Anda di halaman 1dari 37

TUGAS KEPERAWATAN ANAK

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN PENYAKIT DHF

DOSEN PEMBIMBING :
Ns. Novita Kusumarini, M.Kep

DISUSUN OLEH :
Fitria Ade Serlina
P031914472005

POLTEKES KEMENKES RIAU PROGRAM STUDI DIII


KEPERAWATAN DILUAR KAMPUS UTAMA
TAHUN AJARAN 2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat
dan Ridho-Nya penulis dapat diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah
tentang “Asuhan Keperawatan Anak Dengan DHF”. Dalam penyusunan makalah ini
penulis banyak mengalami hambatan dan kesulitan namun dengan bimbingan serta
pengarahan serta dukungan dari berbagai pihak, akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kebaikan selanjutnya.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para
pembaca sebelumnya.

Ukui, 16 Januari 2021

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar…………………………………………………………….. 2

Daftar Isi………………………………………………………………….. 3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.............................................................................. 4
B. Rumusan Masalah.......................................................................... 5
C. Tujuan Penulisan............................................................................ 5

BAB II TINJAUAN TEORITIS

A. Definisi…………………………………………………………… 7
B. Etiologi…………………………………………………………… 8
C. Patofsiologi………………………………………………………. 9
D. Tanda dan Gejala………………...………………………………. 11
E. Klasifikasi……………………………………………………….. 12
F. Komplikasi………………………………………………………. 14
G. Pemeriksaan Penunjang…...…………………………………… 15
H. Penatalaksanaan DHF pada anak………………………………. 16
I. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan…………………………… 23

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan……………………………………………………… 35
B. Saran……………………………………………………………. 35

3
Daftar Pustaka

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sampai saat ini telah di ketahui beberapa nyamuk sebagai vector dengue,
walaupun Ae.aegypti di perkirakan sebagai vector utama penyakit dengue
hemorrahagic fever (DHF), pengamatan epidemiologis dan percobaan
penularan di laboratorium membuktikan bahwa Ae.Scuttelaris dan
Ae.Polinesiensis yang terdapat di kepulauan pasifik selatan dapat menjadi
vector demam dengue. Di kepulauan Rotuma di daerah Fiji padawa itu terjadi
wabah demam dengue pada tahun 1971 – 1972. Ae.retumae di laporkan satu-
satunya vector yang ditemukan. Di pulauponape, kepulauan caroline sebelah
timur pada tahun 1974 terjadi letupan wabah dengue; virus dengue tipe 1 telah
berhasil diisolasi pada stadium akut dari darah penderita dan ternyata
Ae.hakansoni merupakan vektornya. Ae, cooki di duga merupakan vector pada
waktu terjadi pada wabah demam dengue di niue.
Di Indonesia, walaupun vector DHF belum di selidiki secara luas.
Ae.Aegypti diperkirakan sebagai vector terpenting di daerah perkotaan,
sedangkan Ae.albopictus di daerah pedesaan. Di Indonesia Dengue
Hemorrhagic Fever pertama kali di curigai di Surabaya pada tahun 1968, tetapi
konfirmasi virology baru di peroleh pada tahun 1970. Setelah itu berturutturut
di laporkan kasus dari kota di Jawa maupun dari luar Jawa, dan pada tahun
1994 telah menyebar keseluruh propinsi yang ada. Pada saat ini Dengue
Hemorrhagic Fever sudah endemis di banyak kota besar, bahkan sejak 1975

4
penyakit ini telah berjangkit di daerah pedesaan. Oleh karena itu sudah
seharusnya semua tenaga medis yang bekerja di Indonesia untuk mampu
mengenali dan mendiagnosisnya, kemudian dapat melakukan penatalaksanaan,
sehingga angka kematian akibat Demam Berdarah Dengue dapat ditekan.
Infeksi virus dengue pada manusia terutama pada anak mengakibatkan
suatu spectrum manifestasi klinis yang bervariasi antara penyakit ringan (mild
undifferentiated febrile illness), dengue fever, dengue hemorrhagic fever (DHF)
dan dengue shock syindrome (DSS); yang terakhir dengan mortalitas tinggi di
sebabkan renjatan dan perdarahan hebat . gambaran manifestasi klinis yang
bervariasi ini dapat di samakan dengan sebuah gunung es. DHF dan DSS
sebagai kasus - kasus yang dirawat di rumah sakit merupakan puncak gunung es
yang kelihatan di atas permukaan laut, sedangkan kasus - kasus dengue ringan
(demam dengue dan silent dengue infection) merupakan dasar gunung es. Di
perkirakan untuk setiap kasus renjatan yang dijumpai di Rumah sakit, telah
terjadi 150 – 200 kasus silent dengue infection.
B. Rumusan Masalah

a) Apa itu Definisi penyakit DHF ?

b) Bagaimana etiologi DHF ?

c) Bagaimana manifestasi klinis DHF ?

d) Bagaimana patofisiologi DHF ?

e) Apa saja pemeriksaan penunjang penyakit DHF ?

f) Bagaiamana cara pencegahan penyakit DHF ?

g) Bagaimana penatalaksanaan penyakit DHF ?

h) Bagaimana asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit DHF ?

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum

5
Setelah membaca makalah ini, di harapkan mahasiswa dapat
memberikana asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit DHF (dengue
hemorrhagic fever)
2. Tujuan khusus

