Anda di halaman 1dari 7

PENGGUNAAN DEXMEDETOMIDIN PADA NEUROTRAUMA

THE USE OF DEXMEDETOMIDINE ON NEUROTRAUMA


MM Rudi Prihatno*), Abdul Lian**), Nazarudin Umar**)
*)Lab. Anestesiologi & Terapi Intensif FK Unsoed-RSMS Purwokerto
**)Bagian Anestesiologi & Terapi Intensif FK Universitas Diponegoro-Semarang
**) Bagian Anestesiologi & Terapi Intensif FK Universitas Sumatra Utara-Medan

Abstract
The use of dexmedetomidine in Neurotrauma still divided between the agree and disagree. Disagreement is the
issue of the assessment of patient awareness, while approving the provision of dexmedetomidine were more
likely to be used as a sedative and also its effect as a brain protector.
The problems mentioned above can be considered by an anesthesiologist in the management of Neurotrauma
while considering the physical condition and consciousness of the patient with the expectation that patient safety
is maintained properly and not worsen the patient's condition.

Keyword : dexmedetomidine, neurotrauma, brain protection


JNI 2012;1(3):234-240

Abstrak
Penggunaan dexmedetomidin dalam neurotrauma masih terpecah antara yang setuju dan tidak setuju.
Permasalahan ketidaksetujuan adalah dari sisi penilaian terhadap kesadaran pasien, sedangkan yang menyetujui
pemberian dexmedetomidin lebih cenderung digunakan sebagai sedasi dan juga efeknya sebagai protektor otak.
Permasalahan tersebut diatas dapat dijadikan pertimbangan oleh ahli anestesi dalam penatalaksanaan
neurotrauma dengan tetap mempertimbangkan kondisi fisik dan kesadaran pasien dengan harapan agar
keselamatan pasien tetap terjaga dengan baik dan tidak memperburuk kondisi pasien.

Kata kunci : dexmedetomidin, neurotauma, proteksi otak

JNI 2012;1(3):234-240

I. Pendahuluan pelayanan dan menimbulkan ketidaknyamanan


pasien yang lain. Berdasarkan kejadian-kejadian
Kegawatan saraf merupakan salah satu yang
tersebut, maka beberapa RS menerapkan kebijakan
terbesar di Indonesia. Kasus kecelakaan yang
untuk penatalaksanaan pasien-pasien dengan
mengakibatkan gangguan saraf atau mengalami
penurunan kesadaran dan cenderung kombatif
penurunan kesadaran, dengan derajat kesadaran
untuk diberikan sedasi.
yang bervariasi hingga GCS < 6. Pada pasien
dengan GCS > 6 lebih sering gelisah dan tidak II. Dexmedetomidin
kooperatif. Selain itu, kondisi pasien yang tetap
Dexmedetomidin merupakan agonis α-2
tersadar merupakan salah satu acuan penting dalam
adrenoseptor yang sangat selektif sekali. Pemberian
monitoring dan penilaian derajat kesadaran pasien.
bila sesuai dengan dosis yang dibutuhkan dapat
Permasalahan yang berkembang di ruang gawat menimbulkan sedasi, anxiolisis, dan analgesia tanpa
darurat adalah bagaimana cara menenangkan pasien adanya depresi nafas. Pemberian obat-obatan
dengan medikasi yang tidak memperburuk keadaan agonis α-2 dapat mengurangi kebutuhan anestesi
atau kesadaran pasien hingga diberikan tindakan dikarenakan komponen simpatolitik, mampu
definitif, baik operatif maupun non-operatif. menahan stabilitas hemodinamik selama operasi.1
Maksud dengan memberikan penenang pada pasien
Agonis α-2 adrenoseptor merupakan subgroup dari
adalah untuk mencegah pasien berbuat diluar
reseptor noadrenergik yang terdistribusi luas di
kesadarannya yang dapat berakibat fatal pada
dalam dan diluar susunan saraf pusat (SSP). Agonis
dirinya sendiri. Beberapa kasus yang pernah terjadi
α-2 di otak terutama terkonsentrasi didalam pons
antara lain pasien melepas semua jalur intravena
dan medulla, suatu area yang terlibat dalam
yang terpasang, terjatuh dari tempat tidur,
transmisi aktifasi sistem saraf simpatis dari pusat
mengamuk yang mengakibatkan kegaduhan di
otak ke perifer. Stimulasi presinaptik reseptor α-2
ruang gawat darurat yang berakibat gangguan pada
dapat mengurangi pelepasan norepinefrin dan

1
[Type text]
2 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
10-minute infusion to 250 minutes after an 8-hour infusion. No accumulation
after infusions 12-24 h.Pharmacokinetics similar in young adults and elderly.

