Anda di halaman 1dari 30

1

PROPOSAL PENELITIAN

PENGARUH KARBON AKTIF DARI TEMPURUNG BIJI KARET (Hevea

brasilliensis) TERHADAP PENURUNAN KADAR BOD DAN COD PADA

AIR SUNGAI TABALONG

DIUSULKAN OLEH :

MUHAMMAD RIDHA

P07134218145

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN BANJARMASIN

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN

TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK

2020
2

DAFTAR IS

DAFTAR ISI...........................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN……………..………………………………………….3
A. Latar Belakang..............................................................................................3
B. Rumusan Masalah.........................................................................................6
C. Batasan Masalah...........................................................................................6
D. Tujuan Penelitian..........................................................................................6
E. Manfaat.........................................................................................................6
F. Keaslian Penelitian…………………….…………………………………...7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................8


A. Air.................................................................................................................8
B. Air Sungai.....................................................................................................9
C. Adsorpsi dengan Karbon Aktif...................................................................14
D. Tanaman Karet……………………………………………………………15

E. Kerangka Teori...........................................................................................17
BAB III KERANGKA KONSEP........................................................................18
A. Kerangka Konsep........................................................................................18
B. Hipotesis......................................................................................................18
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN..........................................................19
A. Jenis dan Rancangan Penelitian..................................................................19
B. Tempat dan Waktu Penelitian.....................................................................19
C. Instrumen dan Bahan Penelitian.................................................................19
D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional.............................................20
E. Prosedur Kerja……………………………………………………………..21
F. Rancangan Analisis Data..............................................................................25
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................26
3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehidupan masyarakat Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan tidak
bisa terlepas dari keberadaan sungai. Sebagian besar masyarakatnya
menggunakan air Sungai Tabalong sebagai sumber air bersih terutama untuk
dipergunakan menjadi air minum (Yuniarti dan Biyatmoko, 2019). Namun,
seiring meningkatnya jumlah penduduk dengan berbagai aktivitas yang
dilakukan mempengaruhi jumlah dan kualitas air bersih di Kabupaten
Tabalong. Persoalan yang muncul adalah proses penggunaan dan pembuangan
air dari aktivitas keseharian masyarakat, kemudian menjadi air limbah dan
langsung dibuang ke lingkungan sungai tanpa dilakukan pengolahan terlebih
dahulu. Hal tersebut dapat mengakibatkan tercemarnya Sungai Tabalong.
Berdasarkan penelitian kajian daya tampung beban pencemaran air Sungai
Tabalong yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas
Lambung Mangkurat Banjarbaru atas permintaan Dinas Lingkungan Hidup
Kabupaten Tabalong pada Mei 2019 (periode hujan) di empat titik (bagian hulu
hingga hilir) pengambilan sampel diperoleh kadar BOD masing-masing sebesar
2,79 mg/L; 7,67 mg/L; 8,01 mg/L; dan 18,38 mg/L. Sementara itu, kadar COD
masing-masing sebesar 6,66 mg/L; 18,13 mg/L; 20,69 mg/L; dan 49,16 mg/L.
Pengukuran kembali dilakukan pada Juli 2019 (periode kemarau) di empat titik
pengambilan sampel yang sama dimana diperoleh kadar BOD masing-masing
sebesar 2,49 mg/L; 6,85 mg/L; 7,42 mg/L; dan 17,50 mg/L. Sementara itu,
kadar COD masing-masing sebesar 6,22 mg/L; 16,79 mg/L; 18,47 mg/L; dan
43,50 mg/L (Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Tabalong, 2019). Menurut
Peraturan Gubernur Kalimantan Selatan No. 5 Tahun 2007 tentang Peruntukan
dan Baku Mutu Air Sungai, ambang batas untuk kadar BOD adalah 2 mg/L dan
10 mg/L untuk kadar COD. Dari hasil penelitian di atas berarti kadar BOD dan
kadar COD sungai tersebut berada di atas ambang baku mutu air sungai..
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kualitas air Sungai Tabalong
mengalami penurunan.
Penurunan kualitas air sungai ini ditandai dengan perubahan warna air
menjadi keruh dan coklat serta bau (Pohan dkk., 2016). Padahal sebagian
masyarakat di pinggiran sungai masih memanfaatkan air Sungai Tabalong
untuk kebutuhan sehari-hari. Dari berbagai faktor yang menyebabkan
pencemaran Sungai Tabalong banyak berasal dari perilaku manusia. Salah satu
4

masalahnya karena masih ada sebagian masyarakat membuang limbah/sampah


organik ke sungai. Variabel BOD dan COD menjadi indikator banyaknya
sampah organik yang mencemari air sungai di kawasan DAS Tabalong.
Banyaknya senyawa organik ini dapat dikaitkan dengan aktivitas masyarakat
seperti kegiatan dapur dan kamar mandi yang berlangsung di sepanjang DAS.
Berdasarkan pengamatan, pada stasiun-stasiun yang memiliki kadar BOD dan
COD tinggi memang terlihat adanya sampah organik maupun anorganik yang
berasal dari limbah rumah tangga atau limbah domestik.
Bahan buangan organik umumnya berupa limbah yang dapat membusuk
atau terdegradasi oleh mikroorganisme, sehingga bila dibuang ke perairan akan
menaikkan BOD (Rahmawati, 2011 dalam Pohan dkk., 2016). Air yang
tercemar limbah organik terutama limbah yang berasal dari industri olahan
makanan merupakan tempat yang subur untuk berkembangbiaknya
mikroorganisme, termasuk mikroba pathogen yang dapat menimbulkan
penyakit menular dan tidak menular (Wardhana, 2004 dalam Nirwana, 2019).
Menurut penelitian dari Halder & Islam (2015) kadar BOD di sungai Turag
kota Dhaka, Bangladesh bervariasi dari 0,7 mg / L hingga 4,65 mg / L.
Sebanyak 70% responden menyakatan bahwa mereka menderita penyakit kulit,
diare, radang lambung pada saat penelitian berlangsung. Hampir semua
responden mengalami masalah kulit dibagian kaki dan tangan karena sering
kontak dengan air. Sementara itu, tingginya kadar COD mengindikasikan
tingginya kadar bahan pencemar yang terdapat dalam air sungai. Bahan
pencemar ini mengandung unsur kimia yang berbahaya seperti ammonia,
kromium, mangan, dan besi, dll. Kelebihan kandungan besi dan mangan dalam
lingkungan perairan dapat mengakibatkan terkontaminasi dan mengganggu
kelangsungan makhluk hidup lainnya, seperti ikan yang apabila dikonsumsi
manusia tanpa sepengetahuannya mengandung bahan kimia berbahaya dapat
berakibat fatal bagi kesehatan tubuh. Tingginya kadar besi yang berada dalam
tubuh manusia akan mengakibatkan penyakit seperti keracunan, kanker, liver
dan hemokromatis (Jenti dan Nurhayati, 2014 dalam Nurhayati dkk., 2020).
Sedangkan logam mangan mampu menimbulkan keracunan kronis pada
manusia hingga berdampak menimbulkan lemah pada kaki, muka kusam dan
dampak bagi lanjutan bagi manusia yang keracunan Mn adalah bicaranya
lambat dan hyperrefleksi (Nainggolan dkk., 2011 dalam Tampubolon, 2017).
Kondisi kadar BOD dan COD yang melampaui ambang baku mutu air ini
jika dibiarkan dapat mengakibatkan rusaknya ekosistem sungai yang akhirnya
akan berdampak pada krisis air bersih. Oleh karena itu, perlu adanya tindakan
pengolahan dan pengelolaan air sungai. Menurut Said (1999), proses-proses
utama dalam pengolahan air sungai untuk dijadikan air bersih meliputi proses
koagulasi/flokulasi (penggumpalan), sedimentasi (pengendapan), dan filtrasi
(penyaringan). Namun, cara-cara tersebut dinilai masih belum ampuh untuk
5

