Anda di halaman 1dari 24

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN TB PARU DAN COPD

DOSEN PEMBIMBING :

Ns. Netti, S.Kep, M.Pd

DISUSUN OLEH :
ZAHRATUL JANNAH
193110200
KELAS: 2B

D-III KEPERAWATAN PADANG


POLTEKKES KEMENKES PADANG
2020
TB. PARU

A. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri
Mycobakterium tuberculosi yang menyerang paru-paru dan bagian tubuh lainnya. Bakteri
ini dapat masuk melalui saluran pernapasan dan saluran pencernaan serta luka terbuka
pada kulit. Tetapi paling banyak melalui inhalasi droplet yang berasal dari orang yang
terinfeksi bakteri tersebut.
TB dapat menyebar hampir ke setiap bagian tubuh, termasuk meninges, ginjal,
tulang, dan nodus limfe. Infeksi awal biasanya terjadi dalam 2 sampai 10 minggu setelah
pajanan. Pasien kemudian dapat membentuk penyakit aktif karena respons sistem imun
menurun atau tidak aekuat. Proses aktif dapat berlangsung lama dan karakteristikkan
oleh periode remisi yang panjang ketika penyakit dihentikan, hanya untuk dilanjutkan
dengan periode aktivitas yang diperbarui.
TB ditularkan ketika seorang penderita penyakit paru aktif mengeluarkan
organisme. Individu yang rentan menghirup droplet dan menjadi terinfeksi. Bakteria
ditransmisikan ke alveoli dan memperbanyak diri. Reaksi inflamasi menghasilkan
eksudat di alveoli dan bronkopneumonia, granuloma, dan jaringan fibrosa. Awitan
biasanya mendadak.
Klasifikasi tuberkulosis menurut sistem lama :
1. Pembagian secara patologis
- Tuberkolosis primer (childhood tuberkulosis)
- Tuberkolusis post primer (adult tuberkulosis)
2. Pembagian secara aktivitas radiologis Tuberkulosis paru (Koch Pulmonum) aktif,
non aktif dan quiescent (bentuk aktif yang menyembuh).
3. Pembagian secara radiologis (lias lesi)
- Tuberkolosis minimal
- Moderately advance tuberkolosis
- Far advanced tuberkulosis
Klasifikasi menurut American Thoracic Society :
1. Kategori 0 : Tidak pernah terpajan, dan tidak terinfeksi, riwayat kontak negative, tes
tuberculin negative.
2. Kategori 1 : Terpajan tuberkulosis, tapi tidak terbukti ada infeksi. Di sini riwayat
kontak positif, tes tuberculin negative.
3. Kategori 2 : Terinfeksi tuberkolusis, tetapi tidak sakit. Tes tuberculin positif,
radiologi dan sputum negative.
4. Kategori 3 : Terinfeksi tuberculosis dan sakit.
Klasifikasi di Indonesia dipakai berdasarkan kelainan klinis, radiologis, dan makro
biologis :
1. Tuberkolusis paru
2. Bekas tuberkolusis paru
3. Tuberkolusis paru tersangka, yang terbagi dalam :
- TB tersangka yang diobati : sputum BTA (-), tetapi tanda-tanda lain positif.
- TB tersangka yang tidak diobati : sputum BTA negative dan tanda-tanda lain
juga meragukan.
Klasifikasi menurut WHO 1991 TB dibagi dalam 4 kategori yaitu : (Sudoyo Aru)
1. Kategori 1, ditujukan terhadap :
- Kasus batu dengan sputum positif
- Kasus baru dengan bentuk TB berat
2. Kategori 2, ditujukan terhadap :
- Kasus kambuh
- Kasus gagal dengan sputum BTA positif
3. Kategori 3, ditujukan terhadap :
- Kasus BTA negative dengan kelainan paru yang luas
- Kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori
4. Kategori 4, ditujukan terhadap : TB kronik
B. Etiologi
Penyebab tuberkolosis adalah Mycobacterium tuberculosis. Basil ini tidak
berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari, dan sinar
ultraviolet. Ada dua macam mycobacteria tuberkulosis yaitu Tipe Human dan Tipe
Bovin. Basil Tipe Bovin berada dalam susu sapi yang menderita mastitis tuberkolosis
usus. Basil Tipe Human bisa berada di bercak ludah (droplet) dan di udara yang berasal
dari penderita TBC, dan orang yang terkena rentan terinfeksi bila menghirupnya. (Wim
De Jong)
Setelah organism terinhalasi, dan masuk paru-paru bakteri dapat bertahan hidup
dan menyebar ke nodus limfatikus lokal. Penyebaran melalui aliran darah ini dapat
menyebabkan TB pada organ lain, dimana infeksi laten dapat bertahan sampai bertahun-
tahun. (Patrick Davey)
Dalam perjalanan penyakitnya terdapat 4 fase : (Wim de Jong)
1. Fase 1 (Fase Tuberculosis Primer)
Masuk ke dalam paru dan berkembang biak tanpa menimbulkan reaksi pertahanan
tubuh.