Mechanism of actions
A selective α2-adrenoceptor agonist. It’s action is unique and different.
Three subtypes of α2 adrenoreceptors have been described in humans: α2A,
α2B, and α2C ( Fig). The α2A

aktifasi reseptor α-2 pasca sinap hiperpolarisasi


membran neural.1
Dexmedetomidin menimbulkan efek sedatif dan
ansiolitik melalui aktifasi adrenoseptor α-2 di locus
ceruleus (LC), tempat terbesar inervasi
noradrenergik di SSP. LC berperan sebagai
modulator kunci untuk berbagai macam fungsi
kritis otak seperti gairah, tidur, kecemasan, dan
putus obat yang terkait dengan sindrom depresi
SSP, seperti opioid.1,2 Sedasi dihasilkan oleh agonis adrenoreceptors are primarily distributed in the periphery, whereas α2B and α2C
are Gambar
in the brain1.and spinal cord. agonis α-2 adrenoseptor
Mekanisme
α-2 adrenoseptor, tidak seperti yang dihasilkan oleh
obat-obatan sedatif tradisional, seperti Dikutip dari:
• Presynaptic Kumar
activation GK 3
of alpha2-adrenoceptors inhibits the release of nor
epinephrine.
benzodiazepine dan propofol, independen terutama • Postsynaptic activation of alpha2-adrenoceptors in the central nervous
terhadap sistem GABA.1,2 system inhibits sympathetic activity and can decrease blood pressure and
Penggunaan dexmedetomidin sebagai agen sedasi
heart rate, so sedation and anxiolysis can result from this activity.
• Analgesia is provided through binding of Dexmedetomidine to alpha2-
Dexmedetomidin di Indonesia merupakan obat baru memberikan efek yang lebih baik dibandingkan
adrenoceptors in the spinal cord.
The overall response to α2 adrenoreceptors agonists is related to the stimulation 3 of
yang mulai dikenal luas awal tahun 2000, walaupun propofol terhadap tingkat kecemasan pasien.
α2 adrenoreceptors located in the CNS and spinal cord. The α2 agonists produce
sebenarnya obat ini sudah lama diproduksi dan Penelitian ini menitikberatkan pada monitoring
their sedative-hypnotic effect by an action on α2 receptors in the locus caeruleus
and an analgesic action at α2 receptors within the locus caeruleus and within the
diteliti mulai awal tahun 1990. Penggunaan tekanan darah, nadi, SpO , bispectral index (BIS),
spinal cord. 2

