BAB I. PENDAHULUAN
Pirometallugi merupakan suatu proses ekstraksi metal dari bijih maupun konsentrat yang dilakukan
pada temperatur tinggi (>5000 C). Panas yang digunakan berasal dari bahan bakar padat, cair maupun
gas.
Pada umumnya pirometallurgi dicirikan adanya suatu proses peleburan (smelting), converting maupun
fire refining, sehinggga tanur yang digunakan juga bermacam-macam seperti tanur tiup (blast furnace)
bassemer converter, reverberatory furnace dll.
Agar umpan dapat diproses dengan baik tentunya mengalami preparasi baik fisik maupun kimia,
sehingga umpan (charge) dapat dibentuk kasar, kering, kandungan sulfurnya rendah agar tidak banyak
menimbulkan gas yang berbahaya.
Ada dua fenomena pada ekstraksi dengan menggunakan cara pirometallurgi, yaitu :
a. Berlangsungnya reaksi kimia yang menghasilkan logam dari senyawa-senyawanya.
b. Terbentuknya dua atau lebih fase yang memungkinkan terpisahnya logam yang dikehendaki dari
senyawa yang tidak dikehendaki.
Proses yang terjadi dapat proses oksidasi maupun reaksi, dimana proses reduksi lebih banyak terjadi
dari pada proses oksidasi. Dari proses ini pada awalnya akan didapatkan raw metal (metal kasar
artinya belum murni) seperti pada besi dimanakan pig iron, pada tembaga maupun nikel dapat berupa
matte. Disamping itu akan didapatkan slag atau terak yang pada umumnya mempunyai sifat sebagai
berikut :
a. Berat jenisnya lebih ringan dari berat metal kasar, sehingga slag ini selalu dibagian atas
b. Mempunyai visikotas yang kecil, lebih encer dari logam cair
c. Tidak melarutkan logam kasar (raw metal/metal yang belum murni/impure metal)
d. Tidak bereaksi dengan dinding tanur (dibuat refratori tanur sama dengan kondisi slag)
e. Slag ada yang bersifat basa manakala mengandung oksida seperti CaO, FeO, MgO, sedangkan slag
yang bersifat asam biasanya mengandung SiO 2 ataupun P2O5 (komposisi ini tergantung pada
material yang diproses)
f. Karena slag merupakan hasil reaksi antara flux dengan metal pengotor, maka diharapkan dengan
adanya slag maka metal utama dapat dipisahkan dari pengotornya.
Pada proses fire refining yang bertujuan untuk memurnikan kembali logam hasil smelting maupun
converting, logam tersebut masih mengandung logam pengotor. Logam yang akan dimurnikan harus
dalam keadaan cair, dimana untuk logam non ferro biasanya logam tersebut dimurnikan menjadi
logam murni, tetapi untuk logam ferro biasanya tidak dimurnikan menjadi besi murni tetapi langsung
diolah menjadi panduan misalnya baja.
Metode pengolahan pada fire refining tergantung dari macam unsur pengotor yang akan dihilangkan.
Unsur pengotor ada dua macam, yakni : jika logam yang akan dihilangkan memberikan akibat buruk
terhadap logam berharga, maka akibat buruk tersebut adalah dalam hal sifat-sifatnya. Untuk pengotor
yang tidak menimbulkan kerugian terhadap logam berharga, maka kemungkinannya dapat
menimbulkan keuntungan, sebab pengotor (impurity) tadi mempunyai arti ekonomis yang cukup
tinggi, misalnya menggandung emas, perak dan platina. Unsur pengotor ini sering dijumpai pada
pengolahan timbal.
Manakala proses pemurnian ini tidak dapat murni betul, maka dilakukan penggabungan antara proses
piro metallurgi dengan electro metallurgi, agar di dapatkan logam yang benar-benar sesuai dengan
yang dikehendaki.
Komponen yang cukup merugikan dalam bahan bakar adalah adanya abu sisa pembakaran
yang komponen utamanya adalah oksida logam dan silikat. Selain itu penggunaan batubara
dan kokas yang mengandung belerang akan dapat mengotori logam yang dihasilkan.
