Anda di halaman 1dari 255

LAPORAN PRAKTIKUM MS3133 PERPINDAHAN PANAS DAN MASSA

Modul 1 Linear Heat Conduction

DISUSUN OLEH :

1. Imam Sulistiyo (118170035)

2. Fernando Loe Pebriantoro (118170027)

3. Bayu Prastio (118170074)

4. Indra Anggi Sitanggang (118170012)

5. Muhammad Ryan Mahendra. P (118170107)

6. Bastian Roni Petrus Manurung (118170094)

7. Raden Achmad Fachrozi (17117092)

LABORATORIUM KONVERSI ENERGI


PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN
INSTITUT TEKNOLOGI SUMATERA
2020
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi

INSTITUT TEKNOLOGI SUMATERA

Jalan Terusan Ryacudu, Desa Way Hui, Kecamatan Jati Agung,


Lampung Selatan 35365 Telepon:(0721) 8030188, Email:
pusat@itera.ac , Website: http://www.itera.ac.id

LEMBAR ASISTENSI

Nama : 1. Imam Sulistiyo (118170035)

2. Fernando Loe Pebriantoro (118170027)

3. Bayu Prastio (118170074)

4. Indra Anggi Sitanggang (118170012)

5. Muhammad Ryan Mahendra. P (118170107)

6. Bastian Roni Petrus Manurung (118170094)

7. Raden Achmad Fachrozi (17117092)

Kelompok :4

Modul : (Modul 1) (Linear Heat Conduction)

NO TANGGAL KETERANGAN PARAF


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.1 Latar Belakang


Perpindahan kalor dari suatu zat ke zat lain seringkali terjadi dalam
industri proses. Pada kebanyakan pengerjaan, diperlukan pemasukan atau
pengeluaran kalor, untuk mencapai dan mempertahankan keadaan yang
dibutuhkan sewaktu proses berlangsung. Kondisi pertama yaitu mencapai
keadaan yang dibutuhkan untuk pengerjaan, terjadi umpamanya bila
pengerjaan harus berlangsung pada suhu tertentu dan suhu ini harus dicapai
dengan jalan pemasukan atau pengeluaran kalor.
Kondisi kedua yaitu mempertahankan keadaanyang dibutuhkan untuk
operasi proses, terdapat pada pengerjaan eksoterm dan endoterm. Disamping
perubahan secara kimia, keadaan ini dapat juga merupakan pengerjaan
secara alami. Dengan demikian, Pada pengembunan dan penghabluran
(kristalisasi) kalor harus dikeluarkan. Pada penguapan dan pada umumnya
juga pada pelarutan, kalor harus dimasukkan. Hukum alam menyatakan
bahwa kalor adalah suatu bentuk energi.
Bila dalam suatu sistem terdapat gradien suhu, atau bila dua sistem yang
suhunya berbeda disinggungkan,maka akan terjadi perpindahan energi.
Proses ini disebut sebagai perpindahan panas (Heat Transfer). Dari titik
pandang teknik (engineering), Analisa perpindahan panas dapat digunakan
untuk menaksir biaya,kelayakan, dan besarnya peralatan yang diperlukan
untuk memindahkan sejumlah panas tertentu dalam waktu yang ditentukan.
Ukuran ketel, pemanas, mesin pendingin, dan penukar panas tergantung
tidak hanya pada jumlah panas yang harus dipindahkan, tetapi terlebih-lebih
pada laju perpindahan panas pada kondisi-kondisi yang ditentukan.
Beroperasinya dengan baik komponen-komponen peralatan, seperti
misalnya sudu-sudu turbin atau dinding ruang bakar, tergantung pada
kemungkinan pendinginan logam-logam tertentu dengan membuang panas
secara terus menerus pada laju yang tinggi dari suatu permukaan.
1.1.2 Tujuan Praktikum
Adapun tujuan dari praktikum linear heat conduction adalah sebagai
berikut :
a. Mahasiswa dapat merangkai dan mengoperasikan peralatan linear heat
conduction.
b. Mahasiswa dapat memahami aplikasi dari teori perpindahan panas secara
konduksi.
c. Mahasiswa mengetahui sifat-sifat bahan dalam perpindahan panas.
d. Mahasiswa dapat mengetahui besarnya gradient di setiap bagian
penampang dan seluruh penampang.
BAB II
LANDASAN TEORI

1.2.1 Perpindahan Panas


Perpindahan panas terjadi karena perbedaan suhu yang terdapat pada
suatu benda. Perpindahan panas dapat berlangsung melalui salah satu dari
tiga cara yaitu konduksi, radiasi, konveksi. Perpindahan panas seketika ini
selalu dalam arah yang cenderung menyamakan suhu. jika hal tersebut
dibiarkan maka suhu keduanya akan sama dan keduanya dikatakan dalam
keadaan kesetimbangan termal dan tidak terjadi perpindahan panas diantara
keduanya (Idawati Supu, 2016).

1.2.2 Perpindahan Panas Secara Konduksi


Dalam proses perpindahan panas secara konduksi terdapat laju
hantaran kalor. Laju hantaran kalor menyatakan seberapa cepat panas
dihantarkan melalui medium itu. Terdapat besaran-besaran yang
mempengaruhi dalam laju hantaran panas yaitu luas permukaan benda,
panjang atau tebal benda, perbedaan suhu antar ujung benda dan juga
dipengaruhi oleh suatu besaran k yang disebut konduktivitas termal.
Laju perpindahan panas yang terjadi pada perpindahan panas
konduksi adalah berbanding dengan gradient suhu normal sesuai dengan
hukum Fourier dan merupakan persamaan dasar konduksi. Sampai saat ini
banyak percobaan laju hantaran kalor konduksi hanya menghitung dengan
menggunakan persamaan yang sudah diketahui. Untuk percobaan yang
menemukan konsep laju hantaran kalor konduksi masih kurang
dikembangkan, selain itu pada percobaan yang banyak dilakukan sumber
panas yang digunakan tidak memberikan distribusi suhu yang merata pada
material. Misalnya saat penggunaan pembakar spiritus sebagai sumber
panas, maka distribusi suhu yang diterima pada permukaan material tidak
merata.
Gambar 1.2.1 Perpindahan panas secara konduksi

Konsep yang ada pada konduksi merupakan suatu aktivitas atomik dan
molekuler. Sehingga peristiwa yang terjadi pada konduksi adalah
perpindahan energi dari partikel yang lebih energetik (molekul yang lebih
berenergi atau bertemperatur tinggi) menuju partikel yang kurang energetik
(molekul yang kurang berenergi atau bertemperatur lebih rendah), akibat
adanya interaksi antara partikel-partikel tersebut. Proses perpindahan panas
secara konduksi pada steady state melalui dinding datar suatu dimensi
seperti ditunjukkan pada Gambar 1.2.2.

Gambar 1.2.2 Perpindahan panas konduksi pada bidang datar

Persamaan laju konduksi dikenal dengan Hukum Fourier (Fourier Law of


Heat Conduction) tentang konduksi, yang persamaan matematikanya
dituliskan sebagai berikut :

………………………..(1)

Dimana:
= Laju perpindahan panas konduksi (W)
k = Konduktivitas thermal bahan (W/m.K)
A = Luas penampang tegak lurus terhadap arah aliran panas (m)

= Gradien temperatur pada penampang tersebut (K/m)

Tanda (-) diselipkan agar memenuhi hukum Thermodinamika II, yang


menyebutkan bahwa, panas dari media bertemperatur lebih tinggi akan
bergerak menuju media yang bertemperatur lebih rendah (Intan Nurul
Rokhimi, 2015).

1.2.3 Suhu/Temperatur
Suhu merupakan ukuran atau derajat panas atau dinginnya suatu benda
atau sistem. Suhu di definisikan sebagai suatu besaran fisika yang dimiliki
bersama antara dua benda atau lebih yang berada dalam kesetimbangan
termal. Jika panas dialirkan pada suhu benda, maka suhu benda tersebut
akan turun jika benda yang bersangkutan kehilangan panas. Akan tetapi
hubungan antara satuan panas dengan satuan suhu tidak merupakan suatu
konstanta, karena besarnya peningkatan suhu akibat penerimaan panas
dalam jumlah tertentu akan dipengaruhi oleh daya tampung panas (heat
capacity) yang dimiliki oleh benda penerima tersebut.
Suatu benda yang dalam keadaan panas dikatakan memiliki suhu yang
tinggi, dan sebaliknya, suatu benda yang dalam keadaan dingin dikatakan
memiliki suhu yang rendah. Perubahan suhu benda, baik menjadi lebih
panas atau menjadi lebih dingin biasanya diikuti dengan perubahan bentuk
atau wujudnya. Misalnya, perubahan wujud air menjadi es batu atau uap air
karena pengaruh panas atau dingin.
Sejumlah es batu yang dipanaskan akan berubah wujud menjadi air.
Bila terus-menerus dipanaskan, maka pada suatu ketika (ketika telah
mencapai titik didih) air akan mendidih dan berubah wujud menjadi uap air
atau gas. Proses sebaliknya terjadi mana kala air yang berada dalam bentuk
gas atau uap air didinginkan, maka akan kembali ke bentuk cair, dan ketika
terus didinginkan, maka pada saat tertentu (ketika telah mencapai titik beku)
air akan membeku dan kembali berwujud padat yaitu es batu (Idawati Supu,
2016).
1.2.4 Pengukur Temperatur/Suhu
Termometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur suhu sebuah
benda. Termometer bekerja dengan memanfaatkan perubahan sifat
termometrik suatu benda ketika benda tersebut mengalami perubahan suhu.
Perubahan sifat termometrik suatu benda menunjukkan adanya perubahan
suhu benda, dan dengan melakukan kalibrasi atau peneraan tertentu
terhadap sifat termometrik yang teramati dan terukur, maka nilai suhu benda
dapat dinyatakan secara kuantitatif. Tidak semua sifat termometrik benda
yang dapat dimanfaatkan dalam pembuatan termometer.
Sifat termometrik yang dapat digunakan dalam pembuatan
termometer harus merupakan sifat termometrik yang teratur. Artinya,
perubahan sifat termometrik terhadap perubahan suhu harus bersifat tetap
atau linier, sehingga peneraan skala termometer dapat dibuat lebih mudah
dan termometer tersebut nantinya dapat digunakan untuk mengukur suhu
secara teliti. Berdasarkan sifat termometrik yang dimiliki suatu benda, jenis-
jenis termometer diantaranya termometer zat cair, termometer gas,
termometer hambatan, termokopel, pirometer, termometer bimetal, dan
sebagainya. Sedangkan berdasarkan hasil tampilan pengukurannya,
termometer dibagi menjadi termometer analog dan termometer digital

Gambar 1.2.3 Skema berbagai termometer, (a) termometer raksa (alkohol)


dalam pipa, (b) termometer gas volume konstan, (c) termometer hambatan
platina

Untuk dapat mengkuantitatifkan hasil pengukuran suhu dengan


menggunakan termometer maka diperlukan angka-angka dan skala-skala
tertentu. Penetapan skala yang terpenting adalah penetapan titik tetap bawah
dan titik tetap atas sebagai titik acuan pembuatan skala-skala dalam
termometer. Untuk penetapan titik tetap bawah sebuah termometer pada
umumnya dipilih titik beku air murni pada tekanan normal, yaitu suhu
campuran antara es dan air murni pada tekanan normal. Sedangkan
penetapan titik tetap atas sebuah termometer umumnya dipilih titik didih air
murni, yaitu suhu ketika air murni mendidih pada tekanan normal.
Setidaknya terdapat empat macam skala termometer yang biasa digunakan,
yaitu Celcius, Reamur, Fahrenheit, dan Kelvin. Titik tetap bawah untuk
skala Celcius dan Reamur ditetapkan pada skala 0°C dan 0°R, sedangkan
untuk Fahrenheit ditetapkan pada skala 32°F. Ketiga skala titik tetap bawah
untuk masing-masing skala termometer ini diambil dari titik beku air murni
(titik lebur es murni) pada tekanan normal. Adapun titik tetap atas ketiga
skala ini berbeda-beda, dimana untuk Celcius ditetapkan pada 100°C, untuk
Reamur ditetapkan pada 80°R, dan untuk Fahrenheit ditetapkan pada 212°F.
Ketiga skala titik tetap atas untuk masing-masing skala termometer ini
diambil dari titik didih air murni pada tekanan normal. Pada skala Kelvin,
titik tetap bawah ketiga skala termometer ini bersesuaian dengan skala 273
K dan titik tetap atasnya bersesuaian dengan 373 K. Khusus untuk skala
Kelvin, titik yang tetap bawah tidak didasarkan pada titik beku air, namun
didasarkan pada ukuran energi kinetik rata-rata molekul suatu benda. Dalam
hal ini, nol Kelvin (tanpa derajat) dinamakan nol mutlak (nol absolut),
artinya tidak ada suhu-suhu di bawah suhu nol mutlak, atau ketika nilai suhu
mendekati nilai nol mutlak, maka energi kinetik rata-rata partikel
mempunyai suatu nilai yang minimum.
Oleh karena itu, berdasarkan fakta tersebut, maka skala Kelvin
dinamakan skala suhu mutlak atau skala suhu absolut, atau disebut juga
skala termodinamik. Kelvin menjadi satuan standar SI untuk besaran pokok
suhu. Perpindahan panas nilai derajatnya diukur dengan menggunakan skala
kelvin (Idawati Supu, 2016).
1.2.5 Perpindahan Panas Steady vs Transient
a. Steady State
Tidak dipengaruhi/tidak tergantung pada waktu setiap titik perpindahan
panas pada mediumnya.

Gambar 1.2.4 steady state

b. Transient
Dipengaruhi/tergantung pada perubahan waktu.

Gambar 1.2.5 Transient

1.2.6 Konduksi Satu Dimensi


Satu dimensi perpindahan panas jika temperatur di media bervariasi
hanya pada satu arah dan arah lain bisa diabaikan atau bernilai nol. Sebagai
contoh perpindahan panas pada medium kaca sebuah rumah dibawah maka
bisa dianalisa dengan pendekatan satu arah atau satu dimensi kearah luar
rumah (Kusuma, 2018).
Gambar 1.2.6 Contoh Perpindahan Panas Satu Dimensi Atau Satu Arah.

1.2.7 Konduktivitas Termal


Nilai kondukitivitas termal suatu bahan menunjukkan laju perpindahan
panas yang mengalir dalam suatu bahan. Konduktivitas thermal kebanyakan
bahan merupakan fungsi suhu, dan bertambah sedikit kalau suhu naik, akan
tetapi variasinya kecil dan sering kali diabaikan. Jika nilai konduktivitas
termal suatu bahan makin besar, maka makin besar juga panas yang
mengalir melalui benda tersebut. Karena itu, bahan yang harga k-nya besar
adalah penghantar panas yang baik, sedangkan bila k-nya kecil bahan itu
kurang menghantar atau merupakan isolator

Gambar 1.2.7 Alat uji konduktivitas termal


1.2.8 Konduktivitas Panas
Laju perambatan panas pada padatan ditentukan oleh konduktivitas
panas, σT, dan gradien temperatur, dq/dT. Jika didefinisikan q sebagai
jumlah kalori yang melewati satu satuan luas (A) per satuan waktu ke arah x
maka
dx Q dT q = σ−= T A…………………………(2)
Tanda minus menunjukkan bahwa aliran panas berjalan dari temperatur
tinggi ke temperatur rendah.
Konduktivitas thermal dalam kristal tunggal tergantung dari arah
kristalografis. Dalam rekayasa praktis, yang disebut konduktivitas thermal
merupakan nilai rata-rata konduktivitas dari padatan polikristal yang
tersusun secara acak. Gambar 1.2.8 memuat konduktivitas panas beberapa
macam material. Pada temperatur kamar, metal memiliki konduktivitas
thermal yang baik dan konduktivitas listrik yang baik pula karena elektron-
bebas berperan dalam berlangsungnya transfer panas. Pada material dengan
ikatan ion ataupun ikatan kovalen, di mana elektron kurang dapat bergerak
bebas, transfer panas berlangsung melalui phonon. Walaupun phonon
bergerak dengan kecepatan suara, namun phonon memberikan konduktivitas
panas yang jauh di bawah yang diharapkan. Hal ini disebabkan karena
dalam pergerakannya phonon selalu berbenturan sesamanya dan juga
berbenturan dengan ketidak-sempurnaan kristal. Sementara itu dalam
polimer perpindahan panas terjadi melalui rotasi, vibrasi, dan translasi
molekul.

Gambar 1.2.8 σT untuk beberapa material pada 300 K


1.2.9 Isolator Termal
Isolator thermal yang baik adalah material yang porous. Rendahnya
konduktivitas thermal disebabkan oleh rendahnya konduktivitas udara yang
terjebak dalam pori-pori. Namun penggunaan pada temperatur tinggi yang
berkelanjutan cenderung terjadi pemadatan yang mengurangi kualitasnya
sebagai isolator thermal. Isolator thermal yang paling baik adalah ruang
hampa, karena panas hanya bisa dipindahkan melalui radiasi. Material
polimer yang porous bisa mendekati kualitas ruang hampa pada temperatur
sangat rendah; gas dalam pori yang membeku menyisakan ruang-ruang
hampa yang bertindak sebagai isolator. Material isolator jenis ini banyak
digunakan dalam aplikasi cryogenic.

Gambar 1.2.9 Material Porous

1.2.10 Panas Spesifik


Panas spesifik (specific heat) adalah kapasitas panas per satuan massa
per derajat K, yang juga sering dinyatakan sebagai kapasitas panas per mole
per derajat K. Untuk membedakan dengan kapasitas panas yang ditulis
dengan huruf besar (Cv dan Cp), maka panas spesifik dituliskan dengan
huruf kecil (cv dan cp) (Sudirham, 2013)

1.2.11 Perubahan frasa Panas


Bila panas diberikan pada suatu zat pada tekanan konstan, maka
biasanya, hasilnya adalah kenaikan temperatur zat. Namun kadang-kadang
zat dapat menyerap panas dalam jumlah besar tanpa mengalami perubahan
apapun dalam temperaturnya. Ini terjadi selama perubahan fasa, artinya
ketika kondisi fisik zat itu berubah dari satu bentuk ke bentuk lain. Jenis
perubahan fasa adalah pembekuan (perubahan cairan menjadi padatan),
penguapan (perubahan cair menjadi uap atau gas), sublimasi (perubahan
padat menjadi gas). Ada juga perubahan fasa lain, seperti bila padatan
akan berubah dari satu bentuk kristalin ke bentuk lain.
Perubahan fasa dapat dimengerti dengan teori molekular. Kenaikan
temperatur zat menggambarkan kenaikan energi kinetik gerakan molekul-
molekul. Bila suatu zat berubah dari cairan menjadi bentuk gas, molekul-
molekul yang dekat dalam bentuk cairan di gerakan saling menjauh. Ini
perlu usaha untuk melawan gaya-gaya tarik yang di mempertahankan
molekul berdekatan, artinya diperlukan energi untuk memisahkan mereka.
Energi ini beralih menjadi energi potensial molekul. Karena itu,
temperatur zat yang merupakan ukuran energi kinetik rata-rata molekul
gas tidak berubah. (Tipler, 2009)
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM

1.3.1 Alat Dan Bahan


Adapun alat dan bahan yang digunakan pada praktikum kali ini adalah
sebagai berikut:
a. Modul linear heat conduction

Gambar 1.3.1 modul linear heat conduction

b. Thermocouple

Gambar 1.3.2 thermocouple


c. Computer controller

Gambar 1.3.3 computer controller

d. Batang silinder stainless steal diameter 25 mm

Gambar 1.3.4 Batang silinder stainless steal diameter 25 mm

e. Batang silinder brass (kuningan) diameter 25 mm

Gambar 1.3.5 Batang silinder brass (kuningan) diameter 25 mm


f. Batang silinder brass (kuningan) diameter 10 mm

Gambar 1.3.6 Batang silinder brass (kuningan) diameter 10 mm


1.3.2 Prosedur Praktikum

Gambar 1.3.7 linear heat conduction

Adapun prosedur praktikum linear heat conduction kali ini adalah


sebagai berikut :
a. Menyiapkan alat Linier Heat Conduction Experiment.
b. Memasang spesimen uji pada mesin linear heat conduction.
c. Menghubungkan mesin dengan arus listrik kemudian menghidupkan PC.
d. Menjalankan Aplikasi SCADA pada PC kemudian menekan start.
e. Menghidupkan instrumentation dengan menekan tombol power yang
berada di depan.
f. Mengalirkan air melalui selang pada area pendingin dengan kecepatan 2
l/min lihat pada tampilan SCADA SC-2.
g. Menghidupkan daya resistor pemanas dengan set SW-1 pada PID Analog
menjadi 40 watt kemudian mencentang. (tunggu hingga stabil).
h. Mengamati temperatur ST1-ST11 ketika temperatur ST1 berada pada 60-
80 , mencatat temperatur pada ST1-ST11 jika
ST1>ST2>ST3>ST4>ST5> DT6>ST7>ST8>ST9 >ST10>ST11.
i. Mematikan heater dengan cara set SW-1 pasa PID Analog menjadi 0, dan
tunggu hingga temperatur pada ST5 menjadi 40oC
j. Mengulangi percobaan G-I dengan mengganti Benda uji terdiri dari
copper, dan stainless steel dengan ukuran 10 mm dan 25mm.
k. Mematikan heater dengan cara set SW-1 pasa PID Analog menjadi 0.
l. Menutup aplikasi dan matikan PC serta mematikan Instrumentasi.
m. Menutup kran air pada yang mengalir ke mesin.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

1.4.1 Hasil Data


Dari praktikum modul linear heat conduction ini, maka di peroleh
data sebagai berikut:
a. Tabel Hasil Data
Table 1.4.1 Hasil data praktikum.
kelompok 4
stainless steel (D
25) Kuningan (D 25) Kuningan (D 10)
ST 1 78.4 ST 1 65.2 ST 1 72.6
ST 2 77.1 ST 2 63.6 ST 2 70.5
ST 3 71.1 ST 3 57.4 ST 3 66.3
ST 4 67.3 ST 4 54.7 ST 4 63.6
ST 5 48.3 ST 5 46.8 ST 5 45
ST 6 46 ST 6 44.8 ST 6 40.2
ST 7 41.6 ST 7 41.2 ST 7 36.6
ST 8 35.7 ST 8 38.1 ST 8 35.9
ST 9 34.8 ST 9 34.7 ST 9 34.5
ST 10 34.3 ST 10 34.1 ST 10 34.4
ST 11 34.2 ST 11 34 ST 11 34.4
SC 2 2 l/min SC 2 2 l/min SC 2 2 l/min
b. Tabel Hasil Perhitungan
Tabel 1.4.2 Perhitungan Sebagian Penampang

Benda Uji Gradien Konduktivitas Thermal


Sebagian Penampang (Watt/m.K)
ST1-ST4 = 370 220,3477363
Stainless Steel ST5-ST7 = 335 243,3691416
(25 mm)
1630,573248
ST8-ST11 = 50
ST1-ST4 = 300 232,939
Kuningan (25
ST5-ST7 = 280 291,1738
mm)
ST8-ST11 = 136,6667 596,5512
ST1-ST4 = 300 1698,514
Kuningan (10
ST5-ST7 = 420 1213,224
mm)
ST8-ST11 = 50 10191,08

Tabel 1.4.3 Perhitungan Seluruh Penampang

Gradien Konduktivitas Thermal


Benda Uji
Seluruh Penampang (Watt/m.K)

Stainless Steel
442 184,4539874
(25 mm)
Kuningan (25
312 261,3098
mm)
Kuningan (10
382 1333,91136
mm)
c. Perhitungan
Berdasarkan nilai pada table hasil data yang didapat saat
praktikum, maka dihitung sebagai berikut:
1. Stainless Steel (D 25 mm)
a) Perbedaan suhu pada bagian penampang panas (hot)

b) Gradien suhu bagian penampang panas

K/m

c) Perbedaan suhu pada bagian penampang tengah (intermediate)

d) Gradien suhu bagian penampang tengah

e) Perbedaan suhu pada bagian penampang dingin (cold)


f) Gradien suhu bagian penampang dingin

g) Perbedaan suhu pada bagian seluruh penampang

h) Gradien seluruh bagian penampang

i) Konduktivitas termal material bagian penampang panas (hot)

( )

( )

220.347736271 Watt/m.K

j) Konduktivitas termal material bagian penampang tengah


(intermediate)

( )

( )

243.369141553 Watt/m.K

k) Konduktivitas termal material bagian penampang dingin (cold)


( )

( )

1630.57324841Watt/m.K

l) Konduktivitas termal material seluruh bagian penampang

( )

( )

184.453987376Watt/m.K

2. Kuningan (D 25 mm)
a) Perbedaan suhu pada bagian penampang panas (hot)

b) Gradien suhu bagian penampang panas

K/m

c) Perbedaan suhu pada bagian penampang tengah (intermediate)

d) Gradien suhu bagian penampang tengah


e) Perbedaan suhu pada bagian penampang dingin (cold)

f) Gradien suhu bagian penampang dingin

g) Perbedaan suhu pada bagian seluruh penampang

h) Gradien seluruh bagian penampang

i) Konduktivitas termal material bagian penampang panas (hot)

( )

( )

232.939035487 Watt/m.K
j) Konduktivitas termal material bagian penampang tengah
(intermediate)

( )

( )

291,1738 Watt/m.K

k) Konduktivitas termal material bagian penampang dingin (cold)

( )

( )

596,5512 Watt/m.K

l) Konduktivitas termal material seluruh bagian penampang

( )

( )

261,3098 Watt/m.K

3. Kuningan (D 10 mm)
a) Perbedaan suhu pada bagian penampang panas (hot)

b) Gradien suhu bagian penampang panas

K/m
c) Perbedaan suhu pada bagian penampang tengah (intermediate)

d) Gradien suhu bagian penampang tengah

e) Perbedaan suhu pada bagian penampang dingin (cold)

f) Gradien suhu bagian penampang dingin

g) Perbedaan suhu pada bagian seluruh penampang

h) Gradien seluruh bagian penampang


i) Konduktivitas termal material bagian penampang panas (hot)

( )

( )

1698,514 Watt/m.K

j) Konduktivitas termal material bagian penampang tengah


(intermediate)

( )

( )

1213,224 Watt/m.K

k) Konduktivitas termal material bagian penampang dingin (cold)

( )

( )

10191,08 Watt/m.K

l) Konduktivitas termal material seluruh bagian penampang

( )

( )

1333.91136159 Watt/m.K
1.4.1 Pembahasan
Pada benda padat, perpindahan panas konduksi terjadi dengan cara
temperatur merambat melalui partikel-partikel benda padat dengan
kecepatan dan kerataan merambatnya panas bergantung pada
konduktivitas termal benda tersebut. Pada benda cair, perpindahan panas
tidak dapat terjadi secara konduksi, karena pada dasarnya benda cair
merupakan zat perantara berbentuk fluida yang memiliki massa jenis.
Benda cair memiliki partikel yang bergerak bebas dan dapat berubah
massa jenisnya seiring dengan perubahan temperaturnya. Hal ini juga
terjadi pada gas yang juga merupakan fluida, sehingga dapat dikatakan
perpindahan panas yang terjadi pada benda cair dan gas adalah konveksi
dan tidak dapat mengalami konduksi.
Pada dasarnya, konduktivitas termal dari sebagian besar benda
padat lebih besar daripada cairan. Penyebabnya adalah kekuatan ikatan
molekul yang berbeda antara benda padat dan benda cair. Ikatan dalam zat
padat bersifat kaku dan kuat karena saling mengikat satu sama lain,
sedangkan ikatan dalam zat cair jauh lebih lemah karena tidak memiliki
ikatan antarmolekul yang pasti dan partikelnya dapat berpindah dalam
keadaan apapun dan dalam kondisi apapun. Struktur kisi pada benda padat
sangat memperbaiki posisi molekul yang membuat elektron saling
berhubungan erat. Hal ini akan memberikan konduktivitas termal dan
konduktivitas elektron yang baik, terutama pada logam. Oleh karena itu
benda padat sebagai konduktor termal yang baik, sedangkan benda cair
sebagai konduktor yang buruk karena memiliki nilai konduktivitas termal
yang kecil. Sementara, zat gas memiliki konduktivitas termal yang lebih
kecil lagi karena tidak memiliki ikatan molekul dan tidak memiliki bentuk
yang jelas.
Material isotropik adalah jenis material yang memiliki sifat
mekanik dan sifat termal yang sama dalam semua kondisi jika material
ditarik atau ditekan ke semua arah. Material ini hanya memiliki satu nilai
dari modulus elastisitas, Poisson’s ratio, ultimate strength, dan modulus
gesernya. Sehingga material isotropik akan mengalami kerataan distribusi
temperatur saat mengalami konduksi dengan konduktivitas termal yang
sedemikian rupa.
Konduktivitas termal suatu benda dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain kepadatan, porositas, temperatur, dan kandungan uap
air. Kepadatan dan porositas suatu benda berpengaruh pada konduktivitas
termal suatu benda. Semakin banyak rongga pada benda tersebut maka
semakin besar persentasi porositasnya, dan semakin besar porositas
menyebabkan nilai konduktivitas semakin menurun. Temperatur memiliki
pengaruh yang sangat kecil, tetapi temperatur tetap memiliki pengaruh
terhadap konduktivitas. Semakin bertambahnya temperatur, konduktivitas
termal bahan tertentu juga akan meningkat. Kandungan uap air juga
memengaruhi konduktivitas thermal. Konduktivitas termal akan
meningkat seiring meningkatnya kandungan kelembaman suatu benda.
Panas yang mengalir melalui suatu material bergantung pada
perbedaan temperatur dialaminya. Ketebalan yang semakin besar pada
suatu material berarti panas yang mengalir pada suatu material semakin
sedikit, sama halnya dengan konduktivitas. Resistansi termal suatu
material dibentuk oleh parameter-parameter tersebut. Resistansi termal itu
berbanding lurus dengan ketebalan suatu material dan berbanding terbalik
dengan konduktivitasnya. Lapisan material dengan resistansi termal yang
tinggi adalah insulator yang baik, sedangkan material dengan resistansi
termal yang rendah adalah insulator yang buruk.
Grafik 1.4.1. Pengamatan pada batang stainless steel diameter 25 mm

Silinder stainless steel diameter 25 mm


90
80
70
60
ST (ºC)

50
40
30
20
10
0
0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12
L (m)

Berdasarkan grafik di atas, dapat dilihat hubungan antara temperatur


dengan titik bagian penampang batang stainless steel yang diuji. Pengujian
ini disetel dengan SW-1 = 40 W. Panas yang ideal pada percobaan ini
adalah saat temperatur berkisar 60ºC-80ºC. Batang stainless steel yang
diuji ini memiliki diameter penampang 25 mm. Pada bagian yang terdekat
dengan sumber energi listrik (ST1) dengan jarak 0 m, memiliki temperatur
tertinggi 78,4ºC dan sampai pada ST4 tercatat bahwa gradien sebesar 370.
Pada bagian tengah dari penampang yang diamati, yaitu ST5-ST7,
temperatur yang terukur adalah 41,6ºC-48,3ºC, dengan jarak terhadap
sumber energi listrik adalah 0,04 m-0,06 m dan gradien sebesar 335. Pada
bagian terjauh dari sumber panas, yaitu pada ST11 yang berjarak 0,1 m,
temperatur terukur adalah 34,2ºC dan pada ST8-ST11 tercatat bahwa
gradien sebesar 50. Selama proses pengujian, air terus mengalir melalui
SC-2 dengan debit 2 liter/m.
Berdasarkan pengamatan, dapat dilihat bahwa spesimen dapat
memanas secara konduksi dengan mudah mencapai temperatur
pengamatan 78,4ºC dan panas cenderung tinggi pada bagian yang dekat
dengan sumber panas dan listrik. Hal ini terjadi karena stainless steel
memiliki nilai konduktivitas termal yang cukup baik pada temperatur
ruangan, dan semakin baik jika temperatur yang diterapkan pada stainless
steel semakin tinggi. Dengan luas penampang 4,9×10-4 m2, panas dalam
stainless steel merata cukup lambat, dapat dilihat pada penampang paling
ujung yang memiliki temperatur 34,2ºC. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa stainless steel menerima panas cukup baik, tetapi persebaran
temperatur pada seluruh panjang penampang tidak begitu merata.
Grafik 1.4.2. Pengamatan pada batang brass (kuningan) diameter 25 mm

Silinder brass (kuningan) diameter 25 mm


70
60
50
ST (ºC)

40
30
20
10
0
0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12
L (m)

Berdasarkan grafik di atas, dapat dilihat hubungan antara


temperatur dengan titik bagian penampang batang brass (kuningan) yang
diuji. Pengujian ini disetel dengan SW-1 = 40 W. Panas yang ideal pada
percobaan ini adalah saat temperatur berkisar 60ºC-80ºC. Batang brass
(kuningan) yang diuji ini memiliki diameter penampang 25 mm. Pada
bagian yang terdekat dengan sumber energi listrik (ST1) dengan jarak 0 m,
memiliki temperatur tertinggi 65,2ºC dan sampai pada ST4 tercatat bahwa
gradien sebesar 350. Pada bagian tengah dari penampang yang diamati,
yaitu ST5-ST7, temperatur yang terukur adalah 41,2ºC-46,8ºC, dengan
jarak terhadap sumber energi listrik adalah 0,04 m-0,06 m dan gradien
sebesar 280. Pada bagian terjauh dari sumber panas, yaitu pada ST11 yang
berjarak 0,1 m, temperatur terukur adalah 34,0ºC dan pada ST8-ST11
tercatat bahwa gradien sebesar 136,67. Selama proses pengujian, air terus
mengalir melalui SC-2 dengan debit 2 liter/m.
Berdasarkan pengamatan, dapat dilihat bahwa spesimen dapat
memanas secara konduksi dengan cukup mudah mencapai temperatur
pengamatan 65,2ºC dan panas memusat pada bagian yang dekat dengan
sumber panas dan listrik. Hal ini terjadi karena brass (kuningan) memiliki
nilai konduktivitas termal yang cukup baik pada temperatur ruangan, dan
meningkat jika temperatur yang diterapkan pada brass (kuningan) semakin
tinggi. Akan tetapi, konduksi yang terjadi tidak sebaik stainless steel,
dapat dilihat pada temperatur tertinggi brass (kuningan) adalah 65,2ºC.
Dengan luas penampang 4,9×10-4 m2, panas dalam brass (kuningan)
merata cukup lambat, dapat dilihat pada penampang paling ujung yang
memiliki temperatur 34,0ºC. Sehingga dapat disimpulkan bahwa brass
(kuningan) menerima panas tidak sebaik stainless steel dan persebaran
temperatur pada seluruh panjang penampang tidak begitu merata.
Grafik 1.4.3. Pengamatan pada batang brass (kuningan) diameter 10 mm