a) Mahasiswa dapat menjelaskan Definisi penyakit DHF

b) Mahasiswa dapat menjelaskan etiologi DHF

c) Mahasiswa dapat menjelaskan manifestasi klinis DHF

d) Mahasiswa dapat menjelaskan patofisiologi DHF

e) Mahasiswa dapat menyebutkan pemeriksaan penunjang penyakit DHF

f) Mahasiswa dapat menjelaskan pencegahan penyakit DHF

g) Mahasiswa dapat menerapkan penatalaksanaan penyakit DHF

h) Mahasiswa dapat memberikan asuhan keperawatan pada anak dengan


penyakit DHF

6
BAB II
TEORI/TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi

DHF atau dikenal dengan istilah demam berdarah adalah penyakit yang
disebabkan oleh Arbovirus ( arthro podborn virus ) dan ditularkan melalui
gigitan nyamuk Aedes (Aedes Albopictus dan Aedes Aegepty).
Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah penyakit demam yang
berlangsung akut menyerang baik orang dewasa maupun anak – anak tetapi
lebih banyak menimbulkan korban pada anak – anak berusia di bawah 15 tahun
disertai dengan perdarahan dan dapat menimbulkan syok yang disebabkan
virus dengue dan penularan melalui gigitan nyamuk Aedes. (Soedarto, 1990 ;
36). Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah penyakit yang terutama terdapat
pada anak dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi, dan biasanya
memburuk pada dua hari pertama (Soeparman; 1987; 16).
Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah penyakit demam akut yang
disertai dengan adanya manifestasi perdarahan, yang bertendensi
mengakibatkan renjatan yang dapat menyebabkan kematian (Arief Mansjoer
&Suprohaita; 2000; 419). Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah infeksi
akut yang disebabkan oleh Arbovirus (arthropodborn virus) dan ditularkan
melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus. (Ngastiyah,
1995 ; 341). Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah suatu penyakit infeksi
yang disebabkan oleh virus dengue dengan tipe I – IV dengan infestasi klinis

7
dengan 5 – 7 hari disertai gejala perdarahan dan jika timbul tengatan angka
kematiannya cukup tinggi (UPF IKA, 1994 ; 201).
Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang terdapat pada
anak dan orang dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan nyeri sendi
yang disertai ruam atau tanpa ruam. DHF sejenis virus yang tergolong arbo
virus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes
aegepty (betina) (Seoparman , 1990). DHF adalah demam khusus yang dibawa
oleh aedes aegepty dan beberapa nyamuk lain yang menyebabkan terjadinya
demam. Biasanya dengan cepat menyebar secara efidemik. (Sir,Patrick
manson,2001). Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah suatu penyakit akut
yang disebabkan oleh virus yang ditularkan oleh nyamuk aedes aegepty
(Seoparman, 1996).
B. Etiologi Virus
1. Dengue
Virus dengue yang menjadi penyebab penyakit ini termasuk ke dalam
Arbovirus (Arthropodborn virus) group B, tetapi dari empat tipe yaitu virus
dengue tipe 1,2,3 dan 4 keempat tipe virus dengue tersebut terdapat di
Indonesia dan dapat dibedakan satu dari yang lainnya secara serologis virus
dengue yang termasuk dalam genus flavivirus ini berdiameter 40 nonometer
dapat berkembang biak dengan baik pada berbagai macam kultur jaringan
baik yang berasal dari sel – sel mamalia misalnya sel BHK (Babby Homster
Kidney) maupun sel – sel Arthropoda misalnya sel aedes Albopictus.
(Soedarto, 1990; 36).
2. Vektor

Virus dengue serotipe 1, 2, 3, dan 4 yang ditularkan melalui vektor yaitu


nyamuk aedes aegypti, nyamuk aedes albopictus, aedes polynesiensis dan
beberapa spesies lain merupakan vektor yang kurang berperan.infeksi
dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup

8
terhadap serotipe bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap
serotipe jenis yang lainnya (Arief Mansjoer &Suprohaita; 2000; 420).
Nyamuk Aedes Aegypti maupun Aedes Albopictus merupakan vektor
penularan virus dengue dari penderita kepada orang lainnya melalui
gigitannya nyamuk Aedes Aegyeti merupakan vektor penting di daerah
perkotaan (Viban) sedangkan di daerah pedesaan (rural) kedua nyamuk
tersebut berperan dalam penularan. Nyamuk Aedes berkembang biak pada
genangan Air bersih yang terdapat bejana – bejana yang terdapat di dalam
rumah (Aedes Aegypti) maupun yang terdapat di luar rumah di lubang –
lubang pohon di dalam potongan bambu, dilipatan daun dan genangan air
bersih alami lainnya ( Aedes Albopictus). Nyamuk betina lebih menyukai
menghisap darah korbannya pada siang hari terutama pada waktu pagi hari
dan senja hari. (Soedarto, 1990 ; 37).
3. Host

Jika seseorang mendapat infeksi dengue untuk pertama kalinya maka ia


akan mendapatkan imunisasi yang spesifik tetapi tidak sempurna, sehingga
ia masih mungkin untuk terinfeksi virus dengue yang sama tipenya maupun
virus dengue tipe lainnya. Dengue Haemoragic Fever (DHF) akan terjadi
jika seseorang yang pernah mendapatkan infeksi virus dengue tipe tertentu
mendapatkan infeksi ulangan untuk kedua kalinya atau lebih dengan pula
terjadi pada bayi yang mendapat infeksi virus dengue untuk pertama kalinya
jika ia telah mendapat imunitas terhadap dengue dari ibunya melalui
plasenta. (Soedarto, 1990 ; 38).

C. Patofisiologi
Virus akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypty.
Pertamatama yang terjadi adalah viremia yang mengakibatkan penderita
mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal diseluruh tubuh,

9
ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekie), hyperemia tenggorokan dan
hal lain yang mungkin terjadi seperti pembesaran kelenjar getah bening,
pembesaran hati (Hepatomegali) dan pembesaran limpa (Splenomegali).

Kemudian virus akan bereaksi dengan antibody dan terbentuklah


kompleks virusantibody. Dalam sirkulasi akan mengaktivasi system
komplemen. Akibat aktivasi C3 dan C5 akan dilepas C3a dan C5a, dua peptida
yang berdaya untuk melepaskan histamine dan merupakan mediator kuat
sebagai factor meningkatnya permeabilitas dinding kapiler pembuluh darah
yang mengakibatkan terjadinya perembesan plasma ke ruang ekstra seluler.

