PENDAHULUAN
A. Pengertian Ergonomi
Ergonomi berasal dari bahasa yunani, yaitu Ergon (kerja) dan Nomos
(peraturan, hukum), yang secara keseluruhan ergonomi berarti hukum atau
aturan yang berkaitan dengan kerja. (Suma’mur. 1998). Selain itu ergonomi juga
merupakan ilmu yang penerapannya berusaha untuk menyerasikan pekerjaan
dan lingkungan terhadap orang atau sebaliknya dengan tujuan tercapainya
produktivitas dan efisiensi dengan setinggi – tingginya melalui pemanfaatan
faktor manusia seoptimal – optimalnya.
Di antara kedua subyek (yaitu pekerjaan dan manusia), manusia sangat
terbatas dalam melakukan proses interaksi dengan pekerjaannya. Keterbatasan
tersebut dapat berupa keterbatasan fisik, mental, maupun sosial. Keterbatasan
fisik misalnya pada kemampuannya dalam mengangkat barang, atau panjang
lengannya untuk menjangkau kemudi. Keterbatasan mental misalnya pada
kemampuannya untuk melawan nalurinya untuk tidur ketika harus bekerja pada
malam hari. Keterbatasan sosial terlihat pada kemampuannya beradaptasi bila
dipekerjakan ditempat yang terpencil atau terisolasi seperti di luar angkasa.
Berdasarkan beberapa contoh sederhana di atas, dapat disimpulkan bahwa
pekerjannyalah yang harus disesuaikan dengan kemampuan manusia. Namun
demikian, dalam kehidupan sehari-hari tidak semua pekerjaan dapat disesuaikan
B. Tujuan Ergonomi
Dalam definisi ergonomi menurut ILO di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan
ergonomi secara umum adalah efisiensi dan kesejahteraan yang berkaitan erat
dengan produktivitas dan kepuasan kerja. Dalam dua dekade terakhir ini,
banyak perubahan dalam pekerjaan. Jumlah pekerja yang bekerja secara bergilir
setiap malam bertambah banyak, sistem manusia-mesin semakin lama semakin
menjemukan, dan stres mental dan fisik pada pekerja semakin banyak.
Beberapa masalah yang dulu diabaikan kini menjadi topik yang banyak
dibicarakan. Dulu hanya gangguan pendengaran tuli perseptif yang diperhatikan,
sekarang kebisingan deru mobil, desir mesin penyejuk dan getaran kipas angin
pendingin komputer sudah menjadi perhatian. Secara ringkas dapat dikatakan
bahwa terjadi pergeseran tujuan ergonomi dari tujuan produksi ke tujuan
kemanusiaan. Pada suatu titik akan tercapai keseimbangan karena kedua tujuan
tersebut pada akhirnya sama yaitu kualitas hidup manusia. Beban kerja
disesuaikan demi efisiensi manusia. Upaya untuk mencapai efisiensi tidak boleh
menimbulkan stres, Upaya untuk mencapai efisiensi juga dilakukan pada mesin,
alat, dan instalasi, namun tidak melupakan faktor keselamatan manusia yang
mengendalikannya. Tempat kerja juga menjadi perhatian, agar posisi tubuh
dapat disesuaikan secara tepat, juga meneliti kekuatan cahaya, mengatur
penyejuk udara, meredam kebisingan dan lain-lain adalah bertujuan
tersesuaikannya dengan kebutuhan fisik manusia. Pada akhirnya ergonomi
bertujuan meningkatkan kualitas hidup manusia di tempat kerja.
C. Manfaat Ergonomi
Ada beberapa manfaat jika ilmu ergonomi secara tepat dapat dilakukan di
perusahaaan, adalah sebagai berikut :
D. Komponen Ergonomi
KOMPONEN ERGONOMI
ANTROPOMETRI
Antropometri (ukuran dimensi tubuh manusia) berasal dari bahasa
yunani, yaitu Antropos yang berarti Manusia, dan Metricos yang berarti
Pengukuran. Secara sederhana antropometri adalah ilmu yang mempelajari
tentang pengukuran tubuh manusia. Antropometri adalah cabang dari ergonomi
yang berhubungan dengan pengukuran tubuh (Pheasant, 1999). Sedangkan
menurut Suma’mur tahun 1986, antropometri yaitu ilmu tentang ukuran tubuh,
baik dalam keadaan statis maupun dinamis. Manusia pada dasarnya memiliki
bentuk, ukuran (tinggi, lebar, dst) berat dan lain – lain yang berbeda satu dengan
yang lainnya. Antropometri secara luas akan digunakan sebagai pertimbangan –
pertimbangan ergonomis dalam memerlukan interaksi manusia. Data
antropometri yang berhasil diperoleh akan diaplikasikan secara luas antara lain
dalam hal :
Perancangan areal kerja (Work station, interior mobil, dll)
Perancangan peralatan kerja seperti mesin, eqipment, perkakas (tools)
dan sebagainya
Perancangan produk – produk konsumtif seperti pakaian, kursi/meja, dll
Perancangan lingkungan fisik
Manusia pada umumnya akan berbeda – beda dalam hal bentuk dan
dimensi ukuran tubuhnya. Disini ada beberapa faktor yang akan mempengaruhi
ukuran tubuh manusia, sehingga sudah semestinya seseorang perancang
produk harus memperhatika faktor – faktor tersebut yang antara lain adalah :
1. Umur, dari suatu penelitian yang dilakukan oleh A. F Roche dan G. H
Davila (1972) di USA memperoleh kesimpulan bahwa laki – laki akan
a.
N(X, X) 95%
2,5% 2,5%
b.
1,96 X 1,96 X
5% populasi akan berada pada atau dibawah ukuran itu. Dalam antropometri
ukuran 95-th akan menggambarkan ukuran manusia yang “terbesar” dan 5-th
percentile sebaliknya akan menunjukan ukuran “terkecil”. Pemakaian nilai – nilai
percentile yang umum diaplikasikan dalam perhitungan data antopometri dapat
dijelaskan dalam tabel sebagai berikut :
Percentile Perhitungan
1-st - 2.325 X
2.5-th - 1.96 X
5-th - 1.645 X
10-th - 1.28 X
50-th
90-th + 1.28 X
95-th + 1.645 X
97.5-th + 1.96 X
99-th + 2.325 X
R = Dmax – Dmin
Langkah yang kedua yaitu menentukan kelas interval atau biasa disingkat
dengan sebutan kelas, adapun rumus dalam menentukan kelas adalah sebagai
berikut:
K = 1 + 3,3 Log N
Dimana : K = Kelas
N = Jumlah data
Langkah yang ketiga yaitu menentukan nilai interval, adapun rumus dalam
menentukan nilai interval adalah sebagai berikut:
R
I
K
Pi
ixN
100
Setelah diketahui letak dari persentil, maka langkah selanjut menghitung nilai dari
persenti, adapun rumus dari nilai persentil adalah sebagai berikut:
ixN
100 F 1
P LCB I
fi
Dalam menentukan banyaknya kelas (K) dilakukan secara trial and error.
Diusahakan agar setiap tidak ada yang mempunyai frekuensi nol (0)
maka data antropometri yang umum diaplikasikan adalah dalam rentang nilai
5-th s/d 95-th percentile
(1). Meja
Kursi merupakan bagian integral dari desain tempat kerja dimana yang
fungsi utama kursi adalah harus dapat memberikan suport dan stabilitas bagi
orang yang mendudukinya. Desain kursi yang baik atau buruk akan berpengaruh
terhadap postur, sirkulasi, aktivitas kerja ototyang membutuhkan untuk
mempertahankan postuir dan berpengaruh terhadap ketegangan dari struktur
tulang belakang. Tepi bagian depan dudukan kursi, tidak boleh menekan bagian
belakang betis karena dapat mengurangi sandaran penunjang pinggang yang
menyebabkan sikap tubuh membungkuk.
Tinggi dudukan kursi harus dapat disesuaikan dan memudahkan pekerja
meletakkan telapak kakidiatas lantai, jika telapak kaki tidak menyentuh lantai
karena ketinggian dudukan kursi, maka papan penyanggah tapak kaki harus
disesuaikan.