2. Fase 2
3. Fase 3 (Fase Laten) : fase dengan kuman yang tidur (bertahun-tahun/seumur hidup)
dan reaktifitas jika terjadi perubahan keseimbangan daya tahan tubuh, dan bisa
terdapat di tulang panjang, vertebra, tuba fallopi, otak kelenjar limf hilus, leher dan
ginjal.
4. Fase 4 : dapat sembuh tanpa cacat atau sebaliknya, juga dapat menyebar ke organ
yang lain dan yang kedua ke ginjal setelah paru.
C. Faktor Resiko
1. Kontak dekat dengan seseorang yang menderita TB aktif.
2. Status gangguan imun (mis., lansia, kanker, terapi kortikosteroi, dan HIV).
3. Penggunaan obat injeksi dan alkoholisme.
4. Masyarakat yang kurang mendapat layanan kesehatan yang memadai (mis.,
gelandangan atau penduduk miskin, kalangan minoritas, anak-anak, dan dewasa
muda).
5. Kondisi medis yang sudah ada, termasuk diabetes, gagal ginjal kronis, silikosis, dan
malnutrisi.
6. Imigran dari negara dengan insidensi TB yang tinggi (mis., Haiti, Asia tenggara).
7. Institusionalisasi (mis., fasilitas perawatan jangka panjang, penjara).
8. Tinggal di lingkungan padat penduduk dan di bawah standar.
9. Pekerjaan (mis., tenaga kesehatan, terutama yang melakukan aktivitas beresiko
tinggi).
D. Manifestasi Klinis
1. Demam 40-41° C, serta ada batuk/batuk darah
2. Sesak napas dan nyeri dada
3. Malaise, keringat malam
4. Suara khas pada perkusi dada, bunyi dada
5. Peningkatan sel darah putih dengan dominasi limfosit
6. Pada anak
- Berkurangnya BB 2 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas atau gagal
tumbuh.
- Demam tanpa sebab jelas, terutama jika berlanjut sampai 2 minggu.
- Batuk kronik ≥ 3 minggu dengan atau tanpa wheeze.
- Riwayat kontak dengan pasien TB paru dewasa.
System skoring gejala dan pemeriksaan penunjang TB anak
Parameter 0 1 2 3 Skor
Kontak dengan Tidak Laporan keluarga, Kontak dengan
pasien TB jelas kontak dengan pasien BTA
pasien BTA negative positif
atau tidak tahu, atau
BTA tidak jelas.
Uji tuberkulin Negative Positif ( ≥ 10
mm, atau ≥ 5
mm, keadaan
imunosupresi
BB/keadaan gizi Gizi kurang : Gizi buruk : BB/TB
(dengan KMS atau BB/TB < 90% < 70% atau BB/U <
table) atau BB/U < 60%
80%
Demam tanpa ≥ 2 minggu
sebab jelas
Batuk ≥ 3 minggu
Pembesaran ≥ 1 cm
kelenjar limfe koli, Jml ≥ 1, tidak
aksila, inguinal nyeri
Pembengkakan Ada
tulang/sendipangg pembengkakan
ul, lutu, falang
Foto dada Normal/tid Sugestif TB
ak jelas
Jumlah skor
Sumber : Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di RS
Catatan :
- Diagnosa dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter
- Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat
langsung didiagnosis tuberkulosis
- Berat badan dinilai saat pasien datang
- Demam dan batuk tidak respon terhadap terapi sesuai baku Puskesmas
- Foto dada bukan alat diagnostik utama pada TB anak
- Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah
penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak
- Anak dengan TB jika jumlah skor ≥ 6 (skor maksimal 13)
- Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke rumah sakit untuk evaluasi
lebih lanjut
Tabel frekuensi gejala dan tanda TB paru sesuai kelompok umur
Kelompok umur Bayi Anak Akil balik
Gejala
- Demam Sering Jarang Sering
- Keringat malam Sangat jarang Sangat jarang Jarang
- Batuk Sering Sering Sering
- Batuk produktif Sangat jarang Sangat jarang Sering
- Hemoptitis Tidak pernah Sangat jarang Sangat jarang
- Dispnu Sering Sangat jarang Sangat jarang
Tanda
- Ronki basah Sering Jarang Sangat jarang
- Mengi Sering Jarang Jarang
- Fremitus Sangat jarang Sangat jarang Jarang
- Perkusi pekak Sangat jarang Sangat jarang Jarang
- Suara napas berkurang Sering Sangat jarang jarang
Pemeriksaan penunjang
Menurut Mansyur, dkk(1999) pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada klien dengan
tuberkulosis paru yaitu :
1. Laboratorium darah rutin : LED Normal atau meningkat, limfositosis.
2. Pemeriksaan sputum BTA : untuk memastikan diagnosis TB paru, namun
pemeriksaan ini tidak spesifik karena hanya 30-70% pasien yang dapat didiagnosis
berdasarkan pemeriksaan ini.