Pembesaran plasma ke ruang ekstra seluler mengakibatkan berkurangnya


volume plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, dan hipoproteinemia serta
efusi dan renjatan (syok). Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit > 20 %)
menunjukkan atau menggambarkan adanya kebocoran (perembesan) plasma
sehingga nilai hematokrit menjadi penting untuk patokan pemberian cairan
intravena.
Terjadinya trobositopenia, menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya
faktor koagulasi (protombin dan fibrinogen) merupakan faktor penyebab
terjadinya perdarahan hebat , terutama perdarahan saluran gastrointestinal pada
DHF. Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler dibuktikan dengan
ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga
peritoneum, pleura, dan pericard yang pada otopsi ternyata melebihi cairan
yang diberikan melalui infus.
Setelah pemberian cairan intravena, peningkatan jumlah trombosit
menunjukkan kebocoran plasma telah teratasi, sehingga pemberian cairan
intravena harus dikurangi kecepatan dan jumlahnya untuk mencegah terjadinya
edema paru dan gagal jantung, sebaliknya jika tidak mendapatkan cairan yang
cukup, penderita akan mengalami kekurangan cairan yang dapat mengakibatkan
kondisi yang buruk bahkan bisa mengalami renjatan.

10
Jika renjatan atau hipovolemik berlangsung lama akan timbul anoksia
jaringan, metabolik asidosis dan kematian apabila tidak segera diatasi dengan
baik. Gangguan hemostasis pada DHF menyangkut 3 faktor yaitu : perubahan
vaskuler, trombositopenia dan gangguan koagulasi. Pada otopsi penderita
DHF, ditemukan tanda-tanda perdarahan hampir di seluruh tubuh, seperti di
kulit, paru, saluran pencernaan dan jaringan adrenal.

D. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala penyakit DHF adalah :

- Meningkatnya suhu tubuh (Demam tinggi selama 5 – 7 hari -Mual,


muntah, tidak ada nafsu makan, diare, konstipasi.

11
- Nyeri kepala menyeluruh atau berpusat pada supra orbita, retroorbita
-Perdarahan terutama perdarahan bawah kulit, ptechie, echymosis,
hematoma.
- Epistaksis, hematemisis, melena, hematuri.
- Nyeri otot, tulang sendi, abdoment, dan ulu hati.
- Pembengkakan sekitar mata.
- Pembesaran hati, limpa, dan kelenjar getah bening.
- Tanda-tanda renjatan (sianosis, kulit lembab dan dingin, tekanan darah
menurun, gelisah, capillary refill lebih dari dua detik, nadi cepat dan
lemah).

E. Klasifikasi

Menurut derajat ringannya penyakit, Dengue Haemoragic Fever (DHF)


dibagi menjadi 4 tingkat (UPF IKA, 1994 ; 201) yaitu :

12
1) Derajat I

Panas 2 – 7 hari , gejala umumtidak khas, uji tourniquet hasilnya positif

2) Derajat II

Sama dengan derajat I di tambah dengan gejala – gejala pendarahan spontan


seperti petekia, ekimosa, epimosa, epistaksis, haematemesis, melena,
perdarahan gusi telinga dan sebagainya.

3) Derajat III

Penderita syok ditandai oleh gejala kegagalan peredaran darah seperti nadi
lemah dan cepat (> 120 / menit) tekanan nadi sempit (< 20 mmHg) tekanan
darah menurun (120 / 80 mmHg) sampai tekanan sistolik dibawah 80
mmHg.

4) Derajat IV

Nadi tidak teraba,tekanan darah tidak terukur (denyut jantung > - 140
mmHg) anggota gerak teraba dingin, berkeringat dan kulit tampak biru.

WHO, 1986 mengklasifikasikan DHF menurut derajat penyakitnya


menjadi 4 golongan, yaitu :
- Derajat I

Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan. Panas 2-7
hari, Uji tourniquet positif, trombositipenia, dan hemokonsentrasi.
- Derajat II

Sama dengan derajat I, ditambah dengan gejala-gejala perdarahan spontan


seperti petekie, ekimosis, hematemesis, melena, perdarahan gusi.
- Derajat III

Ditandai oleh gejala kegagalan peredaran darah seperti nadi lemah dan
cepat

13
(>120x/mnt ) tekanan nadi sempit (  120 mmHg ), tekanan darah
menurun, (120/80  120/100  120/110  90/70  80/70  80/0 
0/0 )

- Derajat IV

Nadi tidak teraba, tekanan darah tidak teatur (denyut jantung 


140x/mnt) anggota gerak teraba dingin, berkeringat dan kulit tampak biru.

Derajat (WHO 1997):

- Derajat I : Demam dengan test rumple leed positif.


- Derajat II : Derajat I disertai dengan perdarahan spontan dikulit atau
perdarahan lain.
- Derajat III: Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun/ hipotensi disertai dengan kulit dingin lembab dan
pasien menjadi gelisah.
-Derajat IV : Syock berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan
darah tidak dapat diukur.

F. Komplikasi
1) DHF mengakibatkan pendarahan pada semua organ tubuh, seperti
pendarahan ginjal, otak, jantung, paru paru, limpa dan hati. Sehingga tubuh
kehabisan darah dan cairan serta menyebabkan kematian.
2) Ensepalopati.
3) Gangguan kesadaran yang disertai kejang.
4) Disorientasi, prognosa buruk.

G. Pemeriksaan penunjang

14
Untuk mendiagnosis Dengue Haemoragic Fever (DHF) dapat dilakukan
pemeriksaan dan didapatkan gejala seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
juga dapat ditegakan dengan pemeriksaan laboratorium yakni :
- Trombositopenia (< 100.000 / mm3) , Hb dan PCV meningkat (> 20%)
leukopenia (mungkin normal atau leukositosis), isolasi virus, serologis (UPF
IKA, 1994).
- Pemeriksaan serologik yaitu titer CF (complement fixation) dan anti bodi HI
(Haemaglutination ingibition) (Who, 1998 ; 69), yang hasilnya adalah
• Pada infeksi pertama dalam fase akut titer antibodi HI adalah kurang dari
1/20 dan akan meningkat sampai < 1/1280 pada stadium rekovalensensi
pada infeksi kedua atau selanjutnya, titer antibodi HI dalam fase akut >
1/20 dan akan meningkat dalam stadium rekovalensi sampai lebih dari
pada 1/2560.
• Apabila titer HI pada fase akut > 1/1280 maka kadang titernya dalam
stadium rekonvalensi tidak naik lagi. (UPF IKA, 1994 ; 202)
- Pada renjatan yang berat maka diperiksa : Hb, PCV berulangkali (setiap jam
atau 4-6 jam apabila sudah menunjukan tanda perbaikan) faal haemostasis x-
foto dada, elektro kardio gram, kreatinin serum.
- Laboratorium: Trombositopenia (< 100.000/ uL) dan terjadi
hemokonsentrasi lebih dari 20%.

