dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah
jeleknya manajemen pendidikan.
Edward Sallis (1993 : 7), mengatakan bahwa salah
satunya tantangan yang dihadapi sekolah adalah kualitas
manajemennya. Pendapat ini sejalan degan aturan 85/15 yang
dikemukakan oleh Juran seperti dikutip Edward Sallis (1993:
52), bahwa 85 % masalah dalam suatu organisasi ditentukan
oleh mutu manajemennya dan 15 % dari faktor lainnya.
1. Pengertian MBS
Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan
terjemahan dari “school based management”. MBS
merupakan paradigma baru pendidikan yang memberikan
otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat)
dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.

146
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Menurut Edmond yang dikutip Suryosubroto (2004)


merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang
lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas
sekolah. Sedangkan Nurcholis(2003) mengatakan Manajemen
berbasis sekolah (MBS) adalah bentuk alternatif sekolah
sebagai hasil dari desentralisasi pendidikan.
Secara umum, manajemen peningkatan mutu berbasis
sekolah (MPMBS) dapat diartikan sebagai model manajemen
yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan
mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang
melibatkan secara langsung semua warga sekolah (guru,
siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua siswa, dan
masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan
kebijakan pendidikan nasional.
Otonomi diberikan agar sekolah dapat leluasa mengelola
sumber daya dengan mengalokasikannya sesuai dengan
prioritas kebutuhan serta agar lebih tanggap terhadap
kebutuhan lingkungan setempat. Masyarakat dituntut
partisipasinya agar mereka lebih memahami kompleksitas
pendidikan, membantu serta turut mengontrol pengelolaan
pendidikan. Adapun kebijakan nasional yang menjadi prioritas
pemerintah harus pula diperhatikan oleh kepala sekolah.
Dengan demikian sekolah dituntut memiliki akuntabilitas
baik kepada masyarakat maupun pemerintah, karena
keduanya merupakan penyelenggara pendidikan di sekolah.
2. Tujuan MBS
• Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan
inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan
sumber daya yang tersedia;
• Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat
dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan
keputusan bersama;

147
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

• Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua,


masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya;
dan
• Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang
mutu pendidikan yang akan dicapai.
3. Manfaat MBS
MBS memberikan beberapa manfaat diantaranya :
ƒ Dengan kondisi setempat, sekolah dapat meningkatkan
kesejahteraan guru sehingga dapat lebih berkonsentrasi
pada tugasnya;
ƒ Keleluasaan dalam mengelola sumber daya dan dalam
menyertakan masyarakat untuk berpartisipasi, mendorong
profesionalisme kepala sekolah dalam peranannya sebagai
manajer maupun pemimpin sekolah;
ƒ Guru didorong untuk berinovasi;
ƒ Rasa tanggap sekolah terhadap kebutuhan setempat
meningkat dan menjamin layanan pendidikan sesuai
dengan tuntutan masyarakat sekolah dan peserta didik.
4. Prinsip MBS
Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam
melaksanakan MBS antara lain sebagai berikut:
¾ Komitmen kepala sekolah dan warga sekolah harus
mempunyai komitmen yang kuat dalam upaya
menggerakkan semua warga sekolah untuk ber-MBS.
¾ Kesiapan, semua warga sekolah harus siap fisik dan men-
tal untuk ber-MBS.
¾ Keterlibatan, pendidikan yang efektif melibatkan semua
pihak dalam mendidik anak.
¾ Kelembagaan, sekolah sebagai lembaga adalah unit
terpenting bagi pendidikan yang efektif.

148
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

¾ Keputusan, segala keputusan sekolah dibuat oleh pihak


yang benar-benar mengerti tentang pendidikan.
¾ Kesadaran, guru-guru harus memiliki kesadaran untuk
membantu dalam pembuatan keputusan program
pendidikan dan kurikulum.
¾ Kemandirian, sekolah harus diberi otonomi sehingga
memiliki kemandirian dalam membuat keputusan
pengalokasian dana.
¾ Ketahanan, perubahan atau bertahan lebih lama apabila
melibatkan stakeholders sekolah.
(Husaini, 2010 : 624).

B. Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)


Prasyarat penerapan MBS yang perlu dipenuhi sekolah
adalah sebagai berikut:
• MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
• MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara
bertahap .
• Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan
penerapannya pada saat yang sama juga harus belajar
menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi
yang baru.
• Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan
penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.
• Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan
wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah
selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan
orang tua murid.
Sedangkan langkah-langkah penerapan MBS meliputi 10
(sepuluh) tahap berikut ini. (Suryosubroto, 2004).

149
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

1. Sosialisasi
Sekolah mensosialisasikan konsep MBS kepada seluruh
warga sekolah dan masyarakat melalui berbagai kegiatan
antara lain seminar, lokakarya, diskusi, rapat kerja. Kegiatan
mensosialisasikan MBS dapat dilakukan dengan cara:
a. Melakukan identifikasi dan mengenalkan sistem, budaya,
dan sumber daya yang diperlukan untuk menye-
lenggarakan MBS.
b. Membuat komitmen secara rinci jika terjadi perubahan
sistem, budaya, dan sumber daya yang cukup mendasar.
c. Mengklarifikasikan visi, misi dan tujuan, sasaran rencana
dan program-program penyelenggara MBS.
d. Memberikan penjelasan secara rinci mengapa diperlukan
manajemen berbasis sekolah.
e. Mendorong sistem, budaya, dan sumber daya manusia
yang mendukung penerapan MBS dan memberi
penghargaan kepada warga sekolah yang menerapkannya.
f. Mengarahkan proses perubahan agar sesuai dengan visi,
misi, tujuan, sasaran, rencana, dan program-program
sekolah.
2. Identifikasi tantangan sekolah.
Sekolah mengidentifikasi tantangan yang dihadapi.
Tantangan adalah selisih antara hasil yang diharapkan di masa
yang akan datang, contoh hasil prestasi akademik dan non
akademik. Tantangan sekolah bersumber dari hasil sekolah
yang dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu kualitas,
produktivitas, efektivitas, dan efisien.

150
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

3. Visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolah


Setiap sekolah memiliki visi yang berisi tentang:
a. Wawasan yang menjadi sumber arahan bagi sekolah dan
digunakan untuk memandu perumusan misi sekolah.
b. Pandangan jauh ke depan kemana sekolah akan dibawa
c. Gambaran masa depan yang diinginkan oleh sekolah agar
sekolah yang bersangkutan dapat menjamin kelangsungan
hidup dan perkembangannya.
4. Identifikasi fungsi-fungsi yang diperlukan.
Fungsi-fungsi yang digunakan untuk mencapai sasaran
dan yang masih perlu tingkat kesiapannya, antara lain fungsi
proses pembelajaran, pengembangan kurikulum, perencanaan
dan evaluasi, ketenagaan, fungsi keuangan, fungsi pelayanan
kesiswaan, pengembangan iklim akademik sekolah, fungsi
hubungan sekolah masyarakat, dan fungsi pengembangan
fasilitas.
5. Analisis SWOT
Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity,
Threat) dilakukan untuk mengetahui tingkat kesiapan setiap
fungsi dari keseluruhan fungsi sekolah untuk mencapai
sasaran yang ditetapkan. Analisis SWOT dilakukan terhadap
keseluruhan faktor dalam setiap fungsi, baik faktor yang
tergolong internal maupun eksternal. Fungsi yang memadai
sebagai kekuatan dan fungsi yang kurang dinyatakan sebagai
kelemahan, untuk faktor internal dan ancaman.
6. Alternatif Pemecahan Masalah
Tindakan tersebut merupakan upaya untuk mengatasi
kelemahan maupun ancaman, agar menjadi kekuatan atau
peluang, yakni dengan memanfaatkan faktor lain yang menjadi
kekuatan atau peluang, yakni dengan memanfaatkan faktor
lain yang menjadi kekuatan atau peluang.

151
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

7. Rencana dan Program Sekolah


Rencana harus menjelaskan secara detail aspek-aspek
yang ingin dicapai, kegiatan yang harus dilakukan siapa,
kapan, dan dimana dilaksanakan, serta biaya yang diperlukan
untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Program adalah
bentuk dokumen untuk menggambarkan langkah dalam
mewujudkan keterpaduan dalam pelaksanaan.
8. Implementasi rencana dan Program Sekolah
Dalam kaitannya dengan implementasi Rencana dan
Program sekolah, kepala sekolah dan guru hendaknya
mendayagunakan sumber daya pendidikan yang tersedia
semaksimal mungkin semata-mata untuk kualitas
pembelajaran.
9. Evaluasi pelaksanaan
Sekolah harus melakukan evaluasi pelaksanaan program,
baik jangka pendek (akhir semester), jangka menengah (satu
tahun) dan jangka panjang untuk mengetahui seberapa jauh
program sekolah memenuhi tuntutan pasar. Hasil evaluasi
dibuat laporan meliputi laporan teknis yang menyangkut pro-
gram pelaksanaan dan hasil MBS serta laporan keuangan
tentang penggunaan uang serta pertanggungjawabannya.
10. Sasaran baru
Hasil evaluasi untuk menentukan sasaran baru untuk
tahun yang akan datang. Setelah sasaran baru ditetapkan,
kemudian dilakukan analisis SWOT untuk mengetahui tingkat
kesiapan masing-masing fungsi di sekolah.

152
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

C. Sasaran dan Strategi Peningkatan Kualitas Melalui


MBS
Sasaran MBS meliputi komponen pendidikan dan
perlakuannya pada setiap tahap input, proses dan out-put-
nya. Pada tahap input pendidikan, sasarannya meliputi:
1. Pendidikan memiliki kebijakan, tujuan dari sasaran pro-
gram yang jelas.
Kebijakan tujuan dan sasaran sekolah harus
disosialisasikan kepada semua warga sekolah, sehingga
tertanam pemikiran, tindakan, kebiasaan, dan karakter
yang kuat oleh warga sekolah.
2. Sumber daya yang tersedia.
Sekolah harus memiliki sumber daya yang kuat baik
sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya
berupa uang, peralatan, perlengkapan, bahan dan lain-lain.
3. Staf yang kompeten dan dedikasi tinggi.
4. Memiliki harapan prestasi yang tinggi
Kepala sekolah memiliki komitmen dan dedikasi yang
tinggi untuk mencapai prestasi serta peserta didik juga
mempunyai motivasi untuk selalu meningkatkan diri
untuk berprestasi sesuai dengan bakat dan
kemampuannya.
5. Fokus pada pelanggan
Peserta didik merupakan fokus utama semua kegiatan
proses pembelajaran yang dikerahkan di sekolah dengan
tujuan utama untuk meningkatkan mutu dan kepuasan
peserta didik.
6. Manajemen
Kelengkapan dan kejelasan manajemen dibutuhkan
sekolah untuk membantu kepala sekolah mengelola
sekolahnya dengan efektif.

153
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Dalam bidang pendidikan biasanya penekanannya pada:


1. Proses pembelajaran yang efektifitasnya tinggi.
Proses pembelajaran yang menekankan pada bekerja,
belajar hidup bersama dan belajar menjadi diri sendiri.
2. Kepemimpinan sekolah yang tangguh.
Kepala sekolah yang memiliki kemampuan dan
kepemimpinan yang tangguh, kuat, dan mampu
meningkatkan mutu sekolah sesuai dengan visi, misi,
tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.
3. Lingkungan sekolah yang tertib, aman, dan nyaman.
4. Pengelolaan tenaga pendidikan yang efektif.
5. Sekolah memiliki budaya mutu.
Sekolah memiliki kualitas informasi untuk perbaikan hasil
diikuti penghargaan atau sanksi, warga merasa aman,
warga sekolah merasa memiliki sekolah.
6. Sekolah memiliki kebersamaan yang kompak.
Sekolah memiliki budaya kerjasama antar individu tanpa
adanya kelompok-kelompok tertentu yang dapat
menghambat kemajuan sekolah.
7. Sekolah memiliki kewenangan.
Kewenangan sekolah merupakan kesanggupan kerja dan
tidak menggantungkan orang lain. Kepala sekolah
mempunyai kreatifitas yang tinggi untuk menuju sekolah
yang lebih baik.
8. Partisipasi warga sekolah dan masyarakat
Hubungan antara sekolah dan masyarakat merupakan
bagian kehidupan sekolah yang paling tinggi terutama di
bidang non akademik dan akademik.

154
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

9. Keterbukaan (transparansi) manajemen.


Masalah manajemen perlu keterbukaan antara warga
sekolah dan masyarakat terutama komite sekolah. Apalagi
manajemen tersebut menyangkut perencanaan anggaran
(RAPBS) dan penggunaan uang sekolah. Komite sekolah
harus tahu terutama menyangkut anggaran sekolah.
10.Sekolah memiliki kemauan untuk berubah.
Perubahan sekolah diharapkan menuju yang lebih baik.
Perubahan tersebut dapat berupa perubahan fisik sekolah,
prestasi akademik dan non akademik.
11.Sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan.
Evaluasi bukan sekedar untuk memenuhi daya serap siswa
menerima pelajaran. Namun, evaluasi dapat dipakai tolak
ukur untuk meningkatkan mutu sekolah pada proses
pembelajaran selanjutnya. Sekolah harus selalu melaksa-
nakan evaluasi secara terus-menerus baik berupa
pengayaan maupun perbaikan untuk siswa demi
peningkatan mutu di sekolah.
12.Sekolah responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan.
Sekolah harus mampu mengantisipasi setiap kejadian yang
ada di sekolah terutama menyangkut mutu sekolah.
Sekolah tidak pasif melainkan antisipatif mencari ke
sekolah-sekolah lain atau ke lembaga-lembaga pendidikan
dengan kata lain menjemput bola demi kemajuan sekolah.
13.Sekolah memiliki komunikasi yang baik.
Sekolah memiliki komunikasi yang baik terutama antara
warga sekolah. Kebersamaan antar warga sekolah dapat
mengantar sekolah ke hal-hal yang lebih bermutu. Contoh
Kelompok Kerja Guru disetiap Gugus Sekolah.

155
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

14.Sekolah memiliki Akuntabilitas.


Sekolah memiliki tanggung jawab atas keberhasilan
pelaksanaan penyelenggaraan program sekolah.
Akuntabilitas berbentuk laporan prestasi yang harus
dilaporkan kepada pemerintah, orang tua, dan masyarakat.
Berdasarkan laporan hasil program, pemerintah dapat
menilai apakah program MBS dapat mencapai tujuan atau
tidak. Jika mencapai tujuan maka diberi penghargaan atau
sebaliknya jika tidak berhasil perlu diberikan sanksi atau
teguran atas kinerjanya yang tidak memenuhi syarat.
Sedangkan para orang tua murid dapat memberikan
penilaian terhadap program MBS yang dapat meningkat-
kan prestasi anak-anaknya atau kinerja sekolahnya. Jika
berhasil, orang tua dapat memberikan dorongan dan
semangat kepada sekolah, atau sebaliknya jika tidak
berhasil orang tua dapat meminta pertanggungjawaban
dan penjelasan sekolah atas kegagalan yang telah
dilakukan.
Pada out put pendidikan, dengan adanya MBS diharapkan
sekolah mendapatkan prestasi akademik maupun non
akademik. Prestasi akademik seperti NEM, lomba karya
ilmiah, olympiade, siswa berprestasi, guru berprestasi,
kepala sekolah teladan, dan sebagainya. Sedangkan
prestasi non akademik berupa kesenian, olah raga,
pramuka, lingkungan, dan sebagainya.
Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan
MBS.
Konsep MBS merupakan kebijakan baru yang sejalan
dengan paradigma desentralisasi dalam pemerintahan.
Strategi apa yang diharapkan agar penerapan MBS dapat
benar-benar meningkatkan mutu pendidikan. Salah satu

156
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

strategi adalah menciptakan prakondisi yang kondusif untuk


dapat menerapkan MBS, yakni:
¾ Peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh warga
sekolah, termasuk masyarakat dan orang tua siswa. Upaya
untuk memperkuat peran kepala sekolah harus menjadi
kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan MBS.
¾ Membangun budaya sekolah (school culture) yang
demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk mem-
biasakan sekolah untuk membuat laporan pertanggung-
jawaban kepada masyarakat. Model memajangkan RAPBS
di papan pengumuman sekolah yang dilakukan oleh Man-
aging Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang
sangat positif. Juga membuat laporan secara insidental
berupa booklet, leaflet, atau poster tentang rencana
kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah
dan Ketua Komite Sekolah dapat tampil bersama dalam
media tersebut.
¾ Pemerintah pusat lebih memainkan peran monitoring dan
evaluasi. Dengan kata lain, pemerintah pusat dan
pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama
dalam rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS
di sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang
diterima sekolah.
¾ Mengembangkan model program pemberdayaan sekolah.
Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang
lebih banyak dipenuhi dengan pemberian informasi
kepada sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa
pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan
hasil yang lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama
berupa penalaran MBS.

157
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

D. Kendala-kendala Penerapan MBS


Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak
berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut:
1. Tidak berminat untuk terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan
selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak
berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut
mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah
harus lebih banyak menggunakan waktunya untuk dalam hal-
hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya
kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi
yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari
pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam
proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan
waktunya untuk urusan itu.
2. Tidak efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif
adakalanya menimbulkan frustasi dan seringkali lebih lamban
dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota
dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan
perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
3. Pikiran kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan
sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu
sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling
mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu
menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak
merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada
saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran
kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil
kemungkinan besar tidak lagi realistis.

158
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

4. Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar
sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan
model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan
besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang
hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya,
pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
5. Kebingungan atas peran dan tanggung jawab baru.
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat
terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti.
Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-
pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak
kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan
kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung
jawab pengambilan keputusan.
6. Kesulitan koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup
kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang
efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan
berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang
kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan
sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan
telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting
adalah pelatihan yang cukup tentang MBS dan klarifikasi
peran dan tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada
semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang
terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab
pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan
pada level mana dalam organisasi.

159
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

E. Indikator Keberhasilan Penerapan MBS


MBS dikatakan sukses apabila sekolah bisa menunjukkan
hal-hal sebagai berikut:
1. Adanya kemandirian sekolah yang kuat.
2. Adanya kemitraan sekolah yang efektif .
3. Adanya partisipasi yang kuat dari masyarakat.
4. Adanya keterbukaan yang bertanggung jawab dan meluas
dari pihak sekolah dan masyarakat.
5. Adanya akuntabilitas yang dapat dipertanggungjawabkan
oleh sekolah dari program peningkatan mutu. (Husaini,
2010 : 629).
Dalam menerapkan program MBS, Komite Sekolah,
Dewan Pendidikan Sekolah dan Dinas Pendidikan di Daerah
seharusnya merupakan mitra kerja yang saling mendukung.
Karena tujuan diadakannya komite dan dewan pendidikan
menurut Kemendikbud adalah mewujudkan cita-cita
pendidikan yang ideal.

160
BAB V
KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN

A. Pengertian Pemimpin dan Kepemimpinan


Banyak definisi pemimpin dan kepemimpinan dari para
ahli menurut cara pandang yang berbeda-beda. Pada dasarnya
pemimpin dan kepemimpinan merupakan seni dan ketram-
pilan seseorang dalam memanfaatkan kekuasaannya untuk
mempengaruhi orang lain agar melakukan kegiatan tertentu
sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Semua manusia menurut kodrat dan iradatnya dilahirkan
menjadi pemimpin, minimal pemimpin bagi dirinya sendiri,
karena mempunyai akal dan hati.Akal dan hati perlu dipimpin
ke jalan yang lurus dengan mengacu pada sistem nilai yang
berlaku dan ilmu pengetahuan.Nabi Muhammad SAW juga
bersabda bahwa semua manusia adalah pemimpin dan kelak
diminta bertanggungjawab dari kepemimpinannya.
Istilah pemimpin, dalam bahasa Inggris leader adalah
subjek atau pelaku dari unsur-unsur yang terdapat dalam
kepemimpinan, yaitu kekuasaan, pengaruh, kekuatan,
penanggungjawab utama bagi semua kegiatan yang dilakukan
bawahannya. (Thoha, 1995: 3).
Berdasarkan pengertian tersebut dapat dibagi beberapa
unsur penting, yaitu:

161
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

• Adanya unsur kekuasaan, artinya orang yang menguasai


organisasi dan sekaligus mengendalikannya.
• Adanya unsur intruksional, artinya mempunyai wewenang
memberikan tugas, perintah kepada bawahannya.
• Adanya unsur responsibility, artinya penanggungjawab
utama atas kinerja organisasi.
• Adanya unsur pendelegasian, artinya berhak dan
berwenang mengalihkan tugasnya kepada bawahan.
• Adanya unsur supervisi, artinya mempunyai kewajiban
membina dan mengarahkan bawahannya.
• Adanya unsur strategi, artinya orang yang mempunyai
power dalam mengembangkan organisasi.
• Adanya unsur budaya, artinya orang yang menciptakan
model dan pola perilaku dalam organisasi.
• Adanya unsur kharismatika, artinya memiliki wibawa yang
terbentuk secara formal struktural maupun kultural.
Pengertian pemimpin lainnya, dikemukakan olehHikmat
(2009: 249) berikut ini; Pemimpin adalah:
1. Orang yang berwenang mengendalikan organisasi dan
semua struktur yang ada.
2. Orang yang memiliki kemampuan meningkatkan sumber
daya manusia dan organisasi.
3. Orang yang paling berpengaruh di dalam organisasi.
4. Orang mempunyai kedudukan tertinggi dalam organisasi.
5. Orang yang paling bertanggung jawab atas seluruh kinerja
organisasi.
Dari beberapa pengertian pemimpin tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa pemimpin adalah orang yang memiliki
kemampuan mempengaruhi orang lain untuk melakukan
kegiatan sesuai dengan harapannya dan tujuan organisasi.

162
Kepemimpinan Pendidikan

Sedangkan istilah kepemimpinan, dalam Bahasa Inggris


Leadership yang dapat diartikan sebagai hubungan yang erat
antara seseorang dan kelompok manusia, karena ada
kepentingan sama. Hubungan yang dimaksud adalah tingkah
laku yang tertuju dan terbimbing dari pemimpin dan yang
dipimpin.(Ensiklopedia, 1993).
Pengertian kepemimpinan dari beberapa ahli dapat
dikemukakan berikut ini:
1. Kepemimpinan adalah suatu proses individu dalam
mempengaruhi kelompok untuk mencapai tujuan umum.
(P.G.Northouse, 2003: 3).
2. Kepemimpinan adalah kemampuan untuk menanamkan
keyakinan dan memperoleh dukungan dari anggota
organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. (A.J.Dubrin,
2001: 3).
3. Kepemimpinan adalah suatu kepribadian (personality)
seseorang yang mendatangkan keinginan pada kelompok
orang-orang untuk mencontohnya atau mengikutinya,
atau yang memancarkan suatu pengaruh tertentu, suatu
kekuatan atau wibawa yang sedemikian rupa, sehingga
membuat sekelompok orang mau melakukan apa yang
dikehendakinya. (Prajudi Atmosudirdjo dalam Ngalim P,
1990).
4. Kepemimpinan adalah sebagai proses pemimpin mencip-
takan visi, mempengaruhi sikap, perilaku, pendapat, nilai-
nilai, norma dan sebagainya dari pengikut untuk
merealisasikan visi. (Wirawan, 2001: 18).
Mengacu pada pengertian tersebut, pada dasarnya dalam
kepemimpinan mengandung beberapa indikator: 1) proses
mempengaruhi orang lain; 2) mengarahkan kegiatan untuk
mencapai tujuan organisasi; 3) meyakinkan orang lain untuk
memperoleh dukungannya; 4) faktor kepribadian sebagai

163
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

perilaku yang bisa mengarahkan aktifitas organisasi ; 5) proses


realisasi visi organisasi.
Kepemimpinan merupakan pelaksanaan ketrampilan
mengelola orang lain, mengelola sumber daya manusia dan
organisasi dalam tinjauan secara umum. Oleh karenanya
setiap pemimpin harus memiliki managerial skill yang sangat
berpengaruh pada kekuasaan yang dimilikinya. Sehingga
keahlian utama kepemimpinan adalah terampil mengenda-
likan situasi dan kondisi organisasi, yaitu dengan menentukan
konsep masa depan organisasi dalam bentuk kerangka kerja
yang visioner. Adanya pendelegasian tugas kepada bawahan-
nya merupakan bagian dari kepemimpinan, sehingga bisa
menjalin komunikasi, interaksi dan dapat diketahui mentalitas
dan kinerjanya agar dapat bekerja sama dalam mencapai
tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Berdasarkan
pandangan-pandangan tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa kepemimpinan adalah rangkaian kemampuan dan
kepribadian seseorang untuk dapat meyakinkan sekelompok
orang, agar mereka mau mengikuti dan bekerjasama dalam
rangka mencapai tujuan organisasi.
Dengan demikian antara pemimpin dan kepemimpinan
dapat dipahami bahwa pemimpin adalah orang yang memiliki
kedudukan utama dalam menjalankan suatu organisasi
sebagai motivator, stabilisator, katalisator, kreatordalam
organisasi. Sedangkan kepemimpinan adalah proses
pelaksanaan tugas dan kewajiban pemimpin, termasuk
sifatnya sebagai bentuk atau pola kepemimpinannya. Adapun
memimpin adalah melaksanakan niat tertentu untuk
memenuhi tujuan, tetapi yang mengerjakan orang lain, yaitu
orang yang dipimpin dengan kata lain orang yang diperintah,
dipengaruhi, dan diatur oleh ketentuan yang berlaku secara
formal maupun non formal.

164
Kepemimpinan Pendidikan

B. Pendekatan Kepemimpinan
Dalam studi kepemimpinan terdapat beberapa pende-
katan atau teori kepemimpinan.Engkoswara dkk (2010: 179)
merangkum pendekatan-pendekatan tersebut menjadi 3 (tiga)
pendekatan, yaitu pendekatan sifat (Thraits approach),
pendekatan perilaku (behavioral approach) dan pendekatan
situasional (kontingensi).
• Pendekatan sifat (Thraits approach)
Pendekatan ini lebih menekankan pada pemikiran bahwa
keberhasilan seorang pemimpin ditentukan oleh sifat-sifat
atau watak.Kualitas pribadi yang dimiliki, banyak ahli yang
berusaha meneliti dan mengemukakanpendapatnya tentang
sifat-sifat baik manakah yang diperlukan bagi seorang
pemimpin agar sukses dalam kepemimpinannya.Pemimpin
yang memiliki ciri kepemimpinan adalah seseorang yang
memiliki kualitas diri yang baik tercermin dari sifat-sifat atau
watak.Secara umum sifat utama seorang pemimpin adalah
kecerdasan, energik, bijaksana, tanggung jawab, jujur, dapat
dipercaya.
Hikmat (2009: 253) mengemukakan sifat-sifat kepemim-
pinan sebagai berikut:
1. Energik, artinya memiliki semangat yang tinggi dan terbaik
dibandingkan dengan bawahannya;
2. Emosinya stabil, yairu telaten dalam melaksanakan tugas-
tugasnya;
3. Mampu membangun relasi dengan semua bawahannya
dan lingkungan eksternal organisasinya;
4. Memiliki motivasi yang kuat di dalam jiwanya untuk
memimpin dengan baik;
5. Idealis, artinya memiliki gagasan dan cita-cita yang tinggi
untuk diri dan organisasinya;

165
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

6. Mampu membimbing dan mengarahkan bawahannya;


7. Rasional dalam memecahkan masalah;
8. Memiliki moralitas tinggi yang patut diteladani;
9. Inovatif, kreatif, dan konstruktif;
10.Berwawasan luas;
11.Sehat jasmani dan rohani;
12.Memiliki keahlian tehnis, dan konseptor andal;
13.Jujur dan amanah;
14.Bertanggung jawab;
15.Demokratis, bisa memahami situasi dan kondisi bawahan.
Sedangkan Davis dalam Engkoswara (2010: 179)
mengikhtisarkan 4 sifat utama yang dapat mempengaruhi
keberhasilan pemimpin, yaitu: (1) kecerdasan, (2) kedewasa-
an dan keluasan hubungan sosial, (3) motivasi dan dorongan
berprestasi, (4) sikap-sikap hubungan manusiawi.
Meskipun telah banyak pendidikan tentang sifat-sifat
kepemimpinan, tetapi hingga kini para peneliti tidak berhasil
menemukan satu atau sejumlah sifat yang dapat dipakai
sebagai ukuran untuk membedakan pemimpin dan bukan
pemimpin. Hal ini menunjukkan bahwa hanya dengan
menggunakan pendekatan sifat saja, masalah kepemimpinan
tidak akan dapat dipahami dan diselesaikan dengan baik.
• Pendekatan Perilaku (behavioral approach)
Pendekatan perilaku (behavioral approach) merupakan
pendekatan yang berdasarkan pemikiran bahwa keberhasilan
atau kegagalan pemimpin ditentukan oleh sikap dan gaya
kepemimpinan yang dilakukan oleh pemimpin yang
bersangkutan. Sikap dan gaya kepemimpinan itu tampak
dalam kegiatannya sehari-hari, dalam hal bagaimana cara
pemimpin itu memberi perintah, membagi tugas dan

166
Kepemimpinan Pendidikan

wewenangnya, cara berkomunikasi, cara mendorong


semangat kerja bawahan, cara menyelenggarakan dan
memimpin rapat anggota, cara mengambil keputusan dan
sebagainya. Sehingga pendekatan ini memandang bahwa
kepemimpinan dapat dipelajari dari pola tingkah laku bukan
dari sifat-sifat pemimpin, bahwa sifat seseorang sulit
diidentifikasi secara pasti. Di samping itu, teori atau
pendekatan perilaku ini juga beranggapan bahwa kepemim-
pinan diciptakan oleh hubungan antar manusia.Oleh
karenanya keberhasilan seorang pemimpin ditentukan oleh
kemampuan pemimpin sendiri bersama bawahannya.
• Pendekatan Situasional (Kontingensi)
Pendekatan ini didasarkan atas asumsi bahwa keber-
hasilan kepemimpinan bergantung pada situasi dan
kondisi.Suatu organisasi atau lembaga memiliki ciri-ciri
khusus dan keunikan tersendiri.Demikian pula pada
organisasi atau lembaga yang sejenis pun akan menghadapi
masalah yang berbeda karena lingkungan yang berbeda,
semangat dan watak bawahan yang berbeda. Situasi dan
kondisi ini harus dihadapi dengan pola kepemimpinan yang
berbeda pula.Banyak kemungkinan yang dapat diterapkan
dalam pola kepemimpinan sesuai dengan situasi dan kondisi
organisasi, sehingga pendekatan ini dinamakan juga
pendekatan kontingensi yang berarti kemungkinan.
Pendekatan situasional ini dikembangkan lebih lanjut
oleh Fred E. Fielder dan Hersey. Menurut Fielder (1973),
seorang pemimpin cenderung berhasil dalam menjalankan
kepemimpinannya apabila menerapkan model kepemimpinan
yang berlainanuntuk menghadapi situasi dan kondisi yang
berbeda. Selanjutnya dikemukakan bahwa menentukan efektif
tidaknya kepemimpinan tergantung dengan 3 (tiga) variabel,
yaitu (1) hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin,

167
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

artinya hubungan mereka harus baik, pemimpin disenangi


oleh anggotanya dan ditaati segala perintahnya; (2) derajat
struktur tugas, maksudnya struktur tugas-tugas terperinci
dengan jelas dan bisa dipahami oleh anggotanya, setiap
anggota memiliki wewenang dan tanggung jawab masing-
masing secara jelas sesuai dengan fungsinya; (3) kedudukan
kekuasaan pimpinan, maksudnya pemimpin harus kuat dan
kelas kedudukan kekuasaannya secara formal, sehingga
memperlancar usaha untuk mempengaruhi anggotanya.
Hersey dan Blanchard dalam Engkoswara (2011: 184)
mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi
efektivitas kepemimpinan, yaitu (1) kepribadian, pengalaman
masa lampau dan harapan pemimpin, (2) harapan dan
perilaku atasan; (3) tuntutan tugas yang diberikan; (4)
harapan dan perilaku rekan sejawat; (5) karakteristik, harapan
dan perilaku bawahan; (6) kultur dan kebijakan organisasi.
Selanjutnya dijelaskan bahwa kepemimpinan yang paling
efektif adalah sesuai dengan kematangananggota organisasi,
yaitu kesiapan anggota menerima tanggung jawab dan tugas
serta memiliki motivasi untuk berprestasi. Seorang pemimpin
perlu menerapkan pola kepemimpinannya dengan cara
menyesuaikan perkembangan setiap tahap kematangan
anggota. Untuk melaksanakannya ada 4 (empat) tipe tahapan
berikut ini:
Tahap Direktif atau Telling: pemimpin sebagai pengambil
keputusan dan memberi komando atau perintah kepada
anggota, sehingga terjadi komunikasi hanya satu arah saja
dari atas ke bawah.
Tahap Konsultatif atau Selling: pemimpin masih sebagai
penanggung jawab dan pengambil keputusan, tetapi sudah
mulai ada komunikasi dua arah.

168
Kepemimpinan Pendidikan

Tahap Partisipatif: pemimpin menciptakan interaksi


dengan anggotanya (komunikasi dua arah) berdasarkan
respek dan kepercayaan. Sehingga dalam pengambilan
keputusan, pemimpin mulai melibatkan anggotanya dan yakin
bahwa anggota sudah memiliki kematangan untuk
menyelesaikan tugas dengan baik.
Tahap Delegasi: pemimpin yakin bahwa apabila anggota
organisasi diberi kepercayaan dan tanggung jawab, maka
mampu untuk memecahkan masalah dan bisa mengambil
keputusan dengan tepat.
Keempat tahap tersebut hendaknya dilaksanakan sesuai
dengan situasi dan kondisi, baik berupa jenis pekerjaan,
waktu, watak anggota, harapan dan keinginan anggota, arah
dan tujuan organisasi, tingkat kematangan anggota, dan
sebagainya.Sehingga pemimpin harus menerapkan pola
kepemimpinannya disesuaikan dengan situasi yang
dihadapinya.

C. Fungsi Kepemimpinan
Kepemimpinan bukan monopoli individu pemimpin,
melainkan sebagai fungsi struktur kelompok.Dalam kelompok
tersebut dibutuhkan seseorang yang memiliki kemampuan
untuk menggerakkan, membimbing, mengarahkan,
memotivasi, memberikan inspirasi dan mengajak dengan suka
rela terhadap orang lain dalam rangka mencapai tujuan
organisasi. Sehingga diperlukan adanya seorang pemimpin
yang efektif.Pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang
anggotanya dapat merasakan bahwa kebutuhan mereka
terpenuhi, baik kebutuhan bekerja, motivasi, rekreasi,
kesehatan, sandang, pangan, tempat tinggal maupun
kebutuhan lainnya yang pantas didapatkannya.Dan
kepemimpinan akan terjadi secara efektif apabila pemimpin

169
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

dapat melakukan fungsi utamanya, yaitu menjalankan


kepemimpinannya dengan baik dan benar berdasarkan aturan
yang ditetapkan organisasi.
Fungsi utama kepemimpinan yaitu (1) berhubungan
dengan Tugas (task-related) atau fungsi pemecahan masalah,
dan (2) berhubungan dengan pembinaan kelompok (group
maintenance) atau fungsi sosial. (Engkoswara dan Aan
Komariah, 2011: 180). Fungsi tugas untuk memudahkan
koordinasi kelompok dan memecahkan masalah secara
mufakat.Sedangkan fungsi sosial untuk membantukegiatan
kelompok lebih lancar, menjembatani perbedaan pendapat,
meredam konflik, dan dapat memberikan perasaan bahagia
dan empati kepada anggota.
Pada umumnya, fungsi pemimpin dalam suatu lembaga
atau organisasi adalah sebagai:
1. Manajer organisasi, yaitu pengelola utama dari
perencanaan sampai dengan pertanggungjawaban kegiatan
organisasi. Sehingga pemimpin harus memiliki 3 (tiga)
ketrampilan, yaitu
a. Tehnical skills
b. human skills
c. conceptual skills
2. Pengambil keputusan (Decision making). Proses
pengambilan keputusan dimulai pada saat seorang
pimpinan menyadari adanya suatu masalah yang perlu
dipecahkan dan berakhir pada saat ia menggerakkan
anggotanya untuk melaksanakan keputusan yang telah
diambil. Pengambilan keputusan ini akan mempengaruhi
perkembangan dan kemajuan organisasi serta kesejah-
teraan anggotanya.

170
Kepemimpinan Pendidikan

Dalam hubungannya dengan teknik pengambilan


keputusan oleh seorang pimpinan, ada dua kategori
pengambilan keputusan yang dapat dilakukannya, yaitu
(1) keterampilan analisis dan (2) keterampilan
operasional.
Ada sepuluh macam keterampilan analisis yang harus
dimiliki oleh seorang pimpinan yaitu sebagai berikut.
(1)Kemampuan untuk menemukan suatu frame of refer-
ence
Suatu frame of reference memang tidak terbentuk begitu
saja, tetapi melalui suatu proses yang lama yang
diperoleh dari observasi, informasi dan pengalaman
yang langsung mempengaruhi cara berpikir dan cara
bertindak seseorang dalam menghadapi suatu masalah.
(2)Kemampuan mengasosiasikan
Kemampuan untuk melihat keserupaan, saling
hubungan, dan interpedensi antara sesuatu hal dengan
hal yang lain yang disebut kemampuan
mengasosiasikan.
(3)Persepsi urutan
Kemampuan untuk melakukan persepsi urutan
sebenarnya berkenaan dengan dimensi waktu.Dimensi
waktu yang dimaksud adalah kemampuan untuk
menghubungkan masa lalu yang dimanifestasikan oleh
pengalaman dengan masa sekarang dan dapat
diantisipasikan untuk masa mendatang.
(4)Elaborasi
Kemampuan untuk mengisi suatu kerangka secara
sistematis adalah kemampuan untuk mengelaborasi
sesuatu.

171
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

(5)Generalisasi
Kemampuan untuk dapat menggali dari sesuatu yang
banyak merupakan tuntutan pimpinan dalam
meningkatkan keterampilan pengambilan keputusan.
Generalisasi merupakan upaya untuk merumuskan
kebijaksanaan.
(6)Mengorganisasi
Artinya memiliki keterampilan untuk membagi-bagi
keseluruhan sehingga keseluruhan ini mempunyai
hubungan yang logis.
(7)Kemampuan melihat hal-hal yang strategis
Ini merupakan kemampuan seseorang untuk dapat
mengantisipasi sehingga pengambilan keputusannya
tepat.
(8)Orientasi kepada tujuan
Apa yang dilakukan pimpinan dalam tindakannya
selalu dihubungkan dengan tujuan. Oleh sebab itu
pemahaman terhadap tujuan organisasi sangat penting
bagi pengambilan keputusan.
(9)Objektivitas dan skeptimisme
Kemampuan seseorang untuk menerima pendapat or-
ang lain dan menelitinya sebelum ia menerima adalah
hubungan untuk terciptanya keputusan yang tepat.
(10) Kemampuan membangun relasi secara internal
maupun eksternal organisasi.
Dengan memahami aspirasi anggota dan harapan serta
kepentingan lingkungan di luar organisasi menjadi hal
yang sangat urgen bagi ketepatan pengambilan
keputusan.
Keterampilan Operasional meliputi hal-hal sebagai
berikut:
172
Kepemimpinan Pendidikan

(1) Penugasan para bawahan secara jelas.


(2) Pendelegasian wewenang.
(3) Penentuan sumber-sumber informasi supaya
mudah dalam pemecahannya.
(4) Menyediakan media komunikasi yang cukup.
(5) Mengendalikan disiplin.
(6) Penciptaan iklim kerja yang baik.
(7) Menyediakan kegiatan-kegiatan penunjang yang
mempercepat kepentingan keputusan.
(8) Memelihara ketertiban operasional sehingga
terdapat suasana saling menghargai dan
menghormati anatara unsur-unsur pelaksana di
dalam organisasi.
(9) Kesadaran tentang pentingnya pelaksanaan
kegiatan, termasuk pengambilan keputusan
secara institusional.
(10) Kemampuan mengorganisasi diri sendiri
(11) Kemampuan untuk mengetahui alat apa yang
diperlukan untuk suatu kegiatan
(12) Kemampuan dalam berkomunikasi baik tertulis
maupun lisan, karena melalui media komuni-
kasilah ide, perintah, dan keputusan disampaikan
oleh orang lain.
(13) Membina kepribadian yang antion-oriented dan
kurang kepada legal orientation.
(14) Kemampuan bersifat tentang dalam hal
menghadapi kesulitan operasional.
(15) Kemampuan mendisiplinkan diri sendiri.
3. Motivator, yaitu memiliki motivasi yang kuat di dalam
jiwanya untuk memimpin dengan baik dan mampu

173
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

memberikan dukungan penuh pada anggotanya untuk


bekerja secara optimal.
Sebagai upaya motivasi, pemimpin dapat melakukan
kegiatan untuk meningkatkan gairah kerja, disiplin,
kesejahteraan, prestasi kerja, moral kerja dan tanggung
jawab terhadap tugas, produktifitas dan efisiensi kerja.
Adapun tujuan pelaksanaan motivasi menurut Hasibuan
(1991 : 96), adalah :
a. Menyesuaikan perilaku anggota sesuai harapan
pemimpin
b. Meningkatkan gairah kerja
c. Meningkatkan disiplin
d. Meningkatkan prestasi kerja
e. Meningkatkan moral kerja
f. Meningkatkan kesejahteraan
g. Meningkatkan tanggung jawab
h. Meningkatkan loyalitas kepada perusahaan atau
lembaga
i. Meningkatkan produktifitas dan efisiensi
j. Meningkatkan partisipasi pegawai.
Pada dasarnya motivasi merupakan proses psikologis yang
menggambarkan interaksi sikap, kebutuhan, persepsi, dan
keputusan yang berasal dari faktor dalam diri sendiri dan
faktor dari luar dirinya. Sehingga jenis motivasi dapat
dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:
• Motivasi intrinsik
Yaitu keinginan bertindak karena adanya faktor
pendorong dari dalam dirinya sendiri. Misalnya sikap,
kepribadian, pendidikan, pengalaman, cita-cita atau
harapan masa depan.

174
Kepemimpinan Pendidikan

• Motivasi ekstrinsik
Yaitu hasrat melakukan sesuatu disebabkan adanya
pengaruh rangsangan dari luar; bisa dari pimpinan,
sejawat, lingkungan dan berbagai sumber yang lain.
Pemimpin suatu organisasi atau lembaga perlu
memiliki skill untuk bisa memotivasi anggotanya,
sehingga tercapai tujuan secara produktif. Tehnik-
tehnik motivasi tersebut, diantaranya adalah :
• Pemberian gaji yang memadai, sesuai dengan aturan
• Pemberian insentif dengan tepat sesuai bentuk
kinerja
• Memperdulikan kebutuhan sosial.
• Menghargai anggota.
• Menciptakan suasana damai.
• Menempatkan anggota pada posisi yang tepat.
• Memberi kesempatan untuk menambah
pengetahuan.
• Memberikan fasilitas yang menyenangkan.
• Mengikutsertakan anggota untuk bermusyawarah
(Nitisemiko dalam Engkoswara, 2011 : 218)
4. Evaluator: pemimpin memiliki fungsi sebagai evaluator
atau penilaiyaitu menilai kinerja anggotanya dan
memberikan penghargaan bagi prestasi kerjanya serta
sekaligus memperbaiki kinerja yang tidak sesuai program,
prosedur maupun tujuan organisasi. Penilaian yang
kontinu adalah penting, karena menjadi landasan usaha
perbaikan dan penyesuaian kembali pada semua sub
sistem lembaga atau organisasi sesuai keputusan
perbaikan yang dibutuhkan.

175
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

5. Dinamisator dan katalisator organisasi.


Maksudnya pemimpin berfungsi sebagai orang yang
mampu memajukan organisasi secara kreatif dan inovatif.
Sedangkan fungsi katalisator mempunyai maksud bahwa
seorang pemimpin harus bisa mengendalikan situasi dan
kondisi yang akan berpengaruh terhadap kemajuan atau
kemunduran organisasi.
Pemimpin yang dinamis, sangat menghargai perubahan
secara kreatif dan inovatif. Hal ini memberi makna bahwa
seorang pemimpin yang selalu berupaya untuk maju
mampu menciptakan sesuatu yang baru dari hal-hal yang
sudah ada dan mampu merubah gagasan atau ide menjadi
sesuatu (barang atau jasa).
Dalam kehidupan sehari-hari banyak dijumpai orang yang
kreatif tetapi tidak inovatif.Orang yang demikian, idenya
sangat berlimpah tetapi tidak mampu merubah idenya
menjadi kenyataan.
Pemimpin sebagai katalisator organisasi artinya harus
mampu menjembatani situasi dan kondisi yang terjadi
pada organisasinya.Situasi dan kondisi yang berbeda-beda
menyebabkan tuntutan yang berbeda-beda terhadap
pemimpin. Berarti tingkah laku pemimpin pada situasi
dan kondisi tertentu akan berbeda dengan tingkah laku
pemimpin pada situasi dan kondisi yang lain.
6. Stabilisator. Artinya seorang pemimpin harus mempunyai
kapabilitas terkuat dalam mempertahankan eksistensi
organisasi. Di samping itu juga perlu dilandasi oleh filsafat
keoptimisan, bahwa segala problema pasti dapat
diselesaikan.
7. Supervisor. Yaitu orang yang membantu, membina,
membimbing, melatih, mendidik, mengawasi, menilai dan

176
Kepemimpinan Pendidikan

turut serta dalam usaha-usaha perbaikan dan peningkatan


mutu.
Dalam berbagai aktifitasnya supervisor turut sebagai
partisipan, pimpinan (leadership) dan menstimulir
kerjasama anggota. Di samping itu juga mempunyai fungsi
sebagai penilai (evaluator) dengan cara penelitian (re-
search) dan merupakan usaha perbaikan (improvement).

D. Gaya Kepemimpinan
Istilah gaya sering diidentikkan dengan kata model, tipe,
style ataupun sikap. Kata mana yang dipilih dari semua kata
tersebut, mengandung makna dan maksud yang sepadan,
yaitu pola perilaku pemimpin dalam memperagakan
kepemimpinannya.
Kepemimpinan selalu memberikan kesan yang menarik,
karena dalam kepemimpinan diperlukan gaya yang sesuai
dengan situasi dan kondisi organisasi atau lembaga. Tetapi
pada prinsipnya kepemimpinan tidak hanya masalah gaya
yang di tampilkan oleh pemimpin, karena tidak satu gaya
pun yang dapat diterapkan secara konsisten pada beragam
situasi kondisi organisasi. Beberapa ahli kepemimpinan
menyatakan bahwa tidak ada gaya kepemimpinan yang baik
untuk semua situasi, karena masing-masing memiliki
keunggulan yang berbeda-beda. Oleh karenanya, penerapan
gaya kepemimpinan tidak lebih penting daripada masalah
kemampuan pemimpin dalam memperlakukan anggotanya
secara manusiawi, sehingga tugas dapat diselesaikan tepat
waktu dan berkualitas sesuai dengan standar yang diterapkan.
Sejumlah ahli teori kepemimpinan mengemukakan gaya
kepemimpinan yang berbeda-beda, sesuai dengan cara
pandang masing-masing.

177
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

• Engkoswara dan Aan Komariah (2011 : 180)


mengemukakan 2 (dua) macam gaya kepemimpinan,
yaitu:
1. Gaya dengan orientasi tugas (task oriented)
2. Gaya dengan orientasi pada anggota (employee-ori-
ented)
Gaya kepemimpinan berorientasi tugas berkeinginan
untuk menyelesaikan pekerjaan dengan memuaskan, tepat
waktu, dan sempurna.Pemimpin dalam hal ini benar-benar
mengendalikan anggotanya agar konsisten dan serius
dalam pekerjaannya, bahkan kadang-kadang tidak peduli
dengan urusan pribadi anggotanya.
Sedangkan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada
anggota, pemimpin berusaha memberikan motivasi,
membimbing dan mengarahkan secara empati dan
mempercayai anggota untuk bekerja dengan karya sendiri.
• Fred E. Fielder, dikenal dengan gaya kontingensi,
dinyatakan bahwa kepemimpinan yang efektif ditentukan
oleh 3 (tiga) variabel, yaitu:
1. Human relationship atau hubungan antara pemimpin
dengan yang dipimpin.
2. Staffing dan organizing yang efektif dan professional.
3. Otoritas pemimpin yang kuat dan tegas. (Ngalim
Purwanto : 1990 : 39)
Jadi keberhasilan kepemimpinannya dipengaruhi oleh
hubungan atasan dan bawahan yang harmonis, derajat
struktur tugas yang tepat, dan kedudukan kekuasaan
pimpinan yang tegas.
• Sondang P. Siagian (1990: 41), ada 4 (empat) gaya
kepemimpinan, yakni:

178
Kepemimpinan Pendidikan

1. Gaya kepemimpinan Otokratis


2. Gaya kepemimpinan Demokratis
3. Gaya kepemimpinan militeristis
4. Gaya kepemimpinan Paternalistis
Dalam kepemimpinan yang otokratis, pemimpin bertindak
sebagai penguasa mutlak dan anggota melaksanakan tugas
berdasarkan perintahnya secara patuh.Karakteristik
pemimpin otokratis, adalah:
a. Menganggap organisasi sebagai milik pribadi
pemimpin.
b. Tidak suka didebat maupun meminta pendapat
anggota
c. Anggota dipandang sebagai alat yang dapat
diperdayakan
d. Menetapkan tujuan pribadi sebagai tujuan organisasi.
e. Memimpin dengan cara paksa.
f. Merendahkan makna musyawarah dan menolak
partisipasi anggota.
Gaya kepemimpinan demokrasi dilandasi filsafat
kebersamaan dalam semua hal.Pemimpin dan anggota
terlibat bersama dalam penetapan policy atau kebijakan
organisasi.Mereka bekerja sama untuk mencapai tujuan
bersama. Ciri-ciri pemimpin yang demokrasi adalah:
a. Menekankan pada hubungan interpersonal yang baik.
b. Mengambil keputusan berdasarkan musyawarah.
c. Menghargai pendapat anggota.
d. Memberi kesempatan anggota untuk mengembangkan
inisiatif dan kreasi anggota.
e. Mendelegasikan sebagian kekuasaan dan tanggung
jawab kepada anggota.

