Anda di halaman 1dari 224

LAPORAN AKHIR

PRAKTIKUM PROSES TEKNIK KIMIA II


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Praktikum Proses Teknik Kimia II

Disusun Oleh:
Kelompok V (A1)

Indriani NIM. 170140052


Efri Marnelisa NIM. 170140067
Dewi Lestari NIM. 170140122
Lisa Andriani NIM. 170140136
M. Firman Maulana NIM. 170140137
Alfathan Ansori AS NIM. 170140141

JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK


UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
LHOKSEUMAWE
2020

`
PERCOBAAN I

PERPINDAHAN PANAS

`
LAPORAN PRAKTIKUM PROSES TEKNIK KIMIA II
PERPINDAHAN PANAS

Diajukan untuk memenuhi Tugas Laporan Praktikum Proses Teknik Kimia II

Disusun Oleh:
Kelompok V (A1)

Indriani NIM. 170140052


Efri Marnelisa NIM. 170140067
Dewi Lestari NIM. 170140122
Lisa Andriani NIM. 170140136
M. Firman Maulana NIM. 170140137
Alfathan Ansori AS NIM. 170140141

JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK


UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
LHOKSEUMAWE
2020

`
ABSTRAK

Perpindahan panas adalah ilmu yang mempelajari tentang kecepatan perpindahan


diantara sumber panas (hot body) dan penerima panas (cold body). Tujuan dari
percobaan ini adalah dapat menghitung luas perpindahan panas berdasarkan data
ukuran pipa, mampu menghitung nilai Uo dan Ui berdasarkan neraca panas,
mampu menghitung Uc, Ud dan Rd serta mampu menggambar grafik hubungan
flowrate vs U. Percobaan ini membahas tentang perpindahan panas dengan
menggunakan alat Shell and Tube Heat Exchanger. Pada percobaan ini dilakukan
dengan 3 run yang memvariasikan bukaan dan suhu air panas. Bukaan air panas
yang divariasikan sebesar 90º, 75º dan 60º, serta bukaan air dingin yang
divariasikan sebesar 60º, 75º dan 90º, dengan suhu air panas sebesar 40ºC, 45ºC
dan 50ºC. Hasil yang diperoleh pada percobaan ini yaitu nilai Uc pada run I, run II
dan run III dengan suhu 40ºC, 45ºC dan 50ºC berturut-turut adalah 3,115, 2,45
dan 2,373. Pada run II adalah 2,47, 2,382 dan 2,38 serta pada run III berturut-turut
adalah 2,704, 2,37 dan 2,232. Nilai Ud pada run I, run II dan run III dengan suhu
40ºC, 45ºC dan 50ºC berturut-turut adalah 11,86, 920,16 dan 28,80. Pada run II
adalah 31,14, 37,89 dan 39,47 serta pada run III berturut-turut adalah 14,95, 18,92
dan 31,72. Semakin kecil bukaan maka laju alirnya semakin kecil. Begitu juga
sebaliknya semakin besar bukaan, maka laju alir yang diperoleh juga semakin
besar.

Kata Kunci: Perpindahan Panas, Shell and Tube Heat Exchanger, Nilai Uc &
Ud.

`
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Judul Praktikum : Perpindahan Panas


1.2 Tanggal Praktikum : 20 Juni 2020
1.3 Pelaksana Praktikum : 1. Indriani (170140052)
2. Lisa Andriani (170140136)
3. M. Firman Maulana (170140137)
4. Alfathan Anshori AS (170140141)
5. Dewi Lestari (170140122)
6. Efri Marnelisa (170140067)
1.4 Tujuan Praktikum :
1. Dapat menghitung luas perpindahan panas berdasarkan ukuran pipa.
2. Dapat menghitung nilai U0 dan Ui berdasarkan neraca panas.
3. Mampu menghitung Uc dan Ud dan Rd
4. Mampu menggambar grafik hubungan flowrate U vs

`
BAB II
TINAJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Heat Exchanger


Sesuai dengan namanya, maka alat penukar kalor (heat exchanger)
berfungsi mempertukarkan suhu antara dua fluida dengan melewati dua bidang
batas. Bidang batas pada alat penukar kalor ini berupa pipa yang terbuat dari
berbagai jenis logam sesuai dengan penggunaan dari alat tersebut. Pada percobaan
ini akan dilakukan pengamatan unjuk kerja alat penukar kalor pipa ganda (double
pipe heat exchanger) yang terdiri dari dua pipa konsentris. Pipa yang berada di
luar dikenal sebagai annulus (shell), sedangkan bagian dalam dikenal sebagai pipa
(tube).

2.2. Prinsip Kerja Heat Exchanger


Heat exchanger adalah heat exchanger antara dua fluida dengan melewati
dua bidang batas. Bidang batas pada heat exchanger adalah dinding pipa yang
terbuat dari berbagai jenis logam. Pada heat exchanger ini, terdapat dari
dua pipa konsentris, yaitu: annullus/shell (pipa yang berada di luar) dan tube
(pipa yang berada di dalam).
Berdasarkan jenis alirannya heat exchanger dibagi menjadi tiga, yaitu:

1. Pararel Flow

Kedua fluida ,mengalir dalam heat exchanger dengan aliran yang searah.
Kedua fluida memasuki HE dengan perbedaan suhu yang besar. Perbedaan
temperatur yang besar akan berkurang seiring dengan semakin besarnya x,
jarak pada HE. Temperatur keluaran dari fluida dingin tidak akan melebihi
temperatur fluida panas.

2. Counter Flow

Berlawanan dengan paralel flow, kedua aliran fluida yang mengalir dalam
HE masuk dari arah yang berlawanan. Aliran keluaran yang fluida dingin
ini suhunya mendekati suhu dari masukan fluida panas sehingga hasil suhu

`
yang didapat lebih efekrif dari paralel flow. Mekanisme perpindahan kalor
jenis ini hampir sama dengan paralel flow, dimana aplikasi dari bentuk
diferensial dari persamaan steady-state:
dQ=U ( T−t ) a ital dL} {¿ (2.1)
dQ=WCdT =wcdt (2.2)

3. Cross flow Heat exchanger

Dimana satu fluida mengalir tegak lurus dengan fluida yang lain. Biasa
dipakai untuk aplikasi yang melibatkan dua fasa. Misalnya sistem
kondensor uap (tube and shell heat exchanger), di mana uap memasuki
shell, air pendingin mengalir di dalam tube dan menyerap panas dari uap
sehingga uap menjadi cair.

2.3 Komponen Penyusun Heat Exchanger

Komponen-komponen dari penyusun Heat Exchanger, terdiri dari:

1. Shell dan Tube

Suatu sillinder yang dilengkapi dengan inlet dan outlet nozzle sebagai
tempat keluar masuknya fluida. Ada 2 jenis tube dalam shell, yaitu finned
tube (tube yang mempunyai sirip (fin) pada bagian luar tube) dan bare
tube (tube dengan permukaan yang rata)

2. Tube Sheet

Tempat untuk merangkai ujung-ujung tube sehingga menjadi satu yang


disebut tube bundle. HE dengan tube lurus pada umumnya menggunakan 2
buah tube sheet. Sedangkan pada tube tipe U menggunakan satu buah tube
sheet yang berfungsi untuk menyatukan tube-tube menjadi tube bundle dan
sebagai pemisah antara tube side dengan shell side.

3. Baffle

`
Berfungsi sebagai penyangga tube, menjaga jarak antar tube, menahan
vibrasi yang disebabkan oleh aliran fluida, dan mengatur aliran turbulen
sehingga perpindahan panas lebih sempurna. Jenis baffle yaitu battle
melintang (segmental, dish and doughnut) dan baffle memanjang.

4. Tie Rods

Batangan besi yang dipasang sejajar dengan tube dan ditempatkan di


bagian paling luar dari baffle yang berfungsi sebagai penyangga agar jarak
antara baffle yang satu dengan lainnya tetap.

2.4 Jenis-Jenis Heat Exchanger


2.4.1 Berdasarkan Fungsinya
1. Heat exchanger
Heat exchanger mengontrol kalor antara dua proses aliran: aliran fluida
panas yang membutuhkan pendinginan ke aliran fluida temperatur rendah
yang membutuhkan pemanasan. Kedua fluida biasanya satu fasa atau suatu
fluida yang berbentuk gas dan lainnya berbentuk cairan.
2. Condenser
Condenser adalah tipe lain dimana hidrokarbon atau gas lainnya yang
mencair sebagian atau seluruhnya dengan pemindahan panas.
3. Cooler – Chiller
Berfungsi memindahkan panas, baik panas sensibel maupun panas laten
fluida yang berbentuk uap kepada media pendingin, sehingga terjadi
perubahan fasa uap menjadi cair. Media pendingin biasanya digunakan air
atau udara. Condensor biasanya dipasang pada top kolom fraksinasi. Pada
beberapa kasus refrijeran biasa digunakan ketika temperatur rendah
dibutuhkan. Pendinginan itu sering disebut ‘chiller’.
4. Reboiler
Digunakan untuk menguapkan kembali sebagian cairan pada dasar kolom
(bottom) distilasi, sehingga fraksi ringan yang masih ada masih teruapkan.
Media pemanas yang digunakan adalah uap (steam). Reboiler bisa

`
dipanaskan melalui media pemanas atau dipanaskan langsung. Yang
terakhir reboilernya adalah furnace atau fire tube.
5. Heater – Superheater
Heater digunakan untuk memanaskan fluida yang memiliki viskositas
tinggi baik bahan baku ataupun fluida proses dan biasanya menggunakan
steam sebagai pemanas. Superheater memanaskan gas dibawah temperatur
jenuh.
2.4.2 Berdasarkan Konstruksinya
1. Tubular Exchanger
a. Double-pipe Heat exchanger
Terdiri dari satu buah pipa yang diletakkan di dalam sebuah pipa lainnya
yang berdiameter lebih besar secara konsentris. Fluida yang satu mengalir
di dalam pipa kecil sedangkan fluida yang lain mengalir di bagian luarnya.
Pada bagian luar pipa kecil biasanya dipasang fin atau sirip memanjang,
hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan permukaan perpindahan panas
yang lebih luas. Double pipe ini dapat digunakan untuk memanaskan atau
mendinginkan fluida hasil proses yang membutuhkan area perpindahan
panas yang kecil (biasanya hanya mencapai 50 m2).
Double-pipe Heat exchanger ini juga dapat digunakan untuk mendidihkan
atau mengkondensasikan fluida proses tapi dalam jumlah yang sedikit.
Kerugian yang ditimbulkan jika memakai Heat exchanger ini adalah
kesulitan untuk memindahkan panas dan mahalnya biaya per unit
permukaan transfer. Tetapi, double pipe Heat exchanger ini juga memiliki
keuntungan yaitu Heat exchanger ini dapat dipasang dengan berbagai
macam fitting (ukuran).
Pada alat ini, mekanisme perpindahan kalor terjadi secara tidak langsung
(indirect contact type), karena terdapat dinding pemisah antara kedua
fluida sehingga kedua fluida tidak bercampur. Fluida yang memiliki suhu
lebih rendah (fluida pendingin) mengalir melalui pipa kecil, sedangkan
fluida dengan suhu yang lebih tinggi mengalir pada pipa yang lebih besar
(pipa annulus). Penukar kalor demikian mungkin terdiri dari beberapa

`
lintasan yang disusun dalam susunan vertikal. Perpindahan kalor yang
terjadi pada fluida adalah proses konveksi, sedang proses konduksi terjadi
pada dinding pipa. Kalor mengalir dari fluida yang bertemperatur tinggi ke
fluida yang bertemperatur rendah.
Kelebihan Double-pipe Heat exchanger:
1. Dapat digunakan untuk fluida yang memiliki tekanan tinggi.
2. Mudah dibersihkan pada bagian fitting
3. Fleksibel dalam berbagai aplikasi dan pengaturan pipa
4. Dapat dipasang secara seri ataupun paralel
5. Dapat diatur sedimikian rupa agar diperoleh batas pressure drop dan
LMTD sesuai dengan keperluan.
6. Mudah bila kita ingin menambahkan luas permukaannya
7. Kalkulasi design mudah dibuat dan akurat

Kekurangan Double-pipe Heat exchanger:


1. Relatif mahal
2. Terbatas untuk fluida yang membutuhkan area perpindahan kalor kecil
(<50 m2)
3. Biasanya hanya digunakan untuk sejumlah kecil fluida yang akan
dipanaskan atau dikondensasikan.

b. Shell and tube


Jenis ini terdiri dari shell yang didalamnya terdapat rangkaian pipa kecil
yang disebut tube bundle. Perpindahan panas terjadi antara fluida yang
mengalir di dalam tube dan fluida yang mengalir di luar tube (pada shell
side). Shell and tube ini merupakan Heat exchanger yang paling banyak
digunakan dalam proses-proses industri.
Keuntungan Shell and Tube Heat exchanger merupakan Heat exchanger
yang paling banyak digunakan di proses-proses industri karena mampu
memberikan ratio area perpindahan panas dengan volume dan massa fluida
yang cukup kecil. Selain itu juga dapat mengakomodasi ekspansi termal,

`
mudah untuk dibersihkan, dan konstruksinya juga paling murah di antara
yang lain. Untuk menjamin bahwa fluida pada shell-side mengalir
melintasi tabung dan dengan demikian menyebabkan perpindahan kalor
yang lebih tinggi, maka di dalam shell tersebut dipasangkan
sekat/penghalang (baffles).
Shell and tube ini dibagi lagi sesuai dengan penggunaannya yaitu class R
(untuk keperluan proses dengan tekanan tinggi), class C (untuk keperluan
proses dengan tekanan dan temperatur menengah dan fluida yang tidak
korosif, serta class B (untuk keperluan fluida yang korosif). Proses
pertukaran panas pada kedua fluida ini terjadi pada dinding tube dimana
terdapat dua proses perpindahan yaitu secara konduksi dan konveksi.
Dilihat dari konstruksinya, Heat exchanger tipe Shell and Tube dibedakan
atas:
1. Fixed Tube Sheet
Fixed Tube Sheet merupakan jenis shell and tube Heat exchanger yang
terdiri dari tube-bundle yang dipasang sejajar dengan shell dan kedua tube
sheet menyatu dengan shell. Kelemahan pada tipe ini adalah kesulitan
pada penggantian tube dan pembersihan shell.

2. Floating Tube Sheet


Floating Tube Sheet merupakan Heat exchanger yang dirancang dengan
salah satu tipe tube sheetnya mengambang, sehingga tube-bundle dapat
bergerak di dalam shell jika terjadi pemuaian atau penyusutan karena
perubahan suhu. Tipe ini banyak digunakan dalam industri migas karena
pemeliharaannya lebih mudah dibandingkan fix tube sheet, karena tube-
bundlenya dapat dikeluarkan, dan dapat digunakan pada operasi dengan
perbedaan temperatur antara shell dan tube side di atas 200oF.

3. U tube/U bundle

U tube/U bundle merupakan jenis HE yang hanya mempunyai 1 buah tube


sheet, dimana tube dibuat berbentuk U yang ujung-ujungnya disatukan
pada tube sheet sehingga biaya yang dibutuhkan paling murah di antara

`
Shell and Tube Heat exchanger yang lain. Tube bundle dapat dikeluarkan
dari shellnya setelah channel headnya dilepas. Tipe ini juga dapat
digunakan pada tekanan tinggi dan beda temperatur yang tinggi. Masalah
yang sering terjadi pada Heat exchanger ini adalah terjadinya erosi pada
bagian dalam bengkokan tube yang disebabkan oleh kecepatan aliran dan
tekanan di dalam tube, untuk itu fluida yang mengalir dalam tube side
haruslah fluida yang tidak mengandung partikel-partikel padat.

2. Spiral tube
a. Plate Heat exchanger
Kedua aliran masuk dari sudut dan melewati bagian atas dan bawah plat-
plat parallel dengan fluida panas melewati jalan-jalan (ruang antar plat)
genap dan fluida dingin melewati jalan-jalan ganjil. Plat-plat dapat
dipasang secara melingkar agar dapat memberikan perpindahan panas
yang besar dan mencegah terjadinya fouling (deposit yang tidak
diinginkan). Plate Heat exchanger juga mudah untuk dilepas dan dipasang
kembali sehingga mudah untuk dibersihkan. Heat exchanger ini dibagi
atas 3 macam :
1. Plate and frame or gasketed plate exchanger
Jenis ini terdiri dari bingkai-bingkai dan plat-plat yang disusun rapat,
permukaan plat mempunyai alur-alur yang berpasangan sehingga jika
dirangkai mempunyai dua aliran. Heat exchanger ini digunakan untuk
temperatur dan tekanan rendah seperti mendinginkan cooling water.
2. Spiral plate heat exchanger
3. Lamella (ramen) heat exchanger

2.4.3 Berdasarkan Flow arrangements


Terdapat dua jenis Heat Exchanger berdasarkan flow arrangements yakni
single pass dan multiple pass. Pada single pass, kedua fluida melewati sistem
hanya satu kali, sedangkan pada multiple pass, salah satu atau kedua fluida
mengalir bolak-balik secara zigzag. Pada single pass aliran fluida bisa parallel

`
ataupun berlawanan, sedangkan pada multiple pass merupakan kombinasai
keduanya. Fluida juga dapat mengalir secara crossflow. Yang pertama, kedua
fluida tidak bercampur, mereka melewati jalan masing-masing tanpa bercampur.
Yang kedua, kedua fliuda bercampur tanpa terjadi reaksi kimia. Jika luas shell
besar, cross flow akan menghasilkan koefisien perpindahan kalor yang lebih
tinggi daripada aliran aksial yang terjadi di dalam tabung double-pipe.
2.4.4 Berdasarkan Arah Aliran
1. Paralel Flow
Kedua fluida ,mengalir dalam heat exchanger dengan aliran yang searah.
Kedua fluida memasuki HE dengan perbedaan suhu yang besar. Perbedaan
temperatur yang besar akan berkurang seiring dengan semakin besarnya x, jarak
pada HE. Temperatur keluaran dari fluida dingin tidak akan melebihi temperatur
fluida panas.
2. Counter Flow
Berlawanan dengan paralel flow, kedua aliran fluida yang mengalir dalam
HE masuk dari arah yang berlawanan. Aliran keluaran yang fluida dingin ini
suhunya mendekati suhu dari masukan fluida panas sehingga hasil suhu yang
didapat lebih efekrif dari paralel flow.
3. Cross Flow Heat exchanger
Dimana satu fluida mengalir tegak lurus dengan fluida yang lain. Biasa
dipakai untuk aplikasi yang melibatkan dua fasa. Misalnya sistem kondensor uap
(tube and shell Heat exchanger), di mana uap memasuki shell, air pendingin
mengalir di dalam tube dan menyerap panas dari uap sehingga uap menjadi cair.
Dari ketiga tipe Heat exchanger tersebut tipe counter flow yang paling
efisien ketika kita membandingkan laju perpindahan kalor per unit area. Dengan
beda temperatur fluida yang paling maksimal di antara kedua tipe Heat exchanger
lainnya, maka beda temperatur rata-rata (log mean temperature difference) akan
maksimal dan pada akhirnya laju perpindahan kalor akan maksimal pula.
3.5 Parameter Heat Exchanger
3.5.1 Logaritmic Mean Temperature Difference (LMTD)

`

Pada awalnya kita mengandaikan U (bisa juga digantikan oleh h )

sebagai nilai konstan (nilai U dapat dilihat pada tabel pada lampiran). U sendiri
merupakan koefisien heat transfer overall. Aturan untuk nilai U adalah sebagai
berikut :

1. Fluida dengan konduktivitas termal rendah seperti tar, minyak atau gas,
biasanya menghasilkan h yang rendah. Ketika fluida tersebut melewati
heat exchanger, U akan cenderung untuk turun
2. Kondensasi dan Pemanasan merupakan proses perpindahan kalor yang
efektif. Proses ini dapat meningkatkan nilai U.
3. Untuk U yang tinggi, tahanan dalam exchanger pasti rendah
4. Untuk fluida dengan konduktivitas yang tinggi , mempunyai nilai U dan h
yang tinggi.
Untuk U pada suhu yang hampir konstan, variasi temperatur dari aliran
fluida dapat dihitung secara overall heat transfer dalam bentuk perbedaan
temperatur rata-rata dari aliran dua fluida, yang dapat dibuat persamaan sebagai
berikut :
Q=UA ΔT mean (2.3)
Yang menjadi masalah kali ini adalah bagaimana membuat persamaan
tersebut menjadi benar. Kita harus dapat menghitung nilai dari ΔT yang
diinginkan. Hal ini disebabkan karena terlihat pada grafik mengenai
kecenderungan perubahan temperatur fluida akan lebih cepat sejalan dengan
posisinya (grafik bisa dilihat dari lampiran). Selain itu pada counterflow dan
pararel flow, perhitungan tersebut bisa berbeda. Oleh karena itu perlu dicari suatu
persamaan yang dapat menyelesaikan masalah ini. Dengan menurunkan rumus
awal sebagai berikut :
dQ=U (dA ) ΔT=−(mc p )h dT h =(mc p )c dT c (2.4)
Keterangan : h untuk aliran panas dan c untuk aliran dingin
Setelah itu kita menyamakan persamaan antara persamaan untuk
counterflow dan persamaan untuk pararel flow dan didapat :

`
ΔT a −ΔT b
Q=UA
( ln ( ΔT a / ΔT b ) (2.5)
Dimana ΔTa adalah selisih antara suhu keluaran shell dengan suhu fluida
pendingin awal dan ΔTb adalah selisih antara suhu keluaran shell dengan suhu
fluida pendingin akhir. Δt mean yang dimaksud dalam persamaan tersebut adalah
LMTD, yaitu :
ΔT a − ΔT b
ΔT mean =LMTD=
( ln ( ΔT a / ΔT b ) (2.6)
Namun demikian penggunaan LMTD juga cukup terbatas. Kita harus
menggunakan faktor koreksi F yang dapat dilihat dalam grafik pada lampiran.
Sehingga rumusnya menjadi :
Q=UAF ( LMTD ) (2.7)

2.5.2 Koefisien perpindahan kalor keseluruhan U (overall coefficient of heat


transfer),
Koefisien perpindahan kalor keseluruhan (U), terdiri dari dua macam
yaitu:
(1) UC adalah koefisien perpindahan kalor keseluruhan pada saat alat penukar
kalor masih baru
(2) UD adalah koefisien perpindahan kalor keseluruhan pada saat alat penukar
kalor sudah kotor.

Secara umum kedua koefisien itu dirumuskan sebagai:

(2.8)
2.5.3 Fouling Resistance

`
Jika sebuah pipa baru saja digunakan, maka keadaannya masih normal dan
bersih sehingga tidak mengganggu proses perpindahan kalor. Namun pada
suatu saat fluida yang terus menerus mengalir dalam pipa akan membentuk
seperti sebuah lapisan yang akan mengganggu aliran kalor. Hal inilah yang
disebut dengan fouling resistance. Untuk menghitung fouling resistance
dapat digunakan rumus berikut ini :
1 1
Rd ≡ −
U D UC

Dimana U pipa yang sudah tua tersebut dapat dihitung dengan


menggunakan rumus sebagai berikut :
1
U=
1 r i ln (r 0 /r p ) r j ln (r p /r i ) r i
+ + + + Rd
hi k insulator k pipe r 0 h0 (2.9)
Untuk U<<10000 W/m2 °C fouling mungkin tidak begitu penting, karena
hanya menghasilkan resistan yang kecil. Namun pada water to water heat
exchanger dimana nilai U disekitar 2000 maka fouling factor akan menjadi
penting. Pada finned tube heat exchanger dimana gas panas mengalir di
dalam tube dan gas yang dingin mengalir melewatinya, nilai U mungkin
sekitar 200, fouling factor akan menjadi signifikan.

Gambar 4. Kekotoran Pipa

2.5.4 Efektivitas Heat exchanger


Efektivitas heat exchanger dapat dirumuskan sebagai berikut :
C h (T h in−T hout ) C c ( T cout −T cin )
ε≡ =
C min (T hin −T c min ) C min (T hin −T cin )
(2.10)

actual heat transferred


ε=
max imum heat that could possibly be transferred from one stream to another

`
Maka untuk mencari efektifitas untuk paralel single pass HE adalah
sebagai berikut :
1−exp [−(1−Cmin /C max ) NTU ]
ε=
1+C min /C max (2.11)
Sedangkan untuk counterflow adalah sebagai berikut :
1−exp [−(1−C min /Cmax )NTU ]
ε=
1−(C min / C max )exp [−(1−C min / C max )NTU ] (2.12)
Keterangan : NTU (Number of Transfer Unit) bisa didapatkan dari rumus :
UA
NTU =
C min (2.13)
Cmin merupakan nilai C tekecil antara Ch dan Cc, sedangkan Cmax
merupakan nilai yang terbesar.

2.5.5 Perpindahan Kalor pada Alat Penukar Kalor

(2.14)
Δtm merupakan suhu rata-rata log atau Log Mean Temperature Difference
(LMTD). Untuk shell and tube heat exchanger, nilai LMTD harus
dikoreksi dengan faktor yang dicari dari grafik yang sesuai (Fig 18 s/d Fig
23 Kern). Caranya adalah dengan menggunakan parameter R dan S.

(2.15-16)
Nilai LMTD dihitung dengan persamaan sbb:
Bila UD konstan
Untuk aliran searah (co-current)

`
Atau

Untuk aliran berlawanan arah (Counter Current)

`
(2.17)
Nilai LMTD yang diperoleh ini harus dikoreksi dengan faktor F T yang
dicari dari grafik yang sesuai. Caranya yaitu dengan menggunakan
parameter R dan S:

(2.18-19)
Dan harga Δ tm =FT.LMTD
Bila UD tidak konstan (berubah) terhadap suhu
Untuk aliran searah atau aliran berlawanan arah, maka persamaan LMTD
berupa persamaan implisit:

(2.20)

2.5.6
Penurunan Tekanan pada
Alat Penukar Kalor

`
Pada setiap aliran akan terjadi penurunan tekanan (pressure drop) karena
gaya
gesek
yang
terjadi
antara
fluida
dan tempatnya.

`
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat-Alat
Adapun alat-alat yang digunakan sebagai berikut:
1. Shell and tube heat exchanger
2. Thermometer
3. Thermostat
4. Selang

3.1.2 Bahan-Bahan
Adapun bahan-bahan yang digunakan sebagai berikut:
1. Air

3.2 Prosedur Kerja


1. nyalakan heater pada hot tank atau knop thermostat sesuai suhu yang ingin
dicapai pada hot tank.
2. pasang thermometer pada aliran masuk dan keluar HE untuk cold fluid dan
hot fluid.
3. pompa dalam keadaan mati, hubungakan keempat flexible hose dengan
socket yang ada di atas beach.periksa sekali lagi apakah aliran hot/cold
fluid sudah sesuai variabel percobaan. Jaga jangan sampai aliran hot fluid
dihubungkan silang dengan cold fluid karena akan merusak alat.
4. setelah semua terpasanag, cek kebocoran dengan cara menyalakan hot dan
cold pump. Jika terjadi kebocoran matikan hot dan cold pump dan ulang
langkah nomor 3 hingga tidak terjadi kebocoan.
5. setelah tidak terjadi kebocoran tunggu suhu pada hot dan cold tank
tercapai, kemudian nyalakan hot dan cold pump.
6. dengan valve pengatur flowrate, atur aliran hot dan cold fluid yang masuk.
7. setelah flowrate sesuai, operasi mulai dijalankan dan catat data perubahan
suhu setiap 1 menit selama 9 menit.

`
8. variabel yang divariasi dalam percobaan ini adalah:
a. jenis aliran counter current
b. flowrate hot fluid (sesuai penugasan)
9. bila percobaan telah selesai, matikan kedua pompa, heater dan unit
refrigerasi. Lepaskan flexible hose dan thermometer.

`
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Adapun hasil yang diperoleh pada percobaan ini adalah sebagai berikut:
Tabel 4.1 Hasil Pengamatan pada Run I
Suhu Aliran Panas (Tube) Aliran Dingin (Shell)
Q Suhu (ºC) Q Suhu (ºC)
(ºC)
T (in) T (out) S (in) S (out)
(liter/menit (liter/menit
)
40 10,5 39, 38,8 6,5 28,8 29,6
45 10,5 44,4 43 6,5 30,4 31,2
50 10,5 49,4 48,2 6,5 30,2 31,2

Tabel 4.2 Hasil Pengamatan pada Run II


Suhu Aliran Panas (Tube) Aliran Dingin (Shell)
Q Suhu (ºC) Q Suhu (ºC)
(ºC)
T (in) T (out) S (in) S (out)
(liter/menit (liter/menit)
40 10,5 39,8 38,6 6,5 31 32
45 10,5 44,2 43,2 6,5 30,6 31,4
50 10,5 49,8 44,8 6,5 31 32,8

Tabel 4.3 Hasil Pengamatan pada Run III


Suhu Aliran Panas (Tube) Aliran Dingin (Shell)
Q Suhu (ºC) Q Suhu (ºC)
(ºC)
T (in) T (out) S (in) S (out)
(liter/menit (liter/menit
)
40 10,5 40 38 6,5 30,8 31,8
45 10,5 45 44 6,5 31,4 32
50 10,5 49,8 47 6,5 31,2 33,2

4.2 Pembahasan
Percobaan ini membahas tentang perpindahan panas dengan menggunakan
alat Shell and Tube Heat Exchanger yang bertujuan untuk mengetahui dan
memahami cara kerja dari alat penukar panas ini, menghitung koefisien pindah
panas keseluruhan menggunakan persamaan neraca energi dan persamaan empiris,

`
menghitung efisiensi pindah panas dari kalor yang dilepas dan kalor yang diterima
fluida, dan pengaruh laju alir fluida terhadap koefisien pindah panas keseluruhan.
Prinsip kerja dari peralatan ini yaitu aliran panas mengalir melalui tube dan aliran
dingin mengalir melalui shell.
Pada percobaan ini dilakukan dengan 3 run (run I, run II dan run III)
diperoleh variasi nilai Uc dan Ud yang dipengaruhi besarnya temperatur fluida
(hot fluid) pada tube. Dapat dilihat dalam tabel hasil bahwa apabila temperatur
(hot fluid) lebih tinggi maka nilai Uc dan Ud lebih besar. U adalah koefisien panas
pada pindah atau saat proses perpindahan panas terjadi. Pada lampiran
perhitungan dapat dilihat tahap-tahap perhitungan pada alat heat exchanger
tersebut. Terdapat ketidakakuratan neraca energi, Q (flow) pada keluaran shell
and tube tidak sama, hal ini dikarenakan daya pompa atau efisiensi pompa pada
bagian cool fluid (shell) tidak beroperasi dengan optimal. Faktor lain yang
mempengaruhi alat ini adalah kondisi dari alat tersebut. Alat heat exchanger yang
digunakan ini sudah terdapat zat pengotor didalam shell sehingga perpindahan
panas pada shell and tube tidak optimal.
Berdasarkan hasil percobaan semakin kecil bukaan maka laju alirnya
semakin kecil. Begitu juga sebaliknya semakin besar bukaan, maka laju alir yang
diperoleh juga semakin besar (Mc Cabe, 1985).
Semakin tinggi laju alir panas, panas yang diberikan/dilepas fluida panas
dan panas yang diterima/diserap fluida dingin semakin tinggi juga, namun panas
yang dilepas selalu lebih besar dibandingkan dengan panas yang diserap, atau
dengan kata lain ada energi yang hilang.

4.2.1 Grafik Hubungan Antara Suhu (ºC) dengan nilai Uc

`
Hubungan Antara nilai Suhu dan Uc
3.5
3
2.5
2 run 1
Uc

1.5 run 2
1 run 3
0.5
0
38 40 42 44 46 48 50 52
Suhu ˚C

Gambar 4.1 Grafik hubungan antara suhu (ºC) dengan nilai Uc

Berdasarkan grafik diatas menunjukkan perbandingan besarnya suhu


terhadap nilai Uc yang diperoleh. Dari grafik diatas, nilai Uc pada run I dengan
suhu 40ºC diperoleh sebesar 3,115, selanjutnya pada suhu 45ºC diperoleh sebesar
2,45 dan pada suhu 50ºC diperoleh sebesar 2,373. Pada run II nilai Uc dengan
suhu 40ºC diperoleh sebesar 2,47, selanjutnya pada suhu 45ºC diperoleh sebesar
2,382 dan pada suhu 50ºC diperoleh sebesar 2,38. Pada run III nilai Uc dengan
suhu 40ºC diperoleh sebesar 2,704, selanjutnya pada suhu 45ºC diperoleh sebesar
2,37 dan pada suhu 50ºC diperoleh sebesar 2,232. Hal ini menunjukkan secara
keseluruhan bahwa semakin besar suhu maka nilai Uc yang diperoleh semakin
kecil.

4.2.2 Grafik Hubungan Antara Suhu (ºC) dengan nilai Ud

`
Hubungan Antara Nilai Suhu dan Ud
45
40
35
30
25 run 1
Ud

20 run 2
15 run 3
10
5
0
38 40 42 44 46 48 50 52
Suhu ˚C

Gambar 4.2 Grafik hubungan antara suhu (ºC) dengan nilai Ud

Berdasarkan grafik diatas menunjukkan perbandingan besarnya suhu


terhadap nilai Ud yang diperoleh. Dari grafik diatas, nilai Ud pada run I dengan
suhu 40ºC diperoleh sebesar 11,86, selanjutnya pada suhu 45ºC diperoleh sebesar
20,16 dan pada suhu 50ºC diperoleh sebesar 28,80. Pada run II nilai Ud dengan
suhu 40ºC diperoleh sebesar 31,14, selanjutnya pada suhu 45ºC diperoleh sebesar
37,89 dan pada suhu 50ºC diperoleh sebesar 39,47. Pada run III nilai Ud dengan
suhu 40ºC diperoleh sebesar 14,95, selanjutnya pada suhu 45ºC diperoleh sebesar
18,92 dan pada suhu 50ºC diperoleh sebesar 31,72. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin besar suhu maka nilai Ud yang diperoleh juga semakin besar.
Pada laju perpindahan panas semakin kecil bukaan maka laju perpindahan
panasnya semakin kecil, ini dipengaruhi oleh nilai dari laju alir, spesifik kapasitas,
Tin dan Tout yang diperoleh. Untuk nilai entalpi dipengaruhi oleh nilai laju
perpindahan panas berbanding terbalik dengan luas permukaan heat exchanger
dan temperatur Tin dan Tout. Untuk koefisien perpindahan panas dipengaruhi oleh
nilai laju perpindahan panas, luas permukaan dan nilai LMTD (Kern, 1965).