3. Tes PAP (Peroksidase Anti Peroksidase)
Merupakan uji serologi immunoperoxidase memakai alat histogen staining untuk
menentukan adanya igG spesifik terhadap basil TB .
4. Tes Mantoux/Tuberculin
5. Teknik Polymerase Chain Reaction
Deteksi DNA kuman secara spesifik melalui amplifikasi dalam meskipun hanya satu
mikroorganisme dalam spesimen juga dapat mendeteksi adanya resistensi.
6. Becton Dickinson diagnostic instrument Sistem (BACTEC)
Deteksi growth indeks berdasarkan CO2 yang dihasilkan dari metabolisme asam
lemak oleh mikobakterium tuberculosis.
7. MYCODOT
Deteksi antibodi memakai antigen liporabinomannan yang direkatkan pada suatu
alat berbentuk seperti sisir plastic, kemudian dicelupkan dalam jumlah memadai
memakai warna sisir akan berubah.
8. Pemeriksaan radiologi : Rontgen thorax Pa dan lateral.
Gambaran foto thorax yang menunjang diagnosis TB yaitu :
a) Bayangan Lesi terletak di lapangan paru atas atau segmen apikal lobus bawah.
b) Bayangan berwarna atau bacak.
c) Adanya kavitas, tunggal atau ganda.
d) Kelainan bilateral terutama di lapangan atas paru.
e) Adanya klasifikasi.
f) Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian.
g) Bayangan millie.
Penatalaksanaan
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan (4 atau 7 bulan). Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan
tambahan.
1. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
a) Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah Rifampisin, INH, Pirazinamid.
Streptomisin dan Ethambutol.
b) Kombinasi dosis tetap, terdiri dari :
i. 4 obat anti tuberkulosis dalam satu tablet yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid
75 mg, pyrazinamide 400 mg dan ethambutol 275 mg
ii. 3 obat anti tuberkulosis dalam satu tablet yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid
75 mg dan pyrazinamide 400 mg
iii. Kombinasi dosis tetap rekomendasi WHO untuk kombinasi dosis tetap,
penderita hanya minum obat 3 sampai 4 tablet sehari selama fase intensif
sedangkan fase lanjutan dapat menggunakan kombinasi dosis 2 obat anti
tuberkulosis seperti yang selama ini telah digunakan sesuai dengan
pedoman pengobatan.
c) Jenis obat tambahan lainnya
i. Kanamisin
ii. Kuinolon
iii. obat lain masih dalam penelitian; makrolid, amoksisilin + asam klavulanat.
iv. Derivat rifampisin dan INH
Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun, sebagian kecil dapat mengalami efek samping. Oleh
karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat
penting dilakukan selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat
ringan atau berat, bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat
sistematik maka pemberian OAT dapat dilanjutkan. Efek samping OAT :
Efek sambing ringan dari OAT
Efek samping Penyebab Penanganan
Tidak nafsu makan, mual, sakit Rifampisin Obat diminum malam sebelum
perut tidur
Nyeri sendi Pyrazinamid Beri aspirin/allopurinol
Kesemutan s/d rasa terbakar di INH Beri vitamin B6 (piridoksin) 100
kaki mg perhari
Warna kemerahan pada air seni Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu diberi
apa-apa
Efek samping berat dari OAT
Efek samping Penyebab Penanganan
Gatal dan kemerahan pd Semua jenis Beri antihistamin & dievaluasi
kulit OAT ketat
Tuli Streptomisin Sterptomisin dihentikan
Gangguan keseimbangan Streptomisn Streptomisin dihentikan
Ikterik Hamoir semua Hentikan semua OAT sampai
OAT ikterik menghilang
Bingung dan muntah-muntah Hampir semua Hentikan semua OAT & lakukan
obat uji fungsi hati
Gangguan penglihatan Ethambutanol Hentikan ethambutanol
Purpura dan renjatan (syok) Rifampisin Hentikan rifampisin

2. Panduan Obat Anti Tuberkulosis


Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi :
a) TB paru atau kasus baru, BTA positif atau lesi luas
Paduan obat yang diberikan 2 RHZE / 4 RH
Alternatif : 2 RHZE / 4 R3H3 atau (program P2TB) 2 RHZE / 6 HE
Paduan ini dianjurkan untuk :
i. TB paru BTA (+), kasus baru
ii. TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik Lesi luas
iii. TB diluar paru kasus berat.
Pengobatan fase lanjutan, bila diperlukan dapat diberikan selama 7 bulan
dengan paduan 2 RHZE / 7 RH, dan alternatif 2 RHZE / 7 R3H3, seperti pada
keadaan :
i. TB dengan lesi luas
ii. Disertai penyakit komorbid (diabetes melitus)
iii. Pemakaian obat imunosupresI atau kortikosteroid
iv. TB kasus berat
Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan
hasil uji resistensi
b) TB paru kasus baru BTA negatif
Paduan obat yang diberikan : 2 RHZ / 4 RH
Alternatif 2 RHZE / 4R3H3 atau 6 RHE
Paduan ini dianjurkan untuk :
i. TB paru BTA negatif dengan gambaran radiologi lesi minimal
ii. TB diluar paru kasus ringan
iii. TB paru kasus kambuh.