179
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

f. Berupaya membimbing, mengarahkan dan


berpartisipasi dalam kegiatan organisasi.
Gaya kepemimpinan militeristis hampir serupa dengan
kepemimpinan otokrasi, sebagai ciri khas keduanya yang
paling menonjol adalah pemimpin sebagai penguasa
tunggal.Seorang pemimpin yang bergaya militeristis ialah
seorang pemimpin yang mempunyai ciri-ciri berikut:
a. Memerintah berdasarkan instruksi.
b. Pangkat dan jabatan sebagai alat untuk memaksa
anggotanya untuk melaksanakan tugas.
c. Tidak suka dikritik.
d. Disiplin kaku.
e. Formalistik dalam pelaksanaan tugas.
Gaya kepemimpinan paternalistik ini beranggapan bahwa
anggota adalah anak kecil yang masih membutuhkan
perlindungan.Sehingga pemimpin bertindak seperti orang
tua terhadap anaknya. Ciri-ciri pemimpin dengan gaya
paternalistikadalah:
a. Terlalu melindungi (over protective) dan kesan
memanjakan anggota.
b. Tidak menghargai kemampuan anggota.
c. Sikap kebapakansangat menonjol hingga mematikan
kreatifitas anggota.
d. Menghandle semua program kerja.
e. Manajemen organisasi ditangan pemimpin.
• Max Weber, seperti dikutip Syaiful Sagala (2010 : 150)
dikenal dengan teorinya tentang gaya kepemimpinan yang
didasari tradisi turun-temurun, kharisma dan wibawa. Hal
tersebut disebabkan adanya karakteristik pribadi yang
istimewa dan aturan-aturan yang logis atau perpaduan
antara keturunan, kharisma dan kewibawaan.

180
Kepemimpinan Pendidikan

Gaya kepemimpinan yang kharismatik, dibedakan menjadi


2 (dua) macam, yaitu:
a. Kewibawaan alamiah; maksudnya kewibawaan yang
telah melekat pada diri pemimpin.
b. Kewibawaan non alamiah (buatan), yaitu kewibawaan
yang diciptakan oleh jabatan dan kekuasaan. (Hikmat,
2009 : 258).
• Vroom dan Yetton, dikenal sebagai pencetus gaya
kepemimpinan (kontinum); dinyatakan bahwa kepemim-
pinan didasarkan pada 2 (dua) macam kondisi utama,
yaitu: (1) tingkat keefektifan tehnis diantara anggota, dan
(2) tingkat motivasi serta dukungan anggota. Dalam
pengambilan keputusan kadang-kadang pemimpin
bertindak sendiri, karena mendesak dan terukur oleh
profesionalitas kepemimpinannya, tetapi adakalanya
melibatkan anggota dalam rangka kemajuan organisasi.
Selanjutnya dijelaskan bahwa berdasarkan pada kedua
kondisi tersebut, maka pemimpin bisa memilih salah satu
dari gaya kepemimpinan yang diterapkan berkaitan dengan
pengambilan keputusan.
a. Apabila tingkat keefektifan tehnis anggota tinggi, tetapi
motivasi rendah, maka pemimpin memilih gaya mem-
buat putusan secara konsultatif, pimpinan berkonsultasi
dengan anggota.
b. Apabila tingkat keefektifan tehnis anggota rendah,
tetapi motivasi tinggi, maka pemimpin memilih gaya
mendelegasikan (delegate) kepada anggota. Dengan kata
lain pemimpin membuat keputusan, kemudian
melimpahkan tanggung jawab kepada anggota untuk
melaksanakannya.
c. Apabila tingkat keefektifan tehnis anggota maupun
motivasinya tinggi, maka pemimpin memilih gaya

181
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

membuat putusan bersama (share decision) atau


bermusyawarah. (Ngalim Purwanto, 1990 : 45).
• Gaya kepemimpinan Kendali Bebas atau disebut Leizess-faire.
Pemimpin dalam hal ini memberikan kebebasan seluas-
luasnya kepada semua anggota untuk melaksanakan
tugasnya.Pemimpin membiasakan mereka berinisiatif
sendiri, membuat kebijakan sendiri, dan mengatur strategi
tugasnya tanpa dorongan, bimbingan, pengarahan dan
pengawasan dari pimpinan. Gaya kepemimpinanini
seolah-olah tidak adaherarkhi struktural, pembagian tugas
tidak jelas, dan tidak ada proses kepemimpinan secara
fungsional maupun struktural.
Gaya kendali bebas atau Laizess-faireini mendasarkan pada
pemikiran bahwa segala aktifitas dalam organisasi agar
berjalan lancar dan sukses mencapai tujuan yang
ditetapkan, apabila anggotanya dalam melaksanakan tugas
diberi keleluasaan untuk memutuskan semua yang
dikehendaki kemudian melaksanakan sesuai dengan
keinginannya pula.Gaya ini dianggap tidak mempunyai
nilai manfaat, tetapi menjadi efektif dalam kelompok
profesional yang termotivasi tinggi.
• Gaya Kepemimpinan Pscudo demokratisatau demokrasi semu
(manipulasi demokrasi). Gaya ini menampakkan dua
wajah. Seolah-olah kepemimpinan yang diterapkan
demokratis, namun sebenarnya dilaksanakan kepemim-
pinan yang otokratis. Para anggota diajak untuk
menetapkan policy yang sebenarnya telah dibuat oleh
pimpinan, sehingga seolah-olah policy tersebut milik
bersama. Namun dalam prakteknya, policy pemimpinlah
yang dijadikan pegangan pelaksanaan tugas. Jadi bukan
lagi kebijakan bersama dari hasil musyawarah.

182
Kepemimpinan Pendidikan

• Gaya kepemimpinan dalam era perubahan sosial


Perubahan sosial yang sering terjadi dan akan terjadi,
sangat mempengaruhi keadaan dan kehidupan organisasi.
Hal ini antara lain mencakup:
1) Perubahan peran dan tujuan organisasi,
2) Membesar dan makin kompleksnya organisasi,
3) Penggunaan teknologi yang lebih maju,
4) Adanya bentuk organisasi baru,
5) Perubahan pandangan terhadap manusia
Demikian pendapat Margulies dalam Engkoswara (2011:
188), kemudian lebih tegas lagi pandangan Benis, bahwa
perubahan itu akan memberikan pengaruh yang kuat terhadap
iklim organisasi, gaya kepemimpinan, dan hakekat kehidupan
organisasi.
Dengan diberlakukannya Undang-undang No. 32 tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah, terjadi perubahan sistem
manajemen sentralistik menjadi desentralistik. Sehingga
menuntut adanya perubahan komponen organisasi dan juga
gaya kepemimpinan. Maksudnya dalam era perubahan ini
memberi peluang besar kepada para pemimpin untuk
mengembangkan nilai-nilai kepemimpinannya.
Pada era desentralisasi ini diperlukan pemimpin yang
bisa menyelesaikan situasi dan kondisi dengan komitmen
kualitas dan selalu memperbaharuinya sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.Selanjutnya Engkoswara (2011: 190)
mengemukakan 3 (tiga) jenis kepemimpinan yang dianggap
representatif dengan tuntutan era desentralisasi, yaitu
kepemimpinan transaksional, kepemimpinan transfor-
masional, dan kepemimpinan visioner. Ketiganya mempunyai
karakteristik sesuai dengan jenis masalah dan mekanisme
kerja yang dihadapi.

183
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

a. Kepemimpinan transaksional
Yaitu kepemimpinan yang menekankan pada tugas
anggota.Pemimpin sebagai desainer pekerjaan sekaligus
mekanismenya, sedangkan anggota yang melaksanakan tugas
sesuai kemampuan dan keahlian.
Ciri-ciri kepemimpinan transaksional adalah:
1) Peran pemimpin sebagai manajer.
2) Sesuai diterapkan pada anggota-anggota yang belum
matang.
3) Fokus pada pelaksanaan tugas untuk mendapatkan
insentif, bukan aktualisasi diri.
4) Pola hubungan berdasar timbal balik (transaksi).
5) Adanya anggapan bahwa anggota lebih senang diarahkan
dengan prosedur dan pemecahan masalahnya dari pada
tanggungjawab atas tindakan dan keputusan yang diambil
sendiri.
6) Menerapkan sistem reward dan punishment dalam kontrak
kerja yang telah disepakati.
7) Tidak mau berbagi pengetahuan kepada anggota dan
sedikit menyepelekan kepribadian manusia.
Berikut skematik model kepemimpinan transaksional
menurut Hoover dan Leitwood (Engkoswara,2011:191).
Gambar tersebut menunjukkan bahwa anggota atau bawahan
berusaha menghindari pekerjaan jika ada kesempatan untuk
itu, sehingga merasa senang tanpa pekerjaan dan tanggung
jawab. Pemimpin dalam hal ini harus senantiasa mengontrol,
mengarahkan, dan mengancam kalau perlu dalam upaya
untuk memaksa individu menjadi produktif.

184
Kepemimpinan Pendidikan

b. Kepemimpinan Transformasional.
Kepemimpinan transformasional adalah sebagai agen
perubahan dan bertindak sebagai katalisator. Maksudnya
pemimpin tersebut berperan meningkatkan sumber daya
manusia yang ada dan berusaha memberikan reaksi yang
memunculkan semangat dan daya kerja cepat serta optimal,
selalu tampil sebagai pelopor dan perubahan.
Banyak pakar kepemimpinan mengungkapkan bahwa
kepemimpinan transformasi adalah kepemimpinan yang ideal
di era desentralisasi ini.Hal ini berhubungan dengan
berkembangnya teknologi informasi yang harus ditransfor-
masikan secara komprehensif pada anggota. Sejalan dengan

185
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

pemikiran Luthans (Engkoswara, 192) yang mengidentifikasi


karakteristik pemimpin di abad XXI, adalah:
1) Innovates (menciptakan sesuatu yang baru).
2) An original (asli dari pemimpin).
3) Develops (mengembangkan).
4) Focuses on people (terkonsentrasi pada manusia).
5) Inspires trust (menghidupkan rasa percaya).
6) Long range perpective (memiliki perpektif jangka
panjang).
7) Asks what and why (ia menanyakan apa dan mengapa).
8) Eye on the horizon (berpandangan sama pada
sesamanya).
9) Challenges the status quo (menentang kemapanan).
10) Own person (mengakui tanggung jawab ada pada
pemimpin).
11) Does the right thing (mengerjakan yang benar).
Seiring dengan kemajuan pemikiran dan teknologi
dizaman yang penuh perubahan ini, maka karakteristik
pemimpin tersebut sangat berpengaruh pada perilaku
pemimpin.Pemimpin transformasional menjawab tantangan
itu untuk berbuat yang terbaik sesuai dengan kajian
perkembangan manajemen dan kepemimpinan secara utuh
melalui motivasi terhadap anggota dan menyerukan cita-cita
yang lebih tinggi dan nilai-nilai moral seperti kemerdekaan,
keadilan, dan kemanusiaan.
Selanjutnya Bass dan Aviola dalam Engkoswara (193)
mengemukakan kader kepemimpinan transformasional yang
disebut empat dimensi atau konsep”4i” (empat i),
maksudnya:

186
Kepemimpinan Pendidikan

“I” pertama :idealized influence (kharisma) yaitu perilaku


yang memunculkan rasa hormat (respect) dan rasa percaya
diri (trust) dari orang yang dipimpinnya. Idealized
influencemempunyai makna saling berbagi resiko, melalui
pertimbangan kebutuhan anggota di atas kebutuhan pribadi
dan perilaku moral secara etis.
“I” kedua :inspirational motivation, tergambar dalam
perilaku yang selalu bersifat tantangan bagi tugas yang
dilakukan anggota dan mempedulikan arti tugas bagi
angggota. Pemimpin menunjukkan komitmen terhadap
sasaran organisasi melalui perilaku yang bisa diamati anggota,
sehingga ia adalah seorang motivator yang bersemangat untuk
selalu membangkitkan aktualisme dan optimisme anggota.
“I” ketiga :intellectual stimulation: maksudnya sikap dan
perilaku kepemimpinan berdasarkan pada ilmu pengetahuan
yang berkembang dan secara intelektual ia mampu
menerapkannya dalam bentuk kinerja yang produktif.
Pemimpin senantiasa menjadi ide-ide baru dari orang-orang
yang dipimpinnya dan sekaligus mendorong pendekatan baru
dalam melakukan tugas.
“I” keempat :individualism consideration, direfleksikan oleh
pemimpin yang selalu mendengarkan dengan penuh perhatian
dan memberikan atensi khusus kepada kebutuhan prestasi
kerja dan kebutuhan anggota.
Berikut gambar model kepemimpinan Transformasional
menurut Bass dan Aviola kemudian disadur oleh AlHamdani
(2003) seperti dikutip Engkoswara (2011:194). Kepemim-
pinan transformasional bisa dilihat secara makro dan dan
mikro.Dipandang secara makro,kepemimpinan transfor-
masional merupakan proses memobilisasi kekuatan untuk
mengubah sistem sosial dan mereformasi kelembagaan.

187
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Sedangkan secara mikro, kepemimpinan transformasional


sebagai proses yang mempengaruhi antar individu.

Sumber : Bass dan Aviola

Gambar Model Kepemimpinan Transformasional

c. Kepemimpinan Visioner
Yaitu kemampuan pemimpin dalam mencipta, merumus-
kan, mengkomunikasikan dan mengimplementasikan
pemikiran-pemikiran ideal yang berasal dari dirinya atau hasil
interaksi sosial diantara anggota dan stakeholders yang diyakini
sebagai cita-cita organisasi di masa depan yang harus dicapai
melalui komitmen semua personil.
Pemimpin visioner adalah pemimpin yang memiliki
wawasan yang jauh ke depan dan berupaya memperbaiki dan
mengembangkan organisasi bukan untuk saat ini tapi di masa
datang. Dampak positif dari kepemimpinan yang visioner pada
suatu lembaga akan tampak pada cara ia menentukan kebijakan
dan keputusan, dasar pengambilan keputusan, cara yang sesuai

188
Kepemimpinan Pendidikan

dengan aturan dan sesuai pula bagi pihak yang menerima


delegasi, acuan sikap dalam bekerja, dan acuan pengawasan.
• Konsep Kepemimpinan Visioner
1) Harus memahami Konsep Visi
Visi merupakan tindakan, kekuatan, kecakupan atau
kemampuan untuk melihat dan memahami untuk
berimajinasi dalam mempersiapkan masa datang.
2) Harus memahami Karakteristik dan Unsur Visi
Karakteristik visi adalah:
a) Arah dan tujuan jelas, mudah dipahami.
b) Terkandung cita-cita tinggi.
c) Menumbuhkan semangat, inspirasi, kegairahan dan
komitmen.
d) Tidak sekedar kepentingan pemimpin, tetapi juga
untuk anggota.
e) Mempunyai gagasan brilian.
f) Memperhatikan lingkungan sekitar atau penelitian
sejarah perkembangan masyarakat.
3) Harus memahami Tujuan Visi
Tujuan visi adalah memperjelas arah perubahan tertentu
untuk masa mendatang yang mengandung cita-cita,
nilai, semangat motivasi, niat yang jelas, wawasan dan
keyakinan.
• Langkah-langkah Kepemimpinan Visoner
1) Penciptaan Visi
Visi diciptakan berdasarkan pemikiran bersama antara
pemimpin dan anggotanya berupa gagasan dan ide
cemerlang tentang cita-cita memajukan organisasi di
masa depan.

189
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

2) Perumusan visi
Visi dirumuskan dalam pernyataan yang jelas, tegas,
sehingga memudahkan lembaga atau organisasi untuk
menetapkan cara-cara untuk mencapainya. Berikut
kriteria merumuskan visi, sebagai berikut:
(1) Mudah diingat.
(2) Singkat, maksimal 8 (delapan) kata.
(3) Menarik perhatian warga internal lembaga dan stake-
holders.
(4) Memberi inspirasi menantang untuk mencapai
prestasi di masa yang akan datang.
(5) Berfungsi sebagai titik temu dengan stakeholders.
(6) Menyatukan esense yang jelas tentang seharusnya
bagi lembaga.
(7) Memungkinkan fleksibilitas dan keluwesan dalam
pelaksanaannya. (Husaini Usman, 2010 : 625)
3) Transformasi Visi
Maksudnya adalah bahwa rumusan visi organisasi harus
memiliki nilai kepercayaan bagi lembaga yang diatasnya
maupun stakeholders.
4) Implementasi visi
Visi merupakan keadaan dimasa depan yang ingin
dicapai, jadi semakin jelas suatu visi, semakin mudah
mengimplementasikannya. Cara mengimplementasikan
visi disebut misi.Dalam hal ini pemimpin dituntut untuk
mampu memerinci visi menjadi visi atau tindakan untuk
mewujudkan visi.
Sehingga dibutuhkan kepemimpinan yang kuat,
mempunyai vision (visi) yang jelas, dalam arti
sebenarnya. Gutric & Reed menyatakan dalam arti
singkatan, VISION adalah pemimpin harus memiliki

190
Kepemimpinan Pendidikan

vision (visi), inspiration (memberi ilham), Strategy Orien-


tation (orientasi jangka panjang), integrity (integritas),
Organizatinal sophisticated (memahami dan berorganisasi
dengan canggih), dan Nurturing (memelihara
keseimbangan, keharmonisan antara tujuan lembaga,
dengan tujuan individu anggota atau peka terhadap
kebutuhan anggota. (Husaini, 2010 : 626).
Berikut gambar model kepemimpinan visioner yang
dikembangkan Locke (1997). (Engkoswara, 2011 : 197):

Gambar Model Kepemimpinan Visioner

191
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

E. Kepemimpinan Pendidikan
1. Konsepsi Kepemimpinan Pendidikan
Pemimpin pendidikan secara hakiki mencakup semua
orang yang bergerak di bidang penanaman pengaruh dan
bimbingan serta ajakan dalam mengelola pendidikan. Dalam
pendidikan formal maupun non formal, pemimpin pendidikan
meliputi guru, kepala sekolah, dosen, rektor, kyai, ulama,
ustadz, kepala kantor Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan dari jenjang paling bawah sampai atas, penilik
sekolah, pengawas sekolah, dan sebagainya.
Kepemimpinan dalam pendidikan mempunyai figur
tersendiri dibandingkan dengan kepemimpinan pada
umumnya.Hal tersebut mempunyai makna bahwa pemimpin
pendidikan harus mampu mengedepankan uswah khasanah
(teladan yang baik),berjiwa penuh kasih sayang dan bijaksana.
Adanya slogan guru –”di gugu lan di tiru”, ternyata benar apa
yang dicontohkan atau dilakukan gurunya, murid akan
menirunya. Bahkan mungkin lebih dari itu, “guru kencing
berdiri, murid kencing berlari”.
Jadi, tingkah laku pemimpin pendidikan tidak hanya
mendapat evaluasi dari atasan, tetapi juga menjadi penilaian
masyarakat.
Mempertimbangkan idealisme kepemimpinan yang ingin
diraih lembaga pendidikan, sebaiknya mengacu pada tingkah
laku dan sifat Nabi Muhammad SAW yang dapat dijadikan
barometer oleh semua lembaga pendidikan, yaitu shidik
(jujur), amanah (terpercaya), tabligh (komunikatif), dan
fathanah (cerdas).
Nabi Isa a.s adalah pemimpin umat yang penuh dengan
kasih sayang; berkorban untuk kehidupan yang layak dan
memiliki harga diri yang tinggi.Kepemimpinan Nabi Isa ini
ideal bagi lembaga pendidikan.

192
Kepemimpinan Pendidikan

Nabi Musa a.s dikenal sebagai nabi yang berani, tegas,


tanpa pandang bulu dalam mengadili orang salah.Beliau
berani menghancurkan Fir‘aun dan pasukannya serta tidak
gentar menghadapi orang-orang yang menzalimi.
Kepemimpinan seperti ini patut dikembangkan dan dicontoh
sebagai pemimpin ideal untuk lembaga pendidikan, yaitu
pemimpin yang tegas, tidak menganut KKN (Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme), sehingga akan tercipta lembaga pendidikan
yang maju, berkarakter dan berkualitas.
Apabila kepemimpinan Nabi Isa dan Nabi Musa
dipadukan, muncullah kepemimpinan yang sempurna, yaitu
kepemimpinan Nabi Muhammad SAW,sebagai rahmat bagi
seluruh alam, namun tegas terhadap orang-orang kufur.
Para ahli memberikan definisi kepemimpinan pendidikan
dengan memadukan pengertian kepemimpinan dan
pendidikan. Pengertian kepemimpinan sudah disampaikan di
muka, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
kepemimpinan pendidikan adalah proses mempengaruhi,
memerintah secara persuasif, memberi contoh, dan
bimbingan kepada orang lain seperti guru, konselor, dan
profesi kependidikan lainnya untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. (Syaiful, 2010 : 147). Dengan kata lain,
kepemimpinan pendidikan adalah kemampuan mem-
pengaruhi dan menggerakkan orang lain untuk melaksanakan
tugas dengan berhasil mencapai tujuan pendidikan.
Berdasarkan pengertian di atas ada komponen-komponen
kepemimpinan pendidikan yang penting, yaitu:
a. Adanya proses rangkaian tindakan dalam sistem
pendidikan.
b. Mempengaruhi dan memberi teladan.
c. Memberi perintah dengan cara persuasi dan manusiawi
tetapi tetap menjunjung tinggi disiplin dan aturan.

193
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

d. Anggota patuh pada perintah sesuai wewenang dan


tanggung jawab.
e. Menggerakkan semua anggota untuk menyelesaikan tugas,
sehingga tercapai tujuan. (148).
Selanjutnya untuk memenuhi kriteria kepemimpinan
tersebut diperlukan kepemimpinan yang visioner,
kepemimpinan yang efektif dalam penentuan kebijakan,
kepemimpinan yang tepat dalam mengambil keputusan,
kepemimpinan yang mampu melakukan pendelegasian secara
tepat dan kepemimpinan yang demokratis.
2. Karakteristik kepemimpinan pendidikan
Kepemimpinan pendidikan memiliki karakteristik
dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Manusiawi.
b. Memandang jauh ke depan (visioner).
c. Inspiratif.
d. Percaya diri (Sharplin, 1985 : 149)
Sementara (Hikmat,2009 : 261) mengidentifikasi sifat-
sifat yang harus dimiliki oleh pemimpin yang ideal untuk
lembaga pendidikan berikut ini,
a. Capacity, meliputi :
1) Kecerdasan.
2) Kewaspadaan.
3) Kemampuan bicara.
4) Keterampilan.
5) Kemampuan evaluasi.
b. Achievement, meliputi :
1) Titel atau gelar pendidikan.
2) Pengetahuan.

194
Kepemimpinan Pendidikan

3) Keberhasilan.
4) Kesehatan jasmani rohani.
c. Responsibility, meliputi:
1) Mandiri dan inisiatif.
2) Tekun.
3) Agresif.
4) Percaya diri.
5) Futuristik.
d. Participation, meliputi:
1) Aktif.
2) Relationship.
3) Cerdas membangun team works.
4) Adaptif.
e. Status, meliputi:
1) Kedudukan sosial ekonomi.
2) Popularitas.
f. Situation, meliputi:
1) Mental baik.
2) Skill.
3) Energik.
4) Fleksibel.
5) Goal oriented.
Seorang pemimpin pendidikan perlu mempunyai sikap
peduli dalam pengelolaan pendidikan dan benar-benar
memahami bahwa manajemen pendidikan tidak bisa lepas
dari pembaharuan yang serba cepat mengikuti arus zaman,
yaitu tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan sebagai
bagian dari dinamika pendidikan. Dampak dari pembaharuan
dan perkembangan ilmu pengetahuan tesebut, sebagai

195
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

konsekuensinya pemimpin perlu kesiapan bereaksi dan


motivasi yang kuat dengan aktifitas yang penuh tanggung
jawab agar tidak tertinggal oleh pembaharuan dalam dinamika
pendidikan yang kompetitif.
Bagaimanakah agar pemimpin pendidikan bisa
memunculkan sikap kritis dan peduli terhadap pembaharuan.
Kepedulian itu memberi gambaran bahwa seorang pemimpin
cepat bereaksi, tanggap, dan merespon hal-hal yang sekiranya
memberi kontribusi terhadap mutu lembaga yang
dipimpinnya sebagai bagian dari pembaharuan.
Berikut ini tabel sikap kritis dan kepribadian kepemim-
pinan yang dikembangkan Harold T.Smith (Timpe) dalam
Syaiful (2006 : 169), diharapkan bisa membantu para
pemimpin pendidikan untuk lebih memusatkan perhatiannya
dalam memahami kinerja lembaga.
Tabel Sikap Kritis dan Kepedulian kepemimpinan

196
Kepemimpinan Pendidikan

3. Prinsip-prinsip Kepemimpinan Pendidikan


Prinsip kepemimpinan yang dikembangkan dalam dunia
pendidikan menganut sikap demokratik. Makna demokrasi
dalam Kamus Besars adalah sebagai berikut:
a. Prinsip partisipasi
Pemimpin berusaha meningkatkan dan memupuk
kesadaran pada setiap anggotanya agar rela dan ikut
bertanggung jawab serta aktif berpartisipasi dalam
memikirkan serta memecahkan masalah-masalah yang
berkaitan dengan perencanaan strategi program
pendidikan.
b. Prinsip Kooperasi
Dalam prinsip kooperasi ini, partisipasi harus
ditingkatkan menjadi kerja samayang dinamis. Setiap
anggota disamping bertanggung jawab dalam tugasnya
masing-masing, juga harus merasa berkepentingan pada
masalah yang berkaitan dengan suksesnya tugas anggota
lain. Adanya kesadaran dan perasaan seperti itu
memungkinkan anggota akan sering bantu-membantu

197
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

serta kerja sama dalam setiap usaha serta memecahkan


masalah yang timbul dalam lembaga yang barangkali bisa
menjadi kendala lembaga dalam mencapai tujuan.
c. Prinsip Human Relation
Perlu diciptakan suasana persahabatan dan persau-
daraan yang harmonis serta perlu dipupuk sikap saling
menghormati. Pemimpin juga harus menjadi teladan bagi
terciptanya suasana semacam itu, tidak boleh bersikap
sebagai majikan terhadap bawahan, melainkan harus dapat
menempatkan diri sebagai sahabat tanpa melupakan unsur-
unsur formal jabatannya.
d. Prinsip Pendelegasian
Pemimpin perlu mendelegasikan kekuasaan,
wewenang dan tanggungjawabnya pada anggota sesuai
kapasitasnya masing-masing, agar proses kerja secara
keseluruhan dapat berjalan lancar, efektif, dan efisien.
Pemimpin harus yakin dan percaya bahwa setiap
anggota mempunyai kemampuan dan potensi yang dapat
bermanfaat bagi lembaga kerjanya.
e. Prinsip fleksibilitas organisasi dan tata kerja
Tujuan penyusunan program dan tata kerja organisasi
adalah untuk mengatur kegiatan dan hubungan kerja yang
harmonis, dinamis, efektif, dan efisien.Dalam hal ini perlu
diperhatikan bahwa hendaknya struktur organisasi dan
hubungan serta tata kerja tersebut tidak menimbulkan
suasana kaku, sehingga membawa dampak negatif yang
dapat menghambat perencanaan dan pelaksanaan program.
Fleksibilitas organisasi akan menjamin hubungan kerja
dan tata kerja yang sesuai dengan kenyataan dan masalah
baru yang muncul dan selalu berubah. Perubahan itu tidak

198
Kepemimpinan Pendidikan

bisa lepas dari berbagai hubungan kemanusiaan diantara


anggota.
f. Prinsip kreatifitas
Guilford dalam Alma (2002 : 47) mengemukakan 5
(lima) ciri kemampuan berpikir kreatif, yaitu:
1) Fluency (kelancaran) adalah kemampuan melahirkan
banyak ide atau gagasan.
2) Flexibility (keluwesan) yaitu kemampuan
mengemukakan berbagai macam pemecahan atau
pendekatan masalah.
3) Originality (keaslian) ialah kemampuan menciptakan
gagasan yang bersifat asli, tidak klise.
4) Elaboration (penguraian) adalah kemampuan
menguraikan secara terperinci.
5) Redefinition (perumusan kembali) yaitu kemampuan
merumuskan kembali suatu persoalan perspektif yang
berbeda dengan apa yang telah ada.
Seorang pemimpin minimal memiliki ciri-ciri tersebut
kaitannya dengan kreatifitas sekaligus berusaha
mendorong usaha kreatif anggotanya. Tanpa adanya
kreatifitas dalam organisasi, maka organisasi tesebut akan
selalu tertinggal oleh kemajuan dan tuntutan masyarakat
yang selalu berubah. Dari sikap kreatif ini akan muncul
ide-ide baru yang dapat membantu kemajuan organisasi.

4. Kepala Sekolah Sebagai Pemimpin Pendidikan


Pendidikan menurut Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian

199
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta


keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa,
dan Negara.
Implikasi pendidikan sebagaimana tertuang di dalam UU
Sisdiknas tersebut tidak dapat terwujud begitu saja tanpa
dikelola melalui lembaga-lembaga pendidikan di sekolah dan
luar sekolah sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan dicanangkannya gerakan mutu pendidikan
tanggal 2 Mei 2002, maka sekolah mau tidak mau harus
mengawali dengan mereformasi penyelenggaraan pendidikan
untuk memenuhi harapan pendidikan yang bermutu.
Reformasi sekolah tidak hanya terbatas pada pengelolaan
sekolah saja, tetapi penataan kembali semua institusi yang
berkaitan langsung maupun tidak langsung terhadap sekolah.
Kepala sekolah, guru, konselor dan tenaga kependidikan
lain adalah tenaga professional yang harus terus-menerus
berinovasi untuk kemajuan sekolah, bukan birokrat yang
sekedar patuh menjalankan tugas sesuai petunjuk atasan.
Dengan demikian tercipta konsep sekolah efektif, yaitu
sekolah yang memiliki profil yang kuat, mandiri, inovatif, dan
memberikan iklim yang kondusif bagi civitas academika untuk
mengembangkan sikap kritis, kreatif, dan motivasi. Konsep
sekolah sebagaimana dijelaskan tersebut, memiliki kerangka
akuntabilitas yang kuat kepada peserta didik dan warga
sekolah yang lain melalui pemberian layanan yang berkualitas
dan bukan semata-mata akuntabilitas pemerintah karena
ketaatannya.
Bertitik tolak dari kondisi dan penataan kembali
manajemen sekolah tersebut, peran apa yang harus dimainkan
kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan pada satuan
pendidikannya dalam rangka memiliki tuntutan pendidikan
yang bermutu?

200
Kepemimpinan Pendidikan

Pengelolaan pendidikan dengan menciptakan lingkungan


belajar yang kondusif berkelanjutan merupakan komitmen
dalam pemenuhan janji sebagai pemimpin pendidikan.Kepala
sekolah mempunyai peran yang sangat penting dalam
menentukan operasional kerja harian, mingguan, bulanan,
semesteran dan tahunan yang dapat memecahkan berbagai
problematika pendidikan di sekolah.
a. Peran kepala Sekolah menghadapi persaingan
mutu:
1) Kepala sekolah yang semula otoriter, mereformasi
dirinya menjadi kepala sekolah yang kolaboratif,
sehingga menumbuhkan iklim sekolah yang
demokratis yang dapat mengakomodir aspirasi seluruh
warga sekolah.
2) Memenuhi kebutuhan civitas academika secara pro-
fessional.
Kepala sekolah harus mengetahui persis kebutuhan
para guru dan tenaga pendidikan lainnya dalam
melaksanakan tugas profesionalnya.
3) Memposisikan diri untuk mewakili masyarakat
pendidikan.
Hal ini untuk tujuan memperbaiki sistem yang
dipandang tidak memberdayakan pendidikan, seperti
perlakuan pada birokrat pemerintah bahwa kepala
sekolah diperlakukan sebagai pelaksana tehnis dari unit
kerjanya, sehingga tidak memiliki otonomi atas dasar
keprofesionalannya.
4) Belajar menanggulangi kekuatan yang non linier,
maksudnya dalam upaya meningkatkan kualitas
pembelajaran, tidakbisa menyepelekan hal-hal yang
kecil, karena bisa jadi hal itulah yang menghambat
kesuksesan.

201
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

5) Sebagai “learning person”, yaitu seseorang yang selalu


berusaha menambah pengetahuan dan keterampilan-
nya.
6) Sebagai pemerhati hati lingkungan sekolah secara
komprehensif.
Perhatian kepala sekolah meliputi keseluruhan
lingkungan fisik sekolah, kegiatan dan interaksi
fungsionalnya mulai dari gedung sampai sudut-sudut
halamannya,kantor, ruang kelas, kantin, toilet, parkir,
taman, dan sebagainya.
7) Membuka ruang kreatifitas dan otonomi guru seluas-
luasnya dan proportional guru. Kepala sekolah
memberikan kesempatan kepada guru dan tenaga non
guru untuk memaksimalkan pemikiran dan keteram-
pilannya dalam rangka memajukan sekolah.
8) Membudayakan tradisi “disiplin diri” dengan sepenuh
hati.
Kepala sekolah berusaha membiasakan diri dengan
ikhlas berada di sekolah sebelum orang lain datang
dan masih berada di sekolah sesudah orang lain pulang.
Disiplin adalah begitu penting dilaksanakan dengan
tulus, bukan karena takut pada atasan. Oleh karenanya
jika kepala sekolah akan memenuhi dengan niat
disiplin diri tersebut, maka guru dan karyawan akan
mengikuti teladan pimpinannya.
Dalam upaya peningkatan mutu yang kompetitif yaitu
model manajemen sekolah tentu tidak cukup dengan
peran kepala sekolah saja, tetapi juga dengan
memberdayakan potensi sumber daya sekolah dengan
memberikan fungsi yang optimal dan proporsional
bagiseluruh elemen sekolah baik tingkat pimpinan
maupun operasional dengan menjadikan semua unsur

202
Kepemimpinan Pendidikan

di sekolah adalah manajer terhadap tugas dan tanggung


jawabnya.
b. Kriteria Kepala Sekolah
Husaini (2010 : 653), memerinci kriteria kepala
sekolah sebagai pemimpin pendidikan sebagai berikut:
1) Setiap sekolah/madrasah dipimpin oleh seorang kepala
sekolah/madrasah.
2) Kriteria untuk menjadi kepala dan wakil kepala
Sekolah-Madrasah berdasarkan ketentuan dalam
standar pendidik dan tenaga kependidikan.
3) Kepala SD/MI, SMP/MTs/SMPLB dibantu minimal
oleh satu orang wakil kepala sekolah madrasah.
4) Kepala SMA/MA dibantu minimal tiga wakil kepala
sekolah/madrasah untuk bidang akademik, sarana dan
prasarana, dan kesiswaan. Sedangkan Kepala SMK
dibantu empat wakil kepala sekolah untuk bidang
akademik, sarana dan prasarana, kesiswaan, dan
hubungan dunia usaha dan dunia industri. Dalam hal
tertentu atau sekolah/madrasah yang masih dalam
taraf pengembangan, kepala sekolah/madrasah dapat
menugaskan guru untuk melaksanakan fungsi wakil
kepala sekolah/madrasah.
5) Wakil kepala sekolah/madrasah dipilih oleh dewan
pendidik, dan proses pengangkatan serta keputusan-
nya, dilaporkan secara tertulis oleh kepala sekolah/
madrasah kepada institusi di atasnya. Dalam hal
sekolah/madrasah swasta, institusi dimaksud adalah
penyelenggara sekolah/madrasah.
6) Kepala dan wakil kepala sekolah/madrasah memiliki
kemampuan memimpin yaitu seperangkat pengeta-
huan, keterampilan, dan perilaku yang dimiliki,

203
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

dihayati, dikuasai, dan diwujudkannya dalam


melaksanakan tugas keprofesionalan sesuai dengan
Standar Pengelolaan Satuan Pendidikan.
7) Kepala sekolah/madrasah dapat mendelegasikan
sebagian tugas dan kewenangan kepada wakil kepala
sekolah/madrasah sesuai dengan bidangnya.
Sedangkan dalam konteks perguruan tinggi, kriteria
pemimpin yang didambakan adalah pemimpin yang
memiliki wawasan keilmuan tinggi, (minimal guru besar).
Disamping itu juga mempunyai keterampilan-keterampilan
sebagai berikut:
1) Menguasai bahasa asing yang aktif, seperti bahasa
Inggris, bahasa Arab.
2) Hubungan yang luas dengan lembaga pendidikan di
dalam maupun luar negeri.
3) Memiliki keahlian dan keilmuan yang mumpuni.
4) Konseptor yang andal.
5) Dipilih oleh wakil-wakil dosen (senat) secara
demokratis.
6) Memiliki visi dan misi yang jelas dan mudah
diimplementasikan dalam kegiatan akademik dan
managerial lembaga.
7) Bijaksana, jujur, dan amanah
8) Pandai menempatkan karyawan sesuai kapabilitas dan
profesionalitasnya.
9) Tidak bergantung pada politik praktis. (Hikmat, 2009:
263)
Tentu saja keterampilan-keterampilan pemimpin
lembaga pendidikan tesebut harus diimbangi dengan
kecerdasan dalam memecahkan masalah yang dihadapi
lembaga. Pemimpin yang cerdas dan tanggap terhadap

204
Kepemimpinan Pendidikan

permasalahan lembaga akan mencermati latar belakang


munculnya masalah dengan cara mengumpulkan data yang
akurat dan menyelesaikan permasalahan secara ilmiah dan
rasional.
c. Tugas Kepala Sekolah/Madrasah
Tugas Kepala Sekolah sebagai pemimpin pendidikan
di satuan pendidikannya tidak semudah menambahkan
telapak tangan, tetapi sangat berat, luas dan dalam sesuai
dengan beratnya tuntutan mutu pendidikan yang harus
dipenuhi. Berikut Husaini (2010 : 654) secara global
mengemukakan tugas-tugas kepala sekolah/madrasah,
yaitu:
1) Menjabarkan visi ke dalam target mutu.
2) Merumuskan tujuan dan target mutu yang akan
dicapai.
3) Menganalisis tantangan, peluang, kekuatan,
kelemahan Sekolah/Madrasah.
4) Membuat rencana kerja strategis dan rencana kerja
tahunan untuk pelaksanaan peningkatan mutu.
5) Bertanggung jawab dalam membuat keputusan
anggaran sekolah/madrasah.
6) Melibatkan guru, komite sekolah dalam pengambilan
keputusan penting sekolah/madrasah. Dalam hal
sekolah/madrasah swasta, pengambilan keputusan
tersebut harus melibatkan penyelenggara sekolah/
madrasah.
7) Berkomunikasi untuk menciptakan dukungan intensif
dari orang tua peserta didik dan masyarakat.
8) Menjaga dan meningkatkan motivasi kerja pendidik
dantenaga kependidikan dengan menggunakan sistem

205
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

pemberian penghargaan atas prestasi dan sanksi atas


penyelenggaraan peraturan dan kode etik.
9) Menciptakan lingkungan pembelajaran yang efektif
bagi peserta didik.
10) Bertanggung jawab atas perencanaan partisipatif
mengenai pelaksanaan kurikulum.
11) Melaksanakan dan merumuskan program supervisi,
serta memanfaatkan hasil supervisi untuk
meningkatkan kinerja sekolah/madrasah.
12) Meningkatkan mutu pendidikan.
13) Memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga,
profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan
yang diberikan kepadanya.
14) Memfasilitasi pengembangan, penyebarluasan, dan
pelaksanaan visi pembelajaran yang dikomunikasi
dengan baik dan didukungoleh komunitas sekolah/
madrasah.
15) Membantu, membina, dan mempertahankan
lingkungan sekolah/madrasah dan program
pembelajaran yang kondusif bagi proses belajar
peserta didik dan pertumbuhan profesional para guru
dan tenaga kependidikan yang lain.
16) Mengelola menajemen organisasi dan pengoperasian
sumber daya sekolah/madrasah untuk menciptakan
lingkungan belajar yang aman, efisien, dan efektif.
17) Menjalin kerja sama dengan orang tua peserta didik
dan masyarakat, dan komite sekolah/madrasah
menanggapi kepentingan dan kebutuhan komunitas
yang beragam, dan memobilisasi sumber daya
masyarakat.

206
Kepemimpinan Pendidikan

18) Memberi contoh/teladan/tindakan yang bertanggung


jawab.
Kepala sekolah yang memimpin tanpa ilmu
kependidikan dan hanya bermodalkan kekuasaan dan
kedekatan dengan atasannya serta kebiasaan menakut-
nakuti para guru dan peserta didiknya untuk menerima
hukuman jika tidak patuh padanya, sudah selayaknya tidak
menduduki jabatan kepala sekolah.Kepemimpinan seperti
inilah yang mematikan kreatifitas dan otonomi guru
maupun peserta didiknya.Oleh karenanya diperlukan
adanya penilaian terhadap kepemimpinan kepala sekolah.
Penilaian yang kontinu terhadap kinerja pimpinan
menjadi hal yang urgen, karena menjadi landasan usaha
perbaikan program, prosedur, dan usaha mencapai tujuan.
Dengan menggunakan penilaian tersebut, efektifitas
kinerja semua sub sistem sekolah bisa ditentukan dan
kualitas pembelajaran dapat ditingkatkan, sehingga pada
akhirnya kualitas pendidikan dapat diperbaiki,disinilah
tampak jelas peran kepala sekolah sebagai pemimpin
pendidikan.

207
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

BAB VI
TOTAL QUALITY MANAGEMENT (TQM)
DALAM PENDIDIKAN

A. Konsep Total Quality Management


Manajemen yang berorientasi kepada kualitas dan
memenuhi kepuasan pelanggan adalah Total Quality Manage-
ment (TQM) atau manajemen mutu terpadu, merupakan
pilihan yang tepat dalam pengelolaan lembaga pendidikan
saat ini. Dengan falsafah holistik yang dibangun berdasarkan
konsep kualitas, team work produktifitas serta kepuasan
pelanggan, pendekatan ini nanti akan menggantikan posisi
manajemen konvensional. Dengan terus mencoba untuk
memaksimalkan daya saing organisasi melalui perbaikan atau
produk jasa, manusia, proses dan lingkungan.
Sebagai pencetus TQM, Deming (Sashkin dan Kiser,
1993: 56) mengemukakan, bahwa “Quality is What the custom-
ers says it is”. Dalam konteks pendidikan, TQM adalah suatu
cara untuk menjamin kualitas standar dalam pendidikan
(Sallis, 1993: 8). Lembaga pendidikan mempunyai peran yang
sangat penting dan strategis dalam menyiapkan sumber daya
manusia untuk menghadapi tantangan global pada milenium
ke-tiga ini. Sejalan dengan pendapat di atas, Feigenbaum
(Gunawan, 2004: 11-12) mengatakan bahwa faktor kunci

208
Total Quality Management (TQM) dalam Pendidikan

dalam menentukan kualitas lulusan adalah kualitas


pendidikan yang diperolehnya selama belajar, sedangkan
kualitas pendidikan ditentukan oleh kualitas lembaga tempat
lulusan belajar.
TQM is a philosophy of continuous improvement, which can
provide any educational institution with a set of practical tools
for wiving meeting and exceeding present and future custom-
ers needs, wants, and expectations. (Edward Sallis, 1993 :
34)
Pendapat tersebut mengandung pengertian bahwa TQM
adalah sebuah filosofi tentang perbaikan secara terus-menerus
yang dapat memberikan seperangkat alat praktis kepada setiap
institusi pendidikan dalam menambahi kebutuhan, keinginan,
dan harapan para pelanggannya saat ini dan masa yang akan
datang.
1. Sejarah Manajemen Mutu Terpadu (MMT) atau Total
Quality Management (TQM)
Akibat Perang Dunia II, industri Jepang hancur total.
Untuk membangun kembali dan bangkit dari kehancuran
industrinya tersebut, pada tahun 50-an Asosiasi Insinyur
Jepang mengundang Dr. W. Edward Deming untuk melatih
para insinyur Jepang dalam bidang manajemen untuk
mencapai kualitas, yang kemudian dikenal sebagai Total Quality
Management (TQM).
Deming mengajarkan bahwa, barang atau jasa yang
berkualitas adalah yang dapat memenuhi kebutuhan
pelanggan. Oleh karena itu, dalam usaha mengadakan barang
atau jasa yang berkualitas, kebutuhan pelanggan harus
diketahui lebih dahulu dengan sebaik-baiknya. Berdasarkan
pengetahuan itulah dibuat rencana pengadaan barang atau
jasa, dan pembuatannya harus sesuai dengan rencana itu,

209
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Karena kebutuhan pelanggan berubah-ubah dari waktu ke


waktu, maka kualitas barang atau jasa juga berubah. Sebab
itu, kualitas tidak absolut, tidak berakhir pada kualitas itu
sendiri, tetapi harus ditingkatkan terus-menerus, sehingga
selalu dapat memenuhi kebutuhan pelanggan. Kualitas yang
demikian ini adalah kualitas yang bersifat relatif. Inilah
pengertian kualitas dalam TQM (Sallis, 1993:23).
Konsep Deming tersebut cukup berhasil di Jepang, justru
di negaranya sendiri Amerika Serikat- tidak mendapatkan
perhatian sebelum Perang Dunia II, karena para industriawan
Amerika Serikat telah puas dengan keberhasilan mereka.
Tetapi setelah industri Jepang, terutama industri mobil,
merajai pasar dunia, baru mereka sadar akan pentingnya
pikiran Deming. Mereka mulai mempelajarinya kembali dan
mengimplementasikannya, termasuk dalam dunia
pendidikan.
Dalam sejarah perkembangan manajemen kualitas, pal-
ing tidak ada tiga jenis sistem yang utama, yaitu a)
Pengendalian kualitas (Quality Control), b) Jaminan Kualitas
(Quality Assurance), dan c) Manajemen Kualitas Terpadu (To-
tal Quality Manajemen) (Sallis, 1993 : 26).
Pengendalian Kualitas (Quality Control) adalah sistem
manajemen kualitas yang dilakukan dengan prosedur atau
pendekatan pemeriksaan pada produk (barang atau jasa) yang
sudah jadi, untuk menentukan apakah kualitasnya sudah
sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Jika tidak sesuai,
produk itu tidak akan dipasarkan, tetapi dipelajari dengan
teliti apa kelemahan- kelemahannya. Berdasarkan data
kelemahan itu, perbaikan kualitas dibuat pada produk-produk
berikutnya. Yang melakukan pemeriksaan umumnya adalah
inspektur atau pengawas yang telah terdidik dan terlatih
untuk tugas itu. Dalam sistem ini yang jelas barang yang sudah
diproduk tersebut tidak dapat diperbaiki lagi, yang diperbaiki

210
Total Quality Management (TQM) dalam Pendidikan

adalah barang atau jasa yang diproduk berikutnya, tentu hal


ini akan menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Inilah
kelemahan pokok dalam manajemen ini. Jadi tujuan utama
dari manajemen ini adalah perbaikan kemudian. (Sallis, 1993
: 26).
Jaminan Kualitas (Quality Assurance) adalah sistem
manajemen kualitas yang berkembang kemudian. Dalam
sistem ini tujuan utamanya ialah pencegahan kesalahan.
Karena itu, dalam proses pengadaan barang atau jasa harus
diusahakan agar setiap langkah dilaksanakan dengan cermat
sejak permulaan dan terus diawasi selama proses. Apabila
ada kesalahan, pada pemrosesan juga diusahakan
perbaikannya. Sistem inilah yang sesuai dengan prinsip
Crosby-Zero defects (tanpa cacat). Kekuatan sistem ini ialah
bahwa kualitas produk memang lebih terjamin, dan tidak
mungkin ada produk yang sesuai kualitasnya. Kelemahan
sistem ini adalah perencanaan umumnya lebih sulit, dan
memerlukan sumber daya manusia yang benar-benar
berkualitas, yang sudah tentu memerlukan biaya. Namun
dalam jangka panjang, tetap dianggap lebih menguntungkan.
(Sallis, 1993 : 26).
Total Quality Manajemen adalah prinsip manajemen yang
berkembang periode berikutnya. Dalam sistem ini ada prinsip
yang dijadikan sebagai acuan dan dipegang, yaitu (1)
memahami kebutuhan pelanggan sebaik-baiknya, (2)
menterjemahkan kebutuhan pelanggan ke dalam perencanaan
dan proses untuk menghasilkan produk (barang atau jasa),
dan (3) memadukan partisipasi semua pihak terkait dalam
usaha untuk peningkatan kualitas yang harus dilakukan secara
terus-menerus. Dalam sistem ini, prinsip jaminan kualitas
juga diintegrasikan. Tujuan pokok sistem ini ialah mencegah
terjadinya kesalahan dan perbaikan kualitas terus-menerus
sesuai dengan kebutuhan pelanggan. (Sallis, 1993 : 26-27).