`
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang diperoleh pada percobaan ini adalah sebagai
berikut:

`
1. Semakin kecil bukaan maka laju alirnya semakin kecil. Begitu juga
sebaliknya semakin besar bukaan, maka laju alir yang diperoleh juga
semakin besar.
2. Parameter faktor kekotoran pada alat ini sangat mempengaruhi unjuk kerja
alat tersebut. Hal ini terlihat dari koefisien perpindahan panas menyeluruh
antara alat saat bersih (Uc) dan saat kotor (Ud) yang akan berpengaruh
pada temperatur akhir yang diperoleh.
3. Nilai Uc pada run I, run II dan run III dengan suhu 40ºC, 45ºC dan 50ºC
berturut-turut adalah 3,115, 2,45 dan 2,373. Pada run II adalah 2,47, 2,382
dan 2,38. Pada run III berturut-turut adalah 2,704, 2,37 dan 2,232.
4. Nilai Ud pada run I, run II dan run III dengan suhu 40ºC, 45ºC dan 50ºC
berturut-turut adalah 11,86, 20,166 dan 28,809. Pada run II adalah 31,14,
37,79 dan 39,47. Pada run III berturut-turut adalah 14,95, 18,92 dan 31,72.

5.2 Saran
Adapun saran untuk praktikum selanjutnya adalah pada praktikum
perpindahan panas selain menggunakan jenis heat exchanger shell and tube juga
dapat digunakan jenis double pipe heat exchanger (pipa berganda) sehingga
praktikan dapat membandingkan hasil yang diperoleh.

DAFTAR PUSTAKA

Donald, Q. Kern. Process Heat Transfer. 1987. New York; Mc Graw – Hill
International Editions

Holman, JP. Alih bahasa E.Jasifi.1995. Perpindahan Kalor . Erlangga: Jakarta.

`
Kays,W.M. and London, A.L.1964. Compact Heat Exchanger 2 nd Edition Mc
Graw-Hill. New York.

Kern, DQ.1965. Process Heat Transfer Mc.Graw-Hill.New York

Mc Cabe, W.L, Smith, JC, Harriot, P. 1985. Unit Operation of Chemical


Enginering , 4th edMc.Graw-Hill .New York, , Chapter 11, 12, 15.

Tim Penyusun, 2017. Penuntun Praktikum Proses Teknik Kimia II. Jurusan
Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Malikussaleh; Lhokseumawe

LAMPIRAN A
DATA PENGAMATAN

`
`
LAMPIRAN B
PERHITUNGAN

A. Run I Bukaan Panas (Tube) = 90°, Bukaan Dingin (Shell) = 50°


1. Suhu 40 °C
T1 = 39,8 °C = 103,64 °F
T2 = 38,8 °C = 101,84 °F
t1 = 28,8 °C = 83,84 °F
t2 = 29,6 °C = 85,28 °F

Diketahui:
a. W pada aliran panas dengan suhu 103,64 °F
Q=¿ 10,5 L/menit = 60,5 Btu/hr
Dari Fig. 2 Kern, halaman 804 dari lampiran grafik diperoleh :
Cp = 0,9 Btu/lb °F
Q = W.Cp ( T1 - T2 )
60,5 = W × 0,9 ( 103,64 - 101,84 )
60,5 = 1,62 W
W = 37,34 lb/hr

W pada aliran dingin dengan suhu 83,84 °F


Q=¿ 6,5 L/menit = 37,45 Btu/hr
Dari Fig. 2 Kern, halaman 804 dari lampiran grafik diperoleh :
Cp = 0,9 Btu/lb °F
Q = W.Cp ( t 2 - t 1)
37,45 = W × 0,9 ( 85,28 - 83,84 )
37,45 = 1,296 W
W = 28,89 lb/hr

∆ t 2 - ∆t 1 0,36
b. LMTD = 2,3 log ∆ t / ∆t = 2,3 log 1,80/1,44 = 1,615
2 1

`
( T1- T2) (103,64 – 101,84 ) 1,80
c. R = = = = 0,36
( t2 - t1 ) ( 85,28 – 83,84 ) 1,44
( t2 - t1 ) ( 85,28 - 83,84 ) 1,44
d. S = = = = 0,08
( T 1 - t 1 ) ( 103,64 - 83,84 ) 17,8
e. Dari Fig. 19 Kern, halaman 829 pada lampiran grafik dapat dilihat bahwa:
Ft = 0,93
∆t = LMTD ( Ft ) = 1,615 ( 0,93 ) = 1,5019
f. Ta dan ta:
103,64+101,84
Ta = = 102,74
2
85,28+83,84
ta = = 84,56
2
Temperatur rata-rata Ta dan ta adalah Ta = 102,74 dan ta = 84,56

g. Fluida panas pada bagian Tube


Diameter Tube = 1,27 cm = 0,042 ft
Panjang tube (L) = 264 cm = 8,66 ft
 Flow Area
π D2 3,14 (0,042)2
a't = = = 0,00138 ft2
4 4
 Mass Velocity
W 37,34 lb/hr lb
Gt = = = 27,058
At 0,00138 ft 2
(hr) ft 2
Velocity through tube:
Gt
V =
3600ρ
27,058
=
3600 × 62,5
= 0,1203 fps
 Pada Ta = 102,74
Dari lampiran grafik Fig. 14 Kern, halaman, 823 pada Ta = 102,74 °F
diperoleh
μ = 0,72 centipoises

`
μ = 0,72 ×2,42 = 1,742 lb/(ft)(hr)
DGt 0,042× 27,058
Ret = = = 652,37
μ 1,742
L 8,66
 = = 206,19
D 0,042
Dari Fig. 24 Kern halaman 834 pada lampiran grafik diperoleh :
JH = 2,8
 Ta = 102,74 °F
Dari lampiran grafik Fig. 2 Kern, halaman 804 dan Tabel. 4 Kern, halaman
800 diperoleh:
c = 0,9 Btu/(lb)(°F)
k = 0,3685 Btu/(hr)(ft2)(° F / ft ¿
Maka:
c . μ 13 0,99 ×1,742 13
( ) =( ) = 1,664
k 0,3685
k c . μ 13
 hi = JH ( )
D
(
k
) ϕt

hi 0,3685
= 2,8 × × 1,664 = 40,87
ϕt 0,042
Dari lampiran grafik Fig. 25 Kern, halaman 835 diperoleh nilai:
hi = 40,87 × 1,04
=42,50
0,041
hio = 42,50 × = 41,48
0,042
 Clean overall coefficient UC :
hioh o 41,48 ×3,367
Uc = = = 3,115 Btu/(hr)(ft2)(oF)
hio+ ho 41,48+3,367
 Design overall coefficient UD :
Q 60,5
U D= = 2
As . ∆ t 0,0014 ft 2( 1,5019) = 28,809 Btu/(hr)(ft )(°F)

 Dirt factor Rd :
Uc−UD 3,115−28809
Rd = = = -0,000292
UcUD 3,115 ×28809

`
h. Fluida dingin pada bagian Shell
Diameter Shell = 16 cm = 0,53 ft
 Flow Area
π D2 3,14 (0,53)2
As = = = 0,221 ft2
4 4
 Mass Velocity
W 28,89lb /hr lb
Gs = = = 130,72
As 0,221 ft 2
(hr) ft 2
 Pada ta= 84,56
DₒGs
Res =
μ
Dari lampiran grafik Fig. 14 Kern, halaman 823 pada ta = 84,56 ºF
diperoleh,
μ = 0,85 centipoises
μ = 0,85 × 2,42 = 2,057 lb/(ft) (hr)
0,53× 130,72
Res = = 33,68
2,057
Dari Fig. 28 Kern, halaman 838 pada lampiran grafik diperoleh :
 JH = 2,9
 Pada tc = 84,56 °F
Dari lampiran grafik Fig. 2 Kern, halaman 804 dan Table. 4 Kern, halaman
800 diperoleh:
c = 0,99 Btu/(lb)(°F)
k = 0,355 Btu/(hr)(ft2)(° F / ft ¿
Maka:
c . μ 13 0,99 ×2,057 13
( ) =( ) = 1,7796
k 0,355
k c . μ 13
 ho = JH
Do( )
(
k
) ϕs

ho 0,355
=3× × 1,7796
ϕs 0,53
=3,575

`
 Corrected coefficient,
ho
ho = ϕ s = 3,575 × 1 = 3,575 Btu/(hr)(ft2)( oF)
ϕs
 Clean overall coefficient UC :
hioh o 40,87 ×3,575
Uc = = = 3,287 Btu/(hr)(ft2)(oF)
hio+ ho 40,87+3,575
 Design overall coefficient UD :
Q 37,45
U D= = 2
As . ∆ t 0,221 ft 2 (1,5019) = 112,83 Btu/(hr)(ft )(°F)

 Dirt factor Rd :
Uc−UD 3,287−112,83
Rd = = = -0,943
UcUD 3,287× 112,83

A. Run I Bukaan Panas (Tube) = 90°, Bukaan Dingin (Shell) = 50°


2. Suhu 45 °C
T1 = 44,4 °C = 111,92 °F
T2 = 43 °C = 109,4 °F
t1 = 30,4 °C = 86,72 °F
t2 = 31,2 °C = 88,16 °F

Diketahui:
a. W pada aliran panas dengan suhu 111,92 °F
Q=¿ 17,5 L/menit = 60,5 Btu/hr
Dari Fig. 2 Kern, halaman 804 dari lampiran grafik diperoleh :
Cp = 0,9 Btu/lb °F
Q = W.Cp ( T1 - T2 )
60,5 = W × 0,9 ( 111,92 - 109,4 )
60,5 = 2,52 W
W = 24 lb/hr
W pada aliran dingin dengan suhu 86,72 °F
Q=¿ 6,5 L/menit = 37,45 Btu/hr
Dari Fig. 2 Kern, halaman 804 dari lampiran grafik diperoleh :

`
Cp = 0,99 Btu/lb °F
Q = W.Cp ( t 2 - t 1)
37,45 = W × 0,9 9 ( 88,16 - 86,72 )
37,45 = 1,296 W
W = 26,26 lb/hr

∆ t 2 - ∆t 1 0.64
b. LMTD = 2,3 log ∆ t / ∆t = 2,3 log 2,52 /1,88 = 2,191
2 1

( T1- T2) (111,92 – 109,4 ) 2,52


c. R = = = = 1,340
( t2 - t1 ) ( 88,16 - 86,72 ) 1,88
( t2 - t1 ) ( 88,16 - 86,72 ) 1,88
d. S = = = = 0,074
( T 1 - t 1 ) ( 111,92 - 86,72 ) 25,2
e. Dari Fig. 19 Kern, halaman 829 pada lampiran grafik dapat dilihat bahwa:
Ft =1
∆t = LMTD ( Ft ) = 2,191 (1 ) = 2,191
f. Ta dan ta:
g.
111,92+109,4
Ta = = 110,66
2
88,16+86,72
ta = = 87,44
2
Temperatur rata-rata Ta dan ta adalah Ta = 110,66 dan ta = 87,44

h. Fluida panas pada bagian Tube


Diameter Tube = 1,27 cm = 0,042 ft
Panjang tube (L) = 264 cm = 8,66 ft
 Flow Area
π D2 3,14 (0,042)2
a't = = = 0,00138 ft2
4 4
 Mass Velocity
W 24 lb /hr lb
Gt = = = 17,391.30
At 0,00138 ft 2
(hr) ft 2

`
Velocity through tube:
Gt
V =
3600ρ
17,391.30
=
3600 × 62,5
= 0,0772 fps
 Pada Ta = 110,66
Dari lampiran grafik Fig. 14 Kern, halaman, 823 pada Ta = 110,3 °F
diperoleh
μ = 0,65 centipoises
μ = 0,65 ×2,42 = 1,573 lb/(ft)(hr)
DGt 0,042× 17,391.30
Ret = = = 464,357
μ 1,573
L 8,66
 = = 206,19
D 0,042
Dari Fig. 24 Kern halaman 834 pada lampiran grafik diperoleh :
JH = 2,5
 Ta = 110,66 °F
Dari lampiran grafik Fig. 2 Kern, halaman 804 dan Tabel. 4 Kern, halaman
800 diperoleh:
c = 0,99 Btu/(lb)(°F)
k = 0,3677 Btu/(hr)(ft2)(° F / ft ¿
Maka:
c . μ 13 0 , 99 ×1,563 13
( ) =( ) = 1,593
k 0,3677
k c . μ 13
 hi = JH ( )
D
(
k
) ϕt

hi 0,3677
= 2,5 × × 1,593 = 34,86
ϕt 0,042
Dari lampiran grafik Fig. 25 Kern, halaman 835 diperoleh nilai:
hi = 34,86 × 1,04
=36,25

`
0,041
hio = 36,25 × = 35,39
0,042
 Clean overall coefficient UC :
hioh o 35,39× 2,544
Uc = = = 2,373 Btu/(hr)(ft2)(oF)
hio+ ho 35,39+2,544
 Design overall coefficient UD :
Q 60,5
U D= = 2
As . ∆ t 0,0014 ft 2( 2,191) = 20,166 Btu/(hr)(ft )(°F)

 Dirt factor Rd :
Uc−UD 2,373−20,166
Rd = = = -0,421
UcUD 2,373× 20,166

i. Fluida dingin pada bagian Shell


Diameter Shell = 16 cm = 0,53 ft
 Flow Area
π D2 3,14 (0,53)2
As = = = 0,221 ft2
4 4
 Mass Velocity
W 26,26lb /hr lb
Gs = = = 118,82
As 0,221 ft 2
(hr) ft 2
 Pada ta= 84,77
DₒGs
Res =
μ
Dari lampiran grafik Fig. 14 Kern, halaman 823 pada ta = 84,77 ºF
diperoleh,
μ = 0,85 centipoises
μ = 0,85 × 2,42 = 2,057 lb/(ft) (hr)
0,53× 118,82
Res = = 30,61
2,057
Dari Fig. 28 Kern, halaman 838 pada lampiran grafik diperoleh :
 JH = 3
 Pada tc = 87,44 °F

`
Dari lampiran grafik Fig. 2 Kern, halaman 804 dan Table. 4 Kern, halaman
800 diperoleh:
c = 0,9 Btu/(lb)(°F)
k = 0,358 Btu/(hr)(ft2)(° F / ft ¿
Maka:
c . μ 13 0 , 99 ×2,057 13
( ) =( ) = 1,7747
k 0,358
k c . μ 13
 ho = JH ( )
Do
(
k
) ϕs

ho 0,358
=3× × 1,774
ϕs 0,53
= 3,594
 Corrected coefficient,
ho
ho = ϕ s = 3,594 × 1 = 3,594 Btu/(hr)(ft2)( oF)
ϕs
 Clean overall coefficient UC :
hioh o 35,39× 2,544
Uc = = = 2,373 Btu/(hr)(ft2)(oF)
hio+ ho 35,39+2,544
 Design overall coefficient UD :
Q 37,45
U D= = 2
As . ∆ t 0,221 ft 2 (2,191) = 77,37 Btu/(hr)(ft )(°F)

 Dirt factor Rd :
Uc−UD 2,373−77,37
Rd = = = -0,4
UcUD 2,373× 77,37

A. Run I Bukaan Panas (Tube) = 90°, Bukaan Dingin (Shell) = 50°


3. Suhu 50 °C
T1 = 44,4 °C = 111,92 °F
T2 = 43 °C = 109,4 °F
t1 = 32,3 °C = 90,14 °F
t2 = 34,2 °C = 93,56 °F

Diketahui:

`
a. W pada aliran panas dengan suhu 120,92 °F
Q=¿ 10,5 L/menit = 60,5 Btu/hr
Dari Fig. 2 Kern, halaman 804 dari lampiran grafik diperoleh :
Cp = 0,9 Btu/lb °F
Q = W.Cp ( T1 - T2 )
60,5 = W × 0,9 ( 120,92 – 118,76 )
60,5 = 1,944 W
W = 31,12 lb/hr

W pada aliran dingin dengan suhu 86,36 °F


Q=¿ 6,5 L/menit = 37,45 Btu/hr
Dari Fig. 2 Kern, halaman 804 dari lampiran grafik diperoleh :
Cp = 0,9 Btu/lb °F
Q = W.Cp ( t 2 - t 1)
37,45 = W × 0,9 ( 88,16 - 86,36 )
37,45 = 1,62 W
W = 23,11 lb/hr

∆ t 2 - ∆t 1 0,36
b. LMTD = 2,3 log ∆ t / ∆t = 2,3 log 32,76 /32,4 = 36,73
2 1

( T1- T2) (120,92 – 118,76 ) 2,16


c. R = = = = 1,2
( t2 - t1 ) ( 88,16 – 86,36 ) 1,8
( t 2 - t 1 ) ( 88,16 – 86,36 ) 1,8
d. S = = = = 0,052
( T1 - t 1 ) ( 120,92 - 86,36 ) 34,56
e. Dari Fig. 19 Kern, halaman 829 pada lampiran grafik dapat dilihat bahwa:
Ft = 0,985
∆t = LMTD ( Ft ) = 18,68 ( 0,985 ) = 18,40
f. Ta dan ta:
111,92+109,4
Ta = = 110,66
2
93,56+90,14
ta = = 91,85
2

`
Temperatur rata-rata Ta dan ta adalah Ta = 110,66 dan ta = 91,85

g. Fluida panas pada bagian Tube


Diameter Tube = 1,27 cm = 0,042 ft
Panjang tube (L) = 264 cm = 8,66 ft
 Flow Area
π D2 3,14 (0,042)2
a't = = = 0,00138 ft2
4 4
 Mass Velocity
W 43,201 lb /hr lb
Gt = = = 22,550
At 0,00138 ft 2
(hr) ft 2
Velocity through tube:
Gt
V =
3600ρ
22,550
=
3600 × 62,5
= 0,1 fps
 Pada Ta = 119,84
Dari lampiran grafik Fig. 14 Kern, halaman, 823 pada Ta = 119,84 °F
diperoleh
μ = 0,47 centipoises
μ = 0,47 ×2,42 = 1,137 lb/(ft)(hr)
DGt 0,042× 22,550
Ret = = = 832,98
μ 1,137
L 8,66
 = = 206,19
D 0,042
Dari Fig. 24 Kern halaman 834 pada lampiran grafik diperoleh :
JH = 2,7
 Ta = 119,84 °F
Dari lampiran grafik Fig. 2 Kern, halaman 804 dan Tabel. 4 Kern, halaman
800 diperoleh:
c = 1 Btu/(lb)(°F)

`
k = 0,313 Btu/(hr)(ft2)(° F / ft ¿
Maka:
c . μ 13 1× 1,137 13
( ) =( ) = 1,530
k 0,313
k c . μ 13
 hi = JH
D ( )
(
k
) ϕt

hi 0,313
= 2,7 × × 1,530 = 30,78
ϕt 0,042
Dari lampiran grafik Fig. 25 Kern, halaman 835 diperoleh nilai:
hi = 30,78 × 1,04
= 32,01
0,041
hio = 32,01 × = 20,296
0,042
 Clean overall coefficient UC :
hioh o 20,296× 2,659
Uc = = = 2,45 Btu/(hr)(ft2)(oF)
hio+ ho 20,296+2,659
 Design overall coefficient UD :
Q 60,5
U D= = 2
As . ∆ t 0,0014 ft 2(36,73) = 1,186 Btu/(hr)(ft )(°F)

 Dirt factor Rd :
Uc−UD 2,45−1,186
Rd = = = -0,4073
UcUD 2,45× 1,186

h. Fluida dingin pada bagian Shell


Diameter Shell = 16 cm = 0,53 ft
 Flow Area
π D2 3,14 (0,53)2
As = = = 0,221 ft2
4 4
 Mass Velocity
W 23,11 lb/hr lb
Gs = = = 104,57
As 0,221 ft 2
(hr) ft 2
 Pada ta= 87,26

`
DₒGs
Res =
μ
Dari lampiran grafik Fig. 14 Kern, halaman 823 pada ta = 87,26 ºF
diperoleh,
μ = 0,8 centipoises
μ = 0,8 × 2,42 = 1,936 lb/(ft) (hr)
0,53× 104,57
Res = = 28,62
1,936
Dari Fig. 28 Kern, halaman 838 pada lampiran grafik diperoleh :
 JH = 2,8
 Pada tc = 87,26 °F
Dari lampiran grafik Fig. 2 Kern, halaman 804 dan Table. 4 Kern, halaman
800 diperoleh:
c = 0,99 Btu/(lb)(°F)
k = 0,354 Btu/(hr)(ft2)(° F / ft ¿
Maka:
c . μ 13 0 , 99 ×1,936 13
( ) =( ) = 1,746
k 0,354
k c . μ 13
 ho = JH ( )
Do
(
k
) ϕs

ho 0,354
= 2,8 × × 1,746
ϕs 0,53
= 3,265
 Corrected coefficient,
ho
ho = ϕ s = 3,265 × 1 = 3,265 Btu/(hr)(ft2)( oF)
ϕs
 Clean overall coefficient UC :
hioh o 31,24 ×3,265
Uc = = = 2,956 Btu/(hr)(ft2)(oF
hio+ ho 31,24+ 3,265
 Design overall coefficient UD :
Q 37,45
U D= = 2
As . ∆ t 0,221 ft 2 (36,73) = 4,613 Btu/(hr)(ft )(°F)

 Dirt factor Rd :

`
Uc−UD 2,956−4,613
Rd = = = -0,121
UcUD 2,956× 4,613

B. Run II Bukaan Panas (Tube) = 70°, Bukaan Dingin (Shell) = 60°


1. Suhu 40 °C
T1 = 39,8 °C = 103,64 °F
T2 = 38,6 °C = 101,48 °F
t1 = 31 °C = 87,8 °F
t2 = 32 °C = 89,6 °F

Diketahui:
a. W pada aliran panas dengan suhu 103,64 °F
Q=¿ 10,5 L/menit = 60,5 Btu/hr
Dari Fig. 2 Kern, halaman 804 dari lampiran grafik diperoleh :
Cp = 0,9 Btu/lb °F
Q = W.Cp ( T1 - T2 )
60,5 = W × 0,9 ( 103,64 - 101, 4 8 )
60,5 = 1,944 W
W = 31,12 lb/hr

W pada aliran dingin dengan suhu 87,8 °F


Q=¿ 6,5 L/menit = 37,45Btu/hr
Dari Fig. 2 Kern, halaman 804 dari lampiran grafik diperoleh :
Cp = 0,9 Btu/lb °F
Q = W.Cp ( t 2 - t 1)
37,45 = W × 0,9 ( 89,6 - 87,8 )
37,45 = 1,62 W
W = 23,11 lb/hr

∆ t 2 - ∆t 1 0,36
b. LMTD = 2,3 log ∆ t / ∆t = 2,3 log 14,04 /13,68 = 13,883
2 1

`
( T1- T2) (103,64 – 101,48 ) 2,16
c. R = = = = 1,2
( t2 - t1 ) ( 89,6 – 87,8 ) 1,8
( t2 - t1 ) ( 89,6 – 87,8 ) 1,8
d. S = = = = 0,113
( T 1 - t 1 ) ( 103,64 - 101,48 ) 15,84
e. Dari Fig. 19 Kern, halaman 829 pada lampiran grafik dapat dilihat bahwa:
Ft = 0,99
∆t = LMTD ( Ft ) = 13,88 ( 0,99 ) = 13,744
f. Ta dan ta:
103,64+101,48
Ta = = 102,56
2
89,6+87,8
ta = = 88,7
2
Temperatur rata-rata Ta dan ta adalah Ta = 102,56dan ta = 88,7

g. Fluida panas pada bagian Tube


Diameter Tube = 1,27 cm = 0,042 ft
Panjang tube (L) = 264 cm = 8,66 ft
 Flow Area
π D2 3,14 (0,042)2
a't = = = 0,00138 ft2
4 4
 Mass Velocity
W 31,12 lb/hr lb
Gt = = = 22,.473,53
At 0,00138 ft 2
(hr) ft 2
Velocity through tube:
Gt
V =
3600ρ
22,.473,53
=
3600 × 62,5
= 0,099 fps
 Pada Ta = 102,56
Dari lampiran grafik Fig. 14 Kern, halaman, 823 pada Ta = 102,56 °F
diperoleh
μ = 0,68 centipoises

`
μ = 0,68 ×2,42 = 1,6456 lb/(ft)(hr)
DGt 0,042× 22,.473,53
Ret = = = 573,583
μ 1,6456
L 8,66
 = = 206,19
D 0,042
Dari Fig. 24 Kern halaman 834 pada lampiran grafik diperoleh :
JH = 2,5
 Ta = 102,56 °F
Dari lampiran grafik Fig. 2 Kern, halaman 804 dan Tabel. 4 Kern, halaman
800 diperoleh:
c = 0,99 Btu/(lb)(°F)
k = 0,3639 Btu/(hr)(ft2)(° F / ft ¿
Maka:
c . μ 13 0,9 ×1,6456 13
( ) =( ) = 1,639
k 0,3639
k c . μ 13
 hi = JH ( )
D
(
k
) ϕt

hi 0,3639
= 2,5 × × 1,639 = 35,81
ϕt 0,042
Dari lampiran grafik Fig. 25 Kern, halaman 835 diperoleh nilai:
hi = 35,81 × 1,04
= 37,24
0,041
hio = 37,24 × = 36,35
0,042
 Clean overall coefficient UC :
hioh o 36,35× 2,554
Uc = = = 2,38 Btu/(hr)(ft2)(oF)
hio+ ho 36,35+2,554
 Design overall coefficient UD :
Q 60,5
U D= = 2
As . ∆ t 0,0014 ft 2( 13,744) = 3,144.19 Btu/(hr)(ft )(°F)

 Dirt factor Rd :
Uc−UD 2,38−3,144.19
Rd = = = -0,418
UcUD 2,38× 3,144.19

`
h. Fluida dingin pada bagian Shell
Diameter Shell = 16 cm = 0,53 ft
 Flow Area
π D2 3,14 (0,53)2
As = = = 0,221 ft2
4 4
 Mass Velocity
W 23,11 lb/hr lb
Gs = = = 104,80
As 0,221 ft 2
(hr) ft 2
 Pada ta= 88,7
DₒGs
Res =
μ
Dari lampiran grafik Fig. 14 Kern, halaman 823 pada ta = 88,7 ºF diperoleh,
μ = 0,85 centipoises
μ = 0,85 × 2,42 = 2,057 lb/(ft) (hr)
0,53× 104,80
Res = = 27,003
2,057
Dari Fig. 28 Kern, halaman 838 pada lampiran grafik diperoleh :
 JH = 2,8
 Pada tc = 88,7 °F
Dari lampiran grafik Fig. 2 Kern, halaman 804 dan Table. 4 Kern, halaman
800 diperoleh:
c = 0,99 Btu/(lb)(°F)
k = 0,357 Btu/(hr)(ft2)(° F / ft ¿
Maka:
c . μ 13 0,99 ×2,057 13
( ) =( ) = 1,775
k 0,357
k c . μ 13
 ho = JH
Do( )
(
k
) ϕs

ho 0,357
= 2,2 × × 1,775
ϕs 0,53
= 3,354

`
 Corrected coefficient,
ho
ho = ϕ s = 2,544 × 1 = 2,544 Btu/(hr)(ft2)( oF)
ϕs
 Clean overall coefficient UC :
hioh o 36,35× 2,554
Uc = = = 2,38 Btu/(hr)(ft2)(oF)
hio+ ho 36,35+2,554
 Design overall coefficient UD :
Q 37,45
U D= = 2
As . ∆ t 0,221 ft 2 (13,74) = 12,35 Btu/(hr)(ft )(°F)

 Dirt factor Rd :
Uc−UD 2,38−12,35
Rd = = = -0,338
UcUD 2,38× 12,35

B. Run II Bukaan Panas (Tube) = 70°, Bukaan Dingin (Shell) = 60°


2. Suhu 45 °C
T1 = 44,2 °C = 111,56 °F
T2 = 43,2 °C = 109,76 °F
t1 = 30,6 °C = 87 °F
t2 = 31,4 °C = 88,52 °F

Diketahui:
a. W pada aliran panas dengan suhu 111,56 °F
Q=¿ 10,5 L/menit = 60,5 Btu/hr
Dari Fig. 2 Kern, halaman 804 dari lampiran grafik diperoleh :
Cp = 0,9 Btu/lb °F
Q = W.Cp ( T1 - T2 )
60,5 = W × 0,9 ( 111,56 - 109,76 )
60,5 = 2,592 W
W = 37,34 lb/hr

W pada aliran dingin dengan suhu 87 °F


Q=¿ 6,5 L/menit = 37,45 Btu/hr
Dari Fig. 2 Kern, halaman 804 dari lampiran grafik diperoleh :

`
Cp = 0,9 Btu/lb °F
Q = W.Cp ( t 2 - t 1)
37,45 = W × 0,9 ( 88,52 - 87 )
37,45 = 1,368 W
W = 27,37 lb/hr

∆ t 2 - ∆t 1 0.28
b. LMTD = 2,3 log ∆ t / ∆t = 2,3 log 23,04 /22,76 = 22,92
2 1

( T1- T2) (111,56 – 109,76 )


c. R = = = 1,184
( t2 - t1 ) ( 88,52 – 87 )
( t2 - t 1 ) ( 88,52 – 87 )
d. S = = = 0,061
( T 1 - t 1 ) ( 111,56 - 87 )
e. Dari Fig. 19 Kern, halaman 829 pada lampiran grafik dapat dilihat bahwa:
Ft = 0,99
∆t = LMTD ( Ft ) = 22,92 ( 0,99 ) = 22,69
f. Ta dan ta:
111,56 + 109,76
Ta = = 110,66
2
88,52+ 87
ta = = 87,76
2
Temperatur rata-rata Ta dan ta adalah Ta = 110,66 dan ta = 87,76

g. Fluida panas pada bagian Tube


Diameter Tube = 1,27 cm = 0,042 ft
Panjang tube (L) = 264 cm = 8,66 ft
 Flow Area
π D2 3,14 (0,042)2
a't = = = 0,00138 ft2
4 4
 Mass Velocity
W 37,34 lb/hr lb
Gt = = = 26.969,45
At 0,00138 ft 2
(hr) ft 2
Velocity through tube:

`
Gt
V =
3600ρ
26.969,45
=
3600 × 62,5
= 0,119 fps
 Pada Ta = 110,66
Dari lampiran grafik Fig. 14 Kern, halaman, 823 pada Ta = 110,66 °F
diperoleh
μ = 0,65 centipoises
μ = 0,65 × 2,42 = 1,573 lb/(ft)(hr)
DGt 0,042× 26.969,45
Ret = = = 720,09
μ 1,573
L 8,66
 = = 206,19
D 0,042
Dari Fig. 24 Kern halaman 834 pada lampiran grafik diperoleh :
JH = 2,7
 Ta = 110,66 °F
Dari lampiran grafik Fig. 2 Kern, halaman 804 dan Tabel. 4 Kern, halaman
800 diperoleh:
c = 0,9 Btu/(lb)(°F)
k = 0,3685 Btu/(hr)(ft2)(° F / ft ¿
Maka:
c . μ 13 0 , 9 ×1,573 13
( ) =( ) = 1,559
k 0,3685
k c . μ 13
 hi = JH ( )
D
(
k
) ϕt

hi 0,3685
= 2,7 × × 1,559 = 36,932
ϕt 0,042
Dari lampiran grafik Fig. 25 Kern, halaman 835 diperoleh nilai:
hi = 36,932 × 1,04
=38,409
0,041
hio = 38,409 × = 37,495
0,042

`
 Clean overall coefficient UC :
hioh o 37,495× 2,544
Uc = = = 2,382 Btu/(hr)(ft2)(oF)
hio+ ho 37,495+2,544
 Design overall coefficient UD :
Q 93,94
U D= = 2
As . ∆ t 0,0014 ft 2( 17,711) = 3.789Btu/(hr)(ft )(°F)

 Dirt factor Rd :
Uc−UD 2,382−3789
Rd = = = -0,420
UcUD 2,382× 3789

h. Fluida dingin pada bagian Shell


Diameter Shell = 16 cm = 0,53 ft
 Flow Area
π D2 3,14 (0,53)2
As = = = 0,221 ft2
4 4
 Mass Velocity
W 27,37 lb/hr lb
Gs = = = 123,87
As 0,221 ft 2
(hr) ft 2
 Pada ta= 87,76
DₒGs
Res =
μ
Dari lampiran grafik Fig. 14 Kern, halaman 823 pada ta = 87,76 ºF
diperoleh,
μ = 0,82 centipoises
μ = 0,82 × 2,42 = 1,9844 lb/(ft) (hr)
0,53× 123,87
Res = = 33,084
1,9844
Dari Fig. 28 Kern, halaman 838 pada lampiran grafik diperoleh :
 JH = 2,9
 Pada tc = 87,76 °F
Dari lampiran grafik Fig. 2 Kern, halaman 804 dan Table. 4 Kern, halaman
800 diperoleh:

`
c = 0,99 Btu/(lb)(°F)
k = 0,357 Btu/(hr)(ft2)(° F / ft ¿
Maka:
c . μ 13 0 , 99 ×1,9844 31
( ) =( ) = 1,755
k 0,357
k c . μ 13
 ho = JH ( )
Do
(
k
) ϕs

ho 0,357
= 2,9 × × 1,755
ϕs 0,53
= 3,430
 Corrected coefficient,
ho
ho = ϕ s = 3,430 × 1 = 3,430 Btu/(hr)(ft2)( oF)
ϕs
 Clean overall coefficient UC :
hioh o 37,495× 2,544
Uc = = = 2,382 Btu/(hr)(ft2)(oF)
hio+ ho 37,495+2,544
 Design overall coefficient UD :
Q 37,45
U D= = 2
As . ∆ t 0,221 ft 2 (22,69) = 7,466 Btu/(hr)(ft )(°F)

 Dirt factor Rd :
Uc−UD 2,382−7,466
Rd = = = -0,285
UcUD 2,382× 7,466

B. Run II Bukaan Panas (Tube) = 70°, Bukaan Dingin (Shell) =60°


3. Suhu 50 °C
T1 = 49,8 °C = 121,64 °F
T2 = 44,8 °C = 112,64 °F
t1 = 31 °C = 87,8 °F
t2 = 32,8 °C = 91 °F

Diketahui:
a. W pada aliran panas dengan suhu 112,64 °F
Q=¿ 10,5 L/menit = 60,5 Btu/hr

`
Dari Fig. 2 Kern, halaman 804 dari lampiran grafik diperoleh :
Cp = 0,9 Btu/lb °F
Q = W.Cp ( T1 - T2 )
60,5 = W × 0,9 ( 121,64 - 112,64 )
60,5 = 8,1 W
W = 7,469 lb/hr