Secara singkat, pemeriksaan penunjang yang menunjukkan DHF :


a. Darah
1) Trombosit menurun.

2) HB meningkat lebih 20 %

3) HT meningkat lebih 20 %

4) Leukosit menurun pada hari ke 2 dan ke 3

15
5) Protein darah rendah

6) Ureum PH bisa meningkat

7) NA dan CL rendah

b. Serology : HI (hemaglutination inhibition test).

1) Rontgen thorax : Efusi pleura.

2) Uji test tourniket (+)

H. Penatalaksaan DHF pada anak

Pada dasarnya pengobatan pasien Dengue Haemoragic Fever (DHF)


bersifat simtomatis dan suportif (Ngastiyah, 12995 ; 344). Dengue Haemoragic
Fever (DHF) ringan tidak perlu dirawat, Dengue Haemoragic Fever (DHF)
sedang kadang – kadang tidak memerlukan perawatan, apabila orang tua dapat
diikutsertakan dalam pengawasan penderita di rumah dengan kewaspadaan
terjadinya syok yaitu perburukan gejala klinik pada hari 3-7 sakit ( Purnawan
dkk, 1995 ; 571)
Indikasi rawat tinggal pada dugaan infeksi virus dengue (UPF IKA,
1994 ; 203) yaitu:

- Panas 1-2 hari disertai dehidrasi (karena panas, muntah, masukan kurang)
atau kejang–kejang.

- Panas 3-5 hari disertai nyeri perut, pembesaran hati uji torniquet
positif/negatif, kesan sakit keras (tidak mau bermain), Hb dan Ht/PCV
meningkat.
- Panas disertai perdarahan- perdarahan.

- Panas disertai renjatan.

16
Belum atau tanpa renjatan:

1.Alur Tatalaksana Pemberian Cairan DHF Derajat I dan II

Sedangkan penatalaksanaan Dengue Haemoragic Fever (DHF) menurut


UPF IKA, 1994 ; 203 – 206 adalah:
Hiperpireksia (suhu 400C atau lebih) diatasi dengan antipiretika dan
“surface cooling”. Antipiretik yang dapat diberikan ialah golongan
asetaminofen,asetosal tidak boleh diberikan
- Umur 6 – 12 bulan : 60 mg / kali, 4 kali sehari
- Umur 1 – 5 tahun : 50 – 100 mg, 4 sehari
- Umur 5 – 10 tahun : 100 – 200 mg, 4 kali sehari

17
- Umur 10 tahun keatas : 250 mg, 4 kali sehari.
a. Oral ad libitum atau
b. .cairan
- Infus cairan ringer laktat dengan dosis 75 ml / kg BB / hari untuk anak
dengan BB < 10 kg atau 50 ml / kg BB / hari untuk anak dengan BB <
10 10 kg bersama – sama di berikan minuman oralit, air bauh susu
secukupnya.
- Untuk kasus yang menunjukan gejala dehidrasi disarankan minum
sebanyak – banyaknya dan sesering mungkin.
- Apabila anak tidak suka minum sama sekali sebaiknya jumlah cairan
infus yang harus diberikan sesuai dengan kebutuhan cairan penderita
dalam kurun waktu 24 jam yang diestimasikan sebagai berikut :
• 100 ml/Kg BB/24 jam, untuk anak dengan BB < 25 Kg

• 75 ml/KgBB/24 jam, untuk anak dengan BB 26-30 kg

• 60 ml/KgBB/24 jam, untuk anak dengan BB 31-40 kg

• 50 ml/KgBB/24 jam, untuk anak dengan BB 41-50 kg

Obat-obatan lain :

• antibiotika apabila ada infeksi sekunder lain

• antipiretik untuk anti panas

• darah 15 cc/kgBB/hari perdarahan hebat.

Dengan renjatan:

18
2.Alur Tatalaksana Pemberian Cairan DHF Derajat III

Sedangkan penatalaksanaan Dengue Haemoragic Fever (DHF) menurut


UPF IKA, 1994 ; 203 – 206 adalah.
a. Berikan infus Ringer Laktat 20 mL/KgBB/1 jam
Apabila menunjukkan perbaikan (tensi terukur lebih dari 80 mmHg dan
nadi teraba dengan frekuensi kurang dari 120/mnt dan akral hangat)
lanjutkan dengan Ringer Laktat 10 mL/KgBB/1jam. Jika nadi dan tensi
stabil lanjutkan infus tersebut dengan jumlah cairan dihitung berdasarkan
kebutuhan cairan dalam kurun waktu 24 jam dikurangi cairan yang sudah
masuk dibagi dengan sisa waktu ( 24 jam dikurangi waktu yang dipakai
untuk mengatasi renjatan ). Perhitungan kebutuhan cairan dalam 24 jm
diperhitungkan sebagai berikut :
• 100 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dengan BB < 25 Kg

• 75 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dng berat badan 26-30 Kg.

• 60 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dengan BB 31-40 Kg.

• 50 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dengan BB 41-50 Kg.