dexmedetomidin lebih banyak untuk sedasi pada faces anxiety scale (FAS). Hasil yang didapat
pasien-pasien di ICU dan juga digunakan untuk menyatakan bahwa, dexmedetomidin sedikit
pasien operasi bedah saraf, terutama awake menimbulkan depresi nafas bila dibandingkan
craniotomy. propofol. Efek sedasi dexmedetomidin tidaklah
sebaik propofol untuk mengatasi kecemasan
Dexmedetomidin memiliki waktu paruh yang cepat berdasarkan hasil dari penilaian FAS, dimana pada
± 6 menit. Sembilan puluh empat persen dari pemberian propofol skor FAS menurun lebih cepat
dexmedetomidin merupakan protein terikat, dan dibandingkan dexmedetomidin, akan tetapi
konsentrasi rasio antara seluruh darah dan plasma penilaian kesadaran dengan metode mental
adalah 0,66.3 Biotransformasi dengan konjugasi aritmetika (MA) menunjukkan bahwa pasien masih
(41%), n-metilasi (21%), atau hidroksilasi diikuti dapat berhitung pengurangan pada tingkat sedasi
oleh konjugasi dalam hati. Metabolit tidak aktif ringan (BIS 75-85).4
diekskresikan dalam urin dan feses. Eliminasi
waktu paruh dexmedetomidin antara 2-3 jam, Efek analgesi dari dexmedetomidin dapat menurun-
dengan konteks-sensitif waktu paruh mulai dari 4 kan penggunaan opioid hingga 30%-50%, akan
menit setelah infus selama 10 menit hingga 250 tetapi potensinya tidak bisa menyamai kemampuan
menit setelah infus selama 8 jam. Tidak ada opioid, akan tetapi untuk kasus-kasus yang opioid
akumulasi setelah infus 12-24 jam.3 tidak bisa maksimal, seperti nyeri neuropatik, maka
pemberian agonis α-2 akan lebih menguntungkan.1,5
Adrenoseptor agonis α2 terbagi menjadi 3 subtipe,
yaitu α2a (didistribusikan di perifer), α2b dan α2c Dexmedetomidin merupakan salah satu obat yang
(ada di otak dan tulang belakang). Mekanisme sangat berguna untuk penatalaksanaan kasus-kasus
umum dari adrenoseptor tersebut adalah: yang memerlukan sedasi dan juga penatalaksanaan
nyeri. Mekanisme efek dalam mereduksi nyeri
 Aktivasi presinaptik dari α2-adrenoseptor merupakan akibat dari aktifasi adrenoseptor α-2.3,5
menghambat pelepasan norepinefrin. Mekanisme kerja dari dexmedetomidin dalam
 Aktivasi pascasinap dari adrenoseptor α2 dalam mereduksi nyeri berhubungan dengan aktifitasnya
sistem saraf pusat menghambat aktivitas terhadap LC dan persarafan di tulang belakang
simpatik dan dapat menurunkan tekanan darah (spinal cord) dengan mengaktifasi adrenoseptor
dan denyut jantung. α2c dengan cara melemahkan transmisi nosiseptik
 Analgesia timbul melalui mekanisme ke SSP.
pengikatan dexmedetomidin untuk α2- Penggunaan dexmedetomidin sudah sangat luas,
adrenoseptor di sumsum tulang belakang.3 tidak hanya untuk kasus-kasus bedah saraf saja,
akan tetapi telah digunakan sebagai salah satu
bagian dari penatalaksanaan sedasi di ruang terapi
intensif serta dapat sebagai bagian dari pengelolaan
anestesi pada pasien-pasien yang akan operasi non-
bedah saraf dengan kondisi yang tidak
memungkinkan untuk dilakukan operasi
Penggunaan Dexmedetomidine pada Neurotrauma 3