211
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

2. Kualitas Pelayanan
Kualitas adalah sebuah kata yang bagi penyedia jasa
merupakan sesuatu yang harus dikerjakan dengan baik.
Aplikasi kualitas sebagai sifat dari penampilan produk dan
kenerja merupakan bagian utama strategi perusahaan dalam
rangka meraih keunggulan yang berkesinambungan, baik
sebagai pemimpin pasar maupun sebagai strategi untuk terus
tumbuh. Keunggulan suatu produk jasa adalah tergantung
dari keunikan serta kualitas yang diperlihatkan oleh jasa
tersebut. Apakah sudah sesuai dengan harapan dan keinginan
konsumen atau belum.
Menurut Goetsh dan Davis (Fandy Tjiptono, 2002 : 51)
“Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhu-
bungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan
yang memenuhi atau melebihi harapan”. Sedangkan menurut
Elthaitammy (Fandi Tjiptono, 2002 : 58). “Service excellence
atau pelayanan yang unggul yakni suatu sikap atau cara
karyawan dalam melayani pelanggan secara memuaskan”. Jadi
kualitas pelayanan adalah kesesuaian antara harapan
pelanggan dengan pelayanan suatu perusahaan.
Sehubungan dengan contact personnel yang sangat penting
dalam menentukan kualitas jasa, setiap perusahaan
memerlukan service excellence. Fandy Tjiptono (2002 : 58)
menyatakan bahwa secara garis besar terdapat empat unsur
pokok dalam komponen memberikan service excellence, yaitu
kecepatan, ketepatan, keramahan, dan kenyamanan. Keempat
komponen tersebut merupakan satu kesatuan pelayanan yang
terintegrasi, maksudnya pelayanan atau jasa menjadi tidak
excellence bila ada komponen yang kurang.
Pimpinan dan karyawan untuk mencapai tingkat excel-
lence harus memiliki keterampilan tertentu, diantaranya
berpenampilan baik dan rapi, bersikap ramah, memperlihat-

212
Total Quality Management (TQM) dalam Pendidikan

kan gairah kerja dan sikap selalu siap untuk melayani, tentang
dalam bekerja, tidak tinggi hati karena merasa dibutuhkan,
menguasai pekerjaannya baik tugas yang berkaitan dengan
bagian atau departemennya maupun bagian lainnya, mampu
berkomunikasi dengan baik, bisa memahami bahasa isyarat
(gesture) pelanggan, dan memiliki kemampuan menangani
keluhan pelanggan secara professional. Dengan demikian,
upaya mencapai excellence bukanlah pekerjaan yang mudah.
Akan tetapi bila hal tersebut dapat dilakukan, maka
perusahaan yang bersangkutan akan dapat meraih manfaat
besar, terutama berupa kepuasan dan loyalitas yang besar.
Istilah kualitas tetap digunakan dalam berkomunikasi
sehari-hari baik lisan maupun tulisan. Dalam interaksi sosial
di dalam masyarakat pemahaman kualitas terhadap pelayanan
jasa dan atau terhadap sebuah barang semakin meningkat.
Untuk itu melalui pendidikan dan pemahaman / pengamalan
agama akan diketahui makna yang dinamakan “kualitas”.
Tetapi kesadaran akan berkualitas yang demikian sering tidak
berkembang. Apabila kesejahteraan ekonomi dan pendidikan
meningkat, maka kesadaran akan kualitas atas segala sesuatu
juga meningkat. Masyarakat akan memilih berbagai
kebutuhan akan jasa dan barang dengan predikat yang
berkualitas dan halal, karena sudah menjadi pilihan yang
alami.
Definisi kualitas berlaku untuk barang dan jasa, tetapi
ada perbedaan terutama berkaitan dengan sifat kualitas barang
dan jasa yang dimaksud. Menurut Tjiptono (2002 : 8) sifat
kualitas barang dan jasa dapat dibedakan yaitu kualitas barang
bersifat objektif, berwujud, berukuran metrik, menggunakan
perhitungan waktu penyampaian, terbuat dari materi dan
dapat dihitung. Sedangkan kualitas jasa bersifat subjektif,
tidak selalu berwujud, umumnya berukuran afektif,
mengutamakan perhatian, terdiri dari non materi (reputasi,

213
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

sikap, etika, dll) dan tidak dapat dihitung tetapi dirasakan


dan diyakini.
Menurut Sallis (1993) perbedaan antara jasa dan
produksi adalah jasa memerlukan kontak langsung antara
customer dan penyedia jasa. Disampaikan langsung orang per
orang oleh para staf junior, sehingga terjadi hubungan
langsung. Dalam produksi tidak ada kontak langsung dan
tidak ada kebersamaan antara penyedia dan pengguna. Jasa
sangat terkait dengan waktu, merupakan elemen dari kualitas
jasa, seperti halnya dalam produk adalah spesifikasi barang.
Bila terjadi cacat dalam jasa tidak bisa diperbaiki karena jasa
diterima langsung oleh pelanggan, oleh karenanya orang yang
melayani atau memberi sebuah jasa harus betul-betul
mempunyai komitmen yang tinggi. Jasa tidak kasat mata baik
bentuk maupun kualitasnya dan berbeda dengan produk yang
bisa langsung dilihat mata.
Menurut Fandy Tjiptono(1997:14) sifat kualitas jasa
adalah (a) reability (kepercayaan) sesuai yang dijanjikan yaitu
jujur, aman, tepat waktu, kesediaan (b) Assurance (jaminan)
yaitu kompentensi, percaya diri, menimbulkan keyakinan,
kebenaran (objektif) (c) Tangible (penampilan) yaitu
kebersihan, baik dipandang, teratur dan rapi, harmonis, cantik
(d) Empaty (perhatian) antara lain mencakup penuh perhatian
terhadap pelanggan, melayani pelanggan dengan ramah dan
menarik, memahami aspirasi pelanggan, berkomunikasi
dengan baik dan benar, bersikap dengan penuh simpati (e)
Responsiveness (ketanggapan) tanggap terhadap permintaan /
kebutuhan pelanggan dan cepat memberi perhatian dan
mengatasi keluhan-keluhan yang disampaikan oleh pelanggan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemahaman
tentang kualitas jasa yang dimaksud, lembaga pendidikan
dalam proses pembelajaran harus benar-benar menggunakan
prinsip-prinsip kualitas jasa pada setiap aspek pelayanan

214
Total Quality Management (TQM) dalam Pendidikan

kepada para pelanggannya. Hal ini dimaksudkan agar kualitas


proses pembelajaran di lembaga akan sangat tergantung pada
sejauh mana mampu memberikan pelayanan dengan
memperhatikan prinsip kualitas jasa yang seutuhnya.
3. Hakikat Total Quality Management (TQM)
“Total Quality is the most important, though provoking
revolution in the world of modern management”
(www.crossroad.to, 2005). Mutu terpadu merupakan revolusi
yang paling penting di dunia manajemen modern.
Menurut Tjiptono (1996: 4) Total Quality Management
(TQM) adalah “Suatu pendekatan dalam menjalankan usaha
yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi
melalui perbaikan terus-menerus atas produk, jasa, manusia,
dan lingkungan”.
Menurut Sashkin dan Kiser (1993: 39) dalam bukunya
Putting Total Quality Management to Work memberi definisi TQM
sebagai berikut : “TQM means that organization`s culture is de-
fined by and supports the constant attainment of customers satisfac-
tion through an integreated system of tools, techniques, and training.
This involves the continuous improvement of organization processes,
resulting in high quality products and services”. TQM merupakan
budaya organisasi yang mendukung pencapaian kepuasan
pelanggan secara konstan melalui sistem peralatan, teknik,
dan pelatihan yang terintegrasi. Hal ini menyangkut perbaikan
proses-proses organisasi yang kontinu guna menghasilkan
produk dan jasa yang berkualitas tinggi.
Menurut Azhar Arsyad (2002 : 48) Total Quality Manage-
ment (TQM) adalah “Penerapan metode kuantitatif dan
pengetahuan kemanusiaan untuk (a) memperbaiki material
dan jasa yang menjadi masukan pada organisasi, (b)
memperbaiki semua proses penting dalam organisasi, dan
(c) memperbaiki upaya memenuhi kebutuhan para pemakai

215
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

produk dan jasa pada masa kini dan masa mendatang”.


Dengan demikian filosofi yang terkandung dalam TQM adalah
bahwa dalam setiap usaha, pemenuhan kebutuhan pelanggan
dengan sebaik mungkin adalah masalah yang sangat prima.
Jadi diperlukan pengelolaan mutu (kualitas) secara total
terpadu.
Paradigma manajemen tradisional mempunyai
karakteristik sentralisasi, organisasi fungsional, dan birokrasi
dibangun berdasarkan atas paradigma lingkungan yang stabil,
persaingan tidak tajam, pengendalian merupakan fokus
manajemen. Dengan perubahan lingkungan bisnis yang
berkarakteristik : customers take charge, competition intensifities,
dan change becomes constants, radical, fast, and pervasive maka
diperlukan paradigma baru yang sesuai dengan keadaan, yaitu
: customer value, continuous improvement, dan organizational sys-
tem (Mulyadi, 1998: 20).
Produsen produk dan jasa dalam manajemen tradisional
berpandangan bahwa kelangsungan hidup dan perkembangan
organisasi tersebut di dalam memproduksi dan menyediakan
produk dan jasa, terlepas dari apakah produk dan jasa tersebut
menghasilkan manfaat bagi customers atau tidak, sehingga
ungkapan yang sering didengar adalah : “kami menjual apa
yang dapat kami buat”. Dalam manajemen kontemporer,
dengan paradigma customers value memandang bahwa suatu
organisasi akan dapat mempertahankan kelangsungan hidup
dan memiliki kesempatan untuk berkembang, jika organisasi
tersebut mampu memproduksi dan menyediakan produk dan
jasa yang menghasilkan value bagi customers. Dengan demikian,
ungkapan yang digunakan adalah : “kami membuat apa yang
dibutuhkan oleh customer”. Dengan demikian maka
pelangganlah yang memegang kendali bisnis, karena
paradigma customer value memfokuskan semua sumber daya
yang dikuasai oleh organisasi untuk menghasilkan value untuk

216
Total Quality Management (TQM) dalam Pendidikan

memenuhi kebutuhan pelanggan. Paradigma customers value


membangkitkan kegairahan di dalam diri personil organisasi
untuk menghasilkan manfaat dalam keseluruhan proses
pemanfaatan produk oleh pelanggan, yang lebih besar dari
pada pengorbanan yang dilakukan oleh pelanggan di dalam
memperoleh manfaat tersebut (Mulyadi, 1998: 35).
Paradigma customers value mengarahkan semua proses
bisnis dan organiasi untuk menghasilkan value bagi custom-
ers. Customers value mengubah arah perhatian manajer, dari
fokus untuk memuaskan kepentingan diri sendiri, menjadi
memuaskan kebutuhan pelanggan. Dengan demikian, dalam
setiap tahapan proses manajemen, kegiatan di tujukan untuk
menghasilkan value bagi pelanggan. Karena proses manajemen
yang berhasil adalah proses yang mampu menghasilkan satis-
fied customers.
Menurut Sander, et al. (Mulyadi, 1998: 41) paradigma
customers value perlu diwujudkan ke dalam keyakinan dasar
yang kuat yang harus ditanamkan kepada seluruh personil
organisasi, bahwa : (1) bisnis merupakan suatu mata rantai
yang menghubungkan pemasok dengan customers, (2) customers
merupakan tujuan pekerjaan, (3) sukses merupakan hasil
penilaian terhadap suara customer. Di samping keyakinan dasar,
untuk mewujudkan paradigma customer value perlu juga
ditanamkan personal value yang cocok dengan paradigma
tersebut, yang meliputi : (1) integritas, (2) kerendahan hati,
dan (3) kesediaan untuk melayani.
Dari pengertian tersebut, maka falsafah TQM adalah :
(1) reaksi berantai untuk perbaikan kualitas, (2) transformasi
organisasional, (3) peran esensial pimpinan, (4) hindari
praktek-praktek manajemen yang merugikan, dan (5)
penerapan system of profound knowledge, yang mencakup
orientasi pada sistem, teori variasi, teori pengetahuan, dan
psikologi. Pada akhirnya, aplikasi pendekatan ilmiah untuk

217
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

memperbaiki kualitas meliputi karakteristik dan penggunaan;


plan,Do- Check-Act, cycle (Handjosoedarmo, 1999).
Menurut Shaskin dan Kiser (1993: 39) budaya organisasi
(organization‘s culture) terdiri dari dua komponen, yaitu nilai
(values) dan keyakinan (belief). Keyakinan dan nilai-nilai
tersebut ditentukan dan diekspresikan melalui kepemimpinan
yang kemudian diikuti oleh anggota organisasi. Keyakinan
meliputi pertanyaan atau ungkapan “if …..., than……”.
Misalnya, “Jika saya melaksanakan ini, maka hasilnya adalah
……” (Shaskin dan Kiser, 1993: 76).
Sashkin dan Kiser (1993: 77) memilah elemen budaya
tersebut menjadi delapan elemen, yaitu :
a. Informasi yang berkaitan dengan kualitas harus digunakan
untuk perbaikan, bukan untuk menghukum atau
mengawasi seseorang.
b. Kewenangan harus seimbang dengan tanggung jawab.
c. Harus ada penghargaan atas keberhasilan.
d. Kerjasama, bukan kompetisi, harus menjadi landasan kerja
sama.
e. Pekerja harus memiliki jaminan akan keamanan
pekerjaannya.
f. Harus ada iklim keterbukaan.
g. Pemberian kompensasi harus adil, wajar dan pantas.
h. Pekerja harus ikut memiliki andil dalam usaha.
Sebagai suatu konsep yang berupaya melaksanakan
sistem manajemen berkualitas, maka diperlukan perubahan-
perubahan besar dalam budaya dan sistem nilai suatu
organisasi. Oleh karenanya, Hensler dan Brune (Fandy
Tjiptono dan Anastasia Diana, 1998: 14) mengemukakan ada
empat prinsip utama dalam TQM, yaitu (1) kepuasan
pelanggan, (2) respek pada setiap orang, (3) manajemen

218
Total Quality Management (TQM) dalam Pendidikan

berdasarkan fakta, dan (4) perbaikan kesinambungan.


Sementara itu, menurut Azhar Arsyad (2002: 50) di dalam
TQM ada lima tiang (pillar), yaitu (1) membina tekad yang
kuat dari pimpinan sampai tingkat paling bawah dari seluruh
jajaran yang ada untuk meningkatkan mutu, (2) perbaikan
proses. Dengan kata lain, memperbaiki mutu secara bertahap
dan terus-menerus. (3) pemberdayaan setiap orang dalam
lembaga atau organisasi. (4) membantu setiap orang untuk
dapat melakukan pekerjaannya dengan baik. (5) berfokus pada
pelanggan.
Tiga aspek mendasar dalam TQM sebagai philosophy of
management yaitu counting, customers, and culture. Counting
merupakan alat, teknik, dan pelatihan yang digunakan untuk
penganalisisan, pemahaman, dan pemecahan masalah-
masalah yang berkaitan dengan kualitas. Customers merupakan
kualitas untuk pelanggan sebagai pendorong (driving force)
dan menjadi konsentrasi utamanya. Culture menyangkut nilai-
nilai dan keyakinan bersama, yang diekspresikan oleh
pemimpin, untuk mendukung kualitas (Sashkin dan Kiser:
1993).
Menurut Deming (Sallis, 1993: 48) ada empat belas
prinsip yang perlu diperhatikan dan dijadikan acuan untuk
mencapai produktivitas yang berfokus pada kepuasan
pelanggan, yaitu:
a. Memiliki tekad kuat untuk terus-menerus memperbaiki
kualitas produk atau jasa.
b. Gunakan filosofi kerja yang tidak bisa menerima
keterlambatan, kesalahan, cacat materi dan cacat
pekerjaan.
c. Hentikan pemeriksaan kualitas pekerjaan hanya pada akhir
proses; ganti dengan adanya proses perbaikan sejak awal
sampai akhir guna mendapatkan hasil yang berkualitas.

219
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

d. Jangan terkecoh oleh besarnya biaya saja; yang mahal


belum tentu baik dan yang murah belum tentu jelek. Oleh
karenanya utamakan kualitas.
e. Lakukan terus-menerus dan selamanya usaha perbaikan
kualitas dalam setiap kegiatan.
f. Lembagakan pembinaan dalam bentuk on-the-job training
untuk semua orang (pimpinan, guru, karyawan, dan lain-
lain) agar masing-masing dapat selalu meningkatkan
kualitas kerjanya.
g. Lembagakan kepemimpinan yang membentuk setiap or-
ang untuk dapat melakukan pekerjaannya dengan baik
(membina, memfasilitasi, membantu mengatasi kendala,
dan lain-lain).
h. Hilangkan sumber-sumber yang menyebabkan orang
merasa takut dalam organisasi, agar orang dapat bekerja
secara efektif dan efisien.
i. Hilangkan segala yang menghambat komunikasi antar
bagian dan antar individu dalam organisasi, agar mereka
dapat bekerja sama dengan baik.
j. Hilangkan slogan dan peringatan untuk kerja lebih keras
kepada para pelaksana, sebab itu hanya akan menimbulkan
hubungan yang kurang baik; penyebab rendahnya kualitas
dan produktivitas bukan ada pada pihak pelaksana, tetapi
ada pada sistem organisasi.
k. Hilangkan target kerja (quota) bagi para pelaksana, dan
hilangkan angka-angka tujuan bagi para pimpinan.
l. Singkirkan penghalang yang merebut hak para pemimpin
dan pelaksana untuk bangga atas hasil kerjanya.
m. Lembagakan program yang kuat untuk pendidikan,
pelatihan dan pengembangan diri bagi semua orang.

220
Total Quality Management (TQM) dalam Pendidikan

Tenaga-tenaga profesional sadar bahwa dirinya harus


selalu meningkatkan kemampuan dirinya.
n. Ciptakan struktur yang memungkinkan semua orang bisa
ikut serta dalam usaha memperbaiki kualitas.
Menurut Philip Crosby (Sallis, 1993: 55) ada empat belas
langkah yang harus ditempuh untuk melaksanakan TQM
dalam sebuah organisasi, yaitu:
a. Komitmen dari pimpinan.
b. Bentuk tim perbaikan kualitas.
c. Pengukuran kualitas: tentukan base line data dan tentukan
standar kualitas yang diinginkan.
d. Menghitung biaya untuk kualitas: mengulang pekerjaan
yang cacat, dan lain-lain.
e. Membangkitkan kesadaran akan kualitas.
f. Melakukan tindakan perbaikan.
g. Perencanaan kerja tanpa cacat.
h. Adanya pelatihan bagi unsur pimpinan dan kemudian juga
bagi semua pegawai/karyawan.
i. Adakan hari-hari tanpa cacat (zero-defects).
j. Masing-masing tim menentukan tujuan perbaikan-
perbaikan yang akan dicapai.
k. Menghilangkan penyebab kesalahan, berarti melakukan
usaha perbaikan.
l. Mengakui atas partisipasi dan prestasi dalam bentuk
bukan-uang.
m. Bentuk komisi kualitas secara professional akan usaha-
usaha perbaikan kualitas dan memonitor secara
berkelanjutan.
n. Lakukan berulang lagi.

221
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Dengan berpedoman kepada uraian di atas, sebuah


organisasi khususnya lembaga pendidikan, akan mencapai
maksud dan tujuan yang maksimal dalam pengembangan diri
dengan kualitas dan hasil yang sangat memuaskan bagi
kepentingan bersama.

B. Prinsip Total Quality Management (TQM)


Prinsip-prinsip TQM dalam pendidikan adalah sebagai
berikut:
1. Produk ditentukan oleh visi-misi dan tujuan
organisasi
Beberapa patokan diberikan oleh Patricia Jones dan Larry
Kahanar untuk membuat dan melaksanakan visi-misi
perusahaan. Pertama, pernyataan tersebut tidak harus pendek,
tetapi sederhana sehingga mudah dipahami baik dari dalam
perusahaan maupun luar perusahaan. Kedua, susunan dan
nada kata-kata mencerminkan kepribadian perusahaan dan
ingin menjadi apa perusahaan ini. Ketiga, sosialisasikan visi-
misi ini dengan cara kreatif sehingga setiap orang mengetahui
apa yang harus dikerjakan dan apa yang diharapkan dari
dirinya. Manajemen harus mengatakan, melaksanakan, dan
menilai karyawan dengan berpatokan pada visi dan misi.
(1999 : 302).
Selama ini visi-misi dan tujuan lembaga lebih banyak
sebagai slogan daripada sebagai nilai yang harus diperjuang-
kan. Hal ini sangat merugikan karena nilai, idealisme, dan
cita-cita organisasi yang luhur dapat menjadi sumber inspirasi,
semangat, dan tuntutan organisasi. Dan pernyataan misi
perusahaan merupakan alat paling penting bagi manajer
perusahaan. Oleh sebab itu, sudah saatnya pimpinan lembaga
merencanakan secara sistematis dan taktis pemahaman dan

222
Total Quality Management (TQM) dalam Pendidikan

pelaksanaan visi-misi dalam kurikulum, kebijakan, dan


peraturan organisasi.
2. Konsentrasikan pada proses
TQM bertujuan untuk secara berkesinambungan
meningkatkan kualitas produk dengan melibatkan setiap or-
ang dalam proses produksi (belajar dan mengajar).
(P.Jones,1999:5).
Untuk itu, diperlukan komitmen kepemimpinan yang
tinggi, pemanfaatan sumber daya yang ada, terutama sumber
daya manusia, dan mengurangi variasi yang tidak perlu. Ada
beberapa sumber variasi, seperti latar belakang siswa,
kemampuan belajar siswa, kemampuan guru, dan cara guru
mengajar yang sifatnya individual. Hal-hal seperti ini harus
segera teridentifikasi karena dapat menghambat proses
peningkatan mutu.
Meskipun cara TQM ini telah berhasil diterapkan
diberbagai bidang, di bidang pendidikan perlu disadari bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan belajar
mengajar sangat kompleks. Beberapa kesulitan, antara lain
hubungan peserta didik dan guru bersifat dinamis dan sulit
dinilai serta menentukan keinginan masyarakat tidaklah
mudah. Kerja sama tim yang merupakan salah satu faktor
kunci TQM tidak begitu dikenal, misalnya dalam perguruan
tinggi yang umumnya dosennya bersifat otonom dan
individualis. Mereka terbiasa bekerja sendiri dan mendapatkan
pengakuan akan keberhasilan usahanya. Mereka juga sulit
menerima pandangan luar (seperti masyarakat pengguna
lulusan, praktisi) karena selama ini mereka beranggapan
bahwa mereka yang paling tahu akan mutu dan mereka yang
menentukan standar mutu tersebut.

223
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

3. Kualitas ditentukan oleh pelanggan


Tujuan dan sasaran pendidikan ialah memberikan daya
kepada manusia untuk menghadapi berbagai persoalan hidup.
Ia mampu mengembangkan berbagai daya yang ada di dalam
dirinya sehingga mencapai tingkat yang paling optimal.
Selama ini pendidikan yang ada adalah pendidikan yang
berdasarkan hafalan, bukan berdasarkan penyadaran sehingga
lulusan yang ada secara teori sangat pintar, tetapi dalam
praktik lapangan tidak mampu mengaplikasikan ilmu yang
dipelajarinya.
Untuk mengatasi kesenjangan ini dibuatlah kurikulum
berbasis kompetensi. Berdasarkan visi dan misi dari lembaga,
program studi dapat membuat analisis kebutuhan dari
masyarakat pengguna, industri, dan profesi mengenai
kompetensi-kompetensi yang diperlukan untuk lulusannya.
Diharapkan dengan cara ini dihasilkan lulusan yang memiliki
kualitas di bidang kemampuan kognitif (keilmuan),
keterampilan, dan sikap (kearifan, karakter, dan kematangan
emosi) yang siap untuk masuk ke dunia kerja.
Kendala dalam penyusunan dan implementasi pendi-
dikan berbasis kompetensi, antara lain adalah sebagai berikut.
Pertama, mayoritas guru atau pun dosen hampir tidak pernah
bekerja di luar dunia akademis apalagi pengalaman kerja yang
sesuai dengan bidang studi yang digelutinya. Kedua, kalangan
industri dan masyarakat pengguna kurang concern terhadap
dunia pendidikan. Model kerja praktik lapangan dianggap
mengganggu proses produksi.
Oleh sebab itu, perlu dijalin kerja sama antara lembaga
dan dunia kerja untuk memecahkan masalah ini. Dunia
pendidikan membutuhkan masukan dari dunia kerja tentang
kompetensi lulusan dan juga dana pengembangan pendidikan,

224
Total Quality Management (TQM) dalam Pendidikan

sedangkan dunia kerja mendapatkan lulusan dengan kualitas


yang diinginkan.
4. Perbaikan berkesinambungan (Continuous
improvement)
Dalam konsep ini yang diperhatikan bukanlah
memastikan apakah kualitas itu tercapai atau belum, tetapi
pada usaha memperbaiki hasil yang telah dicapai. Selalu ada
celah untuk memperbaiki dan menyempurnakan apa yang
telah dikerjakan. Pemantauan kualitas senantiasa dilakukan
dengan melibatkan semua pihak dan dengan segera dilakukan.
Data yang terkumpul dianalisis, dipelajari bersama bukan
untuk mencari kesalahan, melainkan untuk mencari
pemecahan. Dengan demikian, diharapkan keterbukaan dari
semua pihak untuk memberikan data dan terlibat aktif
memecahkan masalah. Salah satu metode yang sering
digunakan adalah PDCA (plan-do-check-act).
Konsep perbaikan berkesinambungan tidaklah mudah
diterapkan karena umumnya staf lembaga merasa sudah
cukup puas dengan hasil selama ini, merasa kurang gairah
berkompetisi, munculnya raja-raja kecil, dan tidak ada
keinginan untuk berubah. Oleh sebab itu, pimpinan harus
dapat menggunakan nilai-nilai pokok akademis, seperti ilmu
pengetahuan, penalaran kritis, kebebasan akademis, integritas
personal, dan desentralisasi sebagai dasar proses perubahan.
Dalam pengelolaan lembaga, esensi penting tidak hanya
komitmen dan efisiensi, tetapi sumber daya manusia yang
unggul juga harus tersedia sebagai motor penggerak
organisasi. Untuk itu, perlu senantiasa dilakukan perbaikan
kondisi kualitas kehidupan kerja (quality of work life), yaitu
iklim kerja yang diciptakan dan dikembangkan secara sengaja,
berencana, dan sistematik untuk menimbulkan kepuasan
kerja, perasaan senang, dan mendapat perlindungan dalam

225
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

bekerja. Beberapa aspek penting dalam peningkatan kualitas


kehidupan kerja, ialah pengembangan karier, kompensasi
(upah/gaji) yang layak, pekerjaan yang menarik,
menyenangkan dan menantang, kondisi kerja yang baik
(jaminan keselamatan kerja, kesehatan), dan jaminan hari tua.
(Nawawi, 2003: 236).

C. Penerapan TQM Dalam Pendidikan


Untuk keberhasilan penerapan Total Quality Manage-
ment (TQM) dalam pendidikan memang tidak mudah,
diperlukan kebutuhan dan kerja sama yang baik antara pihak
terkait dan lembaga pendidikan setempat sebagai pihak yang
berhubungan langsung dengan masyarakat. Oleh karena itu
perlu adanya kejelasan secara sistematik dalam memberikan
kewenangan antar institusi terkait. Jika manajemen ini
diterapkan sesuai dengan ketentuan yang ada dengan segala
dinamika dan fleksibilitasnya, maka akan menjadi perubahan
yang cukup efektif bagi pengembangan dan peningkatan mutu
pendidikan.
¾ Langkah-langkah penerapan TQM:
Edward Sallis, terjemahan (2012 : 245-253) memaparkan
langkah-langkah penting sebagai berikut:
a. Kepemimpinan dan komitmen mutu.
Pemimpin sekolah harus menunjukkan komitmen
yang kuat dan selalu memotivasi wakil kepala sekolah dan
pejabat-pejabat lainnya agar berupaya keras dan optimal.
Apabila kepala sekolah tidak peduli terhadap kepemim-
pinan dan komitmen mutu tersebut, maka sekolah
terancam akan gagal menerapkannya.

226
Total Quality Management (TQM) dalam Pendidikan

b. Menggembirakan pelanggan.
Tony Henry, Kepala sekolah East Birmingham College
mengatakan bahwa mutu lebih menekankan pada
kegembiraan dan kebahagiaan pelanggan dan bukan
sekedar kepuasan pelanggan. Ia lebih menekankan pada
keterlibatan seluruh staf dan tidak bersifat hirarchis. Ia
juga lebih menekankan pada perbaikan mutu secara terus-
menerus dan bukan sekedar lompatan mutu yang tempo-
ral. Ia adalah tentang hidup, cinta, perjuangan, pemelihara-
an, tangis, tawa... (kutipan Sallis dan Hilngley dalam Ed-
ward Sallis, terjemahan 2012). Keterlibatan pelanggan
dalam proses ini sangat penting, karena pandangan
merekalah yang harus diutamakan.
c. Menentukan fasilitator mutu
Tanggung jawab fasilitator adalah mempublikasikan
program dan memimpin kelompok pengendali mutu dalam
mengembangkan program mutu. Fasilitator mutu juga
harus menyampaikan perkembangan mutu langsung
kepada kepala sekolah.
d. Membentuk kelompok pengendali dan
koordinator mutu.
Kelompok pengendali mutu adalah pengembang dan
inisiatur proyek mutu, sehingga bertugas mengarahkan dan
mendorong proses peningkatan, mutu. Sedangkan
koordinator mutu berperan membantu dan membimbing
tim dalam menemukan cara baru dalam menangani dan
memecahkan permasalahan.
e. Seminar manajemen senior untuk evaluasi
program.
Perlu dibangun tim manajemen senior yang baik dan
integral, karena mereka harus memberi contoh pada tim

227
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

dalam mamajukan institusi. Manajer senior diharapkan bisa


merubah pola kerjanya dalam rangka mengembangkan
metode kerja baru, sehingga mampu menurunkan peran
mutu ke tingkat bawah.
f. Merencanakan strategis mutu
Kegiatan ini meliputi analisis dan diagnosis situasi
yang ada pada institusi. Alat yang umum digunakan untuk
merencanakan mutu yaitu analisis SWOT (Strategic,
Weekness, Opportunity, dan Threat). Analisis ini bertujuan
untuk menemukan aspek-aspek penting dalam memak-
simalkan kekuatan, meminimalkan kelemahan, meredukasi
ancaman, dan membangun peluang.
g. Melibatkan konsultan eksternal
Jika konsultan digunakan, maka perlu seleksi ide dan
pendekatan yang sesuai dengan institusi. Konsultan dapat
memberi petunjuk dan nasehat awal dalam rangka mem-
bakar semangat civitas akademik; melatih para staf; diajak
untuk mengevaluasi kebijakan-kebijakan institusi.
h. Pelatihan mutu bagi staf
Pelatihan harus digunakan sebagai motor perubahan
strategis. Hal ini sebagai tahap implementasi awal yang
sangat penting. Staf membutuhkan pengetahuan tentang
beberapa alat kunci yang mencakup tim kerja, metode
evaluasi, pemecahan masalah, dan tehnik membuat
keputusan. Strategi, relevansi, dan keuntungan TQM juga
harus dikomunikasikan secara efektif.
i. Menghitung biaya mutu
Disamping mengukur biaya mutu juga diperlukan
pengujian biaya pengabaian mutu. Hal ini penting
dilakukan sebagai suatu upaya untuk menyoroti usaha

228
Total Quality Management (TQM) dalam Pendidikan

peningkatan mutu dan memberikan motivasi agar institusi


terus berpegang pada yang telah ditetapkan.
j. Mengoptimalkan alat dan tehnik mutu melalui
pengembangan kelompok kerja yang efektif.
Tim kerja bisa memulai dengan menganalisis tuntutan
kerja, proses, metode, dan hasilnya. Proses analisis tersebut
menyoroti bagian-bagian yang perlu ditingkatkan dengan
memberikan agenda awal program peningkatan.
k. Evaluasi program secara rutin.
Review dan evaluasi yang teratur dan rutin harus
menjadi bagian yang integral dalam program. Kelompok
pengarah harus berusaha melakukan review bulanan secara
teratur dan tim manajemen senior perlu mempertim-
bangkan laporan berdasarkan hasil pengawasannya.
Sedangkan Syafaruddin (2002:16) dalam buku
“Manajemen Mutu Terpadu Dalam Pendidikan” memapar-
kan bahwa pendidikan saat ini dituntut untuk bisa
menciptakan sekolah yang berkualitas, sehingga harus
memenuhi aspek-aspek penting berikut ini, a)perbaikan
manajemen sekolah, b)persediaan tenaga kependidikan
yang professional, c)perubahan budaya sekolah seperti visi,
misi, tujuan dan nilai, d)peningkatan pembiayaan
pendidikan, dan e)optimalisasi dukungan masyarakat
terhadap sekolah.
Mengacu pada paparan tersebut, maka untuk
memenuhi tuntutan peningkatan mutu, pendidikan perlu
mengimplementasikan Total Quality Management.
Selanjutnya dijelaskan oleh Syafaruddin (49) bahwa pokok
implementasi TQM dalam pendidikan meliputi faktor
kepemimpinan, pemberdayaan guru, kelompok kerja, alat
dan tehnik serta strategi penerapan mutu.

229
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

a. Kualitas Kepemimpinan
Untuk mencapai kualitas pendidikan dibutuhkan
pemimpin yang efektif, komitmen terhadap perbaikan
mutu. Kepala sekolah sebagai top leader harus bisa
menjadi pendorong perubahan lembaga pendidikan
yang dipimpinnya. Dukungan dari anggota akan muncul
apabila pimpinannya bermutu dan manajemennya
efektif.
b. Pemberdayaan Guru
Makna pemberdayaan guru tidak hanya sekedar
kewenangan dalam mengajar, tetapi lebih pada tuntutan
pengembangan potensi secara kreatif dan inovatif serta
kontinu yang diimplementasikan melalui pembinaan
sekaligus pembentukan karakter peserta didik.
c. Kelompok Kerja (team work) untuk Meraih
Mutu
Dalam meraih mutu yang diinginkan, kelompok
kerja perlu diciptakan untuk membangun semangat
kerja tim, meningkatkan kualitas komunikasi,
penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan yang
tepat.
d. Alat dan Teknik Perbaikan Mutu
Untuk menuju Manajemen Mutu Terpadu dibutuh-
kan alat atau instrumen sekaligus teknik penggunaan-
nya. Sebagaimana pendapat Schangel, bahwa dengan
alat dan teknik penggunaannya untuk perbaikan mutu
akan dapat diketahui masalah yang dihadapi dan
penyebabnya, sehingga dapat membantu untuk mencari
solusinya.(Syafaruddin,2002:71).

230
Total Quality Management (TQM) dalam Pendidikan

e. Strategi Implementasi Manajemen Mutu


Lembaga pendidikan perlu strategi yang kuat untuk
meraih tujuan yang diharapkan, sehingga dibutuhkan
proses pengembangan strategi tersebut yang meliputi:
1)misi yang jelas, 2)fokus pada pelanggan internal
maupun eksternal, 3)ada strategi untuk meraih misi,
4)semua pelanggan terlibat dalam mengembangkan
strategi, 5)pemberdayaan semua komponen dengan cara
menghapus hambatan dan membantu memberikan
kontribusi seoptimal mungkin melalui pengembangan
kelompok kerja yang efektif, dan 6)penilaian dan
evaluasi efektifitas lembaga dalam mencapai tujuan yang
berkaitan dengan pelanggan.(Edward Sallis, terj. 2012:
244).
Kelima pokok implementasi TQM dalam pendi-
dikan tersebut merupakan sumber-sumber kualitas yang
mendukung terwujudnya kualitas proses dan hasil yang
akan dicapai.
Penerapan TQM dalam pendidikan tidak terjadi
secara spontan, namun harus direncanakan secara
matang, terus menerus dan maju berkelanjutan. Oleh
karena itu Field (Syafaruddin,2002:81) mengemukakan
10(sepuluh) langkah yang harus ditempuh dalam
mengimplementasikan mutu dalam pendidikan, yaitu:
a. Mempelajari dan memahami manajemen mutu
terpadu secara menyeluruh.
b. Memahami filosofi perbaikan terus-menerus.
c. Menilai jaminan mutu saat ini dan program
pengendalian mutu.
d. Membangun sistem mutu, meliputi kebijakan
mutu, rencana strategis mutu, implementasi
rencana, rencana pelatihan, organisasi dan struktur,

231
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

prosedur perbaikan dan memaknai terhadap nilai


mutu.
e. Memperdayakan semua komponen untuk
perubahan, menilai budaya mutu untuk perbaikan
dan melatih bekerja dalam team work.
f. Menggunakan alat dan tehnik TQM dalam
mengatasi masalah dan menerapkan tindakan
perbaikan.
g. Menentukan proyek percontohan untuk
diaplikasikan dengan TQM.
h. Menetapkan prosedur tindakan perbaikan dan
mengakui keberhasilannya.
i. Pimpinan menciptakan komitmen dan strategi
mutu terpadu yang benar.
j. Menjaga jiwa mutu terpadu dalam penelitian dan
aplikasi pengetahuan yang luas.
Tahap-tahap tersebut harus diikuti secara seksama,
sinergi dan konsekwen sesuai dengan komitmen
bersama yang dibangun untuk menciptakan mutu
dengan budaya perbaikan terus menerus.
Sedangkan untuk mengetahui bahwa implementasi
TQM dalam lembaga pendidikan itu berhasil, menurut
Hadari Nawawi (2005:47) apabila institusi tersebut
menampakkan fenomena berikut:
a. Tingkat konsistensi produk dalam memberikan
pelayanan umum dan pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan peningkatan kualitas sumber
daya manusia terus meningkat.
b. Kekeliruan dalam bekerja yang berdampak
menimbulkan ketidakpuasan dan komplain
masyarakat yang dilayan semakin berkurang.

232
Total Quality Management (TQM) dalam Pendidikan

c. Semakin meningkat kedisiplinan kerja dan waktu.


d. Inventarisasi aset lembaga semakin sempurna,
terkendali dan tidak berkurang.
e. Kontrol berlangsung efektif dari atasan langsung,
sehingga menghemat biaya, mencegah penyim-
pangan dalam memberikan pelayanan secara inter-
nal maupun eksternal.
f. Peningkatan keterampilan dan keahlian bekerja
terus dilaksanakan, sehingga tehnik bekerja selalu
mampu mengadaptasi perubahan dan perkem-
bangan ilmu pengetahuan serta teknologi. Metode
bekerja demikian merupakan cara bekerja yang pal-
ing efektif, efisien, dan produktif, sehingga kualitas
produk dan pelayanan terus meningkat.
Berdasarkan tuntutan peningkatan mutu pendi-
dikan, mutu institusi pendidikan perlu menerapkan
Total Quality Management (TQM) atau Manajemen
Mutu Terpadu (MMT). TQM tidak hanya mengatasi
problem pendidikan, tetapi sekaligus sebagai model
yang mengutamakan perbaikan terus-menerus.

D. Pemimpin Pendidikan Dalam Manajemen Mutu


Pada sekolah yang menerapkan TQM, kepala sekolah
memiliki peran yang kuat dalam mengkoordinasikan,
menggerakkan, dan menyerasikan sumberdaya pendidikan
yang tersedia. Kepemimpinan kepala sekolah merupakan salah
satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk dapat
mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolahnya
melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana
dan bertahap. Oleh karena itu, kepala sekolah dituntut untuk
memiliki kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang
tangguh agar mampu mengambil keputusan dan inisiatif atau

233
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah. Secara umum,


kepala sekolah yang tangguh memiliki kemampuan
sumberdaya manusia untuk mencapai tujuan sekolah.
Peters dan Austin dalam Edward Sallis (terj. 2012:170),
menyatakan bahwa yang menentukan mutu dalam sebuah
lembaga adalah pemimpinnya, yaitu gaya kepemimpinannya
yang disingkat MBWA (Management By Walking About) atau
manajemen dengan melaksanakan gaya kepemimpinan ini
mementingkan komunikasi visi dan nilai-nilai lembaga kepada
pihak-pihak lain dan bersama-sama dengan anggota dan para
pelanggan. Sehingga untuk menuju mutu tidak bisa dikomuni-
kasikan dari balik meja saja.
Selanjutnya Peters dan Austin menganjurkan bahwa
pemimpin pendidikan yang sudah komitmen terhadap mutu
harus memperhatikan perspektif-perspektif berikut:
• Visi dan simbol-simbol, yaitu kepala sekolah harus
mengkomunikasikan nilai-nilai lembaga kepada dewan
guru, peserta didik dan komunitas yang lebih luas.
• MBWA merupakan gaya kepemimpinan yang dibutuhkan
bagi lembaga.
• Peserta didik sebagai pelanggan utama.
• Pemimpin pendidikan harus melakukan inovasi beserta
anggotanya, dan siap mengantisipasi kegagalan dalam
inovasi tersebut.
• Pemimpin harus menciptakan rasa kekeluargaan diantara
civitas akademica dan orang tua peserta didik (komite
sekolah).
• Sifat-sifat ketulusan, kesabaran, semangat, intensitas dan
antusiasme merupakan mutu personal esensial bagi
pemimpin.

234
Total Quality Management (TQM) dalam Pendidikan

Sedangkan kepala sekolah untuk menerapkan TQM


secara spesifik, Ilyas Mudakir dalam “Manajemen Mutu
Terpadu TQM”, (Buletin, 1998 No. 13) mengemukakan 13
karakter yang harus ada pada pemimpin dalam TQM, yaitu :
1. Membuat keputusan berdasarkan data, tidak hanya
pendapat saja.
2. Pimpinan merupakan fasilitator dan pelatih bagi anggota.
3. Selalu aktif terlibat dalam pemecahan masalah yang
dihadapi anggota.
4. Harus bisa membangun komitmen, sehingga bisa
dipahami visi, misi, nilai dan target yang jelas.
5. Dapat membangun dan memelihara kepercayaan.
6. Harus memahami betul ucapan “terima kasih” kepada
anggota yang sukses.
7. Mengadakan kaderisasi melalui pendidikan dan pelatihan
secara aktif dan terprogram.
8. Berorientasi pada pelanggan internal dan eksternal.
9. Menilai situasi dan kemampuan orang lain secara cerdas
dan tepat.
10.Selalu menciptakan suasana kerja yang sangat
menyenangkan.
11.Mau mendengar dan menyadari kesalahan.
12.Banyak berimprovisasi dan memperbaiki sistem.
13.Berusaha untuk belajar kapan dan dimana saja.
Demikian pentingnya peran kepala sekolah dalam
implementasi TQM, sehingga menjadikannya sebagai motor
penggerak proses peningkatan mutu secara kontinu. Untuk
menjalani proses tersebut pemimpin perlu memainkan gaya
kepemimpinan dalam konteks TQM. Gaya kepemimpinan
yang tepat dalam TQM menurut Fandy Tjiptono dkk.

235
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

(2000:163) adalah kepemimpinan partisipatif yang lebih


tinggi tingkatannya.
Kepemimpinan partisipatif yang dimaksudkan yaitu
meliputi upaya mencari masukan dari anggota yang
diberdayakan, mempertimbangkan masukan tersebut, dan
bertindak berdasarkan masukan itu. Gaya kepemimpinan
partisipatif model TQM bisa diterapkan dengan baik apabila
mendapat dukungan anggotanya, mulai dari loyalitas, respek
pada pimpinan sampai pada kesediaan mengikutinya.
Beberapa karakteristik yang perlu dimiliki seorang
pemimpin, agar anggotanya respek kepadanya adalah : 1) rasa
tanggung jawab yang besar; 2) disiplin pribadi; 3) jujur; 4)
memiliki kredibilitas tinggi; 5) menggunakan akal sehat (com-
mon sense), fleksibel tapi tegas; 6) memiliki energi dan
stamina tinggi; 7) memegang teguh komitmen terhadap
tujuan lembaga, orang yang bekerja sama, secara pribadi dan
profesional serta berkelanjutan; 8) setia dan tabah dalam
segala kesulitan.
Komitmen terhadap mutu harus menjadi peran utama
bagi seorang pemimpin, karena TQM adalah proses atas ke
bawah (top-down). Sering terjadi kegagalan dalam mutu
karena pemimpin yang kurang mendukung proses dan
komitmen untuk inisiatif tersebut. Memang masalah
peningkatan mutu merupakan hal yang sangat berat bagi
pemimpin, karena ia menganggap bahwa pelimpahan
tanggungjawab pada anggota mempengaruhi kewibawaannya.
Itulah sebabnya mengapa kepemimpinan yang kuat dan
berpandangan jauh ke depan diperlukan dalam kesuksesan
peningkatan mutu.

236
BAB VII
PENDIDIKAN ISLAM DALAM
ERA GLOBALISASI

A. Arti Pentingnya Pendidikan Islam


Pendidikan dapat dilaksanakan dalam sebuah lembaga
pendidikan. Lembaga pendidikan merupakan suatu lembaga
yang senantiasa diperlukan oleh masyarakat, namun tidak
semua lembaga pendidikan diminati masyarakat, ada beberapa
lembaga pendidikan yang semakin tahun semakin menurun
baik jumlah siswa maupun kualitasnya sampai akhirnya
ditutup, sebaliknya tidak sedikit lembaga pendidikan yang
semakin tahun semakin eksis dan semakin maju. Pendidikan
jika dikaitkan dengan keberadaan dan hakikat kehidupan
manusia, yakni untuk membentuk kepribadian manusia,
mengembangkan manusia sebagai makhluk individu,
makhluk sosial, makhluk susila, dan makhluk religius.
Maka berbicara masalah pendidikan adalah berbicara
tentang sesuatu yang penting, karena pendidikan merupakan
pemberdayaan manusia dalam menjalani kehidupan dan
sekaligus untuk memperbaiki masa depan. Di samping itu
pendidikan merupakan suatu upaya mewariskan nilai yang
akan menjadi penolong dan penuntun dalam menjalani
kehidupan, sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peradaban
umat manusia. (Mansur, 2004: 1). Tanpa pendidikan manusia

237
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

sekarang tidak akan berbeda dengan manusia masa lampau,


bahkan malah lebih rendah atau jelek kualitasnya. (Mansur,
2004: hlm. 8). Masyarakat yang dicita-citakan dapat
diwujudkan antara lain dengan melalui peningkatan
pendidikan umatnya. Hal ini berlaku juga bagi bangsa Indo-
nesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. (Azwar
Anas, 1993: xiii). Yakni mendidik generasi muda Islam agar
mereka dapat menjadi orang modern (tidak kalah dalam
persaingan) tetapi tetap memiliki rasa keimanan, ketakwaan
dan akhlak mulia. (Arif Furchan, 2004: 10).
John Dewey berpendapat bahwa pendidikan diartikan
sebagai social continuity of life. Ada juga yang berpendapat
bahwa pendidikan adalah it more narrowly as transmission from
some person to others of the skills, the arts and the sciences. (Kingsley
Price, 1965: 4). Adapun Kant mengartikan pendidikan sebagai
care, discipline, and instruction. Dengan melalui pendidikan Is-
lam manusia akan mampu mengembangkan dirinya dan
meningkatkan potensinya untuk memperbaiki kehidupan di
masa depannya. Oleh karena itu institusi pendidikan Islam
peran sertanya untuk perbaikan aspek kehidupan sangat
penting dan dibutuhkan oleh masyarakat pada umumnya.
Dewasa ini , dunia sedang mengalami proses yang sering
disebut dengan istilah globalisasi, proses mendunia akibat
kemajuan-kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi terutama bidang komunikasi dan transportasi yang
mengakibatkan dampak positif maupun negatif.
Di era globalisasi terjadinya krisis di berbagai bidang di
setiap lapisan negara, terutama krisis moralitas. Dengan
terjadinya krisis tersebut tidak semata-mata hanya tanggung
jawab pemerintah, namun kondisi krisis tersebut merupakan
tanggung jawab bersama. Lembaga pendidikan Islam dituntut
perannya untuk peduli dalam rangka memperbaiki kehidupan
masyarakat menghadapi era globalisasi. Berikut akan dikaji

238
Pendidikan Islam dalam Era Globalisasi

apa yang dimaksud globalisasi dan bagaimana tantangan


pendidikan Islam.
Pendidikan adalah upaya manusia untuk memanusiakan
manusia, pada dasarnya adalah untuk mengembangkan
kemampuan dan potensi manusia sehingga bisa hidup layak,
baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat.
Pendidikan juga bertujuan mendewasakan anak, kedewasaan
tersebut mencakup pendewasaan intelektual, sosial dan moral
tidak semata-mata kedewasaan dalam arti fisik. Pendidikan
adalah proses sosialisasi untuk mencapai kompetensi pribadi
dan sosial sebagai dasar untuk mengembangkan potensi
dirinya sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya. (Nana
Sudjana, 1995: 3).
Pendidikan merupakan proses belajar mengajar yang
dapat menghasilkan perubahan tingkah laku yang diharapkan.
Setelah anak dilahirkan mulai terjadi proses belajar pada diri
anak dan hasil yang diperoleh adalah kemampuan menyesuai-
kan diri dengan lingkungan dan pemenuhan kebutuhan.
Pendidikan membantu agar proses itu berlangsung secara
berdaya guna dan berhasil guna. Maka dari itu anak sebagai
harta yang dibina dan dipupuk sejak dini, ia membutuhkan
pendidikan untuk menyiapkan diri menatap masa depan
sehingga menjadi manusia dewasa yang berkualitas.
Dalam pandangan Islam anak adalah amanat yang
dibebankan oleh Allah SWT kepada orang tuanya, karena itu
orang tua harus memelihara dan menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerima. Dengan demikian pelaksanaan
pendidikan merupakan tanggung jawab orang tua untuk
membimbing anak sejak dini. Keteledoran dan penyele-
wengan pendidikan anak dari manhaj yang telah ditentukan
merupakan pengkhianatan terhadap amanat besar itu. Anak
dilahirkan dalam keadaan suci, sebagaimana pendapat tokoh
dari aliran Empirisme (John Locke) mengajarkan bahwa

239
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

perkembangan pribadi ditentukan oleh faktor lingkungan


terutama pendidikan. Ia mengemukakan bahwa tiap individu
lahir sebagai kertas putih dan lingkunganlah yang menulisi
kertas itu. (Hery Noer Aly, 1999: 14).
Dalam undang-undang Republik Indonesia nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 2
disebutkan bahwa Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila
dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945. Pasal 3 Pendidikan Nasional berfungsi:
Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.
Setiap potensi yang dimiliki manusia akan dikembangkan
melalui jalur pendidikan, institusi pendidikan merupakan
wadah untuk membentuk manusia yang cerdas, beriman,
cakap, berwatak dan menjunjung harkat martabat bangsa.
Jalur pendidikan nasional tidak hanya bersifat formal atau
non formal saja, tetapi juga bersifat informal. Dilihat dari
jalur Pendidikan Nasional, Pesantren menjadi lembaga
pendidikan Islam yang bersifat non formal, yaitu pendidikan
luar sekolah yang merupakan proses berlangsungnya
pewarisan norma, budaya, agama maupun keterampilan
secara situasional dan wajar dengan perencanaan dan
pengorganisasian, pendidikan Islam merupakan proses sosial
psikologis untuk mengembangkan dan mendewasakan
kepribadian manusia seutuhnya, secara fisik, intelektual,
emosional, moral, dan spiritual sedemikian rupa sehingga

240
Pendidikan Islam dalam Era Globalisasi

sebagai muslim kompeten untuk melaksanakan ajaran-ajaran


Islam.