menghasilkan air bersih siap konsumsi disamping melalui proses-proses yang


cukup panjang juga memerlukan biaya yang tidak murah. Upaya alternatif
yang dapat dilakukan untuk mengurangi kadar BOD dan COD dalam air yaitu
dengan metode adsorpsi menggunakan karbon aktif. Metode ini merupakan
metode yang efisien, mudah diterapkan dan biayanya relatif murah. Beberapa
penelitian telah menggunakan karbon aktif untuk mengadsorpsi BOD maupun
COD seperti karbon aktif dari limbah ampas tahu (Riskhi & Sitorus, 2017), biji
kapuk (Siregar dkk., 2015), kulit jagung (Larasati dkk., 2018), dan ampas
bubuk kopi (Sartika et al., 2019)
Menurut Zulfadhil dan Iriany (2017) karbon aktif dari bahan lignoselulosa,
khususnya karbon aktif yang diproduksi dari limbah pertanian bersifat
terbarukan, melimpah, tersedia, dan tidak mahal. Data statistik Kementerian
Pertanian dan Direktorat Jenderal Perkebunan melaporkan bahwa Kalimantan
Selatan merupakan salah satu dari 6 provinsi sentra produksi karet di
Indonesia. Terbilang dari tahun 2014 hingga 2018 memberikan kontribusi
sebesar 4,56% terhadap total produksi Indonesia dimana rata-rata produksi
sebesar 178,86 ribu ton (Kementerian Pertanian, 2019). Dari 13 kabupaten dan
kota di Kalimantan Selatan, Kabupaten Tabalong menyumbang produksi karet
terbesar pada tahun 2017 yaitu sebesar 59.634 ton dengan luas areal 48.309
hektar (Direktorat Jenderal Perkebunan 2018). Hal ini sejalan mengingat
tanaman karet dapat dijumpai hampir di seluruh wilayah Kabupaten Tabalong,
sehingga tidak mengherankan limbah tempurung biji karet melimpah dan
banyak berserakan di sekitar perkebunan karet. Berdasarkan kriteria tersebut
tempurung biji karet (Hevea brasilliensis) memilki potensi untuk dijadikan
sebagai bahan baku pembuatan karbon aktif mengingat limbah tanaman karet
ini belum dimanfaatkan secara optimal, karena tersingkirkan oleh komoditas
utamanya yaitu getah karet (lateks). Selain itu, syarat untuk pemilihan bahan
dasar pembuatan karbon aktif adalah kandungan lignin dan selulosa yang
terdapat di dalam bahan baku. Menurut Vinsiah (2015) tempurung biji karet
mengandung lignin dan selulosa dalam jumlah yang relatif besar yakni 33,54%
dan 48,64%, sehingga tempurung biji karet dapat pula dijadikan sebagai bahan
baku pembuatan karbon aktif karena dianggap telah memenuhi syarat
pemilihan bahan dasar.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik melanjutkan penelitian untuk
mengetahui adakah pengaruh karbon aktif yang dibuat dari tempurung biji
karet (Hevea brasilliensis) terhadap penurunan Kadar BOD dan COD pada air
Sungai Tabalong.
6

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah yang
diambil dalam penelitian ini adalah:
1. Adakah pengaruh karbon aktif dari tempurung biji karet (Hevea
brasilliensis) terhadap penurunan kadar BOD dan COD pada air Sungai
Tabalong?
2. Bagaimana kadar BOD dan COD pada air Sungai Tabalong sebelum dan
setelah perlakuan?

C. Batasan Masalah
Penelitian ini dilakukan hanya terbatas pada pengukuran kadar BOD dan COD
pada sampel air Sungai Tabalong yang dipengaruhi oleh karbon aktif dari
tempurung biji karet (Hevea brasiliensis) sebagai adsorben.

D. Tujuan Penelitan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh karbon aktif dari tempurung biji karet (Hevea
brasiliensis) terhadap penurunan kadar BOD dan COD pada air Sungai
Tabalong.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui kadar BOD dan COD pada air Sungai Tabalong
sebelum diberikan perlakuan dengan metode adsorpsi menggunakan
karbon aktif dari tempurung biji karet (Hevea brasiliensis).
b. Untuk mengetahui kadar BOD dan COD pada air Sungai Tabalong
sesudah diberikan perlakuan dengan metode adsorpsi menggunakan
karbon aktif dari tempurung biji karet (Hevea brasiliensis).
c. Mengetahui keefektifan metode adsorpsi menggunakan karbon aktif dari
tempurung biji karet (Hevea brasiliensis) dalam menurunkan kadar BOD
dan COD pada limbah cair tepung aren.

E. Manfaat Penelitian
1. Teoritis
Dapat memberikan informasi dalam bidang Kimia Air, Makanan, dan
Minuman bagi para mahasiswa dan peneliti, serta memberikan informasi
bagi masyarakat dalam pemanfaatan tempurung biji karet (Hevea
brasiliensis).
2. Praktis
Sebagai masukan atau penambah pengetahuan untuk masyarakat bagaimana
cara pengolahan air sungai dengan metode adsorpsi menggunakan karbon
7

aktif dari tempurung biji karet (Hevea brasiliensis) dalam pemenuhan


kebutuhan air bersih.

F. Keaslian Penelitian

No Penulis dan Desain Penelitian, Sampel, Kesimpulan Hasil Perbedaan dg


Tahun Variabel, Instrumen dan Metode penelitian penelitian yang
Analisis akan dilakukan
1. Teger PEMBUATAN ARANG AKTIF Kemampuan arang aktif 1. Sampel yang
Ardyansah DARI CANGKANG BUAH menyerap logam besi digunakan
Bangun, KARET UNTUK ADSORPSI ION dalam larutan mencapai 2. Parameter yang
Titin Anita BESI (II) DALAM LARUTAN 99% dengan massa diukur
Zaharah, Desain Penelitian: Eksperimen optimum 1,5 gram dan
dan Anis Sampel: Larutan besi (Fe) waktu kontak optimum
Shofiyani Variabel 90 menit.
(2016) - Bebas: Arang aktif cangkang
buah karet
- Terikat: Penyerapan Fe (II)
dalam larutan
Metode Analisis: Spektrofotometri
2. Eka Riskhi Pemanfaatan Ampas Tahu sebagai Ada pengaruh positif 1. Arang/karbon
M dan Arang Aktif dalam Menurunkan pada waktu kontak aktif yang
Saibun Kadar COD, Nitrit dan Nitrat pada optimum 0-30 menit digunakan
Sitorus Limbah Cair Industri Tahu karena semakin tinggi 2. Sampel yang
(2017) Desain Penelitian: Eksperimen %penyerapan terhadap digunakan
Pretest-Posttest Design penurunan kadar COD, 3. Parameter yang
Sampel: Limbah cair industri tahu nitrit, dan nitrat pada diukur hanya
Variabel limbah cair industri BOD dan COD
- Bebas: Arang aktif ampas tahu
- Terikat: Kadar COD, Nitrit dan
Nitrat
Metode Analisis: Spektrofotometri
3. Restu Indah Serbuk Kulit Jagung untuk Penurunan terjadi pada 1. Bahan
Larasati, Sri Menurunkan Kadar COD dan BOD waktu aktivasi 12 jam, adsorben/karbon
Haryani, Air Sumur Gali sebesar 18,33 mg/L aktif yang
dan Eko Desain Penelitian: Eksperimen untuk kadar COD dan digunakan
Budi Pretest-Posttest Design 15,3 mg/L untuk kadar 2. Sampel yang
Susatyo Sampel: Air sumur gali BOD. Penurunan variasi diperiksa adalah
(2018) Variabel kontak terbaik pada air sungai.
- Bebas: Adsorben kulit jagung menit ke-75 yaitu
- Terikat: Kadar COD dan BOD sebesar 25,837 mg/L
Metode Analisis: Spektrofotometri untuk kadar COD dan
21,42 mg/L untuk kadar
BOD serta penurunan
8

variasi massa terbaik


pada 0,8 g sebesar 35
mg/L untuk kadar COD
dan 27,48 mg/L untuk
kadar BOD.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Air
Air merupakan ikatan kimia yang terdiri dari 2 atom hidrogen dan 1 atom
oksigen (H2O), dapat berbentuk gas cair maupun padat. Air sering dianggap
murni hanya terdiri dari H2O, tetapi pada kenyataannya di alam tidak pernah
dijumpai air yang sedemikian murni, meskipun air hujan (Sudarmadji, 2007).
Menurut Slamet (2004) komposisi air di dalam tubuh manusia, berkisar
antara 50-70% dari seluruh berat badan. Sedangkan tingkat konsumsi air bersih
berbeda antara pedesaan dan perkotaan. Menurut Manual Teknis Upaya
Penyehatan Air, Ditjen P2PLP Depkes RI (1996.5), kebutuhan air bersih
masyarakat perkotaan berkisar 150 lt/org/hr, dan untuk masyarakat pedesaan
80 lt/org/hr. Air tersebut digunakan untuk keperluan sehari-hari dan keperluan
pendukung lainnya termasuk yang mendukung kebutuhan-kebutuhan sekunder.
Sementara yang dimaksud air pada uraian ini, merupakan semua air yang
terdapat di atas maupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian
ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat.
1) Air Bersih
Air bersih adalah air sehat yang dipergunakan untuk kegiatan manusia
dan harus bebas dari kuman-kuman penyebab penyakit, bebas dari bahan-
bahan kimia yang dapat mencemari air bersih tersebut. Air merupakan zat
yang mutlak bagi setiap mahluk hidup dan kebersihan air adalah syarat
utama bagi terjaminnya kesehatan (Dwidjoseputro, 1981).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor : 41
6/Menkes/Per/IX/1990 tentang syarat-syarat pengawasan kualitas air, air
bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang
kualitasnya memenuhi syarat-syarat kesehatan dan dapat diminum apabila
telah dimasak.
2) Air Minum
Menurut Permenkes RI No. 416/Menkes/Per/IX/1990 tentang Syarat-
Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Bersih, air minum adalah air yang
kualitasnya memenuhi syarat-syarat kesehatan dan langsung dapat diminum.
Menurut Permendagri No. 23 tahun 2006 tentang Pedoman Teknis dan
Tata Cara Pengaturan Tarif Air Minum pada Perusahaan Daerah Air
Minum, Departemen dalam Negeri Republik Indonesia, air minum adalah
9

air yang melalui proses pengolahan atau tanpa pengolahan yang memenuhi
syarat kesehatan dan dapat langsung diminum.
Air yang dibutuhkan oleh tubuh manusia harus bersih, baik dari
sumbernya maupun dari air itu sendiri. Air yang tidak bersih akan
menyebabkan penurunan kualitas hidup organisme yang mengkonsumsinya
karena di dalam air yang kurang bersih banyak mikroba ataupun zat-zat
kimia terlarut yang membahayakan tubuh (Soukotta dkk., 2019).
3) Sumber Air Bersih
Dalam pemenuhan kebutuhan air bersih manusia biasanya
memanfaatkan sumber-sumber air yang berada di sekitar permukiman baik
itu air alam, maupun setelah mengalami proses pengolahan terlebih dahulu.
Menurut Sugiharto (1983) tempat sumber air dibedakan menjadi tiga yaitu :
1) Air hujan, air angkasa, dalam wujud lainnya dapat berupa salju;
2) Air permukaan, air yang berada di permukaan bumi dapat berupa
air sungai, air danau, air laut;
3) Air tanah, terbentuk dari sebagian dari air hujan yang jatuh ke
permukaan dan sebagian meresap ke dalam tanah melalui pori-
pori/celah-celah dan akar tanaman serta bertahan pada lapisan tanah
membentuk lapisan yang mengandung air tanah (aquifer), air tanah yang
disebut air tanah dalam atau artesis, artinya air tanah yang letaknya pada
dua lapisan tanah yang kedap air, ada yang sifatnya tertekan dan yang
tidak tertekan. Air tanah dangkal artinya terletak pada aquifer yang dekat
dengan permukaan tanah dan fluktuasi volumennya sangat dipengaruhi
oleh adannya curah hujan

B. Air Sungai
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2012 tentang Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai (DAS), sungai adalah alur atau wadah air alami dan/ atau
buatan berupa jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu
sampai muara, dengan dibatasi kanan dan kiri oleh garis sempadan. Daerah
Aliran Sungai tersebut merupakan satu kesatuan ekosistem yang tersusun atas
sumber daya alam dan manusia sebagai pemanfaatnya (Asdak, 2010). Daerah
aliran sungai dipandang sebagai sumber daya alam dengan ragam pemilikan
(private, common, state property) dan berfungsi sebagai penghasil barang dan
jasa bagi masyarakat sehingga menyebabkan interdependensi antar pihak,
individu, dan kelompok (Wulandari, 2007).
Mawardi (2010) menyatakan bahwa indikator kerusakan DAS dapat
ditandai oleh perubahan perilaku hidrologi, seperti tingginya frekuensi kejadian
banjir (puncak aliran) dan meningkatnya proses erosi dan sedimentasi serta
10

penurunan kualitas air. Upaya pengelolaan Daerah Aliran Sungai harus


dilaksanakan secara optimal melalui pemanfaatan sumberdaya alam secara 10
berkelanjutan (Sucipto, 2008).
1. Kriteria Baku Mutu Air Sungai
Mutu air adalah kondisi kualitas air yang diukur dan atau diuji
berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metoda tertentu berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Baku mutu air adalah ukuran
batas atau kadar mahluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau
harus ada atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air
sedangkan kelas air adalah peringkat kelas air yang dinilai masih layak
untuk peruntukan tertentu (Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001).
Baku mutu air disusun berdasarkan kelas-kelas air tersebut yang
mengandung parameter fisika, kimia, dan biologi. Sedangkan kelas air
berdasarkan peruntukannya, dibedakan menjadi empat kelas yakni:
1) Kelas I, air yang peruntukannya dapat dipergunakan untuk air baku air
minum dan atau peruntukan lainnya yang mempersyaratkan mutu air
yang sama dengan kegunaan air minum tersebut.
2) Kelas II, air yang peruntukannya dapat dipergunakan untuk prasarana,
sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, perternakan, air untuk
mengairi pertanaman dan atau peruntukan yang mempersyaratkan mutu
air yang sama dengan penggunaan tersebut.
3) Kelas III, air yang peruntukannya dapat dipergunakan untuk
pembudidayaan ikan air tawar, perternakan, air untuk mengairi tanaman,
dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yangsama
dengan kegunaan tersebut.
4) Kelas IV, air yang peruntukanya dapat digunakan untuk mengairi
pertanaman dan atau peruntukan lainnya yang mempersayaratkan mutu
air yang sama dengan kegunaan tersebut.
Berdasarkan klasifikasi di atas, Sungai Tabalong termasuk kelas I, yaitu
sungai yang airnya diperuntukan untuk air baku air minum. Hal ini sejalan
mengingat Sungai Tabalong menjadi sumber utama pengembangan sarana
air bersih PDAM Kabupaten Tabalong sejak tahun 1983.
2. Parameter Kualitas Air Sungai
Kualitas air sungai merupakan kondisi kualitatif yang diukur
berdasarkan parameter tertentu dan dengan metode tertentu sesuai peraturan
perundangan yang berlaku. Kualitas air sungai dapat dinyatakan dengan
parameter fisika, kimia dan biologi yang menggambarkan kualitas air
tersebut (Asdak, 2010 dalam Soukotta dkk., 2019). Indikator yang dipakai
untuk mengukur kualitas kimia air yaitu berupa pH, Biochemical Oxygen
Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), Dissolved Oxygen
11

(DO), total fosfat, nitrat, nitrit, logam-logam seperti kadmium, tembaga,


seng, besi, mangan, amoniak, dan klorida.
Pada penelitian ini, indikator yang digunakan dijabarkan sebagai berikut.
a. Biochemical Oxygen Demand (BOD)
1) Definisi BOD
BOD atau Biochemical Oxygen Demand adalah suatu
karakteristik yang menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang
diperlukan oleh mikroorganisme (biasanya bakteri) untuk mengurai
atau mendekomposisi bahan organik dalam kondisi aerobik (Umaly
dan Cuvin, 1988; Metcalf & Eddy, 1991 dalam Atima, 2015). BOD
dapat juga diartikan sebagai gambaran jumlah bahan organik mudah
urai (biodegradable organics) yang ada di perairan.
Proses penguraian bahan organik oleh mikroorganisme ini
melalui rangkaian proses biokimia yang rumit dan panjang serta bahan
organik sebagai makanannya. Peningkatan nilai BOD pada perairan
dapat menyebabkan warna air menjadi kehitaman dan menimbulkan
bau tidak sedap pada air (Risa dkk., 2016).
2) Analisis BOD
Analisis BOD digunakan untuk menentukan beban pencemaran
akibat air buangan penduduk atau industri. Bakteri atau
mikroorganisme dapat menghabiskan oksigen terlarut dalam air
selama proses oksidasi tersebut. Beberapa zat organik maupun
anorganik dapat bersifat racun misalnya sianida, tembaga, dan
sebagainya, sehingga harus dikurangi sampai batas yang diinginkan.
Oleh karena itu, uji BOD ini tidak dapat digunakan untuk mengukur
jumlah bahan-bahan organik yang sebenarnya terdapat di dalam air,
tetapi hanya mengukur secara relatif jumlah konsumsi oksigen yang
digunakan mikroorganisme untuk mengoksidasi bahan organik
tersebut. Semakin banyak oksigen yang dikonsumsi oleh
mikroorganisme, maka semakin banyak pula kandungan bahan-bahan
organik di dalamnya (Alaerts dan Santika, 1984).
Prinsip pengukuran BOD pada dasarnya cukup sederhana, yaitu
mengukur kandungan oksigen terlarut awal (DOi) dari sampel segera
setelah pengambilan contoh, kemudian mengukur kandungan oksigen
terlarut pada sampel yang telah diinkubasi selama 5 hari pada kondisi
gelap dan suhu tetap (20℃) yang sering disebut dengan DO5. Selisih
DOi dan DO5 (DOi - DO5) merupakan nilai BOD yang dinyatakan
dalam miligram oksigen per liter (mg/L). Pengukuran oksigen dapat
dilakukan secara analitik dengan cara titrasi (metode Winkler,
iodometri) atau dengan menggunakan alat yang disebut DO meter
12

yang dilengkapi dengan probe khusus. Jadi pada prinsipnya dalam


kondisi gelap, agar tidak terjadi proses fotosintesis yang menghasilkan
oksigen, dan dalam suhu yang tetap selama lima hari, diharapkan
hanya terjadi proses dekomposisi oleh mikroorganime, sehingga yang
terjadi hanyalah penggunaan oksigen, dan oksigen tersisa ditera
sebagai DO5. Yang penting diperhatikan dalam hal ini adalah
mengupayakan agar masih ada oksigen tersisa pada pengamatan hari
kelima sehingga DO5 tidak nol. Bila DO5 nol maka nilai BOD tidak
dapat ditentukan (Atima, 2015).
b. Chemical Oxygen Demand (COD)
1) Definisi COD
Chemical Oxygen Demand (COD) merupakan jumlah kebutuhan
oksigen terlarut atau jumlah oksigen (mg O2) dalam air yang
dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik yang ada dalam 1 liter
sampel air (Alerts dan Santika, 1987 dalam Gunawan, 2018). COD
menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk
mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat
didegradasi secara biologis(biodegradable), maupun yang sukar
didegradasi secara biologis (non biodegradable) menjadi CO2 dan
H2O (Effendi, 2003 dalam Ramadhani, 2016).
2) Analisis COD
Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat
organik yang secara alamiah dapat dioksidasi melalui proses
mikroorganisme dan mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut di
dalam air. Nilai COD yang tinggi menunjukkan adanya pencemaran
air oleh zat-zat organik yang berasal dari berbagai sumber seperti
limbah pabrik, limbah rumah tangga, dan sebagainya (Nirwana, 2019).
Metode pengukuran COD sedikit lebih kompleks, karena
menggunakan peralatan khusus reflux, penggunaan asam pekat,
pemanasan, dan titrasi (APHA, 1989, Umaly dan Cuvin, 1988 dalam
Atima, 2015). Peralatan reflux diperlukan untuk menghindari
berkurangnya air sampel karena pemanasan. Pada prinsipnya
pengukuran COD adalah penambahan sejumlah tertentu kalium
bikromat (K2Cr2O7) sebagai oksidator pada sampel (dengan volume
diketahui) yang telah ditambahkan asam pekat dan katalis perak sulfat,
kemudian dipanaskan selama beberapa waktu. Selanjutnya, kelebihan
kalium bikromat ditera dengan cara titrasi. Dengan demikian kalium
bikromat yang terpakai untuk oksidasi bahan organik dalam sampel
dapat dihitung dan nilai COD dapat ditentukan.
13

Apabila nilai BOD dan COD suatu perairan masih normal atau
memenuhi baku mutu, belum dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi
pencemaran, bila parameter kunci lainnya tidak diketahui. Karena bila
parameter lainnya telah meningkat dan melebihi baku mutu, maka berarti
ada indikasi pencemaran di perairan. Hal ini dapat terjadi karena bila
terdapat bahan-bahan toksik (beracun) di perairan, logam berat misalnya
(Mays, 1996; APHA, 1989 dalam Atima, 2015), nilai BOD bisa jadi rendah
atau masih memenuhi baku mutu, pada hal dalam air atau perairan tersebut
terkandung bahan beracun atau air telah tercemar. Sebaliknya, bila nilai
BOD dan COD telah cukup tinggi dan melebihi baku mutu, maka sudah
dapat diduga ada indikasi pencemaran bahan organik.
3. Pencemaran Air Sungai
Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan hidup menyatakan bahwa pencemaran lingkungan
hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat-material,
energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan
manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah
ditetapkan. Dalam Peraturan Pemerintah RI No 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, yang dimaksud
dengan pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makluk
hidup, zat-material, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh
kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu
yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya.
Pencemaran air diindikasikan dengan turunnya kualitas air sampai ke
tingkat tertentu (baku mutu air) yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi
sesuai dengan peruntukannya. Baku mutu air yang ditetapkan dan berfungsi
sebagai tolok ukur untuk menentukan telah terjadinya pencemaran air, juga
merupakan arahan tentang tingkat kualitas air yang akan dicapai atau
dipertahankan (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik
Indonesia, 2017).
a. Pencemaran Domestik
Pencemaran domestik merupakan pencemaran yang berasal dari
limbah rumah tangga yang secara kualitatif terbagi menjadi limbah padat
maupun limbah cair. Limbah cair domestik merupakan buangan manusia
(tinja) yang merupakan air limbah yang dihasilkan dari kamar mandi,
pencucian pakaian dan alat-alat dapur, serta kegiatan rumah tangga
lainnya. Buangan limbah domestik (rumah tangga) yang terakumulasi
terus-menerus berpotensi berpotensi sebagai pencemar lingkungan
sungai. Semakin padat penduduk yang berada pada suatu area
14

pemukiman maka akan semakin banyak pula limbah yang harus


dikendalikan.
Sumber utama pencemaran domestik antara lain berasal dari
perumahan, daerah perdagangan, perkantoran dan daerah rekreasi.
Limbah padat domestik terbagi menjadi beberapa bagian antara lain
limbah plastik, limbah kardus, dan limbah kayu/besi. Umumnya limbah-
limbah tersebut berasal dari masyarakat yang sering membuang limbah
ke badan sungai sehingga mengakibatkan penurunan kualitas sungai
dengan adanya tumpukan limbah padat yang berasal dari limbah
domestik tersebut.

b. Pencemaran dari Industri


Perkembangan pesat industri di Indonesia menjadi salah satu
penyebab utama masalah lingkungan terutama terhadap pencemaran air
akibat limbah yang tidak dikelola secara baik sehingga menyisakan
bahan-bahan berbahaya yang ikut terbuang dan masuk ke dalam aliran air
sungai. Semakin banyak jumlah limbah yang masuk ke lingkungan tanpa
adanya pengolahan menyebabkan semakin beratnya beban lingkungan
untuk menampung dan melakukan degradasi (self-purification) terhadap
limbah tersebut. Jika kemampuan lingkungan yang menerima limbah
sudah terlampaui maka akan mengakibatkan pencemaran dan terjadi
akumulasi materi yang tidak terkendali sehingga menimbulkan berbagai
dampak seperti bau menyengat, pemandangan yang kotor, dan
menimbulkan masalah estetika lain yang tidak diharapkan (Setiyono dan
Yudo, 2008).
Limbah kegiatan industry yang ada di perairan menyebabkan
gangguan pada biota air. Gangguan tersebut telah menimbulkan dampak
negatif sehingga menyebabkan terjadinya penurunan populasi (kualitas
dan kuantitas) biota perairan (ikan dan udang). Pembuangan limbah
anorganik (kimia) seperti NPK dari aktivitas pertanian dan sejenisnya
dapat menyebabkan eutrofikasi (peningkatan kesuburan perairan)
sehingga mendorong tumbuh suburnya gulma misal enceng gondok di
sungai dan wilayah perairan lainnya. Hal ini menyebabkan berkurangnya
oksigen terlarut dalam air yang dapat berakibat pada penurunan flora-
fauna wilayah perairan. Oleh karena itu, pencemaran air sungai baik
organik maupun anorganik perlu ditanggulangi (Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, 2017)..

C. Adsorpsi dengan Karbon Aktif


15

Adsorpsi merupakan salah satu proses pengolahan limbah dan air bersih
yang sederhana dan dapat menggunakan adsorben bahan alam yang tidak
terpakai. Proses adsorpsi terjadi karena adanya gaya Van Der Waals, sehingga
pori karbon aktif akan menarik partikel pencemar sehingga terperangkap
(Widayatno et al., 2017). Karbon aktif merupakan karbon yang diaktivasi
untuk membuka pori-pori sehingga berfungsi sebagai adsorben. Aktivator yang
digunakan biasanya gas CO2, uap air atau zat kimia (Polii, 2017). Aktivasi
karbon dengan pemanasan berfungsi untuk memperluas permukaan,
menghilangkan kotoran yang mudah menguap, tar dan kidrokarbon pengotor
(Masthura dan Putra, 2018). Karbon yang diaktivasi asam phospat dapat
menurunkan Chemical Oksygen Demand (COD) limbah industri krisotil
sebesar 63% (Yuliastuti dan Cahyono, 2018). Indah dan Hendrawani (2015)
menyatakan bahwa karbon aktif yang digunakan dalam pengolahan air bersih
dan air limbah sebagai adsorben mempunyai banyak kelebihan yaitu efektif,
preparasinya mudah dan pembiayaan yang relatif.
Biomassa lignonesulosa dinilai sebagai material utama dalam
pembentukan karbon aktif karena memiliki komposisi lignin dan karbon yang
tinggi serta mudah dan dapat diperbaharui (González-García 2018). Beberapa
penelitian sebelumnya banyak menggunakan beberapa jenis biomassa
lignoselulosa sebagai bahan baku karbon aktif untuk berbagai aplikasi dengan
variasi aktivator. Beberapa diantaranya adalah limbah Nigella sativa untuk
adsorpsi comassie brilliant blue dye (Abdel-Gani et al. 2019), limbah kulit apel
untuk adsorpsi metil merah (Khan et al. 2018), dan limbah kopi untuk adsorpsi
metal jingga(Rattanapan et al. 2017). Bahan baku lain yang juga digunakan
yaitu kenaf (Hibiscus cannabinus, L) dengan aktivator H3PO4 (Shamsuddin et
al. 2016), dan kulit apel dengan aktivator H 2SO4 mengadsorpsi Cr lebih dari
95% (Doke & Khan 2017).
Keberhasilan proses adsorpsi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
karakteristik adsorben, meliputi luas permukaan, ukuran partikel (Sirajuddin
and Harjanto, 2018), waktu kontak, pH, suhu, konsentrasi adsorbat (Arisna et
al., 2016). Waktu kontak yang diperlukan proses adsobsi untuk mencapai
equilibrium tidak sama, waktu kontak akan dicapai apabila tidak terjadi
perubahan konsentrasi adsorbat pada solute (Sirajuddin and Harjanto, 2018).

D. Tanaman Karet
1. Gambaran Umum
Tanaman karet (Hevea brasiliensis) berasal dari negara Brazil.
Tanaman ini merupakan sumber utama karet alam dan menghasilkan lateks
yang bernilai ekonomis tinggi. Sebagai penghasil lateks, tanaman karet
dapat dikatakan satu-satunya tanaman yang dikebunkan secara besar-
besaran (Budiman, 2012). Tanaman karet pertama kali dikenalkan di
16

Indonesia tahun 1864 pada masa penjajahan Belanda, yaitu di Kebun Raya
Bogor sebagai tanaman koleksi. Selanjutnya dilakukan pengembangan karet
ke beberapa daerah sebagai tanaman perkebunan komersil.
Tanaman karet (Hevea brasiliensis) termasuk dalam famili
Euphorbiaceae, disebut dengan nama lain para, rambung, getah, gota, kejai
ataupun hapea. Karet merupakan salah satu komoditas perkebunan yang
penting sebagai sumber devisa non-migas bagi Indonesia, sehingga
memiliki prospek yang cerah. Upaya peningkatan produktivitas tanaman
tersebut terus dilakukan terutama dalam bidang teknologi budidaya dan
pasca panen (Damanik dkk. 2010).

2. Klasifikasi
Tanaman karet dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Tracheophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Malphigiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Hevea
Spesies : Hevea brasiliensis
3. Morfologi
a. Akar
Akar tanaman karet merupakan akar tunggang. Akar ini mampu
menopang batang tanaman yang tumbuh tinggi dan besar. Akar tunggang
dapat menunjang tanah pada kedalaman 1 – 2 m, sedangkan akar
lateralnya dapat menyebar sejauh 10 m. Akar yang paling aktif menyerap
air dan unsur hara adalah bulur akar yang berada pada kedalaman 0 – 60
cm dan jarak 2,5 m dari pangkal pohon (Setiawan dan Andoko, 2005)
b. Batang
Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang
cukup besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15 – 25 m, pohon tegak,
kuat, dan dapat mencapai umur 100 tahun. Biasanya tumbuh lurus
memiliki percabangan yang tinggi di atas.. Batang tanaman ini
mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks (Tim Penulis PS,
2008).
c. Daun
Daun tanaman karet berwarna hijau yang ditopang oleh daun utama dan
tangkai anak daunnya antara 3 – 10 cm. Pada setiap helai terdapat tiga
17

helai anak daun. Daun tanaman karet akan menjadi kuning atau merah
pada saat musim kemarau (Setiawan dan Andoko, 2005).
d. Bunga
Bunga tanaman karet terdiri dari bunga jantan dan betina yang terdapat
dalam malai payung tambahan yang jarang. Pangkal tenda bunga
berbentuk lonceng. Pada ujungnya terdapat lima taju yang sempit.
Panjang tenda bunga 4 – 8 mm. Bunga betina merambut. Ukurannya
lebih besar sedikit dari yang jantan dan mengandung bakal buah yang
beruang 3. Kepala putik yang akan dibuahi dalam posisi duduk juga
berjumlah 3 buah. Bunga jantan mempunyai 10 benang sari yang
tersusun menjadi suatu tiang. Kepala sari terbagi dalam 2 karangan,
tersusun satu lebih tinggi dari yang lain. Paling ujung adalah suatu bakal
buah yang tidak tumbuh sempurna (Tim Penulis PS, 2008).

e. Buah dan Biji


Budiman (2012) mengatakan bahwa tanaman karet memiliki buah
berpolong (diselaputi kulit yang keras) yang sewaktu masih muda buah
berpaut erat dengan rantingnya. Buah karet dilapisi oleh kulit tipis
berwarna hijau dan di dalamnya terdapat kulit yang keras dan berkotak.
Tiap kotak berisi sebuah biji yang dilapisi tempurung, setelah tua warna
kulit buah berubah menjadi keabu-abuan dan kemudian mengering. Pada
waktunya pecah dan jatuh, tiap ruas tersusun atas 2 - 4 kotak biji. Pada
umumnya berisi 3 kotak biji dimana setiap kotak terdapat 1 biji. Biji
karet terdapat dalam setiap ruang buah. Jumlah biji biasanya ada 3 atau 4
sesuai jumlah ruangnya.

E. Kerangka Teori

Pohon karet (Hevea


brasiliensis)

Akar Daun Buah/Biji


Batang Bunga

Parameter kualitas air sungai Getah karet Bahan lignoselulosa

1. pH
Penetapan
2. Total fosfat
kadar BOD dan
3. Nitrat-Nitrit
COD sebelum
4. Kadmium
perlakuan
5. Tembaga
6. Seng
18

Kadar BOD dan COD air


Sungai Tabalong menurun
Penetapan
kadar BOD dan
COD sesudah
perlakuan

Keterangan :
Diteliti Tidak diteliti
BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep

Karbon aktif
tempurung
biji karet

Variasi massa
Karbon aktif Waktu kontak

Penurunan kadar
BOD dan COD

Penetapan kadar
BOD dan COD
sebelum dan
sesudah
perlakuan
19

B. Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah adanya pengaruh karbon aktif dari
tempurung biji karet (Hevea brasilliensis) terhadap penurunan kadar BOD dan
COD pada air Sungai Tabalong.

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan adalah quasi eksperimen. Sedangkan
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Pretest-Posttest Control Design,
yaitu pertama dilakukan pengambilan sampel dan diukur (Pretest), kemudian
dilakukan perlakuan dan dilakukan pengukuran (Posttest). Rancangan ini
dilakukan observasi pertama (Pretest) yang memungkinkan untuk
membandingkan perubahan-perubahan yang terjadi setelah adanya perlakuan
(Notoatmodjo, 2010).

B. Tempat dan Waktu Penelitian


Pengambilan sampel dilakukan di bagian hilir Sungai Tabalong yang ada di
Desa Pugaan, sedangkan untuk pemeriksaan dan perlakuan sampel dilakukan
di Laboratorium Kimia Dasar Jurusan Analis Kesehatan Politeknik Kesehatan
Banjarmasin.Waktu penelitian pada bulan Januari 2021.

C. Instrumen dan Bahan Penelitian


1. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah air Sungai Tabalong
yang diambil di Desa Pugaan, Kecamatan Pugaan, Kabupaten Tabalong.
20

2. Alat dan Bahan Pembuatan Karbon Aktif


Alat-alat yang digunakan antara lain seperangkat alat gelas, ayakan 100
mesh, botol semprot, botol kaca, desikator, krusibel, neraca analitik, oven,
rotary shaker, dan tanur. Bahan yang digunakan adalah tempurung biji karet,
aquades, asam sulfat (H2SO4), ammonium besi (II) sulfat, kertas saring,
asam klorida (HCl), iodium 0,1 N, indikator amilum, kalium iodida (KI),
kalium iodat (KIO3), natrium tiosulfat (Na2S2O7) 0,1 N, dan natrium
karbonat (Na2CO3).

3. Alat dan Bahan Pengukuran Kadar BOD


Alat yang digunakan adalah botol DO, lemari inkubasi suhu, botol dari gelas
5 L-10 L, pipet volumetrik (1,0 mL; 200,0 mL; 1000 mL), labu ukur (100
mL, 200 mL, dan 1000 mL), pH meter, dan DO meter. Sedangkan bahannya
antara lain sampel air sungai, air bebas mineral, larutan nutrisi (terdiri atas
larutan buffer fosfat, larutan MgSO4, larutan CaCl2, larutan FeCl3), larutan
suspensi bibit mikroba (dibuat dari BOD seed yang tersedia secara
komersial), larutan air pengencer (dibuat dari air bebas mineral yang
ditambahkan 1 mL larutan nutrisi dan bibit mikroba), dan larutan glukosa-
asam glutamat.

4. Alat dan Bahan Pengukuran Kadar COD


Alat yang digunakan adalah digestion vessel, pemanas dengan lubang-
lubang penyangga tabung (heating block), mikro buret, labu ukur (50,0 ml;
100,0 ml; 250,0 ml; 500,0 ml dan 1.000,0 ml), pipet volumetrik (5,0 ml;
10,0 ml; 15,0 ml; 20,0 ml dan 25,0 ml), labu Erlenmeyer, gelas piala,
magnetic stirrer, neraca analitik dengan keterbacaan 0,1 mg. Sedangkan
bahannya antara lain sampel air sungai, larutan baku kalium dikromat
(K2Cr2O7) 0,1 N (digestion solution), larutan pereaksi asam sulfat, larutan
indikator ferroin; larutan baku Ferro Ammonium Sulfat (FAS) 0,05 N; asam
sulfamat (NH2SO3H); larutan baku Kalium Hidrogen Phatalat
(HOOCC6H4COOK,KHP) setara dengan nilai COD 500 mg O2/l.

D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional


1. Variabel Penelitian
a. Variabel bebas (Independen) dalam penelitian ini adalah variasi massa
dan waktu kontak karbon aktif dari biji karet (Hevea brasiliensis).
b. Variabel terikat (Dependen) dalam penelitian ini adalah penurunan kadar
BOD dan COD air Sungai Tabalong.

2. Definisi Operasional
21

No Variabel Definisi Operasional Hasil Skala Alat Ukur


. Ukur Ukur
1. Kadar BOD Kadar BOD (Biochemical mg/L Rasio DO meter
Oxygen Demand) adalah
jumlah oksigen terlarut
awal (DOi) dari sampel
setelah pengambilan
dikurangi jumlah oksigen
terlarut pada sampel yang
telah diinkubasi selama 5
hari pada kondisi gelap
dan suhu 20℃ (DO5),
yang diukur sebelum dan
setelah perlakuan.
2. Kadar COD Kadar COD (Chemical mg/L Rasio Mikro
Oxygen Demand) adalah buret
jumlah oksigen dalam
sampel air Sungai
Tabalong menggunakan
kalium dikromat sebagai
oksidator dengan refluks
tertutup yang diukur
sebelum dan setelah
perlakuan secara
titrimetrik.
3. Massa Massa karbon aktif Gram (gr) Interval Neraca
karbon aktif adalah sejumlah besar analitik
karbon aktif yang
dimasukkan ke dalam
sampel air Sungai
Tabalong, dengan variasi
massa 1,25; 1,5; 1,75 dan
2 gram.
4. Waktu Waktu kontak adalah Menit Interval Timer
kontak lamanya perlakuan dari
penambahan karbon aktif
dengan massa optimum ke
dalam sampel air Sungai
Tabalong, dengan variasi
waktu 30, 60, 90 dan 120
menit.

E. Prosedur Kerja
1. Pengambilan dan Persiapan Sampel
22

Pengambilan sampel air sungai dilakukan menggunakan botol sampel


dengan volume 250 mL pada 3 kedalaman air. Pengambilan sampel
dilakukan dengan botol sampel yang membelakangi laju arus dan langsung
ditutup dalam air. Perlakuan ini dilakukan agar pada saat pengambilan air,
sampel tidak dicemari oleh gangguan akibat gerakan yang menyebabkan
terjadinya gelembung udara yang dapat mempengaruhi kualitas sampel
(Blume et al., 2010 dalam Irham et al., 2017). Sampel yang telah diambil
kemudian dibawa ke Laboratorium Kimia Dasar Jurusan Analis Kesehatan
Poltekkes Kemenkes Banjarmasin untuk di analisis kadar BOD dan COD.
Sampel air untuk uji kadar BOD terlebih dahulu diinkubasi pada suhu
200℃ selama 5 hari dalam keadaan tanpa cahaya (Boyd dan Tucker, 1998
dalam Irham et al., 2017), sedangkan untuk uji kadar COD tidak diperlukan
inkubasi sampel.

2. Pembuatan Karbon Aktif


a. Prosedur Karbonisasi
1) Tempurung biji karet dipisahkan dari kulitnya, dicuci dan dijemur
kemudian dikarbonisasi pada suhu 500℃ selama satu jam.
2) Arang hasil karbonisasi digerus dan diayak 100 mesh kemudian
direndam dalam larutan H2SO4 dengan variasi konsentrasi 3%, 5%,
dan 7% selama 24 jam.
3) Setelah perendaman, arang aktif disaring, dicuci dan dikeringkan
dalam oven dengan suhu 500℃, 600℃, 700℃ selama 60 menit dan
120 menit kemudian dikarakterisasi.
b. Karakterisasi Karbon Aktif Tempurung Biji Karet
1) Penentuan Kadar Air (SNI No.06-3730- 1995)
Sebanyak 2 gram karbon aktif dipanaskan dalam oven pada suhu
110℃ selama 2 jam. Kemudian didinginkan dan ditimbang hingga
diperoleh berat konstan.
a−b
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐴𝑖𝑟 (%) = 𝑥 100%
b
dengan:
a = bobot sampel sebelum dipanaskan (gram)
b = bobot sampel setelah dipanaskan (gram)
2) Penentuan Kadar Abu (SNI No.06- 3730-1995)
Sebanyak 2 gram karbon aktif dikeringkan dalam oven selama 2 jam
pada suhu 110℃. Selanjutnya arang aktif diabukan menggunakan
tanur selama 1 jam dengan suhu 600℃. Abu yang diperoleh
didinginkan dan ditimbang hingga beratnya konstan.
23

b
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑏𝑢 (%) = 𝑥 100%
a
dengan:
a = bobot awal sampel (gram)
b = bobot akhir sampel (gram)
3) Penentuan Daya Serap Terhadap Iodium (SNI No. 06-3730-1995)
Karbon aktif ditimbang sebanyak 0,5 gram ke dalam botol coklat yang
tertutup, kemudian dimasukkan 50 mL larutan iodium 0,1 N dan
dihomogenkan selama 15 menit dengan rotary shaker. Setelah
dihomogenkan, larutan didiamkan selama 15 menit kemudian filtrat
disaring. Selanjutnya filtrat dititrasi dengan Natrium Tiosulfat 0,1 N
hingga warna kuning hampir hilang, kemudian ditambahkan indikator
amilum dan dititrasi kembali hingga titik akhir titrasi terjadi yang
ditandai dengan warna biru tepat hilang.
4) Uji Efektifitas Karbon Aktif Untuk Menurunkan BOD&COD
a. Penentuan Massa Optimum Karbon Aktif
Karbon aktif ditimbang dengan variasi massa 1,25; 1,5; 1,75 dan 2
gram kemudian dicampur dalam 100 mL sampel air sungai, diaduk
dan didiamkan selama 60 menit.
b. Penentuan Waktu Kontak Optimum
Karbon aktif ditimbang sebanyak massa optimum kemudian
dicampurkan dalam 100 mL sampel air sungai kemudian diaduk
dengan variasi waktu kontak 30, 60, 90 dan 120 menit.

3. Penentuan Kadar BOD


a. Prosedur
1) Siapkan 2 buah botol DO, tandai masing-masing A1 dan A2.
2) Masukkan sampel air sungai kedalam masing-masing botol DO
sampai meluap, kemudian tutup masing-masing botol secara hati-hati
untuk menghindari terbentuknya gelembung udara.
3) Lakukan pengocokan beberapa kali, kemudian ditambahkan air bebas
mineral pada sekitar mulut botol DO.
4) Simpan botol A2 dalam lemari inkubaror 20℃ ± 1℃ selama 5 hari.
5) Lakukan pengukuran oksigen terlarut terhadap larutan botol A1
dengan alat DO meter yang terkalibrasi. Hasil pengukuran merupakan
nilai oksigen terlarut nol hari (A1).
6) Ulangi langkah pengerjaan ke 5 untuk botol A2.
7) Ulangi langkah pengerjaan langkah 1-6 untuk penetapan blanko
dengan menggunakan larutan pengencer tanpa contoh uji. Hasil
pengukuran merupakan nilai oksigen terlarut nol hari (B1) dan nilai
oksigen terlarut 5 hari (B2).
24

8) Ulangi langkah pengerjaan langkah 1-6 untuk penetapan kontrol


standar dengan menggunakan larutan glukosa-asam glutamat. Hasil
pengukuran merupakan nilai oksigen terlarut nol hari (C1) dan nilai
oksigen terlarut 5 hari (C2).
b. Perhitungan

( B 1−B 2 )
( A 1− A 2)( )Vc
BOD5 = VB
P

Keterangan:

BOD5 = nilai BOD5 sampel air sungai (mg/L)


A1 = kadar oksigen terlarut sampel sebelum inkubasi (mg/L)
A2 = kadar oksigen terlarut sampel setelah inkubasi 5 hari (mg/L)

B1 = kadar oksigen terlarut blanko sebelum inkubasi (mg/L)


B2 = kadar oksigen terlarut blanko setelah inkubasi 5 hari (mg/L)
VB = volume suspensi mikroba (mL) dalam botol DO blanko
VC = volume suspensi mikroba dalam sampel (mL)
P = perbandingan volume sampel (V1) per volume total (V2)

4. Penentuan Kadar COD


a. Prosedur
1) Pipet sampel kedalam digestion vessel dan tambahkan berturut-turut
digestion solution serta larutan pereaksi asam sulfat, seperti yang
dinyatakan dalam tabel berikut:
25

2) Tutup tabung dan kocok perlahan sampai homogen.


3) Letakkan tabung pada pemanas yang telah dipanaskan pada suhu
150˚C, lakukan refluks selama 2 jam.
4) Dinginkan sampel dan larutan kerja yang sudah di refluks sampai suhu
ruang.
5) Pindahkan secara kuantitatif sampel ke dalam Erlenmeyer untuk
titrasi.
6) Tambahkan indikator ferroin 1 sampai 2 tetes dan titrasi dengan
larutan baku FAS sampai terjadi perubahan warna yang jelas dari
hijau-biru menjadi coklat-kemerahan, catat larutan baku FAS yang
digunakan (Vc1 ml).
7) Lakukan langkah 1 sampai dengan 6 terhadap air bebas organik
sebagai blanko. Catat volume larutan FAS yang digunakan (Vb1 ml)
dan laporkan hasil uji.
b. Perhitungan
Nilai COD sebagai mg/l O2:
COD (mg O2/l) = [(Vb-Vc) x NFAS] x 8000 / Vs
Keterangan :

Vb      = volume larutan FAS yang dibutuhkan untuk blanko (ml)


Vc         = volume larutan FAS yang dibutuhkan untuk contoh uji (ml)
Vs         = volume sampel (ml)
NFAS  = normalitas larutan FAS (N)
8000 = berat mili ekivalen oksigen x 1.000

F. Rancangan Analisis Data


1. Pengolahan Data
Data penelitian yang sudah diperoleh kemudian diolah menggunakan
perangkat komputer dengan langkah sebagai berikut:
1) Editing : Langkah ini untuk meneliti kelengkapan, kejelasan, dan
konsistensi dan kesinambungan data.
2) Coding : Memberi kode angka pada atribut variabel untuk memudahkan
analisa data.
3) Entry Data : Kegiatan memasukkan data ke dalam media komputer agar
diperoleh masukan data yang siap diolah.
4) Tabulasi : Dalam tahap ini data dikelompokkan ke dalam tabel tertentu
menurut sifat yang dimiliki sesuai dengan tujuan penelitian
2. Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis
linear berganda karena penelitian ini menganalisis pengaruh dari dua
variabel bebas, yaitu variasi massa dan waktu kontak karbon aktif
26

tempurung biji karet terhadap kadar BOD dan COD sebagai variabel
terikatnya . Analisis ini dilakukan dengan uji asusmi klasik/syarat yang
harus dipenuhi, yaitu
1) Uji normalitas, dimana asumsi yang harus terpenuhi adalah metode
regresi berdistribusi normal.
2) Uji linearitas, dimana hubungan yang terbentuk antara variabel bebas
dengan variabel terikat secara parsial adalah linear.
3) Uji multikolinearitas, dimana model regresi yang baik adalah tidak
terjadi gejala multikolinearitas.
4) Uji heteroskedastisitas, dalam model regresi tidak terjadi gejala
heteroskedastisitas.
5) Uji autokorelasi, persyaratan yang harus terpenuhi adalah tidak terjadi
autokorelasi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdel-Ghani NT, El-Chaghaby GA, Rawash ESA, Lima EC. Magnetic activated
carbon nanocomposite from Nigella sativa L. waste(MNSA) for the removal
of Coomassie brilliant blue dye from aqueous solution: Statistical design of
experiments for optimization of the adsorption conditions. Journal of
Advanced Research 17: 55–63.
Alaerts G., & S.S Santika. 1984. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional.
Surabaya. Indonesia.
Arisna, R., Zaharah, T. A. and Rudiyansyah (2016) ‘Adsorpsi Besi dan Bahan
Organik pada Air Gambut oleh Karbon Aktif Kulit Durian’, Jurnal Kimia
Khatulistiwa, 5(3), pp. 31–39.
Asdak, Chay. 2010. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Atima, Wa. 2015. BOD DAN COD SEBAGAI PARAMETER PENCEMARAN
AIR DAN BAKU MUTU AIR LIMBAH. Jurnal Biology Science &
Education.
Bangun TA, Zaharah TA, Shofiyani A. 2016. Pembuatan arang aktif dari
cangkang buah karet untuk adsorpsi ion besi (Ii) dalam larutan. Jurnal Kimia
Khatulistiwa, 5(3): 18-24.
Budiman Haryanto, S.P. 2012, Budi Daya Karet Unggul, Yogyakarta: Pustaka
Baru Press
Chafid, Mohammad. 2019. OUTLOOK KARET. Jakarta: Pusat Data dan Sistem
Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal - Kementerian Pertanian
27

Damanik, S, dkk. 2010. Budidaya dan Pasca Panen Karet. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perkebunan. Bogor.
Dedy Anwar Saleh Pohan, Budiyono, Syafrudin. 2016. Analisis Kualitas Air
Sungai Guna Menentukan Peruntukan Ditinjau Dari Aspek Lingkungan.
Jurnal Ilmu Lingkungan, 14(2): 63-71.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2018. STATISTIK PERKEBUNAN
INDONESIA – KARET. Jakarta: Sekretariat Direktorat Jenderal Perkebunan
Kementerian Pertanian.
Doke KM, Khan EM. 2017. Equilibrium, kinetic and diffusion mechanism of
Cr(VI) adsorption onto activated carbon derived from wood apple shell.
Arabian Journal of Chemistry10: 252–260.
Dwidjoseputro. 1981. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan.
Eka Riskhi M, Saibun Sitorus. 2017. PEMANFAATAN AMPAS TAHU
SEBAGAI ARANG AKTIF DALAM MENURUNKAN KADAR COD,
NITRIT DAN NITRAT PADA LIMBAH CAIR INDUSTRI TAHU. Jurusan
Kimia, FMIPA, Universitas Mulawarman.
González-García P. 2018. Activated carbon from lignocellulosics precursors: A
review of the synthesis methods, characterization techniques and applications.
Renewable and Sustainable Energy Reviews 82: 1393–1414.
Gunawan, Ari. 2018. PEMANFAATAN ADSORBEN ZEOLIT, KARBON
AKTIF DAN SILIKA UNTUK PENGOLAHAN LIMBAH
LABORATORIUM KIMIA DI SMK SMTI BANDAR LAMPUNG.
Magister Ilmu Lingkungan Universitas Lampung.
Halder, J.N. and Islam, M.N. (2015) Water Pollution and Its Impact on the Human
Health. Journal of Environment and Human, 2, 36-46.
Indah, D. R. dan Hendrawani, H. 2015. Upaya menurunkan kadar ion logam besi
pada air sumur dengan memanfaatkan arang ampas tebu. Jurnal Ilmiah
Pendidikan Kimia “Hydrogen”, 5(2) : 68-74.
Irham, Muhammad dkk. 2017. Analisis BOD dan COD di perairan estuaria
Krueng Cut, Banda Aceh. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan, Pesisir dan Perikanan
Volume 6, (3):199-204.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. 2017.
PETUNJUK TEKNIS RESTORASI KUALITAS AIR SUNGAI.
Khan EA , Shahjahan , Khan TA. 2018. Adsorption of methyl red on activated
carbon derived from custard apple (Annona squamosa) fruit shell:
Equilibrium isotherm and kinetic studies. Journal of Molecular Liquids
249:1195–1211
Masthura, M. and Putra, Z. (2018) ‘Karakterisasi Mikrostruktur Karbon Aktif
Tempurung Kelapa dan Kayu Bakau’, Elkawnie, 1(4), pp. 45–54.
28

Nurhayati, Indah dkk. 2020. PENURUNAN KADAR BESI (Fe), KROMIUM


(Cr), COD DAN BOD LIMBAH CAIR LABORATORIUM DENGAN
PENGENCERAN, KOAGULASI DAN ADSOBSI. ECOTROPHIC
VOLUME 14 NOMOR 1. Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,
Universitas PGRI Adi Buana: Surabaya.
Nirwana, Rahina Esti. 2019. METODE KOMBINASI DALAM MENURUNKAN
KADAR BOD5 DAN COD PADA LIMBAH CAIR TEPUNG AREN.
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas
Negeri Semarang.
Peraturan Gubernur Kalimantan Selatan No. 5 Tahun 2007 tentang Peruntukan
dan Baku Mutu Air Sungai
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air
dan Pengendalian Pencemaran Air.
Polii, F. F. 2017. Pengaruh Suhu Dan Lama Aktifasi Terhadap Mutu Arang Aktif
Dari Kayu Kelapa Effects of Activation Temperature and Duration Time on
the Quality of the Active Charcoal of Coconut Wood. Jurnal Industri Hasil
Perkebunan, 2(12), pp. 21–28.
Ramadhani, Endi. 2016. ANALISIS PENCEMARAN KUALITAS AIR SUNGAI
BENGAWAN SOLO AKIBAT LIMBAH INDUSTRI DI KECAMATAN
KEBAKKRAMAT KABUPATEN KARANGANYAR. Fakultas Geografi
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Rattanapan S, Srikram, J, Kongsune P. 2017. Adsorption of methyl orange on
coffee grounds activated carbon. Energy Procedia 138: 949-954.
Risa, T. T., Pradana, T. D. dan Asmadi, A. 2016. Kajian metode biofiltrasi
menggunakan media spuit bekas pakai (alat suntik tanpa jarum) untuk
menurunkan kadar BOD dan COD pada air limbah laundry rumah sakit dr.
Soedarso Pontianak tahun 2015. Open Jurnal Universitas Muhammadiyah
Pontianak, 3(1) : 1-8.
Sartika et al. 2019. Penurunan Kadar COD, BOD dan Nitrit Limbah Pabrik Tahu
Menggunakan Karbon Aktif Ampas Bubuk Kopi. Jurnal Engineering 4(2):
557-564.
Setiyono, dan S. Yudo. 2008. Dampak pencemaran lingkungan akibat imbah
industri pengolahan ikan di Muncar (Studi kasus kawasan industri
pengolahan ikan di Muncar-Banyuwangi). JAI 4(1): 69-80.
Shamsuddin MS, Yusoff NRN, Sulaiman MA.2016. Synthesis and
characterization of activated carbon produced from kenaf core fiber using
H3PO4 activation. Procedia Chemistry 19: 558 – 565.
Sirajuddin and Harjanto (2018) ‘Pengaruh Ukuran Adsorben Dan Waktu Adsorpsi
Terhadap Penurunan Kadar Cod Pada Limbah Cair Tahu Menggunakan
29

Arang Aktif Tempurung Kelapa’, Prosiding Seminar Hasil Penelitian, 2018,


pp. 42– 46.
Slamet, J.S. 2004. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
SNI 06-3730-1995 tentang Arang Aktif Teknis
SNI 6989.72:2009 tentang Air dan Air Limbah - Bagian 72: Cara Uji Kebutuhan
Oksigen Biokimia (Biochemical Oxygen Demand/BOD)
SNI 6989.73:2019 tentang Cara Uji Kebutuhan Oksigen Kimiawi (KOK/COD)
Dengan Refluks Tertutup Secara Titrimetri
Soukotta, Elna dkk. 2019. ANALISIS KUALITAS KIMIA AIR SUNGAI
RIUAPA DAN DAMPAKNYA TERHADAP LINGKUNGAN. Magister
Manajemen Hutan Universitas Pattimura
Sudarmadji, S dkk. 2007. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian.
Yogyakarta: Liberty.
Sugiharto. 1983. Penyediaan Air Minum Bagi Masyarakat. Sekolah Pembantu
Pemilik Kesehatan, Tanjung Karang.
Tampubolon, Marissa Graceana. 2017. PENGARUH KADAR MANGAN (Mn)
PADA AIR BAKU DAN AIR RESERVOIR DENGAN MENGGUNAKAN
METODE COLORIMETER LABORATORIUM INSTALASI
PENGOLAHAN AIR MINUM PDAM TIRTANADI SUNGGAL. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.
Tim Penulis PS. 2008. Panduan Lengkap Karet. Jakarta: Penebar Swadaya.
Vinsiah, Suharman A. dan Desi 2014. Pembuatan Karbon Aktif dari Cangkang
Kulit Buah Karet (Hevea Brasilliensis). Universitas Sriwijaya : Indralaya.
Widayatno, T., Yuliawati, T. and Susilo, A. A. (2017) ‘Adsorpsi Logam Berat
(Pb) Dari Limbah Cair Dengan Adsorben Arang Bambu Aktif’, Jurnal
Teknologi Bahan Alam, 1(1), pp. 17–23.
Wulandari, Ajeng. 2007. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ekspor
Karet Dari Indonesia Ke Amerika Kurun Waktu 1980 – 2003. Program
Studi : Ekonomi Pembangunan Universitas Islam Indonesia.
Yuliastuti, R. dan Cahyono, H. B. (2018) ‘Penggunaan Karbon Aktif yang
Teraktivasi Asam Phosphat pada Limbah Cair Industri Krisotil’, Jurnal
Teknologi Proses Dan Inovasi Industri, 3(1), pp. 23–26.
Yuniarti & Danang Biyatmoko. 2019. ANALISIS KUALITAS AIR DAN
DENGAN PENENTUAN STATUS MUTU AIR SUNGAI JAING
KABUPATEN TABALONG. Jukung Jurnal Teknik Lingkungan, 5(2), hal.
52-69.
Zulfadhil, M. Dan Iriany, 2017. Pembuatan Karbon Aktif Dari Cangkang Buah
Karet (Hevea Brasilliensis) Dengan Aktivator H3PO4 Dan Aplikasinya
Sebagai Penjerap Cr(VI). Jurnal Teknik Kimia, 1(6) : 2-5.
30

Anda mungkin juga menyukai