Anda di halaman 1dari 7

BAB III

TEORI DASAR

III.1 Pengertian Batubara

Batubara merupakan padatan yang sangat heterogen dengan struktur kimia

yang kompleks yang terdiri dari unsur-unsur tumbuh-tumbuhan yang telah tertimbun

berjuta tahun yang lalu, dalam batubara terdapat unsur-unsur karbon, hidrogen dan

oksigen sebagai unsur utama serta belerang dan nitrogen sebagai unsur tambahan,

secara umum pengertian dari batubara adalah suatu batuan sedimen yang dapat

terbakar, berasal dari tumbuhan, berwarna coklat sampai hitam yang sejak

pengendapannya terkena proses fisika dan kimia sera menghasilkan pengkayaan

kandungan karbon dimana mengandung karbon 50% dalam berat atau 70% dalam

volume (Totok Darijanto, 1999). Sedangkan Wood (1985) mendefinisikan batubara

sebagai batuan yang mudah terbakar yang mengandung 50% dalam berat karbon atau

lebih dari 70% dalam volume termasuk kandungan air bawaan.

Dalam pemanfaatannya, batubara harus mempunyai kualitas tertentu agar

memenuhi persyaratan penggunaan secara umum (misalnya untuk pembakaran,

gasifikasi, liquifaksi dan lain-lain) dan sebaiknya akrab dengan lingkungan. Analisis

batubara yang biasa ginakan untuk menunjukkan kualitasnya, dapat dikelompokkan

menjadi tiga kategori utama, yaitu :

10
11

1. Analisis proksimat, seperti moisture, kadar abu (ash), zat terbang (volatile

matter) dan karbon tertambat (fixed carbon) dengan melalui suatu perhitungan

(ASTM D, 3172).

2. Analisis ultimate, seperti penentuan kadar unsur karbon (C), hydrogen (H),

Oksigen (O), Nitrogen (N), total sulfur (S) dan chlorine.

3. Beberapa analisis lainnya, seperti nilai kalor (CV), free swelling index,

hardgrove grindability index, analisis ukuran, ash fushion temperature plastic

properties dan lain sebagainya.

III.2. Analisis Proksimat

Analisis proksimat dikembangkan secara baik dan efektif untuk menentukan

distribusi produkta yang didapatkan dalam pemanasan batubara dalam kondisi

strandar. Produkta hasil dari analisis proksimat adalah merupakan dasar dari

karakterisasi batubara yang berhubungan dengan pemanfaatannya.

III.2.1. Moisture (Kandungan Air)

Moisture adalah kandungan air yang terdapat dalam batubara, baik air bawaan

(inherent moisture) maupun kandungan air bebas. Kandungan air dalam batubara dan

pengukuran secara kuantitatif adalah merupakan masalah yang cukup kompleks,

dikarenakan air yang hadir dalam batubara lebih dari satu bentuk.
12

Moisture pada dasarnya masih terdiri dari empat bagian, yaitu inherent

moisture, surface moisture, hydration water of mineral matter dan decomposition

water.

III.2.2. Volatile Matter (Kandungan Zat Terbang)

Kandungan volatile matter sangat mempengaruhi kesemprnaan pembakaran dan

intensitas nyala api kesempurnaan pembakaran ditentukan oleh :

Fixed
Fuel Ratio =
Volatile Matter

Semakin tinggi volatil matter maka carbon yang tidak terbakar akan semakin

banyak

Hasil dari volatile matter adalah terdiri dari sejumlah gas yang dilepaskan

pada saat batubara dipanskan, seperti hydrogen, carbon monoksida, methane dan asap

yang dapat terkondensasi seperti arang.

Batubara yang mempunyai kandungan volatile yang lebih tinggi akan

memberikan volume yang lebih tinggi dari material yang combustible yang akan

menyebabkan mudah dalam penyalaan, stabilitas nyala api yang baik dan memiliki

temperature yang lebih tinggi dan lebih cepat mengalami pemadaman pada residu

yang terbakar. Sedangkan, pada batubara yang kandungan volatile matternya lebih

rendah akan menyebabkan penyalaan dan stabilitas api yang lebih sulit.
13

III.2.3. Fixed Carbon (Karbon Tertambat)

Kandungan karbon tertambat/tetap adalah material karbon yang ditemukan

dalam residu batubara, setelah kandungan volatile matternya dilepaskan. Fixed

carbon tidak dapat ditentukan secara langsung dengan suatu analisis laboratoirum,

akan tetapi dengan cara perhitungan dalam kondisi air dry basis (ADB), yaitu dengan

rumus khusus :

FC = 100% - (Moisture (%) + ash ((%) + volatile matter (%)).