B. Globalisasi dan Tantangan Pendidikan Islam


Pada umumnya sistem pendidikan dewasa ini
dihadapkan pada berbagai tantangan, baik tantangan inter-
nal (nasional) maupun tantangan eksternal (globalisasi).
(Mastuhu, 2003: 31). Istilah globalisasi sering diberi arti
berbeda-beda antara satu dengan yang lain, namun pada
prinsipnya dalam era globalisasi ini terjadi pertemuan dan
gesekan nilai-nilai budaya dan agama di seluruh dunia yang
memanfaatkan jasa komunikasi, transformasi dan informasi
yang dapat melahirkan tatanan kehidupan dari hasil
modernisasi teknologi yang mengakibatkan dampak positif
dan negatif. (A.Qodri Azizy, 2004: 20). Jadi, dalam era
globalisasi, selain menghasilkan peluang positif untuk hidup
mudah, nyaman, murah, indah dan maju, juga dapat
menghadirkan peluang negatif sekaligus menimbulkan
keresahan, penderitaan, dan penyesatan. Dengan kata lain
dewasa ini telah terjadi banjir pilihan dan peluang terserah
kemampuan seseorang untuk memilikinya.
Dalam kaitannya dengan dunia pendidikan tantangan
yang berasal dari internal yakni sistem pendidikan berjalan
kurang sesuai dari cita-cita semula yaitu mengembangkan
sifat-sifat pendidikan yang demokrasi. Pendidikan yang
berjalan masih ada yang kurang memperhatikan kehidupan
manusia secara menyeluruh yang sejalan dengan tujuan
pendidikan itu sendiri. Secara umum pendidikan Islam di
Indonesia selama ini terkesan agak terhambat oleh berbagai
masalah mulai dari persoalan dana sampai tenaga ahli.
Pendidikan Islam dewasa ini terlihat goyah karena orientasi
yang semakin tidak jelas. (Muslih Usa, 1991: 11-13). Maka

241
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

tantangan utama yang dihadapi umat Islam sekarang adalah


peningkatan mutu sumber daya manusia (SDM). (Mansur,
2005: 8). Adapun faktor eksternal sistem pendidikan kurang
berdaya saing, oleh karena itu sistem pendidikan yang berjalan
perlu dikelola secara seimbang dan sinergis antara pusat dan
daerah.
Sistem pendidikan yang berlaku sekarang hendaknya
menghindari unsur diskriminatif. Waktu penerimaan siswa
atau tenaga pendidik baru juga perlu menghindari unsur
diskriminatif. Berlakunya sistem pendidikan nasional,
hendaknya memikirkan kebutuhan masyarakat dan
kebutuhan pasar. Dalam UUSPN tahun 2003 telah banyak
mengalami kemajuan atau perubahan dibanding dengan
sebelumnya. Strategi pendidikan nasional diupayakan untuk
membekali generasi muda agar mampu membawa bangsa ini
sejajar dengan bangsa maju. Pemerintah dalam hal ini telah
mencanangkan gerakan peningkatan mutu pendidikan dan
lebih fokus lagi setelah diamanatkan dalam UU nomor 20
tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Namun
dalam kenyataan sistem operasionalnya tidak semudah
membalikkan telapak tangan atau sesuai yang dicita-citakan.
Sebagai output pendidikan hendaklah cenderung kepada
pencarian ilmu yang setinggi-tingginya namun tetap dilandasi
keimanan yang kuat sebagai wujud pendidikan berwajah
insani yang mampu mengoptimalkan kecerdasan IQ, EQ, dan
SQ sebagai bekal kehidupan dalam menghadapi globalisasi,
bukan semata-mata bersifat materialistik. (Mansur,
“Menyeimbangkan IQ, EQ, SQ dalam Pendidikan Bewajah
Insani”, dalam Millah, Jurnal Ilmiah Program Pascasarjana UII
Yogyakarta, Vol. V, No. 1, Agustus 2005: 140).
Dalam menyelenggarakan sistem pendidikan sistem
kerjanya hendaknya tidak hanya di bawah otoritas kekuasaan
tetapi secara profesional, karena dalam lembaga pendidikan

242
Pendidikan Islam dalam Era Globalisasi

atau akademik bukan lembaga yang menyelenggarakan


administrasi kenegaraan seperti kantor kelurahan atau
kecamatan. Perguruan tinggi dikenal adanya eselonisasi
jabatan atau kepegawaian, sehingga dapat dikatakan tidak ada
bedanya antara menyelenggarakan lembaga pendidikan
dengan kantoran. Misalnya Perguruan Tinggi, rektor
menempati eselon tertinggi, sebaliknya ketua jurusan atau
program studi berada di eselon bawah. Padahal bonafid
tidaknya suatu perguruan tinggi adalah sangat bergantung
pada kemampuan dan keahlian ketua jurusan atau program
studi karena merekalah yang lebih mengetahui ilmunya dan
langsung menggeluti permasalahan dan kendala dalam
kegiatan pendidikan. Lain dengan penyelenggaraan di kantor
birokrasi adanya kepemimpinan yang hirarkis yang mana
disusun berdasarkan menurut umur, masa jabatan dan
kekuasaan. Dengan demikian berarti sistem kerja lingkungan
akademik hendaknya yang menentukan adalah tinggi
rendahnya keilmuan seseorang. Dapat dikatakan bahwa
sistem pendidikan nasional jika dikatakan idealitas seperti di
atas hendaknya pendidikan yang berlaku sekarang ini adalah
untuk memajukan manusia agar sejahtera hendaknya
pendidikan mempunyai sifat-sifat membaur akrab dan
memenuhi kebutuhan dari semua lapisan yang ada.
Lembaga pendidikan pada realitasnya masih ada yang
belum berpengalaman mengelola pendidikan yang terpadu
antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu pengetahuan yang
lainnya. Pada hakekatnya ilmu adalah bagian esensial dari
Islam, oleh karena itu pada dasarnya pendidikan Islam hanya
satu dan tidak ada pendidikan agama dan tidak ada pendidikan
umum, semua pendidikan apapun jenis dan jenjangnya adalah
sama yaitu bertujuan untuk mengembangkan human dignity.
Padahal Islam merupakan sumber dasar yang menjiwai nilai-
nilai ilmu. Lembaga pendidikan Islam maupun lembaga

243
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

pendidikan nasional lainnya muatan pendidikan sering


bersifat verbal dan kurang inovatif dari segi metodologi. Hal
ini tidak boleh berkelanjutan, sehingga kita harus mengambil
langkah untuk menghindari timbulnya kesan indoktrinasi.
(Ismail SM (ed.), 2000: 10).
Dapat juga dikatakan bahwa secara eksternal sistem
pendidikan telah ketinggalan kereta api globalisasi dan secara
internal sistem pendidikan berjalan kurang sesuai dengan cita-
cita semula. Oleh karena itu wajarlah terdapat kritik yang
disampaikan dari berbagai pihak bahwa kegiatan pendidikan
dari tahun ke tahun tidak pernah konsisten dan tidak bisa
menjamah seluruh aspek manusia secara utuh dan langsung.
Tantangan yang dihadapi oleh lembaga pendidikan
termasuk lembaga pendidikan Islam pada era globalisasi
adalah bagaimana mempersiapkan input, pengajar, fasilitas,
termasuk juga pengembangan kurikulum dan pengembangan
silabus. (Mansur, “Materi Seminar/Lokakarya Pengembangan
Silabus Pengawas SMP se Jateng”, di Hotel Dibya Puri
Semarang, Selasa 19 September 2006: 1). Hal itu perlu dicari
penyelesaiannya agar dapat mengantisipasi beberapa hal yaitu
mengadaptasi dan mengelola peradaban, mengembangkan
kemampuan diri dan mengembangkan kreatifitas lembaga
pendidikan sebagai learning organization and creative centre.
(Teuku Amirudin, 2000: 87). Pendidikan dari berbagai
tingkatan akan mengalami berbagai tantangan bahkan dunia
semakin tua maka semakin tinggi pula perubahannya. Oleh
karena itu manusia hendaknya siap menghadapi perubahan
zaman, namun realitanya manusia cenderung menolak
terjadinya perubahan karena ada hal-hal yang perlu direnung-
kan. Setiap perubahan mengandung ketidakpastian terhadap
hasil yang akan dicapai. Perubahan dapat mengganggu suatu
sistem yang telah mapan dan perubahan mengandung
ancaman, memberikan rasa tidak aman terhadap orang yang

244
Pendidikan Islam dalam Era Globalisasi

sulit menyesuaikan diri dengan perubahan, perubahan ini


pasti mengandung resiko untung maupun rugi dalam
berkehidupan.
Masyarakat memang selalu berubah dan memang harus
berubah. Sejarah telah mencatat perubahan-perubahan itu
mulai dari zaman primitif sampai zaman kontemporer
sekarang ini. Masyarakat yang tidak mau berubah akan
ketinggalan jika dibandingkan dengan masyarakat yang mau
berubah. Kita tidak dapat menghalangi perubahan itu karena
di dunia ini hanya perubahan itulah yang pasti terjadi.
Persoalannya barangkali kita merasa perubahan-perubahan
yang terjadi akhir-akhir ini begitu cepat sehingga kita pontang
panting untuk menyesuaiakn diri. Oleh karena perubahan
itu tidak bisa ditolak karena pengaruh tersebut bisa masuk
melalui berbagai cara, maka umat Islam akan kurang siap
menghadapi gagasan itu jika tidak dipersiapkan sejak dini.
Oleh karena itu pendidikan Islam perlu mempersiapkan
generasi agar mampu menghadapai era globalisasi itu dengan
bijaksana, waspada, dan selektif dengan tidak meninggalkan
jati dirinya. Pada era globalisasi, akal dan materi sebagai
simbol kekuatan yang mengontrol kehidupan, hal ini sesuai
dengan pendapat Gary Zukav yakni:
Money is symbol eksternal power those who have the most
money have the most ability to control their environment and
those within it, while those who the least money have the least
within it. Money is acquired lost stolen inheried and fought
for. (Gary Zukav, 1991: 24).
Dengan demikian salah satu ciri arus globalisasi yakni
adanya desakan dahsyat dari negara maju melanda negara-
negara yang kurang kuat, seperti negara-negara berkembang.
Di samping itu tata kehidupan menjadikan akal dan materi
sebagai simbol kekuatan yang mengontrol kehidupan,

245
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Dampak negatif globalisasi di dunia pendidikan: 1) rusaknya


orientasi hidup beragama, 2) runtuhnya nilai agama, nilai
moral dan nilai tradisi. Pendidikan Islam dewasa ini mendapat
sorotan tajam dari masyarakat. Ada yang berpendapat bahwa
krisis ekonomi dan politik yang melanda masyarakat Indo-
nesia secara berkepanjangan disebabkan terutama oleh krisis
moral yang menandakan bahwa pendidikan Islam telah gagal
membina masyarakat, khususnya masyarakat peserta didik
untuk menjadi insan yang beriman dan bertakwa yang mampu
mencegah umat Islam dari praktek korupsi, kolusi, dan
nepotisme yang didorong oleh sikap hidup konsumeristik,
materialistik dan hedonistic.
Dengan demikian, siapa yang mempunyai uang atau
materi, merekalah yang memegang kendali dan begitu pula
sebaliknya. Oleh karena itu, tantangan yang kita hadapi adalah
bagaimana kita dapat memanfaatkan semaksimal mungkin
dampak positif (peluang) globalisasi itu dan meminimalkan
dampak negatif (ancaman) nya. Dari uraian di atas muncul
pertanyaan, bagaimana peran pendidikan Islam di era
globalisasi? Oleh karena itu berikut akan dikaji bagaimana
peran pendidikan Islam dalam menyiapkan lulusan yang akan
mampu survive dalam era globalisasi ini, tetap dapat
memainkan peranan penting dalam kehidupan global tanpa
kehilangan jati dirinya sebagai muslim Indonesia.

C. Peran Pendidikan Islam di Era Globalisasi


Umat Islam harus mempersiapkan dalam menghadapi
arus globalisasi di tengah-tengah isu krisis di berbagai bidang
yang dahsyat penuh dengan berbagai tantangan, di samping
itu telah terbukti bahwa umat Islam sering dituduh sebagai
sarang terorisme serta pihak penghambat kemajuan oleh
pihak-pihak negara adi kuasa. Oleh karena itu umat Islam

246
Pendidikan Islam dalam Era Globalisasi

seyogyanya mempersiapkan sedini mungkin untuk


menghadapi keadaan itu yang dimulai dari peningkatan
kualitas pendidikan Islam yang lebih konkrit dan realistis dan
pendidikan sebagai lembaga untuk meluruskan teori yang
salah misalnya harta benda dianggap segala-galanya. Pada
dasarnya harta benda hanyalah sebagai sarana yang
diamanatkan bagi manusia sebagai pelaku-pelaku kehidupan
di dunia.
Pendidikan Islam mempunyai tanggung jawab dalam
menghadapi globalisasi, maka lembaga pendidikan Islam
hendaknya berperan aktif untuk memberdayakan manusia
melalui pendidikan Islam, karena pendidikan Islam
merupakan lapangan untuk mencetak generasi-generasi masa
depan yang lebih handal dan yang lebih kompeten untuk
membumikan prinsip-prinsip Islam. Pendidikan Islam perlu
menciptakan dan mengembangkan sistem pendidikan yang
dapat menghasilkan lulusan yang mampu memilih tanpa
kehilangan peluang jati dirinya. (Mansur, 2005: 1). Pendidikan
Islamlah yang bisa menghadapi arus globalisasi dan dampak
negatifnya. Oleh karena itu sekarang waktunya lembaga
pendidikan Islam menyumbangkan perannya untuk
membantu masyarakat dalam menghadapi globalisasi.
Adapun peran pendidikan Islam dalam era globalisasi di
antaranya:
Pertama, Islami. Peranan strategis pendidikan Islam
sebagai lembaga yang mampu menyiapkan para alumninya
yang berkepribadian, beriman, dan bertawakal. Jadi,
pendidikan Islam mempunyai peran membentuk anak didik
mempunyai kepribadian utama atau insan kamil sesuai dengan
ajaran Islam (Islami). Dengan demikian seorang guru
seharusnya bukan hanya sekedar tenaga pengajar, tetapi
sekaligus sebagai pendidik. Karena itu dalam Islam, seorang

247
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

dapat menjadi guru bukan hanya karena ia telah memenuhi


kualifikasi keilmuan dan akademis saja, tetapi lebih penting
lagi ia harus terpuji akhlaknya. Dengan demikian seorang guru
bukan hanya mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan saja, tetapi
lebih penting pula membentuk watak dan pribadi anak
didiknya dengan akhlak dan ajaran-ajaran Islam. (Azyumardi
Azra, 1998: 167). Oleh karena itu pendidikan Islam mampu
membentuk output-outputnya bisa mengimplementasikan
nilai-nilai Islam dalam kondisi zaman yang penuh terbuka
ini agar tetap menjadi insan kamil yang tangguh.
Kedua, populis. Pendidikan Islam mempunyai peran
kemasyarakatan (populis), artinya pendidikan Islam berperan
membantu pemerintah dalam ikut berperan serta
menyukseskan pemerataan pendidikan, mampu memberikan
kesempatan kepada seluruh rakyat atau merakyat, hal ini telah
terbukti bahwa pendidikan Islam mampu memasuki semua
penjuru atau lini kehidupan dan sampai ke pelosok tanah air,
jadi pendidikan Islam bukanlah milik some selected few dalam
masyarakat dengan segala hak-hak istimewa (privelege) nya.
Pendidikan Islam berperan mengangkat harkat dan martabat
masyarakat pada umumnya secara sosial, ekonomi, intelektual
dan agama tentunya. Apabila masyarakat secara menyeluruh
bisa mengenyam pendidikan Islam maka akan mampu
menghadapi kehidupan di era globalisasi.
Ketiga, peningkatan kualitas. Peranan strategis pendidikan
Islam sebagai lembaga mampu menyiapkan para alumninya
yang bisa hidup mandiri dan berkualitas. Pendidikan Islam
berperan meningkatkan kualitas masyarakat atau bangsa
untuk siap bersaing di bidang apa saja yang mereka masuki,
tetap bisa eksis dalam zaman globalisasi. Hal ini dimaksudkan
agar tidak terpinggirkan oleh lulusan pendidikan yang lain
dalam memperebutkan tempat dan peran di era globalisasi.
Bahkan pada era globalisasi perlu adanya daya saing yang

248
Pendidikan Islam dalam Era Globalisasi

unggul yakni aspek kualitas yang perlu dijamin dari semua


bidang baik ekonomi, politik maupun pendidikan dan lain-
lain. Terutama dalam dunia pendidikan perlu ditingkatkan
kualitas pendidikan dalam era globalisasi bukan berarti
pendidikan berorientasi pasar bebas yang identik dengan
liberalisme, sebagai warga negara Indonesia yang baik tetap
mendukung adanya pasar bebas tetapi dalam negeri perlu
adanya integritas domestik di semua bidang. Terutama dalam
dunia pendidikan Islam tidak menutup diri dari arus
globalisasi yang identik dengan pasar bebas namun terlebih
dahulu yang perlu dilakukan adalah integritas domestik. Jika
pendidikan Islam mampu berperan meningkatkan kualitas
masyarakat dan bangsa, maka mereka akan mampu
menghadapi kehidupan di era globalisasi. Keberadaan
pendidikan Islam di tengah-tengah arus globalisasi agar dapat
mencapai kondisi ideal maka diperlukan peningkatan
kualitasnya. (Mansur, dkk., 2006: 107. Dengan demikian di
tengah-tengah era globalisasi lembaga pendidikan Islam perlu
berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang
ada. Peran pendidikan Islam memiliki tanggung jawab untuk
menghadapi globalisasi, lembaga pendidikan Islam ikut
berperan aktif mengadakan perubahan di berbagai aspek
kehidupan tetapi tetap bertendensi pada nilai-nilai Islam. Oleh
karena itu berikut akan dikaji tentang pentingnya peningkatan
kualitas pendidikan Islam.

D. Pentingnya Peningkatan Kualitas Pendidikan Islam


Untuk mewujudkan peran pendidikan Islam di atas maka
diperlukan peningkatan internal pendidikan Islam itu sendiri.
Dalam menghadapi era globalisasi ini perlu adanya gagasan
baru pendidikan Islam dalam masa yang akan datang, antara
lain perlu mengubah paradigma lama menjadi paradigma
baru. Artinya meninggalkan yang sudah tidak sesuai dengan
249
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

tuntutan era reformasi dan demokrasi. Perlu mengembangkan


nilai-nilai lama yang sekiranya masih dapat dimanfaatkan,
dan ciptakan pandangan baru yang sesuai dengan kebutuhan
atau tantangan zaman, al-muhafadhatu alal qadim al-shalih wa
al-akhadzu ala al-jadid al-ashlah. Untuk itu perlu ada tawaran
gagasan menata ulang sistem pendidikan yang mampu
menghadapi perubahan zaman di era globalisasi. Dalam
menghadapi era globalisasi ini diperlukan terobosan dalam
berpikir, penyusunan konsep, serta tindakan-tindakan atau
paradigma dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang baru.
Sebab apabila tuntutan-tuntutan baru tersebut dihadapi
dengan menggunakan paradigma lama, maka segala usaha
yang dijalankan akan mengalami kegagalan. Dalam pendidikan
Islam masih terdapat beberapa kelemahan yang secepatnya
perlu diperbaiki antara lain:
Pertama, manajemen. Dunia pendidikan Islam dalam
bidang manajemen perlu perubahan yang dinamis dan baik
yang dilakukan secara terus-menerus agar tujuan untuk
meningkatkan kualitas pendidikan Islam tercapai. Manajemen
dalam pendidikan Islam hendaknya diperhatikan rencana
pendidikan jangka pendek, menengah dan jangka panjang agar
dapat dievaluasi keberhasilan dan kemajuan dalam pengelola-
an pendidikan Islam. Manajemen hendaknya berorientasi
pada pelayanan yang dinamis dan baik terhadap semua elemen
yang terkait dalam dunia pendidikan baik peserta didik
maupun internal pendidikan, adanya hubungan yang inte-
gral dalam dunia pendidikan Islam. Manajemen dalam
pendidikan Islam perlu diperbaiki lagi dari tahun ke tahun
agar semakin baik dan manajemen yang tidak sesuai zaman
perlu ditinggalkan. Dengan manajemen atau pengelolaan yang
fair dan berorientasi pada kemajuan eksternal dan internal
pendidikan akan tetap unggul di tengah-tengah derasnya arus
globalisasi dan ditambah lagi adanya krisis global.

250
Pendidikan Islam dalam Era Globalisasi

Kedua, pembelajaran. Karena pendidikan pada hakekatnya


mengembangkan potensi daya manusia menuju kedewasaan
sehingga mampu hidup mandiri dan mampu mengembangkan
tata kehidupan bersama yang lebih baik sesuai dengan
tantangan atau kebutuhan zamannya. Dengan kata lain
pendidikan pada hakekatnya mengembangkan human dignity
yang memanusiakan manusia sehingga benar-benar mampu
menjadi khalifatullah fi al-ardhi. Oleh karena itu berikan ruang
lebih banyak bagi lembaga pendidikan untuk mengembangkan
jati diri dan menempuh cita-citanya. Pemerintah telah
menetapkan standar minimal kompetensi dan arah dasar agar
tidak keluar dari Pancasila dan UUD 1945 sebagai akidah
dan syariah negara. Untuk mencapai basic kompetensi
tersebut serahkan pada masing-masing pihak. Untuk
menghadapi tantangan arus globalisasi maka harus mengem-
bangkan daya kreatifitas lembaga pendidikan sebagai learn-
ing organization and creative centre. Yang memerlukan upaya
sungguh-sungguh agar produk atau outputnya tetap
berorientasi intelektual, emosional dan spiritual. Lingkungan
pendidikan Islam hendaklah mampu mengembangkan daya
kreatifitas untuk mempersiapkan input pendidikan dapat
menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya untuk dapat
memberi arti pada kehidupan di dunia yang penuh perubahan
dengan begitu cepatnya. (Mansur, 2001: 22). Oleh karenanya
guru harus berupaya untuk menumbuh dan mengembangkan
sikap kreatif dalam mengelola pembelajaran dengan memilih
dan menetapkan berbagai pendekatan, metode, media
pembelajaran yang relevan dengan kondisi siswa dan
pencapaian kompetensi.
Ketiga, sarana/prasarana. Pendidikan Islam masih banyak
mengalami permasalahan dalam bidang sarana dan prasarana
dan ditambah adanya bongkar pasang untuk melengkapi
sarana pendidikan. Dalam hal ini berarti kurang efisien dalam

251
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

melengkapi sarana sebagai penunjang untuk meningkatkan


kualitas pendidikan. Oleh karena itu perlu adanya kiat untuk
memperbaiki agar tidak terkesan bongkar pasang, sehingga
awal proses melengkapi sarana tersebut harus direncanakan
lebih matang lagi apalagi didukung adanya instrumen otonomi
daerah. Otonomi pendidikan perlu diberikan agar leluasa
mengelola sumber daya, sumber dana, sumber belajar dan
mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan serta
lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. Namun
demikian, peran pemerintah tetap diperlukan untuk menjadi
wasit yang adil dalam memberikan motivasi, fasilitas dan
politik penyelenggaraan pendidikan yang sungguh-sungguh
dan jujur pada pihak-pihak yang lemah agar mampu bangkit
dalam persaingan yang terbuka dan bermutu. Di samping itu
mengingatkan pada penyelenggara pendidikan agar tidak
menjadikan wahana pendidikan sebagai usaha perdagangan
yang sering disebut bisnis pendidikan. Melihat beberapa
kelemahan yang ada, oleh karenanya sarana prasarana dalam
pendidikan Islam perlu diperbaiki dan ditingkatkan baik
kualitas maupun kuantitasnya.

E. Perlunya Manajemen dalam Lembaga Pendidikan


Islam
Trend pendidikan di era reformasi bernafaskan otonomi
daerah, oleh karena itu pendidikan Islam dalam pengem-
bangan dan pendewasaan kepribadian manusia seutuhnya
serta proses sosial psikologis dengan pendalaman ilmu-ilmu
agama (tafaqohu fiddin), hendaknya berpusat pada potensi-
potensi lokal, potensi masyarakat atau potensi daerah, baik
potensi alam lingkungan maupun SDM. (Abdurrahman
Mas’ud, 2004L: 34)

252
Pendidikan Islam dalam Era Globalisasi

Berdasarkan hal itu jalur pendidikan Islam termasuk


pesantren merupakan alternatif pilihan yang tepat bagi
pendidikan luar sekolah karena pesantren menerapkan
pembelajaran dengan pola sehari semalam dan berada di
tengah-tengah masyarakat.
Institusi pesantren merupakan salah satu lembaga
pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami,
mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam
dengan menekankan pentingnya moral keagamaan yang
dikembangkan sebagai pedoman perilaku dalam kehidupan
sehari-hari. Pengertian tradisional di atas bukan berarti tidak
mengalami penyesuaian, tetapi menunjukkan bahwa lembaga
ini hidup sejak ratusan tahun (300-400 tahun) yang lalu dan
telah menjadi bagian yang mendalam dari sistem kehidupan
sebagian besar umat Islam Indonesia, karena pada
perkembanganya pesantren telah mengalami perubahan dari
masa ke masa sesuai dengan perjalanan umat.
Sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam, pesantren
dapat dilihat dari unsur-unsur yang membentuknya yaitu:
(1) pelaku terdiri dari kiai, ustad, santri, dan pengurus. (2)
sarana perangkat keras: misalnya masjid, rumah kiai, rumah
ustad, pondok, gedung sekolah, gedung-gedung lain untuk
pendidikan seperti perpustakaan, aula, kantor pengurus
pesantren, kantor organisasi santri, keamanan, koperasi,
gedung-gedung keterampilan dan lain-lain. (3) sarana
perangkat lunak: kurikulum, buku-buku dan sumber belajar
lainya cara belajar-mengajar (bandongan, sorogan, halaqoh, dan
menghafal), evaluasi belajar mengajar. Unsur terpenting dari
semua itu adalah kiai, ia adalah tokoh utama yang
menentukan corak kehidupan pesantren. Semua warga
pesantren patuh pada kiai.
Sistem manajemen pendidikan pesantren adalah sistem
pendidikan yang sangat ideal dan merupakan sumber dasar

253
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

pendidikan nasional, karena sesuai dan selaras dengan jiwa


dan kepribadian bangsa Indonesia.Tetapi sekarang persoalan
sudah kompleks ilmu yang ada dipesantren berhadapan
dengan astronomi modern, matematika dan logika modern,
hal ini tidak perlu disesali bahwa mereka kehilangan
perspektif terhadap ushul al-figh, dan seharusnya falak hisab
dan mantiq tetap dipelajari bahkan harus dikembangkan
dengan memperhatikan perkembangan baru dalam bidang
ilmu itu sehingga bisa menghubungkan antara materi dan
metodologi. (Nurcholis Madjid, tt,: 12).
Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang berkembang
di Indonesia dan sebagai lembaga pendidikan Islam
tradisional, memiliki akar sejarah panjang di Indonesia. Proses
pembelajaran yang berlangsung selama 24 jam penuh
menyatu antara kiai, badal dan santri dalam satu komplek
(lingkungan pesantren), sehingga sangat efektif dalam upaya
pembentukan tiga kecerdasan yaitu: (1) kecerdasan spiritual;
(2) kecerdasan emosional; (3) kecerdasan akal. Sehubungan
dengan ketradisionalan pesantren, Mas’ud dalam Ismail
(Ismail SM (ed.), 2000: 33) mengatakan bahwa:
Dengan menunjuk pada dinamika keilmuan pesantren
dalam sejarah, agaknya istilah ‘’konservatif ’’ yang
dialamatkan pada komunitas atau tradisi pesantren
selama ini perlu ditinjau kembali. Konservatif pada
umumnya identik dengan statis, jumud (kolot) serta
implikasi-implikasi fatalis menyerah saja kepada nasib
lainnya. Dengan demikian tradisionalitas pesantren
selayaknya ditujukan pada suatu tradisi luhur dalam
berbagai hal termasuk tradisi intelektual pesantren yang
tidak pernah berhenti sampai sekarang.
Pesantren adalah fenomena sosiokultural yang unik pada
dataran historis. Pesantren merupakan sistem pendidikan

254
Pendidikan Islam dalam Era Globalisasi

tertua khas Indonesia yang eksistensinya telah teruji oleh


sejarah dan berlangsung hingga kini. Ia bisa dibidik dari
dimensi pendidikan, sejarah, agama, sosiologi, antropologi,
psikologi, hukum, ekonomi, politik dan dimensi. Pesantren
bukan hanya mampu bertahan, tetapi lebih dari itu dengan
penyesuaian akomodasi dan konsesinya pesantren pada
gilirannya juga mampu mengembangkan diri dan bahkan
kembali menempatkan diri pada posisi yang penting dalam
Sistem Pendidikan Nasional Indonesia secara keseluruhan.
Itulah sebabnya, dunia pesantren senantiasa identik dengan
dunia keilmuan dewasa ini dan makna penting dari keilmuan
dunia pesantren agaknya tidak tergeser. Seorang tokoh
modernis, Dawam Raharjo misalnya, menaruh kepercayaan
besar terhadap alumni-alumni pesantren yang memperoleh
pendidikan di dunia barat dan bekerja di berbagai sektor.
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang
multifungsi yang keberadaannya tetap diakui sebagai salah
satu lembaga pendidikan yang dapat mencetak sumber daya
manusia (SDM) yang mumpuni baik dari segi ilmu
pengetahuan, moral, maupun spiritual. Lembaga ini memiliki
banyak kelebihan dan keunikan dibanding dengan lembaga
pendidikan formal.
Sebagaimana lembaga pendidikan pada umumnya,
pondok pesantren perlu dikembangkan bidang-bidang yang
tercakup di dalamnya. Untuk itu diperlukan suatu manajemen
yang tepat. Stoner sebagaimana dikutip oleh Handoko (Hani
Handoko, 2001: 9) menyebutkan bahwa “manajemen adalah
proses perencanaan, perngorganisasian, pengarahan dan
pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan
pengunaan sumber daya-sumber daya organisasi lainnya agar
mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan”. Fungsi
manajemen meliputi: perencanaan (planning), pengorganisa-

255
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

sian (organizing), kepemimpinan (leading), dan pengendalian


(controlling.
Sebenarnya banyak definisi yang disampaikan oleh para
ahli, namun bila dicermati fungsi-fungsi manajemen yang
dipaparkannya dapat memberikan gambaran tentang
perbedaan fungsi manajemen yang dikembangkan para ahli
tersebut, yakni pada prinsipnya setiap manusia memiliki ilmu
dan seni tersendiri dalam menggerakkan orang, terutama
dalam rangka menetapkan tujuan yang telah ditetapkan.
Sungguhpun terdapat perbedaan, namun fungsi-fungsi
manajemen itu mempunyai makna yang sama, dan di sisi
lain setiap pemimpin harus mampu menempatkannya dalam
situasi dan kondisi tertentu. Dari batasan-batasan manajemen
yang beragam, dapat disampaikan bahwa manajemen
merupakan suatu usaha mencapai tujuan tertentu dengan
mendayagunakan segala sumber daya baik manusia maupun
non-manusia. Segala sumber daya yang semula tidak
berhuhungan satu dengan yang lainnya lalu diintegrasikan,
dihimpun menjadi sistem menyeluruh, secara sistematis,
terkoordinasi, kooperatif, dengan maksud agar tujuan
organisasi dapat tercapai, melalui pembagian kerja, tugas dan
tanggungjawab yang seimbang. Dalam hal ini, pengertian
manajemen yang digunakan adalah manajemen dengan empat
fungsi tersebut di atas yakni perencanaan (planning), pengor-
ganisasian (organizing), kepemimpinan (leading), dan
pengendalian (controlling). Dari fungsi dasar manajemen
tersebut, kemudian dilakukan tindak lanjut setelah diketahui
bahwa tujuan yang telah ditetapkan “tercapai” atau “belum
tercapai”.dengan fungsi manajemen tersebut juga harus
memadukan kemampuan SDM yang profesional yang berpacu
dengan waktu dan dengan lembaga-lembaga pendidikan yang
semakin berkembang. Perpacuan dengan lembaga pendidikan
lain bisa menghasilkan kompetetif maupun distributif.

256
Pendidikan Islam dalam Era Globalisasi

Kemampuan berpacu kompetitif jika pesantren menangani


berbagai macam disiplin ilmu, misalnya dengan cara
mendirikan perguruan tinggi, perpacuan secara kompetitif
tergantung pada kualitas yang dikembangkan. Berpacu
distributif yakni pengkhususan diri dalam satu bidang dan
menyerahkan penanganan bidang keilmuan selebihnya kepada
lembaga lain atau mengambil ahli lain yang ahli dalam
bidangnya.

F. Kepemimpinan dalam Manajemen Sumber Daya


Manusia Era Globalisasi
Kepemimpinan merupakan jenis kegiatan manajerial yang
memusatkan pada interaksi antar pribadi antara pemimpin
dan bawahan dengan maksud memperbesar efektivitas
perusahaan. Pemimpin yang profesional dalam perusahaan
harus mempunyai seperangkat kompetensi atau keterampilan
manajerial. Terdapat tiga macam keterampilan manajerial yang
diperlukan oleh seorang manajer (pimpinan) dalam mengelola
sumber daya perusahaan yaitu: “(a) keterampilan konseptual
(conceptual skill), (b) keterampilan hubungan manusia (Hu-
man skill), dan (c) keterampilan teknikal (technical skill)”.
Keterampilan konseptual adalah “keterampilan untuk
memahami dan mengoperasikan perusahaan. Keterampilan
ini antara lain meliputi kemampuan dalam menentukan
strategi, kebijakan, merencanakan suatu yang baru dan
mengambil keputusan”. Keterampilan kemanusiaan atau
hubungan manusia adalah “keterampilan untuk bekerjasama,
memotivasi dan memimpin”. Kegiatan perusahaan
merupakan kegiatan hubungan manusia dan interaksi antar
anggota perusahaan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Dalam kegiatan keseharian sering terjadi
hubungan yang kurang harmonis antar individu dalam

257
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

perusahaan, hal ini disebabkan komunikasi kurang lancar atau


dikarenakan tujuan individu berbeda dengan tujuan
perusahaan. Karena itu, untuk menjalin kerjasama yang baik
perlu diciptakan hubungan secara harmonis di antara anggota
perusahaan. Jadi, keterampilan hubungan manusia
merupakan kemampuan seseorang untuk bekerja sama,
berkomunikasi dan memahami individu di dalam perusahaan
dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja bawahan.
Keterampilan hubungan manusia di dalam perusahaan,
diartikan sebagai “kemampuan untuk bekerja dengan
memahami dan memotivasi orang lain baik sebagai individu
maupun kelompok dengan tujuan agar manajer (pimpinan)
memperoleh partisipasi secara aktif oleh anggota perusahaan
dalam pencapaian tujuan”. Apabila hal tersebut diterapkan
di dalam suatu perusahaan, maka perilaku hubungan yang
dilakukan oleh pimpinan perusahaan adalah:
- Menjalin hubungan komunikasi dan kerjasama dengan
para bawahan dalam perusahaan, demi terbitnya
hubungan kerjasama yang baik antara pimpinan dengan
bawahan sehingga tujuan perusahaan dapat dicapai dengan
mudah.
- Memberikan bimbingan dan bantuan dalam menyelesai-
kan tugas bawahan untuk memperlancar pelaksanaan
tugas mereka dalam perusahaan.
- Membangkitkan semangat kerja para bawahan, khususnya
bagi bawahan yang belum berhasil menyelesaikan tugas,
maka menjadi kewajiban pimpinan perusahaan untuk
menumbuhkan kepercayaan diri bagi bawahan agar
mereka berhasil dalam menyelesaikan tugasnya.
- Memberikan penghargaan kepada bawahan yang
berprestasi sebagai pengakuan terhadap prestasi yang telah

258
Pendidikan Islam dalam Era Globalisasi

diraih dalam usahanya yang maksimal sehingga dapat


mempertahankan dan meningkatkan prestasinya.
- Menyelesaikan segala permasalahan maupun konflik di
dalam perusahaan, agar masalah dan konflik yang terjadi
tidak berlarut-larut dan semakin kompleks.
- Mengikutsertakan bawahan dalam merumuskan
pengambilan keputusan, agar keputusan dapat diterima
oleh semua pihak. Meskipun permasalahan dan konflik
tidak bisa dihindarkan, namun pimpinan perusahaan harus
mengelola permasalahan dan konflik itu secara baik.
- Membangun kebiasaan semua SDM perusahaan baik pim-
pinan maupun bawahan untuk menghormati peraturan
perusahaan.
- Menciptakan iklim komparatif yang sehat diantara sesama
bawahan. Perlu dipahami bahwa sebagai manusia,
bawahan berkeinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup
esensialnya, seperti mendapatkan promosi, kenaikan gaji
atau penghargaan lainnya.
Dengan keterampilan teknikal memungkinkan pimpinan
perusahaan melaksanakan mekanisme yang diperlukan untuk
melakukan pekerjaan khusus sebagai pimpinan perusahaan-
nya. Keterampilan teknikal (technical skill) adalah kemampuan
untuk menggunakan peralatan-peralatan, prosedur-prosedur
atau teknik-teknik dari suatu bidang tertentu, seperti
akuntansi, permesinan dan sebagainya.
Kepemimpinan yang efektif mempengaruhi keberhasilan
perusahaan, karena kepemimpinan berada di barisan yang
paling depan dalam suatu perusahaan. Hal itu memberikan
sinyal bagi para pemimpin perusahaan, bahwa tugas pemim-
pin sangat kompleks dan berat. Peranan pimpinan dalam
perusahaan sangat besar, di samping harus menyelenggarakan
kegiatan perusahaan yang konsisten sesuai dengan rencana,

259
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

maka ia harus mampu menetapkan standar kerja, upaya


mempengaruhi kinerja, melakukan monitoring, mengevaluasi
dan juga harus mampu melakukan koreksi. Itulah sebabnya,
seorang pemimpin harus berbekal seperangkat keterampilan,
paling tidak, mencakup keterampilan konseptual (conceptual
skill), keterampilan hubungan manusia (human skill), dan
keterampilan teknikal (technical skill)”.

260
BAB VIII
MANAJEMEN DI LEMBAGA
PENDIDIKAN MADRASAH

A. Keberadaan Madrasah dari Berbagai Pandangan


Madrasah dalam pengertian bahasa diartikan sebagai
tempat untuk belajar para pelajar. (Abu Luwis al-Yasu’i, t.t.,:
211). Dalam perkembangannya madrasah mempunyai
beberapa pengertian, seperti aliran, madzhab, kelompok
filosof, dan ahli pikir tertentu pada metode dan pemikiran
yang sama. Penggunaan nama madrasah sebagai lembaga
pendidikan memiliki sejarah yang sangat panjang. Imam
Tholkhah, mengutip pendapat Al-Maqrizî mengatakan, bahwa
madrasah yang pertama kali berdiri adalah Al-Baihaqiyah di
Nisapur yang didirikan oleh Abû Hasan ‘Alî Al Baihaqi (Imam
Tholkhah, 1998: 8). Madrasah sudah menjadi fenomena yang
menonjol sejak awal abad ke-11 M/abad ke-5 H, yaitu ketika
Wazir Bani Saljuk Nizam al-Mulk mendirikan Madrasah
Nizâmiyah di Baghdad yang dijadikan sebagai salah satu ciri
khas tradisi pendidikan dalam Islam yang terbesar terutama
bagi kaum Sunni. (Maksum, 1999: 79). Melalui perjalanan
yang sangat panjang, pada abad ke-19 lembaga kependidikan
madrasah mulai berkembang di Indonesia, yaitu dimulai dari
berdirinya Madrasah Adabiyah oleh Abdullah Ahmad di
Padang Panjang, (Malik Fadjar, 1999: vii).

261
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Munculnya madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam


pada awalnya berupa pendidikan informal dakwah Islamiyah
dan berlangsung di rumah-rumah yang dikenal dengan Dâr
al-Arqâm sebagai lembaga pendidikan Islam yang pertama
(Mansur, 2004: 84). Selanjutnya pendidikan berlangsung di
masjid-masjid yang dikenal dengan halaqah. Dalam halaqah
ini tidak dikenal sistem klasikal, tidak dibedakan antara usia
dan jenjang pendidikannya. Dalam masa kebangkitan
pendidikan Islam, lembaga pendidikan diselenggarakan di
lingkungan pesantren berbentuk klasikal yang dikenal dengan
sebutan madrasah. (Ilman Nafi’a, 2002: 297)
Pada awal kemunculannya, madrasah di Indonesia lebih
memfokuskan perhatian pada pengajaran agama Islam
(‘ubûdiyyah) sebagaimana dipraktikkan dalam pendidikan di
masjid, surau, dan pesantren, sehingga pelajaran yang bersifat
kemasyarakatan, seperti sosial, politik, ekonomi, dan budaya
tidak mendapat perhatian yang sewajarnya. Hal itu disebabkan
antara lain karena tekanan penjajah yang sengaja menutup
kesempatan bagi umat Islam untuk maju. (Mahmud Yunus,
1979: 33-34). Akibatnya, madrasah kurang mendapat
perhatian pemerintah dan masyarakat secara umum, lulusan
madrasah tidak mendapat kesempatan yang sama dengan
lulusan sekolah umum dalam masalah kesempatan kerja baik
di instansi pemerintah maupun swasta. Di samping itu,
lulusan madrasah juga mengalami kendala yang cukup berat,
tidak dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah umum yang
lebih tinggi.
Keberadaan madrasah mendapat pengakuan resmi
pemerintah sejak terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB)
Tiga Menteri; Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri pada tanggal 24
Maret 1975 yang menegaskan, bahwa kedudukan madrasah
adalah sejajar dengan sekolah formal lain. Yang dimaksud

262
Manajemen di Lembaga Pendidikan Madrasah

sejajar adalah, keberadaan madrasah (MI, MTs, MA) yang


berada di bawah naungan Kemeneteian Agama diakui dan
disejajarkan kedudukannya dengan sekolah (SD, SMP, SMA)
di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Implikasinya adalah siswa madrasah dapat pindah ke sekolah
umum lain dan sebaliknya atau siswa madrasah dapat
melanjutkan sekolah umum lain yang jenjangnya lebih tinggi.
(Zakiah Daradjat, dalam “Tokoh di Balik Lahirnya SKB Tiga
Menteri”, Jurnal Madrasah Dirjen Binbaga Islam Departemen
Agama RI, Dirjen Binbaga Islam, Jakarta, Vol. 1, 1996: 50-
51).
Madrasah Ibtidaiyah (MI) sejajar dengan Sekolah Dasar
(SD), Madrasah Tsanawiyah (MTs) sejajar dengan Sekolah
Menengah Pertama (SMP), dan Madrasah Aliyah (MA) sejajar
dengan Sekolah Menengah Atas (SMA). SKB Tiga Menteri
ini menguatkan posisi madrasah dan sekaligus mengubah citra
madrasah sehingga mendapat simpati masyarakat. Dengan
demikian, status Madrasah Aliyah (MA) setara dengan Sekolah
Menengah Umum (SMU) maupun Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK). Implikasi dari terbitnya SKB Tiga Menteri
tersebut antara lain berubahnya kurikulum pendidikan
madrasah dengan memasukkan pelajaran umum pada
pendidikan madrasah dengan komposisi 70% pelajaran
agama dan 30% pelajaran umum.
Kebijakan pemerintah tentang Sistem Pendidikan
Nasional segera ditindaklanjuti dengan terbitnya PP. No. 29
Tahun 1990 dan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan No. 0489/U/1992 tentang Sekolah Menengah
Umum, yang secara tegas menyebutkan bahwa Madrasah
Aliyah adalah Sekolah Menengah Umum berciri khas agama
Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama.
(Zamakhsyari Dhofier (ed.), 1996: 12). Dengan lahirnya
kebijakan tersebut, Departemen Agama memberlakukan

263
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

semua madrasah untuk melaksanakan kurikulum pendidikan


dengan komposisi 100% pelajaran agama dan 100% pelajaran
umum.
Dengan demikian, tuntutan terhadap kualitas pendidikan
madrasah sangat penting mengingat bobot pendidikan umum
pada Madrasah Aliyah harus sama dengan SMU, tanpa
mengurangi muatan pendidikan agama Islam sebagai ciri
khasnya. Hal yang demikian merupakan tantangan yang tidak
ringan bagi pendidikan agama, Pendidikan madrasah sebagai
sub sistem pendidikan nasional dituntut untuk tetap dapat
mempertahankan kualitas pendidikan agama dan memacu
kualitas pendidikan umum sekaligus.
Dilema yang dihadapi oleh pendidikan madrasah
sebenarnya tidak hanya terletak pada pencapaian tujuan
pendidikan umum dan agama secara seimbang, tetapi justru
dihadapkan pada persoalan rendahnya mutu pendidikan
madrasah, di mana kualitas keluaran (out put) pendidikan
madrasah dinilai sangat memprihatikan. Sebab, dalam mata
pelajaran umum belum seimbang dengan keluaran sekolah
umum, sementara untuk mata pelajaran agama masih
tertinggal dengan keluaran pondok pesantren. Pemberdayaan
madrasah, menurut Malik Fadjar, merupakan keharusan yang
tidak boleh ditunda tunda lagi agar lembaga pendidikan Is-
lam mampu mengangkat peserta didik menjadi generasi yang
diperhitungkan di masa depan.
Gagasan pemberdayaan madrasah belum dapat
menjawab permasalahan rendahnya mutu pendidikan pada
lembaga pendidikan Islam selama pemberdayaan itu sendiri
belum menyentuh persoalan mendasar pembinaan mutu
pendidikan madrasah. Pemberdayaan merupakan salah satu
komponen peningkatan mutu pendidikan yang bergantung
pada kemampuan madrasah dalam melakukan inovasi
pemikiran dan pengembangan kurikulum pendidikannya.