Pada TB paru kasus kambuh minimal menggunakan 4 macam OAT pada
fase intensif selama 3 bulan. Lama pengobatan fase lanjutan 6 bulan atau
lebih lama dari pengobatan sebelumnya.
c) TB paru kasus gagal pengobatan
Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi dengan lama pengobatan
minimal selama 1 sampai 2 tahun.
d) TB paru kasus lalai berobat
Penderita TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai
dengan kriteria sebagai berikut :
i. Penderita yang menghentikan pengobatan nya < 2 minggu, pengobatan oat
dianjurkan sesuai jadwal.
ii. Penderita menghentikan pengobatannya ≥ 2 minggu.
iii. Berobat ≥ 4 bulan, BTA negatif dan klinik, radiologi negatif, pengobatan
oat stop
iv. Berobat > 4 bulan, BTA positif pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.
v. Berobat < 4 bulan, BTA positif maka pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang sama.
vi. Berobat > 4 bulan berhenti berobat > 1 bulan, BTA negatif, akan tetapi
klinik dan atau radiologik positif maka pengobatan dimulai dari awal
dengan paduan obat yang sama
vii. Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 2 - 4 Minggu pengobatan
diteruskan kembali sesuai jadwal.
e) TB paru kasus kronik
i. Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi
berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil
uji resistensi ditambah dengan obat lain seperti kuinolon, beta-laktam,
makroid.
ii. Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup. Pertimbangkan
pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan
iii. Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru.
3. Pengobatan suportif atau simtomatik
Pengobatan yang diberikan kepada penderita TB perlu diperhatikan keadaan
klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, dapat rawat jalan.
Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau supportive/simtomatik untuk
meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala / keluhan.
a) Penderita rawat jalan
i. Makan makanan yang bergizi
ii. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas
iii. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak nafas
atau keluhan lain.
b) Penderita rawat inap
i. TB paru disertai keadaan atau komplikasi sebagai berikut yaitu batuk darah
keadaan umum buruk, pneumotoraks, empiema, efusi pleura masif atau
bilateral, sesak nafas berat (bukan karena efusi pleura).
ii. TB diluar paru yang mengancam jiwa : TB paru milier, Meningitis TB..
4. Terapi pembedahan
a) Indikasi mutlak
i. Semua penderita yang telah mendapat OAT adekuat tetapi dahak tetap
positif
ii. Penderita batuk darah yang masih tidak dapat diatasi dengan cara
konservatif
iii. Penderita dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat
diatasi secara konservatif
b) Indikasi relatif
i. Penderita dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
ii. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
iii. Sisa kaviti yang menetap.
5. Tindakan invasif (selain pembedahan)
a. Bronkospi
b. punksi pleura
c. Pemasangan WSD
6. Kriteria sembuh
a) BTA mikroskopik negatif 2 kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan)
serta telah mendapatkan pengobatan yang adekuat.
b) Pada foto toraks, gambaran radiologis tetap sama atau perbaikan.
c) Bila ada fasilitas biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif.
E. Patofisiologi
Setelah seseorang menghirup Mycobakterium Tuberkolosis, kemudiam masuk
melalui mukosiliar saluran pernafasan, akhirnya basil TBC sampai ke alveoli (paru),
kuman mengalami multiplikasi di dalam paru-paru disebut dengan Focus Ghon, melalui
kelenjar limfe basil mencapai kelenjar limfe hilus. Focus Ghon dan limfe denopati hilus
membentuk Kompleks Primer. Melalui kompleks Primer inilah basil dapat menyebar
melalui pembulih darah samapi keseluruh tubuh.
Perjalanan penyakit selanjutnya ditentukan oleh banyaknya basil TBC dan
kemampuan daya tahan tubuh seseorang, kebanyakan respon imun tubuh dapat
menghentikan multiplikasi kuman, namun sebaqgian kecil basil TBC menjadi kuman
Dorman. Kemudian kuman tersebut menyebar kejaringan sekitar, penyebaran secara
Bronchogen keparu-paru sebelahnya, penyebaran secara hematogen dan limfogen ke
organ lain seperti; tulang, ginjal, otak.
Terjadi setelah periode beberapa bulan atau tahun setelah infeksi primer,
reaktivasi kuman Dorman pada jaringan setelah mengalam multiplikasi terjadi akibat
daya tahan tubuh yang menurun/lemah. Reinfeksi dapat terjadi apabila; ada sumber
infeksi, julmlah basil cukup, virulensi kuman tinggi dan daya tahan tubuh menurun.
F. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian dam Metode Diagnostik
Batuk lebih dari 3 minggu, berdahak, kadang batuk darah, nyeri dada, sesak nafas,
demam keringat malam hari, lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
riwayat paparan TBC, riwayat vaksinasi. Suara nafas bronchial, ronchi basah,
gerakan nafas tertinggal, perkusi redup.
a. Uji kulit TB (UJI mantoux); tes QuantilFERON-TB Gold (QFT).
b. Foto ronsen dada.
c. Apusan basilus tahan asam.
d. Kultur sputum.
2. Diagnosa dan Intervensi
a. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi yang ada,
kerbatasan kognitif atau salah interpretasi.
Tujuan : Pasien memahami proses penyakit dan kebutuhan pengobatan dirinya.
Intervensi :
1) Kaji pengetahuan tentang penyakitnya, identifikasi salah persepsi dan reaksi
emosi.
2) Kaji kemampuan dan perhatian untuk belajar, tingkat perkembangan dan
hambatan untuk belajar.
3) Identifikasi support system termasuk orang lain yang berperan.
4) Ciptakan hubungan saling percaya antara pasien-perawat dqan lainya.
5) Ajarkan tentang TBC dan penatalaksanaannya meliputi :
a) Sifat penyakit dan penyebaranya.
b) Tujuan pengobatan dan prosedur control.
c) Pencegahan penyakit ke orang lain.
d) Pentingnya memelihara kesehatan dengan diet TKTP, latihan dan
istirahat yang teratur, hindari merokok.
e) Nama obat, dosis, tujuan dan efek samping dari masing-masing obat.
f) Minum cairan 2,5 – 3 liter tiap hari.
g) Segera lapor ke dokter bila ada, nyeri dada, batuk darah, kesulitan
bernafas, penurunan penglihatan, penurunan pendengaran.
6) Dokumentasikan seluruh pengajaran dan hasilnya.
b. Ketidakefektifan penatalksanaan terapi obat berhubungan dengan
ketidakmampuan mengelola penatalaksanaan pengobatan yang cukup kompleks
dan lama.
Tujuan : Klien mendapatkan program pengobatan yang memadai dan paripurna.
Intervensi :
1) Kaji kemampuan perawatan diri klien dan adanya support sistem.
2) Kaji pengetahuan dan penger-tian klien terhadap penyakit, komplikasi,
penatalaksaan dan resiko yang lain, bila perlu berikan pengetahuan
tambahan.
3) Kolaborasi dengan keluarga atau lainnya untuk mengiden-tifikasi hambatan
pengobatan.
4) Berikan instruksi secara tertulis atau verbal dengan jelas tentang pemberian
obat dan caranya.
5) Rujuk klien ke pelayanan kese-hatan masyarakat untuk mem-berikan
pengobatan lanjutan.
c. Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan sifat basil mikobakterium
tuberkulosa yang tahan hidup setelah disekresikan.
Tujuan :
1) Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko
penyebaran infeksi.
2) Melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang
aman.
Intervensi :
1) Kaji patologi penyakit (fase aktif atau bta (+)) dan potensial penyebaran
infeksi melalui batuk, bersin, meludah, bicara.
2) Identifikasi orang lain yang beresiko tertular : anggota keluarga, sahabat.
3) Anjurkan untuk batuk/bersin dengan menutup mulut/hidung dengan tissue
yang dissposible.
4) Buang tissue bekas tersebut pada tempat yang layak.
5) Anjurkan untuk meludah atau mengeluarkan dahak pada wadah yg telah
diberikan desinfektan.
6) Kaji kontrol penyebaran infeksi, gunakan masker atau isolasi pernafasan.
7) Identifikasi faktor resiko infeksi berulang seperti status nutrisi, adanya dm,
penggunaan kortikosteroid, hiv, kanker dsb.
8) Anjurkan untuk pemeriksaan dahak ulang sesuai anjuran.
9) Kolaborasi pemeberian pengobatan OAT(obat anti tbc).
d. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan proses infeksi paru.
Tujuan : Klien memperlihatkan RR dalam batas normal dan tidak melaporkan
adanya sesak nafas.
Intervensi :
1) Kaji RR dan kenyamanan untuk bernafas.
2) Auskultasi suara nafas.
3) Kumpulkan spesimen sputum untuk pemeriksaan bta/kultur, observasi
warna, jumlah dan konsistensi sputum.
4) Rencanakan aktivitas klien yang diikuti periode istirahat.
5) Anjurkan cukup cairan bila tidak ada kontra indikasi.
6) Laksnakan program pengobatan.
e. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sekret kental, upaya
batuk buruk, kelemahan.
Tujuan : Jalan nafas klien paten, mengeluarkan sekret tanpa bantuan,
menunjukkan perilaku untuk memperbaiki/mempertahankan jalan nafas,
berpartisipasi dalam program pengobatan.
Intervensi :
1) Kaji fungsi pernafasan : RR, kedalaman pernafasan dan penggunaan otot
bantu nafas.
2) Kaji kemampuan untuk batuk efektif.
3) Ajarkan batuk efektif.
4) Posisi semi fowler tinggi.
5) Bersihkan sekret dari mulut, bila perlu lakukan penghisapan.