III.2.4.Ash Content (KandunganAbu)

Abu adalah residu yang berasal dari mineral matter batubara setelah batubara

mengalami proses pembakaran (Yarza, 1978). Abu secara kuantitatif dan kualitatif

berbeda dengan bahan asalnya, yaitu mineral matter yang telah mengalami beberapa

perubahan, seperti hilangnya air dari mineral silica, hilangnya karbondioksida

(CO2( dari mineral golongan karbonat dan oksidasi dari oksida.

Hasil abu atau ash yield ditentukan pada saat batubara dianalisis, yang dapat

didefenisikan sebagai residu dari material batubara yang tidak terbakar setelah

batubara mengalami proses pembakaran dan seluruh konstituen volatile matter yang

telah dikeluarkan.

Abu yang terbentuk dalam batubara dapat berasal dengan dua cara, yaitu

inherent mineral matter dan extraneous mineral matter. Untuk extraneous mineral
14

matter biasanya terdiri dari unsu lempungan (clay), calsite, pyrite, marchasite,

chlorite, carbonates dan lain-lain. Sedngkan inherent mineral matter termasuk elemen

anorganik yang bergabung dengan unsur organik dalam batubara yang terbentuk

bersamaan (overgrowth) dengan terbentuknya batubara itu sendiri.

Ada beberapa formula yang dipakai untuk menentukan mineral matter

batubara, diantaranya adalah Formula Par.

% mineral matter = 1.08 A + 0.55 S

dimana : A = hasil abu abtubara adb (%)

S = total sulfur batubara adb (%)

III.3. Analisis Ultimate

Sistem klasifikasi untuk batubara sangatlah bervariasi, baik analisis

proksimate maupun analisis ultimate. Analisis ultimate secara khusus merupakan

suatu keserasian absolut untuk suatu batubara tertentu untuk proses pembakaran atau

atau untuk kegiatan pemansasan batubara.

Analisis ultimate (ASTM D3176) menunjukkan komposisi batubara,

khususnya untuk persentase karbon, hydrogen, oxygen, nitrogen dan sulfur

berdasarkan daerah pembentukannya.


15

III.3.1. Karbon dan Hidrogen

Karbon dan hydrogen mempunyai nilai 70-95% dan 2-6% (daf) yang secara

respektif akan menunjukkan kandungan organic batubara dan juga merupakan hal

yang paling penting dalam mendeterminasi batubara. Metode yang digunakan untuk

mendeterminasi kedua unsur ini melalui proses pembakaran pada suatu sistem

tertutup dan kemudian mendeterminasi produk hasil pembakaran tersebut (CO 2/H2O)

oleh penyerapan (ASTM D3178; ISO 609; ISO 625).

III.3.2. Nitrogen

Nitrogen dalam batubara didasarkan pada prinsip dekomposisi, oksidasi dan

reduksi. Konsep dekomposisi diperkenalkan pertama kali oleh Kjedahl pada tahun

1883 yang menjelaskan bahwa kandungan nitrogen yang terdapat dalam batubara

yang dihasilkan oleh asam sulfur panas dengan perubahan nitrogen sebagai

ammonium sulfate. Metode Kjeldahl terdiri atas pemanasan dari batubara yang telah

dihancurkan dengan konsentrasi asam sulfur yang mengandung potassium sulfate dan

katalis yang cukup untuk memperkecil waktu penghancuran..

III.3.3. Sulfur

Sulfur dijumpai dalam batubara baik itu sebagai sulfur organik dalam jumlah

besar ataupun sebagai inorganik sulfur (pyrite atau marcasite dan sulfate) (Kuhn,
16

1977). Nilai dari organic sulfur biasanya <3% w/w dari batubara, akan tetapi nilai

yang lebih besar dari sulfur (di atas 11%) sudah pernah dijumpai.

Sulfur merupakan suatu pertimbangan yang sangat penting dalam pengelolaan

dan pemanfaatan batubara, oleh karena itu begitu banyak metode-metode yang

digunakan untuk mendeterminasi kandungan sulfur dalam batubara.

Dalam banyak kasus, proporsi dari sulfur organic dapat diperoleh dengan cara

mensubstraksi inorganic sulfur (sulfate plus pyrite sulfur) dari kandungan sulfur total

(ASTM D2492; ISO 157) untuk membedakan antara jenis-jenis sulfur yang mungkin

dijumpai dalam suatu seam batubara.

III.3.4. Oksigen

Oksigen dapat dihasilkan melalui substraksi dari jumlah keseluruhan

komponen-komponen lain yang dihasilkan dari analisis ultimate (ASTM D3176), dan

dapat diformulasikan :

% Oksigen = 100 – (%C + %H + %N + %Sorganik)

oksigen dalam batubara didtereminasikan sebagai deduksi dari penambahan kuantitas

oksigen dari total residual oksigen oksigen yang dihasilkan melalui proses oksidasi.

Anda mungkin juga menyukai