19
b. Apabila satu jam setelah pemakaian cairan RL 20 mL/Kg BB/1 jam keadaan
tensi masih terukur kurang dari 80 mmHg dan nadi cepat lemah, akral dingin
maka penderita tersebut memperoleh plasma atau plasma ekspander (dextran
L atau yang lainnya) sebanyak 10 mL/ Kg BB/ 1 jam dan dapat diulang
maksimal 30 mL/Kg BB dalam kurun waktu 24 jam. Jika keadaan umum
membai dilanjutkan cairan RL sebanyk kebutuhan cairan selama 24 jam
dikurangi cairan yang sudah masuk dibagi sisa waktu setelah dapat
mengatasi renjatan.
Perhitungan kebutuhan cairan seperti yang tertera pada 2.a.
c. Apabila satu jam setelah pemberian cairan Ringer Laktat 10 ml/Kg BB/ 1
jam keadaan tensi menurun lagi, tetapi masih terukur kurang 80 mmHg dan
nadi cepat lemah, akral dingin maka penderita tersebut harus memperoleh
plasma atau plasma ekspander (dextran L atau lainnya) sebanyak 10 ml/Kg
BB/ 1 jam. Dan dapat diulang maksimal 30 mg/Kg BB dalam kurun waktu
24 jam. Jika keadaan umum membaik dilanjutkan dengan cairan RL dengan
perhitungan sebagai berikut : kebutuhan cairan selama 24 jam dikurangi
cairan yang sudah masuk dibagi sisa waktu setelah dapat mengatasi renjatan.
Perhitungan kebutuhan cairan seperti yang tertera pada 2.a.

20
3. Alur Tatalaksana Pemberian Cairan DHF Derajat IV

Sedangkan penatalaksanaan Dengue Haemoragic Fever (DHF) menurut


UPF IKA, 1994 ; 203 – 206 adalah.
a. Berikan cairan RL sebanyak 30 ml/Kg BB/1 jam, bila keadaan baik (T > 80
mmHg dan nadi < 120 x/menit, akral hangat lanjutkan dengan RL sebanyak
10 ml/Kg BB/1 jam. Jika keadaan umum tidak stabil infus RL dilanjutkan
sampai perhitungan sebagai berikut : Kebutuhan cairan selama 24 jam
dikurangi cairan yang sudah masuk dibagi sisa waktu setelah dapat
mengatasi renjatan.Perhitungan kebutuhan cairan seperti yang tertera pada
2.a.
b. Apabila setelah pemberian Rl 30 ml/Kg BB/ 1 jam keadaan umum masih
buruk. Tensi tak terukur dan nadi tak teraba maka klien harus dipasang infus

21
2 tempat dengan maksud satu tempat untuk RL 10ml/Kg BB/1 jam dan
tempat lain untuk pemberian plasma atau plasma ekspander (dextran L atau
lainnya) sebanyak 20 ml/Kg BB/1 jam selama 1 jam. Jika keadaan umum
membaik lanjutkan pemberian RL dengan perhitungan sebagai berikut :
Kebutuhan cairan selama 24 jam dikurangi cairan yang sudah masuk dibagi
sisa waktu setelah dapat mengatasi renjatan. Perhitungan kebutuhan cairan
seperti yang tertera pada 2.a.
c. Apabila setelah pemberian Rl 30 ml/Kg BB/ 1 jam keadaan umum masih
buruk. Tensi tak terukur secara palpasi dan nadi teraba cepat lemah, akral
dingin maka klien ini sebaiknya diberikan plasma atau plasma ekspander
(dextran L atau lainnya) sebanyak 20 ml/Kg BB/1 jam. Jika keadaan umum
membaik lanjutkan pemberian RL dengan perhitungan sebagai berikut
:Kebutuhan cairan selama 24 jam dikurangi cairan yang sudah masuk dibagi
sisa waktu setelah dapat mengatasi renjatan. Perhitungan kebutuhan cairan
seperti yang tertera pada 2.a.
d. Apabila setelah pemberian Rl 30 ml/Kg BB/ 1 jam keadaan umum membaik
tetapi tensi terukur kurang dari 80 mmHg dan nadi > 120 x/menit akral
hangat atau akral dingin maka klien ini sebaiknya diberikan plasma atau
plasma ekspander (dextran L atau lainnya) sebanyak 10 ml/Kg BB/1 jam dan
dapat diulangi maksimal sampai 30 ml/Kg BB/24 jam. Jika keadaan umum
membaik lanjutkan pemberian RL dengan perhitungan sebagai berikut :
Kebutuhan cairan selama 24 jam dikurangi cairan yang sudah masuk dibagi
sisa waktu setelah dapat mengatasi renjatan. Perhitungan kebutuhan cairan
seperti yang tertera pada 2.a.
e. Jika tata laksana grade IV setelah 2 jam sesudah plasma atau plasma
ekspander (dextran L atau lainnya) sebanyak 20 ml/Kg BB/1 jam dan RL 10
ml/Kg BB/1 jam tidak menunjukkan perbaikan T = 0, N = 0 maka klien ini
perlu dikonsultasikan ke bagian anestesi untuk dievaluasi kebenaran cairan
yang dibutuhkan apabila sudah sesuai dengan yang masuk. Dalam hal ini

22
perlu monitor dengan pemasangan CVP, gunakan obat Dopamin,
Kortikosteroid dan perbaiki kelainan yang lain.
f. Jika tata laksana grade IV setelah 2 jam sesudah plasma atau plasma
ekspander (dextran L atau lainnya) sebanyak 20 ml/Kg BB/1 jam dan RL 30
ml/Kg BB/1 jam belum menunjukkan perbaikan yang optimal (T < 80, N >
120 x/menit), maka klien ini perlu diberikan lagi plasma atau plasma
ekspander (dextran L atau lainnya) sebanyak 10 ml/Kg BB/1 jam. Jika reaksi
perbaikan tidak tampak, maka klien ini perlu dikonsultasikan ke bagian
anestesi.
g. Jika tata laksana grade IV sesudah memperoleh plasma atau plasma
ekspander (dextran L atau lainnya) sebanyak 10 ml/Kg BB/1 jam dan RL 30
ml/Kg BB/1 jam belum menunjukkan perbaikan yang optimal (T > 80, N <
120 x/menit), akral dingin maka klien ini perlu diberikan lagi plasma atau
plasma ekspander (dextran L atau lainnya) sebanyak 10 ml/Kg BB/1 jam dan
dapat diulangi maksimal sampai 30 ml/Kg BB/24 jam. Jika reaksi perbaikan
tidak tampak, maka klien ini perlu dikonsultasikan ke bagian anestesi.
Untuk kasus – kasus yang sudah memperoleh cairan 60 mg/Kg BB/2
jam pikirkan bahaya overload dan kemampuan kontraksi yang kurang.
Dalam hal ini klien perlu diberikan Lasix 1 mg/Kg BB/kali dan Dopamin.

