5 A1 Ptkii
5 A1 Ptkii
Disusun Oleh:
Kelompok V (A1)
`
PERCOBAAN I
PERPINDAHAN PANAS
`
LAPORAN PRAKTIKUM PROSES TEKNIK KIMIA II
PERPINDAHAN PANAS
Disusun Oleh:
Kelompok V (A1)
`
ABSTRAK
Kata Kunci: Perpindahan Panas, Shell and Tube Heat Exchanger, Nilai Uc &
Ud.
`
BAB I
PENDAHULUAN
`
BAB II
TINAJAUAN PUSTAKA
1. Pararel Flow
Kedua fluida ,mengalir dalam heat exchanger dengan aliran yang searah.
Kedua fluida memasuki HE dengan perbedaan suhu yang besar. Perbedaan
temperatur yang besar akan berkurang seiring dengan semakin besarnya x,
jarak pada HE. Temperatur keluaran dari fluida dingin tidak akan melebihi
temperatur fluida panas.
2. Counter Flow
Berlawanan dengan paralel flow, kedua aliran fluida yang mengalir dalam
HE masuk dari arah yang berlawanan. Aliran keluaran yang fluida dingin
ini suhunya mendekati suhu dari masukan fluida panas sehingga hasil suhu
`
yang didapat lebih efekrif dari paralel flow. Mekanisme perpindahan kalor
jenis ini hampir sama dengan paralel flow, dimana aplikasi dari bentuk
diferensial dari persamaan steady-state:
dQ=U ( T−t ) a ital dL} {¿ (2.1)
dQ=WCdT =wcdt (2.2)
Dimana satu fluida mengalir tegak lurus dengan fluida yang lain. Biasa
dipakai untuk aplikasi yang melibatkan dua fasa. Misalnya sistem
kondensor uap (tube and shell heat exchanger), di mana uap memasuki
shell, air pendingin mengalir di dalam tube dan menyerap panas dari uap
sehingga uap menjadi cair.
Suatu sillinder yang dilengkapi dengan inlet dan outlet nozzle sebagai
tempat keluar masuknya fluida. Ada 2 jenis tube dalam shell, yaitu finned
tube (tube yang mempunyai sirip (fin) pada bagian luar tube) dan bare
tube (tube dengan permukaan yang rata)
2. Tube Sheet
3. Baffle
`
Berfungsi sebagai penyangga tube, menjaga jarak antar tube, menahan
vibrasi yang disebabkan oleh aliran fluida, dan mengatur aliran turbulen
sehingga perpindahan panas lebih sempurna. Jenis baffle yaitu battle
melintang (segmental, dish and doughnut) dan baffle memanjang.
4. Tie Rods
`
dipanaskan melalui media pemanas atau dipanaskan langsung. Yang
terakhir reboilernya adalah furnace atau fire tube.
5. Heater – Superheater
Heater digunakan untuk memanaskan fluida yang memiliki viskositas
tinggi baik bahan baku ataupun fluida proses dan biasanya menggunakan
steam sebagai pemanas. Superheater memanaskan gas dibawah temperatur
jenuh.
2.4.2 Berdasarkan Konstruksinya
1. Tubular Exchanger
a. Double-pipe Heat exchanger
Terdiri dari satu buah pipa yang diletakkan di dalam sebuah pipa lainnya
yang berdiameter lebih besar secara konsentris. Fluida yang satu mengalir
di dalam pipa kecil sedangkan fluida yang lain mengalir di bagian luarnya.
Pada bagian luar pipa kecil biasanya dipasang fin atau sirip memanjang,
hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan permukaan perpindahan panas
yang lebih luas. Double pipe ini dapat digunakan untuk memanaskan atau
mendinginkan fluida hasil proses yang membutuhkan area perpindahan
panas yang kecil (biasanya hanya mencapai 50 m2).
Double-pipe Heat exchanger ini juga dapat digunakan untuk mendidihkan
atau mengkondensasikan fluida proses tapi dalam jumlah yang sedikit.
Kerugian yang ditimbulkan jika memakai Heat exchanger ini adalah
kesulitan untuk memindahkan panas dan mahalnya biaya per unit
permukaan transfer. Tetapi, double pipe Heat exchanger ini juga memiliki
keuntungan yaitu Heat exchanger ini dapat dipasang dengan berbagai
macam fitting (ukuran).
Pada alat ini, mekanisme perpindahan kalor terjadi secara tidak langsung
(indirect contact type), karena terdapat dinding pemisah antara kedua
fluida sehingga kedua fluida tidak bercampur. Fluida yang memiliki suhu
lebih rendah (fluida pendingin) mengalir melalui pipa kecil, sedangkan
fluida dengan suhu yang lebih tinggi mengalir pada pipa yang lebih besar
(pipa annulus). Penukar kalor demikian mungkin terdiri dari beberapa
`
lintasan yang disusun dalam susunan vertikal. Perpindahan kalor yang
terjadi pada fluida adalah proses konveksi, sedang proses konduksi terjadi
pada dinding pipa. Kalor mengalir dari fluida yang bertemperatur tinggi ke
fluida yang bertemperatur rendah.
Kelebihan Double-pipe Heat exchanger:
1. Dapat digunakan untuk fluida yang memiliki tekanan tinggi.
2. Mudah dibersihkan pada bagian fitting
3. Fleksibel dalam berbagai aplikasi dan pengaturan pipa
4. Dapat dipasang secara seri ataupun paralel
5. Dapat diatur sedimikian rupa agar diperoleh batas pressure drop dan
LMTD sesuai dengan keperluan.
6. Mudah bila kita ingin menambahkan luas permukaannya
7. Kalkulasi design mudah dibuat dan akurat
`
mudah untuk dibersihkan, dan konstruksinya juga paling murah di antara
yang lain. Untuk menjamin bahwa fluida pada shell-side mengalir
melintasi tabung dan dengan demikian menyebabkan perpindahan kalor
yang lebih tinggi, maka di dalam shell tersebut dipasangkan
sekat/penghalang (baffles).
Shell and tube ini dibagi lagi sesuai dengan penggunaannya yaitu class R
(untuk keperluan proses dengan tekanan tinggi), class C (untuk keperluan
proses dengan tekanan dan temperatur menengah dan fluida yang tidak
korosif, serta class B (untuk keperluan fluida yang korosif). Proses
pertukaran panas pada kedua fluida ini terjadi pada dinding tube dimana
terdapat dua proses perpindahan yaitu secara konduksi dan konveksi.
Dilihat dari konstruksinya, Heat exchanger tipe Shell and Tube dibedakan
atas:
1. Fixed Tube Sheet
Fixed Tube Sheet merupakan jenis shell and tube Heat exchanger yang
terdiri dari tube-bundle yang dipasang sejajar dengan shell dan kedua tube
sheet menyatu dengan shell. Kelemahan pada tipe ini adalah kesulitan
pada penggantian tube dan pembersihan shell.
3. U tube/U bundle
`
Shell and Tube Heat exchanger yang lain. Tube bundle dapat dikeluarkan
dari shellnya setelah channel headnya dilepas. Tipe ini juga dapat
digunakan pada tekanan tinggi dan beda temperatur yang tinggi. Masalah
yang sering terjadi pada Heat exchanger ini adalah terjadinya erosi pada
bagian dalam bengkokan tube yang disebabkan oleh kecepatan aliran dan
tekanan di dalam tube, untuk itu fluida yang mengalir dalam tube side
haruslah fluida yang tidak mengandung partikel-partikel padat.
2. Spiral tube
a. Plate Heat exchanger
Kedua aliran masuk dari sudut dan melewati bagian atas dan bawah plat-
plat parallel dengan fluida panas melewati jalan-jalan (ruang antar plat)
genap dan fluida dingin melewati jalan-jalan ganjil. Plat-plat dapat
dipasang secara melingkar agar dapat memberikan perpindahan panas
yang besar dan mencegah terjadinya fouling (deposit yang tidak
diinginkan). Plate Heat exchanger juga mudah untuk dilepas dan dipasang
kembali sehingga mudah untuk dibersihkan. Heat exchanger ini dibagi
atas 3 macam :
1. Plate and frame or gasketed plate exchanger
Jenis ini terdiri dari bingkai-bingkai dan plat-plat yang disusun rapat,
permukaan plat mempunyai alur-alur yang berpasangan sehingga jika
dirangkai mempunyai dua aliran. Heat exchanger ini digunakan untuk
temperatur dan tekanan rendah seperti mendinginkan cooling water.
2. Spiral plate heat exchanger
3. Lamella (ramen) heat exchanger
`
ataupun berlawanan, sedangkan pada multiple pass merupakan kombinasai
keduanya. Fluida juga dapat mengalir secara crossflow. Yang pertama, kedua
fluida tidak bercampur, mereka melewati jalan masing-masing tanpa bercampur.
Yang kedua, kedua fliuda bercampur tanpa terjadi reaksi kimia. Jika luas shell
besar, cross flow akan menghasilkan koefisien perpindahan kalor yang lebih
tinggi daripada aliran aksial yang terjadi di dalam tabung double-pipe.
2.4.4 Berdasarkan Arah Aliran
1. Paralel Flow
Kedua fluida ,mengalir dalam heat exchanger dengan aliran yang searah.
Kedua fluida memasuki HE dengan perbedaan suhu yang besar. Perbedaan
temperatur yang besar akan berkurang seiring dengan semakin besarnya x, jarak
pada HE. Temperatur keluaran dari fluida dingin tidak akan melebihi temperatur
fluida panas.
2. Counter Flow
Berlawanan dengan paralel flow, kedua aliran fluida yang mengalir dalam
HE masuk dari arah yang berlawanan. Aliran keluaran yang fluida dingin ini
suhunya mendekati suhu dari masukan fluida panas sehingga hasil suhu yang
didapat lebih efekrif dari paralel flow.
3. Cross Flow Heat exchanger
Dimana satu fluida mengalir tegak lurus dengan fluida yang lain. Biasa
dipakai untuk aplikasi yang melibatkan dua fasa. Misalnya sistem kondensor uap
(tube and shell Heat exchanger), di mana uap memasuki shell, air pendingin
mengalir di dalam tube dan menyerap panas dari uap sehingga uap menjadi cair.
Dari ketiga tipe Heat exchanger tersebut tipe counter flow yang paling
efisien ketika kita membandingkan laju perpindahan kalor per unit area. Dengan
beda temperatur fluida yang paling maksimal di antara kedua tipe Heat exchanger
lainnya, maka beda temperatur rata-rata (log mean temperature difference) akan
maksimal dan pada akhirnya laju perpindahan kalor akan maksimal pula.
3.5 Parameter Heat Exchanger
3.5.1 Logaritmic Mean Temperature Difference (LMTD)
`
−
Pada awalnya kita mengandaikan U (bisa juga digantikan oleh h )
sebagai nilai konstan (nilai U dapat dilihat pada tabel pada lampiran). U sendiri
merupakan koefisien heat transfer overall. Aturan untuk nilai U adalah sebagai
berikut :
1. Fluida dengan konduktivitas termal rendah seperti tar, minyak atau gas,
biasanya menghasilkan h yang rendah. Ketika fluida tersebut melewati
heat exchanger, U akan cenderung untuk turun
2. Kondensasi dan Pemanasan merupakan proses perpindahan kalor yang
efektif. Proses ini dapat meningkatkan nilai U.
3. Untuk U yang tinggi, tahanan dalam exchanger pasti rendah
4. Untuk fluida dengan konduktivitas yang tinggi , mempunyai nilai U dan h
yang tinggi.
Untuk U pada suhu yang hampir konstan, variasi temperatur dari aliran
fluida dapat dihitung secara overall heat transfer dalam bentuk perbedaan
temperatur rata-rata dari aliran dua fluida, yang dapat dibuat persamaan sebagai
berikut :
Q=UA ΔT mean (2.3)
Yang menjadi masalah kali ini adalah bagaimana membuat persamaan
tersebut menjadi benar. Kita harus dapat menghitung nilai dari ΔT yang
diinginkan. Hal ini disebabkan karena terlihat pada grafik mengenai
kecenderungan perubahan temperatur fluida akan lebih cepat sejalan dengan
posisinya (grafik bisa dilihat dari lampiran). Selain itu pada counterflow dan
pararel flow, perhitungan tersebut bisa berbeda. Oleh karena itu perlu dicari suatu
persamaan yang dapat menyelesaikan masalah ini. Dengan menurunkan rumus
awal sebagai berikut :
dQ=U (dA ) ΔT=−(mc p )h dT h =(mc p )c dT c (2.4)
Keterangan : h untuk aliran panas dan c untuk aliran dingin
Setelah itu kita menyamakan persamaan antara persamaan untuk
counterflow dan persamaan untuk pararel flow dan didapat :
`
ΔT a −ΔT b
Q=UA
( ln ( ΔT a / ΔT b ) (2.5)
Dimana ΔTa adalah selisih antara suhu keluaran shell dengan suhu fluida
pendingin awal dan ΔTb adalah selisih antara suhu keluaran shell dengan suhu
fluida pendingin akhir. Δt mean yang dimaksud dalam persamaan tersebut adalah
LMTD, yaitu :
ΔT a − ΔT b
ΔT mean =LMTD=
( ln ( ΔT a / ΔT b ) (2.6)
Namun demikian penggunaan LMTD juga cukup terbatas. Kita harus
menggunakan faktor koreksi F yang dapat dilihat dalam grafik pada lampiran.
Sehingga rumusnya menjadi :
Q=UAF ( LMTD ) (2.7)
(2.8)
2.5.3 Fouling Resistance
`
Jika sebuah pipa baru saja digunakan, maka keadaannya masih normal dan
bersih sehingga tidak mengganggu proses perpindahan kalor. Namun pada
suatu saat fluida yang terus menerus mengalir dalam pipa akan membentuk
seperti sebuah lapisan yang akan mengganggu aliran kalor. Hal inilah yang
disebut dengan fouling resistance. Untuk menghitung fouling resistance
dapat digunakan rumus berikut ini :
1 1
Rd ≡ −
U D UC
`
Maka untuk mencari efektifitas untuk paralel single pass HE adalah
sebagai berikut :
1−exp [−(1−Cmin /C max ) NTU ]
ε=
1+C min /C max (2.11)
Sedangkan untuk counterflow adalah sebagai berikut :
1−exp [−(1−C min /Cmax )NTU ]
ε=
1−(C min / C max )exp [−(1−C min / C max )NTU ] (2.12)
Keterangan : NTU (Number of Transfer Unit) bisa didapatkan dari rumus :
UA
NTU =
C min (2.13)
Cmin merupakan nilai C tekecil antara Ch dan Cc, sedangkan Cmax
merupakan nilai yang terbesar.
(2.14)
Δtm merupakan suhu rata-rata log atau Log Mean Temperature Difference
(LMTD). Untuk shell and tube heat exchanger, nilai LMTD harus
dikoreksi dengan faktor yang dicari dari grafik yang sesuai (Fig 18 s/d Fig
23 Kern). Caranya adalah dengan menggunakan parameter R dan S.
(2.15-16)
Nilai LMTD dihitung dengan persamaan sbb:
Bila UD konstan
Untuk aliran searah (co-current)
`
Atau
`
(2.17)
Nilai LMTD yang diperoleh ini harus dikoreksi dengan faktor F T yang
dicari dari grafik yang sesuai. Caranya yaitu dengan menggunakan
parameter R dan S:
(2.18-19)
Dan harga Δ tm =FT.LMTD
Bila UD tidak konstan (berubah) terhadap suhu
Untuk aliran searah atau aliran berlawanan arah, maka persamaan LMTD
berupa persamaan implisit:
(2.20)
2.5.6
Penurunan Tekanan pada
Alat Penukar Kalor
`
Pada setiap aliran akan terjadi penurunan tekanan (pressure drop) karena
gaya
gesek
yang
terjadi
antara
fluida
dan tempatnya.
`
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1.2 Bahan-Bahan
Adapun bahan-bahan yang digunakan sebagai berikut:
1. Air
`
8. variabel yang divariasi dalam percobaan ini adalah:
a. jenis aliran counter current
b. flowrate hot fluid (sesuai penugasan)
9. bila percobaan telah selesai, matikan kedua pompa, heater dan unit
refrigerasi. Lepaskan flexible hose dan thermometer.