pembedahan dengan anestesi umum secara jaringan dan peningkatan yang berkelanjutan
menyeluruh. tekanan darah sistemik, yang menunjukkan
vasokonstriksi berkelanjutan yang disebabkan oleh
Ruang terapi intensif menggunakan
dexmedetomidin di perifer.10
dexmedetomidin pada umumnya untuk kasus-kasus
yang memerlukan penanganan khusus serta untuk III. Dexmedetomidin dalam Neurotrauma
pengendalian hemodinamik, nyeri, ataupun sedasi
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah
ringan. Efek dari dexmedetomidin terhadap pasien-
dilakukan, ada 2 pendapat yang menyetujui
pasien dengan kondisi kritis dalam beberapa hal
penggunaan dexmedetomidin dalam neurotrauma
lebih menguntungkan.
dan ada pula yang sebaliknya. Pendapat yang
Pemberian dexmedetomidin secara intravena menyetujui adalah dengan pertimbangan derajat
menghasilkan peningkatan sementara tekanan darah kesadaran yang masih baik, hemodinamik yang
arteri dan resistensi arteri perifer, kemudian akan tinggi dan tidak stabil, serta untuk keperluan
diikuti oleh penurunan berkepanjangan. Pada sel proteksi otak. Pendapat yang tidak menyetujui
efektor simpatik, α2-agonis menghambat pelepasan adalah bila dexmedetomidin diberikan pada pasien
presinaptik norepinefrin, tetapi proses ini akan neurotrauma, akan mengakibatkan gangguan dalam
ditahan dalam pembuluh oleh efek vasokonstriksi menilai kesadaran pasien. Pertimbangan-pertim-
langsung α2-agonis dalam sirkulasi.6,7 bangan tersebut merupakan dasar yang diambil oleh
rumahsakit dalam mengambil kebijakan penatalak-
Penelitian yang pernah dilakukan pada kasus bedah
sanaan pasien dengan neurotrauma.
vaskuler, dengan anestesia, pasien yang tidak
diberikan dexmedetomidin menunjukkan Kerusakan sel otak akibat trauma dapat
peningkatan kadar norepinefrin yang lebih tinggi 2- berlangsung cepat atau lambat. Perlu diketahui
3x lipat dibandingkan pasien yang diberikan bahwa kerusakan sel ada 3, yaitu apoptosis,
dexmedetomidin. Hal tersebut diketahui nekrosis dan autofagi. Pada kasus trauma, yang
berdasarkan peningkatan kadar normetanefrin yang paling sering terjadi adalah nekrosis dan biasanya
tinggi dalam urin. Normetanefrin merupakan akut. Nekrosis adalah hasil akhir dari kekacauan
derivat norepinefrin.7 bioenergi akibat deplesi ATP ke tingkat yang tidak
sesuai dengan kelangsungan hidup sel dan dapat
Pasien yang mendapatkan dexmedetomidin, tidak
terjadi pada kasus keracunan atau kerusakan fisik.
ada peningkatan kadar normetanefrin urin hingga
Hal ini secara morfologi ditandai oleh vakuolasi
hari kedua pascaoperasi. Konsentrasi
dari sitoplasma, pembengkakan mitokondria,
dexmedetomidin plasma (antara 0,18-0,34 ng/ml)
dilatasi endoplasmik retikulum (ER), dan kerusakan
akan mengurangi peningkatan denyut jantung dan
pada membran plasma.12 Akibatnya, isi seluler
konsentrasi norepinefrin plasma selama tindakan
dibebaskan ke dalam ruang ekstraseluler dan dapat
anestesi.7
merusak sel disebelahnya dan menimbulkan respon
Penggunaan dexmedetomidin dalam anestesi inflamasi. Meskipun mekanisme molekuler yang
umum, akan bekerja sinergi dengan agen inhalasi, menyebabkan kematian sel nekrotik tidak sepenuh-
opioid, serta obat-obatan pelumpuh otot. Peng- nya dijelaskan, biasanya, neuron kehilangan kontrol
gunaan dexmedetomidin sebagai ajuvan pada keseimbangan ion, penyerapan, dan lisis.
pasien dengan anestesi umum yang menggunakan Eksitotoksisitas merupakan hasil dari pelepasan
agen inhalasi, dapat mengurangi kebutuhannya neurotransmiter yang berlebihan dan melibatkan
hingga 90% dari MAC. Penggunaan isofluran reseptor membran sel dengan asam amino
sendiri tidak terlalu mempengaruhi farmakokinetik eksitatorik seperti N-metil-D-aspartat (NMDA)
dexmedetomidin.8,9 ionotropik, kainate, dan 2-amino-3-propionat
(AMPA). Asam amino eksitatorik memicu pening-
Penggunaan opioid pada pemberian katan Ca2+ intrasel oleh pelepasan Ca2+ reticulum
dexmedetomidin dapat dikurangi, selain itu juga endoplasma mengelompok dan atau memicu
dapat mengurangi rigiditas otot yang merupakan
transport Ca2+ ekstrasel melalui transporter
salah satu efek samping dari pemberian opioid. 8 membran plasma.12
Penelitian efek dexmedetomidin terhadap pelum-
puh otot yang pernah dilakukan menemukan Inhibisi pengambilan Ca2+ oleh mitokondria dapat
beberapa kejadian setelah pemberian menekan kerusakan sel nekrotik. Nekrosis terlihat
dexmedetomidin dalam dosis klinis yang relevan, seperti sistem proteolitik yang dependen, namun
konsentrasi pelumpuh otot dalam plasma meningkat pada kenyataannya pada kerusakan lisosom dan
dan T1 (respon TOF-1) menurun. Selain itu, bila pembebasan kalpain-katepsin merupakan
dilakukan infus dexmedetomidin, maka akan terjadi mekanisme aktif dalam jalur kematian ini. 12
penurunan berkelanjutan dalam volume darah
4 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