Pada posisi beridiri dengan pekerjaan ringan, tinggi optimum area kerja
adalah 5 – 10 cmdi bawah siku. Agar tinggi optimum ini dapat diterapakn, maka
perlu diukur tinggi siku yaitu jarak vertikal dari lantai ke siku dengan keadaan
lengan bawah mendatar dan lengan atas vertikal. Tinggi siku pada laki – laki
misalnya 100 cm dan pada wanita misalnya 95 cm, maka tinggi meja kerja bagi
laki – laki adalah antara 90 – 95 cm, sedangkan untuk wanita antara 85 – 90 cm.
Tinggi meja ini selanjutnya harus disesuaikan dengan sifat pekerjaannya yaitu
pada pekerjaan – pekerjaan yang lebih membutuhkan ketelitian, tinggi mejanya
adalah 10 – 20 cm lebih tinggi dari tinggi siku. Pada pekerjaan – pekerjaan yang
memerlukan penekanan dengan tangan, maka tinggi mejanya adalah 10 – 20 cm
lebih rendah dari siku.
Pekerjaan akan lebih baik jika dilakukan sambil duduk. Ada beberapa
keuntungan apabila kita bekerja sambil duduk, yaitu : kurangnya kelelahan pada
kaki, terhindarnya sikap – sikap yang tidak alamiah, berkurangnya pemakaian
energi, kurangnya tingkat keperluan sirkulasi darah.
Selain itu, terdapat pula kerugian – kerugian akibat bekerja sambil duduk, yaitu :
melembeknya otot – otot [erut, melengkungnya punggung, serta tidak baik bagi
alat – alat dalam khususnya pencernaan jika posisi dilakukan secara terus
menerus. Sikap duduk paling baik yang tidak berpengaruh buruk terhadap sikap
badan dan tulang belakang adalah sikap duduk dengan sedikit lordosa pada
pinggang dan sedikit mungkin kifosa pada punggung. Sikap demikian dapat
dicapai dengan kursi dan sandaran punggung yang tepat.
E. Variabel Antropometri
DAFTAR BACAAN :
Fisiologi kerja
Fisiologi Kerja adalah merupakan suatu studi tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja dan kelelahan selama otot bekerja. Fisiologi Kerja adalah
ilmu yang mempelajari fungsi atau faal tubuh manusia pada saat bekerja dan
merupakan dasar berkembangnya ergonomi. Dengan diketahuinya fisiologi kerja
diharapkan mampu meringankan beban kerja seorang pekerja dan meningkatkan
produktivitas kerja.
A. Kerja Fisik
Kerja fisik atau physical work adalah kerja yang memerlukan energi fisik otot
manusia sebagai sumber tenaga atau power. Kerja fisik sering disebut sebagai
“Manual Operation” di mana performansi kerja sepenuhnya akan tergantung
pada manusia, baik yang berfungsi sebagai sumber tenaga (power) ataupun
pengendali kerja (control). Dalam hal kerja fisik ini, konsumsi energi (energy
consumption) merupakan faktor utama dan tolak ukur sebagai penentu berat
atau ringannya kerja fisik tersebut.
Aktivitas otot yang akan mengubah fungsi-fungsi faal dalah tubuh adalah
sebagai berikut.
Denyut jangtung.
Tekanan darah.
Keluaran atau output jantung (liter darah/menit).
Komposisi kimia dalam darah dan tubuh.
Temperatur tubuh.
Laju penguapan.
Ventilasi paru-paru (liter darah/menit).
Konsumsi oksigen (O2) oleh otot.
Kerja fisik akan mengeluarkan energi yang berhubungan erat dengan
konsumsi energi. Setiap kegiatan yang berlangsung pada diri manusia
membutuhkan energi. Untuk melakukan semua kegiatan manusia diperlukan
supplay energi. Energi terbentuk karena adanya proses metabolisme dalam otot,
yaitu berupa serangkaian proses kimia yang mengubah bahan makanan menjadi
dua bentuk energi. Kedua bentuk energi tersebut adalah energi mekanis dan
energi panas. Konsumsi energi pada waktu kerja biasanya ditentukan dengan
cara tidak langsung, yaitu dengan 2 cara sebagai berikut.
denyut jantung per menit dapat digunakan untuk menghitung pengeluaran energi
(Retno Megawati, 2003). Secara lebih luas dapat dikatakan bahwa kecepatan
denyut jantung dan pernapasan dipengaruhi oleh tekanan fisiologis, tekanan oleh
lingkungan, atau tekanan akibat kerja keras, di mana ketiga faktor tersebut
memberikan pengaruh yang sama besar. Pengukuran berdasarkan kriteria
fisiologis ini bisa digunakan apabila faktor-faktor yang berpengaruh tersebut
dapat diabaikan atau situasi kegiatan dalam keadaan normal.
Pengukuran denyut jantung dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara
lain :
1. Merasakan denyut jantung yang ada pada arteri radial pada
pergelangan tangan.
2. Mendengarkan denyut jantung dengan stetoskop.
3. Menggunakan ECG (Electrocardiograph), yaitu mengukur signal elektrik
yang diukur dari otot jantung pada permukaan kulit dada.
Peningkatan denyut nadi mempunyai peran yang sangat penting didalam
peningkatan cardio output dari istirahat samapi kerja maksimum (Rodahl, 1989),
didefinikan sebagai Heart Rate Reserve (HR Reserve). HR Reserve tersebut
diekspresikan dalam presentase yang dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut.
Di mana denyut nadi maskimum adalah 220 dikurangi usia untuk laki-laki dan
200 dikurangi usia untuk wanita. Dari perhitungan %CVL tersebut, kemudian
akan dibandingkan dengan klasifikasi yang telah ditetapkan sebagai berikut.
Bentuk regresi hubungan energi dengan kecepatan denyut jantung secara umum
adalah regresi kuadratis dengan persamaan sebagai berikut.
Di mana,
Y : Energi (kilokalori/kkal per menit).
X : kecepatan denyut jantung (denyut per menit).
KE = Et – Ei
Di mana,
KE : Konsumsi energi untuk suatu kegiatan kerja tertentu (kkal / menit).
Et : Pengeluaran energi pada saat waku kerja tertentu (kkal / menit).
Ei : Pengeluaran energi pada saat waktu istirahat (kkal / menit).
Jika denyut jantung dipantau selama istirahat, maka waktu pemulihan untuk
beristirahat meningkat sejalan dengan beban kerja. Dalam keadaan yang
ekstrim, pekerja tidak mempunyai waktu istirahat yang cukup sehingga
mengalami kelelahan yang kronis. Formulasi untuk menentukan waktu istirahat
(Time Rest) sebagai kompensasi dari pekerjaan fisik adalah sebagai berikut.
T (K - S)
TR = ---------------------
K - 1.5
Di mana,
TR = Waktu istirahat yang dibutuhkan (menit).
T = Total waktu kerja (menit).
S = Pengeluaran energi cadangan yang direkomendasikan (kkal / menit),
biasanya 4 atau 5 kkal / menit.
K= konsumsi energi selama pekerjaan berlangsung (kkal/mnt).
Sedangkan rumus untuk mengukur waktu kerja (Time Work) sendiri adalah
sebagai berikut.
25
Tw = ------------------ menit
K–5
Di mana,
TK = Waktu kerja (menit).
K= konsumsi energi selama pekerjaan berlangsung (kkal/mnt).
dengan oksigen (O2) yang dihirup, terbakar dan menimbulkan panas serta energi
mekanik.
Proses metabolisme
Proses metabolisme yang terjadi dalam tubuh manusia merupakan fase yang
penting sebagai penghasil energi yang diperlukan untuk kerja fisik. Proses
metabolisme ini bisa dianalogikan dengan proses pembakaran yang kita
jumpaibdalam mesin motor bakar (combustion engine). Lewat proses metabolis
akan dihasilkan panas dan energi yang diperlukan untuk kerja mekanis lewat
sistem otot manusia. Di sini zat-zat makanan akan bersenyawa dengan oksigen
(O2) yang dihirup, terbakar dan menimbulkan panas serta energi mekanik.
