Anda di halaman 1dari 30

1

TUGAS
PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN 1 (PKK 1)
PERAWATAN LUKA DAN PENJAGAAN INTEGRITAS KULIT

Oleh
Kelompok VII
Maria Dian Nurfita R011191028
Yulinda Umar R011191069
Rukiya Umarella R011191106

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN


UNIVERSITAS HASANUDDIN
2020
2

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Luka adalah terputusnya kontinuitas suatu jaringan karena adanya cedera atau
pembedahan (Agustina, 2009). Luka adalah rusaknya kesatuan atau komponen jaringan dimana
secara spesifik terdapat subtansi jaringan yang rusak atau hilang ( Widhiastuti, 2008). Penanganan
luka merupakan salah satu keterampilan yang harus dikuasai hal ini mempengaruhi proses
penyembuhan luka itu sendiri. Keterlambatan penyembuhan luka dapat diakibatkan oleh
penatalaksanaan luka yang kurang tepat, seperti tidak mengidentifikasi masalah-masalah pasien yang
dapat mengganggu penyembuhan luka atau tidak melakukan penilaian luka (wound assessment)
secara tepat.(Rasyid et al., 2018)
Assessment didefinisikan sebagai kegiatan untuk mendapatkan informasi, yang
diperoleh dengan cara mengamati, memberikan pertanyaan serta melakukan pemeriksaan fisik dan
penunjang (Rasyid et al., 2018). Informasi tersebut berguna untuk menegakkan diagnosis kerja dan
merencanakan program penatalaksanaan selanjutnya. Penilaian luka dilakukan terhadap 2 aspek,
yaitu terhadap pasien dan terhadap luka itu sendiri(Marpaung, 2019). Pengkajian luka yang tepat
dapat mencegah terjadinya infeksi silang dan dapat mempercepat proses penyembuhan luka, dengan
demikian hari rawat akan lebih pendek. Selain itu salah satu manajemen perawatan luka kaki
diabetes adalah penilaian atau pengkajian terstandar dan pengelolaan luka kaki diabetes (Roberts &
Newton, 2015). Penilaian terhadap luka kaki dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen
pengkajian luka untuk prediksi penyembuhan luka seperti Bates-Jansen Wound Assessment Tool
(BWAT)(Harris, Nancy, Rose, Mina, & Ketchen, 2010) dan The New Diabetic Foot Ulcer
Assessment Scale (DFUAS) (Arisandi et al., 2016). Oleh sebab itu, perlu diperhatikan alat dalam
pengukuran ataupun penilaian dari luka itu sendirisehingga dapat menunjang penyembuhan luka.
Pengkajian luka terus berkembang namun tidak memungkira banyak penelitian
mencoba mereview efektivitas dari tiap jenis ppengkajian. Selain itu pada salah satu penelitian yang
dilakukan oleh Karahan, Kilicarslan, Aysun, Aysel, & Agah (2014) untuk mengevaluasi validitas isi
dan validitas konstruk pengkajian luka BWAT versi Bahasa Turki, dari penelitian tersebut diperoleh
hasil content validity agreement 0.82, reliabilitas interrater dari instrumen 0.82, konsistensi internal
dihitung dengan nilai cronbach alpha 0.85. Hal ini membantu perawat dalam meningkatkan
pendidikan untuk pengkajian luka dengan menggunakan media visual sebagai bahan atau sumber
praktik. Hal tersebutlah yang mendasari kami untuk membuat makalah tentang assessment luka
khususnya luka bakar, luka tekan (decubitus) dan ulkus diabetik.

B. Tujuan
memberikan informasi bagi perawat tentang kondisi luka kaki sehingga menjadi dasar bagi perawat
dalam memberikan intervensi yang tepat.
3

BAB 2
KASUS DAN PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN

Kasus Luka Diabetes, Luka Bakar dan Decubitus

1. Kasus 1, Tn. RS, 62 tahun


4
5
Lesi kemarahan seperti
2. Kasus 2, Ny. H, 52 tahun

Lakukan pengkajian luka dan interpetasinya pada kasus di atas.