`
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Adapun hasil yang diperoleh pada percobaan ini adalah sebagai berikut:
Tabel 4.1 Hasil Pengamatan pada Run I
Suhu Aliran Panas (Tube) Aliran Dingin (Shell)
Q Suhu (ºC) Q Suhu (ºC)
(ºC)
T (in) T (out) S (in) S (out)
(liter/menit (liter/menit
)
40 10,5 39, 38,8 6,5 28,8 29,6
45 10,5 44,4 43 6,5 30,4 31,2
50 10,5 49,4 48,2 6,5 30,2 31,2
4.2 Pembahasan
Percobaan ini membahas tentang perpindahan panas dengan menggunakan
alat Shell and Tube Heat Exchanger yang bertujuan untuk mengetahui dan
memahami cara kerja dari alat penukar panas ini, menghitung koefisien pindah
panas keseluruhan menggunakan persamaan neraca energi dan persamaan empiris,
`
menghitung efisiensi pindah panas dari kalor yang dilepas dan kalor yang diterima
fluida, dan pengaruh laju alir fluida terhadap koefisien pindah panas keseluruhan.
Prinsip kerja dari peralatan ini yaitu aliran panas mengalir melalui tube dan aliran
dingin mengalir melalui shell.
Pada percobaan ini dilakukan dengan 3 run (run I, run II dan run III)
diperoleh variasi nilai Uc dan Ud yang dipengaruhi besarnya temperatur fluida
(hot fluid) pada tube. Dapat dilihat dalam tabel hasil bahwa apabila temperatur
(hot fluid) lebih tinggi maka nilai Uc dan Ud lebih besar. U adalah koefisien panas
pada pindah atau saat proses perpindahan panas terjadi. Pada lampiran
perhitungan dapat dilihat tahap-tahap perhitungan pada alat heat exchanger
tersebut. Terdapat ketidakakuratan neraca energi, Q (flow) pada keluaran shell
and tube tidak sama, hal ini dikarenakan daya pompa atau efisiensi pompa pada
bagian cool fluid (shell) tidak beroperasi dengan optimal. Faktor lain yang
mempengaruhi alat ini adalah kondisi dari alat tersebut. Alat heat exchanger yang
digunakan ini sudah terdapat zat pengotor didalam shell sehingga perpindahan
panas pada shell and tube tidak optimal.
Berdasarkan hasil percobaan semakin kecil bukaan maka laju alirnya
semakin kecil. Begitu juga sebaliknya semakin besar bukaan, maka laju alir yang
diperoleh juga semakin besar (Mc Cabe, 1985).
Semakin tinggi laju alir panas, panas yang diberikan/dilepas fluida panas
dan panas yang diterima/diserap fluida dingin semakin tinggi juga, namun panas
yang dilepas selalu lebih besar dibandingkan dengan panas yang diserap, atau
dengan kata lain ada energi yang hilang.
`
Hubungan Antara nilai Suhu dan Uc
3.5
3
2.5
2 run 1
Uc
1.5 run 2
1 run 3
0.5
0
38 40 42 44 46 48 50 52
Suhu ˚C
`
Hubungan Antara Nilai Suhu dan Ud
45
40
35
30
25 run 1
Ud
20 run 2
15 run 3
10
5
0
38 40 42 44 46 48 50 52
Suhu ˚C
`
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang diperoleh pada percobaan ini adalah sebagai
berikut:
`
1. Semakin kecil bukaan maka laju alirnya semakin kecil. Begitu juga
sebaliknya semakin besar bukaan, maka laju alir yang diperoleh juga
semakin besar.
2. Parameter faktor kekotoran pada alat ini sangat mempengaruhi unjuk kerja
alat tersebut. Hal ini terlihat dari koefisien perpindahan panas menyeluruh
antara alat saat bersih (Uc) dan saat kotor (Ud) yang akan berpengaruh
pada temperatur akhir yang diperoleh.
3. Nilai Uc pada run I, run II dan run III dengan suhu 40ºC, 45ºC dan 50ºC
berturut-turut adalah 3,115, 2,45 dan 2,373. Pada run II adalah 2,47, 2,382
dan 2,38. Pada run III berturut-turut adalah 2,704, 2,37 dan 2,232.
4. Nilai Ud pada run I, run II dan run III dengan suhu 40ºC, 45ºC dan 50ºC
berturut-turut adalah 11,86, 20,166 dan 28,809. Pada run II adalah 31,14,
37,79 dan 39,47. Pada run III berturut-turut adalah 14,95, 18,92 dan 31,72.
5.2 Saran
Adapun saran untuk praktikum selanjutnya adalah pada praktikum
perpindahan panas selain menggunakan jenis heat exchanger shell and tube juga
dapat digunakan jenis double pipe heat exchanger (pipa berganda) sehingga
praktikan dapat membandingkan hasil yang diperoleh.
DAFTAR PUSTAKA
Donald, Q. Kern. Process Heat Transfer. 1987. New York; Mc Graw – Hill
International Editions
`
Kays,W.M. and London, A.L.1964. Compact Heat Exchanger 2 nd Edition Mc
Graw-Hill. New York.
Tim Penyusun, 2017. Penuntun Praktikum Proses Teknik Kimia II. Jurusan
Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Malikussaleh; Lhokseumawe
LAMPIRAN A
DATA PENGAMATAN
`
`
LAMPIRAN B
PERHITUNGAN
Diketahui:
a. W pada aliran panas dengan suhu 103,64 °F
Q=¿ 10,5 L/menit = 60,5 Btu/hr
Dari Fig. 2 Kern, halaman 804 dari lampiran grafik diperoleh :
Cp = 0,9 Btu/lb °F
Q = W.Cp ( T1 - T2 )
60,5 = W × 0,9 ( 103,64 - 101,84 )
60,5 = 1,62 W
W = 37,34 lb/hr
∆ t 2 - ∆t 1 0,36
b. LMTD = 2,3 log ∆ t / ∆t = 2,3 log 1,80/1,44 = 1,615
2 1
`
( T1- T2) (103,64 – 101,84 ) 1,80
c. R = = = = 0,36
( t2 - t1 ) ( 85,28 – 83,84 ) 1,44
( t2 - t1 ) ( 85,28 - 83,84 ) 1,44
d. S = = = = 0,08
( T 1 - t 1 ) ( 103,64 - 83,84 ) 17,8
e. Dari Fig. 19 Kern, halaman 829 pada lampiran grafik dapat dilihat bahwa:
Ft = 0,93
∆t = LMTD ( Ft ) = 1,615 ( 0,93 ) = 1,5019
f. Ta dan ta:
103,64+101,84
Ta = = 102,74
2
85,28+83,84
ta = = 84,56
2
Temperatur rata-rata Ta dan ta adalah Ta = 102,74 dan ta = 84,56
`
μ = 0,72 ×2,42 = 1,742 lb/(ft)(hr)
DGt 0,042× 27,058
Ret = = = 652,37
μ 1,742
L 8,66
= = 206,19
D 0,042
Dari Fig. 24 Kern halaman 834 pada lampiran grafik diperoleh :
JH = 2,8
Ta = 102,74 °F
Dari lampiran grafik Fig. 2 Kern, halaman 804 dan Tabel. 4 Kern, halaman
800 diperoleh:
c = 0,9 Btu/(lb)(°F)
k = 0,3685 Btu/(hr)(ft2)(° F / ft ¿
Maka:
c . μ 13 0,99 ×1,742 13
( ) =( ) = 1,664
k 0,3685
k c . μ 13
hi = JH ( )
D
(
k
) ϕt
hi 0,3685
= 2,8 × × 1,664 = 40,87
ϕt 0,042
Dari lampiran grafik Fig. 25 Kern, halaman 835 diperoleh nilai:
hi = 40,87 × 1,04
=42,50
0,041
hio = 42,50 × = 41,48
0,042
Clean overall coefficient UC :
hioh o 41,48 ×3,367
Uc = = = 3,115 Btu/(hr)(ft2)(oF)
hio+ ho 41,48+3,367
Design overall coefficient UD :
Q 60,5
U D= = 2
As . ∆ t 0,0014 ft 2( 1,5019) = 28,809 Btu/(hr)(ft )(°F)
Dirt factor Rd :
Uc−UD 3,115−28809
Rd = = = -0,000292
UcUD 3,115 ×28809
`
h. Fluida dingin pada bagian Shell
Diameter Shell = 16 cm = 0,53 ft
Flow Area
π D2 3,14 (0,53)2
As = = = 0,221 ft2
4 4
Mass Velocity
W 28,89lb /hr lb
Gs = = = 130,72
As 0,221 ft 2
(hr) ft 2
Pada ta= 84,56
DₒGs
Res =
μ
Dari lampiran grafik Fig. 14 Kern, halaman 823 pada ta = 84,56 ºF
diperoleh,
μ = 0,85 centipoises
μ = 0,85 × 2,42 = 2,057 lb/(ft) (hr)
0,53× 130,72
Res = = 33,68
2,057
Dari Fig. 28 Kern, halaman 838 pada lampiran grafik diperoleh :
JH = 2,9
Pada tc = 84,56 °F
Dari lampiran grafik Fig. 2 Kern, halaman 804 dan Table. 4 Kern, halaman
800 diperoleh:
c = 0,99 Btu/(lb)(°F)
k = 0,355 Btu/(hr)(ft2)(° F / ft ¿
Maka:
c . μ 13 0,99 ×2,057 13
( ) =( ) = 1,7796
k 0,355
k c . μ 13
ho = JH
Do( )
(
k
) ϕs
ho 0,355
=3× × 1,7796
ϕs 0,53
=3,575
`
Corrected coefficient,
ho
ho = ϕ s = 3,575 × 1 = 3,575 Btu/(hr)(ft2)( oF)
ϕs
Clean overall coefficient UC :
hioh o 40,87 ×3,575
Uc = = = 3,287 Btu/(hr)(ft2)(oF)
hio+ ho 40,87+3,575
Design overall coefficient UD :
Q 37,45
U D= = 2
As . ∆ t 0,221 ft 2 (1,5019) = 112,83 Btu/(hr)(ft )(°F)
Dirt factor Rd :
Uc−UD 3,287−112,83
Rd = = = -0,943
UcUD 3,287× 112,83
Diketahui:
a. W pada aliran panas dengan suhu 111,92 °F
Q=¿ 17,5 L/menit = 60,5 Btu/hr
Dari Fig. 2 Kern, halaman 804 dari lampiran grafik diperoleh :
Cp = 0,9 Btu/lb °F
Q = W.Cp ( T1 - T2 )
60,5 = W × 0,9 ( 111,92 - 109,4 )
60,5 = 2,52 W
W = 24 lb/hr
W pada aliran dingin dengan suhu 86,72 °F
Q=¿ 6,5 L/menit = 37,45 Btu/hr
Dari Fig. 2 Kern, halaman 804 dari lampiran grafik diperoleh :
`
Cp = 0,99 Btu/lb °F
Q = W.Cp ( t 2 - t 1)
37,45 = W × 0,9 9 ( 88,16 - 86,72 )
37,45 = 1,296 W
W = 26,26 lb/hr
∆ t 2 - ∆t 1 0.64
b. LMTD = 2,3 log ∆ t / ∆t = 2,3 log 2,52 /1,88 = 2,191
2 1
`
Velocity through tube:
Gt
V =
3600ρ
17,391.30
=
3600 × 62,5
= 0,0772 fps
Pada Ta = 110,66
Dari lampiran grafik Fig. 14 Kern, halaman, 823 pada Ta = 110,3 °F
diperoleh
μ = 0,65 centipoises
μ = 0,65 ×2,42 = 1,573 lb/(ft)(hr)
DGt 0,042× 17,391.30
Ret = = = 464,357
μ 1,573
L 8,66
= = 206,19
D 0,042
Dari Fig. 24 Kern halaman 834 pada lampiran grafik diperoleh :
JH = 2,5
Ta = 110,66 °F
Dari lampiran grafik Fig. 2 Kern, halaman 804 dan Tabel. 4 Kern, halaman
800 diperoleh:
c = 0,99 Btu/(lb)(°F)
k = 0,3677 Btu/(hr)(ft2)(° F / ft ¿
Maka:
c . μ 13 0 , 99 ×1,563 13
( ) =( ) = 1,593
k 0,3677
k c . μ 13
hi = JH ( )
D
(
k
) ϕt
hi 0,3677
= 2,5 × × 1,593 = 34,86
ϕt 0,042
Dari lampiran grafik Fig. 25 Kern, halaman 835 diperoleh nilai:
hi = 34,86 × 1,04
=36,25
`
0,041
hio = 36,25 × = 35,39
0,042
Clean overall coefficient UC :
hioh o 35,39× 2,544
Uc = = = 2,373 Btu/(hr)(ft2)(oF)
hio+ ho 35,39+2,544
Design overall coefficient UD :
Q 60,5
U D= = 2
As . ∆ t 0,0014 ft 2( 2,191) = 20,166 Btu/(hr)(ft )(°F)
Dirt factor Rd :
Uc−UD 2,373−20,166
Rd = = = -0,421
UcUD 2,373× 20,166
`
Dari lampiran grafik Fig. 2 Kern, halaman 804 dan Table. 4 Kern, halaman
800 diperoleh:
c = 0,9 Btu/(lb)(°F)
k = 0,358 Btu/(hr)(ft2)(° F / ft ¿
Maka:
c . μ 13 0 , 99 ×2,057 13
( ) =( ) = 1,7747
k 0,358
k c . μ 13
ho = JH ( )
Do
(
k
) ϕs
ho 0,358
=3× × 1,774
ϕs 0,53
= 3,594
Corrected coefficient,
ho
ho = ϕ s = 3,594 × 1 = 3,594 Btu/(hr)(ft2)( oF)
ϕs
Clean overall coefficient UC :
hioh o 35,39× 2,544
Uc = = = 2,373 Btu/(hr)(ft2)(oF)
hio+ ho 35,39+2,544
Design overall coefficient UD :
Q 37,45
U D= = 2
As . ∆ t 0,221 ft 2 (2,191) = 77,37 Btu/(hr)(ft )(°F)
Dirt factor Rd :
Uc−UD 2,373−77,37
Rd = = = -0,4
UcUD 2,373× 77,37
Diketahui:
`
a. W pada aliran panas dengan suhu 120,92 °F
Q=¿ 10,5 L/menit = 60,5 Btu/hr
Dari Fig. 2 Kern, halaman 804 dari lampiran grafik diperoleh :
Cp = 0,9 Btu/lb °F
Q = W.Cp ( T1 - T2 )
60,5 = W × 0,9 ( 120,92 – 118,76 )
60,5 = 1,944 W
W = 31,12 lb/hr
∆ t 2 - ∆t 1 0,36
b. LMTD = 2,3 log ∆ t / ∆t = 2,3 log 32,76 /32,4 = 36,73
2 1
`
Temperatur rata-rata Ta dan ta adalah Ta = 110,66 dan ta = 91,85
`
k = 0,313 Btu/(hr)(ft2)(° F / ft ¿
Maka:
c . μ 13 1× 1,137 13
( ) =( ) = 1,530
k 0,313
k c . μ 13
hi = JH
D ( )
(
k
) ϕt
hi 0,313
= 2,7 × × 1,530 = 30,78
ϕt 0,042
Dari lampiran grafik Fig. 25 Kern, halaman 835 diperoleh nilai:
hi = 30,78 × 1,04
= 32,01
0,041
hio = 32,01 × = 20,296
0,042
Clean overall coefficient UC :
hioh o 20,296× 2,659
Uc = = = 2,45 Btu/(hr)(ft2)(oF)
hio+ ho 20,296+2,659
Design overall coefficient UD :
Q 60,5
U D= = 2
As . ∆ t 0,0014 ft 2(36,73) = 1,186 Btu/(hr)(ft )(°F)
Dirt factor Rd :
Uc−UD 2,45−1,186
Rd = = = -0,4073
UcUD 2,45× 1,186
`
DₒGs
Res =
μ
Dari lampiran grafik Fig. 14 Kern, halaman 823 pada ta = 87,26 ºF
diperoleh,
μ = 0,8 centipoises