W pada aliran dingin dengan suhu 87,8 °F


Q=¿ 6,5 L/menit = 37,45 Btu/hr
Dari Fig. 2 Kern, halaman 804 dari lampiran grafik diperoleh :
Cp = 0,9 Btu/lb °F
Q = W.Cp ( t 2 - t 1)
37,45 = W × 0,9 ( 91 - 87,8 )
37,45 = 2,88 W
W = 13 lb/hr

∆ t 2 - ∆t 1 5.8
b. LMTD = 2,3 log ∆ t / ∆t = 2,3 log 30,64 /24,84 = 27,66
2 1

( T1- T2) (121,64 – 112,64 )


c. R = = = 2,812
( t2 - t1 ) ( 91 – 87,8 )
( t2 - t1 ) ( 91 – 87,8 )
d. S = = = 0,094
( T 1 - t 1 ) ( 121 ,64 - 8 7 , 8 )
e. Dari Fig. 19 Kern, halaman 829 pada lampiran grafik dapat dilihat bahwa:
Ft = 0,98
∆t = LMTD ( Ft ) = 27,66 ( 0,98 ) = 27,116
f. Ta dan ta:
121,64 + 112, 6 4
Ta = = 117,14
2
91 + 87,8
ta = = 89,4
2
Temperatur rata-rata Ta dan ta adalah Ta = 117,14 dan ta = 89,8

`
g. Fluida panas pada bagian Tube
Diameter Tube = 1,27 cm = 0,042 ft
Panjang tube (L) = 264 cm = 8,66 ft
 Flow Area
π D2 3,14 (0,042)2
a't = = = 0,00138 ft2
4 4
 Mass Velocity
W 7,4691lb /hr lb
Gt = = = 5,412,41
At 0,00138 ft 2
(hr) ft 2
Velocity through tube:
Gt
V =
3600ρ
5,412,41
=
3600 × 62,5
= 0,024 fps
 Pada Ta = 117,14
Dari lampiran grafik Fig. 14 Kern, halaman, 823 pada Ta = 117,14 °F
diperoleh
μ = 0,6 centipoises
μ = 0,6 ×2,42 = 1,452 lb/(ft)(hr)
DGt 0,042× 5,412.41
Ret = = = 156,55
μ 1,452
L 8,66
 = = 206,19
D 0,042
Dari Fig. 24 Kern halaman 834 pada lampiran grafik diperoleh :
JH = 2,5
 Ta = 111,02 °F
Dari lampiran grafik Fig. 2 Kern, halaman 804 dan Tabel. 4 Kern, halaman
800 diperoleh:
c = 0,9 Btu/(lb)(°F)
k = 0,3685 Btu/(hr)(ft2)(° F / ft ¿
Maka:

`
c . μ 13 0 , 9 ×1,573 13
( ) =( ) = 1,559
k 0,3685
k c . μ 13
 hi = JH ( )
D
(
k
) ϕt

hi 0,3685
= 2,5 × × 1,559 = 34,196
ϕt 0,042
Dari lampiran grafik Fig. 25 Kern, halaman 835 diperoleh nilai:
hi = 34,196 × 1,04
= 35,564
0,041
hio = 35,564 × = 34,717
0,042
 Clean overall coefficient UC :
hioh o 34,717× 2,659
Uc = = = 2,470 Btu/(hr)(ft2)(oF)
hio+ ho 34,717+2,659
 Design overall coefficient UD :
Q 92,21
U D= = 2
As . ∆ t 0,0014 ft 2( 16,689) = 3.947 Btu/(hr)(ft )(°F)

 Dirt factor Rd :
Uc−UD 2,470−3947
Rd = = = -0,405
UcUD 2,470× 3947

h. Fluida dingin pada bagian Shell


Diameter Shell = 16 cm = 0,53 ft
 Flow Area
π D2 3,14 (0,53)2
As = = = 0,221 ft2
4 4
 Mass Velocity
W 12,896lb /hr lb
Gs = = = 58,353
As 0,221 ft 2
(hr) ft 2
 Pada ta= 93,74
DₒGs
Res =
μ

`
Dari lampiran grafik Fig. 14 Kern, halaman 823 pada ta = 93,74 ºF
diperoleh,
μ = 0,79 centipoises
μ = 0,79 × 2,42 = 1,9118 lb/(ft) (hr)
0,53× 58,353
Res = = 16,177
1,9118
Dari Fig. 28 Kern, halaman 838 pada lampiran grafik diperoleh :
 JH = 2,3
 Pada tc = 93,74 °F
Dari lampiran grafik Fig. 2 Kern, halaman 804 dan Table. 4 Kern, halaman
800 diperoleh:
c = 0,9 Btu/(lb)(°F)
k = 0,3685 Btu/(hr)(ft2)(° F / ft ¿
Maka:
c . μ 13 0 , 9 ×1,9118 13
( ) =( ) = 1,663
k 0,3685
k c . μ 13
 ho = JH ( )
Do
(
k
) ϕs

ho 0,3685
= 2,3 × × 1,663
ϕs 0,53
= 2,659

 Corrected coefficient,
ho
ho = ϕ s = 2,659 × 1 = 2,659 Btu/(hr)(ft2)( oF)
ϕs
 Clean overall coefficient UC :
hioh o 34,717× 2,659
Uc = = = 2,470 Btu/(hr)(ft2)(oF)
hio+ ho 34,717+2,659
 Design overall coefficient UD :
Q 50,14
U D= = 2
As . ∆ t 0,221 ft 2 (16,689) = 13,594 Btu/(hr)(ft )(°F)

 Dirt factor Rd :

`
Uc−UD 2,470−13,594
Rd = = = -0,331
UcUD 2,470× 13,594

C. Run III Bukaan Panas (Tube) = 50°, Bukaan Dingin (Shell) = 70°
1. Suhu 40 °C
T1 = 40 °C = 104 °F
T2 = 38 °C = 100,4 °F
t1 = 30,8 °C = 87,44 °F
t2 = 31,8 °C = 89,24 °F

Diketahui:
a. W pada aliran panas dengan suhu 104 °F
Q=¿ 10.5 L/menit = 60.5 Btu/hr
Dari Fig. 2 Kern, halaman 804 dari lampiran grafik diperoleh :
Cp = 0,9 Btu/lb °F
Q = W.Cp ( T1 - T2 )
60,5 = W × 0,9 ( 104 - 100,4 )
60,5 = 3,24 W
W = 18,67 lb/hr

W pada aliran dingin dengan suhu 87,44 °F


Q=¿ 6,5 L/menit = 37,45 Btu/hr
Dari Fig. 2 Kern, halaman 804 dari lampiran grafik diperoleh :
Cp = 0,9 Btu/lb °F
Q = W.Cp ( t 2 - t 1)
37,45 = W × 0,9 ( 89,44 - 87,44 )
37,45 = 1,8 W
W = 20,8 lb/hr

∆ t 2 - ∆t 1 1,6
b. LMTD = 2,3 log ∆ t / ∆t = 2,3 log 14,56 /12,96 = 13,75
2 1

`
( T1- T2) ( 104 – 100,4 )
c. R = = = 1,8
( t2 - t1 ) ( 89,44 – 87,44 )
( t 2 - t 1 ) ( 89,44 – 87,44 )
d. S = = = 0,120
( T 1 - t1 ) ( 104 - 87,44 )
e. Dari Fig. 19 Kern, halaman 829 pada lampiran grafik dapat dilihat bahwa:
Ft = 0,99
∆t = LMTD ( Ft ) = 13,75 ( 0,99 ) = 13,622
f. Ta dan ta:
104+100,4
Ta = = 102,2
2
89,44+87,44
ta = = 88,44
2
Temperatur rata-rata Ta dan ta adalah Ta = 102,2 dan ta = 88,44
g. Fluida panas pada bagian Tube
Diameter Tube = 1,27 cm = 0,042 ft
Panjang tube (L) = 264 cm = 8,66 ft
 Flow Area
π D2 3,14 (0,042)2
a't = = = 0,00138 ft2
4 4
 Mass Velocity
W 18,672lb /hr lb
Gt = = = 13,531
At 0,00138 ft 2
(hr) ft 2
Velocity through tube:
Gt
V =
3600ρ
13,531
=
3600 × 62,5
= 0,06 fps
 Pada Ta = 102,2
Dari lampiran grafik Fig. 14 Kern, halaman, 823 pada Ta = 102,2 °F
diperoleh
μ = 0,7 centipoises

`
μ = 0,7 ×2,42 = 1,694 lb/(ft)(hr)
DGt 0,042× 13,531
Ret = = = 335,48
μ 1,694
L 8,66
 = = 206,19
D 0,042
Dari Fig. 24 Kern halaman 834 pada lampiran grafik diperoleh :
JH = 2,1
 Ta = 102,2 °F
Dari lampiran grafik Fig. 2 Kern, halaman 804 dan Tabel. 4 Kern, halaman
800 diperoleh:
c = 0,9 Btu/(lb)(°F)
k = 0,381 Btu/(hr)(ft2)(° F / ft ¿
Maka:
c . μ 13 0 , 9 ×1,694 13
( ) =( ) = 1,604
k 0,363
k c . μ 13
 hi = JH ( )
D
(
k
) ϕt

hi 0,363
= 2,2 × × 1,604 = 30,577
ϕt 0,042
Dari lampiran grafik Fig. 25 Kern, halaman 835 diperoleh nilai:
hi = 30,577 × 1,04
= 31,801
0,041
hio = 31,801 × = 31,043
0,042
 Clean overall coefficient UC :
hioh o 31,043× 2,406
Uc = = = 2,2329 Btu/(hr)(ft2)(oF)
hio+ ho 31,043+2,406
 Design overall coefficient UD :
Q 60,5
U D= = 2
As . ∆ t 0,0014 ft 2( 13,622) = 3172,31 Btu/(hr)(ft )(°F)

 Dirt factor Rd :
Uc−UD 2,2329−3172,31
Rd = = = -0,447
UcUD 2,2329× 3172,31

`
h. Fluida dingin pada bagian Shell
Diameter Shell = 16 cm = 0,53 ft
 Flow Area
π D2 3,14 (0,53)2
As = = = 0,221 ft2
4 4
 Mass Velocity
W 20,80lb /hr lb
Gs = = = 94,14
As 0,221 ft 2
(hr) ft 2
 Pada ta = 88,44
DₒGs
Res =
μ
Dari lampiran grafik Fig. 14 Kern, halaman 823 pada ta = 88,44 ºF
diperoleh,
μ = 0,82 centipoises
μ = 0,82 × 2,42 = 1,984 lb/(ft) (hr)
0,53× 94,14
Res = = 25,14
1,984
Dari Fig. 28 Kern, halaman 838 pada lampiran grafik diperoleh :
 JH = 2,8
 Pada tc = 88,44 °F
Dari lampiran grafik Fig. 2 Kern, halaman 804 dan Table. 4 Kern, halaman
800 diperoleh:
c = 0,99 Btu/(lb)(°F)
k = 0,357 Btu/(hr)(ft2)(° F / ft ¿
Maka:
c . μ 13 0 , 99 ×1,9844 31
( ) =( ) = 1,754
k 0,357
k c . μ 13
 ho = JH
Do( )
(
k
) ϕs

ho 0,357
= 2,8 × × 1,754
ϕs 0,53
= 3,314

`
 Corrected coefficient,
ho
ho = ϕ s = 3,314 × 1 = 3,314 Btu/(hr)(ft2)( oF)
ϕs
 Clean overall coefficient UC :
hioh o 31,043× 3,314
Uc = = = 2,994 Btu/(hr)(ft2)(oF)
hio+ ho 31,043+3,314
 Design overall coefficient UD :
Q 37,45
U D= = 2
As . ∆ t 0,221 ft 2 (13,62) = 12,43 Btu/(hr)(ft )(°F)

 Dirt factor Rd :
Uc−UD 2,994−12,43
Rd = = = -0,253
UcUD 2,994 ×12,43

C. Run III Bukaan Panas (Tube) =50°, Bukaan Dingin (Shell) = 70°
2. Suhu 45 °C
T1 = 45 °C = 113 °F
T2 = 44 °C = 111,2 °F
t1 = 31,4 °C = 88,52 °F
t2 = 32 °C = 89,6 °F

Diketahui:
a. W pada aliran panas dengan suhu 113 °F
Q=¿ 10,5 L/menit = 60,5 Btu/hr
Dari Fig. 2 Kern, halaman 804 dari lampiran grafik diperoleh :
Cp = 0,9 Btu/lb °F
Q = W.Cp ( T1 - T2 )
60,5 = W × 0,9 ( 113 – 111,2 )
60,5 = 1.62 W
W = 37,34 lb/hr

W pada aliran dingin dengan suhu 88,52 °F


Q=¿ 6,5 L/menit = 37,45 Btu/hr

`
Dari Fig. 2 Kern, halaman 804 dari lampiran grafik diperoleh :
Cp = 0,9 Btu/lb °F
Q = W.Cp ( t 2 - t 1)
37,45 = W × 0,9 ( 89,6 - 88,52 )
37,45 = 0,972 W
W = 38,52 lb/hr

∆ t 2 - ∆t 1 0,72
b. LMTD = 2,3 log ∆ t / ∆t = 2,3 log 23,4 /22,68 = 23,06
2 1

( T1- T2) (113 – 111,2)


c. R = = = 1,66
( t2 - t1 ) ( 89,6 – 88,52 )
( t 2 - t 1 ) ( 89,6 – 88,52 )
d. S = = = 0,044
( T 1 - t1 ) ( 113 - 88,52 )
e. Dari Fig. 19 Kern, halaman 829 pada lampiran grafik dapat dilihat bahwa:
Ft = 0,99
∆t = LMTD ( Ft ) = 23,06 ( 0,99 ) = 22,83

f. Ta dan ta:
113+111,2
Ta = = 112,1
2
89,6+88,52
ta = = 89,06
2
Temperatur rata-rata Ta dan ta adalah Ta = 112,1 dan ta = 89,06

g. Fluida panas pada bagian Tube


Diameter Tube = 1,27 cm = 0,042 ft
Panjang tube (L) = 264 cm = 8,66 ft
 Flow Area
π D2 3,14 (0,042)2
a't = = = 0,00138 ft2
4 4
 Mass Velocity

`
W 37,345lb /hr lb
Gt = = = 27.062,09
At 0,00138 ft 2
(hr) ft 2
Velocity through tube:
Gt
V =
3600ρ
27.062,09
=
3600 × 62,5
= 0,120 fps
 Pada Ta = 112,1
Dari lampiran grafik Fig. 14 Kern, halaman, 823 pada Ta = 112,1 °F
diperoleh
μ = 0,65 centipoises
μ = 0,65 ×2,42 = 1,573 lb/(ft)(hr)
DGt 0,042× 27.062,09
Ret = = = 722,5732
μ 1,573
L 8,66
 = = 206,19
D 0,042
Dari Fig. 24 Kern halaman 834 pada lampiran grafik diperoleh :
JH = 2,7
 Ta = 112,1 °F
Dari lampiran grafik Fig. 2 Kern, halaman 804 dan Tabel. 4 Kern, halaman
800 diperoleh:
c = 0,99 Btu/(lb)(°F)
k = 0,3683 Btu/(hr)(ft2)(° F / ft ¿
Maka:
c . μ 13 0 , 9 ×1,573 13
( ) =( ) = 1,559
k 0,3683
k c . μ 13
 hi = JH ( )
D
(
k
) ϕt

hi 0,3683
= 2,7 × × 1,559 = 36,923
ϕt 0,042
Dari lampiran grafik Fig. 25 Kern, halaman 835 diperoleh nilai:
hi = 36,923 × 1,04

`
=38,400
0,041
hio = 38,400 × = 37,486
0,042
 Clean overall coefficient UC :
hioh o 37,486× 2,915
Uc = = = 2,7046 Btu/(hr)(ft2)(oF)
hio+ ho 37,486+2,915
 Design overall coefficient UD :
Q 60,5
U D= = 2
As . ∆ t 0,0014 ft 2( 22,83) = 1.892 Btu/(hr)(ft )(°F)

 Dirt factor Rd :
Uc−UD 2,706−1892
Rd = = = -0,369
UcUD 2,706× 1892

h. Fluida dingin pada bagian Shell


Diameter Shell = 16 cm = 0,53 ft
 Flow Area
π D2 3,14 (0,53)2
As = = = 0,221 ft2
4 4
 Mass Velocity
W 38,52lb /hr lb
Gs = = = 174,338
As 0,221 ft 2
(hr) ft 2
 Pada ta= 89,06
DₒGs
Res =
μ
Dari lampiran grafik Fig. 14 Kern, halaman 823 pada ta = 89,06 ºF
diperoleh,
μ = 0,81 centipoises
μ = 0,81 × 2,42 = 1,9602 lb/(ft) (hr)
0,53× 174,338
Res = = 47,137
1,9602
Dari Fig. 28 Kern, halaman 838 pada lampiran grafik diperoleh :
 JH = 3,7
 Pada tc = 89,06 °F

`
Dari lampiran grafik Fig. 2 Kern, halaman 804 dan Table. 4 Kern, halaman
800 diperoleh:
c = 0,99 Btu/(lb)(°F)
k = 0,357 Btu/(hr)(ft2)(° F / ft ¿
Maka:
c . μ 13 0 , 99 ×1,9602 13
( ) =( ) = 1,747
k 0,357
k c . μ 13
 ho = JH ( )
Do
(
k
) ϕs

ho 0,357
= 3,7 × × 1,747
ϕs 0,53
= 4,364
 Corrected coefficient,
ho
ho = ϕ s = 4,364 × 1 = 4,364 Btu/(hr)(ft2)( oF)
ϕs
 Clean overall coefficient UC :
hioh o 37,486× 4,364
Uc = = = 3,909 Btu/(hr)(ft2)(oF)
hio+ ho 37,486+ 4,364

 Design overall coefficient UD :


Q 37,45
U D= = 2
As . ∆ t 0,221 ft 2 (22,83) = 7,421 Btu/(hr)(ft )(°F)

 Dirt factor Rd :
Uc−UD 3,909−7,421
Rd = = = -0,121
UcUD 3,909× 7,421

C. Run III Bukaan Panas (Tube) = 50°, Bukaan Dingin (Shell) = 70°
3. Suhu 50 °C
T1 = 49,8 °C = 121,64 °F
T2 = 47 °C = 116,6 °F
t1 = 31,2 °C = 88,16 °F
t2 = 33,2 °C = 91,76 °F

`
Diketahui:
a. W pada aliran panas dengan suhu 121,64 °F
Q=¿ 10,5 L/menit = 60,5 Btu/hr
Dari Fig. 2 Kern, halaman 804 dari lampiran grafik diperoleh :
Cp = 0,9 Btu/lb °F
Q = W.Cp ( T1 - T2 )
60,5 = W × 0,9 ( 118,4 – 116,06 )
60,5 = 4,536 W
W = 13,337 lb/hr

W pada aliran dingin dengan suhu 88,16 °F


Q=¿ 6,5 L/menit = 37,45 Btu/hr
Dari Fig. 2 Kern, halaman 804 dari lampiran grafik diperoleh :
Cp = 0,9 Btu/lb °F
Q = W.Cp ( t 2 - t 1)
37,45 = W × 0,9 ( 91,76 - 8 8,1 6 )
37,45 = 3,24 W
W = 11,558 lb/hr

∆ t 2 - ∆t 1 1,44
b. LMTD = 2,3 log ∆ t / ∆t = 2,3 log 29,88 /28,44 = 29,18
2 1

( T1- T2) (121,64 – 116,6 )


c. R = = = 1,4
( t2 - t1 ) ( 91,76 – 88,16 )
( t2 - t1 ) ( 91,76 – 8 8,1 6 )
d. S = = = 0,107
( T 1 - t 1 ) ( 121,64 - 8 8,16 )
e. Dari Fig. 19 Kern, halaman 829 pada lampiran grafik dapat dilihat bahwa:
Ft = 0,99
∆t = LMTD ( Ft ) = 29,18 ( 0,99 ) = 28,89
f. Ta dan ta:
121,64 + 116,6
Ta = = 119,12
2

`
91,76 + 8 8,16
ta = = 89,96
2
Temperatur rata-rata Ta dan ta adalah Ta = 119,12 dan ta = 89,96

g. Fluida panas pada bagian Tube


Diameter Tube = 1,27 cm = 0,042 ft
Panjang tube (L) = 264 cm = 8,66 ft
 Flow Area
π D2 3,14 (0,042)2
a't = = = 0,00138 ft2
4 4
 Mass Velocity
W 13,337 lb /hr lb
Gt = = = 9665,031
At 0,00138 ft 2
(hr) ft 2
Velocity through tube:
Gt
V =
3600ρ
9665,031
=
3600 × 62,5
= 0,042 fps
 Pada Ta = 119,12
Dari lampiran grafik Fig. 14 Kern, halaman, 823 pada Ta = 119,12 °F
diperoleh
μ = 0,6 centipoises
μ = 0,6 ×2,42 = 1,452 lb/(ft)(hr)
DGt 0,042× 9665,031
Ret = = = 279,567
μ 1,452
L 8,66
 = = 206,19
D 0,042
Dari Fig. 24 Kern halaman 834 pada lampiran grafik diperoleh :
JH = 2,2
 Ta = 119,12 °F
Dari lampiran grafik Fig. 2 Kern, halaman 804 dan Tabel. 4 Kern, halaman
800 diperoleh:

`
c = 0,9 Btu/(lb)(°F)
k = 0,371 Btu/(hr)(ft2)(° F / ft ¿

Maka:
c . μ 13 0 , 9 ×1,452 13
( ) =( ) = 1,514
k 0,371
k c . μ 13
 hi = JH ( )
D
(
k
) ϕt

hi 0,371
= 2,2 × × 1,514 = 29,47
ϕt 0,042
Dari lampiran grafik Fig. 25 Kern, halaman 835 diperoleh nilai:
hi = 29,47 × 1,04
= 30,65
0,041
hio = 30,65 × = 29,92
0,042

 Clean overall coefficient UC :


hioh o 29,92× 2,574
Uc = = = 2,370 Btu/(hr)(ft2)(oF)
hio+ ho 29,92+2,574
 Design overall coefficient UD :
Q 60,5
U D= = 2
As . ∆ t 0,0014 ft 2( 28,89) = 1495.56 Btu/(hr)(ft )(°F)

 Dirt factor Rd :
Uc−UD 2,370−1495,56
Rd = = = -0,421
UcUD 2,370× 1495,56

h. Fluida dingin pada bagian Shell


Diameter Shell = 16 cm = 0,53 ft
 Flow Area
π D2 3,14 (0,53)2
As = = = 0,221 ft2
4 4
 Mass Velocity

`
W 11,558 lb/hr lb
Gs = = = 52,301
As 0,221 ft 2
(hr) ft 2
 Pada ta = 89,96
DₒGs
Res =
μ
Dari lampiran grafik Fig. 14 Kern, halaman 823 pada ta = 89,96 ºF
diperoleh,
μ = 0,81 centipoises
μ = 0,81 × 2,42 = 1,9602 lb/(ft) (hr)
0,53 × 52,301
Res = = 14,141
1,9602
Dari Fig. 28 Kern, halaman 838 pada lampiran grafik diperoleh :
 JH = 2,2
 Pada tc = 89,96 °F
Dari lampiran grafik Fig. 2 Kern, halaman 804 dan Table. 4 Kern, halaman
800 diperoleh:
c = 0,99 Btu/(lb)(°F)
k = 0,358 Btu/(hr)(ft2)(° F / ft ¿
Maka:
c.μ 13 0 ,99 × 1,9602 13
( ) =( ) = 1,746
k 0,358
k c . μ 13
 ho = JH ( )
Do
(
k
) ϕs

ho 0,385
= 2,2 × × 1,746
ϕs 0,53
= 2,597
 Corrected coefficient,
ho
ho = ϕ s = 2,597 × 1 = 2,597 Btu/(hr)(ft2)( oF)
ϕs
 Clean overall coefficient UC :
hioh o 29,471× 2,574
Uc = = = 2,389 Btu/(hr)(ft2)(oF)
hio+ ho 29,471+2,574
 Design overall coefficient UD :

`
Q 37,45
U D= = 2
As . ∆ t 0,221 ft 2 (28,89) = 5,864 Btu/(hr)(ft )(°F)

 Dirt factor Rd :
Uc−UD 2,389−5,864
Rd = = = -0,247
UcUD 2,389× 5,864

`
LAMPIRAN C
GAMBAR ALAT

Alat perpindahan panas Ember

Gelas ukur Heater

`
PERCOBAAN II

PENGERINGAN

`
Revisi, 22 juni 2020
ACC, 7 Juli 2020

LAPORAN PROSES TEKNIK KIMIA II


PENGERINGAN

Diajukan untuk Memenuhi Laporan Praktikum Proses Teknik Kimia II

Disusun Oleh :
Kelompok V (A1)

Indriani NIM. 170140052


Efri Marnelisa NIM. 170140067
Dewi Lestari NIM. 170140122
Lisa Andriani NIM. 170140136
M. Firman Maulana NIM. 170140137
Alfathan Anshori As. NIM.170140141

LABOLATURIUM TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK


UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
BUKIT INDAH
2020

`
ABSTRAK

Pengeringan atau drying merupakan operasi pengurangan kadar air bahan padat
sampai batas tertentu yang melibatkan perpindahan panas dengan beberapa
tingkatan proses. Tujuan dari percobaan ini adalah mampu menyebutkan dan
menjelaskan cara kerja dari alat pengeringan, menjelaskan variabel-variabel operasi
dalam pengeringan, mengoperasikan alat, membuat grafik antara moisture content
zat padat dengan kecepatan pengeringan (drying rate zat yang dikeringkan) dan
dapat menentukan critical moisture content pada zat padat yang dikeringkan
dalam dryer. Pada percobaan ini bahan yang digunakan adalah jahe dengan tiga
macam bentuk yaitu lingkaran dengan diameter 4 cm, persegi dengan ukuran 1,5
cm, dan persegi panjang dengan panjang 4x2 cm dengan ketebalan 4 mm. Suhu
yang digunakan yaitu 50oC dan 55oC dengan waktu 50 menit, 55 menit dan 60
menit. Langkah pertama pada percobaan ini adalah proses pemotongan jahe yang
bertujuan untuk mempercepat pengeringan. Selanjutnya dimasukkan kedalam
oven pada suhu 50oC dan 55oC dengan variasi waktu 50 menit, 55 menit dan 60
menit. Hasil yang diperoleh dari percobaan ini adalah nilai moisture content
tertinggi pada run I yaitu pada bentuk persegi panjang dengan waktu 60 menit
yaitu sebesar 70,94%, sedangkan nilai moisture content terendah pada run I yaitu
pada bentuk lingkaran dengan waktu 50 menit yaitu sebesar 9,13%. Nilai
moisture content tertinggi pada run II yaitu pada bentuk persegi panjang dengan
waktu 60 menit yaitu sebesar 67,91%, sedangkan nilai moisture content terendah
pada run II yaitu pada bentuk lingkaran dengan waktu 50 menit yaitu sebesar
11,68%. Berdasarkan hasil percobaan dapat disimpulkan bahwa semakin besar
suhu yang diberikan maka proses pengeringan akan berlangsung lebih cepat.

Kata Kunci: Drying rate, Pengeringan, dan Moisture Content

`
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Judul Praktikum : Pengeringan


1.2 Tanggal Praktikum :
1.3 Nama Kelompok : 1. Indriani NIM. 170140052
2. Efri Marnelisa NIM. 170140067
3. Dewi Lestari NIM. 170140122
4. Lisa Andriani NIM. 170140136
5. M. Firman Maulana NIM. 170140137
6. Alfathan Anshori As. NIM.170140141
1.4 Tujuan Praktikum : 1. Mampu menyebutkan dan menjelaskan cara
kerja dari alat pengeringan.
2. Mampu menjelaskan variable-variabel
operasi dalam pengeringan.
3. Mampu mengoperasikan alat.
4. Membuat grafik antara Moisture content zat
padat dengan kecepatan pengeringan (drying
rate dari zat yang dikeringkan).
5. Dapat menentukan critical moisture content
pada zat padat yang dikeringkan dalam
dryer.

`
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengeringan
Pengeringan adalah proses pemindahan panas dan uap air secara simultan
yang memerlukan panas untuk menguapkan air dari permukaan bahan tanpa
mengubah sifat kimia dari bahan tersebut. Dasar dari proses pengeringan adalah
terjadinya penguapan air ke udara karena perbedaan kandungan uap air antara
udara dan bahan yang dikeringkan. Laju pemindahan kandungan air dari bahan
akan mengakibatkan berkurangnya kadar air dalam bahan tersebut. Pengeringan
merupakan operasi pengurangan kadar air bahan padat sampai batas tertentu
sehingga bahan tersebut bebas terhadap serangan mikroorganisme, enzim, dan
insekta yang merusak. Secara lebih luas, pengeringan merupakan proses yang
terjadi secara simultan antara perpindahan panas dari udara pengeringan ke bahan
yang dikeringkan dan terjadi penguapan uap air dari bahan yang dikeringkan
(Mujumdar, 2006).
Pengeringan adalah proses pengeluaran air atau pemisahan air dalam
jumlah yang relatif kecil dari bahan dengan menggunakan energi panas. Hasil dari
proses pengeringan adalah bahan kering yang mempunyai kadar air setara dengan
kadar air keseimbangan udara normal atau setara dengan nilai aktivitas air (aw)
yang aman dari kerusakan mikrobiologis, enzimatis, dan kimiawi. Pengeringan
merupakan salah satu proses pengolahan pangan yang sudah lama dikenal. Tujuan
dari proses pengeringan adalah menurunkan kadar air bahan sehingga bahan
menjadi lebih awet, mengecilkan volume bahan untuk memudahkan, menghemat
biaya pengangkutan, pengemasan, dan penyimpanan. Meskipun demikian ada
kerugian yang ditimbulkan selama pengeringan yaitu terjadinya perubahan sifat
fisik dan kimiawi bahan serta terjadinya penurunan mutu bahan (Anton, 2011).
Pengeringan (drying) zat padat berarti pemisahan sejumlah kecil air atau
zat cair lain dari bahan padat, sehingga mengurangi kandungan sisa zat cair di
dalam zat padat itu sampai suatu nilai terendah yang dapat diterima. Pengeringan
biasanya merupakan alat terakhir dari sederetan operasi, dan hasil pengeringan
biasanya siap untuk dikemas (Mc. Cabe, 1993). Secara umum, perbedaan
pengeringan (drying) dan peguapan (evaporation) adalah jumlah air yang
diuapkan dari material. Pada proses drying hanya mengurangi sejumlah kecil
kadar air dari material sementara evaporation mengurangi kadar air dari material
dalam jumlah yang besar. Pada beberapa kasus, kadar air dalam padatan dikurangi
secara mekanik dengan proses pemerasan, centrifuging, dan berbagai cara lain.
Dalam operasi pengeringan pada sistem udara-air ada beberapa definisi yang
lazim digunakan. Perhitungan teknis biasanya didasarkan pada satuan massa gas
bebas uap. Uap yang dimaksud adalah bentuk gas dari komponen yang juga
terdapat dalam fasa cair. Sedangkan gas adalah komponen yang hanya terdapat
dalam bentuk gas saja (Geankoplis, 1993).

2.2 Mekanisme Pengeringan


Mekanisme pengeringan adalah bagian terpenting dalam teknik pengeringan
karena dengan mengetahui mekanisme pengeringan dapat diperkirakan jumlah
energi dan waktu proses optimum untuk tujuan pengawetan dengan pengeringan.
Energi yang dibutuhkan dalam pengeringan terutama adalah berupa energi panas
untuk meningkatkan suhu dan menambah tenaga pemindahan air. Waktu proses
erat kaitannya dengan laju pengeringan dan tingkat kerusakan yang dapat
dikendalikan akibat pengeringan (Mujumdar, 2006).
Air dalam padatan ada yang terikat baik atau tidak terikat. Metode untuk
menghilangkan kadar air terikat yaitu penguapan. Penguapan terjadi ketika
tekanan uap dari kelembaban pada permukaan padat sama dengan tekanan
atmosfer. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan suhu kelembaban ke titik didih.
Fenomena semacam ini terjadi di pengering roller. Jika bahan kering adalah panas
sensitif, maka temperatur dimana penguapan terjadi yaitu, titik didih dapat
diturunkan dengan menurunkan tekanan. Jika tekanan diturunkan di bawah titik
tripel, maka tidak ada fase cair dapat eksis dan kelembaban dalam produk beku.
Penambahan panas menyebabkan sublimasi es langsung ke uap air seperti dalam
kasus pengeringan beku (Mujumdar, 2006).