I. Konsep Asuhan Keperawatn DHF pada anak


a. Pengkajian

1) identitas
- Umur: DHF merupakan penyakit daerah tropik yang sering menyebabkan
kematian pada anak, remaja dan dewasa ( Effendy, 1995 ).
- Jenis kelamin : secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan pada
penderita DHF. Tetapi kematian lebih sering ditemukan pada anak
perempuan daripada anak lakilaki.

23
- Tempat tinggal : penyakit ini semula hanya ditemukan di beberapa kota
besar saja, kemudian menyebar kehampir seluruh kota besar di Indonesia,
bahkan sampai di pedesaan dengan jumlah penduduk yang padat dan
dalam waktu relatif singkat.

2) Riwayat keperawatan
P (Provocative) : Virus dengue.

Q (Quality) : Keluhan dari ringan sampai berat.

R (Region) : Semua sistem tubuh akan terganggu.

S (Severity) : Dari Grade I, II, III sampai IV.

T (Time) : Demam 5 – 8 hari, ruam 5 – 12 jam.

3) Keluhan Utama
Penderita mengeluh badannya panas (peningkatan suhu tubuh) sakit
kepala, lemah, nyeri ulu hati, mual dan nafsu makan menurun.

4) Riwayat Keperawatan Sekarang


Panas tinggi (Demam) 2 – 7 hari, nyeri otot dan pegal pada seluruh badan
ruam, malaise, mual, muntah, sakit kapala, sakit pada saat menelan, lemah,
nyeri ulu hati dan penurunan nafsu makan (anoreksia), perdarahan spontan.

5) Riwayat Keperawatan Sebelumnya


Tidak ada hubungannya antara penyakit yang pernah diderita dahulu
dengan penyakit DHF yang dialami sekarang, tetapi kalau dahulu pernah
menderita DHF, penyakit itu bisa terulang.

6) Riwayat Kesehatan Keluarga


Riwayat adanya penyakit DHF didalam keluarga yang lain (yang tinggal
didalam satu rumah atau beda rumah dengan jarak rumah yang berdekatan)
sangat menentukan karena ditularkan melalui gigitan nyamuk aides aigepty.

24
7) Riwayat Kesehatan Lingkungan
DHF ditularkan oleh 2 jenis nyamuk, yaitu 2 nyamuk aedes:

- Aedes aigepty: Merupakan nyamuk yang hidup di daerah tropis


terutama hidup dan berkembang biak di dalam rumah, yaitu pada
tempat penampungan air bersih, seperti kaleng bekas, ban bekas,
tempat air minum burung yang jarang diganti airnya, bak mandi jarang
dibersihkan. Dengan jarak terbang nyamuk + 100 meter.
- Aedes albapictus.

8) Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :

Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pertumbuhan dan


perkembangan anak

a. Faktor Keturunan ; yaitu faktor gen yang diturunkan dari kedua orang
tuanya.

b. Faktor Hormonal ; banyak hormon yang berpengaruh terhadap


pertumbuhan dan perkembangan anak, namun yang paling berperan
adalah Growth Hormon (GH).
c. Faktor Gizi ; Setiap sel memerlukan makanan atau gizi yang baik.
Untuk mencapai tumbuh kembang yang baik dibutuhkan gizi yang
baik.
d. Faktor Lingkungan; Terdiri dari lingkungan fisik, lingkungan biologi
dan lingkungan psikososial.
Teori kepribadian anak menurut Teori Psikoseksual Sigmund Freud
meliputi tahap :
a. Fase oral, usia antara 0 - 11/2 Tahun
b. Fase anal, usia antara 11/2 - 3 Tahun

c. Fase Falik, usia antara 3 - 5 Tahun

25
d. Fase Laten, usia antara 5 - 12 Tahun

e. Fase Genital, usia antara 12 - 18 Tahun

Tahap-tahap perkembangan anak menurut Teori Psikososial Erik


Erikson :
a. Bayi (oral) usia 0 - 1 Tahun
b. Usia bermain (Anal ) yakni 1 - 3 Tahun

c. Usia prasekolah (Phallic) yakni 3 - 6 Tahun

d. Usia sekolah (latent) yakni 6 - 12 tahun

e. Remaja (Genital) yakni 12 tahun lebih

f. Remaja akhir dan dewasa muda

g. Dewasa

h. Dewasa akhir

TAHAP TUMBUH KEMBANG ANAK USIA SEKOLAH : 6 – 12


TAHUN

Tahap pertumbuhan

Berat badan pada usia sekolah sebagai pedomannya adalah :

Umur
(tahun) x
7-5
2
Tinggi badan : Umur (tahun) x 6 x 7

Tahap perkembangan, Menurut Teori Psikososial Erik Erikson :

26
Anak usia 6 – 12 tahun termasuk tahap: Industry Versus Inferioritas
(Rendah diri). Berfokus pada hasil akhir suatu pencapaian (membuat
sesuatu sampai selesai). Anak memperoleh kesenangan dari penyelesaian
tugasnya atau pekerjaannya dan menerima penghargaan untuk usahanya.
Jika anak tidak mendapat penerimaan dari teman sebayanya atau tidak
dapat memenuhi harapan orang tuanya, akan merasa rendah diri, kurang
menghargai dirinya untuk dapat berkembang. Jadi fokus pada anak
sekolah adalah pada hasil prestasinya, pengakuan dan pujian dari
keluarganya, guru dan temas sebaya. Perkembangan adalah pengertian
dari persaingan/kompetisi dan kerajinannya.

PEMERIKSAAN FISIK / PENGKAJIAN PERSISTEM

1. Sistem Pernapasan / Respirasi

Sesak, perdarahan melalui hidung (epistaksis), pernapasan dangkal,


tachypnea, pergerakan dada simetris, perkusi sonor, pada auskultasi
terdengar ronchi, effusi pleura (crackless).
2. Sistem CardiovaskulermPada grade I dapat terjadi hemokonsentrasi,
uji tourniquet positif, trombositipeni. Pada grade III dapat terjadi
kegagalan sirkulasi, nadi cepat (tachycardia), penurunan tekanan darah
(hipotensi), cyanosis sekitar mulut, hidung dan jari-jari.Pada grade IV
nadi tidak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.