Silnder brass (kuningan) diameter 10 mm


80
70
60
50
ST (C)

40
30
20
10
0
0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12
L (m)

Berdasarkan grafik di atas, dapat dilihat hubungan antara


temperatur dengan titik bagian penampang batang brass (kuningan) yang
diuji. Pengujian ini disetel dengan SW-1 = 40 W. Panas yang ideal pada
percobaan ini adalah saat temperatur berkisar 60ºC-80ºC. Batang brass
(kuningan) yang diuji ini memiliki diameter penampang 10 mm. Pada
bagian yang terdekat dengan sumber energi listrik (ST1) dengan jarak 0 m,
memiliki temperatur tertinggi 72,6ºC dan sampai pada ST4 tercatat bahwa
gradien sebesar 300. Pada bagian tengah dari penampang yang diamati,
yaitu ST5-ST7, temperatur yang terukur adalah 36,6ºC-45,0ºC, dengan
jarak terhadap sumber energi listrik adalah 0,04 m-0,06 m dan gradien
sebesar 420. Pada bagian terjauh dari sumber panas, yaitu pada ST11 yang
berjarak 0,1 m, temperatur terukur adalah 34,4ºC dan pada ST8-ST11
tercatat bahwa gradien sebesar 50. Selama proses pengujian, air terus
mengalir melalui SC-2 dengan debit 2 liter/m.
Berdasarkan pengamatan, dapat dilihat bahwa spesimen dapat
memanas secara konduksi dengan cukup mudah mencapai temperatur
pengamatan 72,6ºC dan panas memusat pada bagian yang dekat dengan
sumber panas dan listrik. Hal ini terjadi karena brass (kuningan) memiliki
nilai konduktivitas termal yang cukup baik pada temperatur ruangan, dan
meningkat jika temperatur yang diterapkan pada brass (kuningan) semakin
tinggi. Konduksi yang terjadi lebih baik pada brass (kuningan) dengan
penampang lebih kecil, dapat dilihat pada temperatur tertinggi brass
(kuningan) adalah 72,6ºC. Dengan luas penampang 7,85×10-5 m2, panas
dalam brass (kuningan) merata sama lambatnya dengan brass (kuningan)
berdiameter 25 mm, dapat dilihat pada penampang paling ujung yang
memiliki temperatur 34,4ºC. Sehingga dapat disimpulkan bahwa brass
(kuningan) dan logam-logam lain dapat menerima panas dengan lebih baik
jika berpenampang kecil. Namun, perlu dicatat bahwa persebaran
temperatur pada seluruh panjang penampang tetap tidak begitu merata.
Hasil yang diperoleh dari perhitungan konduktivitas termal pada
silinder stainless steel berdiameter 25 mm pada penampang sebagian, yaitu
hasil pada T1-T4 = 220,348 W/m.K dengan temperatur 67,3ºC-78,4ºC, T5-
T7 = 243,369 W/m.K dengan temperatur 41,2ºC-46,8ºC, dan pada T8-
T11= 1630,57 W/m.K dengan temperatur 34,2ºC-35,7ºC dan pada
penampang keseluruhan T1-T11 = 184,454 W/m.K dengan temperatur
34,2ºC-78,4ºC, maka apabila dibandingkan dengan konduktivitas termal
secara teori, yaitu 16 W/m.K dengan temperatur kondisi normal atau
temperature ruangan sebesar 298 K atau 24.85ºC. Maka, konduktivitas
hasil pengujian dalam praktikum lebih besar. Konduktivitas termal
berpengaruh karena suatu ketebalan dan temperatur yang memengaruhi
material yang ada. Secara visual, silinder stainless steel ini hanya memiliki
diameter 25 mm dan temperatur yang mengenai material tersebut jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan temperatur teori, yaitu sekitar 34,2ºC-
78,4ºC.
Kemudian, hasil yang diperoleh dari perhitungan konduktivitas
termal pada silinder brass (kuningan) berdiameter 25 mm pada penampang
sebagian, yaitu hasil pada T1-T4 = 232,939 W/m.K dengan temperatur
54,7ºC-65,2ºC, T5-T7 = 291,174 W/m.K dengan temperatur 41,2ºC-
46,8ºC, dan pada T8-T11 = 596,551 W/m.K dengan temperatur 34,0ºC-
38,1ºC dan pada penampang keseluruhan T1-T11 = 261,31 W/m.K dengan
temperatur 34,0ºC-65,2ºC. Maka, apabila dibandingkan dengan
konduktivitas termal secara teori, yaitu 109-123 W/m.K dengan
temperatur kondisi normal atau temperature ruangan sebesar 298 K atau
24.85ºC. Maka, konduktivitas hasil pengujian dalam praktikum lebih
besar. Konduktivitas termal berpengaruh karena suatu ketebalan dan
temperatur yang memengaruhi material yang ada. Secara visual, silinder
brass (kuningan) ini hanya memiliki diameter 25 mm dan temperatur yang
mengenai material tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
temperatur teori, yaitu sekitar 34,0ºC-65,2ºC.
Terakhir, hasil yang diperoleh dari perhitungan konduktivitas
termal pada silinder brass (kuningan) berdiameter 10 mm pada penampang
sebagian, yaitu hasil pada T1-T4 = 1698,5138 W/m.K dengan temperatur
63,6ºC-72,6ºC, T5-T7 = 1213,224 W/m.K dengan temperatur 36,6ºC-
45,0ºC, dan pada T8-T11 = 10.191,082 W/m.K dengan temperatur 34,4ºC-
35,9ºC dan pada penampang keseluruhan T1-T11 = 1333,911 W/m.K
dengan temperatur 34,0ºC-65,2ºC, maka apabila dibandingkan dengan
konduktivitas termal secara teori, yaitu 109-123 W/m.K dengan
temperatur kondisi normal atau temperature ruangan sebesar 298 K atau
24.85ºC. Maka, konduktivitas hasil pengujian dalam praktikum lebih
besar. Konduktivitas termal berpengaruh karena suatu ketebalan dan
temperatur yang memengaruhi material yang ada. Secara visual, silinder
brass (kuningan) ini hanya memiliki diameter 10 mm, lebih kecil
dibandingkan diameter silinder yang lainnya dan temperatur yang
mengenai material tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
temperatur teori, yaitu sekitar 34,0ºC-65,2ºC.
BAB V
PENUTUP

1.5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang kita dapatkan setelah melakukan praktikum
mengenai Linier Heat Conduction kali ini ialah :
a. Modul linear heat conduction merupakan rangkaian alat yang terdiri
dari computer controller yang berfungsi mengoperasikan thermocouple
melalui rangkaian elektrik, dan thermocouple yang berfungsi mengubah
energi listrik menjadi energi panas supaya dapat dialirkan ke spesimen
uji untuk mengetahui konduktivitas termal dan sifat termal lain dari
spesimen uji.
b. Perpindahan panas secara konduksi terjadi dengan panas dari sumber
energi pada thermocouple merambat melalui partikel-partikel stainless
steel dan brass (kuningan) dengan meningkatnya temperatur pada kedua
jenis spesimen tersebut, tanpa disertai perpindahan partikel-partikel di
dalamnya.
c. Setelah melalui pengujian konduksi, dapat diketahui stainless steel
dapat menerima panas dengan lebih baik daripada brass (kuningan).
d. Pada temperatur ruangan, stainless steel memiliki konduktivitas termal
16 W/m.K dan brass (kuningan) memiliki konduktivitas termal 109
W/m.K—123 W/m.K, dan nilainya akan berubah seiring dengan
perubahan temperatur serta perbedaan penampang.
e. Pada batang stainless steel diameter 25 mm, diketahui gradien
temperatur bernilai 370 pada ST1-ST4, 335 pada ST5-ST7, 50 pada
ST8-ST11, dan 442 pada seluruh penampang.
f. Pada batang brass (kuningan) diameter 25 mm, diketahui gradien
temperatur bernilai 350 pada ST1-ST4, 280 pada ST5-ST7, 136,67 pada
ST8-ST11, dan 312 pada seluruh penampang.
g. Pada batang brass (kuningan) diameter 25 mm, diketahui gradien
temperatur bernilai 300 pada ST1-ST4, 420 pada ST5-ST7, 50 pada
ST8-ST11, dan 382 pada seluruh penampang.
1.5.2 Saran
Saran yang dapat kami berikan setelah melakukan praktikum
mengenai Linier Heat Conduction ialah :
a. Sebaiknya sebelum melakukan praktikum para praktikan membaca
modul terlebih dahulu.
b. Sebaiknya untuk praktikum selanjutnya specimen yang di uji lebih
beragam.
c. Sebaiknya untuk praktikum selanjutnya para praktikan dapat
mengoperasikan alat secara langsung.
d. Sebaiknya penjelasan pada video praktikum lebih detail lagi.
e. Sebaiknya data praktikum diambil sendiri oleh praktikan.
DAFTAR PUSTAKA

Idawati Supu, B. U. (2016). PENGARUH SUHU TERHADAP PERPINDAHAN


PANAS PADA MATERIAL YANG BERBEDA. Jurnal Dinamika, 63-
66.

Intan Nurul Rokhimi, P. (2015). Alat Peraga Pembelajaran Laju Hantaran Kalor
Konduksi . Prosiding Seminar Nasional Fisika dan Pendidikan Fisika
(SNFPF) Ke-6 , 272.

Kusuma, G. E. (2018). PERPINDAHAN PANAS UNTUK POLITEKNIK. 27-28.

Sudirham, S. (2013). Sifat-Sifat Thermal . Darpublic, 1-10.

Tripler. 2009. Fisika Jilid II. Jakarta: Erlangga


LAMPIRAN
Tugas Setelah Praktikum

1. a. Jelaskan bagaimana prinsip dan mekanisme perpindahan panas konduksi


pada benda padat, cair dan gas.
b. Mengapa pada umumnya konduktivitas termal benda padat lebih besar
dibandingkan benda cair? Dan konduktivitas termal benda cair lebih besar
dibandingkan gas?
2. Apakah yang dimaksud dengan material isotropik? Adakah hubungannya
dengan konduktivitas termal bahan? Jelaskan.
3. Jelaskan faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi konduktivitas termal
suatu benda dalam aplikasi perpindahan panas.
4. Bagaimanakah hubungan antara resistansi termal dengan konduktivitas termal
material? Jelaskan.
5. Buatlah grafik hubungan antara distribusi temperatur terhadap jarak (m) dari
titik T1 untuk setiap benda uji (terlampir contoh grafik di bawah). Kemudian,
berikan komentar dan penjelasan terhadap grafik hasil pengamatan pengujian
tersebut.
6. Hitunglah konduktivitas termal setiap benda uji dari data pengamatan
praktikum menggunakan Persamaan Fourier’s Law. Berikan penjelasan dan
bandingkan nilainya dengan data pada Tabel

Jawab
1. a. Pada benda padat, perpindahan panas konduksi terjadi dengan cara
temperatur merambat melalui partikel-partikel benda padat dengan
kecepatan dan kerataan merambatnya panas bergantung pada konduktivitas
termal benda tersebut. Pada benda cair, perpindahan panas tidak dapat
terjadi secara konduksi, karena pada dasarnya benda cair merupakan zat
perantara berbentuk fluida yang memiliki massa jenis. Benda cair memiliki
partikel yang bergerak bebas dan dapat berubah massa jenisnya seiring
dengan perubahan temperaturnya. Hal ini juga terjadi pada gas yang juga
merupakan fluida, sehingga dapat dikatakan perpindahan panas yang terjadi
pada benda cair dan gas adalah konveksi dan tidak dapat mengalami
konduksi.
b. Pada dasarnya, konduktivitas termal dari sebagian besar benda padat lebih
besar daripada cairan. Penyebabnya adalah kekuatan ikatan molekul yang
berbeda antara benda padat dan benda cair. Ikatan dalam zat padat bersifat
kaku dan kuat karena saling mengikat satu sama lain, sedangkan ikatan
dalam zat cair jauh lebih lemah karena tidak memiliki ikatan antarmolekul
yang pasti dan partikelnya dapat berpindah dalam keadaan apapun dan
dalam kondisi apapun. Struktur kisi pada benda padat sangat memperbaiki
posisi molekul yang membuat elektron saling berhubungan erat. Hal ini
akan memberikan konduktivitas termal dan konduktivitas elektron yang
baik, terutama pada logam. Oleh karena itu benda padat sebagai konduktor
termal yang baik, sedangkan benda cair sebagai konduktor yang buruk
karena memiliki nilai konduktivitas termal yang kecil. Sementara, zat gas
memiliki konduktivitas termal yang lebih kecil lagi karena tidak memiliki
ikatan molekul dan tidak memiliki bentuk yang jelas.

2. Material isotropik adalah jenis material yang memiliki sifat mekanik dan sifat
termal yang sama dalam semua kondisi jika material ditarik atau ditekan ke
semua arah. Material ini hanya memiliki satu nilai dari modulus elastisitas,
Poisson’s ratio, ultimate strength, dan modulus gesernya. Sehingga material
isotropik akan mengalami kerataan distribusi temperatur saat mengalami
konduksi dengan konduktivitas termal yang sedemikian rupa.

3. Konduktivitas termal suatu benda dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara


lain kepadatan, porositas, temperatur, dan kandungan uap air. Kepadatan dan
porositas suatu benda berpengaruh pada konduktivitas termal suatu benda.
Semakin banyak rongga pada benda tersebut maka semakin besar persentasi
porositasnya, dan semakin besar porositas menyebabkan nilai konduktivitas
semakin menurun. Temperatur memiliki pengaruh yang sangat kecil, tetapi
temperatur tetap memiliki pengaruh terhadap konduktivitas. Semakin
bertambahnya temperatur, konduktivitas termal bahan tertentu juga akan
meningkat. Kandungan uap air juga memengaruhi konduktivitas thermal.
Konduktivitas termal akan meningkat seiring meningkatnya kandungan
kelembaman suatu benda.

4. Panas yang mengalir melalui suatu material bergantung pada perbedaan


temperatur dialaminya. Ketebalan yang semakin besar pada suatu material
berarti panas yang mengalir pada suatu material semakin sedikit, sama halnya
dengan konduktivitas. Resistansi termal suatu material dibentuk oleh
parameter-parameter tersebut. Resistansi termal itu berbanding lurus dengan
ketebalan suatu material dan berbanding terbalik dengan konduktivitasnya.
Lapisan material dengan resistansi termal yang tinggi adalah insulator yang
baik, sedangkan material dengan resistansi termal yang rendah adalah
insulator yang buruk.

5.
Pengamatan pada batang stainless steel diameter 25 mm

Silinder stainless steel diameter 25 mm


90
80
70
60
ST (ºC)

50
40
30
20
10
0
0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12
L (m)

Berdasarkan grafik di atas, dapat dilihat hubungan antara temperatur


dengan titik bagian penampang batang stainless steel yang diuji. Pengujian
ini disetel dengan SW-1 = 40 W. Panas yang ideal pada percobaan ini
adalah saat temperatur berkisar 60ºC-80ºC. Batang stainless steel yang
diuji ini memiliki diameter penampang 25 mm. Pada bagian yang terdekat
dengan sumber energi listrik (ST1) dengan jarak 0 m, memiliki temperatur
tertinggi 78,4ºC dan sampai pada ST4 tercatat bahwa gradien sebesar 370.
Pada bagian tengah dari penampang yang diamati, yaitu ST5-ST7,
temperatur yang terukur adalah 41,6ºC-48,3ºC, dengan jarak terhadap
sumber energi listrik adalah 0,04 m-0,06 m dan gradien sebesar 335. Pada
bagian terjauh dari sumber panas, yaitu pada ST11 yang berjarak 0,1 m,
temperatur terukur adalah 34,2ºC dan pada ST8-ST11 tercatat bahwa
gradien sebesar 50. Selama proses pengujian, air terus mengalir melalui
SC-2 dengan debit 2 liter/m.
Berdasarkan pengamatan, dapat dilihat bahwa spesimen dapat
memanas secara konduksi dengan mudah mencapai temperatur
pengamatan 78,4ºC dan panas cenderung tinggi pada bagian yang dekat
dengan sumber panas dan listrik. Hal ini terjadi karena stainless steel
memiliki nilai konduktivitas termal yang cukup baik pada temperatur
ruangan, dan semakin baik jika temperatur yang diterapkan pada stainless
steel semakin tinggi. Dengan luas penampang 4,9×10-4 m2, panas dalam
stainless steel merata cukup lambat, dapat dilihat pada penampang paling
ujung yang memiliki temperatur 34,2ºC. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa stainless steel menerima panas cukup baik, tetapi persebaran
temperatur pada seluruh panjang penampang tidak begitu merata.

Pengamatan pada batang brass (kuningan) diameter 25 mm

Silinder brass (kuningan) diameter 25 mm


70
60
50
ST (ºC)

40
30
20
10
0
0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12
L (m)
Berdasarkan grafik di atas, dapat dilihat hubungan antara temperatur
dengan titik bagian penampang batang brass (kuningan) yang diuji.
Pengujian ini disetel dengan SW-1 = 40 W. Panas yang ideal pada
percobaan ini adalah saat temperatur berkisar 60ºC-80ºC. Batang brass
(kuningan) yang diuji ini memiliki diameter penampang 25 mm. Pada
bagian yang terdekat dengan sumber energi listrik (ST1) dengan jarak 0 m,
memiliki temperatur tertinggi 65,2ºC dan sampai pada ST4 tercatat bahwa
gradien sebesar 350. Pada bagian tengah dari penampang yang diamati,
yaitu ST5-ST7, temperatur yang terukur adalah 41,2ºC-46,8ºC, dengan
jarak terhadap sumber energi listrik adalah 0,04 m-0,06 m dan gradien
sebesar 280. Pada bagian terjauh dari sumber panas, yaitu pada ST11 yang
berjarak 0,1 m, temperatur terukur adalah 34,0ºC dan pada ST8-ST11
tercatat bahwa gradien sebesar 136,67. Selama proses pengujian, air terus
mengalir melalui SC-2 dengan debit 2 liter/m.
Berdasarkan pengamatan, dapat dilihat bahwa spesimen dapat
memanas secara konduksi dengan cukup mudah mencapai temperatur
pengamatan 65,2ºC dan panas memusat pada bagian yang dekat dengan
sumber panas dan listrik. Hal ini terjadi karena brass (kuningan) memiliki
nilai konduktivitas termal yang cukup baik pada temperatur ruangan, dan
meningkat jika temperatur yang diterapkan pada brass (kuningan) semakin
tinggi. Akan tetapi, konduksi yang terjadi tidak sebaik stainless steel,
dapat dilihat pada temperatur tertinggi brass (kuningan) adalah 65,2ºC.
Dengan luas penampang 4,9×10-4 m2, panas dalam brass (kuningan)
merata cukup lambat, dapat dilihat pada penampang paling ujung yang
memiliki temperatur 34,0ºC. Sehingga dapat disimpulkan bahwa brass
(kuningan) menerima panas tidak sebaik stainless steel dan persebaran
temperatur pada seluruh panjang penampang tidak begitu merata.
Pengamatan pada batang brass (kuningan) diameter 10 mm

Silnder brass (kuningan) diameter 10 mm


80
70
60
50
ST (C)

40
30
20
10
0
0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12
L (m)

Berdasarkan grafik di atas, dapat dilihat hubungan antara temperatur


dengan titik bagian penampang batang brass (kuningan) yang diuji.
Pengujian ini disetel dengan SW-1 = 40 W. Panas yang ideal pada
percobaan ini adalah saat temperatur berkisar 60ºC-80ºC. Batang brass
(kuningan) yang diuji ini memiliki diameter penampang 10 mm. Pada
bagian yang terdekat dengan sumber energi listrik (ST1) dengan jarak 0 m,
memiliki temperatur tertinggi 72,6ºC dan sampai pada ST4 tercatat bahwa
gradien sebesar 300. Pada bagian tengah dari penampang yang diamati,
yaitu ST5-ST7, temperatur yang terukur adalah 36,6ºC-45,0ºC, dengan
jarak terhadap sumber energi listrik adalah 0,04 m-0,06 m dan gradien
sebesar 420. Pada bagian terjauh dari sumber panas, yaitu pada ST11 yang
berjarak 0,1 m, temperatur terukur adalah 34,4ºC dan pada ST8-ST11
tercatat bahwa gradien sebesar 50. Selama proses pengujian, air terus
mengalir melalui SC-2 dengan debit 2 liter/m.
Berdasarkan pengamatan, dapat dilihat bahwa spesimen dapat
memanas secara konduksi dengan cukup mudah mencapai temperatur
pengamatan 72,6ºC dan panas memusat pada bagian yang dekat dengan
sumber panas dan listrik. Hal ini terjadi karena brass (kuningan) memiliki
nilai konduktivitas termal yang cukup baik pada temperatur ruangan, dan
meningkat jika temperatur yang diterapkan pada brass (kuningan) semakin
tinggi. Konduksi yang terjadi lebih baik pada brass (kuningan) dengan
penampang lebih kecil, dapat dilihat pada temperatur tertinggi brass
(kuningan) adalah 72,6ºC. Dengan luas penampang 7,85×10-5 m2, panas
dalam brass (kuningan) merata sama lambatnya dengan brass (kuningan)
berdiameter 25 mm, dapat dilihat pada penampang paling ujung yang
memiliki temperatur 34,4ºC. Sehingga dapat disimpulkan bahwa brass
(kuningan) dan logam-logam lain dapat menerima panas dengan lebih baik
jika berpenampang kecil. Namun, perlu dicatat bahwa persebaran
temperatur pada seluruh panjang penampang tetap tidak begitu merata.

6. Hasil yang diperoleh dari perhitungan konduktivitas termal pada silinder


stainless steel berdiameter 25 mm pada penampang sebagian, yaitu hasil
pada T1-T4 = 220,348 W/m.K dengan temperatur 67,3ºC-78,4ºC, T5-T7 =
243,369 W/m.K dengan temperatur 41,2ºC-46,8ºC, dan pada T8-T11=
1630,57 W/m.K dengan temperatur 34,2ºC-35,7ºC dan pada penampang
keseluruhan T1-T11 = 184,454 W/m.K dengan temperatur 34,2ºC-78,4ºC,
maka apabila dibandingkan dengan konduktivitas termal secara teori, yaitu
16 W/m.K dengan temperatur kondisi normal atau temperature ruangan
sebesar 298 K atau 24.85ºC. Maka, konduktivitas hasil pengujian dalam
praktikum lebih besar. Konduktivitas termal berpengaruh karena suatu
ketebalan dan temperatur yang memengaruhi material yang ada. Secara
visual, silinder stainless steel ini hanya memiliki diameter 25 mm dan
temperatur yang mengenai material tersebut jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan temperatur teori, yaitu sekitar 34,2ºC-78,4ºC.
Kemudian, hasil yang diperoleh dari perhitungan konduktivitas
termal pada silinder brass (kuningan) berdiameter 25 mm pada penampang
sebagian, yaitu hasil pada T1-T4 = 232,939 W/m.K dengan temperatur
54,7ºC-65,2ºC, T5-T7 = 291,174 W/m.K dengan temperatur 41,2ºC-
46,8ºC, dan pada T8-T11 = 596,551 W/m.K dengan temperatur 34,0ºC-
38,1ºC dan pada penampang keseluruhan T1-T11 = 261,31 W/m.K dengan
temperatur 34,0ºC-65,2ºC. Maka, apabila dibandingkan dengan
konduktivitas termal secara teori, yaitu 109-123 W/m.K dengan
temperatur kondisi normal atau temperature ruangan sebesar 298 K atau
24.85ºC. Maka, konduktivitas hasil pengujian dalam praktikum lebih
besar. Konduktivitas termal berpengaruh karena suatu ketebalan dan
temperatur yang memengaruhi material yang ada. Secara visual, silinder
brass (kuningan) ini hanya memiliki diameter 25 mm dan temperatur yang
mengenai material tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
temperatur teori, yaitu sekitar 34,0ºC-65,2ºC.
Terakhir, hasil yang diperoleh dari perhitungan konduktivitas
termal pada silinder brass (kuningan) berdiameter 10 mm pada penampang
sebagian, yaitu hasil pada T1-T4 = 1698,5138 W/m.K dengan temperatur
63,6ºC-72,6ºC, T5-T7 = 1213,224 W/m.K dengan temperatur 36,6ºC-
45,0ºC, dan pada T8-T11 = 10.191,082 W/m.K dengan temperatur 34,4ºC-
35,9ºC dan pada penampang keseluruhan T1-T11 = 1333,911 W/m.K
dengan temperatur 34,0ºC-65,2ºC, maka apabila dibandingkan dengan
konduktivitas termal secara teori, yaitu 109-123 W/m.K dengan
temperatur kondisi normal atau temperature ruangan sebesar 298 K atau
24.85ºC. Maka, konduktivitas hasil pengujian dalam praktikum lebih
besar. Konduktivitas termal berpengaruh karena suatu ketebalan dan
temperatur yang memengaruhi material yang ada. Secara visual, silinder
brass (kuningan) ini hanya memiliki diameter 10 mm, lebih kecil
dibandingkan diameter silinder yang lainnya dan temperatur yang
mengenai material tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
temperatur teori, yaitu sekitar 34,0ºC-65,2ºC.
LAPORAN PRAKTIKUM MS3133
PERPINDAHAN PANAS DAN MASSA
Modul 2 Free Convection: Time-Temperature Variation

Disusun Oleh:
Kelompok 4

Indra Anggi (118170012)

Fernando Loe P. (118170027)

Imam Sulistiyo (118170035)

Bayu Prastio (118170074)

Raden Achmad Fachrozi (17117092)

Bastian Roni Petrus M. (118170094)

M. Ryan Mahendra P. (118170107)

Asisten Praktikum:
Naufal Hasnur (17117088)

LABORATORIUM KONVERSI ENERGI


PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN
JURUSAN MANUFAKTUR DAN MINERAL KEBUMIAN
INSTITUT TEKNOLOGI SUMATERA
2020
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan
Tinggi
INSTITUT TEKNOLOGI
SUMATERA
Jalan Terusan Ryacudu, Desa Way Hui, Kecamatan Jati Agung, Lampung
Selatan 35365 Telepon:(0721) 8030188, Email: pusat@itera.ac , Website:
http://www.itera.ac.id

LEMBAR ASISTENSI
Nama Anggota : Indra Anggi (118170012)
Fernando Loe P. (118170027)
Imam Sulistiyo (118170035)
Bayu Prastio (118170074)
Raden Achmad Fachrozi (17117092)
Bastian Roni Petrus M. (118170094)
M. Ryan Mahendra P. (118170107)
Kelompok :4
Modul : (Modul 2) (Free Convection: Time-Temperature
Variation)
NO TANGGAL KETERANGAN PARAF
1. 26-11-2020 1. Perbaiki format cover
2. BAB IV, perbaiki perhitungan ̇
tidak perlu dibagi dengan t, ikuti data
yang sudah tertera.

2. 26-11-2020 1. ACC
BAB I

PENDAHULUAN

2.1.1 Latar Belakang


Perpindahan panas adalah salah satu dari displin ilmu teknik termal
yang mempelajari cara menghasilkan panas, menggunakan panas, mengubah
panas, dan menukarkan panas di antara sistem fisik. Perpindahan panas
diklasifikasikan menjadi konduktivitas termal, konveksi termal, radiasi
termal, dan perpindahan panas melalui perubahan fasa.
Konduksi termal adalah pertukaran mikroskopis langsung dari
energikinetik partikel melalui batas antara dua sistem. Ketika suatu
objek memiliki temperatur yangberbeda dari benda atau lingkungan di
sekitarnya, panas mengalir sehingga keduanya memiliki temperatur yang
sama pada suatu titik kesetimbangan termal. Perpindahan panas secara
spontan terjadi dari tempat bertemperatur tinggi ke tempat bertemperatur
rendah, seperti yang dijelaskan oleh hukum kedua termodinamika.
Konveksi terjadi ketika aliran bahan curah atau fluida (gas atau cairan)
membawa panas bersama dengan aliran materi. Aliran fluida dapat terjadi
karena proses eksternal, seperti gravitasi atau gaya apung akibat
energi panas mengembangkan volume fluida. Konveksi paksa terjadi
ketika fluida dipaksa mengalir menggunakan pompa, kipas, atau cara
mekanis lainnya.
Konveksi terjadi akibat adanya pergerakan fluida, oleh karena itu
konveksi dapat dibedakan menjadi 2, yaitu konveksi alami dan konveksi
paksa. Konveksi alami (konveksi bebas) terjadi karena fluida bergerak
secara alamiah di mana pergerakan fluida tersebut lebih disebabkan oleh
perbedaan massa jenis fluida akibat adanya variasi suhu pada fluida tersebut.
Konveksi paksa terjadi karena bergeraknya fluida bukan karena faktor
alamiah.
Praktikum ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik proses
perpindahan panas konveksi alami, menggunakan suatu uji coba peralatan
dengan cara memodelkan pada kondisi operasional yang sebenarnya.
2.1.2 Tujuan Praktikum
Adapun Tujuan dari praktikum Free Convection: Time-Temperature
Variation yang akan dilakukan kali ini adalah sebagai berikut:
a. Dapat merangkai dan mengoperasikan peralatan free and force
convection.
b. Mengenal dan memahami komponen-komponen peralatan free and force
convection beserta fungsinya.
c. Dapat memahami fenomena fisik perpindahan panas konveksi alami.
d. Untuk mengetahui karakteristik sesungguhnya proses perpindahan panas
konveksi alami.
BAB II
LANDASAN TEORI

2.2.1 Perpindahan Panas


Perpindahan panas terjadi karena perbedaan suhu yang terdapat pada
suatu benda. Perpindahan panas dapat berlangsung melalui salah satu dari
tiga cara yaitu konduksi, radiasi, konveksi. Perpindahan panas seketika ini
selalu dalam arah yang cenderung menyamakan suhu. jika hal tersebut
dibiarkan maka suhu keduanya akan sama dan keduanya dikatakan dalam
keadaan kesetimbangan termal dan tidak terjadi perpindahan panas diantara
keduanya (Idawati Supu, 2016).

2.2.2 Perpindahan Panas Konveksi


Perpindahan panas konveksi merupakan perpindahan panas yang
terjadi akibat adanya perbedaan temperatur yang menyebabkan gerakan
acak antarmolekul dan bulk motion of fluid. Semakin cepat pergerakan
fluida, maka akan semakin besar pula laju perpindahan panas konveksi yang
terjadi. Namun, apabila fluida tidak bergerak atau stationary maka
mekanisme perpindahan panas yang terjadi adalah konduksi. Konveksi
terjadi akibat adanya pergerakan fluida, oleh karena itu konveksi dapat
dibedakan menjadi 2, yaitu konveksi alami dan konveksi paksa. Konveksi
alami (konveksi bebas) terjadi karena fluida bergerak secara alamiah di
mana pergerakan fluida tersebut lebih disebabkan oleh perbedaan massa
jenis fluida akibat adanya variasi suhu pada fluida tersebut. Konveksi paksa
terjadi karena bergeraknya fluida bukan karena faktor alamiah. Persamaan
konveksi dapat di tulis dengan :
…………………........................(2.1)
Dimana :
Q = Laju perpindahan panas konveksi
h = Koefisien perpindahan panas konveksi (W/m2 oC)
A = Luas penampang (m2 )
∆T = Perubahan atau perbedaan temperaur ( oC)
2.2.3 Contoh Konveksi Alami Pada Angin Darat dan Laut
Perpindahan konveksi juga terjadi pada angin darat dan angin laut.
Angin darat lebih sering terjadi pada malam hari. Sebab, pada malam hari
lautan memiliki kalor yang lebih tinggi dibandingkan daratan. Hal ini
membuat daratan lebih dingin ketika disinari matahari. Begitupun
sebaliknya jika siang hari, daratan akan cepat panas ketika disinari matahari.
Perpindahan kalor secara konveksi pada angin darat terjadi ketika
adanya pergantian udara. Dimana udara di lautan akan bergerak naik.
Kemudian udara tersebut akan digantikan dengan udara dari daratan.
Berbeda dengan angin laut yang terjadi pada siang hari. Udara di siang hari
membuat daratan memiliki kalor lebih besar daripada lautan.
Hal ini juga mengakibatkan terjadinya perpindahan kalor sekaligus
pergantian udara. Udara yang ada di daratan mengalami kenaikan.
Kemudian kembali digantikan dengan udara dari laut. Proses angin darat
dan angin laut terjadi bergantian saat siang dan malam. Perpindahan kalor
secara konveksi menimbulkan terjadinya perbedaan massa jenis. Perantara
zat tersebut juga akan mengalami perpindahan kalor.

2.2.4 Koefisien Perpindahan Panas


Koefisien perpindahan panas digunakan dalam
perhitungan perpindahan panas konveksi atau perubahan wujud antara cair
dan padat. Koefisien perpindahan panas banyak dimanfaatkan dalam
ilmu termodinamika dan mekanika serta teknik kimia.

………………………………(2.2)

Dimana
ΔQ = panas yang masuk atau panas yang keluar, W
h = koefisien perpindahan panas, W/(m2K)
A = luas permukaan perpindahan panas, m2
= perbedaan temperatur antara permukaan padat dengan luas
permukaan kontak dengan fluida, K
(Kusuma, 2018).
2.2.5 Perpindahan Panas Steady vs Transient
a. Steady State
Tidak dipengaruhi/tidak tergantung pada waktu setiap titik perpindahan
panas pada mediumnya.

Gambar 2.2.1 steady state

b. Transient
Dipengaruhi/tergantung pada perubahan waktu.