Belerang yang terdapat di dalam bahan bakar selain dapat larut dalam logam juga akan
membentuk gas SO2.
Bahan pembakaran suatu bahan bakar dapat diperkirakan dari persamaan Dulong :
NCP = 81 C + 340 (H-O/8) + 22 S – 5,84 (9 H + M)
Dimana :
C = Kadar karbon (%), 8100 kkal / kg, C----> CO2
H = Kadar hidrogen (%), 34.000 kkal / kg, (H ---- > H 2O)
O = Kadar Oksigen (%)
S = Kadar Belerang(%)
M = Kadar air (%)
Apabila bagian akhir dari persamaan Dulong dihasilkan, maka diperoleh GCP (Gross
Calorific Power) persamaan Dulong ini menekankan bahwa oksigen dalam bahan bakar
terdapat sebagai H2O dan unsur-unsur lainnya mempunyai bahan pembakaran yang sama
besarnya apabila unsur itu berdiri sendiri, dengan perkataan lain bahan pembentukan bahan
bakar dari unsur-unsurnya diabaikan, suatu asumsi yang tidak selalu benar.
Zat terbang diperoleh pada saat pemanasan batubara pada 950 0C. Gas-gas yang menguap
adalah gas yang dapat terbakar (combustable gases) seperti hidrogen, karbon, mono oksida
metane, uap tar dan incombustable gases seperti CO2 dan uap air.
Kokas adalah bahan bakar buatan yang diperoleh dari pemanasan batubara dalam ruang
tertutup tanpa udara sehingga zat terbang yang terdapat di dalam batubara dapat
dikeluarkan. Proses pembuatan kokas dapat disebut coking atau carbonisasi. Kokas yang
dihasilkan akan mempunyai kadar karbon tinggi.
Tabel 2.2.
Analisis Proximate
Zat Terbang Fixed Carbon Abu/ash Moisture
Jenis
(%) (%) (%) (%)
Wood - - - -
Peat 26,1 11,2 6 56,7
Lignit 35,3 22,9 7,2 34,6
Sub Bituminous 27,6 44,8 3,3 24,3
Bituminous 27,1 62,6 7,1 3,2
Semi Bituminous 14,5 75,3 8,2 2,0
Semi Antrasite 8,5 76,6 11,5 3,4
Antrasite 1,2 88,2 7,8 2,8
Kokas lebih disukai sebagai bahan bakar karena sifat fisika dan kimianya. Kokas tidak hanya
dipakai sebagai sumber bahan, tetapi berfungsi pula sebagai sumber reduktor. Kokas yang
bersifat keras dan kompak sangat diperlukan pada industri besi baja.
Komposisi kokas metallurgi umumnya adalah : Fixed carbon = 83-90 %, zat terbang = 0,5 –
4 %, Abu = 4-15 %, Moisture < 5 %, Belerang = 0,5 – 3 %, phospor < 0,04 %. Sedangkan
sifat fisika kokas metallurgi adalah : apparent specific gravity = 0,8 – 1,1, True specific
gravity = 1,8-2,0 dan porositasnya = 41 – 55 %.
Bahan bakar gas umumnya mempunyai kelebihan dibandingkan bahan bakar lainnya.
Kelebihannya itu antara lain bersih, bebas abu, mudah penangannannya dan
pengendaliannya fleksibilitasnya tinggi.
Tabel 2.3.
Analisis Ultimate
S H C N O GCV
Jenis
(%) (%) (%) (%) (%4) Btu/Ib
Wood ,0- 6,3 49,5 1,1 43,1 5800
Peat 0,6 8,3 21,0 1,1 63,0 3586
Lignite 1,1 6,6 42,4 0,6 42,1 7090
Sub Bituminous 0,4 6,1 55,3 1,1 33,8 9376
Bituminous 1,0 5,2 78,0 1,2 7,5 13919
Semi Bituminous 2,3 4,1 80,0 1,2 4,2 14081
Semi Anthrasite 0,6 3,6 78,4 1,0 4,9 13156
Anthasite 0,9 1,9 84,4 0,6 4,4 13298
Catatan : 1 kkal = 1,80 Btu/Ib
Bahan bakar gas umumnya bukan merupakan komponen murni suatu senyawa,
melainkan terdiri atas utama dan pengotor (N 2 CO2 dan uap H2O). Bahan bakar gas yang
umumnya dipakai pada proses metallurgi adalah hidrogen (H 2), karbon mono-oksida (CO),
methan (CH4), ethane (C2H6), ethylene (C2H4), propane (C3H8) dan acetylene (C2H2).