`
2.3 Prinsip-Prinsip Pengeringan
Berbagai jenis bahan yang dikeringkan di dalam peralatan komersial dan
banyaknya macam peralatan yang digunakan orang, maka tidak ada satu teori pun
mengenai pengeringan yang dapat meliputi semua jenis bahan dan peralatan yang
ada. Variasi bentuk dan ukuran bahan, keseimbangan kebasahannya (moisture),
mekanisme aliran bahan pembasah tersebut, serta metode pemberian kalor yang
diperlukan dipilih sebagai variabel dalam proses pengeringan. Menurut Mc. Cabe
(1993), prinsip–prinsip yang perlu diperhatikan dalam pembuatan alat pengering
antara lain:
1. Pola suhu di dalam pengering
2. Perpindahan kalor di dalam pengering
3. Perhitungan beban kalor
4. Satuan perpindahan kalor
5. Perpindahan massa di dalam pengering

2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengeringan


1. Luas Permukaan
Luas atau area adalah besaran yang menyatakan ukuran dua dimensi suatu
bagian permukaan yang dibatasi dengan jelas, biasanya suatu daerah yang dibatasi
oleh kurva tertutup. Luas permukaan menyatakan luasan permukaan suatu benda
pada tiga dimensi (Risdianti,2016). Menurut King (1971), makin luas permukaan
bahan makin cepat bahan menjadi kering. Air menguap melalui permukaan bahan,
sedangkan air yang ada di bagian tengah akan merembes ke bagian permukaan
dan kemudian menguap. Untuk mempercepat pengeringan umumnya bahan
pangan yang akan dikeringkan dipotong-potong atau di iris-iris terlebih dulu. Hal
ini terjadi karena:
a. Pemotongan atau pengirisan tersebut akan memperluas permukaan bahan
dan permukaan yang luas dapat berhubungan dengan medium pemanasan
sehingga air mudah keluar.
b. Potongan-potongan kecil atau lapisan yang tipis mengurangi jarak dimana
panas harus bergerak sampai ke pusat bahan pangan. Potongan kecil juga

`
akan mengurangi jarak melalui massa air dari pusat bahan yang harus
keluar ke permukaan bahan dan kemudian keluar dari bahan tersebut.
2. Perbedaan Suhu dan Udara Sekitarnya
Semakin besar perbedaan suhu antara medium pemanas dengan bahan
pangan makin cepat pemindahan panas ke dalam bahan dan makin cepat pula
penghilangan air dari bahan. Air yang keluar dari bahan yang dikeringkan akan
menjenuhkan udara sehingga kemampuannya untuk menyingkirkan air berkurang.
Jadi dengan semakin tinggi suhu pengeringan maka proses pengeringan akan
semakin cepat. Akan tetapi bila tidak sesuai dengan bahan yang dikeringkan,
akibatnya akan terjadi suatu peristiwa yang disebut "Case Hardening", yaitu suatu
keadaan dimana bagian luar bahan sudah kering sedangkan bagian dalamnya
masih basah (Perry, 1984).
3. Kecepatan Aliran Udara
Makin tinggi kecepatan udara, makin banyak penghilangan uap air dari
permukaan bahan sehinngga dapat mencegah terjadinya udara jenuh di permukaan
bahan. Udara yang bergerak dan mempunyai gerakan yang tinggi selain dapat
mengambil uap air juga akan menghilangkan uap air tersebut dari permukaan
bahan pangan, sehingga akan mencegah terjadinya atmosfer jenuh yang akan
memperlambat penghilangan air. Apabila aliran udara disekitar tempat
pengeringan berjalan dengan baik, proses pengeringan akan semakin cepat, yaitu
semakin mudah dan semakin cepat uap air terbawa dan teruapkan (Fadilah, 2010).
4. Tekanan Udara
Semakin kecil tekanan udara akan semakin besar kemampuan udara untuk
mengangkut air selama pengeringan, karena dengan semakin kecilnya tekanan
berarti kerapatan udara makin berkurang sehingga uap air dapat lebih banyak
tertampung dan disingkirkan dari bahan pangan. Sebaliknya jika tekanan udara
semakin besar maka udara disekitar pengeringan akan lembab, sehingga
kemampuan menampung uap air terbatas dan menghambat proses atau laju
pengeringan (King, 1971).
5. Kelembapan Udara
Semakin lembab udara maka semakin lama pengeeringan sedangkan

`
Semakin kering udara maka makin cepat pengeringan. Karena udara kering dapat
mengabsorbsi dan menahan uap air. Setiap bahan mempunyai keseimbangan
kelembaban dengan nisbi masing-masing. Kelembaban pada suhu tertentu dimana
bahan tidak akan kehilangan air (pindah) ke atmosfer atau tidak akan mengambil
uap air dari atmosfer. Menurut Treybal (1981), mekanisme keluarnya air dari
dalam bahan selama pengeringan adalah sebagai berikut:
1. Air bergerak melalui tekanan kapiler.
2. Penarikan air disebabkan oleh perbedaan konsentrasi larutan disetiap bagian
bahan.
3. Penarikan air ke permukaan bahan disebabkan oleh absorpsi dari lapisan-
lapisan permukaan komponen padatan dari bahan.
4. Perpindahan air dari bahan ke udara disebabkan oleh perbedaan tekanan uap.
(Treybal, 1981).

2.5 Perpindahan Kalor dalam Pengeringan


Pengeringan zat padat basah menurut definisinya adalah suatu proses
termal. Walaupun prosesnya bertambah rumit karena adanya difusi di dalam zat
padat atau melalui gas, pengeringan bahan dapat dilakukan dengan terus
memanaskannya sampai diatas titik didih zat cair, misalnya dengan mengontakkan
zat padat tersebut dengan uap yang sangat panas (superheated steam). Dalam
sebagian besar proses pengeringan adiabatik, difusi selalu ada tetapi biasanya laju
pengering itu dibatasi oleh perpindahan kalor, bukan perpindahan massa. Karena
itu, sebagian besar pengering dirancang hanya atas dasar perpindahan kalor saja
(Richardson, 2002).
Dalam perhitungan pengering berlaku persamaan dasar perpindahan kalor
seperti persamaan:
qT = U x A x ∆T...........................................(2.1)
dimana:
U = koefisien perpindahan kalor overall
A = luas perpindahan kalor
∆T = beda temperatur rata-rata

`
2.6 Kesetimbangan Fasa Uap dan Fasa Cair dalam Pengeringan

Data kesetimbangan fasa untuk zat padat lembab umumnya diberikan


sebagai hubungan antara kelembaban relatif gas dan kandungan zat cair di dalam
zat padat, dalam massa zat cair per satuan massa zat padat bone dry. Contoh
hubungan kesetimbangan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.2. Hubungan
kesetimbangan ini tidak bergantung pada temperatur. Absis kurva tersebut dapat
dengan mudah dikonversikan menjadi kelembaban absolut dalam massa uap per
satuan massa gas kering (Kirk dan Othmer, 1982).

Gambar 2.1 Kurva kesetimbangan moisture pada suhu 25oC

Bila suatu zat padat basah dikontakkan dengan udara yang humiditasnya
lebih rendah dari kandungan moisture zat padat tersebut, seperti terlihat pada
kurva kesetimbangan kelembaban, zat padat tersebut akan melepaskan sebagian
kandungan moisture-nya dan semakin kering sehingga kelembabannya sama
dengan kelembaban udara. Bila udara itu lebih lembab dari zat padat yang berada
dalam kesetimbangan dengan udara tersebut, zat padat akan menyerap moisture
dari udara sampai tercapai kesetimbangan (Kirk dan Othmer, 1982).

`
2.7 Laju Pengeringan
Setiap material yang akan dikeringkan memiliki karakteristik kinetika
pengeringan yang berbeda-beda bergantung terhadap struktur internal dari
material yang akan dikeringkan. Kinetika pengeringan memperlihatkan perubahan
kandungan air yang terdapat dalam material untuk setiap waktu saat dilakukan
proses pengeringan. Dari kinetika pengeringan dapat diketahui jumlah air dari
material yang telah diuapkan, waktu pengeringan, konsumsi energi. Menurut
Mc.Cabe (1993), parameter-parameter dalam proses pengeringan untuk
mendapatkan data kinetika pengeringan adalah:
1. Moisture Content (X)
Moisture Content (X) menunjukkan kandungan air yang terdapat dalam
material untuk tiap satuan massa padatan. Moisture content (X) dibagi dalam 2
macam yaitu basis kering (X) dan basis basah (X’). Moisture content basis kering
(X) menunjukkan rasio antara kandungan air (kg) dalam material terhadap berat
material kering (kg). Sedangkan moisture content basis basah (X’) menunjukkan
rasio antara kandungan air (kg) dalam material terhadap berat material basah (kg).
Persamaan untuk menghitung moisture content basis kering adalah:
W −Ws
X t= ……………...………………..
Ws
(2.2)

Dimana:
Xt = moisture content basis kering
W = berat bahan basah (kg)
Ws = berat bahan kering (kg)

2. Drying Rate (N, kg/m2s )


Drying rate (N, kg/m2s ) menunjukkan laju penguapan air untuk tiap
satuan luas dari permukaan yang kontak antara material dengan fluida panas.
Persamaan yang digunakan untuk menghitung laju pengeringan menurut Treybal
(1981) adalah:

`
WsdX t
R = - ..……………………………...….
A dt
(2.3)

Dimana:
R = laju pengeringan (kg H2O yang diuapkan/jam.m2)
Ws = berat bahan kering (kg)
A = luas permukaan bahan (m2)
Xt = moisture content basis kering (kg H2O/kg bahan kering)
T = waktu (jam)
(Mc. Cabe, 1993)

`
BAB III
METODELOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat–Alat
Adapun alat-alat yang digunakan sebagai berikut:
1. Oven 1 unit
2. Neraca Analitik 1 unit
3. Mikrometer sekrup 1 unit
4. Cutter 1 unit
5. Penggaris 1 unit
6. Alumunium foil Secukupnya

3.1.2 Bahan–Bahan
Adapun bahan-bahan yang digunakan sebagai berikut:
1. Jahe Secukupnya

3.2 Cara Kerja


Adapun cara kerja pada percobaan ini adalah :
1. Jahe dipotong dengan bentuk lingkaran dengan diameter 4 cm, persegi
dengan ukuran 1,5 cm dan persegi panjang dengan ukuran 4 x 2 cm dan
ketebalan masing-masing 4 mm.
2. Jahe yang telah dipotong kemudian ditimbang dan dicatat hasilnya.
3. Setelah ditimbang, jahe dipanaskan dalam oven sampai mencapai suhu
50oC dan 55 oC, dengan variasi waktu pada masing-masing suhu yaitu 50
menit, 55 menit dan 60 menit.
4. Kemudian ditimbang dan dicatat hasilnya.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Adapun hasil dari percobaan ini adalah sebagai berikut:
Tabel 4.1 Hasil Percobaan Drying
Run I pada suhu 50oC
Massa (gr) Moisture content (x) % moisture content
waktu

0 2,19 4,10 5,61 0 0 0 0 0 0


50 1,99 1,67 1,76 0,0913 0,5927 0,6863 9,13 59,27 68,63
55 1,94 1,60 1,69 0,1142 0,6098 0,6988 11,42 60,98 69,88
60 1,90 1,44 1,63 0,1324 0,6488 0,7094 13,24 64,88 70,94

Run II pada suhu 55oC


Massa (gr) Moisture content (x) % moisture content
waktu

0 2,14 4,12 5,61 0 0 0 0 0 0


50 1,89 1,41 2,01 0,1168 0,6578 0,6417 11,68 65,78 64,17
55 1,87 1,37 1,97 0,1262 0,6675 0,6488 12,62 66,75 64,88
60 1,82 1,31 1,80 0,1495 0,6820 0,6791 14,95 68,20 67,91

4.2 Pembahasan
Pengeringan merupakan proses pengurangan kandungan air dalam suatu
bahan dengan jalan memasukkannya ke dalam alat pengering atau oven, sehingga
terjadi penguapan kandungan air yang ada dalam bahan tersebut. Pengeringan
bertujuan untuk mengetahui perbandingan antara moisture content zat padat
terhadap kecepatan pengeringan (drying rate zat yang dikeringkan) dan untuk
menentukan critical moisture content pada zat padat yang dikeringkan dalam
dryer. Pada percobaan ini bahan yang digunakan adalah jahe dengan ketebalan 4
mm, berbentuk lingkaran dengan diameter 4 cm, persegi dengan ukuran masing-
masing sisinya 1,5 cm, dan persegi panjang dengan ukuran 4x2 cm.

4.2.1 Run I (Suhu 50℃)


Pada run pertama digunakan suhu oven 50oC dengan waktu 50, 55 dan 60
menit dengan bentuk lingkaran, persegi dan persegi panjang. Hasil yang diperoleh
pada run pertama dapat dilihat pada grafik berikut ini :
80
70
% Moisture Content

60
50
40
Lingkaran
30
Persegi
20 Persegi Panjang
10
0
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu (menit)

Gambar 4.1 Grafik Hubungan Antara Waktu dengan % Moisture Content


Dapat kita lihat pada grafik di atas bahwa nilai % Moisture Content atau
jumlah kadar air yang hilang akan semakin banyak seiring bertambahnya waktu
pengeringan. Adapun hasil yang diperoleh pada bentuk lingkaran adalah pada t =
50 menit adalah 9,13%; pada t = 55 menit diperoleh nilai adalah 11,42%; dan
pada t = 60 menit diproleh nilai adalah 13,24%. Adapun bahan dalam bentuk
persegi pada t = 50 menit adalah 59,27%; pada t = 55 menit adalah 60,98% dan
pada t = 60 menit adalah 17,30%. Pada bentuk bahan persegi panjang diperoleh
pada t = 50 menit adalah 68,63%; pada t = 55 menit adalah 69,88%; pada t = 60
menit adalah 70,94%.
Seiring bertambahnya waktu pengeringan, jumlah kadar air yang hilang
dalam jahe semakin banyak. Ini terjadi karena waktu berpengaruh besar dalam
proses pengeringan, semakin lama waktu maka kadar air yang hilang semakin

`
tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Risdianti dkk (2016) bahwa penurunan
kadar air ini menunjukkan terjadinya penguapan air ke udara karena perbedaan
kandungan uap air antara udara dan bahan yang dikeringkan. Semakin tinggi suhu
pengeringan maka waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan bahan akan
semakin cepat (Risdianti, 2016).

4.2.2 Run II dengan Suhu 55℃


Pada run kedua digunakan suhu oven 55oC dengan waktu 50 dan 55 menit.
Hasil yang didapat kan dapat dilihat pada grafik berikut ini:
80
70
60
% Moisture Content

50
40
Lingkaran
30
Persegi
20 Persegi Panjang
10
0
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu (menit)

Gambar 4.2 Grafik Hubungan Antara Waktu dengan % Moisture Content


Berdasarkan grafik diatas % Moisture Content yang diperoleh pada bentuk
lingkaran adalah pada t = 50 menit adalah 11,68%; pada t = 55 menit diperoleh
nilai adalah 12,62%; dan pada t = 60 menit diproleh nilai adalah 14,95%. Adapun
bahan dalam bentuk persegi diperoleh nilai adalah pada t = 50 menit adalah
65,78%; pada t = 55 menit adalah 66,75% dan pada t = 60 menit adalah 68,20%.
Pada bentuk bahan persegi panjang diperoleh nilai pada t = 50 menit adalah
64,17%; pada t = 55 menit adalah 64,88%; pada t = 60 menit diperoleh %
Moisture content adalah 67,91%. Dapat kita lihat pada grafik diatas bahwa
semakin lama waktu pemanasan maka diperoleh nilai % Moisture Content
semakin tinggi, ini terjadi karena adanya terjadi proses pengeringan sehingga
persentase kadar air dalam jahe semakin banyak yang hilang. Selain itu, suhu
dalam oven juga sangat mempengaruhi proses pengeringan pada bahan. Apabila

`
suhu pengeringan yang diberikan semakin tinggi maka proses pengeringan akan
berlangsung lebih cepat. Sesuai dengan pendapat Risdianti dkk (2016) dalam
jurnalnya yang menyatakan bahwa semakin tinggi suhu pada ruang pengering
maka akan mempercepat proses pengeringan bahan untuk mencapai kadar air
bahan yang diinginkan (Risdianti dkk, 2016).

4.2.4 Laju Pengeringan


Laju pengeringan suatu bahan akan berjalan cepat jika suhu yang
diberikan besar atau melebihi suhu dimana komponen yang ingin dihilangkan
menguap. Adapun grafik hubungan laju pengeringan yang di dapat pada
percobaan ini dengan waktu 50 menit, 55 menit dan 60 menit adalah sebagai
berikut:
1. Run I dengan Suhu 50℃

0.02
0.02
Laju Pengeringan (gr/cm2.min)

0.02
0.02
Lingkaran
0.01
Persegi
0.01 Persegi Panjang
0.01
0
0
48 50 52 54 56 58 60 62
Waktu (Menit)

Gambar 4.3 Grafik Hubungan Antara Waktu dengan Laju Pengeringan


Pada run pertama grafik diatas menerangkan bahwa terjadinya penurunan
dan peningkatan laju pengeringan pada menit ke-55 sampai menit ke-60.
Berdasarkan teori yang didapat bahwa laju pengeringan berbanding terbalik
terhadap waktu, dimana semakin lama waktu pengeringan maka laju
pengeringannya semakin cepat.
Namun pada percobaan ini terdapat kesalahan hal ini dikarenakan
ketebalan bahan yang tidak merata sehingga menyebabkan peningkatan kadar air

`
pada bahan tersebut. Selain itu, faktor saat penimbangan juga mempengaruhi,
dimana pada saat penimbangan terjadi kontak antara bahan dan udara. Karena
kesalahan tersebut, hasil yang diperoleh tidak sejalan dengan pernyataan dari
Fitriani dkk 2013, yang menyatakan bahwa semakin besarnya energi panas yang
dibawa udara akibat dari makin tingginya suhu dan lamanya waktu pengeringan,
maka laju pengeringan semakin cepat dan jumlah massa cairan yang diuapkan dari
jahe semakin banyak (Fitriani dkk, 2013).

2. Run I dengan suhu 55℃


0.03

0.02
Laju Pengeringan (gr/cm2.min)

0.02

0.02

0.01 Lingkaran
Persegi
0.01
Persei Panjang
0.01

0 48 50 52 54 56 58 60 62
Waktu (Menit)

Gambar 4.4 Grafik Hubungan Antara Waktu dengan Laju Pengeringan


Sama halnya pada run I, pada run II juga terjadinya penurunan laju
pengeringan pada menit ke-55. Namun pada menit ke-60 terjadi sedikit
peningkatan laju pengeringan. Hal ini terjadi karena ketebalan bahan yang tidak
merata sehingga menyebabkan peningkatan kadar air pada bahan tersebut. Selain
itu dapat juga disebabkan oleh kekeliruan dalam proses penimbangan bahan yang
telah dikeringkan sehingga menyebabkan hasil yang diperoleh tidak berbanding
lurus terhadap waktu pengeringan. Oleh sebab itu, hasil yang diperoleh tidak
sesuai dengan pernyataan Mentari dkk (2017) bahwa laju pengeringan bahan
sangat ditentukan oleh suhu, semakin besar perbedaan suhu antara media pemanas
dengan bahan yang dikeringkan, semakin cepat pindah panas kedalam bahan

`
pangan, menyebabkan penguapan air dari bahan akan lebih banyak dan cepat
(Mentari dkk, 2017).
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat di ambil dari percobaan ini adalah:
1. Semakin tinggi suhu pemanasan maka proses pengeringan akan
berlangsung lebih cepat.
2. Semakin tinggi kadar air dalam bahan juga mempengaruhi lamanya waktu
yang diperlukan untuk mengeringkan bahan tersebut.
3. Nilai moisture content tertinggi pada run I yaitu pada bentuk persegi
panjang dengan waktu 60 menit yaitu sebesar 70,94%.
4. Nilai moisture content terendah pada run I yaitu pada bentuk lingkaran
dengan waktu 50 menit yaitu sebesar 9,13%.
5. Nilai moisture content tertinggi pada run II yaitu pada bentuk persegi
panjang dengan waktu 60 menit yaitu sebesar 67,91%.
6. Nilai moisture content terendah pada run II yaitu pada bentuk lingkaran
dengan waktu 50 menit yaitu sebesar 11,68%.

5.2 Saran
Diharapkan kepada praktikan selanjutnya untuk dapat menentukan critical
point dari setiap bahan yang akan dikeringkan serta pemotongan sampel
diusahakan besar maupun ketebalan setiap bagiannya sama sehingga hasil yang
diperoleh akan lebih akurat.

`
DAFTAR PUSTAKA

Afrianti, Leni H. 2008. Teknologi Pengawetan Pangan. Alfabeta. Bandung.

Anton, Irawan. 2011. Modul Laboraturium Pengeringan. Sultan Ageng Tirtayasa


Press.

Coulson, J. M., and Richardson, J. F. 2002. Chemical Engineering Volume 2:


Particle Technology and Separation Processes, 6th ed. Butterworth-
Heinemann. Offord, England.

Fitriani, dkk. 2013. Pengaruh Suhu Dan Lama Pengeringan Terhadap Mutu
Manisan Kering Jahe (Zingiber Officinale Rosc.) Dan Kandungan
Antioksidannya. Program Studi Teknologi Hasil Pertanian . Vol. 12 No. 2 : 1-8.
https://ejournal.unri.ac.id/index.php/JSG/article/download/2065/2029.
(Diakses pada 20 Juni 2020).

Geankoplis, Christie J. 1993. Transport Process and Unit Operations, third


edition. Allyn and Bacon Inc. Boston.

King, C. J. 1971. Freeze Drying of Foods. Chemical Rubber Co., Inc. Boca Raton,
Fla.

Kirk, R. E., and Othmer, D. F. 1982. Encyclopedia of Chemical Technology, 4th


ed., vol 8. John Willey and Sons. Toronto.

Mc. Cabe, W.L. 1993. Unit Operation of Chemical Engineering, 3rd ed. McGraw-
Hill Book Co. New York.

Mujumdar, A. Handbook of Industrial Drying, 3rd ed. CRC Press. Singapura.

Perry, R. H., and Green, D. (1984). Perry’s Chemical Engineer’s Handbook, 6th
ed. McGraw-Hill Book Company. New York.

Risdianti, dkk. 2016. Kajian Pengeringan Jahe (Zingiber Officinale Rosc)


Berdasarkan Perubahan Geometrik Dan Warna Menggunakan Metode
Image Analysis. Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian dan Biosistem. Vol.4
(2), 275-284, https://media.neliti.com/media/publications/98201-ID-
kajian-pengeringan-jahe-zingiber-officin.pdf. (Diakses pada 20 Juni 2020).

Mentari, dkk. 2017. Karakteristik Pengeringan Jahe Merah (Zingiber Officinale


Var Rubrum Rhizome) Dengan Metode Penjemuran Dan Menggunakan
Alat Pengering Tipe Hohenheim. JIM Pertanian Unsyiah- TP, Vol. 2, No.
2, Mei 2017: 439-448. http://jim.unsyiah.ac.id/JFP/article/view/2975/1697
(Diakses pada 6 Juli 2020).

Treybal, R.E. 1981. Mass Transfer Operations, Chapter: Humidification and


Drying. McGraw-Hill.

`
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH

LEMBAR DATA

LABORATORIUM PROSES TEKNIK KIMIA II


MODUL PRAKTIKUM : PENGERINGAN
KELOMPOK : V (A1)
NAMA/NIM : 1. Indriani NIM. 170140052
2. Efri Marnelisa NIM. 170140067
3. Dewi Lestari NIM. 170140122
4. Lisa Andriani NIM. 170140136
5. M. Firman Maulana NIM. 170140137
6. Alfathan Anshori As. NIM.170140141
Run I pada suhu 50oC
wakt Massa (gr) Moisture content (x) % moisture content
u
0 2,19 4,10 5,61 0 0 0 0 0 0
50 1,99 1,67 1,76 0,0913 0,5927 0,6863 9,13 59,27 68,63
55 1,94 1,60 1,69 0,1142 0,6098 0,6988 11,42 60,98 69,88
60 1,90 1,44 1,63 0,1324 0,6488 0,7094 13,24 64,88 70,94

Run II pada suhu 55oC


wakt Massa (gr) Moisture content (x) % moisture content
u
0 2,14 4,12 5,61 0 0 0 0 0 0
50 1,89 1,41 2,01 0,1168 0,6578 0,6417 11,68 65,78 64,17
55 1,87 1,37 1,97 0,1262 0,6675 0,6488 12,62 66,75 64,88
60 1,82 1,31 1,80 0,1495 0,6820 0,6791 14,95 68,20 67,91

`
Lhokseumawe,
Dosen Pembimbing/Asisten

(Hulqi Wahyuri)
NIM. 160140012

LAMPIRAN B

`
PERHITUNGAN

Menghitung Moisture Bahan


Berat awal - Berat akhir
x=
Berat awal
Menghitung Moisture yang menguap
R = ( x ) × 100 %

B.1 Run I pada suhu 50C


B.1.1 Pada waktu 0 menit
2,19 gr - 2,19 gr
Lingkaran = = 0 gr
2,19 gr
= (0 gr) × 100 % = 0 %
4,10 gr - 4,10 gr
Persegi = = 0 gr
4,10 gr
= (0 gr) × 100 % = 0 %
5,61 gr - 5,61 gr
Persegi Panjang = = 0 gr
5,61 gr
= (0 gr) × 100 % = 0 %

B.1.2 Pada waktu 50 menit

2,19 gr - 1,99 gr
Lingkaran = = 0,0913 gr
2,19 gr
= (0,0913 gr) × 100 % = 9,13 %
4,10 gr - 1,67 gr
Persegi = = 0 , 5927 gr
4,10 gr
= (0,5927 gr) × 100 % = 59,27 %
5,61 gr - 1,76 gr
Persegi Panjang = = 0 ,6863 gr
5,61 gr
= (0,6863 gr) × 100 % = 68,63 %

B.1.3 Pada waktu 55 menit

`
2,19 gr - 1,94 gr
Lingkaran = = 0,1142 gr
2,19 gr
= (0,1142 gr) × 100 % = 11,42 %
4,10 gr - 1,60 gr
Persegi = = 0 ,6098 gr
4,10 gr
= (0,6098 gr) × 100 % = 60,98 %
5,61 gr - 1,69 gr
Persegi Panjang = = 0 ,6988 gr
5,61 gr
= (0,6988 gr) × 100 % = 69,88 %

B.1.4 Pada waktu 60 menit


2,19 gr - 1,90 gr
Lingkaran = = 0,1324 gr
2,19 gr
= (0,1324 gr) × 100 % = 13,24 %
4,10 gr - 1,44 gr
Persegi = = 0 ,6488 gr
4,10 gr
= (0,6488 gr) × 100 % = 64,88 %
5,61 gr - 1,63 gr
Persegi Panjang = = 0 ,7094 gr
5,61 gr
= (0,7094 gr) × 100 % = 70,94 %

B.2 Run II pada suhu 55C


B.2.1 Pada waktu 0 menit
2,14 gr -2,14 gr
Lingkaran = = 0 gr
2,14 gr
= (0 gr) × 100 % = 0 %
4,12 gr -4,12 gr
Persegi = = 0 gr
4,12 gr
= (0 gr) × 100 % = 0 %
5,61 gr -5,61 gr
Persegi Panjang = = 0 gr
5,61 gr
= (0 gr) × 100 % = 0 %

`
B.2.2 Pada waktu 50 menit
2,14 gr -1,89 gr
Lingkaran = = 0,1168 gr
2,14 gr
= (0,1168 gr) × 100 % = 11,68 %
4,12 gr -1,41 gr
Persegi = = 0,6578 gr
4,12 gr
= (0,6578 gr) × 100 % = 65,78 %
5,61 gr -2,01 gr
Persegi Panjang = = 0,6417 gr
5,61 gr
= (0,6417 gr) × 100 % = 64,17 %

B.2.3 Pada waktu 55 menit


2,14 gr -1,87 gr
Lingkaran = = 0,1262 gr
2,14 gr
= (0,1262 gr) × 100 % = 12,62 %
4,12 gr -1,37 gr
Persegi = = 0,6675 gr
4,12 gr
= (0,6675 gr) × 100 % = 66,75 %
5,61 gr -1,97 gr
Persegi Panjang = = 0 , 6488 gr
5,61 gr
= (0,6488 gr) × 100 % = 64,88 %

B.2.4 Pada waktu 60 menit


2,14 gr -1,82 gr
Lingkaran = = 0,1495 gr
2,14 gr
= (0,1495 gr) × 100 % = 14,95 %
4,12 gr -1,31 gr
Persegi = = 0,6820 gr
4,12 gr
= (0,6820 gr) × 100 % = 68,20 %
5,61 gr -1,80 gr
Persegi Panjang = = 0,6791 gr
5,61 gr
= (0,6791 gr) × 100 % = 67,91 %
B.4 Luas Permukaan Bahan
1. Luas lingkaran

`
1
A = π D2
4
1 2
= 4 x 3,14 x 4

= 12,56 cm2

2. Luas Persegi
A =SxS
= 1,5 cm x 1,5 cm
= 2,25 cm2

3. Luas Persegi Panjang


A =PxL
= 4 cm x 2 cm
= 8 cm2

B.5 Laju Pengeringan


m0 -m1
Laju pengeringan =
A (T1-T0)

1. Run I untuk 55oC


A) Lingkaran
2,19 – 1,99 gr gr
t1 = = 0,0003 menit
12,56 cm 2 (50 - 0) menit cm 2
1,99 gr – 1 , 94 gr gr
t2 = = 0,0008 menit
12,56 cm 2 (55 - 50) menit cm 2
1,94 – 1,90 gr gr
t3 = = 0,0006 menit
12 , 56 cm 2 (60 - 55) menit cm 2

B) Persegi
4,10 gr - 1, 67 gr gr
t1 = = 0,0216 menit
2,25 cm 2 (50 - 0) menit cm 2
1,67 gr - 1 ,60 gr gr
t2 = = 0,0062 menit
2,25 cm 2 (55 - 50) menit cm 2
1,60 gr - 1,44 gr gr
t3 = = 0,0142 menit
2,25 cm 2 (60 - 55) menit cm 2

`
C) Persegi Panjang
5 , 61 gr – 1,76 gr gr
t1 = = 0,0096 menit
8 cm2 (50 - 0) menit cm 2
1,76 gr – 1,69 gr gr
t2 = = 0,0018 menit
8 cm2 (55 - 50) menit cm 2
1,69 gr – 1,63 gr gr
t3 = = 0,0015 menit
8 cm2 (60 - 55) menit cm 2

2. Run II untuk 55oC


A) Lingkaran
2,14 gr – 1,89 gr gr
t1 = = 0,0004 menit
12,56 cm 2 (50 - 0) menit cm 2
1,89 gr – 1,87 gr gr
t2 = = 0,0003 menit
12,56 cm 2 (55 - 50) menit cm 2
1,87 – 1,82 gr gr
t3 = = 0,0008 menit
12 , 56 cm 2 (60 - 55) menit cm 2

B) Persegi
4,12 gr - 1,41 gr gr
t1 = = 0,0241 menit
2,25 cm 2 (50 - 0) menit cm 2
1,41 gr - 1,37 gr gr
t2 = = 0,0036 menit
2,25 cm 2 (55 - 50) menit cm 2
1,37 gr - 1,31 gr gr
t3 = = 0,0053 menit
2,25 cm 2 (60 - 55) menit cm 2

C) Persegi Panjang
5,61 gr – 2,01 gr gr
t1 = = 0,0090 menit
8 cm2 (50 - 0) menit cm 2
2,01 gr – 1,97 gr gr
t2 = = 0,0010 menit
8 cm2 (55 - 50) menit cm 2
1,97 gr – 1,80 gr gr
t3 = = 0,0043 menit
8 cm2 (60 - 55) menit cm 2

`
LAMPIRAN C
GAMBAR ALAT

No. Nama Alat Nama Alat Fungsi Alat


1. Oven Mengeringkan
bahan

2. Neraca Digital Menimbang


bahan

3. Mikrometer Mengukur
sekrup ketebalan bahan

`
4. Aluminium Foil Penutup bahan

5. Cutter Memotong bahan

6. Penggaris Mengukur
panjang bahan

`
PERCOBAAN III

`
DISTILASI

`
Revisi, 07 Juli 2020
Acc, 08 Juli 2020

LAPORAN PRAKTIKUM PROSES TEKNIK KIMIA II


DISTILASI

Diajukan untuk memenuhi Tugas Laporan Praktikum Proses Teknik Kimia II

Disusun Oleh:
Kelompok V (A1)

Indriani NIM.170140052
Efri Marnelisa NIM. 170140067
Dewi Lestari NIM. 170140122
Lisa Andriani NIM. 170140136
M. Firman Maulana NIM. 170140137
Alfathan Anshori. AS NIM.170140141

JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK


UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
LHOKSEUMAWE
2020
ABSTRAK

Distilasi dalah suatu proses pemisahan termal untuk memisahkan komponen-


komponen yang mudah menguap dari suatu campuran cair dengan cara
menguapkannya, yang diikuti dengan kondensasi uap yang terbentuk dan
menampung kondensat yang dihasilkan. Pada percobaan ini bertujuan untuk
Dapat mengkaji pengaruh perbandingan refluk (R) terhadap komposisi methanol
dalam distilat dengan rentang waktu 45 menit, 60 menit dan 75 menit. Setelah
dilakukan percobaan ini didapat hasil berupa massa kondensat danmassarefluk.
Pada waktu refluk 45 menit didapat massa refluknya sebesar 290 gr dan massa
kondensat 160 gr,waktu refluk 60 menit didapat massa refluknya sebesar 260 gr
dan massa kondensat 180 gr, waktu refluk 75 menit didapat massa refluknya
sebesar 245 gr dan massa kondensat 215 gr. Hasil yang didapat menunjukkan
semakin lama waktu refluk maka semakin sediki t massa refluk dan semakin
banyak massa kondensat. Pada percobaan ini didapatkan konversi pada waktu 45,
60, 75 menit berturut-turut sebesar 32,65 %, 36,73 %, 43,88 %, Hasil konversi ini
masih sangat sedikit karena akurasi alat yang sudah tidak tepat, pemasangan air
pendingin pada kondensor yang kurang baik yang mengakibatkan masuknya air
kedalam labu kondensat, terjadinya kehilangan panas pada saat proses
berlangsung yang menyebabkan suhu operasi menjadi tidak stabil dan waktu
tinggal yang sebentar.

Kata Kunci: Distilasi, Etanol, Kondensat, Refluk, dan Titik Didih.


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Judul Praktikum : Distilasi


1.2 Tanggal Praktikum : 12 April 2020
1.3 Pelaksana Praktikum : Indriani (140140002)
Efri Marnelisa (140140007)
Dewi Lestari (140140127)
Lisa Andriani (140140136)
M Firman Maulana (140140137)
Alfathan Anshori (170140141)
1.4 Tujuan Praktikum
Adapun tujuan dari percobaan distilasi ini adalah sebagai berikut:
1. Dapat mengkaji pengaruh perbandingan refluk (R) terhadap komposisi
metanol dalam distilat selama waktu operasi lima menit
2. Dapat membuat laporan praktikum secara tertulis dengan baik dan benar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Distilasi


Distilasi adalah suatu proses pemisahan termal untuk memisahkan
komponen-komponen yang mudah menguap dari suatu campuran cair dengan cara
menguapkannya, yang diikuti dengan kondensasi uap yang terbentuk dan
menampung kondensat yang dihasilkan. Apabila yang didinginkan adalah bagian
campuran yang tidak teruapkan dan bukan distilatnya, maka proses tersebut
biasanya dinamakan pengentalan dengan evaporasi. Dalam hal ini sering kali
bukan pemisahan yang sempurna yang dikehendaki, melainkan peningkatan
konsentrasi bahan-bahan yang terlarut dengan cara menguapkan sebagian dari
pelarut. Sering kali distilasi digunakan semata-mata sebagai tahap awal dari suatu
proses rektifikasi (proses penguapan). Dalam hal ini campuran dipisahkan
menjadi dua, yaitu bagian yang mudah menguap dan bagian yang sukar menguap.
Kemudian masing-masing bagiandiolah lebih lanjut dengan cara rektifikasi. Uap
yang dikeluarkan dari campuran disebut sebagai uap bebas, kondensat yang jatuh
sebagai distilat dari bagian cairan yang tidak menguap sebagai residu. Biasanya
distilat digunakan untuk menarik senyawa organik yang titik didihnya dibawah
250 ̊C, pendistilasian senyawa senyawa yang titik didihnya tinggi dikuatirkan
akan rusak oleh pemanasan sehingga tidak cocok untuk ditarik dngan teknik
distilasi (Mc Cabe,1987).