6) Berikan cairan sedikitnya 2500 ml per hari.
7) Kolaborasi pemberian mukolitik, bronkhodilator.
f. Gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia,
sering batuk, dispnea.
Tujuan : Berat badan klien menuju BB ideal, perubahan pola hidup untuk
mempertahankan/meningkatkan BB ideal.
Intervensi :
1) Kaji status nutrisi pasien secara periodik.
2) Berikan diet TKTP.
3) Anjurkan untuk membawa makanan dari rumah bila tidak nafsu makan dari
RS.
4) Anjurkan makan sedikit-sedikit tetapi sering.
5) Berikan perawatan mulut sebelum dan sesudah makan.
6) Tingkatkan nafsu makan klien dengan : Ruangan bebas bau yang tidak
sedap, Atur jadwal tindakan perawatan dengan jam makan, Sediakan menu
yang menarik.
COPD/PPOK
(Chronic Obstructive Pulmonary Disease/ Penyakit Paru Obstruksi Kronik)

A. Definisi
PPOK/COPD adalah suatu kondisi dimana aliran udara pada paru tersumbat
secara terus menerus. Proses penyakit ini seringkali kombinasi dari 2 atau 3 kondisi
berikut ini (bronkhitis kronis, emfisema, asthma) dengan suatu penyebab primer dan
yang lain adalah komplikasi dari penyakit primer. (Enggram, B. 1996)
COPD/PPOK adalah penyakit yang dicirikan oleh keterbatasan aliran udara yang
tidak dapat pulih sepenuhnya. Keterbatasan aliran udara biasanya bersifat progresif dan
dikaitkan dengan respon inflamasi si paru yang abnormal terhadap partikel atau gas
berbahaya, yang menyebabkan penyempitan jalan nafas, hipersekresi mukus, dan
perubahan pada sistem pembuluh darah paru. Penyakit lain seperti kistik Fibrosis,
bronkiektasis, dan asma yang sebelumnya diklasifikasikan ke dalam jenis COPD ini
diklasifikasikan sebagai gangguan paru kronis, meskipun gejala dapat tumpang tindih
dengan yang lain. Merokok sigaret, polusi udara dan pajanan di tempat kerja
(batubara,katun,biji-bijian padi) merupakan faktor risiko penting yang menyebabkan
terjadinya COPD, yang dapat terjadi dalam rentang waktu 20 sampai 30 tahun.
Komplikasi COPD beragam namun mencakup insufisiensi pernapasan dan gagal nafas
(komplikasi utama) serta Pneumonia, atelektasis, dan pneumothoraks.
B. Manifetasi Klinis
1. COPD dicirikan oleh batuk kronis, produksi sputum, dan dipnea saat mengerahkan
tenaga kerap memburuk seiring dengan waktu.
2. Penurunan berat badan sering terjadi.
3. Gejala yang spesifik dengan penyakit. Lihat "manifestasi klinis" pada "asma",
"bronkiektasis", "bronkitis" dan "emfisema".
C. Penyebab dan Patofisiologis
1. Bronkhitis kronis, adalah infeksi pada bronchus.
Patofisiologis :
Merupakan inflamasi pada bronkhus yang menyebabkan peningkatan
produksi mukus dan batuk kronik. Juga terdapat penurunan ratio FEV1/FVC kurang
dari 75 %.
Gangguan ini disebabkan oleh paparan iritan khususnya asap rokok. Klien
akan mengalami :
a. peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar submukosa pada bronkhus (besar),
sehingga meningkatkan produksi mukus;
b. pengentalan mukus;
c. gangguan fungsi ciliary, sehingga menurunkan pembersihan mukus.
Sehingga terjadi gangguan pertahanan mucociliary paru dan mudah terkena
infeksi sekunder. Jika terjadi infeksi sekunder produksi mukus akan bertambah
banyak, dan kental yang akan mengakibatkan obstruksi udara khususnya saat
ekspirasi. Hal ini akan mengakibatkan udara terperangkap pada paru-paru. Obstruksi
ini juga menurunkan ventilasi alveoler dan terjadi hipoksia serta asidosis. Klien
mengalami penurunan oksigenasi jaringan; ratio V/Q (ventilasi – perfusi) abnormal
yang berhubungan dengan penurunan PaO2. Gangguan ventilasi alveoli juga
mengakibatkan peningkatan PaCO2. Sebagai kompensasi dari hioksemia tubuh akan
banyak memproduksi eritrosit (polisetemia).
2. Empisema, yaitu suatu perubahan anatomis parenkhim paru-paru yg ditandai
dengan pembesaran alveolus dan duktus alveolaris serta destruksi dinding alveoler.
Patofisiologis :
Gangguan ini akibat dari kerusakan dinding alveoli, sehingga terjadi over
distension ruang udara yang permanen. Obstruksi aliran udara lebih merupakan
akibat dari perubahan ini dari pada produksi mukus yang berlebihan seperti pada
bronkhitis kronis.