Coke oven merupakan bahan bakar gas yang sangat baik karena mempunyai nilai
kalori yang sama dengan gas alam. Bahan bakar ini merupakan hasil sampingan dari
batubara yang di-distilasi yang mempunyai kandungan 40 % methane dan 50 % hidrogen
(Coal gas).
Oli gas, mempunyai komposisi yang sama dengan coal gas, merupakan bahan bakar
gas yang didapat dengan jalan men-distilasi minyak.
Producer gas, adalah bahan bakar gas yang dibuat dengan jalan membakar batubara
pada udara terbuka sehingga membentuk uap dengan reaksi :
2 C + O2 ----- > . CO
Air gas ini terdiri dari 30 % CO dan 60 % N 2, sehingga mempunyai nilai kalori yang rendah.
Sedangkan water gas yang didapat dengan jalan mereaksikan carbon panas dengan uap air :
C + H2O ---- > H2 + CO, mengandung 50 % H2 dan 50 % CO. Water gas mempunyai nilai
kalori lebih tinggi bila dibandingkan dengan air gas.
Pemilihan Bahan Bakar :
Dalam memilih bahan bakar harus diperhatikan :
1. Biaya per unit pengolahan, ialah pembelian bahan bakar yang didasarkan atas hasil yang
didapat. Misalnya dalam suatu proses metallurgi memakai bahan bakar sebagai berikut :
Jenis Jumlah Harga Satuan Hasil (ton) Harga/ton
A 500 lt 300/ lt 1.000 Rp.150/ton
B 1.000 lt 200/ lt 1000 Rp. 200/ton
Maka yang dipilih adalah bahan bakar jenis A walaupun harga per satuan nya lebih mahal
dari bahan bakar jenis B
Tabel 2.4.
Komposisi Bahan Bakar Gas
Bahan Bakar
CH4 C2H6 C3H4 C2H4 CO CO2 H2 O2 N2 Btu/Cuft
Gas
Coal Gas 34 - - 6,6 9,0 1,1 47 - 2,3 560
Coke oven gas 1 28,5 - - 2,9 5,1 1,4 57,4 0,5 4,2 476
Coke oven gas 2 33,9 - - 5,2 6,1 2,6 47,9 0,6 3,7 538
Blue water gas - - - - 43,4 3,5 51,8 - 1,3 285
Oli gas 27 - - 2,7 10,6 2,8 53,5 - 3,4 461
Producer gas 2,6 - - 0,4 22 5,7 10,5 - 58,8 128
Blast Furnace - - - - 26,2 13 3,2 - 57,6 91,6
Natural gas 1 - 31,8 67,7 - - - - - 0,5 2268
Natural gas 2 - 79,4 20 - - - - - 0,6 1711
Natural gas 3 32,3 67 - - - - - - 0,7 1350
Natural gas 4 83,5 12,5 - - - 0,2 - - 3,8 946
Sumber : Extractive metallurgy (Newton)
2. Kesediaan bahan bakar, ialah ada tidaknya bahan bakar disekitar lokasi pabrik. Hal ini
akan berpengaruh masalah pengangkutan maupun kontinyuitas penyediaan bahan bakar
dan tentunya harga.
3. Kecocokan bahan bakar untuk proses.
Tidak bahan bakar cocok untuk proses peleburan, misalnya dalam pembuatan baja,
batubara muda tidak cocok untuk peleburan, sebab batubara ini disamping nilai kalorinya
kurang juga mengandung sulfur yang tidak baik bagi baja yang akan dihasilkan.