Pengukuran konsumsi oksigen
Besarnya pengeluaran energi sebagai akibat kerja fisik sangat berkaitan
dengan konsumsi energi. Satuan pengukuran konsumsi energi adalah kilo kalori
(KKal). 1 KKal adalah jumlah panas yang dibutuhkan untuk menaikkan
tempertaur 1 liter air dari 14,5o C menjadi 15,5o C. Energi yang dikonsumsikan
seringkali bisa diukur secara langsung yaitu melalui konsumsi oksigen (O2) yang
dihisap. Menurut Mc. Cormick, volume oksigen yang dibutuhkan bekerja dapat
dipakai sebagai dasar menentukan jumlah kalori yang diperlukan selama kerja
atas dasar persamaan berikut ini :
1 liter oksigen = 4,7 – 5 Kkal
Sedangkan menurut Nurmianto (2000), jika 1 liter oksigen dikonsumsi oleh
tubuh, maka tubuh akan mendapatkan 4,8 KKal energi. Faktor inilah yang
merupakan nilai kalori suatu oksigen. Volume oksigen yang digunakan tersebut
dihitung dengan cara mengukur volume udara ekspirasi dan kemudian kadar
oksigennya ditentukan dengan teknik sampling. Dengan mengetahui temperatur
dan tekanan udaranya, maka volume oksigen yang digunakan dapat dihitung.
Pengukuran denyut jantung
Derajat beban kerja tidak hanya tergantung pada jumlah kalori yang
dikonsumsi, akan tetapi juga bergantung pada jumlah otot yang terlibat pada
pembebanan otot statis. Sejumlah konsumsi energi tertentu akan lebih berat jika
hanya ditunjang oleh sejumlah kecil otot relatif terhadap sejumlah besar otot.
Astrand dan Christensen meneliti pengeluaran energi dari tingkat denyut
jantung dan menemukan adanya hubungan langsung antara keduanya. Tingkat
pulsa dan denyut jantung per menit dapat digunakan untuk menghitung
pengeluaran energi. [Retno Megawati, 2003]
Secara lebih luas dapat dikatakan bahwa kecepatan denyut jantung dan
pernapasan dipengaruhi oleh tekanan fisiologis, tekanan oleh lingkungan atau
tekanan akibat kerja keras, di mana ketiga faktor tersebut memberikan pengaruh
yang sama besar. Pengukuran berdasarkan kriteria fisiologis ini bisa digunakan
apabila faktor-faktor yang berpengaruh tersebut dapat diabaikan atau situasi
kegiatan dalam keadaan normal.
Tahap pertama adalah menyetarakan besaran kecepatan denyut jantung ke
dalam bentuk energi. Untuk merumuskan hubungan antara Energy expenditure
kecepatan denyut jantung dilakukan pendekatan kuantitatif hubungan antara
energi expenditure dengan kecepatan denyut jantung dengan analisa regresi.
Bentuk regresi hubungan energi dengan kecepatan denyut jantung secara umum
adalah regresi kuadratis dengan persamaan sebagai berikut :
Di mana : Y = Energi (Kilokalori/menit)
X = Kecepatan denyut jantung (denyut per menit)
Lalu ditentukan besarnya konsumsi energi yang ada dengan rumus
matematis :
KE = Et – Ei
Dimana :
KE = Konsumsi energi untuk kegiatan tertentu (Kkal/mnt)
Et = Pengeluaran energi pada waktu kerja tertentu (Kkal/mnt)
Ei = Pengeluaran energi pada waktu istirahat (Kkal/mnt) [Martyaningsih,2003]
Peningkatan denyut nadi mempunyai peran yang sangat penting di dalam
peningkatan cardiac output dari istirahat sampai kerja maksimum. Peningkatan
yang potensial dalam denyut nadi dari istirahat sampai kerja maksimum tersebut
oleh Rodahl (1989) didefinisikan sebagai Heart Rate Reserve (HR Reserve). HR
Reserve tersebut diekspresikan dalam presentase yang dapat dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
% HR Reserve = (denyut nadi kerja- denyut nadi istirahat)/(denyut nadi
maks-denyut nadi istirahat)*100%
Lebih lanjut, Manuaba & Vanwonteerghem (1996) menentukan klasifikasi
beban kerja berdasarkan peningkatan denyut nadi kerja yang dibandingkan
dengan denyut nadi maksimum karena beban kerja kardiovaskuler
(cardiovasculair load = %CVL) yang dihitung dengan rumus sebagai berikut
%CVL=100x(denyut nadi kerja-denyut nadi istirahat)/(denyut nadi mak-
denyut nadi istirahat)
Dimana :
Denyut nadi istirahat = rerata denyut nadi sebelum pekerjaan dimulai
Denyut nadi kerja = rerata denyut nadi selama bekerja
Denyut nadi maksimum = (220 – umur) untuk laki-laki dan(200 – umur) untuk
wanita.
Kerja Mental
Kerja mental merupakan kerja yang melibatkan proses berpikir dari otak kita.
Pekerjaan ini mengakibatkan kelelahan mental bila intensitas kerja ini relatif
tinggi. Hal ini bukan diakibatkan oleh aktifitas fisik secara langsung, melainkan
akibat kerja otak kita.
Beban kerja mental merupakan perbedaan antara tuntutan kerja mental
dengan kemampuan mental yang dimiliki oleh pekerja yang bersangkutan.
Beban kerja yang timbul dari aktivitas mental di lingkungan kerja antara lain
disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut.
Keharusan untuk tetap dalam kondisi kewaspadaan tinggi dalam
waktulama
Kebutuhan untuk mengambil keputusan yang melibatkan
tanggung jawabbesar
Menurunnya konsentrasi akibat aktivitas yang monoton
Kurangnya kontak dengan orang lain, terutama untuk tempat kerja
yang terisolasi dengan orang lain.
Beban kerja mental dapat diukur dengan pendekatan fisologis, karena
terkuantifikasi dengan dengan kriteria obyektif, maka disebut metode obyektif.
Kelelahan mental pada seorang pekerja terjadi akibat adanya reaksi fungsional
dari tubuh dan pusat kesadaran. Pendekatan yang bisa dilakukan antara lain
sebagai berikut.
Pengukuran variabilitas denyut jantung.
Pengukuran selang waktu kedipan mata (eye blink rate).
Flicker Test.
Pengukuran kadar asam saliva
Menurut Chaffin dan Anderson tubuh manusia terdiri dari enam link, yaitu:
1. Link lengan bawah yang dibatasi oleh joint telapak tangan dan
siku.
2. Link lengan atas yang dibatasi oleh joint siku dan bahu.
3. Link punggung yang dibatasi oleh joint bahu dan pinggul.
4. Link paha yang dibatasi oleh joint pinggul dan lutut.
5. Link betis yang dibatasi oleh joint lutut dan mata kaki.
6. Link kaki yang dibatasi oleh joint mata kaki dan telapak kaki.
Gambar tubuh sebagai sistem enam link dan joint (Chaffin, 1991)
Meskipun telah banyak mesin yang digunakan pada berbagai industri untuk
mengerjakan tugas pemindahan, namun jarang terjadi otomasi sempurna di
dalam industri. Disamping pula adanya pertimbangan ekonomis seperti tingginya
harga mesin otomasi atau juga situasi praktis yang hanya memerlukan peralatan
sederhana. Sebagai konsekuensinya adalah melakukan kegiatan manual di
berbagai tempat kerja. Bentuk kegiatan manual yang dominan dalam industri
adalah Manual material handling (MMH).
Definisi Manual material handling (MMH) adalah suatu kegiatan transportasi
yang dilakukan oleh satu pekerja atau lebih dengan melakukan kegiatan
pengangkatan, penurunan, mendorong, menarik, mengangkut, dan
memindahkan barang (Suhadri, 2008).
Selama ini pengertian MMH hanya sebatas pada kegiatan mengangkat dan
menurunkan yang melihat aspek kekuatan vertikal. Padahal kegiatan MMH tidak
terbatas pada kegiatan tersebut diatas, masih ada kegiatan menarik dan
mendorong di dalam kegiatan MMH. Kegiatan MMH yang sering dilakukan oleh
pekerja di dalam industri antara lain :
1. Kegiatan pengangkatan benda (LiftingTask)
2. Kegiatan pengantaran benda (Caryying Task)
3. Kegiatan mendorong benda (Pushing Task)
4. Kegiatan menarik benda (Pulling Task)
Berbeda dengan pendapat di atas menurut Occupational Safety and Health
Administration (OSHA) mengklasifikasikan kegiatan manual material handling
menjadi lima yaitu :
1. Mengangkat/Menurunkan (Lifting/Lowering)
Mengangkat adalah kegiatan memindahkan barang ke tempat yang lebih
tinggi yang masih dapat dijangkau oleh tangan. Kegiatan lainnya adalah
menurunkan barang.