3. Sistem Persyarafan / neurologi

Nyeri pada bagian kepala, bola mata dan persendian. Pada grade III
pasien gelisah dan terjadi penurunan kesadaran serta pada grade IV
dapat terjadi DSS
4. Sistem perkemihan

Produksi urine menurun, kadang kurang dari 30 cc/jam, akan


mengungkapkan nyeri sat kencing, kencing berwarna merah.

27
5. Sistem Pencernaan / Gastrointestinal

Perdarahan pada gusi, Selaput mukosa kering, kesulitan menelan,


nyeri tekan pada epigastrik, pembesarn limpa, pembesaran pada hati
(hepatomegali) disertai dengan nyeri tekan tanpa diserta dengan
ikterus, abdomen teregang, penurunan nafsu makan, mual, muntah,
nyeri saat menelan, dapat muntah darah (hematemesis), berak darah
(melena).
6. Sistem integumen

Terjadi peningkatan suhu tubuh (Demam), kulit kering, ruam


makulopapular, pada grade I terdapat positif pada uji tourniquet,
terjadi bintik merah seluruh tubuh/ perdarahan dibawah kulit (petikie),
pada grade III dapat terjadi perdarahan spontan pada kulit.

b. Diagnosa keperawatan

- Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi virus dengue

- Resiko defisit cairan berhubungan dengan pindahnya ciran intravaskuler


ke ekstravaskuler
- Resiko syok hypovolemik berhubungan dengan perdarahan yang
berlebihan, pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler
- Resiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang tidak adekwat akibat mual
dan nafsu makan yang menurun.
- Resiko terjadi perdarahn berhubungan dnegan penurunan factor-fakto
pembekuan darah ( trombositopeni )
- Kecemasan berhubungan dengan kondisi klien yang memburuk dan
perdaahan -Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangya
informasi.

28
c. Rencana asuhan keperawatan

DP 1 : Hipertermie berhubungan dengan proses infeksi virus dengue

Tujuan : Suhu tubuh normal

Kriteria hasil : Suhu tubuh antara 36 – 37 Nyeri otot hilang Intervensi :

a. Beri komres air kran

Rasional : Kompres dingin akan terjadi pemindahan panas secara


konduksi

b. Berika / anjurkan pasien untuk banyak minum 1500-2000 cc/hari ( sesuai


toleransi)
Rasional : Untuk mengganti cairan tubuh yang hilang akibat evaporasi.
c. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang tipis dan mudah
menyerap keringat
Rasional : Memberikan rasa nyaman dan pakaian yang tipis mudah
menyerap keringat dan tidak merangsang peningkatan suhu tubuh.
d. Observasi intake dan output, tanda vital ( suhu, nadi, tekanan darah ) tiap
3 jam sekali atau lebih sering.
Rasional : Mendeteksi dini kekurangan cairan serta mengetahui
keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh. Tanda vital merupakan
acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.
e. Kolaborasi : pemberian cairan intravena dan pemberian obat sesuai
program.

Rasional : Pemberian cairan sangat penting bagi pasien dengan suhu


tubuh yang tinggi. Obat khususnyauntuk menurunkan suhu tubuh pasien.

29
DP 2 : . Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan pindahnya
cairan intravaskuler ke ekstravaskuler.
Tujuan : Tidak terjadi devisit voume cairan

Kriteria : Input dan output seimbang

Vital sign dalam batas normal

Tidak ada tanda presyok

Akral hangat

Capilarry refill < 3 detik


Intervensi :
a. Awasi vital sign tiap 3 jam/lebih sering

Rasional : Vital sign membantu mengidentifikasi fluktuasi caira


intravaskuler

b. Observasi capillary Refill

Rasional : Indikasi keadekuatan sirkulasi perifer

c. Observasi intake dan output. Catat warna urine / konsentrasi, BJ

Rasional : Penurunan haluaran urine pekat dengan peningkatan BJ


diduga dehidrasi.
d. Anjurkan untuk minum 1500-2000 ml /hari ( sesuai toleransi )

Rasional : Untuk memenuhi kabutuhan cairan tubuh peroral

e. Kolaborasi : Pemberian cairan intravena

Rasional : Dapat meningkatkan jumlah cairan tubuh, untuk mencegah


terjadinya hipovolemic syok.

30
DP. 3 Resiko Syok hypovolemik berhubungan dengan perdarahan yang
berlebihan, pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler.
Tujuan : Tidak terjadi syok hipovolemik
Kriteria : Tanda Vital dalam batas normal
Intervensi :
a. Monitor keadaan umum pasien

Rasional ; Untuk memonitor kondisi pasien selama perawatan


terutama saat terdi perdarahan. Perawat segera mengetahui tanda-tanda
presyok / syok
b. Observasi vital sign setiap 3 jam atau lebih

Rasional : Perawat perlu terus mengobaservasi vital sign untuk


memastikan tidak terjadi presyok / syok
c. Jelaskan pada pasien dan keluarga tanda perdarahan, dan segera
laporkan jika terjadi perdarahan
Rasional : Dengan melibatkan psien dan keluarga maka tanda-tanda
perdarahan dapat segera diketahui dan tindakan yang cepat dan tepat
dapat segera diberikan.
d. Kolaborasi : Pemberian cairan intravena

Rasional : Cairan intravena diperlukan untuk mengatasi kehilangan


cairan tubuh secara hebat.
e. Kolaborasi : pemeriksaan : HB, PCV, trombo

Rasional : Untuk mengetahui tingkat kebocoran pembuluh darah yang


dialami pasien dan untuk acuan melakukan tindakan lebih lanjut.

DP. 4 Resiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari


kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang tidak adekuat
akibat mual dan nafsu makan yang menurun.

31
Tujuan : Tidak terjadi gangguan kebutuhan nutrisi

Kriteria : Tidak ada tanda-tanda malnutrisi Menunjukkan berat badan


yang seimbang.