4. Kemurnian dan nilai kalori dari bahan bakar.
b. Tungku
Pembuatan tungku pirometallurgi memerlukan bahan-bahan yang tahan temperatur timggi
(refractory). Selain itu juga harus tahan terhadap reaksi tempratur tinggi terutama terhadap
lelehan logam dan terak. Sifat-sifat mekanika juga perlu diperhatikan, misalnya kuat tekan
(compressive stength) tahan terhadap gesekan, tahan terhadap erosi abu khususnya pada
temperatur tinggi.
Pada prinsipnya pemilihan jenis bata tahan api yang dipakai harus disesuikan dengan jenis
terak yang ditangani dan oksida utama pembentukan terak. Dengan demikian dalam suatu
tungku metllurgi akan terdapat lebih dari satu macam bata tahan api, tergantung dan
disesuaikan dengan operasi / kondisi yang berlangsung, misalnya temperatur komposisi gas,
komposisi terak.
Pada umumnya proses pirometallurgi lebih disukai dilakukan pada tekanan 1 atm, mengingat
kebocoran pada suhu tinggi akan lebih mudah terjadi bila tekanan operasi melebihi 1 atmosfir.
b.1. Refractoris.
Merupakan bahan pelapis tanur yang berfungsi untuk melindungi tanur dari panas maupun reaksi
kimia sehingga tanur menjadi tahan lama.
Biasanya ada dua macam bentuk refractories, yaitu :
Berbentuk batang/bata/brick
Bentuk ini dicetak, bahkan bisa dibuat bentuk khusus, artinya dapat disesuiakan dengan bentuk
tanur.
Berbentuk granuler
Refractories bentuk ini biasanya langsung ditempelkan pada dinding tanur, kemudian dilakukan
sintering dan pemanasan
Komposisi bata tanah api (BTA) biasanya dinyatakan dengan % SiO 2 % MgO2 % Al2O3 % FeO.
Dan perlu diperhatikan bahwa didalam BTA tidak bearti bahwa komponen-komponen oksidanya
berdiri bebas, tetapi komponen oksida tersebut saling berikatan.
Pada umumnya refractories dikelompokkan atas tiga jenis, yaitu refractories asam, basa dan
netral. Penamaan ini disesuaikan dengan jumlah komponen yang terbanyak. Refractories asam
berati mengandung SiO2 dalam jumlah yang besar. Refractories basa mengandung CaO atau MgO
dalam jumlah besar dan refractories netral bila mengandung Al 2O3 atau Cr2 atau SiC (silicon
carbide) dalam jumlah besar.
i. Refractories asam
Alumina silicios material : penggunaannya didasarkan atas kandungan aluminium silicate, karena
ini akan mempengaruhi titik leleh dari refractories. Silika bebas hendaknya diusahakan sekecil
mungkin karena akan mempengaruhi titik leleh refractories tipe ini. Klasifikasi bahan pembentuk
refractories silika – alumina adalah : silika tinggi (High silica), Fireclay (alumina – silikat),
alumina tinggi (high alumina). Sedangkan bentuknya ada tiga macam, yaitu : natural rock,
prepared mass, burned fire brck).
Siliceous material : unsur utamanya adalah SiO 2 dan yang harus diperhatikan adalah kandungan
metal oksigen serta alkali harus redah. Refractories jenis ini biasanya dibentuk sebagai :
Natural rock Electrically fused quartz
Burt brick Quarts Furnace
Silika brick (dinas brick) Quarts Furnace sand (Ganister)
Silika brick quartzite
Prepare mass
Tabel 2.5.
Komposisi Refractori silika
Senyawa (%)
SiO2 95,63
Al2O3 0,75
CaO 2,60
Fe2O3 0,75
Na2O 0,04
K2O 0,15
TiO2 0,08
i. Retorting
Retorting adalah suatu proses untuk mendapatkan logam dengan jalan mereduksi oksida logam
tersebut dengan menambahkan reduktor padat. Pada umumnya logam yang dihasilkan dalam
keadaan gas yang kemudian dikondensasikan sehingga menjadi cair. Tanur untuk proses disebut
retort ada dua macam retort, yaitu retort horisontal dan retort vertikal.
Contoh reaksi yang menjadi proses retorting :
ZnO + C -----> Zn + CO
ZnO + Co ----> Zn + CO2
CO2 + C ----- > 2 CO
Gambar 2.1.