Masih berkaitan dengan kejadian neurotrauma Apoptosis dapat menjadi respon patologis, atau
adalah terjadinya edema otak ataupun pembeng- sarana eliminasi sel yang akan mati perlahan-lahan
kakan otak. Edema adalah akumulasi abnormal setelah kejadian iskemik. Proses ini diduga
cairan dalam parenkim otak, melainkan dibagi ke melibatkan pelepasan sitokrom C mitokondria dan
dalam jenis vasogenik dan sitotoksik. Edema aktivasi kaspase dan faktor pro-apoptosis yang
vasogenik didefinisikan sebagai cairan yang berasal lainnya. Tingkat kematian sel pada akhirnya
dari pembuluh darah dan terakumulasi di sekitar terletak pada keseimbangan sinyal pro-apoptosis
sel. Edema sitotoksik didefinisikan sebagai cairan dan anti-apoptosis.14
yang terakumulasi dalam sel sebagai akibat dari
Penggunaan atau aktifasi adrenoseptor agonis α2
cedera sel. Edema sitotoksik sering terjadi pada
iskemia serebral. Edema neurotoksik adalah subtipe oleh dexmedetomidin dalam rangkaian
dari edema sitotoksik yang disebabkan oleh neuroproteksi berkaitan dengan efeknya yang
tingginya kadar asam amino eksitatorik. Sampai menghambat aktifitas simpatis. Aktivasi
saat ini, edema pada cedera otak traumatis dianggap adrenoseptor agonis α2 di sumsum tulang belakang
sebagai "vasogenik", sekunder dari trauma terbuka berefek analgesi. Pengikatan ligan ekstraseluler
sawar darah otak. Namun, ketiga bentuk edema (hormon endogenous atau molekul eksogen seperti
dapat terjadi bersamaan, dan berkontribusi relatif dexmedetomidin) ke α2-reseptor berpasangan
terhadap peningkatan tekanan intrakranial dan dengan salah satu dari beberapa guanine-binding
pembengkakan otak yang belum teridentifikasi.13 protein (G-protein). Reseptor-reseptor α2
menghambat adenilatsiklase melalui penghambatan
Kasus neurotrauma tidak boleh dibiarkan terlalu
dalam tanpa ada penatalaksanaan yang tepat. Kasus protein Gi. Hal ini menyebabkan penurunan
yang segera diberikan penatalaksanaan adalah pembentukan 3’5’-siklik adenosin monofosfat
pasien dengan cedera kepala berat, dikarenakan (cAMP), yang sangat penting sebagai second
kerusakan sel-sel otak dapat berlangsung cepat, messenger untuk memerantarai kerja norepinefrin
tergantung jenis trauma, lokasi atau posisi, dan dan sejumlah hormon lainnya. Aktivasi dari protein
volume perdarahannya. Pasien dengan cedera Gi juga mengaktifkan saluran kalium terbuka-
kepala ringan, biasanya cukup diberikan keluar, sehingga mengakibatkan hiperpolariasi dari
penatalaksanaan konservatif bila GCS > 13. membran sel neuron dan mengurangi pelepasan sel
eksitatorik dalam SSP. Melalui protein lain yang
Proses kerusakan sel neuron yang terjadi dan
disebut protein Go, reseptor α2 menghambat
bersifat ireversibel antara lain adalah nekrosis yang
masuknya kalsium ke dalam sel dan menghambat
cepat dan apoptosis lambat. Nekrosis cepat terjadi
pada fase akut dalam inti infark serebral. aktivitas fosfolipase C. Penghambatan aktivitas
Neurotransmitter disimpan dalam vesikel fosfolipase C berkontribusi pada pengurangan
presinaptik, dan, di otak yang utuh, melepaskan dan aktivitas enzim, seperti protein kinase C, yang
menyerap energi terikat dan dikontrol dengan kuat. antara lain, memiliki peran dalam stres oksidatif
Gangguan pasokan darah/oksigen ke otak dan apoptosis. Reseptor α2 berpasangan melalui
mengakibatkan disfungsi saluran ion ATP- protein-Glain yang belum ditentukan untuk
dependent, menyebabkan depolarisasi sel dan percepatan pertukaran ion natrium hidrogen.14
pelepasan neurotransmitter eksitatorik ekstraseluler.
Dexmedetomidin diberikan pascatrauma di ruang
Glutamat adalah neurotransmitter eksitatorik yang
perawatan gawat darurat, ketika pasien tersebut
paling banyak dan penting.14
pertama kali masuk, merupakan salah satu langkah
Glutamat mengaktifkan NMDA subtipe reseptor yang penting dalam penatalaksanaan kasus-kasus
glutamaterik. Aktivasi reseptor NMDA dengan cedera kepala berat. Hal ini dapat dijadikan
meningkatkan kalsium intraseluler dan natrium, pertimbangan. Pemberian dexmedetomidin
serta berkontribusi pada depolarisasi dan aktivasi sebaiknya diikuti dengan evaluasi kontinyu
saraf. Kelebihan kalsium mendorong aktivasi jalur terhadap hemodinamik.
yang mengganggu homeostasis ionik, sinyal oksida
nitrat, fungsi sitoskeleton, kemunculan radikal Penggunaan dexmedetomidin dapat dipertimbang-
bebas, dan aktivasi lemak dan protease, yang kan dari beberapa aspek, antara lain adalah waktu
berakhir pada degenerasi dan kematian sel paruhnya yang cukup cepat bila dibandingkan
membran eksitotoksik.12,13,14 golongan Imidazole yang lain (Klonidin).
Walaupun keduanya memiliki rasio perbandingan
Mekanisme apoptosis aktif sebagai respon terhadap
cedera otak iskemik, dapat terjadi dalam hitungan yang cukup tinggi antara α2 : α1, namun
hari sampai minggu setelah terjadinya iskemik, dexmedetomidin lebih selektif, dengan perban-
terutama di area penumbra sekitar inti nekrotik. dingan 1.600:1, sehingga dapat dikatakan sebagai
Penggunaan Dexmedetomidine pada Neurotrauma 5