2.2 Sejarah Destilasi


Distilasi pertama kali ditemukan oleh kimiawan yunani sekitar abad
pertama masehi yang akhirnya perkembangannya dipicu terutama oleh
tingginyapermintaanakan spritus Hypathia dari Alexandria dipercaya telah
menemukanrangkaian alat untuk distilasi dan Zosimus dari Alexandri lah yang
telah berhasil menggambarkan secara akurat tentang proses distilasi pada sekitar
abad ke-4.
Bentuk modern distilasi pertama kali ditemukan oleh ahli - ahli kimia
Islam pada masa kekhalifahan Abbasiah, terutama oleh Al-Raazi pada pemisahan
alkohol menjadi senyawa yang relative murni melalui alat alembik, bahkan
desain ini menjadi semacam inspirasi yang memungkinkan rancangan distilasi
skala mikro, The Hickman Stillhead dapat terwujud. Tulisan oleh Jabir Ibnu
Hayyan (721-815) yang lebih dikenal dengan Ibnu Jabir menyebut tentang uap
anggur yang dapat terbakar. Ia juga telah menemukan banyak peralatan dan proses
kimia yang bahkan masih banyak dipakaisampai saat kini. Kemudian teknik
penyulingan diuraikan dengan jelas oleh Al-Kindi (801 - 873).Salah satu
penerapan terpenting dari metode distilasi adalah pemisahan minyak mentah
menjadi bagian-bagian untuk penggunaan khusus seperti untuk transportasi,
pembangkit listrik, pemanas, dan lain-lain. Udara didistilasi menjadi komponen-
komponen seperti oksigen untuk penggunaan medis dan helium pengisi balon
Distilasi telah digunakan sejak lama untuk pemekatan alkohol dengan penerapan
panas terhadap larutan hasil fermentasi untuk menhasilkan minuman suling B.

Gambar 2.1 Rangkaian distilasi sederhana

2.3 Prinsip dan Proses Kerja Distilasi


2.3.1 Prinsip Distilasi
Pada prinsipnya pemisahan dalam suatu proses distilasi terjadi karena
penguapan salah satu komponen dari campuran, artinya dengan cara mengubah
bagian-bagian yang sama dari keadaan cair menjadi berbentuk uap. Dengan
demikian persyaratannya adalah kemudahan menguap (volatilitas) dari komponen
yang akan dipisahkan berbeda satu dengan yang lainnya. Pada campuran bahan
padat dalam cairan, persyaratan tersebut praktis selalu terpenuhi. Sebaliknya, pada
larutan cairan dalam cairan biasanya tidak mungkin dicapai sempurna, karena
semua komponen pada titik didih campuran akan mempunyai tekanan uap yang
besar.
2.3.2 Proses Distilasi
Penguapan dan distilasi umumnya merupakan proses pemisahan satu
tahap. Proses ini dapat dilakukan secara tak kontinu atau kontinu, pada tekanan
normal ataupun vakum. Pada distilasi sederhana, yang paling sering dilakukan
adalah operasi tak kontinu. Dalam hal ini campuran yang akan dipisahkan
dimasukkan kedalam alat penguap dan dididihkan. Pendidihan terus
dilangsungkan hingga sejumlah tertentu komponen yang mudah menguap
terpisahkan. Proses pendidihan erat hubungannya dengan kehadiran udara
permukaan. Pendidihan akan terjadi pada suhu dimana tekanan uap dari larutan
sama dengan tekanan udara di permukaan cairan (Mc.Cabe, Harriot, 1999) Secara
umum, proses yang sering terjadi pada distilasi sederhana ataubiasa yaitu :
a. Penguapan komponen yang mudah menguap dari campuran dalam
alatpenguap.
b. Pengeluaran uap yang terbentuk melalui sebuah pipa uap yang lebar dan
kosong tanpa perpindahan panas dan pemindahan massa yang
disengajaatau dipaksakan yang dapat menyebabkan kondensat mengalir
kembali ke labu penguap.
c. Jika perlu, tetes-tetes cairan yang sukar menguap yang ikut terbawa
dalamuap dipisahkan dengan bantuan siklon dan disalurkan kembali
kedalam alat penguap.
d. Kondensasi uap dalam sebuah kondensor.
e. Pendingin lanjut dari distilat panas dalam sebuah alat pendingin.
f. Penampungan distilat dalam sebuah bejana.
g. Pengeluaran residu dari alat penguap.
2.4 Macam-macam Distilasi
2.4.1 Distilasi Sederhana
.Pada distilasi sederhana, dasar pemisahannya adalah perbedaan titik didih
yang jauhatau dengan salah satu komponen bersifat volatil.Jika
campurandipanaskan maka komponen yang titik didihnya lebih rendah akan
menguap lebih dulu. Selain perbedaan titik didih, juga perbedaan kevolatilan,yaitu
kecenderungan sebuah substansi untuk menjadi gas. Distilasi ini dilakukan pada
tekanan atmosfer. Aplikasi distilasi sederhana digunakan untuk memisahkan
campuran air dan alkohol.

2.4.2 Distilasi Bertingkat


Teknik pemisahan kimia untuk memisahkan dua atau lebih komponenyang
memiliki perbedaan titik didih yang dekat.

2.4.3 Distilasi Azeotrop


Memisahkan campuran azeotrop (campuran dua atau lebih komponenyang
sulit dipisahkan) biasanya dalam prosesnya digunakan senyawa lain yangdapat
memecah ikatan azeotrop tersebut, atau dengan menggunakan tekanantinggi.

2.4.4 Distilasi Uap


Distilasi uap digunakan pada campuran senyawa-senyawayang memiliki
titik didih mencapai 200 °c atau lebih. Distilasi uap dapat menguapkansenyawa-
senyawaini dengan suhu mendekati 100 °C dalam tekanan atmosfer
dengan menggunakan uap atau air mendidih. Sifat yang fundamental dari distilasi
uap adalah dapat mendistilasicampuran senyawa di bawah titik didih dari masing-
masing senyawa campurannya. Selain itu distilasi uap dapat digunakan untuk
campuran yang tidak larut dalam air di semua temperatur, tapi dapat didistilasi
dengan air.
Aplikasi dari distilasi uap adalahuntuk mengekstrak beberapa produk
alam seperti minyak eucalyptus dari eucalyptus, minyak sitrus dari lemon atau
jeruk, dan untuk ekstraksi minyak parfum daritumbuhan.campuran dipanaskan
melalui uap air yang dialirkan ke dalam campuran dan mungkin ditambah juga

2.4.5 Distilasi Vakum


Distilasi vakum biasanya digunakan jika senyawa yang ingin didistilasi
tidak stabil, dengan pengertian dapat terdekomposisi sebelum atau mendekati titik
didihnya atau campuran yang memiliki titik didih di atas 150 °C. Metode distilasi
ini tidak dapat digunakan pada pelarut dengan titik didih yang rendah jika
kondensornya menggunakan air dingin, karena komponen yang menguap tidak
dapat dikondensasi oleh air. Untuk mengurangi tekanan digunakan pompavakum
atau aspirator. Aspirator berfungsi sebagai penurun tekanan pada sistem distilasi.

2.4.6 Distilasi Skala Industri


Umumnya proses distilasi dalam skala industri dilakukan dalam
menara,oleh karena itu unit proses dari distilasi ini sering disebut sebagai
menaradistilasi (MD). Menara distilasi biasanya berukuran 2-5 meter dalam
diameter dan55tinggi berkisar antara 6-15 meter. Masukan dari menara distilasi
biasanya berupacair jenuh, yaitu cairan yang dengan berkurang tekanan sedikit
saja sudah akanterbentuk uap dan memiliki dua arus keluaran, arus yang diatas
adalah arus yanglebih volatil (mudah menguap) dan arus bawah yang terdiri dari
komponen berat.Menara distilasi terbagi dalam 2 jenis kategori besar :
1. Menara Distilasi tipe Stagewise, menara ini terdiri dari banyak
piringanyang memungkinkan kesetimbangan terbagi-bagi dalam
setiappiringannya, dan
2. Menara Distilasi tipe Continous, yang terdiri dari pengemasan
dankesetimbangan cair-gasnya terjadi di sepanjangkolom
menara(Mc.Cabe, Harriot, 1999).

2.4 Metanol
Metanol merupakan senyawa volatil yang mempunyai titik didih 64.7 °C,
148.4 °F (337.8 K), juga dikenal sebagai metil alkohol adalah senyawa kimia
dengan rumus kimia CH3OH. Metanol merupakan bentuk alkohol
palingsederhana. Pada "keadaan atmosfer" metanol berbentuk cairan yang
ringan,mudah menguap, tidak berwarna, mudah terbakar, dan beracun dengan bau
yangkhas (berbau lebih ringan daripada etanol). Metanol digunakan sebagai
bahanpendingin anti beku, pelarut, bahan bakar dan sebagai bahan aditif.Metanol
diproduksi secara alami oleh metabolisme anaerobik oleh bakteri.Hasil proses
tersebut adalah uap metanol (dalam jumlah kecil) di udara. Setelah beberapa hari,
uap methanol tersebut akan teroksidasi oleh oksigen dengan bantuansinar
matahari menjadi karbon dioksida dan air.Api dari metanol biasanya tidak
berwarna. Oleh karena itu, kita harusberhati-hati bila berada dekat metanol yang
terbakar untuk mencegah cederaakibat api yang tak terlihat. Karena sifatnya yang
beracun, metanol sering digunakan sebagai bahan aditif bagi pembuatan alkohol
(Geankoplis, 1983).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat-alat
Adapun alat-alat yang digunakan sebagai berikut:
1. Labu Ukur
2. Alat distilasi
3. Picnometer
4. Neraca Analitik
5. Bola Penghisap
6. Corong
7. Alumunium Foil
8. Pipet Volum
9. Erlenmeyer

3.1.2 Bahan – bahan


Adapun bahan-bahan yang digunakan sebagai berikut:
1. Ethanol 96%
2. Aquades

3.2 Prosedur Kerja


3.2.1 Membuat Kurva Standar
1. Membuat larutan etanol20% dalam air dengan volume total 50 ml.
Kemudiandihitung volume etanol absolute dalam air dengan persamaan:
( ρ. V . X ) etanol absolut
X e=
( ρ . V . X ) etanol absolut+ ( V total−V etanol absolut ) ρair
2. Diukur volume etanol absolut sesuai dengan volume etanol terhitung
sampai batas ketelitian alat.
3. Ditambahkan air suling hingga volumenya 50 ml.
4. Ditentukan densitas larutan 10 % W etanol dalam air menggunakan
piknometer.
5. Diulangi langkah 1-4 untuk Xe=0,25 ; Xe=0,3; dan seterusnya.
6. Dibuat kurva standar hubungan antara ρE vs XE

3.2.2 Menghitung Kadar Etanol Teknis


1. Menentukan densitas etanol teknis dengan menggunakan piknometer
a. Menimbang piknometer kosong (a ml), catat berat piknometer (b gram).
b. Diisi piknometer kosong dengan etanol teknis sampai penuh, lalu catat
beratnya (c gram).
c−b
ρ etanol teknis= = d g/ml
a
2. Diplotkan data densitas etanol teknis pada kurva standar ρE vs XE.
3. Dibaca kadar etanol teknis dan catat.

3.2.3 Membuat Larutan Umpan 23 % Berat Etanol Dalam Air


1. Dihitung volume etanol teknis dan volume air suling yang diperlukan
untuk membuat larutan umpan dengan volume total 1000 ml.

( ρ . V . X ) etanol teknis
X e=
( ρ . V . X ) etanol teknis + ( V total−V etanol teknis ) ρair
2. Membuat larutan etanol teknis sebanyak volume tertentu sesuai dengan
perhitungan dengan air suling hingga volumenya 1000 ml.

3.2.4 Tahap Operasi Distilasi


1. Mempersiapkan alat hingga siap untuk dioperasikan.
2. Dimasukkan umpan yang telah dibuat dalam labu didih.
3. Dihubungkan kontak listrik dengan sumber listrik AC dan set tombol.
4. Dialirkan air pendingin pada kondensor dan air pendingin.
5. Ditunggu sampai uap terkondensasi dan cairan kembali kekolom.
6. Ditunggu sampai keadaan steady state, yaitu sampai suhu uap dan suhu
cairan relatif konstan.
7. Diatur kran pengatur refluks untuk mendapatkan refluks yang diinginkan.
8. Dibuka kran pengeluaran distilat, tampung distilat yang keluar dan
kembalikan distilat kelabu didih, hidupkan stopwatch, tutup kran
penampung distilat.
9. Dilakukan operasi distilasi selama sesuai dengan penugasan.
10. Dicatat perbandingan refluks selama 30 detik tanpa mengubah posisi kran.
11. Ditutup kran pengatur refluks tepat pada menit kelima setelah stopwatch
dihidupkan.
12. Dibuka kran pengeluaran distilat dan tampung distilatnya, ukur volume
distilat dan ukur densitas distilat menggunakan piknometer.
13. Dimasukkan kembali distilat yang dihasilkan kelabu didih.
14. Diulangi langkah 9-13 untuk perbandingan refluks lain.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Adapun hasil dari percobaan ini adalah :

Tabel 4.1 Data Hasil Densitas dan Xe


No
% Etanol ρ Etanol (gr/ml) Xe
.
1 17 1,71 0,024
2 19 1,72 0,074
3 21 1,73 0,094

Tabel 4.2 Data Hasil Percobaan


Massa Masaa Volume ρ (gr/ml)
Waktu Umpan
No Refluk Kondensat Konden Konden
(menit) (gr) Refluk
(gr) (gr) sat (ml) sat
1 50 469,24 344,72 124,52 140 1,50 1,72
2 65 344,72 331,52 126,44 145 1,60 1,73
3 80 331,52 321,80 130,62 150 1,68 1,74

4.2 Pembahasan
Pada percobaan distilasi ini dapat diketahui bahwa distilasi adalah proses
pemisahan yang didasarkan pada perbedaan titik didih suatu bahan yang
digunakan. Sebelum dilakukan proses distilasi terlebih dahulu membuat larutan
umpan yaitu 40% Etanol dalam volume 50 ml, sehingga didapat larutan
umpannya sebesar 208,33 ml etanol. Namun sebelum melakukan proses distilasi,
terlebih dahulu membuat larutan standar untuk larutan etanol 17%, 19%, dan 21%
guna mengetahui densitas dari larutan etanol dan komposisi atau persen beratnya.
Untuk larutan etanol 17% didapat densitasnya sebesar 1,71 gr/ml dan % beratnya
sebesar 0,024, sedangkan untuk larutan etanol 19% densitasnya sebesar 1,72 gr/ml
dan % beratnya sebesar 0,094, dan untuk larutan etanol 21% densitasnya sebesar
1,73 gr/ml dan % beratnya sebesar 0,094. Pada percobaan ini didapatkan konversi
pada waktu 50, 65, 80 menit berturut-turut sebesar 0,442 %, 0,449 %, 0,464 %.
Hasil konversi ini masih sangat sedikit karena akurasi alat yang sudah tidak tepat,
pemasangan air pendingin pada kondensor yang kurang baik yang mengakibatkan
masuknya air kedalam labu kondensat, terjadinya kehilangan panas pada saat
proses berlangsung yang menyebabkan suhu operasi menjadi tidak stabil dan
waktu tinggal yang sebentar. Waktu tinggal sangat mempengaruhi konversi pada
percobaan ini,sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa semakin lama proses
distilasi berlangsung maka massa refluk yang dihasilkan semakin sedikit dan
volume kondensat akan semakin banyak (Warren, 1985).
Pada percobaan distilasi ini terdapat 2 penugasan yaitu membuat kurva
standar antara ρe vs Xe dan kurva antara massa kondensat vs waktu. Dimana
densitas dari masing-masing etanol didapat sebesar 1,71 gr/ml, 1,72 gr/ml dan
1,73 gr/ml, sedangkan nilai Xe yang didapat adalah 0,0083, 0,02899 dan 0,03950.
Mengenai hubungan antara densitas dan komposisi atau % berat dari masing-
masing larutan etanol yang dibuat dapat dilihat pada grafik dibawah ini:

Grafik antara ρe vs Xe
Xe (Komposisi % berat)

0.1
0.08
0.06
0.04
0.02
0
1.71 1.71 1.72 1.72 1.73 1.73 1.74
ρe (gr/ml)

Gambar 4.2.1 Grafik Hubungan ρ Etanol(gr/ml) Vs Xe

Dari grafik diatas dapat disimpulkan bahwa semakin besar % larutan


etanol yang dibuat maka densitas etanol dan komposisi atau % berat molekul yang
dihasilkan semakin besar pula. Hal ini disebabkan karena semakin besar % larutan
suatu komponen maka konsentrasi komponen yang terkandung dalam larutan
semakin besar. Maka dapat dikatakan pula bahwa % larutan berbanding lurus
dengan densitas dan komposisi atau % berat.
Dalam melakukan proses distilasi dengan menggunakan larutan etanol 40
% dalam volume 500 ml sehingga diperoleh umpannya sebesar 208,33 ml yang di
distilasi dengan perbandingan waktu 45 menit, 60 menit, dan 75 menit serta suhu
pada oil batch sebesar 90℃. Pada waktu proses distilasi selama 45 menit
diperoleh massa kondensat sebesar 160 gram yang memiliki densitas 0,88 gr/ml
dan massa refluk 290 gram dengan densitas 0,926 gr/ml. Pada waktu 60 menit
diperoleh massa kondensat 180 gram yang memiliki densitas 0,86 gr/ml dan
massa refluk sebesar 260 gram dengan densitas 0,940 gr/ml. Pada waktu 75 menit
diperoleh massa kondensat 215 gram yang memiliki densitas 0,84 gr/ml dan
massa refluk sebesar 245 gram dengan densitas 0,966 gr/ml. Mengenai hubungan
antara massa kondensat terhadap waktu distilasi dapat dilihat pada grafik dibawah
ini:

Grafik Massa Kondensat vs Waktu


90
80
70
Waktu (Menit)

60
50
40
30
20
10
0
124 125 126 127 128 129 130 131
Massa Kondensat (Gram)

Gambar 4.2.2 Grafik Hubungan antara Massa Kondensat terhadap Waktu


Distilasi
Dari grafik diatas dapat disimpulkan bahwa semakin lama waktu yang
digunakan pada proses distilasi maka akan semakin banyak pula massa kondensat
yang diperoleh, namun massa refluk yang dikembalikan semakin sedikit. Hal ini
disebabkan karena untuk senyawa etanol murni memiliki titik uap 78,37℃
sehingga untuk dapat menguapkan larutan etanol 40% dan menjadikannya sebagai
kondensat dengan menggunakan suhu oil batch 90℃ dibutuhkan waktu yang
lebih lama. Sesuai dengan pernyataan dalam teori mengenai distilasi refluk
dimana tujuan dengan adanya proses refluk adalah untuk meningkatkan
kemurnian produk yang akan dihasilkan. Massa refluk yang dihasilkan akan
semakin sedikit seiring bertambahnya waktu pada proses distilasi (Mc. Cabe,
1999). Maka dapat dikatakan bahwa waktu berbanding lurus dengan massa
kondensat yang dihasilkan namun berbanding terbalik dengan massa refluk yang
dihasilkan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan pada percobaan ini adalah sebagai berikut :
1. Semakin besar % larutan metanol yang dibuat maka densitasnya akan
semakin besar.
2. Semakin besar % larutan metanol yang dibuat maka % berat komponen
yang terkandung akan semakin besar.
3. Semakin lama waktu yang digunakan maka massa kondensat yang didapat
semakin banyak dan massa refluk semakin sedikit.
4. Semakin banyak massa kondensat maka densitas yang diperoleh semakin
rendah.
5. Pada komposisi methanol 17%, 19%, 21% didapat densitas dari masing-
masing komposisi adalah 0,024 gr/ml, 0,074 gr/ml, dan 0,094 gr/ml.
6. Pada waktu 50 menit, 65 menit, dan 80 menit didapat massa kondensat
sebanyak 124,52 gr, 126,44 gr, dan 130,62 gr.
7. Pada percobaan ini didapatkan konversi pada waktu 50, 65, 80 menit
berturut-turut sebesar 32,65 %, 36,73 %, 43,88 %.

5.2 Saran
Adapun saran pada percobaan ini adalah sebagai berikut :
1. Sebaiknya sebelum praktikum dimulai, pastikan alat dan bahan yang
digunakan sudah tersedia semuanya.
2. Pada saat pengambilan etanol, pastikan masker dan sarung tangan dipakai,
karena etanol bersifat volatile (mudah menguap) dan berbau, setelah
pengambilan dilakukan etanol ditutup kembali.
DAFTAR PUSTAKA

Endrini, S. (2011). Destilasi Minyak Atsiri Daun Surian Sebagai Krim Pencegah
Gigitan Nyamuk Aedes Aegypty L. Makara Journal of Science, 15(1), 38–
42.

Geankoplis, Christie. 1983. Transfort Process and Operation.London :Alya and


Bacon

Mc. Cabe .W.L and Harriot. 1999. “Unit Operation of Chemical Engineering”5th
edition. Mc. Graw Hill. New York.

Suharto, M., Wibowo, A. A., & Suharti, P. H. (2020). Optimasi Pemurnian Etanol
Dengan Distilasi Ekstraktif Menggunakan Chemcad. Distilat, 6(1), 1–7.

Syaiful, Jayuska, A., & Harlia. (2015). Pengaruh Waktu Destilasi Terhadap
Komponen Minyak Atsiri Pada Daun Kesum (Polygonum minus Huds). Jkk,
4(1), 18–23.

Wernen L. McCabe. 1987. OperasiTeknik Kimia II. Erlangga: Jakarta

Wikipedia. 2017. Distilasi. Diakses pada tanggal 24 April 2017


https://id.wikipedia.org/wiki/distilasi.
LAMPIRAN A
DATA PENGAMATAN
LAMPIRAN B
PERHITUNGAN

A. Persen (%) Etanol Untuk Pengenceran


1. 17%, volume 50 ml :
X1. V1 = X2. V2
0.96. V1 = 0,17 . 50
V1 = 8,854 ml

2. 19%, volume 50 ml :
X1. V1 = X2. V2
0.96. V1 = 0,19 . 50
V1 = 9,895 ml

3. 21%, volume 50 ml :
X1. V1 = X2. V2
0.96. V1 = 0,21 . 50
V1 = 10,93 ml

1. Umpan pengenceran
23%, volume 1000 ml :
X1. V1 = X2. V2
0.96. V1 = 0,23. 1000
V1 = 239,58 ml

B. Menghitung Densitas Methanol


Berat picno kosong = 22.81 gr
Volume picno = 50 ml

1. 17 %
ρ = 1,71 gr/ml
Berat picnometer = 12,64 gr
Berat picno + sampel = 15,838gr
Berat sampel = 19,04 gr – 12,64 gr = 3,198 gr
m
ρ=
V
m = ρ xV

= 1,71 x 8,5 = 14,535 gr

2. 19 %
ρ = 1,72 gr/ml
Berat picnometer = 12,64 gr
Berat picno + sampel = 15,46 gr
Berat sampel = 15,46 gr – 12,64 gr = 2,82 gr
m = ρ xV
= 1,72 x 9,5 = 16,34 gr

3. 21 %
ρ = 1,73 gr/ml
Berat picnometer = 12,64 gr
Berat picno + sampel = 14,85 gr
Berat sampel = 14,85 gr – 12,64 gr = 2,21 gr
m = ρ xV
= 1,73 x 10,5 = 18,165 gr

C. Menghitung Xe
( ρ.V.X ) ethanol
Xe=
( ρ.V.X ) ethanol+ ( Vtotal-Vethanol ) ρ air

1. 17%
(1,71) (8,5) (0,024)
Xe=
(1,71) (8,5 (0,024)+ ( 50-8,5 ) 1
0,34884
= = 0,00833
0,34884+ 41,5
2. 19%
( 1,72 x 9,5 x 0,074 )
Xe=
( 1,72 x 9,5 x 0,074 ) + ( 50-9,5 ) 1

1,20916
= = 0,02899
1,20916+40,5
3. 21%
( 1,73 x 10,5 x 0,094 )
Xe=
( 1,73 x 10,5 x 0,094 ) + ( 50−10,5 ) 1

1,6262
= = 0,03950
1,6262+39,5

D. Massa Kondensat dan Refluks


1. RUN I 50 Menit
Berat Kondensat = 124,52 gram
Berat Refluk = 344,72 gram
 Kondensat = 1,50 gr/ml
 Refluk = 1,72 gr/ml

2. RUN II 65 Menit
Berat Kondensat = 126,44 gram
Berat Refluk = 331,52 gram
 Kondensat = 1,60 gr/ml
 Refluk = 1,73 gr/ml

3. RUN III 80 Menit


Berat Kondensat = 130,62 gram
Berat Refluk = 321,80 gram
 Kondensat = 1,68 gr/ml
 Refluk = 1,73 gr/ml

E. Menghitung Neraca Massa


A=B+C
Keterangan : A = Umpan Masuk
B = Refluks
C = Kondensat

E.1 Run I
A =B+C
469,24 gram = 344,72 + 124,52
468 gram = 469,24 gram
Jadi, pada proses distilisai pada run 1 tadak kehilangan massa.

E.2 Run II
A =B+C
344,72 gram = 331,52 + 126,44
344,72 gram = 457,96 gram
Jadi, kehilangan massa pada proses distilasi Run II sebesar 1,32 gram
E.3 Run III
A =B+C
331,52 gram = 321,80 + 130,62
331,52 gram = 462,42
Jadi, kehilangan massa pada proses distilasi Run III sebesar 1,39 gram

F. Menghitung % Konversi
massa kondensat
% konversi = x 100%
massa metanol mula-mula

Run 1, t = 50 menit
massa kondensat
% konversi = x 100%
massa metanol mula-mula
124,52
= x 100%
281,13
= 0,442 %
Run II, t = 65 menit
massa kondensat
% konversi = x 100%
massa metanol mula-mula
126,44
= x 100%
281,13
= 0,449 %

Run III, t= 80 menit


massa kondensat
% konversi = x 100%
massa metanol mula-mula
130,62
= x 100%
281,13
= 0,464 %
LAMPIRAN C
TUGAS

1. Menghitung neraca massa pada proses destilasi


Penyelesaian:
Persamaan umum neraca massa yaitu:
A=B+C

Dimana:
A = massa umpan (gram)
B = massa kondensat (gram)
C = massa refluk (gram)
I. Run I
A=B+C
490 gram = 160 gram + 290 gram
490 gram = 450 gram
= 490 – 450 gram
= 40 gram

Massa umpan= massa kondensat + massa refluk + massa yang hilang


490 gram = 160 gram + 290 gram + 40 gram
490 gram = 490 gram

Jadi, kehilangan massa pada proses ini adalah 40 gram, sehingga jumlah umpan
yang masuk, sama dengan yang keluar.
II. Run II
A=B+C
490 gram = 180 gram + 260 gram
490 gram = 440 gram
= 490 – 440 gram
= 50 gram

Massa umpan = massa kondensat + massa refluk + massa yang hilangan


490 gram = 180 gram + 260 gram + 50 gram
490 gram = 490 gram

Jadi, kehilangan massa pada proses ini adalah 50 gram, sehingga jumlah umpan
yang masuk sama dengan yang keluar.

III. Run III


A=B+C
490 gram = 215 gram + 245 gram
490 gram = 460 gram
= 490 – 460 gram
= 30 gram

Massa umpan = massa kondensat + massa refluk + massa yang hilangan


490 gram = 215 gram + 245 gram + 30 gram
490 gram = 490 gram

Jadi, kehilangan massa pada proses ini adalah 30 gram, sehingga jumlah umpan
yang masuk sama dengan yang keluar.
2. Menghitung neraca massa pada proses destilasi
Penyelesaian:
Persamaan umum neraca massa yaitu:
A=B+C

Dimana:
A = massa umpan (gram)
B = massa kondensat (gram)
C = massa refluk (gram)
IV. Run I
A=B+C
490 gram = 160 gram + 290 gram
490 gram = 450 gram
= 490 – 450 gram
= 40 gram

Massa umpan= massa kondensat + massa refluk + massa yang hilang


490 gram = 160 gram + 290 gram + 40 gram
490 gram = 490 gram

Jadi, kehilangan massa pada proses ini adalah 40 gram, sehingga jumlah umpan
yang masuk, sama dengan yang keluar.

V. Run II
A=B+C
490 gram = 180 gram + 260 gram
490 gram = 440 gram
= 490 – 440 gram
= 50 gram

Massa umpan = massa kondensat + massa refluk + massa yang hilangan


490 gram = 180 gram + 260 gram + 50 gram
490 gram = 490 gram

Jadi, kehilangan massa pada proses ini adalah 50 gram, sehingga jumlah umpan
yang masuk sama dengan yang keluar.

VI. Run III


A=B+C
490 gram = 215 gram + 245 gram
490 gram = 460 gram
= 490 – 460 gram
= 30 gram

Massa umpan = massa kondensat + massa refluk + massa yang hilangan


490 gram = 215 gram + 245 gram + 30 gram
490 gram = 490 gram

Jadi, kehilangan massa pada proses ini adalah 30 gram, sehingga jumlah umpan
yang masuk sama dengan yang keluar.
LAMPIRAN D
GAMBAR ALAT

GAMBAR ALAT FUNGSINYA

Untuk mendestilat bahan-bahan yang


digunakan, serta mengkondensasi
bahan setelah dilakukan penyulingan

Alat Destilasi

Untuk menghisap larutan

Bola Penghisap

Untuk memudahkan larutan masuk ke


dalam wadahnya (gelas ukur)

Corong
Untuk menutup wadah pada larutan

Alumunium Foil

Digunakan sebagai wadah larutan

Erlenmeyer

Untuk wadah larutan

Labu Ukur

Untuk menimbang sampel atau bahan


kimia yang akan digunakan.

Neraca Digital
Untuk mengukur nilai massa jenis atau
densitas fluida.

Piknometer

Untuk memudahkan mengambil


larutan

Pipet Volume
PERCOBAAN IV

ABSORPSI
LAPORAN PRAKTIKUM PROSES TEKNIK KIMIA II
ABSORPSI

Diajukan untuk Memenuhi Laporan Praktikum Proses Teknik Kimia II

Disusun Oleh :
Kelompok V (A1)

Indriani NIM. 170140052


Efri Marnelissa NIM. 170140067
Dewi Lestari NIM. 170140122
Lisa Andriani NIM. 170140136
M. Firman Maulana NIM. 170140137
Alfathan Anshori AS NIM. 170140141

LABORATORIUM TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK


UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
LHOKSEUMAWE
2020
ABSTRAK

Percobaan ini berjudul Absorbsi CO2 dengan Air. Absorbsi adalah operasi
penyerapan komponen-komponen yang terdapat di dalam gas dengan
menggunakan cairan. Tujuan dilakukannya percobaan ini untuk dapat
mengoperasikan alat absorbsi gas, serta dapat menghitung laju absorbsi gas CO 2
dalam air melalui analisis larutan yang keluar dari kolom dengan metode titrasi.
Percobaan ini dilakukan dengan mengalirkan fluida air kedalam alat Absorbsi
kemudian dialirkan CO2 dengan perbandingan laju alir CO2 sebesar 2 L/menit dan
air sebesar 2 L/ menit pada run 1. Nilai kadar CO2 yang didapat pada laju alir CO2
2 L/menit dan laju alir air 2 L/menit run 2 pada menit 15, 25, 35, 45 dan 55 adalah
sebesar 122,76(ppm), 143,4(ppm), 166,76(ppm), 203,72(ppm) dan 295,68(ppm).
Nilai kadar CO2 yang didapat pada laju alir CO2 1 L/menit dan laju alir air 2
L/menit pada menit 15, 25, 35, 45 dan 55 adalah sebesar 144,22(ppm),
210,76(ppm), 293,44(ppm), 322,08(ppm) dan 384,56(ppm). Berdasarkan
percobaan diatas dapat disimpulkan bahwa semakin lama waktu, maka semakin
besar pula kadar CO2 yang terserap.

Kata Kunci: Absorbsi, CO2, Kadar Blanko, Laju Alir, dan Titrasi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Judul Praktikum : Absorbsi
1.2 Tanggal Praktikum : 9 April 2020
1.3 Nama Pelaksana : Kelompok 5
1. Indriani (170140052)
2. Efri Marnelisa (170140067)
3. Dewi Lestari (170140122)
4. Lisa Andriani (170140136)
5. M. Firman Maulana (170140137)
6. Alfathan Anshori (170140141)

1.5 Tujuan Praktikum


Adapun tujuan dari percobaan distilasi ini adalah sebagai berikut:
3. Dapat mengoperasikan alat absorpsi gas
4. Menghitung laju absorpsi CO2 dalam air melalui analisislarutan yang
keluar dari kolom dengan metode titrasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Absorbsi


Absorbsi adalah operasi penyerapan komponen-komponen yang terdapat di
dalam gas dengan menggunakan cairan. Suatu alat yang banyak digunakan dalam
absorpsi gas ialah menara isian. Alat ini terdiri dari sebuah kolom berbentuk silinder
atau menara yang dilengkapi dengan pemasukan gas dan ruang distribusi pada bagian
bawah, pemasukan zat cair pada bagian atas, sedang pengeluaran gas dan zat cair
masing-masing diatas dan dibawah, serta suatu zat padat tak aktif (inert) diatas
penyangganya yang disebut packing.

Adanya packing (bahan isian) didalam kolom absorpsi akan menyebabkan


terjadinya hambatan terhadap aliran fluida yang melewati kolom. Akibatnya gas
maupun cairan yang melewati akan mengalami pressure drop atau penurunan tekanan.

Persyaratan pokok yang diperlukan untuk packing :

1. Harus tidak bereaksi (kimia) dengan fluida didalam menara.


2. Harus kuat, tetapi tidak terlalu berat.
3. Harus mengandung cukup banyak laluan untuk kedua arus tampa terlalu
banyak zat cair yang terperangkap atau menyebkan penurunan tekanan
terlalu tinggi.
4. Harus memungkinkan terjadinya kontak yang memuaskan antara zat cair
dan gas.
5. Harus tidak terlalu mahal.

