Anda di halaman 1dari 9

Jurnal Anestesiologi Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA

Penggunaan Sedasi dan Pelumpuh Otot di Unit Rawat Intensif

Tatag Istanto*, Jati Listiyanto Pujo*, Danu Soesilowati*


*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

Abstract
Sedation should be administered to patients with critical illness who were treated in the ICU,
it is used to reduce patient anxiety reducing patient anxiety of invasive measures, monitoring
and treatment, reducing the oxygen demand by reducing the activity of the patient and
amnesia effect of treatment in ICU. Muscle paralytic rarely used in the ICU for sedation
usually be enough to calm the patient and provide patient comfort with mechanical
ventilation.
The use of excessive sedation or slightly increased patient morbidity. The use of paralytic
muscle in a long time has many disadvantages to be considered, even more so when there is
impaired hepatic and renal function in patients.

Abstrak
Sedasi sebaiknya diberikan pada pasien dengan penyakit kritis yang dirawat di ICU, hal ini
digunakan untuk mengurangi kecemasan pasien mengurangi kecemasan pasien terhadap
tindakan invasif, monitoring dan pengobatan, mengurangi kebutuhan oksigen dengan
mengurangi aktivitas pasien dan menimbulkan efek amnesia terhadap perawatan di ICU.
Pelumpuh otot jarang digunakan di ICU karena biasanya sedasi saja sudah mencukupi untuk
menenangkan pasien dan memberikan kenyamanan pasien dengan ventilasi mekanik.
Penggunaan sedasi yang terlalu berlebihan atau telalu sedikit meningkatkan angka
morbiditas pasien. Penggunaan pelumpuh otot dalam waktu lama memiliki banyak kerugian
yang harus dipertimbangkan, terlebih lagi bila terdapat gangguan fungsi hepar dan ginjal
pada pasien.

PENDAHULUAN Sedasi juga digunakan untuk pengobatan


pada epilepsi dan tetanus. Pelumpuh otot
Sedasi sebaiknya diberikan pada pasien jarang digunakan di ICU karena biasanya
dengan penyakit kritis yang dirawat di sedasi saja sudah mencukupi untuk
ICU, hal ini digunakan untuk mengurangi menenangkan pasien dan memberikan
kecemasan pasien mengurangi kecemasan kenyamanan pasien dengan ventilasi
pasien terhadap tindakan invasif, mekanik, namun memang pada waktu
monitoring dan pengobatan, mengurangi tertentu pelumpuh otot digunakan
kebutuhan oksigen dengan mengurangi misalnya saat mengalami kesulitan
aktivitas pasien dan menimbulkan efek intubasi atau terapi spesifik seperti kejang.
1,2,3
amnesia terhadap perawatan di ICU.