264
Manajemen di Lembaga Pendidikan Madrasah

Sejalan dengan pernyataan tersebut di atas, K.H. M.A. Sahal


Mahfudz mengatakan bahwa madrasah pada masa esok akan
cerah atau suram tergantung kemampuan madrasah dalam
mengembangkan kurikulum pendidikan sekaligus memecah-
kan masalah masalah yang dilematis. (KH. M.A. Sahal
Mahfudz, 1994: 298). Muchtar Buchori lebih tegas menjelas-
kan, bahwa kelemahan mendasar pendidikan madrasah adalah
kurang memperhatikan pendidikan sains, keterampilan, dan
teknologi. (Muchtar Buchori, 1996:. 20-22).
Secara sepintas, program-program keterampilan yang
ditawarkan oleh madrasah-madrasah tersebut cukup relevan
dengan kebutuhan masyarakat di lingkungan masing-masing
madrasah. Terdapat fenomena yang menarik untuk dikaji,
antara lain bahwa Madrasah Aliyah Program Keterampilan
mampu merubah kesan (image) masyarakat terhadap
keberadaan Madrasah Aliyah secara umum.
Tulisan tentang madrasah telah dilakukan oleh beberapa
penulis. Karel A. Steenbrink misalnya menulis buku berjudul
Pesantren, Madrasah, dan Sekolah. Ia melakukan tinjauan historis
atas pesantren, madrasah, dan sekolah dari zaman kolonial
Belanda hingga zaman kemerdekaan Indonesia, profil guru
agama modern, perubahan dalam materi pengajaran agama,
dan penghargaan agama terhadap pendidikan umum.
Penelitian tersebut dilakukan dalam rentan waktu antara
tahun 1970 sampai dengan 1974. (Karel A. Steenbrink, 1974:
vii-xv).Dalam tulisan ini diperkaya dengan data baru yang
berkembang hingga tahun 1985.
Selanjutnya Maksum melakukan penulisan berjudul
Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya. Dalam penulisan ini
ia membahas tentang konsep dan karakteristik pendidikan
Islam, madrasah pada masa Islam klasik, sejarah pertumbuhan
madrasah di Indonesia, perkembangan madrasah dan
kebijakan pemerintah. Dari hasil kajian secara mendalam,

265
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Maksum menjelaskan bahwa pertumbuhan dan perkem-


bangan madrasah pada awal abad 20 merupakan bagian dari
pembaharuan Islam di Indonesia, yang memiliki kontak cukup
intensif dengan gerakan pembaharuan di Timur Tengah.
Eksistensi lembaga madrasah itu sudah berkembang
sejak masa Islam klasik, dan terus berkembang hingga masa
modern dengan segala bentuk penyesuaian dan pemba-
haruannya. (Maksum, 1999: 82). Ia menjelaskan pula bahwa
perkembangan dan pertumbuhan madrasah di Indonesia tidak
dapat dilepaskan dari perkembangan masyarakatnya.
Mengenai sejarah madrasah di Indonesia, A. Malik Fajar
antara lain menulis, bahwa pada abad 19 Abdullah Ahmad
telah mendirikan Madrasah Adabiyah di Padang Panjang. (A.
Malik Fajar, 1999: vii). Mengenai hal yang sama, Karel A.
Steenbrink mencatat bahwa pendidikan di Madrasah
Adabiyah diselenggarakan dengan sistem klasikal. Di samping
pelajaran agama, di madrasah ini juga diajarkan pelajaran
membaca dan menulis latin dan ilmu hitung.
Karel A. Steenbrink menulis bahwa pada tahun-tahun
pertama sesudah 1945 Departemen Agama mengambil
keputusan untuk menyesuaikan diri dengan sistem
pendidikan Barat dengan melakukan propaganda untuk
memasukkan mata pelajaran umum di madrasah. Departemen
Agama dalam hal ini memiliki kewenangan atas sistem dan
pengajaran agama yang diberikan dengan sistem sekolah.
Tujuan utamanya adalah untuk menghapuskan perbedaan
antara sistem sekolah dan madrasah. Melalui konvergensi
yang secara perlahan-lahan diharapkan kedua sistem
pendidikan yang terpisah sejak permulaan abad XX ini dapat
dipersatukan lagi. Lebih lanjut ia berpendapat bahwa menurut
kriteria pengetahuan agama yang mendalam, madrasah tidak
merupakan suatu alternatif yang memuaskan. Pengetahuan

266
Manajemen di Lembaga Pendidikan Madrasah

umum yang diberikan di madrasah juga tidak memenuhi


syarat yang diminta. Dari kalangan madrasah modern sering
muncul keluhan bahwa para alumninya tidak begitu mudah
mendapatkan pekerjaan.
Orang yang melihat mata pelajaran umum di madrasah
menyetujui bahwa mata pelajaran tersebut tidak berbeda
dari yang ada di sekolah umum, hanya tingkatannya saja
relatif lebih rendah dibandingkan dengan sekolah umum.
Oleh karena tingkatannya tersebut, maka lulusan madrasah
biasanya tidak mendapatkan penghargaan yang sama dengan
lulusan sekolah umum, meskipun dinyatakan bahwa
madrasah sederajat dengan sekolah umum. Tentang kualifikasi
tenaga kependidikan Utami Munandar menjelaskan, bahwa
pendidikan menuntut tingkat kemampuan kreatif yang lebih
tinggi dari para pendidik agar dapat memenuhi tuntutan dari
kebutuhan peserta didik. (Utami Munandar, 1977: 2).
Utami lebih lanjut menjelaskan, bahwa proses
pembelajaran yang didukung oleh kreativitas guru akan
mendorong semangat belajar anak sekaligus dapat memenuhi
tuntutan masa depan peserta didik. Tuntutan masa depan
anak antara lain terwujud dalam bentuk nyata, yaitu
terpenuhinya kebutuhan lapangan kerja bagi lulusannya.
Dengan demikian, model pendidikan madrasah yang baik di
masa mendatang adalah madrasah yang dapat menyiapkan
lulusannya menjadi tenaga terampil dan siap berkompetisi
dalam dunia kerja. Model pendidikan tersebut tidak dapat
dilepaskan dari sejarah perkembangan pemikiran dan model
kurikulum yang dikembangkan.
Selanjutnya mengenai kualitas pembelajaran, Fatchul
Arief melakukan penelitian dengan judul Kontribusi Orientasi
Profesional dan Persepsi tentang Sumber Belajar terhadap Perilaku
Pembelajaran. Dari hasil kajiannya Arief menjelaskan, bahwa
guru yang profesional memiliki pengetahuan yang luas serta

267
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

memiliki persepsi yang baik tentang metode dan sumber


belajar. Kemudian pada akhir penelitiannya, Arief menemukan
korelasi yang signifikan antara guru yang profesional terhadap
perilaku pembelajaran. Hal ini menunjukkan, bahwa semakin
profesional seorang guru, maka ia akan semakin baik
mengelola pengajaran dan pada akhirnya akan menghasilkan
prestasi belajar yang baik pula.
Hal itu memperkuat, bahwa guru yang profesional akan
mengetahui tugas-tugas sebagai pendidik dan mampu
mengarahkan peserta didik dengan baik. (Robert Houston,
1972: 4). Mengenai figur tenaga kerja yang berwawasan
Islami, Hamzah Ya’qub menulis dalam sebuah buku yang
berjudul Etos Kerja Islami. Ia menjelaskan bahwa sejalan
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa
ini tidak sedikit manusia yang cerdas akalnya tetapi tidak
berakhlak. (Hamzah Ya’qub, 2003: 2-3). Lebih lanjut ia
menjelaskan, bahwa dalam era modern seperti ini dibutuhkan
tenaga ahli yang terampil, jujur dan amanah, sehingga dapat
menghasilkan pekerjaan yang baik dan optimal. Oleh karena
itu munculnya tenaga terampil dari lulusan Madrasah yang
sekaligus memiliki wawasan agama yang luas, akan dapat
membantu para pengusaha dalam menyediakan tenaga kerja
yang ahli dan terpercaya, serta meningkatkan produktifitas
usahanya.
Perkembangan masyarakat yang semakin modern ini
menuntut madrasah untuk menyesuaikan diri, baik dari aspek
perubahan filosofi pemikiran, kurikulum, maupun aksinya
dalam kegiatan pembelajaran. Tuntutan perubahan tersebut
adalah sesuai dengan harapan masyarakat terhadap
keberadaan madrasah sesuai tuntutan zamannya. Madrasah
yang dapat menyiapkan lulusannya menjadi tenaga terampil
dan dapat memasuki dunia kerja serta mampu berwirausaha
akan semakin mendapat tempat di hati masyarakat.

268
Manajemen di Lembaga Pendidikan Madrasah

Sebaliknya, madrasah yang hanya menghasilkan alumni yang


menjadi pengangguran akan dihindari oleh masyarakat.

B. Proses Manajemen dalam Pengelolaan Madrasah


Proses manajemen dalam madrasah tidak berbeda dengan
organisasi atau lembaga lembaga lainnya, yaitu dimulai dari
proses perencanaan dan diakhiri evaluasi. Proses manajemen
itu sendiri masing masing ahli memiliki pandangan yang
berbeda, Iwa Sukiswa, misalnya, berpendapat bahwa proses
manajemen itu sangat halus dan tidak terpisah antara satu
dengan lainnya, sehingga tidak dapat dianalisa ke dalam
komponen komponen tertentu. Dengan kata lain bahwa
proses manajemen sebenarnya merupakan suatu keseluruhan
tindakan dalam mencapai tujuan dan masing masing proses
yang ada hanyalah sekedar suatu tahapan saja.
Proses manajemen pada dasarnya tidak dapat dilepaskan
dari fungsi manajemen itu sendiri. Setiap tahapan tahapan
yang ada pada proses manajemen selalu menunjukkan fungsi
dari proses manajemen masing masing. Fungsi manajemen
secara sederhana dibedakan menjadi dua, yaitu fungsi
perencanaan dan fungsi kontrol. Sondang P. Siagian membagi
fungsi manajemen menjadi lima macam, yaitu perencanaan,
pengorganisasian, penggerakan, pengawasan, dan penilaian.
(Sondang P. Siagian, 1989: 44).
Proses model manajemen yang efektif di madrasah
hendaknya meliputi beberapa hal:
a. Perencanaan, yaitu suatu tahapan di mana seorang manajer
berusaha memahami tujuan yang akan dicapai serta
prospek ke depan madrasah yang dipimpin, kemudian
menyusun perkiraan program atau rencana program yang
sesuai dengan tujuan dimaksud.

269
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

b. Pengorganisasian, yaitu suatu langkah strategis yang


dilakukan oleh pimpinan dalam menetapkan dan mengatur
kegiatan yang dilakukan dalam mencapai tujuan,
mengadakan pembagian pekerjaan, menempatkan orang
orang yang ahli sesuai dengan bidang masing masing.
c. Pelaksanaan, yaitu suatu proses pelaksanaan dari program
yang telah direncanakan sebelumnya. Pelaksanaan pro-
gram ini dikerjakan oleh staf atau orang orang yang telah
diberi tugas dan tanggung jawab, serta pimpinan yang
telah diberikan kewenangan menjalankan tugas organisasi.
d. Pengawasan, yaitu tindakan yang bertujuan untuk
memberikan pengamatan, pembimbingan, serta evaluasi
terhadap tugas yang telah diberikan oleh pimpinan kepada
staf. Pengawasan dapat dilakukan secara langsung, yaitu
pengawasan terhadap proses pelaksanaan kegiatannya atau
pengawasan secara tidak langsung, di mana seorang kepala
madrasah tidak melihat proses kegiatannya tetapi melihat
hasil yang dicapai.
Unsur-unsur manajemen tersebut di atas diterapkan
dalam teori model yang digunakan di madrasah. Dengan
demikian manajemen pendidikan yang digunakan di madrasah
selain mengacu pada tujuan nasional juga menggunakan
manajemen sesuai situasi dan kondisi (fleksibel). Artinya
setiap madrasah memiliki keunggulan teori model yang
dimiliki.

C. Prinsip-prinsip Manajemen Pendidikan di Madrasah


Sebagaimana diketahui bahwa tingkat kemajuan suatu
lembaga pendidikan sangat ditentukan oleh sejauh mana
kualitas out put atau keluaran madrasah yang bersangkutan.
Kemudian kualitas keluaran suatu lembaga pendidikan terkait
erat dengan penerapan prinsip prinsip manajemen, seperti

270
Manajemen di Lembaga Pendidikan Madrasah

efektifitas, transparansi, demokratis, peningkatan mutu dan


tepat waktu.
Prinsip prinsip manajemen sebagaimana tersebut di atas
pada dasarnya sudah cukup baik, tetapi untuk konteks
pendidikan madrasah masih perlu ditambah dengan prinsip
moralitas atau keislaman yang sekarang sering disebut
kecerdasan spiritual atau spiritual quostion (SQ). (Abdullah
Sukarta, 1999: 20). Sebab pada kenyataannya penyelenggaraan
pendidikan tanpa diikuti manajemen dengan prinsip moralitas
atau etika keislaman maka masih terdapat penyimpangan
penyimpangan dan keterpurukan mental anak. Dengan
demikian manajemen yang ideal untuk lembaga pendidikan
madrasah adalah manajemen yang menggunakan prinsip
prinsip manajemen modern dan tidak meninggalkan prinsip
manajemen yang berdasarkan nilai nilai etika ke-islaman.
Prinsip prinsip manajemen yang ideal untuk pendidikan
madrasah adalah:
1. Prinsip Efektif dan Efisien.
Penyelenggaraan pendidikan akan berhasil dan sukses
bila mengacu kepada prinsip prinsip efisiensi dan efektifitas.
Dalam konteks ini ajaran agama Islam sangat menganjurkan
setiap muslim untuk berperilaku memanfaatkan waktu dan
mengerjakan suatu pekerjaan sampai tuntas. Pertimbangan
pemanfaatan waktu dengan sebaik baiknya merupakan hal
yang sangat penting untuk mewujudkan manajemen
madrasah yang efektif dan efisien, di mana waktu merupakan
salah satu tolok ukurnya. Berkaitan dengan pemanfaatan
waktu al Quran telah memberikan anjuran dalam surat al
Ashr.
Kesadaran untuk memanfaatkan sumber sumber yang
ada dalam lembaga pendidikan dengan efektif dan efisien akan
membuahkan produktivitas yang tinggi, sebaliknya bila

271
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

sumber sumber sistem pendidikan tanpa disertai dengan


manajemen yang efektif dan efisien, maka yang akan terjadi
adalah pemborosan dalam pelaksanaannya.
Untuk menentukan taraf efisiensi dan efektifitas,
penyelenggara pendidikan madrasah harus mampu
mengadakan perbandingan antara hasil yang diperoleh dengan
usaha yang dikeluarkan, yakni suatu kegiatan dikatakan efisien
jika hanya dengan usaha minimal dapat mencapai hasil yang
maksimal.
2. Prinsip Transparansi dan Demokratis
Prinsip keterbukaan menghendaki agar dalam pelaksa-
naan proses pendidikan menghindari adanya sekat sekat dan
rahasia antara pemimpin dan yang dipimpin, tetapi harus
mengembangkan adanya sikap saling percaya antara satu
dengan yang lainnya. Dalam mengemukakan kebijaksanaan,
pemimpin harus dapat bersikap terbuka, tidak perlu takut
pendapatnya dilecehkan oleh bawahannya dan mencoba
menjadikannya sebagai lontaran dan mengembangkannya
sebagai pendapat dan keputusan bersama.
Prinsip keterbukaan sebagaimana di atas sangat berkaitan
dengan prinsip demokrasi, di mana keterbukaan yang terjalin
dengan saling adanya kesadaran akan bermuara pada
terbentuknya suasana demokrasi, baik dalam hal kepemim-
pinan sekolah maupun dalam segala hal yang berkaitan
dengan proses perumusan dan penetapan keputusan.
Berkaitan dengan prinsip di atas, maka penyelenggara
madrasah mempunyai tugas dan kewajiban bersama sama
untuk menerapkan dan mengembangkannya sebagai landasan
pokok dalam me manage pelaksanaan pendidikan yang
diselenggarakan.

272
Manajemen di Lembaga Pendidikan Madrasah

3. Prinsip Peningkatan Mutu


Penyelenggaraan pendidikan akan berkembang dengan
baik apabila dari awal dilandasi oleh niat yang bulat untuk
meningkatkan mutu penyelenggaraannya, tidak sekedar asal
asalan. Penyelenggara madrasah dalam mengembangkan
manajemen hendaknya berorientasi pada peningkatan mutu.
Kesadaran akan pentingnya orientasi pada pengem-
bangan kualitas ini pada gilirannya akan meningkatkan kinerja
pengelola dan penyelenggara pendidikan di madrasah,
sehingga dengan bertahap akan membawa lembaga pendi-
dikan madrasah menjadi lembaga pendidikan yang mampu
berkompeten dengan lembaga lain dan dibutuhkan oleh
masyarakat.
4. Prinsip Komitmen
Pelaksanaan pendidikan yang dilandasi oleh adanya
komitmen yang tinggi oleh masing masing penyelenggara
lembaga pendidikan yang terkait atas tugas dan tanggung
jawab masing masing merupakan modal pokok yang harus
dikembangkan. Prinsip komitmen ini dapat tercermin dalam
dedikasi dan disiplin kerja.
Dengan dedikasi dan disiplin kerja yang tinggi dalam
mengelola madrasah, maka akan tercipta manajemen yang
berkualitas dan merupakan salah satu ciri manajemen mod-
ern. Tanpa adanya komitmen dengan dedikasi dan disiplin
kerja maka mustahil tercipta suatu penyelenggaraan
pendidikan madrasah yang berkualitas, dan hanya merupakan
impian dan harapan saja.
5. Prinsip Etika dan Moralitas.
Prinsip moral dan etika merupakan ciri khusus yang harus
diterapkan dalam manajemen pendidikan madrasah.
Pengembangan manajemen madrasah yang mengutamakan

273
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

moral dan etika sosial keagamaan hendaknya direalisasikan


dalam berperilaku sehari hari oleh masing--masing
penyelenggara pendidikan dalam tata hubungan sosial.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang bercirikan
agama Islam harus mengutamakan dan selalu berpegang
teguh pada prinsip prinsip moral dan etika ajaran agama dalam
segala aspeknya, termasuk pengelolaan manajemennya. Etika
dan moral yang dimaksud adalah etika yang dikembangkan
oleh Rasulullah yang tertuang dalam al Quran dan al -Hadits
dengan keimanan dan ketakwaan sebagai landasannya.
Keberhasilan lembaga pendidikan madrasah dalam
mengembangkan manajemen berbasis moral dan etika sosial
keagamaan akan melahirkan dan memperkokoh keberadaan
madrasah sebagai lembaga pendidikan alternatif bagi
masyarakat masa depan.

274
BAB IX
MANAJEMEN DI LEMBAGA
PENDIDIKAN PESANTREN

A. Makna Pesantren
Pesantren secara fisik mengalami kemajuan yang cukup
fundamental, begitu pula pesantren dapat dilihat dari
pertumbuhannya yang semula “rural based instituation” menjadi
pendidikan urban, misalnya bermunculan pesantren di kota
seperti Bandung, Jakarta, Semarang, Yogyakarta dan lain-lain.
Pendidikan pesantren semakin all-out dengan pemerintah
ketika KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden.
(Ismail, 2000: 127).
Pondok pesantren pada hakikatnya adalah pendidikan
keagamaan yang mempunyai tujuan yang searah dengan
pendidikan lainnya, yakni mewujudkan tujuan pendidikan
nasional melalui jalur keagamaan. Status pondok pesantren
dikaitkan dengan sistem pendidikan nasional dijelaskan pada
Pasal 30 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, yaitu:
(1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah
dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama,
sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
(2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapan peserta
didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan

275
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau


menjadi ahli ilmu agama;
(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur
pendidikan formal, nonformal, dan informal;
(4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah,
pesantren, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang
sejenis.
Pemerintah sendiri melalui Kementerian Agama RI telah
menunjukkan kepeduliannya dengan membuat dan
menerbitkan berbagai pedoman bagi pembinaan pondok
pesantren, antara lain: (1) Pembakuan Sarana Pendidikan;
(2) Petunjuk Teknis; (3) Manajemen Pondok Pesantren; (4)
Panduan Organisasi Santri; (5) Kewirausahaan Santri; (6)
Panduan Palang Merah Remaja (PMR) Santri; (7) Visi, Misi,
Strategi dan Program Ditpekapontren (Direktorat Pendidikan
Keagamaan dan Pondok pesantren); (8) Pedoman Kegiatan
Belajar Mengajar Paket A, Paket B, dan Paket C di Pondok
Pesantren; dan sebagainya.
Kondisi pesantren dewasa ini khususnya pesantren
tradisional masih menghadapi problema yang nyata baik
secara internal maupun eksternal. Karena itu, upaya maksimal
untuk mencari solusinya dari berbagai pihak selalu
diperlukan. Dalam kaitannya dengan hal ini, akan dicoba
mencermati manajemen pembinaan santri di pondok
pesantren.
Perkembangan pesantren di masa datang akan sangat
ditentukan oleh kemampuannya mengantipasi dan mengatasi
kesulitan, tantangan dan dilema yang selama ini
menyelimutinya. Oleh karena itu, agar tidak terpaku pada
kondisi status quo dan bahkan mundur ke belakang, maka satu-
satunya kemungkinan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi
adalah adanya kesadaran langkah antisipasi ke depan dengan

276
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren

melakukan inovasi dan pengembangan pesantren. Dengan


demikian, pesantren akan semakin eksis dalam menganti-
sipasi perubahan sosial dan bahkan berperan mengarahkan
perubahan yang terjadi seiring dengan menggelindingnya era
modernisasi dan globalisasi (Ismail,2000: 61). Sehubungan
dengan hal itu, Sudirman Tebba yang dikutip oleh Ismail
mengemukakan alasannya:
(1) Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan,dakwah
dan social dirasakan oleh banyak pihak memiliki potensi
yang besar untuk memberikan sumbangan pemikiran
dalam bidang pendidikan dan pengembangan
masyarakat;
(2) Jumlah pesantren potensial terbukti telah melaksanakan
usaha kreatif yang bersifat rintisan;
(3) Usaha ini perlu dikembangkan sambil terus melakukan
upaya pembenahan terhadap masalah utama yang
dihadapi pesantren, baik yang bersifat internal maupun
eksternal.
Harapan terhadap pesantren agar dapat berperan aktif
dan memberi kontribusi yang berbobot di dalam social engi-
neering (rekayasa social) dan transformasi sosial kultural, maka
pesantren harus memiliki ciri pembaharuan, meskipun ciri
tradisional yang masih relevan dipertahankan. Untuk
mencapai hal itu ada dimensi-dimensi yang perlu diperhati-
kan, sebagaimana dikemukakan oleh Ismail (Ismail: 63-64),
yakni: dimensi kultural, dimensi edukatif, dan dimensi sosial.
Dimensi kultural, dalam konteks ini watak mandiri
merupakan ciri kultural yang harus dipertahankan meskipun
harus dijaga agar tidak berkembang kearah pengucilan diri.
Oleh karena itulah solidaritas spontan dan tak terarah perlu
ditingkatkan menjadi solidaritas yang terorganisasikan dalam
suatu hubungan akademis yang fungsional antar pesantren.

277
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Dimensi edukatif, dalam konteks ini antara lain dapat terlihat


pada output pendidikan. Secara tradisional proses pendidikan
di pesantren menghasilkan pimpinan keagamaan (religious
leader) atau setidak-tidaknya religious people yang berorientasi
pada masyarakat setempat. Makin berkembangnya
diferensiasi, spesialisasi, dan adanya tuntutan kebutuhan baru
dalam proses pembangunan, makin berkembang pula
kebutuhan masyarakat. Peranan pesantren akan lebih besar
dan kontribusinya pada proses transformasi social cultural akan
makin bermakna bila pesantren dapat menjawab tuntutan
kebutuhan baru. Dimensi sosial, dalam konteks ini pesantren
dapat dikembangkan menjadi lembaga pusat kegiatan belajar
masyarakat (community learning centre) yang berfungsi
menyampaikan teknologi baru yang cocok buat masyarakat
setempat dan memberikan pelayanan sosial maupun
keagamaan. Disisi lain, masyarakat setempat dapat berfungsi
sebagai “laboratorium sosial” di mana pesantren melakukan
eksperimentasi pengembangan masyarakat. Dengan demikian
terciptalah hubungan timbal balik antara pesantren dan
masyarakat setempat yang bersifat simbiose mutualistis.
Masa depan pesantren sangat ditentukan oleh faktor
manajerial Globalisasi menempatkan pula nasib umat
manusia sebagai keseluruhan menjadi tanggung jawab
bersama. Hubungan antar sesama manusia yang dekat akan
menumbuhkan perasaan ingin sederajat dalam kehidupan
antar negara. Oleh karena itu, arus globalisasi menuntut
pengembangan manusia yang bermutu. Pendidikan yang
bermutu menjadi motto bagi arus globalisasi. Realitas inilah
yang menuntut adanya pengelolaan lembaga pendidikan
sesuai dengan tuntutan zaman. Untuk bisa memenuhi
tuntutan seperti itu, lembaga pendidikan harus dikelola secara
profesional dan harus menganalisa kondisi dan posisi umat

278
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren

dewasa ini dan diikuti dengan upaya-upaya perbaikan yang


terus menerus dilakukan. (Teuku Amiruddin, 2000: 91)
Keperluan akan profesionalitas manajemen itu karena
lembaga pendidikan ini ibaratnya sebuah industri. Ibarat
sebuah industri, lembaga pendidikan pesantren berusaha
mengolah para santri sebagai input untuk dididik menjadi
manusia terdidik sesuai tujuannya sebagai output.dari proses
pendidikan. Tuntutan profesionalitas manajerial pesantren
seperti dalam pengelolaan industri itu karena peta
permasalahan pendidikan kita sangat kompleks yang
menyangkut bukan saja masalah teknis pendidikan, tetapi
juga meliputi kegiatan-kegiatan perencanaan, pendanaan, dan
efisiensi dari sistem itu sendiri Berkaitan dengan hal itu, santri
di pondok pesantren pun harus dikelola sedemikian rupa
dengan mengerahkan segenap sumber daya pesantren.
Pembinaan terhadap santri ini merupakan bagian dari
pembinaan terhadap lembaga pendidikan. Kiai sebagai
manajer dalam proses pembinaan santri di pondok pesantren,
bertanggungjawab mengintegrasikan segala bentuk unsur-
unsur kegiatan pembinaan. Kiai dapat berperan sebagai
manajer, dan selaku manajer, kiai harus berupaya mengkoor-
dinasikan kegiatan-kegiatan ke arah pencapaian tujuan
organisasi agar terjadi perubahan tingkah laku santri sesuai
tujuan yang diinginkan. Kiai harus dapat mengelola semua
komponen yang diperlukan dalam pembinaan santri,
bagaimana agar santri menjadi generasi muslim yang mampu
berkembang dalam menghadapi permasalahan yang ada dalam
masyarakat yang begitu komplek. Untuk itu diperlukan
manajemen yang tepat sesuai dengan kondisi dan situasi
pondok pesantren.
Untuk mencapai keberhasilan organisasi/lembaga
memang diperlukan kemampuan manajemen yang profesional
dalam mengelola semua sumberdaya pendukung yang ada.

279
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Oleh karena itu manajemen merupakan hal yang sangat


penting dikuasai oleh seorang pemimpin baik itu secara
teoretis maupun secara praktis sehingga dapat mengelola
organisasinya secara efektif dan efisien. Kegiatan manajerial
sebagai gambaran dari fungsi manajemen pada umumnya
meliputi banyak aspek, namun aspek utama dan sangat
esensial adalah perencanaan (planning), pengorganisasian (or-
ganizing), kepemimpinan (leading) dan pengawasan (control-
ling).
Selama ini berbagai permasalahan menyangkut upaya-
upaya pengembangan pondok pesantren cukup kompleks.
Misalnya, ada kekeliruan persepsi bahwa pondok pesantren
yang tradisional (salaf) sulit mengalami kemajuan dan sulit
untuk mengembangkan ilmu-ilmu kemasyarakatan karena
pondok pesantren lebih menekankan pada pendalaman ilmu-
ilmu agama (tafaqqohu fiddin). Kekeliruan persepsi tersebut
memperbesar hambatan pada kemajuan pondok pesantren
termasuk kemajuan para santrinya karena kurang mendapat
dukungan dari masyarakat. Pengelolaan pondok pesantren
diharapkan dapat berhasil bila dilakukan paduan secara
proposional antara Pesantren Based Management (PBM) dan
Community Based Educational (CBE). Namun perpaduan
manajemen tersebut sulit dilaksanakan sehingga masih ada
kesan bahwa pondok pesantren menerapkan manajemen
tradisional, yang teridentifikasi masih lambatnya perkem-
bangan berbagai pondok pesantren. Peranan pengelola dalam
pembinaan santri melalui manajemen yang tepat akan sangat
efektif, karena santri bukan hanya siswa di pondok, tetapi
lebih dari itu, mereka diharapkan dapat berbaur dengan
masyarakat. Namun penerapan manajemen harus dilakukan
oleh kiai yang profesional sebagai manajer, dan didukung oleh
fasilitas pondok yang memadai. Perubahan pesantren dari
rural based institution ke pendidikan urban diharapkan

280
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren

pesantren masih tetap mampu berpegang pada jati diri


pesantren tafaqqohu fiddin serta bisa menjadi “agent of change”
yang dapat mewujudkan manusia-manusia modern dan
memiliki orientasi ke depan dan sanggup menjadi bingkai
kultur secara agamis. Namun proses perubahan tersebut tidak
didukung oleh komunikasi dengan masyarakat yang cukup
sehingga pondok pesantren masih dikenal masyarakat sebagai
rural based institution. Dengan kegiatan bahtsul masail dan
munadloroh yang dilaksanakan pondok pesantren akan
memberikan wawasan berpikir yang luas serta kebebasan
berpikir santri sebagai bentuk ijtihad, karena akan berhadapan
langsung dengan budaya masyarakat yang beragam namun
tidak lepas dari koridor tafaqqohu fiddin. Permasalahannya
adalah bahwa pelaksanaan dari kegiatan tersebut memerlukan
pendekatan yang benar-benar efektif terhadap masyarakat
sebagai sosiokultural. Permasalahan lain yang sangat penting
bagi pengembangan pondok pesantren adalah menyangkut
pembinaan santri. Dalam hal ini, dengan upaya pembinaan
santri diharapkan santri menjadi aktif, kreatif, dinamis, dan
memiliki kepekaan sosial yang tinggi.

B. Perencanaan dalam pendidikan pesantren


Kegiatan perencanaan dalam fungsi manajemen
pendidikan Islam ini dapat disusun berdasarkan rumus 5 W
dan 1 H, yaitu: What, Why, When, Where, Whow, dan How.
What : apa program kegiatan yang akan dilaksanakan
Why : mengapa kegiatan dilaksanakan
When : kapan kegiatan dilaksanakan
Where : di mana kegiatan dilaksanakan
Who : siapa yang melaksanakan
How : bagaimana melaksanakan kegiatan itu.

281
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Kiai dituntut mempunyai kemampuan mengelola semua


komponen pendidikan Islam. Prinsip pendidikan Islam adalah
pembinaan terhadap segenap kebutuhan santri selama mereka
belajar di pondok pesantren. Hal tersebut mencakup: sarana
prasarana, sumber daya manusia, dan pendanaannya.
Esensi kebutuhan manusia termasuk santri meliputi: (1)
kebutuhan fisiologis, (2) kebutuhan keamanan, (3) kebutuhan
sosial, (3) kebutuhan prestise/penghargaan, dan (5)
aktualisasi diri (physiological, safety, social, esteem, and self actu-
alization needs). Kebutuhan esensial kehidupan santri di dalam
pondok pesantren tersebut, tentu tidak boleh lepas dari
perencanaan. Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan
untuk mempertahankan hidup, misalnya kebutuhan akan
sandang, papan dan pangan. Kebutuhan keamanan atau rasa
aman mencakup keamanan fisik maupun psikis, misalnya
tidak ada perasaan takut terhadap sesama santri maupun
terhadap kiai, adanya suasana yang menggairahkan untuk
belajar, kebebasan mengeluarkan pendapat, dan lain-lain.
Kebutuhan sosial, dalam manifestasinya antara lain diterima
lingkungannya, memperoleh kesempatan untuk maju, dan
lain-lain. Kebutuhan perstise/penghargaan biasanya
diwujudkan dalam sikap, kondisi belajar yang menyenangkan,
dan lain-lain. Sedangkan kebutuhan aktualisasi diri
merupakan kebutuhan mewujudkan dirinya agar seluruh
potensi yang dimilikinya menjadi kenyataan, misalnya
memperoleh kedudukan yang layak, dan berkesempatan
untuk mengikuti kegiatan pengembangan diri.
Santri sebagai manusia pun mempunyai kebutuhan-
kebutuhan sebagaimana tersebut di atas. Dalam kerangka
pendidikan Islam, kebutuhan esensial santri harus
diperhatikan, karena itu perlu disusun perencanaan mengenai
hal-hal sebagai berikut:

282
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren

(1)Kebutuhan Fisiologis Santri


(a) Kebutuhan Sandang bagi Santri
(b)Kebutuhan Papan/Tempat Pemondokan Santri
(c) Kebutuhan Pangan bagi Santri
(2)Kebutuhan Keamanan/Rasa Aman Santri
(a) Kondisi Tempat Belajar bagi Santri
(b)Lingkungan Belajar bagi Santri
(c) Hubungan Santri dengan Kiai
(d)Hubungan Santri dengan Santri
(e) Kebebasan Berpendapat bagi Santri
(3)Kebutuhan Rasa Sosial Santri
(a) Sikap Kiai terhadap Santri
(b)Sikap Santri terhadap Santri
(c) Sikap Masyarakat terhadap Santri
(d)Persaingan antar Santri
(e) Kesempatan untuk Maju bagi Santri
(4)Pembinaan terhadap Kebutuhan Prestise bagi Santri
(a) Kondisi Belajar yang Menunjang Proses Pembelajaran
Santri
(b)Penghargaan terhadap Prestasi Santri
(5)Aktualisasi Diri bagi Santri
(a) Kesempatan untuk mengekspresikan diri bagi Santri
(b)Kesempatan untuk mengikuti Kegiatan Pengembangan
Diri bagi Santri
(6)Kurikulum Pembelajaran
(a)Visi dan Missi Pondok Pesantren
Visi mencerminkan apa yang diinginkan untuk dicapai
oleh pesantren, hendaknya dapat memberikan arah dan

283
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

fokus strategi yang jelas, mampu menjadi perekat dan


menyatukan berbagai gagasan strategis, memiliki orientasi
terhadap masa depan, mampu menumbuhkembangkan
komitmen dari semua unsur dan mampu menjamin
kesinambungan kepemimpinan organisasi di pesantren.
Berdasarkan visi tersebut, maka perlu direncanakan missi
pondok pesantren, misalnya: melaksanakan pendidikan
dan pengajaran yang berkualitas dengan kompetensi
pencapaian tertentu; dan menyiapkan santri berkualitas
dan berkepribadian Islam.
(b) Tujuan Pendidikan Pondok Pesantren
Tujuan pendidikan di pondok pesantren memuat
gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar
dan indah untuk kehidupan. Karena itu tujuan pendidikan
di pondok pesantren mempunyai dua fungsi, yaitu: (1)
memberikan arah kepada segenap kegiatan pendidikan dan
(2) merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap
kegiatan pendidikan pondok pesantren. Tujuan pendidikan
menduduki posisi terpenting, sebab segenap komponen
dari seluruh kegiatan pendidikan dilakukan semata-mata
terarah kepada atau ditujukan untuk pencapaian tujuan
pendidikan yang berwawasan demokrasi dan kebangsaan
dalam perspektif Siyasah Islamiyah (Ismail Sm-Abdul Mukti
(ed), 2000: 40). Tujuan pendidikan pesantren perlu
dirumuskan dengan berdasar pada tujuan pendidikan
nasional dan bermisi khusus, misalnya: (1) melaksanakan
pendidikan dan pengajaran yang berkualitas dengan
kompetensi tafaqqohu fiddin; (2) menyiapkan santri menjadi
akrom-saleh.
(c) Kurikulum Pendidikan Pondok Pesantren
Kegiatan pembelajaran yang diselenggarakan oleh
setiap guru selalu bermula dari dan bermuara pada

284
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren

komponen-komponen pembelajaran yang tersurat dalam


kurikulum. Pernyataan ini didasarkan pada kenyataan
bahwa kegiatan pembelajaran yang diselenggarakan oleh
setiap guru merupakan bagianj utama dari pendidikan for-
mal yang syarat mutlaknya adalah adanya kurikulum
sebagai pedoman. Dengan demikian, guru dalam meran-
cang program pembelajaran maupun melaksanakan proses
pembelajaran akan selalu berpedoman pada kurikulum.
Demikian pula halnya di dalam pondok pesantren, dalam
menyelenggarakan pembelajaran terhadap santri, kiai
seharusnya berpedoman pada kurikulum pendidikan di
pondok pesantren.
Banyak ahli pendidikan yang masing-masing berbeda
dalam mendefinisikan kurikulum ini, ada yang
mengandung makna luas dan ada yang mengandung makna
terbatas. Kurikulum adalah sesuatu yang direncanakan
sebagai pegangan guna mencapai tujuan pendidikan.
Kurikulum sebagai wahana belajar-mengajar yang dinamis
sehingga perlu dinilai dan dikembangkan secara terus-
menerus dan berkelanjutan sesuai dengan perkembangan
yang ada dalam masyarakat. Pasal 36 Ayat (2) UU RI
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
menyebutkan bahwa kurikulum pada semua jenjang dan
jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifi-
kasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan
peserta didik. Dalam penjelasannya disebutkan pengem-
bangan kurikulum secara berdiversifikasi dimaksudkan
untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan
pada satuan pendidikan dengan kondisi dan kekhasan
potensi yang ada di daerah. (Mulyasa, 2004: 37) Kurikulum
mengandung berbagai komponen, seperti: tujuan, bahan
ajar, strategi mengajar, media mengajar, evaluasi
pengajaran, dan penyempurnaan pengajaran. (Muhaimin,

285
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

2002: 186). Pedoman kurikulum pondok pesantren


disusun untuk menentukan garis-garis besar kurikulum,
setidaknya pedoman tersebut mencakup: (1) apa yang akan
diajarkan (ruang lingkup, scope); (2) kepada siapa
diajarkan; (3) apa sebab diajarkan, dengan tujuan apa; dan
(4) dalam urutan yang bagaimana.
(7) Proses Pembelajaran
Dalam suatu pembelajaran, harus diperhatikan/direnca-
nakan beberapa hal pokok, yaitu: (a) pembelajaran apa yang
akan dilaksanakan; (b) mengapa pembelajaran itu diberikan
kepada santri; (c) kapan pembelajaran itu dilaksanakan; (d)
di mana pembelajaran akan dilakukan; (e) siapa yang
melakukan pembelajaran; dan (f) bagaimana melaksanakan
pembelajaran itu. Perlu diingat bahwa ada komponen-
komponen pembelajaran yang harus ada dalam suatu
pembelajaran sehingga terjadi suatu interaksi pembelajaran
yang disebut sebagai “interaksi edukatif ’ sehingga diperoleh
hasil sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ditetapkan.
Kemudian, bagaimana mengevaluasi pembelajarannya, dan
sebagainya harus direncanakan dengan matang.
Dalam suatu interaksi edukatif terdapat komponen-
komponen seperti: (1) bahan yang menjadi isi proses; (2)
ada tujuan yang akan dicapai; (3) ada pelajar yang aktif
mengalami; (4) ada guru yang melaksanakan; (5) ada metode
tertentu untuk mencapai tujuan; dan (6) proses interaksi
tersebut berlangsung dalam ikatan situasional. Suatu sistem
pada hakikatnya adalah suatu kesatuan yang terdiri atas
sejumlah komponen yang berhubungan satu dengan yang lain
dan berinteraksi untuk mencapai tujuan tertentu. Secara
umum, pendekatan sistem dirumuskan dalam bentuk tujuan
dan standar perilaku tertentu yang diharapkan. Pembelajaran
merupakan suatu sistem, karena dalam pembelajaran terdapat

286
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren

komponen-komponen yang saling berhubungan dan


berinteraksi. Berdasarkan pendekatan sistem, maka konsep
pembelajaran terdiri atas komponen-komponen seperti:
tujuan, materi, metode, media, dan evaluasi.
(a) Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran adalah rumusan yang menun-
jukkan dan menjelaskan hal yang ingin dicapai. Tujuan
tersebut menunjukkan atau menjelaskan perubahan apa
yang harus terjadi dan dialami oleh siswa (orang yang
melakukan tindakan belajar), seperti pola pikir, perasaan,
tingkah lakunya. Sumber belajar harus dapat membuat
perubahan itu terjadi. (Anissatul Mufarrok, 2009: 3).
Untuk itu ia perlu memikirkan bahan pembelajaran
yang dibutuhkan agar terjadinya perubahan-perubahan
serta bagaimana cara menangani bahan pembelajaran
yang dimaksud secara baik dan tepat.
Sebagai persiapan untuk menciptakan pembelajaran
yang efektif, maka dibuatlah suatu perencanaan mengajar.
Tujuannya adalah mengantisipasi dan memperkirakan apa
yang akan dilakukan dalam pembelajaran sehingga tercipta
situasi yang memungkinkan terjadinya pembelajaran yang
baik, dan dapat mengantarkan santri mencapai tujuan yang
direncanakan. Perencanaan itu adalah: (1) tujuan apa yang
hendak dicapai, yaitu bentuk-bentuk tingkah laku yang
dimiliki oleh santri; (2) bahan pembelajaran yang dapat
mengajak santri mencapai tujuan; (3) bagaimana proses
pembelajaran yang akan diciptakan oleh sumber belajar
agar santri mencapai tujuan secara efektif dan efisien; (4)
bagaimana menciptakan dan menggunakan alat untuk
mengetahui dan mengukur tujuan itu tercapai atau tidak.
Upaya yang dilakukan agar tujuan belajar dapat
dicapai, maka perlu dikondisikan sistem lingkungan belajar

287
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

yang kondusif. Hal ini sangat berhubungan erat dengan


situasi pembelajaran. Membelajarkan diartikan sebagai
suatu usaha penciptaan sistem lingkungan yang me-
mungkinkan terjadinya proses belajar. Sistem lingkungan
belajar dipengaruhi oleh berbagai komponen yang saling
mempengaruhi. Komponen tersebut misalnya tujuan
belajar yang hendak dicapai, materi pembelajaran yang
ingin diajarkan, sumber belajar dan siswa itu sendiri.
Komponen-komponen lingkungan tersebut saling
mempengaruhi secara bervariasi sehingga setiap peristiwa
belajar memiliki profil tertentu yang unik dan kompleks.
Masing-masing lingkungan belajar menentukan tujuan-
tujuan tertentu pula. Situasi belajar dipengaruhi oleh faktor
sumber belajar, siswa, kurikulum, dan lingkungan.
Dalam suatu kegiatan pembelajaran dikenal tujuan
pembelajaran yang secara umum dikenal sebagai tujuan
instruksional. Tujuan ini merupakan tuntunan kearah mana
pembelajaran hendak dituju. Tujuan belajar tercapai
melalui kegiatan pembelajaran di bawah bimbingan sumber
belajar/tutor dalam situasi dan kondisi yang mendukung-
nya.
Tujuan pembelajaran dibagi menjadi dua, yaitu: Tujuan
Pembelajaran Umum (TPU) dan Tujuan Pembelajaran
Khusus (TPK). Tujuan pembelajaran umum adalah tujuan
pembelajaran yang sifatnya umum dan luas. Tujuan ini
tercapai melalui tujuan pembelajaran khusus, yaitu tujuan
pembelajaran yang bersifat spesifik yang menyangkut
kemampuan-kemampuan khusus dapat diukur atau dapat
diamati hasilnya secara konkret.
Tujuan pembelajaran umum dan tujuan pembelajaran
khusus dapat dirumuskan melalui dua cara, yaitu: dengan
menggunakan kata-kata dan menggunakan luas sempitnya

288
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren

materi. Kata-kata yang digunakan dalam tujuan


pembelajaran umum dapat dipilih kata-kata yang memiliki
pengertian secara luas dan umum, misalnya memahami,
menghayati, mengetahui, menyadari, dan sebagainya.
Sedangkan pada tujuan pembelajaran khusus dapat
digunakan kata-kata yang sifatnya khusus dan operasional,
misalnya menyebutkan, melakukan, menjelaskan,
menerangkan, menunjukkan, dan sebagainya. Perumusan
dengan berpijak pada luas sempitnya materi, dapat
dilakukan dengan menyesuaikan sasaran materi luas atau
umum, sedangkan untuk tujuan pembelajaran khusus
dirumuskan dengan materi yang merupakan penjabaran
atau bagian-bagian dari materi yang ada pada tujuan
pembelajaran umum. Merumuskan tujuan khusus
pembelajaran ada tiga sifat, yaitu (1) berpusat pada
perubahan tingkah laku siswa; (2) mengkhususkan dalam
bentuk-bentuk terbatas; dan (3) realistis bagi kebutuhan
perkembangan siswa.
(b) Materi Pembelajaran
Materi atau bahan pembelajaran adalah materi yang
harus dipelajari oleh siswa dalam proses belajar. Materi
tersebut merupakan untuk mencapai tujuan belajar dan
suatu program belajar yang telah ditentukan. Isi materi
pembelajaran dapat meliputi sebagian atau keseluruhan
program belajar. Materi pembelajaran adalah salah satu
sumber belajar bagi siswa. Materi yang dapat disebut
sebagai sumber belajar ini merupakan sesuatu yang
membawa pesan untuk tujuan pembelajaran. Materi
pembelajaran harus memenuhi kriteria, yaitu kesesuaian,
kemudahan dan kemenarikan.

289
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Dalam proses pembelajaran, materi pembelajaran


memiliki arti yang sangat penting, sebab dari materi
tersebut substansi tujuan pembelajaran termuat dan
terjabarkan sesuai dengan keinginan pihak siswa (santri
di pondok pesantren). Materi pembelajaran adalah
substansi yang disampaikan dalam proses pembelajaran,
dan tanpa materi itu proses pembelajaran tidak berjalan.
Karena itu, dalam pembelajaran, pengajar (pembelajar)
harus menguasai materi pembelajaran yang akan
disampaikan dalam kegiatan mengajarnya. Penggunaan
materi pembelajaran disesuaikan dengan kondisi dan
kebutuhan belajar, serta pelaksanaannya diharapkan dapat
memberi motivasi dan minat siswa.
Terdapat dua permasalahan berkenaan dengan
penguasaan materi pembelajaran ini, yaitu penguasaan
materi pembelajaran pokok dan materi pembelajaran
pelengkap. Materi pembelajaran pokok adalah materi
pembelajaran yang menyangkut bidang studi yang dipegang
oleh tutor sesuai dengan profesi atau disiplin ilmunya.
Sedangkan materi pembelajaran pelengkap adalah materi
pembelajaran yang menunjang penyampaian materi
pembelajaran pokok.
(c) Metode Pembelajaran
Proses pembelajaran terjadi karena ada interaksi antara
sumber belajar/tutor dengan siswa. Dalam proses
pembelajaran kelompok, interaksi yang terjadi antara siswa
dengan sumber belajar, atau antara siswa dengan
lingkungannya. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh
tutor selaku sumber belajar bertujuan agar setiap usaha
yang dilakukan oleh sumber belajar merupakan kegiatan
belajar. Upaya pembelajaran itu mempunyai nama dan
penerapan yang beraneka ragam, misalnya berupa bantuan,

290
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren

dorongan atau bimbingan belajar yang arahnya adalah agar


warga belajar dapat secara aktif dan efektif melakukan
kegiatan belajar.
Dalam proses interaksi pembelajaran bagi para santri,
kedua belah pihak, yaitu kiai (guru) dan santri menam-
pilkan perannya masing-masing dan tiap individu memiliki
respon yang berbeda-beda. Perbedaan respon tersebut
dilatarbelakangi oleh pengalaman individu, pendidikan dan
status. Karena itu, agar pembelajaran terhadap santri dapat
berjalan secara baik dan efektif, maka prasyarat penguasaan
teknik pembelajaran mutlak bagi sumber belajar (kiai/
guru). Salah satu usaha untuk mencapai keberhasilan
pembelajaran adalah ketepatan dalam pemilihan metode
pembelajaran, sebab kemampuan dan kecakapan sumber
belajar terhadap penguasaan metode mengajar berbeda-
beda. Masing-masing individu (kiai/guru) memiliki seni
dan cara yang berlainan satu sama lainnya. Hal ini
dipengaruhi oleh materi, situasi dan kondisi proses
pembelajaran.
Metode pembelajaran merupakan cara sebaik-baiknya
dalam menyampaikan materi pembelajaran untuk
mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
Banyak pilihan metode pembelajaran yang sesuai dengan
tujuan pembelajaran. menyampaikan berbagai metode
pembelajaran dalam interaksi edukatif, yaitu: (1) metode
proyek, (2) metode eksperimen, (3) metode pemberian
tugas dan resitasi, (4) metode diskusi, (5) metode bermain
peran, (6) metode sosiodrama, (7) metode demonstrasi,
(8) metode karyawisata, (9) metode tanya jawab, (10)
metode latihan, (11) metode bercerita, dan (12) metode
ceramah. Masing-masing metode pembelajaran tersebut
mempunyai kelebihan dan kekurangan. Karena itu, dalam
pelaksanaannya digunakan paduan antara berbagai metode.