RETORT HORISONTAL DAN VERTIKAL
Pada retort horisontal, sebelum memasukan umpan dan reduktor kondensernya dilepas terlebih
dahulu sehingga prosesnya tidak kontinyu. Sedangkan pada retort vertikal, pemasukan umpan
maupun pengeluaran produk dapat dilakukan secara kontinyu. Perbedaan antara retort horisontal
dengan retort vertikal dapat dilihat pada tabel 2.6.
Tabel 2.6.
Perbandingan retort horisontal dan vertikal
Uraian Horisontal Vertikal
1. Proses Tidak Kontinyu Kontinyu
2. Penggunaan tenaga Banyak Sedikit
3. Produksi Kecil Besar
4. Peralatan Memakan Banyak Tempat Lebih Praktis
Secara umum proses yang ada di tanur tiup diawali dari umpan yang dicampur dengan
coke/batubara diangkut oleh skip dibawa menuju bagian atas dari tanur tiup. Dibagian atas
masuknya umpan diatur oleh pintu (klep), yang fungsinya agar sewaktu umpan dimasukkan gas
dari dalam tanur tidak berhamburan. Mekanisme pemasukan umpan dapat dilihat pada pada
gambar 2.3.
Gambar 2.2.
Multiple Hearth Furnace
Gambar 2.3.
Mekanisme Masuknya Umpan pada Tanur Tiup
Pada tanur ada dua pintu yang disusun bertingkat. Sewaktu umpan dimasukkan posisi pintu
ditutup. Setelah umpan masuk semunya, maka pintu atas ditutup dan pintu bawah dibuka,
sehingga dengan pengaturan pintu ini maka gas tidak berhamburan.
Tanur tiup ada dua macam, yakni tanur tiup untuk peleburan besi dan untuk peleburan timbal
(timah hitam).
a. Iron Blast Furnace
Proses peleburan besi dengan menggunakan tanur tiup adalah bijih oksida yang direduksi dengan
karbon untuk mendapatkan metal. Sebagai raw material adalah bijih besi dengan kadar 50-60 %
Fe (misalnya hermatite, magnetite), ditambah dengan coke yang berfungsi sebagai bahan bakar
maupun sebagai reduktor, ditambah dengan flux sebagai bahan pembentuk slag (digunakan
dolomit atau batu gamping) dan dimasukan udara. Umpan ini akan mengalami proses dehidrasi
(pengurangan air karena menguap), kalsinasi, ada reaksi pembakaran, reduksi, pelelehan,
sehingga didapat besi wantah (pig iron), slag dan gas-gas hasil pembakaran.
Temperatur dan reaksi yang terjadi dalam tanur dapat dilihat pada gambar 2.4.
Gambar 2.4.
Temperatur dan reaksi dalam iron blast furnace
Gambaran hasil dari blast furnace (tanur tiup) adalah sebagai berikut :
Charge (ore + Coke + Flux) masuk lewat bagian atas tanur tiup. Sebagai umpan dapat juga berupa
slag yang masih berkadar tinggi maupun sinter. Pada mulanya umpan akan mengalami proses
penghilangan air, yaitu pada temperatur 50-200 0 C, kemudian turun kebawah akan mulai
mengalami gejala reaksi reduksi, yakni pada temperatur 450 0 C. Pada temperatur 800-10000 C
akan terjadi dekomposisi dari limestone pada temperatur > 1000 0 Celcius mengalami proses
peleburan reaksi sehingga diperoleh metal cair dan slag maupun gas dan debu.
Tabel 2.7.
Hasil blast furnace
Charge/Umpan Ib Product Ib
Iron Ore 4480 Pig Iron 2240
Coke 2180 slag 1340
Limestne 1120 gas 12.250
Oksigen 8600 Dust 220
Besi rongsokan (scrap iron) dapat ditambahkan yang berfungsi sebagai reduktor dengan reaksi :
PbO + Fe ---- > Pb + FeO
Dengan adanya penambahan scrap iron bearti penggunaan coke juga akan lebih sedikit hasil dari
tanur tiup untuk timbal ini berupa :
Slag
----------------------------
Matte
----------------------------
Speiss
----------------------------
Pb. Metal
Crude metal maupun lead bullion pada umumnya masih mengandung Au, Ag dengan pengotor
antimoni dll.