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010 116


Jurnal Anestesiologi Indonesia

SEDASI  Tidak ada efek memanjang bila


dihentikan, dan
Pengertian  Tidak ada efek samping
psikologis.
Penggunaan sedasi pada pasien di ICU
ditujukan untuk mengurangi kecemasan Jenis obat yang sering digunakan di ICU
pasien mengenai sakit yang diderita dan ada beberapa macam yaitu :
mengenai kemungkinan kematian,
mengistirahatkan pasien, mengurangi Benzodiazepin
sensasi yang tidak menyenangkan seperti
rasa haus, alat monitoring dan tindakan Obat dalam kelas benzodiazepin mungkin
invasif, mengurangi kecemasan pasien adalah obat yang paling sering digunakan
karena sulit berkomunikasi. 1,2 di ICU, obat golongan ini memiliki sifat
hipnosis, amnesia dan ansiolisis, tetapi
Indikasi tanpa efek analgetik. Memiliki efek anti
kejang. 1
Indikasi penggunaan sedasi selain untuk
mengurangi kecemasan pasien dan Penggunaan benzodiazepin diberikan
mengistirahatkan pasien yaitu untuk secara intermiten atau infus terus menerus,
membantu pasien yang kesulitan tidur, misalnya dengan dosis 1 mg/ml dan
mengendalikan agitasi, melindungi dari dititrasi sampai efek yang diinginkan.
iskemik miokard dan selama penggunaan Dosis lazim yang digunakan sebesar 0,02-
pelumpuh otot.2 0,2 mg/kg/jam pada midazolam dan 5-10
mg iv pada diazepam yang memiliki masa
Medikamentosa kerja panjang. 1 Besarnya dosis sangat
tergantung dari: 1
 Sedasi yang digunakan sebaiknya
memenuhi kondisi berikut: 1,2  Pemberian benzodiazepin
 Memiliki efek tidur, sebelumnya/toleransi,
 Dapat mengurangi kecemasan,  Umur,
 Memiliki efek amnesia,  Status hidrasi 9(asien hipovolemik
 Bersifat anti kejang, lebih sensitif)
 Tidak bersifat kumulatif,  Gangguan fungsi hepar dan ginjal,
 Tidak tergantung dari metabolisme  Kombinasi dengan opioid.
oleh ginjal atau hepar,  Riwayat penggunaan alkohol.
 Tidak menekan fungsi respirasi
atau kardiovaskuler, Midazolam
 Tidak berinteraksi dengan obat
lain, Midazolam adalah benzodiazepin yang
 Murah, larut air, dengan durasi singkat.
 Onset cepat, Menghasilkan metabolit alfa-hidroksi

117
Volume II, Nomor 2, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

midazolam. Midazolam dimetabolisme propofol (propofol infusion syndrome)


oleh enzim mikrosomal hepar (sitokrom dengan gejala asidosis metabolik,
P450). Dosis yang digunakan yaitu 2,5-5 perlemakan hepar dan kerusakan otot.1
mg iv bolus atau 0,5-6 mg/jam infus
kontinyu. Midazolam dapat diencerkan Thiopentone
dalam D5% atau NaCl 0,9%. Efek
midazolam menghilang dalam 30 menit-2 Thiopentone digunakan untuk keperluan
jam setelah infus kontinyu dihentikan. tertentu, seperti pada penganganan
Pada pasien dengan terapi hemodialisis peningkatan TIK atau pengobatan status
akumulasi metabolit aktif midazolam dapat epileptikus. Penggunaan thiopentone
menghasilkan efek sedasi yang dibatasi karena durasinya yang lama dan
memanjang. waktu paruh yang panjang pada infus
kontinyu. 1
Kombinasi dengan opioid dapat
menurunkan dosis benzodiazepin dengan Ketamine
menambah efek depresi nafas dan batuk
Ketamine bekerja menghambat reseptor
yang sesuai pada pasien dengan ventilasi
NMDA (N-methyl-D-Aspartat), yang
mekanik. Antagonis benzodiazepin,
menghasilkan keadaan sedasi yang
flumazenil, dapat digunakan untuk
dinamakan „anestesi disosiasi‟, dengan
mengurangi efek samping akut seperti
ciri-ciri : sedasi ringan, amnesia, analgesia
hipotensi, depresi respirasi atau untuk
dan penurunan aktivitas motorik.
menilai fungsi neurologis secara cepat
Pengunaan di ICU terganggu dengan efek
pada pasien dengan sedasi benzodiazepin.
1,3 halusinasi dan delirium saan fase
pemulihan, walaupun hal ini dapat
OBAT ANESTESI INTRAVENA dikurangi dengan pemberian
benzodiazepin sebelumnya. Ketamine
Propofol memiliki efek bronkodilatasi sehingga
berguna pada sedasi pada pasien dengan
Propofol sering digunakan di ICU karena asma. 1,3
bekerja cepat, efektif dan efeknya
menghilang dengan cepat. Kewaspadaan Etomidate
penggunaan propofol terutama pada pasien
dengan hipovolemik dan gangguan Tidak digunakan di ICU karena efek
miokard karena efek samping propofol samping penekanan pada adrenokortikal. 1
menyebabkan hipotensi berat. Dosis yang
Penenang Mayor (Major Tranquilizer)
digunakan di ICU lebih rendah dari dosis
anestesi (6-12 mg/kg/jam). Oleh karena
Penenang mayor seperti haloperidol dan
mengandung lipid, pemberian propofol
clorpromazine dapat digunakan untuk
dihitung juga sebagai sumber nutrisi.
menenangkan pasien, dengan bekerja pada
Penggunaan sedasi propofol dalam waktu
reseptor dopaminergic, alfa-adrenergic,
lama dapat menyebabkan sindroma
histamin, serotonin dan cholinergic,