Pengkajian
Cekungan dangkal dengan slought
Nama Pasien: Ny H
Umur 52 Tahun
Stadium Luka Dekubitus berdasarkan warna luka (NPUAP, 2014) masuk dalam kategori grade II
Dengan kondisi- luka berwarna pink kemerahan, terlihat lembab, terdapat lukukan pada area bokong
/lubang dangkal dengan slought terlihat di dalamnya, lesi kemerahan disekitarnya seperti abrasi atau
lecet

1
2

10

Keterangan skor (15-16 = rendah risiko, 13-14 = risiko sedang, 12 atau kurang = resiko tinggi)
6

Interpretasi Skala Braden dan pengkajian Luka berdasarkan National Presure Ulcer Advisor Panel
(NPUP), 2014 di ketahui bahwa klien dengan tirah baring lama dengan keterbatasn gerak akibat
gangguan sensorik pada ½ bagian tubuhnya, sehingga tidak dapat merubah posisi akibatnya kulit
menjadi lembab dan terjadi pergesekan/ friksi dan membutuhkan bantuan orang lain untuk bergerak
sehingga mengakibatkan klien mengalami luka decubitus grade 2 dengan gambaran klinis luka
berwarna kemerahan dan lembab berada di area bokong, pada luka terdapat lekukan datar yang pada
daasra luka terdapat slought sedangkan sekitar area luka terlihat abrasi berwarna kemerahan dan pink.

3. Kasus 3,

Nn. A, 23 tahun

Lakukan pengkajian luka dan interpetasinya pada kasus di atas.

RULE OF NINE

No Bagian tubuh Luas (%) Total (%)

1 Kepala leher 9% 9%

2 Lengan 9% 18%

3 Badan depan 18% 18%

4 Badan belakang 18% 18%

5 Tungkai 9% 36%

6 Genitalia/perinium 1% 1%

Jumlah ˃ 100%
klasifikasi kedalaman luka bakar
7

Klasifikasi luka bakar


Luka bakar sedang Kriteria luka bakar derajat sedang:
TBSA ≤10% pada luka bakar full-thickness pada anak atau dewasa tanpa masalah kosmetik atau
mengenai daerah mata, wajah, telinga, tangan, kaki, atau perineum
Mayor : yang harus diingat yaitu penyebab terbakar (bahan kimia (asam, alkali)), area tubuh yang
terbakar (wajah), system pernapasan/airway (inhalasi). terjadi pada area khusus tubuh seperti mata,
pernapasan. Berdasarkan kasus kami menyimpulkan luka bakar derajat 2 karena bahan kimiawi
berhubungan dengan asam dan alkali yang dapat mengenai area khusus mata yang merupakan area
sensitive tidak dapat bicara. Mengenai kulit bagian parsial sehingga luka tersebut terasa nyeri karena
mengena ke saraf, dan terdapat bula >1cm, serta edema.
Rumus baxter
4cc x BB x LLB
Misal : LLB = 40%, BB = 65kg, TB = 152cm

4cc x 65kg x 40% = 10.400ml

8 jam pertama ½ x 10.400ml = 5.200ml

a. 24 jam
4cc x 65kg x 40% / 24 jam = 10.400ml/24 jam
= 5.200ml (cc) tahap I dan II
b. Tetes/menit (1cc = 20 menit)
Tahap 1
5.200cc x 20 tts = 104.000tts x 1mnt

8 jam x 60 menit 480 menit

= ± 216,6 tts/menit
Tahap II
8

5.200cc x 20 tts = 104.000tts x 1mnt

16 jam x 60 menit 960 menit

= ±108,3 tts/menit
9

BAB 3
STANDARD PROSEDUR OPERASIONAL (SPO)

1. Standard Prosedur Operasional (SPO) Pengkajian Risiko Dekubitus ( Potter &Perry, 2013)
A Definisi
Dekubitus dan ulkus decubitus adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan gangguan
integritas kulit (Potter& Perry,2013)
Klien yang berisiko Dekubitus yaitu mengalami gangguan mobilisasi, gangguan fungsi
neurologi, penurunan persepsi sensori ataupun penurunan sirkulasi.
B Tujuan
Memberi informasi penting tentang kondisi integritas kulit klien dan peningkatan risiko
decubitus
C Persiapan Pasien
1. Inform concents dan memperkenalkan diri
2. Siapkan lingkungan pasien dalam kondisi ternyaman
D Persiapan Alat
1. Sarung tangan
2. handrub
3. Senter
4. Mistar
5. Bengkok
6. Tisu/kassa
7. Mistar/penggaris
8. Masker
E Prosedur Rasional
1. lakukan inform concent kepada klien dan
keluar/ penunggu
2. lakukan identifikasi klien yang akan
dilakukan pemeriksaan
3. kembali ke ners station dan bawa lata
untuk pemeriksaaan
4. identidikasi risiko decubitus pada klien Menentukan operlunya memberikan perawtan
dengan preventif dan menggunakan obat-obatan topical
untuk luka dekuitus bila ada
a. paralisis atau imobilisasi yang Klien tidak mampu berbalik atau mengubah
disebebkan oleh alat-alat yang posisinya secara mandiri(Charlene et al., 2011)
membatasi gerakan klien
b. kehilangan sensorik Klien merasa tidak nyaman akibat tekanan
c. gangguan sirkulasi Penurunan perfusi pada lapisan jaringan kulit