agonis adrenoseptor α2 yang lengkap. 3,15 Selain itu, IV. Penatalaksanaan Pasien ICU
waktu paruh dexmedetomidin lebih pendek bila PascaNeurotrauma dengan Menggunakan
dibandingkan klonidin. Metabolit yang diekskresi- Dexmedetomidin
kan melalui urin atau feses menunjukkan bahwa Penggunaan dexmedetomidin di ICU untuk pasien
dexmedetomidin masih cukup tinggi kadarnya, pascatrauma dengan operasi ataupun yang
yang berarti tidak terlalu banyak mengalami konservatif dengan GCS diatas 8 sangat
perubahan.15 Beberapa penelitian, menguji efek dimungkinkan sekali dan dapat membantu dalam
samping yang muncul akibat penggunaan penatalaksanaan sedasi pada pasien yang gelisah.
dexmedetomidin dibandingkan obat-obatan yang
memiliki efek sedasi yang sama sebagai plasebo Pada beberapa kasus yang terjadi di daerah,
penggunaan obat-obatan golongan benzodiazepin
(tabel 1).
pada pasien neurotrauma masih jadi salah satu
pilihan yang dianggap efektif, walaupun pada
kenyataannya justru mempersulit dalam penilaian
Tabel 1. Efek samping dexmedetomidin
dibandingkan plasebo
kesadaran yang berakibat mempengaruhi rencana
tindakan atau intervensi terhadap pasien tersebut
Efek buruk Dexmedetomidin Plasebo dan tentunya akan merugikan pasien sendiri. Hal
(%) (%) tersebut akan diperburuk dengan fakta yang sering
Hipotensi 28 13 terjadi di lapangan bahwa pemeriksaan penunjang
Hipertensi 16 18 terkadang tidak langsung segera dilakukan, seperti
Nausea 11 9
Bradikardi 7 3 pemeriksaan CT-scan dan x-foto kranium, serta
Demam 5 4 pemeriksaan laboratorium.
Muntah 4 6
Atrial fibrilasi 4 3 Pasien yang direncanakan untuk dilakukan tindakan
Hipoksia 4 4 operasi bedah saraf, akan tetapi kondisinya belum
Takikardi 3 5 memungkinkan untuk dilakukan operasi, biasanya
Perdarahan 3 4
diobservasi beberapa saat hingga pasien siap untuk
Anemia 3 2
Mulut kering 3 1 dilakukan tindakan operasi. Persiapan pasien dapat
Kaku 2 3 dilakukan di ruang perawatan intensif atau bangsal
Agitasi 2 3 traumatologi yang dilengkapi dengan monitor
Hiperpireksia 2 3
Nyeri 2 2
pasien.
Hiperglikemia 2 2 Jurnal yang ada selama ini lebih banyak membahas
Asidosis 2 2
Pleural efusion 2 1 pemanfaatan dexmedetomidin untuk penatalak-
Oliguria 2 <1 sanaan pasien di ruang perawatan intensif yang
Haus 2 <1 diambil manfaat sedasinya, sedangkan penggunaan
Dikutip dari: Abramov D. 16 dexmedetomidin pada kasus pasca neurotrauma di
ruang perawatan intensif masih jarang untuk
dilakukan pembahasan secara lebih mendalam.
Penelitian yang berbeda terhadap hewan coba yang
dilakukan tindakan anestesi, menyatakan bahwa Penggunaan klonidin oral dan dexmedetomidin
dengan pemberian dexmedetomidin dapat berefek intravena telah digunakan untuk memberikan sedasi
pada penurunan organ akan nutrien. Penelitian pra operasi dan anxiolitik pada pasien bedah.
tersebut menunjukkan bahwa dexmedetomidin Secara kuantitas, sedasi dari alpha2-agonis adalah
melindungi aliran ke organ paling vital (otak, unik karena pasien dapat dengan mudah
jantung, hati, ginjal) dengan mengorbankan organ dibangunkan tetapi kemudian kembali ke keadaan
yang kurang penting dan mengalir melalui pintas tidur. Rumatan infus dexmedetomidin telah
arteriovenosa. Aliran darah di organ vital jauh di didokumentasikan dengan menggunakan tes
atas rerata diketahui menyebabkan perfusi yang Critical Flicker Fusion. yang dilakukan di Imperial
kurang, yang berarti terjadi redistribusi curah College of Medicine, Kensington dan Chelsea dan
jantung. Penurunan aliran darah di organ dengan Westminster Hospital, London dimana kinerja
ekstraksi oksigen rendah yang muncul dapat dalam tes psikomotor cukup terjaga dengan baik
sebagai kontributor penting untuk peningkatan selama sedasi dexmedetomidin. Oleh karena itu,
ekstraksi oksigen vena campuran.17 pasien dianestesi dengan alpha2-agonis akan lebih
kooperatif dan komunikatif dibandingkan pasien
yang disedasi dengan obat lain dalam pengaturan
terapi intensif.19
Selama lebih dari satu dekade, agonis α2 telah
6 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