291
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Sebagaimana halnya pada pelaksanaan pembelajaran


di sekolah umum, pelaksanaan pembelajaran terhadap
santri di pondok pesantren dapat digunakan kombinasi
dari beberapa metode sekaligus agar pembelajaran dapat
berjalan secara efektif. Metode pembelajaran mempunyai
peranan yang amat penting karena dapat membangkitkan
perhatian dan minat belajar. Metode pembelajaran
berfungsi sebagai: (1) Penuntun dalam penyampaian atau
pembahasan isi pesan belajar; (2) Pembangkit perhatian
dan minat belajar; (3) Pencipta peluang berinteraksi bagi
siswa; (4) Memproses perubahan individu siswa; (5)
Pencipta iklim belajar yang menyenangkan dan mendukung
proses belajar.
Pemilihan metode pembelajaran dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu: (1) tujuan belajar, apakah bersifat
kognitif, afektif, ataukah psikomotorik; (2) materi yang
diajarkan; (3) keadaan siswa; (4) alokasi waktu
pembelajaran; (5) sarana belajar; dan (6) kecakapan sumber
belajar. Proses pembelajaran pada dasarnya adalah interaksi
siswa dengan pembelajar (sumber belajar) dalam upaya
mencapai tujuan belajar yang telah ditetapkan. Interaksi
yang diharapkan tentunya adalah keaktifan siswa dalam
kegiatan belajarnya dan terjadinya situasi yang komunikatif.
Dengan demikian, dalam kegiatan pembelajaran terjadi
interaksi antara siswa dengan komponen-komponen
belajar melalui proses komunikasi, dan metodelah sebagai
alat komunikasinya.
(d) Alat dan Media Pembelajaran
Alat pembelajaran adalah semua bahan yang
digunakan untuk pembelajaran, seperti buku dan media
pembelajaran. Alat pembelajaranberfungsi untuk
membantu pencapaian tujuan pembelajaran. Semakin

292
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren

majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, dapat diciptakan


alat-alat khusus untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Demikian pula, tidak semua metode pembelajaran
senantiasa mengunakan alat-alat yang berupa benda
konkrit.
Alat-alat pembelajaran ini juga berupa media yang
digunakan dalam pembelajaran. Bahwa media adalah
sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan
dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang
pikiran, perasaan, perhatian dan minat siswa sedemikian
rupa sehingga proses belajar terjadi. Sehubungan dengan
hal itu, media pembelajaran adalah segala sesuatu yang
dapat menyalurkan pesan, dapat merangsang pikiran,
perasaan, dan kemauan peserta didik sehingga dapat
mendorong terjadinya proses belajar pada diri peserta
didik. Media pembelajaran adalah alat, metode, dan teknik
yang digunakan dalam rangka lebih mengefektifkan
komunikasi dan interaksi antara guru dan siswa dalam
proses pendidikan dan pengajaran di sekolah. Nustikasari
menyebutkan bahwa media pembelajaran adalah segala
sesuatu yang dapat menyalurkan informasi yang dapat
menyalurkan informasi dari sumber informasi kepada
penerima informasi .Dari beberapa pengertian tersebut,
dapat diambil pengertian umum media pembelajaran,
yaitu segala sesuatu yang dapat menyalurkan pesan, dapat
merangsang pikiran, perasaan, dan kemauan peserta didik
sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada
diri peserta didik.
Tujuan penggunaan media pembelajaran adalah untuk
memperjelas materi atau bahan belajar yang disampaikan
oleh pembelajar. Kesulitan-kesulitan yang terdapat dalam
materi belajar dapat disederhanakan pengertiannya
sehingga mudah untuk dimengerti. Namun yang harus

293
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

diperhatikan dalam penggunaan media pembelajaran


adalah kesesuaiannya dengan isi dan tujuan pembelajaran
yang dirumuskan. Tujuan pembelajaran menjadi acuan
dasar terhadap pemilihan dan penggunaan media
pembelajaran. Karena itu, pemilihan dan penggunaan
media pembelajaran harus tetap berdasar pada tujuan
utama pembelajaran yang telah dirumuskan agar peran
media dapat ditempatkan sebagaimana mestinya, yaitu
sebagai alat bantu penyalur pesan.
Sebagai alat bantu, media pembelajaran berfungsi
sebagai jalan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Hal
ini berarti penggunaan media pembelajaran adalah untuk
mendukung proses pembelajaran dan untuk mencapai hasil
yang lebih baik. Setiap media memiliki kelebihan dan
kekurangan, karena itu, pembelajar dituntut cakap memilih
atau menentukan media mana yang paling cocok untuk
salah satu kegiatan pembelajaran. Hal ini dimaksudkan
agar jangan salah dalam memilih atau menentukan media
pembelajaran tersebut. Peranan media pembelajaran
adalah: (1) alat untuk memperjelas materi/bahan
pembelajaran pada saat pembelajar menyampaikan materi
tersebut; (2) alat untuk menimbulkan persoalan yang akan
dikaji lebih lanjut dan dipecahkan oleh siswa dalam proses
belajar-mengajar; (3) sumber belajar bagi siswa, artinya
media tersebut berisikan bahan-bahan yang harus dipelajari
siswa baik secara individual atau kelompok.
Secara umum, kegunaan media pembelajaran yang
disebut oleh Sadiman sebagai media pendidikan ini adalah
sebagai berikut:
(1)Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat
verbalistis.
(2)Mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera.

294
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren

(3)Dengan menggunakan media pendidikan secara tepat


dan bervariasi dapat diatasi sikap pasif siswa.
(4)Dengan sifat yang unik pada setiap siswa ditambah
lingkungan dan pengalaman yang berbeda sedangkan
kurikulum dan materi pembelajaran ditentukan sama,
maka pembelajar akan mengalami kesulitan bilamana
semuanya itu harus diatasi sendiri, apalagi bila
lingkungan dan pengalaman pembelajar berbeda
dengan siswa. Masalah ini dapat diatasi dengan metode
pendidikan, yaitu dalam kemampuannya dalam: (a)
memberikan perangsang yang sama; (b) menyamakan
pengalaman; (c) menimbulkan persepsi yang sama.
Jadi, media pembelajaran adalah segala sesuatu yang
dapat digunakan sebagai sarana penyampai pesan yang
fungsinya untuk memperjelas informasi dari pembelajar
kepada siswa dalam suatu proses pembelajaran. media
pembelajaran berpola: (1) bahan-bahan cetakan atau
bacaan seperti buku, koran, komik, majalah, pamflet, dan
lain-lain; (2) alat-alat audio-visual; (3) sumber-sumber
masyarakat seperti obyek-obyek, peninggalan sejarah,
dokumentasi, dan lain-lain; (4) kumpulan benda-benda
seperti potongan kaca, daun, bibit, dan lain-lain; (5)
kelakuan yang dicontohkan oleh guru.
Macam media yang digunakan dalam pendidikan
umum tersebut dapat pula digunakan dalam pembelajaran
kepada santri di pondok pesantren, namun sudah barang
tentu kebutuhan media pembelajaran disesuaikan dengan
tujuan pembelajarannya.
(e) Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi merupakan bagian integral dari proses
pembelajaran, karena dalam proses pembelajaran tersebut
sumber belajar harus mengetahui seberapa jauh tujuan

295
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

pembelajaran telah tercapai. Evaluasi belajar akan


bermakna apabila dalam prosesnya memenuhi prinsip-
prinsip dan persyaratan tertentu. Evaluasi berarti menilai
tetapi dilakukan dengan mengukur terlebih dahulu.
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa
terdapat dua macam evaluasi yang bisa diterapkan di
pondok pesantren, yaitu evaluasi proses dan evaluasi
produk. Evaluasi proses diarahkan untuk menilai
bagaimana pelaksanaan proses pembelajaran yang telah
dilakukan, apakah dalam proses tersebut ditemui kendala
dan bagaimana kerja sama setiap komponen pembelajaran
yang telah diprogramkan dalam satuan pelajaran. Evaluasi
produk adalah suatu evaluasi yang diarahkan untuk
mengetahui hasil yang telah dicapai oleh santri setelah
menerima pelajaran.
Fungsi evaluasi dalam pembelajaran dapat dimanfaat-
kan dalam berbagai tindakan pendidikan. penilaian evaluasi
bermakna baik bagi siswa, guru dan sekolah. Di pondok
pesantren, santri memperoleh hasil yang memuaskan dan
mempunyai motivasi untuk belajar lebih giat agar lain kali
mendapat hasil yang lebih memuaskan lagi. Bagi kiai
(guru), dengan hasil penilaian yang diperoleh kiai( (guru)
dapat mengetahui santri-santri mana yang sudah berhak
melanjutkan pelajarannya karena sudah berhasil menguasai
bahan dan yang belum menguasai bahan. Bagi pondok
pesantren, apabila para kiai (guru) mengadakan penilaian
dan diketahui bagaimana hasil belajar santrinya, dapat
diketahui pula apakah kondisi belajar santri yang diciptakan
oleh pondok pesantren sudah sesuai dengan harapan atau
belum.
Prinsip-prinsip tesebut menunjukkan bahwa
pengukuran psikologis bersifat indirect instrument, artinya
mengukur hasil belajar tidak dapat secara langsung tetapi

296
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren

harus diungkap lebih dahulu dengan jumlah pertanyaan/


perintah yang disebut tes.
Evaluasi hasil belajar dalam konteks pembelajaran
menurut tujuannya dapat dibedakan menjadi: evaluasi
formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif bertujuan
mengetahui hasil belajar siswa dalam rangka mencari bahan
untuk perbaikan proses pembelajaran. Adapun evaluasi
sumatif bertujuan untuk mengetahui hasil belajar santri
dalam rangka menentukan perkembangan hasil belajar
selama proses pembelajaran tertentu.
Dalam rangka mengumpulkan informasi hasil belajar
dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu melalui cara tes
dan non tes, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Tes
Tes adalah suatu cara untuk mengadakan penilaian
yang berbentuk suatu tugas yang harus dikerjakan oleh
santri sehingga menghasilkan suatu nilai tentang
tingkah laku atau prestasinya yang dapat dibandingkan
dengan nilai yang dicapai oleh santri lainnya dengan
standar yang ditetapkan. Pengertian tes secara umum
adalah sejumlah pertanyaan atau perintah yang harus
dijawab atau dilakukan oleh testee (orang yang dites)
dalam keadaan dikuasai oleh tester (orang yang
mengetes).
Tes sebagai alat evaluasi hasil belajar dilihat dari
pola jawaban diklasifikasikan menjadi: (1) tes obyektif
pilihan ganda, menjodohkan dan benar salah; (2) tes
jawaban singkat, isian, melengkapi, memberi nama; dan
(3) tes uraian jawaban terpimpin, jawaban terbatas, dan
jawaban terbuka.

297
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

b. Non Tes
Non tes mengandung makna bahwa pengumpulan
informasi atau pengukuran dalam rangka kegiatan
evaluasi hasil belajar dapat juga dilakukan melalui
observasi, wawancara, dan angket. Tentu saja informasi
yang akan diungkap dalam non tes ini lebih banyak
digunakan untuk mengungkapkan kemampuan
psikomotorik, hasil belajar afektif yang bersifat
kualitatif.
Menyusun tes hasil belajar yang baik memerlukan
pemikiran yang cermat karena kegiatan ini berkaitan
dengan beberapa hal yang perlu dipahami terlebih
dahulu. Hal-hal yang dimaksud adalah prinsip dasar,
yaitu sebagai berikut: (1) mengukur secara jelas hasil
belajar; (2) mengukur sampel yang representatif dari
hasil belajar materi yang digunakan; (3) mencakup tipe
item tes yang cocok untuk mengukur hasil belajar yang
diinginkan; (4) didesain sesuai dengan kegunaan
tertentu untuk memperoleh hasil yang diinginkan; (5)
dibuat sereliabel mungkin sehingga selanjutnya dapat
diuji validitasnya; (6) digunakan untuk memperoleh
cara belajar bagi siswa dan cara pembelajaran sumber
belajar yang melakukan pembelajaran.
Akhirnya dapat disimpulkan, bahwa dalam
pengertian umum, yang dimaksud dengan evaluasi
adalah suatu kegiatan sistematis untuk mengumpulkan,
mengolah, dan menyajikan informasi yang diperlukan
sebagai bahan masukan untuk penetapan keputusan
peningkatan hasil belajar dalam kegiatan pembelajaran.
(8) Pendanaan
Pendanaan merupakan salah satu sumber daya yang
secara langsung menunjang efektifitas dan efisiensi

298
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren

pengelolaan pendidikan. Demikian pula di pondok pesantren,


pendanaan tersebut secara langsung menunjang efektivitas
dan efisiensi pengelolaan pendidikan di pondok pesantren.
Karena itu, pimpinan pondok pesantren dituntut untuk
meningkatkan kemampuannya dalam mengelola keuangan,
baik dalam perencanaan, penggunaan, serta pertanggung-
jawabannya. Komponen dana di pondok pesantren harus
dikelola dengan baik dan benar agar dana yang ada dapat
dimanfaatkan secara optimal untuk menunjang tercapainya
tujuan pendidikan di pondok pesantren. Dana pendidikan
dapat diartikan semua jenis pengeluaran berkenaan dengan
penyelenggaraan pendidikan, baik dalam bentuk uang
maupun barang dan tenaga yang dapat dihargakan dengan
uang. Sumber dana di pondok pesantren antara lain berasal
dari pemerintah, orang tua peserta didik, serta masyarakat.
Sedangkan pembiayaan meliputi pengeluaran operasional dan
pengeluaran pembangunan. Pengeluaran operasional meliputi
gaji pengurus, alat tulis kantor, biaya perawatan dan biaya
perjalanan, sedangkan pengeluaran pembangunan antara lain
pembangunan gedung/pondok, perbaikan gedung/pondok,
pengadaan tanah, dan lain-lain. Pimpinan pondok pesantren
sebagai manajer berfungsi sebagai otorisator dan dilimpahi
fungsi ordonator untuk memerintahkan pembayaran, namun
tidak dibenarkan melaksanakan fungsi bendaharawan.
Dana merupakan sumber daya yang terpenting dalam
hal ini, karsena setiap kegiatan pendidikan di pondok
pesantren memerlukan dana. Penyediaan dana pendidikan
dan tanggung jawab pemdanaan pendidikan secara umum
termasuk penyediaan dana di pondok pesantren telah di atur
dalam peraturan perundangan yang berlaku. UU RI No 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab XIII
pasal 46 menyatakan bahwa:

299
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

(1)Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama


antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
(2)Pemerintah dan Pemeritah Daerah bertanggung jawab
menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur
dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
(3)Ketentuan mengenai tanggung jawab pendanaan
pendidikan sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”.
Selama ini dana pendidikan yang bersumber dari
Pemerintah sangatlah terbatas jumlahnya. Keterbatasan
kemampuan pemerintah dalam mengalokasikan dana APBN
bidang pendidikan merupakan kendala besar dalam suksesnya
penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas termasuk
pendidikan di pondok pesantren.
Studi pendanaan dalam kaitannya dengan upaya
meningkatkan kuantitas dan kualitas pendidikan sangat
penting. Ketika kualitas dan kuantitas pendidikan meningkat,
keuangan secara umum juga perlu ditingkatkan. Begitu pula
ketika dukungan keuangan terbatas, maka kualitas dan
kuantitas pendidikan juga terbatas.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa, dalam kondisi
yang ideal, ketersediaan dana yang memadai dengan
pendanaan yang lebih baik dapat menyumbangkan
peningkatan hasil pendidikan, baik dilihat dari kuantitas
(jumlah) ataupun kualitasnya. Dana pendidikan di pondok
pesantren mencakup satuan dana untuk satu bangku yang
ditempati oleh seorang santri dalam satu tahun ajaran.
Dana pendidikan merupakan seluruh pengeluaran yang
berupa sumber daya (input) baik berupa barang (natura) atau
berupa uang yang ditujukan untuk menunjang kegiatan proses
belajar mengajar. Dana pendidikan di pondok pesantren

300
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren

merupakan pengeluaran atau pemanfaatan uang untuk


keperluan penyelenggaraan pendidikan yang sumbernya
berasal dari pemerintah, perseorangan dan masyarakat/dunia
usaha.
Jenis dana pendidikan di pondok pesantren, terbagi atas:
a) Dana langsung (direct cost)
Dana yang langsung menyentuh aspek dan proses
pendidikan, seperti gaji kiai (guru) dan pengelola,
pengadaan fasilitas belajar, misal: ruang kelas, kantor,
sarana ibadat, gudang, laboratorium, WC, alat tulis kantor,
buku rujukan kiai (guru), buku-buku santri, dll.
b) Dana tidak langsung (inderect cost)
Pengeluaran yang tidak secara langsung menunjang
penyelenggaraan pendidikan, namun memungkinkan
kelancaran proses pendidikan. Misalnya: dana hidup
santri, dana transportasi ke pondok pesantren, dana
kesehatan, uang saku dan lain-lain.
c) Dana kesempatan (opportunity cost)
Dana kesempatan juga disebut earning forgone, yaitu potensi
pendapatan seorang santri selama mengikuti pendidikan.
Pendanaan pendidikan mengandung makna kegiatan
dalam penyelenggaraan pendidikan mencakup pada aspek dari
mana sumber pendanaan pendidikan itu (revenue), aspek
alokasi atau distribusi yang mengungkap masalah-masalah
bagaimana mengalokasikan dan mendistribusikan dana yang
diperoleh dari berbagai revenue untuk kepentingan
penyelenggaraan pendidikan.
Dalam menentukan dana satuan terdapat dua
pendekatan, yaitu pendekatan Makro dan pendekatan Mikro.
Pendekatan makro dalam menganalisis dana pendidikan di
dasarkan pada perhitungan keseluruhan pengeluaran yang

301
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

diterima dari berbagai sumber dibagi jumlah santri.


Pendekatan mikro dalam menganalisis dana pendidikan
berdasarkan perhitungan dana pengeluaran perkomponen
yang dipergunakan santri untuk tiap-tiap komponen berbeda
satu dengan yang lain seberapa pengaruhnya terhadap
pencapaian hasil belajar.
Sistem pendanaan pendidikan antara pondok pesantren
yang satu tentu berbeda dengan pondok pesantren yang lain,
namun secara umum pendanaan pendidikan dari sisi
penerimaan diperoleh dari berbagai sumber yang sama yaitu
dari pemerintah, orang tua siswa, dan masyarakat/dunia
usaha. Penerimaan dari pemerintah diperoleh dari pemerintah
pusat dan daerah. Pendanaan pendidikan pemerintah yang
mungkin diadakan ialah: pusat dan daerah; pusat dan wilayah;
atau campuran dari ketiganya itu. Rencana pendanaan
gabungan dari pemerintah pusat dan daerah (provinsi maupun
kabupaten), masing-masing dapat mendanai bagian-bagian
sistem tertentu agar tidak terjadi tumpang tindih dalam
pelaksanaanya. Setiap pondok pesantren dituntut memiliki
kemampuan merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi dan
mempertanggungjawabkan secara transparan. Oleh karena
sumber dana merupakan potensi yang sangat menemukan
dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kajian
pengelolaan pendidikan di pondok pesantren, maka sangat
memerlukan pemikiran bersama dari para pengelolanya.
Pondok pesantren juga perlu melakukan kegiatan-kegiatan
yang mendatangkan penghasilan (income generating activities)
sehingga sumber keuangan tidak semata-mata tergantung
pada pihak lain.
Sesuai gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa dana
atau pendanaan pendidikan pondok pesantren merupakan
segala pengeluaran baik berupa barang ataupun uang yang
diperoleh dari pemerintah dan masyarakat untuk keperluan

302
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren

dan kemaslahatan pendidikan di pondok pesantren. Sistem


pendanaan pendidikan di pondok pesantren merupakan
bentuk kegiatan, bagaimana cara menggali dan mengelola
semua dana pendidikan untuk proses kegiatan pendidikan di
pondok pesantren.

C. Pengorganisasian dalam Pendidikan Pesantren


Pengorganisasian adalah suatu proses pembentukan
hubungan perilaku efektif antara dua orang atau lebih dalam
bekerja bersama-sama dengan menggunakan suatu cara yang
terstruktur guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Sebagaimana disebutkan oleh Handoko ( 2001:24) bahwa
kegiatan-kegiatan dalam pengorganisasian, yaitu: (1)
penentuan sumber daya-sumber daya dan kegiatan yang
dibutuhkan untuk mencapai tujuan organisasi; (2)
perancangan dan pengembangan suatu organisasi yang akan
dapat melaksanakan tugas untuk hal-hal tersebut kearah
tujuan; (3) penugasan tanggung jawab tertentu; dan (4)
pendelegasian wewenang yang diperlukan kepada individu-
individu untuk melaksanakan tugasnya. Fungsi ini
menciptakan struktur formal di mana pekerjaan ditetapkan,
dibagi, kemudian dikoordinasikan.
Berkenaan dengan pengorganisasian dalam majemen
pendidikan Islam, maka perlu ditentukan dulu bidang apa
yang akan diorganisir. Misalnya dalam hal pembelajaran, maka
perlu diorganisir mulai dari materi, fasilitas yang diperlukan,
kiai yang akan melakukan pembelajaran, siapa yang
bertanggung jawab atas pelaksanaan pembelajaran itu, dan
sebagainya.
Pelaksanaan pengorganisasian ini diperlukan adanya
koordinasi yang baik. Koordinasi merupakan proses
mempersatukan kontribusi berbagai orang, bahan dan sumber

303
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

lainnya ke arah tercapainya maksud-maksud yang telah


ditetapkan. Koordinasi memegang peranan penting dalam
pelaksanaan pekerjaan bila dilakukan secara kelompok. Peran
pimpinan menjadi sentral dalam menggerakkan setiap orang
ataupun unit tertentu sehingga koordinasi diantara mereka
berlangsung secara baik.
Segala sesuatu yang telah ditetapkan pada perencanaan
dalam kerangka pendidikan Islam di atas, kemudian
diorganisir, yaitu siapa saja yang harus menangani apa saja
yang diperlukan dan bagaimana menciptakan hal-hal yang
berkaitan dengan:
(1)Kebutuhan fisiologis santri (sandang, papan/tempat
pemondokan, dan Pangan);
(2)Kebutuhan keamanan/rasa aman santri (kondisi/tempat
belajar, lingkungan belajar, hubungan santri dengan kiai,
hubungan Santri dengan Santri, dan kebebasan
berpendapat bagi santri;
(3)Kebutuhan rasa sosial santri (sikap kiai terhadap santri,
sikap santri terhadap santri, sikap masyarakat terhadap
santri dan sebaliknya, persaingan antar santri, dan
kesempatan untuk maju bagi santri);
(4)Pembinaan terhadap kebutuhan prestise bagi santri
(kondisi belajar yang menunjang proses pembelajaran, dan
penghargaan terhadap prestasi santri);
(5)Kebutuhan aktualisasi diri bagi santri (kesempatan untuk
mengekspresikan diri dan kesempatan untuk mengikuti
kegiatan pengembangan diri bagi santri);
(6)Pembinaan kurikulum pembelajaran (Visi dan missi
pondok pesantren, tujuan pendidikan pondok pesantren,
kurikulum pendidikan pondok pesantren.
(7)Proses Pembelajaran (dalam suatu pembelajaran harus
diperhatikan/direncanakan beberapa hal pokok, yaitu: (a)

304
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren

pembelajaran apa yang akan dilaksanakan; (b) mengapa


pembelajaran itu diberikan kepada santri; (c) kapan
pembelajaran itu dilaksanakan; (d) di mana pembelajaran
akan dilakukan; (e) siapa yang melakukan pembelajaran;
dan (f) bagaimana melaksanakan pembelajaran itu. Perlu
diingat bahwa ada komponen-komponen pembelajaran
yang harus ada dalam suatu pembelajaran sehingga terjadi
suatu interaksi pembelajaran yang disebut sebagai
“interaksi edukatif’ sehingga diperoleh hasil sesuai dengan
tujuan pembelajaran yang ditetapkan. Kemudian,
bagaimana mengevaluasi pembelajaran-nya, dan
seterusnya harus direncanakan dengan matang. Konsep
pembelajaran ini pada hakikatnya terdiri atas komponen-
komponen seperti: tujuan, materi, metode, media, dan
evaluasi.
(8)Pendanaan
Dalam pengorganisasian ini, pendanaan perlu diperiksa
kesesuaiannya dengan kebutuhan pendidikan Islam
sebagaimana tercantum dalam pengorganisasian nomor (1)
sampai dengan (7) di atas.

D. Kepemimpinan dalam Pendidikan Pesantren


Fungsi ini sebagai tindakan mengarahkan pekerjaan yang
perlu dilaksanakan di dalam sebuah organisasi. Karena itu,
menggerakkan harus dikaitkan dengan fungsi-fungsi
manajemen lainnya, misalnya perencanaan, organisasi dan
pengawasan agar tujuan organisasi tercapai. Pada dasarnya,
kepemimpinan (mengarahkan dan mempengaruhi) ini
ditunjang oleh perilaku lebih banyak bekerja dari pada
berbicara dari pimpinannya.
Setelah program kegiatan ditetapkan dan dilakukan
pengorganisasian terhadap segala sesuatu yang terlibat dalam

305
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

kegiatan tersebut, maka langkah berikutnya adalah dilakukan


pengarahan, pemberian motivasi, dan sebagainya yang pada
intinya menggerakkan semua personil atau sumber daya yang
diberi tugas dan wewenang (baik kiai maupun santri) agar
dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Sebagai contoh sederhana dalam
hal pembelajaran santri, maka perlu digerakkan kiai yang
melakukan pembelajaran, personil yang mempersiapkan
fasilitas pembelajaran (tempat, perlengkapan, dan lain-lain),
termasuk memberi arahan terhadap proses pembelajaran
seharusnya berlangsung.
Berkenaan dengan pemberian motivasi, ada suatu
motivasi yang sangat bagus untuk diterapkan “ilmu motivasi”
di Indonesia bukanlah serangkaian teknik mengotak-atik anak
buah oleh manajer atau pimpinan, tetapi lebih merupakan
seni memimpin yang mementingkan dan memelihara
hubungan dengan bawahan sedemikian rupa sehingga
bawahan mau menjadi produktif.
Setelah segala sesuatu yang diperlukan untuk pendidikan
Islam ditetapkan dalam perencanaan, kemudian diorganisir
personil yang melakukan dengan segala kebutuhannya dalam
pengorganisasian, kemudian dilaksanakan pengarahan,
instruksi dan motivasi agar semuanya bekerja secara ikhlas
dan terarah untuk mencapai tujuan pembinaan.

E. Pengendalian dalam Pendidikan Pesantren


Pengendalian meliputi pemeriksaan apakah segala
sesuatunya telah berjalan sesuai dengan rencana, instruksi-
instruksi, dan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan. Hal ini
dimaksudkan agar dapat ditemukan kelemahan-kelemahan
dan kesalahan-kesalahan, kemudian dibetulkan dan dicegah
agar tidak terulang. Sebagai contoh sederhana dalam hal

306
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren

pembelajaran santri, perlu dilihat apakah materinya telah


dapat disampaikan kepada santri secara tuntas, apakah
metode yang digunakan sesuai atau tidak untuk menyampai-
kan pesan dan sesuai dengan tujuan pembelajarannya, apakah
para santri dapat memahami dan menyerap segenap ilmu yang
dibelajarkan, dan sebagainya. Baik tujuan pembelajaran
tersebut tercapai atau belum karena ternyata ada kelemahan-
kelemahan mengenai hal itu, maka perlu ditentukan tindak
lanjut atau langkah-langkah berikutnya.

F. Lembaga Pendidikan Pesantren Sub Sistem


Pendidikan Islam
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa
pesantren adalah tempat santri atau tempat murid-murid
belajar mengaji. (Mahfudz, M.A. Sahal, 1994:. 1) menginden-
tifikasikan pesantren lebih luas lagi, yaitu sebagai lembaga
pendidikan dan lembaga sosial keagamaan dimana pengasuh-
nya juga menjadi “pimpinan” dan menjadi “sumber rujukan”
umat. Dalam memberikan legitimasi terhadap tindakan umat
atau warganya, sudah barang tentu pesantren mempunyai
dasar pijakan yang sifatnya keagamaan dalam melakukan
tindakan umatnya yang dinggap baru oleh masyarakat.
Istilah “pondok” pada pondok pesantren memberikan
gambaran bahwa pesantren mempunyai fasilitas pemondokan
bagi para santri yang bermaksud menetap di dalam pesantren
selama masa pendidikannya. Pondok dalam pesantren pada
dasarnya merupakan dua kata yang sering penyebutannya
tidak dipisahkan, yaitu menjadi “Pondok Pesantren”, yang
berarti keberadaan pondok dalam pesantren merupakan
penggemblengan, pembinaan dan pendidikan serta
pengajaran ilmu pengetahuan ilmu pengetahuan.

307
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Kedudukan pondok bagi para santri sangat esensial sebab


di dalamnya santri tinggal belajar dan ditempa diri pribadinya
dengan kontrol seorang ketua asrama atau kiai yang memim-
pin pesantren. Kiai dengan mudah mendidik dan mengajarkan
segala bentuk atau jenis ilmu yang telah ditetapkan sebagai
kurikulumnya. Keberadaan santri di pondok, mereka dapat
melatih diri dengan ilmu-ilmu praktis seperti kepandaian
berbahasa Arab, Inggris, menghafal Al-Qur’an, dan lain-lain.
Ada beberapa jenis pondok pesantren, yaitu: (1) pondok
pesantren tradisional; (2) pondok pesantren modern; dan (3)
pondok pesantren komprehensif. Pondok pesantren
tradisional masih tetap mempertahankan bentuk aslinya
dengan semata-mata mengajarkan kitab yang ditulis oleh
ulama abad ke 15 dengan menggunakan bahasa Arab. Pola
pengajarannya dengan menerapkan sistem halaqah, dengan
metode sorogan dan bandongan. Seorang kiai mengajari santri-
santrinya berdasarkan pada kitab-kitab klasik yang ditulis
dalam bahasa Arab abad pertengahan dengan sistem
terjemahan. yang dilaksanakan di masjid atau surau. Hakikat
dari sistem pengajaran halaqah adalah penghafalan yang titik
akhirnya dari segi metodologi cenderung kepada terciptanya
santri yang menerima dan memiliki ilmu. Artinya ilmu itu
tidak berkembang kearah paripurnanya ilmu itu, melainkan
hanya terbatas pada apa yang diberikan oleh kiainya.
Kurikulumnya tergantung sepenuhnya kepada para kiai
pengasuh pondoknya. Santrinya ada yang menetap di dalam
pondok (santri mukim), dan santri yang tidak menetap di
dalam pondok (santri kalong).
Pondok pesantren semacam ini steril dari ilmu
pengetahuan umum, orang biasanya menyebutnya dengan
pondok salaf (tradisional) seperti al-Anwar Sarang Rembang,
Pacul Gowang Jombang, dan Lirboyo-Ploso Kediri. Pesantren
model ini mempunyai beberapa karakteristik, yaitu: (1) hanya

308
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren

mengaji kitab kuning (salaf); (2) intensifikasi musyawarah


atau bathsul Masai’l; (2) berlakunya sistem diniyah (klasikal),
biasanya tempat dan lingkunganya mencerminkan masa lalu,
seperti kemana-mana memakai sarung, songkok dan banyak
yang masak sendiri, kultur dan paradigma berpikirnya
didominasi oleh term-term klasik, seperti tawadhu yang
berlebihan, puasa dawud (puasa sehari, buka sehari), Zuhud,
Qonaah, barakah, kuwalat dan biasanya akhirat oriented.
Betapapun demikian, ada beberapa kelebihan dari pesantren
model ini, yaitu: semangat mengarungi hidup yang luar biasa,
mental kemandirian yang tinggi, terjaga moralitas dan
mentalitasnya dari pengaruh modernitas, mampu mencipta-
kan insan dinamis, kreatif dan progresif, karena dia tertantang
dengan untuk menghadapi hidup dengan tanpa fomalitas
ijazah, tumbuhnya mental enterpreneurship (kewirausahaan)
dan berani sakit dan menderita demi suksesnya sebuah cita-
cita.
Pondok pesantren modern merupakan pengembangan
tipe pesantren tradisional karena orientasi belajarnya
cenderung mengadopsi seluruh sistem belajar klasik dan
meninggalkan sistem belajar tradisional. Penerapan sistem
belajar modern ini terutama nampak pada penggunaan kelas-
kelas belajar, baik dalam bentuk madrasah maupun sekolah.
Kurikulum yang dipakai adalah kurikulum sekolah atau
madrasah yang berlaku secara nasional. Santrinya ada yang
menetap ada yang tersebar di daerah sekitar pondok
pesantren. Kedudukan para kiaisebagai koordinator pelaksana
proses belajar mengajar dan sebagai pengajar berlangsung di
kelas. Perbedaannya dengan sekolah madrasah terletak pada
porsi pendidikan agama dan bahasa Arab lebih menonjol
sebagai kurikulum lokal.
Pondok pesantren ini telah memasukkan pendidikan
umum ke pesantren SMP, SMA, SMK seperti pesantren

309
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Tebuireng, Mathaliul Falah Kajen dan Futuhiyyah Mranggen


Demak. Karakteristik pesantren model ini adalah ada
pengajian kitab salaf (seperti taqrib, jurumiyah, ta’limul
muta’allim, dan lain-lain, ada kurikulum modern (seperti
bahasa Inggris, matematika, manajemen dan sebagainya),
mempunyai independensi dalam menentukan arah dan
kebijakan, ada ruang kreatifitas yang terbuka lebar untuk para
santri (seperti berorganisasi, membuat buletin, majalah,
mengadakan seminar, diskusi, bedah buku, dan lain-lain).
Pondok pesantren ini juga mengintegrasikan sistem
madrasah ke dalam pondok pesantren dengan segala jiwa,
dan atribut-atribut lainya. Di dalam pengajaranya memakai
sistem beberapa metode dan sistem evaluasi pada setiap se-
mester. Dan pengajarannya memakai sistem klasikal ditambah
dengan disiplin yang ketat dengan full asrama atau santri
diwajibkan berdiam di asrama. Pondok modern ini antara lain
seperti Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo, Zaitun
Indramayu Jawa Barat, Darun Najah dan Darur Rahman
Jakarta. Karakteristik pesantren model ini adalah penekanan
pada penguasaan bahasa asing (Arab dan Inggris), tidak ada
pengajian kitab-kitab kuning (salaf), kurikulumnya
mengadopsi kurikulum modern, lenturnya term-term
tawadhu, kuwalat, barakah dan sejenisnya, dan penekanan pada
rasionalitas, orientasi masa depan, persaingan hidup dan
penguasaan teknologi.
Pondok pesantren pada umumnya lemah terhadap
penguasaan khazanah klasik, bahkan mayoritas output tidak
mampu membaca kitab kuning dengan standar pesantren salaf
seperti penguasaan nahwu, sharaf, balaghah, ‘arudh, mantiq, ushul
dan qawaid. Namun demikian bukan berarti pondok modern
mempunyai kelemahan tetapi ada keseimbangan antara salaf
dengan pembelajaraan lain yang diatur melalui kurikulum
pondok pesantren. Pondok pesantren komprehensif, disebut

310
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren

demikian karena merupakan sistem pendidikan dan


pengajaran gabungan antara yang tradisional dan yang mod-
ern. Artinya, di dalamnya diterapkan pendidikan dan
pengajaran kitab kuning dengan metode sorogan, bandongan
dan wetonan, namun secara reguler sistem persekolahan terus
dikembangkan. Bahkan pendidikan keterampilan pun
diaplikasikan sehingga menjadikannya berbeda dengan
tipologi kesatu dan kedua. Lebih jauh dari pada itu,
pendidikan masyarakat pun menjadi garapannya, dalam arti
sedemikian rupa dapat dikatakan bahwa pondok pesantren
lebih berkiprah pada pembangunan sosial kemasyarakatan.
Ketiga tipe pondok pesantren tersebut memberikan
gambaran bahwa pondok pesantren merupakan lembaga
pendidikan sekolah, luar sekolah, dan masyarakat yang secara
langsung dikelola oleh masyarakat, bahkan merupakan
lembaga pendidikan sekolah milik masyarakat karena tumbuh
dari dan oleh masyarakat. Lembaga pendidikan sekolah sesuai
dengan pengertian sekolah padas umumnya. Sebagai lembaga
pendidikan luar sekolah, nampak dari adanya kegiatan
pendidikan baik dalam bentuk keterampilan tangan, bahasa
maupun pendalaman pendidikan agama Islam yang
dilaksanakan melalui kegiatan sorogan, bandongan, dan wetonan,
bahkan kegiatan pengajian dilaksanakan oleh para kiai di
dalam pondoknya. Sedangkan sebagai lembaga pendidikan
masyarakat, terlihat dari kegiatan kemasyarakatan yang
dilakukan oleh pondok pesantren dalam mengikuti
perkembangan masyarakat lingkungannya.
Keberadaan pondok pesantren dan masyarakat memang
merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan karena
keduanya saling mempengaruhi. Bahwa sebagian besar
pesantren berkembang dari adanya dukungan masyarakat, dan
secara sederhana muncul atau berdirinya pesantren
merupakan inisiatif masyarakat baik secara individual maupun

311
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

kolektif. Sebaliknya, perubahan sosial dalam masyarakat


merupakan dinamika kegiatan pondok pesantren dalam
pendidikan dan kemasyarakatan.
Konsep pesantren menjadi cerminan pemikiran
masyarakat dalam mendidik dan melakukan perubahan sosial
terhadap masyarakat. Dampak yang jelas adalah terjadinya
perubahan orientasi kegiatan pesantren sesuai dengan
perkembangan masyarakat. Dengan demikian pondok
pesantren berubah tampil sebagai lembaga pendidikan yang
bergerak di bidang pendidikan dan sosial
Dimensi kegiatan sistem pendidikan yang dilaksanakan
oleh pondok pesantren bermuara pada satu sasaran utama,
yaitu perubahan, baik secara individual maupun kolektif.
Karena itu, pondok pesantren dapat juga dikatakan sebagai
agen perubahan, artinya pondok pesantren sebagai lembaga
pendidikan agama yang mampu melakukan perubahan
terhadap masyarakat. Perubahan itu berwujud peningkatan
pemahaman (persepsi) terhadap agama, ilmu dan teknologi,
serta dalam bentuk pengalaman atau praktek yang cenderung
membekali masyarakat ke arah kemampuan masyarakat siap
pakai. Kemampuan siap pakai yang dimaksud adalah sumber
daya manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam yang
dimiliki masyarakat. Hal ini berarti masyarakat cenderung
mengatasi persoalannya dengan potensi sendiri. Tradisi
akademik pondok pesantren merujuk pada suatu proses
pembelajaran yang tuntas yang dapat menampilkan suatu
sosok lulusan pesantren yang berwawasan luas, berkepri-
badian matang, dan berkemampuan tinggi dalam melakukakn
rekayasa sosial. Pondok pesantren adalah suatu lembaga yang
tidak identik dengan makna ke-Islam-an tetapi juga
mengandung makna keaslian Indonesia (Indegeneous). Sebagai
lembaga indegeneous, pesantren muncul dan berkembang dari
pengalaman sosiologis lingkungannya.

312
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren

Dari pandangan-pandangan di atas dapat disimpulkan


bahwa pesantren adalah suatu bentuk “indigeneous Culture”
atau bentuk kebudayaan asli Indonesia, sebab lembaga
pendidikan dengan pola kiai, santri, dan asrama telah dikenal
dalam kisah rakyat Indonesia, khususnya Jawa. Pondok
pesantren menjadi pencetak ulama sebagai panutan dan
rujukan umat serta mampu meberikan sikap tepat, jelas, dan
tegas dalam menghadapi waqi’ah. Ulama dapat memberikan
sikap yang tepat dan jelas di dalam menghadapi waqi’ah
(peristiwa), mana yang benar dan mana yang salah, mana
yang boleh dan mana yang dilarang, mana yang esensial dan
mana yang tidak esensial. Tradisi akademik pesantren merujuk
pada proses pembelajaran “tuntas” sehingga “mutakharijin”
(alumni)-nya memiliki wawasan luas dengan kepribadian
matang dan berkembang tinggi dalam rekayasa sosial.
Pondok pesantren adalah pendidikan non-formal yang
bertujuan utama menyelenggarakan pendidikan agama
(tafaqqohu fiddin), yang memberikan pendidikan masyarakat
agar mampu menjadikan diriny sebagai “khoiru al umat” (umay
yang baik). Mengingat masalah “ad din” mempunyai kaitan
langsung dengan “kehidupan umatnya”, maka tafaqqohu fiddin”
harus memenuhi kapasitas yang diperlukan oleh realitas
umatnya dalam menghadapi berbagai macam kebutuhan dan
kemajuan hidupnya. Untuk itu santri harus dibina untuk
menjadi generasi muslim intelektual. Cara seperti ini
berfungsi agar tidak menjadi doktrin agama serta pola piker
yang bersifat taqlid (mengikuti pendapat orang tanpa
mengetahui dasar-dasar hukumnya) sehingga diharapkan
santri memilki wawasan pemikiran yang luas.
Keterlibatan santri dalam kegiatan forum bahtsul masa’il
dan munadloroh (forum perdebatan umum yang munguji
kekuatan teori dan pandangan ulama) adalah cara mem-
bangun generasi muslim yang intelektual, yang dimiliki

313
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

kebebasan berpikir, aktif, kritis, dan dinamis. Secara umum


munadloroh telah menyediakan jalan berpikir bagi santri.
Sedikitnya ada enam aspek dalam munadloroh:
(1)Penguasaan tesis dan tesis balasan dalam hal ini adalah
pendapat-pendapat mazhab;
(2)Penguasaan argumen atau dalil yang mendukung
pendapatnya;
(3)Kemampuan untuk menolak argumen;
(4)Kemampuan untuk memberikan respon atas penolakan;
(5)Penguasaan argumen bayangan dalam kaitannya dengan
tesis balasan;
(6)Memberikan respon untuk mengelola bayangan lawan.
Berdasarkan hal tersebut, tuntunan membangun
lingkungannya merupakan panggilan dakwah bagi para santri
sebagai pengejawantahan ajaran agama. Dakwah telah
dipahami tidak terbatas pada sekadar menyampaikan Al-
Qur’an dan Hadist belaka, tetapi secara kontekstual usaha
agamawi sekaligus komitmen moral dan sosial yang terencana
dengan pendekatan yang lebih kontekstual, dalam
mengimplementasikan ajaran agama secara konkrit dalam
kehidupan sehari-hari untuk mencapai khasanah di akhirat.
Makna ini jelas sejalan dengan pembangunan yang
berorientasi pada usaha perubahan yang menuju kepada hari
esok yang lebih baik. Keduanya merupakan sisi mata uang
yang saling berkaitan dan melengkapi. Antara dakwah dan
pembangunan masyarakat di sekitar pesantren saling
menunjang. Pembangunan terhadap masyarakat sekitarnya
merupakan lahan yang memungkinkan tumbuh dan
berkembangnya dakwah, sebaliknya, dakwah yang dilakukan
oleh pesantren merupakan media yang mendekatkan
masyarakat terhadap tujuan pembangunan manusia
seutuhnya.

314
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren

b. Munculnya lembaga pendidikan Islam


Di tengah-tengah kehidupan masyarakat, bangsa dan
umat ini, secara langsung menempatkan pesantren sebagai
kompetisi kultural (munafasat tsaqofiyat), pesantren menjadi
salah satu dari sekian banyak pilihan. Dalam posisi demikian
pesantren harus lebih memahami secara tepat visinya, hakekat
tujuan misinya, masalah-masalah yang dihadapinya, kekuatan
yang masih dimilikinya, kelemahan yang dialaminya dan
langkah-langkah konkrit yang dapat dilakukannya.
Mempunyai rasa “kebanggaan masa lalu” (syarafin qodim) saja,
tentunya tidak akan memecahkan masalah, tanpa disertai
kemampuan kratif membangun prestasi-prestasi baru sesuai
dengan perkembangan waktu (aqama linafsih syarafan jadidan).
Sebagai lembaga yang berada di tengah-tengah masyarakat
dan masih menjadi harapan besar masyarakat, peluang untuk
bangkit kembali (revival) dan maju masih berpeluang besar.
Sistem Pendidikan Nasional yang ada sekarang,
keberadan pondok pesantren diakui oleh pemerintah dan
respon masyarakat semakin bagus. Hal ini karena pendidikan
di pesantren berjalan secara dinamis sebagai respon atas
situasi dan kondisi yang terus berkembang yang pada
gilirannya membangkitkan inspirasi dan gairah kaum
muslimin dalam bidang-bidang lain seperti politik, ekonomi,
dan kebudayaan.Lapisan intelektual di lingkungan kaum
muslimin (pesantren) secara bertahap mengalami konsolidasi
dan ekspansi (melebar). Ini juga disebabkan, Islam bukan
hanya sekedaar sebuah agama dalam pengertian biasa, tetapi
juga sebuah kerangka sosial, politik, pandangan keduniaan,
dan pandangan hidup yang mencakup semua aspek fisik,
mental dan spiritual manusia.
Pondok pesantren sebagai institusi non formal di bidang
pendidikan, senantiasa memandang ke depan yang mampu
meneropong apa yang akan terjadi. Kemampuan untuk

315
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

melihat segala kemungkinan yang akan terjadi dan yang akan


diinginkan merupakan hal yang benar-benar penting bagi
sebuah pondok pesantren untuk membawa santrinya ke arah
yang dituju.Untuk membawa pesantren ke arah kemajuan,
pengaruh (kiai) telah membawa tuntutan perkembangan
zaman dan lingkungan, menganalisis SWOT yaitu kekuatan
(strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity), dan
tantangan (threat) yang merupakan dasar-dasar dari
perwujudan visi dan misi pondok pesantren.
Visi berkaitan dengan pandangan ke depan menyangkut
ke mana pondok pesantren harus dibawa dan diarahkan agar
ara santri menjadi insan akrom-saleh dan berkualitas. Karena
visi juga merupakan suatu gambaran tentang keinginan yang
harus dicapai pada masa yang akan datang yang berisikan
cita dan citra yang hendak diwujudkan. Oleh sebab itu visi
yang mencerminkan apa yang diinginkan untuk dicapai oleh
pesantren, hendaknya dapat memberikan arah dan fokus
strategi yang jelas, mampu menjadi perekat dan menyatukan
berbagai gagasan strategis, memiliki orientasi terhadap masa
depan, mampu menumbuhkembangkan komitmen dari
semua unsur dan mampu menjamin kesinambungan
kepemimpinan organisasi di pesantren. Dengan visi yang jelas
diharapkan mampu menarik masyarakat dan mampu
menggerakan orang, menciptakan makna bagi kehidupan
santri dan masyarakat, menciptakan standar keunggulan dan
menjembatani keadaan sekarang dengan masa yang akan
datang.
Untuk mengembangkan visi tersebut, pondok pesantren
memiliki misi sebagai suatu yang harus diemban atau
dilaksanakan sebagai penjabaran visi yang telah ditetapkan.
Karenanya misi hendaknya melingkupi semua pesan yang ada
pada visi pesantren, memberikan petunjuk terhadap tujuan

316
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren

yang akan dicapai serta memberikan petunjuk kelompok


sasaran mana yang akan dilayani oleh pesantren.
Berdasarkan kerangka visi dan misi pondok pesantren,
maka harapan yang diinginkan oleh pesantren adalah:
a. Mewujudkan Sumber daya Insani (SDI) yang berkualitas
melalui pelaksanaan pendidikan dan pengajaran dengan
kompetensi tafaqqohu fiddin.
b. Kompetensi tafaqqohu fiddin dengan peran kitab kuning
(KK) sebagai salah satu unsur mutlak dari pendidikan,
pembelajaran intelektual dan moralitas kesalehan (kualitas
keberagamaan) dan keakroman pada santri/thalib.
c. Penyiapan santri menjadi insane akrom dan saleh artinya
upaya mewujudkan santri pesantren Maslakuh Huda yang
memliki keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta
mampu menjadi kholifah fil ardli dengan mewarisi bumi
dan mahkluknya untuk dikelola dengan sebaik-baiknya.
d. Untuk menjadi kholifah fil ardli, santri harus belajar secara
aktif, kreatif, kritis, dinamis dan meiliki kepekaan sosial
yang tinggi serta mampu berijtihad dalam penerapan fiqh
sosial dan fiqh tekstual menjadi kontekstual, karena
mereka hidup di tengah-tengah kuluarga dan masyarakat
yang heterogen.
e. Santri sebagai calon ulama mampu mengubah tradisi
pemahaman fiqh secara tekstual menjadi kontekstual, dari
kecenderungan berdakwah dengan ceramah (dakwah bil
lisan), dakwah dengan amal perbuatannya (dakwah bil haal),
dan dari kecenderungan kesalehan ritual (habl min Allah)
menjadi kecenderungan kesalehan sosial (habl min al naas).
Sehingga ulama dituntut mampu mengaplikasikan
peralatan yang sudah biasa digunakan oleh umat dalam
lingkungan masing-masing.