2.2 Peralatan Absorbsi


Peralatan absorbsi gas terdiri dari sebuah kolom berbentuk silinder atau
menara yang dilengkapi dengan pemasukan gas dan ruang didistribusikan  pada
bagian bawah, pemasukan zat cair dan distributornya pada bagian atas. Serta diisi
dengan massa zat tidak aktif (inert) diatas penyangganya yang disebut isian
menara (packing tower). Peralatan tersebut dapat digunakan untuk rektifikasi
(fraksionasi) untuk operasi absorpsi. Keefektifan suatu peralatan absorpsi sangat
tergantung pada sistim kontak antara gas dan cairan yang bersangkutan.Pada
peralatan absorpsi terdapat kolom bahan isian (packing) yang berfungsi  untuk
memperluas kontak antara cairan dan gas, sehingga luas permukaan kontak
menjadi maksimum (Rusli, 2013).
2.2.1 Kolom Bahan Isian (Packing)
a. Pelana Berl
Peralatan ini lebih efisien dari pada cincin rasching, tetapi penggunaanya
lebih mahal. Alat ini memiliki Height of Transfer Unit (HTU) yang rendah dan
penurunan tekanan setiap bagian mempunyai titik pembanjiran yang lebih tinggi.
Alat ini juga mudah patah dibandingkan cincin raschig.
b. Pelana intalox
Jenis ini merupakan salah satu kolom bahan isian yang efisien, tetapi lebih
mahal. Peralatan ini memiliki kecekungan yang kecil atau mempunyai
kemampuan untuk penyaringan tempat blok penyerapan memberikan bentuk
serapan  yang seragam. Alat ini juga memiliki batas titik pembanjiran yang lebih
tinggi dan penurunan tekanan lebih rendah dari cincin raschig atau pelana berl dan
nilai Height of Transfer Unit  (HTU) lebih rendah untuk hampir keseluruhan
sistim. Alat ini juga lebih mudah rusak pada penyerap.
c. Cincin Rasching
Kolom bahan isian yang pertama keluar yaitu tipe  cincin raschig,
peralatan ini lebih murah per unit, namun kurang efisien di bandingkan dengan
yang lain. Biasanya tersedia dalam berbagai macam jenis material. Untuk
pemasangan sering di susun dengan dumping basah atau kering, untuk yang
berukuran 4-6 inci atau yang lebih besar dari itu di susun satu per satu dengan
tangan. Hasil dari pabrik biasanya lebih tipis dan juga permukaannya juga bisa di
ganti-ganti ketebalannya.
d. Cincin Pall
Pada peralatan ini penurunan tekanan lebih rendah (kurang dari setengah)
dari pada cincin raschig,  Height of Transfer Unit (HTU) nya juga lebih rendah,
mempunyai batas pembanjiran (flooding) lebih tinggi, juga memiliki distributor
cairan yang sempurna dan berkapasitas tinggi dan tersedia dalam bentuk logam,
plastik dan keramik.
Adanya packing (bahan isian) didalam kolom absorpsi akan menyebabkan
terjadinya hambatan terhadap aliran fluida yang melewati kolom. Akibatnya gas
maupun cairan yang melewati kolom absorpsi akan mengalami penurunan tekanan
(pressure drop) (Asdak, 1995).

2.3 Prinsip Kerja Kolom Absorpsi


Kolom absorbs adalah sebuah kolom, dimana ada zat yang berbeda fase
mengalir berlawanan arah yang dapat menyebabkan komponen kimia ditransfer
dari satu fase cairan kefase lainnya, terjadi hampir pada setia preaktor kimia.
Proses ini dapat berupa absorpsi gas, destilasi, pelarutan yang terjadi pada semua
reaksi kimia.
Campuran gas yang merupakan keluaran dari reaktor diumpankan
kebawah menara absorber. Didalam absorber terjadi kontak antar dua fasa yaitu
fasa gas dan fasa cair mengakibatkan perpindahan massa difusional dalam umpan
gas dari bawah menara ke dalam pelarut air sprayer yang diumpankan dari bagian
atas menara. Peristiwa absorbsi ini terjadi pada sebuah kolom yang berisi
packing dengan dua tingkat. Keluaran dari absorber pada tingkat I mengandung
larutan dari gas yang dimasukkan tadi.

2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Absorpsi


Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi sebagai berikut:
1. Kelarutan (solubility ) gas dalam pelarut dalam kesetimbangan
2. Tekanan operasi
3. Temperatur, pada umumnya naiknya temperatur menyebabkan kelarutan
gas menurun.

4.5 Alat-alat Absorbsi


1. Packing Tower
Salah satu contoh packing tower adalah Packed Bed Absorber. Packed
Bed Absorber berupa tube atau pipa yang diisi dengan beberapa packing. Cairan
masuk dari bagian atas, sedangkan gas masuk dari bagian bawah.

Gambar 2.1 Packed Bed Absorber


Di dalam packed bed absorber terdapat Packing yang memberikan kontak
yang bagus antar kedua fasa sehingga luas permukaan menjadi maksimum.
Ada 3 jenis packing :
a. Raschig ring: potongan pipa
L  D  0,5-1 in
b. Berl saddle
c. Pall ring
Macam-macam bentuk packing:

Gambar 2.2 Macam-macam Bentuk Packing

2. Syarat-syarat Packing Sebagai berikut:


a. Tidak bereaksi dengan fluida di dalam menara,
b. Kuat, tapi tidak terlalu berat,
c. Memiliki cukup banyak laluan untuk kedua arus tanpa terlalu banyak zat
cair yang terperangkap (hold up) atau menyebabkan penurunan tekanan
terlalu tinggi,
d. Harus memungkinkan terjadinya kontak yang memuaskan antara zat cair
dan gas.

2.6 Pemilihan Pelarut (Absorben)


Absorben adalah cairan yang dapat melarutkan bahan yang akan
diabsorbsi pada permukaannya, baik secara fisik maupun secara reaksi kimia.
Absorben sering disebut cairan pencuci. Adapun syarat untuk absorben yaitu:
1. Memiliki daya melarutkan bahan yang akan diabsorpsi yang sebesar
mungkin (kebutuhan akan cairan lebih sedikit, volume alat lebih kecil),
2. Selektif,
3. Memiliki tekanan uap yang rendah,
4. Tidak korosif,
5. Mempunyai viskositas yang rendah,
6. Stabil secara termis
7. Murah
Jenis-jenis bahan yang dapat digunakan sebagai absorben adalah air (untuk
gas-gas yang dapat larut, atau untuk pemisahan partikel debu dan tetesan cairan),
natrium hidroksida (untuk gas-gas yang dapat bereaksi seperti asam) dan asam
sulfat (untuk gas-gas yang dapat bereaksi seperti basa).

2.7 Korelasi dari Koefisien Film


Data eksperimen untuk koefisien Film gas dalam campuran encer telah
berkorelasi dalam hal HG, di mana:
Persamaan empiris adalah sebagai berikut:
Dimana GF = kg total gas/s.m2; Gx = kg total liquid/s.m2; dan α, β, dan γ
adalah konstan dari packing. Pengaruh suhu, yang kecil, yang icluded dalam
jumlah Schmidt µ/ρD, dimana µ adalah viskositas dari campuran gas kg/m.s, ρ
adalah densitas kg/m3, dan D adalah difusivitas padatan A di dalam gas m 2/s.
koefisien k’ya dan HG dapat dilihat pada tekanan independen.
Persamaan 2.4-2 dapat digunakan untuk memperbaiki data yang ada untuk
penyerapan zat terlarut A dalam gas pada spesifik packing untuk penyerapan zat
terlarut E dalam sistem yang sama dan tingkat aliran massa yang sama. Korelasi
untuk koefisien film cairan dalam campuran encer menunjukkan bahwa HLindepe
nden dari tingkat gas sampai puncaknya, seperti pada persamaan2.3-4 berikut:
Dimana HL adalah m, µL adalah viskositas liquid kg/m.s, NSc adalah jumlah
Schmidt µL/ρD, ρ adalah densitas liquid kg/m 3, dan D difusivitas padatan A dalam
liquid m2/s (Geankoplis, 1993).

2.8 Aplikasi Absorbsi


            Peristiwa absorpsi adalah salah satu peristiwa perpindahan massa yang
besar peranannya dalam proses industri. Operasi ini dikendalikan oleh laju difusi
dan kontak antara dua fasa. Operasi ini dapat terjadi secara fisika maupun kimia.
Contoh dari absorpsi fisika antara lain sistem ammonia-udara-air dan aseton-
udara-air. Sedangkan contoh dari absorpsi kimia adalah NOx-udara-air, dimana
NOx akan bereaksi dengan air membentuk HNO 3. Contoh industrinya adalah
pabrik pembuatan formalin dari formaldehida (Firdaus, 2011).
Aplikasi absorbsi lainnya di bidang industri yaitu pabrik pembuatan asam
nitrat. Tahap akhir pembuatan asam nitrat berlangsung di dalam kolom absorpsi.
Pada setiap tingkat kolom terjadi reaksi oksidasi NO menjadi NO 2 dan
NO2 terabsorpsi kedalam air menjadi asam nitrat.  Ada juga proses yang lainnya
yang menggunakan aplikasi absorbsi yaitu proses pembuatan urea, produksi
etanol, minuman berkabonasi, fire extinguisher, dry ice, supercritical carbon
dioxide dan masih banyak lagi aplikasi absorbsi lainnya didalam industri
(Waren L. Mc Cabe, 1985).

2.9 Mekanisme Penyerapan


Peristiwa perpindahan pada absorbsi yang disebabkan oleh difusi
molekuler berdasarkan hukum fick, dapat dinyatakan dengan persamaan berikut:
Ditinjau dari segi arah gerakan komponen yang terlibat dalam proses
difusi dibedakan dua macam yaitu:
1. Difusi berlawanan arah ekimolar. Dua komponen A dan B berdifusi
dengan laju molar yang sama, akan tetapi dengan arah yang berlawanan,
dalam hal ini Na = NB.
2. Difusi melalui gas yang diam, komponen A mendifusi melalui komponen
B yang diam, NB  = 0

Perpindahan massa dari satu fasa ke fasa yang lain mengalami hambatan
pada kedua film dan tidak di dalam curah fasa sehingga konsentrasi didalam curah
PAG dan CAL adalah tetap (tidak tergantung pada jarak perpindahan).
Ada satu anggapan yang diperlukan dalam teori dua film yaitu bahwa tahanan
antar muka terhadap perpindahan massa sama dengan nol. Ini berarti bahwa
konsentrasi gas dan cairan pada antar muka berada dalam keadaan setimbang.
Keadaan setimbang ini biasanya dinyatakan dengan persamaan henry yang
berbentuk:
PAi = HA . CAi.........................................................................................(1)
Dimana HA adalah konstanta henry untuk komponen A.

2.10 Penentuan Perpindahan Massa Keseluruhan (Kog)


Persamaan-persamaan umum yang digunakan untuk absorpsi yang
menggunakan kolom isian:
Ruas kanan dari persamaan ini sukar di tentukan, karena itu dengan cara
yang lebih sederhana dapat dihitung dengan cara berikut:
N = log Kog.a.A.H................................................................................(2) 
Sehingga:
Dimana N adalah laju absorbsi gmol/detik, a adalah luas spesifik
packing/satuan volume menara, A adalah luas penampang kolom, H adalah tinggi
menara, A.H adalah volume kolom, a.A.H adalah luas untuk perpindahan massa,
Pi adalah tekanan parsial gas yang masuk dan Po adalah tekanan parsial gas yang
keluar
(McCabe dkk, 1999).
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat-alat
Adapun alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah:
1. Unit peralatan absorbsi gas
2. Erlenmeyer 250 ml 3 buah
3. Gelas ukur 100 ml 3 buah
4. Buret 25 ml 1 buah
5. Pipet volume 10 ml dan 50 ml 1 buah
6. Filler 1 buah

7. Pipet tetes 10 ml 1 buah

3.1.2 Bahan-bahan
Adapun bahan yang digunakan dalam percobaan ini yaitu:
1. Gas CO2,
2. Indikator phenolphthalein (pp),
3. Larutan standar NaOH 0,0277 M,

4. Larutan standar natrium bicarbonate 0,01 M.

3.2 Prosedur Kerja


Adapun prosedur yang digunakan dalam percobaan ini yaitu:
3.2.1 Percobaan Absorbsi
1. Isi tangki reservoir dengan air hingga ¾ penuh, catat volumenya sebagai
VT. Terlebih dahulu dilakukan titrasi pada air sebagai titrasi blanko.
2. Pastikan valve aliran gas (V7) tertutup, valve keluaran sampel V5 dan V6
terbuka. Alirkan air dengan menghidupkan pompa dan laju alir diatur
menggunakan pengatur valve air (V1) sesuai penugasan.
3. Buka valve pengatur tekanan tabung gas CO 2 dengan hati-hati dana tur
laju alir gas dengan (V7) sesuai penugasan.
4. Setelah waktu operasi tercapai, ambil sampel dari keran sampel sesuai
selang waktu yang telah ditentukan.
5. Diambil 50 ml sampel dalam tabung tertutup pada setiap waktu dan
dilakukan analisa volumetric terhadap sampel.

3.2.2 Penentuan CO2 terlarut


1. Ambil sampel masing-masing sebanyak 50 ml
2. Pipet segera maisng-masing sampel 10 ml ke dalam Erlenmeyer 100 ml
3. Teteskan 2-3 tetes indikator pp, jika terbentuk warna merah dengan segera
berarti tidak ada CO2 bebas
4. Titrasi sampel (tidak berwarna) dengan larutan NaOH standar sampai
terbentuk warna merah muda yang tidak hilang dengan 30 detik. Catat
volume alkali yang dibutuhkan (VB)
5. Untuk memperoleh hasil yang baik, gunakan warna pembanding standar
yang dibentuk dari natrium bicarbonate dengan pp dalam jumlah yang
sama.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Adapun hasil yang diperoleh dalam percobaan ini ditunjukkan pada Tabel
4.1 dan 4.2.
Tabel 4.1 Hasil Percobaan Run I (flow rate air = 1 L/menit, flow rate CO2 = 1
L/menit)
Waktu FH2O F CO2 V Titran Kadar Efesiensi
No (Menit) (L/Menit) (L/Menit) (ml) CO2 Kadar CO2
(ppm) (%)
1. 15 1 1 30 122,76 8,13
2. 25 1 1 34,6 143,4 6,90
3. 35 1 1 40 166,76 5,86
4. 45 1 1 48,4 203,72 4,75
5. 55 1 1 60,3 295,68 3,22

Tabel 4.2 Hasil Percobaan Run II (flow rate air = 2 L/menit, flow rate CO2 = 1
L/menit)
Waktu FH2O F CO2 V Titran Kadar Efesiensi
No (Menit) (L/Menit) (L/Menit) (ml) CO2 Kadar CO2
(ppm) (%)
1. 15 2 1 39,9 144,22 6,87
2. 25 2 1 50 210,76 4,58
3. 35 2 1 68,2 293,44 3,25
4. 45 2 1 75,3 322,08 2,95
5. 55 2 1 82,5 384,56 2,48

4.3 Pembahasan
Dari percobaan yang telah dilakukan dapat dianalisa bahwa percobaan ini
bertujuan untuk menghitung laju absorpsi CO2 di dalam air melalui metode titrasi.
Absorbsi gas karbon dioksida (CO2) menggunakan kolom absorbsi jenis packing
dilakukan menggunakan pelarut (solvent) air kran yang telah diukur kadar CO2
terlarut sebelum digunakan sebagai pelarut (solvent)sebesar 3,08 ppm. Pada
percobaan ini, dilakukan 3 kali run dengan kolom packing dan variasi waktu yang
sama yaitu 15, 25, 35, 45 dan 55 menit.
4.3.1 Hubungan antara Waktu Kontak dan Laju Alir Air Terhadap Kadar
CO2 yang Diserap.

Adapun grafik hubungan waktu terhadap kadar CO2 sebagai berikut:


500
Kadar CO2 (ppm)

400
RUN I (Flowrate
300 Air 1
200 Liter/Menit)
RUN II
100 (Flowrate Air 1
Liter/Mmenit)
0
10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
Waktu (Menit)

Berdasarkan grafik dapat dilihat bahwa pada run I kadar CO2 yang
terabsorpsi pada waktu 15 menit sebanyak 122,76 ppm, waktu 25 menit sebanyak
143,4 ppm, pada waktu 35 menit sebanyak 166,76 ppm, pada waktu 45 menit
sebanyak 203,72 ppm dan pada waktu 55 menit sebanyak 295,68.
Pada percobaan run II, diperoleh kadar CO 2 yang terserap pada waktu 15
menit sebanyak 144,22 ppm, pada waktu 25 menit sebanyak 210,76 ppm, pada
waktu 35 menit sebanyak 293,44 ppm, pada waktu 45 menit sebanyak 322,08
ppm, dan pada waktu 55 menit sebanyak 384,56 ppm.
Hasil yang didapat menunjukkan bahwasannya semakin lama waktu kontak
maka semakin tinggi kadar gas CO2 yang terserap oleh solvent. Hal ini
dikarenakan solvent akan lebih sering bersentuhan dengan solute gas sehingga
difusi gas kedalam solvent akan lebih baik menyebabkan kadar CO2 di dalam
solvent semakin tinggi. Waktu kontak yang singkat ini menyebabkan transfer
massa yang terjadi lebih sedikit dan jumlah CO2 yang terserap juga lebih sedikit
(Fuad, 2009)
Pada run I didapat volume titran terbesar pada 55 menit yaitu sebesar 60,3
ml dengan kadar CO2 yang didapat yaitu 295,78. Pada run II didapat volume titran
terbesar pada 55 menit yaitu sebesar 82,5 ml dengan kadar CO2 yang didapat yaitu
384,56. Dan itu menunjukkan semakin besar volume titran yang didapat, maka
semakin besar kadar CO2 yang terserap oleh solvent. Hal ini dikarenakan untuk
mengetahui kadar CO2 dibutuhkan volume titran dibagi dengan volume sampel,
sehingga kadar CO2 berbanding lurus dengan volume titrasi.
4.3.2 Hubungan antara Waktu kontak dan Laju Alir Air terhadap
Efisiensi penyerapan Kadar CO2.

Adapun grafik hubungan waktu terhadap efesiensi kadar CO 2 sebagai


berikut:
Efisiensi Kadar CO2 (%)

10
8
6
efisiensi kadar CO2
4 (%) RUN I
2 efisiensi kadar CO2
(%) RUN II
0
10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
Waktu (Menit)

Berdasarkan grafik dapat dilihat bahwa pada percobaan run I, diperoleh


efisiensi penyerapan CO2 pada waktu 15 menit, 25 menit, 35 menit, 45 menit dan
55 menit sebesar 8,13%, 6,90%, 5,86%, 4,75% dan 3,22%. Begitu pula pada run
II saat waktu 15 menit, 25 menit, 35 menit, 45 menit dan 55 menit diperoleh
sebanyak 6,87%, 4,58%, 3,25%, 2,95% dan 2,48%.
Terlihat pada grafik diatas, pada run I dan run II didapatkan titik tertinggi
dalam efisiensi penyerapan CO2 berturut-turut terletak pada waktu 15 menit
sebesar 8,13%, dan 6,87%. Hal ini dikarenakan kinerja pada alat absorpsi telah
mengalami distribusi sempurna. Sehingga packing didalam absorpsi mengalami
kontak antara air dan CO2 yang membuat air menyerap CO2 dengan menghasilkan
efisiensi maksimum yang dicapai. Kemudian pada waktu 35 menit terjadi
penurunan efisiensi CO2, dikarenakan telah mengalami keadaan titik jenuh untuk
efisiensi penyerapannya.
Semakin besar laju alir atau debit aliran masuk maka persen penyerapan
akan semakin rendah. Hal ini disebabkan gas CO2 memilki sedikit waktu untuk
terdifusi kedalam H2O (Ahmad, 2012). Selain itu kandungan ion kalsium dan
magnesium dalam air juga dapat mempengaruhi persen penyerapan CO2, semakin
tinggi kandungan ion kalsium dan magnesium pada air maka semakin tinggi
persen penyerapan CO2. Hal inilah yang menyebabkan pada air laut kandungan
CO2 lebih banyak dibandingkan pada air tawar, karena kadar kalsium (422 ppm)
dan magnesium (1326 ppm) pada air laut lebih tinggi dibandingkan kadar kalsium
(1,5 ppm) dan magnesium (4,1 ppm) dalam air tawar (Susana,1988).

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Semakin besar volume titran, maka semakin besar kadar CO 2 yang
terserap. Pada run 1 volume titran terbesar adalah 60, 3 ml dan run 2 82,5
ml dengan kadar CO2 berturut-turut 295,68 ppm dan 384,56 ppm.
2. Semakin lama waktu, maka semakin besar pula kadar CO2 yang terserap.
3. Semakin besar kadar CO2 yang terserap, maka semakin kecil efisiensi
kadar CO2
4. Hasil efisiensi tertinggi terletak pada waktu 15 menit yaitu sebesar 8,13%
pada run I, dan 6,87% pada run II. Hal ini dikarenakan kinerja pada alat
absorpsi telah mengalami distribusi sempurna.

5.2 Saran
Agar efesiensi penyerapan CO2 meningkat sebaiknya air keluaran alat
jangan direcycle, karena jika terus direcycle maka akan mengalami titik jenuh
sehingga penyerapan CO2 tidak maksimal.

DAFTAR PUSTAKA
Altway, A., Perpindahan, L., Fti-its, J. T. K., Its, K., Arief, J., Hakim, R., & Telp,
S. (2009). Pengaruh Model Aliran Terhadap Recovery Co2 Pada Absorpsi
Gas Co2 Oleh Larutan K2Co3 Didalam Packed Column Dengan Kondisi
Non-Isothermal. Pengaruh Model Aliran Terhadap Recovery Co2 Pada
Absorpsi Gas Co2 Oleh Larutan K2Co3 Didalam Packed Column Dengan
Kondisi Non-Isothermal, 12(3), 154–160.
https://doi.org/10.14710/reaktor.12.3.154

Asdak, 1995. Transpor process and separation process principles. Edisi ke-4.
New jersey: prentice Hell.

Co, A., Campurannya, D., Ch, D., Melalui, A. N., & Kartohardjono, S. (2007).
Kontaktor Membran Serat Berongga Menggunakan Pelarut Air. Makara
Teknologi, 11(2), 97–102.

Geankoplis, Christie J. 1993. Transport Processes and unit operations 3 rd edition.


Prentice hall: New Jersey
Mc. Cabe and Smith and Harriot, E. Josifi. 1999. Operasi Teknik Kimia Jilid I
dan II serta III Edisi Ke-4.

S., H, N. T., . H., & Supramono, D. (2010). Studi Absorpsi Co2 Menggunakan
Kolom Gelembung Berpancaran Jet (Jet Bubble Column). MAKARA of
Technology Series, 12(1), 31–37. https://doi.org/10.7454/mst.v12i1.520

Sylvia, N., & Hakim, L. (2018). Simulasi Aliran Kolom Absorpsi untuk Proses
Penyerapan CO 2 dengan Absorben Air menggunakan Computational
Fluid Dynamics ( CFD ) Simulation of Absorption Column Flow for CO 2
Absorption Process with Water Absorbent using Computational Fluid
Dynamics (CFD). Teknologi Kimia, 1(Mei), 1–12.

Rusli, 2013. Pemisahan Kimia Untuk Universitas. Bandung. Erlangga.


Waren L. Mc Cabe, 1985. Operasi Teknik Kimia. Jakarta: penerbit erlangga

LAMPIRAN A
DATA PENGAMATAN
LAMPIRAN B
PERHITUNGAN
B.1 Run 1, flow rate air = 1 L/menit, flow rate CO2 = 2 L/menit
Kadar CO2 (blanko)

Diketahui: Waktu : 15 menit


Vtitran = 30 ml
Ntitran = 0,04 N
BM CO2 = 44
¿ V.titran x N.titran x BMCO2 x 1000
Kadar CO2 =
V Sampel
gr
30 ml x 0,04 N x 44 x 1000
= mol
400
= 132 ppm
1. Waktu = 25 menit
a. Kadar CO2
¿ V.titran x N.titran x BM CO 2 x 1000
Kadar CO2 = – kadar
V Sampel
blanko
gr
34,6 ml x 0,04 N x 44 x 1000
= mol – 132
400
= 20,24 ppm
b. Efisiensi Penyerapan CO2
Kadar blanko
Efisiensi penyerapan = × 100%
Kadar CO2 t=20 menit - Kadar blanko
132
= × 100%
152,24 - 132
= 652,17%
2. Waktu = 35 menit
a. Kadar CO2
¿ V.titran x N.titran x BM CO2 x 1000
Kadar CO2 = – Kadar
V Sampel
CO2
gr
40 ml x 0,04 N x 44 x 1000
= mol – 152,24 ppm
400
= 23,76 ppm
b. Efisiensi Penyerapan CO2
Kadar blanko
Efisiensi penyerapan =
Kadar CO2 t=35 menit - Kadar CO2 t=25 menit
× 100%
132
= × 100%
23,76 - 20,24
= 3.750%
3. Waktu = 45 menit
a. Kadar CO2
¿ V.titran x N.titran x BM CO2 x 1000
Kadar CO2 = – Kadar
V Sampel
CO2 t = 35 menit
gr
48,4 ml x 0,04 N x 44 x 1000
= mol – 23,76 ppm
400
= 189,2 ppm
b. Efisiensi Penyerapan CO2
Kadar blanko
Efisiensi penyerapan = ×
Kadar CO2 t= 45 menit - Kadar CO 2 t=35 menit
100%
132
= × 100%
189,2 - 32,76
= 84,38%

4. Waktu = 55 menit
a. Kadar CO2
¿ V.titran x N.titran x BM CO2 x 1000
Kadar CO2 = – Kadar
V Sampel
CO2 t = 45 menit
gr
60,3 ml x 0,04 N x 44 x 1000
= mol –189,2 ppm
400
= 76,12 ppm
b. Efisiensi Penyerapan CO2
Efisiensi penyerapan =

Kadar blanko
× 100%
Kadar CO2 t=55 menit - Kadar CO2 t= 45 menit
132
= × 100%
76,12 - 189,2
= -116,73%

B.2 Run 1I, flow rate air = 2 L/menit, flow rate CO2 = 1 L/menit
1. Waktu =15 menit
Kadar CO2 (blanko)
¿ V.titran x N.titran x BMCO2 x 1000
Kadar CO2 =
V Sampel
gr
39,9 ml x 0,04 N x 44 x 1000
= mol
400
= 43,56 ppm
2. Waktu = 25 menit
a. Kadar CO2
¿ V.titran x N.titran x BM CO2 x 1000
Kadar CO2 = – kadar
V Sampel
blanko
gr
50 ml x 0,04 N x 44 x 1000
= mol – 43,56
400
= 176,44 ppm

b. Efisiensi Penyerapan CO2


Kadar blanko
Efisiensi penyerapan = × 100%
Kadar CO2 t=25 menit - Kadar blanko
43,56
= × 100%
176,44 - 43,56
= 32,78%

3. Waktu = 35 menit
a. Kadar CO2
¿ V.titran x N.titran x BM CO2 x 1000
Kadar CO2 = – Kadar
V Sampel
CO2 t = 25 menit
gr
68,2 ml x 0,04 N x 44 x 1000
= mol – 176,44 ppm
400
= 123,64 ppm

b. Efisiensi Penyerapan CO2


Kadar blanko
Efisiensi penyerapan =
Kadar CO2 t=35 menit - Kadar CO 2 t=25 menit
× 100%

43,56
= × 100%
123,64 - 176,44
= -82,5%
4. Waktu = 45 menit
a. Kadar CO2
¿ V.titran x N.titran x BM CO 2 x 1000
Kadar CO2 = – Kadar
V Sampel
CO2 t = 35 menit
gr
75,3 ml x 0,04 N x 44 x 1000
= mol – 123,64 ppm
400
= -123,31 ppm
b. Efisiensi Penyerapan CO2
Kadar blanko
Efisiensi penyerapan =
Kadar CO2 t=4 5 menit - Kadar CO2 t=35 menit
× 100%
43,56
= × 100%
- 123, 31 - 123,64
= -17,64%

5. Waktu = 55 menit
a. Kadar CO2
¿ V.titran x N.titran x BM CO2 x 1000
Kadar CO2 = – Kadar
V Sampel
CO2 t = 45 menit
gr
82,5 ml x 0,04 N x 44 x 1000
= mol – (-123,31)
400
ppm
= 486,31ppm
b. Efisiensi Penyerapan CO2
Kadar blanko
Efisiensi penyerapan =
Kadar CO2 t=55 menit - Kadar CO 2 t=45 menit
× 100%
43,56
= × 100%
486,31 - (-123,31)
= 7,15%

LAMPIRAN C
GAMBAR ALAT
No. Nama Fungsi
1.
Sebagai alat untuk mengukur
volume larutan, mulai dari volume
10ml hingga 2L.

Gelas Ukur

2.
Untuk mencampur, mengukur dan
menyimpan cairan.

Erlenmeyer

3.
Untuk memindahkan volume cairan
yang telah terukur.

Pipet Tetes
4.
Untuk titrasi dengan presisi tinggi,
atau bisa juga untuk mengukur
volume suatu larutan.

Buret

5.
Alat yang digunakan untuk
menyedot larutan, yang biasanya
dipasang pada pangkal pipet.

Filler

6.
Untuk memindahkan larutan secara
terukur sesuai dengan volume. 

Pipet Volume
7.
Alat yang digunakan untuk proses
absorbsi

Alat Absorbsi
PERCOBAAN V

SEDIMENTASI
LAPORAN PRAKTIKUM PROSES TEKNIK KIMIA II
SEDIMENTASI

Diajukan untuk Memenuhi Laporan Praktikum Proses Teknik Kimia II

Disusun Oleh :
Kelompok V (A1)

Indriani NIM. 170140052


Efri Marnelisa NIM. 170140067
Dewi Lestari NIM. 170140122
Lisa Andriani NIM. 170140136
M. Firman Maulana NIM. 170140137
Alfathan Ansori AS NIM. 170140141

JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK


UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
LHOKSEUMAWE
2020
ABSTRAK
Sedimentasi adalah pengendapan (settling) partikel-partikel dari suspensi. Pada
sedimentasi partikel-partikel dipisahkan dari fluida akibat gaya gravitasi yang
bekerja pada partikel-partikel tersebut. Dengan tujuannya adalah untuk
mengetahui cara melaksanakan proses pemisahan secara mekanik, mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi sedimentasi serta mengestimasi kecepatan
settling partikel. Proses dari percobaan ini yaitu menggunakan sampel berupa
lumpur yang kemudian di larutkan dengan air, variasi konsentrasi yaitu 60 gr/L,
90 gr/Ldan 120 gr/L serta wadah yang di gunakan berupa beaker glass dan gelas
ukur. Semakin lama waktu pengendapan maka ketinggian antar muka cairan
semakin berkurang. Dan pada sampel telah sesuai dengan teori baik yang di
beaker glass ataupun gelas ukur. Semakin lama waktu pengendapan, maka laju
pengendapan akan semakin berkurang. Semakin besar konsentrasi maka waktu
pengendapan semakin lama.

Kata Kunci: Sedimentasi, Konsentrasi, Suspensi


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Judul Praktikum : Sedimentasi


1.2 Tanggal Praktikum : 12 Maret 2020
1.3 Pelaksana Praktikum : 1. Indriani (170140052)
2. Efri Marnelissa (170140067)
3. Dewi Lestari (170140122)
4. Lisa Andriani (170140136)
5. M. Firman Maulana (170140137)
6. Alfathan Ansori AS (170140141)

1.4 Tujuan Praktikum : 1. Untuk mengetahui cara melaksanakan proses


pemisahan secara mekanik.
2. Untuk mengetahui factor-faktor yang
mempengaruhi sedimentasi.
3. Untuk mengestimasi kecepatan settling partikel
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Sedimentasi

Sedimentasi (pengendapan) merupakan salah satu cara pemisahan padatan


yang tersuspensi dalam suatu cairan dimana akan terjadi peristiwa turunya
partikel – partikel padat yang semula tersebar atau tersuspensi dalam cairan
karena adanya gaya berat atau gaya gravitasi.

Banyak metode separasi mekanik yang didasarkan atas gerakan partikel


zat padat atau tetesan zat cair melalui fluida itu mungkin gas atau zat cair dan
mungkin berada pada keadaan mengalir atau keadaan diam. Dalam beberapa
situasi, tujuan dari pada proses itu adalah untuk mengeluarkan partikel dari arus
fluida dan untuk mengeluarkan pengotor yang terdapat didalam fluida atau untuk
memulihkan partikel sebagaimana dalam pembersihan udara atau gas buangan
terhadap debu dan uap racun atau untuk membuang zat padat dari air limbah.
Dalam soal-soal lain, partikel itu sengaja disuspensikan di dalam fluida supaya
dapat dipisahkan menjadi fraksi – fraksi yang berbeda ukuran atau densitasnya.

Dalam industri yang digunakan adalah air jernihnya untuk air proses
maupun air produksi biasanya untuk mempercepat pengendapan ditambahkan
juga koagulan, prosesnya yaitu mengikat butiran kapur menjadi flok – flok
sehingga akan lebih cepat jatuh karena semakin besar flok maka akan semakin
besar juga gaya grafitasi yang berpengaruh pada proses pengendapan tersebut.

Selama proses sedimentasi berlangsung, terdapat tiga gaya yang


berpengaruh :
a. Gaya Gravitasi
Gaya ini bisa dilihat pada saat terjadi endapan atau mulai turunnya
pertikel padatan menuju kedasar tabung untuk membentuk endapan. Hal ini
terjadi karena massa jenis partikel padatan lebih besar dari massa jenis fluida.

Fg = m . g ………………………………………….…………………..(1)
b. Gaya Apung
Gaya apung terjadi jika massa jenis partikel lebih kecil dari massa jenis
fluida. Sehingga partikel padatan berada pada permukaan cairan.
Fa = Mf . g ………………………….………………………………...(2)

c. Gaya Dorong
Gaya dorong terjadi pada saat larutan dipompakan ke dalam tabung
klarifier. Larutan ini akan terdorong pada ketinggian tertentu. Gaya dorong dapat
juga kita lihat pada saat mulai turunya partikel padatan karena adanya gaya
Gravitsi, maka fluida akan memberikan gaya yang besarnya sama dengan berat
padatan itu sendiri. Gaya inilah yang disebut gaya dorong dan juga gaya yang
memiliki arah yang berlawanan dengan gaya gravitasi.

2.2 Laju Pengendapan

Suatu partikel yang mengendap dalam air karena adanya gaya gravitasi
akan mengalami percepatan sampai gaya dari tahanan dapat mengimbangi gaya
gravitasi, setelah terjadi kesetimbangan partikel akan terus mengendap pada
kecepatan kostan yang dikenal sebagai kecepatan akhir atau kecepatan
pengendapan bebas. Laju pengendapan lumpur berbeda-beda satu sama lainnya,
demikian pula tinggi relatif berbagai zona pengendapanya. Untuk menentukan
karakteristik pengendapanya secara teliti, setiap lumpur itu harus diperiksa
dengan melakukan eksperimen terhadap masing-masingnya (Mc.Cabe,1999).