digunakan untuk memberikan sedasi pra operasi Efek neuroproteksi dexmedetomidin dan
dan ansiolisis dan untuk mengurangi kebutuhan analgesinya juga perlu dijadikan pertimbangan
anestesi intraoperatif. Pasien yang diberikan dalam penatalaksanaan awal kegawatdaruratan
dexmedetomidin memerlukan propofol lebih sedikit medik di instalasi gawat darurat, dengan catatan
dibanding kelompok plasebo yang diberikan obat bahwa pasien tersebut tetap dilakukan monitoring
untuk tingkat sedasi klinis yang sama; secara hemodinamik secara kontinyu.
kualitatif, tipe sedasi yang dihasilkan unik dimana
pasien bisa dibangunkan dengan mudah dan
kemudian kembali berubah menjadi keadaan Daftar Pustaka
tidur.20
1. Bekker A, Sturaitis MK. Dexmedetomidine for
Efektivitas klonidin sebagai analgesik tambahan neurological surgery. J Neurosurgery.
pada pasien dengan injuri termal menjadi awal yang 2005[diunduh 10 April 2010];57 Suppl 1:1-10.
baik untuk studi obat sedatif di masa-masa Tersedia dari:
mendatang yang mencakup hingga saat ganti balut. http://anesthesia.ucsf.edu/neuroanesthesia/resid
Indikasi pemberian sedasi dexmedetomidin untuk ents/respdf/Dexmedetomidin_neurosurgery.pdf
pengobatan di ruang terapi intensif pasien
pascabedah hingga 24 jam adalah karena efek 2. Nelson LE, Lu J, Guo T, Sappor CB, Franks
simpatolitik dan vagomimetik, dengan NP, Maze M. The α2-adrenoceptor agonist
mempertimbangkan aspek kehati-hatian akan resiko dexmedetomidine convergeson an endogenous
hipotensi, bradikardia, dan sinus arrest dan hanya sleep-promoting pathway to exert its sedative
dapat digunakan dengan monitoring yang ketat.20 effects. Anesthesiology.2003;98:428 –36.
Karena target untuk tindakan sedasi dari agonis α2
3. Kumar GK. Dexmedetomidin [dokumen di
diketahui dengan tepat, hal ini meningkatkan
internet]. Madras Medical College[diunduh 20
kemungkinan bahwa strategi untuk menghentikan
Februari 2010]. Tersedia
tindakan ini dapat dilakukan dengan mudah.
dari:http://www.isakanyakumari.com/docs/Dex
Sebuah penelitian melaporkan tentang kemampuan
medetomidin%20text.pdf
atipamezole, antagonis selektif adrenoseptor α2,
untuk membalikkan sifat sedatif dari
4. Okawa K, Ichinohe T, Kaneko Y. A
dexmedetomidin pada sukarelawan. Kedua obat
comparison of propofol and dexmedetomidine
penenang dan efek simpatolitik dari
for intravenous sedation: a randomized,
dexmedetomidin intramuskular adalah dosis
crossover study of the effects on the central
ketergantungan antagonis oleh atipamezole
and autonomic nervous systems. J Anesth
intravena, namun sensitivitas untuk pembalikan
Analg. 2010;110(2):415-8.
keduanya mungkin memiliki respon yang berbeda.
Karena agonis dan antagonis memiliki waktu paruh
5. Poree RL, Guo TZ, Kingery WS, Maze M. The
eliminasi yang hampir sama, kemungkinan
analgesic potency of dexmedetomidine is
kekambuhan dari efek klinis dexmedetomidin
enhanced after nerve injury: A possible role for
setelah pembalikan (reversal) oleh atipamezole
peripheral α2-adrenoceptors. Anesth Analg.
kecil. Oleh karena itu, agonis α2 dapat diberikan
1998;87:941-8.
secara titrasi agar efek sedasi hipnotis dapat dibalik
dengan mudah.20
6. McCallum JB, Boban N, Hogan Q, Schmelling
V. Simpulan WT, Kampine JP, Bosnjak ZJ. The mechanism
of α2-adrenergic inhibition of sympathetic
Berdasarkan beberpa penelitian yang pernah
ganglionic transmission. Anesth
dilakukan terhadap keuntungan dan kerugian dari
Analg.1998;87:503-10.
penggunaan dexmedetomidin, maka perlu dapat
diambil suatu kesimpulan bahwa tidak ada
7. Talke P, Chen R, Thomas B, Aggarwall A,
permasalahan apabila dexmedetomidin digunakan
Gottlieb A, Thorborg P, et al. The
pada pasien neurotrauma sebagai bagian dari
hemodynamic and adrenergic effects of
penatalaksanaan sedasi pada pasien dengan
perioperative dexmedetomidine infusion after
kesadaran yang menurun (15 > GCS > 8).
vascular surgery. Anesth Analg. 2000;
Penggunaan dexmedetomidin juga dapat
90(4):834-9.
bermanfaat pada pasien dengan tekanan darah yang
tinggi.
Penggunaan Dexmedetomidine pada Neurotrauma 7