317
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Pondok pesantren adalah suatu bentuk “Indegenous Cul-


ture” atau benduk kebudayaan asli bangsa Indonesia, sebab
lembaga pendidikan dengan pola kiai, santri dan asrama telah
dikenal dalam kisah dan cerita rakyat maupun dalam sastra
klasik Indonesia Khususnya di pulau Jawa. Para kiai (ulama)
menyiarkan agama Islam dengan menggunakan pesantren
yang telah ada memang ternyata banyak tumbuh dan
berkembang serta berakar di masyarakat.
Pada proses pembudayaan, sekurang-kurangnya ada dua
alasan yang menyebabkan mengapa perkembangan agama
Islam di Indonesia amat tergantung pada lembaga pendidikan.
Pertama, karena nilai ajaran agama itu sendiri sah, bersifat
legal dan terbuka bagi setiap orang, serta tersusun dalam
naskah tulisan yang jelas. Ini mebedakan dengan ajaran lain-
nya yang umumnya pada waktu itu terbatas bagi masyarakat
tertentu saja., dan disampaikan dalam bahasa lisan. Kedua,
ialah karena pada masa itu tidak ada lembaga sosial lainnya
dalam menyebaran agama Islam di Indonesia yang lebih efektif
dalam melaksanakan fungsinya. Pesantren sebagai suatu
lembaga pendidikan yang tumbuh dan berkembang ditengah-
tengah masyarakat, sekaligus memadukan tiga unsur
pendidikan yang amat penting, yaitu:
(a) Ibadah untuk menanamkan iman
(b) Tabligh untuk menyebaran ilmu, dan
(c) Amal untuk mewujudkan kegiatan kemasyarakatan dan
kehidupan sehari-hari.
Selama kurang lebih lima abad, pesantren berkiprah di
tengah-tengah perjalanan bangsa Indonesia, dan telah
memberikan sumbang besar baik dalam bidang keilmuan,
kemasyarakatan, kenegaraan, dan lain ebagainya, sehingga
pesantren disegani dan di hormati. Kekuatan pesantren pada
masa itu, lebih tertumpu pada kebesaran dan kualitas “kiai

318
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren

pengasuhnya”(Dawam Raharjo, tt. 28) dari pada


kelembagaannya sendiri, dengan kadar: (1) keilmuannya yang
luas dan dalam; (2) kearifan wataknya yang disegani; (3) sikap
laku amaliyahnya yang teladani; (4) keikhlasan juangnya yang
dirasakan; (5) pengayomannya kepada umat setiap saat.
Sosok “kiai pengasuh pesantren” menjadi parameter
hampir dalam segala sisi kehidupan. Mengidentifikasikan
masalah utama yang dihadapi pondok pesantren dewasa ini
menjadi empat aspek, yaitu:
1. Masalah indentitas diri pondok pesantren dalam
hubungannya dengan kemandiriannya terhadap lembaga-
lembaga lain di masyarakat.
2. Masalah jenis pendidikan yang dipilih dan dikelolanya.
3. Masalah pemeliharaan sumber-sumber daya internal yang
ada dalam pemanfaatannya bagi pengembangan pesantren
itu sendiri.
4. Masalah antisipasi ke masa depan dalam hubungannya
dengan peranan-peranan dasar yang dilaksanakan.
Dengan terbentuknya RMI (Robithoh Al Ma’ahid Al Islamy)
sebagai organisasi yang didirikan untuk menjembatani dan
menampung kemungkinan-kemungkinan yang bisa direalisa-
sikan dalam kerangka hubungan antar pesantren dan
pencarian solusi terhadap problematika yang dihadapinya di
seluruh Indonesia. Walaupun dalam perkembangan di
lapangan, organisasi ini belum bekerja secara optimal tapi
sudah ada kontribusi yang signifikan, sisi lain adalah belum
semua pesantren mau bergabung dengan organisasi RMI ini.
Kondisi pendidikan pondok pesantren dewasa ini masih
menghadapi problematika yang nyata baik secara internal
maupun secara eksternal. Oleh karenanya pondok pesantren
harus dapat mengaktualisasi diri dalam memasuki era
globalisasi, milinium ketiga ini, sebab itu perlu output yang

319
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

menjadi target pesantren tradisional untuk masa depan, yaitu:


Pertama, Relegious skillful People, yang akan menjadi tenaga-
tenaga trampil tetapi sekaligus mempunya iman yang teguh
dan utuh, sehingga religius dalam sikap dan perilaku yang
mengisi kebutuhan tenaga diberbagai sektor pembangunan.
Kedua, religious Community Leader, yang akan menjadi penggerak
dinamis dalam trasformasi sosial kultural dan sekaligus
menjadi gawang terhadap akses pembangunan dan mampu
membawakan aspirasi masyarakat terutama golongan lemah
serta melakukan pengendalian sosial (social control). Ketiga,
Relegious Intellectual, yang mempunyai integritas kukuh serta
cakap melakukan analisis ilmiah dan concern terhadap masalah
sosial.
Untuk mewujudkan pondok pesantren sebagai lembaga
non formal yang peka di tengah-tengah kemajuan teknologi
dan informasi, maka secara makro pondok pesantren
diharapkan dapan berperan aktif dan memberi kontribusi yang
berbobot di dalam social engineering (rekayasa sosial) dan
tranformasi sosial kultural, maka pesantren harus
mengadakan pembaharuan. Meskipun demikian ciri-ciri lama
yang masih relevan harus masih tetap dipertahankan, yaitu
ada tiga dimensi utama pesantren, yaitu, Pertama, dimensi
kultural dengan watak kemandirian, kebersamaan (gotong
royong). Kedua, dimensi edukatif yang dapat dilihat dari output
dan outcome-nya yang bisa diterima masyarakat, dan yang
ketiga, dimensi sosial, diharapkan pesantren sebagai pusat
kegiatan belajar masyarakat (Community Learning Center) dan
disisi lain masyarakat setempat dapat berfungsi sebagai
laboratorium sosial di mana pesantren melakukan eksperimen
pengembangan masyarakat.

320
Manajemen di Lembaga Pendidikan Pesantren

Kepekaan pondok pesantren terhadap perubahan


masyarakat pendukungnya harus dijaga baik-baik, sehingga
terjadi keselarasan antara pesantren dengan masyarakat,
sebab eksistensi pondok pesantren tidak bisa lepas dari
penghargaan dan dukungan masyarakat kepadanya. Pondok
pesantren juga diharapkan tetap mampu menjaga identitasnya
(kepribadiannya) sebagai wadah pendidikan Islam dan pusat
kajian ilmu syari’ah, namun pondok pesantren diharapkan
pula memiliki sikap keterbukaan, berwawasan lebih luas,
kritis dan selektif, sehingga benar-benar menjadi lembaga
pendidikan yang mampu melakukan ‘pelestarian nilai-nilai
lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih
baik (al muhafadhatu ala al-qadim al-salih wa al-akhadzu bi al-
jadid al-ashlah).

321
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

BAB X
MANAJEMEN PERPUSTAKAAN

A. Konsep Dasar Perpustakaan


Perpustakaan di era modern seperti sekarang ini bukan
lagi seperti penilaian mayoritas orang-orang masa lalu.
Perpustakaan itu adalah tempat buku yang dijaga oleh petugas
yang berkaca mata tebal, yang dengan setia menjaga buku
dan memberikan peluang kepada siapa saja yang meminjam
buku. Pustakawan di perpustakaan hanya ditemani buku-buku
kumal dan ruang ber-”AC, Angin C(J)endela”. Setelah ribuan
tahun hidup dengan teknologi cetak, ratusan tahun dengan
teknologi analog, kelahiran dan perkembangan pesat
teknologi digital menimbulkan revolusi mendasar dalam
kehidupan manusia, khususnya bagi kalangan pustakawan.
Artinya pustakawan sesungguhnya berperan besar dalam
memberikan sumbangan dalam perkembangan peradaban.
Tetapi perannya tidak terlihat oleh sebagian besar masyarakat.
Masalahnya, ketika orang melihat perpustakaan, seolah-olah
pustakawan terhalang oleh deretan koleksi yang semakin hari
semakin menua dan semakin menjauhi unsur kekiniannya.
Konon, ketika menyebut kata perpustakaan atau library,
pemikiran orang merujuk pada suatu medium peradaban
manusia, yaitu buku. Untuk waktu yang sangat lama, buku

322
Manajemen Perpustakaan

menjadi sumber daya pengetahuan yang utama, yang


dihimpun oleh perpustakaan. Hal ini terjadi karena posisi
perpustakaan dianggap hanya sebagai tempat penyimpanan
saja, dan ternyata hingga abad modern anggapan yang
demikianpun masih belum bisa dihilangkan.
Fenomena semacam ini pernah diteliti oleh Korneliza
Pert tahun 2002 dengan mempertanyakan kepada sebagian
warga masyarakat Kroasia menyangkut profesi yang
diminatinya untuk dijadikan sebagai mata pencaharian.
Ternyata hasil yang didapat, pustakawan berada di urutan ke
6 (enam) dari tujuh profesi yang paling diminati setelah
dokter, guru, konstruktor, ekonom, pengacara, dan yang
keenam adalah pustakawan (librarian), sedangkan yang
terakhir ditempati system engineer atau programmer. Bahkan
menurut Hovart dalam Pert (2002), profesi pustakawan sering
dianggap hanya sebagai batu loncatan atau alternatif pekerjaan
sebelum mendapatkan profesi yang sesungguhnya diinginkan.
Hal ini tentu memberikan gambaran bahwa anggapan
pustakawan sebagai profesi yang “diminorkan” tidak hanya
melekat pada masyarakat Indonesia, tetapi juga di negara lain.
Posisi pustakawan yang demikian ini seringkali diperparah
dengan tidak adanya perhatian institusi terkait (pemerintah)
terhadap gerak majunya perpustakaan. Maka menjadi tidak
aneh ketika menengok pada kasus seperti ini, yang kemudian
disimpulkan menjadi bagian dari kendala bagi pustakawan
untuk loyal dan berfikir untuk kemajuan perpustakaan
tempatnya bekerja.
Sejalan dengan perkembangannya, beberapa tahun
terakhir sejak dikeluarkannya UU Nomor 43 tahun 2007,
perpustakaan seperti memperoleh angin segar, perpustakaan
mulai mendapat mendapat perhatian dari pemerintah terkait
dengan eksistensinya maupun perkembangannya.
Perpustakaan mulai diberikan ruang untuk melakukan

323
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

berbagai kegiatan, terutama untuk kepentingan pendidikan.


Bahkan dikatakan bahwa setiap. lembaga pendidikan,
diwajibkan untuk menyelenggarakan perpustakaan.

B. Perpustakaan Sebagai Sumber Daya Informasi


sPerpustakaan sebagai pusat sumber daya informasi
menjadi tulang punggung gerak majunya suatu institusi
terutama institusi pendidikan, dimana tuntutan untuk
adaptasi terhadap perkembangan informasi sangat tinggi. Hal
ini dikarenakan pengguna (user) dominan dari kalangan
akademisi yang kebutuhannya akan informasi begitu kuat,
sehingga mau tidak mau perpustakaan harus pula berfikir
untuk berupaya mengembangkan diri guna memenuhi
kebutuhan penguna (user).
Perpustakaan seperti sebuah “permata” yang hilang dan
telah ditemukan. Dulu, perpustakaan telah ada bahkan
dimana ada sekolah, di situ perpustakaan ada. Tetapi
perpustakaan dulu hanya sebagai tempat buku saja, bahkan
mungkin hanya sebagai pelengkap dunia pendidikan. Tradisi
di sekita buku dan jurnal tercetak ini luar biasa tertanam
dalam budaya masyarakat, yang membentuk sebuah “dunia
teks” yang melandasi semua upaya manusia memperluas ilmu
pengetahuannya. Beberapa dasawarsa terakhir ini dunia teks
mendapat tantangan dari teknologi-teknologi baru. Sejalan
dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi,
perpustakaan pun ternyata tidak luput dari perhatian peme-
rintah yang selama ini me-nomorsekian-kan perpustakaan.
Perpustakaan telah menemukan jati dirinya sebagai tempat
perubahan (agen of change), tempat dimana berbagai informasi
disimpan, dan tempat dimana embrio intelektual diciptakan.
Betapa tidak, dulu perpustakaan yang dianggap sebagai
tempat buku saja, kini berkembang menjadi pusat sumber

324
Manajemen Perpustakaan

daya informasi. artinya, perpustakaan tidak lagi sebagai


penyimpanan buku semata, melainkan menjadi tampat
dimana pengguna (user) mampu menciptakan lagi sesuatu
yang mampu dibaca dan digunakan orang lain.

C. Antara Perpustakaan, Lembaga Pendidikan dan


Informasi
Perpustakaan menurut fungsinya, memposisikan diri
sebagai tempat yang menyediakan berbagai informasi, baik
yang berkaitan dengan sosial,politik maupun ekonomi, dan
informasi lainnya. Di Perguruan Tinggi, perpustakaan sering
diistilahkan sebagai “jantungnya perguruan tinggi”. Hal ini
berarti perpustakaan memiliki peranan penting di dunia
pendidikan. Jika jantungnya lemah, tubuh lainnya juga akan
menjadi lemah. Ini artinya jika perpustakaan perpustakaan
lemah, akan berpengaruh pula terhadap institusi tempat
perpustakaan bernaung, sebaliknya jika jantungnya baik, maka
akan membuat baik pula tubuhnya. Sehingga jika perpustaka-
an baik, maka akan baik pula lembaga/institusinya. Pemisalan
lain, perpustakaan dan lembaga pendidikan sekarang ini
seperti dua sisi mata uang. Keduanya akan menjadi bernilai
jika keduanya ada. Demikian pula dengan informasinya.
Perpustakaan dengan informasi juga tidak boleh dipisahkan,
sebab kekuatan perpustakaan ada pada informasi yang
disajikannya.
Hubungan kedua hal tersebut dapat dilihat pada bagan
berikut:

325
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Dari bagan di atas dapat dilihat bahwa perpustakaan


memiliki kaitan dengan lembaga pendidikan, dimana
hubungan itu secara kasat mata dapat dilihat dari pendekatan
kelembagaan. Sedangkan baik perpustakaan dan lembaga
pendidikan, keduanya memiliki tugas yang sama, yaitu
menyebarkan informasi. Perbedaannya, lembaga pendidikan
memberikan informasi kepada para siswa melalui proses
pembelajaran dengan informasi yang mengacu kepada
kurikulumnya, sedangkan perpustakaan menyebarkan
informasi secara langsung kepada pemustaka tanpa terikat
langsung oleh kurikulum.
Namun demikian perpustakaan yang bernaung di bawah
institusi pendidikan, bergerak maju mengikuti pola
perkembangan kurikulum. Hal ini dapat dimaklumi karena
perpustakaan di sini berperan sebagai pendukung program
lembaga induknya. Pergeseran paradigma lembaga pendidikan
menandakan gerak dinamisnya pendidikan itu sendiri
sekaligus sebagai jawaban dari konsekuensi logis sebagai
upaya beradaptasi dengan tuntutan jaman yang juga selalu
berkembang. Agar pendidikan dapat menjalankan fungsinya
dengan baik harus ada perubahan dan pembaruan paradigma.

D. Pengertian Perpustakaan
Perpustakaan berasal dari kata dasar pustaka. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia pustaka artinya kitab, buku
(Depdikbud: 1980). Dalam bahasa Inggris dikenal dengan
library. Istilah ini berasal dari kata librer atau libri, yang artinya
buku (Sulistyo Basuki: 1991, 3). Dari kata latin tersebut
terbentuklah istilah librarius, tentang buku. Dalam bahasa
asing lainnya perpustakaan disebut bibliotheca (Belanda), yang
juga berasal dari bahasa Yunani biblia yang artinya tentang
buku, kitab.

326
Manajemen Perpustakaan

Dengan demikian, batasan istilah perpustakaan adalah


sebuah ruangan, bagian sebuah gedung, ataupun gedung itu
sendiri yang digunakan untuk menyimpan buku dan terbitan
lainnya yang biasa disimpan menurut tata susunan tertentu
untuk digunakan pembaca, bukan untuk dijual (Sulistyo
Basuki: 1991, 3). Atau, suatu unit kerja yang substansinya
merupakan sumber informasi yang setiap saat dapat
digunakan oleh pengguna jasa layannya. Selain buku, di
dalamnya juga terdapat bahan cetak lainnya seperti majalah,
laporan, pamflet, prosiding, manuskrip atau naskah, lembaran
musik, dan berbagai karya media audiovisual seperti film,
slide, kaset, piringan hitam, serta bentuk mikro seperti
mikrofilm, mikrofis, dan mikroburam (micro-opaque).
Definisi ini mengisyaratkan bahwa perpustakaan
memiliki spesifikasi tersendiri mengenai fungsi dan peranan-
nya. Ini dapat dilihat dari pengertiannya yang memiliki
beberapa poin penting yang perlu digarisbawahi, yaitu:
ƒ Perpustakaan sebagai suatu unit kerja
ƒ Perpustakaan sebagai tempat pengumpul, penyimpan, dan
pemelihara berbagai koleksi bahan pustaka
ƒ Bahan pustaka itu dikelola dan diatur secara sistematis
dengan cara tertentu
ƒ Bahan pustaka digunakan oleh pengguna secara kontinu
ƒ Perpustakaan sebagai sumber informasi
Sepanjang sejarah manusia, perpustakaan bertindak
selaku penyimpan khazanah hasil pemikiran manusia. Hasil
itu kemudian dituangkan dalam bentuk cetak, noncetak
ataupun dalam bentuk elektronik (digital). Hasil pemikiran
manusia yang dicetak dalam bentuk buku dalam arti luas
mencakup bentuk cetak atau grafis, bentuk noncetak yang
mencakup hasil rekayasa teknologi dalam bentuk elektronik
atau digital, ini sering diasosiasikan dengan kegiatan belajar.

327
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Yaitu sebagai alat bantu manusia dalam belajar. Karena


perpustakaan selalu dikaitkan dengan buku, sementara buku
dekat dengan kegiatan belajar, maka perpustakaan pun sangat
dekat dengan kegiatan belajar. Hanya saja, perpustakaan
bukan tempat sekolah dalam arti formal.
Karena adanya kegiatan belajar yang berbeda jenjangnya,
dari prasekolah hingga universitas, ditambah dengan
kepentingan membaca yang berbeda-beda, maka muncullah
perpustakaan dengan berbagai bentuk dan jenisnya demi
menyesuaikan kebutuhan penggunanya tersebut. Ada yang
disebut dengan perpustakaan umum untuk melayani masyarakat
umum, dan perpustakaan khusus untuk melayani pengguna dari
komunitas di mana perpustakaan itu didirikan.
Istilah lain yang berkaitan dengan pustaka adalah
kepustakawanan, librarianship. Istilah ini menyangkut
penerapan pengetahuan (baca: ilmu perpustakaan) dalam hal
pengadaan, penggunaan serta pendayagunaan buku (baca:
bahan pustaka) dalam arti luas, serta perluasan jasa
perpustakaan.
Berikut ini beberapa tujuan kepustakawanan (Sulistyo
Basuki: 1991, 67), yaitu:
1. Penyimpanan. Artinya, perpustakaan bertugas menyimpan
buku atau bahan pustaka yang diterimanya. Tujuan ini
nyata sekali pada perpustakaan nasional, yaitu
perpustakaan yang ditunjuk oleh undang-undang untuk
menyimpan semua terbitan dari suatu negara.
2. Penelitian. Artinya, perpustakaan bertugas menyediakan
buku untuk keperluan penelitian. Penelitian ini mencakup
arti luas karena dapat dimulai dari penelitian sederhana
hingga penelitian yang rumit dan canggih. Untuk keperlu-
an penelitian ini, perpustakaan bertugas menyediakan jasa
yang membantu keberhasilan sebuah penelitian, misalnya

328
Manajemen Perpustakaan

menyediakan daftar buku mengenai suatu subjek,


menyusum daftar artikel majalah mengenai suatu masalah,
membuat sari karangan artikel majalah maupun pustaka
lainnya, dan menyajikan laporan penelitian dalam bidang
yang berkaitan.
3. Informasi. Artinya, perpustakaan menyediakan informasi
yang diperlukan pengguna jasa layanan perpustakaan.
Pemberian informasi ini dilakukan baik atas permintaan
maupun tidak diminta. Hal terakhir ini dilakukan bila
perpustakaan menganggap informasi yang tersedia sesuai
dengan minat dan keperluan pengguna.
4. Pendidikan. Artinya, perpustakaan dalam arti umum
merupakan tempat belajar publik seumur hidup, terutama
bagi mereka yang tidak lagi ada di bangku sekolah. Sebab,
jika mengandalkan perpustakaan suatu instansi tertentu,
tentu penggunaannya terbatas. Misalnya perpustakaan
sekolah, hanya terbatas pada saat menjadi anggota
komunitas sekolah tersebut. Atau, perpustakaan khusus,
yang hanya memberikan layanan perpustakaan kepada
pengguna terkait dengan cakupan keanggotaan yang
terbatas oleh ketentuan perpustakaan tersebut.
5. Kultural. Artinya, perpustakaan menyimpan khazanah
budaya bangsa atau masyarakat tempat perpustakaan
berada dan juga meningkatkan nilai dan apresiasi budaya
masyarakat sekitarnya melalui proses penyediaan bahan
bacaan. Bacaan yang disediakan perpustakaan, terutama
perpustakaan umum, dapat berupa bacaan serius maupun
bacaan ringan. Bacaan serius artinya bacaan yang bertujuan
menambah pengetahuan maupun membantu keperluan
pembaca dalam pencarian informasi penting, dan
sejenisnya. Sedangkan bacaan ringan adalah bacaan yang
sifatnya menghibur atau bacaan rekreasi.

329
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

E. Fungsi Perpustakaan
Perkembangan jaman menuntut perubahan pola pikir
masyarakat agar mampu beradaptasi dengan baik pada situasi
dan kondisi yang ada. Demikian pula dengan paradigma
perpustakaan yang dituntut mampu mengikuti perkembangan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Suwarno (2010)
melihat paradigma perpustakaan juga sebagai fungsi
perpustakaan era sekarang ini, sebagaimana beberapa hal
berikut:
Simpan saji karya, yaitu fungsi perpustakaan sebagai
tempat menyimpan suatu karya, yang kemudian menyajikan
karya tersebut sebagai informasi yang bisa diakses oleh
pemustakanya. Sebagaimana yang tertuang dalam UU No.43
Tahun 2007 bahwa koleksi perpustakaan diseleksi, dilayankan,
disimpan dan dikembangkan sesuai dgn kepentingan
pemustaka.
Pusat Sumber Daya Informas (SDI), yaitu fungsi
perpustakaan yang menggali dan mengelola informasi, yang
dapat menjadi bahan bagi pemustaka untuk menghasilkan
karya baru yang dapat diakses oleh pemustaka lainnya sebagai
informasi yang baru. Sebagaimana yang tertuang dalam UU
No.43 Tahun 2007 bahwa koleksi perpustakaan diseleksi,
dilayankan, disimpan dan dikembangkan sesuai dgn
kepentingan pemustaka dengan memperhatikan perkem-
bangan teknologi informasi dan komunikasi. Dalam hal ini
terdapat dua pesan bagi pustakawan agar mengembangkan
system cari – kelola informasi, dan sekaligus cepat tanggap
terhadap informasi baru.
Pusat sumber belajar, penelitian masyarakat, yaitu fungsi
perpustakaan sebagai tempat belajar dan penelitian bagi
masyarakat, sehingga menjadi masyarakat yang cerdas dan
berpengetahuan luas. Pasal 2 UU No.43 Tahun 2007

330
Manajemen Perpustakaan

menyebutkan bahwa perpustakaan diselenggarakan


berdasarkan asas pembelajaran sepanjang hayat. Dalam ayat
lainpun dijelaskan bahwa perpustakaan bertujuan
memberikan layanan kepada pemustaka, serta memperluas
wawasan dan pengetahuan untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa
Rekreasi dan Re-kreasi, yaitu fungsi perpustakaan sebagai
tempat yang nyaman dan menyajikan informasi-informasi
yang sifatnya menyenangkan, serta sebagai tempat yang
menghasilkan kreasi (karya) baru yang berpijak dari karya-
karya orang lain yang telah dipublikasikan.
Mengembangkan kebudayaan, yaitu fungsi perpustakaan
sebagai tempat mengembangkan kebudayaan melalui
informasi yang disajikan, serta penanaman nilai-nilai kepada
masyarakat melalui berbagai kegiatan-kegiatannya. Seperti:
pemutaran film dokumenter, belajar menari, les bahasa, story
telling, dan lain-lain.
Berkaitan dengan nilai, dikembangkan pula sikap
pelayanan dengan semakin ditekankannya pustakawan untuk
memahami karakter pemustaka. Tidak disangkal lagi bahwa
trend centre dari pelayanan ini merujuk pada pelayanan Bank,
dimana pelayanan terhadap nasabah yang berorientasi
kepuasan pelanggan sangat diperhatikan, sehingga dikenal
slogan pelayanan 4 S, yaitu senyum, sapa, sopan dan santun.

331
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

BAB XI
PENGELOLAAN BAHAN PUSTAKA
JENIS BUKU

A. Pengadaan Bahan Pustaka


Perpustakaan yang berfungsi sebagai pusat sumber daya
informasi, dituntut harus siap menyediakan koleksi bahan
pustaka yang up to date bagi pemustakanya. Koleksi
perpustakaan merupakan sumber informasi yang tidak hanya
mewakili hasil karya manusia masa lampau dan masa
sekarang, namun juga masa yang akan datang. Artinya bahwa
koleksi ini adalah koleksi yang selalu berkembang. Sehingga
Rangganathan mengatakan bahwa perpustakaan ini adalah
the growing organism, perpustakaan merupakan organisme
yang tumbuh dan berkembang. Bila koleksi perpustakaan
dikembangkan tidak mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, maka lambat laun perpustakaan
akan ditinggalkan penggunanya
Sebuah paradigma baru menyimpulkan, salah satu
kriteria penilaian layanan perpustakaan yang bagus adalah
dilihat dari kualitas koleksinya. Koleksi yang dimaksud tentu
saja mencakup berbagai format bahan sesuai dengan perkem-
bangan dan kebutuhan alternatif para pemakai perpustakaan
terhadap media rekam informasi. Setiap kegiatan lain di
perpustakaan akan bergantung pada pemilikan koleksi

332
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku

perpustakaan yang bersangkutan. Selanjutnya, bahan pustaka


dapat dikatakan bermanfaat bagi masyarakat apabila informasi
tersebut dapat didayagunakan masyarakat penggunanya, maka
informasi tersebut dianggap memiliki nilai guna bagi
masyarakat.
Agar pengadaan bahan pustaka benar-benar sesuai
dengan kebutuhan informasi masyarakat, maka perpustakaan
harus mampu:
(1)mengkaji dan mengenali siapa masyarakat pemakainya dan
informasi apa yang diperlukan,
(2)berusaha menyediakan layanan jasa yang diperlukan saat
itu, serta
(3) mendorong pemakai untuk menggunakan fasilitas yang
disediakan oleh perpustakaan. Sehingga pengadaan koleksi
yang akan dilakukan benar-benar mutakhir dan relevan
dengan kebutuhan informasi masyarakat tersebut.
Adapun pengadaan bahan perpustakaan dapat dilakukan
dengan berbagai cara, diantaranya:
(1) Pembelian, untuk meringankan biaya pembelian, kita bisa
melakukan pembelian di bursa buku-buku bekas atau
menelusuri pameran-pameran buku karena pameran buku
biasanya memberikan diskon besar-besaran, kesempatan
seperti ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi
pengelola perpustakaan.
(2)Tukar-menukar, kita bisa melakukan kerja sama dengan
perpustakaan yang lain dengan tukar-menukar koleksi
dengan cara peminjaman jangka panjang. Sehingga
pemustaka bisa memanfaatkan koleksi dari perpustakaan
yang lain.
(3)Hadiah, untuk mendapatkan buku secara cuma-cuma/
hadiah, maka perpustakaan dan pustakawan harus pro
aktif bekerja sama dalam mencari unit kerja atau instansi

333
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

atau LSM mana yang dapat menghadiahkan buku-bukunya


bagi keperluan perpustakaan. Pendekatan ini sangat
diperlukan, karena dengan adanya permohonan yang resmi
dari pejabat perpustakaan akan memudahkan proses
pustakawan dalam memperoleh buku-buku yang di
perlukan perpustakaan secara cuma-cuma.
(4) Sumbangan, perpustakaan dan pustakawan harus pro aktif
mencari perpustakaan yang akan mengadakan penyiangan
koleksi, sehingga bisa membuat permohonan buku-buku
hasil penyiangan tersebut bisa disumbangkan dan
dimanfaatkan oleh perpustakaan kita.
(5) kerjasama, kita bisa mendapatkan bahan pustaka dengan
melakukan kerjasama, misalnya dengan penerbit dan
penulis dengan mendapatkan harga buku-buku yang
serendah-rendahnya dengan kualitas yang sama dengan
buku yang bagus dan mahal.
Cara-cara pengadaan bahan pustaka diatas dapat dilaku-
kan dengan catatan tetap memperhatikan kebutuhan
informasi masyarakat dengan cara memberikan bahan pustaka
yang uptodate, mutakhir dan relevan sesuai dengan kebu-
tuhan pengguna perpustakaan. Walaupun cara-cara tersebut
diatas bertujuan untuk meminimalisir pembiayaan pengadaan
koleksi, tapi tidak menutup kemungkinan dengan cara-cara
tersebut kita akan mendapatkan bahan pustaka yang
berkualitas, bagus dan bermanfaat untuk masyarakat.

B. Pengolahan Bahan Pustaka


a. Analisis subjek
Analisis subjek merupakan kegiatan awal pengolahan
dalam rangka menentukan subjek dari sebuah bahan pustaka.
Analisis subjek merupakan hal yang sangat penting dan
memerlukan kemampuan intelektual, karena di sinilah bahan

334
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku

pustaka ditentukan tempatnya dalam golongannya. Kekeli-


ruan dalam menentukan subjek dapat menyesatkan pengguna
(baca: pembaca buku). Jadi, setiap dokumen harus dianalisis
isinya. Kegiatan yang demikian inilah yang dikatakan sebagai
“analisis subjek”. Selanjutnya, subjek tersebut diterjemahkan
ke dalam kode tertentu berdasarkan suatu sistem, sehingga
setiap bahan pustaka akan mempunyai identitas subjek
tertentu pula. Kegiatan ini dinamakan dengan “deskripsi
indeks”.
Untuk melakukan analisis subjek, penganalisis perlu
mengetahui prinsip-prinsip dasarnya. Prinsip-prinsip tersebut
dibagi menjadi tiga bagian besar, yang kemudian diperinci
kembali dalam bagian-bagian yang lebih kecil, yakni seperti
yang dapat dilihat dalam bagan berikut.
Bagan 1
Prinsip Dasar Analisis

Tiga bagian besar analisis subjek adalah pada disiplin ilmu,


yaitu buku yang dianalisis harus masuk ke dalam disiplin ilmu
tertentu; objek bahasan atau fenomena, yaitu setelah ditemukan

335
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

disiplin ilmu tertentu buku tersebut harus jelas membahas


tentang suatu kajian atau fenomena tertentu dalam disiplin
ilmu tersebut; dan bentuk, yaitu setelah ditemukan bentuk
objek kajian atau fenomenanya buku harus disajikan dalam
suatu bentuk tertentu.
a. Disiplin ilmu
Disiplin ilmu adalah istilah yang digunakan untuk satu
bidang atau satu cabang keilmuan. Misalnya, Hukum,
Kimia, atau sosiologi. Masing-masing adalah disiplin ilmu
yang merupakan bidang atau cabang keilmuan.
Dalam analisis subjek, pertama kali yang harus
ditentukan adalah disiplin ilmu atau bidang ilmu pengeta-
huan yang dicakup oleh bahan pustaka yang dianalisis
tersebut. Sebagai contoh, buku berjudul “Perkembangan
Koperasi Sepuluh Tahun Terakhir”. Maka dapat ditentukan
bahwa disiplin ilmu untuk buku ini adalah “ekonomi”.
Kemudian dapat ditentukan pula objek pembahasannya
yang juga sebagai fasetnya adalah “koperasi”. Dan pada
konsep ketiga, yang harus ada adalah bentuk, maka bentuk
penyajian buku ini adalah sejarah, mengingat unsur waktu
atau perkembangan dari waktu ke waktu sangat dominan.
Disiplin ilmu dapat dibedakan atas dua kategori.
Pertama, disiplin fundamental (fundamental disciplines).
Disiplin fundamental merupakan bagian utama ilmu
pengetahuan. Dalam hal ini, para ahli berbeda pendapat
tentang ciri-cirinya, pengelompokan dan jumlahnya, tetapi
terdapat kesepakatan umum mengenai eksistensi bidang-
bidang pengetahuan dasar ini.
Kedua, subdisiplin. Subdisiplin merupakan bidang
spesialisasi dalam suatu disiplin fundamental. Misalnya,
dalam kelompok ilmu-ilmu alamiah, subdisiplin yang

336
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku

merupakan spesialisasi atau cabang antara lain ialah fisika,


kimia, biologi, sosiologi, ekonomi, dan politik.
b. Objek pembahasan atau fenomena
Objek pembahasan atau fenomena ialah benda atau
wujud yang menjadi titik kajian dari suatu disiplin ilmu.
Misalnya, dalam buku berjudul “pendidikan wanita”,
pendidikan merupakan disiplin ilmu dan wanita
merupakan objek atau titik kajiannya dari disiplin ilmu
pendidikan tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa
objek kajian merupakan bagian dari disiplin ilmu, atau
dengan kata lain fenomena atau objek kajian dapat
ditentukan setelah disiplin ilmu dalam suatu bahan pustaka
sudah ditentukan.
Fenomena yang sama dapat dikaji oleh disiplin ilmu
yang berbeda, tetapi penentu golongan utama adalah
disiplin ilmu yang membawahi fenomena tersebut. Dengan
kata lain, fenomena berperan sebagai konsep subjek dalam
analisis subjek. Konsep subjek menunjukkan tema suatu
bahan pustaka.
Fenomena yang dikaji oleh berbagai disiplin ilmu dapat
dibedakan atas dua kategori. Pertama, Objek Konkret.
Misalnya gedung, meja, buku, dan lain-lain. Kedua, Objek
Abstrak. Misalnya moral, hukum, adab, dan lain-lain.
Fenomena dapat dikaji dari satu atau beberapa disiplin
ilmu. Fenomena yang dikaji tersebut dikelompokkan
berdasarkan suatu ciri yang dimiliki bersama. Ciri
pembagian itu disebut dengan “faset”.
Suatu disiplin ilmu pengetahuan dapat ditinjau
menurut sejumlah faset. Misalnya, bidang sosial dapat
ditinjau antara lain menurut demografi, yang akan
diperoleh: lingkungan, kependudukan, dan lain-lain. Atau,

337
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

jika ditinjau dari interaksi sosial akan diperoleh:


komunikasi, psikologi sosial, dan lain-lain
Menurut Ranganathan, seorang ilmuwan dan
pustakawan dari India yang pernah menciptakan sistem
klasifikasi yang disebut “Colon Classification”, untuk
membantu para pengklasifikasi bahan pustaka dalam
melakukan analisis subjek, suatu fenomena/faset dapat
dianalisis dengan memberikan urutan faktor-faktornya,
yang disingkat PMEST. Yaitu, (P) personality, (M) Matter,
(E) Energy, (S) Space, dan (T) Time.
Sebagai contoh buku yang berjudul “Pendekatan dalam
Penyusunan Organisasi Sekolah Tahun 2005 di Indone-
sia”, urutannya dapat ditentukan sebagai berikut.
(P) Personality : Sekolah
(M) Matter : Organisasi
(E) Energy : Penyusunan
(S) Space : Indonesia
(T) Time : Tahun 2005
Secara lengkap susunan analisis subjek adalah:
DISIPLIN/PMEST/BENTUK
c. Bentuk
Pembahasan mengenai “bentuk” berbeda dengan
konsep subjek yang menunjukkan mengenai tema atau isi
suatu bahan pustaka. Konsep bentuk lebih merujuk pada
bagaimana penyajian suatu kajian dari bahan pustaka itu.
Dalam hal ini, dapat dibedakan ke dalam tiga bentuk, yaitu:
1) Bentuk Fisik, yaitu sarana yang digunakan dalam
menyajikan suatu subjek. Misalnya dalam bentuk buku,
majalah, pita rekaman, mikrofilm, mikrofis, dan lain-
lain. Bentuk fisik tidak memengaruhi isi dokumen

338
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku

bahan pustaka. Misalnya, subjek “agama” dapat


disajikan dalam berbagai bentuk, tapi isinya tetap pada
“agama”. Majalah tentang agama, subjeknya adalah
agama tapi bentuknya adalah majalah. Bentuk fisik
dalam analisis subjek sering diabaikan. Padahal bentuk
fisik yang dicantumkan dalam analisis subjek
menunjukkan bahwa bahan pustaka itu mempunyai
tempat khusus di perpustakaan.
2) Bentuk Penyajian, yaitu bentuk yang ditekankan pada
pengaturan atau organisasi isi dokumen bahan pustaka.
Dalam hal ini dikenal tiga bentuk penyajian, yaitu:
a) Penyajian yang menggunakan lambang-lambang,
seperti bahasa (dalam bahasa Indonesia, Inggris,
Arab dan lain-lain), gambar, dan sebagainya.
b) Penyajian yang memperlihatkan tata susunan,
bentuk, kumpulan, dan peragaan tertentu, misalnya
abjad, kronologis, sistematik, esei, pidato,
bibliografi, dan sebagainya.
c) Penyajian untuk kelompok tertentu, misalnya
Bahasa Inggris untuk pemula, Psikologi untuk ibu
rumah tangga. Kedua dokumen bahan pustaka itu
adalah mengenai bahasa Inggris dan Psikologi,
bukan mengenai pemula atau ibu rumah tangga.
3) Bentuk Intelektual, yaitu aspek yang ditekankan pada
suatu subjek. Misalnya buku yang berjudul “Filsafat
Hukum”, di sini yang menjadi subjeknya adalah
“Hukum”, sementara “Filsafat” adalah bentuk
intelektual yang menjadi titik tekan dalam pembahasan
subjek “Hukum” tersebut. Sehingga bentuk yang dapat
disajikan adalah bentuk intelektual.

339
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Dalam melakukan analisis subjek seseorang sangat


dipengaruhi oleh subjektivitas dan latar belakangnya.
Karena itu, hasilnya sering kali berbeda antara satu orang
dengan yang lainnya, meskipun bahan pustaka yang
dikajinya sama. Bahkan, kadang-kadang bahan pustaka
yang sama dianalisis orang yang sama dalam waktu yang
berbeda dapat menghasilkan subjek yang berbeda.
Untuk mengurangi subjektivitas dalam melakukan
analisis subjek dan agar dapat dilakukan secara taat asas,
perlu dikenali jenis-jenis subjek yang terdapat dalam bahan
pustaka yang akan dianalisis. Pada pokoknya terdapat
empat jenis subjek yang memiliki kaidah, yaitu:
1) Subjek Dasar
Subjek dasar adalah subjek yang merupakan bidang
pengetahuan secara umum tanpa ada suatu fenomena
tertentu. Contoh: “Pengantar Ilmu Pendidikan”. Subjek
judul tersebut dapat dirangkum dengan “Pendidikan”
saja, tanpa fenomena. Contoh lain, “Dasar-Dasar Ilmu
Sosial”. Subjek judulnya cukup “Sosial” saja, tidak
diikuti dengan fenomena lain.
2) Subjek Sederhana
Subjek sederhana adalah subjek yang membahas
disiplin ilmu tertentu yang disertai dengan satu faset
aja. Atau dengan kata lain, subjek dasar yang disertai
dengan satu fenomena.
Contoh: “Sekolah Dasar”, subjek ini dapat diurai
menjadi:
Disiplin ilmu = Pendidikan
Fenomena = Pendidikan Dasar
Contoh lain, buku tentang “Penyakit Menular”,
dapat dirangkum menjadi:

340
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku

Disiplin ilmu = Kedokteran


Fenomena = Penyakit Menular

3) Subjek Majemuk
Subjek majemuk adalah jika subjek dasar disertai
fokus-fokus yang berasal dari dua faset atau lebih. Atau,
jika subjek dasar disertai lebih dari satu fenomena. Contoh,
buku yang berjudul “Perguruan Tinggi di Indonesia”, dapat
dirangkum menjadi:
Disiplin ilmu = Pendidikan
Fenomena (Faset) 1 = Perguruan Tinggi
Fenomena (Faset) 2 = Indonesia
4) Subjek Kompleks
Subjek kompleks adalah suatu bahan pustaka yang
memiliki dua atau lebih disiplin ilmu. Contoh, buku yang
berjudul “Dasar-Dasar Pendidikan Ilmu Perpustakaan”,
dapat dirangkum menjadi:
Disiplin ilmu 1 = Pendidikan
Disiplin ilmu 2 = Perpustakaan
Dalam melakukan analisis subjek terhadap subjek
kompleks ini harus dilakukan pemilihan secara taat asas
subjek-subjek yang diutamakan atau yang perlu dihimpun
di perpustakaan. Yang perlu diperhatikan adalah hubungan
interaksi atau hubungan fase antar subjek-subjek yang ada.
Sebab dalam subjek kompleks ini terdapat empat hubungan
fase-fase, yaitu:
a) Fase Bias, yaitu jika suatu subjek digunakan untuk
kelompok tertentu. Dalam hal ini, yang diutamakan
adalah subjek yang digunakan.

341
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Contoh : “Koperasi untuk Sekolah


Dasar”
Rangkuman : EKONOMI/KOPERASI/
PENDIDIKAN/SEKOLAH
DASAR
Disiplin ilmu : Ekonomi
Fenomena 1 : Koperasi
Fenomena 2 : Sekolah Dasar
Rangkuman pilihan : EKONOMI/KOPERASI
b) Fase Pengaruh, yaitu jika terdapat subjek dasar yang
memengaruhi subjek dasar yang lain. Dalam hal ini,
yang diutamakan adalah subjek yang dipengaruhi.
Contoh : “Pengaruh Pendidikan di Desa”
Disiplin Ilmu 1 : Pendidikan
Disiplin ilmu 2 : Sosiologi
Fenomena : Desa (dari faset struktur
kemasyarakatan)
Rangkuman : SOSIOLOGI/DESA
c) Fase Alat, yaitu jika subjek dasar digunakan sebagai
alat untuk menjelaskan atau membahas subjek dasar
yang lain. Dalam hal ini, yang diutamakan adalah
subjek yang dijelaskan atau yang dibahas.
Contoh : “Penggunaan Statistik pada
Perkembangan Keluarga Berenca-
na di Indonesia”
Disiplin ilmu 1 : Statistik
Disiplin ilmu 2 : Sosiologi
Fenomena 1 : KB (dari faset kependudukan)
Fenomena 2 : Indonesia (dari faset tempat)

342
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku

d) Fase Perkembangan, yaitu jika dalam satu bahan pustaka


terdapat dua subjek atau lebih yang berasal dari dua
disiplin ilmu atau lebih. Hubungan fase dapat bersifat
perbandingan baik secara jelas maupun samar. Dalam
subjek kadang-kadang hubungan antarsubjek tersebut
sama sekali tidak terasa, sehingga hanya berupa
gabungan dua subjek atau lebih, atau gabungan dari
dua disiplin ilmu atau lebih.
Contoh : “Islam dan Ilmu Pengetahuan”
Disiplin ilmu 1 : Islam
Disiplin ilmu 2 : Ilmu Pengetahuan
Rangkuman : ISLAM/ILMU PENGETAHUAN
Untuk memilih subjek-subjek yang diutamakan, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan, di antaranya:
1) Subjek ditentukan pada tekanan pembahasan, atau
subjek yang dibahas lebih banyak.
Contoh: “Matematika dan Biologi”
Kedua subjek merupakan subjek dasar dari disiplin
ilmu yang berbeda. Untuk menentukan subjeknya,
maka pengklasifikasi harus mengetahui subjek mana
yang dominan atau yang lebih banyak dibahas.
2) Subjek ditentukan pada subjek yang erat relevansinya
dengan perpustakaan tempat pengklasifikasi bekerja.
Contoh: “Pendidikan dan Kesehatan”
Keduanya merupakan subjek dasar. Tapi karena
perpustakaan yang ditempati merupakan perpustakaan
ilmu keguruan atau pendidikan, maka subjek yang
dimunculkan adalah pendidikan. Sedangkan subjek
kesehatan merupakan subjek alternatif.

343
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

3) Subjek ditentukan pada subjek yang dibahas pertama


dalam bahan pustaka tersebut. Hal ini dilakukan jika
pembahasan subjek-subjek yang ada sama berat dan
tidak ada pertimbangan kepentingan perpustakaan.
Contoh: “Statistik dan Pendidikan”
Kedua subjek berasal dari disiplin ilmu yang berbeda.
Maka, jika pembahasan subjek tersebut sama berat dan
kepentingan perpustakaan terhadap subjek tersebut
juga sama, pilihan ditentukan pada Statistik, karena
subjek ini lebih awal dibahasnya dibanding dengan
pendidikan.

b. Penentuan notasi
Notasi adalah symbol tertentu berupa angka atau yang
lainnya yang memiliki arti sama dengan subjek bahan pustaka.
Seperti 000 merupakan notasi dari semua karya umum, 100
merupakan notasi dari semua bahan pustaka yang bersubjek
filsafat, 200 tentang agama, dan seterusnya. Notasi ini akan
bisa diketahui manakala mengenali subjek suatu bahan
pustaka sudah dilakukan, sehingga memudahkan pula bagi
pustakawan/ pengelola perpustakaan dalam melakukan
klasifikasi.
Dalam kehidupan sehari-hari sesungguhnya pekerjaan
klasifikasi telah banyak dilakukan orang. Kalau kita di pasar
atau di pusat perbelanjaan lain misalnya, kita dapat memer-
hatikan bagaimana para pedagang memilah dan memisahkan
barang yang sejenis dan memiliki harga yang sama, juga
memilah dan memisahkan ukuran besar atau kecilnya, merek
dan sebagainya. Perhatikan juga penjual buah yang
memisahkan buah yang sejenis semisal jeruk dipisahkan dari
apel, dipisahkan pula dengan salak, semangka atau buah yang
lainnya. Atau juga dalam rumah tangga, seorang ibu
memisahkan antara piring, gelas, sendok di dalam rak, tidak

344
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku

disatukan dalam satu tempat, melainkan dikelompokkan


menurut jenisnya.
Ilustrasi kecil di atas bisa menjadi titik awal kita
memahami klasifikasi, yang dapat kita asumsikan sebagai cara
untuk mempermudah dalam kegiatan pencariannya ketika
barang itu akan digunakan.
Di perpustakaan berbagai jenis bahan pustaka
dikumpulkan, baik melalui pembelian, hadiah ataupun tukar-
menukar. Tujuannya ialah agar semua jenis bahan pustaka
itu dapat didayagunakan semaksimal mungkin oleh pemakai
atau pengguna. Untuk itu, kegiatan klasifikasi menjadi
kebutuhan bagi perpustakaan.
Klasifikasi di perpustakaan juga dimaksudkan untuk
memudahkan masyarakat pemakai dalam memilih dan
mendapatkan buku atau bahan pustaka yang diperlukan secara
cepat dan tepat. Untuk setiap buku yang dimiliki perpustakaan
harus melalui proses klasifikasi sebelum dilayankan kepada
masyarakat. Untuk melakukan proses klasifikasi di
perpustakaan sudah ada cara-cara tertentu yang merupakan
hasil kesepatakatan secara nasional maupun internasional.

Klasifikasi
a. Pengertian dan fungsi klasifikasi
Jika memerhatikan pengelompokan barang yang
dilakukan para pedagang atau ibu rumah tangga pada ilustrasi
di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa klasifikasi adalah
pengelompokan barang-barang atau objek berdasarkan tingkat
persamaannya. Dengan demikian, klasifikasi merupakan
kegiatan pemisahan benda-benda atau objek lain berdasarkan
tingkat perberbedaannya. Fungsi klasifikasi ini adalah untuk
mempermudahkan kita dalam penelusuran terhadap benda-
benda yang ingin kita peroleh secara cepat dan cepat.