Speiss : merupakan artifisial dari Sb dan As yang biasanya bereaksi dengan Fe
Matte : adalah artificial sulfida yang biasanya mengandung tembaga maupun besi dengan
komposisi : x Cu2S. FeS.
Slag : merupaka hasil proses yang mempunyai senyawa oksida dan biasanya terletak dibagian
atas, mengingat berat jenisnya ringan.
Gambar 2.5.
Lead Blast Furnace
Karena Pb bersifat volatile, maka pada umumnya gas-gas hasil pembakaran dapat mengandung
Pb, maka perlakukannya harus hati-hati, yakni dengan jalan memasukan dalam alat penangkap
debu dan juga kalau masih dapat dikondensasikan pada temperatur tertentu sehingga Pb dapat
ditangkap. Pb akan melebur pada temperatur 8700 C, sedangkan unsur pembentuk slag akan
melebur pada temperatur 12000 C, dan slagnya sangat reaktif sehingga pada umumnya refractori
digunakan water jacket steel.
Perbedaan antara Lead dan Iron blast furnace adalah sebagai berikut :
CO2 atau CO dalam lead blast furnace lebih tinggi karena temperatur Lead furnace lebih kecil
dari temperatur Fe blast furnace
Kebutuhan coke lebih rendah bila dibandingkan dengan Fe blast furnace (suhu lebih rendah)
Pada lead blast furnace udara yang ditiupkan tidak perlu di preheated
Refractori lead blast furnace menggunakan water jacket steel
Gambar 2.6.
Reverberatory Furnace
BAB III. PROSES PIRO METALLURGI
Semua proses yang dilakukan pada temperatur tinggi ( > 500 0 C) dikatagorikan sebagai proses
metallurgi. Prinsip di dalam piro metallurgi, logam didapat melalui : berlangsungnya reaksi kimia
yang menghasilkan logam dari senyawanya, yang biasanya akan terbentuk dua fasa atau lebih,
sehingga logam yang dihasilkan dapat dipisahkan dari senyawa yang tidak dikehendaki.
Ada beberapa tahapan dalam metallurgi :
a. Para olahan/Preparasi phisk maupun kimia yang berlangsung dibawah titik lelahnya.
b. Ekstraksi logam, berlangsung pada temperatur tinggi disertai peleburan, penguapan untuk
menghasilkan logam.
c. Pemurnian : Hal ini dimaksudkan agar mudah dalam mengatur komposisi logam
Reaksi yang berlangsung dapat bermacam-macam, namun yang umum adalah reaksi oksidasi, reaksi
oksidasi, reaksi reduksi maupun reaksi netral. Pemisahan antara logam dengan senyawanya biasanya
dibantu dengan penambahan bahan imbuhan yang disebut Flux, yang berguna untuk mengikat
unsur/senyawa pengotor sehingga membentuk suatu masa yang terpisah dari logam utamanya yang
disebut slag/terak.
Untuk menentukan proses reduksi biasanya dicari harga energi bebas, dapat melalui diagram
Ellingham. Diagram elingham merupakan suatu diagram yang menggambarkan harga energi
bebas pembentukan oksida dari berbagai unsur logam sebagai fungsi temperatur. Didalam
diagram Ellingham, apabila harga energi bebas < 0, maka reaksi akan berlangsung spontan dan
suatu oksida dalam keadaan stabil. Apabila grafik perubahan energi bebas berada dibawah garis
energi bebas = 0, maka oksida logam akan stabil.
METALOTHERMIK
Merupakan proses peleburan reduksi suatu oksida logam dengan menggunakan logam lain sebagai
reduktor. Metoda ini dilakukan apabila logam yang direduksi sangat stabil, sehingga tidak dapat
direduksi oleh karbon, kecuali pada temperatur yang sangat tinggi atau oleh hidrogen. Demikian juga
untuk logam yang membentuk karbida, tidak mungkin dihasilkan dengan menggunakan reduktor
karbon. Kerugian cara ini adalah reduktornya relatif mahal.