μ = 0,8 × 2,42 = 1,936 lb/(ft) (hr)
0,53× 104,57
Res = = 28,62
1,936
Dari Fig. 28 Kern, halaman 838 pada lampiran grafik diperoleh :
JH = 2,8
Pada tc = 87,26 °F
Dari lampiran grafik Fig. 2 Kern, halaman 804 dan Table. 4 Kern, halaman
800 diperoleh:
c = 0,99 Btu/(lb)(°F)
k = 0,354 Btu/(hr)(ft2)(° F / ft ¿
Maka:
c . μ 13 0 , 99 ×1,936 13
( ) =( ) = 1,746
k 0,354
k c . μ 13
ho = JH ( )
Do
(
k
) ϕs
ho 0,354
= 2,8 × × 1,746
ϕs 0,53
= 3,265
Corrected coefficient,
ho
ho = ϕ s = 3,265 × 1 = 3,265 Btu/(hr)(ft2)( oF)
ϕs
Clean overall coefficient UC :
hioh o 31,24 ×3,265
Uc = = = 2,956 Btu/(hr)(ft2)(oF
hio+ ho 31,24+ 3,265
Design overall coefficient UD :
Q 37,45
U D= = 2
As . ∆ t 0,221 ft 2 (36,73) = 4,613 Btu/(hr)(ft )(°F)
Dirt factor Rd :
`
Uc−UD 2,956−4,613
Rd = = = -0,121
UcUD 2,956× 4,613
Diketahui:
a. W pada aliran panas dengan suhu 103,64 °F
Q=¿ 10,5 L/menit = 60,5 Btu/hr
Dari Fig. 2 Kern, halaman 804 dari lampiran grafik diperoleh :
Cp = 0,9 Btu/lb °F
Q = W.Cp ( T1 - T2 )
60,5 = W × 0,9 ( 103,64 - 101, 4 8 )
60,5 = 1,944 W
W = 31,12 lb/hr
∆ t 2 - ∆t 1 0,36
b. LMTD = 2,3 log ∆ t / ∆t = 2,3 log 14,04 /13,68 = 13,883
2 1
`
( T1- T2) (103,64 – 101,48 ) 2,16
c. R = = = = 1,2
( t2 - t1 ) ( 89,6 – 87,8 ) 1,8
( t2 - t1 ) ( 89,6 – 87,8 ) 1,8
d. S = = = = 0,113
( T 1 - t 1 ) ( 103,64 - 101,48 ) 15,84
e. Dari Fig. 19 Kern, halaman 829 pada lampiran grafik dapat dilihat bahwa:
Ft = 0,99
∆t = LMTD ( Ft ) = 13,88 ( 0,99 ) = 13,744
f. Ta dan ta:
103,64+101,48
Ta = = 102,56
2
89,6+87,8
ta = = 88,7
2
Temperatur rata-rata Ta dan ta adalah Ta = 102,56dan ta = 88,7
`
μ = 0,68 ×2,42 = 1,6456 lb/(ft)(hr)
DGt 0,042× 22,.473,53
Ret = = = 573,583
μ 1,6456
L 8,66
= = 206,19
D 0,042
Dari Fig. 24 Kern halaman 834 pada lampiran grafik diperoleh :
JH = 2,5
Ta = 102,56 °F
Dari lampiran grafik Fig. 2 Kern, halaman 804 dan Tabel. 4 Kern, halaman
800 diperoleh:
c = 0,99 Btu/(lb)(°F)
k = 0,3639 Btu/(hr)(ft2)(° F / ft ¿
Maka:
c . μ 13 0,9 ×1,6456 13
( ) =( ) = 1,639
k 0,3639
k c . μ 13
hi = JH ( )
D
(
k
) ϕt
hi 0,3639
= 2,5 × × 1,639 = 35,81
ϕt 0,042
Dari lampiran grafik Fig. 25 Kern, halaman 835 diperoleh nilai:
hi = 35,81 × 1,04
= 37,24
0,041
hio = 37,24 × = 36,35
0,042
Clean overall coefficient UC :
hioh o 36,35× 2,554
Uc = = = 2,38 Btu/(hr)(ft2)(oF)
hio+ ho 36,35+2,554
Design overall coefficient UD :
Q 60,5
U D= = 2
As . ∆ t 0,0014 ft 2( 13,744) = 3,144.19 Btu/(hr)(ft )(°F)
Dirt factor Rd :
Uc−UD 2,38−3,144.19
Rd = = = -0,418
UcUD 2,38× 3,144.19
`
h. Fluida dingin pada bagian Shell
Diameter Shell = 16 cm = 0,53 ft
Flow Area
π D2 3,14 (0,53)2
As = = = 0,221 ft2
4 4
Mass Velocity
W 23,11 lb/hr lb
Gs = = = 104,80
As 0,221 ft 2
(hr) ft 2
Pada ta= 88,7
DₒGs
Res =
μ
Dari lampiran grafik Fig. 14 Kern, halaman 823 pada ta = 88,7 ºF diperoleh,
μ = 0,85 centipoises
μ = 0,85 × 2,42 = 2,057 lb/(ft) (hr)
0,53× 104,80
Res = = 27,003
2,057
Dari Fig. 28 Kern, halaman 838 pada lampiran grafik diperoleh :
JH = 2,8
Pada tc = 88,7 °F
Dari lampiran grafik Fig. 2 Kern, halaman 804 dan Table. 4 Kern, halaman
800 diperoleh:
c = 0,99 Btu/(lb)(°F)
k = 0,357 Btu/(hr)(ft2)(° F / ft ¿
Maka:
c . μ 13 0,99 ×2,057 13
( ) =( ) = 1,775
k 0,357
k c . μ 13
ho = JH
Do( )
(
k
) ϕs
ho 0,357
= 2,2 × × 1,775
ϕs 0,53
= 3,354
`
Corrected coefficient,
ho
ho = ϕ s = 2,544 × 1 = 2,544 Btu/(hr)(ft2)( oF)
ϕs
Clean overall coefficient UC :
hioh o 36,35× 2,554
Uc = = = 2,38 Btu/(hr)(ft2)(oF)
hio+ ho 36,35+2,554
Design overall coefficient UD :
Q 37,45
U D= = 2
As . ∆ t 0,221 ft 2 (13,74) = 12,35 Btu/(hr)(ft )(°F)
Dirt factor Rd :
Uc−UD 2,38−12,35
Rd = = = -0,338
UcUD 2,38× 12,35
Diketahui:
a. W pada aliran panas dengan suhu 111,56 °F
Q=¿ 10,5 L/menit = 60,5 Btu/hr
Dari Fig. 2 Kern, halaman 804 dari lampiran grafik diperoleh :
Cp = 0,9 Btu/lb °F
Q = W.Cp ( T1 - T2 )
60,5 = W × 0,9 ( 111,56 - 109,76 )
60,5 = 2,592 W
W = 37,34 lb/hr
`
Cp = 0,9 Btu/lb °F
Q = W.Cp ( t 2 - t 1)
37,45 = W × 0,9 ( 88,52 - 87 )
37,45 = 1,368 W
W = 27,37 lb/hr
∆ t 2 - ∆t 1 0.28
b. LMTD = 2,3 log ∆ t / ∆t = 2,3 log 23,04 /22,76 = 22,92
2 1
`
Gt
V =
3600ρ
26.969,45
=
3600 × 62,5
= 0,119 fps
Pada Ta = 110,66
Dari lampiran grafik Fig. 14 Kern, halaman, 823 pada Ta = 110,66 °F
diperoleh
μ = 0,65 centipoises
μ = 0,65 × 2,42 = 1,573 lb/(ft)(hr)
DGt 0,042× 26.969,45
Ret = = = 720,09
μ 1,573
L 8,66
= = 206,19
D 0,042
Dari Fig. 24 Kern halaman 834 pada lampiran grafik diperoleh :
JH = 2,7
Ta = 110,66 °F
Dari lampiran grafik Fig. 2 Kern, halaman 804 dan Tabel. 4 Kern, halaman
800 diperoleh:
c = 0,9 Btu/(lb)(°F)
k = 0,3685 Btu/(hr)(ft2)(° F / ft ¿
Maka:
c . μ 13 0 , 9 ×1,573 13
( ) =( ) = 1,559
k 0,3685
k c . μ 13
hi = JH ( )
D
(
k
) ϕt
hi 0,3685
= 2,7 × × 1,559 = 36,932
ϕt 0,042
Dari lampiran grafik Fig. 25 Kern, halaman 835 diperoleh nilai:
hi = 36,932 × 1,04
=38,409
0,041
hio = 38,409 × = 37,495
0,042
`
Clean overall coefficient UC :
hioh o 37,495× 2,544
Uc = = = 2,382 Btu/(hr)(ft2)(oF)
hio+ ho 37,495+2,544
Design overall coefficient UD :
Q 93,94
U D= = 2
As . ∆ t 0,0014 ft 2( 17,711) = 3.789Btu/(hr)(ft )(°F)
Dirt factor Rd :
Uc−UD 2,382−3789
Rd = = = -0,420
UcUD 2,382× 3789
`
c = 0,99 Btu/(lb)(°F)
k = 0,357 Btu/(hr)(ft2)(° F / ft ¿
Maka:
c . μ 13 0 , 99 ×1,9844 31
( ) =( ) = 1,755
k 0,357
k c . μ 13
ho = JH ( )
Do
(
k
) ϕs
ho 0,357
= 2,9 × × 1,755
ϕs 0,53
= 3,430
Corrected coefficient,
ho
ho = ϕ s = 3,430 × 1 = 3,430 Btu/(hr)(ft2)( oF)
ϕs
Clean overall coefficient UC :
hioh o 37,495× 2,544
Uc = = = 2,382 Btu/(hr)(ft2)(oF)
hio+ ho 37,495+2,544
Design overall coefficient UD :
Q 37,45
U D= = 2
As . ∆ t 0,221 ft 2 (22,69) = 7,466 Btu/(hr)(ft )(°F)
Dirt factor Rd :
Uc−UD 2,382−7,466
Rd = = = -0,285
UcUD 2,382× 7,466
Diketahui:
a. W pada aliran panas dengan suhu 112,64 °F
Q=¿ 10,5 L/menit = 60,5 Btu/hr
`
Dari Fig. 2 Kern, halaman 804 dari lampiran grafik diperoleh :
Cp = 0,9 Btu/lb °F
Q = W.Cp ( T1 - T2 )
60,5 = W × 0,9 ( 121,64 - 112,64 )
60,5 = 8,1 W
W = 7,469 lb/hr
∆ t 2 - ∆t 1 5.8
b. LMTD = 2,3 log ∆ t / ∆t = 2,3 log 30,64 /24,84 = 27,66
2 1
`
g. Fluida panas pada bagian Tube
Diameter Tube = 1,27 cm = 0,042 ft
Panjang tube (L) = 264 cm = 8,66 ft
Flow Area
π D2 3,14 (0,042)2
a't = = = 0,00138 ft2
4 4
Mass Velocity
W 7,4691lb /hr lb
Gt = = = 5,412,41
At 0,00138 ft 2
(hr) ft 2
Velocity through tube:
Gt
V =
3600ρ
5,412,41
=
3600 × 62,5
= 0,024 fps
Pada Ta = 117,14
Dari lampiran grafik Fig. 14 Kern, halaman, 823 pada Ta = 117,14 °F
diperoleh
μ = 0,6 centipoises
μ = 0,6 ×2,42 = 1,452 lb/(ft)(hr)
DGt 0,042× 5,412.41
Ret = = = 156,55
μ 1,452
L 8,66
= = 206,19
D 0,042
Dari Fig. 24 Kern halaman 834 pada lampiran grafik diperoleh :
JH = 2,5
Ta = 111,02 °F
Dari lampiran grafik Fig. 2 Kern, halaman 804 dan Tabel. 4 Kern, halaman
800 diperoleh:
c = 0,9 Btu/(lb)(°F)
k = 0,3685 Btu/(hr)(ft2)(° F / ft ¿
Maka:
`
c . μ 13 0 , 9 ×1,573 13
( ) =( ) = 1,559
k 0,3685
k c . μ 13
hi = JH ( )
D
(
k
) ϕt
hi 0,3685
= 2,5 × × 1,559 = 34,196
ϕt 0,042
Dari lampiran grafik Fig. 25 Kern, halaman 835 diperoleh nilai:
hi = 34,196 × 1,04
= 35,564
0,041
hio = 35,564 × = 34,717
0,042
Clean overall coefficient UC :
hioh o 34,717× 2,659
Uc = = = 2,470 Btu/(hr)(ft2)(oF)
hio+ ho 34,717+2,659
Design overall coefficient UD :
Q 92,21
U D= = 2
As . ∆ t 0,0014 ft 2( 16,689) = 3.947 Btu/(hr)(ft )(°F)
Dirt factor Rd :
Uc−UD 2,470−3947
Rd = = = -0,405
UcUD 2,470× 3947
`
Dari lampiran grafik Fig. 14 Kern, halaman 823 pada ta = 93,74 ºF
diperoleh,
μ = 0,79 centipoises
μ = 0,79 × 2,42 = 1,9118 lb/(ft) (hr)
0,53× 58,353
Res = = 16,177
1,9118
Dari Fig. 28 Kern, halaman 838 pada lampiran grafik diperoleh :
JH = 2,3
Pada tc = 93,74 °F
Dari lampiran grafik Fig. 2 Kern, halaman 804 dan Table. 4 Kern, halaman
800 diperoleh:
c = 0,9 Btu/(lb)(°F)
k = 0,3685 Btu/(hr)(ft2)(° F / ft ¿
Maka:
c . μ 13 0 , 9 ×1,9118 13
( ) =( ) = 1,663
k 0,3685
k c . μ 13
ho = JH ( )
Do
(
k
) ϕs
ho 0,3685
= 2,3 × × 1,663
ϕs 0,53
= 2,659
Corrected coefficient,
ho
ho = ϕ s = 2,659 × 1 = 2,659 Btu/(hr)(ft2)( oF)
ϕs
Clean overall coefficient UC :
hioh o 34,717× 2,659
Uc = = = 2,470 Btu/(hr)(ft2)(oF)
hio+ ho 34,717+2,659
Design overall coefficient UD :
Q 50,14
U D= = 2
As . ∆ t 0,221 ft 2 (16,689) = 13,594 Btu/(hr)(ft )(°F)
Dirt factor Rd :
`
Uc−UD 2,470−13,594
Rd = = = -0,331
UcUD 2,470× 13,594
C. Run III Bukaan Panas (Tube) = 50°, Bukaan Dingin (Shell) = 70°
1. Suhu 40 °C
T1 = 40 °C = 104 °F
T2 = 38 °C = 100,4 °F
t1 = 30,8 °C = 87,44 °F
t2 = 31,8 °C = 89,24 °F
Diketahui:
a. W pada aliran panas dengan suhu 104 °F
Q=¿ 10.5 L/menit = 60.5 Btu/hr
Dari Fig. 2 Kern, halaman 804 dari lampiran grafik diperoleh :
Cp = 0,9 Btu/lb °F
Q = W.Cp ( T1 - T2 )
60,5 = W × 0,9 ( 104 - 100,4 )
60,5 = 3,24 W
W = 18,67 lb/hr
∆ t 2 - ∆t 1 1,6
b. LMTD = 2,3 log ∆ t / ∆t = 2,3 log 14,56 /12,96 = 13,75
2 1
`
( T1- T2) ( 104 – 100,4 )
c. R = = = 1,8
( t2 - t1 ) ( 89,44 – 87,44 )
( t 2 - t 1 ) ( 89,44 – 87,44 )
d. S = = = 0,120
( T 1 - t1 ) ( 104 - 87,44 )
e. Dari Fig. 19 Kern, halaman 829 pada lampiran grafik dapat dilihat bahwa:
Ft = 0,99
∆t = LMTD ( Ft ) = 13,75 ( 0,99 ) = 13,622
f. Ta dan ta:
104+100,4
Ta = = 102,2
2
89,44+87,44
ta = = 88,44
2
Temperatur rata-rata Ta dan ta adalah Ta = 102,2 dan ta = 88,44
g. Fluida panas pada bagian Tube
Diameter Tube = 1,27 cm = 0,042 ft
Panjang tube (L) = 264 cm = 8,66 ft
Flow Area
π D2 3,14 (0,042)2
a't = = = 0,00138 ft2
4 4
Mass Velocity
W 18,672lb /hr lb
Gt = = = 13,531
At 0,00138 ft 2
(hr) ft 2
Velocity through tube:
Gt
V =
3600ρ
13,531
=
3600 × 62,5
= 0,06 fps
Pada Ta = 102,2
Dari lampiran grafik Fig. 14 Kern, halaman, 823 pada Ta = 102,2 °F
diperoleh
μ = 0,7 centipoises
`
μ = 0,7 ×2,42 = 1,694 lb/(ft)(hr)
DGt 0,042× 13,531
Ret = = = 335,48
μ 1,694
L 8,66
= = 206,19
D 0,042
Dari Fig. 24 Kern halaman 834 pada lampiran grafik diperoleh :
JH = 2,1
Ta = 102,2 °F
Dari lampiran grafik Fig. 2 Kern, halaman 804 dan Tabel. 4 Kern, halaman
800 diperoleh:
c = 0,9 Btu/(lb)(°F)
k = 0,381 Btu/(hr)(ft2)(° F / ft ¿
Maka:
c . μ 13 0 , 9 ×1,694 13
( ) =( ) = 1,604
k 0,363
k c . μ 13
hi = JH ( )
D
(
k
) ϕt
hi 0,363
= 2,2 × × 1,604 = 30,577
ϕt 0,042
Dari lampiran grafik Fig. 25 Kern, halaman 835 diperoleh nilai:
hi = 30,577 × 1,04
= 31,801
0,041
hio = 31,801 × = 31,043
0,042
Clean overall coefficient UC :
hioh o 31,043× 2,406
Uc = = = 2,2329 Btu/(hr)(ft2)(oF)
hio+ ho 31,043+2,406
Design overall coefficient UD :
Q 60,5
U D= = 2
As . ∆ t 0,0014 ft 2( 13,622) = 3172,31 Btu/(hr)(ft )(°F)
Dirt factor Rd :
Uc−UD 2,2329−3172,31
Rd = = = -0,447