Laju pengendapan partikel dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :


1. Berat jenis air
2. Berat jenis partikel padatan
3. Viskositas air
4. Aliran dalam bak pengendapan
5. Bentuk dan ukuran partikel

Berat jenis fluida lebih besar dari pada berat jenis partikel padatannya,
maka laju pengendapanya lamban. Begitu juga sebaliknya, semakin besar berat
jenis partikel maka laju pengendapannya cepat. Laju pengendapan sangat
dipengaruhi oleh viskositas dimana viskositas sangat berkaitan erat dengan suhu
yang ada. Bila temperatur tinggi maka viskositas menurun sehingga bentuk dan
ukuran partikel semakin kecil sehingga laju pengendapan cepat. Aliran dalam bak
pengendapan akan mempengaruhi laju endapan. Pada aliran laminer laju
pengendapan cepat sedangkan pada aliran turbulen laju pengendapan akan sangat
terganggu maka akan sangat lambat mengendap.

Laju pengendapan partikel – partikel dalam air tergantung pada jenis


bentuk dan ukuran dari partikel tersebut dan viskositas cairan yang digunakan.
Adanya pengendapan zat uji kemungkinan besar mempengaruhi laju
pengendapan sehingga dapat ditentukan lajunya dan mengetahui pangaruh zat uji
tersebut. Dimana dilakukan pengambilan sampel tiap selang waktu tertentu dan
menimbang berat endapan serta menghitung beberapa konsentrasi endapan yang
terjadi sehingga kita dapat membandingkan kecepatan laju pengendapan dari tiap
gerakan partikel pada fluida dalam proses. Partikel yang mempunyai ukuran yang
besar dan kasar akan sangat mudah mengendap dari pada partikel halus, untuk
padatan yang halus diusahakan menggumpal menjadi partikel yang lebih besar
agar cepat mengendap. (Parikesit,1985).

Padatan yang tersuspensi dalam air dapat dibedakan menjadi dua


golongan yaitu:

a. Padatan kasar

Padatan kasar adalah padatan yang dapat dipisahkan dengan cara


pengendapan yang sederhana dalam waktu yang singkat dimana pada padatan
kasar mudah terjadi pengendapanya besar. Pengendapan padatan kasar terjadinya
sangat mudah, hal itu terjadi karena pengendapanya lebih besar. Bila terjadi
gerakan relatif dengan suatu pertikel yang disekitarnya dikelilingi oleh air
tersebut. Maka air akan memberikan tahanan gesek (Drag) kepada partikel itu
sebesar :

Fd = Cd . Ap ……………………………………………(4)
b. Padatan halus

Padatan halus adalah padatan yang tidak dapat dipisahkan dengan cara
pengandapan yang sederhana didalam waktu yang relatif singkat atau tidak
mempunyai peralatan pengendap yang dapat beroperasi secara komersial
mekanisme penggerak (rake) yang dipasang pada dasar tangki pengendap agar
dapat mempermudah pengumpulan suspensi pekat dari dasar tangki.

2.3 Pemisahan atas dasar gerakan partikel melalui fluida


Banyak metode separasi mekanik yang didasarkan atas gerakan partikel
zat padat atau tetesan zat cair melalui fluida itu mungkin gas atau zat cair dan
mungkin berada pada keadaan mengalir atau keadaan diam. Dalam beberapa
situasi, tujuan dari pada proses itu adalah untuk mengeluarkan partikel dari arus
fluida dan untuk mengeluarkan pengotor yang terdapat didalam fluida atau untuk
memulihkan partikel sebagaimana dalam pembersihan udara atau gas buang
terhadap debu dan uap racun atau untuk membuang zat padat dari air limbah.
Dalam soal soal lain, partikel itu sengaja disuspensikan di dalam fluida supaya
dapat dipisahkan menjadi fraksi – fraksi yang berbeda ukuran atau densitasnya.
Fluida itu lalu dipulihkan, kadang – kadang untuk digunakan kembali, dari
partikel yang telah di fraksionasi.

2.4 Proses Pengendapan Gravitasi


Partikel – partikel yang lebih berat dari fluida tempat patikel itu
tersuspensi dapat dikeluarkan didalam kotak pengendapan atau tangki pengendap
(Settling Tank) dimana kecepatan fluida itu cukup kecil dan partikel itu mendapat
waktu yang cukup untuk mengendap keluar dari suspensi itu. Separator –
separator industri hampir semua mempunyai fasilitas untuk mengeluarkan zat
padat yang mengendap pemisahan itu bisa pula hampir lengkap. Peralatan
pengendap yang dapat memisahkan hampir seluruh partikel dari zat cair
dinamakan klarifikator (Clarifier) sedang peranti yang memisahkan zat padat
menjadi dua fraksi disebut klasifikator (Clasifier). Pada kedua alat itu berlaku
prinsip sedimentasi yang sama.
2.5 Klasifikator Gravitasi
Kebanyakan klasifikator yang digunakan dalam pengolahan kimia
memisahkan zat padat atas dasar ukuran partikel dimana densitas partikel halus
dan partikel besar itu sama. Klasifikator mekanik banyak digunakan dalam
penggilingan rangkaian tertutup, lebih – lebih dalam operasi metalurgi di sini,
partikel yang relative kasar disebut pasir (Sand), sedang bubur partikel halus
disebut lanyau (smile). Waktu diatur sedemikian sehingga pasir mengendap ke
dasar peranti sedang lanyau terbawa oleh zat cair keluar.

2.6 Flokulasi
Flokulasi adalah proses penggabungan muatan positif dan negatif
sehingga membentuk muatan yang lebih besar dengan tujuan menetralisir muatan
yang ada pada partikel itu. Banyak yang terdiri dari partikel yang mempunyai
muatan listrik karena adanya gaya saling tolak antara muatan yang sama,
cenderung selalu terdispersi. Jika kita tambahkan elektrolit, maka ion yang
terbentuk di dalam larutan itu akan menetralisir muatan partikel tadi. Partikel itu
lalu dapat dialogmerasikan menjadi flok – flok yang masing-masingnya terdiri
dari banyak pertikel. Bila partikel semula bermuatan negatif, kation elektrolit
itulah yang efektif dan bila muatanya negatif, maka anion yang aktif. Metode
lain untuk flokulasi mencakup pengunaan bahan aktif permukaan dan
penambahan bahan, seperti perekat gamping, alumina atau natrium sillikat, yang
menyeret partikel itu turun bersamanya (Brown,1991) .

2.7 Zona Sedimentasi Di Dalam Kolom Pengendapan Kontinyu

Sedimentasi merupakan salah satu cara yang paling di ekonomis unuk


memisahkan padatan dari suspensi bubur atau slurry. Operasi ini banyak
digunakan pada prosese-proses untuk mengurangi polusi dari limbah industri.
Suspensi sendiri dibedakan atas dua bagian yaitu:
a. Suspensi cair adalah suspensi dan konsentrasi dari partikel yang tidak
cukup untuk membentuk batas yang jelas terhadap air saat pengaturan
berlangsung.
b. Concentratif suspensi adalah suspensi dengan suatu konsentrasi batas
yang sangat besar sehingga terbentuk batas yang jelas saat pengaturan
berlangsung.

Dalam kolom pengendap (penebal) kontinyu yang diperlengkapi dengan


penggaruk untuk mengeluarkan limpahan bawah pulp umpan dimasukan pada
garis pusat alat, pada kedalaman kira-kira 1 inc dibawah permukaan zat cair
sebagaimana terlihat gambar 2, diatas ketinggian peggumpalan itu terdapat zona
klarifikasi yang hampir tidak mengandung zat padat sama sekali, disini
kebanyakan zat cair yang masuk bersama umpan mengalir keatas sehingga dapat
dikeluarkan ke selokan limpahan. Zat cair itu mengendap ke bawah dari
ketinggian pengumpanan, bersama sebagian zat cair yang keluar dari unit itu
sebagai limpahan bawah.

Daerah dibawah ketinggian pengumpanan disebut zone pengendapan


dimana masing-masing flok berada dalam sentuhan longgar satu sama lain, dan
semua partikel turun kebawah dengan kecepatan yang sama tanpa tergantung
pada ukuran partikel. Didekat dasar terdapat zone kompresi dimana konsentrasi
zat padat meningkat dengan cepat sampai nilainya sama dengan nilai pada
limpahan bawah. Zona ini setara dengan zone D pengendap tumpak, walaupun
tentu pada pengendap kontinyu ketebalanya tidak berubah dengan waktu. Dan
penggaruk yang berkerja pada dasar zonakompresi ini cenderung memecah
struktur flok dan memampatkan limpahan bawah itu sehingga kandungan zat
padatnya lebih besar dari pada zona D pada pengendap tampak.

2.8 Jenis Peralatan Sedimentasi

Berdasarkan tujuan dari bahan apa yang ingin didapatkan maka


sedimentasi ini dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu:

a. Penjernihan (clarifier)

Clarifier adalah pengendapan partikel padat yang jumlahnya relative


sedikit (1-5%) dengan suatu tujuan untuk memperoleh cairan yang jernih, proses
klarifier mencakup proses flokulasi dan koagulasi. Proses koagulasi merupakan
suatu proses dimana penambahan zat kimia atau koagulan tertentu kedalam air
yang diolah dan disertai pengadukan cepat sehingga terbentuk flok suatu partikel
yang halus, selanjutnya mengalami proses flokulasi yaitu bergabungnya flok-flok
membentuk flok yang leih besar.

b. Pemekatan (Thickener)
Thickener adalah peningkatan konsentrasi atau konsentrasi zat padat dari
campuran yang memiliki zat padat yang relatif banyak (15-30%), dan biasanya
hasil padatnya yang diperlukan.

Sedimentasi merupakan salah satu cara yang paling ekonomis untuk


memisahkan yang padatan dari suspensi bubur atau slurry. Operasi ini banyak
digunakan pada proses-proses untuk mengurangai polusi dari limbah industri.
Suspensi sendiri dibedakan atas dua bagian yaitu :
a. Suspensi cair adalah suspensi dan konsentrasi dari partikel yang tidak
cukup untuk membentuk batas yang jelas terhadap air saat pengaturan
berlangsung.
b. Concentratif suspensi adalah suspensi dengan suatu konsentrasi batas
yang jelas sangat besar sehingga terbentuk batas yang jelas saat
pengaturan berlangsung.

Perbedaan kedua suspensi diatas mengakibatkan pola setting berbeda dan


membutuhkan dan rancangan peralatan sedimentasi selalu didasarkan pada
percobaan sedimentasi pada skala yang lebih kecil (F. Parikest,1985).

2.9 Hukum – Hukum Yang Mempengaruhi Sedimentasi

a. Hukum Newton I
Suatu benda akan tetap bergerak dalam kecepatan tetap atau diam bila
jumlah gaya yang berkerja pada benda sama dengan nol.

F = 0………………………………………………………..……………(5)
b. Hukum Newton II

Gaya yang berkerja pada suatu benda akan berbanding lurus dengan
massa benda dan sebanding dengan percepatan pada benda,
F = m. a……………………………………………...………………….(6)
c. Hukum Newton III

Suatu gaya sebetulnya adalah hasil interaksi dari dua benda tapi arahnya
berlawanan.
Faksi = Freaksi…..……………………………………...……………….(7)

Partikel di dalam suatu fluida tertentu mengendap di bawah pengaruh


gaya gravitasi pada laju maksimum tertentu. Untuk meningkat laju dari suatu
pendapan tertentu, maka gaya gravitasi yang berkerja pada suatu partikel itu
dapat digantikan dengan gaya sentrifugal yang lebih kuat. Apabila perbedaan itu
kecil maka pemisahan metode ini tidak ekonomis. Dalam hal yang demikian
kecepatan pemisahan dapat diperbesar beberapa kali dengan menggunakan gaya-
gaya sentrifugal. Selanjutnya kecepatan pemisahan akan dapat dipengaruhi oleh
perbandingan luas permukaan terhadap massa oleh bentuk padatan dan volume
viskositas cairan tersebut. (Brown G,1991)

2.10 Laju Pengendapan Pada Sedimentasi

Laju pengendapan partikel –partikel dalam air tergantung pada berat jenis,
bentuk dan ukuran atau dari partikel tersebut dan viskositas cairan yang
digunakan. Adanya penambahan zat uji kemungkinan besar mempengaruhi laju
pengandapan sehingga dapat ditentukan zat uji yang dapat mempercepat laju dari
pengendapan sehingga dapat ditentukan lajunya dan mengetahui pengaruh zat uji
tersebut. Dimana dilakukan penganbilan sample tiap selang waktu tertentu dan
menimbang berat endapan serta menghitung berapa konsentrasi endapan yang
terjadi, sehingga kita dapat membandingakan kecepatan laju pengendapan dari
tiap gerakan pada partikel pada fluida dalam proses yang pengendapannya terjadi.
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1 Alatdan bahan
3.1.1 Alat-alat
Adapun alat-alat yang digunakan sebagai berikut:
1. Beaker glass 1000 ml
2. Gelas ukur 1000 ml
3. Penggaris
4. Pengaduk
5. Stopwatch

3.1.2 Bahan-bahan
Adapun bahan-bahan yang digunakan sebagai berikut:
1. Tepung Terigu
2. Air
3. Pewarna

3.2 Prosedur Kerja


Adapun prosedur kerja yang dilakukan sebagai berikut:
1. Ditimbang sejumlah tepung terigu masing-masing 60 gr, 90 gr, dan 120 gr
2. Tepung terigu yang telah ditimbang disuspensikan dalam beaker glass yang
berisi 1 liter air dan diaduk hingga tercampur seragam.
3. Kemudian diisi beaker glass dan gelas ukur dengan campuran tersebut
setinggi 12 cm dari dasar beaker dan gelas ukur tersebut. Campuran
dibiarkan tenang dan perhitungan waktu dimulai.
4. Pada interval waktu 2 menit sekali, dicatat tinggi antarmuka antara cairan
jernih dan suspensi keruh.
5. Pengambilan data dihentikan jika telah tercapai waktu percobaan yang
diinginkan atau tinggi antarmuka telah konstan.
6. Percobaan diulangi untuk konsentrasi tepung terigu yang berbeda.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Adapun hasil pengamatan yang diperoleh dari percobaan sedimentasi yang
telah dilakukan dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Hasil Data Pengamatan Sedimentasi

Tinggi endapan pada Tinggi endapan pada Gelas


Beaker Glass (cm) Ukur (cm)
Waktu,
No.
t (menit) Konsentrasi Awal, Co (gr/l) Konsentrasi Awal, Co (gr/l)

60 90 120 60 90 120

1. 0 12 12 12 12 12 12

2. 2 8,5 9,8 11 10,5 10,8 11

3. 4 5 8,3 9,5 5,5 9,0 9,5

4. 6 2,8 6,5 8 3,5 6 7,9

5. 8 1,8 4 6 2,5 4 6,1

6. 10 1,8 4 5 2,5 4 5,5

7. 12 1,8 4 5 2,5 4 5

8. 14 - - 5 - - 5

9. 16 - - - - - 5

Tabel 4.1 Hasil Data Pengamatan percobaan Sedimentasi


Adapun hasil perhitungan dari hasil data pengamatan yang telah didapat
dari percobaan sedimentasi pada beaker glass sebagai berikut:
Tabel 4.2 Hasil Perhitungan Pada Beaker Glass

Konsentrasi Awal, Co (gr/l)


60 90 120
No
V C V C V C
(cm/min) (gr/l) (cm/min) (gr/l) (cm/min) (gr/l)
1 0 60 0 90 0 120
2 0,208 84,7 0,183 110,2 0,071 130,9
3 0,375 144 0,125 130,12 0,107 151,57
4 0,183 257,14 0,15 166,15 0,107 180
5 0,083 400 0,208 270 0,143 240
6 0 400 0 270 0,07 288
7 0 400 0 270 0 288
8 - - - - 0 288
Adapun hasil perhitungan dari hasil data pengamatan yag telah didapat
dari percobaan sedimentasi pada gelas ukur sebagai berikut:

Tabel 4.3 Hasil Perhitungan Pada Gelas Ukur


Konsentrasi 6 gr/L Konsentrasi 90 gr/L Konsentrasi 120 gr/L
V C V C V C
No
(cm/min) (cm/min) (cm/min) (cm/min) (cm/min) (cm/min)

1 0 60 0 90 0 120
2 0,125 68,57 0,1 83,33 0,063 130,9
3 0,417 130,9 0,15 100 0,094 151,57
4 0,167 205,71 0,25 150 0,1 182,27
5 0,083 288 0,167 225 0,112 236,81
6 0 288 0 225 0,038 261,81
7 0 288 0 225 0,031 288
8 - - - - 0 288
9 - - - - 0 288

4.2 Pembahasan
4.2.1 Hubungan Interface (z) terhadap Waktu (t) pada Beaker Glass

Percobaan ini menggunakan bahan baku tepung terigu dan pewarna,


percobaan ini dilakukan dengan menggunakan berbagai konsentrasi yaitu 60 gr/l,
90 gr/l, dan 120 gr/l. Kemudian masing-masing konsentrasi dilarutkan dalam 1
liter air kemudian dimasukkan ke dalam Beaker Glass dan dicatat ketinggian antar
muka dalam selang waktu 2 menit sampai ketinggian antar muka konstan. Pada
konsentrasi 60 gr pada selang waktu 2 menit endapan tepung lama kelamaan akan
semakin turun, tinggi endapan nya yaitu 8,5 cm dan untuk selang waktu 12 menit
berikutnya tinggi endapan yang dihasilkan adalah 1,8 cm. Pada konsentrasi 90 gr
pada selang waktu 2 menit dihasilkan tinggi endapan yaitu 8,9 cm dan untuk
selang waktu 12 menit berikutnya tinggi endapan yang dihasilkan adalah 4 cm.
Pada konsentrasi 120 gr pada selang waktu 2 menit dihasilkan tinggi endapan
yaitu 11 cm dan untuk selang waktu 14 menit tinggi endapan yang dihasilkan
adalah 5 cm. Berikut merupakan grafik hubungan antara interface (z) terhadap
waktu (t) pada Beaker Glass.

14

12

10
Tinggi Endapan (cm)

8
Co 120
6
Co 90
4 Co 60

0
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Waktu (menit)

Grafik 4.1 Hubungan Interface (z) terhadap Waktu (t) pada Beaker Glass

Dari grafik diatas dapat diketahui bahwa semakin lama waktu maka tinggi
endapan yang didapat semakin besar sehingga waktu pengendapan semakin lama.
Semakin lama waktu pengendapan maka tinggi antar muka semakin berkurang
dan berangsur angsur mencapai zona jernih, hal ini disebabkan pemampatan atau
kompresi pada endapan yang mempunyai luas permukaan lebih besar. Semakin
besar luas permukaan maka endan yang diperoleh semakin kecil.

4.2.2 Hubungan Interface (z) terhadap waktu (t) pada Gelas Ukur
Pada konsentrasi 90 gr pada selang waktu 2 menit endapan tepung lama
kelamaan akan semakin turun, tinggi endapan nya yaitu 10,5 cm, dan untuk selang
waktu 12 menit berikutnya tinggi endapan yang dihasilkan adalah 2,5 cm. Pada
konsentrasi 90 gr pada selang waktu 2 menit dihasilkan tinggi endapan yaitu 10,8
cm dan untuk selang waktu 10 menit tinggi endapan yang dihasilkan adalah 4 cm.
Pada konsentrasi 120 gr pada selang waktu 2 menit tinggi endapan yang
dihasilkan adalah 11 cm dan pada selang waktu 12 menit tinggi endapan yang
dihasilkan adalah 5 cm. Berikut merupakan grafik hubungan antara interface (z)
terhadap waktu (t) pada Gelas Ukur.

14

12

10
Tinggi Endapan (cm)

8
Co 120
6
Co 90
4 Co 60

0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18
Waktu (menit)
Grafik 4.2 Hubungan antara interface (z) terhadap waktu (t) pada Gelas
Ukur.
Berdasarkan grafik diatas, dapat disimpulkan bahwa tinggi endapan pada
gelas ukur lebih tinggi dibandingkan pada beaker glass, hal ini dikarenakan luas
permukaan gelas ukur lebih kecil dibandingkan beaker glass. Semakin besar luas
permukaan suatu wadah maka endapan yang diperoleh akan semakin kecil, begitu
juga sebaliknya.

4.2.3 Hubungan Laju Pengendapan (V) Terhadap Konsentrasi (C) pada


Beaker Glass

V vc C
350
300
250
V (cm/min)

200 60
150 90
120
100
50
0
0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 0.14 0.16
C (gr/l)

Grafik 4.3 Hubungan Laju Pengendapan (V) Terhadap Konsentrasi (C)


pada Beaker Glass

Berdasarkan grafik di atas hubungan antara konsentrasi dengan laju


pengendapan berbanding terbalik. Semakin besar konsentrasi maka kecepatan
pengendapan semakin kecil. Dari hasil percobaan yang telah di dapat,
pengendapan terjadi di pengaruhi oleh luas penampang wadah, semakin besar luas
penampang wadah maka kecepatan pengendapannya semakin cepat. Sehingga
kecepatan pengendapan pada beaker glasss lebih cepat dibandingkan gelas ukur.
Pengendapan juga dipengaruhi oleh konsentrasi, semakin besar konsentrasi, maka
semakin berkurang laju pengendapannya ( McCabe, 1985).
4.2.4 Hubungan Laju Pengendapan (V) Terhadap Konsentrasi (C) pada
Gelas Ukur

V vs C
350
300
250
V (cm/min)

200 60
150 90
120
100
50
0
0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12
C (gr/l)

Grafik 4.4 Hubungan Laju Pengendapan (V) Terhadap Konsentrasi (C)


pada Gelas Ukur

Pada gambar di atas dapat kita lihat bahwa perbandingan antara


konsentrasi dengan kecepatan pengendapan berbanding terbalik artinya semakin
besar konsentrasi suatu larutan maka kecepatan alir yang di dapat semakin kecil.
Hal tersebut sesuai dengan teori. Berdasarkan teori, semakin besar konsentrasi
padatan maka semakin berkurang kecepatan pengendapan. Hal ini merupakan
makin besar konsentrasi maka semakin besar gaya yang ditimbulkan antar
partikel, yang menyebabkan laju pengendapan pada gelas ukur berkurang dan
berangsur-angsur turun kebawah karena adanya gravitasi (McCabe.1985
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Semakin lama waktu pada proses sedimentasi maka endapan yang dihasilkan
pun akan semakin rendah.
2. Semakin besar konsentrasi maka ketinggian antar muka cairan akan semakin
tinggi pula.
3. Semakin tinggi konsentrasi bahan maka laju pengendapan akan semakin kecil.
4. Laju pengendapan pada gelas ukur lebih lambat dibandingkan pada beaker
glass karena pengendapan dipengaruhi oleh luas wadah.

5.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan untuk percobaan ini adalah sebaiknya
dilakukan percobaan dengan variasi sampel dengan ukuran partikel yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA

Brown, Willey and Sons. 1991.Sedimentasion Rate and Bioturbation in Arabian


Environment international.Erlangga:Jakarta

Brown G.G weilley and sons,1991. Unit Operation.Erlangga:Jakarta

Mc.Cabe and Smith. 1999. Operasi Teknik Kimia 1.Erlangga: Jakarta

Parikesit, F.1985.Unit Operation.Gravindo: Bandung

F. Parikest, Ir. 1985.Diklat Alat-Alat Industri Kimia.Erlangga: Jakarta

Reynolds, T.D.1982.Unit Operation and Processes in Enviromental Eingenereing


Wadsworth Inc.Erlangga:Jakarta
LAMPIRAN A
LAMPIRAN B
PERHITUNGAN

B.1 Perhitungan untuk Beaker Glass

1. Untuk konsentrasi 60 gr/L

Diketahui : C0 = 60 gr/L
Z0 = 12 cm
t = 12 menit

Menghitung kecepatan pengendapan.


Z 0−Z 1 12 - 9,5
V1 = = 12
= 0,208 cm/menit
t
Z 1−Z 2 9,5 - 5
V2 = = 12
= 0,375 cm/menit
t
Z 2−Z 3 5 - 2,8
V3 = = 12
= 0,183 cm/menit
t
Z 3−Z 4 2,8 - 1,8
V4 = = 12
= 0,083 cm/menit
t
Z 4 −Z 5 1,8 - 1,8
V5 = = 12
= 0 cm/menit
t
Z 5−Z 6 1,8 - 1,8
V6 = = 12
= 0 cm/menit
t

Menghitung Nilai Konsentrasi (C)


C0 Z0 60 gr/l . 12 cm
C1 = = = 84,7 gr/L
Z1 8,5 cm
C0 Z0 60 gr/l . 12 cm
C2 = = = 144 gr/L
Z2 5 cm
C0 Z0 60 gr/l . 12 cm
C3 = = = 257,14 gr/L
Z3 2,8 cm
C0 Z0 60 gr/l . 12 cm
C4 = = = 400 gr/L
Z4 1,8 cm
C0 Z0 60 gr/l . 12 cm
C5 = = = 400 gr/L
Z5 1,8 cm
C0 Z0 60 gr/l . 12 cm
C6 = = = 400 gr/L
Z6 1,8 cm

2. Untuk konsentrasi 90 gr/L


Diketahui : C0 = 90 gr/L
Z0 = 12 cm
t = 12 menit

Menghitung kecepatan pengendapan.


Z 0−Z 1 12 - 9,8
V1 = = 12
= 0,183 cm/menit
t
Z 1−Z 2 9,8 - 8,3
V2 = = 12
= 0,125 cm/menit
t
Z 2−Z 3 8,3 - 6,5
V3 = = 12
= 0,15 cm/menit
t
Z 3−Z 4 6,5 - 4
V4 = = 12
= 0,208 cm/menit
t
Z 4 −Z 5 4 -4
V5 = = 12
= 0 cm/menit
t
Z 5−Z 6 4 -4
V6 = = 12
= 0 cm/menit
t

Menghitung Nilai Konsentrasi (C)


C0 Z0 90 gr/l . 12 cm
C1 = = = 110,2 gr/L
Z1 9,8 cm
C0 Z0 90 gr/l . 12 cm
C2 = = = 130,12 gr/L
Z2 8,3 cm
C0 Z0 90 gr/l . 12 cm
C3 = = = 166,15 gr/L
Z3 6,5 cm
C0 Z0 90 gr/l . 12 cm
C4 = = = 270 gr/L
Z4 4 cm
C0 Z0 90 gr/l . 12 cm
C5 = = = 270 gr/L
Z5 4 cm
C0 Z0 90 gr/l . 12 cm
C6 = = = 270 gr/L
Z6 4 cm

3. Untuk konsentrasi 120 gr/L


Diketahui : C0 = 120 gr/L
Z0 = 12 cm
t = 14 menit

Menghitung kecepatan pengendapan.


Z 0−Z 1 12 -11
V1 = = 14
= 0,071 cm/menit
t
Z 1−Z 2 11 -9, 5
V2 = = 14
= 0,107 cm/menit
t
Z 2−Z 3 9, 5 - 8
V3 = = 14
= 0,107 cm/menit
t
Z 3−Z 4 8 -6
V4 = = 14
= 0,143 cm/menit
t
Z 4 −Z 5 6 -5
V5 = = 14
= 0,071 cm/menit
t
Z 5−Z 6 5 -5
V6 = = 12
= 0 cm/menit
t
Z 6−Z 7 5 -5
V7 = = 14
= 0 cm/menit
t

Menghitung Nilai Konsentrasi (C)


C0 Z0 120 gr/l . 12 cm
C1 = = = 130,9 gr/L
Z1 11 cm
C0 Z0 120 gr/l . 12 cm
C2 = = = 151,57 gr/L
Z2 9,5 cm
C0 Z0 120 gr/l . 12 cm
C3 = = = 180 gr/L
Z3 8 cm
C0 Z0 120 gr/l . 12 cm
C4 = = = 240 gr/L
Z4 6cm
C0 Z0 120 gr/l . 12 cm
C5 = = = 288 gr/L
Z5 5 cm
C0 Z0 120 gr/l . 12 cm
C6 = = = 288 gr/L
Z6 5 cm
C0 Z0 120 gr/l . 12 cm
C7 = = = 288 gr/L
Z7 5 cm

B.2 Perhitungan untuk Gelas Ukur


1. Untuk konsentrasi 60 gr/L

Diketahui : C0 = 60 gr/L
Z0 = 12 cm
t = 12 menit

Menghitung kecepatan pengendapan.


Z 0−Z 1 12 - 10,5
V1 = = 12
= 0,125 cm/menit
t
Z 1−Z 2 10,5 -5, 5
V2 = = 12
= 0,417 cm/menit
t
Z 2−Z 3 5 ,5 - 3,5
V3 = = 12
= 0,167 cm/menit
t
Z 3−Z 4 3,5 - 2,5
V4 = = 12
= 0,083 cm/menit
t
Z 4 −Z 5 2,5 -2,5
V5 = = 12
= 0 cm/menit
t
Z 5−Z 6 2,5 -2,5
V6 = = 12
= 0 cm/menit
t

Menghitung Nilai Konsentrasi (C)


C0 Z0 60 gr/l . 12 cm
C1 = = = 68,57 gr/L
Z1 10,5 cm
C0 Z0 60 gr/l . 12 cm
C2 = = = 130,9 gr/L
Z2 5 ,5 cm
C0 Z0 60 gr/l . 12 cm
C3 = = = 205,71 gr/L
Z3 3,5 cm
C0 Z0 60 gr/l . 12 cm
C4 = = = 288 gr/L
Z4 2,5 cm
C0 Z0 60 gr/l . 12 cm
C5 = = = 288 gr/L
Z5 2,5 cm
C0 Z0 60 gr/l . 12 cm
C6 = = = 288 gr/L
Z6 2,5 cm

2. Untuk konsentrasi 90 gr/L


Diketahui : C0 = 90 gr/L
Z0 = 12 cm
t = 10 menit

Menghitung kecepatan pengendapan.


Z 0−Z 1 12 -10,8
V1 = = 12
= 0,1 cm/menit
t
Z 1−Z 2 10,8 -9
V2 = = 12
= 0,15 cm/menit
t
Z 2−Z 3 9,0 -6
V3 = = 12
= 0,25 cm/menit
t
Z 3−Z 4 6 -4
V4 = = 12
= 0,167 cm/menit
t
Z 4 −Z 5 4 -4
V5 = = 12
= 0 cm/menit
t
Z 5−Z 6 4 -4
V6 = = 12
= 0 cm/menit
t

Menghitung Nilai Konsentrasi (C)


C0 Z0 90 gr/l . 10 cm
C1 = = = 83,33 gr/L
Z1 10,8 cm
C0 Z0 90 gr/l . 10 cm
C2 = = = 100 gr/L
Z2 9 cm
C0 Z0 90 gr/l . 10 cm
C3 = = = 150 gr/L
Z3 6 cm
C0 Z0 90 gr/l . 10 cm
C3 = = = 225 gr/L
Z3 4 cm
C0 Z0 90 gr/l . 10 cm
C4 = = = 225 gr/L
Z4 4 cm
C0 Z0 90 gr/l . 10 cm
C5 = = = 225 gr/L
Z5 4 cm

3. Untuk konsentrasi 120 gr/L


Diketahui : C0 = 120 gr/L
Z0 = 12 cm
t = 16 menit

Menghitung kecepatan pengendapan.


Z 0−Z 1 12 -11
V1 = = 16
= 0,063 cm/menit
t
Z 1−Z 2 11 -9, 5
V2 = = 16
= 0,094 cm/menit
t
Z 2−Z 3 9, 5 -7,9
V3 = = 16
= 0,1 cm/menit
t
Z 3−Z 4 7,9 -6,1
V4 = = 16
= 0,112 cm/menit
t
Z 4 −Z 5 6 ,1 -5,5
V5 = = 16
= 0,037 cm/menit
t
Z 5−Z 6 5 ,5 -5
V6 = = 12
= 0031 cm/menit
t
Z 6−Z 7 5 -5
V7 = = 14
= 0 cm/menit
t
Z 7−Z 8 5 -5
V8 = = 14
= 0 cm/menit
t

Menghitung Nilai Konsentrasi (C)


C0 Z0 120 gr/l . 12 cm
C1 = = = 130,9 gr/L
Z1 11 cm
C0 Z0 120 gr/l . 12 cm
C2 = = = 151,57 gr/L
Z2 9,5 cm
C0 Z0 120 gr/l . 12 cm
C3 = = = 182,27 gr/L
Z3 7,9 cm
C0 Z0 120 gr/l . 12 cm
C4 = = = 236,06 gr/L
Z4 6 ,1 cm
C0 Z0 120 gr/l . 12 cm
C5 = = = 261,81 gr/L
Z5 5, 5 cm
C0 Z0 120 gr/l . 12 cm
C6 = = = 288 gr/L
Z6 5 cm
C0 Z0 120 gr/l . 12 cm
C7 = = = 288 gr/L
Z7 5 cm
C0 Z0 120 gr/l . 12 cm
C8 = = = 288 gr/L
Z8 5 cm
LAMPIRAN C
TUGAS DAN PERTANYAAN

Tugas :
1. Hubungan antara Z terhadap t !
2. Hubungan antara v terhadap Co !