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010 118


Jurnal Anestesiologi Indonesia

dengan efek kerja utama: mengurangi Opioid


aktifitas motorik, mengurangi inisiatif,
apatis, sedasi, mengurangi agresifitas dan Walaupun opioid digunakan sebagai
antiemetik. 1 Namun obat golongan ini analgetik, namun opioid juga memiliki
memiliki efek samping: 1 efek sedasi yang dimanfaatkan di ICU.
Isofluran 0,6% disebutkan sebagai salah
 Efek ekstrapiramidal, satu anestesi inhalasi yang ideal untuk
 Laktasi sedasi jangka panjang dengan efek
 Efek antikolinergic, samping cardiovaskuler minimal dan
 Hipotensi, pemulihan yang cepat. 1,2
 Sindroma neuroleptik maligna.
Dexmedetomidine

Dexmedetomidine merupakan agonis alfa-


Keuntungan utama obat golongan ini yaitu 2 selektif yang memberikan efek analgesia
dapat digunakan untuk menenangkan dan sedasi. Dosis yang diberikan sebesar 1
pasien tanpa risiko depresi respirasi. Obat mcg/kg dalam 10 menit diikuti dosis
ini tidak dianjurkan untuk penggunaan perawatan sebesar 0,2-0,7 mcg/kg/jam.
jangka panjang, kecuali untuk pengobatan Namun pemberian lebih dari 24 jam tidak
psikosis. Dosis yang lazim digunakan pada dianjurkan. Efek samping yang dapat
haloperidol sebesar 5-20 mg/jam secara timbul yaitu hipotensi, bradikardia,
bolus intermiten sampai efek yang hipoksemia, dan atrium fibrilasi. Obat
diinginkan dicapai. Antipsokotik atipik agonis alfa2 yang lain, klonidin, dapat
yang baru, yaitu olanzapin, dapat diberikan digunakan untuk memerkuat sedasi saat
secara oral/sublingual dan memiliki efek benzodiazepin dan opioid digunakan pada
samping yang lebih rendah dibanding obat pasien di ICU. 1
antipsikotik tipikal. 1,2
Namun selain pemakaian obat sedasi,
Obat Anestesi Gas pasien dapat ditenangkan dengan
komunikasi yang baik dengan staf ICU,
Penggunaan obat anestesi gas di ICU fasilitas yang baik (kelembaban, cahaya,
sangat terbatas karena: biayanya yang suhu dan ketenangan), penjelasan sebelum
tinggi, alat yang lebih kompleks dan efek dilakukan tindakan infasif, manajemen
samping yang lebih banyak. Anestesi yang baik untuk masalah lapar, haus,
dalam gas dapat digunakan tindakan konstipasi dan diuresis, memberikan
invasif di ICU. 1,2 informasi mengenai waktu (siang dan
malam).2

119
Volume II, Nomor 2, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 1. Obat sedasi di ICU2

Monitoring  Evoked potential.