UcUD 2,2329× 3172,31
`
h. Fluida dingin pada bagian Shell
Diameter Shell = 16 cm = 0,53 ft
Flow Area
π D2 3,14 (0,53)2
As = = = 0,221 ft2
4 4
Mass Velocity
W 20,80lb /hr lb
Gs = = = 94,14
As 0,221 ft 2
(hr) ft 2
Pada ta = 88,44
DₒGs
Res =
μ
Dari lampiran grafik Fig. 14 Kern, halaman 823 pada ta = 88,44 ºF
diperoleh,
μ = 0,82 centipoises
μ = 0,82 × 2,42 = 1,984 lb/(ft) (hr)
0,53× 94,14
Res = = 25,14
1,984
Dari Fig. 28 Kern, halaman 838 pada lampiran grafik diperoleh :
JH = 2,8
Pada tc = 88,44 °F
Dari lampiran grafik Fig. 2 Kern, halaman 804 dan Table. 4 Kern, halaman
800 diperoleh:
c = 0,99 Btu/(lb)(°F)
k = 0,357 Btu/(hr)(ft2)(° F / ft ¿
Maka:
c . μ 13 0 , 99 ×1,9844 31
( ) =( ) = 1,754
k 0,357
k c . μ 13
ho = JH
Do( )
(
k
) ϕs
ho 0,357
= 2,8 × × 1,754
ϕs 0,53
= 3,314
`
Corrected coefficient,
ho
ho = ϕ s = 3,314 × 1 = 3,314 Btu/(hr)(ft2)( oF)
ϕs
Clean overall coefficient UC :
hioh o 31,043× 3,314
Uc = = = 2,994 Btu/(hr)(ft2)(oF)
hio+ ho 31,043+3,314
Design overall coefficient UD :
Q 37,45
U D= = 2
As . ∆ t 0,221 ft 2 (13,62) = 12,43 Btu/(hr)(ft )(°F)
Dirt factor Rd :
Uc−UD 2,994−12,43
Rd = = = -0,253
UcUD 2,994 ×12,43
C. Run III Bukaan Panas (Tube) =50°, Bukaan Dingin (Shell) = 70°
2. Suhu 45 °C
T1 = 45 °C = 113 °F
T2 = 44 °C = 111,2 °F
t1 = 31,4 °C = 88,52 °F
t2 = 32 °C = 89,6 °F
Diketahui:
a. W pada aliran panas dengan suhu 113 °F
Q=¿ 10,5 L/menit = 60,5 Btu/hr
Dari Fig. 2 Kern, halaman 804 dari lampiran grafik diperoleh :
Cp = 0,9 Btu/lb °F
Q = W.Cp ( T1 - T2 )
60,5 = W × 0,9 ( 113 – 111,2 )
60,5 = 1.62 W
W = 37,34 lb/hr
`
Dari Fig. 2 Kern, halaman 804 dari lampiran grafik diperoleh :
Cp = 0,9 Btu/lb °F
Q = W.Cp ( t 2 - t 1)
37,45 = W × 0,9 ( 89,6 - 88,52 )
37,45 = 0,972 W
W = 38,52 lb/hr
∆ t 2 - ∆t 1 0,72
b. LMTD = 2,3 log ∆ t / ∆t = 2,3 log 23,4 /22,68 = 23,06
2 1
f. Ta dan ta:
113+111,2
Ta = = 112,1
2
89,6+88,52
ta = = 89,06
2
Temperatur rata-rata Ta dan ta adalah Ta = 112,1 dan ta = 89,06
`
W 37,345lb /hr lb
Gt = = = 27.062,09
At 0,00138 ft 2
(hr) ft 2
Velocity through tube:
Gt
V =
3600ρ
27.062,09
=
3600 × 62,5
= 0,120 fps
Pada Ta = 112,1
Dari lampiran grafik Fig. 14 Kern, halaman, 823 pada Ta = 112,1 °F
diperoleh
μ = 0,65 centipoises
μ = 0,65 ×2,42 = 1,573 lb/(ft)(hr)
DGt 0,042× 27.062,09
Ret = = = 722,5732
μ 1,573
L 8,66
= = 206,19
D 0,042
Dari Fig. 24 Kern halaman 834 pada lampiran grafik diperoleh :
JH = 2,7
Ta = 112,1 °F
Dari lampiran grafik Fig. 2 Kern, halaman 804 dan Tabel. 4 Kern, halaman
800 diperoleh:
c = 0,99 Btu/(lb)(°F)
k = 0,3683 Btu/(hr)(ft2)(° F / ft ¿
Maka:
c . μ 13 0 , 9 ×1,573 13
( ) =( ) = 1,559
k 0,3683
k c . μ 13
hi = JH ( )
D
(
k
) ϕt
hi 0,3683
= 2,7 × × 1,559 = 36,923
ϕt 0,042
Dari lampiran grafik Fig. 25 Kern, halaman 835 diperoleh nilai:
hi = 36,923 × 1,04
`
=38,400
0,041
hio = 38,400 × = 37,486
0,042
Clean overall coefficient UC :
hioh o 37,486× 2,915
Uc = = = 2,7046 Btu/(hr)(ft2)(oF)
hio+ ho 37,486+2,915
Design overall coefficient UD :
Q 60,5
U D= = 2
As . ∆ t 0,0014 ft 2( 22,83) = 1.892 Btu/(hr)(ft )(°F)
Dirt factor Rd :
Uc−UD 2,706−1892
Rd = = = -0,369
UcUD 2,706× 1892
`
Dari lampiran grafik Fig. 2 Kern, halaman 804 dan Table. 4 Kern, halaman
800 diperoleh:
c = 0,99 Btu/(lb)(°F)
k = 0,357 Btu/(hr)(ft2)(° F / ft ¿
Maka:
c . μ 13 0 , 99 ×1,9602 13
( ) =( ) = 1,747
k 0,357
k c . μ 13
ho = JH ( )
Do
(
k
) ϕs
ho 0,357
= 3,7 × × 1,747
ϕs 0,53
= 4,364
Corrected coefficient,
ho
ho = ϕ s = 4,364 × 1 = 4,364 Btu/(hr)(ft2)( oF)
ϕs
Clean overall coefficient UC :
hioh o 37,486× 4,364
Uc = = = 3,909 Btu/(hr)(ft2)(oF)
hio+ ho 37,486+ 4,364
Dirt factor Rd :
Uc−UD 3,909−7,421
Rd = = = -0,121
UcUD 3,909× 7,421
C. Run III Bukaan Panas (Tube) = 50°, Bukaan Dingin (Shell) = 70°
3. Suhu 50 °C
T1 = 49,8 °C = 121,64 °F
T2 = 47 °C = 116,6 °F
t1 = 31,2 °C = 88,16 °F
t2 = 33,2 °C = 91,76 °F
`
Diketahui:
a. W pada aliran panas dengan suhu 121,64 °F
Q=¿ 10,5 L/menit = 60,5 Btu/hr
Dari Fig. 2 Kern, halaman 804 dari lampiran grafik diperoleh :
Cp = 0,9 Btu/lb °F
Q = W.Cp ( T1 - T2 )
60,5 = W × 0,9 ( 118,4 – 116,06 )
60,5 = 4,536 W
W = 13,337 lb/hr
∆ t 2 - ∆t 1 1,44
b. LMTD = 2,3 log ∆ t / ∆t = 2,3 log 29,88 /28,44 = 29,18
2 1
`
91,76 + 8 8,16
ta = = 89,96
2
Temperatur rata-rata Ta dan ta adalah Ta = 119,12 dan ta = 89,96
`
c = 0,9 Btu/(lb)(°F)
k = 0,371 Btu/(hr)(ft2)(° F / ft ¿
Maka:
c . μ 13 0 , 9 ×1,452 13
( ) =( ) = 1,514
k 0,371
k c . μ 13
hi = JH ( )
D
(
k
) ϕt
hi 0,371
= 2,2 × × 1,514 = 29,47
ϕt 0,042
Dari lampiran grafik Fig. 25 Kern, halaman 835 diperoleh nilai:
hi = 29,47 × 1,04
= 30,65
0,041
hio = 30,65 × = 29,92
0,042
Dirt factor Rd :
Uc−UD 2,370−1495,56
Rd = = = -0,421
UcUD 2,370× 1495,56
`
W 11,558 lb/hr lb
Gs = = = 52,301
As 0,221 ft 2
(hr) ft 2
Pada ta = 89,96
DₒGs
Res =
μ
Dari lampiran grafik Fig. 14 Kern, halaman 823 pada ta = 89,96 ºF
diperoleh,
μ = 0,81 centipoises
μ = 0,81 × 2,42 = 1,9602 lb/(ft) (hr)
0,53 × 52,301
Res = = 14,141
1,9602
Dari Fig. 28 Kern, halaman 838 pada lampiran grafik diperoleh :
JH = 2,2
Pada tc = 89,96 °F
Dari lampiran grafik Fig. 2 Kern, halaman 804 dan Table. 4 Kern, halaman
800 diperoleh:
c = 0,99 Btu/(lb)(°F)
k = 0,358 Btu/(hr)(ft2)(° F / ft ¿
Maka:
c.μ 13 0 ,99 × 1,9602 13
( ) =( ) = 1,746
k 0,358
k c . μ 13
ho = JH ( )
Do
(
k
) ϕs
ho 0,385
= 2,2 × × 1,746
ϕs 0,53
= 2,597
Corrected coefficient,
ho
ho = ϕ s = 2,597 × 1 = 2,597 Btu/(hr)(ft2)( oF)
ϕs
Clean overall coefficient UC :
hioh o 29,471× 2,574
Uc = = = 2,389 Btu/(hr)(ft2)(oF)
hio+ ho 29,471+2,574
Design overall coefficient UD :
`
Q 37,45
U D= = 2
As . ∆ t 0,221 ft 2 (28,89) = 5,864 Btu/(hr)(ft )(°F)
Dirt factor Rd :
Uc−UD 2,389−5,864
Rd = = = -0,247
UcUD 2,389× 5,864
`
LAMPIRAN C
GAMBAR ALAT
`
PERCOBAAN II
PENGERINGAN
`
Revisi, 22 juni 2020
ACC, 7 Juli 2020
Disusun Oleh :
Kelompok V (A1)
`
ABSTRAK
Pengeringan atau drying merupakan operasi pengurangan kadar air bahan padat
sampai batas tertentu yang melibatkan perpindahan panas dengan beberapa
tingkatan proses. Tujuan dari percobaan ini adalah mampu menyebutkan dan
menjelaskan cara kerja dari alat pengeringan, menjelaskan variabel-variabel operasi
dalam pengeringan, mengoperasikan alat, membuat grafik antara moisture content
zat padat dengan kecepatan pengeringan (drying rate zat yang dikeringkan) dan
dapat menentukan critical moisture content pada zat padat yang dikeringkan
dalam dryer. Pada percobaan ini bahan yang digunakan adalah jahe dengan tiga
macam bentuk yaitu lingkaran dengan diameter 4 cm, persegi dengan ukuran 1,5
cm, dan persegi panjang dengan panjang 4x2 cm dengan ketebalan 4 mm. Suhu
yang digunakan yaitu 50oC dan 55oC dengan waktu 50 menit, 55 menit dan 60
menit. Langkah pertama pada percobaan ini adalah proses pemotongan jahe yang
bertujuan untuk mempercepat pengeringan. Selanjutnya dimasukkan kedalam
oven pada suhu 50oC dan 55oC dengan variasi waktu 50 menit, 55 menit dan 60
menit. Hasil yang diperoleh dari percobaan ini adalah nilai moisture content
tertinggi pada run I yaitu pada bentuk persegi panjang dengan waktu 60 menit
yaitu sebesar 70,94%, sedangkan nilai moisture content terendah pada run I yaitu
pada bentuk lingkaran dengan waktu 50 menit yaitu sebesar 9,13%. Nilai
moisture content tertinggi pada run II yaitu pada bentuk persegi panjang dengan
waktu 60 menit yaitu sebesar 67,91%, sedangkan nilai moisture content terendah
pada run II yaitu pada bentuk lingkaran dengan waktu 50 menit yaitu sebesar
11,68%. Berdasarkan hasil percobaan dapat disimpulkan bahwa semakin besar
suhu yang diberikan maka proses pengeringan akan berlangsung lebih cepat.
`
BAB I
PENDAHULUAN
`
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengeringan
Pengeringan adalah proses pemindahan panas dan uap air secara simultan
yang memerlukan panas untuk menguapkan air dari permukaan bahan tanpa
mengubah sifat kimia dari bahan tersebut. Dasar dari proses pengeringan adalah
terjadinya penguapan air ke udara karena perbedaan kandungan uap air antara
udara dan bahan yang dikeringkan. Laju pemindahan kandungan air dari bahan
akan mengakibatkan berkurangnya kadar air dalam bahan tersebut. Pengeringan
merupakan operasi pengurangan kadar air bahan padat sampai batas tertentu
sehingga bahan tersebut bebas terhadap serangan mikroorganisme, enzim, dan
insekta yang merusak. Secara lebih luas, pengeringan merupakan proses yang
terjadi secara simultan antara perpindahan panas dari udara pengeringan ke bahan
yang dikeringkan dan terjadi penguapan uap air dari bahan yang dikeringkan
(Mujumdar, 2006).
Pengeringan adalah proses pengeluaran air atau pemisahan air dalam
jumlah yang relatif kecil dari bahan dengan menggunakan energi panas. Hasil dari
proses pengeringan adalah bahan kering yang mempunyai kadar air setara dengan
kadar air keseimbangan udara normal atau setara dengan nilai aktivitas air (aw)
yang aman dari kerusakan mikrobiologis, enzimatis, dan kimiawi. Pengeringan
merupakan salah satu proses pengolahan pangan yang sudah lama dikenal. Tujuan
dari proses pengeringan adalah menurunkan kadar air bahan sehingga bahan
menjadi lebih awet, mengecilkan volume bahan untuk memudahkan, menghemat
biaya pengangkutan, pengemasan, dan penyimpanan. Meskipun demikian ada
kerugian yang ditimbulkan selama pengeringan yaitu terjadinya perubahan sifat
fisik dan kimiawi bahan serta terjadinya penurunan mutu bahan (Anton, 2011).
Pengeringan (drying) zat padat berarti pemisahan sejumlah kecil air atau
zat cair lain dari bahan padat, sehingga mengurangi kandungan sisa zat cair di
dalam zat padat itu sampai suatu nilai terendah yang dapat diterima. Pengeringan
biasanya merupakan alat terakhir dari sederetan operasi, dan hasil pengeringan
biasanya siap untuk dikemas (Mc. Cabe, 1993). Secara umum, perbedaan
pengeringan (drying) dan peguapan (evaporation) adalah jumlah air yang
diuapkan dari material. Pada proses drying hanya mengurangi sejumlah kecil
kadar air dari material sementara evaporation mengurangi kadar air dari material
dalam jumlah yang besar. Pada beberapa kasus, kadar air dalam padatan dikurangi
secara mekanik dengan proses pemerasan, centrifuging, dan berbagai cara lain.
Dalam operasi pengeringan pada sistem udara-air ada beberapa definisi yang
lazim digunakan. Perhitungan teknis biasanya didasarkan pada satuan massa gas
bebas uap. Uap yang dimaksud adalah bentuk gas dari komponen yang juga
terdapat dalam fasa cair. Sedangkan gas adalah komponen yang hanya terdapat
dalam bentuk gas saja (Geankoplis, 1993).