Jawab :
1. Hubungan Antara Z terhadap t
1.1 Hubungan Interface (z) terhadap Waktu (t) pada Beaker Glass
14

12

10
Tinggi Endapan (cm)

8
Co 120
6
Co 90
4 Co 60

0
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Waktu (menit)
1.2 Hubungan antara interface (z) terhadap waktu (t) pada Gelas Ukur
14

12

10
Tinggi Endapan (cm)

8
Co 120
6
Co 90
4 Co 60

0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18
Waktu (menit)

2. Hubungan antara v terhadap C


2.1 Hubungan Laju Pengendapan (V) Terhadap Konsentrasi (C) pada Beaker
Glass

V vc C
350
300
250
V (cm/min)

200 60
150 90
120
100
50
0
0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 0.14 0.16
C (gr/l)
2.2 Hubungan Laju Pengendapan (V) Terhadap Konsentrasi (C) pada Gelas Ukur

V vs C
350
300
250
V (cm/min)

200 60
150 90
120
100
50
0
0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12
C (gr/l)
LAMPIRAN D
GAMBAR ALAT
1. Beaker Glass 2. Gelas Ukur

3. Ember 4. Pengaduk

5. Penggaris
PERCOBAAN VI

EKSTRAKSI
LAPORAN PRAKTIKUM PROSES TEKNIK KIMIA II
EKSTRAKSI

Diajukan untuk memenuhi Tugas Laporan Praktikum Proses Teknik Kimia II

Disusun Oleh:
Kelompok V (A1)

Indriani NIM. 170140052


Efri Marnelisa NIM. 170140067
Dewi Lestari NIM. 170140122
Lisa Andriani NIM. 170140136
M. Firman Maulana NIM. 170140137
Alfathan Anshori. AS NIM. 170140141

LABORATORIUM TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK


UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
LHOKSEUMAWE
2020
ABSTRAK

Pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb) merupakan jenis tumbuhan


monokotil dari famili Pandanaceae yang memiliki aroma wangi yang khas dan
mempunyai kandungan kimia alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, serta polifenol
yang berfungsi sebagai zat antioksidan. Percobaan ini dilakukan menggunakan
sampel daun pandan dengan tujuan untuk mengetahui kadar minyak atsiri yang
terkandung di dalam daun pandan. Tahapan pada percobaan ini ada dua yaitu
pertama dilakukan proses ekstraksi untuk pengambilan komponen terlarut dalam
suatu padatan dengan menggunakan etanol sebagai zat pelarut. Daun pandan yang
digunakan pada proses ekstraksi ini dihaluskan terlebih dahulu agar memperluas
permukaan kontak sehingga proses ekstraksi akan berlangsung dengan lebih baik.
Kemudian sampel dimasukkan ke dalam labu leher dua sebanyak 200 gram dan
ditambahakan pelarut etanol sebanyak 400 ml, lalu dipanaskan dengan suhu 60oC
selama 180 menit. Tahap yang kedua yaitu distilasi, tujuannya untuk menguapkan
dan mengkondensasikan etanol dengan minyak yang masih bercampur, suhu yang
digunakan adalah 105oC selama 60 menit. Hasil dari percobaan ini adalah analisa
rendemen yang diperoleh yaitu 46,21% serta densitas minyak atsiri daun pandan
diperoleh yaitu 0,9532 gr/ml.

Kata Kunci: Daun Pandan, Destilasi, Ekstraksi, Etanol, dan Minyak Atsiri.
BAB I
PENDAHULUAN

1.4 Judul Praktikum : Ekstraksi


1.5 Tanggal Praktikum : 19 Maret 2020
1.6 Pelaksana Praktikum : 1. Indriani NIM. 170140052
2. Efri Marnelisa NIM. 170140067
3. Dewi Lestari NIM. 170140122
4. Lisa Andriani NIM. 170140136
5. M. Firman Maulana NIM. 170140137
6. Alfathan Anshori NIM. 170140141
1.4 Tujuan Praktikum : 1. Mengetahui proses pengambilan minyak
dari daun pandan.
2. Menentukan kadar minyak atsiri yang
diperoleh per satuan berat daun pandan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Indonesia adalah negara agraris yang kaya akan sumber daya alam yang
bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, misalnya pemanfaatan
tanaman sebagai bahan baku produk makanan, kosmetik, dan obat-obatan. Salah
satunya adalah pemanfaatan tanaman sebagai bahan baku dalam pembuatan
minyak wangi. Hasil penelitian menyebutkan bahwa tanaman tertentu
mengandung minyak yang mudah menguap dan berbau khas sesuai tanaman
penghasilnya. Minyak tersebut dinamakan minyak volatil (mudah menguap) atau
yang terkenal dengan nama minyak atsiri (Adiyasa, 2014).

2.1 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan proses pemisahan suatu komponen dari suatu
campuran berdasarkan proses distribusi terhadap dua macam pelarut yang tidak
saling bercampur. Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak substansi
yang diinginkan tanpa melarutkan material lainnya. Ekstraksi dapat dilakukan
dengan berbagai cara. Ekstraksi pelarut umumnya digunakan untuk memisahkan
sejumlah gugus yang diinginkan dan mungkin menggunakan gugus pengganggu
dalam analisa secara keseluruhan. Kadang gugus pengganggu ini diekstraksi
secara selektif.
Ekstraksi menggunakan pelarut berdasarkan pada kelarutan komponen
terhadap komponen lain dalam campuran. Ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan
zat murni atau beberapa zat murni dari suatu campuran yang disebut sebagai
pemurnian dan untuk mengetahui keberadaan zat dalam suatu sampel (analisa
labolatorium). Karena itu pelarut yang digunakan harus memiliki selisih titik didih
yang lebih besar dari zat yang diekstraksi sehingga lebih mudah dalam melakukan
pemisahan. Hasil dari ekstraksi berupa ekstrak (cair maupun kental).
Sebelum melakukan ekstraksi terlebih dahulu harus mengetahui sifat-sifat
minyak atsiri diantaranya:
1. Tersusun oleh bermacam-macam komponen senyawa,
2. Memiliki bau khas,
3. Dalam keadaan murni mudah menguap dalam suhu kamar,
4. Indeks bias umumnya tinggi,
5. Berat jenis lebih kecil dari pada air,
6. Sangat mudah larut dalam pelarut organik,
7. Pada umumnya tidak bias larut dalam air, tetapi cukup dapat larut hingga
dapat memberikan baunya kepada air walaupun kelarutanya sangat kecil,
8. Pada umunya bersifat optis.
(Yoga, 2009).

Proses ekstraksi dapat berlangsung pada:


1. Ekstraksi parfum, untuk mendapatkan komponen dari bahan yang wangi,
2. Ekstraksi cair-cair atau dikenal juga dengan nama ekstraksi solvent,
Ekstraksi jenis ini merupakan proses yang umum digunakan dalam skala
laboratorium maupun skala industri.
3. Leaching, adalah proses pemisahan kimia yang bertujuan untuk memisahkan
suatu senyawa kimia dari matriks padatan ke dalam cairan.

Leaching atau ekstraksi solid-liquid adalah proses perpindahan solute oleh


pelarut yang diinginkan dapat dipisahkan dari senyawa lain yang terkandung di
dalam padatan dengan mengontakkan suatu zat pelarut (liquid) dengan padatan
tersebut. Pada saat kedua fase berkontak, berdifusi dari padatan ke fase liquid
yang menyebabkan pemisahan suatu komponen dari fase solid. Proses ini disebut
leaching. Umumnya mekanisme proses leaching dibagi menjadi 5 tahap :
1. Zat pelarut berkontak dengan padatan,
2. Zat pelarut berdifusi ke dalam padatan,
3. Perubahan fase untuk larut ke dalam pelarut, misalnya dari bentuk padat
menjadi likuid,
4. Difusi melalui pelarut di dalam pori-pori untuk selanjutnya keluar dari
partikel,
5. Perpindahan ini dari sekitar partikel ke dalam larutan keseluruhannya.
(Margaretta, 2011).
Penyiapan bahan yang akan di ekstrak dan selektivitas pelarut hanya boleh
melarutkan ekstrak yang diinginkan, bukan komponen-komponen lain dari bahan
ekstraksi. Dalam hal ini bahan yang akan dipisahkan mutlak harus berada dalam
bentuk larutan, karena ekstrak dan pelarut biasanya harus dipisahkan dengan cara
penguapan, destilasi atau rektifikasi, maka titik didih kedua bahan tersebut tidak
boleh terlalu dekat.
Berdasarkan bentuk campuran yang diekstraksi, ekstraksi dibagi menjadi
dua yaitu ekstraksi padat-cair dan ekstraksi cair-cair. Pada ekstraksi cair-cair
bahan yang menjadi analit berbentuk cair dengan pemisahan menggunakan dua
pelarut tersebut. Pendistribusian sampel dalam kedua pelarut tersebut dapat
ditentukan dengan perhitungan koefisien distribusi.
Ekstraksi pelarut menyangkut distribusi suatu zat terlarut (solvent) diantara
dua fasa cair yang tidak saling bercampur. Teknik ekstraksi ini sangat berguna
untuk pemisahan secara cepat dan bersih baik untuk zat organik maupun
anorganik.. Alat yang digunakan dapat berupa corong pemisahan (sederhana), alat
ekstaksi soxhlet sampai yang paling rumit berupa alat counter current craig.

2.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Proses Leaching


Faktor-faktor yang menentukan hasil ekstraksi adalah ukuran partikel,
pelarut, suhu dan waktu ekstraksi, dan agitasi (Kurniawan, 2008) :
1. Ukuran partikel

Ukuran partikel yang lebih kecil akan memperbesar luas permukaan


kontak antara partikel dengan likuid, sehingga laju perpindahan masa juga akan
semakin besar dan jarak difusi akan semakin kecil. Akan tetapi apabila ukuran
partikel dibuat terlalu kecil atau sangat halus juga kurang efektif karena akan
mempersulit pemisahan ampas padat.
Ukuran bahan yang sesuai akan menjadikan proses ekstraksi berlangsung
baik dan tidak memakan waktu yang lama. Ukuran bahan juga harus diusahakan
sama. Apabila tidak, bahan dengan ukuran kecil akan menempati celah-celah yang
terbentuk antara bahan yang berukuran lebih besar. Dengan demikian, kontak
antara pelarut dengan bahan menjadi tidak efektif.
Kehalusan bubuk yang sesuai akan menghasilkan ekstraksi yang sempurna
dalam waktu yang singkat. Sebaiknya, bahan yang digiling terlalu halus dapat
menyebabkan pemampatan (stagnasi) pada proses penyulingan sehingga minyak
atsiri yang keluar tidak maksimal dan oleoresin sulit turun.

2. Pelarut
Jenis pelarut yang digunakan merupakan factor penting dalam ekstraksi.
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah daya yang melarutkan oleoresin, titik
didih, toksisitas, mudah tidaknya terbakar dan sifat korosif. etanol merupakan
pelarut yang baik untuk mengekstrak oleoresin jahe daripada aseton.
Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus memiliki sifat yaitu :
a. Mampu memberikan kemurnian yang tinggi (selektivitas tinggi);
b. Stabil tetapi inert;
c. Mempunyai viskositas, tekanan uap, dan titik beku yang rendah untuk
memudahkan operasi dan keamanan penyimpanan;
d. Tidak beracun dan tidak mudah terbakar;
e. Tidak merugikan dari segi ekonomis.

Etanol merupakan senyawa alcohol dengan formula C 2H2OH yang


berbentuk cair, tidak berwarna, larut campur dalam air, eter, kloroform dan
aseton. Dihasilkan dari peragian kanji, hidrolisis brometana dengan kalium
hidroksida, etanol merupakan pelarut yang menghasilkan rendemen minyak atsiri
yang paling tinggi sehingga dapat mengekstraksi sebagian besar komponen
minyak atsiri yang bersifat polar.

3. Suhu Ekstraksi
Pada umumnya kelarutan solute yang diekstrak akan bertambah besar
dengan bertambah tingginya suhu. Dengan meningkatkan suhu, difusi yang terjadi
juga semakin besar, sehingga proses ekstraksi juga akan berjalan lebih cepat.
Akan tetapi dalam meningkatkan suhu operasi juga perlu diperhatikan, karena
suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada bahan yang sedang
diproses sehingga akan menyebabkan minyak atsiri menguap dan mengalami
oksidasi sehingga timbul tengik. Proses ekstraksi selama 3 jam dengan suhu 40oC
memberikan perlakuan terbaik pada oleoresin jahe dibandingkan lama ekstraksi 1
jam pada suhu 60oC terhadap parameter rendemen, kadar minyak atsiri, indeks
bias dan sisa pelarut.

4. Waktu
Waktu juga mempengaruhi proses ekstraksi. Semakin lama waktu
ekstraksi, kesempatan untuk bersentuhan makin besar sehingga hasilnya juga
bertambah sampai titik jenih larutan), ekstraksi akan lebih cepat dilakukan pada
suhu tinggi, tetapi pada batas tertentu. Namun jumlah ekstrak akan menjadi
konstan ketika tercapai kondisi ekuilibrium atau ketika semua ekstrak pandan
telah terekstrak. Hal ini dapat mengakibatkan beberapa komponen yang terdapat
dalam rempah akan mengalami kerusakan.

5. Agitasi
Pengadukan berperan untuk mempercepat perpindahan massa dari
permukaan partikel ke dalam larutan dan mencegah terjadinya pengendapan.
Selain itu pengadukan juga mencegah terjadinya pengendapan.

2.3 Minyak Atsiri


Minyak atsiri merupakan cairan lembut, bersifat aromatik dan mudah
menguap pada suhu kamar. Minyak ini diperoleh dari ekstrak bunga, biji, daun,
kulit batang, kayu, dan akar tumbuhan. Tumbuhan tersebut dapat berupa semak
belukar dan pohon. Minyak atsiri merupakan formula obat dan kosmetik tertua
yang diketahui manusia dan diklaim lebih berharga daripada emas.
Minyak atsiri awalnya dikenal sebagai minyak esensial. Minyak ini sudah
dikenal sejak tahun 3.000 SM oleh penduduk Mesir Kuno dan digunakan untuk
tujuan keagamaan, pengobatan atau sebagai balsem untuk mengawetkan jenazah.
Sejak zaman dahulu, penggunaan minyak esensial di Indonesia masih sangat
terbatas dan masih bersifat tradisional. Pemakaian minyak sari tumbuhan secara
tradisional dilakukan dengan cara merendam tanaman aromatik dengan air atau
dalam minyak kelapa.
Minyak atsiri atau yang disebut juga dengan essensial oils, etherical oils,
atau volatile oils adalah senyawa yang mudah menguap yang tidak larut di dalam
air dan merupakan ekstrak alami dari tanaman, baik yang berasal dari daun,bunga,
kayu, biji-bijian, atau kulit buah. Komponen senyawa kimiawi dalam minyak
atsiri dapat dibagi dalam 3 golongan yaitu:

1. Hydrocarbon
Senyawa yang termasuk dalam golongan initerbentuk dari unsur hidrogen
(H) dan karbon (C).
2. Oxygenated Hydorcarbon
Senyawa yang termasuk dalam golongan ini terbentuk dari unsur hidrogen
(H), karbon (C), dan oksigen (O).
3. Komponen-komponen lainnya
Senyawa lainnya seperti asam, lacones, senyawa belerang dan nitrogen.

Minyak atsiri merupakan salah satu komoditas yang memiliki potensi


besar di Indonesia. Setidaknya ada 80 jenis minyak atsiri yang selama ini
diperdagangkan di pasar internasional, dan 40 jenis di antaranya dapat diproduksi
di Indonesia karena Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang
dibudidayakan. Hanya sebagian kecil dari jenis minyak atsiri yang telah
diproduksi di Indonesia, sedangkan permintaan akan minyak atsiri terus
meningkat seiring dengan bertambahnya populasi jumlah penduduk. Kekurangan
minyak atsiri ini dapat dipenuhi dengan cara mengimpor dari negara lain. Dan
yang lebih memprihatinkan lagi, minyak atsiri yang diimpor terkadang merupakan
jenis minyak atsiri yang dapat diproduksi di dalam negeri (Kurniawan, 2008).
Minyak atsiri mudah menguap pada suhu kamar, berbau wangi sesuai
dengan bau tanaman penghasilnya, umumnya larut dalam pelarut organik, dan
tidak larut dalam air. Minyak atsiri mengandung resin, dan lilin dalam jumlah
kecil yang merupakan komponen tidak mudah menguap. Komponen kimia
minyak atsiri pada umumnya dibagi menjadi dua golongan, yaitu hidrokarbon,
dan oxygenated hydrocarbon.
Persenyawaan yang termasuk golongan hidrokarbon terbentuk dari unsur
hidrogen (H), dan karbon (C). Jenis hidrokarbon yang terdapat dalam minyak
atsiri terdiri dari persenyawaan terpene, selain itu juga parafin, olefin, dan
hidrokarbon aromatik, sedangkan persenyawaan yang termasuk dalam golongan
oxygenated hydrocarbon terbentuk dari unsur karbon (C), hidrogen (H), dan
oksigen (O), yaitu persenyawaan alkohol, aldehida, keton, oksida, ester, dan eter.

Sifat-sifat fisis minyak atsiri secara umum yaitu sebagai berikut:


1) Warna : minyak atsiri yang baru dipisahkan biasanya tidak berwarna.
Oleh karena penguapan, dan mungkin oksidasi, warnanya bermacam-
macam, seperti: hijau, coklat, kuning, biru ,dan merah.
2) Rasa: bermacam-macam (ada yang manis, pedas, asam, pahit, dan ada
pula yang mempunyai rasa membakar).
3) Bau : merangsang dan khas untuk tiap jenis minyak atsiri.
4) Berat jenis: berkisar antara 0,698-1,188 (gr/cm3) pada 15 oC. Kisaran nilai
koreksinya adalah antara 0,00042-0,00084 untuk tiap perubahan 1oC.
5) Kelarutan: tidak larut dalam air, larut dalam alkohol, eter, kloroform, asam
asetat pekat, dan pelarut organik lain; kurang larut dalam alkohol encer
yang kadarnya kurang dari 70%.
6) Sifat: pelarut yang baik untuk lemak, minyak, resin, kamfer, sulfur, fosfor
7) Indeks bias: berkisar antara 1,3-1,7 pada suhu 20˚C. Kisaran nilai
koreksinya adalah antara 0,00039-0,00049 untuk tiap perubahan 1˚C.
8) Putaran optik: berkisar antara -100o- +100o pada suhu 20oC. Kisaran nilai
koreksinya hanya dibuat untuk minyak sitrun yaitu 8,2-13,2 untuk tiap
perubahan 1o C.

2.5 Daun Pandan


Pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb) atau biasa disebut pandan
saja adalah jenis tumbuhan monokotil dari family Pandanaceae. Di Indonesia,
kebanyakan daun pandan digunakan sebagai pewarna makanan, penyegar
ruangan, pewangi makanan, obat-obatan dan juga sebagai bahan baku kerajinan
tangan. Tumbuhan ini mudah dijumpai di pekarangan atau tumbuh liar di tepi-tepi
selokan yang teduh.
Pandan wangi merupakan salah satu jenis tanaman yang potensial untuk
menghasilkan minyak atsiri. Tanaman ini mudah dibudidayakan dan sangat cocok
tumbuh di daerah tropis. Daun pandan wangi mempunyai aroma harum sangat
khas, sangat populer di Bali, memiliki fungsi penting dalam kehidupan sehari-hari
sebagai pelengkap sarana upacara. Aroma daun pandan wangi banyak disukai,
untuk pengharum ruangan dan sebagai aroma terapi dalam industri spa.
Keharuman daun pandan wangi yang khas disebabkan adanya kandungan minyak
atsiri di dalam daun pandan wangi (Wibawa, 2014).
Concrete minyak atsiri yang masih berbau pelarut dapat dimurnikan
menjadi absolute minyak atsiri dengan melakukan penambahan etanol (re-
ekstraksi). Hasil penelitian sebelumnya menunjukan proses re-ekstraksi concrete
dengan etanol dipengaruhi oleh perbandingan concrete dengan etanol. Pada
ekstraksi bunga melati untuk mendapatkan absolute minyak atsirinya dilakukan
penambahan etanol terhadap concrete berkisaran antara 1:8 sampai 1: 10
(Guenther, 1987). Hasil penelitian Diantara (2012) menunjukan perbandingan
concrete minyak atsiri bunga kamboja cendana dengan pelarut etanol sebesar1:8
merupakan perlakuan yang tepat untuk menghasilkan absolute minyak atsiri
bunga kamboja cendana dengan karakteristik terbaik. Pembuatan absolute minyak
atsiri daun pandan wangi menggunakan etanol, karena etanol dapat melarutkan
lemak dan minyak atsiri.
Sampai saat ini belum diketahui berapa perbandingan concrete minyak
atsiri daun pandan wangi dengan etanol untuk menghasilkan absolute minyak
atsiri daun pandan wangi dengan katrakteristik terbaik. Berdasarkan hal tersebut
maka penelitian mengenai pengaruh re-ekstraksi concrete minyak atsiri daun
pandan wangi dengan etanol pada berbagai perbandingan terhadap rendemen
tertinggi dan karakteristik terbaik dan mengetahui komposisi absolute minyak
atsiri daun pandan wangi yang dihasilkan pada perlakuan terbaik. Hasil penelitian
ini diharapkan dapat memberikan refrensi dan alternatife modifikasi produksi
minyak atsiri daun pandan wangi.
Zat antioksidan di dalam pandan dapat diambil dengan metode ekstraksi
pelarut dengan pelarut etanol. Digunakan etanol sebagai pelarut karena harganya
tergolong murah, mudah didapat, dan relatif lebih aman penggunaannya untuk
bahan pangan dibandingkan dengan pelarut organik lainnya. Ekstrak daun pandan
yang diperoleh dapat dimanfaatkan sebagai antioksidan alami. Sehingga
penggunaan antioksidan sintetik dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan dan
diganti dengan antioksidan alami. Dengan memanfaatkan daun pandan sebagai
antioksidan alami, kekayaan alam di Indonesia khususnya pandan, dapat
dikembangkan semaksimal mungkin untuk kesejahteraan masyarakat.
Antioksidan phenolic biasanya digunakan untuk mencegah kerusakan
akibat reaksi oksidasi pada makanan, kosmetik, farmasi, dan plastik. Antioksidan
polifenol juga dapat mengurangi resiko penyakit jantung dan kanker. Kandungan
senyawa polifenol ini dapat diambil dari daun pandan menggunakan proses
ekstraksi pelarut dengan pelarut etanol 96%. Antioksidan yang dihasilkan dapat
dijadikan alternatif pengganti antioksidan sintetik dalam industri makanan.
Pandan wangi merupakan tanaman yang dimanfaatkan daunnya sebagai
bahan tambahan makanan, umumnya sebagai bahan pewarna hijau dan pemberi
aroma. Aroma khas dari pandan wangi diduga karena adanya senyawa turunan
asam amino fenil alanin yaitu 2-acetyl-1-pyrroline. Selain kegunaan tersebut,
pandan wangi juga dilaporkan memiliki aktivitas antidiabetik pada ekstrak air,
antioksidan pada ekstrak air dan metanol, antikanker pada ekstrak etanol dan
metanol, dan antibakteri pada ekstrak etanol dan etil asetat (Margaretta, 2011).
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat-alat
Adapun alat-alat yang digunakan pada percobaan ini sebagai berikut:
1. Seperangkat alat destilasi
2. Aluminium foil secukupnya
3. Beaker gelas 1 unit
4. Botol Sampel 3 unit
5. Corong 2 unit
6. Erlenmeyer 250 ml 2 unit
7. Kertas saring 2 unit
8. Kondenser 1 unit
9. Labu leher 2 1 unit
10. Neraca analitik 1 unit
11. Oven 1 unit
12. Penangas Air 1 unit
13. Piknometer 1 unit
14. Termometer 1 unit

3.1.2 Bahan-bahan
Adapun bahan-bahan yang digunakan pada percobaan ini sebagai berikut:
1. Daun pandan 200 gram
2. Etanol 400 ml

3.2 Prosedur Kerja


Adapun prosedur kerja yang dilakukan pada percobaan ini sebagai berikut:
1. Daun pandan dikeringkan dalam oven selama 3 jam dengan suhu 60˚C,
2. Kemudian daun pandan yang telah kering dihaluskan,
3. Daun pandan yang telah dihaluskan kemudian ditimbang sebanyak 150
gram dan dimasukkan ke dalam labu leher dua,
4. Alat ekstraksi dirangkai dengan benar,
5. Ditambahkan pelarut etanol sebanyak 400 ml ke dalam labu leher dua
kemudian diekstraksi selama 180 menit,
6. Dibiarkan beberapa saat hingga campuran daun pandan dan etanol menjadi
dingin, kemudian ampas yang ada dipisahkan pada campuran tersebut
dengan menggunakan kertas saring,
7. Tahap selanjutnya dilakukan distilasi hasil campuran daun pandan dan
etanol selama 60 menit.

3.2.1 Tahap Analisa Rendemen


Adapun prosedur kerja yang dilakukan pada tahap ini sebagai berikut:
1. Erlenmeyer kosong ditimbang
2. Dimasukkan minyak atsiri ke dalam erlenmeyer 500 ml, kemudian
ditimbang kembali.
3. Hasil pengurangan antara massa erlenmeyer poin 2 dan poin 1 adalah
massa minyak atsiri yang dihasilkan.
4. Rendemen minyak atsiri dapat diketahui dengan menggunakan rumus:
Berat m inyak atsiri
Rendemen minyak atsiri = × 100%
Berat sampel

3.2.2 Tahap Analisa Densitas


Adapun prosedur kerja yang dilakukan pada tahap ini sebagai berikut:
1. Piknometer kosong yang berukuran 5 ml ditimbang,
2. Dimasukkan minyak atsiri daun pandan yang telah dihasilkan ke dalam
piknometer tersebut, kemudian ditimbang kembali,
3. Hasil pengurangan antara massa piknometer poin 2 dan poin 1 adalah
massa minyak atsiri.
4. Densitas sampel minyak atsiri daun pandan dapat diketahui dengan rumus:

Berat minyak atsiri daun sirih (gr)


Densitas minyak atsiri =
Volume pi k nometer (ml)

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Adapun hasil yang diperoleh dari percobaan ini dapat dilihat pada Tabel
4.1 dan Tabel 4.2.

Tabel 4.1 Tahapan Ekstraksi dan Destilasi pada Percobaan Ekstraksi


No Tahapan Bahan baku Pelarut Suhu (C) Waktu (menit)
1. Ekstraksi Daun pandan Etanol 60 180
2. Destilasi Hasil ekstraksi - 105 60

Tabel 4.2 Hasil Analisa Hasil Percobaan Ekstraksi


No Analisa Hasil
1. Rendemen (%) 46,21
2. Densitas (gr/ml) 0,9532

4.2 Pembahasan
Praktikum ini bertujuan untuk mengekstraksi suatu zat atau senyawa
dengan menggunakan pelarut, bahan baku yang digunakan adalah daun pandan.
Adapun langkah awal yang dilakukan yaitu proses pengeringan daun pandan
menggunakan oven dengan tujuan untuk menghilangkan kadar air yang
terkandung di dalam daun pandan tersebut. Kemudian daun pandan tersebut
dihaluskan dengan blender agar memperluas permukaan kontak, karena operasi
ekstraksi solid-liquid akan berlangsung dengan lebih baik bila diameter partikel
tersebut diperkecil. Begitu pula hambatan difusinya menjadi kecil sehingga laju
difusinya bertambah (Treyball, 1979). Pada percobaan ini pelarut yang digunakan
pada proses ekstraksi yaitu etanol sebanyak 400 ml, etanol berfungsi sebagai
pelarut untuk melarutkan minyak atsiri dalam zat-zat yang terkandung lainnya
pada daun pandan karena pelarut yang biasanya digunakan memiliki titik didih
rendah tetapi tetap di atas temperatur operasi ekstraksi (Mc. Cabe, 1983).
Ekstrak etanol daun pandan berwarna hijau kecoklatan, berbentuk kental,
dan berbau khas pandan yang sangat tajam. Warna kehijauan diduga karena
sebagian klorofil ikut terekstrak, dan selama proses evaporasi mengalami
kerusakan. Menurut Dalimartha (2002) kandungan senyawa kimia daun pandan di
antaranya alkaloida, saponin, flavonoid, polifenol yang berfungsi sebagai
antioksidan alami, dan zat pewarna pada ekstrak. Warna kuning kecoklatan
sampai coklat tua pada ekstrak pandan berasal dari senyawa pewarna polar alami
(kuning kecoklatan) yang ikut terekstrak terutama dari senyawa polifenol seperti
tanin, melanin, lignin dan kuinon serta sebagian kecil alkaloida berwarna. Pigmen
kuinon yang terdapat pada tanaman memiliki warna mulai dari kuning sampai
coklat tua.
Kekentalan ekstrak disebabkan karena selama proses evaporasi pelarut
yang digunakan untuk ekstraksi teruapkan. Setelah pelarut teruapkan maka hanya
tersisa solute yang berbentuk semi padat dan minyak atsiri. Ekstrak etanol berbau
pandan yang sangat tajam sedangkan fraksi heksan dan fraksi etil asetat hanya
sedikit berbau pandan. Hal ini disebabkan karena pandan mengandung minyak
atsiri dan senyawa aromatik yang bersifat volatil atau mudah menguap sehingga
pandan memiliki aroma khas yang kuat. Daun pandan mempunyai aroma khas
yang diduga berasal dari senyawa turunan asam amino fenil alanin yaitu 2-acetyl-
1-pyrroline. Komponen 2-asetil-1-pirolin (2 AP) merupakan komponen yang
sangat larut pada air dan alkohol sehingga pada ekstrak etanol daun pandan
diduga banyak terekstrak senyawa 2-asetil-1-pirolin (2 AP) sehingga berbau khas
pandan (Suryani, 2017).
Percobaan ini dilakukan dengan dua tahapan yaitu tahap pertama ekstraksi
dan tahap kedua destilasi. Tahap ekstraksi bertujuan untuk mengambil komponen
terlarut dalam suatu padatan dengan menggunakan pelarut dengan suhu yang
digunakan yaitu 60C selama 180 menit. Tahap selanjutnya yaitu proses destilasi
tujuannya untuk menguapkan dan mengkondensasikan etanol dengan minyak
yang masih bercampur, dengan suhu yang digunakan adalah 105C selama 60
menit.
Rendemen yang diperoleh dari percobaan ini adalah 46,21 %, karena
adanya kandungan air yang tidak terpisahkan secara sempurna sehingga diperoleh
rendemen yang lebih banyak. Densitas yang diperoleh dari percobaan ini adalah
0,9532 gr/ml diperoleh dengan menggunakan alat piknometer berukuran 5 ml.
Minyak atsiri yang diperoleh bewarna hijau kehitaman. Hasil yang diperoleh
disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu jenis metode destilasi
yang dilakukan, ukuran bahan, jenis bahan, lamanya proses distilasi, besarnya
tekanan serta mutu uap yang telah dilakukan.
Hasil dari percobaan ini, rendemen yang diperoleh yaitu 46,21 % dan
densitasnya adalah 0,9532 gr/ml, hasil ini diperoleh dengan menggunakan alat
piknometer berukuran 5 ml. Menurut Nugraheni (2012), pada umumnya berat
jenis minyak atsiri pada suhu 25˚C berkisar antara 0,696-1,188 gr/ml.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan diperoleh kesimpulan yaitu sebagai berikut:
1. Rendemen yang diperoleh pada percobaan ini adalah 46,21 %.
2. Densitas minyak atsiri daun daun pandan dari hasil percobaan ini yaitu
0,9532 gr/ml.
3. Warna minyak atsiri yang diperoleh dari percobaan ini adalah hijau
kecoklatan.

5.2 Saran

Praktikum ekstraksi selanjutnya disarankan kepada praktikan untuk


melakukan prosedur percobaan sesuai arahan dari asisten dan diharapkan kepada
praktikan untuk lebih teliti dalam perhitungannya.
DAFTAR PUSTAKA

Adiyasa, Wayan, dkk. 2014. Karakteristik Minyak Atsiri Daun Pandan Wangi
(Pandanus amaryllifolius Roxb.) Hasil Perlakuan Lama Curing dan Lama
Ekstraksi. Bali: Universitas Udayana.

Kurniawan, dkk. 2008. Ekstraksi Minyak Kulit Jeruk dengan Metode Distilasi,
Pengepresan dan Leaching. Surabaya: Universitas katolik Widya
Mandala.

Margaretta, Sheila, dkk. 2011. Ekstraksi Senyawa Phenolic Pandanus


Amaryllifolius Roxb sebagai Antioksidan Alami. Surabaya: Universitas
Katolik Widya Mandala.

Mc Cabe, W. Smith, J. C, and Harriot, P. 1983. Unit Operation of Chemichal


Engineering. United States of America: McGraw-Hill Book Co.

Nugraheni, K.S,. 2012. Pengaruh Perlakuan Pendahuluan dan Metode Destilasi


Terhadap Karakteristik Mutu Minyak Atsiri Daun Kayu Manis. Surakarta:
Universitas Sebelas Maret.

Suryani, Chatarian, dkk. 2017. Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Daun


Pandan (Pandanus amaryllifolius) dan Fraksi-fraksinya. Yogyakarta:
Universitas Mercu Buana.

Treyball, R.E. 1979. Operasi Perpindahan Panas, Edisi ke-3. Tokyo: Mc Graw
Hill Book Kogakusha.

Wibawa, Ida, dkk. 2014. Karakteristik Absolut Minyak Atsiri Daun Pandan
Wangi (Pandanus Amaryllifolius Roxb.) Hasil Proses Re-ekstraksi
Concrete dengan Etanol. Bali: Universitas Udayana.

Yoga, Raditya. 2009. Isolasi dan Uji Antiradikal Bebas Minyak Atsiri pada Daun
Sirih (Piper betle Linn) Secara Spektroskopi Ultra Violet Tampak. Jurnal
Kimia. 3(1):7-13. Bukit Jimbaran (ID): Universitas Udayana Press.
LAMPIRAN B
PERHITUNGAN
1. Tahap Ekstraksi
a. Berat sampel = 200 gram daun pandan
b. Pelarut = 400 ml
c. Suhu = 60oC
d. Waktu = 180 menit

2. Tahap Destilasi
a. Suhu = 105˚C
b. Waktu = 60 menit

3. Tahap Analisa
a. Rendemen
Erlenmeyer kosong = 102,13 gram
Erlenmeyer + minyak pandan = 194,56 gram
Berat minyak pandan = 194,56 gr – 102,13 gr
= 92,43 gram
berat minyak pandan
Rendemen = x 100%
berat sampel
92,43 gram
= x 100%
200 gram
= 46,21 %

b. Piknometer kosong 5 ml = 12,00 gram


Piknometer + minyak = 35,83 gram

Berat minyak atsiri = 35,83 gr – 12,00 gr


= 23,83 gram

massa
ρ =
volum
23,83 gram
=
25 ml
= 0,9532 gr/ml
LAMPIRAN C
PERHITUNGAN
GAMBAR ALAT FUNGSINYA

Untuk memanaskan larutan.

Alat Pemanas

Sebagai tempat yang digunakan untuk


membuat larutan

Erlenmeyer

Untuk mengukur nilai massa jenis atau


densitas fluida.

Piknometer

Untuk destilasi larutan. Lubang bawah


tempat air masuk, lubang bawah
tempat air keluar.

Kondensor
Digunakan dalam proses destilasi.

Labu Leher Tiga

Untuk mengeringkan bahan yang


dalam keadan basah

Oven

Untuk mengukur suhu (temperatur)


atau perubahan suhu.

Termometer

Untuk menimbang sampel atau bahan


kimia yang akan digunakan.
Neraca Digital

Untuk menyimpan dan membuat


larutan.

Gelas Ukur

Anda mungkin juga menyukai