Gambar 3.1.
Kestrabilan Metal Oksida
a. Pada T < Tp, grafik 2 MO dibawah M’O2 jadi pada selang ini MO lebih stabil
b. Pada Tp kedua oksida mempunyai harga PO2 kesetimbangan sama
c. Pada T > Tp, maka M’O2 lebih stabil dari pada
7500 F 1.8000 F 2.8000 F
MO Cu2O Cu2O PbO
SO2 PbO Cu2O
PbO NiO NiO
Oleh karena itu pada T < CO SO2 SnO2 Tp, M’O2 dapat direduksi
oleh M CoO SnO2 CoO
CO2 P2O5 SO2
T > Tp, MO dapat direduksi
H2O H2O P2O5
M’ SnO2 FeO H2O
FeO CO2 FeO
P2O5 ZnO CO2
Tabel 3.1. ZnO CO Cr2O3
Reduksi Terhadap Oksida Cr2O3 Cr2O3 MnO
MnO MnO V2O3
V2O3 V2O3 SiO2
SiO2 SiO2 CO
TiO2 TiO2 TiO2
Al2O3 Al2O3 MgO
Li2O Li2O Al2O3
MgO MgO Li2O
CaO CaO CaO
Elemen yang terletak dibawahnya dapat mereduksi oksida yang berada diatasnya, misalnya Mn dapat
mereduksi FeO pada temperatur 7500 F. Kecenderungan mereduksi menjadi besar bila jarak antara
reduktor dengan oksidanya semakin jauh.
Karbon pada temperatur rendah akan membentuk CO 2, pada temperatur tinggi membentuk CO
(merupakan reduktor effektif).
Pada umumnya proses reduksi dilakukan dalam keadaan leleh, dengan reaksi secara umum sebagai
berikut :
MO + CO ---- > M + CO2
Reduksi dengan Karbon padat reaksinya adalah sebagai berikut
MO + CO ---- > M + CO2
Gambar 3.2.
Diagram Ellingham
CC yang terbentuk dapat digunakan sebagai reduktor yang baik, sebab reduktor berupa gas akan lebih
baik dari pada reduktor berupa padatan, sebab gas lebih flesibel dan dengan cepat beraksi dengan
reaktan. Di dalam proses reduksi ini biasanya unsur pengotor juga ikut tereduksi dengan reaksi
sebagai berikut :
XO + CO --- > X + CO2
Hal ini terjadi tergantung pada kestabilan oksida XO terhadap MO. Semakin stabil XO maka proses
reduksi akan semakin baik, sebab MO akan mudah direduksi sehingga di dapat metal.
a. Peleburan Timbal
Ekstraksi timbal dilakukan terhadap umpan hasil pemanggangan sempurna (kalsin) yang
mempunyai reaksi :
PbS + 3/2 O2 ------ > PbO + SO2
Peleburan dilakukan dengan mengunakan tanur tegak yang berpanampang segi empat. Reduktor
yang bisa digunakan adalah kokas dan flux tertentu yang berguna untuk mengatur komposisi terak
(slag), hal ini dimaksudkan agar pemisah antara logam dengan pengotornya dapat berlangsung
dengan baik.
Pengaruh Fe tidak begitu menyulitkan, sebab FeO lebih stabil dari pada PbO.
Reaksi yang terjadi adalah :
PbO + CO ======Pb + CO2
Fe2O3 + CO ===== 2 FeO + CO2
FeO + CO ======= Fe + CO2
K. Sn (a. FeO)
------ = ------------------- = K. Sn-Fe
K. Fe (a. Fe) (a. SnO)
Perbedaan antara harga K. Fe dengan K. Sn tidak besar, maka K. Sn-Fe mendekati harga = 1
Apabila diinginkan perolehan logam Sn yang tinggi (hal ini berati bahwa SnO di dalam terak sedikit,
maka Fe dalam Sn akan tinggi, maka Sn sebagai SnO dalam terak juga akan tinggi, maka biasanya
dalam peleburan timah ini dilakukan secara bertahap.
Tahap I, dilakukan peleburan dengan mendapatkan timah kadar tinggi.