Gambar 2.2.2 Transient

2.2.6 Konduktivitas Termal


Nilai kondukitivitas termal suatu bahan menunjukkan laju perpindahan
panas yang mengalir dalam suatu bahan. Konduktivitas thermal kebanyakan
bahan merupakan fungsi suhu, dan bertambah sedikit kalau suhu naik, akan
tetapi variasinya kecil dan sering kali diabaikan. Jika nilai konduktivitas
termal suatu bahan makin besar, maka makin besar juga panas yang
mengalir melalui benda tersebut. Karena itu, bahan yang harga k-nya besar
adalah penghantar panas yang baik, sedangkan bila k-nya kecil bahan itu
kurang menghantar atau merupakan isolator
Gambar 2.2.3 Alat uji konduktivitas termal

2.2.7 Konduktivitas Panas


Laju perambatan panas pada padatan ditentukan oleh konduktivitas
panas, σT, dan gradien temperatur, dq/dT. Jika didefinisikan q sebagai
jumlah kalori yang melewati satu satuan luas (A) per satuan waktu ke arah x
maka
dx Q dT q = σ−= T A…………………………(2.3)
Tanda minus menunjukkan bahwa aliran panas berjalan dari temperatur
tinggi ke temperatur rendah.
Konduktivitas thermal dalam kristal tunggal tergantung dari arah
kristalografis. Dalam rekayasa praktis, yang disebut konduktivitas thermal
merupakan nilai rata-rata konduktivitas dari padatan polikristal yang
tersusun secara acak. Gambar 1.2.8 memuat konduktivitas panas beberapa
macam material. Pada temperatur kamar, metal memiliki konduktivitas
thermal yang baik dan konduktivitas listrik yang baik pula karena elektron-
bebas berperan dalam berlangsungnya transfer panas. Pada material dengan
ikatan ion ataupun ikatan kovalen, di mana elektron kurang dapat bergerak
bebas, transfer panas berlangsung melalui phonon. Walaupun phonon
bergerak dengan kecepatan suara, namun phonon memberikan konduktivitas
panas yang jauh di bawah yang diharapkan. Hal ini disebabkan karena
dalam pergerakannya phonon selalu berbenturan sesamanya dan juga
berbenturan dengan ketidak-sempurnaan kristal. Sementara itu dalam
polimer perpindahan panas terjadi melalui rotasi, vibrasi, dan translasi
molekul.

Gambar 2.2.4 σT untuk beberapa material pada 300 K

2.2.8 Isolator Termal


Isolator thermal yang baik adalah material yang porous. Rendahnya
konduktivitas thermal disebabkan oleh rendahnya konduktivitas udara yang
terjebak dalam pori-pori. Namun penggunaan pada temperatur tinggi yang
berkelanjutan cenderung terjadi pemadatan yang mengurangi kualitasnya
sebagai isolator thermal. Isolator thermal yang paling baik adalah ruang
hampa, karena panas hanya bisa dipindahkan melalui radiasi. Material
polimer yang porous bisa mendekati kualitas ruang hampa pada temperatur
sangat rendah; gas dalam pori yang membeku menyisakan ruang-ruang
hampa yang bertindak sebagai isolator. Material isolator jenis ini banyak
digunakan dalam aplikasi cryogenic.

Gambar 2.2.5 Material Porous


2.2.9 Panas Spesifik
Panas spesifik (specific heat) adalah kapasitas panas per satuan massa
per derajat K, yang juga sering dinyatakan sebagai kapasitas panas per mole
per derajat K. Untuk membedakan dengan kapasitas panas yang ditulis
dengan huruf besar (Cv dan Cp), maka panas spesifik dituliskan dengan
huruf kecil (cv dan cp) (Sudirham, 2013)

2.2.10 Suhu/Temperatur
Suhu merupakan ukuran atau derajat panas atau dinginnya suatu benda
atau sistem. Suhu di definisikan sebagai suatu besaran fisika yang dimiliki
bersama antara dua benda atau lebih yang berada dalam kesetimbangan
termal. Jika panas dialirkan pada suhu benda, maka suhu benda tersebut
akan turun jika benda yang bersangkutan kehilangan panas. Akan tetapi
hubungan antara satuan panas dengan satuan suhu tidak merupakan suatu
konstanta, karena besarnya peningkatan suhu akibat penerimaan panas
dalam jumlah tertentu akan dipengaruhi oleh daya tampung panas (heat
capacity) yang dimiliki oleh benda penerima tersebut.
Suatu benda yang dalam keadaan panas dikatakan memiliki suhu yang
tinggi, dan sebaliknya, suatu benda yang dalam keadaan dingin dikatakan
memiliki suhu yang rendah. Perubahan suhu benda, baik menjadi lebih
panas atau menjadi lebih dingin biasanya diikuti dengan perubahan bentuk
atau wujudnya. Misalnya, perubahan wujud air menjadi es batu atau uap air
karena pengaruh panas atau dingin.
Sejumlah es batu yang dipanaskan akan berubah wujud menjadi air.
Bila terus-menerus dipanaskan, maka pada suatu ketika (ketika telah
mencapai titik didih) air akan mendidih dan berubah wujud menjadi uap air
atau gas. Proses sebaliknya terjadi mana kala air yang berada dalam bentuk
gas atau uap air didinginkan, maka akan kembali ke bentuk cair, dan ketika
terus didinginkan, maka pada saat tertentu (ketika telah mencapai titik beku)
air akan membeku dan kembali berwujud padat yaitu es batu.
2.2.11 Pengukur Temperatur/Suhu
Termometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur suhu sebuah
benda. Termometer bekerja dengan memanfaatkan perubahan sifat
termometrik suatu benda ketika benda tersebut mengalami perubahan suhu.
Perubahan sifat termometrik suatu benda menunjukkan adanya perubahan
suhu benda, dan dengan melakukan kalibrasi atau peneraan tertentu
terhadap sifat termometrik yang teramati dan terukur, maka nilai suhu benda
dapat dinyatakan secara kuantitatif. Tidak semua sifat termometrik benda
yang dapat dimanfaatkan dalam pembuatan termometer.
Sifat termometrik yang dapat digunakan dalam pembuatan
termometer harus merupakan sifat termometrik yang teratur. Artinya,
perubahan sifat termometrik terhadap perubahan suhu harus bersifat tetap
atau linier, sehingga peneraan skala termometer dapat dibuat lebih mudah
dan termometer tersebut nantinya dapat digunakan untuk mengukur suhu
secara teliti. Berdasarkan sifat termometrik yang dimiliki suatu benda, jenis-
jenis termometer diantaranya termometer zat cair, termometer gas,
termometer hambatan, termokopel, pirometer, termometer bimetal, dan
sebagainya. Sedangkan berdasarkan hasil tampilan pengukurannya,
termometer dibagi menjadi termometer analog dan termometer digital

Gambar 2.2.6 Skema berbagai termometer, (a) termometer raksa (alkohol)


dalam pipa, (b) termometer gas volume konstan, (c) termometer hambatan
platina

Untuk dapat mengkuantitatifkan hasil pengukuran suhu dengan


menggunakan termometer maka diperlukan angka-angka dan skala-skala
tertentu. Penetapan skala yang terpenting adalah penetapan titik tetap bawah
dan titik tetap atas sebagai titik acuan pembuatan skala-skala dalam
termometer. Untuk penetapan titik tetap bawah sebuah termometer pada
umumnya dipilih titik beku air murni pada tekanan normal, yaitu suhu
campuran antara es dan air murni pada tekanan normal. Sedangkan
penetapan titik tetap atas sebuah termometer umumnya dipilih titik didih air
murni, yaitu suhu ketika air murni mendidih pada tekanan normal.
Setidaknya terdapat empat macam skala termometer yang biasa digunakan,
yaitu Celcius, Reamur, Fahrenheit, dan Kelvin. Titik tetap bawah untuk
skala Celcius dan Reamur ditetapkan pada skala 0°C dan 0°R, sedangkan
untuk Fahrenheit ditetapkan pada skala 32°F. Ketiga skala titik tetap bawah
untuk masing-masing skala termometer ini diambil dari titik beku air murni
(titik lebur es murni) pada tekanan normal. Adapun titik tetap atas ketiga
skala ini berbeda-beda, dimana untuk Celcius ditetapkan pada 100°C, untuk
Reamur ditetapkan pada 80°R, dan untuk Fahrenheit ditetapkan pada 212°F.
Ketiga skala titik tetap atas untuk masing-masing skala termometer ini
diambil dari titik didih air murni pada tekanan normal. Pada skala Kelvin,
titik tetap bawah ketiga skala termometer ini bersesuaian dengan skala 273
K dan titik tetap atasnya bersesuaian dengan 373 K. Khusus untuk skala
Kelvin, titik yang tetap bawah tidak didasarkan pada titik beku air, namun
didasarkan pada ukuran energi kinetik rata-rata molekul suatu benda. Dalam
hal ini, nol Kelvin (tanpa derajat) dinamakan nol mutlak (nol absolut),
artinya tidak ada suhu-suhu di bawah suhu nol mutlak, atau ketika nilai suhu
mendekati nilai nol mutlak, maka energi kinetik rata-rata partikel
mempunyai suatu nilai yang minimum.
Oleh karena itu, berdasarkan fakta tersebut, maka skala Kelvin
dinamakan skala suhu mutlak atau skala suhu absolut, atau disebut juga
skala termodinamik. Kelvin menjadi satuan standar SI untuk besaran pokok
suhu. Perpindahan panas nilai derajatnya diukur dengan menggunakan skala
kelvin.
2.2.12 Perubahan frasa Panas
Bila panas diberikan pada suatu zat pada tekanan konstan, maka
biasanya, hasilnya adalah kenaikan 13inetic13ure zat. Namun kadang-
kadang zat dapat menyerap panas dalam jumlah besar tanpa mengalami
perubahan apapun dalam temperaturnya. Ini terjadi selama perubahan fasa,
artinya ketika kondisi fisik zat itu berubah dari satu bentuk ke bentuk lain.
Jenis perubahan fasa adalah pembekuan (perubahan cairan menjadi
padatan), penguapan (perubahan cair menjadi uap atau gas), sublimasi
(perubahan padat menjadi gas). Ada juga perubahan fasa lain, seperti bila
padatan akan berubah dari satu bentuk kristalin ke bentuk lain.
Perubahan fasa dapat dimengerti dengan teori 13inetic13u. Kenaikan
13inetic13ure zat menggambarkan kenaikan 13ineti 13inetic gerakan
molekul-molekul. Bila suatu zat berubah dari cairan menjadi bentuk gas,
molekul-molekul yang dekat dalam bentuk cairan di gerakan saling
menjauh. Ini perlu usaha untuk melawan gaya-gaya tarik yang di
mempertahankan molekul berdekatan, artinya diperlukan 13ineti untuk
memisahkan mereka. Energi ini beralih menjadi 13ineti potensial molekul.
Karena itu, 13inetic13ure zat yang merupakan ukuran 13ineti 13inetic
rata-rata molekul gas tidak berubah.

2.2.13 Konduktivitas Termal


Nilai kondukitivitas termal suatu bahan menunjukkan laju perpindahan
panas yang mengalir dalam suatu bahan. Konduktivitas thermal kebanyakan
bahan merupakan fungsi suhu, dan bertambah sedikit kalau suhu naik, akan
tetapi variasinya kecil dan sering kali diabaikan. Jika nilai konduktivitas
termal suatu bahan makin besar, maka makin besar juga panas yang
mengalir melalui benda tersebut. Karena itu, bahan yang harga k-nya besar
adalah penghantar panas yang baik, sedangkan bila k-nya kecil bahan itu
kurang menghantar atau merupakan isolator (Tripler, 2009).
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM

2.3.1 Alat dan Bahan


Adapun alat dan bahan pada praktikum force convection: time,
temperature and velocity variation adalah sebagai berikut, yaitu:
a. Mesin Free and Force Convection
Mesin free and force convection, yaitu alat yang berfungsi sebagai
mengetahui fenomena konveksi secara natural dan konveksi paksa;

Gambar 2.3.1. Mesin Free and Force Convection

b. Bahan yang Digunakan: Flat Plate, Pinned Surface, dan Finned Surface
Flat flate, pinned surface, dan finned surface, yaitu bahan yang
digunakan saat uji konveksi paksa. Berikut merupakan bahan-bahan
yang diujikan, yaitu;
1. Flat Plate;

Gambar 2.3.2 Flat Plate

2. Pinned Surface

Gambar 2.3.3. Pinned Surface

3. Finned Surface

Gambar 2.3.4. Finned Surface


c. Stopwatch
Stopwatch yaitu alat yang berfungsi untuk mengukur waktu dengan
ketelitian hingga ms

Gambar 2.3.5. Stopwatch

d. Anemometer
Anemometer, yaitu alat yang berfungsi untuk membaca laju alir fluida
yang melewati pipa; dan

Gambar 2.3.6. Anemometer


e. Fan
Fan yaitu bagian alat yang digunakan untuk menggerakkan fluida untuk
force convection.

Gambar 2.3.7. Fan

2.3.2 Prosedur Percobaan


Pada praktikum kali ini ada beberapa langkah kerja yang harus
dilakukan oleh praktikan sebagai berikut:
a. Menyalakan perangkat computer (PC).
b. Menjalankan software VDAS (Klik dua kali pada icon VDAS).
c. Memasang permukaan perpindahan panas yang telah di tentukan
(Finned, Pinned, dan Flat Plate).
d. Menghidupkan mesin dengan menekan tombol power mesin yang
terletak di belakang mesin.
e. Menghidupkan power heater menekan tombol power mesin yang
terletak didepan mesin.
f. Menjalankan program VDAS klik “star”.
g. Mengatur power heater hingga mencapai 15 Watt (yang telah
ditentukan).
h. Menunggu hingga pembacaan temperature stabil (15 menit).
i. Menghidupkan fan dengan cara putar fan searah jarum jam sebesar 2
m.s-1 (yang telah ditentukan).
j. Menyatat perubahan temperature dengan interval 30 sekon selama 480
dengan cara klik “record data”.
k. Mematikan fan dengan cara putar fan berlawanan arah jarum jam
hingga pembacaan flow rate 0.
l. Mengulangi percobaan 7-11 dengan mengganti permukaan kerja
perpindahan panas (Finned, Pinned dan Flat Plate) dan variasi Power
Heater.
m. Bila telah selesai, mengatur power heater hingga nol kemudian
matikan power heater.
n. Mematikan power mesin dan PC.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

2.4.1 Data Hasil Praktikum


Adapun data-data yang didapatkan dari hasil praktikum free
convection ini adalah sebagai berikut
a. Data
Tabel 3.4.1. Free convection pada flat plate surface power 15 W
Power: 15 watt
Heat transfer flat plate surface
T1 T2 T3
̇ Time Difference Tm hc
No inlet Surface outlet
(Watt) (s) (ºC) (ºC) (ºC) (T2-T1) (ºC) (W/m2.K)
1 15 30 29,6 55,2 32,3 25,6 55,77 24,01
2 15 60 29,6 57,8 32,4 28,2 61,65 21,72
3 15 90 29,6 60,3 32,4 30,7 67,41 19,86
4 15 120 29,6 62,7 32,5 33,1 72,82 18,39
5 15 150 29,6 64,7 32,6 35,1 77,31 17,32
6 15 180 29,6 66,6 32,7 37 81,57 16,41
7 15 210 29,6 68,3 32,7 38,7 85,49 15,66
8 15 240 29,5 69,9 32,8 40,4 89,17 15,02
9 15 270 29,5 71,2 32,9 41,7 92,04 14,55
10 15 300 29,5 72,5 32,9 43 95,04 14,09
11 15 330 29,5 73,9 33 44,4 98,15 13,64
12 15 360 29,5 74,8 33 45,3 100,22 13,36
13 15 390 29,5 75,9 33,1 46,4 102,63 13,05
14 15 420 29,6 76,8 33,2 47,2 104,48 12,82
15 15 450 29,6 77,8 33,2 48,2 106,78 12,54
16 15 480 29,6 78,5 33,3 48,9 108,28 12,37
17 15 510 29,6 79,2 33,3 49,6 109,89 12,18
Tabel 3.4.2. Free convection pada finned surface power 15 W
Power: 15 watt
Heat transfer finned surface
T1 T2 T3
̇ Time Difference Tm hc
No inlet Surface outlet
(Watt) (s) (ºC) (ºC) (ºC) (T2-T1) (ºC) (W/m2.K)
1 15 30 29,1 41,6 34,4 12,5 22,12 7,37
2 15 60 29,1 43,8 34,3 14,7 27,42 5,94
3 15 90 29,1 45,4 34,3 16,3 31,16 5,23
4 15 120 29,1 46,8 34,3 17,7 34,42 4,73
5 15 150 29,1 47,6 34,4 18,5 36,15 4,51
6 15 180 29,1 49,1 34,5 20 39,51 4,12
7 15 210 29,1 50 34,6 20,9 41,47 3,93
8 15 240 29 50,9 34,7 21,9 43,53 3,74
9 15 270 29 51,6 34,8 22,6 45,03 3,62
10 15 300 29 52,3 34,9 23,3 46,52 3,50
11 15 330 29 52,9 34,9 23,9 47,92 3,40
12 15 360 29 53,6 35,1 24,6 49,28 3,30
13 15 390 29 53,9 35,2 24,9 49,85 3,27
14 15 420 29,1 54,4 35,4 25,3 50,65 3,21
15 15 450 29,1 54,8 35,4 25,7 51,58 3,16
16 15 480 29,1 55,2 35,6 26,1 52,25 3,12
17 15 510 29,1 55,7 35,8 26,6 53,16 3,06
Tabel 3.4.3. Free convection pada flat plate surface power 25 W
Power: 25 watt
Heat transfer flat plate surface
T1 T2 T3
̇ Time Difference Tm hc
No inlet Surface outlet
(Watt) (s) (ºC) (ºC) (ºC) (T2-T1) (ºC) (W/m2.K)
1 25 30 29,4 54,7 34,3 25,3 52,41 42,58
2 25 60 29,4 58,7 34,4 29,3 61,52 36,27
3 25 90 29,4 62 34,4 32,6 69,14 32,28
4 25 120 29,4 64,9 34,5 35,5 75,71 29,48
5 25 150 29,4 68,3 34,6 38,9 83,44 26,75
6 25 180 29,4 69,9 34,7 40,5 87,01 25,65
7 25 210 29,4 71,6 34,7 42,2 90,93 24,54
8 25 240 29,4 73,2 34,8 43,8 94,49 23,62
9 25 270 29,4 74,8 34,9 45,4 98,06 22,76
10 25 300 29,4 75,9 34,9 46,5 100,60 22,18
11 25 330 29,4 76,8 35 47,4 102,56 21,76
12 25 360 29,4 77,8 35 48,4 104,86 21,28
13 25 390 29,4 78,5 35,1 49,1 106,36 20,98
14 25 420 29,4 79,2 35,2 49,8 107,85 20,69
15 25 450 29,4 79,7 35,2 50,3 109,01 20,47
16 25 480 29,4 81,1 35,3 51,7 112,11 19,91
17 25 510 29,4 81,8 35,3 52,4 113,72 19,62
Tabel 3.4.4. Free convection pada finned surface power 25 W
Power: 25 watt
Heat transfer finned surface
T1 T2 T3
̇ Time Difference Tm hc
No inlet Surface outlet
(Watt) (s) (ºC) (ºC) (ºC) (T2-T1) (ºC) (W/m2.K)
1 25 30 28,4 42,2 36,4 13,8 21,25 12,78
2 25 60 28,4 44,8 36,3 16,4 27,68 9,81
3 25 90 28,4 46,8 36,3 18,4 32,42 8,38
4 25 120 28,4 47,6 36,3 19,2 34,31 7,92
5 25 150 28,4 49,1 36,4 20,7 37,70 7,20
6 25 180 28,4 50,9 36,5 22,5 41,79 6,50
7 25 210 28,5 51,6 36,6 23,1 43,19 6,29
8 25 240 28,5 53,6 36,7 25,1 47,73 5,69
9 25 270 28,5 54,4 36,8 25,9 49,46 5,49
10 25 300 28,5 54,8 36,9 26,3 50,27 5,40
11 25 330 28,4 55,2 36,9 26,8 51,30 5,29
12 25 360 28,4 55,7 37,1 27,3 52,20 5,20
13 25 390 28,4 55,9 37,2 27,5 52,54 5,17
14 25 420 28,4 60,2 37,4 31,8 62,28 4,36
15 25 450 28,4 60,8 37,4 32,4 63,68 4,26
16 25 480 28,4 61,2 37,6 32,8 64,35 4,22
17 25 510 28,4 61,6 37,8 33,2 65,02 4,18
b. Perhitungan
1. Free Convection Flat Plate Surface Power 15 Watt
a) Tm
b) Hc

̇
2. Free Convection Finned Surface Power 15 Watt
a) Tm
b) Hc

̇
3. Free Convection Flat Plate Surface Power 25 Watt
a) Tm
b) Hc

̇
4. Free Convection Finned Surface Power 25 Watt
a) Tm
b) Hc

̇
2.4.2 Pembahasan
Fluida quiescent merupakan sebuah kategori dari sebuah fluida yang
diam. Pada hakikatnya, fluida ini merupakan fluida yang memiliki bulk
property dalam jumlah tak hingga saat tidak ada konveksi paksa yang
dikenakan padanya. Dengan demikian, fluida akan memperlihatkan semua
sifat yang dimilikinya tanpa melalui proses yang dilakukan untuk suatu
tujuan tertentu, baik dalam jumlah yang besar maupun kecil. Fluida
quiescent bukanlah suatu jenis fluida, melainkan suatu keadaan fluida ketika
tidak mengalami perubahan sifat apapun karen faktor internal maupun
eksternal. Fluida tersebut berada dalam keadaan stagnan dan diamati pada
keadaan tersebut.
Velocity boundary layer pada aliran udara melalui plat datar akan
mengalirkan fluida secara uniform pada sepanjang plat, dan velocity
boundary layer akan terus berkembang setiap kali ada aliran di atas
permukaan. Hal tersebut dipengaruhi oleh tegangan geser sejajar dengan
permukaan dan peningkatan kecepatan akan dihasilkan melalui boundary
layer dari nol tepat di permukaan ke kecepatan freestream jauh dari
permukaan. Pada konveksi bebas, udara mengalir melalui sistem tanpa
ditarik atau didorong oleh suatu alat atau faktor lain yang memaksa udara
tersebut mengalir di dalam sistem. Dengan demikian, kecepatan udara pada
konveksi bebas cenderung rendah. Sama halnya dengan velocity boundary
layer pada konveksi bebas yang tidak besar karena besar udara yang melalui
penampang pelat tidaklah besar. Pada konveksi paksa, kecepatan aliran
udara dapat diatur secara bebas dalam sistem, baik itu lambat maupun cepat.
Jika aliran udara diatur mengair secara lambat, maka akan memperlihatkan
velocity boundary layer yang kecil. Namun, jika aliran udara diatur mengalir
secara cepat, maka akan menghasilkan velocity boundary layer yang lebih
besar, dan velocity boundary layer akan semakin besar jika kecepatan aliran
udara dalam sistem diatur bergerak cepat.
Koefisien konveksi bukanlah suatu karakteristik yang dimiliki fluida,
melainkan sebuah nilai yang menunjukkan mudah atau sulitnya konveksi
terjadi pada suatu fluida. Besaran koefisien konveksi, didapatkan dengan
melalui eksperimen terhadap fluida ketika terjadi perbedaan temperatur
antara fluida tersebut dengan kondisi di sekitarnya. Pada free convection,
udara mengalir dalam jumlah yang umumnya lebih sedikit jika
dibandingkan forced convection. Sistem dengan free convection memiliki
permukaan dengan temperatur yang diatur oleh sistem itu sendiri dengan
tanpa atau minim pengaruh dari udara yang memasuki sistem. Dengan
begitu, sistem yang memiliki daya sedemikian besar akan menghasilkan
permukaan yang semakin panas seiring berjalannya waktu, sehingga
koefisien konveksi pada permukaan akan mengecil seiring berjalannya
waktu. Sebaliknya, sistem forced convection dapat mengatur jumlah udara
yang memasuki sistem. Temperatur dari udara yang memasuki sistem akan
memiliki besaran yang tidak jauh berbeda dengan lingkungannya. Dengan
demikian, pada sistem yang permukaannya memiliki temperatur tinggi akan
mengikuti temperatur udara yang memasuki sistem. Maka, koefisien
konveksi pada forced convection akan semakin besar seiring berjalannya
waktu. Perbedaan koefisien konveksi pada kedua jenis konveksi tersebut
lebih dominan pada perbedaan temperatur pada sistemnya.
Grafik Perbedaan Temperatur Terhadap Waktu
60

Perbedaan temperatur (ºC)


50
40
30
20
10
0
0 100 200 300 400 500 600
Waktu (s)

Q = 15 Watt {Flat plate surface} Q = 15 Watt {Finned surface}


Q = 25 Watt {Flat plate surface} Q = 25 Watt {Finned surface}

Grafik 3.4.1 Perbedaan temperatur terhadap Waktu

Berdasarkan grafik tersebut, dapat diketahui bahwa temperatur pada


flat plate surface dan finned surface memiliki perbedaan yang cukup jauh
ketika dua jenis besar daya diterapkan pada sistem. Pada flat plate surface,
temperatur pada permukaannya tinggi dan rendah pada inlet sistem.
Sementara, pada finned surface memiliki perbedaan temperatur pada
permukaan tidak begitu jauh lebih tinggi daripada inlet sistemnya. Pada flat
plate surface dengan daya 15 Watt, perbedaan temperatur yang dimiliki
sistem berkisar 25,6ºC—49,6ºC, dan , perbedaan temperatur yang dimiliki
sistem berkisar 25,3ºC—52,4ºC pada sistem dengan daya 25 Watt. Pada
finned surface dengan daya 15 Watt, perbedaan temperatur yang dimiliki
sistem berkisar 12,5ºC—26,6ºC, dan , perbedaan temperatur yang dimiliki
sistem berkisar 13,8ºC—33,2ºC pada sistem dengan daya 25 Watt.
Berdasarkan pengamatan tersebut, dapat diketahui perbedaan
temperatur pada kedua sistem akan semakin tinggi jika daya yang
diterapkan juga semakin tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh daya yang
meciptakan panas terhantar pada seluruh penampang permukaan. Selain itu,
bentuk permukaan yang dilalui oleh udara adalah faktor yang
mempengaruhi perbedaan temperatur. Pada flat plate surface, udara yang
bergerak satu arah akan mengenai permukaan dengan arah sejajar dengan
permukaan satu sisi, sehingga udara memberikan temperatur lingkungan
pada permukaan. Pada finned surface, udara akan mengenai sejumlah
penampang yang luasnya secara kumulatif lebih luas dibandingkan dengan
flat plate surface. Dengan demikian, konveksi alami oleh udara akan lebih
banyak diterima oleh finned surface, sehingga menghasilkan perbedaan
temperatur yang lebih minim pada fnned surface.

Grafik Koefisien Konveksi Terhadap Temperatur


Permukaan
2
Koefisien Konveksi (W/m2.K)

1.5

0.5

0
40 50 60 70 80 90
Temperatur Permukaan (ºC)

Q = 15 Watt {Flat plate surface} Q = 15 Watt {Finned surface}


Q = 25 Watt {Flat plate surface} Q = 25 Watt {Finned surface}

Grafik 3.4.2 Koefisien konveksi terhadap temperatur permukaan

Berdasarkan grafik tersebut, dapat diketahui bahwa koefisien konveksi


pada flat plate surface dan finned surface memiliki kemiripan dalam
berbagai peninjauan dalam percobaan. Dengan besar temperatur permukaan
yang berbeda, nilai koefisien konveksi pada kedua jenis permukaan tidak
jauh berbeda. Pada flat plate surface, temperatur permukaan terlihat lebih
tinggi dibandingkan dengan finned surface, dan semakin tinggi daya pada
sistem akan menghasilkan temperatur permukaan yang lebih tinggi. Namun,
koefisien konveksi yang teridentifikasi dari kedua jenis permukaan tetap
tidak begitu berbeda.
Pada flat plate surface, koefisien konveksi tertinggi adalah 0,8
2
W/m .K dengan temperatur permukaan 55,2ºC setelah sistem berjalan 30
detik dengan daya diberikan pada sistem sebesar 15 Watt. Kemudian, nilai
koefisien konveksi menurun secara drastis seiring berjalannya waktu. Secara
analitis, koefisien konveksi mengalami penurunan kuadratik. Pada akhir
sistem berjalan, 510 detik, koefisien konveksi yang teridentifikasi adalah
sebesar 0,023 W/m2.K dengan temperatur permukaan sebesar 79,2ºC. Pada
sistem dengan daya 25 Watt, koefisien konveksi tertinggi adalah 1,42
W/m2.K dengan temperatur permukaan 54,7ºC setelah sistem berjalan 30
detik. Nilai koefisien konveksi sama menurun secara drastis seiring
berjalannya waktu secara kuadratik. Pada akhir sistem berjalan, 510 detik,
koefisien konveksi yang teridentifikasi adalah sebesar 0,038 W/m2.K
dengan temperatur permukaan sebesar 81,8ºC.
Pada finned surface, koefisien konveksi tertinggi adalah 0,83 W/m2.K
dengan temperatur permukaan 41,6ºC setelah sistem berjalan 30 detik
dengan daya diberikan pada sistem sebesar 15 Watt. Kemudian, nilai
koefisien konveksi menurun secara drastis seiring berjalannya waktu. Secara
analitis, koefisien konveksi mengalami penurunan kuadratik. Pada akhir
sistem berjalan, 510 detik, koefisien konveksi yang teridentifikasi adalah
sebesar 0,02 W/m2.K dengan temperatur permukaan sebesar 55,7ºC. Pada
sistem dengan daya 25 Watt, koefisien konveksi tertinggi adalah 1,45
W/m2.K dengan temperatur permukaan 42,2ºC setelah sistem berjalan 30
detik. Nilai koefisien konveksi sama menurun secara drastis seiring
berjalannya waktu secara kuadratik. Pada akhir sistem berjalan, 510 detik,
koefisien konveksi yang teridentifikasi adalah sebesar 0,028 W/m2.K
dengan temperatur sebesar 61,6ºC.
Dengan demikian, dapat diketahui nilai-nilai koefisien konveksi pada
kedua jenis permukaan cukup mirip dengan temperatur permukaan yang
sedemikian rupa. Berdasarkan pengamatan, besaran daya yang diterapkan
pada kedua jenis permukaan tidak hanya menjadi pembilang yang
menentukan koefisien konveksi, tetapi juga mempengaruhi temperatur
permukaan, karena daya pada sistem akan memanaskan permukaan. Selain
itu, besarnya temperatur permukaan menjadi pembeda utama dari perbedaan
temperatur pada sistem. Salah satu faktor yang tidak diperhitungkan yang
mempengaruhi besarnya koefisien konveksi adalah jenis material
permukaan. Pada percobaan ini, jenis material yang sama pada kedua jenis
permukaan merupakan material yang sama, sehingga dapat diasumsikan
besarnya koefisien konveksi juga memiliki variasi nilai yang similar.