8. Arcangeli A, Alo CD, Gaspari R. 19. Hall JE, Uhrich TD, Barney JA, et al. Sedative,
Dexmedetomidine use in general anesthesia. amnestic, and analgesic properties of
Current Drug Targets. 2009;10:687-95. dexmedetomidine infusions. Anesth Analg.
2000;90:699-705.
9. Aanta R, Jaakola ML, Kallio A, Kanto J.
Eduction of the MAC of isoflurane by 20. Kamibayashi T, Maze M. Clinical uses of α2-
dexmedetomidine. J Anesth. 1997;86:1055-60 adrenergic agonist. Anesthesiology. 2000;
93:1345–9
10. Weinger MB, Segal IS, Maze M.
Dexmedetomidine, acting through central α-2 21. Shehabi Y, Botha JA, Ernest D, Freebairn RC,
adrenoceptors, prevent opiate-induced muscle Reade M, Roberts BL, Seppelt I, Weisbrodt L.
rigidity in the rat. J Anesth. 1989; 71:242-49. Clinical application, the use of
dexmedetomidine in intensive care sedation.
11. Caldwell JE, Talke PO, Richardson CA, Crit Care & Shock. 2010;13:40-50
Nielsen HK, Stafford M. The effects of
dexmedetomidine on neuromuscular blockade 22. Venn M, Newman J, Grounds M. A phase II
in human volunteers. Anesth Analg study to evaluate the efficacy of
1999;88:633–9. dexmedetomidine for sedation in the medical
intensive care unit. Intensive Care Med
12. Repici M, Mariani J, Borsello T. Neuronal 2003;29:201-7.
death and neuroprotection: a review. Dalam:
Borsello T, ed. Neuroprotection methods and
protocol. New Jersey: Humana Press; 2007, 1-
14.

13. Marmarou A. The pathophysiology of brain


edema and elevated intracranial pressure. Clev
Clin J Med. 2004(71) Suppl 1:6-8.

14. Janke EL, Samra S. Dexmedetomidine and


neuroprotection. J Sem in Anesth, Periop Med
and Pain. 2006;25:71-6.

15. Tobias JD. Dexmedetomidine in trauma


anesthesiology and critical care. J Int Trauma
Anesth and Crit Care. 2007[diunduh 21
November 2010](17)1:6-18. Tersedia dari
:http://www.itaccs.com

16. Abramov D. The role of dexmedetomidine in


the sedation of critically ill patients. J Pharm
Therapeutics. 2005(30)3:158-61.

17. Lawrence CJ, Prinzen FW, Lange S. The effect


of dexmedetomidine on nutrient organ blood
flow. Anesth Analg. 1996;83:1160-5.

18. Venn RM, Bradshaw CJ, Spencer R, et al.


Preliminary UK experience of
dexmedetomidine, a novel agent for
postoperative sedation in the intensive care
unit. Anaesthesia. 1999;54:1136-42.

Anda mungkin juga menyukai