Tahap II, Slag yang masih banyak mengandung timah ditambah dengan scrap iron dilebur kembali
untuk mendapatkan Harhead alloy yang merupakan perpaduan antara Timah (80%) dengan besi (20-
%), yang mana hard head alloy ini dilebur kembali dalam reverberatory tahap I.
Reaksi yang terjadi adalah :
SnO2 + CO ===== SnO + CO2
SnO + CO ====== Sn + CO2
Batubara Konsentrat 72% Sn Batugamping
Reverberatory Furnace
Reverberatory Liquation
Furnace
boiling
Pure metal
dross
99,9 % Sn
Gambar 3.3.
Diagram Alir Peleburan Timah
Pada reaksi (2) dan (3), Zn yang terbentuk dalam keadaan uap sedangkan yang dominan terbentuk
adalah reaksi (3), mengingat bahwa CO merupakan reduktor yang lebih baik bila dibandingkan dengan
C.
Tanur yang digunakan disebut retort, dimana pemanasannya dilakukan dari luar tanur, sehingga
refraktori yang digunakan harus sebagai pengantar panas yang baik
Tahap pertama di dalam tanur retort akan terjadi reaksi Boudouard, yaitu reaksi antara CO 2 dengan C
menghasilkan 2 CO. Dengan demikian gas yang dihasilkan dari proses rotrorting ini merupakan
campuran uap Zn, gas CO, CO2 dalam jumlah kecil, perlu diperlu diperhatikan bahwa : semakin tinggi
temperatur, maka CO yang terbentuk akan semakin banyak, semakin tinggi tekan, maka CO semakin
rendah dan CO2 akan semakin dominan
Gambar 3.4.
Pengertian Reaksi Boudouard
Pada waktu proses pengumpanan, terjadi proses oksidasi dari logam pengotor, dengan reaksi sebagai
berikut :
2 Fe + O2 ------- > 2 FeO ΔH = -12.800 cal
2 FeO + Si ------> 2 Fe + SiO2 ΔH = -70.200 cal
FeO + Mn ------ > Fe + MnO ΔH = -26.800 Cal
Setelah SiO2 dan MnO menjadi slag dan dikeluarkan, maka karbon akan terbakar dengan reaksi
sebagai berikut :
2 C + O2 --- > 2 CO ΔH = -52.800 Cal
Dari CO ini bila diteruskan pembakarnnya akan terbentuk CO 2, hal ini ditandai dengan pada mulut
converter akan muncul api yang panjang. Apabila api ini turun bearti udara yang diberikan akan
berlebih dan metal yang terbentuk harus dituangkan. Converter terbuat dari lempengan baja yang
dilapisi dengan refraktori dari silika bricks sebab slag yang terbentuk adalah bersifat asam.
Pada proses pengubahan matte tembaga menjadi blister copper yang menggunakan alat “Pierce Smith
Converter”. Alat ini berbeda dengan bessemer converter yang posisinya tegak, karena Pierce Smith
Converter posisinya horisontal, dinding shell dilapisi dengan menggunakan magnesite brick. Tuyeres
ada disamping, sehingga kemungkinan tersumbat oleh logam yang membeku relatif jarang. (pada
Bessemer converter tuyere ada dibagian bawah, maka pada pengumpanan udara harus tetap dialirkan
agar tuyeres ini tidak tersumbat.
Pada Reaksi (1) diharapkan bahwa tidak semua ReS berubah menjadi FeO, sehingga pada reaksi (2)
FeS ini masih dapat beraksi dengan Cu2O mana kala Cu2O ikut teroksidasi menjadi Cu2O. Setelah
terbentuk Slag, maka dilakukan penuangan slag. Pada tahap pertama ini di dapatkan Cu 2 yang dikenal
sebagai “white metal”, diharapkan white metal ini jangan sampai ikut tertuang sewaktu penuangan
slag, sebab akan diproses selanjutnya dalam tahap II.
Hasil matte ini biasanya dilakukan converting, hasilnya tidak langsung logam murni tetapi masih
berupa matte dengan kandungan nikel tinggi, yang biasanya disebut nikel matte.
Gambar 3.7
Flash Furnace