Grafik Koefisien Konveksi Terhadap Perbedaan


Temperatur
2
Koefisien Konveksi (W/m2.K)

1.5

0.5

0
20 40 60 80 100 120
Perbedaan Temperatur (ºC)

Q = 15 Watt {Flat plate surface} Q = 15 Watt {Finned surface}


Q = 25 Watt {Flat plate surface} Q = 25 Watt {Finned surface}

Grafik 3.4.3 Koefisien konveksi terhadap perbedaan temperatur

Berdasarkan grafik tersebut, dapat diketahui bahwa koefisien konveksi


pada flat plate surface dan finned surface memiliki kemiripan dalam
berbagai peninjauan dalam percobaan. Dengan perbedaan temperatur yang
berbeda, nilai koefisien konveksi pada kedua jenis permukaan tidak jauh
berbeda. Pada flat plate surface, perbedaan temperatur pada permukaannya
lebih tinggi dibandingkan dengan finned surface, dan semakin tinggi daya
pada sistem akan menghasilkan perbedaan temperatur yang lebih tinggi.
Namun, koefisien konveksi yang teridentifikasi dari kedua jenis permukaan
tidak begitu berbeda.
Pada flat plate surface, koefisien konveksi tertinggi adalah 0,8
W/m2.K dengan perbedaan temperatur 55,78ºC setelah sistem berjalan 30
detik dengan daya diberikan pada sistem sebesar 15 Watt. Kemudian, nilai
koefisien konveksi menurun secara drastis seiring berjalannya waktu. Secara
analitis, koefisien konveksi mengalami penurunan kuadratik. Pada akhir
sistem berjalan, 510 detik, koefisien konveksi yang teridentifikasi adalah
sebesar 0,023 W/m2.K dengan perbedaan temperatur sebesar 109,89ºC. Pada
sistem dengan daya 25 Watt, koefisien konveksi tertinggi adalah 1,42
W/m2.K dengan perbedaan temperatur 52,41ºC setelah sistem berjalan 30
detik. Nilai koefisien konveksi sama menurun secara drastis seiring
berjalannya waktu secara kuadratik. Pada akhir sistem berjalan, 510 detik,
koefisien konveksi yang teridentifikasi adalah sebesar 0,038 W/m2.K
dengan perbedaan temperatur sebesar 113,73ºC.
Pada finned surface, koefisien konveksi tertinggi adalah 0,83 W/m2.K
dengan perbedaan temperatur 22,12ºC setelah sistem berjalan 30 detik
dengan daya diberikan pada sistem sebesar 15 Watt. Kemudian, nilai
koefisien konveksi menurun secara drastis seiring berjalannya waktu. Secara
analitis, koefisien konveksi mengalami penurunan kuadratik. Pada akhir
sistem berjalan, 510 detik, koefisien konveksi yang teridentifikasi adalah
sebesar 0,02 W/m2.K dengan perbedaan temperatur sebesar 53,16ºC. Pada
sistem dengan daya 25 Watt, koefisien konveksi tertinggi adalah 1,45
W/m2.K dengan perbedaan temperatur 21,25ºC setelah sistem berjalan 30
detik. Nilai koefisien konveksi sama menurun secara drastis seiring
berjalannya waktu secara kuadratik. Pada akhir sistem berjalan, 510 detik,
koefisien konveksi yang teridentifikasi adalah sebesar 0,028 W/m2.K
dengan perbedaan temperatur sebesar 65,02ºC.
Dengan demikian, dapat diketahui nilai-nilai koefisien konveksi pada
kedua jenis permukaan cukup mirip dengan perbedaan temperatur yang
sedemikian rupa. Berdasarkan pengamatan, perbedaan temperatur bukan
menjadi satu-satunya faktor penentu besaran koefisien konveksi. Besaran
daya yang diterapkan pada kedua jenis permukaan tidak hanya menjadi
pembilang yang menentukan koefisien konveksi, tetapi juga mempengaruhi
perbedaan temperatur, karena daya pada sistem akan memanaskan
permukaan. Salah satu faktor yang tidak diperhitungkan yang
mempengaruhi besarnya koefisien konveksi adalah jenis material
permukaan. Pada percobaan ini, jenis material yang sama pada kedua jenis
permukaan merupakan material yang sama, sehingga dapat diasumsikan
besarnya koefisien konveksi juga memiliki variasi nilai yang similar.
Grafik Permukaan Pelat Terhadap Temperatur
Tertinggi
30
Power (W) 25
20
15
10
5
0
20 25 30 35 40 45 50 55
Temperatur Permukaan (ºC)

Flat plate surface Finned surface

Grafik 3.4.4 Variasi permukaan pelat terhadap temperatur tertinggi

Berdasarkan grafik tersebut, dapat diketahui sistem menerima


temperatur tertinggi yang bermacam-macam pada percobaan dengan jenis
permukaan yang berbeda-beda. Pada sistem, diterapkan daya sebesar 15
Watt dan 25 Watt untuk diuji coba selama 510 detik untuk meninjau
besarnya temperatur tertinggi yang diterima sistem. Pada flat plate surface
dengan daya 15 Watt, diketahui bahwa temperatur tertinggi yang diterima
sistem adalah 49,6ºC. Pada flat plate surface dengan daya 25 Watt, diketahui
bahwa temperatur tertinggi yang diterima sistem adalah 52,4ºC. Pada finned
surface dengan daya 15 Watt, diketahui bahwa temperatur tertinggi yang
diterima sistem adalah 26,6ºC. Lalu, pada finned surface dengan daya 25
Watt, dapat diketahui bahwa temperatur tertinggi yang diterima sistem
adalah 33,2ºC.
Berdasarkan pengamatan tersebut, kedua jenis permukaan memiliki
interval temperatur yang sangat jauh berbeda dari percobaan pada sistem.
Dengan bentuk kedua permukaan berbeda, besar temperatur yang diterima
pada kedua permukaan juga berbeda. Flat plate surface cenderung
menerima temperatur lebih besar karena daya pada sistem mengalirkan
panas secara merata, sedangkan udara yang melewatinya tidak berperan
besar dalam mereduksi temperaturnya. Finned surface cenderung menerima
temperatur rendah karena daya pada sistem memiliki luas permukaan yang
lebih besar dan udara yang melaluinya dapat mengenai seluruh
permukaannya, sehingga mampu menahan peningkatan temperaturnya.
BAB V
PENUTUP

2.5.1 Kesimpulan
Setelah melakukan praktikum Free Convection: Time-Temperature
Variation mahasiswa dapat menyimpulkan beberapa hal yaitu:
a. Dapat mengetahui cara merangkai dan mengoperasikan peralatan Free
and Force Convection, dengan memulai memasang spesimen uji yaitu
Pinned, Finned dan Flat plate secara bergantian dan dilakukan
pengambilan data hingga percobaan berhasil sesuai dengan data yang
diinginkan.
b. Dapat mengenal dan memahami komponen-komponen peralatan Free
and Force Convection beserta fungsinya. Dengan komputer yang
dilengkapi Software VDAS, kemudian menggunakan benda uji Finned,
Pinned dan Flate Plate sebagai permukaan perpindahan dan dilengkapi
dengan Anemometer untuk mengkalibrasi panas yang hilang dan juga
dilengkapi dengan kipas (Fan) jika akan melakukan pengujian
perpindahan panas konveksi paksa.
c. Dapat mengetahui fenomena fisik yang terjadi pada perpindahan panas
secara konveksi bebas yaitu dengan cara panas yang berpindah dari
suatu permukaan kepermukaan lain yaitu terjadi secara alamiah (karena
perbedaan temperatur permukaan benda tersebut) yang dapat kita
ketahui melalui percobaan perpindahan panas konveksi bebas dengan
menggunakan permukaan uji yaitu Pinned, Finned dan Flat Plate
dengan waktu yang telah ditentukan.
d. Untuk mengetahui karakteristik sesungguhnya proses perpindahan
panas konveksi alami yang melewati sebuah permukaan (surface)
Pinned, Finned dan Flat Plate. Perubahan temperaturnya dipengaruhi
oleh Heat Transfer dipengaruhi dari temperature permukaan (Ts)
semakin besar perbedaan temperatur dari permukaan maka akan
menghasilkan Heat Transfer yang lebih besar.
2.5.2 Saran
Saran yang dapat dituliskan setelah melakukan praktikum Free
Convection: Time-Temperature Variation ini adalah :
a. Sebaiknya membaca modul terlebih dahulu sebelum melakukan
praktikum agar lebih paham dan praktikum berjalan dengan lancar.
b. Spesimen uji yang digunakan harus terpasang secara tepat pada mesin
untuk menghindari terjadinya kesalahan (Error) pada saat melakukan
percobaan.
c. Mempersiapkan jaringan internet terbaik supaya tidak terjadi gangguan
dalam proses praktikum online.
d. Memperhatikan video praktikum dengan seksama dalam proses
praktikum agar dapat memahami praktikum kali ini.
e. Diharapkan saat melakukan praktikum untuk menaati atau membaca
SOP praktikum agar tidak terjadi kecelakaan kerja.
DAFTAR PUSTAKA

Idawati Supu, B. U. (2016). PENGARUH SUHU TERHADAP PERPINDAHAN


PANAS PADA MATERIAL YANG BERBEDA. Jurnal Dinamika, 63-
66.
Kusuma, G. E. (2018). PERPINDAHAN PANAS UNTUK POLITEKNIK. 27-28.
Sudirham, S. (2013). Sifat-Sifat Thermal . Darpublic, 1-10.
Tripler. (2009). Fisika Jilid II. Jakarta: Erlangga.
LAPORAN PRAKTIKUM MS3133 PERPINDAHAN PANAS DAN MASSA

Modul 3 Forced Convection : Time, Temperature and Velocity Variation

Disusun Oleh:

Kelompok 4

Indra Anggi (118170012)

Bayu Prastio (118170074)

Raden Achmad Fachrozi (17117092)

Imam Sulistiyo (118170035)

Bastian Roni Petrus M. (118170094)

Fernando Loe P. (118170027)

M. Ryan Mahendra P. (118170107)

LABORATORIUM KONVERSI ENERGI

PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN

INSTITUT TEKNOLOGI SUMATERA


2020
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan
Tinggi
INSTITUT TEKNOLOGI
SUMATERA
Jalan Terusan Ryacudu, Desa Way Hui, Kecamatan Jati Agung, Lampung
Selatan 35365 Telepon:(0721) 8030188, Email: pusat@itera.ac , Website:
http://www.itera.ac.id

LEMBAR ASISTENSI
Nama Anggota : Indra Anggi (118170012)

Bayu Prastio (118170074)

Raden Achmad Fachrozi (17117092)

Imam Sulistiyo (118170035)

Bastian Roni Petrus M. (118170094)

Fernando Loe P. (118170027)

M. Ryan Mahendra P. (118170107)

Kelompok :4

Modul : (Modul 3) (Forced Convection : Time, Temperature and


Velocity Variation)
NO TANGGAL KETERANGAN PARAF
BAB I
PENDAHULUAN

3.1.1 Latar Belakang


Perpindahan panas adalah salah satu faktor yang sangat menentukan
operasional suatu pabrik Kimia.Penyelesaian soal-soal perpindahan kalor
secara kuantitatif biasanya didasarkan pada neraca energi dan perkiraan laju
perpindahan kalor. Perpindahan panas akan terjadi apabila ada perbedaan
temperatur antara 2 bagian benda. Panas akan berpindah dari temperature
tinggi ke temperatur yang lebih rendah. Panas dapat berpindah dengan 3
cara, yaitu konduksi, konveksi, dan radiasi. Pada peristiwa konduksi, panas
akan berpindah tanpa diiukti aliran medium perpindahan panas. Panas akan
berpindah secara estafet dari satu partikel ke partikel yang lainnya dalam
medium tersebut. Pada peristiwa konveksi, perpindahan panas terjadi karena
terbawa aliran fluida.Secara termodinamika, konveksi dinyatakan sebagai
aliran entalpi, bukan aliran panas.Pada peristiwa radiasi, energi berpindah
melalui gelombang elektromagnetik.
Heat Exchanger adalah alat penukar kalor yang berfungsi untuk
mengubah temperatur dan fasa suatu jenis fluida. Proses tersebut terjadi
dengan memanfaatkan proses perpindahan kalor dari fluida bersuhu tinggi
menuju fluida bersuhu rendah. Di dalam dunia industri peran dari heat
exchanger sangat penting.Misal dalam industri pembangkit tenaga listrik,
heat exchanger berperan dalam peningkatan efisiensi sistem. Contohnya
adalah ekonomizer, yaitu alat penukar kalor yang berfungsi memanaskan
feed water sebelum masuk ke boiler menggunakan panas dari exhaust gas
(gas buang). Selain itu heat exchanger juga merupakan komponen utama
dalam sistem mesin pendingin, yaitu berupa evaporator dan condenser.
Pada perkembangan yang ada dibutuhkan perpindahan panas secara
tepat dan efisien dengan pengaturan temperatur (T) dan debit (Q) yang
diinginkan. Salah satu cara yang ditempuh untuk meningkatkan laju aliran
perpindahan kalor adalah dengan mengunakan turbulator. Dalam aplikasi
heat exchanger di lapangan banyak permasalahan yang masih ditimbulkan,
misalnya laju perpindahan kalor yang ditransfer oleh heat exchanger kurang
baik.Untuk mengatasi permasalahan tersebut adala dengan membuat aliran
turbulen dalam pipa sehingga pada heat exchanger mampu mentransfer
kalor dengan baik.Efek dari adanya turbulator pada heat exchanger itu
sendiri adalah mempengaruhi perbedaan kecepatan antar lapisan fluida
sehingga menimbulkan vortex dalam aliran, dengan timbulnya vortex yang
ada akan mempengaruhi nilai dari bilangan Reynold (Re) dan diikuti dengan
peningkatan angka Nusselt (Nu) sehingga akan meningkatkan koefisien
perpindahan panas konveksi pada aliran fluida.

3.1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum perpindahan panas dengan judul
konveksi paksa adalah sebagai berikut:
a. Dapat merangkai dan mengoperasikan peralatan free and force
convection.
b. Mengenal dan memahami komponen-komponen peralatan free and
force convection beserta fungsinya.
c. Dpat memahami fenomena fisik perpindahan panas konveksi paksa.
d. Mengetahui karakteristik sesungguhnya proses perpindahan panas
konveksi paksa.
BAB II
LANDASAN TEORI

3.2.1 Perpindahan Panas


Perpindahan panas terjadi karena perbedaan suhu yang terdapat pada
suatu benda. Perpindahan panas dapat berlangsung melalui salah satu dari
tiga cara yaitu konduksi, radiasi, konveksi. Perpindahan panas seketika ini
selalu dalam arah yang cenderung menyamakan suhu. jika hal tersebut
dibiarkan maka suhu keduanya akan sama dan keduanya dikatakan dalam
keadaan kesetimbangan termal dan tidak terjadi perpindahan panas diantara
keduanya.

3.2.2 Perpindahan Panas Konveksi


Perpindahan panas konveksi merupakan perpindahan panas yang
terjadi akibat adanya perbedaan temperatur yang menyebabkan gerakan acak
antarmolekul dan bulk motion of fluid. Semakin cepat pergerakan fluida,
maka akan semakin besar pula laju perpindahan panas konveksi yang terjadi.
Namun, apabila fluida tidak bergerak atau stationary maka mekanisme
perpindahan panas yang terjadi adalah konduksi.
Konveksi terjadi akibat adanya pergerakan fluida, oleh karena itu
konveksi dapat dibedakan menjadi 2, yaitu konveksi alami dan konveksi
paksa. Konveksi alami (konveksi bebas) terjadi karena fluida bergerak
secara alamiah di mana pergerakan fluida tersebut lebih disebabkan oleh
perbedaan massa jenis fluida akibat adanya variasi suhu pada fluida tersebut.
Konveksi paksa terjadi karena bergeraknya fluida bukan karena faktor
alamiah.

Gambar 3.2.1 Contoh perpindahan panas secara konveksi


Rumus atau persamaan yang digunakan dalam perpindahan panas
secara konveksi ialah :
…………………………...........(3.1)
Q = Laju perpindahan panas konveksi
h = Koefisien perpindahan panas konveksi (W/m2 oC)
A = Luas penampang (m2 )
∆T = Perubahan atau perbedaan temperaur ( oC)

3.2.3 Suhu/Temperatur
Suhu merupakan ukuran atau derajat panas atau dinginnya suatu benda
atau sistem. Suhu di definisikan sebagai suatu besaran fisika yang dimiliki
bersama antara dua benda atau lebih yang berada dalam kesetimbangan
termal. Jika panas dialirkan pada suhu benda, maka suhu benda tersebut
akan turun jika benda yang bersangkutan kehilangan panas. Akan tetapi
hubungan antara satuan panas dengan satuan suhu tidak merupakan suatu
konstanta, karena besarnya peningkatan suhu akibat penerimaan panas
dalam jumlah tertentu akan dipengaruhi oleh daya tampung panas (heat
capacity) yang dimiliki oleh benda penerima tersebut.
Suatu benda yang dalam keadaan panas dikatakan memiliki suhu yang
tinggi, dan sebaliknya, suatu benda yang dalam keadaan dingin dikatakan
memiliki suhu yang rendah. Perubahan suhu benda, baik menjadi lebih
panas atau menjadi lebih dingin biasanya diikuti dengan perubahan bentuk
atau wujudnya. Misalnya, perubahan wujud air menjadi es batu atau uap air
karena pengaruh panas atau dingin.
Sejumlah es batu yang dipanaskan akan berubah wujud menjadi air.
Bila terus-menerus dipanaskan, maka pada suatu ketika (ketika telah
mencapai titik didih) air akan mendidih dan berubah wujud menjadi uap air
atau gas. Proses sebaliknya terjadi mana kala air yang berada dalam bentuk
gas atau uap air didinginkan, maka akan kembali ke bentuk cair, dan ketika
terus didinginkan, maka pada saat tertentu (ketika telah mencapai titik beku)
air akan membeku dan kembali berwujud padat yaitu es batu.
3.2.4 Pengukur Temperatur/Suhu
Termometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur suhu sebuah
benda. Termometer bekerja dengan memanfaatkan perubahan sifat
termometrik suatu benda ketika benda tersebut mengalami perubahan suhu.
Perubahan sifat termometrik suatu benda menunjukkan adanya perubahan
suhu benda, dan dengan melakukan kalibrasi atau peneraan tertentu
terhadap sifat termometrik yang teramati dan terukur, maka nilai suhu benda
dapat dinyatakan secara kuantitatif. Tidak semua sifat termometrik benda
yang dapat dimanfaatkan dalam pembuatan termometer.
Sifat termometrik yang dapat digunakan dalam pembuatan
termometer harus merupakan sifat termometrik yang teratur. Artinya,
perubahan sifat termometrik terhadap perubahan suhu harus bersifat tetap
atau linier, sehingga peneraan skala termometer dapat dibuat lebih mudah
dan termometer tersebut nantinya dapat digunakan untuk mengukur suhu
secara teliti. Berdasarkan sifat termometrik yang dimiliki suatu benda, jenis-
jenis termometer diantaranya termometer zat cair, termometer gas,
termometer hambatan, termokopel, pirometer, termometer bimetal, dan
sebagainya. Sedangkan berdasarkan hasil tampilan pengukurannya,
termometer dibagi menjadi termometer analog dan termometer digital

Gambar 3.2.2 Skema berbagai termometer, (a) termometer raksa (alkohol)


dalam pipa, (b) termometer gas volume konstan, (c) termometer hambatan
platina

Untuk dapat mengkuantitatifkan hasil pengukuran suhu dengan


menggunakan termometer maka diperlukan angka-angka dan skala-skala
tertentu. Penetapan skala yang terpenting adalah penetapan titik tetap bawah
dan titik tetap atas sebagai titik acuan pembuatan skala-skala dalam
termometer. Untuk penetapan titik tetap bawah sebuah termometer pada
umumnya dipilih titik beku air murni pada tekanan normal, yaitu suhu
campuran antara es dan air murni pada tekanan normal. Sedangkan
penetapan titik tetap atas sebuah termometer umumnya dipilih titik didih air
murni, yaitu suhu ketika air murni mendidih pada tekanan normal.
Setidaknya terdapat empat macam skala termometer yang biasa digunakan,
yaitu Celcius, Reamur, Fahrenheit, dan Kelvin. Titik tetap bawah untuk
skala Celcius dan Reamur ditetapkan pada skala 0°C dan 0°R, sedangkan
untuk Fahrenheit ditetapkan pada skala 32°F. Ketiga skala titik tetap bawah
untuk masing-masing skala termometer ini diambil dari titik beku air murni
(titik lebur es murni) pada tekanan normal. Adapun titik tetap atas ketiga
skala ini berbeda-beda, dimana untuk Celcius ditetapkan pada 100°C, untuk
Reamur ditetapkan pada 80°R, dan untuk Fahrenheit ditetapkan pada 212°F.
Ketiga skala titik tetap atas untuk masing-masing skala termometer ini
diambil dari titik didih air murni pada tekanan normal. Pada skala Kelvin,
titik tetap bawah ketiga skala termometer ini bersesuaian dengan skala 273
K dan titik tetap atasnya bersesuaian dengan 373 K. Khusus untuk skala
Kelvin, titik yang tetap bawah tidak didasarkan pada titik beku air, namun
didasarkan pada ukuran energi kinetik rata-rata molekul suatu benda. Dalam
hal ini, nol Kelvin (tanpa derajat) dinamakan nol mutlak (nol absolut),
artinya tidak ada suhu-suhu di bawah suhu nol mutlak, atau ketika nilai suhu
mendekati nilai nol mutlak, maka energi kinetik rata-rata partikel
mempunyai suatu nilai yang minimum.
Oleh karena itu, berdasarkan fakta tersebut, maka skala Kelvin
dinamakan skala suhu mutlak atau skala suhu absolut, atau disebut juga
skala termodinamik. Kelvin menjadi satuan standar SI untuk besaran pokok
suhu. Perpindahan panas nilai derajatnya diukur dengan menggunakan skala
kelvin (Idawati Supu, 2016).
1.2.5 Perpindahan Panas Steady vs Transient
a. Steady State
Tidak dipengaruhi/tidak tergantung pada waktu setiap titik perpindahan
panas pada mediumnya.

Gambar 3.2.3 steady state

b. Transient
Dipengaruhi/tergantung pada perubahan waktu.

Gambar 3.2.4 Transient (Kusuma, 2018).

3.2.6 Konveksi Paksa Pada zat Cair


Perpindahan kalor secara konveksi paksa banyak digunakan pada
sistem pendingin mesin atau yang dikenal dengan istilah radiator. Sistem
pendingin ini digunakan pada mesin mobil. Tanpa menggunakan sistem
pendingin (radiator) maka mobil akan cepat rusak, karena suhu yang
diterima mesin mobil dari proses pembakaran mencapai 1.600°C.
Akibatnya mesin mobil yang terbuat dari logam akan memuai melebihi
batas keamanan sehingga bagian-bagian mesin akan menjadi lemah.
Contoh skema sistem pendingin pada mesin terlihat seperti gambar di
bawah ini

Gambar 3.2.5 Skema pendingin pada mesin

Untuk mengurangi panas akibat efek dari proses pembakaran maka


digunakanlah sistem pendingin mesin (radiator). Panas pada mesin mobil
berpindah oleh sirkulasi air menuju ke radiator. Udara dingin yang berada
diluar mesin ditarik oleh sebuah kipas untuk mendinginkan air
padaradiator sehingga air yang dingin itu kembali mengalir dan
bersentuhan dengan blok-blok mesin untuk mengulang sirkulasi
berikutnya. Betapa pentingnya penggunakan radiator ini agar menjaga
suhu mesin mobil tidak melampau batas suhu yang diizinkan sehingga
mesin mobil tidak rusak.

3.2.7 Konveksi Paksa pada Gas (Asap)


Pada tungku pabrik biasanya dipasang cerobong asap agar selalu ada
tarikan oleh udara ke atas.

Gambar 3.2.6 Cerobong Asap


Sebelum ada pemanasan di dalam tungku, massa jenis udara dalam
cerobong sama dengan massa jenis udara di luar cerobong. Setelah ada
pemanasan, udara di dalam tungku memuai sehingga udara dari luar
cerobong yang lebih dingin dan massa jenisnya lebih besar akan mendesak
udara panas dalam cerobong ke atas. Semakin tinggi cerobong semakin
besar tarikannya, sebab perbedaan massa jenis gas dalam cerobong dan
massa jenis udara dari luar makin besar.
Besarnya energi (kalor) yang dipindahkan persatuan waktu pada konveksi
secara paksa sama seperti pada konveksi alamiah yakni akan sebanding
dengan luas permukaan benda yang bersentuhan dengan fluida dengan
beda suhu ΔT. Secara matematis ditulis:
……………………………(3.2)

Dimana :
Q = jumlah kalor yang dipindahkan (J)
t = waktu terjadi aliran kalor (s)
h = koefisien konveksi (W/m2K)
A = luas permukaan (m2)
ΔT = beda suhu antara benda dan fluida (K)

3.2.8 Konduktivitas Panas


Laju perambatan panas pada padatan ditentukan oleh konduktivitas
panas, σT, dan gradien temperatur, dq/dT. Jika didefinisikan q sebagai
jumlah kalori yang melewati satu satuan luas (A) per satuan waktu ke arah x
maka
dx Q dT q = σ−= T A…………………………(3.3)

Tanda minus menunjukkan bahwa aliran panas berjalan dari temperatur


tinggi ke temperatur rendah.
Konduktivitas thermal dalam kristal tunggal tergantung dari arah
kristalografis. Dalam rekayasa praktis, yang disebut konduktivitas thermal
merupakan nilai rata-rata konduktivitas dari padatan polikristal yang
tersusun secara acak. Gambar 3.2.7 memuat konduktivitas panas beberapa
macam material. Pada temperatur kamar, metal memiliki konduktivitas
thermal yang baik dan konduktivitas listrik yang baik pula karena elektron-
bebas berperan dalam berlangsungnya transfer panas. Pada material dengan
ikatan ion ataupun ikatan kovalen, di mana elektron kurang dapat bergerak
bebas, transfer panas berlangsung melalui phonon. Walaupun phonon
bergerak dengan kecepatan suara, namun phonon memberikan konduktivitas
panas yang jauh di bawah yang diharapkan. Hal ini disebabkan karena
dalam pergerakannya phonon selalu berbenturan sesamanya dan juga
berbenturan dengan ketidak-sempurnaan kristal. Sementara itu dalam
polimer perpindahan panas terjadi melalui rotasi, vibrasi, dan translasi
molekul.

Gambar 3.2.7 σT untuk beberapa material pada 300 K

3.2.9 Koefisien Perpindahan Panas


Koefisien perpindahan panas digunakan dalam
perhitungan perpindahan panas konveksi atau perubahan wujud antara cair
dan padat. Koefisien perpindahan panas banyak dimanfaatkan dalam
ilmu termodinamika dan mekanika serta teknik kimia.

………………………………(3.4)

di mana
ΔQ = panas yang masuk atau panas yang keluar, W
h = koefisien perpindahan panas, W/(m2K)
A = luas permukaan perpindahan panas, m2
= perbedaan temperatur antara permukaan padat dengan luas
permukaan kontak dengan fluida, K

1.2.10 Panas Spesifik


Panas spesifik (specific heat) adalah kapasitas panas per satuan massa
per derajat K, yang juga sering dinyatakan sebagai kapasitas panas per mole
per derajat K. Untuk membedakan dengan kapasitas panas yang ditulis
dengan huruf besar (Cv dan Cp), maka panas spesifik dituliskan dengan
huruf kecil (cv dan cp).

1.2.11 Perubahan frasa Panas


Bila panas diberikan pada suatu zat pada tekanan konstan, maka
biasanya, hasilnya adalah kenaikan temperatur zat. Namun kadang-kadang
zat dapat menyerap panas dalam jumlah besar tanpa mengalami perubahan
apapun dalam temperaturnya. Ini terjadi selama perubahan fasa, artinya
ketika kondisi fisik zat itu berubah dari satu bentuk ke bentuk lain. Jenis
perubahan fasa adalah pembekuan (perubahan cairan menjadi padatan),
penguapan (perubahan cair menjadi uap atau gas), sublimasi (perubahan
padat menjadi gas). Ada juga perubahan fasa lain, seperti bila padatan
akan berubah dari satu bentuk kristalin ke bentuk lain.
Perubahan fasa dapat dimengerti dengan teori molekular. Kenaikan
temperatur zat menggambarkan kenaikan energi kinetik gerakan molekul-
molekul. Bila suatu zat berubah dari cairan menjadi bentuk gas, molekul-
molekul yang dekat dalam bentuk cairan di gerakan saling menjauh. Ini
perlu usaha untuk melawan gaya-gaya tarik yang di mempertahankan
molekul berdekatan, artinya diperlukan energi untuk memisahkan mereka.
Energi ini beralih menjadi energi potensial molekul. Karena itu,
temperatur zat yang merupakan ukuran energi kinetik rata-rata molekul
gas tidak berubah (Sudirham, 2013).
3.2.12 Panas atau Kalor
Panas atau kalor adalah energy yang berpindah akibat perbedaan
suhu. Satuan SI untuk panas adalah joule. Panas bergerak dari daerah
bersuhu tinggi ke daerah bersuhu rendah. Setiap benda memiliki energy
dalam yang berhubungan dengan gerak acak dari atom-atom atau molekul
penyusunnya. Energy dalam ini berbanding lurus terhadap suhu benda.
Ketika dua benda dengan suhu berbeda bergandengan, mereka akan
bertukar energy internal sampai suhu kedua benda tersebut seimbang.
Jumlah energy yang disalurkan adalah jumlah energy yang tertukar
(Tripler, 2009).
BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

3.3.1 Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan pada praktikum force convection: time,


temperature and velocity variation adalah sebagai berikut, yaitu

a. Mesin Free and Force Convection

Mesin free and force convection, yaitu alat yang berfungsi


sebagai mengetahui fenomena konveksi secara natural dan konveksi
paksa;

Gambar 3.3.1. Mesin Free and Force Convection


b. Bahan yang Digunakan: Flat Plate, Pinned Surface, dan Finned Surface
Flat flate, pinned surface, dan finned surface, yaitu bahan yang
digunakan saat uji konveksi paksa. Berikut merupakan bahan-bahan
yang diujikan, yaitu;

1. Flat Plate;

Gambar 3.3.2 Flat Plate

2. Pinned Surface

Gambar 3.3.3. Pinned Surface


3. Finned Surface

Gambar 3.3.4. Finned Surface

c. Stopwatch
Stopwatch yaitu alat yang berfungsi untuk mengukur waktu dengan
ketelitian hingga ms.

Gambar 3.3.5. Stopwatch


d. Anemometer
Anemometer, yaitu alat yang berfungsi untuk membaca laju alir fluida
yang melewati pipa; dan

Gambar 3.3.6. Anemometer

e. Fan
Fan yaitu bagian alat yang digunakan untuk menggerakkan fluida
untuk forced convection.

Gambar 3.3.7. Fan

3.3.2 Prosedur Percobaan


Pada praktikum kali ini ada beberapa langkah kerja yang harus
dilakukan oleh praktikan sebagai berikut:
a. Menyalakan perangkat computer (PC).
b. Menjalankan software VDAS (Klik dua kali pada icon VDAS).
c. Memasang permukaan perpindahan panas yang telah di tentukan
(Finned, Pinned, dan Flat Plate).
d. Menghidupkan mesin dengan menekan tombol power mesin yang
terletak di belakang mesin.
e. Menghidupkan power heater menekan tombol power mesin yang
terletak didepan mesin.
f. Menjalankan program VDAS klik “star”.
g. Mengatur power heater hingga mencapai 15 Watt (yang telah
ditentukan).
h. Menunggu hingga pembacaan temperature stabil (15 menit).
i. Menghidupkan fan dengan cara putar fan searah jarum jam sebesar 2
m.s-1 (yang telah ditentukan).
j. Menyatat perubahan temperature dengan interval 30 sekon selama 480
dengan cara klik “record data”.
k. Mematikan fan dengan cara putar fan berlawanan arah jarum jam
hingga pembacaan flow rate 0.
l. Mengulangi percobaan 7-11 dengan mengganti permukaan kerja
perpindahan panas (Finned, Pinned dan Flat Plate) dan variasi Power
Heater.
m. Bila telah selesai, mengatur power heater hingga nol kemudian
matikan power heater.
n. Mematikan power mesin dan PC.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.4.1 Data Hasil Praktikum


Adapun data-data yang didapatkan dari hasil praktikum forced
convection ini adalah sebagai berikut
a. Data
Tabel 3.4.1. Forced convection pada finned surface velocity 1,5 m/s
Power: 15 watt
Heat Transfer Finned Surface
Air velocity: 1,5 m/s
T1 T2 T3
Time Difference Tm hc
No inlet Surface outlet
(s) (ºC) (ºC) (ºC) (T2-T1) (ºC) (W/m2.K)
1 30 28,6 54,3 35,1 25,7 51,329 10,82323
2 60 28,6 53,3 34,7 24,7 49,519 11,21894
3 90 28,6 52,5 34,5 23,9 47,918 11,59372
4 120 28,6 51,7 34,2 23,1 46,444 11,9617
5 150 28,7 51,1 34 22,4 45,201 12,29055
6 180 28,7 50,6 33,8 21,9 44,295 12,54192
7 210 28,7 50,1 33,6 21,4 43,389 12,80383
8 240 28,7 49,7 33,6 21 42,463 13,08315
9 270 28,7 49,3 33,5 20,6 41,663 13,33450
10 300 28,7 48,7 33,4 20 40,399 13,75160
11 330 28,7 48,4 33,3 19,7 39,830 13,94798
12 360 28,6 48,2 33,2 19,6 39,598 14,02956
13 390 28,6 48 33,2 19,4 39,135 14,19565
14 420 28,6 47,7 33,1 19,1 38,566 14,40500
15 450 28,6 47,1 33,1 18,5 37,176 14,94366
16 480 28,7 46,9 33,1 18,2 36,608 15,17579
Tabel 3.4.2. Forced convection pada finned surface velocity 3 m/s
Power: 15 watt
Heat Transfer Finned Surface
Air velocity: 3 m/s
T1 T2 T3
Time Difference Tm hc
No inlet Surface outlet
(s) (ºC) (ºC) (ºC) (T2-T1) (ºC) (W/m2.K)
1 30 28,9 54,7 35,7 25,8 51,179 10,85507
2 60 28,9 53,7 35,3 24,8 49,369 11,25293
3 90 28,9 52,9 35,1 24 47,769 11,63003
4 120 28,9 52,1 34,8 23,2 46,295 12,00017
5 150 29 51,5 34,6 22,5 45,053 12,33093
6 180 29 51 34,4 22 44,148 12,58380
7 210 29 50,5 34,2 21,5 43,242 12,84731
8 240 29 50,1 34,2 21,1 42,315 13,12877
9 270 29 49,7 34,1 20,7 41,515 13,38189
10 300 29 49,1 34 20,1 40,251 13,80212
11 330 29 48,8 33,9 19,8 39,682 13,99987
12 360 28,9 48,6 33,8 19,7 39,451 14,08214
13 390 28,9 48,4 33,8 19,5 38,987 14,24963
14 420 28,9 48,1 33,7 19,2 38,418 14,46050
15 450 28,9 47,5 33,7 18,6 37,027 15,00391
16 480 29 47,3 33,7 18,3 36,458 15,23784
Tabel 3.4.3. Forced convection pada flat plate surface velocity 1,5 m/s
Power: 15 watt
Heat Transfer Flat Plate Surface
Air velocity: 1,5 m/s
T1 T2 T3
Time Difference Tm hc
No inlet Surface outlet
(s) (ºC) (ºC) (ºC) (T2-T1) (ºC) (W/m2.K)
1 30 28,6 87 32,5 58,4 129,92 10,30781
2 60 28,6 86,8 32,5 58,2 129,46 10,34449
3 90 28,6 86,6 32,5 58 129,00 10,38143
4 120 28,7 86,4 32,5 57,7 128,43 10,42776
5 150 28,7 86,2 32,4 57,5 128,09 10,45568
6 180 28,7 86,2 32,4 57,5 128,09 10,45568
7 210 28,7 86 32,4 57,3 127,63 10,49342
8 240 28,7 85,9 32,4 57,2 127,40 10,51239
9 270 28,6 85,9 32,4 57,3 127,51 10,50311
10 300 28,6 85,9 32,4 57,3 127,51 10,50311
11 330 28,6 85,8 32,4 57,2 127,28 10,52212
12 360 28,6 85,8 32,4 57,2 127,28 10,52212
13 390 28,6 85,8 32,3 57,2 127,40 10,51239
14 420 28,6 85,7 32,3 57,1 127,17 10,53143
15 450 28,7 85,7 32,3 57 127,05 10,54077
16 480 28,7 85,7 32,3 57 127,05 10,54077
Tabel 3.4.4. Forced convection pada flat plate surface velocity 3 m/s
Power: 15 watt
Heat Transfer Flat Plate Surface
Air velocity: 3 m/s
T1 T2 T3
Time Difference Tm hc
No inlet Surface outlet
(s) (ºC) (ºC) (ºC) (T2-T1) (ºC) (W/m2.K)
1 30 28,9 86,2 32,4 57,3 127,86 10,47411
2 60 28,9 86 32,4 57,1 127,40 10,51198
3 90 28,9 85,8 32,4 56,9 126,94 10,55013
4 120 29 85,6 32,4 56,6 126,37 10,59800
5 150 29 85,4 32,3 56,4 126,02 10,62686
6 180 29 85,4 32,3 56,4 126,02 10,62686
7 210 29 85,2 32,3 56,2 125,56 10,66584
8 240 29 85,1 32,3 56,1 125,33 10,68544
9 270 28,9 85,1 32 56,2 125,80 10,64593
10 300 28,9 85,1 32 56,2 125,80 10,64593
11 330 28,9 85 32 56,1 125,57 10,66546
12 360 28,9 85 32 56,1 125,57 10,66546
13 390 28,9 85 32 56,1 125,57 10,66546
14 420 28,9 84,9 32 56 125,34 10,68506
15 450 29 84,9 31,9 55,9 125,34 10,68470
16 480 29 84,9 31,9 55,9 125,34 10,68470

b. Perhitungan
1. Heat Transfer Finned Surface Velocity 1,5 m/s
a) Tm
b) Hc

̇
2. Heat Transfer Finned Surface Velocity 3 m/s
a) Tm
b) Hc

̇
3. Heat Transfer Flat Plate Surface Velocity 1,5 m/s
a) Tm
b) Hc

̇
4. Heat Transfer Flat Plate Surface Velocity 3 m/s
a) Tm
b) Hc
̇
3.4.2 Pembahasan
Boundary layer adalah daerah dimana aliran mengalami hambatan karena
adanya tegangan geser yang besar pada permukaan benda, sehingga partikel-
partikel fluida terpaksa tertahan di sekitar permukaan benda karena gesekan
viscous. Proses pembentukan boundary layer mungkin paling baik bila
divisualisasikan dengan membayangkan aliran di sepanjang sebuah pelat rata. Pada
aliran uniform, sebuah fluida inkompresibel mendekati pelat dengan kecepatan
freestream. Boundary layer menebal dalam arah yang sama dengan arah aliran,
sehingga menyebabkan perubahan kecepatan dari nol hingga jarak tertentu pada
jarak δ semakin jauh menjadi semakin besar pada permukaan pelat.
Velocity boundary layer pada aliran udara melalui plat datar akan
mengalirkan uniform sepanjang plat, dan akan terus Lapisan batas kecepatan
berkembang setiap kali ada aliran di atas permukaan. Hal tersebut terkait dengan
tegangan geser sejajar dengan permukaan dan menghasilkan peningkatan
kecepatan melalui lapisan batas dari nol tepat di permukaan ke kecepatan
freestream jauh dari permukaan. Ketebalan boundary layer umumnya didefinisikan
sebagai jarak dari permukaan di mana kecepatannya adalah 99% dari kecepatan
freestream.
Thermal boundary layer berkaitan dengan gradien temperatur di dekat
permukaan dan berkembang ketika perbedaan temperatur antara aliran bebas fluida
dan permukaan muncul. Pada permukaan fluida, perpindahan panas hanya terjadi
melalui konduksi. Ketebalan dari thermal boundary layer didefinisikan sebagai
titik dengan perbedaan temperatur antara fluida dan permukaan adalah 99%
perbedaan temperatur antara fluida freestream dan permukaan. Kecepatan fluida
yang mengenai boundary layer akan meningkatkatkan kecepatan aliran ketika ada
aliran fluida di atas permukaan berbeda.
Berikut merupakan penurunan dari persamaan log mean temperature
difference atau temperatur rata-rata logaritmik (Tm) secara sistematis.