Tingkat sedasi yang diinginkan tergantung Kedalaman sedasi sebaiknya dievaluasi


dari tujuan yang ingin dicapai, apakah setiap jam sampai tercapai kondisi stabil.
sedasi dalam seperti pada pasien dengan Dianjurkan pasien sebaiknya nafas spontan
status epileptikus atau sedasi ringan pada secepat mungkin dengan mode ventilasi
pasien dengan ventilasi mekanik. SIMV atau trigerred ventilation seperti
Pemantauan tingkat sedasi ini diperlukan pressure support. Tidak ada gold standard
untuk mengurangi biaya dan meningkatkan untuk monitoring sedasi. Pemeriksaan
kualitas sedasi. Masalah yang dapat timbul GCS sering dilakukan untuk monitoring,
yaitu : 1,2 namun hal tersebut hanya untuk pasien
dengan defisit neurologis. Pemantauan
 Oversedasi (meningkatkan risiko paling sering dilakukan dengan skoring
pneumonia). Ramsay. Namun ini tidak berlaku pada
 Membutuhkan pemeriksaan pasien dengan pelumpuh otot, karena
neurulogi yang lebih sering, Ramsay berdasar pada respon motorik.
 Lebih lama dirawat di ICU,
 Meningkatkan insidensi depresi.

Tingkat sedasi dapat dipantau dengan pengawasan pada kestabilan hemodinamik


beberapa metode seperti : dan pemeriksaan rutin neurologi terhadap
adanya defisit neurologi. 2
 Sistem skoring Ramsay (Tabel 1).
 Pemeriksaan dengan EEG, untuk
menilai aktivitas cerebral.
 Visual Analog Scale.

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010 120


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 1. Skoring Ramsay2

Sedasi Pada Pasien Cedera Kepala masih diberikan untuk kasus tertentu
misalnya: 1
Sedasi pada pasien dengan cedera kepala
harus memenuhi syarat tertentu yaitu: Memudahkan proses intubasi, permulaan
bekerja cepat dan dapat dieliminasi dengan penggunaan ventilasi mekanik, atau
cepat, sedasi bersifat kuat, tidak tindakan bedah minor (trakheostomi).
memengaruhi kardiovaskuler dan
autoregulasi serebral serta tidak kumulatif Untuk memudahkan transport pasien atau
bila dipakai dalam waktu lama. Saat ini pemeriksaan penunjang (radiologi).
tidak ada obat sedasi yang ideal untuk
pasien dengan cedera kepala. Obat-obatan Selama penggunaan ventilasi mekanik,
saat ini dapat digunakan dengan bila sedasi saja tidak cukup untuk
mencapai target, atau dalam kondisi
PELUMPUH OTOT tertentu , misalnya pasien dengan asma
berat, memerbaiki parameter respirasi atau
Pengertian mengurangi VO2 pada pasien dengan
hipoksemia berat.
Berkembangnya teknologi ventilasi dari
hanya mode terkendali (IPPV) menjadi Indikasi spesifik seperti pada pasien
ditemukannya mode membantu (assisted), tetanus.
menyebabkan pemakaian pelumpuh otot
jarang diberikan di ICU. Pelumpuh otot

121
Volume II, Nomor 2, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Medikamentosa Efek samping pelepasan histamin pada


atracurium.
Semua pelumpuh otot baik golongan
depolarisasi maupun non-depolarisasi Pasien tidak lagi memiliki reflek proteksi
dapat digunakan di ICU. Golongan seperti batuk atau muntah, sehingga
depolarisasi dapat digunakan dengan perhatian yang lebih besar perlu diberikan
mewaspadai adanya beberapa hal pada dalam merawat pasen yang dilumpuhkan.
pasien, seperti multiple injuries, gagal
ginjal, kelainan neurologi, luka bakar, Tidak dapat menilai fungsi neurologis.
imobilisasi lama. Risiko hiperkalemia pada
kondisi konsidi tadi cukup tinggi. Pemakaian yang lama dapat menyebabkan:
Pelumpuh otot non-depolarisasi lebih gangguan elektrolit, miopati pada
banyak digunakan di ICU, namun sama pelumpuh otot steroid (pancuronium,
seperti pelumpuh otot depolarisasi, ada vecuronium), terutama bila digunakan
kondisi yang harus diperhatikan misalnya : bersamaan dengan kortikosteroid atau
1,2 aminoglikosida. Dosis yang dapat
digunakan pada pelumpuh otot vecuronium
Akumulasi zat/metabolit aktif pada pasien antara 1-2 mcg/kg/menit.
dengan gangguan ginjal atau hepar. Dalam
kondisi ini atracurium dan cisatracurium Vecuronium
berguna karean metabolisme mereka tidak
Vecuronium dimetabolisme di hepar dan
dipengaruhi fungsi ginjal dan hepar,
memiliki durasi 20-30 menit. Pada pasien
namun metabolit laudanosin pada
dengan gagal ginjal / gangguan fungsi
atracurium perlu diwaspadai karena
hepar, dosis harus disesuaikan.
merupakan epileptogenik. Dosis yang
digunakan antara 4-12 mcg/kg/menit.

Tabel 1. Pelumpuh Otot yang dapat digunakan di ICU 3

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010 122


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Monitoring ALGORITMA SEDASI


Penggunaan sedasi (dan analgetik) yang
Penggunaan pelumpuh otot perlu tepat dapat menguntungkan bagi pasien.
dimonitor secara rutin, bisa dengan train of Banyak variasi pengelolaan sedasi di ICU,
four, post tetanic count atau double burst salah satunya seperti pada gambar 1.
stimulation. Selain itu pelumpuh otot dapat Dalam diagram alir ini skoring sedasi yang
dihentikan sekali sehari untuk menilai dipakai (SAS/Sedation Anxiety Score)
fungsi neurologis pasien. 1 menggunakan skoring Ramsay, dengan
target skor 2.
Komplikasi

Penggunaan pelumpuh otot dapat SIMPULAN


menimbulkan beberapa masalah seperti: 2 Sedasi dipergunakan di unit rawat intensif
untuk menenangkan pasien dalam
 Sedasi yang kurang adekuat , melakukan tindakan monitoring dan atau
 Akumulasi pada gagal ginjal, tindakan invasif. Penggunaan sedasi yang
 Miopati, terlalu berlebihan atau telalu sedikit
 Kecenderungan untuk oversedasi, meningkatkan angka morbiditas pasien.
 Penggunaan Pelumpuh otot Penggunaan sedasi dalam jangka waktu
lama di unit rawat intensif dapat dilakukan
Dari beberapa penelitian penggunaan dengan infus kontinu, namun penghentian
ventilator mekanik memicu terjadinya pemberian sedasi tiap hari perlu dilakukan.
miopati pada diafragma. Penelitian yang Selain untuk menilai perkembangan pasien
dilakukan oleh D Testelmans tahun 2006 (bila terdapat pemeriksaan neurologis),
pada tikus wistar dengan infus kontinyu penghentian pemberian ini dapat
rocuronium membuktikan bahwa mengurangi lama penggunaan ventilasi
penggunaan rocuronium dengan ventilator mekani dan lama tinggal di unit rawat
mekanik menyebabkan penurunan fungsi intensif. Pelumpuh otot jarang digunakan
diafragma, atrofi serat tipe IIx/b pada di unit rawat intensif, kecuali bila ada
diafragma, serta meningkatnya MURF-1 kasus tertentu yang memerlukan seperti
mRNA pada sel diafragma yang tetanus. Penggunaan pelumpuh otot dalam
merupakan penanda aktifnya perusakan sel waktu lama memiliki banyak kerugian
melalui jalur ubiquitin-proteasome. Hal ini yang harus dipertimbangkan, terlebih lagi
mungkin dapat mendukung adanya bila terdapat gangguan fungsi hepar dan
kegagalan weaning pada pasien di ICU ginjal pada pasien.
dengan ventilator mekanik setelah
penggunaan pelumpuh otot.

123
Volume II, Nomor 2, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Gambar 1 Diagram Alir Penggunaan Sedasi Di ICU 2

DAFTAR PUSTAKA

1. Bersten AD, Soni N. Oh‟s intensive care


manual sixth edition. Philadelphia,
Elsevier 2009: 913-20

2. Gabrielli A, Layon AJ, Yu M. Civetta,


Taylor, & Kirby‟s Critical Care Fourth
Edition.Lippincott William & Wilkins,
Philadelphia, 2009: 579-90

3. Bongard F, Sue D, Vintch J. Current


diagnosis and treatment: Critical care.
USA, McGraw-Hill.2008:106-11

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010 124

Anda mungkin juga menyukai