`
2.3 Prinsip-Prinsip Pengeringan
Berbagai jenis bahan yang dikeringkan di dalam peralatan komersial dan
banyaknya macam peralatan yang digunakan orang, maka tidak ada satu teori pun
mengenai pengeringan yang dapat meliputi semua jenis bahan dan peralatan yang
ada. Variasi bentuk dan ukuran bahan, keseimbangan kebasahannya (moisture),
mekanisme aliran bahan pembasah tersebut, serta metode pemberian kalor yang
diperlukan dipilih sebagai variabel dalam proses pengeringan. Menurut Mc. Cabe
(1993), prinsip–prinsip yang perlu diperhatikan dalam pembuatan alat pengering
antara lain:
1. Pola suhu di dalam pengering
2. Perpindahan kalor di dalam pengering
3. Perhitungan beban kalor
4. Satuan perpindahan kalor
5. Perpindahan massa di dalam pengering
`
akan mengurangi jarak melalui massa air dari pusat bahan yang harus
keluar ke permukaan bahan dan kemudian keluar dari bahan tersebut.
2. Perbedaan Suhu dan Udara Sekitarnya
Semakin besar perbedaan suhu antara medium pemanas dengan bahan
pangan makin cepat pemindahan panas ke dalam bahan dan makin cepat pula
penghilangan air dari bahan. Air yang keluar dari bahan yang dikeringkan akan
menjenuhkan udara sehingga kemampuannya untuk menyingkirkan air berkurang.
Jadi dengan semakin tinggi suhu pengeringan maka proses pengeringan akan
semakin cepat. Akan tetapi bila tidak sesuai dengan bahan yang dikeringkan,
akibatnya akan terjadi suatu peristiwa yang disebut "Case Hardening", yaitu suatu
keadaan dimana bagian luar bahan sudah kering sedangkan bagian dalamnya
masih basah (Perry, 1984).
3. Kecepatan Aliran Udara
Makin tinggi kecepatan udara, makin banyak penghilangan uap air dari
permukaan bahan sehinngga dapat mencegah terjadinya udara jenuh di permukaan
bahan. Udara yang bergerak dan mempunyai gerakan yang tinggi selain dapat
mengambil uap air juga akan menghilangkan uap air tersebut dari permukaan
bahan pangan, sehingga akan mencegah terjadinya atmosfer jenuh yang akan
memperlambat penghilangan air. Apabila aliran udara disekitar tempat
pengeringan berjalan dengan baik, proses pengeringan akan semakin cepat, yaitu
semakin mudah dan semakin cepat uap air terbawa dan teruapkan (Fadilah, 2010).
4. Tekanan Udara
Semakin kecil tekanan udara akan semakin besar kemampuan udara untuk
mengangkut air selama pengeringan, karena dengan semakin kecilnya tekanan
berarti kerapatan udara makin berkurang sehingga uap air dapat lebih banyak
tertampung dan disingkirkan dari bahan pangan. Sebaliknya jika tekanan udara
semakin besar maka udara disekitar pengeringan akan lembab, sehingga
kemampuan menampung uap air terbatas dan menghambat proses atau laju
pengeringan (King, 1971).
5. Kelembapan Udara
Semakin lembab udara maka semakin lama pengeeringan sedangkan
`
Semakin kering udara maka makin cepat pengeringan. Karena udara kering dapat
mengabsorbsi dan menahan uap air. Setiap bahan mempunyai keseimbangan
kelembaban dengan nisbi masing-masing. Kelembaban pada suhu tertentu dimana
bahan tidak akan kehilangan air (pindah) ke atmosfer atau tidak akan mengambil
uap air dari atmosfer. Menurut Treybal (1981), mekanisme keluarnya air dari
dalam bahan selama pengeringan adalah sebagai berikut:
1. Air bergerak melalui tekanan kapiler.
2. Penarikan air disebabkan oleh perbedaan konsentrasi larutan disetiap bagian
bahan.
3. Penarikan air ke permukaan bahan disebabkan oleh absorpsi dari lapisan-
lapisan permukaan komponen padatan dari bahan.
4. Perpindahan air dari bahan ke udara disebabkan oleh perbedaan tekanan uap.
(Treybal, 1981).
`
2.6 Kesetimbangan Fasa Uap dan Fasa Cair dalam Pengeringan
Bila suatu zat padat basah dikontakkan dengan udara yang humiditasnya
lebih rendah dari kandungan moisture zat padat tersebut, seperti terlihat pada
kurva kesetimbangan kelembaban, zat padat tersebut akan melepaskan sebagian
kandungan moisture-nya dan semakin kering sehingga kelembabannya sama
dengan kelembaban udara. Bila udara itu lebih lembab dari zat padat yang berada
dalam kesetimbangan dengan udara tersebut, zat padat akan menyerap moisture
dari udara sampai tercapai kesetimbangan (Kirk dan Othmer, 1982).
`
2.7 Laju Pengeringan
Setiap material yang akan dikeringkan memiliki karakteristik kinetika
pengeringan yang berbeda-beda bergantung terhadap struktur internal dari
material yang akan dikeringkan. Kinetika pengeringan memperlihatkan perubahan
kandungan air yang terdapat dalam material untuk setiap waktu saat dilakukan
proses pengeringan. Dari kinetika pengeringan dapat diketahui jumlah air dari
material yang telah diuapkan, waktu pengeringan, konsumsi energi. Menurut
Mc.Cabe (1993), parameter-parameter dalam proses pengeringan untuk
mendapatkan data kinetika pengeringan adalah:
1. Moisture Content (X)
Moisture Content (X) menunjukkan kandungan air yang terdapat dalam
material untuk tiap satuan massa padatan. Moisture content (X) dibagi dalam 2
macam yaitu basis kering (X) dan basis basah (X’). Moisture content basis kering
(X) menunjukkan rasio antara kandungan air (kg) dalam material terhadap berat
material kering (kg). Sedangkan moisture content basis basah (X’) menunjukkan
rasio antara kandungan air (kg) dalam material terhadap berat material basah (kg).
Persamaan untuk menghitung moisture content basis kering adalah:
W −Ws
X t= ……………...………………..
Ws
(2.2)
Dimana:
Xt = moisture content basis kering
W = berat bahan basah (kg)
Ws = berat bahan kering (kg)
`
WsdX t
R = - ..……………………………...….
A dt
(2.3)
Dimana:
R = laju pengeringan (kg H2O yang diuapkan/jam.m2)
Ws = berat bahan kering (kg)
A = luas permukaan bahan (m2)
Xt = moisture content basis kering (kg H2O/kg bahan kering)
T = waktu (jam)
(Mc. Cabe, 1993)
`
BAB III
METODELOGI PRAKTIKUM
3.1.2 Bahan–Bahan
Adapun bahan-bahan yang digunakan sebagai berikut:
1. Jahe Secukupnya
4.1 Hasil
Adapun hasil dari percobaan ini adalah sebagai berikut:
Tabel 4.1 Hasil Percobaan Drying
Run I pada suhu 50oC
Massa (gr) Moisture content (x) % moisture content
waktu
4.2 Pembahasan
Pengeringan merupakan proses pengurangan kandungan air dalam suatu
bahan dengan jalan memasukkannya ke dalam alat pengering atau oven, sehingga
terjadi penguapan kandungan air yang ada dalam bahan tersebut. Pengeringan
bertujuan untuk mengetahui perbandingan antara moisture content zat padat
terhadap kecepatan pengeringan (drying rate zat yang dikeringkan) dan untuk
menentukan critical moisture content pada zat padat yang dikeringkan dalam
dryer. Pada percobaan ini bahan yang digunakan adalah jahe dengan ketebalan 4
mm, berbentuk lingkaran dengan diameter 4 cm, persegi dengan ukuran masing-
masing sisinya 1,5 cm, dan persegi panjang dengan ukuran 4x2 cm.
60
50
40
Lingkaran
30
Persegi
20 Persegi Panjang
10
0
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu (menit)
`
tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Risdianti dkk (2016) bahwa penurunan
kadar air ini menunjukkan terjadinya penguapan air ke udara karena perbedaan
kandungan uap air antara udara dan bahan yang dikeringkan. Semakin tinggi suhu
pengeringan maka waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan bahan akan
semakin cepat (Risdianti, 2016).
50
40
Lingkaran
30
Persegi
20 Persegi Panjang
10
0
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu (menit)
`
suhu pengeringan yang diberikan semakin tinggi maka proses pengeringan akan
berlangsung lebih cepat. Sesuai dengan pendapat Risdianti dkk (2016) dalam
jurnalnya yang menyatakan bahwa semakin tinggi suhu pada ruang pengering
maka akan mempercepat proses pengeringan bahan untuk mencapai kadar air
bahan yang diinginkan (Risdianti dkk, 2016).
0.02
0.02
Laju Pengeringan (gr/cm2.min)
0.02
0.02
Lingkaran
0.01
Persegi
0.01 Persegi Panjang
0.01
0
0
48 50 52 54 56 58 60 62
Waktu (Menit)
`
pada bahan tersebut. Selain itu, faktor saat penimbangan juga mempengaruhi,
dimana pada saat penimbangan terjadi kontak antara bahan dan udara. Karena
kesalahan tersebut, hasil yang diperoleh tidak sejalan dengan pernyataan dari
Fitriani dkk 2013, yang menyatakan bahwa semakin besarnya energi panas yang
dibawa udara akibat dari makin tingginya suhu dan lamanya waktu pengeringan,
maka laju pengeringan semakin cepat dan jumlah massa cairan yang diuapkan dari
jahe semakin banyak (Fitriani dkk, 2013).
0.02
Laju Pengeringan (gr/cm2.min)
0.02
0.02
0.01 Lingkaran
Persegi
0.01
Persei Panjang
0.01
0 48 50 52 54 56 58 60 62
Waktu (Menit)
`
pangan, menyebabkan penguapan air dari bahan akan lebih banyak dan cepat
(Mentari dkk, 2017).
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat di ambil dari percobaan ini adalah:
1. Semakin tinggi suhu pemanasan maka proses pengeringan akan
berlangsung lebih cepat.
2. Semakin tinggi kadar air dalam bahan juga mempengaruhi lamanya waktu
yang diperlukan untuk mengeringkan bahan tersebut.
3. Nilai moisture content tertinggi pada run I yaitu pada bentuk persegi
panjang dengan waktu 60 menit yaitu sebesar 70,94%.
4. Nilai moisture content terendah pada run I yaitu pada bentuk lingkaran
dengan waktu 50 menit yaitu sebesar 9,13%.
5. Nilai moisture content tertinggi pada run II yaitu pada bentuk persegi
panjang dengan waktu 60 menit yaitu sebesar 67,91%.
6. Nilai moisture content terendah pada run II yaitu pada bentuk lingkaran
dengan waktu 50 menit yaitu sebesar 11,68%.
5.2 Saran
Diharapkan kepada praktikan selanjutnya untuk dapat menentukan critical
point dari setiap bahan yang akan dikeringkan serta pemotongan sampel
diusahakan besar maupun ketebalan setiap bagiannya sama sehingga hasil yang
diperoleh akan lebih akurat.
`
DAFTAR PUSTAKA
Fitriani, dkk. 2013. Pengaruh Suhu Dan Lama Pengeringan Terhadap Mutu
Manisan Kering Jahe (Zingiber Officinale Rosc.) Dan Kandungan
Antioksidannya. Program Studi Teknologi Hasil Pertanian . Vol. 12 No. 2 : 1-8.
https://ejournal.unri.ac.id/index.php/JSG/article/download/2065/2029.
(Diakses pada 20 Juni 2020).
King, C. J. 1971. Freeze Drying of Foods. Chemical Rubber Co., Inc. Boca Raton,
Fla.
Mc. Cabe, W.L. 1993. Unit Operation of Chemical Engineering, 3rd ed. McGraw-
Hill Book Co. New York.
Perry, R. H., and Green, D. (1984). Perry’s Chemical Engineer’s Handbook, 6th
ed. McGraw-Hill Book Company. New York.
`
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
LEMBAR DATA
`
Lhokseumawe,
Dosen Pembimbing/Asisten
(Hulqi Wahyuri)
NIM. 160140012
LAMPIRAN B
`
PERHITUNGAN
2,19 gr - 1,99 gr
Lingkaran = = 0,0913 gr
2,19 gr
= (0,0913 gr) × 100 % = 9,13 %
4,10 gr - 1,67 gr
Persegi = = 0 , 5927 gr
4,10 gr
= (0,5927 gr) × 100 % = 59,27 %
5,61 gr - 1,76 gr
Persegi Panjang = = 0 ,6863 gr
5,61 gr
= (0,6863 gr) × 100 % = 68,63 %
`
2,19 gr - 1,94 gr
Lingkaran = = 0,1142 gr
2,19 gr
= (0,1142 gr) × 100 % = 11,42 %
4,10 gr - 1,60 gr
Persegi = = 0 ,6098 gr
4,10 gr
= (0,6098 gr) × 100 % = 60,98 %
5,61 gr - 1,69 gr
Persegi Panjang = = 0 ,6988 gr
5,61 gr
= (0,6988 gr) × 100 % = 69,88 %
`
B.2.2 Pada waktu 50 menit
2,14 gr -1,89 gr
Lingkaran = = 0,1168 gr
2,14 gr
= (0,1168 gr) × 100 % = 11,68 %
4,12 gr -1,41 gr
Persegi = = 0,6578 gr
4,12 gr
= (0,6578 gr) × 100 % = 65,78 %
5,61 gr -2,01 gr
Persegi Panjang = = 0,6417 gr
5,61 gr
= (0,6417 gr) × 100 % = 64,17 %
`
1
A = π D2
4
1 2
= 4 x 3,14 x 4
= 12,56 cm2
2. Luas Persegi
A =SxS
= 1,5 cm x 1,5 cm
= 2,25 cm2
B) Persegi
4,10 gr - 1, 67 gr gr
t1 = = 0,0216 menit
2,25 cm 2 (50 - 0) menit cm 2
1,67 gr - 1 ,60 gr gr
t2 = = 0,0062 menit
2,25 cm 2 (55 - 50) menit cm 2
1,60 gr - 1,44 gr gr
t3 = = 0,0142 menit
2,25 cm 2 (60 - 55) menit cm 2
`
C) Persegi Panjang
5 , 61 gr – 1,76 gr gr
t1 = = 0,0096 menit
8 cm2 (50 - 0) menit cm 2
1,76 gr – 1,69 gr gr
t2 = = 0,0018 menit
8 cm2 (55 - 50) menit cm 2
1,69 gr – 1,63 gr gr
t3 = = 0,0015 menit
8 cm2 (60 - 55) menit cm 2
B) Persegi
4,12 gr - 1,41 gr gr
t1 = = 0,0241 menit
2,25 cm 2 (50 - 0) menit cm 2
1,41 gr - 1,37 gr gr
t2 = = 0,0036 menit
2,25 cm 2 (55 - 50) menit cm 2
1,37 gr - 1,31 gr gr
t3 = = 0,0053 menit
2,25 cm 2 (60 - 55) menit cm 2
C) Persegi Panjang
5,61 gr – 2,01 gr gr
t1 = = 0,0090 menit
8 cm2 (50 - 0) menit cm 2
2,01 gr – 1,97 gr gr
t2 = = 0,0010 menit
8 cm2 (55 - 50) menit cm 2
1,97 gr – 1,80 gr gr
t3 = = 0,0043 menit
8 cm2 (60 - 55) menit cm 2
`
LAMPIRAN C
GAMBAR ALAT
3. Mikrometer Mengukur
sekrup ketebalan bahan
`
4. Aluminium Foil Penutup bahan
6. Penggaris Mengukur
panjang bahan
`
PERCOBAAN III
`
DISTILASI
`
Revisi, 07 Juli 2020
Acc, 08 Juli 2020
Disusun Oleh:
Kelompok V (A1)
Indriani NIM.170140052
Efri Marnelisa NIM. 170140067
Dewi Lestari NIM. 170140122
Lisa Andriani NIM. 170140136
M. Firman Maulana NIM. 170140137
Alfathan Anshori. AS NIM.170140141
2.4 Metanol
Metanol merupakan senyawa volatil yang mempunyai titik didih 64.7 °C,
148.4 °F (337.8 K), juga dikenal sebagai metil alkohol adalah senyawa kimia
dengan rumus kimia CH3OH. Metanol merupakan bentuk alkohol
palingsederhana. Pada "keadaan atmosfer" metanol berbentuk cairan yang
ringan,mudah menguap, tidak berwarna, mudah terbakar, dan beracun dengan bau
yangkhas (berbau lebih ringan daripada etanol). Metanol digunakan sebagai
bahanpendingin anti beku, pelarut, bahan bakar dan sebagai bahan aditif.Metanol
diproduksi secara alami oleh metabolisme anaerobik oleh bakteri.Hasil proses
tersebut adalah uap metanol (dalam jumlah kecil) di udara. Setelah beberapa hari,
uap methanol tersebut akan teroksidasi oleh oksigen dengan bantuansinar
matahari menjadi karbon dioksida dan air.Api dari metanol biasanya tidak
berwarna. Oleh karena itu, kita harusberhati-hati bila berada dekat metanol yang
terbakar untuk mencegah cederaakibat api yang tak terlihat. Karena sifatnya yang
beracun, metanol sering digunakan sebagai bahan aditif bagi pembuatan alkohol
(Geankoplis, 1983).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
( ρ . V . X ) etanol teknis
X e=
( ρ . V . X ) etanol teknis + ( V total−V etanol teknis ) ρair
2. Membuat larutan etanol teknis sebanyak volume tertentu sesuai dengan
perhitungan dengan air suling hingga volumenya 1000 ml.
4.1 Hasil
Adapun hasil dari percobaan ini adalah :
4.2 Pembahasan
Pada percobaan distilasi ini dapat diketahui bahwa distilasi adalah proses
pemisahan yang didasarkan pada perbedaan titik didih suatu bahan yang
digunakan. Sebelum dilakukan proses distilasi terlebih dahulu membuat larutan
umpan yaitu 40% Etanol dalam volume 50 ml, sehingga didapat larutan
umpannya sebesar 208,33 ml etanol. Namun sebelum melakukan proses distilasi,
terlebih dahulu membuat larutan standar untuk larutan etanol 17%, 19%, dan 21%
guna mengetahui densitas dari larutan etanol dan komposisi atau persen beratnya.
Untuk larutan etanol 17% didapat densitasnya sebesar 1,71 gr/ml dan % beratnya
sebesar 0,024, sedangkan untuk larutan etanol 19% densitasnya sebesar 1,72 gr/ml
dan % beratnya sebesar 0,094, dan untuk larutan etanol 21% densitasnya sebesar
1,73 gr/ml dan % beratnya sebesar 0,094. Pada percobaan ini didapatkan konversi
pada waktu 50, 65, 80 menit berturut-turut sebesar 0,442 %, 0,449 %, 0,464 %.
Hasil konversi ini masih sangat sedikit karena akurasi alat yang sudah tidak tepat,
pemasangan air pendingin pada kondensor yang kurang baik yang mengakibatkan
masuknya air kedalam labu kondensat, terjadinya kehilangan panas pada saat
proses berlangsung yang menyebabkan suhu operasi menjadi tidak stabil dan
waktu tinggal yang sebentar. Waktu tinggal sangat mempengaruhi konversi pada
percobaan ini,sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa semakin lama proses
distilasi berlangsung maka massa refluk yang dihasilkan semakin sedikit dan
volume kondensat akan semakin banyak (Warren, 1985).
Pada percobaan distilasi ini terdapat 2 penugasan yaitu membuat kurva
standar antara ρe vs Xe dan kurva antara massa kondensat vs waktu. Dimana
densitas dari masing-masing etanol didapat sebesar 1,71 gr/ml, 1,72 gr/ml dan
1,73 gr/ml, sedangkan nilai Xe yang didapat adalah 0,0083, 0,02899 dan 0,03950.
Mengenai hubungan antara densitas dan komposisi atau % berat dari masing-
masing larutan etanol yang dibuat dapat dilihat pada grafik dibawah ini:
Grafik antara ρe vs Xe
Xe (Komposisi % berat)
0.1
0.08
0.06
0.04
0.02
0
1.71 1.71 1.72 1.72 1.73 1.73 1.74
ρe (gr/ml)
60
50
40
30
20
10
0
124 125 126 127 128 129 130 131
Massa Kondensat (Gram)
5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan pada percobaan ini adalah sebagai berikut :
1. Semakin besar % larutan metanol yang dibuat maka densitasnya akan
semakin besar.
2. Semakin besar % larutan metanol yang dibuat maka % berat komponen
yang terkandung akan semakin besar.
3. Semakin lama waktu yang digunakan maka massa kondensat yang didapat
semakin banyak dan massa refluk semakin sedikit.
4. Semakin banyak massa kondensat maka densitas yang diperoleh semakin
rendah.
5. Pada komposisi methanol 17%, 19%, 21% didapat densitas dari masing-
masing komposisi adalah 0,024 gr/ml, 0,074 gr/ml, dan 0,094 gr/ml.
6. Pada waktu 50 menit, 65 menit, dan 80 menit didapat massa kondensat
sebanyak 124,52 gr, 126,44 gr, dan 130,62 gr.
7. Pada percobaan ini didapatkan konversi pada waktu 50, 65, 80 menit
berturut-turut sebesar 32,65 %, 36,73 %, 43,88 %.
5.2 Saran
Adapun saran pada percobaan ini adalah sebagai berikut :
1. Sebaiknya sebelum praktikum dimulai, pastikan alat dan bahan yang
digunakan sudah tersedia semuanya.
2. Pada saat pengambilan etanol, pastikan masker dan sarung tangan dipakai,
karena etanol bersifat volatile (mudah menguap) dan berbau, setelah
pengambilan dilakukan etanol ditutup kembali.
DAFTAR PUSTAKA
Endrini, S. (2011). Destilasi Minyak Atsiri Daun Surian Sebagai Krim Pencegah
Gigitan Nyamuk Aedes Aegypty L. Makara Journal of Science, 15(1), 38–
42.
Mc. Cabe .W.L and Harriot. 1999. “Unit Operation of Chemical Engineering”5th
edition. Mc. Graw Hill. New York.
Suharto, M., Wibowo, A. A., & Suharti, P. H. (2020). Optimasi Pemurnian Etanol
Dengan Distilasi Ekstraktif Menggunakan Chemcad. Distilat, 6(1), 1–7.
Syaiful, Jayuska, A., & Harlia. (2015). Pengaruh Waktu Destilasi Terhadap
Komponen Minyak Atsiri Pada Daun Kesum (Polygonum minus Huds). Jkk,
4(1), 18–23.
2. 19%, volume 50 ml :
X1. V1 = X2. V2
0.96. V1 = 0,19 . 50
V1 = 9,895 ml
3. 21%, volume 50 ml :
X1. V1 = X2. V2
0.96. V1 = 0,21 . 50
V1 = 10,93 ml
1. Umpan pengenceran
23%, volume 1000 ml :
X1. V1 = X2. V2
0.96. V1 = 0,23. 1000
V1 = 239,58 ml
1. 17 %
ρ = 1,71 gr/ml
Berat picnometer = 12,64 gr
Berat picno + sampel = 15,838gr
Berat sampel = 19,04 gr – 12,64 gr = 3,198 gr
m
ρ=
V
m = ρ xV
2. 19 %
ρ = 1,72 gr/ml
Berat picnometer = 12,64 gr
Berat picno + sampel = 15,46 gr
Berat sampel = 15,46 gr – 12,64 gr = 2,82 gr
m = ρ xV
= 1,72 x 9,5 = 16,34 gr
3. 21 %
ρ = 1,73 gr/ml
Berat picnometer = 12,64 gr
Berat picno + sampel = 14,85 gr
Berat sampel = 14,85 gr – 12,64 gr = 2,21 gr
m = ρ xV
= 1,73 x 10,5 = 18,165 gr
C. Menghitung Xe
( ρ.V.X ) ethanol
Xe=
( ρ.V.X ) ethanol+ ( Vtotal-Vethanol ) ρ air
1. 17%
(1,71) (8,5) (0,024)
Xe=
(1,71) (8,5 (0,024)+ ( 50-8,5 ) 1
0,34884
= = 0,00833
0,34884+ 41,5
2. 19%
( 1,72 x 9,5 x 0,074 )
Xe=
( 1,72 x 9,5 x 0,074 ) + ( 50-9,5 ) 1
1,20916
= = 0,02899
1,20916+40,5
3. 21%
( 1,73 x 10,5 x 0,094 )
Xe=
( 1,73 x 10,5 x 0,094 ) + ( 50−10,5 ) 1
1,6262
= = 0,03950
1,6262+39,5
2. RUN II 65 Menit
Berat Kondensat = 126,44 gram
Berat Refluk = 331,52 gram
Kondensat = 1,60 gr/ml
Refluk = 1,73 gr/ml
E.1 Run I
A =B+C
469,24 gram = 344,72 + 124,52
468 gram = 469,24 gram
Jadi, pada proses distilisai pada run 1 tadak kehilangan massa.
E.2 Run II
A =B+C
344,72 gram = 331,52 + 126,44
344,72 gram = 457,96 gram
Jadi, kehilangan massa pada proses distilasi Run II sebesar 1,32 gram
E.3 Run III
A =B+C
331,52 gram = 321,80 + 130,62
331,52 gram = 462,42
Jadi, kehilangan massa pada proses distilasi Run III sebesar 1,39 gram
F. Menghitung % Konversi
massa kondensat
% konversi = x 100%
massa metanol mula-mula
Run 1, t = 50 menit
massa kondensat
% konversi = x 100%
massa metanol mula-mula
124,52
= x 100%
281,13
= 0,442 %
Run II, t = 65 menit
massa kondensat
% konversi = x 100%
massa metanol mula-mula
126,44
= x 100%
281,13
= 0,449 %
Dimana:
A = massa umpan (gram)
B = massa kondensat (gram)
C = massa refluk (gram)
I. Run I
A=B+C
490 gram = 160 gram + 290 gram
490 gram = 450 gram
= 490 – 450 gram
= 40 gram
Jadi, kehilangan massa pada proses ini adalah 40 gram, sehingga jumlah umpan
yang masuk, sama dengan yang keluar.
II. Run II
A=B+C
490 gram = 180 gram + 260 gram
490 gram = 440 gram
= 490 – 440 gram
= 50 gram
Jadi, kehilangan massa pada proses ini adalah 50 gram, sehingga jumlah umpan
yang masuk sama dengan yang keluar.
Jadi, kehilangan massa pada proses ini adalah 30 gram, sehingga jumlah umpan
yang masuk sama dengan yang keluar.
2. Menghitung neraca massa pada proses destilasi
Penyelesaian:
Persamaan umum neraca massa yaitu:
A=B+C
Dimana:
A = massa umpan (gram)
B = massa kondensat (gram)
C = massa refluk (gram)
IV. Run I
A=B+C
490 gram = 160 gram + 290 gram
490 gram = 450 gram
= 490 – 450 gram
= 40 gram
Jadi, kehilangan massa pada proses ini adalah 40 gram, sehingga jumlah umpan
yang masuk, sama dengan yang keluar.
V. Run II
A=B+C
490 gram = 180 gram + 260 gram
490 gram = 440 gram
= 490 – 440 gram
= 50 gram
Jadi, kehilangan massa pada proses ini adalah 50 gram, sehingga jumlah umpan
yang masuk sama dengan yang keluar.
Jadi, kehilangan massa pada proses ini adalah 30 gram, sehingga jumlah umpan
yang masuk sama dengan yang keluar.
LAMPIRAN D
GAMBAR ALAT
Alat Destilasi
Bola Penghisap
Corong
Untuk menutup wadah pada larutan
Alumunium Foil
Erlenmeyer
Labu Ukur
Neraca Digital
Untuk mengukur nilai massa jenis atau
densitas fluida.
Piknometer
Pipet Volume
PERCOBAAN IV
ABSORPSI
LAPORAN PRAKTIKUM PROSES TEKNIK KIMIA II
ABSORPSI
Disusun Oleh :
Kelompok V (A1)
Percobaan ini berjudul Absorbsi CO2 dengan Air. Absorbsi adalah operasi
penyerapan komponen-komponen yang terdapat di dalam gas dengan
menggunakan cairan. Tujuan dilakukannya percobaan ini untuk dapat
mengoperasikan alat absorbsi gas, serta dapat menghitung laju absorbsi gas CO 2
dalam air melalui analisis larutan yang keluar dari kolom dengan metode titrasi.
Percobaan ini dilakukan dengan mengalirkan fluida air kedalam alat Absorbsi
kemudian dialirkan CO2 dengan perbandingan laju alir CO2 sebesar 2 L/menit dan
air sebesar 2 L/ menit pada run 1. Nilai kadar CO2 yang didapat pada laju alir CO2
2 L/menit dan laju alir air 2 L/menit run 2 pada menit 15, 25, 35, 45 dan 55 adalah
sebesar 122,76(ppm), 143,4(ppm), 166,76(ppm), 203,72(ppm) dan 295,68(ppm).
Nilai kadar CO2 yang didapat pada laju alir CO2 1 L/menit dan laju alir air 2
L/menit pada menit 15, 25, 35, 45 dan 55 adalah sebesar 144,22(ppm),
210,76(ppm), 293,44(ppm), 322,08(ppm) dan 384,56(ppm). Berdasarkan
percobaan diatas dapat disimpulkan bahwa semakin lama waktu, maka semakin
besar pula kadar CO2 yang terserap.
Kata Kunci: Absorbsi, CO2, Kadar Blanko, Laju Alir, dan Titrasi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Judul Praktikum : Absorbsi
1.2 Tanggal Praktikum : 9 April 2020
1.3 Nama Pelaksana : Kelompok 5
1. Indriani (170140052)
2. Efri Marnelisa (170140067)
3. Dewi Lestari (170140122)
4. Lisa Andriani (170140136)
5. M. Firman Maulana (170140137)
6. Alfathan Anshori (170140141)
Perpindahan massa dari satu fasa ke fasa yang lain mengalami hambatan
pada kedua film dan tidak di dalam curah fasa sehingga konsentrasi didalam curah
PAG dan CAL adalah tetap (tidak tergantung pada jarak perpindahan).
Ada satu anggapan yang diperlukan dalam teori dua film yaitu bahwa tahanan
antar muka terhadap perpindahan massa sama dengan nol. Ini berarti bahwa
konsentrasi gas dan cairan pada antar muka berada dalam keadaan setimbang.
Keadaan setimbang ini biasanya dinyatakan dengan persamaan henry yang
berbentuk:
PAi = HA . CAi.........................................................................................(1)
Dimana HA adalah konstanta henry untuk komponen A.
3.1.2 Bahan-bahan
Adapun bahan yang digunakan dalam percobaan ini yaitu:
1. Gas CO2,
2. Indikator phenolphthalein (pp),
3. Larutan standar NaOH 0,0277 M,
4.1 Hasil
Adapun hasil yang diperoleh dalam percobaan ini ditunjukkan pada Tabel
4.1 dan 4.2.
Tabel 4.1 Hasil Percobaan Run I (flow rate air = 1 L/menit, flow rate CO2 = 1
L/menit)
Waktu FH2O F CO2 V Titran Kadar Efesiensi
No (Menit) (L/Menit) (L/Menit) (ml) CO2 Kadar CO2
(ppm) (%)
1. 15 1 1 30 122,76 8,13
2. 25 1 1 34,6 143,4 6,90
3. 35 1 1 40 166,76 5,86
4. 45 1 1 48,4 203,72 4,75
5. 55 1 1 60,3 295,68 3,22
Tabel 4.2 Hasil Percobaan Run II (flow rate air = 2 L/menit, flow rate CO2 = 1
L/menit)
Waktu FH2O F CO2 V Titran Kadar Efesiensi
No (Menit) (L/Menit) (L/Menit) (ml) CO2 Kadar CO2
(ppm) (%)
1. 15 2 1 39,9 144,22 6,87
2. 25 2 1 50 210,76 4,58
3. 35 2 1 68,2 293,44 3,25
4. 45 2 1 75,3 322,08 2,95
5. 55 2 1 82,5 384,56 2,48
4.3 Pembahasan
Dari percobaan yang telah dilakukan dapat dianalisa bahwa percobaan ini
bertujuan untuk menghitung laju absorpsi CO2 di dalam air melalui metode titrasi.
Absorbsi gas karbon dioksida (CO2) menggunakan kolom absorbsi jenis packing
dilakukan menggunakan pelarut (solvent) air kran yang telah diukur kadar CO2
terlarut sebelum digunakan sebagai pelarut (solvent)sebesar 3,08 ppm. Pada
percobaan ini, dilakukan 3 kali run dengan kolom packing dan variasi waktu yang
sama yaitu 15, 25, 35, 45 dan 55 menit.
4.3.1 Hubungan antara Waktu Kontak dan Laju Alir Air Terhadap Kadar
CO2 yang Diserap.
400
RUN I (Flowrate
300 Air 1
200 Liter/Menit)
RUN II
100 (Flowrate Air 1
Liter/Mmenit)
0
10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
Waktu (Menit)
Berdasarkan grafik dapat dilihat bahwa pada run I kadar CO2 yang
terabsorpsi pada waktu 15 menit sebanyak 122,76 ppm, waktu 25 menit sebanyak
143,4 ppm, pada waktu 35 menit sebanyak 166,76 ppm, pada waktu 45 menit
sebanyak 203,72 ppm dan pada waktu 55 menit sebanyak 295,68.
Pada percobaan run II, diperoleh kadar CO 2 yang terserap pada waktu 15
menit sebanyak 144,22 ppm, pada waktu 25 menit sebanyak 210,76 ppm, pada
waktu 35 menit sebanyak 293,44 ppm, pada waktu 45 menit sebanyak 322,08
ppm, dan pada waktu 55 menit sebanyak 384,56 ppm.
Hasil yang didapat menunjukkan bahwasannya semakin lama waktu kontak
maka semakin tinggi kadar gas CO2 yang terserap oleh solvent. Hal ini
dikarenakan solvent akan lebih sering bersentuhan dengan solute gas sehingga
difusi gas kedalam solvent akan lebih baik menyebabkan kadar CO2 di dalam
solvent semakin tinggi. Waktu kontak yang singkat ini menyebabkan transfer
massa yang terjadi lebih sedikit dan jumlah CO2 yang terserap juga lebih sedikit
(Fuad, 2009)
Pada run I didapat volume titran terbesar pada 55 menit yaitu sebesar 60,3
ml dengan kadar CO2 yang didapat yaitu 295,78. Pada run II didapat volume titran
terbesar pada 55 menit yaitu sebesar 82,5 ml dengan kadar CO2 yang didapat yaitu
384,56. Dan itu menunjukkan semakin besar volume titran yang didapat, maka
semakin besar kadar CO2 yang terserap oleh solvent. Hal ini dikarenakan untuk
mengetahui kadar CO2 dibutuhkan volume titran dibagi dengan volume sampel,
sehingga kadar CO2 berbanding lurus dengan volume titrasi.
4.3.2 Hubungan antara Waktu kontak dan Laju Alir Air terhadap
Efisiensi penyerapan Kadar CO2.
10
8
6
efisiensi kadar CO2
4 (%) RUN I
2 efisiensi kadar CO2
(%) RUN II
0
10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
Waktu (Menit)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Semakin besar volume titran, maka semakin besar kadar CO 2 yang
terserap. Pada run 1 volume titran terbesar adalah 60, 3 ml dan run 2 82,5
ml dengan kadar CO2 berturut-turut 295,68 ppm dan 384,56 ppm.
2. Semakin lama waktu, maka semakin besar pula kadar CO2 yang terserap.
3. Semakin besar kadar CO2 yang terserap, maka semakin kecil efisiensi
kadar CO2
4. Hasil efisiensi tertinggi terletak pada waktu 15 menit yaitu sebesar 8,13%
pada run I, dan 6,87% pada run II. Hal ini dikarenakan kinerja pada alat
absorpsi telah mengalami distribusi sempurna.
5.2 Saran
Agar efesiensi penyerapan CO2 meningkat sebaiknya air keluaran alat
jangan direcycle, karena jika terus direcycle maka akan mengalami titik jenuh
sehingga penyerapan CO2 tidak maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Altway, A., Perpindahan, L., Fti-its, J. T. K., Its, K., Arief, J., Hakim, R., & Telp,
S. (2009). Pengaruh Model Aliran Terhadap Recovery Co2 Pada Absorpsi
Gas Co2 Oleh Larutan K2Co3 Didalam Packed Column Dengan Kondisi
Non-Isothermal. Pengaruh Model Aliran Terhadap Recovery Co2 Pada
Absorpsi Gas Co2 Oleh Larutan K2Co3 Didalam Packed Column Dengan
Kondisi Non-Isothermal, 12(3), 154–160.
https://doi.org/10.14710/reaktor.12.3.154
Asdak, 1995. Transpor process and separation process principles. Edisi ke-4.
New jersey: prentice Hell.
Co, A., Campurannya, D., Ch, D., Melalui, A. N., & Kartohardjono, S. (2007).
Kontaktor Membran Serat Berongga Menggunakan Pelarut Air. Makara
Teknologi, 11(2), 97–102.
S., H, N. T., . H., & Supramono, D. (2010). Studi Absorpsi Co2 Menggunakan
Kolom Gelembung Berpancaran Jet (Jet Bubble Column). MAKARA of
Technology Series, 12(1), 31–37. https://doi.org/10.7454/mst.v12i1.520
Sylvia, N., & Hakim, L. (2018). Simulasi Aliran Kolom Absorpsi untuk Proses
Penyerapan CO 2 dengan Absorben Air menggunakan Computational
Fluid Dynamics ( CFD ) Simulation of Absorption Column Flow for CO 2
Absorption Process with Water Absorbent using Computational Fluid
Dynamics (CFD). Teknologi Kimia, 1(Mei), 1–12.
LAMPIRAN A
DATA PENGAMATAN
LAMPIRAN B
PERHITUNGAN
B.1 Run 1, flow rate air = 1 L/menit, flow rate CO2 = 2 L/menit
Kadar CO2 (blanko)
4. Waktu = 55 menit
a. Kadar CO2
¿ V.titran x N.titran x BM CO2 x 1000
Kadar CO2 = – Kadar
V Sampel
CO2 t = 45 menit
gr
60,3 ml x 0,04 N x 44 x 1000
= mol –189,2 ppm
400
= 76,12 ppm
b. Efisiensi Penyerapan CO2
Efisiensi penyerapan =
Kadar blanko
× 100%
Kadar CO2 t=55 menit - Kadar CO2 t= 45 menit
132
= × 100%
76,12 - 189,2
= -116,73%
B.2 Run 1I, flow rate air = 2 L/menit, flow rate CO2 = 1 L/menit
1. Waktu =15 menit
Kadar CO2 (blanko)
¿ V.titran x N.titran x BMCO2 x 1000
Kadar CO2 =
V Sampel
gr
39,9 ml x 0,04 N x 44 x 1000
= mol
400
= 43,56 ppm
2. Waktu = 25 menit
a. Kadar CO2
¿ V.titran x N.titran x BM CO2 x 1000
Kadar CO2 = – kadar
V Sampel
blanko
gr
50 ml x 0,04 N x 44 x 1000
= mol – 43,56
400
= 176,44 ppm
3. Waktu = 35 menit
a. Kadar CO2
¿ V.titran x N.titran x BM CO2 x 1000
Kadar CO2 = – Kadar
V Sampel
CO2 t = 25 menit
gr
68,2 ml x 0,04 N x 44 x 1000
= mol – 176,44 ppm
400
= 123,64 ppm
43,56
= × 100%
123,64 - 176,44
= -82,5%
4. Waktu = 45 menit
a. Kadar CO2
¿ V.titran x N.titran x BM CO 2 x 1000
Kadar CO2 = – Kadar
V Sampel
CO2 t = 35 menit
gr
75,3 ml x 0,04 N x 44 x 1000
= mol – 123,64 ppm
400
= -123,31 ppm
b. Efisiensi Penyerapan CO2
Kadar blanko
Efisiensi penyerapan =
Kadar CO2 t=4 5 menit - Kadar CO2 t=35 menit
× 100%
43,56
= × 100%
- 123, 31 - 123,64
= -17,64%
5. Waktu = 55 menit
a. Kadar CO2
¿ V.titran x N.titran x BM CO2 x 1000
Kadar CO2 = – Kadar
V Sampel
CO2 t = 45 menit
gr
82,5 ml x 0,04 N x 44 x 1000
= mol – (-123,31)
400
ppm
= 486,31ppm
b. Efisiensi Penyerapan CO2
Kadar blanko
Efisiensi penyerapan =
Kadar CO2 t=55 menit - Kadar CO 2 t=45 menit
× 100%
43,56
= × 100%
486,31 - (-123,31)
= 7,15%
LAMPIRAN C
GAMBAR ALAT
No. Nama Fungsi
1.
Sebagai alat untuk mengukur
volume larutan, mulai dari volume
10ml hingga 2L.
Gelas Ukur
2.
Untuk mencampur, mengukur dan
menyimpan cairan.
Erlenmeyer
3.
Untuk memindahkan volume cairan
yang telah terukur.
Pipet Tetes
4.
Untuk titrasi dengan presisi tinggi,
atau bisa juga untuk mengukur
volume suatu larutan.
Buret
5.
Alat yang digunakan untuk
menyedot larutan, yang biasanya
dipasang pada pangkal pipet.
Filler
6.
Untuk memindahkan larutan secara
terukur sesuai dengan volume.
Pipet Volume
7.
Alat yang digunakan untuk proses
absorbsi
Alat Absorbsi
PERCOBAAN V
SEDIMENTASI
LAPORAN PRAKTIKUM PROSES TEKNIK KIMIA II
SEDIMENTASI
Disusun Oleh :
Kelompok V (A1)
Dalam industri yang digunakan adalah air jernihnya untuk air proses
maupun air produksi biasanya untuk mempercepat pengendapan ditambahkan
juga koagulan, prosesnya yaitu mengikat butiran kapur menjadi flok – flok
sehingga akan lebih cepat jatuh karena semakin besar flok maka akan semakin
besar juga gaya grafitasi yang berpengaruh pada proses pengendapan tersebut.
Fg = m . g ………………………………………….…………………..(1)
b. Gaya Apung
Gaya apung terjadi jika massa jenis partikel lebih kecil dari massa jenis
fluida. Sehingga partikel padatan berada pada permukaan cairan.
Fa = Mf . g ………………………….………………………………...(2)
c. Gaya Dorong
Gaya dorong terjadi pada saat larutan dipompakan ke dalam tabung
klarifier. Larutan ini akan terdorong pada ketinggian tertentu. Gaya dorong dapat
juga kita lihat pada saat mulai turunya partikel padatan karena adanya gaya
Gravitsi, maka fluida akan memberikan gaya yang besarnya sama dengan berat
padatan itu sendiri. Gaya inilah yang disebut gaya dorong dan juga gaya yang
memiliki arah yang berlawanan dengan gaya gravitasi.
Suatu partikel yang mengendap dalam air karena adanya gaya gravitasi
akan mengalami percepatan sampai gaya dari tahanan dapat mengimbangi gaya
gravitasi, setelah terjadi kesetimbangan partikel akan terus mengendap pada
kecepatan kostan yang dikenal sebagai kecepatan akhir atau kecepatan
pengendapan bebas. Laju pengendapan lumpur berbeda-beda satu sama lainnya,
demikian pula tinggi relatif berbagai zona pengendapanya. Untuk menentukan
karakteristik pengendapanya secara teliti, setiap lumpur itu harus diperiksa
dengan melakukan eksperimen terhadap masing-masingnya (Mc.Cabe,1999).
Berat jenis fluida lebih besar dari pada berat jenis partikel padatannya,
maka laju pengendapanya lamban. Begitu juga sebaliknya, semakin besar berat
jenis partikel maka laju pengendapannya cepat. Laju pengendapan sangat
dipengaruhi oleh viskositas dimana viskositas sangat berkaitan erat dengan suhu
yang ada. Bila temperatur tinggi maka viskositas menurun sehingga bentuk dan
ukuran partikel semakin kecil sehingga laju pengendapan cepat. Aliran dalam bak
pengendapan akan mempengaruhi laju endapan. Pada aliran laminer laju
pengendapan cepat sedangkan pada aliran turbulen laju pengendapan akan sangat
terganggu maka akan sangat lambat mengendap.
a. Padatan kasar
Fd = Cd . Ap ……………………………………………(4)
b. Padatan halus
Padatan halus adalah padatan yang tidak dapat dipisahkan dengan cara
pengandapan yang sederhana didalam waktu yang relatif singkat atau tidak
mempunyai peralatan pengendap yang dapat beroperasi secara komersial
mekanisme penggerak (rake) yang dipasang pada dasar tangki pengendap agar
dapat mempermudah pengumpulan suspensi pekat dari dasar tangki.
2.6 Flokulasi
Flokulasi adalah proses penggabungan muatan positif dan negatif
sehingga membentuk muatan yang lebih besar dengan tujuan menetralisir muatan
yang ada pada partikel itu. Banyak yang terdiri dari partikel yang mempunyai
muatan listrik karena adanya gaya saling tolak antara muatan yang sama,
cenderung selalu terdispersi. Jika kita tambahkan elektrolit, maka ion yang
terbentuk di dalam larutan itu akan menetralisir muatan partikel tadi. Partikel itu
lalu dapat dialogmerasikan menjadi flok – flok yang masing-masingnya terdiri
dari banyak pertikel. Bila partikel semula bermuatan negatif, kation elektrolit
itulah yang efektif dan bila muatanya negatif, maka anion yang aktif. Metode
lain untuk flokulasi mencakup pengunaan bahan aktif permukaan dan
penambahan bahan, seperti perekat gamping, alumina atau natrium sillikat, yang
menyeret partikel itu turun bersamanya (Brown,1991) .
a. Penjernihan (clarifier)
b. Pemekatan (Thickener)
Thickener adalah peningkatan konsentrasi atau konsentrasi zat padat dari
campuran yang memiliki zat padat yang relatif banyak (15-30%), dan biasanya
hasil padatnya yang diperlukan.
a. Hukum Newton I
Suatu benda akan tetap bergerak dalam kecepatan tetap atau diam bila
jumlah gaya yang berkerja pada benda sama dengan nol.
F = 0………………………………………………………..……………(5)
b. Hukum Newton II
Gaya yang berkerja pada suatu benda akan berbanding lurus dengan
massa benda dan sebanding dengan percepatan pada benda,
F = m. a……………………………………………...………………….(6)
c. Hukum Newton III
Suatu gaya sebetulnya adalah hasil interaksi dari dua benda tapi arahnya
berlawanan.
Faksi = Freaksi…..……………………………………...……………….(7)
Laju pengendapan partikel –partikel dalam air tergantung pada berat jenis,
bentuk dan ukuran atau dari partikel tersebut dan viskositas cairan yang
digunakan. Adanya penambahan zat uji kemungkinan besar mempengaruhi laju
pengandapan sehingga dapat ditentukan zat uji yang dapat mempercepat laju dari
pengendapan sehingga dapat ditentukan lajunya dan mengetahui pengaruh zat uji
tersebut. Dimana dilakukan penganbilan sample tiap selang waktu tertentu dan
menimbang berat endapan serta menghitung berapa konsentrasi endapan yang
terjadi, sehingga kita dapat membandingakan kecepatan laju pengendapan dari
tiap gerakan pada partikel pada fluida dalam proses yang pengendapannya terjadi.
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1 Alatdan bahan
3.1.1 Alat-alat
Adapun alat-alat yang digunakan sebagai berikut:
1. Beaker glass 1000 ml
2. Gelas ukur 1000 ml
3. Penggaris
4. Pengaduk
5. Stopwatch
3.1.2 Bahan-bahan
Adapun bahan-bahan yang digunakan sebagai berikut:
1. Tepung Terigu
2. Air
3. Pewarna
4.1 Hasil
Adapun hasil pengamatan yang diperoleh dari percobaan sedimentasi yang
telah dilakukan dapat dilihat pada Tabel 4.1.
60 90 120 60 90 120
1. 0 12 12 12 12 12 12
7. 12 1,8 4 5 2,5 4 5
8. 14 - - 5 - - 5
9. 16 - - - - - 5
1 0 60 0 90 0 120
2 0,125 68,57 0,1 83,33 0,063 130,9
3 0,417 130,9 0,15 100 0,094 151,57
4 0,167 205,71 0,25 150 0,1 182,27
5 0,083 288 0,167 225 0,112 236,81
6 0 288 0 225 0,038 261,81
7 0 288 0 225 0,031 288
8 - - - - 0 288
9 - - - - 0 288
4.2 Pembahasan
4.2.1 Hubungan Interface (z) terhadap Waktu (t) pada Beaker Glass
14
12
10
Tinggi Endapan (cm)
8
Co 120
6
Co 90
4 Co 60
0
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Waktu (menit)
Grafik 4.1 Hubungan Interface (z) terhadap Waktu (t) pada Beaker Glass
Dari grafik diatas dapat diketahui bahwa semakin lama waktu maka tinggi
endapan yang didapat semakin besar sehingga waktu pengendapan semakin lama.