Terdapat dua tipe dari emfisema :
a. Centri lobuler emphysema/centriacinar emphysema
i. Terjadi kerusakan pada bronkhiolus respiratorius.
ii. Dinding berlubang, membesar, akhirnya cenderung menjadi satu ruang.
iii. Sering menyerang bagian atas paru-paru.
iv. Dikaitkan dengan bronkhitis kronis dan perokok.
b. Panlobuler emphysema/Panacinar emphysema
i. Alveolus distal dari bronkhiolus terminalis mengalami pembesaran serta
kerusakan secara merata.
ii. Tersebar merata diseluruh bagian paru terutama bagian basal.
iii. Merupakan emfisema primer.
iv. Familial akibat defisiensi enzim alpha antitripsin (AAT), yang merupakan
inhibitor enzim proteolitik non spesifik. Klien tanpa AAT akan
mengalami peningkatan PPOM sebab dinding paru akan mempunyai
resiko tinggi mengalami kerusakan. Asap rokok akan mengganggu
keseimbangan enzim ini dan kerusakan jaringan paru akan meningkat.
v. Dikaitkan dengan usia tua karena elastisitas paru mengalami penurunan.
3. Asthma, yaitu suatu penyakit pada sistem pernafasan yang menliputi peradangan
dari jalan nafas dan gejala-gejala bronchospasme yang bersifat reversibel (Crockett).
Patofisiologis :

(Sumber : Bahan Ajar PPSDM Kesehatan)


D. Pertimbangan Gerontologik
COPD menonjolkan banyak perubahan fisiologis yang berkaitan dengan penuaan
dan dimanifestasikan dalam obstruksi jalan nafas (pada bronkitis) dan penurunan drastis
daya regang paru (pada emfisema). Terjadi perubahan tambahan pada rasio ventilasi-
perfusi.
E. Penatalaksanaan Medis
1. Berhenti merokok, jika perlu.
2. Bronkodilator, kortikosteroid dan obat lain (mis., terapi augmentasi alfa1 antitripsin,
agen antibiotik, agen mukolitik, agen antitusif, vasodilator, narkotik). Vaksin
mungkin juga efektif.
3. Terapi oksigen termasuk oksigen di malam hari.
4. Pembedahan : bulektomi untuk mengurangi dispnea; penurunan volume paru untuk
meningkatkan elastisitas dan fungsi lobus; transplantasi paru.
F. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Riwayat atau faktor penunjang :
i. merokok (faktor penyebab utama);
ii. tinggal atau bekerja di area dengan polusi udara berat;
iii. riwayat alergi pada keluarga d) riwayat asthma pada anak-anak.
b. Riwayat atau adanya faktor pencetus eksaserbasi :
i. Alergen;
ii. stress emosional;
iii. aktivitas fisik yang berlebihan;
iv. polusi udara;
v. infeksi saluran napas.
c. Pemeriksaan fisik :
i. Manifestasi klinik PPOM :
1) peningkatan dispnea;
2) penggunaan otot-otot aksesori pernapasan (retraksi otot-otot
abdominal, mengangkat bahu saat inspirasi, napas cuping hidung);
3) penurunan bunyi napas;
4) takipnea;
5) gejala yang menetap pada penyakit dasar.
ii. Asthma :
1) batuk (mungkin produktif atau non produktif), dan perasaan dada
seperti terikat;
2) mengi saat inspirasi maupun ekspirasi yang dapat terdengar tanpa
stetoskop;
3) pernapasan cuping hidung;
4) ketakutan dan diaforesis.
iii. Bronkhitis :
1) batuk produktif dengan sputum berwarna putih keabu-abuan, yang
biasanya terjadi pada pagi hari;
2) inspirasi ronkhi kasar dan whezzing;
3) sesak napas.
iv. Bronkhitis (tahap lanjut) :
1) penampilan sianosis;
2) pembengkakaan umum atau “blue bloaters” (disebabkan oleh edema
asistemik yang terjadi sebagai akibat dari kor pulmunal).
v. Emfisema :
1) penampilan fisik kurus dengan dada “barrel chest” (diameter thoraks
anterio posterior meningkat sebagai akibat hiperinflasi paru-paru);
2) fase ekspirasi memanjang.
vi. Emfisema (tahap lanjut) :
1) hipoksemia dan hiperkapnia;
2) penampilan sebagai “pink puffers”;
3) jari-jari tabuh.
d. Pemeriksaan diagnostik :
i. Gas darah arteri : PaO2 rendah, PaCO2 tinggi.
ii. Sinar X dada : hiperinflasi paru-paru, pembesaran jantung dan bendungan
area paru-paru.
iii. Pemeriksaan faal paru : FEV1 dan ratio FEV1/FVC.
iv. Darah : peningkatan Hb, hematokrit, jumlah darah merah dan peningkatan
IgE serum.
e. Lain-lain perlu dikaji Berat badan, rata-rata intake cairan dan diet harian
2. Diagnosa dan Intervensi
a. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan pembatasan jalan napas,
kelelahan otot pernapasan, peningkatan produksi mukus.