Menghitung koefisien konveksi dapat menggunakan rata-rata


temperature logaritmik dan aritmatik karena memiliki fungsi yang sama,
yaitu menghitung perbedaan temperatur rata-rata pada aliran panas dan
dingin. Hal yang membedakan hanya temperatur rata-rata logaritmik lebih
akurat karena harus mempertimbangkan temperatur pada outlet dan
temperatur pada inlet supaya dapat diketahui perbedaan yang jelas antara
keduanya. Sementara, persamaan temperatur rata-rata aritmatik menghitung
beda temperatur sepanjang aliran tersebut, sehingga dapat dikatakan hasil
yang didapatkan hanyalah sebuah aproksimasi secara sederhana yang tidak
menggambarkan hasil yang rinci.
Grafik Difference Terhadap Waktu
70

Perbedaan temperatur (ºC)


60
50
40
30
20
10
0
0 100 200 300 400 500 600
Waktu (s)

v= 1,5 m/s {Finned surface} v = 3 m/s {Finned surface}


v = 1,5 m/s {Flat plate surface} v = 3 m/s {Flat plate surface}

Grafik 3.4.1 Tm terhadap Waktu

Berdasarkan grafik tersebut, dapat diketahui bahwa besaran konveksi


alami pada finned surface dan flat plate surface memiliki nilai yang tidak
jauh berbeda pada dua macam kecepatan yang diberikan dalam sistem. Pada
sistem, diterapkan daya sebesar 15 Watt dalam percobaan yang brbeda-beda
kecepatan udara dan jenis permukaannya. Pada finned surface dengan
kecepatan 1,5 m/s, dapat diketahui bahwa setelah sistem menerima konveksi
selama 480 detik, perbedaan temperatur dari awal berjalannya sistem hingga
akhir berselang 18,2ºC—25,7ºC. Pada finned surface dengan kecepatan 3
m/s, dapat diketahui bahwa setelah sistem menerima konveksi selama 480
detik, perbedaan temperatur dari awal berjalannya sistem hingga akhir
berselang 18,3ºC—25,8ºC. Pada flat plate surface dengan kecepatan 1,5
m/s, dapat diketahui bahwa setelah sistem menerima konveksi selama 480
detik, perbedaan temperatur dari awal berjalannya sistem hingga akhir
berselang 57,0ºC—58,4ºC. Lalu, pada flat plate surface dengan kecepatan 3
m/s, dapat diketahui bahwa setelah sistem menerima konveksi selama 480
detik, perbedaan temperatur dari awal berjalannya sistem hingga akhir
berselang 55,9ºC—57,3ºC.
Berdasarkan pengamatan tersebut, interval temperatur yang tidak jauh
yang dihasilkan dari percobaan pada sistem dapat terjadi karena kesamaan
material yang dimiliki kedua jenis permukaan. Meskipun bentuk kedua
permukaan berbeda, tetapi jika temperatur hanya diamati pada satu titik,
maka temperatur akan cenderung bernilai sama pada titik lainnya selama
material berjenis permukaan sama. Kecenderungan besar temperatur yang
diterima tidak jauh berbeda juga karena sistem melalui prosedur percobaan
yang sama, sehingga hasil konveksi yang diamati akan memiliki nilai yang
saling mendekati.

Grafik Koefisien Konveksi Terhadap Waktu


20
Perbedaan temperatur (ºC)

15

10

0
0 100 200 300 400 500 600
Waktu (s)

v = 1,5 m/s {Finned surface} v = 3 m/s {Finned surface}


v = 1,5 m/s {Flat plate surface} v = 3 m/s {Flat plate surface}

Grafik 3.4.2 grafik Hc Terhadap Waktu

Berdasarkan grafik tersebut, dapat diketahui bahwa besaran konveksi


alami pada finned surface dan flat plate surface memiliki nilai yang tidak
jauh berbeda pada dua macam kecepatan yang diberikan dalam sistem. Pada
sistem, diterapkan daya sebesar 15 Watt dalam percobaan yang berbeda-
beda kecepatan udara dan jenis permukaannya. Pada finned surface dengan
kecepatan 1,5 m/s, dapat diketahui bahwa setelah sistem menerima konveksi
selama 480 detik, koefisien konveksi dari awal berjalannya sistem hingga
akhir berkisar 10,823 W/m2K—15,178 W/m2K. Pada finned surface dengan
kecepatan 3 m/s, dapat diketahui bahwa setelah sistem menerima konveksi
selama 480 detik, koefisien konveksi dari awal berjalannya sistem hingga
akhir berkisar 10,855 W/m2K—15,237 W/m2K. Pada flat plate surface
dengan kecepatan 1,5 m/s, dapat diketahui bahwa setelah sistem menerima
konveksi selama 480 detik, koefisien konveksi dari awal berjalannya sistem
hingga akhir berkisar 10,307 W/m2K—10,540 W/m2K. Lalu, pada flat plate
surface dengan kecepatan 3 m/s, dapat diketahui bahwa setelah sistem
menerima konveksi selama 480 detik, koefisien konveksi dari awal
berjalannya sistem hingga akhir berkisar 10,474 W/m2K—10,684 W/m2K.
Berdasarkan pengamatan tersebut, interval koefisien yang tidak jauh
yang dihasilkan dari percobaan pada sistem dapat terjadi karena kesamaan
material yang dimiliki kedua jenis permukaan. Meskipun bentuk kedua
permukaan berbeda, tetapi jika konveksi hanya diamati pada titik tertentu,
maka koefisien konveksi akan cenderung bernilai sama pada titik lainnya
selama material berjenis permukaan sama. Kecenderungan besar koefisien
konveksi yang dihasilkan tidak jauh berbeda juga karena sistem melalui
prosedur percobaan yang sama, sehingga hasil konveksi yang diamati akan
memiliki nilai yang saling mendekati.

Grafik Kecepatan Terhadap Temperatur Terendah


3.5
3
Velocity (m/s)

2.5
2
1.5
1
0.5
0
0 10 20 30 40 50 60
Temperature (ºC)

Finned surface Flat plate surface

Grafik 3.4.3 Temperatur terhadap Velocity

Berdasarkan grafik tersebut, dapat diketahui sistem menerima


temperatur terendah yang bermacam-macam pada percobaan dengan jenis
permukaan yang berbeda-beda. Pada sistem, diterapkan daya sebesar 15
Watt untuk diuji coba selama 480 detik untuk meninjau besarnya temperatur
terendah yang diterima sistem. Pada finned surface dengan kecepatan 1,5
m/s, dapat diketahui bahwa temperatur terendah yang diterima sistem adalah
18,2ºC. Pada finned surface dengan kecepatan 3 m/s, dapat diketahui bahwa
temperatur terendah yang diterima sistem adalah 18,3ºC. Pada flat plate
surface dengan kecepatan 1,5 m/s, dapat diketahui bahwa temperatur
terendah yang diterima sistem adalah 57,0ºC. Lalu, pada flat plate surface
dengan kecepatan 3 m/s, dapat diketahui bahwa temperatur terendah yang
diterima sistem adalah 55,9ºC—57,3ºC.
Berdasarkan pengamatan tersebut, interval yang tidak jauh yang
dihasilkan dari percobaan pada sistem dapat terjadi karena kesamaan
material yang dimiliki kedua jenis permukaan. Meskipun bentuk kedua
permukaan berbeda, tetapi jika temperatur hanya diamati pada satu titik,
maka temperatur akan cenderung bernilai sama pada titik lainnya selama
material berjenis permukaan sama. Kecenderungan besar temperatur yang
diterima tidak jauh berbeda juga karena sistem melalui prosedur percobaan
yang sama, sehingga hasil konveksi yang diamati akan memiliki nilai yang
saling mendekati.
BAB V
PENUTUP

3.5.1 Kesimpulan
Setelah melakukan praktikum Forced Convection : Time, Temperature
and Velocity Variation mahasiswa dapat menyimpulkan beberapa hal yaitu:
a. Perpindahan panas konveksi, merupakan perpindahan panas terjadi di
antara permukaan sebuah benda padat dengan fluida (cairan atau gas)
yang mengalir menyentuh permukaan benda tersebut.
b. Forced convection adalah mekanisme atau jenis transportasi panas
dimana gerakan fluida yang dihasilkan oleh sumber eksternal (seperti
pompa, kipas angin, alat penghisap, dll)
c. Besarnya energi (kalor) yang dapat dipindahkan persatuan waktu pada
konveksi secara paksa sama seperti pada konveksi alamiah yaitu akan
sebanding dengan luas permukaan benda yang bersentuhan dengan
fluida, dengan beda suhu ΔT.
d. Dapat kita ketahui bahwa nilai temperatur mean yang tertinggi terdapat
dari material finned dengan kecepatan (V=1,5) dan nilai temperatur
mean terendah terdapat dari material pinned dengan kecepatan (V=3).

3.5.2 Saran
Saran yang dapat dituliskan setelah melakukan praktikum Forced
Convection : Time, Temperature and Velocity Variation ini adalah:
a. Sebaiknya membaca modul terlebih dahulu sebelum melakukan
praktikum.
b. Memperhatikan video praktikum dengan seksama dalam proses
praktikum agar dapat memahami praktikum kali ini.
c. Mempersiapkan jaringan internet terbaik supaya lancar dalam proses
praktikum online.
d. Untuk format penulisan laporan praktikum lebih jelas lagi sebelum
praktikum dimulai.
DAFTAR PUSTAKA

Idawati Supu, B. U. (2016). PENGARUH SUHU TERHADAP PERPINDAHAN


PANAS PADA MATERIAL YANG BERBEDA. Jurnal Dinamika, 63-
66.
Kusuma, G. E. (2018). PERPINDAHAN PANAS UNTUK POLITEKNIK. 27-28.
Sudirham, S. (2013). Sifat-Sifat Thermal . Darpublic, 1-10.
Tripler. (2009). Fisika Jilid II. Jakarta: Erlangga.
LAMPIRAN
SOAL
1. Jelaskan konsep velocity boundary layer dan thermal boundary layer pada
aliran udara melalui pelat datar.
2. Turunkanlah kembali persamaan log mean temperature difference atau
temperature rata-rata logaritmik (Tm) yang tercantum pada modul praktikum ini
di persamaan (8) secara sistematis.
3. Mengapa perhitungan koefisien konveksi pada praktikum ini menggunakan
temperature rata-rata logaritmik dibandingkan temperatur rata-rata aritmatik
= 1+ 2 ? Jelaskan.
4. Buatlah Grafik hubungan berikut, kemudian berikan komentar dan penjelasan
terhadap grafik hasil pengamatan pengujian tersebut untuk masing-masing benda
uji (Finned, Pinned dan Flat Plate):
a) Perbedaan temperatur terhadap waktu
b) Koefisien perpindahan panas terhadap waktu
c) Kecepatan terhadap perbedaan temperatur terendah.

JAWABAN

1. a. Velocity boundary layer pada aliran udara melalui plat datar akan
mengalirkan uniform sepanjang plat, dan akan terus Lapisan batas
kecepatan berkembang setiap kali ada aliran di atas permukaan. Hal
tersebut terkait dengan tegangan geser sejajar dengan permukaan dan
menghasilkan peningkatan kecepatan melalui lapisan batas dari nol tepat
di permukaan ke kecepatan freestream jauh dari permukaan. Ketebalan
boundary layer umumnya didefinisikan sebagai jarak dari permukaan di
mana kecepatannya adalah 99% dari kecepatan freestream.
b. Thermal boundary layer berkaitan dengan gradien temperatur di dekat
permukaan dan berkembang ketika perbedaan temperatur antara aliran
bebas fluida dan permukaan muncul. Pada permukaan fluida, perpindahan
panas hanya terjadi melalui konduksi. Ketebalan dari thermal boundary
layer didefinisikan sebagai titik dengan perbedaan temperatur antara fluida
dan permukaan adalah 99% perbedaan temperatur antara fluida freestream
dan permukaan. Kecepatan fluida yang mengenai boundary layer akan
meningkatkatkan kecepatan aliran ketika ada aliran fluida di atas
permukaan berbeda.


2. =

3. Menghitung koefisien konveksi dapat menggunakan rata-rata temperature


logaritmik dan aritmatik karena memiliki fungsi yang sama, yaitu
menghitung perbedaan temperatur rata-rata pada aliran panas dan dingin.
Hal yang membedakan hanya temperatur rata-rata logaritmik lebih akurat
karena harus mempertimbangkan temperatur pada outlet dan temperatur
pada inlet supaya dapat diketahui perbedaan yang jelas antara keduanya.
Sementara, persamaan temperatur rata-rata aritmatik menghitung beda
temperatur sepanjang aliran tersebut, sehingga dapat dikatakan hasil yang
didapatkan hanyalah sebuah aproksimasi secara sederhana yang tidak
menggambarkan hasil yang rinci.
4. a. Perbedaan Temperature Terhadap Waktu
Penjelasan Grafik a :
Berdasarkan grafik tersebut, dapat diketahui bahwa besaran konveksi alami pada
finned surface dan flat plate surface memiliki nilai yang tidak jauh berbeda pada
dua macam kecepatan yang diberikan dalam sistem. Pada sistem, diterapkan daya
sebesar 15 Watt dalam percobaan yang brbeda-beda kecepatan udara dan jenis
permukaannya. Pada finned surface dengan kecepatan 1,5 m/s, dapat diketahui
bahwa setelah sistem menerima konveksi selama 480 detik, perbedaan temperatur
dari awal berjalannya sistem hingga akhir berselang 18,2ºC—25,7ºC. Pada finned
surface dengan kecepatan 3 m/s, dapat diketahui bahwa setelah sistem menerima
konveksi selama 480 detik, perbedaan temperatur dari awal berjalannya sistem
hingga akhir berselang 18,3ºC—25,8ºC. Pada flat plate surface dengan kecepatan
1,5 m/s, dapat diketahui bahwa setelah sistem menerima konveksi selama 480
detik, perbedaan temperatur dari awal berjalannya sistem hingga akhir berselang
57,0ºC—58,4ºC. Lalu, pada flat plate surface dengan kecepatan 3 m/s, dapat
diketahui bahwa setelah sistem menerima konveksi selama 480 detik, perbedaan
temperatur dari awal berjalannya sistem hingga akhir berselang 55,9ºC—57,3ºC.
Berdasarkan pengamatan tersebut, interval temperatur yang tidak jauh yang
dihasilkan dari percobaan pada sistem dapat terjadi karena kesamaan material
yang dimiliki kedua jenis permukaan. Meskipun bentuk kedua permukaan
berbeda, tetapi jika temperatur hanya diamati pada satu titik, maka temperatur
akan cenderung bernilai sama pada titik lainnya selama material berjenis
permukaan sama. Kecenderungan besar temperatur yang diterima tidak jauh
berbeda juga karena sistem melalui prosedur percobaan yang sama, sehingga hasil
konveksi yang diamati akan memiliki nilai yang saling mendekati.
b. Koefisien Perpindahan Panas Terhadap Waktu
Penjelasan Grafik b :
Berdasarkan grafik tersebut, dapat diketahui bahwa besaran konveksi alami pada
finned surface dan flat plate surface memiliki nilai yang tidak jauh berbeda pada
dua macam kecepatan yang diberikan dalam sistem. Pada sistem, diterapkan daya
sebesar 15 Watt dalam percobaan yang berbedabeda kecepatan udara dan jenis
permukaannya. Pada finned surface dengan kecepatan
1,5 m/s, dapat diketahui bahwa setelah sistem menerima konveksi selama 480
detik, koefisien konveksi dari awal berjalannya sistem hingga akhir berkisar
10,823 W/m2K—15,178 W/m2K. Pada finned surface dengan kecepatan 3 m/s,
dapat diketahui bahwa setelah sistem menerima konveksi selama 480 detik,
koefisien konveksi dari awal berjalannya sistem hingga akhir berkisar 10,855
W/m2K—15,237 W/m2K. Pada flat plate surface dengan kecepatan 1,5 m/s, dapat
diketahui bahwa setelah sistem menerima konveksi selama 480 detik, koefisien
konveksi dari awal berjalannya sistem hingga akhir berkisar 10,307 W/m2K—
10,540 W/m2K. Lalu, pada flat plate surface dengan kecepatan 3 m/s, dapat
diketahui bahwa setelah sistem menerima konveksi selama 480 detik, koefisien
konveksi dari awal berjalannya sistem hingga akhir berkisar 10,474 W/m2K—
10,684 W/mK. Berdasarkan pengamatan tersebut, interval koefisien yang tidak
jauh yang dihasilkan dari percobaan pada sistem dapat terjadi karena kesamaan
material yang dimiliki kedua jenis permukaan. Meskipun bentuk kedua permukaan
berbeda, tetapi jika konveksi hanya diamati pada titik tertentu, maka koefisien
konveksi akan cenderung bernilai sama pada titik lainnya selama material berjenis
permukaan sama. Kecenderungan besar koefisien konveksi yang dihasilkan tidak
jauh berbeda juga karena sistem melalui prosedur percobaan yang sama, sehingga
hasil konveksi yang diamati akan memiliki nilai yang saling mendekati.

c. Kecepatan Terhadap Perbedaan Temperatur Rendah


Penjelasan Grafik c :
Berdasarkan grafik tersebut, dapat diketahui sistem menerima temperatur terendah
yang bermacam-macam pada percobaan dengan jenis permukaan yang berbeda-
beda. Pada sistem, diterapkan daya sebesar 15 Watt untuk diuji coba selama 480
detik untuk meninjau besarnya temperature terendah yang diterima sistem. Pada
finned surface dengan kecepatan 1,5 m/s, dapat diketahui bahwa temperatur
terendah yang diterima sistem adalah 18,2ºC. Pada finned surface dengan
kecepatan 3 m/s, dapat diketahui bahwa temperatur terendah yang diterima sistem
adalah 18,3ºC. Pada flat plate surface dengan kecepatan 1,5 m/s, dapat diketahui
bahwa temperature terendah yang diterima sistem adalah 57,0ºC. Lalu, pada flat
plate surface dengan kecepatan 3 m/s, dapat diketahui bahwa temperatur terendah
yang diterima sistem adalah 55,9ºC—57,3ºC.
Berdasarkan pengamatan tersebut, interval yang tidak jauh yang dihasilkan dari
percobaan pada sistem dapat terjadi karena kesamaan material yang dimiliki
kedua jenis permukaan. Meskipun bentuk kedua permukaan berbeda, tetapi jika
temperatur hanya diamati pada satu titik, maka temperatur akan cenderung
bernilai sama pada titik lainnya selama material berjenis permukaan sama.
Kecenderungan besar temperatur yang diterima tidak jauh berbeda juga karena
sistem melalui prosedur percobaan yang sama, sehingga hasil konveksi yang
diamati akan memiliki nilai yang saling mendekati.
LAPORAN PRAKTIKUM MS3133
PERPINDAHAN PANAS DAN MASSA
Modul 4 Heat Transfer Coefficient and Nusselt Number

Disusun Oleh:
Kelompok 4

Indra Anggi (118170012)

Fernando Loe P. (118170027)

Imam Sulistiyo (118170035)

Bayu Prastio (118170074)

Raden Achmad Fachrozi (17117092)

Bastian Roni Petrus M. (118170094)

M. Ryan Mahendra P. (118170107)

Asisten Praktikum:
Naufal Hasnur (17117088)

LABORATORIUM KONVERSI ENERGI


PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN
JURUSAN MANUFAKTUR DAN MINERAL KEBUMIAN
INSTITUT TEKNOLOGI SUMATERA
2020
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan
Tinggi
INSTITUT TEKNOLOGI
SUMATERA
Jalan Terusan Ryacudu, Desa Way Hui, Kecamatan Jati Agung, Lampung
Selatan 35365 Telepon:(0721) 8030188, Email: pusat@itera.ac , Website:
http://www.itera.ac.id

LEMBAR ASISTENSI
Nama Anggota : Indra Anggi (118170012)
Fernando Loe P. (118170027)
Imam Sulistiyo (118170035)
Bayu Prastio (118170074)
Raden Achmad Fachrozi (17117092)
Bastian Roni Petrus M. (118170094)
M. Ryan Mahendra P. (118170107)
Kelompok :4
Modul : (Modul 4) (Heat Transfer Coefficient and Nusselt
Number)
NO TANGGAL KETERANGAN PARAF
1. 04-12-2020 1. ACC
BAB I
PENDAHULUAN

4.2.1 Latar Belakang


Perpindahan panas adalah salah satu dari displin ilmu teknik termal
yang mempelajari cara menghasilkan panas, menggunakan panas, mengubah
panas, dan menukarkan panas di antara sistem fisik. Proses perpindahan
panas dari suatu media ke media lain sangat banyak digunakan dalam
berbagai keperluan, terutama di berbagai perindustrian. Proses perpindahan
panas ini dilakukan menggunakan peralatan heat exchanger. Peralatan
penukar panas pada umumnya mengambil panas secara konveksi dari
sumber panas dan memindahkan panas ke media lain melalui proses
konveksi. Pada alat penukar panas, perpindahan panas dipengaruhi oleh
bilangan reynold, kualitas fasa dan kecepatan aliran.
Perpindahan panas konveksi, dimana perpindahan panas terjadi di
antara permukaan sebuah benda padat dengan fluida (cairan atau gas) yang
mengalir menyentuh permukaan tadi. Pada fenomena konveksi, perpindahan
panas konveksi dipertahankan baik oleh gerakan molekul acak dan oleh
gerakan massal fluida di dalam lapisan batas. Perpindahan panas secara
konveksi sebenarnya dapat dibagi menjadi 2 yaitu konveksi paksa dan
konveksi alami, namun pada kasus-kasus tertentu, sistem perpindahan kalor
mempunyai kedua cara konveksi tersebut secara bersamaan.
Konveksi paksa atau forced convection adalah mekanisme atau jenis
transportasi panas dimana gerakan fluida yang dihasilkan oleh sumber
eksternal (seperti pompa, kipas angin, alat penghisap, dll). Ini harus
dipertimbangkan sebagai salah satu metode utama perpindahan panas
berguna sebagai sejumlah besar panas dapat diangkut sebagai sangat efisien
dan mekanisme ini ditemukan sangat umum dalam kehidupan sehari-hari,
termasuk pemanas sentral AC, turbin uap dan mesin lainnya. Konveksi
paksa sering dihadapi oleh para insinyur merancang atau menganalisis
penukar panas, aliran pipa, dan aliran atas piring pada suhu yang berbeda
dari aliran.
Heat Exchanger (HE) adalah salah satu aplikasi dari perpindahan
panas konveksi dalam dunia industri. HE adalah suatu sistem yang
direkayasa untuk mendinginkan atau memanaskan aliran fluida dari pipa.
Oleh karena itu, makalah ini akan membahas mengenai perpindahan panas
secara konveksi baik paksa maupun alami serta prinsip kerja HE.

4.2.2 Tujuan
Adapun Tujuan dari praktikum Heat Transfer Coefficient and Nusselt
Number yang akan dilakukan kali ini adalah sebagai berikut:
a. Dapat merangkai dan mengoperasikan peralatan free and force
convection.
b. Mengenal dan memahami komponen-komponen peralatan free and
force convection beserta fungsinya.
c. Mengetahui Temperatur di seluruh titik duct transfer probe.
d. Untuk mengetahui koefisien panas dan bilangan Nusselt pada
permukaan perpindahan panas dalam kondisi konveksi alami maupun
paksa.
BAB II
LANDASAN TEORI

4.2.1 Perpindahan Panas


Perpindahan panas adalah perpindahan energi yang terjadi pada benda
atau material yang bersuhu tinggi ke benda atau material yang bersuhu
rendah, hingga tercapainya kesetimbangan panas. Perpindahan panas (heat
transfer) adalah ilmu untuk meramalkan atau menggambarkan perpindahan
energi yang terjadi karena adanya perbedaan suhu di antara benda atau
material. Bila dua sistem yang suhunya berbeda disinggungkan maka akan
terjadi perpindahan energi. Proses di mana perpindahan energi itu
berlangsung disebut perpindahan panas. Perpindahan panas akan terjadi
apabila ada perbedaan temperatur antara 2 bagian benda. Panas akan
berpindah dari temperatur tinggi ke temperatur yang lebih rendah.
Perpindahan panas (heat transfer) merupakan disiplin ilmu yang
mempelajari bagaimana panas dapat berpindah dari suatu benda ke benda
lainnya melalui berbagai macam medium perambatan. Panas dapat
berpindah dari suatu tempat ke tempat lain akibat adanya perbedaan suhu.
Dalam ilmu perpindahan panas, dikenal 3 (tiga) proses perpindahan panas
dilihat dari medium perambatannya, yaitu konduksi, konveksi dan radiasi
(Burhani, 2014)
Perpindahan panas terjadi karena perbedaan suhu yang terdapat pada
suatu benda. Perpindahan panas dapat berlangsung melalui salah satu dari
tiga cara yaitu konduksi, radiasi, konveksi. Perpindahan panas seketika ini
selalu dalam arah yang cenderung menyamakan suhu. jika hal tersebut
dibiarkan maka suhu keduanya akan sama dan keduanya dikatakan dalam
keadaan kesetimbangan termal dan tidak terjadi perpindahan panas diantara
keduanya (Idawati Supu, 2016).

4.2.2 Koefisien Perpindahan Panas


Koefisien perpindahan panas digunakan dalam
perhitungan perpindahan panas konveksi atau perubahan wujud antara cair
dan padat. Koefisien perpindahan panas banyak dimanfaatkan dalam
ilmu termodinamika dan mekanika serta teknik kimia.

………………………………(4.1)

dimana :
ΔQ = panas yang masuk atau panas yang keluar, W
h = koefisien perpindahan panas, W/(m2K)
A = luas permukaan perpindahan panas, m2
= perbedaan temperatur antara permukaan padat dengan luas
permukaan kontak dengan fluida, K

4.2.3 Bilangan Nusselt


Bilangan Nusselt didefinisikan sebagai perbandingan antara gradien
temperatur permukaan (dT/dy) terhadap gradien temperatur konveksi (T-
Tw). Bilangan Nusselt menggambarkan karakteristik proses perpindahan
kalor. Secara matematis dapat dirumuskan :

( )
......................................(4.2)

(Irsyad, 2016)

4.2.4 Perpindahan Panas Secara Konduksi


Dalam proses perpindahan panas secara konduksi terdapat laju
hantaran kalor. Laju hantaran kalor menyatakan seberapa cepat panas
dihantarkan melalui medium itu. Terdapat besaran-besaran yang
mempengaruhi dalam laju hantaran panas yaitu luas permukaan benda,
panjang atau tebal benda, perbedaan suhu antar ujung benda dan juga
dipengaruhi oleh suatu besaran k yang disebut konduktivitas termal.
Laju perpindahan panas yang terjadi pada perpindahan panas
konduksi adalah berbanding dengan gradient suhu normal sesuai dengan
hukum Fourier dan merupakan persamaan dasar konduksi. Sampai saat ini
banyak percobaan laju hantaran kalor konduksi hanya menghitung dengan
menggunakan persamaan yang sudah diketahui. Untuk percobaan yang
menemukan konsep laju hantaran kalor konduksi masih kurang
dikembangkan, selain itu pada percobaan yang banyak dilakukan sumber
panas yang digunakan tidak memberikan distribusi suhu yang merata pada
material. Misalnya saat penggunaan pembakar spiritus sebagai sumber
panas, maka distribusi suhu yang diterima pada permukaan material tidak
merata.

Gambar 4.2.1 Perpindahan panas secara konduksi

Konsep yang ada pada konduksi merupakan suatu aktivitas atomik dan
molekuler. Sehingga peristiwa yang terjadi pada konduksi adalah
perpindahan energi dari partikel yang lebih energetik (molekul yang lebih
berenergi atau bertemperatur tinggi) menuju partikel yang kurang energetik
(molekul yang kurang berenergi atau bertemperatur lebih rendah), akibat
adanya interaksi antara partikel-partikel tersebut. Proses perpindahan panas
secara konduksi pada steady state melalui dinding datar suatu dimensi
seperti ditunjukkan pada Gambar 1.2.2.

Gambar 4.2.2 Perpindahan panas konduksi pada bidang datar


Persamaan laju konduksi dikenal dengan Hukum Fourier (Fourier Law of
Heat Conduction) tentang konduksi, yang persamaan matematikanya
dituliskan sebagai berikut :

............................................. (4.3)

Dimana:
= Laju perpindahan panas konduksi (W)
k = Konduktivitas thermal bahan (W/m.K)
A = Luas penampang tegak lurus terhadap arah aliran panas (m)

= Gradien temperatur pada penampang tersebut (K/m)

Tanda (-) diselipkan agar memenuhi hukum Thermodinamika II, yang


menyebutkan bahwa, panas dari media bertemperatur lebih tinggi akan
bergerak menuju media yang bertemperatur lebih rendah (Intan Nurul
Rokhimi, 2015).

4.2.5 Hukum Newton Pada Konveksi


Penentuan laju perpindahan kalor konveksi menggunakan Hukum
Newton tentang Pendinginan:
Q=hA(Tw-T∞) ........................................ (4.4)
Dari persamaan tersebut dapat disimpulkan bahwa perpindahan kalor
konveksi bergantung pada h (koefisien perpindahan kalor konveksi), A (luas
permukaan penampang), dan gradien suhu antara dinding dan fluida.
Koefisien perpindahan kalorkonveksi (h) sering juga disebut konduktansi
lapisan (film conductance) karena berhubungan dengan proses konduksi
pada lapisan fluida tipis stasioner pada permukaan dinding.

4.2.6 Perpindahan Panas Konveksi


Perpindahan panas konveksi merupakan perpindahan panas yang
terjadi akibat adanya perbedaan temperatur yang menyebabkan gerakan acak
antarmolekul dan bulk motion of fluid. Semakin cepat pergerakan fluida,
maka akan semakin besar pula laju perpindahan panas konveksi yang
terjadi. Namun, apabila fluida tidak bergerak atau stationary maka
mekanisme perpindahan panas yang terjadi adalah konduksi.
Konveksi terjadi akibat adanya pergerakan fluida, oleh karena itu
konveksi dapat dibedakan menjadi 2, yaitu konveksi alami dan konveksi
paksa. Konveksi alami (konveksi bebas) terjadi karena fluida bergerak
secara alamiah di mana pergerakan fluida tersebut lebih disebabkan oleh
perbedaan massa jenis fluida akibat adanya variasi suhu pada fluida tersebut.
Konveksi paksa terjadi karena bergeraknya fluida bukan karena faktor
alamiah.

Gambar 4.2.3 contoh perpindahan panas secara konveksi

Rumus atau persamaan yang digunakan dalam perpindahan panas


secara konveksi ialah :
…………………………...........(4.5)
Q = Laju perpindahan panas konveksi
h = Koefisien perpindahan panas konveksi (W/m2 oC)
A = Luas penampang (m2 )
∆T = Perubahan atau perbedaan temperaur ( oC)

4.2.7 Suhu/Temperatur
Suhu merupakan ukuran atau derajat panas atau dinginnya suatu benda
atau sistem. Suhu di definisikan sebagai suatu besaran fisika yang dimiliki
bersama antara dua benda atau lebih yang berada dalam kesetimbangan
termal. Jika panas dialirkan pada suhu benda, maka suhu benda tersebut
akan turun jika benda yang bersangkutan kehilangan panas. Akan tetapi
hubungan antara satuan panas dengan satuan suhu tidak merupakan suatu
konstanta, karena besarnya peningkatan suhu akibat penerimaan panas
dalam jumlah tertentu akan dipengaruhi oleh daya tampung panas (heat
capacity) yang dimiliki oleh benda penerima tersebut.
Suatu benda yang dalam keadaan panas dikatakan memiliki suhu yang
tinggi, dan sebaliknya, suatu benda yang dalam keadaan dingin dikatakan
memiliki suhu yang rendah. Perubahan suhu benda, baik menjadi lebih
panas atau menjadi lebih dingin biasanya diikuti dengan perubahan bentuk
atau wujudnya. Misalnya, perubahan wujud air menjadi es batu atau uap air
karena pengaruh panas atau dingin.
Sejumlah es batu yang dipanaskan akan berubah wujud menjadi air.
Bila terus-menerus dipanaskan, maka pada suatu ketika (ketika telah
mencapai titik didih) air akan mendidih dan berubah wujud menjadi uap air
atau gas. Proses sebaliknya terjadi mana kala air yang berada dalam bentuk
gas atau uap air didinginkan, maka akan kembali ke bentuk cair, dan ketika
terus didinginkan, maka pada saat tertentu (ketika telah mencapai titik beku)
air akan membeku dan kembali berwujud padat yaitu es batu

4.2.8 Perubahan Frasa Panas


Bila panas diberikan pada suatu zat pada tekanan konstan, maka
biasanya, hasilnya adalah kenaikan temperatur zat. Namun kadang-kadang
zat dapat menyerap panas dalam jumlah besar tanpa mengalami perubahan
apapun dalam temperaturnya. Ini terjadi selama perubahan fasa, artinya
ketika kondisi fisik zat itu berubah dari satu bentuk ke bentuk lain. Jenis
perubahan fasa adalah pembekuan (perubahan cairan menjadi padatan),
penguapan (perubahan cair menjadi uap atau gas), sublimasi (perubahan
padat menjadi gas). Ada juga perubahan fasa lain, seperti bila padatan
akan berubah dari satu bentuk kristalin ke bentuk lain.
Perubahan fasa dapat dimengerti dengan teori molekular. Kenaikan
temperatur zat menggambarkan kenaikan energi kinetik gerakan molekul-
molekul. Bila suatu zat berubah dari cairan menjadi bentuk gas, molekul-
molekul yang dekat dalam bentuk cairan di gerakan saling menjauh. Ini
perlu usaha untuk melawan gaya-gaya tarik yang di mempertahankan
molekul berdekatan, artinya diperlukan energi untuk memisahkan mereka.
Energi ini beralih menjadi energi potensial molekul. Karena itu,
temperatur zat yang merupakan ukuran energi kinetik rata-rata molekul
gas tidak berubah (Tripler, 2009).