Semakin lama waktu pengendapan maka tinggi antar muka semakin berkurang
dan berangsur angsur mencapai zona jernih, hal ini disebabkan pemampatan atau
kompresi pada endapan yang mempunyai luas permukaan lebih besar. Semakin
besar luas permukaan maka endan yang diperoleh semakin kecil.
4.2.2 Hubungan Interface (z) terhadap waktu (t) pada Gelas Ukur
Pada konsentrasi 90 gr pada selang waktu 2 menit endapan tepung lama
kelamaan akan semakin turun, tinggi endapan nya yaitu 10,5 cm, dan untuk selang
waktu 12 menit berikutnya tinggi endapan yang dihasilkan adalah 2,5 cm. Pada
konsentrasi 90 gr pada selang waktu 2 menit dihasilkan tinggi endapan yaitu 10,8
cm dan untuk selang waktu 10 menit tinggi endapan yang dihasilkan adalah 4 cm.
Pada konsentrasi 120 gr pada selang waktu 2 menit tinggi endapan yang
dihasilkan adalah 11 cm dan pada selang waktu 12 menit tinggi endapan yang
dihasilkan adalah 5 cm. Berikut merupakan grafik hubungan antara interface (z)
terhadap waktu (t) pada Gelas Ukur.
14
12
10
Tinggi Endapan (cm)
8
Co 120
6
Co 90
4 Co 60
0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18
Waktu (menit)
Grafik 4.2 Hubungan antara interface (z) terhadap waktu (t) pada Gelas
Ukur.
Berdasarkan grafik diatas, dapat disimpulkan bahwa tinggi endapan pada
gelas ukur lebih tinggi dibandingkan pada beaker glass, hal ini dikarenakan luas
permukaan gelas ukur lebih kecil dibandingkan beaker glass. Semakin besar luas
permukaan suatu wadah maka endapan yang diperoleh akan semakin kecil, begitu
juga sebaliknya.
V vc C
350
300
250
V (cm/min)
200 60
150 90
120
100
50
0
0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 0.14 0.16
C (gr/l)
V vs C
350
300
250
V (cm/min)
200 60
150 90
120
100
50
0
0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12
C (gr/l)
5.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan untuk percobaan ini adalah sebaiknya
dilakukan percobaan dengan variasi sampel dengan ukuran partikel yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Diketahui : C0 = 60 gr/L
Z0 = 12 cm
t = 12 menit
Diketahui : C0 = 60 gr/L
Z0 = 12 cm
t = 12 menit
Tugas :
1. Hubungan antara Z terhadap t !
2. Hubungan antara v terhadap Co !
Jawab :
1. Hubungan Antara Z terhadap t
1.1 Hubungan Interface (z) terhadap Waktu (t) pada Beaker Glass
14
12
10
Tinggi Endapan (cm)
8
Co 120
6
Co 90
4 Co 60
0
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Waktu (menit)
1.2 Hubungan antara interface (z) terhadap waktu (t) pada Gelas Ukur
14
12
10
Tinggi Endapan (cm)
8
Co 120
6
Co 90
4 Co 60
0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18
Waktu (menit)
V vc C
350
300
250
V (cm/min)
200 60
150 90
120
100
50
0
0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 0.14 0.16
C (gr/l)
2.2 Hubungan Laju Pengendapan (V) Terhadap Konsentrasi (C) pada Gelas Ukur
V vs C
350
300
250
V (cm/min)
200 60
150 90
120
100
50
0
0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12
C (gr/l)
LAMPIRAN D
GAMBAR ALAT
1. Beaker Glass 2. Gelas Ukur
3. Ember 4. Pengaduk
5. Penggaris
PERCOBAAN VI
EKSTRAKSI
LAPORAN PRAKTIKUM PROSES TEKNIK KIMIA II
EKSTRAKSI
Disusun Oleh:
Kelompok V (A1)
Kata Kunci: Daun Pandan, Destilasi, Ekstraksi, Etanol, dan Minyak Atsiri.
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara agraris yang kaya akan sumber daya alam yang
bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, misalnya pemanfaatan
tanaman sebagai bahan baku produk makanan, kosmetik, dan obat-obatan. Salah
satunya adalah pemanfaatan tanaman sebagai bahan baku dalam pembuatan
minyak wangi. Hasil penelitian menyebutkan bahwa tanaman tertentu
mengandung minyak yang mudah menguap dan berbau khas sesuai tanaman
penghasilnya. Minyak tersebut dinamakan minyak volatil (mudah menguap) atau
yang terkenal dengan nama minyak atsiri (Adiyasa, 2014).
2.1 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan proses pemisahan suatu komponen dari suatu
campuran berdasarkan proses distribusi terhadap dua macam pelarut yang tidak
saling bercampur. Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak substansi
yang diinginkan tanpa melarutkan material lainnya. Ekstraksi dapat dilakukan
dengan berbagai cara. Ekstraksi pelarut umumnya digunakan untuk memisahkan
sejumlah gugus yang diinginkan dan mungkin menggunakan gugus pengganggu
dalam analisa secara keseluruhan. Kadang gugus pengganggu ini diekstraksi
secara selektif.
Ekstraksi menggunakan pelarut berdasarkan pada kelarutan komponen
terhadap komponen lain dalam campuran. Ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan
zat murni atau beberapa zat murni dari suatu campuran yang disebut sebagai
pemurnian dan untuk mengetahui keberadaan zat dalam suatu sampel (analisa
labolatorium). Karena itu pelarut yang digunakan harus memiliki selisih titik didih
yang lebih besar dari zat yang diekstraksi sehingga lebih mudah dalam melakukan
pemisahan. Hasil dari ekstraksi berupa ekstrak (cair maupun kental).
Sebelum melakukan ekstraksi terlebih dahulu harus mengetahui sifat-sifat
minyak atsiri diantaranya:
1. Tersusun oleh bermacam-macam komponen senyawa,
2. Memiliki bau khas,
3. Dalam keadaan murni mudah menguap dalam suhu kamar,
4. Indeks bias umumnya tinggi,
5. Berat jenis lebih kecil dari pada air,
6. Sangat mudah larut dalam pelarut organik,
7. Pada umumnya tidak bias larut dalam air, tetapi cukup dapat larut hingga
dapat memberikan baunya kepada air walaupun kelarutanya sangat kecil,
8. Pada umunya bersifat optis.
(Yoga, 2009).
2. Pelarut
Jenis pelarut yang digunakan merupakan factor penting dalam ekstraksi.
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah daya yang melarutkan oleoresin, titik
didih, toksisitas, mudah tidaknya terbakar dan sifat korosif. etanol merupakan
pelarut yang baik untuk mengekstrak oleoresin jahe daripada aseton.
Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus memiliki sifat yaitu :
a. Mampu memberikan kemurnian yang tinggi (selektivitas tinggi);
b. Stabil tetapi inert;
c. Mempunyai viskositas, tekanan uap, dan titik beku yang rendah untuk
memudahkan operasi dan keamanan penyimpanan;
d. Tidak beracun dan tidak mudah terbakar;
e. Tidak merugikan dari segi ekonomis.
3. Suhu Ekstraksi
Pada umumnya kelarutan solute yang diekstrak akan bertambah besar
dengan bertambah tingginya suhu. Dengan meningkatkan suhu, difusi yang terjadi
juga semakin besar, sehingga proses ekstraksi juga akan berjalan lebih cepat.
Akan tetapi dalam meningkatkan suhu operasi juga perlu diperhatikan, karena
suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada bahan yang sedang
diproses sehingga akan menyebabkan minyak atsiri menguap dan mengalami
oksidasi sehingga timbul tengik. Proses ekstraksi selama 3 jam dengan suhu 40oC
memberikan perlakuan terbaik pada oleoresin jahe dibandingkan lama ekstraksi 1
jam pada suhu 60oC terhadap parameter rendemen, kadar minyak atsiri, indeks
bias dan sisa pelarut.
4. Waktu
Waktu juga mempengaruhi proses ekstraksi. Semakin lama waktu
ekstraksi, kesempatan untuk bersentuhan makin besar sehingga hasilnya juga
bertambah sampai titik jenih larutan), ekstraksi akan lebih cepat dilakukan pada
suhu tinggi, tetapi pada batas tertentu. Namun jumlah ekstrak akan menjadi
konstan ketika tercapai kondisi ekuilibrium atau ketika semua ekstrak pandan
telah terekstrak. Hal ini dapat mengakibatkan beberapa komponen yang terdapat
dalam rempah akan mengalami kerusakan.
5. Agitasi
Pengadukan berperan untuk mempercepat perpindahan massa dari
permukaan partikel ke dalam larutan dan mencegah terjadinya pengendapan.
Selain itu pengadukan juga mencegah terjadinya pengendapan.
1. Hydrocarbon
Senyawa yang termasuk dalam golongan initerbentuk dari unsur hidrogen
(H) dan karbon (C).
2. Oxygenated Hydorcarbon
Senyawa yang termasuk dalam golongan ini terbentuk dari unsur hidrogen
(H), karbon (C), dan oksigen (O).
3. Komponen-komponen lainnya
Senyawa lainnya seperti asam, lacones, senyawa belerang dan nitrogen.
3.1.2 Bahan-bahan
Adapun bahan-bahan yang digunakan pada percobaan ini sebagai berikut:
1. Daun pandan 200 gram
2. Etanol 400 ml
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Adapun hasil yang diperoleh dari percobaan ini dapat dilihat pada Tabel
4.1 dan Tabel 4.2.
4.2 Pembahasan
Praktikum ini bertujuan untuk mengekstraksi suatu zat atau senyawa
dengan menggunakan pelarut, bahan baku yang digunakan adalah daun pandan.
Adapun langkah awal yang dilakukan yaitu proses pengeringan daun pandan
menggunakan oven dengan tujuan untuk menghilangkan kadar air yang
terkandung di dalam daun pandan tersebut. Kemudian daun pandan tersebut
dihaluskan dengan blender agar memperluas permukaan kontak, karena operasi
ekstraksi solid-liquid akan berlangsung dengan lebih baik bila diameter partikel
tersebut diperkecil. Begitu pula hambatan difusinya menjadi kecil sehingga laju
difusinya bertambah (Treyball, 1979). Pada percobaan ini pelarut yang digunakan
pada proses ekstraksi yaitu etanol sebanyak 400 ml, etanol berfungsi sebagai
pelarut untuk melarutkan minyak atsiri dalam zat-zat yang terkandung lainnya
pada daun pandan karena pelarut yang biasanya digunakan memiliki titik didih
rendah tetapi tetap di atas temperatur operasi ekstraksi (Mc. Cabe, 1983).
Ekstrak etanol daun pandan berwarna hijau kecoklatan, berbentuk kental,
dan berbau khas pandan yang sangat tajam. Warna kehijauan diduga karena
sebagian klorofil ikut terekstrak, dan selama proses evaporasi mengalami
kerusakan. Menurut Dalimartha (2002) kandungan senyawa kimia daun pandan di
antaranya alkaloida, saponin, flavonoid, polifenol yang berfungsi sebagai
antioksidan alami, dan zat pewarna pada ekstrak. Warna kuning kecoklatan
sampai coklat tua pada ekstrak pandan berasal dari senyawa pewarna polar alami
(kuning kecoklatan) yang ikut terekstrak terutama dari senyawa polifenol seperti
tanin, melanin, lignin dan kuinon serta sebagian kecil alkaloida berwarna. Pigmen
kuinon yang terdapat pada tanaman memiliki warna mulai dari kuning sampai
coklat tua.
Kekentalan ekstrak disebabkan karena selama proses evaporasi pelarut
yang digunakan untuk ekstraksi teruapkan. Setelah pelarut teruapkan maka hanya
tersisa solute yang berbentuk semi padat dan minyak atsiri. Ekstrak etanol berbau
pandan yang sangat tajam sedangkan fraksi heksan dan fraksi etil asetat hanya
sedikit berbau pandan. Hal ini disebabkan karena pandan mengandung minyak
atsiri dan senyawa aromatik yang bersifat volatil atau mudah menguap sehingga
pandan memiliki aroma khas yang kuat. Daun pandan mempunyai aroma khas
yang diduga berasal dari senyawa turunan asam amino fenil alanin yaitu 2-acetyl-
1-pyrroline. Komponen 2-asetil-1-pirolin (2 AP) merupakan komponen yang
sangat larut pada air dan alkohol sehingga pada ekstrak etanol daun pandan
diduga banyak terekstrak senyawa 2-asetil-1-pirolin (2 AP) sehingga berbau khas
pandan (Suryani, 2017).
Percobaan ini dilakukan dengan dua tahapan yaitu tahap pertama ekstraksi
dan tahap kedua destilasi. Tahap ekstraksi bertujuan untuk mengambil komponen
terlarut dalam suatu padatan dengan menggunakan pelarut dengan suhu yang
digunakan yaitu 60C selama 180 menit. Tahap selanjutnya yaitu proses destilasi
tujuannya untuk menguapkan dan mengkondensasikan etanol dengan minyak
yang masih bercampur, dengan suhu yang digunakan adalah 105C selama 60
menit.
Rendemen yang diperoleh dari percobaan ini adalah 46,21 %, karena
adanya kandungan air yang tidak terpisahkan secara sempurna sehingga diperoleh
rendemen yang lebih banyak. Densitas yang diperoleh dari percobaan ini adalah
0,9532 gr/ml diperoleh dengan menggunakan alat piknometer berukuran 5 ml.
Minyak atsiri yang diperoleh bewarna hijau kehitaman. Hasil yang diperoleh
disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu jenis metode destilasi
yang dilakukan, ukuran bahan, jenis bahan, lamanya proses distilasi, besarnya
tekanan serta mutu uap yang telah dilakukan.
Hasil dari percobaan ini, rendemen yang diperoleh yaitu 46,21 % dan
densitasnya adalah 0,9532 gr/ml, hasil ini diperoleh dengan menggunakan alat
piknometer berukuran 5 ml. Menurut Nugraheni (2012), pada umumnya berat
jenis minyak atsiri pada suhu 25˚C berkisar antara 0,696-1,188 gr/ml.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan diperoleh kesimpulan yaitu sebagai berikut:
1. Rendemen yang diperoleh pada percobaan ini adalah 46,21 %.
2. Densitas minyak atsiri daun daun pandan dari hasil percobaan ini yaitu
0,9532 gr/ml.
3. Warna minyak atsiri yang diperoleh dari percobaan ini adalah hijau
kecoklatan.
5.2 Saran
Adiyasa, Wayan, dkk. 2014. Karakteristik Minyak Atsiri Daun Pandan Wangi
(Pandanus amaryllifolius Roxb.) Hasil Perlakuan Lama Curing dan Lama
Ekstraksi. Bali: Universitas Udayana.
Kurniawan, dkk. 2008. Ekstraksi Minyak Kulit Jeruk dengan Metode Distilasi,
Pengepresan dan Leaching. Surabaya: Universitas katolik Widya
Mandala.
Treyball, R.E. 1979. Operasi Perpindahan Panas, Edisi ke-3. Tokyo: Mc Graw
Hill Book Kogakusha.
Wibawa, Ida, dkk. 2014. Karakteristik Absolut Minyak Atsiri Daun Pandan
Wangi (Pandanus Amaryllifolius Roxb.) Hasil Proses Re-ekstraksi
Concrete dengan Etanol. Bali: Universitas Udayana.
Yoga, Raditya. 2009. Isolasi dan Uji Antiradikal Bebas Minyak Atsiri pada Daun
Sirih (Piper betle Linn) Secara Spektroskopi Ultra Violet Tampak. Jurnal
Kimia. 3(1):7-13. Bukit Jimbaran (ID): Universitas Udayana Press.
LAMPIRAN B
PERHITUNGAN
1. Tahap Ekstraksi
a. Berat sampel = 200 gram daun pandan
b. Pelarut = 400 ml
c. Suhu = 60oC
d. Waktu = 180 menit
2. Tahap Destilasi
a. Suhu = 105˚C
b. Waktu = 60 menit
3. Tahap Analisa
a. Rendemen
Erlenmeyer kosong = 102,13 gram
Erlenmeyer + minyak pandan = 194,56 gram
Berat minyak pandan = 194,56 gr – 102,13 gr
= 92,43 gram
berat minyak pandan
Rendemen = x 100%
berat sampel
92,43 gram
= x 100%
200 gram
= 46,21 %
massa
ρ =
volum
23,83 gram
=
25 ml
= 0,9532 gr/ml
LAMPIRAN C
PERHITUNGAN
GAMBAR ALAT FUNGSINYA
Alat Pemanas
Erlenmeyer
Piknometer
Kondensor
Digunakan dalam proses destilasi.
Oven
Termometer
Gelas Ukur