2. Mendorong/Menarik (Push/Pull)
Kegiatan mendorong adalah kegiatan menekan berlawanan arah tubuh
dengan usaha yang bertujuan untuk memindahkan obyek. Kegiatan menarik
kebalikan dengan it
3. Memutar (Twisting)
Kegiatan memutar merupakan kegiatan MMH yang merupakan gerakan
memutar tubuh bagian atas ke satu atau dua sisi, sementara tubuh bagian
bawah berada dalam posisi tetap. Kegiatan memutar ini dapat dilakukan dalam
keadaan tubuh yang diam.
4. Membawa (Carrying)
Kegiatan membawa merupakan kegiatan memegang atau mengambil barang
dan memindahkannya. Berat benda menjadi berat total pekerja.
5. Menahan (Holding)
Memegang obyek saat tubuh berada dalam posisi diam (statis)
2. Karakteritik Material
Karakteristikmaterial atau bahan, meliputi:
a) Beban, ukuran berat benda, usaha yang dibutuhkan untuk mengangkat,
maupun momen inersia benda.
b) Dimensi, atau ukuran benda seperti lebar, panjang, tebal, dan bentuk
benda baik itu kotak, silinder, dll.
c) Distribusi beban, ukuran letak unit CG dengan reaksi pekerja untuk
membawa dengan satu atau dua tangan.
d) Kopling, cara membawa benda oleh pekerja berkaitan dengan tekstur,
permukaan, atau letak.
e) Stabilitas beban, ukuran konsistensi lokasi CG
3. Karakteristik Tugas/Pekerjaan
Karakeristik tugas ini meliputi kondisi pekerjaan manual material handling
yang akan dilakukan. Terdiri dari :
a) Geometri tempat kerja, termasuk didalamnya jarak pergerakan, langkah
yang harus ditempuh, dll.
b) Frekuensi, waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan
termasuk frekuensi pekerjaan yang dilakukan.
c) Kompleksitas pekerjaan, termasuk didalamnya ketepatan penempatan,
tujuan aktivitas maupun komponen pendukungnya.
d) Lingkungan kerja, seperti suhu, pencahayaan, kebisingan, getaran, bau
bauan, juga daya tarik kaki.
4. Sikap Kerja
Penanganan manual material handling juga melibatkan metode kerja atau
sikap dalam menyelesaikanbpekerjaan/tugas. Pengamatan meliputi pada :
a) Individu, merupakan ukuran metode operasional, seperti kecepatan,
ketepatan, cara/postur saat memindahkan.
b) Organisasi, berkaitan dengan organisasi kerja seperti luas bangunan
pabrik, keberadaan tenaga medis, maupun utilitas kerjasama tim.
c) Administrasi, seperti sistem insentif untuk keselamatan kerja,
kompensasi, rotasi kerja maupun pengendalian dan pelatihan keselamatan.
Aktivitas manual material handling banyak digunakan karena memiliki
fleksibilitas yang tinggi, murah dan mudah diaplikasikan. Akan tetapi berdasar
data diatas dapat diambil kesimpulan bahwa aktivitas manual material handling
juga diikuti dengan Risiko apabila diterapkan pada kondisi lingkungan kerja yang
kurang memadai, alat yang kurang mendukung, dan sikap kerja yang salah.
Penelitian yang dilakukan NIOSH (NIOSH, 1981) memperlihatkan sebuah
statistik yang menyatakan bahwa dua -pertiga dari kecelakaan akibat tekanan
berlebihan, berkaitan dengan aktivitas menaikkan barang (lifting loads activity).
Faktor Risiko diasosiasikan dengan jumlah tugas yang dapat menyebabkan
cedera musculoskeletal. Faktor Risiko digunakan untuk menganalisa tugas
manual (manual task ). Manual task atau manual material handling memiliki
interaksi yang kompleks antara pekerja dan lingkungan kerja. Faktor Risiko
kemudian dikategorikan menjadi tiga bagian yaitu :
1. Tekanan langsung kepada tubuh.
Hal ini meliputi faktor seperti tingkat tekanan pada muscular, postur/sikap
kerja, pengulangan pekerjaan, getaran peralatan dan lama waktu kerja.
2. Kontribusi faktor Risiko yang secara langsung mempengaruhi tuntutan
kerja
Hal ini meliputi layout area kerja, penggunaan alat, penangan beban. Jika
komponen ini di desain ulang pengaruh dari tekanan dapat dikurangi.
3. Memodifikasi faktor Risiko dapat memberi masukan pada perubahan
sikap kerja sehingga akibat dari faktor Risiko dapat dikurangi.
FISIOLOGI LINGKUNGAN
A. Pencahayaan
Sumber cahaya sendiri ada dua jenis yakni cahaya alami dan cahaya
buatan. Cahaya matahari merupakan sumber utama cahaya alami. Sedangkan
cahaya buatan dibagi menjadi dua jenis. Jenis pertama adalah incandescent light
(cahaya pijar), contohnya adalah lampu tradisional. Jenis kedua adalah
fluorescent tube, contohnya adalah lampu listrik. Terdapat perbedaan antara tiga
sumber cahaya yakni cahaya matahari, incandescent light, dan fluorescent tube.
Dalam hal jumlah radiasi yang dihasilkan, cahaya matahari menghasilkan radiasi
sama dengan spektrum gelombang yang terlihat, incandescent light
menghasilkan lebih banyak radiasi, fluorescent tube menghasilkan radiasi tidak
sama rata dengan spektrum. Selain itu karena komposisi spektrum yang
berbeda-beda dari masing-masing sumber cahaya maka warna yang ditimbulkan
dari masing-masing sumber cahaya bisa berbeda.
B. Panas Lingkungan
C. Warna
Dalam peralatan optis, warna bisa pula berarti interpretasi otak terhadap
campuran tiga warna primer cahaya: merah, hijau, biru yang digabungkan dalam
komposisi tertentu. Misalnya pencampuran 100% merah, 0% hijau, dan 100%
biru akan menghasilkan interpretasi warna magenta.
Dalam seni rupa, warna bisa berarti pantulan tertentu dari cahaya yang
dipengaruhi oleh pigmen yang terdapat di permukaan benda. Misalnya
pencampuran pigmen magenta dan cyan dengan proporsi tepat dan disinari
cahaya putih sempurna akan menghasilkan sensasi mirip warna merah.
bekerja juga mencegah kesilauan yang ditimbulkan oleh cahaya yang berlebihan.
Warna tidak hanya mempercantik tempat kerja tetapi juga memperbaiki kondisi-
kondisi didalam dimana pekerjaan itu dilakukan. Karena itu keuntungan
penggunaan warna yang tepat adalah tidak hanya bersifat keindahan dan
psikologis, tetapi juga bersifat ekonomis. (Moekijat 2002).
(Moekijat 2002)
`
Masih berkaitan dengan penggunaan warna, para ahli warna
membuktikan bahwa warna dapat membantu proses penyembuhan. Beberapa
kebudayaan kuno, termasuk orang-orang Mesir dan Cina, mempraktekan
chromotherapy, atau penggunaan warna untuk penyembuhan.
Chromotherapy merupakan terapi suportif yang dapat mendukung terapi
utama. Menurut praktisi chromoterapy, penyebab dari beberapa penyakit dapat
diketahui dari pengurangan warna-warna tertentu dari sistem dalam tubuh
manusia.
Chromoterapy, kadang-kadang disebut terapi warna atau colorology,
merupakan metode obat alternatif dan masih digunakan sampai saat ini. Seorang
dokter (praktisi terapi) yang terlatih dalam chromoterapy dapat menggunakan
warna dan cahaya untuk menyeimbangkan energi dalam tubuh seseorang yang
mengalami kekurangan baik fisik, emosi, spiritual, maupun mental. Terapi cahaya
terbukti dapat meringankan penyakit depresi yang tinggi.
Persepsi arti warna merupakan hal yang subyektif. Ada beberapa efek
atau arti warna yang memiliki makna universal, misalnya warna merah dikenal
hangat dan dianggap membangkitkan emosi mulai dari perasaan hangat dan
nyaman sampai perasaan marah dan permusuhan.
Setiap warna memiliki makna dan arti tertentu. Katakanlah warna merah
berarti 'bahaya' dan warna biru melambangkan 'kebebasan hidup'. Namun fungsi
warna tidak hanya sampai di situ. Menurut penelitian, otak juga bereaksi pada
jenis warna. Warna memberikan efek bawah sadar yang tidak disadari oleh
banyak orang. Ilmu psikologi berusaha mencari tahu dampak warna bagi alam
bawah sadar manusia.
Berikut arti dan sifat-sifat universal enam warna utama dalam spektrum
warna yang dapat dilihat manusia ditambah warna putih dan hitam ditinjau dari
berbagai aspek seperti aesthetic, psychological, physiological, associative, dan
symbolic, terutama dilihat dari aspek psikologi atau kognitif :
Penelitian terbaru dari jurnal 'Science' (Ravi Mehta & Juliet Zhu,
University of British Columbia, Canada) mengungkap, seseorang patut waspada
terhadap warna tertentu. Warna merah dan biru diduga dapat menyulut reaksi
otak yang signifikan dari warna lain dan berbeda-beda. Warna merah bisa
meningkatkan konsentrasi otak pada hal-hal detail, sedangkan warna biru
memicu kreativitas. Hal itu tergantung dari aktivitas yang dikerjakan individu
tersebut. Contohnya, para pelajar mampu mengingat lebih banyak huruf ketika
objek tulisan berada pada layar berwarna merah. Warna merah itu ibaratnya
bagai susunan batu-bata. Pelajar yang melihat tulisan pada layar merah secara
praktis otak mereka akan lebih tersusun. Logikanya, otak mereka akan lebih
tersusun layaknya bangunan rumah yang tersusun dari tumpukan batu-bata. Lain
halnya dengan warna biru. Individu yang melihat warna biru diyakini
meningkatkan energi kreatifitas.
wisata, dibanding memuji lensa kamera apa yang dipakai untuk membuat iklan
tersebut. Sejak lama kita memahami, merah berarti menghindari bahaya. Warna
merah dapat membuat seseorang mengerjakan tugas yang memerlukan tingkat
ketelitian tinggi. Merah membantu seseorang dalam mengingat, mengoreksi
bacaan, membaca peringatan bahaya. Sementara, orang-orang yang terasosiasi
warna biru mencerminkan kebebasan, kedamaian, dan mengeksplorasi
kreatifitas. Biru dapat memicu motivasi dalam diri seseorang. Kebanyakan
penelitian warna dilakukan terhadap warna merah. Contohnya, seragam
olahraga paling cocok menggunakan warna merah karena memancarkan aura
mengintimidasi, bahkan individu / tim olahraga yang menggunakan kostum
merah lebih dominan dalam olahraga dan lebih sering menang (NewScientist,
2009). Merah juga merupakan warna yang menjadi simbol hari Kasih Sayang,
atau Valentine. Para pria menganggap perempuan terlihat lebih sensual jika
mengenakan busana merah, dibanding warna lainnya.
Theo Gimbel, dari Sekolah Terapi Warna Inggris dan psikolog A.S. Martin
C.V. telah malakukan percobaan terhadap beberapa orang. Konsep teorinya,
semua warna memberikan getaran yang berbeda dan mempunyai pengaruh baik
atau buruk terhadap tubuh manusia, juga dapat dipakai untuk mengubah
perasaan hati seseorang.
Maka dari itu warna biru digunakan untuk penyembuhan penyakit sulit
tidur, tekanan darah tinggi atau kelainan kulit. Warna merah untuk
menyembuhkan kurang darah dan mengatasi kebotakan, sementara kuning
untuk menyembuhkan sembelit dan rematik. Selain itu warna dapat membantu
program diet. Warna merah misalnya amat membantu menurunkan berat badan,
karena itu sebaiknya program diet menyertakan makanan yang berwarna merah
sebanyak mungkin, seperti radis, bit dan sayuran berwarna merah lainya.
yang kurang tepat di tempat kerja, desain peralatan, dan bentuk, ukuran serta
berat dari objek kerja.
1. Usia
Umur memiliki pengertian yaitu waktu hidup seseorang dalam hitungan
tahun. Usia tenaga kerja digolongkan menjadi 3 bagian usia, yaitu usia muda
(< 24 tahun), usia prima (25 – 44 tahun) dan usia tua (> 45 tahun) menurut
WHO (1999 : 33). Umur seseorang khususnya para pekerja sangat
berpengaruh pada kinerja yang dilakukan, biasanya pekerja usia muda sering
dikatakan lebih produktif karena fisiknya dianggap masih kuat, tetapi usia
muda juga dapat menyebabkan kecelakan akibat kecerobohan dan
kurangnya pengelaman dalam bekerja.
2. Masa Kerja
Masa kerja merupakan waktu yang dihabiskan seseorang untuk melakukan
aktivitas disuatu tempat tertentu dimana saja bekerja terhitung sejak mulai
kerja. Menurut Suma’ mur (1996) ”Pekerja dengan masa kerja 1 – 3 tahun
merupakan pekerja dengan tahun peralihan dari pekerja baru menjadi
pekerja lama, artinya mereka telah bekerja lama dengan masa kerja tersebut
telah merasa berpengalaman dan ingin mengerjakan segala sesuatunya
cepat, tepat waktu dan tergesa – gesa serta melupakan keselamatan dirinya
sendiri. Sedangkan pekerja dengan masa kerjanya lebih lama semakin
memahami pekerjaan dan kondisi lingkungan kerja sehingga kualitas dan
kuantitas mereka dapat bertambah”. (Suma’ mur, 1996)
panas, atau terbakar pada jari tangan. Gejala lebih lanjut yang dapat
dirasakan meliputi rasa sakit, tekanan pada otot, kering pada telapak tangan,
dan rasa kaku. Hal ini dapat disebabkan dari pekerjaan yang dilakukan
dengan posisi mengangkat dan menjangkau yang berlebihan. CTS dapat
terjadi di daerah pergelangan tangan, siku dan bahu.
2. Dequervain’s Syndrome
Inflamasi tendon dan sarung tendon dapat merusak bagian lain dari tangan
dan struktur tubuh lainnya. Paparan dalam waktu yang lama dapat berakibat
kerusakan permanen pada tendon dan sarung tendon. Gejala dari penyakit
ini adalah terjadinya pembengkakan dan rasa sakit pada ibu jari.
G. Postur Tubuh
Postur tubuh merupakan posisi relatif bagian badan tertentu pada saat
bekerja yang ditentukan oleh ukuran tubuh dan ukuran perlatan atau objek
lainnya yang digunakan saat bekerja. Pada saat bekerja perlu diperhatikan posisi
tubuh dalam keadaan keseimbangan agar dapat bekerja dengan nyaman dan
tahan lama. Jenis keseimbangan manusia pada saat melakukan aktifitas
pekerjaannya dibedakan menjadi 2, yaitu : keseimbangan statis ( dilakukan pada
saat kondisi tubuh dalam keadaan stabil ), keseimbangan dinamis ( dilakukan
pada saat kondisi tubuh dalam keadaan tidak stabil ).
Postur kerja adalah posisi tubuh pekerja pada saat melakukan aktivitas kerja
yang biasanya terkait dengan desain area kerja dan persyaratan kegiatan kerja
(Pulat, 1992). Postur kerja mencerminkan hubungan antara dimensi tubuh
pekerja dan dimensi alat pada tempat kerjanya (Pheasant, 1986). Bridger, 1995
menjelaskan bahwa tujuan utama dilakukannya penelitian mengenai postur
adalah untuk mengembangkan prinsip-prinsip untuk mendesain lingkungan kerja
agar tingkat postural stress pada pekerja rendah. Penggunaan desain lingkungan
kerja tersebut diharapkan dapat mengurangi tingkat insiden fatigue (kelelahan)
dan ketidaknyamanan di tempat kerja.
Pertimbangan-pertimbangan ergonomi yang berkaitan dengan postur kerja
dapat membantu mendapatkan postur kerja yang nyaman bagi pekerja, baik itu
postur kerja berdiri, duduk, angkat maupun angkut. Beberapa jenis pekerjaan
akan memerlukan postur kerja tertentu yang terkadang tidak menyenangkan.
Kondisi kerja seperti ini memaksa pekerja selalu berada pada postur kerja yang
tidak alami dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Hal ini akan
mengakibatkan pekerja cepat lelah, adanya keluhan sakit pada bagian tubuh,
cacat produk bahkan cacat tubuh.
Postur yang tidak seimbang dan berlangsung lama akan mengakibatkan
stress pada bagian tubuh tertentu atau sering disebut juga postural stress. Hal ini
dapat disebabkan karena keterbatasan tubuh manusia untuk melawan beban
dalam waktu yang lama dan dapat terjadi berbagai akibat yang merugikan tubuh
seperti rasa nyeri, pegal – pegal di seluruh tubuh. Untuk mempertahankan posisi
tertentu, seseorang harus melakukan usaha melawan gaya yang berasal dari
luar tubuh, yaitu dengan mengkontraksikan otot. Gaya tersebut merupakan gaya
gravitasi bumi dan gaya dari obyek yang diangkat, dalam hal ini terjadi interaksi
antara gaya beban dan gaya yang berasal dari otot sehingga dicapai keadaan
yang seimbang. (suma’mur, 1989)
Postur normal (Sikap kerja alamiah) atau disebut juga postur netral yaitu
postur dalam proses kerja yang sesuai dengan anatomi tubuh, sehingga tidak
terjadi pergeseran atau tekanan pada bagian penting tubuh seperti organ tubuh,
syaraf, tendon, otot dan tulang. Sehingga keadaan menjadi relaks dan tidak
menyebabkan keluhan sistem musculosceletal dan sistem tubuh yang lainnya.
(Baird dalam Merulalia, 2010).
2. Miring
Setiap kemiringan leher ke samping di hitung sebagai postur janggal.
2.
3. Tengadah
Setiap postur tengadah ke belakang di hitung sebagai postur janggal.
3.
4. Terputar
Setiap postur leher yang memutar di hitung sebagai postur janggal
4.
Dari postur janggal diatas dapat kita lihat juga gaya, waktu, dan berapa kali
pekerja melakukan postur janggal dalam beberapa menit.
1. Mengangkat ≥ 45°
Sudut yang di bentuk oleh lengan atas dan garis vertikal sama atau lebih dari
45°. Karena badan tidak selalu dalam postur vertikal, maka tidak di jadikan
pedoman pembuatan sudut ini.
5.
2. Lengan di belakang
Postur ini di tandai oleh siku yang melintasi garis vertikal punggung.
1.
6.
Dari postur janggal diatas dapat kita lihat juga gaya, waktu, dan berapa kali
pekerja melakukan postur janggal dalam beberapa menit.
Gaya : ” ≥ 45 kg ( 10 lb ) ”
Misalnya :
4. Mengangkat tas seberat 5,4 kg ( 12 lb ) dari permukaan
lantai
5. Memukul paku dengan palu agar paku bergerak maju
6. Menggunakan obeng dengan gaya putar sama atau lebih
dari 4,5 kg ( 10 lb ).
7.
2. Terputar
Setiap putaran pinggang di catat sebagai postur janggal.
8.
3. Miring
Setiap deviasi bidang median badan dari garis vertikal di catat sebagai
posturs janggal pinggang ( Humantech, 1995 )
9.
Dari postur janggal diatas dapat kita lihat juga gaya, waktu, dan berapa kali
pekerja melakukan postur janggal dalam beberapa menit.
Frekuensi : ” ≥2x / mnt ”. Dalam 1 menit terjadi postur janggal lebih dari 2
kali. Postur janggal yang terjadi bisa satu macam atau lebih
dalam satu menitnya. Frekuensi gerakan berulang yang
demikian tadi harus terjadi 50% waktu siklus tugas.
1. Jepit jari
yaitu merupakan penggunaan tenaga penjepit suatu objek dengan jari – jari
tanpa ibu jari menyentuh jari telunjuk.
10.
2. Tekanan jari
merupakan penggunaan tekanan dengan jari satu atau lebih kepada
permukaan suatu objek.
Gambar 11.
3. Deviasi radial
yaitu posisi tangan yang miring ke arah ibu jari
12.
4. Deviasi ulnar
yaitu posisi tangan yang miring ke arah jari kelingking.
13.
5. Fleksi ≥ 45º
yaitu posisi tangan yang menekuk kearah telapak yang diukur dari sudut
yang terbentuk oleh poros tangan dan poros lengan bawah.
14.
6. Ekstensi ≥ 45°
yaitu posisi tangan yang menekuk ke arah punggung tanagn (ekstensi),
diukur dari sudut yang terbentuk oleh poros tangan dan poros lengan bawah
yang besarnya sama atau lebih dari 45 derajat.
15.
Frekuensi :
1. ≥ 30 x/ mnt
Jumlah semua postur janggal yang dilakukan dalam satu menit yang sama
atau lebih dari 30 kali.
2. Memakan waktu lebih dari 50% waktu siklus tugas. frekuensi demikian
berlangsung lebih dari 50% dari waktu siklus tugas.
2. Ekstensi Penuh
Yaitu postur siku dengan sudut siku yakni sudut antara lengan atas dan
lengan bawah yang lebih dari 135 derajat.
Dari postur janggal diatas dapat kita lihat juga gaya, waktu, dan berapa kali
pekerja melakukan postur janggal dalam beberapa menit.
3. Berlutut
Satu atau dua lutut menyentuh lantai
Dari postur janggal diatas dapat kita lihat juga gaya, waktu, dan berapa kali
pekerja melakukan postur janggal dalam beberapa menit.
Frekuensi : ” ≥ 2 x/ menit ”. Satu atau lebih postur janggal terjadi dua kali
atau lebih dalam satu menit. Frekuensi gerakan demikian
berlangsung lebih lama dari 50% waktu siklus tugas.
Penilaian postur kerja diperlukan ketika didapati bahwa postur kerja pekerja
memiliki risiko menimbulkan cedera muskuleskeletal yang diketahui secara visual
atau melalui keluhan dari pekerja itu sendiri. Dengan adanya penilaian dan
analisis perbaikan postur kerja, diharapkan dapat diterapkan untuk mengurangi
atau menghilangkan risiko cedera muskuluskeletal yang dialami pekerja.
Untuk penilaian kembali postur kerja, diperlukan ketika terjadi perubahan
spesifikasi produk atau penambahan jenis produk baru. Kedua hal tersebut akan
memungkinkan terjadinya perubahan metode kerja yang dilakukan pekerja dalam
menghasilkan produk, dan metode baru tersebut kemungkinan juga dapat
menimbulkan cedera muskuluskeletal, sehingga perlu dilakukan penilaian postur
kerja kembali.Selain saat terjadi perubahan spesifikasi atau penambahan jenis
produk baru, penilaian kembali postur kerja juga diperlukan saat dilakukan rotasi
kerja. Rotasi kerja dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi rasa kebosanan
pekerja karena melakukan pekerjaan yang sama dan terus-menerus (monoton).
Maka saat terjadi rotasi kerja, perlu dilakukan penilaian postur kerja kembali. Hal
ini dikarenakan pekerja tersebut akan beradaptasi terlebih dahulu terhadap
pekerjaannya, dan postur kerjanya dalam melakukan pekerjaan tersebut akan
berbeda dengan pekerjaan yang sebelumnya, sehingga perlu dilakukan penilaian
kembali postur kerja dari pekerja. Namun jika tidak terjadi perubahan spesifikasi
produk, atau penambahan jenis produk baru, atau rotasi kerja, tidak perlu
dilakukan penilaian kembali postur kerja dari pekerja yang ada.
Rapid Entire Body Assessment atau yang biasa disebut dengan REBA
yaitu Salah satu metode yang digunakan untuk menganalisa pekerjaan
berdasarkan posisi tubuh. REBA (Rapid Entire Body Assessment) merupakan
salah satu metode yang bisa digunakan dalam analisa postur kerja. REBA
dikembangkan oleh Dr. Sue Hignett dan Dr. Lynn Mc Atamney yang merupakan
ergonom dari universitas di Nottingham (University of Nottingham’s Institute of
Occuptaional Ergonomic). Metode ini didesain untuk mengevaluasi pekerjaan
atau aktivitas, dimana pekerjaan tersebut memiliki kecenderungan menimbulkan
ketidaknyamanan seperti kelelahan pada leher, tulang punggung, lengan, dan
sebagainya. Metode ini mengevaluasi pekerjaan dengan memberikan nilai/score
pada 5 aktivitas level yang berbeda. Hasil nilai ini menunjukkan tingkatan atau
level Risiko yang dihadapi oleh karyawan dalam melakukan pekerjaannya dan
terhadap beban kerja yang ditanggungnya. Risiko dari pekerjaan terkait dengan
penyakit otot dan postur tubuh.
Analisa REBA dilakukan dengan membagi postur tubuh kedalam dua
kategori, kategori A dan B. Kategori A terdiri dari tubuh, leher dan kaki,
sedangkan kategori B terdiri dari lengan atas dan bawah serta pergelangan untuk
gerakan ke kiri dan kanan. Masing-masing kategori memiliki skala penilaian
postur tubuh lengkap dengan catatan tambahan yang dapat digunakan sebagai
bahan pertimbangan dalam desain perbaikan. Setelah penilaian postur tubuh,
yang dilakukan kemudian adalah pemberian nilai pada beban atau tenaga yang
digunakan serta faktor terkait dengan kopling (Hignett, S., McAtamney, L. 2000).
Nilai untuk masing-masing postur tubuh dapat diperoleh dari tabel penilaian yang
telah ada. Total nilai pada kategori A merupakan nilai yang diperoleh dari
penjumlahan nilai postur tubuh yang terdapat pada tabel A dengan nilai beban
atau tenaga. Sedang total nilai pada kategori B merupakan nilai yang diperoleh
dari penjumlahan nilai postur tubuh yang terdapat pada tabel B dengan nilai
kopling untuk kedua tangan. Nilai REBA diperoleh dengan melihat nilai dari
kategori A dan B pada tabel C untuk memperoleh nilai C yang kemudian
dijumlahkan dengan nilai aktivitas. Sedangkan tingkatan Risiko dari pekerjaan
diperoleh dari tabel keputusan REBA. Langkah-langkah yang diperlukan dalam
menerapkan metode REBA ini antaralain:
1) Mengambil data gambar posisi tubuh ketika bekerja di lantai produksi.
2) Menentukan bagian-bagian tubuh yang akan diamati, antara lain batang
tubuh, pergelangan tangan, leher, kaki, lengan atas, dan lengan bawah.
3) Penentuan nilai untuk masing-masing postur tubuh dan penentuan
activity score.
4) Penjumlahan nilai dari masing-masing kategori untuk memperoleh nilai
REBA.
5) Penentuan level risiko dan pengambilan keputusan untuk perbaikan.
6) Implementasi dan evaluasi desain metode, fasilitas, dan lingkungan
kerja.
7) Penilaian ulang dengan menggunakan metode REBA untuk desain
baru yang diimplementasikan.
8) Evaluasi perbandingan nilai REBA untuk kondisi sebelum dan setelah
implementasi desain perbaikan.
Beberapa keuntungan yang didapat dari metode REBA yang di diantaranya:
1) Metode ini dapat menganalisa pekerjaan berdasarkan posisi tubuh
dengan cepat.
2) Menganalisa faktor-faktor Risiko yang ada dalam melakukan pekerjaan.
3) Metode ini cukup peka untuk menganalisa pekerjaan dan beban kerja
berdasarkan posisi tubuh ketika bekerja
4) Teknik penilaian membagi tubuh kedalam bagian-bagian tertentu yang
kemudian diberi kode-kode secara individual berdasarkan bidang-bidang
geraknya untuk kemudian diberikan nilai.
5) Membuat desain metode, fasilitas dan lingkungan kerja.
Rapid Entire Body Assissment (REBA) adalah suatu metode dalam bidang
ergonomi yang digunakan secara cepat untuk menilai postur leher, punggung,
lengan, pergelangan tangan dan kaki seorang pekerja. Metode ini juga dilengkapi
dengan faktor coupling, beban eksternal, dan aktivitas kerja. Dalam metode ini,
segmen-segmen tubuh dibagi menjadi dua grup, yaitu grup A dan Grup B. Grup
A terdiri dari punggung (batang tubuh), leher dan kaki. Sedangkan grup B terdiri
dari lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan. Penentuan skor REBA,
yang mengindikasikan level Risiko dari postur kerja, dimulai dengan menentukan
skor A untuk postur-postur grup A ditambah dengan skor beban (load) dan skor B
untuk postur-postur grup B ditambah dengan skor coupling. Kedua skor tersebut
(skor A dan B) digunakan untuk menentukan skor C. Skor REBA diperoleh
dengan menambahkan skor aktivitas pada skor C. Dari nilai REBA dapat
diketahui level Risiko cedera.
Lebih lanjut skor REBA dipetakan kedalam level tindakan (action level)
seperti tertulis pada Tabel II.16, yang dapat juga dihitung dengan menggunakan
persamaan :
REBA Action Level = INT (REBA Score)
REBA Action Level = INT (INT (Neck + Trunk + Legs + Load/Force + Upper
arm + Lower arm + Wrist + Coupling) + Activity Score)
Kecil 1 Mungkin
2-3
diperlukan
4-7 Sedang 2 Perlu
8-10 Tinggi 3 Segera
Sangat 4 Sekarang
11-15
tinggi juga
Sumber : Hignett, S., McAtamney, L. 2000
Salah satu hal yang membedakan metode REBA dengan metode analisa
lainnya adalah dalam metode ini yang menjadi fokus analisis adalah seluruh
bagian tubuh pekerja. Melalui fokus terhadap keseluruhan postur tubuh ini,
diharapkan bisa mengurangi potensi terjadinya musculoskeletal disorders pada
tubuh perkerja.
Dalam metode REBA ini, analisis terhadap keseluruhan postur tubuh
pekerja dikelompokkan menjadi dua bagian. Bagian pertama atau Group A terdiri
dari bagian neck, trunk, dan legs. Sedangkan bagian kedua atau Group B terdiri
dari upper arms, lower arms, dan wrist.
Penilaian postur dan pergerakan kerja menggunakan metode REBA
melalui tahapan–tahapan sebagai berikut:
Pengambilan data postur pekerja dengan menggunakan bantuan video
atau foto. Untuk mendapatkan gambaran sikap (postur) pekerja dari leher,
punggung, lengan, pergelangan tangan hingga kaki secara terperinci
dilakukan dengan merekam atau memotret postur tubuh pekerja. Hal ini
dilakukan supaya peneliti mendapatkan data postur tubuh secara detail
(valid), sehingga dari hasil rekaman dan hasil foto bisa didapatkan data
akurat untuk tahap perhitungan serta analisis selanjutnya.
Setelah didapatkan hasil rekaman dan foto postur tubuh dari pekerja
dilakukan perhitungan nilai. Perhitungan nilai melalui metode REBA ini
dimulai dengan menganalisis posisi neck, trunk, dan leg dengan
memberikan score pada masing-masing komponen. Ketiga komponen
tersebut kemudian dikombinasikan ke dalam sebuah tabel untuk
mendapatkan nilai akhir pada bagian pertama atau score A dan ditambah
dengan score untuk force atau load. Selanjutnya dilakukan scoring pada
bagian upper arm, lower arm, dan wrist kemudian ketiga komponen
tersebut dikombinasikan untuk mendapatkan nilai akhir pada bagian
kedua atau score B dan ditambah dengan coupling score. Setelah
diperoleh grand score A dan grand score B, kedua nilai tersebut
dikombinasikan ke dalam tabel C, melalui tabel kombinasi akhir ini
risiko ini dapat terpenuhi dengan menggabungkan suatu alat penilaian risiko
untuk pekerjaan yang memiliki faktor risiko ergonomi dengan berfokus pada
karyawan atau pekerja. Berikut ini adalah dari proses ergonomi :
Penyusunan
penilaian risiko
(EASY)
1 – 7 Prioritas
1. Postur tubuh, posisi tubuh yang beresiko / janggal pada saat bekerja.
2. Gaya, kekuatan atau beban yang melebihi kemampuan anggota tubuh dalam
keadaan postur janggal.
3. Durasi, waktu yang diperlukan pada saat melakukan aktivitas dan posisi
janggal dalam satuan detik.
b. Survey Gejala
Survey gejala dilakukan dengan menyebarkan kuesioner keluhan pada
pekerja untuk mengetahui keluhan apa saja yang dirasakan pekerja selama
melakukan aktivitas kerjanya. Hasil dari survei gejala ini dapat memperkuat
perkiraan risiko yang terjadi dari hasil BRIEF survey, tetapi belum juga dapat
dijadikan justifikasi bahwa proses kerja yang diamati memang merupakan faktor
risiko ergonomi.
Untuk nilai ditentukan berdasarkan ada atau tidak adanya keluhan, jika ada
keluhan maka diberi nilai 1 dan jika tidak ada keluhan diberi nilai 0.
c. Survey Rekam Medik
Survey rekam meik dilaksanakan dengan melihat data kesehatan yang ada di
poliklinik perusahaan. Data rekam medik dapat berupa poto rontgrn, riwayat
pekerja dan atau hasil check up rutin.
Sumber :
1. Modul Analisis Postur Kerja Laboratorium Ergonomi Teknik Industri UGM
2. McAtamney & Corlett, Applied Ergonomics 1993
3. Modul Analisis Postur Kerja Laboratorium Ergonomi Teknik Industri UGM
4. Laboratorium Perancangan Sistem Kerja dan Ergonomi ITB
5. Tarwaka dkk, (2004.). Ergonomi untuk K3 dan Produktivitas, Ed, Cet-
Surakarta, UNIBA Press.
6. Bernard, Bruce, (1997). Musculoskeletal Disorders Workplace Factors A
Critical Review Of Epidemiologic Evidence For Work-Related
Musculoskeletal Disorders of the Neck Upper Extremity and Lov Back,
US. Departement of Health and Human Service, NIOSH.
7. Humantech, (1995). Applied Ergonomic Training Manual, Procter and
Gamble Inc. Berkeley Vale, Australia.
8. Kroemer, K.H.E., and E. Grandjean, (1995). Fiting the Task to the Human,
Great Britain ; T.J. International Ltd., Padstow, Cornwall
a. Pengertian Kelelahan.
1. Umur
Usia juga berkaitan dengan kelelahan karena pada usia yang meningkat
akan diikuti dengan proses degenerasi dari organ sehingga dalam hal ini
kemampuan organ akan menurun. Dengan adanya penurunan kemampuan
organ, maka hal ini akan menyebabkan tenaga kerja akan semakin mudah
mengalami kelelahan. Bertambanya usia akan memengaruhi komposisi tubuh
manusia. Massa tubuh tanpa lemak dan berat otot berkurang yang
mengakibatkan berkurangnya kekuatan, ketahanan, dan volume otot. Hal itu juga
didukung oleh (ILO&WHO, 1996) yang mengemukakan bahwa kapasitas kerja
seorang pekerja akan berkurang hingga menjadi 80% pada usia 50 tahun dan
akan lebih menurun lagi hingga tinggal 60% saja pada usia 60 tahun jika
dibandingkan dengan kapasitas kerja mereka yang berusia 25 tahun. Dengan
menurunya kapasitas kerja seseorang maka kesanggupan untuk bekerja akan
semaakin berkurang akibatnya perasaan lelah akan lebih cepat timbul.
Seseorang dengan usia menjelang 45 tahun akan lebih cepat merasakan lelah.
Hal ini dikarenakan seseorang dengan usia tersebut akan mengalami penurunan
kapasitas kerja yang meliputi kapasitas fungsional, mental dan sosial. Menurut
laporan, untuk beberapa pekerjaan (bukan semua) kapasitas kerja akan terus
menurun menjelang usia 50 sampai 55 tahun (Adiningsari, 2009). Proses
menjadi tua diserta kurangnya kemampuan kerja oleh karena perubahan-
perubahan pada alat tubuh, sistem kardiovaskular, hormonal (Suma’mur,
1996). Kebanyakan kinerja fisik mencapai puncak dalam usia pertengahan
duapuluhan dan kemudian menurun dengan bertambahnya usia (Lambert,
1996: 244). Departemen Kesehatan RI menyebutkan bahwa usia produktif
adalah antara 15-54 tahun (www.Depkes-RI.go.id). Menurut Suma’mur (1996),
proses menjadi tua disertai kurangnya kemampuan kerja oleh karena
perubahan-perubahan pada alat tubuh, sistem kardiovaskular, hormonal
(dalam Noval,2010)
2. Masa Kerja
Masa kerja merupakan akumulasi dari waktu dimana pekerja telah memegang
pekerjaan tersebut. Semakin banyak informasi yang disimpan, maka semakin
banyak keterampilan yang dipelajari serta semakin banyak pekerjaan yang
dikerjakan. (Rohmert, 1988 dalam Andiningsari, 2008). Lama kerja berkaitan
dengan efek kumulatif dari stressor untuk menimbulkan suatu strain. Semakin
lama seseorang bekerja pada suatu pekerjaan, maka kelelahan yang terjadi akan
semakin sering (Stellman 1998, dalam Astono, 2003). Masa kerja dapat
mempengaruhi pekerja baik positif maupun negatif. Akan memberikan pengaruh
positif bila semakin lama seseorang bekerja maka akan berpengalaman dalam
melakukan pekerjaannya. Sebaliknya akan memberikan pengaruh negatif apabila
semakin lama bekerja akan menimbulkan kelelahan dan kebosanan. Semakin
lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak dia telah terpapar bahaya
yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut (Jurnal Skripsi FKM USU).
Namun berbeda dengan Phoon (1988), dimana menurutnya durasi yang lebih
lama bekerja di sebuah perusahaan berarti pengalaman yang lebih baik yang
memungkinkan pekerja untuk menyelesaikan pekerjaan dengan cara yang paling
sederhana mungkin tanpa masalah dan dengan efisiensi penggunaan upaya
sehingga meminimalkan kelelahan (dalam International Journal of Public Health
Science (IJPHS) Vol. 1, No. 2, December 2012, pp 61-68).
3. Beban Kerja
Beban kerja fisik yang berat yang berhubungan dengan waktu kerja yang
lebih dari 8 jam, maka dapat menurunkan produktivitas kerja serta
meningkatnya angka kecelakaan kerja dan sakit (Budiono dkk., 2000). Setiap
pekerjaan merupakan beban bagi pelakunya. Seorang tenaga kerja memiliki
kemampuan tersendiri dalam hubungannya dengan beban kerja. Diantara
mereka ada yang lebih cocok untuk beban fisik, mental ataupun sosial
(Suma’mur, 1996). Akibat beban kerja yang terlalu berat dapat
mengakibatkan pekerja menderita gangguan atau penyakit akibat kerja
(Depkes dan Kessos RI, 2000). Bahkan banyak juga dijumpai kasus
kelelahan kerja dimana hal itu adalah sebagai akibat dari pembebanan
kerja yang berlebihan ( Sugeng Budiono dkk., 2000). Pekerjaan fisik yang
berat jika diperpanjang akan mengakibatkan perubahan fisiologis dan dapat
diukur. Misalnya saja, detak jantung, penggunaan oksigen dan 78
ketegangan otot (Anies, 2002). Setiap beban kerja harus disesuaikan dengan
kemampuan tubuh seseorang. Apabila beban kerja lebih besar dari
kemampuan tubuh maka akan terjadi rasa tidak nyaman (paling awal),
kelelahan (overstress), kecelakaan, cedera, rasa sakit, penyakit dan
produktivitas menurun (paling akhir). Sebaliknya, apabila beban kerja lebih kecil
dari kemampuan tubuh maka akan terjadi understress, kejenuhan, kebosanan,
kelesuan, kurang produktif dan sakit (Santoso, 2004).
d. Jenis-jenis Kelelahan
e. Gejala Kelelahan
f. Pengukuran Kelelahan
Sampai saat ini belum ada cara untuk mengukur tingkat kelelahan secara
langsung. Pengukuran-pengukuran yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya
hanya berupa indikator yang menunjukkan terjadinya kelelahan akibat kerja
(Tarwaka, 2010). Grandjean (1993) dalam Tarwaka et al (2004)
mengelompokkan metode pengukuran kelelahan dalam beberapa kelompok,
yaitu:
g. Penanggulangan Kelelahan
a. Ringkasan :
b. Bacaan lanjutan :