Intervensi :

a. Kaji riwayat nutrisi, termasuk makanan yang disukai

Rasional : Mengidentifikasi defisiensi, menduga kemungkinan


intervensi

b. Observasi dan catat masukan makanan pasien

Rasional : Mengawasi masukan kalori/kualitas kekurangan konsumsi


makanan

c. Timbang BB tiap hari (bila memungkinkan )

Rasional : Mengawasi penurunan BB / mengawasi efektifitas


intervensi.

d. Berikan makanan sedikit namun sering dan atau makan diantara waktu
makan
Rasional : Makanan sedikit dapat menurunkan kelemahan dan
meningkatkan masukan juga mencegah distensi gaster.
e. Berikan dan Bantu oral hygiene.

Rasional : Meningkatkan nafsu makan dan masukan peroral

f. Hindari makanan yang merangsang dan mengandung gas.

Rasional : Menurunkan distensi dan iritasi gaster.

32
DP. 5. Resiko terjadi perdarahan berhubungan dengan penurunan factor-
faktor pembekuan darah ( trombositopeni )
Tujuan : Tidak terjadi perdarahan

Kriteria : TD 100/60 mmHg, N: 80-100x/menit reguler, pulsasi kuat

Tidak ada tanda perdarahan lebih lanjut, trombosit meningkat


Intervensi :
a. Monitor tanda-tanda penurunan trombosit yang disertai tanda klinis.

Rasional : Penurunan trombosit merupakan tanda adanya kebocoran


pembuluh darah yang pada tahap tertentu dapat menimbulkan tanda-
tanda klinis seperti epistaksis, ptike.
b. Monitor trombosit setiap hari

Rasional : Dengan trombosit yang dipantau setiap hari, dapat


diketahui tingkat kebocoran pembuluh darah dan kemungkinan
perdarahan yang dialami pasien.
c. Anjurkan pasien untuk banyak istirahat ( bedrest )

Rasional : Aktifitas pasien yang tidak terkontrol dapat menyebabkan


terjadinya perdarahan.
d. Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga untuk melaporkan jika
ada tanda perdarahan spt : hematemesis, melena, epistaksis.
Rasional : Keterlibatan pasien dan keluarga dapat membantu untuk
penaganan dini bila terjadi perdarahan.
e. Antisipasi adanya perdarahan : gunakan sikat gigi yang lunak, pelihara
kebersihan mulut, berikan tekanan 5-10 menit setiap selesai ambil
darah.
Rasional : Mencegah terjadinya perdarahan lebih lanjut.

33
d. Implementasi

Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai


tujuan yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan
disusun dan ditujukan kepada perawat untuk membantu klien mencapai
tujuan yang diharapkan. Adapun tujuan dari pelaksanaan adalah membantu
klien untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, meliputi peningkatan
kesehatan atau penceglahan penyakit, pemulihan kesehatan dari fasilitas
yang dimiliki.

Perencanaan tindakan keperawatan akan dapat dilaksanakan dengan


baik jika klien mempunyai keinginan untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan
tindakan keperawatan. Selama perawatan atau pelaksanaan, perawat terus
melakukan pengumpulan data dan memilih tindakan perawatan yang paling
sesuai dengan kebutuhan klien, dan memprioritaskannya. Semua tindakan
keperawatan dicacat ke dalam format yang telah ditetapkan oleh institusi.

e. Evaluasi

Evaluasi merupakan langkah terakhir proses keperawatan untuk


melengkapi proses keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaan telah
berhasil dicapai, melalui evaluasi memungkinkan perawat untukk memonitor
kealpaan yang terjadi selama tahap pengkajian, analisa perncanaan dan
pelaksanaan tindakan. Meskipun tahap evaluasi diletakkan pada akhir proses
keperawatan, tetapi evaluasi merupakan bagian integral pada setiap tahap
proses keperawatan. Diagnosa juga perlu dievaluasi untuk menetukan
apakah realistis dapat dicapai dan efektif.

34
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang terdapat pada


anak dan orang dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan nyeri sendi
yang disertai ruam atau tanpa ruam. DHF sejenis virus yang tergolong arbo

35
virus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes
aegepty (betina) (Seoparman , 1990). DHF adalah demam khusus yang dibawa
oleh aedes aegepty dan beberapa nyamuk lain yang menyebabkan terjadinya
demam. Biasanya dengan cepat menyebar secara efidemik. (Sir,Patrick
manson,2001).

B. SARAN
Perawat diharapkan dapat melakukan asuhan keperawatan yang lebih
lengkap sesuai dengan keadaan klien serta memantau keadaan pasien tersebut,
karena akan di takutkan adanya Dengue Syok Syndrom dan komplikasi lain
yang mengakibatkan fatal pada klien.Hendaknya penyuluhan kesehatan ini di
jadikan suatu program di ruangan guna meningkatkan pengetahuan klien
tentang penyakitnya.
Klien dan keluarga diharapkan untuk dapat menjaga lingkungan rumah,
dan melaksanakan program pemerintah untuk pemberantasan nyamuk demam
berdarah yaitu dengan melakukan program 3M, menguras tempat penampungan
air, mengubur barang-barang bekas, membersihkan lingkungan rumah dan
sekitarnya.

DAFTAR PUSTAKA

1) Rampengan. 2007. Penyakit infeksi tropik pada anak. Jakarta : EGC

36
2) Supartini Yupi, S.Kp, MSc. 2004. Konsep dasar keperawatan anak. Jakarta :
EGC
3) Suriadi. 2010. Asuhan keperawatan pada anak. Jakarta : cv sagung seto.
4) Doengoes, E Marilyn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3, EGC :
Jakarta
5) Nursalam, dkk. 2008. Asuhan keperawatan bayi dan anak. Jakarta : salemba
medika
6) Hendarwanto. 2003. Ilmu Penyakit Dalam, hal 142, Edisi 3, Jilid I. Jakarta :
EGC
7) Hidayat alimul aziz. 2006. Pengantar ilmu keperawatan anak. Jakarta :
salemba medika

37

Anda mungkin juga menyukai