4.2.9 Aliran Viscos, Aliran Tidak Viscos (Inviscid), dan Rejim Aliran

Gambar 4.2.4 Aliran pada plat datar

Berawal dari leading edge (pada gambar 4.2.4 merupakan ujung plat
sebelah kiri), rejim aliran terbentuk pada lokasi di mana gaya viskos

terasa. Gaya viskos dideskripsikan sebagai , dengan adalah koefisien

viskositas dinamik. Rejim aliran yang terbentuk dari ujung plat di mana
efek viskositas teramati disebut lapisan batas (boundary layer). Transisi
dari aliran laminar ke turbulen terjadi saat :
................................. (4.6)

Dimana adalah kecepatan aliran bebas (m/s), x adalah jarak dari


ujung plat (m), dan v adalah viskositas kinematik (m²/s). Lebih lanjut,
persamaan di atas dapat dinyatakan dengan bilangan Reynold:
........................................... (4.7)

Untuk aliran pada pipa, bilangan Reynold dapat dinyatakan dengan :

...................................(4.8)
Untuk aliran turbulen. Namun, terdapat rentang umum bilangan
Reynold yaitu :
................................. (4.9)

Untuk aliran transisi. Biasanya jika bilangan Reynold nilainya dibawah


2000 maka aliran akan laminar.

4.2.10 Jenis-Jenis Perpindahan Panas Secara Konveksi Berdasarkan Gerak


Alirannya
Terdapat dua jenis proses perpindahan panas secara konveksi
berdasarkan gerak alirannya. Proses tersebut adalah perpindahan panas
konveksi secara (Free Convection) dan (Forced convection).
a. Free Convection
Konveksi alami (free convection) terjadi karena fluida mengalami
proses pemanasan, berubah densitasnya dan bergerak naik. Gerakan
fluida dalam konveksi alami, baik fluida itu gas maupun zat cair terjadi
karena gaya apung (bouyancy force) yang dialami apabila densitas
fluida di dekat permukaan perpindahan kalor berkurang sebagai akibat
proses pemanasan. Secara sederhana konveksi alami dapat diartikan
sebagai perpindahan kalor yang terjadi secara alami atau pergerakan
fluida yang terjadi akibat perbedaan massa jenis, misalnya pemanasan
air. Bagian fluida yang dipanasi memuai dan massa jenisnya menjadi
lebih kecil,sehingga bergerak ke atas. Kemudian tempatnya akan
digantikan oleh bagian fluida dingin yang jatuh ke arah bawah karena
massanya jenisnya bernilai lebih besar. (Theodore L, et al., 2018)
b. Forced Convection
Forced Convection merupakan proses perpindahan panas aliran gas
atau cairan yang disebabkan adanya pengaruh tenaga dari luar.
Contohnya: aliran udara yang di hembuskan ke arah papan komponen
yang sedang dalam keadaan panas. (Theodore L, et al., 2018)
Konveksi paksa juga merupakan konveksi yang terjadi karena
disengaja. Perpindahan panas yang mana dialirannya tersebut berasal
dari luar, seperti dari blower atau krandan pompa. Konveksi paksa
dalam pipa merupakan persoalan perpindahan konveksi untuk aliran
dalam atau yang disebut dengan internal flow. Adapun aliran yang
terjadi dalam pipa adalah fluida yang dibatasi oleh suatu permukaan.
Sehingga lapisan batas tidak dapat berkembang secara bebas seperti
halnya pada aliran luar.

4.2.11 Heat Exchanger


Biasanya heat exchanger (HE) berbentuk pipa, maka perpindahan kalor
menyeluruh dapat dinyatakan dengan :

( ) ............................... (4.10)

dengan adalah jari-jari dalam pipa dan adalah jari-jari luar pipa.
Sedangkan koefisien perpindahan kalor menyeluruh dinyatakan sebagai
(subskrip i menunjukkan sisi dalam dan o menunjukkan sisi luar dari pipa
yang lebih kecil) :

( ) .............................. (4.11)

( ) ............................ (4.12)

HE terdiri dari berbagai macam jenis, namun yang umum digunakan di


industry adalah jenis shell and tube dan cross-flow. Jika pada shell and
tube, aliran dua jenis fluida akan paralel satu dengan yang lainnya,
sedangkan pada cross-flow, aliran fluida yang satu akan tegak lurus
dengan aliran fluida yang lain. Pada shell and tube, fluida mengalir di
dalam tabung dalam, sedangkan fluida lain dipaksa untuk mengalir di
bagian shell dan di sisi luar tabung dalam. Sedangkan untuk cross-flow,
gas dipaksa untuk mengalir melewati selongsong tabung (tube bundles)
dan fluida lain digunakan di dalam tabung untuk keperluan pemanasan
atau pendinginan. Gas yang mengalir melewati tabung disebut aliran
bercampur (mixed stream) sedangkan fluida yang ada dalam tabung
disebut unmixed stream. Berikut merupakan ilustrasi dan skema jenis shell
and tube dan cross-flow (Holman, 2002).
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM

4.3.1 Alat dan Bahan


Adapun alat dan bahan pada praktikum Heat Transfer Coefficient and
Nusselt Number adalah sebagai berikut, yaitu :
a. Mesin Free and Force Convection
Mesin free and force convection, yaitu alat yang berfungsi
sebagai mengetahui fenomena konveksi secara natural dan konveksi
paksa;

Gambar 4.3.1. Mesin Free and Force Convection

b. Bahan yang Digunakan: Flat Plate, Pinned Surface, dan Finned Surface
Flat flate, pinned surface, dan finned surface, yaitu bahan yang
digunakan saat uji konveksi paksa. Berikut merupakan bahan-bahan
yang diujikan, yaitu;
1. Flat Plate;

Gambar 4.3.2 Flat Plate

2. Pinned Surface

Gambar 4.3.3. Pinned Surface

3. Finned Surface

Gambar 4.3.4. Finned Surface


c. Stopwatch
Stopwatch yaitu alat yang berfungsi untuk mengukur waktu dengan
ketelitian hingga ms.

Gambar 4.3.5. Stopwatch

d. Anemometer
Anemometer, yaitu alat yang berfungsi untuk membaca laju alir
fluida yang melewati pipa; dan

Gambar 4.3.6. Anemometer


e. Fan
Fan yaitu bagian alat yang digunakan untuk menggerakkan fluida untuk
forced convection; dan

Gambar 4.3.7 Fan

f. Hand Held
Hand held yaitu alat yang digunakan untuk mengecek temperatur secara
manual pada bahan yang digunakan pada mesin free and forced
convection.

Gambar 4.3.8 Hand Held

4.3.2 Prosedur Percobaan


Pada praktikum kali ini ada beberapa langkah kerja yang harus dilakukan
oleh praktikan sebagai berikut:
a. Menyambungkan instalasi PC dan mesin dengan listrik;
b. Menyalakan perangkat komputer (PC);
c. Membuka software VDAS (Klik dua kali pada icon VDAS);
d. Memasang permukaan perpindahan panas yang telah ditentukan
(Finned dan Pinned);
e. Menghidupkan mesin dengan menekan tombol power mesin yang
terletak di bagian belakang mesin
f. Menghidupkan heater dengan menekan tombol power heater yang
terletak di bagian depan mesin;
g. Menjalankan program VDAS dengan klik “start”;
h. Menyeting power heater hingga mencapai 25 Watt dengan cara
memutar tombol power heater searah jarum jam;
i. Menunggu hingga temperatur pada permukaan heat transfer stabil. (15
menit);
j. Mencatat temperatur pada tiap titik pada duct transfer probe (Tout)
dengan posisi yang telah di tentukan;
k. Menghidupkan fan dengan cara memutar tombol fan searah jarum jam
hingga kecepatan yang telah di tentukan;
l. Menunggu hingga temperatur pada permukaan heat transfer stabil. (15
menit)
m. Mencatat temperatur pada tiap titik pada duct transfer probe (Tout)
dengan posisi yang telah di tentukan;
n. Mengulangi langkah percobaan 9-13 dengan mengganti permukaan
kerja perpindahan panas (Finned dan Pinned) beserta power heater dan
kecepatan udara;
o. Mematikan heater dengan cara menekan tombol power heater (Switch
Off), setelah data tercatat power turun hingga “nol”;
p. Menunggu hingga temperatur permukaan mencapai temperatur
ambien, matikan fan dengan memutar tombol fan berlawanan arah
jarum jam. Mematikan power mesin dan PC, apabila telah selesai
digunakan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4.1 Data Hasil Praktikum


Adapun data-data yang didapatkan dari hasil praktikum heat transfer
coefficient and Nusselt number ini adalah sebagai berikut
a. Data
Tabel 4.4.1. Heat transfer coefficient dan Nusselt number pada pinned
surface power 20 W velocity 0 m/s

Power: 20 Watt
Air Velocity: 0 m/s
Heat Transfer Pinned Surface
Duct
Traverse T1 T2 T3
Ts-Tin Tp-Tin Tm Hc k
Probe Tin Ts Tp 2 Nu
(ºC) (ºC) (K) (W/m .K) (W/m.K)
Position (ºC) (ºC) (ºC)
(mm)
7,5 28,8 59,9 42,2 31,1 13,4 54,74 13,53 0,0274 3,70
19,5 28,9 59,8 37 30,9 8,1 61,35 12,07 0,0270 8,70
31,5 28,8 59,8 36 31 7,2 62,72 11,81 0,0269 13,79
43,5 28,9 59,6 35,8 30,7 6,9 62,41 11,87 0,0269 19,15
55,5 28,9 59,6 35 30,7 6,1 63,41 11,68 0,0268 24,11
67,5 29 59,5 32,1 30,5 3,1 66,59 11,12 0,0266 28,14
Tabel 4.4.2. Heat transfer coefficient dan Nusselt number pada pinned
surface power 20 W velocity 3m/s

Power: 20 Watt
Air Velocity: 3 m/s
Heat Transfer Pinned Surface
Duct
Traverse T1 T2 T3
Ts-Tin Tp-Tin Tm Hc k
Probe Tin Ts Tp 2 Nu
(ºC) (ºC) (K) (W/m .K) (W/m.K)
Position (ºC) (ºC) (ºC)
(mm)
7,5 28,7 43 31,3 14,3 2,6 29,83 24,83 0,0266 6,99
19,5 28,8 43 30,8 14,2 2 30,33 24,42 0,0265 17,91
31,5 28,7 42,8 30,6 14,1 1,9 30,22 24,50 0,0265 29,05
43,5 28,7 42,8 30,4 14,1 1,7 30,46 24,31 0,0265 39,83
55,5 28,8 42,7 30,4 13,9 1,6 30,12 24,58 0,0265 51,39
67,5 28,8 42,6 30,3 13,8 1,5 30,01 24,67 0,0265 62,75

Tabel 4.4.3. Heat transfer coefficient dan Nusselt number pada finned
surface power 20 W velocity 0 m/s

Power: 20 Watt
Air Velocity: 0 m/s
Heat Transfer Finned Surface
Duct
Traverse T1 T2 T3
Ts-Tin Tp-Tin Tm Hc k
Probe Tin Ts Tp 2 Nu
(ºC) (ºC) (K) (W/m .K) (W/m.K)
Position (ºC) (ºC) (ºC)
(mm)
7,5 29,2 67,9 40,9 38,7 11,7 74,83 2,90 0,0273 0,79

19,5 29,2 67,7 39,1 38,5 9,9 76,68 2,83 0,0272 2,03

31,5 29,2 67,5 36,4 38,3 7,2 79,61 2,73 0,0269 3,18

43,5 29,2 67,5 36,3 38,3 7,1 79,73 2,72 0,0269 4,39

55,5 29,2 67,4 34,7 38,2 5,5 81,46 2,66 0,0271 5,46

67,5 29,3 67,3 35 38 5,7 80,75 2,69 0,0271 6,70


Tabel 4.4.4. Heat transfer coefficient dan Nusselt number pada finned
surface power 20 W velocity 3m/s

Power: 20 Watt
Air Velocity: 0 m/s
Heat Transfer Finned Surface
Duct
Traverse T1 T2 T3
Ts-Tin Tp-Tin Tm Hc k
Probe Tin Ts Tp 2 Nu
(ºC) (ºC) (K) (W/m .K) (W/m.K)
Position (ºC) (ºC) (ºC)
(mm)
7,5 28,9 53,2 33,9 24,3 5 49,97 4,349955 0,0268 1,21

19,5 29 53 32,2 24 3,2 51,49 4,22 0,0266 3,08

31,5 28,9 52,9 31,9 24 3 51,73 4,20 0,0266 4,96

43,5 28,9 52,9 31,7 24 2,8 51,97 4,18 0,0266 6,83

55,5 28,9 52,8 31,5 23,9 2,6 51,98 4,18 0,0266 8,71

67,5 28,9 52,7 32 23,8 3,1 51,14 4,25 0,0266 10,75

Gambar 4.4.1 Referensi nilai konduktivitas termal

b. Perhitungan
1. Heat transfer coefficient dan Nusselt number pada pinned
surface power 20 W velocity 0 m/s
a) Ts-Tin
b) Tp-Tin

c) Tm

d) Hc

̇
e) k

f) Nu

( )( )

( )( )

( )( )
( )( )

( )( )

( )( )

2. Heat transfer coefficient dan Nusselt number pada pinned


surface power 20 W velocity 3 m/s
a) Ts-Tin

b) Tp-Tin

c) Tm
d) Hc

e) k
f) Nu

( )( )

( )( )

( )( )

( )( )

( )( )

( )( )

3. Heat transfer coefficient dan Nusselt number pada finned


surface power 20 W velocity 0 m/s
a) Ts-Tin

b) Tp-Tin

c) Tm
d) Hc

e) k
f) Nu

( )( )

( )( )

( )( )

( )( )

( )( )

( )( )

4. Heat transfer coefficient dan Nusselt number pada finned


surface power 20 W velocity 3 m/s
a) Ts-Tin
b) Tp-Tin

c) Tm

d) Hc

̇
e) k

f) Nu

( )( )

( )( )

( )( )

( )( )

( )( )

( )( )
4.4.2 Pembahasan
Perpindahan panas konveksi merupakan proses transport energi
dengan kerja gabungan dari konduksi termal, penyimpanan energi, dan
proses pencampuran. Proses perpindahan panas konveksi terjadi pada
permukaan benda padat, cair, dan gas. Perpindahan panas konveksi
bergantung pada viskositas fluida, selain pada sifat-sifat termal fluida. Pada
perpindahan panas konveksi, terdapat dua jenis sistem berdasarkan tipe
aliran fluidanya, yaitu konveksi paksa dan konveksi bebas. Konveksi paksa
atau forced convection adalah mekanisme perpindahan panas dengan
pergerakan fluida dalam sistem dihasilkan oleh faktor eksternal. Artinya,
pergerakan fluida diakibatkan oleh faktor yang mendorong suatu fluida
masuk ke dalam sistem dan mengalir hingga keluar dari sistem. Sementara,
pada konveksi alami atau konveksi bebas terjadi karena fluida bergerak
secara alami dengan pergerakan fluida tersebut terjadi karena perbedaan
massa jenis fluida akibat adanya variasi temperatur pada fluida tersebut.
Konveksi alami terjadi pada saat fluida dengan temperatur lebih
dingin atau panas berada di dekat permukaan benda padat, sehingga
menghasilkan suatu sirkulasi karena perbedaan densitas yang muncul karena
adanya perbedaan temperatur fluida. Sirkulasi pada konveksi alami
menghasilkan pertukaran posisi fluida dengan temperatur lebih tinggi
dengan densitas yang rendah untuk bertukar tempat dengan fluida yang
memiliki temperatur lebih dingin dengan densitas yang lebih tinggi.
Pertukaran posisi tersebut terjadi berdasarkan gaya apung yang mengikuti
arah percepatan gravitasi, yaitu fluida panas bergerak ke atas, sedangkan
fluida dingin bergerak ke bawah. Oleh karena itu, perbedaan mendasar dari
konveksi alami dan konveksi paksa adalah adanya gaya apung pada
konveksi alami yang tidak dimiliki konveksi paksa.
Berdasarkan media alirannya, jenis konveksi dibedakan menjadi dua,
yaitu aliran dalam dan aliran luar. Konveksi pada aliran dalam merupakan
konveksi yang terjadi pada suatu penampang dengan luas permukaan dan
panjang aliran tertentu. Pada aliran dalam, fluida bergerak dengan mengikuti
bentuk penampang dengan panjang jalur aliran adalah panjang media itu
sendiri. Umumnya di dalam aliran dalam, fluida didorong oleh faktor
tertentu yang merupakan faktor eksternal, yang berarti fluida tidak mengalir
dengan sendirinya. Sepanjang fluida mengalir, dapat terjadi perpindahan
panas antara fluida dengan permukaan media. Hal tersebut adalah yang
menyebabkan konveksi paksa terjadi. Pada aliran dalam, suatu fluida dapat
mengalir karena pengaruh ketinggian yang disertai percepatan gravitasi.
Pada aliran seperti ini, fluida dipaksa mengalir melalui suatu media
penampang tertentu, tetapi alirannya bergerak secara alami mengikuti arah
percepatan gravitasi. Maka, aliran ini merupakan konveksi alami dan
konveksi paksa sekaligus. Pada aliran eksternal, fluida mengalir secara
bebas tanpa dipengaruhi bentuk penampang aliran, sehingga fluida dapat
menggerakkan partikel-partikelnya tanpa arah yang jelas. Jika aliran ini
mengenai suatu penampang, maka akan terjadi pertukaran temperatur antara
fluida dengan permukaan tanpa disebabkan oleh faktor apapun. Hal ini
menyebabkan suatu konveksi alami antara fluida yang bergerak bebas
dengan penampang yang dikenainya.

Grafik Duct Traverse Probe Position Terhadap


Perbedaan Temperatur
16
14
12
Tp - Tin (ºC)

10
8
6
4
2
0
5 25 45 65
Position (mm)

v = 0 m/s (Pinned Surface) v = 3 m/s (Pinned Surface)

v = 0 m/s (Finned Surface) v = 3 m/s (Finned Surface)

Grafik 4.4.1 Perbedaan temperatur terhadap Waktu


Berdasarkan grafik tersebut, dapat diketahui bahwa konveksi terjadi
pada penampang pinned surface dan finned surface. Pada sistem, fluida
mengalir ke dalam sistem menghasilkan konveksi alami dengan tanpa
kecepatan fluida dan konveksi paksa dengan kecepatan fluida sebesar 3 m/s.
Pada konveksi alami dengan tanpa kecepatan fluida, dapat diketahui
perbedaan temperatur inlet dan outlet cukup besar. Pada saluran keluar
sistem, temperatur meningkat dan menyebabkan perbedaan temperatur yang
besar terhadap temperatur inlet. Namun, perbedaan temperatur tersebut
menurun seiring bertambahnya posisi, sehingga outlet memiliki temperatur
hanya beberapa derajat di atas temperatur inlet. Pada konveksi paksa dengan
kecepatan fluida sebesar 3 m/s, perbedaan temperatur yang terdapat pada
inlet dan outlet cenderung kecil dan tidak banyak perubahan sepanjang
perubahan posisi sistem.
Pada pinned surface dengan tanpa kecepatan fluida (0 m/s), perbedaan
temperatur pada posisi 7,5 mm adalah yang tertinggi, yaitu 13,4ºC. Pada
posisi berikutnya, perbedaan temperatur menurun menjadi 8,1ºC.
Kemudian, perbedaan temperatur berkurang secara perlahan hingga akhir
posisi, dengan perbedaan temperatur pada posisi 67,5 mm adalah 3,1ºC.
Pada pinned surface dengan kecepatan fluida 3 m/s, perbedaan temperatur
pada posisi 7,5 mm adalah 2,6ºC. Kemudian, perbedaan temperatur
berkurang sangat kecil hingga akhir posisi, dengan perbedaan temperatur
pada posisi 67,5 mm adalah 1,5ºC.
Pada finned surface dengan tanpa kecepatan fluida (0 m/s), perbedaan
temperatur pada posisi 7,5 mm adalah yang tertinggi, yaitu 11,7ºC. Pada
posisi berikutnya, perbedaan temperatur menurun menjadi 9,9ºC.
Kemudian, perbedaan temperatur berkurang secara perlahan hingga akhir
posisi, dengan perbedaan temperatur pada posisi 67,5 mm adalah 5,7ºC.
Pada finned surface dengan kecepatan fluida 3 m/s, perbedaan temperatur
pada posisi 7,5 mm adalah 5,0ºC. Kemudian, perbedaan temperatur
berkurang sangat kecil hingga akhir posisi, dengan perbedaan temperatur
pada posisi 67,5 mm adalah 3,1ºC.
Perbedaan temperatur yang cenderung tinggi pada konveksi alami
disebabkan oleh hampir tidak adanya fluida yang mengalir untuk mereduksi
temperatur permukaan. Sebaliknya, perbedaan temperatur yang rendah dan
cenderung tidak banyak perubahan pada konveksi paksa dengan kecepatan
fluida tertentu. Fluida yang bergerak di dalam sistem memiliki temperatur
yang cenderung sama dengan temperatur lingkungan. Sesuai dengan prinsip
perpindahan panas, dimana temperatur permukaan akan cenderung
mengikuti temperatur lingkungan. Maka, temperatur pada sistem dengan
konveksi paksa akan memiliki perbedaan temperatur yang kecil karena
temperaturnya akan mengikuti temperatur fluida yang melaluinya.
Pada setiap jenis perpindahan panas konveksi, terdapat suatu koefisien
yang menentukan tingkatan suatu konveksi berdasarkan tingkat kemudahan
atau kesulitan suatu fluida meghantarkan energi panas atau kalor. Koefisien
ini disebut sebagai koefisien konveksi, yang besarannya didapatkan dari
eksperimen yang dilakukan terhadap fluida. Pada pinned surface dengan
tanpa kecepatan fluida (0 m/s), koefisien konveksi yang teridentifikasi pada
posisi 7,5 mm adalah yang tertinggi, yaitu 13,53 W/m2.K. Kemudian,
koefisien konveksi menurun secara perlahan hingga akhir posisi, dengan
koefisien konveksi pada posisi 67,5 mm adalah 11,12 W/m2.K. Pada pinned
surface dengan kecepatan fluida 3 m/s, koefisien konveksi pada posisi 7,5
mm adalah 24,83 W/m2.K. Kemudian, koefisien konveksi menurun sangat
kecil hingga akhir posisi, dengan koefisien konveksi pada posisi 67,5 mm
adalah 24,67 W/m2.K. Pada finned surface dengan tanpa kecepatan fluida (0
m/s), koefisien konveksi yang teridentifikasi pada posisi 7,5 mm adalah
yang tertinggi, yaitu 2,90 W/m2.K. Kemudian, koefisien konveksi menurun
sangat kecil hingga akhir posisi, dengan koefisien konveksi pada posisi 67,5
mm adalah 2,69 W/m2.K. Pada finned surface dengan kecepatan fluida 3
m/s, koefisien konveksi pada posisi 7,5 mm adalah 4,35 W/m2.K.
Kemudian, koefisien konveksi menurun sangat kecil hingga akhir posisi,
dengan koefisien konveksi pada posisi 67,5 mm adalah 4,25 W/m2.K.
Koefisien konveksi pada kedua permukaan memiliki rata-rata yang tidak
jauh dari koefisien konveksi terbesar ataupun terkecilnya. Walaupun
demikian, pinned surface memiliki koefisien konveksi yang lebih tinggi
dibandingkan finned surface. Hal tersebut disebabkan oleh pinned surface
yang memiliki penampang lebih kecil, sehingga persebaran temperaturnya
lebih merata dan menghasilkan koefisien konveksi yang lebih kecil karena
perbedaan temperatur logaritmik lebih kecil sebagai pembagi. Akan tetapi,
secara umum konveksi paksa dengan kecepatan fluida 3 m/s pada kedua
jenis permukaan menghasilkan koefisien konveksi yang lebih besar
dibandingkan konveksi alami tanpa kecepatan fluida.
Pada perpindahan panas konveksi, terdapat bilangan tak berdimensi
yang merupakan rasio perpindahan panas konveksi terhadap konduktivitas
termal permukaan. Bilangan tersebut dikenal dengan Nusselt number.
Nusselt number digunakan untuk menentukan karakteristik suatu
perpindahan panas konveksi dengan mengamati hubungan antara koefisien
konveksi, dimensi permukaan, dan konduktivitas termal permukaan. Pada
pinned surface dengan tanpa kecepatan fluida (0 m/s), Nusselt number yang
teridentifikasi pada posisi 7,5 mm adalah yang terendah, yaitu 3,70.
Kemudian, Nusselt number meningkat seiring dengan bertambahnya jarak
posisi. Besar Nusselt number pada posisi akhir, yaitu 67,5 mm adalah 28,14.
Pada pinned surface dengan kecepatan fluida 3 m/s, Nusselt number yang
teridentifikasi pada posisi 7,5 mm adalah yang terendah, yaitu 6,99.
Kemudian, Nusselt number meningkat seiring dengan bertambahnya jarak
posisi. Besar Nusselt number pada posisi akhir, yaitu 67,5 mm adalah 62,75.
Pada finned surface dengan tanpa kecepatan fluida (0 m/s), Nusselt number
yang teridentifikasi pada posisi 7,5 mm adalah yang terendah, yaitu 0,79.
Kemudian, Nusselt number meningkat seiring dengan bertambahnya jarak
posisi. Besar Nusselt number pada posisi akhir, yaitu 67,5 mm adalah 6,70.
Pada finned surface dengan kecepatan fluida 3 m/s, Nusselt number yang
teridentifikasi pada posisi 7,5 mm adalah yang terendah, yaitu 1,21.
Kemudian, Nusselt number meningkat seiring dengan bertambahnya jarak
posisi. Besar Nusselt number pada posisi akhir, yaitu 67,5 mm adalah 10,75.
Pada penentuan besaran Nusselt number tersebut, besar koefisien konveksi
adalah penentu inisiasi besaran Nusselt number. Dengan posisi duct traverse
probe dan konduktivitas termal yang sedemikian similar oleh sebab
kesamaan material permukaan, besaran Nusselt number akan mengikuti nilai
koefisien konveksi pada sistem.
BAB V
PENUTUP

4.5.1 Kesimpulan
Setelah melakukan praktikum Heat Transfer Coefficient and Nusselt
Number mahasiswa dapat menyimpulkan beberapa hal yaitu :
a. Dapat merangkai dan mengoperasikan peralatan Free and Force
Convection, dengan memulai memasang spesimen uji yaitu Pinned,
Finned dan Flat plate secara bergantian dan dilakukan pengambilan
data hingga percobaan berhasil sesuai dengan data yang diharapkan.
b. Forced convection adalah mekanisme atau jenis transportasi panas
dimana gerakan fluida yang dihasilkan oleh sumber eksternal (seperti
pompa, kipas angin, alat penghisap, dll)
c. Dapat mengenal dan memahami komponen peralatan Free and Force
Convection beserta fungsinya. Dengan komputer yang dilengkapi
Software VDAS, kemudian menggunakan benda uji Finned, Pinned dan
Flate Plate sebagai permukaan perpindahan.
d. Untuk mengetahui karakteristik sesungguhnya proses perpindahan
panas konveksi bebas yang melewati sebuah permukaan (surface)
Pinned, Finned dan Flat Plate. Perubahan temperaturnya dipengaruhi
oleh Heat Transfer dari temperature permukaan (Ts) semakin besar
perbedaan temperatur dari permukaan maka akan menghasilkan Heat
Transfer yang lebih besar.

4.5.2 Saran
Saran yang dapat dituliskan setelah melakukan praktikum Heat Transfer
Coefficient and Nusselt Number ini adalah :
a. Sebaiknya membaca modul terlebih dahulu sebelum melakukan
praktikum agar lebih paham dan praktikum berjalan dengan lancar.
b. Praktikan harus memperhatikan jalannya praktikum dengan baik agar
tidak terjadi penjelasan yang diulang-ulang.
c. Spesimen uji yang digunakan harus terpasang secara tepat pada mesin
untuk menghindari terjadinya kesalahan (Error) pada saat melakukan
percobaan.
d. Mempersiapkan jaringan internet terbaik agar tidak menghambat
jalannya praktikum online.
e. Memperhatikan video praktikum dengan fokus agar dapat memahami
praktikum yang dilakukan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Burhani, K., R. & Fitri Naryanto, R., 2014. PENGEMBANGAN MEDIA


PEMBELAJARAN PERPINDAHAN PANAS RADIASI DENGAN
VARIASI BEDA PERLAKUAN PERMUKAAN SPESIMEN UJI.
Journal of Mechanical Engineering Learning , Volume 3.
Idawati Supu, B. U. (2016). PENGARUH SUHU TERHADAP PERPINDAHAN
PANAS PADA MATERIAL YANG BERBEDA. Jurnal Dinamika, 63-
66.
Intan Nurul Rokhimi, P. (2015). Alat Peraga Pembelajaran Laju Hantaran Kalor
Konduksi . Prosiding Seminar Nasional Fisika dan Pendidikan Fisika
(SNFPF) Ke-6 , 272.
Irsyad, M. (2016). KARAKTERISTIK KOEFISIEN PERPINDAHAN PANAS
KONVEKSI PAKSA PADA PEMODELAN BIJI KAKAO DENGAN
NAPHTHALENE MENGGUNAKAN ANALOGI PERPINDAHAN
PANAS DAN MASSA. Jurusan Teknik Mesin, 138-139.
Theodore L, B., Adrienne S, . L., Frank P, I. & David P, . D., 2018. Fundamentals
of Heat and Mass Transfer. 8th Edition ed. United states
Tripler. (2009). Fisika Jilid II. Jakarta: Erlangga.
LAMPIRAN

1. Apakah perbedaan yang paling mendasar antara konveksi paksa dengan


konveksi bebas? Jelaskan.
Konveksi paksa atau forced convection adalah mekanisme perpindahan
panas dengan pergerakan fluida dalam sistem dihasilkan oleh faktor eksternal.
Artinya, pergerakan fluida diakibatkan oleh faktor yang mendorong suatu
fluida masuk ke dalam sistem dan mengalir hingga keluar dari sistem.
Sementara, pada konveksi alami atau konveksi bebas terjadi karena fluida
bergerak secara alami dengan pergerakan fluida tersebut terjadi karena
perbedaan massa jenis fluida akibat adanya variasi temperatur pada fluida
tersebut.
Konveksi alami terjadi pada saat fluida dengan temperatur lebih dingin
atau panas berada di dekat permukaan benda padat, sehingga menghasilkan
suatu sirkulasi karena perbedaan densitas yang muncul karena adanya
perbedaan temperatur fluida. Sirkulasi pada konveksi alami menghasilkan
pertukaran posisi fluida dengan temperatur lebih tinggi dengan densitas yang
rendah untuk bertukar tempat dengan fluida yang memiliki temperatur lebih
dingin dengan densitas yang lebih tinggi. Pertukaran posisi tersebut terjadi
berdasarkan gaya apung yang mengikuti arah percepatan gravitasi, yaitu fluida
panas bergerak ke atas, sedangkan fluida dingin bergerak ke bawah. Oleh
karena itu, perbedaan mendasar dari konveksi alami dan konveksi paksa
adalah adanya gaya apung pada konveksi alami yang tidak dimiliki konveksi
paksa.

2. Bagaimanakah cara menentukan suatu kasus perpindahan panas konveksi bisa


dianalisis dengan mengganggap sebagai konveksi paksa, konveksi alami, atau
gabungan dari keduanya? Jelaskan.
Berdasarkan media alirannya, jenis konveksi dibedakan menjadi dua, yaitu
aliran dalam dan aliran luar. Konveksi pada aliran dalam merupakan konveksi
yang terjadi pada suatu penampang dengan luas permukaan dan panjang aliran
tertentu. Pada aliran dalam, fluida bergerak dengan mengikuti bentuk
penampang dengan panjang jalur aliran adalah panjang media itu sendiri.
Umumnya di dalam aliran dalam, fluida didorong oleh faktor tertentu yang
merupakan faktor eksternal, yang berarti fluida tidak mengalir dengan
sendirinya. Sepanjang fluida mengalir, dapat terjadi perpindahan panas antara
fluida dengan permukaan media. Hal tersebut adalah yang menyebabkan
konveksi paksa terjadi. Pada aliran dalam, suatu fluida dapat mengalir karena
pengaruh ketinggian yang disertai percepatan gravitasi. Pada aliran seperti ini,
fluida dipaksa mengalir melalui suatu media penampang tertentu, tetapi
alirannya bergerak secara alami mengikuti arah percepatan gravitasi. Maka,
aliran ini merupakan konveksi alami dan konveksi paksa sekaligus. Pada
aliran eksternal, fluida mengalir secara bebas tanpa dipengaruhi bentuk
penampang aliran, sehingga fluida dapat menggerakkan partikel-partikelnya
tanpa arah yang jelas. Jika aliran ini mengenai suatu penampang, maka akan
terjadi pertukaran temperatur antara fluida dengan permukaan tanpa
disebabkan oleh faktor apapun. Hal ini menyebabkan suatu konveksi alami
antara fluida yang bergerak bebas dengan penampang yang dikenainya.

3. Buatlah grafik perbandingan antara jarak terhadap perbedaan temperatur


( - ), kemudian berikan penjelasan dan komentar.