Tujuan : Klien mampu menunjukkan perbaikan oksigenasi.
Kriteria hasil :
i. Gas darah arteri dalam batas normal.
ii. Warna kulit membaik.
iii. RR : 12 – 24 X/menit.
iv. Bunyi napas bersih.
v. Batuk : tidak ada.
vi. Nadi 60 – 100 X/menit.
vii. Dyspnea : tidak ada.
Rencana Intervensi :
1) Observasi : status pernapasan, hasil gas darah arter, nadi dan nilai oksimetri.
2) Berikan obat yang telah diresepkan.
3) Konsultasikan pada dokter jika gejala tetap memburuk dan menetap
(komplikasi utama gagal napas).
4) Berikan oksigen yang telah dilembabkan 2 – 3 L/menit.
5) Pertahankan posisi fowler’s dengan tangan abduksi dan disokong oleh
bantal atau duduk condong ke depan dengan ditahan oleh meja.
6) Hindari penggunaan depresan saraf pusat secara berlebihan
(sedatif/narkotik).
7) Anjurkan untuk berhenti merokok.
b. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan ketidakadekuatan
batuk, peningkatan produksi mukus.
Tujuan : Klien dapat meningkatkan bersihan jalan napas.
Kriteria hasil :
i. Mampu mendemostrasikan batuk terkontrol.
ii. Intake cairan adekuat.
Rencana intervensi :
1) Kaji kemampuan klien untuk memobilisasi sekresi, jika tidak mampu.
2) Ajarkan metode batuk terkontrol.
3) Gunakan suction (jika perlu untuk mengeluarkan sekret).
4) Lakukan fisioterapi dada.
5) Secara rutin tiap 8 jam sekali lakukan auskultasi dada untuk mengetahui
kualitas suara napas dan kemajuannya.
6) Berikan obat sesuai resp : mukolitik dan ekspektorans.
7) Anjurkan minum kurang lebih 2 liter per hari jika tidak ada kontra indikasi.
8) Instruksikan pada klien untuk mencegah infeksi.
Stressor :
i. Cegah ruangan yang ramai pengunjung atau kontak dengan individu yang
menderita influensa.
ii. Mencegah iritasi : rokok.
iii. Imunisasi : vaksin influensa.
c. Gangguan kebutuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakadekuatan intake nutrisi sekunder terhadap peningkatan kerja pernapasan.
Tujuan : Klien akan menunjukkan kemajuan/peningkatan status nutrisi.
Kriteria hasil :
i. Klien tidak mengalami kehilangan berat badan lebih lanjut.
ii. Masukan makanan dan cairan meningkat.
iii. Urine tidak pekat.
iv. Out put urine meningkat.
v. Membran mukosa lembab.
vi. Kulit tidak kering.
Rencana intervensi :
1) Observasi : intake dan out put tiap 8 jam, jumlah makanan yang dikonsumsi,
BB tiap minggu.
2) Ciptakan suasana yang menyenangkan, lingkungan bebas dari bau selama
makan.
3) Perawatan mulut sebelum dan sesudah makan.
4) Bersihkan meja sebelum makanan dihidangkan.
5) Tidak menggunakan pengharum ruangan yang terlalu menyengat.
6) Fisioterapi dada dan nebulizer selambatnya 1 jam sebelum makan.
7) Tempat yang tepat untuk membuang tissue dan sekret.
8) Rujuk ke Ahli gizi jika makanan yang dikunsumsi kurang dari 30 %.
d. Cemas berhubungan dengan episode dypsnea atau serangan asthma.
Tujuan : Cemas berkurang.
Kriteria hasil :
i. Ekspresi wajah rileks.
ii. RR : 12 – 24 X/menit.
iii. N : 60 – 100 X/menit.
Rencana Intervensi :
1) Selama periode distress pernapasan akut :
a) buka baju yeng terlalu tebal;
b) batasi jumlah dan frekuensi pengunjung saat itu;
c) ijinkan seorang untuk menemani pasien;
d) oksigen nasal kanula 2-3 L/menit;
e) buka pintu dan tirai;
f) pertahankan suhu ruangan yang sejuk;
g) pertahankan posisi fowler’s.
2) Hindarkan pemberian informasi dan instruksi yang bertele-tele dan terus
menerus.
3) Berikan penjelasan yang sederhana dan singkat tentang tujuan intervensi
dan pemeriksaan diagnostik.
4) Lakukan pendekatan kepada pasien dengan tenang dan meyakinkan.
DAFTAR PUSTAKA

Bachrudin, M dan Moh. Najib. 2016. Keperawatan Medikal Bedah I. Jakarta : PPSDM
Kesehatan.
Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan :
Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc, Edisi Revisi Jilid 3. Yogyakarta :
Mediaction.
Smeltzer, Susan C. 2010. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth, Ed. 12. Yulianti,
Devi dan Amelia Kimin. 2018. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai