Anda di halaman 1dari 42

KODE ETIK

( LINGKUNGAN, SOSIAL, KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA )

&

STRATEGI PENGELOLAAN DAN RENCANA PELAKSANAAN (SPRP)


UNTUK MENGELOLA RISIKO LINGKUNGAN, SOSIAL, KESEHATAN DAN
KESELAMATAN KERJA (LSK3)
KODE ETIK LINGKUNGAN, SOSIAL, KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA
(LSK3)

1. KODE ETIK
1.1. Umum

Perkembangan Kegiatan Jasa Konstruksi merupakan suatu tantangan bagi pelakupelaku


kegiatan tersebut yang harus dicermati dan diantisipasi dengan baik dan secara sungguh-
sungguh, karena pada saat ini para pelaku-pelaku jasa konstruksi di Indoneisa menghadapi dua
sisi tantangan, tantangan dari luar (arus globalisasi) dan tantangan dari dalam yang merupakan
tantangan dirinya sendiri (Profesionalisme), yang kesemuanya itu harus dapat diatasi dengan
tepat dan cepat.

Dalam profesionalitas pelaku konstruksi bidang Sumber Daya Air harus ditingkatkan kesadaran
terhadap nilai, kepercayaan dan sikap yang mendukung seseorang dalam melaksanakan
tugasnya sesuai dengan jabatan kerja yang dimilikinya, dimana etika dalam berkarya termasuk
pada pelaksanaan kegiatan konstruksi dilapangan; pelaku-pelaku jasa konstruksi harus tampil
dengan sikap moral yang tinggi, untuk dapat menghasilkan pekerjaan yang sesuai dengan
standar dan spesifikasi yang diberikan.

Etika adalah berasal dari kata Ethics dari bahasa Yunani yaitu “Ethos“ yang berarti kebiasaan
atau karakter. Dalam pelaksanaan konstruksi bidang Sumber Daya Air seorang tenaga kerja
perlu perlu memiliki etika atas perilaku moral dan keputusan yang menghormati lingkungan, dan
mematuhi peraturan lainnya dalam kegiatan masa konstruksi, dengan kata lain seorang tenaga
kerja bidang Sumber Daya Air perlu mempunyai nilai moralitas, yang berarti sikap, karakter atau
tindakan apa yang benar dan salah serta apa yang harus dikerjakannya sesuai dengan tugas
dan tanggung jawabnya untuk hidup dilingkungan sosial mereka dalam melaksanakan kegiatan
pekerjaan tersebut.

Masing-masing orang misalnya Pelaksana Terowongan, Teknisi Penghitung Kuantitas, pekerja,


Konsultan Pengawas atau Direksi Teknik dan masyarakat pengguna Terowongan, mempunyai
serangkaian nilai yang dimiliki masing-masing individu menggabungkan nilai pribadi kedalam
suatu sistem sebagai suatu hasil dan sikap yang saling mempengaruhi dan saling merefleksikan
pengalaman dan intelegensinya sehingga terbentuk suatu kegiatan secara sinergi.
1.2. Nilai – Nilai Profesional

Pelaksana Konstruksi, termasuk bagian dari pada itu, merupakan suatu profesi yang didasarkan
pada perhatian, nilai profesional berkaitan dengan kompetensi, dimana nilai-nilai moral yang
universal dikembangkan menjadi kode etik profesi yang didasarkan pada pengalaman dalam
setiap pelaksanaan konstruksi di beberapa tempat / wilayah.

Etik menentukan sikap yang benar, mereka berkaitan dengan apa yang ″seharusnya“ atau
″harus“ dilakukan. Etik tidak seperti hukum yang harus berkaitan dengan aturan sikap yang
merefleksi prinsip-prinsip dasar yang benar dan yang salah dan kode-kode moralitas.

Etik didisain untuk memproteksi hak asasi manusia. Dalam seluruh pekerjaan bidang Sumber
Daya Air, etika memberi standar profesional kegiatan pelaksanaan konstruksi, standar-standar
ini memberi keamanan dan jaminan bagi pelaksana konstruksi maupun pengguna prasarana
bidang Sumber Daya Air (masyarakat).

Meskipun etika dan moral sering digunakan bergantian, para ahli Etik membedakannya, dimana
Etika menunjuk pada keadaan umum dan serangkaian peraturan dan nilai-nilai formal,
sedangkan moral merupakan nilai-nilai atau prinsipprinsip dimana seseorang secara pribadi
menjalankannya (Jameton 1984 Etik profesi).

1.3. Kode Etik Asosiasi Kontraktor Indonesia (AKI)


1. Selalu menjunjung tinggi dan mematuhi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
AKI.
2. Berperilaku sebagai Kontraktor Nasional yang menghormati dan menghargai profesinya.
3. Bertindak untuk tidak mempengaruhi / memaksakan dalam memenangkan tender atau
mendapatkan kontrak.
4. Bertindak untuk tidak memberi atau menerima imbalan dalam memenangkan tender atau
mendapatkan kontrak.
5. Bertindak untuk tidak mendapatkan harga penawaran dan / atau data tender sesama
anggota yang masih dirahasiakan.
6. Bertindak untuk tidak merubah harga / kondisi penawaran setelah tender ditutup.
7. Bertindak untuk tidak saling membajak tenaga kerja maupun tenaga ahli sesama anggota.
8. Bertindak untuk tidak membajak secara sengaja baik langsung maupun tidak langsung
nama baik, kesempatan dan usaha sesama anggota.
9. Berpartisipasi dalam tukar menukar informasi, mengadakan latihan dan penelitian mengenai
syarat-syarat kontrak, Teknologi dan Tata cara pelaksanaan sebagai bagian dari tanggung
jawab kepada masyarakat dan Industri Jasa Konstruksi.

1.4. Kode Etik GAPENSI (Gabungan Pengusaha Konstruksi Indonesia)

Menyadari peran sebagai pelaksana konstruksi yang merupakan bagian tak terpisahkan dari
masyarakat jasa konstruksi pada khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya dan dalam
rangka mewujudkan pembangunan ekonomi nasional yang sehat untuk mencapai masyarakat
adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, GAPENSI menetapkan Kode Etik yang
merupakan pedoman perilaku bagi para anggota di dalam menghayati dan melaksanakan tugas
dan kewajiban masing-masing, dengan nama “Dasa Brata“, sebagai berikut :

1. Berjiwa Pancasila yang berarti satunya kata dan perbuatan didalam menghayati dan
mengamalkannya
2. Memiliki kesadaran nasional yang tinggi, dengan mentaati semua perundangundangan dan
peraturan serta menghindarkan diri dari perbuatan tercela ataupun melawan hukum
3. Penuh rasa tanggung jawab di dalam menjalankan profesi dan usahanya.
4. Bersikap adil, wajar, tegas, bijaksana dan arif serta dewasa dalam bertindak
5. Tanggap terhadap kemajuan dan selalu beriktiar untuk meningkatkan mutu, keahlian,
kemampuan dan pengabdian masyarakat.
6. Didalam menjalankan usahanya wajib berupaya agar pekerjaan yang dilaksanakannya
dapat berdaya guna dan berhasil guna
7. Mematuhi segala ketentuan ikatan kerja dengan pengguna jasa yang disepakati bersama
8. Melakukan persaingan yang sehat dan menjauhkan diri dari praktek-praktek tidak terpuji,
apapun bentuk, nama dan caranya
9. Tidak menyalahgunakan kedudukan, wewenang dan kepercayaan yang diberikan
kepadanya
10. Memegang teguh disiplin, kesetiakawanan dan solidaritas organisasi.

1.5. Kode Etik Persatuan Insinyur Indonesia (PII)

Kode Etik PII (Catur Karsa Sapta Dharma Insinyur Indonesia) :

Empat Prinsip Dasar :

1. Mengutamakan keluruhan budi


2. Mengutamakan pengetahuan dan kemampuan untuk kepentingan kesejahteraan umat
manusia
3. Bekerja secara sungguh-sungguh untuk kepentingan masyarakat sesuai dengan tugas dan
tanggung jawabnya
4. Meningkatkan kompetensi dan martabat berdasarkan keahlian profesional keinsinyuran

Tujuh Tuntutan Sikap :

1. Mengutamakan keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan masyrakat


2. Bekerja sesuai kompetensinya
3. Hanya menyatakan pendapat yang dapat dipertanggung jawabkan
4. Menghindari terjadinya pertentangan kepentingan dalam tanggung jawab tugasnya
5. Membangun reputasi profesi berdasarkan kemampuan masing-masing
6. Memegang teguh kehormatan, integritas dan martabat profesi
7. Mengembangkan kemampuan profesional

1.6. Kode Etik HATHI (Himpunan Ahli Teknik Hidrolika Indonesia).


1. Latar Belakang

Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2000 tentang usaha dan Peran Masyarakat Jasa
Konstruksi mengisyaratkan bahwa asosiasi profesi wajib memiliki dan menjunjung tinggi
kode etik profesi. HATHI sebagai asosiasi profesi memiliki Kode Etik yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Anggaran Dasar / Anggaran Rumah Tangga HATHI.
Kode Etik HATHI diturunkan dari visi tentang norma dan nilai luhur anggota HATHI dalam
melaksanakan semua kegiatan profesinya.

2. Kaidah Dasar
1. Mengutamakan keluruhan budi
2. Menggunakan pengetahuan dan kemampuan untuk kepentingan kesejahteraan
masyarakat
3. Meningkatkan kompetensi dan martabat berdasarkan keahlian profesional teknik
keairan
3. Kaidah Dasar
1. Senantiasa mengutamakan keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat
2. Senantiasa bekerja sesuai dengan kompetensi
3. Senantiasa menyatakan pendapat yang dapat dipertanggung jawabkan
4. Senantiasa menghindari pertentangan kepentingan dalam tugas dan anggung jawab
5. Senantiasa membangun reputasi profesi berdasarkan kemampuan
6. Senantiasa memegang teguh kehormatan, integrtas dan martabat profesi
7. Senantiasa mengembangkan kemampuan profesi

Sesuai ketentuan Anggaran Dasar HATHI, anggota HATHI wajib menjunjung tinggi dan
melaksanakan Kode Etik HATHI

4. Kaidah Dasar

Pemilik sertifikat HATHI adalah anggota HATHI. Karenanya pemilik sertifikat HATHI wajib
tunduk dan menjunjung tinggi Kode Etik HATHI

Pelanggaran terhadap kode etik HATHI dapat mengakibatkan sanksi pencabutan


keanggotaan HATHI yang pada akhirnya secara hukum akan menggugurkan kepemilikan
sertifikat HATHI.

1.7. Undang – Undang Dan Peraturan Pemerintah Tentang Jasa Konstruksi


1. Tanggung Jawab Profesional

Dalam melaksanakan tugas yang sebaik-baiknya merupakan tanggung jawab profesional


berdasarkan Pancasila dn UUD 1945 yang merupakan pedoman didalam menghayati dan
melaksanakan tugasnya yang harus dipertanggung jawabkan didunia dan akhirat.

Pertanggungjawaban didunia taat dan patuh terhadap kaidah normatif serta menghormati
sesama individu. Pertanggungjawaban di akhirat ditandai dengan rasa tanggung jawab
kepada tuhan yang maha esa dengan menjalankan ajarannya dan membentuk kepribadian
terhadap kebenarannya.
Tanggung Jawab profesional sesuai dengan UUJK adalah sebagai berikut :

Tanggung jawab profesional sesuai dengan UUJK harus dilandasi oleh prinsip-prinsip
keahlian sesuai kaidah keilmuan dan kejujuran intelektual dan bagi
anggota HATHI sebagai tenaga profesional harus bertindak berdasarkan Kode
Etik Asosiasi. Pelaksanaan tanggung jawab profesional bagi tenaga profesional
HATHI akan terjadi pada setiap tahapan kegiatan pekerjaan konstruksi, dimulai
dari perencanaan, pelaksanaan beserta pengawasannya dan tahap operasional /
pemanfaatan.
2. Tanggung Jawab Profesional

Korelasi keterkaitan antara pengakuan profesi secara hukum dengan tanggung jawab
hukum yang diatur dalam Undang-Undang Jasa Konstruksi dapat digambarkan sebagai

berikut :
2. ETOS KERJA
2.1. Umum

Menghayati makna “Etos Kerja” akan dapat mengungkapkan suatu persepsi, apa dan
bagaimana seharusnya melaksanakan tugas pekerjaan dengan sebaik-baiknya. Agar mampu
dan mau melakukan tugas pekerjaan pertama kali dituntut mempunyai “kompetensi”, dan apabila
telah melekat wewenang, tanggung jawab,kewajiban dan hak, maka dapat disebut “kompeten”.

Dengan demikian orang perorang atau kelompok orang dalam suatu kelembagaan
yang mempunyai kompetensi dan telah melekat wewenang, tanggung jawab,
kewajiban dan hak maka orang per orang atau kelompok orang dalam suatu
kelembagaan dapat dikatakan sebagai yang kompeten.

Dalam rangka melakukan tugas yang sebaik-baiknya, diharapkan para pelakunya


menghayati bahwa tugas pekerjaan yang dibebankan di atas pundaknya sebagai
“amanah” yang harus dipertanggung jawabkan di dunia dan akhirat, khususnya
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan manusia atau kelompok manusia yang
memberikan amanah.

Tanggung jawab yang dimaksud meliputi :

- Tanggung jawab di dunia akan ditandai dengan : taat dan patuh pada kaidah
normatif yang mengikat yang dalam hal ini dapat dirumuskan sebagai : Disiplin
kerja.
- Tanggung jawab diakhirat ditandai dengan rasa tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha
Esa, ada yang dilengkapi dengan tanggung jawab budaya suatu suku atau sekelompok
masyarakat yang membentuk kepribadiannya dan ada juga terikat dengan rasa tanggung
jawabnya terhadap kebesaran dan keluhuran dari nenek moyang leluhurnya.

Untuk dapat mempertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dapat dilakukan antara
lain, setiap individu manusia yang mendapat ”amanah” melakukan tugas pekerjaan, seyogyanya
selalu diawali ”niat” menjalankan tugas pekerjaan semoga menjadi ”amal ibadah” yang selalu
mendapat bimbingan dan ridho dari Tuhan Yang Maha Esa yang selanjutnya dapat diterima dan
menjadi amal ibadah.

Modal utama dapat menjalankan tugas pekerjaan yang dapat dipertanggung


jawabkan dihadapan Tuhan Yang Maha Esa adalah : Iman dan Taqwa, menjalankan
perintah dan meninggalkan larangan yang diajarkan agama. Prinsip ini kiranya
cukup tepat untuk masyarakat bangsa Indonesia yang mempunyai filsafat hidup
berbangsa dan bernegara di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
yaitu : PANCASILA, dimana sila pertama mengamanatkan : Ketuhanan Yang Maha
Esa.

2.2. Disiplin Kerja


2.2.1. Pengertian

Disiplin adalah suatu sikap yang harus ditunjukkan oleh seorang pelaksana dan para
teknisi, mandor dan pekerja dalam melaksanakan pekerjaan terowongan untuk
mematuhi, menepati dan mendukung nilai serta kaidah atau peraturan yang berlaku
didalam melaksanakan pekerjaan. Seorang pelaksana harus memperingatkan kepada
bawahannya yang tidak mematuhi kedisplinan dalam melaksanakan pekerjaan.

Dari pengertian tersebut di atas, beberapa hal yang perlu kita ketahui tentang hakekat
disiplin adalah :

a. Nilai dan Kaidah atau Peraturan


Nilai adalah suatu konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik atau buruk,
salah atau benar, adil atau tidak adil bagi suatu masyarakat. Sedangkan kaidah atau
peraturan adalah suatu nilai yang dibakukan menjadi pedoman untuk berprilaku dan
bertindak terhadap sesama manusia dan lingkungannya.

1. Wujud disiplin selain kaidah atau peraturan

Identik dengan kaidah atau peraturan adalah bisa berupa : fungsi lembaga-tujuan
lembaga, program kerja, tugas atau uraian kerja. Karena hal tersebut juga
berfungsi sebagai pedoman dalam melakukan kegiatan dan bertindak seseorang
dalam suatu lingkungan kerja.

Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa menegakan disiplin


pada suatu lembaga adalah tidak hanya terlihat dari sikap mematuhi,
menepati dan mendukung kaidah atau peraturan yang berlaku.
Namun juga harus nampak pada kepatuhan, ketepatan dan dukungan terhadap
fungsi lembaga - tujuan lembaga - program kerja.

- Tugas atau uraian kerja yang telah direncanakan.


2. Fungsi kaidah dan peraturan

Adanya kaidah atau peraturan di dalam kehidupan bermasyarakat adalah sebagai


sarana pengendalian sosial agar dalam kehidupan bermasyarakat tercipta
suasana “ketertiban” dan ”ketentraman”.
Secara sosiologis, menurut Soerjono Soekamto mengemukakan
bahwa “ketertiban” itu terlihat apabila suatu masyarakat :
 Ada kaidah yang jelas dan tegas
 Ada konsistensi dalam pelaksanaan kaidah
 Ada keteraturan (penataan secara sestematik) dalam memproyeksikan arah
kemasyarakatan
 Ada sistem pengendalian yang mantap
 Ada stabilitas yang nyata atau tidak semu
 Ada proses sosial yang kondusif
 Tidak ada perubahan yang sering terjadi
 Tidak adanya kaidah yang tumpang tindih
 Tidak adanya standar ganda dalam penerapan kaidah atau peraturan
Adapun “Ketentraman” yang dimaksud adalah keadaan batin warga masyarakat
bebas dari rasa kuatir, kecewa atau frustasi dan konflik dalam diri seorang
menghadapi dua pilihan yang serba menyulitkan atau serba tidak mengenakan.

3. Fungsi kaidah dan peraturan


Prasyarat menegakkan kaidah atau peraturan (disiplin) ada 4 aspek yang harus
diperhatikan secara seimbang, yakni :

 Kaidah atau peraturannya itu sendiri harus jelas dan tegas


 Kesadaran warga untuk mematuhi harus ada
 Sarananya harus menunjang
 Petugas yang menerapkan kaidah harus arif (professional) dalam
melaksanakannya
b. Nilai dan Kaidah atau Peraturan
Sikap adalah suatu disposisi atau keadaaan mental di dalam jiwa dan diri individu
untuk bereaksi terhadap lingkungannya (baik lingkungan manusia, alam sekitarnya
dan fisiknya)

Sikap itu walaupun berada dalam diri seorang individu, biasanya juga
dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya dan sering juga bersumber pada
sistem nilai-budaya.

Suatu sistem nilai budaya yang mempengaruhi terhadap sikap individu,


terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup didalam alam pikiran sebagian
besar masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap bernilai
dalam hidup

Misalnya, nilai-budaya (tradisional) dalam adat istiadat kita yang


terlampau banyak berorientasi vertikal terhadap orang-orang pembesar,
orang-orang berpangkat tinggi dan orang-orang tua atau senior. Akan
membentuk atau mempengaruhi sikap warga masyarakat untuk patuh,
menurut dan tidak berani memberikan komentar pimpinannya.

Contohnya nilai-budaya yang demikian bagi suatu masyarakat tertentu


dan dalam kurun waktu tertentu menganggap sebagai nilai-budaya yang
baik. Namun pada masyarakat dan kurun waktu yang lain bisa
beranggapan sebagai nilai-budaya yang buruk. Bagi suatu masyarakat
yang memandang nilai-budaya tersebut buruk karena nilai-budaya yang
demikian akan membentuk sikap.

 Solidaritas sapulidi, yaitu solidaritas yang hanya terkonsentrasi pada


bagian atas dan solidaritas yang hanya tergantung pada tali
pengikatnya, begitu tali pengikat kendor, kendor pula solidaritasnya
 Tak berdisiplin murni, yakni hanya berdisiplin karena takut ada pengawasan
dari atas. Pada saat pengawasan itu kendor atau tidak ada maka hilanglah
juga hasrat murni dalam jiwanya untuk secara ketat mentaati peraturan
 Tidak bertanggung jawab, dalam artian, tumbuhnya rasa tanggung jawab
karena adanya ikatan batin dengan pimpinannya. Namun bila ikatan batin
tersebut longgar, maka longgar pula rasa tanggung jawabnya.
4. Sikap yang dibutuhkan dalam menegakan disiplin

Untuk memahami salah satu sikap yang dibutuhkan dalam menegakan disiplin,
permasalahannya bukan terletak kepada arti mematuhi peraturan yang ada.
Namun harus berorientasi pada pertanyaan “Apakah sebabnya orang harus
mentaati kaidah peraturan”. Dengan memahami jawabannya atas pertanyaan
itulah
maka potensi orang untuk mematuhi peraturan akan tumbuh dan
berkembang.

2.3. Mematuhi kaidah atau peraturan

Filsafat hukum mencoba mencari dasar kekuatan mengikat dari pada kaidah atau peraturan,
yaitu apakah dipatuhinya kaidah atau peraturan itu disebabkan oleh karena peraturan itu
dibentuk oleh pejabat yang berwenang atau memang masyarakatnya mengakuinya karena
dinilai kaidah atau peraturan tersebut sebagai suatu kaidah atau peraturan yang hidup didalam
masyarakat itu.

Dalam hubungan dengan pertanyaan yang pertama terdapat beberapa teori penting
yang patut diketengahkan

1) Teori Kedaulatan Tuhan (Teokrasi)

Teori kedaulatan Tuhan yang langsung berpegang kepada pendapat bahwa : “Untuk segala
kaidah atau peraturan adalah kehendak Tuhan. Tuhan sendirilah yang menetapkan kaidah
atau peraturan dan pemerintah-pemerintah duniawi adalah pesuruh-pesuruh kehendak
Tuhan.

Kaidah atau peraturan dianggap sebagai kehendak atau kemauan Tuhan. Manusia sebagai
salah satu ciptaan-Nya wajib taat pada kaidah atau peraturan Tuhan ini.

Teori kedaulatan Tuhan yang bersifat langsung ini hendak membenarkan perlunya
peraturan yang dibuat oleh raja-raja yang menjelmakan dirinya sebagai Tuhan didunia.
Harus ditaati oleh setiap penduduknya. Sebagai contoh raja-raja Fir’aun.

Teori Kedaulatan Tuhan yang tidak langsung , menganggap raja-raja bukan sebagai Tuhan
akan tetapi wakil Tuhan didunia. Dalam kaitan ini, dengan sendirinya juga karena bertindak
sebagai wakil, semua kaidah atau peraturan yang dibuatnya wajib pula ditaati oleh segenap
warganya. Pandangan ini walau berkembang hingga jaman Renaissance, namun hingga
saat ini masih juga ada yang berdasarkan otoritas peraturan pada faktor Ketuhanan itu.
2) Teori Perjanjian Masyarakat

Pada pokoknya teori ini berpendapat bahwa orang taat dan tunduk pada kaidah atau
peraturan oleh karena berjanji untuk mentaatinya. Kaidah atau peraturan.

Tentang perjanjian ini, terdapat perbedaan pendapat antara Thomas Hobbes, John Locke
dan J.J Rousseau.

Dalam bukunya “De Give” (1642) dan Leviathan” (1651), Thomas Hobbes
membentangkan pendapat yang intinya sebagai berikut :

Pada mulanya manusia itu hidup dalam suasana bellum omnium contra omnes, selalu
dalam keadaan perang (saling bunuh membunuh, saling sikut-menyikut). Agar tercipta
suasana damai tentram. Lalu diadakan perjanjian diantara mereka (Pactum Unionis).
Setelah itu disusul perjanjian antara semua dengan seseorang tertentu (pactum
subjectionis) yang akan diserahi kekuasaan untuk memimpin mereka. Kekuasaan yang
dimiliki oleh pemimpin ini adalah mutlak. Timbulah kekuasaan yang bersifat absolut.

Konstruksi John Lock dalam bukunya “ Two Treatises on Civil Government ” (1690), agak
berbeda karena pada waktu perjanjian itu disertakan pula syaratsyarat yang antara lain
kekuasaan yang diberikan dibatasi dan dilarang melanggar hak-hak azasi manusia.
Teorinya menghasilkan kekuasaan raja yang dibatasi oleh konstitusi.

J.J. Rousseau dalam bukunya “Le Contrak Social on Principes de Droit Politique” (1672),
berpendapat bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh anggota masyarakat tetap berada pada
individu-individu dan tidak diserahkan pada seseorang tertentu secara mutlak atau dengan
persyaratan tertentu. Konstruksi yang dihasilkannya ialah pemerintahan demokrasi
langsung. Tipe pemerintahan seperti ini hanya sesuai dengan Negara dengan wilayah
sempit dan penduduknya sedikit. Pemikirannya tidak dapat diterapkan untuk suatu Negara
modern dengan wilayah Negara yang luas dan banyak penduduknya.

3) Teori Kedaulatan Negara

Pada intinya teori ini berpendapat bahwa ditaatinya kaidah atau peraturan itu karena
Negara menghendakinya.

Hans Kelsen misalnya dalam bukunya Hauptprobleme der Staatslehre (1811), Das Problem
der Souveranitat und die Theori des Volkerects (1920), Allegemeine Staatsleher (1925) dan
Reine Rechstlehre (1934), menganggap bahwa kaidah atau peraturan itu merupakan “Wille
des Staates” orang tunduk.

pada kaidah atau peraturan karena merasa wajib mentaatinya karena kaidah atau peraturan
itu adalah kehendak Negara.

4) Teori Kedaulatan Hukum

Kaidah atau peraturan mengikat bukan karena Negara menghendakinya akan tetapi karena
merupakan perumusan dari kesadaran kaidah atau peraturan rakyat. Berlakunya kaidah
atau peraturan karena niat bathinnya yaitu menjelma di dalam kaidah atau peraturan itu.

Pendapat ini diutarakan oleh Prof. Mr. H. Krabbe dalam bukunya “ Die Lehre der
Rechtssouveraniatat (1906).

Selanjutnya beliau berpendapat bahwa kesadaran kaidah atau peraturan yang dimaksud
berpangkal pada perasaan kaidah peraturan setiap individu yaitu perasaan bagaimana
seharusnya peraturan itu.

Terdapat banyak kritik terhadap pendapat diatas. Pertanyaan-pertanyaan berkisar pada apa
yang dimaksud dengan kesadaran kaidah atau peraturan bagian terbesar dari anggota
masyarakat jadi bukan perasaan kaidah atau peraturan itu.

Prof. Krabbe mencoba menjawab dengan mengetengahkan perumusan baru yaitu bahwa
kaidah atau peraturan itu berasal dari perasaan kaidah atau peraturan terbesar dari anggota
masyarakat jadi bukan perasaan kaidah atau peraturan setiap individu.

Seorang muridnya yang terkenal Prof. Mr. R. Kraneburg dalam bukunya “Positief Recht an
Rechbewustzij (1928) berusaha membelanya dengan teorinya yang terkenal “azas
keseimbangan” (evnredigheidspostulat).

5) Type Kepatuhan

Dalam berkehidupan bermasyarakat, kepatuhan terhadap kaidah atau peraturan dapat


dipilah-pilahkan menjadi 3 yakni :

1. Kepatuhan internal, kepatuhan yang timbul dari dalam diri seseorang


2. Kepatuhan eksternal, kepatuhan yang timbul dari pengaruh luar
3. Kepatuhan semu, yakni tipe kepatuhan yang pada saat ada pengawasan=atau yang secara
formalitas tidak dapat dibuktikan adanya penyimpangan namun yang sebenarnya tidak
sedikit yang dipalsukan.
2.4. Kecenderuan orang tidak disiplin

Untuk memberikan jawaban mengapa kebanyakan orang cenderung untuk tidak disiplin dapat
dilihat dari beberapa sudut pandang keilmuan, yakni :

1) Pakar Anthropologi Budaya, Koentjaraningrat, mengemukakan pendapat bahwa Revolusi


kita, serupa dengan semua revolusi yang terjadi dalam sejarah manusia, telah membawa
akibat-akibat post-revolusi berupa kerusakankerusakan mental dan fisik, dalam masyarakat
bangsa kita.

Pakar Anthropologi Budaya, Koentjaraningrat, mengemukakan pendapat bahwa Revolusi


kita, serupa dengan semua revolusi yang terjadi dalam sejarah manusia, telah membawa
akibat-akibat post-revolusi berupa kerusakankerusakan mental dan fisik, dalam masyarakat
bangsa kita.

2) Dari sudut sosiologis. Soedjito, sosiolog yang tidak diragukan reputasinya, mengemukakan
suatu prespektif sosiologis, sebagai berikut :

Masalah sosial : (kedisiplinan) adalah merupakan resultante dari berbagai faktor di dalam
masyarakat yang sedang mencari bentuk dan kepribadian, karena tidak adanya keajegan
yang dapat dipegang sebagai pengarahan, bisa menimbulkan dis-organisasi sosial dan
bentuk alienation.

Alienation dalam bentuk frustasi bisa menimbulkan sikap asosial terhadap orang lain.

Sikap asosial bisa melahirkan tata nilai moralitas yang beranggapan bahwa menjadi jago
atau melanggar peraturan merupakan suatu hal yang patut dibanggakan.

Dalam kondisi sosial yang demikian, akan terjadi lomba ketangkasan meningkatkan
kuantitas dan kualitas kejahatan. Seperti keadaan masyarakat, bahwa kejahatan itu tidak
hanya dilakukan oleh orang yang tidak mapan ekonominya saja. Namun orang yang sudah
mapan ekonominyapun juga melakukan kejahatan yang lazim disebut White Colar Crime.

Selanjutnya Soedjito mengemukakan bahwa, masyarakat yang kehilangan pegangan akan


mudah menimbulkan anomi, keadaan anomi ialah keadaan dimana norma-norma sosial
tidak mempunyai kekuatan untuk mengatur masyarakat.
3) Soerjono Soekamto, didalam bukunya Sosiologi Hukum, menyatakan :

Bahwa timbulnya perilaku menyimpang kaidah sosial dalam masyarakat adalah dapat
dipengaruhi oleh 4 aspek, yaitu :

a) Kaidah sosial (hukumnya) itu sendiri harus terinci secara jelas dan tegas
sehingga mampu berfungsi sebagai pengendalian sosial atau terciptanya
suasana ketertiban dan ketentraman
b) Sikap Penegak Hukum, juga menentukan terwujudnya fungsi sebagai pengendalian
sosial. Karena dalam kehidupan masyarakat, walaupun hukumnya sudah terinci secara
jelas dan tegas tapi kalau sikap atau semangat penegak Hukumnya bertindak atau
berbuat yang menyimpang juga tidak mempunyai arti.
c) Sarana dan prasarananya juga harus menunjang.
d) Kesadaran hukum warga masyarakatnya juga harus ditumbuh kembangkan Keempat
aspek tersebut harus mendapatkan perhatian yang seimbang, karena bila salah satu
aspek saja terabaikan tidak mungkin terwujud tegaknya hukum (disiplin) dalam suatu
masyarakat.
2.5. Menepati

Salah satu wujud seseorang itu patuh pada kaidah atau peraturan yang ada adalah menepati.
Adapun therminologi menepati adalah suatu perbuatan atau tindaka yang sesuai dengan kaidah
atau peraturan yang berlaku.

Kemudian muncul pertanyaan : mengapa kita harus menepati kaidah atau peraturan.

Secara hukum, kalau suatu kaidah (atau program yang telah direncanakan) telah disepakati
sebagai kehendak bersama atau sebagai konsensus, maka keseluruhan warga masyarakat
(warga lembaga) tersebut telah mengikatkan diri atau telah terikat oleh hasil konsensus tersebut.
Dengan demikian mereka mempunyai kewajiban moral untuk menepati hasil consensus
tersebut.

Menurut Prof. Eggens yang terkenal dengan teorinya “konsensualisme” mengemukakan, bahwa
keharusan menepati kaidah atau peraturan adalah suatu tuntutan kesusilaan merupakan suatu
puncak peningkatan martabat manusia yang tersimpul dalam pepatah een man een man een
word een word, artinya, dengan diletakkannya kepercayaan pada seseorang, maka orang
tersebut telah ditingkatkan martabatnya setinggi-tingginya.
Dengan landasan teori termaksud di atas, jawaban mengapa orang harus menepati kaidah atau
peraturan adalah karena suatu kesusilaan dan merupakan suatu puncak peningkatan martabat
manusia.

2.6. Mendukung

Mendukung adalah sikap partisipasi aktif dalam melaksanakan nilai dan kaidah (fungsi, tugas
atau uraian kerja).

Partisipasi aktif, merupakan suatu proses kegiatan yang hidup dan berkembang, oleh karena itu
partisipasi pasif (tidak menolak program-program yang direncanakan namun tidak ada prakarsa)
harus dihilangkan. Dan sebaliknya partisipasi aktif perlu dipertumbuh-kembangkan.

Adapun langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam rangka menumbuh kembangkan partisipasi
adalah :

1) Identifikasi dan klasifikasi jenis-jenis partisipasi


2) mewadahi partisipasi agar kegairahan berpartisipasi tidak melayang, misalnya wadah
partisipasi buah pikiran dapat membentuk : rapat mingguan, briefing, seminar dan
penataran
3) Pra-syarat partisipasi, yakni :
a) Adanya rasa senasib sepenanggungan atau ringan sama dijinjing dan berat sama
dipikul
b) Adanya rasa ketergantungan dan keterkaitan
c) Adanya keterkaitan tujuan
d) Adanya prakarsawan
e) Adanya iklim partisipasi

Iklim partisipasi perlu diciptakan, karena pada umumnya partisipasi apapun tidak akan
ada dikalangan bawah apabila tidak diperhatikan.

Adapun faktor-faktor yang dapat menimbulkan partisipasi adalah :

a) Keberadaan dan kedaulatan bawahan dihormati


b) Tugas dan wewenang bahwa yang telah dilimpahkan diakui
c) Adanya komunikasi tenggang rasa dan anggota “Duduk sama rendah berdiri sama
tinggi
d) Tertanamnya perasaan, bahwa keikutsertaan bawahan mempunyai arti relevan
bagi dirinya dan lingkungannya
2.7. Permasalahan
Dengan bertolak pada makna disiplin terurai diatas, ruang lingkup permasalahan
menegakkan disiplin dapat dipertanyakan sebagai berikut :
1. Apakah kaidah atau (fungsi lembaga yang terumuskan dalam tujuan lembaga, tujuan
lembaga terjabarkan dalam program-program kerja, program-program kerja terdistribusikan
pada unit-unit kerja dalam bentuk uraian kerja) sudah terinci secara jelas, tegas dan mampu
berfungsi sebagai pengendali dalam proses kegiatan.
2. Apakah kesadaran warga lembaga dalam menjalankan tugas sudah menggunakan kaidah-
kaidah yang ada sebagai pedoman sudah ada
3. Apakah sarana dan prasarana sudah mampu mendukung untuk menegakkan disiplin
4. Apakah kelompok elite di lembaga kita sudah arif (professional) dalam mengantisipasi dan
mengatasi gejala-gejala yang timbul
5. Adakah faktor-faktor lain yang mempengaruhi tegaknya disiplin di lembaga kita
2.8. Permasalahan
1. Menata kembali peraturan, tujuan program kerja dan pendistribusiannya agar terumus
secara jelas dan tegas
2. Penataan ulang butir-butir nomor 1, hasilnya harus mampu berfungsi sebagai pengendali
agar proses kegiatan di lembaga kita nampak.
a. Adanya keteraturan (penataan secara sistematik) dalam memproyeksikan arah lembaga
b. Adanya sistem pengendalian yang mantap
c. Adanya stabiitas yang nyata atau tidak semu.
d. Adanya iklim kerja yang kondusif
e. Tidak adanya standar ganda dalam pelaksaan
f. Tidak adanya rasa kuatir, kecewa atau frustasi dan konflik dalam diri warga lembaga untuk
memilih dua pilihan yang tidak serba enak
3. Dalam rangka menumbuhkan kesadaran disiplin bawahan dengan melakukan pendekatan
edukatif
 Ing ngarso sun tulodo
 Ing madyo mbangun karso
 Tut wuri Handayani
 Saling asah, saling asuh, saling asih
 Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul

Agar tumbuh kesadaran melu andarbeni, melu hangrukebi dan nulat sariro hangrosowani
Dan menghindarkan penjatuhan sanksi yang subyektif, tanpa pembuktian terlebih dahulu
dan tidak didasarkan pada kaidah yang berlaku.

4. Mengoptimalkan sarana yang ada dan melengkapi sarana yang belum ada. Dalam hal ini,
harus diketahui terlebih dahulu hasil perolehan butir nomor 1, 2 dan 3 diatas.
5. Dirumuskan sistem pengendalian terlebih dahulu dan baru dibentuk unit kerja yang bidang
garapannya sebagai pengendali proses kegiatan kegiatan yang ada dilembaga.
6. Nilai budaya vertikal oriented harus dibuang jauh-jauh dan sebagai gantinya adalah nilai
budaya organis atau jarring.
7. Untuk menambah wawasan dalam upaya menegakan disiplin di lembaga kita. Penulis
kutipkan kesimpulan pendapat Menhankam Edi Sudrajat, sebagai berikut :
a. Para petinggi Negara harus menjadi teladan dan bertanggung jawab atas disiplin nasional
memerlukan suri tauladan secara hierarkis dan tidak akan ada prajurit yang disiplin apabila
komandannya bertindak semaunya sendiri. Adapun keluhan terhadap tingkat nasional maka
sesungguhnya keluhan tersebut pertama-tama ditunjukan kepada lapisan elite, para
pimpinan dan pemuka masyarakat, karena dari mereka diharapkan suri teladannya.
Golongan inilah yang sesungguhnya bertanggung jawab terhadap cacat celanya
kesuriteladanan, karena masuk dalam golongan elite masyarakat.
b. Pembudayaan disiplin nasional tidak dapat dilaksanakan secara santai tetapi membutuhkan
konsistensi, tekad yang bulat, kerja keras dan disertai dengan tindakan nyata tanpa
pandang bulu terhdap pelanggarnya Lebih dari itu pembudayaan nasional memerlukan
keteladanan secara hierarchies, karena itu jika ada keluhan terhadap tingkat disiplin
nasional maka sesungguhnya keluhan tersebut harus ditujukan kepada elite atau pada para
pimpinan
c. Disiplin bukanlah hanya kewajiban kepatuhan dari bawah ke atas tetapi lebih utama lagi
dari atas ke bawah, berapa disiplin dalam mempertanggung jawabkan pembinaan dan
kepemimpinan hanya dengan demikian tercipta rasa aman dan terjamin keamanan dari
yang berada di bawah yakni masyarakat luas
d. Disiplin nasional termasuk disiplin berpikir dan dimulai dari sikap batin dan kejernihan hati
nurani.

Jika hati nurani sudah bersih maka akan terbentuk sikap dan prilaku yan disiplin, termasuk
dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
e. Disiplin, pada dasarnya adalah sikap batin yang tercermin dalam perilaku untuk senantiasa
mentaati setiap norma dan ketentuan secara sadar dan dijalankan secara ikhlas tanpa
adanya paksaan.

Oleh karenanya sikap batin dan perilaku disiplin tidak dapat diwujudkan hanya melalui
ceramah atau kuliah saja namun harus ditumbuh kembangkan melalui contoh teladan serta
melalui pembiasaan dalam kehidupan secara terus menerus (Suara Karya, Kamis, 29 Juni
1995).

2.9. Bentuk Matrik Lingkungan, Sosial, Kesehatan dan Keselamatan Kerja (LSK3)
a. Insiden terhadap lingkungan atau ketidaksesuaian dengan persyaratan kontrak, termasuk
kontaminasi, pencemaran atau kerusakan terhadap tanah atau sumber daya air;
b. Insiden Kesehatan dan Keselamatan Kerja, kecelakaan, korban jiwa dan korban cedera
yang memerlukan perawatan;
c. Interaksi dengan pembuat peraturan: identifikasi instansi terkait, tanggal, subjek, hasil
(laporkan negatif jika tidak ada);
d. Status semua izin dan perjanjian :
i. izin kerja: jumlah yang diperlukan, jumlah yang diterima, tindakan yang diambil untuk
yang tidak diterima;
ii. status izin dan persetujuan, sebagaimana diperlukan, disesuaikan dengan jenis
pekerjaan:

daftar lokasi / fasilitas dengan izin yang diperlukan , tanggal pengajuan, tanggal
dikeluarkan (tindakan untuk menindaklanjuti jika tidak dikeluarkan), tanggal diserahkan
kepada SE (atau yang setara), status area (menunggu izin, bekerja, ditinggalkan tanpa
reklamasi, rencana dekomisioning sedang dilaksanakan, dll.);

daftar lokasi dengan perjanjian dengan pemilik lahan (lokasi untuk penumpukan dan
pembuangan, base camp), tanggal perjanjian, tanggal diserahkan kepada SE (atau
yang setara);

daftar lokasi dengan perjanjian dengan pemerintahan desa untuk penggunaan jalan
akses bagi kendaraan yang mengangkut peralatan, material dan tenaga kerja;

daftar lokasi dengan perjanjian dengan masyarakat terkait dengan kerusakan atau
gangguan terhadap fasilitas umum, saluran irigasi, saluran drainase yang terganggu
selama masa konstruksi mengidentifikasi kegiatan utama yang dilakukan di setiap
lokasi bulan ini dan focus utama perlindungan terhadap lingkungan dan sosial
(pembukaan lahan, penandaan batas, pengupasan lapisan tanah, , penanganan debu,
suara, manajemen lalu lintas, rencana dekomisioning, pelaksanaan dekomisioning);

Catatan: Penanganan masalah sosial (termasuk lingkungan) di quarry biasanya


dilakukan oleh kontraktor. Tugas Pemilik pekerjaan adalah untuk memastikan bahwa
penanganan sosial (kompensasi, relokasi dll) di quarry mengikuti ESMP.

e. Pengawasan terhadap Kesehatan dan Keselamatan Kerja:


i. izin kerja: jumlah yang diperlukan, jumlah yang diterima, tindakan yang diambil untuk
yang tidak diterima;
ii. jumlah pekerja, jam kerja, matrik penggunaan APD (persentase pekerja dengan
peralatan perlindungan pribadi lengkap (APD), sebagian, dll.), pelanggaran pekerja
yang diamati (berdasarkan jenis pelanggaran, APD atau sebaliknya), peringatan yang
diberikan, peringatan berulang diberikan, tindak lanjut yang diambil (jika ada);
f. Pengawasan terhadap Kesehatan dan Keselamatan Kerja:

Jumlah tenaga kerja pendatang, jumlah tenaga kerja setempat; tanggal pemeriksaan
terakhir, dan terutama pemeriksaan terhadap kesesuaian akomodasi terhadap hukum
nasional dan lokal serta kewajaran, termasuk air bersih, sanitasi, ruang, dll;

tindakan yang diambil untuk merekomendasikan / memerlukan perbaikan kondisi, atau


untuk memperbaiki kondisi.

g. HIV/AIDS: penyedia layanan kesehatan, informasi dan / atau pelatihan, lokasi klinik, jumlah
penyakit tidak aman atau perawatan penyakit dan diagnosis (tidak ada nama yang
disebutkan);
h. gender (untuk tenaga kerja pendatang dan pekerja setempat, secara terpisah): jumlah
pekerja wanita, persentase tenaga kerja, isu-isu gender yang diangkat dan ditangani
(keluhan referensi silang atau bagian lain yang diperlukan);
i. Pengawasan dan upaya pencegahan terkait Kekerasan Berbasis Gender (Gender Based
Violence/GBV) maupun Kekerasan Terhadap Anak (Violence against Children/VAC), antara
lain pencegahan terhadap: i. Pelecehan Seksual (misalnya melarang penggunaan Bahasa
atau perilaku yang tidak pantas, melecehkan, kasar, pornoaksi, provokatif, merendahkan
atau tidak pantas, khususnya terhadap wanita dan anak-anak); ii. Kekerasan atau
pemaksaan (misalnya pelarangan segala bentuk kegiatan seks komersial termasuk
didalamnya imbalan secara seksual, atau bentuk perilaku lain yang memalukan,
merendahkan atau ada unsur pemaksaan); iii. Perlindungan terhadap anak- anak (termasuk
larangan terhadap pelecehan, menodai, atau perilaku menyimpang terhadap anak-anak,
membatasi interaksi dengan anak-anak, dan memastikan keselamatan anakanak disekitar
lokasi kerja).
Sosialisasi prosedur aduan formal dan informal terhadap tindak kekerasan terhadap anak-
anak dan wanita, pelecehan seksual, penyebaran informasi atau selebaran pelarangan
tindak kekerasan dan pelecehan seksual di lokasi kerja, pengaduan yang diterima dan
pengaduan yang ditangani serta sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku tindak kekerasan
maupun pelecehan.
j. Pelatihan :
- jumlah pekerja baru, jumlah pekerja yang mendapat pelatihan, tanggal pelatihan;
- jumlah dan tanggal toolbox talks (pembicaraan terkait K3 rencana dan review), jumlah
pekerja yang menerima pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), pelatihan
lingkungan dan sosial;
- jumlah dan tanggal penyuluhan HIV / AIDS maupun GBV dan VAC, jumlah pekerja yang
menerima pelatihan (bulan ini dan di masa lalu); pertanyaan yang sama untuk
sensitivitas gender, pelatihan flaglady / flagman.
k. Pengawasan terhadap lingkungan dan sosial :
Ahli Lingkungan Hidup (CTC/DSC): hari kerja, lokasipemeriksaan dan jumlah
pemeriksaan/kunjungan(ruas jalan, basecamp, akomodasi, quarry, borrow pit, lokasi yang
tercemar/rusak, rawa, perlintasan hutan, dll.), menyoroti kegiatan/temuan (termasuk
pelanggaran terhadap lingkungan dan/atau sosial, tindakan yang diambil), laporan kepada
Ahli lingkungan/sosial/ Pengawas Pekerjaan /GS;
Ahli Sosial (CTC/DSC): hari kerja, jumlah pemeriksaan/kunjungan ke lokasi(berdasarkan
lokasi: ruas jalan, basecamp, akomodasi, quarry, borrow pit, lokasi yang tercemar/rusak,
klinik, dll.), menyoroti kegiatan (termasuk pelanggaran persyaratan lingkungan dan/atau
sosial yang diamati, tindakan yang diambil, awareness campaign/penyuluhan), laporan
kepada ahli lingkungan dan/atau ahli sosial/ Pengawas Pekerjaan/ GS; dan
Wakil Pengamat Masyarakat: hari kerja (jam buka pusat komunitas), jumlah orang yang
bertemu, menyoroti kegiatan (masalah yang diangkat, dll.), melaporkan kepada ahli
lingkungan/ sosial/ Pengawas Pekerjaan/ GS.
l. Keluhan :
Daftar keluhan bulan ini dan keluhan yang belum terselesaikan berdasarkan tanggal yang
diterima, yang mengajukan keluhan (pelapor), bagaimana diterima, kepada siapa yang
dirujuk untuk tindak lanjut, resolusi dan tanggal (jika selesai), resolusi data dilaporkan
kepada pelapor, tindak lanjut apa pun yang diperlukan (referensi silang dengan bagian lain
sesuai kebutuhan):
- Keluhan pekerja;
- Keluhan masyarakat
- Keluhan terkait tindak kekerasan berbasis gender (GBV) dan kekerasan terhadap anak
(VAC)
m. Keluhan :
Lalu lintas dan kendaraan / peralatan :
- kecelakaan lalu lintas yang melibatkan kendaraan & peralatan proyek: berikan tanggal,
lokasi, kerusakan, penyebab, tindak lanjut;
- kecelakaan yang melibatkan kendaraan atau properti non-proyek (juga dilaporkan dalam
metrik segera): memberikan tanggal, lokasi, kerusakan, penyebab, tindak lanjut;
- kondisi keseluruhan kendaraan / peralatan (penilaian subjektif oleh pencinta lingkungan);
perbaikan dan pemeliharaan non-rutin diperlukan untuk meningkatkan keselamatan
dan / atau kinerja lingkungan (untuk mengendalikan asap, dll.).
n. Mitigasi dan masalah lingkungan dan sosial (apa yang telah dilakukan) :
- Debu :
Jumlah mobil tanki penyiram yang bekerja, jumlah penyiraman / hari, jumlah keluhan,
peringatan yang diberikan oleh pemerhatilingkungan, tindakan yang diambil untuk
menyelesaikan; highlights dari pengendalian debu di quarry (penutup, semprotan, status
operasional); % dari truk pengangkut material dengan penutup, tindakan yang diambil
untuk kendaraan yang tidak tertutup;
- Pengendalian erosi :
kontrol yang dilaksanakan pada tiap lokasi, status pelintasan air, inspeksi dan hasil
lingkungan hidup, tindakan yang diambil untuk menyelesaikan masalah, perbaikan
darurat yang diperlukan untuk mengendalikan erosi / sedimentasi;
- quarry, lokasi penumpukan, lokasi pembuangan, AMP, batching plant :
Identifikasi kegiatan utama yang dilakukan bulan ini di masing-masing tempat, dan
menyoroti perlindungan lingkungan dan sosial: pembukaan lahan, penandaan batas,
pengupasan lapisan tanah, manajemen lalu lintas, perencanaan dekomisioning,
pelaksanaan dekomisioning;
- rincian penanaman pohon dan mitigasi lainnya yang diperlukan dilakukan bulan ini;
- perincian tentang mitigasi perlindungan air dan rawa diperlukan dilakukan bulan ini;
- mitigasi atau pemulihan terhadap resiko kecelakaan bagi warga, gangguan ataU
kerusakan terhadap jalan akses yang dilalui kendaraan proyek pengangkutan peralatan,
material dan tenaga kerja;
- mitigasi gangguan suara terhadap lingkungan pemukiman;
- mitigasi atau pemulihan terhadap gangguan atau kerusakan terhadap fasilitas umum,
saluran irigasi, drainase.
o. Kepatuhan terhadap peraturan, persyaratan perizinan dan komitmen terhadap lingkungan
dan sosial:
- status kepatuhan untuk kondisi semua persyaratan/perizinan yang relevan, untuk
Pekerjaan, termasuk kuari, dll.): pernyataan kepatuhan atau daftar masalah dan
tindakan yang diambil (atau diambil) untuk mencapai kepatuhan;
- status kepatuhan persyaratan terhadap dokumen terkait lingkungan dan sosial :
pernyataan kepatuhan atau daftar masalah dan tindakan yang diambil (atau diambil)
untuk mencapai kepatuhan
- isu-isu lain yang belum terselesaikan dari bulan-bulan sebelumnya yang berkaitan
dengan lingkungan dan sosial: pelanggaran lanjutan, kegagalan peralatan lanjutan, terus
kurangnya penutup kendaraan, tumpahan tidak ditangani, masalah kompensasi atau
peledakan terus, dll. Referensi silang bagian lain yang diperlukan.
STRATEGI PENGELOLAAN DAN RENCANA PELAKSANAAN (SPRP) UNTUK
MENGELOLA RISIKO LINGKUNGAN, SOSIAL, KESEHATAN DAN
KESELAMATAN KERJA (LSK3)

1. STRATEGI PENGELOLAAN DAN RENCANA PELAKSANAAN (SPRP)


1.1. Analisis Dampak dan Upaya Mitigasi
1.1.1. Analisa Dampak dan Upaya Mitigasi

Analisis dilakukan dengan mengidentifikasi kemungkinan terjadinya dampak akibat kegiatan


Proyek dalam konteks rona awal lingkungan dan sosial. Kemudian besaran dampak lingkungan
dan sosial tersebut dipeakirakan dengan asumsi telah dilakukan upaya mitigasi tertentu,
sehingga hanya merupakan potensi dampak residual.

Dalam rangka menanggulangi dampak dan risiko lingkungan dan sosial serta menghindari
dampak residual negatif, Proyek ini mengadopsi hirarki upaya mitigasi dengan urutan prioritas
sebagai berikut: (1) Menghindari, (2) Meminimumkan, (3) Menanggulangi, dan (4)
Mengompensasi.
Hirarki Upaya Mitigasi Dampak
1.1.2. Pelingkupan Dampak Penting

Secara umum, pada tahap operasi, Proyek ini akan menimbulkan banyak dampak lingkungan
dan sosial yang bersifat positif. Dampak negatif diperkirakan akan terjadi pada tahap konstruksi.
Hal ini diakibatkan adanya kenaikan risiko lingkungan dan sosial yang secara tipikal berkaitan
dengan proyek pembangunan infrastruktur seperti pembukaan lahan, kenaikan debit air larian
(runoff), erosi, sedimentasi, penurunan kualitas air permukaan, kenaikan kebisingan, dampak
terhadap biota darat dan laut serta dampak sosio-ekonomi dan budaya akibat masuknya pekerja
dari luar daerah dan perubahan terhadap kehidupan sosial setempat. Meskipun demikian,
dampak yang terkait konstruksi ini diharapkan masih akan dapat dikelola dengan baik melalui
upaya mitigasi dan pemantauan secara aktif serta dengan mengikuti praktek terbaik berstandar
internasional terutama kerangka kebijakan lingkungan dan sosial AIIB. Selain itu, dampak pada
tahap konstruksi diperkirakan berlangsung relatif singkat dan terbatas.

Pada masa operasi, Proyek diharapkan akan menimbulkan serangkaian dampak positif baik di
dalam maupun di luar wilayah Proyek. Dengan adanya investasi jumlah besar terkait pengadaan
air bersih, pengelolaan limbah (padat dan cair), perbaikan infrastruktur masyarakat, penguatan
lembaga sosial maka diharapkan akan terjadi perbaikan yang antara lain meliputi kualitas air
permukaan, air tanah dan air air laut dan ujungnya adalah perbaikan secara bermakna kondisi
lingkungan hidup bagi organisme dan penduduk di wilayah Proyek dan sekitarnya. Demikian
juga akan timbul keuntungan sosio-ekonomi di sepanjang masa operasi Proyek sebagai akibat
dari kenaikan peluang kerja dan usaha serta tingkat pendapatan. Selain itu juga akan ada
berbagai keuntungan lain seperti meningkatnya layanan kesehatan, pendidikan, pelatihan dan
dukungan pada kaum yang rentan.

1.2. Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Sosial


1.2.1. Sistem Pengelolaan Lingkungan dan Sosial (ESMS)

Sesuai dengan kebijakan Perusahaan, risiko dan dampak dari kegiatan Proyek diidentifikasi dan
dievaluasi. Selanjutnya dikembangkan rencana mitigasi dan pemantauan untuk menghindari
atau mengurangi dampak negatif, memaksimumkan dampak positif dan meningkatkan kinerja
lingkungan dan sosial. Pada intinya, program pengelolaan dan pemantauan dalam ESMS ini
dibangun dari RKL-RPL yang timbul dari proses Amdal dan melengkapinya dengan
memasukkan praktek terbaik internasional termasuk baku mutu IFC dan kerangka kebijakan
lingkungan AIIB.
Banyak dari upaya mitigasi lingkungan dan sosial dalam dokumen ini berupa investasi enjinering
yang diintegrasikan dalam desain Proyek secara keseluruhan, seperti sistem pengumpulan dan
pengolahan limbah cair dan limbah padat, sistem pengendalian erosi dan banjir terpadu, sistem
produksi air bersih, rancangan dan konstruksi jalan, pengelolaan taman dan tanaman.

1.2.2. Tanggungjawab Perangkat Kelembagaan dan Pemangku Kepenting

Proyek ini menetapkan, memelihara dan meningkatkan, sesuai keperluan, struktur organisasi
dengan peran, fungsi dan kewenangan tertentu dalam melaksanakan ESMS. Personel dalam
struktur organisasi tersebut, termasuk perwakilan manajemen, akan ditetapkan dengan
tanggungjawab dan kewenangan yang jelas. Tanggungjawab lingkungan dan sosial yang
penting akan didefinisikan dan dikomunikasikan serta dimengerti bukan saja oleh petugas terkait
tetapi juga oleh seluruh personel dalam organisasi Proyek. Dukungan manajemen, sumberdaya
manusia dan keuangan yang cukup akan diberikan secara terus menerus untuk mencapai
kinerja lingkungan dan sosial yang efektif termasuk perbaikannya secara berkelanjutan.

Berikut ini adalah beberapa peran spesifik beserta tanggungjawab utama yang diperlukan dalam
organisasi pelaksana ESMS :

 Manajer Konstruksi/Operasi – memastikan penaatan ESMS dalam operasi sehari-hari;


 Manajer K3LH – memastikan penaatan ESMS secara keseluruhan;
 Manajer Sekuriti – memastikan penaatan ESMS dalam praktek dan tindakan pengamanan;
 Manajer Hubungan Eksternal – memastikan pelaksanaan Stakeholder Engagement Plan
sesuai dengan ESMS;
 Manajer Sumberdaya Manusia – memastikan penaatan praktek SDM terhadap ESMS;
 Manajer Rantai Pasok – memastikan penaatan praktek rantai pasok terhadap ESMS.

1.2.3. Tanggungjawab Perangkat Kelembagaan dan Pemangku Kepenting

Sebagai suatu organisasi bertaraf internasional dan sesuai dengan pedoman kerangka
kebijakan lingkungan dan sosial AIIB, PT. Pengembangan Pariwisata Indonesia (Persero) (ITDC)
berkomitmen untuk mengembangkan kualitas masyarakat setempat (lokal) dengan
menyelenggarakan berbagai pelatihan. Untuk itu ITDC akan mengimplementasikan Rencana
Pelatihan dan Pengembangan Kapasitas.

- Rencana Pelatihan dan Pengembangan Kapasitas Masyarakat


Inisiatif Pelatihan Utama
 ITDC akan mengembangkan dan melaksanakan Rencana Pelatihan dan
Pengembangan Kapasitas yang bersifat spesifik terkait dengan Proyek ini.
 Menetapkan petugas sumberdaya manusia yang secara khusus bertanggung jawab
dalam melaksanakan Rencana Pelatihan dan Pengembangan Kapasitas.
 Menyediakan fasilitas pelatihan bagi pelaksanaan Rencana Pelatihan dan
Pengembangan Kapasitas, termasuk ruang kelas, tempat pelatihan di luar ruangan,
peralatan dan alat bantu pelatihan.
 Menyediakan anggaran tahunan yang cukup bagi penyelenggaraan pelatihan dan
pengembangan kapasitas secara efektif dan efisien.
Inisiatif pelatihan dan pengembangan kapasitas yang akan diselenggarakan di sepanjang masa operasi
proyek.

- Inisiatif Pelatihan Terencana


Inisiatif Pelatihan Utama
 Pelatihan keterampilan bagi mayarakat setempat, khususnya untuk meningkatkan
kesempatan dalam mendapatkan pekerjaan;
 Pelatihan orientasi pekerja baru terkait berbagai kebijakan dan peraturan ITDC,
termasuk pelatihan bidang Kesehatan, Keselamatan Kerja dan Lingkungan Hidup
(K3LH);
 Pelatihan kompetensi kesehatan dan keselamatan kerja sesuai dengan risiko dan
uraian pekerjaan;
 Pelatihan lingkungan hidup untuk pekerja yang tugasnya dapat mempengaruhi kinerja
pelaksanaan program pengelolaan dan pemantauan lingkungan;
 Pelatihan keselamatan jalan dan lalulintas (misalnya Defensive Driving Training) bagi
pekerja Proyek khususnya operator kendaraan konstruksi dan kendaraan lainnya
sesuai dengan standar dan peraturan nasional;
 Pelatihan tenaga kerja bidang sekuriti dalam hal menerapkan paksaan serta perilaku
yang tepat terhadap pekerja serta pemangku kepentingan lain;
 Pelatihan manajemen untuk personel manajemen Proyek sesuai dengan risiko dan
uraian pekerjaan;
 Pelatihan terkait pemukiman kembali dan memberikan dukungan dalam masa
peralihan termasuk pelatihan ganti pekerjaan atau pelatihan keterampilan baru serta
fasilitasi pemulihan kehidupan di tempat yang baru;
 Pelatihan pengelolaan limbah padat kepada pekerja terkait termasuk penanganan,
pemanfaatan dan pembuangan limbah berbahaya;
 Pelibatan dinas atau lembaga kesehatan setempat untuk memberikan pelatihan dan
pemberian informasi kesehatan masyarakat yang bermanfaat bagi masyarakat dan
pekerja Proyek;
 Pelatihan pelibatan pemangku kepentingan kepada para manajer dan staff terkait;
 Pelatihan kesadaran budaya termasuk Chance Find Procedure bagi manajer dan
pekerja Proyek, kontraktor dan sub-kontraktor;
 Pelatihan tanggap darurat bagi semua pekerja termasuk uji coba kesiapan
menghadapi kondisi darurat secara berkala dan cukup;
 Pelatihan Grievance Redress Mechanism bagi semua pekerja Proyek dan perwakilan
masyarakat yang terkena dampak kegiatan Proyek.

1.2.4. Upaya Mitigasi

Upaya mitigasi dampak kegiatan Proyek terhadap komponen fisika, biologi dan sosial.

- Upaya Mitigasi Dampak Terhadap Komponen Fisika


Komponen : Kualitas Udara
 Memastikan penggunaan kendaraan dan peralatan mesin agar memenuhi baku mutu
emisi;
 Memastikan perawatan kendaraan dan peralatan bermesin dilakukan sesuai dengan
jadwal yang teratur dan mencukupi;
 Memilih menggunakan peralatan listrik atau yang dijalankan oleh batere dari pada
peralatan mesin berbahan bakar, sejauh memungkinkan;
 Menjalankan program penyiraman jalan atau lokasi konstruksi secara teratur dan
memadai untuk mengurangi debu;
 Melakukan pemantauan kualitas udara setiap triwulan untuk mendokumentasikan
tingkat penaatan terhadap baku mutu udara ambien atau menentukan langkah
perbaikan pengelolaan. Parameter yang dipantau adalah: S02, N02, CO, NH3, and
TSP (Total Suspended Particulates).

Komponen : Kebisingan
 Memastikan penggunaan kendaraan dan peralatan mesin agar memenuhi baku mutu
kebisingan;
 Memastikan perawatan kendaraan dan peralatan mesin dilakukan sesuai dengan
jadwal yang teratur dan mencukupi;
 Memilih menggunakan kendaraan ringan atau peralatan ringan dari pada kendaraan
berat atau peralatan berat, sejauh memungkinkan;
 Memilih menggunakan kendaraan dan peralatan listrik dari pada kendaraan atau
peralatan mesin berbahan bakar, sejauh memungkinkan;
 Mengurangi sejauh mungkin kegiatan konstruksi antara jam 6 sore sampai dengan
jam 6 pagi serta pada hari libur;
 Menghindari kegiatan yang menimbulkan kebisingan pada area yang berdekatan
dengan hunian penduduk sejauh memungkinkan;
 Melakukan pemantauan kualitas udara setiap triwulan untuk mendokumentasikan
tingkat penaatan terhadap baku mutu udara ambien atau menentukan langkah
perbaikan pengelolaannya.

Komponen : Kualitas Air Tanah, Air Permukaan dan Air Laut


 Membangun dan mengoperasikan perangkap sedimen di wilayah konstruksi untuk
menangkap dan mengendapkan padatan tersuspensi;
 Membangun, mengoperasikan dan mengelola sistem drainase;
 Membangun dan mengoperasikan kolam atau sumur retensi air;
 Membangun dan mengoperasikan danau tiruan atau kolam besar untuk menyimpan
air hujan ;
 Membangun dan mengoperasikan check dam;
 Melindungi mulut sungai;
 Meminimumkan pembersihan lahan dan gangguan terhadap tanah sejauh
memungkinkan;
 Membatasi pengembangan atau pembangunan dalam wilayah hutan sejauh
memungkinkan;
 Melindungi dan mempertahankan mangrove sebagai bagian dari desain Proyek;
 Memasang dan mengoperasikan dua Instalasi Pengolahan Limbah Cair (IPAL);
 Merancang dan melaksanakan sistem pembuangan brine dari SWRO dengan
dampak minimum;
 Mengelola taman dan tanaman di seluruh area hijau dalam kawasan.
- Upaya Mitigasi Dampak Terhadap Komponen Biologi

Komponen : Tumbuhan dan Hewan Darat


 Meminimumkan pembersihan lahan dan gangguan terhadap tumbuhan sejauh
mungkin serta tidak mengizinkan pembersihan lahan yang tidak benar-benar
diperlukan;
 Melindungi dan melestarikan wilayah habitat kritis sejauh memungkinkan;
 Melindungi tumbuhan dan habitat yang secara spesifik terasosiasi dengan mulut
sungai;
 Menghindari pembangunan dalam wilayah hutan sejauh memungkinkan;
 Melindungi dan melestarikan wilayah mangtrove sebagai bagian dari desain Proyek;
 Menanami kembali area yang sudah dilakukan pembersihan lahan namun tidak jadi
digunakan. Lebih disukai jika tanaman yang digunakan adalah dari jenis tanaman asli
setempat;
 Pembuatan taman dan penanaman kembali wilayah hijau akan dilakukan dengan
mengutamakan spesies tanaman asli setempat;
 Melarang penggunaan spesies tanaman invasif untuk penanaman ulang;
 Mengendalikan spesies tanaman invasif, mencabut dan mengelola sejauh mungkin;
 Membatasi dan mengendalikan kecepatan kendaraan dan praktek mengemudi di
seluruh wilayah kerja Proyek;
 Melarang pekerja, kontraktor dan manajemen Proyek untuk berburu , mengganggu,
menangkap dan membunuh hewan di wilayah Proyek oleh para pekerja, kontraktor,
dan manajemen Proyek;
 Meminimumkan dan mengendalikan sumber kebisingan dan cahaya sejauh
memungkinkan dengan fokus kepada wilayah yang mempunyai nilai habitat;
 Menghindari kegiatan pada hutan lindung yang bersebelahan dengan Proyek di batas
barat
 Melindungi lahan basah alami dan habitat terkait.

Komponen : Biota Laut, Penyu Laut dan Ekosistem Laut


 Melindungi ekosistem laut melalui semua upaya mitigasi dampak kegiatan Proyek
terhadap kualitas air permukaan dan tumbuhan (seperti yang telah dijelaskan di atas)
terutama karena upaya-upaya tersebut mencegah aliran air lumpur dari wilayah
Proyek masuk ke dalam laut;
 Memasukkan upaya perlindungan dan pelestarian mangrove sebagai bagian dari
rancangan Proyek;
 Menghindari sejauh mungkin kegiatan konstruksi jalan di kawasan mangrove, namun
jika tidak dapat dihindari maka Proyek akan memasang gorong-gorong di bawah
struktur jalan sehingga aliran pasangsurut tetap dapat mencapai kawasan mangrove
yang terhalang;
 Menghindari atau meminimumkan sejauh mungkin kegiatan konstruksi di area pasir
pantai;
 Melakukan pemantauan konstruksi di area mangrove untuk mengendalikan dampak;
 Melarang sejauh mungkin penggunaan area pasir pantai untuk maksud konstruksi;
 Melindungi sejauh mungkin zona vegetasi pantai dan menghindari dampak kegiatan
Proyek.
 Meminimumkan sejauh mungkin kebisingan dan cahaya buatan di dekat habitat pasir
pantai;
 Menghindari sejauh mungkin kegiatan konstruksi di habitat pasir pantai selama jam
malam (jam 6 sore sampai jam 6 pagi);
 Menghentikan sementara kegiatan konstruksi dan kegiatan lainnya ketika ada penyu
sedang bertelur di sekitarnya. Melakukan evaluasi ekologi dari situasi tersebut oleh
tenaga profesional yang berkompeten;
 Melarang dan memberikan sangsi tegas bagi pekerja Proyek, termasuk kontraktor
dan anggota keluarganya, yang ketahuan mengganggu, menangkap, memelihara
atau membunuh penyu atau mengumpulkan telur penyu untuk dijual, dikonsumsi atau
tujuan lain;
 Melindungi biota laut yang berada dalam wilayah Teluk Gerupuk yang merupakan
Kawasan Lindung Laut.

- Rencana Pelatihan dan Pengembangan Kapasitas Masyarakat


Komponen : Persepsi dan Sikap Masyarakat
 Memberi penjelasan secara yang efektif tentang kegiatan Proyek sebelum dimulai;
 Melakukan konsultasi langsung dengan perwakilan masyarakat dan pemerintah
setempat;
 Menyelenggarakan konsultasi publik dengan masyarakat luas termasuk kaum yang
rentan seperti perempuan, orang tua, difabel, miskin, berpendidikan kurang.

Komponen : Pekerjaan, Pendapatan dan Kehidupan


 Mengutamakan sejauh mungkin pemberian kesempatan kerja kepada masyarakat
setempat yang memenuhi persyaratan;
 Memberikan pelatihan agar pekerja Proyek dapat melakukan tugasnya sesuai dengan
uraian pekerjaan;
 Memastikan kesepakatan dan situasi kerja terkait Proyek konsisten dengan peraturan
dan perundangan, peraturan Perusahaan maupun Kesepakatan Kerja Bersama:
 Memberikan kepada pekerja Proyek hal-hal sebagai berikut:
- Perjanjian kerja yang jelas dan tertulis;
- Pembayaran upah tepat pada waktunya;
- Waktu istirahat yang cukup;
- Pemberitahuan pemutusan hubungan kerja dilakukan tidak secara mendadak
sesuai kesepakatan kerja;
- Perlakuan adil berdasar kesempatan yang sama dan tidak diskriminatif;
- Kesempatan untuk berorganisasi dan melakukan negosiasi secara kolektif;
- Mekanisme penyampaian komplain yang mudah diakses, dipahami dan
transparan sejak pengangkatan sebagai karyawan.
 Mempromosikan pengembangan sosial melalui berbagai upaya sebagai berikut:
- Meningkatkan kesempatan kerja bagi kaum yang lemah, miskin dan difabel;
- Menghilangkan penghalang peluang kerja terhadap golongan rentan termasuk
perempuan dan masyarakat adat.
 Mempromosikan persamaan gender melalui berbagai upaya sebagai berikut:
- Mengidentifikasi kesempatan kerja yang bersifat spesifik bagi gender tertentu;
- Mengidentifikasi risiko dan dampak kesempatan kerja yang bersifat spesifik
gender serta mengembangkan upaya meminimumkan risiko dan dampak tersebut;
- Meningkatkan desain Proyek untuk meningkatkan kesempatan kerja bagi
pemberdayaan perempuan.
 Menghindari tenaga kerja di bawah umur dan kerja paksa melalui berbagai upaya
sebagai berikut:
- Tidak mempekerjakan anak di bawah umur 18 tahun, kecuali memenuhi batasan
yang dizinkan oleh peraturan dan perundangan nasional maupun daerah;
- Tidak ada seorangpun pada situasi apapun melakukan kegiatan terkait Proyek
secara terpaksa atau di bawah ancaman kekuasaan, ancaman atau hukuman,
termasuk segala macam kerja wajib atau kerja paksa.

Komponen : Kesehatan Masyarakat, Keselamatan dan Keamananan


 Menyediakan layanan pengelolaan kesehatan secara terpadu pada pekerja dan
masyarakat setempat terutama kepada ibu dan anak balita melalui pelaksanaan
Posyandu atau layanan terkait lainnya bekerja sama dengan dinas kesehatan
masyarakat;
 Menanggapi secara proaktif kekuatiran tentang keselamatan dan kesehatan
masyarakat melalui konsultasi publik yang berkesinambungan;
 Mengelola Grievance Redress Mechanism (GRM) untuk menanggaapi keluhan dan
keprihatinan terkait keselamatan dan kesehatan masyarakat;
 Menanggapi keprihatinan masyarakat setempat terkait keselamatan jalan dan
lalulintas dan :
- Menyelenggarakan Defensive Driving Training (DDT) bagi pengemudi atau
operator kendaraan dan peralatan Proyek termasuk kontraktor;
- Menetapkan spesifikasi kendaraan dan peralatan yang menggunakan jalan yang
digunakan dalam wilayah Proyek serta menjalankan program perawatan
kendaraan dan peralatan yang memadai;
 Mengelola keberadaan tenaga sekuriti dan menjaga kehadirannya untuk memastikan
keselamatan dan keamanan semua orang yang berada dalam wilayah serta:
- Menyediakan dan mengoperasikan checkpoints pada gerbang masuk kawasan
pariwisata Solo Hilir;
- Membina hubungan positif dengan masyarakat sekitar, pemerintah dan aparat
penegak hukum setempat;
 Mencegah kenaikan risiko keselamatan masyarakat dengan mewajibkan pekerja
sekuriti untuk menerapkan prinsip dan prosedur pencegahan bahaya keselamatan
selama mereka bertugas;
 Mengembangkan dan melaksanakan sistem manajemen kesehatan dan keselamatan
kerja konsisten dengan peraturan perundangan, Peraturan Perusahaan dan
Kesepakatan Kerja Bersama;
 Mengembangkan dan melaksanakan Contractor Safety Management System yang
berlaku bagi semua kontraktor dan subkontraktor sehingga memberikan perlindungan
kesehatan dan keselamatan kerja sebagaimana dipersyaratkan oleh peraturan dan
perundangan tenaga kerja;
 Melaksanakan kebijakan dan prosedur sumber daya manusia dalam bentuk
Peraturan Perusahaan dan Kesepakatan Kerja Bersama sesuai dengan peraturan
perundangan;
 Mendokumentasikan dan melaporkan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja;
 Memastikan Kesiapan Penanggulangan Keadaan Darurat untuk meminimumkan
risiko dan dampaknya terhadap pekerja Proyek, wisatawan dan masyarakat setempat
ketika terjadi keadaan darurat.

Komponen : Infrastruktur Jalan dan Gangguan Lalu Lintas


 Memastikan kondisi jalan berada dalam keadaan baik dengan melakukan
pemeliharaan secara teratur dan cukup;
 Melakukan peningkatan kondisi jalan untuk mengakomodasi kebutuhan jalan terkait
keperluan Proyek;
 Merancang, membangun dan mengembangkan jalan-jalan baru sehingga tercipta
jaringan jalan yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan lalu lintas di dalam dan di
sekitar wilayah Proyek dalam beberapa tahun ke depan;
 Membangun dan merawat semua jalan yang berkaitan dengan Proyek sehingga
memenuhi standar nasional dan internasional serta menyediakan lebar, permukaan
dan bahu jalan untuk memenuhi prakiraan kebutuhan lalu lintas;
 Menugaskan polisi atau petugas sekuriti yang terlatih untuk mengatur lalu lintas di
bagian jalan yang sering mengalami kepadatan;
 Memasang rambu-rambu lalu lintas yang diperlukan, khususnya di persimpangan
jalan, tanjakan dan tempat berisiko lainnya;
 Mengembangkan tiga rute alternatif untuk menuju wilayah Proyek, yaitu jalur Awang,
jalur Selong Belanak dan jalur Sengkol.

Komponen : Warisan Budaya


 Meminimumkan sejauh mungkin pembersihan lahan dan gangguan terhadap tanah
serta tidak memberikan izin atas pembersihan lahan yang tidak perlu;
 Melakukan konsultasi publik secara berkesinambungan dan menyeluruh sebelum
kegiatan konstruksi dimulai untuk mendapatkan informasi apakah terdapat situs
budaya atau peninggalan sejarah yang penting sebelum dilakukan pembersihan dan
penggalian lahan;
 Mengevaluasi temuan situs budaya atau peninggalan sejarah yang diidentifikasi oleh
penduduk setempat sebelum masa konstruksi. Evaluasi dilakukan di lapangan oleh
tenaga profesional yang berkompeten untuk menyusun rencana pengelolaan situs
atau peninggalan sejarah dalam konteks rencana Proyek , termasuk opsi pelestarian
dan pengelolaan situs;
 Menjalankan Chance Find Procedure ketika menemukan situs warisan budaya atau
peninggalan sejarah ketika sedang dalam proses konstruksi (penemuan secara
kebetulan);
 Memberikan perhatian khusus pada perayaan Bau Nyale untuk memastikan tradisi
budaya yang sangat penting ini tetap terjaga dan diselenggarakan secara meriah.

Komponen : Pemukiman Kembali Secara Bukan Sukarela


Upaya mitigasi dan pengelolaan pemukiman kembali secara bukan sukarela dijelaskan secara
komprehensif dalam dokumen Kerangka Kebijakan Pemukiman Kembali (RPF). Berikut
adalah upaya mitigasi secara sepesifik yang akan dilakukan:
 Menghindari sejauh mungkin pemukiman kembali secara bukan sukarela dengan
jalan mempertimbangkan berbagai alternatif lokasi sub-Proyek;
 Menaikkan taraf kehidupan masyarakat yang tergusur atau setidaknya memulihkan
kembali taraf kehidupan mereka seperti sebelum pemukiman kembali di tempat yang
baru;
 Memperbaiki status sosial ekonomi secara keseluruhan dari kelompok rentan yang
mengalami pemukiman kembali;
 Menyediakan sumberdaya yang cukup untuk memastikan orang-orang yang
dimukimkan kembali menikmati manfaat dari Proyek;
 Menjalankan kegiatan pemukiman kembali sebagai program pembangunan
berkelanjutan;
 Mengikuti peraturan dan perundangan terkait pengambilalihan lahan khususnya
Undang-Undang 2/2012 beserta peraturan pelaksanaannya.
 Tidak memulai konstruksi di suatu lokasi sampai dengan semua isu terkait
pengambilalihan lahan diselesaikan dengan baik;
 Menggunakan jasa penilai profesional dan independen untuk melakukan penilaian
atas harga tanah sesuai dengan yang diamanatkan dalam Undang-Undang 2/2012
dan peraturan pelaksanaannya.
 Memasukkan komponen fisik dalam penilaian (harga tanah, ruang di atas dan di
bawah tanah, bangunan, fasilitas pendukung) dan komponen non-fisik (disposal
rights, biaya transaksi, kompensasi periode tunggu, nilai yang hilang dari sisa lahan,
dan kerusakan fisik).
Kebijakan AIIB terkait pihak yang mengalami dampak akan diberlakukan secara ketat yaitu
sebagai berikut :
 Menginformasikan hak dan pilihan yang tersedia bagi mereka;
 Mendiskusikan dan menawarkan pilihan alternatif pemukiman kembali yang layak;
 Menyediakan kompensasi secara segera dan efektif atas penggantian nilai aset yang
hilang;
 Menyediakan bantuan untuk pindahan dan tunjangan transportasi;
 Menyediakan rumah tempat tinggal yang setara dengan tempat tinggal semula;
 Menawarkan dukungan selama masa transisi setelah terjadi pemindahan tempat
tinggal;
 Memberikan bantuan pengembangan di samping pemberian kompensasi.

Komponen : Masyarakat Adat


Upaya mitigasi dan pengelolaan masyarakat adat yang terkena dampak Proyek dijelaskan
secara komprehensif dalam dokumen Rencana Pengembangan Masyarakat Adat (IPDP).
Berikut ini adalah upaya mitigasi spesifik yang akan diberlakukan sesuai dengan IPDP.
Pengembangan keterampilan dan penghidupan kunci bagi masyarakat adat termasuk:
 Pembuatan sumur dalam;
 Pembangunan dan perbaikan jalan;
 Pelatihan dan pengembangan usaha agroforestry dan tanaman pangan;
 Pengelolaan dan pengembangan tempat pembibitan tanaman;
 Pemberian bimbingan pertanian di lapangan;
 Pemberian bantuan tautan pemasaran;
 Pengembangan dan pelatihan usaha peternakan sapi;
 Program inseminasi buatan ternak sapi;
 Pengembangan dan pelatihan usaha perikanan;
 Pelatihan dan pengembangan usaha budidaya ikan dan udang ;
 Program peningkatan dan perbaikan peralatan usaha perikanan;
 Program beasiswa pendidikan;
 Pemberian mainan dan peralatan untuk belajar;
 Pelatihan keterampilan termasuk tukang kebun, tukang kayu, perawatan kendaraan,
tenaga sekuriti, usaha homestay, komputer dan bahasa Inggris;
 Pembangunan pusat layanan kesehatan terpadu (Posyandu);
 Peningkatan program pengelolaan limbah padat;
 Pendidikan dan bimbingan kesehatan;
 Bantuan dan bimbingan revitalisasi pasar;
 Bantuan dan bimbingan memulai usaha;
 Program bantuan pinjaman untuk usaha mikro;
 Program peningkatan budaya seperti kerajinan tangan, tarian dan musik tradisional,
tenun kain tradisional;
 Program fasilitas dan peralatan olah raga seperti lapangan sepak bola, bola, dan
jaring.
Kegiatan pelatihan bagi masyarakat adat adalah sebagai berikut :
 Meningkatkan kesadaran terkait pariwisata;
 Melakukan perjalanan wisata sebagai bagian dari pendidikan;
 Program budaya dan pameran barang seni;
 Pelatihan bahasa asing seperti bahasa Inggris atau Mandarin;
 Pelatihan industri penginapan;
 Pelatihan usaha dan pemasaran;
 Pelatihan keterampilan;
 Pelatihan pekerja bangunan;
 Program beasiswa pendidikan.
Penyusunan IPDP ini didasarkan kepada konsultasi publik dan pemberian informasi yang
intensif dan berkelanjutan, termasuk Free, Prior, and Informed Consultation.
Perusahaan telah mengembangkan Grievance Redress Mechanism (GRM) spesifik untuk
penduduk setempat dan masyarakat adat.

1.2.5. Kerangka Program Pengelolaan Lingkungan dan Sosial (ESMPF)

Sebagaimana telah diidentifikasi dalam laporan Gap Analysis yang disusun oleh ESC tahun
2018, Amdal tahun 2012 dan Addendum AMDAL tahun 2018 masih belum cukup dalam
mengidentifikasi dan mengevaluasi isu-isu penting sebagaimana dipersyaratkan dalam kerangka
kebijakan lingkungan dan sosial AIIB. Masih diperlukan beberapa kajian di masa yang akan
datang mengenai hal-hal sebagai berikut:

 Evaluasi habitat kritis daratan;


 Evaluasi kelimpahan dan keragaman penyu laut;
 Evaluasi dampak kegiatan Proyek terhadap keanekaragaman hayati;
 Evaluasi populasi dan kajian siklus kehidupan cacing laut nyale;
 Evaluasi habitat kritis laut;
 Evaluasi sumber daya laut dan perikanan;
 Rencana pengelolaan sumberdaya budaya;
 Evaluasi metode dan pemilihan lokasi pembuangan air limbah SWRO;
 Rencana Pengelolaan Mangrove.
1.3. Pemantauan dan Evaluasi
1.3.1. Rencana Pemantauan Lingkungan dan Sosial

Untuk mendapatkan persetujuan izin lingkungan, suatu proyek yang diperkirakan mempunyai
dampak signifikan, seperti Proyek Pengembangan Infrastruktur Mandalika ini, dievaluasi
dampaknya dan dibuatkan rencana pengelolaan dan pemantauan yang sepadan. Selanjutnya
proponen kegiatan atau usaha perlu melaksanakan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL)
dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) serta melaporkannya secara berkala. Rencana
pengelolaan dan pemantauan lingkungan ditampilkan dalam bentuk matriks sebagai bagian dari
Adendum Amdal tahun 2018 dan dapat digunakan sebagai daftar periksa pelaksanaan
pengelolaan dan pemantauan lingkungan dan sosial.
1.3.2. Pemantauan dan Evaluasi

Kerangka kebijakan lingkungan dan sosial AIIB mempersyaratkan agar ITDC menyampaikan
laporan berkala terkait kinerja lingkungan dan sosial dari Proyek. Hal-hal yang dipersyaratkan
secara spesifik adalah sebagai berikut :

 Menyusun, melaksanakan dan memelihara prosedur pemantauan;


 Memantau tingkat penaatan menggunakan indikator dan ukuran yang spesifik;
 Membuka informasi terkait hasil pemantauan serta mengidentifikasi tidak perbaikan yang
diperlukan;
 Menindaklanjuti tindak perbaikan sampai tuntas; dan
 Menyampaikan laporan kinerja lingkungan dan sosial secara berkala kepada Bank.

1.3.3. Pemantauan dan Evaluasi

Komponen penting dalam sistem pemantauan dan evaluasi kinerja lingkungan dan sosial adalah
laporan pelaksanaan Rencana Pengelolaan dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RKL-RPL)
yang disampaikan setiap 6 bulan sekali.

a) Komponen 1 : Penyelidikan Infrastruktur dan Layanan Dasar


- Pembangunan Infrastruktur Dasar dalam Proyek

Program pemantauan dalam RPL digunakan sebagai dasar sistem pelaporan resmi
pada pemerintah dan Bank. Pada umumnya program ini melibatkan tim konsultan di
lapangan sekitar seminggu setiap triwulan untuk melakukan pengambilan sampel udara
dan sampel air ambien untuk dikirim ke laboratorium, pengukuran kebisingan,
pemantauan plankton, benthos, ikan dan invertebrata air tawar maupun laut. Selain itu
dilakukan juga survei sosial dan berbagai wawancara. Semua kegiatan ini
dipersyaratkan dalam izin lingkungan untuk dilaksanakan. Hasil-hasil pemantauan
didokumentasikan setiap 6 bulan sekali sebagai laporan pengelolaan dan pemantauan
lingkungan dan sosial yang diserahkan kepada Pemerintah dan kepada Bank.

- Pembangunan Infrastruktur Dasar dalam Proyek

Perbaikan infrastruktur masyarakat akan dilaksanakan di desa Kuta, Sukadana,


Sengkol, dan Mertak. Pekerjaan ini dilakukan dengan tetap mengikuti standar
lingkungan, kesehatan, keselamatan dan sosial yang sama dengan yang diterapkan
pada kegiatan Proyek lainnya. Untuk itu, semua standar K3LH yang telah dijelaskan
sebelumnya dalam dokumen ESIA ini tetap diberlakukan, sehingga diperlukan upaya
pengelolaan, pemantauan dan evaluasi yang semestinya oleh ITDC.

b) Komponen 2 : Bantuan Teknis dan Peningkatan Kapasitas

Komponen ini menyediakan Bantuan Teknis untuk memperkuat ITDC dalam menjalankan
kegiatan Proyek dengan standar tinggi, serta memastikan pelaksanaan Proyek dijalankan
sesuai dengan kesepakatan pemberian pinjaman dan pengelolaan berkelanjutan dalam
jangka panjang. Untuk itu akan disediakan dukungan untuk memastikan bahwa Unit
Pengelola Proyek mempunyai sumberdaya yang cukup untuk mengembangkan
kapasitasnya dalam menjalankan pemantauan yang dipersyaratkan, dengan menyertakan
beberapa sub-komponen sebagai berikut: Dukungan Manajemen Proyek, Manajemen
Konstruksi, Penciptaan Tautan Ekonomi, dan Pengelolaan dan Pemantauan Tujuan Wisata.

Sebagai prioritas khusus, ITDC akan mengembangkan kemampuan pemantauan yang


dapat mendukung beberapa kajian penting sebagai berikut :

 Evaluasi habitat kritis laut terkait terumbu karang dan padang lamun di lepas pantai;
 Evaluasi ekologi kawasan mangrove khususnya area yang dialokasikan menjadi
Mangrove Ecopark;
 Kajian populasi dinamik dari cacing laut nyale;.
 Evaluasi arti penting ekonomi dan keberlanjutan perikanan laut;
 Evaluasi ekologi penyu laut serta perairan pantai;
 Evaluasi ekologi lagoon yang terletak di sebelah SWRO dan opsi pembuangan air
limbah (brine).
1.3.4. Program Pemantauan Lingkungan dan Sosial Adendum Amdal

Matriks pemantauan lingkungan dan sosial disusun berdasarkan RPL dan berisi daftar dampak
lingkungan dan sosial, lokasi pengambilan sampel, parameter yang dipantau, frekuensi
pemantauan, metode pengumpulan data dan analisis, pelaksana dan pengawas pemantauan.
Pemantauan dilakukan setiap triwulan di sepanjang masa operasi Proyek. Pelaporan dari semua
kegiatan pemantauan dan hasil-hasilnya akan disampaikan dua kali dalam setahun.

Anda mungkin juga menyukai