Grafik Duct Traverse Probe Position Terhadap


Perbedaan Temperatur
16
14
12
Tp - Tin (ºC)

10
8
6
4
2
0
5 25 45 65
Position (mm)

v = 0 m/s (Pinned Surface) v = 3 m/s (Pinned Surface)

v = 0 m/s (Finned Surface) v = 3 m/s (Finned Surface)


Berdasarkan grafik tersebut, dapat diketahui bahwa konveksi terjadi pada
penampang pinned surface dan finned surface. Pada sistem, fluida mengalir ke
dalam sistem menghasilkan konveksi alami dengan tanpa kecepatan fluida dan
konveksi paksa dengan kecepatan fluida sebesar 3 m/s. Pada konveksi alami
dengan tanpa kecepatan fluida, dapat diketahui perbedaan temperatur inlet dan
outlet cukup besar. Pada saluran keluar sistem, temperatur meningkat dan
menyebabkan perbedaan temperatur yang besar terhadap temperatur inlet.
Namun, perbedaan temperatur tersebut menurun seiring bertambahnya posisi,
sehingga outlet memiliki temperatur hanya beberapa derajat di atas temperatur
inlet. Pada konveksi paksa dengan kecepatan fluida sebesar 3 m/s, perbedaan
temperatur yang terdapat pada inlet dan outlet cenderung kecil dan tidak
banyak perubahan sepanjang perubahan posisi sistem.

4. Hitung kofisien konveksi rata-rata (untuk kasus konveksi paksa dan konveksi
alami) dari semua benda uji (Finned, Pinned dan Flat Plate) kemudian
tentukan juga Nusselt Number (Nu).
a. Hasil percobaan praktikum
b. Perhitungan menggunakan persamaan (9) – (14) pada modul.
c. Bandingkan dengan
Nilai K yang didapat dari perhitungan
K1-6 = Pinned (Air velocity 0 m/s) = 0,1262 ( )
K1-6 = Pinned (Air velocity 3 m/s) = 0,1262 ( )
K1-6 = Finned (Air velocity 0 m/s) = 0,1625( )
K1-6 = Finned (Air velocity 3 m/s) = 0,0266( )

Maka niilai rata-rata K dari kedua benda uji diatas yaitu sebagai berikut:

̅ ( )
( )

̅ ( )
( )

̅ ( )
( )

̅ ( )
( )
Sehingga nilai rata-rata K secara keselruhan:
̅
̅ ̅ ̅ ̅
( ) ( ) ( ) ( )

( )

( )
( )
LAPORAN PRAKTIKUM MS3133 PERPINDAHAN PANAS DAN MASSA
Modul 5 Cross Flow Heat Exchanger “ Tekanan, Kecepatan dan Kalibrasi Katub
Udara”

DISUSUN OLEH :

1. Imam Sulistiyo (118170035)

2. Fernando Loe Pebriantoro (118170027)

3. Bayu Prastio (118170074)

4. Indra Anggi Sitanggang (118170012)

5. Muhammad Ryan Mahendra. P (118170107)

6. Bastian Roni Petrus Manurung (118170094)

7. Raden Achmad Fachrozi (17117092)

LABORATORIUM KONVERSI ENERGI


PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN
INSTITUT TEKNOLOGI SUMATERA
2020
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi

INSTITUT TEKNOLOGI SUMATERA

Jalan Terusan Ryacudu, Desa Way Hui, Kecamatan Jati Agung,


Lampung Selatan 35365 Telepon:(0721) 8030188, Email:
pusat@itera.ac , Website: http://www.itera.ac.id

LEMBAR ASISTENSI

Nama : 1. Imam Sulistiyo (118170035)

2. Fernando Loe Pebriantoro (118170027)

3. Bayu Prastio (118170074)

4. Indra Anggi Sitanggang (118170012)

5. Muhammad Ryan Mahendra. P (118170107)

6. Bastian Roni Petrus Manurung (118170094)

7. Raden Achmad Fachrozi (17117092)

Kelompok :4

Modul : (Modul 5) (Cross Flow Heat Exchanger “ Tekanan, Kecepatan dan


Kalibrasi Katub Udara”)

NO TANGGAL KETERANGAN PARAF


1 7 Januari 2021

ACC
BAB I
PENDAHULUAN

5.1.1 Latar Belakang


Pada praktikum kali ini akan dilakukan praktikum atau percobaan
mengenai Cross Flow Heat Exchanger “ Tekanan, Kecepatan dan Kalibrasi
Katub Udara”. Yang mana praktikum atau percobaan kali ini bertujuan agar
praktikan memahami prinsip kerja dan mengoperasikan Cross Flow Heat
Exchanger, menentukan kehilangan tekanan yang disebabkan oleh batang
dan dapat menghitung kecepatan saluran masuk dan kecepatan rata-rata
melalui batang.
Secara garis besar penukar panas dibagi berdasarkan arah aliran
fluidanya. Berdasarkan arah aliran fluida, penukar panas dibedakan menjadi
tiga jenis aliran, yaitu aliran searah (parallel flow), berlawanan
(counter flow) dan silang(cross flow) Cross flow sendiri merupakan
pengertian dari penukar panas aliran silang yang mana penukar panas aliran
silang itu sendiri ialah saat kedua fluida mengalir dengan saling bersilangan.
Saat ini penukar panas banyak dipakai dalam industri
pengolahan minyak dan gas.Selain itu penukar panas juga banyak
dipakai dalam aplikasi industri pengeringan produk-produk pertanian,
perkebunan dan perikanan skala besar. Sedangkan dalam industri
kecil dan menengah umumnya masih mengandalkan pengeringan
dengan pengeringan matahari yang membutuhkan lahan yang besar
dan waktu pengeringan yang lama. Penggunaan penukar panas dalam
bidang pengeringan saat ini sudah menjadi kebutuhan untuk
mengatasi permasalahan pengeringan langsung yang membutuhkan waktu
yang relatif lama dan area pengering yang luas.
5.1.2 Tujuan Praktikum
Adapun tujuan dari praktikum yang akan dilaksanakan pada kali ini
ialah :
a. Memahami prinsip kerja dan mengoperasikan Cross Flow Heat
Exchanger.
b. Menentukan kehilangan tekanan yang disebabkan oleh batang
c. Menghitung kecepatan saluran masuk dan kecepatan rata-rata melalui
batang
BAB II
LANDASAN TEORI

5.2.1 Definisi Penukar Panas


Panas atau kalor merupakan suatu bentuk energi yang berpindah
karena adanya perbedaan temperatur. Panas atau kalor tersebut akan
bergerak dari temperatur tinggi ke temperatur yang lebih rendah. Ketika
panas atau kalor bergerak maka akan terjadi pertukaran panas dan kemudian
akan berhenti ketika kedua tempat tersebut sudah memiliki temperatur yang
sama. Contohnya, kopi panas ke lingkungan yang mempunyai suhu 20°C,
hingga terjadi kesetimbangan atau kesamaan suhu pada gelas dan
lingkungan (Syaichurrozia, Afdwiyarny, & Ahmad, 2014).

5.2.2 Heat Exchanger


Heat exchanger atau alat penukar panas adalah alat-alat yang digunakan
untuk mengubah temperatur fluida atau mengubah fasa fluida dengan
cara mempertukarkan panasnya dengan fluida lain. Pada sebuah
penukar panas, kemampuan mempertukarkan panas sangat ditentukan
oleh tipe dan jenis aliran fluida yang melewati penukar panas. Secara
garis besar penukar panasdibagi berdasarkan arah aliran fluidanya.
Berdasarkan arah aliran fluida penukar panasdibedakan menjadi 3 (tiga)
jenis aliran, yaitu aliran searah (parallel flow), aliran berlawanan
(counter flow) dan aliran silang(cross flow) (Syukran, 2018).

5.2.3 Faktor Koreksi (LMTD)


Untuk alat penukar kalor aliran menyilang (shell and tube), yang
memiliki jumlah aliran/lintasan lebih dari satu. baik itu dalam tube maupun
susunan shell, setelah itu LMTD yang telah diperoleh harus dikoreksi
dengan factor koreksi. kemudian laju perpindahan kalor dapat ditentukan:
Q=U x A x LMTD|cf………………………..(5.1)
Dimana
LMTD|cf =LMTD x F………………………..(5.2)
Sementara untuk nilai factor kolerasi (f) dapat ditentukan secara
analisis dan menggunakan parameter :
a. P adalah keefektipan temperature pada sisi fluida dingin
………………………………(5.3)

b. R adalah rasio laju kapasitas energy


………………………….(5.4)

Dimana berdasarkan grafik,


T1 ; T2 = Temperatur masuk dan keluar pada sisi shell
t1 ; t2 = Temperatur masuk dan keluar pada sisi tube
(Harini, 2017).

5.2.4 Tekanan
Tekanan dinyatakan sebagai gaya per satuan luas. Untuk keadaan dimana
gaya (F) terdistribusi merata atas suatu luas (A), maka:

…………………...………………(5.5)

Dimana :
P = tekanan fluida (Pa atau N/m2 )
F = gaya (N)
A = luas (m2 )

Penurunan tekanan pada dua titik, pada ketinggian yang sama dalam suatu
fluida adalah:
…………………........(5.6)
dengan :
∆P = penurunan tekanan (N/m2 )
γHg = berat jenis raksa (N/m3 )
γair = berat jenis air (N/m3 )
∆h = perbedaan ketinggian (m)
Untuk mengetahui perbedaan tekanan antara dua titik menggunakan
manometer diferensial.

Gambar 5.2.1 manometer diferensial

5.2.5 Kerapatan Udara


Hukum Gas Charles (Charles Law), tentang gas menyatakan bahwa
kerapatan udara akan berbanding lurus dengan tekanan pada temperatur
konstan dan kerapatan udara akan berbanding terbalik dengan temperatur
pada tekanan konstan

…………..……………………..(5.7)

Dimana
ρ = Kerapatan udara (kg/m3 ),
P = Tekanan udara statis (hpa),
T = Temperatur absolute 287 (J/K mol), dan
R= Konstanta Gas (J/K mol).

Tekanan statis (Static Pressure) adalah tekanan udara di sekeliling kita,


dalam udara terbuka dan dalam kondisi diam.Tekanan statis ini akan bekerja
kesegala arah dengan besar yang sama. Pada ketinggian Mean Sea Level
besarnya adalah 2116 psf (1013,25 mb). Tekanan Dinamis (Dynamic
Pressure) adalah tekanan udara yang timbul karena pergerakan benda.
Simbolnya adalah q
…………………………..(5.8)

Dengan
ρ = Kerapatan udara,
V = Kecepatan (velocity).

Gaya angkat sebagai gaya aerodinamika dapat dinyatakan sebagai


produk dari tiga faktor utama yaitu luas permukaan suatu obyek, tekanan
dinamis aliran udara, dan koefisien atau indeks dari gaya yang ditentukan
oleh distribusi tekanan relative (Akhmad, 2013).

5.2.6 Kecepatan Udara


Kecepatan udara adalah udara yang bergerak secara horizontal yang
dipengaruhi oleh gradien barometris letak tempat, tinggi tempat, dan
keadaan topografi suatu tempat. Untuk satuan kecepatan angin dalam meter
per detik, kilometer per jam atau knot. Persamaan kecepatan udara dapat
kita tuliskan dengan :

……….…………………..(5.9)

Dimana :
P0 =Tekanan statis (Pa)
 =Kerapatan udara (kg/m3 )
V =Kecepatan udara (m/s)
(Suwarti, et al., 2016).

5.2.7 Pengertian Kalibrasi


Menurut International Organization for Standardization (ISO) /
International Electrotenic Comiton (IEC), pengertian kalibrasi adalah
kegiatan yang menghubungkan nilai yang ditunjukkan oleh instrument/alat
ukur atau nilai yang diwakili oleh bahan ukur dengan nilai yang sudah
diketahui tingkat kebenarannya (yang berkaitan dengan kisaran yang
diukur) dalam kondisi tertentu.
Nilai yang sudah diketahui ini biasanya merujuk ke suatu nilai dari
standar, yang tentunya harus memiliki akurasi yang lebih tinggi daripada
instrument ukur yang dikalibrasi. Dalam WMO 08, disebutkan data
pengamatan yang valid dapat diperoleh hanya ketika program jaminan
kualitas yang komprehensif diterapkan pada instrument atau alat yang
digunakan untuk pengamatan tersebut. Kalibrasi dan pengujian merupakan
unsur-unsur yang menjadi bagian dari program jaminan kualitas
alat/instrument pengamatan yang dimaksudkan diatas.
Menjamin peralatan layak operasi, peralatan pengamatan harus
dikalibrasi secara berkala. Kalibrasi yang dimaksudkan adalah suatu
rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menetapkan hubungan antara nilai
besaran yang ditunjukan oleh suatu peralatan dan nilai yang diukur oleh
standar dalam kondisi tertentu. Kalibrasi dilakukan dengan membandingkan
alat pada alat standar yang tertelusur dengan alat standar nasional maupun
internasional.

5.2.8 Tujuan Kalibrasi


Tujuan pelaksanaan kalibrasi adalah sebagai berikut :
a. Menjamin hasil-hasil pengukuran alat sesuai dengan standar nasional
maupun internasional.
b. Menentukan deviasi (penyimpangan) kebenaran nilai penunjukan suatu
instrument/alat ukur.
c. Mencapai ketertelusuran pengukuran. Hasil pengukuran dapat
dikaitkan/ditelusur sampai ke standar yang lebih tinggi/teliti (standar
primer nasional dan internasional) melalui rangkaian perbandingan yang
tak terputus.

5.2.9 Manfaat Kalibrasi


Manfaat kalibrasi adalah sebagai berikut :
a. Menjaga kondisi alat ukur agar tetap sesuai dengan spesifikasinya.
b. Mendukung sistem mutu yang diterapkan beberapa industri pada
peralatan laboratorium dan produksi yang dimiliki.
c. Dengan melakukan kalibrasi, bisa diketahui seberapa jauh perbedaan
(penyimpangan) antara nilai yang sebenarnya dengan nilai yang
ditunjukan oleh alat ukur.
5.2.10 Prinsip Dasar Kalibrasi
Saat melakukan kalibrasi ada beberapa hal yang harus diperhatikan
yang menjadi prinsip dasar berjalannya suatu proses kalibrasi, yaitu :
a. Adanya objek ukur (Unit Under Test)
b. Adanya calibrator (alat standar)
c. Adanya prosedur kalibrasi, yang mengacu ke standar kalibrasi
internasional, nasional atau prosedur yg dikembangkan sendiri oleh
laboratorium yang sudah teruji dengan terlebih dulu dilakukan
verifikasi.
d. Adanya teknisi yang telah memenuhi persyaratan mempunyai
kemampuan teknis kalibrasi (sebaiknya bersertifikat).
e. Lingkungan terkondisi, baik suhu maupun kelembabannya. Jika tidak
bisa dikondisikan, misalnya terjadi saat kalibrasi dilakukan di lapangan
terbuka, maka faktor lingkungan harus diakomodasi dalam proses
pengukuran dan perhitungan ketidakpastian.
f. Hasil kalibrasi itu sendiri, bisa berupa sertifikat kalibrasi.
(MARPAUNG, 2013).

5.2.11 Suhu/Temperatur
Suhu merupakan ukuran atau derajat panas atau dinginnya suatu benda
atau sistem. Suhu di definisikan sebagai suatu besaran fisika yang dimiliki
bersama antara dua benda atau lebih yang berada dalam kesetimbangan
termal. Jika panas dialirkan pada suhu benda, maka suhu benda tersebut
akan turun jika benda yang bersangkutan kehilangan panas. Akan tetapi
hubungan antara satuan panas dengan satuan suhu tidak merupakan suatu
konstanta, karena besarnya peningkatan suhu akibat penerimaan panas
dalam jumlah tertentu akan dipengaruhi oleh daya tampung panas (heat
capacity) yang dimiliki oleh benda penerima tersebut.
Suatu benda yang dalam keadaan panas dikatakan memiliki suhu yang
tinggi, dan sebaliknya, suatu benda yang dalam keadaan dingin dikatakan
memiliki suhu yang rendah. Perubahan suhu benda, baik menjadi lebih
panas atau menjadi lebih dingin biasanya diikuti dengan perubahan bentuk
atau wujudnya. Misalnya, perubahan wujud air menjadi es batu atau uap air
karena pengaruh panas atau dingin.
Sejumlah es batu yang dipanaskan akan berubah wujud menjadi air.
Bila terus-menerus dipanaskan, maka pada suatu ketika (ketika telah
mencapai titik didih) air akan mendidih dan berubah wujud menjadi uap air
atau gas. Proses sebaliknya terjadi mana kala air yang berada dalam bentuk
gas atau uap air didinginkan, maka akan kembali ke bentuk cair, dan ketika
terus didinginkan, maka pada saat tertentu (ketika telah mencapai titik beku)
air akan membeku dan kembali berwujud padat yaitu es batu (Idawati Supu,
2016).

5.2.12 Pengukur Temperatur/Suhu


Termometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur suhu sebuah
benda. Termometer bekerja dengan memanfaatkan perubahan sifat
termometrik suatu benda ketika benda tersebut mengalami perubahan suhu.
Perubahan sifat termometrik suatu benda menunjukkan adanya perubahan
suhu benda, dan dengan melakukan kalibrasi atau peneraan tertentu
terhadap sifat termometrik yang teramati dan terukur, maka nilai suhu benda
dapat dinyatakan secara kuantitatif. Tidak semua sifat termometrik benda
yang dapat dimanfaatkan dalam pembuatan termometer.
Sifat termometrik yang dapat digunakan dalam pembuatan
termometer harus merupakan sifat termometrik yang teratur. Artinya,
perubahan sifat termometrik terhadap perubahan suhu harus bersifat tetap
atau linier, sehingga peneraan skala termometer dapat dibuat lebih mudah
dan termometer tersebut nantinya dapat digunakan untuk mengukur suhu
secara teliti. Berdasarkan sifat termometrik yang dimiliki suatu benda, jenis-
jenis termometer diantaranya termometer zat cair, termometer gas,
termometer hambatan, termokopel, pirometer, termometer bimetal, dan
sebagainya. Sedangkan berdasarkan hasil tampilan pengukurannya,
termometer dibagi menjadi termometer analog dan termometer digital
Gambar 5.2.2 Skema berbagai termometer, (a) termometer raksa (alkohol)
dalam pipa, (b) termometer gas volume konstan, (c) termometer hambatan
platina

Untuk dapat mengkuantitatifkan hasil pengukuran suhu dengan


menggunakan termometer maka diperlukan angka-angka dan skala-skala
tertentu. Penetapan skala yang terpenting adalah penetapan titik tetap bawah
dan titik tetap atas sebagai titik acuan pembuatan skala-skala dalam
termometer. Untuk penetapan titik tetap bawah sebuah termometer pada
umumnya dipilih titik beku air murni pada tekanan normal, yaitu suhu
campuran antara es dan air murni pada tekanan normal. Sedangkan
penetapan titik tetap atas sebuah termometer umumnya dipilih titik didih air
murni, yaitu suhu ketika air murni mendidih pada tekanan normal.
Setidaknya terdapat empat macam skala termometer yang biasa digunakan,
yaitu Celcius, Reamur, Fahrenheit, dan Kelvin. Titik tetap bawah untuk
skala Celcius dan Reamur ditetapkan pada skala 0°C dan 0°R, sedangkan
untuk Fahrenheit ditetapkan pada skala 32°F. Ketiga skala titik tetap bawah
untuk masing-masing skala termometer ini diambil dari titik beku air murni
(titik lebur es murni) pada tekanan normal. Adapun titik tetap atas ketiga
skala ini berbeda-beda, dimana untuk Celcius ditetapkan pada 100°C, untuk
Reamur ditetapkan pada 80°R, dan untuk Fahrenheit ditetapkan pada 212°F.
Ketiga skala titik tetap atas untuk masing-masing skala termometer ini
diambil dari titik didih air murni pada tekanan normal. Pada skala Kelvin,
titik tetap bawah ketiga skala termometer ini bersesuaian dengan skala 273
K dan titik tetap atasnya bersesuaian dengan 373 K. Khusus untuk skala
Kelvin, titik yang tetap bawah tidak didasarkan pada titik beku air, namun
didasarkan pada ukuran energi kinetik rata-rata molekul suatu benda. Dalam
hal ini, nol Kelvin (tanpa derajat) dinamakan nol mutlak (nol absolut),
artinya tidak ada suhu-suhu di bawah suhu nol mutlak, atau ketika nilai suhu
mendekati nilai nol mutlak, maka energi kinetik rata-rata partikel
mempunyai suatu nilai yang minimum.
Oleh karena itu, berdasarkan fakta tersebut, maka skala Kelvin
dinamakan skala suhu mutlak atau skala suhu absolut, atau disebut juga
skala termodinamik. Kelvin menjadi satuan standar SI untuk besaran pokok
suhu. Perpindahan panas nilai derajatnya diukur dengan menggunakan skala
kelvin (Idawati Supu, 2016).

5.2.13 Panas Spesifik


Panas spesifik (specific heat) adalah kapasitas panas per satuan massa
per derajat K, yang juga sering dinyatakan sebagai kapasitas panas per mole
per derajat K. Untuk membedakan dengan kapasitas panas yang ditulis
dengan huruf besar (Cv dan Cp), maka panas spesifik dituliskan dengan
huruf kecil (cv dan cp) (Sudirham, 2013)

5.2.14 Perubahan frasa Panas


Bila panas diberikan pada suatu zat pada tekanan konstan, maka
biasanya, hasilnya adalah kenaikan temperatur zat. Namun kadang-kadang
zat dapat menyerap panas dalam jumlah besar tanpa mengalami perubahan
apapun dalam temperaturnya. Ini terjadi selama perubahan fasa, artinya
ketika kondisi fisik zat itu berubah dari satu bentuk ke bentuk lain. Jenis
perubahan fasa adalah pembekuan (perubahan cairan menjadi padatan),
penguapan (perubahan cair menjadi uap atau gas), sublimasi (perubahan
padat menjadi gas). Ada juga perubahan fasa lain, seperti bila padatan
akan berubah dari satu bentuk kristalin ke bentuk lain.
Perubahan fasa dapat dimengerti dengan teori molekular. Kenaikan
temperatur zat menggambarkan kenaikan energi kinetik gerakan molekul-
molekul. Bila suatu zat berubah dari cairan menjadi bentuk gas, molekul-
molekul yang dekat dalam bentuk cairan di gerakan saling menjauh. Ini
perlu usaha untuk melawan gaya-gaya tarik yang di mempertahankan
molekul berdekatan, artinya diperlukan energi untuk memisahkan mereka.
Energi ini beralih menjadi energi potensial molekul. Karena itu,
temperatur zat yang merupakan ukuran energi kinetik rata-rata molekul
gas tidak berubah. (Tipler, 2009).
BAB III
METROLOGI PRAKTIKUM

5.3.1 Alat Dan Bahan


Dalam praktikum yang di lakukan di laboratorium adapun alat dan
bahan yang di gunakan iyalah :
a. Cross Flow Heat exchanger
Cross Flow Heat exchanger adalah alat yang digunakan untuk
melakukan percobaan pada praktikum ini.

Gambar 5.3.1 Cross Flow Heat Exchanger

b. Fan Motor
Fan motor adalah alat yang digunakan untuk menggerakkan fluida dan
gas untuk melewati tube dalam praktikum ini.

Gambar 5.3.2 Fan Motor

c. Heated Rod
Heated Rod adalah alat yang berfungsi sebagai tabung pemanas fluida
dan gas yang ada pada rods sehingga diketahui perpindahan panas yang
terjadi pada rods
Gambar 5.3.3 Heated Rod

d. Rods
Rod adalah alat yang digunakan sebagai wadah melajunya aliran fluida
atau gas dalam praktikum ini.

Gambar 5.3.4 Rods

e. Head rods
Head Rods adalah kepada penutup dari rods sehingga panas tidak keluar.

Gambar 5.4.5 Head Rods

f. Coutrol And Instrumentation Unit


Coutrol And Instrumentation Unit adalah alat yang digunakan untuk
memngatur dan sebagai sumber panas dalam perpindahan panas kali ini.
Gambar 5.3.6 Coutrol And Instrumentation Unit

5.3.2 Prosedur Percobaan


Dalam praktikum yang di lakukan di laboratorium ini ada pun
prosedur percobaan nya antara lain sebagai berikut :
a. Menghubungkan selang udara tekanan statis downstream ke soket “-“
pada Pressure Diferensial Input 2.
b. Menghubungkan selang udara tekanan statis upstream dengan adaptor
“T”.
c. Menghubungkan satu sisi potongan “T” ke soket “+” pada Pressure
Diferensial Input 2 dan sisi lain dari potongan “T” ke soket “-“ pada
Pressure Diferensial Input 1 pada unit Instrumentasi.
d. Memastikan pitot berada pada posisi upstream dan mengatur pitot di
bagian tengah area kerja.
e. Menghubungkan selang udara pada pitot ke soket “+” pada Pressure
Diferensial Input 1.
f. Memasang semua batang alumunium pada area kerja/lubang kerja
g. Menghubungkan daya listrik mesin dan PC
h. Menghidupkan PC dan mesin memastikan pemanas dalam kondisi Off.
i. Membuka aplikasi VDAS pada PC.
j. Membuka penuh katub udara 100%. (Sesuia yang di tentukan)
k. Menekan dan tahan tombol pressure untuk set zero tekanan
l. Menghidupkan kipas dengan Menekan tombol ON (berwarna hijau).
m. Menunggu hingga P1 dan P2 stabil kemudian merecord data
menggunakan VDAS.
n. Mematikan kipas dengan Menekan tombol OFF (berwarna merah).
o. Mengulangi percobaan J-N dengan Membukaan katub udara 90%,
80%,70% sampai 30%.
p. Untuk percobaan selanjutnya lepaskan batang alumunium dan
tinggalkan satu batang alumunium pada posisi tengah pada kolom 1.
q. Menutup lubang area kerja yang kosong dengan kepala rod.
r. Melakukan percobaan dengan mengulangi langkah J-O.
s. Setelah selesai melakukan percobaan, mematikan kipas, mesin dan
intrumentasi.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.4.1 Data Hasil Percobaan


Data hasil percobaan dari praktikum Cross Flow Heat Exchanger
“Tekanan, Kecepatan, dan Kalibrasi Udara” adalah sebagai berikut:
a. Data
Tabel 5.4.1 Data hasil percobaan All Rods

All Rods
Bukaan
Pt-Pu Pt-Pd T1 V1 V2 V
Katub
(Pa) (Pa) (K) (m/s) (m/s) (m/s)
Udara %
100 114 506 302,2 13.977 29.430 27.940
90 110 482 302,2 13.722 28.725 27.445
80 99 440 302,2 13.018 27.445 26.037
70 91 400 302,2 12.481 26.168 24.962
60 72 329 302,1 11.100 23.728 22.200
50 50 233 302,1 9.250 19.968 18.500
40 35 166 302,1 7.739 16.854 15.478
30 22 103 302,1 6.135 13.276 12.271

Tabel 5.4.2 Data hasil percobaan One Rod

One Rod
Bukaan
Pt-Pu Pt-Pd T1 V1 V2 V
Katub
(Pa) (Pa) (K) (m/s) (m/s) (m/s)
Udara %
100 285 90 302,2 22.088 12.412 44.177
90 259 84 302,2 21.056 11.991 42.113
80 213 73 301,9 19.086 11.173 38.172
70 162 54 302,2 16.653 9.614 33.306
60 115 37 302,2 14.031 7.958 28.062
50 78 25 302,2 11.555 6.542 23.111
40 44 16 302,2 8.679 5.233 17.358
30 26 12 302,2 6.671 4.532 13.343
b. Perhitungan
1. All Rods
a) V1

b) V2


c) V

2. One Rod
a) V1


b) V2


c) V

5.4.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini dengan judul Cross Flow Heat Exchanger
“Tekanan, Kecepatan, dan Kalibrasi Katub Udara” didapatkan data All
Rods dan One Rods. pada data all rods dicari besar nilai kecapatan udara
upstream (V1), downstream (V2) dan kecepatan udara (V). dengan bukaan
katub udara 30%,40%,50%…100%. Perhitungan pertama dimulai dengan
bukaan katub 100% didapatkan nilai V1 sebesar 13,97003. V2 sebesar
29,43202, dan V sebesar 27,94006. Selanjutnya dengan bukaan katub
90% didapatkan nilai V1 sebesar 13,72275. V2 sebesar 28,72555 dan V
sebesar 27,4455. Dan selanjutnya bukaan 80%-30% dan didapatkan nialai
yang bisa dilihat pada data hasil praktikum.
Setelah itu melakukan perhitungan pada data one rods deang cara
yang sama, pada bukaan katub 100% didapatkan nilai V1 sebesar
22,0885547. V2 sebesar 12,4127 dan V sebesar 44,17711. Selanjutnya
bukaan katub 90% didapatkan nilai V1 sebesar 21,0569154. V2 sebesar
11,9918 dan V 42,11383. Lalu dilanjutkan dengan mencari pada bukaan
80%-30% dengan cara yang sama dan didapatkan nilai yang bisa dilihat
pada data hasil praktikum. Setelah dilakukan perhitungan didapatkan
grafik perbandingan ∆P2 terhadap ∆P1
Grafik perbandingan ∆P1 terhadap ∆P2

Pada garfik diatas dapat dilihat bahwa pada grafik all rods
memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan grafik one rods

Grafik bukaan katub terhadap ∆P1 dan ∆P2

Pada garfik P2 pada one rods memiliki nilai dan peningkatan yang
paling rendah, lalu diikuti dengan grafik P1 pada all rods yang nilainya
sedikit lebih tinggi, setelah itu ada grafik P1 pada one rods yang memiliki
nailai tidak jauh berbeda dari kedua grafik sebelumnya pada bukaan 30%
namun grafik ini meningkat lebih tinggi. Terakhir ada grafik P2 pada all
rods yang memiliki nilai dan peningkatan paling tinggi dari semuanya.
Grafik ∆P1 terhadap kecepatan upstream dan downstream

Pada grafik V2 pada one rods memilki nilai yang paling rendah.
Lalu ada grafik V1 pada all rods dan V1 pada one rods yang nilainya
saling berdekatan namun grafik V1 pada all rods lebih pendek karena tidak
mencapai nilai ∆P1 <150. Terakhir ada grafik V2 pada all rods yang
memiliki nilai kecepatan paling tinggi namun tekananya sama seperti
grafik V1 nya yaitu tidak mencapai 150.
BAB V
PENUTUP

3.5.1 Kesimpulan
Setelah melakukan praktikum Cross Flow Heat Exchanger mahasiswa
dapat menyimpulkan beberapa hal yaitu:
a. Prinsip kerja Cross Flow Heat Exchanger ialah dua fluida yang
mengalir memiliki arah yang saling tegak lurus atau bersilangan.
b. Kehilangan tekanan buasanya diakibatkan oleh adanya gesekan dengan
dinding, perubahan luas penampang, sambungan, katup-katup, belokan
pipa dan kerugian-kerugian khusus lainnya, yang mana kehilangan
tekanan ini dapat di hitung menggunakan persamaan Darcy.
c. Rumus yang digunakan untuk menghitung kecepatan masuk adalah

d. Rumus yang digunkan untuk menghitung kecepatan rata rata melalui


batang yaitu

3.5.2 Saran
Saran yang dapat dituliskan setelah melakukan praktikum Cross Flow
Heat Exchanger ini adalah:
a. Sebaiknya membaca modul terlebih dahulu sebelum melakukan
praktikum.
b. Memperhatikan video praktikum dengan seksama dalam proses
praktikum agar dapat memahami praktikum kali ini.
c. Mempersiapkan jaringan internet terbaik supaya lancar dalam proses
praktikum online.
d. Untuk format penulisan laporan praktikum lebih jelas lagi sebelum
praktikum dimulai.
DAFTAR PUSTAKA

Akhmad, F. (2013). Studi Pengaruh Suhu Dan Tekanan Udara Terhadap Daya
Angkat Pesawat Di Bandara S. Babullah Ternate . JURNAL Teori dan
Aplikasi Fisika , 121-130.
Harini. (2017). ANALISIS PERHITUNGAN LAJU PERPINDAHAN PANAS
ALAT PENUKAR KALOR TYPE PIPA GANDA DI LABORATORIUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 JAKARTA. Jurnal Konversi Energi
dan Manufaktur UNJ, 51-61.
Idawati Supu, B. U. (2016). PENGARUH SUHU TERHADAP PERPINDAHAN
PANAS PADA MATERIAL YANG BERBEDA. Jurnal Dinamika, 63-
66.
Intan Nurul Rokhimi, P. (2015). Alat Peraga Pembelajaran Laju Hantaran Kalor
Konduksi . Prosiding Seminar Nasional Fisika dan Pendidikan Fisika
(SNFPF) Ke-6 , 272.
Kusuma, G. E. (2018). PERPINDAHAN PANAS UNTUK POLITEKNIK. 27-28.
MARPAUNG, Y. V. (2013). APLIKASI PERHITUNGAN HASIL KALIBRASI
DAN NILAI KETIDAKPASTIAN PENGUKURAN DALAM
SERTIFIKAT KALIBRASI BERBASIS VISUAL BASIC. 1-15.
Muhammad, A. (2007). ANALISIS PERPINDAHAN KALOR PADA HEAT
EXCHANGER PIPA GANDA DENGAN SIRIP BERBENTUK DELTA
WING. 1-62.
Sudirham, S. (2013). Sifat-Sifat Thermal . Darpublic, 1-10.
Suwarti, Mulyono, Budhi, P., Ahmad, R., Ika, R. D., Lussy, I., et al. (2016).
PEMBUATAN MONITORING KECEPATAN ANGIN DAN ARAH
ANGIN MENGGUNAKAN MIKROKONTROLER ARDUINO. 56-64.
Syaichurrozia, I., Afdwiyarny, M. K., & Ahmad, I. (2014). Kajian Performa Alat
Penukar Panas Plate and Frame : Pengaruh Laju Alir Massa, Temperatur
Umpan dan Arah Aliran Terhadap Koefisien Perpindahan Panas
Menyeluruh. 11-18.
Syukran. (2018). KAJI EFISIENSI TEMPERATUR PENUKAR PANAS
DENGAN VARIASI ALIRANUNTUK APLIKASI PENGERING. Jurnal
Polimesin, 39-42.
Tripler. 2009. Fisika Jilid II. Jakarta: Erlangga
LAPORAN PRAKTIKUM MS3133 PERPINDAHAN PANAS DAN MASSA
Modul 6 Shell and Tube (Parallel Flow dan Counter flow)

DISUSUN OLEH :

1. Imam Sulistiyo (118170035)

2. Fernando Loe Pebriantoro (118170027)

3. Bayu Prastio (118170074)

4. Indra Anggi Sitanggang (118170012)

5. Muhammad Ryan Mahendra. P (118170107)

6. Bastian Roni Petrus Manurung (118170094)

7. Raden Achmad Fachrozi (17117092)

LABORATORIUM KONVERSI ENERGI


PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN
INSTITUT TEKNOLOGI SUMATERA
2020
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi

INSTITUT TEKNOLOGI SUMATERA

Jalan Terusan Ryacudu, Desa Way Hui, Kecamatan Jati Agung,


Lampung Selatan 35365 Telepon:(0721) 8030188, Email:
pusat@itera.ac , Website: http://www.itera.ac.id

LEMBAR ASISTENSI

Nama : 1. Imam Sulistiyo (118170035)

2. Fernando Loe Pebriantoro (118170027)

3. Bayu Prastio (118170074)

4. Indra Anggi Sitanggang (118170012)

5. Muhammad Ryan Mahendra. P (118170107)

6. Bastian Roni Petrus Manurung (118170094)

7. Raden Achmad Fachrozi (17117092)

Kelompok :4

Modul : (Modul 6) (Shell and Tube (Parallel Flow dan Counter flow))

NO TANGGAL KETERANGAN PARAF


BAB I
PENDAHULUAN

6.1.1 Latar Belakang


Pada praktikum perpindahan panas kali ini akan dilakukan praktikum
atau percobaan mengenai Shell and Tube (Parallel Flow dan Counter flow),
yang mana setelah melakukan praktikum kali ini para praktikan diharapkan
mampu merangkai dan mengoperasikan peralatan Shell and Tube Head
Exchanger, memahami fenomena fisik counter flow pada Shell and Tube
Head Exchanger, mengetahui karakteristik sesungguhnya Shell and Tube
Head Exchanger dan mampu menghitung koefisien perpindahan panas dari
laju perpindahan panas.
Heat Exchanger shell and tube adalah salah satu jenis heat exchanger
yang menurut konstruksinya dicirikan adanya sekumpulan “tube” yang
dipasangkan di dalam “shell” berbentuk silinder di mana dua jenis fluida
yang saling bertukar panas mengalir secara terpisah. Satu fluida mengalir di
dalam pipa, sementara fluida lain dialirkan dalam shell. Agar aliran dalam
shell turbulen dan untuk memperbesar koefisien perpindahan panas
konveksi, maka pada shell dipasang penghalang (baffle).
Proses perpindahan panas terjadi antara fluida yang mengalir dalam
tube (tabung) dengan fluida pada shell (selongsong) yang mengalir di luar
tabung. Aliran fluida pada shell yang berolak akan memberikan koefisien
perpindahan panas yang tinggi. Untuk memperoleh efek olakan pada aliran
fluida tersebut dipasang baffles (sekat-sekat). Selain itu, baffles berfungsi
untuk mengarahkan aliran dalam fluida di shell dan mengikat/mendukung
tube bundle.

6.1.2 Tujuan Praktikum


Adapun tujuan dari dilakukannya praktikum pada kali ini ialah antara
lain :
a. Mahasiswa mampu merangkai dan mengoperasikan peralatan Shell and
Tube Head Exchanger.
b. Mahasiswa memahami fenomena fisik counter flow pada Shell and
Tube Head Exchanger.
c. Mahasiswa mengetahui karakteristik sesungguhnya Shell and Tube
Head Exchanger.
d. Mahasiswa mampu menghitung koefisien perpindahan panas dari laju
perpindahan panas.
BAB II
LANDASAN TEORI

6.2.1 Alat Penukar Kalor


Alat penukar kalor merupakan suatu peralatan dimana terjadi
perpindahan panas dari suatu fluida yang temperaturnya lebih tinggi kepada
fluida yang temperaturnya lebih rendah. Proses perpindahan panas tersebut
dapat dilakukan secara langsung atau tidak. Maksudnya ialah :
a. Alat penukar kalor yang langsung, ialah dimana fluida yang panas akan
bercampur secara langsung dengan fluida dingin (tanpa adanya pemisah)
dalam suatu bejana atau ruangan tertentu.
b. Alat penukar kalor yang tidak langsung, ialah dimana fluida panas tidak
berhubungan langsung (indirect contact) dengan fluida dingin. Jadi
proses perpindahan panasnya itu mempunyai media perantara, seperti
pipa, pelat atau peralatan jenis lainnya.

6.2.2 Shell and Tube Heat Exchanger


Heat Exchanger tipe ini adalah salah satu jenis heat exchanger yang
menurut konstruksinya dicirikan adanya sekumpulan “tube” yang
dipasangkan di dalam “shell” berbentuk silinder di mana dua jenis fluida
yang saling bertukar panas mengalir secara terpisah. Satu fluida mengalir di
dalam pipa, sementara fluida lain dialirkan dalam shell. Agar aliran dalam
shell turbulen dan untuk memperbesar koefisien perpindahan panas
konveksi, maka pada shell dipasang penghalang (baffle).

Gambar 6.2.1 Shell and Tube Heat Exchanger dan arah alirannya
6.2.3 Tube
Diameter luar tabung atau lebih dikenal dengan tube OD ¾” dan 1"
sangat umum digunakan untuk mendesain sebuah compact heat exchanger.
Ketebalan tabung dinyatakan dalam BWG (Birmingham Wire Gauge) dan
diameter luar dinyatakan dalam OD (outer diameter).

6.2.4 Shell
Shell adalah wadah untuk cairan shell dan tube bundle yang
ditempatkan di dalam shell. Untuk keperluan yang diperlukan dari pada tube
bundle, diameter shell harus didesain sesuai keperluannya. Clearance antara
tube bundle dan dinding shell dalam tergantung pada jenis penukar.

6.2.5 Analisis Perpindahan Panas


Perpindahan panas adalah suatu energi thermal yang ditransferkan ke
suatu ruang yang memiliki perbedaan temperatur. Perhitungan laju
perpindahan panas memerlukan perhitungan total area permukaan yang
dikenai panas. Oleh karena itu diperlukan data temperatur fluida yang
masuk dan keluar, koefisien perpindahan panas total, laju perpindahan
panas total dan data-data lain yang mendukung. Datadata tersebut mampu
dicari dengan menggunakan keseimbangan energi antara fluida panas dan
fluida dingin dengan mengabaikan perpindahan panas yang terjadi ke
lingkungan, perubahan energi kinetik dan potesial. Selain itu, fluidanya
dianggap steady flow (Sugiyanto, 2017).

6.2.6 Faktor Pengotoran


Faktor pengotoran ini sangat mempengaruhi perpindahan kalor pada
alat penukar kalor. Pengotoran ini dapat terjadi endapan dari fluida yang
mengalir, juga disebabkan oleh korosi pada komponen dari alat penukar
kalor akibat pengaruh dari jenis fluida yang dialirinya. Selama alat penukar
kalor ini dioperasikan maka pengaruh pengotoran pasti akan terjadi.
Terjadinya pengotoran tersebut dapat menganggu atau mempengaruhi
temperatur fluida mengalir dan dapat menurunkan atau mempengaruhi
koefisien perpindahan panas menyeluruh dari fluida tersebut. Faktor
pengotoran dapat dicari dengan persamaan :
.........................................(6.1)

Dimana :
Uc = Koefisien perpindahan kalor menyeluruh bersih ( W/m2 0C )
Ud = Koefisien perpindahan (k)

6.2.7 Penurunan Tekanan pada Sisi “Shell”


Apabila dibicarakan besarnya penurunan tekanan pada sisi shell alat
penukar kalor, masalahnya proporsional dengan beberapa kali fluida itu
menyebrangi tube bundle diantara sekat-sekat. Besarnya penurunan tekanan
pada isothermal untuk fluida yang dipanaskan atau didinginkan, serta
kerugian saat masuk dan keluar adalah :

....................................(6.2)

6.2.8 Penurunan Tekanan pada Sisi “Tube”


Besarnya penurunan tekanan pada tube side alat penukar kalor telah
diformulasikan, persamaan terhadap faktor gesekan dari fluida yang
dipanaskan atau yang didinginkan didalam tube.

...................................(6.3)

Mengingat bahwa fluida itu mengalami belokan pada saat passnya, maka
akan terdapat kerugian tambahan penurunan tekanan.

...........................................(6.4)

6.2.9 Analisa Penukar Kalor dengan Metode NTU-Efektivitas


Pendekatan LMTD dengan penukar kalor berguna bila suhu masuk
dan suhu kelua dapat ditentukan dengan mudah, sehingga LMTD dapat
dengan mudah dihitung. Selanjutnya aliran kalor, luas permukaan, dan
koefisien perpindahan kalor menyeluruh dapat ditentukan. Bila kita
menentukan temperatur masuk atau temperatur keluar, analisis akan
melibatkan prosedur iterasi karena LMTD itu sesuai dengan fungsi
logaritma. Analisis akan lebih mudah dilaksanakan dengan dengan
menggunakan metode yang berdasarkan atas efektifitas penukar kalor dalam
rnemindahkon kalor tertentu.
Untuk mendefenisikan efektifitas suatu penukar kalor, laju
perpindahan kalor maksimum yang mungkin terjadi, qmax untuk penukar
kalor itu harus ditentukan terlebih dahulu. Untuk menentukan laju
perpindahan kalor maksimum pada suatu penukar kalor, pertama-tama harus
dipahami terlebih dahulu bahwa nilai maksimum akan didapat bila salah
satu fluida mengalami perubahan temperatur sebesar beda temperatur
maksimum yang terdapat dalam penukar kalor itu, yaitu selisih antara
temperature masuk fluida panas Th,i dan fluida dingin Tc,i. Fluida yang
mengalami beda temperatur maksimum adalah fluida yang kapasitas
kalornya minimum, karena kesetimbangan energi menyaratkan bahwa
energi yang diterima oleh fluida satu harus sama dengan energi yang
dilepaskan oleh fluida yang satu lagi. Jika fluida yang mempunyai nilai
kapasitas yang lebih besar mengalami beda beda temperature maksimum,
maka fluida yang satu lagi akan mengalami perubahan temperatur yang
lebih besar dari maksimum, dan ini tentu saja tidak mungkin. Jadi laju
perpindahan kalor maksimum dinyatakan sebagai berikut:
..................................(6.5)
dimana :
C min adalah harga yang paling kecil diantara besaran Ch atau Cc .
jika Cc < Ch maka q maks = Cc (Th,i – Tc,i)
jika Cc > Ch, maka q maks = Ch (T h,i – Tc,i)
dimana C = m cp.

Efektifitas suatu penukar kalor didifinisikan sebagai rasio antara laju


perpindahan kalor sebenarnya untuk suatu penukar kalor terhadap laju
perpindahan kalor maksimum yang mungkin. Secara umum efektifitas dapat
dinyatakan sebagai berikut
...............................................(6.6)
Sedangkan NTU (Number Of Transfer Units) merupakan parameter
yang tidak berdimensi yang secara luas digunakan dalam analisis suatu
penukar kalor. Bilangan ini didefinisikan sebagai berikut :
............................................(6.7)

(Bizzy & Setiadi, 2013).

6.2.10 Koefisien Perpindahan Panas


Koefisien perpindahan panas secara menyeluruh dipelajari dengan
menentukan perpindahan panas yang terjadi pada suatu dinding logam
antara fluida panas pada satu sisi dan fluida dingin pada sisi lain dengan
pengaliran konveksi paksa. Pertukaran panas yang terjadi merupakan
pertukaran secara tidak langsung. Berdasarkan aliran dapat dibedakan
menjadi pertukaran panas dengan aliran searah (co-current flow)
Pertukaran ini, kedua fluida (panas dan dingin) masuk pada sisi yang sama,
mengalir dengan arah sama dan keluar pada sisi sama pula. Pertukaran
panas dengan aliran berlawanan arah (counter flow) Pertukaran panas
sistem ini, kedua fluida (panas dan dingin) masuk penukar panas dengan
arah berlawanan dan keluar pada sisi yang berlawanan.
Faktor faktor yang mempengaruhi nilai koefisien perpindahan
panas total terbagi menjadi 3 variable yaitu variable suhu, laju alir keluar
masuk bahan dan variable konsentrasi bahan. Secara umum penelitian ini
mengunakan fluida yang dapat menyerap panas. Contoh fluida yang sering
digunakan adalah air. Air sendiri termasuk fluida yang dapat menyerap
panas dimana panas akan berpindah dari suhu yang tinggi menuju suhu
yang lebih rendah. Tetapi air memiliki titik didih yang relatif rendah
apabila berkontak dengan bahan yang lebih tinggi titik didihnya akan
menguap.
............................................(6.8)

............................................(6.9)
6.2.11 Suhu/Temperatur
Suhu merupakan ukuran atau derajat panas atau dinginnya suatu benda
atau sistem. Suhu di definisikan sebagai suatu besaran fisika yang dimiliki
bersama antara dua benda atau lebih yang berada dalam kesetimbangan
termal. Jika panas dialirkan pada suhu benda, maka suhu benda tersebut
akan turun jika benda yang bersangkutan kehilangan panas. Akan tetapi
hubungan antara satuan panas dengan satuan suhu tidak merupakan suatu
konstanta, karena besarnya peningkatan suhu akibat penerimaan panas
dalam jumlah tertentu akan dipengaruhi oleh daya tampung panas (heat
capacity) yang dimiliki oleh benda penerima tersebut.
Suatu benda yang dalam keadaan panas dikatakan memiliki suhu yang
tinggi, dan sebaliknya, suatu benda yang dalam keadaan dingin dikatakan
memiliki suhu yang rendah. Perubahan suhu benda, baik menjadi lebih
panas atau menjadi lebih dingin biasanya diikuti dengan perubahan bentuk
atau wujudnya. Misalnya, perubahan wujud air menjadi es batu atau uap air
karena pengaruh panas atau dingin.
Sejumlah es batu yang dipanaskan akan berubah wujud menjadi air.
Bila terus-menerus dipanaskan, maka pada suatu ketika (ketika telah
mencapai titik didih) air akan mendidih dan berubah wujud menjadi uap air
atau gas. Proses sebaliknya terjadi mana kala air yang berada dalam bentuk
gas atau uap air didinginkan, maka akan kembali ke bentuk cair, dan ketika
terus didinginkan, maka pada saat tertentu (ketika telah mencapai titik beku)
air akan membeku dan kembali berwujud padat yaitu es batu.

6.2.12 Pengukur Temperatur/Suhu


Termometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur suhu sebuah
benda. Termometer bekerja dengan memanfaatkan perubahan sifat
termometrik suatu benda ketika benda tersebut mengalami perubahan suhu.
Perubahan sifat termometrik suatu benda menunjukkan adanya perubahan
suhu benda, dan dengan melakukan kalibrasi atau peneraan tertentu
terhadap sifat termometrik yang teramati dan terukur, maka nilai suhu benda
dapat dinyatakan secara kuantitatif. Tidak semua sifat termometrik benda
yang dapat dimanfaatkan dalam pembuatan termometer.
Sifat termometrik yang dapat digunakan dalam pembuatan
termometer harus merupakan sifat termometrik yang teratur. Artinya,
perubahan sifat termometrik terhadap perubahan suhu harus bersifat tetap
atau linier, sehingga peneraan skala termometer dapat dibuat lebih mudah
dan termometer tersebut nantinya dapat digunakan untuk mengukur suhu
secara teliti. Berdasarkan sifat termometrik yang dimiliki suatu benda, jenis-
jenis termometer diantaranya termometer zat cair, termometer gas,
termometer hambatan, termokopel, pirometer, termometer bimetal, dan
sebagainya. Sedangkan berdasarkan hasil tampilan pengukurannya,
termometer dibagi menjadi termometer analog dan termometer digital

Gambar 6.2.2 Skema berbagai termometer, (a) termometer raksa (alkohol)


dalam pipa, (b) termometer gas volume konstan, (c) termometer hambatan
platina

Untuk dapat mengkuantitatifkan hasil pengukuran suhu dengan


menggunakan termometer maka diperlukan angka-angka dan skala-skala
tertentu. Penetapan skala yang terpenting adalah penetapan titik tetap bawah
dan titik tetap atas sebagai titik acuan pembuatan skala-skala dalam
termometer. Untuk penetapan titik tetap bawah sebuah termometer pada
umumnya dipilih titik beku air murni pada tekanan normal, yaitu suhu
campuran antara es dan air murni pada tekanan normal. Sedangkan
penetapan titik tetap atas sebuah termometer umumnya dipilih titik didih air
murni, yaitu suhu ketika air murni mendidih pada tekanan normal.
Setidaknya terdapat empat macam skala termometer yang biasa digunakan,
yaitu Celcius, Reamur, Fahrenheit, dan Kelvin. Titik tetap bawah untuk
skala Celcius dan Reamur ditetapkan pada skala 0°C dan 0°R, sedangkan
untuk Fahrenheit ditetapkan pada skala 32°F. Ketiga skala titik tetap bawah
untuk masing-masing skala termometer ini diambil dari titik beku air murni
(titik lebur es murni) pada tekanan normal. Adapun titik tetap atas ketiga
skala ini berbeda-beda, dimana untuk Celcius ditetapkan pada 100°C, untuk
Reamur ditetapkan pada 80°R, dan untuk Fahrenheit ditetapkan pada 212°F.
Ketiga skala titik tetap atas untuk masing-masing skala termometer ini
diambil dari titik didih air murni pada tekanan normal. Pada skala Kelvin,
titik tetap bawah ketiga skala termometer ini bersesuaian dengan skala 273
K dan titik tetap atasnya bersesuaian dengan 373 K. Khusus untuk skala
Kelvin, titik yang tetap bawah tidak didasarkan pada titik beku air, namun
didasarkan pada ukuran energi kinetik rata-rata molekul suatu benda. Dalam
hal ini, nol Kelvin (tanpa derajat) dinamakan nol mutlak (nol absolut),
artinya tidak ada suhu-suhu di bawah suhu nol mutlak, atau ketika nilai suhu
mendekati nilai nol mutlak, maka energi kinetik rata-rata partikel
mempunyai suatu nilai yang minimum.
Oleh karena itu, berdasarkan fakta tersebut, maka skala Kelvin
dinamakan skala suhu mutlak atau skala suhu absolut, atau disebut juga
skala termodinamik. Kelvin menjadi satuan standar SI untuk besaran pokok
suhu. Perpindahan panas nilai derajatnya diukur dengan menggunakan skala
kelvin (Idawati Supu, 2016).

6.2.13 Perpindahan Panas Steady vs Transient


a. Steady State
Tidak dipengaruhi/tidak tergantung pada waktu setiap titik perpindahan
panas pada mediumnya.
Gambar 6.2.3 steady state

b. Transient
Dipengaruhi/tergantung pada perubahan waktu.

Gambar 6.2.4 Transient

6.2.14 Pengaruh suhu masuk fluida panas dan dingin terhadap koefisien
perpindahan panas
Dalam teori perpindahan panas yang mana dipengaruhi oleh
perbedaan suhu antara 2 atau lebih fluida yang berbeda, dimana panas
akan berpindah dari fluida yang bersuhu tinggi ke fluida yang bersuhu
rendah. Ketika kalor bergerak akan terjadi pertukaran dan kemudian
berhenti ketika kedua tempat tersebut memiliki suhu yang sama. semakin
kecil nilai ΔTLMTD maka semakin besar koefisien perpindahan panas
begitu juga sebaliknya. dimana suhu fluida dingin yang memiliki nilai
suhu yang rendah agar bisa memaksimalkan pendiginan pada fluida panas.
Pada penelitian yang dilakukan oleh suhu fluida bahan yang masuk rendah
sehingga nilai koefisien perpindahan panas tinggi.
6.2.15 Pengaruh laju alir fluida terhadap nilai koefisien perpindahan panas
total
Salah satu cara meningkatkan laju perpindahan panas adalah flowrate
fluida. Dimana perubahan laju alir dari kedua fluida sangat mempengaruhi
nilai dari efektivitas alat penukar panas. Dalam suatu proses perpindahan
panas terdapat laju alir fluida dingin dan laju alir fluida panas. laju alir
fluida dingin 324900 l/m lebih besar dibanding fluida panas sehingga nilai
koefisien perpindahan pun besar (Sugeng & Abdul, 2020).

6.2.16 Standardisasi TEMA


Karena shell and tube merupakan tipe yang paling banyak
digunakan, sehingga perlu dilakukan standardisasi dalam
pembuatannya. Pembuatan standardisasi tersebut dilakukan oleh
Tubular Exchanger Manufactures Asociation (TEMA) dengan
dilakukan sistem penomeran. Sistem penomeran dibuat dengan 3 (tiga)
huruf alphabet. Masing masing huruf mewakili bagian dari shell and
tube dimana huruf pertama menunjukan front header type, huruf kedua
menunjukan shell type, dan huruf ketiga menunjukan end header type
Dari standardisasi tersebut, dapat diciptakan beberapa jenis
kombinasi dari shell and tube. Namun terdapat 3 (tiga) kombinasi
utama yang sering digunakan, diantaranya fixed tubesheet heat exchanger,
U-tube heat exchanger dan floating header heat exchanger (Sudrajat,
2017).
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM

6.3.1 Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang akan digunakan pada praktikum Shell and Tube
(Parallel Flow dan Counter flow) ialah :
a. Base unit

Gambar 6.3.1 Base Unit

b. Shell and Tube Heat Exchanger

Gambar 6.3.2 Shell and Tube Heat Exchanger

6.3.2 Prosedur Praktikum


Adapun prosedur praktikum yang akan dilakukan pada praktikum kali
ini ialah :
a. Mengisi tangki air dengan air hingga pelampung atas terendam.
b. Membuka katub aliran air sesuai dengan percobaan (parallel atau
countercurrent flow).
c. Menghubungkan mesin dan PC dengan listrik.
d. Menyalakan PC dan membuka aplikasi SCADA.
e. Menjalankan aplikasi SCADA dengan klik star pada aplikasi.
f. Menghidupkan instrument shell and tube dengan tekan tombol power
pada bagian depan instrument.
g. Menghidupkan heater dengan menekan tombol AR-1/set PID menjadi
50°C lalu ceklis PID. (Temperatur yang telah di tentukan).
h. Membuka katup air dingin dengan kecepatan 2,5l/min, lihat pada
tampilan SC-2..
i. Setelah temperatur mencapai 50°C(yang telah ditentukan), Hidupkan
pompa air panas dengan mengatur AB-1 menjadi 5 (yang telah di
tentukan).
j. Menunggu selama 2 menit kemudian catat temperatur ST-1, ST-2, ST-3,
ST-7 dan ST-16 serta catat kecepatan air SC-1 dan SC-2.
k. Mengulangi percobaan dari 7-10 dengan menaikkan temperatur ST-16
(AR-1) 60 °C, 70 °C dan 80 °C
l. Setelah selesai matikan heater dan pompa melalui aplikasi. Dengan cara
set nol PID AR-1 dan AB-1
m. Mengubah aliran air dingin dengan membuka dan menutup katub air
masuk dan keluar.
n. Menghidupkan heater dengan menekan tombol AR-1/set PID menjadi
50°C lalu ceklis PID. (Temperatur yang telah di tentukan).
o. Membuka katup air dingin dengan kecepatan 2,5 l/min, lihat pada
tampilan SC-2..
p. Setelah temperatur mencapai 50°C(yang telah ditentukan), Hidupkan
pompa air panas dengan mengatur AB-1 menjadi 5 (yang telah di
tentukan).
q. Menunggu selama 2 menit kemudian catat temperatur ST-1, ST-2, ST-3,
ST-7 dan ST-16 serta catat kecepatan air SC-1 dan SC-2.
r. Mengulangi percobaan dari 7-10 dengan menaikkan temperatur ST-16
(AR-1) 60 °C, 70 °C dan 80 °C.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

6.4.1 Data Hasil Percobaan


a. Data
Tabel 6.4.1 Data hasil percobaan Counter-Current Flow
Percobaan
counter-
1 2 3 4
current flow
60ºC 55ºC 50ºC 45ºC
ST-16 (ºC) 61.6 56.1 51.1 46.2
ST-1 (ºC) 54.4 53.4 49.3 44.7
ST-2 (ºC) 44.2 44.2 42.1 40
ST-3 (ºC) 44.1 43.8 41.2 38.8
ST-7 (ºC) 32 34.2 32.4 32.5
SC-1 (l/min) 1.6 1.6 1.6 1.7
SC-2 (l/min) 1.8 2.1 2.1 2.1
△Tlm 11.223 9.799 8.876 6.668
Cph 4.181 4.181 4.180 4.179
Cpc 4.178 4.178 4.178 4.178
qh 438954.268 396072.877 310527.514 190847.310
qc 464673.629 316014.382 289766.613 207560.951
Losses -25719.360 80058.495 20760.901 -16713.641
Ai 0.299
Ao 0.373
hh 130992.640 135379.832 117173.257 95858.950
hc 138667.806 108015.409 109339.419 104253.891
Tabel 6.4.2 Data hasil percobaan Parallel Flow
Percobaan
Parallel
1 2 3 4
flow
45ºC 50ºC 55ºC 60ºC
ST-16 (ºC) 45.6 50.5 55.4 60.1
ST-1 (ºC) 39.3 43.6 47.8 51.9
ST-2 (ºC) 36.2 37.9 39.7 41.3
ST-3 (ºC) 33.2 33.4 33.5 33.6
ST-7 (ºC) 33.4 33.7 34.4 35.4
SC-1
1.6 1.6 1.6 1.6
(l/min)
SC-2
1.7 1.7 1.8 1.5
(l/min)
△Tlm 11.723 17.056 23.587 29.350
Cph 4.178 4.179 4.179 4.180
Cpc 4.178 4.178 4.179 4.179
qh 133943.840 246021.686 349296.751 456622.124
qc 8146.710 12219.836 34620.744 83080.630
Losses 125797.130 233801.850 314676.007 373541.494
Ai 0.299
Ao 0.373
hh 38265.992 48309.958 49598.960 52107.463
hc 1861.926 1919.635 3932.823 7584.601

b. Perhitungan
a) Counter-Current Flow
a)

b)
c)

d)

e)

f)

g)
h)

b) Parallel Flow
a)

b)

c)
d)

e)

f)

g)

h)
6.4.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini dengan judul shell and tube (parallel flow
dan counter flow) didapatkan data counter-current flow dan parallel
flow. Lalu setelah itu dilakukan perhitungan yang pertama dengan data
counter-current flow untuk mendapatkan nilai ∆Tlm percobaan ke 1
sebesar 11,22321 . ke 2 sebesar 9,798639 . ke 3 sebesar 8,875978 . dan
ke 4 sebesar 6,668037. Setelah itu mencari nilai Cph ke 1 sebesar
4,18092. Ke 2 sebesar 4,18072. Ke 3 sebesar 4,17974. Ke 4 sebesar
4,17907. Selanjutnya mencari nilai Cpc ke 1 sebesar 4,17821. Ke 2
sebesar 4,1784. Ke 3 sebesar 4,17801. Ke 4 sebesar 4,178. Selanjutnya
mencari nilai qh ke 1 sebesar 438954,3. Ke 2 sebesar 396072,9. Ke 3
sebesar 310527,5. Ke 4 sebesar 190847,3. Selanjutnya mencari nilai qc
ke 1 sebesar 464673,6. Ke 2 sebesar 316014,4. Ke 3 sebesar 289766,6.
Ke 4 sebesar 207561. Selanjutnya mencari nilai losses ke 1 sebesar -
25719,4. Ke 2 sebesar 80058,5. Ke 3 sebesar 20760,9. Ke 4 sebesar -
16713,6. Selanjutnya mencari nilai Ai dan Ao didapatkan nilai sebesar
0,29857632 dan nilai Ao sebesar 0,3732204 . setelah itu mencari nilai
hh dan didapatkan nilai hh ke 1 sebesar 130992,64. hh ke 2 sebesar
135379,832. hh ke 3 sebesar 117173,2573. Dan hh ke 4 sebesar
95858,94979. Lalu terakhir mencari nilai hc didapatkan nilai hc ke 1
sebesar 138667,8061. hc ke 2 sebesar 108015,4092. hc ke 3 sebesar
109339,419. Dan hc ke 4 sebesar 104253,8914.
Setelah selesai mengolah data dan mencari nilai yang dibutuhkan
pada counter-current flow. Kita mengolah dan mencari nilai pada
parallel flow dengan proses dan cara yang sama seperti sebelumnya dan
didapatkan nilai yang dapat dilihat pada data tabel perhitungan parallel
flow.

Grafik ST-16 Terhadap hh


63
61
59
57
55
ST-16

53
51
49
47
45
0 20000 40000 60000 80000 100000 120000 140000 160000
hh

Counter-Current Flow Parallel Flow

Berdasarkan grafik tersebut dapat diketahui bahwa pada counter-


current flow, nilai ST-16 yang berupa temperatur yang berbeda-beda
pada keempat percobaan berbeda menandakan bahwa hh yang
bergantung pada panas juga mengalami penurunan karena temperatur
menurun. Kemudian, pada parallel flow, nilai ST-16 yang berupa
temperatur yang berbeda-beda pada keempat percobaan berbeda
menandakan bahwa hh yang bergantung pada panas juga mengalami
peningkatan karena temperatur meningkat. Hal ini menandakan bahwa
hh sangat dipengaruhi oleh temperatur. Maka, semakin tinggi
temperatur akan menghasilkan nilai hh yang lebih tinggi juga.
Grafik ST-16 Terhadap hc
63
61
59
57
55
ST-16

53
51
49
47
45
-10000 10000 30000 50000 70000 90000 110000 130000 150000
hc

Counter-Current Flow Parallel Flow

Berdasarkan grafik tersebut dapat diketahui bahwa pada counter-


current flow, nilai ST-16 yang berupa temperatur yang berbeda-beda
pada keempat percobaan berbeda menandakan bahwa h c yang
bergantung pada panas juga mengalami penurunan karena temperatur
menurun. Kemudian, pada parallel flow, nilai ST-16 yang berupa
temperatur yang berbeda-beda pada keempat percobaan berbeda
menandakan bahwa hh yang bergantung pada panas juga mengalami
peningkatan karena temperatur meningkat. Hal ini menandakan bahwa
hc sangat dipengaruhi oleh temperatur. Maka, semakin tinggi
temperatur akan menghasilkan nilai hc yang lebih tinggi juga. Namun,
perbedaannya adalah hh menunjukkan koefisien perpindahan panas
yang ditinjau pada keadaan panas, sedangkan hc menunjukkan koefisien
perpindahan panas yang ditinjau pada keadaan dingin.
Grafik ST-16 Terhadap Losses
63
61
59
57
55
ST-16

53
51
49
47
45
-100000 0 100000 200000 300000 400000
Losses

Counter-Current Flow Parallel Flow

Berdasarkan grafik tersebut, losses merupakan hasil dari


perbedaan yang dihasilkan antara qh dan qc. Pada percobaan pertama
current-counter flow, dapat dilihat bahwa losses menandakan keadaan
panas keluar dari sistem. Pada percobaan kedua current-counter flow,
dapat dilihat bahwa losses menandakan keadaan panas memasuki
sistem. Pada percobaan ketiga current-counter flow, dapat dilihat
bahwa losses menandakan keadaan panas semakin banyak memasuki
sistem. Pada percobaan keempat current-counter flow, dapat dilihat
bahwa losses menandakan keadaan panas keluar dari sistem dalam
jumlah yang banyak.
Pada percobaan pertama parallel flow, dapat dilihat bahwa losses
menandakan keadaan panas masuk ke dalam sistem dalam jumlah
besar. Pada percobaan kedua parallel flow, dapat dilihat bahwa losses
menandakan keadaan panas memasuki sistem semakin banyak. Pada
percobaan ketiga parallel flow, dapat dilihat bahwa losses menandakan
keadaan panas semakin banyak lagi memasuki sistem. Pada percobaan
keempat parallel flow, dapat dilihat bahwa losses menandakan keadaan
panas terus-menerus memasuki sistem dalam jumlah yang banyak.
BAB V
PENUTUP

3.5.1 Kesimpulan
Setelah melakukan praktikum Cross Flow Heat Exchanger mahasiswa
dapat menyimpulkan beberapa hal yaitu:
a. Shell and Tube Heat Exchanger mampu beroperasi pada temperatur dan
tekanan tinggi.
b. Penukar panas jenis Shell and Tube Heat Exchanger terdiri atas tiga
komponen utama yaitu shell, tube, dan baffle.
c. Pada Shell and Tube Heat Exchanger proses perpindahan panas terjadi
antara fluida yang mengalir dalam tube (tabung) dengan fluida pada
shell (selongsong) yang mengalir di luar tabung.
d. Rumus yang digunakan untuk menghitung koefisien perpindahan panas
yaitu

3.5.2 Saran
Saran yang dapat dituliskan setelah melakukan praktikum Cross Flow
Heat Exchanger ini adalah:
a. Sebaiknya membaca modul terlebih dahulu sebelum melakukan
praktikum.
b. Memperhatikan video praktikum dengan seksama dalam proses
praktikum agar dapat memahami praktikum kali ini.
c. Mempersiapkan jaringan internet terbaik supaya lancar dalam proses
praktikum online.
d. Untuk format penulisan laporan praktikum lebih jelas lagi sebelum
praktikum dimulai.
DAFTAR PUSTAKA

Bizzy, I., & Setiadi, R. (2013). STUDI PERHITUNGAN ALAT PENUKAR


KALOR TIPE SHELL AND TUBE DENGAN PROGRAM HEAT
TRANSFER RESEARCH INC ( HTRI ). JURNAL REKAYASA MESIN,
67-77.
Idawati Supu, B. U. (2016). PENGARUH SUHU TERHADAP PERPINDAHAN
PANAS PADA MATERIAL YANG BERBEDA. Jurnal Dinamika, 63-
66.
Sudrajat, J. (2017). ANALISIS KINERJA HEAT EXCHANGER SHELL &
TUBE PADA SISTEM COG BOOSTER DI INTEGRATED STEEL
MILL KRAKATAU. Jurnal Teknik Mesin (JTM), 174-181.
Sugeng, H. S., & Abdul, C. (2020). STUDI LITERATUR KOEFISIEN
PERPINDAHAN PANAS TOTAL SHELL AND TUBE TIPE 1-1
SISTEM FLUIDA LARUTAN ETILEN GLIKOL DAN LARUTAN
GLIKOL. Jurnal Teknologi Separasi, 499-503.
Sugiyanto. (2017). ANALISIS ALAT PENUKAR KALOR TIPE SHELL AND
TUBE DAN APLIKASI PERHITUNGAN DENGAN MICROSOFT
VISUAL BASIC 6.0. 1-19.

Anda mungkin juga menyukai