345
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Adapun benda-benda yang dapat kita klasifikasikan di


perpustakaan adalah bahan pustaka yang merupakan koleksi
perpustakaan. Bahan-bahan pustaka memiliki beberapa ciri,
misalnya pengarang, bentuk fisik, subjek ukuran besar atau
kecilnya, warna kulit atau sampulnya, dan lain-lain. Setiap
dokumen dapat dikelompokkan pada setiap ciri tersebut.
Secara umum klasifikasi terbagi dalam dua jenis, yaitu:
a. Klasifikasi artifisial (artificial classification), yaitu klasifikasi
bahan pustaka berdasarkan sifat-sifat yang secara
kebetulan ada pada bahan pustaka tersebut. Misalnya,
bahan pustaka berdasarkan warna kulit buku: buku yang
berwarna merah dikelompokkan dengan warna merah,
warna kuning dengan warna kuning, dan sebagainya. Atau
mungkin bahan pustaka yang dikelompokkan berdasarkan
tinggi bukunya: buku yang tingginya 20 cm dikelompokkan
dengan buku 20 cm, 25 cm dengan 25 cm, dan seterusnya.
Pengelompokan semacam ini hanya baik untuk buku-buku
tertentu saja, seperti skripsi suatu jurusan ditentukan
warna, sehingga pengelompokannya dominan berdasarkan
warna. Sementara untuk buku-buku umum, pengelom-
pokan ini tidak efektif digunakan, apalagi pada saat
perkembangan modern sekarang ini.
b. Klasifikasi fundamental (fundamental classification), yaitu
klasifikasi bahan pustaka berdasarkan isi atau subjek buku,
yaitu sifat yang tetap pada bahan pustaka sekali pun
kulitnya berganti-ganti atau formatnya diubah.
Klasifikasi kedua inilah yang paling sesuai digunakan
dalam era sekarang ini. Dengan ini dapat diperoleh
keuntungan sebagai berikut.
a. Buku-buku yang sama atau mirip isinya akan terletak
berdekatan

346
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku

b. Memudahkan dalam mengadakan perimbangan koleksi


yang dimiliki
c. Memudahkan dalam mengadakan penelusuran
terhadap bahan pustaka menurut subjek
d. Memudahkan dalam pembuatan bibliografi menurut
pokok masalah.
Dari kedua jenis klasifikasi di atas, dapat diketahui
kegunaan klasifikasi bagi perpustakaan, yaitu:
b. Untuk menyusun buku-buku dalam penyimpanannya di
rak. Untuk kepentingan ini, buku diberi label yang berisi
tanda buku yang salah satu unsurnya adalah notasi
klasifikasi.
c. Untuk menyusun katalog berdasarkan nomor klasifikasi
(classified catalog).

b. Alat bantu klasifikasi


Dalam sistem klasifikasi ini Dewey membagi seluruh
bidang ilmu pengetahuan menjadi 9 bidang pengetahuan.
Masing-masing bidang diberi simbol berupa angka Arab: 1—
9. Karena dalam sistem klasifikasi DDC ini suatu notasi
sekurang-kurangnya terdiri atas 3 buah angka Arab, maka
dalam pembagian pertama ditambah 00 menjadi 100–900.
Di samping itu, terdapat satu bidang yang bersifat umum
yang diberi simbol 000, sehingga menjadi 10 bidang.
Kesepuluh bidang ini merupakan pengelompokan pertama
dalam sistem DDC, dan menjadi kelas utama (main classes),
yaitu:
000- Karya Umum
100- Filsafat
200- Agama
300- Ilmu Sosial

347
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

400- Bahasa
500- Ilmu Murni
600- Ilmu Terapan
700- Kesenian
800- Kesusasteraan
900- Sejarah dan Geografi
Setiap kelas utama dibagi lagi secara desimal menjadi 10
divisi yang merupakan subordinasi dari kelas utama tersebut.
Misalnya, kelas utama 300 (Ilmu Sosial) dibagi menjadi 10
divisi sebagai berikut:
300- Ilmu-Ilmu Sosial
310- Statistik
320- Politik
330- Ekonomi
340- Hukum
350- Administrasi Umum
360- Masalah Sosial dan Pelayanan Sosial
370- Pendidikan
380- Perdagangan, Komunikasi, dan Transportasi
390- Adat Istiadat, Cerita Rakyat
Selanjutnya, divisi dapat dibagi ke dalam seksi-seksi
secara desimal. Misalnya, divisi 370 (Pendidikan) dibagi
menjadi 10 seksi sebagai berikut:
370- Pendidikan
371- Faktor-faktor Pendidikan
372- Pendidikan Dasar
373- Pendidikan Menengah
374- Pendidikan Dewasa

348
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku

375- Kurikulum
376- Pendidikan Wanita
377- Sekolah dan Agama
378- Pendidikan Tinggi
379- Pendidikan dan Negara
Setiap seksi dapat dibagi lagi menjadi 10 subseksi yang
merupakan subordinasi dari seksi. Misalnya, untuk kelas 371
(Faktor-faktor Pendidikan) dibadi menjadi 10 subseksi sebagai
berikut:
371 - Faktor-faktor Pendidikan
371.1 - Mengajar dan Pengajar
371.2 - Administrasi Pendidikan
371.3 - Metode Belajar dan Mengajar
371.4 - Bimbingan dan Penyuluhan
371.5 - Disiplin Sekolah
371.6 - Sarana Fisik Sekolah
371.7 - Kesehatan dan Keselamatan Sekolah
371.8 - Peserta Didik (Siswa)
371.9 - Pendidikan Khusus
Perlu diingat, jika dalam sistem DDC notasinya melebihi
3 angka, penulisan notasi angkanya menggunakan tanda titik
(.) setelah angka ketiga seperti 371.1, 371.2, 371.3 dan
sebagainya.
Masing-masing subseksi dapat dibagi lagi menjadi 10
bagian yang lebih kecil. Demikian seterusnya hingga semakin
spesifik suatu subjek akan mendapat notasi yang lebih panjang
sesuai hierarki atau tingkat pembagiannya. Notasi-notasi yang
telah dikembangkan untuk seluruh bidang pengetahuan telah

349
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

terdaftar dalam bagan DDC dan merupakan notasi-notasi


dasar yang siap digunakan (enumerated).
Di samping menyediakan notasi-notasi yang siap pakai
tadi, DDC juga memberi kemungkinan untuk membentuk
notasi dengan menggunakan notasi dasar ditambah dengan
notasi tambahan yang tersedia dalam DDC sebagai
kelengkapan bagan.
Sering suatu subjek dari hasil analisis subjek tidak cukup
dicerminkan dengan notasi dasar yang siap pakai ini
sebagaimana telah tersedia dalam bagan klasifikasi. Karenanya
perlu pembentukan notasi sesuai dengan sistem klasifikasi
DDC. Misalnya, jika suatu subjek mengandung aspek bentuk,
apakah bentuk penyajian, bentuk fisik atau intelektual, aspek
bentuk tersebut sedapat mungkin harus diwujudkan dalam
notasi.
Dalam sistem klasifikasi DDC, pembentukan notasi dapat
dilakukan dengan fasilitas notasi-notasi tambahan
sebagaimana yang tercantum dalam tabel-tabel tambahan atau
sesuai dengan petunjuk yang terdapat dalam notasi dasar,
yaitu:
- Tabel 1 Notasi Subdivisi Standar (Standar Subdivision)
- Tabel 2 Notasi Wilayah (Area Table)
- Tabel 3 Notasi Bentuk Sastra
- Tabel 4 Notasi Bentuk Bahasa
- Tabel 5 Notasi Ras, Etnis dan Kebangsaan
- Tabel 6 Notasi Bahasa-bahasa sesuai petunjuk yang
terdapat dalam bagan DDC.
Pada DDC Edisi XXII, tabel 7 (kelompok orang)
ditiadakan dan penggunaannya diintegrasikan dengan tabel
1. Cara menggabungkan notasi-notasi tambahan pada notasi
dasar dari bagan klasifikasi adalah sebagai berikut:

350
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku

1. Tabel 1 Notasi Subdivisi Standar


Notasi bentuk ini diambil dari notasi tambahan
Subdivisi Standar yang secara ringkas meliputi bentuk
sebagai berikut:
-01 : Filosofi
-02 : Bunga Rampai
-022 : Manual, Pedoman, Petunjuk
-03 : Kamus, Ensiklopedi
-04 : Kekhususan
-05 : Majalah
-06 : Organisasi
-07 : Belajar Mengajar
-072 : Hasil Penelitian
-08 : Kumpulan
-09 : Sejarah
Dalam sistem klasifikasi DDC terdapat 5 cara untuk
penggunaan Subdivisi Standar ini.
a. Tidak terdapat petunjuk (instruksi)
Adakalanya pada suatu notasi terdapat petunjuk
untuk menambahkan notasi Subdivisi Standar, tapi
kebanyakan notasi tidak disertai petunjuk penggu-
naannya.
1) Notasi Dasar dengan angka terakhir 0
Jika suatu notasi terakhir dengan angka 0, sebelum
ditambahi notasi Subdivisi Standar (SS), terlebih
dahulu angka 0 pada notasi dasar dibuang
kemudian ditambah notasi Subdivisi Standar yang
diperlukan. Contoh:

351
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

720 - Arsiktektur
-03 - Kamus (notasi S S)
72 + 03 = 720.3 - Kamus Arsitektur
2) Notasi Dasar tanpa angka akhir 0
Notasi Dasar yang tanpa angka akhir 0, cukup
digabung dengan notasi Subdivisi Standar (SS) yang
diperlukan. Contoh:
334 - Koperasi
-05 - Majalah (notasi SS)
334 + 05 = 334.05 - Majalah Koperasi
b. Ada petunjuk penggunaan notasi Subdivisi
Standar
1) Terdaftar di dalam bagan
Adakalanya dalam bagan terdapat Notasi Dasar
yang telah tergabung dengan Notasi Subdivisi
Standar. Dalam hal ini tidak perlu lagi melakukan
penggabungan notasi. Gunakan saja notasi yang
telah terdaftar dalam bagan. Contoh:
101 - Teori Filsafat
109 - Sejarah Filsafat
2) Terdaftar sebagian dalam bagan
Jika sebagian Notasi Dasar telah terdaftar disertai
notasi Subdivisi Standar, gunakan seperti pola yang
telah terdaftar apa adanya. Contoh:
551.1 - Geologi, Metereologi, Hidrologi
551.2 - Struktur dan Sifat-sifat Bumi
3) Jika terdapat petunjuk, sedangkan belum ada
contoh yang terdaftar, ikuti sesuai petunjuk.

352
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku

2. Tabel 2 Notasi Wilayah (Area Table)


Tabel Notasi Wilayah secara ringkas adalah sebagai
berikut:
-4 Eropa
-42 Inggris/ Britania Raya
-43 Jerman dan sekitarnya
-44 Perancis dan Monaco
-45 Italia
-46 Jazirah Liberia, Spanyol dan Portugal
-47 Eropa Timur dan Rusia
-48 Scandinavia
-49 Bagian Eropa lainnya
-5 Asia
-51 Cina dan wilayah sekitarnya
-52 Jepang dan wilayah sekitarnya
-53 Jazirah Arab dan wilayah sekitarnya
-54 Asia Selatan dan India
-55 Iran
-56 Timur Tengah
-57 Siberia
-58 Asia Tengah Afganistan
-59 Asia Tenggara
-591 Burma
-593 Thailand
-594 Laos
-595 Malaysia, Brunai, Singapore
-596 Kamboja
-597 Vietnam

353
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

-598 Indonesia
-599 Philipina
-6 Afrika
-61 Afrika Utara, Tunisia, Libya
-62 Mesir dan Sudan
-64 Afrika Barat
-7 Amerika Utara
-71 Canada
-72 Amerika Tengah dan Mexico
Guatemala, Honduras, El Salvador, Nikaragua,
Kostarika, Kuba, Jamaika, Poerto Rico, Haiti
-73 Amerika Serikat
-8 Amerika Selatan
-9 Bagian dunia yang lain
-94 Australia
-95 Papua Nugini
-96 Polinesia, Mikronesia, Hawaii
(selengkapnya, lihat pada tabel 2 DDC)
Kadang-kadang suatu subjek mempunyai aspek
geografis yang perlu dinyatakan dalam notasi. Seperti,
“Angkatan Laut Indonesia” dalam notasi perlu dinyatakan
selain Notasi Dasarnya (Angkatan Laut) juga notasi
wilayah “Indonesia”. Untuk keperluan wilayah ini, DDC
mempunyai tabel wilayah (tabel 2) yang mendaftar notasi-
notasi wilayah di seluruh dunia.
Notasi wilayah (NW) seperti halnya notasi Subdivisi
Standar (SS) dalam penggunaannya tidak pernah berdiri
sendiri, melainkan ditambahkan pada Notasi Dasar (ND)
dengan cara tertentu sebagai berikut:

354
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku

a. Ada petunjuk penggunaan


Adakalanya suatu notasi disertai petunjuk penggunaan
NW yang berbunyi “Add area notations from table 2 to
base number…” tambahkan notasi wilayah dari tabel 2
pada Angka Dasar, kadang-kadang didahului “Geo-
graphical Treatment”, dan sebagainya. Seperti:
334, 335, 346
Tambahkan notasi wilayah 3-9 dari tabel 2 pada Angka
Dasar.
Dalam hal ini, penambahan ND dengan NW dilakukan
dengan mengikuti petunjuk sepenuhnya. Seperti:
Hukum Pidana di Indonesia 345+598 = 345.598
b. Tidak terdapat petunjuk penggunaan NW
Jika tidak dijumpai petunjuk penggunaan NW,
penambahan NW pada ND dilakukan sebagai berikut:
1. Terlebih dahulu ND ditambah dengan -09 dari SS
2. NW ditambahkan pada ND + 09
Contoh, “Angkatan Laut Indonesia”
359 - Angkatan laut
-09 - Notasi SS
-598 - NW Indonesia
359.095 98 - Angkatan Laut Indonesia
c. Menentukan notasi geografi wilayah
Notasi geografi suatu wilayah dapat ditentukan dengan
menggunakan NW dari tabel 2 DDC dengan cara
sebagai berikut:

355
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

1. Tentukan ND 910
2. Buang angka terakhir 0
3. Tambahkan NW yang bersangkutan
Contoh: Geografi Jepang
910 - Geografi
-52 - NW Jepang dari tabel 2 DDC
91 + 52 = 915.2 - Geografi Jepang
d. Menentukan notasi sejarah dengan NW
Subjek sejarah yang dikaitkan dengan wilayah, dalam
DDC mendapat notasi 930–999, sementara geografi
kewilayahan memperoleh notasi 913–919. Jika
dikaitkan dengan tabel 2 (NW), terdapat mekanisme
yang hampir sama, yaitu ND ditambah dengan NW.
Bedanya, dalam pembentukan notasi sejarah suatu
wilayah digunakan ND 9(00), sedangkan pada
pembentukan notasi geografi suatu wilayah, ND-nya
adalah 91(0).
Bandingkan notasi-notasi di bawah ini:

-52, -598, dan -42, masing-masing adalah NW untuk


Jepang, Indonesia dan Inggris. Pembentukan notasi
tersebut perlu dilakukan apabila dalam bagan belum
terdapat notasi geografi maupun sejarah dari suatu
wilayah yang bersangkutan.

356
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku

3. Tabel 3 Notasi Bentuk Sastra (NBS)


Dalam notasi 800 (Sastra) dikenal notasi-notasi
bentuk penyajian sastra (Subdivision of Individual Literatures),
yaitu:
- 1 Puisi
-2 Drama
-3 Fiksi
-4 Esai
-5 Pidato
-6 Surat-menyurat
-7 Satire dan Humor
-8 Bunga Rampai
Notasi Bentuk Sastra (NBS) dalam DDC terdapat
dalam tabel 3. Penggunaannya hanya dapat ditambahkan
pada ND sastra bahasa yang bersangkutan apabila dalam
bagan belum terdapat notasi bentuk sastra dari bahasa yang
bersangkutan. Mekanisme pembentukannya adalah:
Notasi Dasar Sastra (NDS) tanpa angka terakhir 0 + NBS.
Seperti:
Drama Belanda = Sastra Belanda + NBS
Drama = 839.31 + -2 = 839.312
Novel Belanda = 839.31 + -3 = 839.313

4. Tabel 4 Notasi Subdivisi Bahasa (NSB)


Dalam kelas 4000 (bahasa) terdapat notasi-notasi yang
disertai notasi-notasi Subdivisi Bahasa (NSB). Secara de-
tail Subdivisi Bahasa sebagaimana yang tercantum dalam
tabel 4 yaitu:
-1 Kode Bahasa Lisan dan Tulis
-2 Etimologi

357
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

-3 Kamus
-5 Tata Bahasa
-6 Prosodi
-7 Bahasa Tidak Baku
-8 Bahasa Baku
-9 Lain-lain
NSB hanya dapat ditambahkan pada ND yang tertera
pada bagan DDC yang belum disertai notasi bentuk bahasa.
Mekanisme penambahannya adalah dengan cara menam-
bahkan NSB pada ND tanpa angka terakhir 0. Contoh:
Tata Bahasa Belanda = ND Belanda + NSB
439.31 + -5 = 439.315
Kamus Bahasa Belanda = 439.31 + -3 = 439.313
Dengan NSB dapat dibentuk kamus Dwibahasa dan
Kamus Poliglot, yang caranya sebagai berikut:
a. Kamus Dwibahasa : Kamus Inggris – Perancis
ND Bahasa (4) + Notasi Bahasa I + NSB + Notasi
Bahasa II
4 + 2 (Inggris) + -3 + 4 (Perancis) = 423.4
b. Kamus Poligot: Kamus Inggris-Perancis-Belanda
ND Bahasa 41(0) + NSB Kamus =
41 + -3 = 413

5. Tabel 5 Notasi Ras, Bangsa dan Kelompok Etnik


(NRE)
Garis besar notasi ras, bangsa dan kelompok etnis
adalah sebagai berikut:
-1 Ras/etnik Amerika Utara
-2 Anglo Saxon, Inggris

358
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku

-3 Nordies
-4 Latin Modern
-5 Rumania
-6 Spanyol, Portugis
-7 Italia
-8 Yunani
-9 Kelompok lain
(untuk lebih lengkap rinciannya dapat dilihat pada
tabel 5 DDC)
Adapun cara pembentukan notasinya sebagai berikut:
a. Terdapat petunjuk
Jika terdapat petunjuk atau instruksi pada ND, ikuti
saja sesuai dengan petunjuk.
Contoh: Subjek Ethnopsychology of Candians
Pada ND 155.84 Ethnopsychology, terdapat petunjuk
sebagai berikut: Add racial, ethnic, national groups 01 –
99 from table 5 to base number 155.84. (Tambahkan ras,
etnik, kelompok kebangsaan 01 – 99 dari tabel 5 pad
angka dasar 155.84).
Jadi, hasilnya 155.84 + -11 (ethnic Canada) = 155.841
1
b. Tidak terdapat petunjuk
Jika tidak terdapat petunjuk pada ND, notasinya dapat
dibentuk sebagai berikut: ND + 089 (SS) + NRE
Contoh:
Untuk subjek Ceramic Arts of Bengalis
783 ND Ceramic Arts
-089 SS untuk Ras (dari tabel 1)

359
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

-914 4 Ras Bengalis (dari tabel 5)


hasilnya = 738.089 914 4 Subjek Ceramic Arts of
Bengalis
6. Tabel 6 Notasi Bahasa-Bahasa (NBB)
Garis besar Notasi Bahasa-bahasa individual adalah:
-1 Bahasa Indonesia
-2 Bahasa Inggris
-3 Bahasa Jerman
-4 Bahasa Perancis
-5 Bahasa Italia
-6 Bahasa Spanyol
-7 Bahasa Latin
-8 Bahasa Yunani
-9 Bahasa-bahasa lain
-91 Bahasa Sanskerta
-92 Bahasa Ibrani
-927 Bahasa Arab
-951 Bahasa Cina
-952 Bahasa Jepang
(untuk lebih lengkap lihat pada tabel 6 DDC)
Cara pembentukan notasinya:
a. Terdapat petunjuk
Jika terdapat petunjuk atau instruksi pada ND, ikuti
saja sesuai dengan petunjuk.
Contoh:
Subjek Alquran dengan Terjemah dalam bahasa Inggris

360
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku

2X1.2 Notasi untuk Alquran dan Terjemah. Ada


petunjuk: Tambahkan notasi bahasa dari tabel 6 DDC pada
notasi 2X1.2
-2 adalah notasi bahasa untuk bahasa Inggris
Jadi, subjek di atas memiliki notasi 2X2.22

b. Tidak terdapat petunjuk


Jika tidak terdapat petunjuk pada ND, notasinya dapat
dibentuk sebagai berikut: ND + -0175(SS) + NBB
Contoh:
Untuk subjek Kitab Injil dalam bahasa Jerman
220 Kitab Injil
-0175 Notasi SS aspek bahasa (dari tabel 1)
-3 Notasi NBB untuk bahasa Jerman
Jadi, hasilnya = 220.175 3 Kitab Injil dalam bahasa
Jerman

7. Pembentukan Notasi dengan Petunjuk untuk


Membagi Lebih Lanjut
Selain dengan notasi tambahan yang tercantum dalam
tabel 1 (Subdivisi Standar = SS), tabel 2 (Notasi Wilayah
= NW), tabel 3 (Notasi Bentuk Sastra = NBS, tabel 4
(Notasi Bentuk Bahasa = NBB), tabel 5 (Notasi Subdivisi
Bahasa = NSB), tabel 5 (Notasi Ras, Bangsa, dan Kelompok
Etnis = NRE), dan tabel 6 (Notasi Bahasa-Bahasa = NBB),
pembentukan notasi juga dapat dilakukan sesuai petunjuk
apabila pada ND terdapat petunjuk lain untuk
mengembangkan/membentuk notasi.
a. Jika pada ND terdapat petunjuk untuk membagi ND
tersebut seperti perincian pada ND yang lain, ikuti
untuk memerinci sesuai petunjuk.

361
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

373.1 Generalities of Secondary Education


Add to base number 373.1 the numbers following 373
in 373.1 - 373.8
373.112 Professional Qualifications of Teachers in Sec-
ondary Education.
b. Jika pada ND terdapat petunjuk untuk menambah ND
dengan ND yang lain, ikuti pembentukan notasinya
sesuai petunjuk.
028.27 Acquisition of Materials, ada petunjuk sebagai
berikut:
Add 001-999 to base number 028.27
300 Social Sciences
028.273 Acquisition Material in Social Sciences
b. Jika pada ND terdapat petunjuk untuk menambah ND
dengan NW dan angka sebagian dari ND yang lain,
ikuti pembentukan notasinya sesuai petunjuk.
345 Criminal Law
345.3–345.9 Special Jurisdiction and Areas, ada
petunjuk sebagai berikut:
Add Areas Notation 3 – 9 to base number 345, then to
the result add the numbers following 345 in 345.01 –
345.087
345.06 Evidence
-094 NW untuk Australia
345.940 Law of Evidence in Australia
Untuk melakukan klasifikasi dengan menggunakan
DDC, maka lebih lengkapnya dapat menggunakan alat
bantu buku bagan klasifikasi persepuluhan Dewey.

362
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku

Deskripsi Bibliografi
Istilah bibliografi berasal dari kata Yunani “biblion” yang
artinya buku dan “graphein” yang artinya menulis (Sulistyo
Basuki: 1991, 421). Jadi, secara etimologis, bibliografi berarti
penulisan buku. Pengertian yang dimaksud dalam operasional
perpustakaan adalah teknik sistematik untuk membuat daftar
deskriptif cantuman tertulis atau yang diterbitkan. Maka,
bibliografi merupakan daftar yang dihasilkan dari kegiatan
tersebut.
Dengan demikian, bibliografi merupakan daftar bahan
pustaka yang lengkap, dengan tidak memberikan komentar
kritis (Sulistyo Basuki: 1991, 421). Tapi, dalam kondisi
sesungguhnya tidak ada bibliografi yang lengkap sesuai
dengan definisi tersebut. Ketidaklengkapan ini terjadi karena
pertimbangan-pertimbangan tertentu. Dalam arti sempit,
daftar bacaan sebenarnya tidak memenuhi persyaratan definisi
bibliografi namun dalam praktiknya daftar bacaan tetap
dianggap sebagai bibliografi.
a. Konsep Pengawasan Bibliografi
Pengawasan bibliografi ialah usaha pengembangan dan
pemeliharaan suatu sistem pencatatan bagi semua bentuk
bahan, baik yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan,
yang berbentuk bahan tercetak, bahan audiovisual dan bentuk
yang lainnya, yang menambah khazanah pengetahuan dan
informasi. Pengawasan diperlukan agar informasi rekam dapat
dimanfaatkan seoptimal mungkin. Kemajuan segala bidang,
budaya, sains dan teknologi, ilmu sosial, humaniora maupun
semua aspek kehidupan sehari-hari, sangat bergantung dari
adanya sumber ilmu pengetahuan dan informasi yang dikelola
dengan baik sehingga dapat dengan mudah dan cepat diakses
saat diperlukan.

363
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Kesadaran bahwa pengawasan bibliografi yang


menyeluruh sangat perlu, bukanlah hal yang baru. Sejak akhir
abad ke-19 sudah ada upaya untuk merealisasikan gagasan
pengawasan bibliografi tersebut. Paul Otlet dan Henri La
Fontaine merintis adanya gerakan pengawasan ini. Mereka
mengharapkan pengawasan bibliografi ini tidak terbatas pada
buku saja, melainkan juga mencakup akses ke bagian dari
buku, artikel dalam jurnal, laporan penelitian, brosur, paten,
terbitan pemerintah, dokumen kearsipan, foto, dan surat
kabat.
Mereka memprakarsai suatu konferensi yang diadakan
di Brussels pada tahun 1982 untuk membahas bibliografi
universal ini. Salah satu upaya untuk mewujudkannya adalah
dengan didirikannya Institus International de Bibliographie (IIB)
yang bertugas menyusun bibliografi universal. Untuk itu, staf
IIB mengumpulkan dan menelusuri sebanyak mungkin
bibliografi, katalog perpustakaan, katalog penerbit, dan toko
buku, serta daftar-daftar lain, untuk mengidentifikasi terbitan-
terbitan di seluruh dunia. Hingga tahun 1929, hampir 60 juta
entri disalin pada kartu dengan tulisan tangan lalu disusun
menurut subjek. Pada awalnya, untuk penyusunan itu
digunakan sistem Dewey Decimal Classification. Kemudian Uni-
versal Decimal Classification dibuat khusus untuk menyusun
bibliografi universal tersebut. (Irma U Aditirto: 1).
Sampai tahun empat puluhan pelaksanaan pengawasan
bibliografi masih bertolak dari pendekatan sentralisasi.
Unesco, misalnya, dalam program pengawasan bibliografinya
merencanakan pembentukan suatu pusat bibliografi yang akan
menangani koordinasi semua kegiatan perpustakaan dan
badan bibliografi seluruh dunia dan menerbitkan berbagai
sarana bibliografi, seperti katalog induk dan bibliografi.
Namun, tidak lama kemudian fokus berubah, karena mulai

364
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku

timbul kesadaran bahwa keterlibatan badan-badan atau pusat-


pusat nasional sangat perlu.
Tahun 1958 diadakan pertemuan Symposium of National
Libraries in Europe, bertempat di Wina Austria, dan
menghasilkan peran perpustakaan nasional dan tanggung
jawabnya dalam pengembangan pengawasan bibliografi
nasional, yaitu:
1. Perpustakaan Nasional bertanggung jawab atas pengadaan
dan pelestarian seluruh hasil produk tercetak di negaranya.
2. Perpustakaan Nasional harus mengoordinasikan usaha-
usaha untuk mendapatkan bahan luar negeri yang penting
bagi negaranya.
3. Perpustakaan Nasional harus menggalakkan penggunaan
peraturan standar untuk penyusunan katalog.
4. Perpustakaan Nasional bertanggung jawab atas jasa dan
layanan bibliografi negaranya.
5. Perpustakaan Nasional harus menyusun bibliografi
nasional yang up to date.
Tahun 1961 suatu konferensi internasional diadakan di
Paris, yaitu International Conference on Cataloging Principle
(ICCP) yang membahas prinsip-prinsip penentuan entri dan
tajuk untuk katalog pengarang dan judul. Hasil konferensi
ini dikenal dengan Paris Principles, yang mencakup beberapa
prinsip, antara lain:
- Fungsi katalog - Kepengarangan tunggal
- Struktur katalog - Kepengarangan ganda
- Jenis-jenis entri - Kata utama
- Fungsi dari jenis entri - Entri pada badan korporasi
- Pemilihan tajuk

365
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Sebagai pedoman pengatalogan internasional


perpustakaan tahun 1967, disusunlah buku Anglo American
Cataloging Rules (AACR) yang merupakan follow up dari Paris
Principles setelah banyak melalui proses. Dan, edisi keduanya
dicetak tahun 1978, lalu beberapa tahun kemudian muncul
edisi revisinya yaitu tahun 1988, 1998, dan terakhir tahun
2002.

b. Garis Besar Susunan Deskripsi


Deskripsi bibliogafi disusun atas 8 (delapan) daerah
pokok. Yaitu:
1. Daerah judul dan pengarang
- Judul sebenarnya/asli
- Judul sejajar, judul lain, atau anak judul
- Pernyataan pengarang
2. Daerah edisi
- Pernyataan edisi
- Pernyataan pengarang sehubungan dengan edisi
3. Daerah data khusus
4. Daerah impresum/imprint
- Tempat terbit
- Nama penerbit
- Tahun terbit
5. Daerah kolasi
- Jumlah halaman
- Pernyataan ilustrasi
- Ukuran buku
6. Daerah seri monograf
- Pernyataan seri
- Pernyataan anak seri
366
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku

- Pernyataan nomor seri


- Seri disertasi
- Standar internasional nomor terbitan berseri
7. Daerah catatan/anotasi
8. Daerah ISBN
- Standar internasional nomor buku
Delapan daerah di atas adalah uraian atau deskripsi dari
suatu bahan pustaka monograf yang diperinci dalam suatu
katalog. Dengan asumsi, deskripsi ini merupakan suatu
informasi yang setiap saat bisa digunakan oleh pengguna
untuk mencari atau mengetahui informasi suatu bahan
pustaka, khususnya monograf.
Contoh:
Pada suatu ketika, perpustakaan menerima buku yang ditulis
oleh Wiji Suwarno yang berjudul “Perpustakaan dan Buku”.
Buku itu dicetak pertama kali dan terbit tahun 2009 di Jakarta
oleh penerbit Sagung Seto. Ketebalannya kurang lebih 170
halaman, dengan panjang (tinggi) 21 cm. nampaknya buku
itu sudah terdaftar di Perpustakaan Nasional RI karena sudah
ada nomor standarnya 978-9793-288-643. Subjek buku itu
adalah kecerdasan dan bakat. Buku ini perlu tentunya perlu
diolah sedemikian rupa, sehingga ketika nanti pemustaka
ingin menggunakan, dia akan mudah mencarinya diantara
ribuan buku yang dimiliki perpustakaan. Bagaimana
menentukan deskripsi bibliografinya?
Jawab:
Perhatikan tetap pada 8 (delapan) daerah bibliografi.
Kemudian masing-masing daerah bibliografi tersebut diisi
dengan informasi yang ada pada buku. Jika tidak ada

367
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

informasinya, maka daerah tersebut tidak perlu diisi, tetapi


susunan urutan daerah lainnya tidak boleh diacak.
1. Judul dan penanggung jawab : Perpustakaan dan Buku /
Wiji Suwarno
2. Daerah Edisi : cet.1
3. Data Khusus : -
4. Impresum : Jakarta: Sagung Seto,
2009
5. Kolasi : 170 hlm.; Ilus.; 21 cm.
6. Seri : -
7. Catatan/ Anotasi : -
8. Nomor Standar (ISBN) : 978-9793-288-643
Dari delapan daerah deskripsi bibliografi yang sudah
terinci tersebut kemudian dapat dituliskan dalam bentuk
deskripsi sebagai berikut:

Pengatalogan
Setelah memahami proses klasifikasi, penentuan tajuk
subjek dan deskripsi bibliografi, langkah selanjutnya untuk
melengkapi sistem pengolahan adalah dengan membuat
katalog, yaitu kartu yang berisi keterangan-keterangan
mengenai sebuah buku yang dilayankan. Ukuran katalog
adalah 7.5 cm x 12.5 cm dengan tata pengetikan tertentu
sesuai dengan sistem atau aturan yang berlaku.
Kartu katalog menurut jenisnya ada lima macam, yaitu:
kartu katalog pengarang, judul, subyek, shelflist, dan kartu
katalog subyek klasifikasi. Untuk setiap buku setidaknya

368
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku

memiliki empat jenis, yaitu katalog pengarang, judul, subjek,


dan shelflist (Sumardji: 1978, 41). Katalog bisa dituangkan
di mana saja sesuai selera pengelola bahan pustaka. Hanya
saja, perlu dipertimbangkan kebutuhan pemakai dan jumlah
koleksi yang dimiliki. Misalnya, kalau koleksi dalam jumlah
kecil (baca: perpustakaan pribadi), katalog cukup ditulis pada
buku atau kertas yang difungsikan untuk temu baliknya, tetapi
jika dibuat katalog sebenarnya itu lebih baik.
Untuk perpustakaan, idealnya katalog diketik dalam
kertas khusus katalog. Tata pengetikan kartu katalog tersebut
diatur sebagai berikut:
a) Call Number atau nomor panggil
Call Number diketik di sudut kiri atas, dengan mengetik
nomor kelas yang kira-kira berjarak 1/2 cm dari tepi kiri
dan 1/2 cm dari atas. Kemudan di bawahnya diketikkan 3
(tiga) huruf kependekan nama pengarang, dan kemudian
diketikkan pula 1 (satu) huruf kecil yang diambil dari huruf
paling depan judul yang dicantumkan. Seperti:

b) Nama Pengarang
Nama pengarang diketik mulai dari indensi pertama sejajar
dengan 3 huruf kependekannya pada call number.
Pengetikan nama pengarang diutamakan lebih dahulu
nama keluarganya, kemudian nama kecilnya (nama
depan), dan ditulis dengan huruf kapital untuk kata
pertama nama yang dicantumkan. Seperti:

369
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Nama sebenarnya= Syarifudin Amir


Nama di katalog = AMIR, Syarifudin
c) Judul
Judul diketik pada indensi kedua baris berikutnya di bawah
huruf ke-4 cantuman nama pengarang. Jika ada judul
tambahan atau anak judul, diberi tanda titik dua (:) setelah
judul utama dicantumkan. Kemudian diketik pula nama
pengarang tanpa dibalik dengan dibatasi tanda garis mir-
ing (/) kemudian diteruskan dengan mengetik keterangan
edisi yang dibatasi dengan tanda titik dan strip panjang
atau dua strip (.—). Contoh:
- Jalan Menuju Surga/Jalaludin Saktinaga.—Edisi ke-2.—
- Hukum Perkawinan: Aspek dan proses penetapan/
Romly Kartika.—Edisi ke-1.—
d) Impresum atau Imprint
Impresum atau Imprint diketik setelah pengetikan judul,
pengarang dan keterangan edisi (bila ada) yang dibatasi
dengan tanda “.—” sebelum imprint ini dicantumkan.
Contoh:
- Hukum Perkawinan: Aspek dan proses penetapan/
Romly Kartika.—Edisi ke-1.—Jakarta: Gramedia, 2006.
e) Kolasi
Kolasi diketik mulai indensi kedua baris berikutnya (di
bawah huruf ke-4). Jika tidak cukup diketik pada 1 baris,
lanjutannya diketik pada baris berikutnya mulai indensi
pertama. Contoh:
ix, 241 hlm.: Ilus.; 21 cm.

370
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku

f) Anotasi atau catatan


Anotasi diketik di bawah kolasi dan diberi jarak satu spasi.
Anotasi ini tidak selalu digunakan di setiap katalog, karena
hanya sebagai catatan khusus bagi buku yang memiliki
ciri khusus dan perlu diberikan catatan. Contoh:
- Catatan: Buku ini berdasarkan KBK
g) Tracing atau Jejakan
Tracing adalah keterangan lebih lanjut mengenai buku yang
bersangkutan. Diketik lurus dengan indensi pertama pada
deskripsi bibliografi di atasnya. Ditulis dengan angka
untuk menuliskan subjek atau kata kunci temu baliknya,
dan angka romawi untuk keterangan judul, dan pengarang
setelah pengarang utama. Contoh:
1. Ekonomi 2. Akuntansi I. Judul
II. Aris, Yudi III. Rambe, Arifin
Jadi, pengetikan katalog bisa dilakukan jika konsep
kerangka penulisannya telah dibuat atau diketahui. Berikut
bagan kerangka penulisan dalam katalog:

Contoh
(lihat kembali pada contoh pada saat pembahasan deskripsi
bibliografi)

371
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Dari contoh tersebut sudah diperoleh deskripsi


bibliografi. Sehingga untuk katalog, tinggal menentukan
tajuk subjeknya dan notasi untuk nomor panggil.
Diketahui bahwa daerah deskripsi bibliografi adalah
sebagai berikut
1. Judul dan penanggung jawab : Perpustakaan dan Buku/
Wiji Suwarno
2. Daerah Edisi : cet.1
3. Data Khusus : -
4. Impresum : Jakarta: Sagung Seto,
2009
5. Kolasi : 170 hlm.; Ilus.; 21 cm.
6. Seri : -
7. Catatan/ Anotasi : -
8. Nomor Standar (ISBN) : 978-9793-288-643
Dari delapan daerah deskripsi bibliografi yang sudah
terinci tersebut kemudian dapat dituliskan dalam bentuk
deskripsi sebagai berikut:

Untuk menentukan subjeknya menggunakan analisis


subjek bahwa
Disiplin ilmu : Filsafat
Fenomena : Perpustakaan dan buku
Faset :-
Fokus :-
Bentuk : Buku

372
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku

Atau bisa juga menggunakan model pendekatan PMEST


(P) Personality : Perpustakaan
(M) Matter : Perpustakaan dan buku
(E) Energy : -
(S) Space : -
(T) Time : -
Sehingga susunannya adalah sebagaimana rumus
DISIPLIN/ PMEST/ BENTUK
Adalah sebagai berikut
FILSAFAT/ PERPUSTAKAAN, PERPUSTAKAAN DAN
BUKU/ BUKU
Jadi intinya, buku yang berjudul “Perpustakaan Dan
Buku” ini termasuk pada :
Kategori kelas utama : FILSAFAT
Subjeknya adalah PERPUSTAKAAN.
Bentuk penyajiannya adalah berupa BUKU.
Adapun notasinya dapat merujuk ke bagan klasifikasi
DDC di kelas utama filsafat (100) yang membahas tentang
perpsutakaan (120).
Maka ditemukan notasi dari buku tersebut adalah 120.
Sehingga nomor panggil untuk buku itu adalah disusun
sebagai berikut:
Nomor panggil : 120
3 huruf awal nama akhir pengarang (kalau dibalik): SUW
1 hurup pertama judul buku : p
Penulisannya pada katalog adalah sebagai berikut

373
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Maka antara deskripsi bibliografi, notasi dan nomor


panggil, serta subjeknya dapat dicantumkan dalam katalog
sebagai berikut:

Pelabelan dan Atributnya


a. Pelabelan
Pelabelan adalah pemasangan label pada punggung buku
yang berisi call number sesuai dengan yang tertulis dalam
katalog. Pelabelan ini sebaiknya diketik pada kertas label
putih, atau pada kertas HVS biasa yang digunting satu ukuran
(seragam), sesuai dengan kebutuhan perpustakaan.
Pemasangan dilakukan setelah call number sudah dicantumkan,
dan tinggi label pada buku harus sama (misalnya 3 cm dari
bawah), agar jika buku dijajarkan akan tampak rapi.

374
Pengelolaan Bahan Pustaka Jenis Buku

Pelabelan adalah berdasarkan nomor panggil yang sudah


ditentukan, maka jika melihat contoh yang dikemukakan
sebelumnya, label untuk buku “Perpustakaan dan Buku”
adalah”

b. Blanko kartu buku


Blanko kartu buku ini berukuran tertentu yang berisi isian
ataupun kolom untuk diisi dengan keterangan-keterangan
yang berfungsi sebagai kartu kendali atau arsip peminjaman.
Blanko itu memuat keterangan-ketarangan seperti:
- Call number - Nama peminjam
- Nama pengarang - Tanggal peminjaman
- Judul buku - Tanggal kembali
- Nomor induk buku - Paraf

375
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

c. Pemasangan kantong kartu buku


Kantong kartu buku dibuat dari kertas yang agak lebih
tebal dan dibuat dengan perkiraan bisa untuk tempat kartu
buku. Kantong ini berfungsi sebagai tempat kartu buku yang
ditempel di bagian belakang (sampul) dalam buku.
Kantong ini ada baiknya jika ditandai pula dengan
keterangan seperti call number, nama pengarang, dan judul
buku yang berfungsi sebagai kontrol untuk kartu buku yang
tidak sesuai.
Sebagai catatan khusus, bagi perpustakaan yang telah
menggunakan sistem komputerisasi atau automasi, kartu
katalog berikut kelengkapan buku seperti kartu buku, kantong
kartu ada baiknya tetap digunakan. Paling tidak, sebagai
alternatif kendali jika suatu ketika listrik padam atau pro-
gram automasi mengalami gangguan.

376
DAFTAR PUSTAKA

Aly, Hery Noer, Ilmu Pendidikan Islam, Logos, Jakarta, 1999.


Amirudin, Teuku, Reorientasi Manajemen Pendidikan Islam di Era
Indonesia Baru, UII Press, Yogyakarta, 2000.
Anas, Azwar (ed.), Kompetensi Perguruan Tinggi Islam Swasta
dalam Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua, Tiara
Wacana, Yogyakarta, 1993.
Atmodiriwo, Soebagio, Manajemen Pendidikan Indonesia,
Ardadizya Jaya, Jakarta, 2000.
Azizy, A.Qodri, Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran Is-
lam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
Azra, Azyumardi, Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan
Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1998.
Dubrin, A, Leadership: Research Findings, Practices and
Skills,Third, 2001.
Arsyad, Azhar, Pokok-pokok Manajemen, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2002.
Badrudin dkk., Administrasi Pendidikan, Insan Mandiri,
Bandung, 2004.
Barmawi & Arifin, Manajemen Sarana dan Prasarana Sekolah,
Ar-Ruzz Media, Yogyakarta, 2004.
Chirzin, Habib, Dari Nilai Salaf Hingga Etik Baru, P3M, Jakarta,
tt.

377
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Dhofier, Zamakhsyari (ed.), Kebijakan Departemen Agama dari


Masa ke Masa dalam Kurun Setengah Abad, Balitbang Depag
RI, RaharjoJakarta, 1996.
Engkoswara & Aan Komariah, Administrasi Pendidikan,
Alfabeta, Bandung, 2011.
Evans, David, Supervisory Management, : Holf,Rinchart and
Wiston, London, 1981.
Fadjar, Malik, Madrasah dan Tantangan Modernitas, Mizan,
Bandung, 1999.
Fatah, Nanang, Landasan Manajemen Pendidikan, PT. Remaja
Rosdakarya Bandung, 2000.
Feisal, Jusuf Amir, Reorientasi Pendidikan Islam, Gema Insani
Press, Jakarta, 1995.
Furchan, Arif, Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia, Gama
Media, Yogyakarta, 2004.
Gary Zukav, The Seat of The Soul, An Inspiring Vision of Humanity’s
Spiritual Destiniy, Rider and Co., London, 1991 .
George R. Terry, Prinsip-prinsip Manajemen, Bumi Aksara,
Jakarta, 2003.
Hardjosoedarmo, Soewarso, Total Quality Management, Andi,
Yogyakarta, 1999.
Hartani, A, Manajemen Pendidikan, LaksBang PRESSindo,
Yogyakarta, 2011.
Hasan, Ani M.”Pengembangan Profesional Guru Di abad
Pertengahan”. Pendidikan Network 24 Maret 2006.
Hasibuan, Malayu SP., Manajemen (Dasar, Pengertian dan
Masalah), CV. Haji Masagung, Jakarta, 1993.
_________________, Manajemen Sumber Daya Manusia, CV. Haji
Masagung, Jakarta, 1994.
Hasyim, Dahlan, Madrasah dan Tantangan Modernitas, Mizan,
Bandung, 1999.
378
Daftar Pustaka

Henry L. Sisk, Principle of Management, South Western Pub-


lishing Company, Ohio, 1969.
Hikmat, Manajemen Pendidikan, Pustaka Setia, Bandung, 2009.
Houston, Robert, Competency Based Education, Science Research
Associates, US RaharjoA, 1972.
Ismail SM (ed.), Pendidikan Islam, Demokrasi dan Masyarakat
Madani, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.
Kadarmansi dan Jusuf Udaya, Pengantar Ilmu Manajemen, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992.
Komarudin, Ensiklopedia manajemen Pendidikan, Alumni,
Bandung, 1972.
Luthans, Fred, Organizational Behavior, MC.Graw-Hill,
America, 1992.
Mahfudz, M.A. Sahal, Madrasah dari Masa ke Masa, dalam
Nuansa Fiqh Sosial, LKiS, Yogyakarta, 1994.
Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya, Logos
Wacana Ilmu, Jakarta, 1999.
Mansur, Diskursus Pendidikan Islam, Global Pustaka Utama,
Yogyakarta, 2001 .
______, Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, Global Pustaka
Utama, Yogyakarta, 2004.
______, Sejarah Sarekat Islam dan Pendidikan Bangsa, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2004.
______, Pendidikan dan Globalisasi, Pilar Humania, Yogyakarta,
2005.
______, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,
Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Depag
Pusat, Jakarta, 2005 .
______, “Materi Seminar/Lokakarya Pengembangan Silabus
Pengawas SMP se Jateng”, di Hotel Dibya Puri
Semarang, Selasa 19 September 2006 .
379
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

Mansur dkk., Implementasi KBK Pada Madrasah Tsanawiyah di


Jawa Tengah, Kantor Wilayah Departemen Agama
Provinsi Jawa Tengah, 2006.
Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional
dalam Abad 21, Safiria Insani Press, Yogyakarta, 2003.
Mas’ud, Abdurrahman, Antologi Studi Agama dan Pendidikan,
Aneka Ilmu, Semarang 2004.
Mufarrok, Anissatul, Strategi Belajar Mengajar, Teras,
Yogyakarta, 2009.
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan
Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2002.
Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakter dan
Implementasi, Rosdakarya, Bandung, 2004.
Mulyono.2010. ManajemenAdministrasidanOrganisasiPendidikan.
Solo: AR-RUZZ.
Munandar, Utami, Creativity and Education, UI, Jakarta, 1977.
Muslih Usa, (ed.), Pendidikan Islam di Indonesia, Antara Cita
dan Fakta, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1991.
Muttowi, Ibrahim Isnad, Al Ushul al Idariyah li at Tarbiyah,
Daral Suruqi, Riyadh, 1996.
Nawawi, Hadari, ManajemenStategik, UGM Press, Yogyakarta,
2005.
Nawawi, Hadari, Administrasi Pendidikan, PT. Gunung Agung,
Jakarta, 1996 .
Nurcholis, Manajemen BerbasisSekolah, Jakarta, Gramedia Widia
Sarana, 2003.
Pidarta, Made, Manajemen Pendidikan Indonesia, BinaAksara,
Jakarta, 1988.
____________,ManajemenPendidikan Indonesia, Rineka Cipta,
Jakarta, 2004.
380
Daftar Pustaka

Price, Kingsley, Education and Philoshopical Thought, Allyn and


Bacon, USA, 1965.
Purwanto, Ngalim, Administrasi dan Supervisi Pendidikan,
Remaja Rosdakarya, Bandung,1998.
Raharjo, Dawam, Kyai dalam Perubahan Social, P3M, Jakarta,
tt.
Sagala, Syaiful, AdministrasiPendidikanKontemporer, Alfabeta,
Bandung, 2010.
Salis, Edward, Total Quality Management in Education, Kogan
Page, London, 1993.
Sashkin,Marshall and Kisser Kenneth,Putting Total Quality
Management to Work, Berret- Kohler Publisher, San Fran-
cisco, 1993.
Siagian, Sondang P, FilsafatAdministrasi, CV. Hajimasagung,
Jakarta, 1990.
Soetopo, Hendiat dkk., Pengantar Operasional Administrasi
Pendidikan, Usaha Nasional, Surabaya, 1982.
Steenbrink, Karel A., Pesantren, Madrasah, dan Sekolah:
Pendidikan Islam dalam Kurun Modern LP3ES, Jakarta,
1974.
Sudjana, Nana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum Sekolah,
Sinar Baru Algesindo, Bandung, 1995.
Sukiswa, Iwa, Dasar Dasar Umum Manajemen Pendidikan,
Tarsito, Bandung, 1986.
Sutisna, Oteng, Administrasi Pendidikan: Dasar Teoritis untuk
Praktik Profesional, Penerbit Angkasa, Bandung, 1999.
Suryosubroto, ManajemenPendidikan di Sekolah, RinekaCipta,
Jakarta, 2004.
Sulistyo, Pengantar Ilmu Perpustakaan, Gramedia Jakarta, 1991.
Suwarno, Wiji, Dasar-Dasar Ilmu Perpustakaan, Arruz Media,
Yogyakarta, 2006.
381
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

————————- Pengetahuan Dasar Kepustakaan: Sisi Penting


Perpustakaan dan Pustakawan, Ghalia Indonesia, Jakarta,
2009.
————————- Ilmu Perpustakaan dan Kode Etik
Pustakawan, Arruz Media, Yogyakarta, 2010.
Syafarudin, ManajemenMutuTerpaduDalamPendidikan: Konsep
Strategis dan Aplikasi, PT.GramediaWidiasarana Indone-
sia, Jakarta, 2002.
Thoha, Miftah, Kepemimpinan Dalam Manajemen: Suatu
Pendekatan Perilaku, PT Raja Grapindo Persada, Jakarta,
1995.
Tholkhah, Imam, Sejarah Perkembangan Madrasah, Proyek
Peningkatan Madrasah Aliyah, Jakarta, 1998.
Tilaar, HAR, Manajemen Pendidikan Nasional, Rosdakarya,
Bandung, 2004.
__________, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional
dalam Perspektif Abad 21, Tera Indonesia, Magelang, 1998.
Usman, Husaini, Manajemen: Teori, PraktikdanRiset Pendidikan,
BumiAksara, Jakarta, 2008.
____________,Manajemen: Teori, Praktek dan Riset Pendidikan,
Bumi Aksara Jakarta, 2010.
Ya’qub, Hamzah, Etos Kerja Islami; Petunjuk Pekerjaan yang Halal
dan Haram dalam Syariat Islam, Pedoman Ilmu Jaya,
Bandung, 2003.
al-Yasu’I, Abu Luwis, al-Munjid fî al-Lughah al Munjid fî al-Alam,
Dâr al-Masyriq, Beirut, t.t)
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Mutiara,
Jakarta, 1979.

382
TENTANG PENULIS

Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd, lahir di


Brebes, dari pasangan H.Kalyubi
Hadisusanto dan Hj.Siti Roiyah Irfan.
Pendidikan formal diawali di SD Negeri 1
Brebes, SMP Negeri 1 Brebes, SMF
(Sekolah Menengah Farmasi) Yogyakarta
dan SMA P Yogyakarta. Kemudian
melanjutkan ke IKIP Negeri Yogyakarta
(S1) dan Universitas Negeri Yogyakarta (S2).
Pendidikan Non Formal diawali dengan ikut ngaji pada
Ustadz Ahsan Ali dan Ustadz Amu’i, di Kota Baru Brebes.
Kemudian mengikuti pendidikan di Madrasah Diniyah di
Gandasuli dilanjutkan di Lembaga Pendidikan Ihsaniyah di
Kleben Brebes.
Pengalaman pekerjaan dimulai dari guru SPG
Pusponegoro Brebes, kemudian mengajar di SMA
Pusponegoro Brebes. Dilanjutkan menjadi dosen luar biasa
di IAIN Sunan Gunung Djati Cirebon dan mengajar di Sekolah
Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) “Islamic Centre” Cirebon. Setelah
diangkat menjadi CPNS di IAIN “SGD” Cirebon ditempatkan
sebagai staf perpustakaan sambil mengajar dengan status
tenaga pengajar. Setahun kemudian (1989) menjadi dosen

383
Dra. Hj. Siti Farikhah, M.Pd

tetap di IAIN SGD Cirebon (sekarang IAIN Syekh Nurjati


Cirebon). Tahun 1998 mutasi ke STAIN Salatiga (sekarang
IAIN Salatiga) sampai sekarang.
Organisasi yang digeluti saat ini antara lain Pengurus
Wanita Islam PD.Kab.Temanggung, Pembina Forum
Mahasiswa Asal Temanggung di Salatiga (FORMATAS),
Divisi penelitian dan pendidikan PSGK IAIN Salatiga dan
sebagainya.
Karya buku yang disusun, antara lain Administrasi
Pendidikan, Evaluasi Pendidikan, Evaluasi Pembelajaran
untuk TK, Evaluasi pengajaran untuk PGMI/SD. Manajemen
Lembaga Pendidikan. Kemudian buku Menelisik Jender
Dalam Konstruksi Sosial (Tim) dan Madrasah dan Lingkungan
Hidup (Tim). Disamping itu beberapa tulisan yang dimuat
pada jurnal At Tarbiyah dan Mudarisa.

384

Anda mungkin juga menyukai