d. penurunan tingkat kesadaran, sedasi Klien tidak mampu merasakn tekanan sehingga
atau anastesi tidak mampu membalikkan atau mengubah
posisi secara mandiri(Bhattacharya & Mishra,
2015)
10

e. gaya gesek, friksi Menyebabkan lapisan kulit dan subkutan yang


berada di bawahnya menempel pada
permukaan tempat tidur, trauma terjadi pada
jaringan dibawahnya
f. kelembapan: inkontinensia, Menurunkan resistensi kulit terhadap tekanan
keringat, drainase luka atau muntah yang berasal dari gaya gesek
g. malnutrisi Dapat menyebabkanpenurunan berat badan,
atrofi otot dan pengurangan massa otot. Hanya
ada sedikit jaringan yang menjadi bantalan
diantara kulit dan di bawah tulang. Kekurangan
asupan protein, vitamin, dan kalori akan
membatasi kemampuan untuk penyembuhan
luka.
h. anemia Penurunan jumlah hemoglobin akan
menurunkan kapasitas oksigen yang dibawa
darah serta jumlah oksigen yang tersedia di
jaringan
i. infeksi Meyebabkan peningkatan kebutuhan metabolic
jaringan. Keringat yang disebabkan panas
akibat infeksi mengakibatkan kulit menjadi
lembab
j. obesitas Jaringan adiposa yang berlebihan, dan kurang
mendapat vaskulasisasi lebih rentan terhadap
tekanan.
k. kakeksia Menyebabkan hilangnya jaringan adiposa yang
melindungi tonjolan tulang dari tekanan.
l. hidrasi: edema atau dehidrasi Jaringan edema menurunkan suplai darah
sehingga menjadi kurang toleran terhadp
tekanan, friksi, dan gaya gesek. Kulit yang
dehidrasi menjadi kurang elastis, dan turgor
kulit buruk
m. lanjut usia Kulit kurang elastis dan lebih kering, massa
jaringan, berkurang
n. adanya decubitus Membatasi permukaan tubuh yang digunakan
untuk mengubab posisi, sehingga
menempatkan jaringan yang ada menjadi
berisiko.
5. kaji kondisi kulit sekitar daerah yang Berat badan yang membebani tonjolan tulang
mengalami penekanan menyebabkan kulit yang berada di bawahnya
lihat beberapa hal berikut: berisiko mengalami kerusakan.
a. hyperemia reaktif normal Dapat menunjukkan jaringan berada di bawah
tekanan. Hiperemia reaktif, normal merupakan
respon fisiologis normal terhadap kondisi
hipoksemia. Pada orang berkulit gelap, kulit
11

yang tertekan akan terlihat lebih gelap daripada


kulit sekitarnya dan bahkan dapat berwarna
keunguan (Pires dan Muler, 1991)
Hiperemia reaktif normal pada area yang
mengalami tekanan akan hilang dalam waktu
kurang dari satujam. Area tersebut akan
berwarna pucat bila ditekan dengan ujung jari
(Pires dan Muler, 1991)
kelainan hyperemia reaktif akan hilang dalam
waktu lebih dari satu jam
Jaringa disekitarnya tidak berawarna pucat
(Pires dan Muler, 1991)
b. warna pucat Warna pucat merupakan warna yang normal
serta respon yang diharapkan.
c. indurasi Edema yang teradapat di bawah permukaan
kulit, indurasi umumnya terjadi disertai
kelainan hyperemia reaktif (Pires dan Muler,
1991)
d. pucat dan belang-belang
Hipoksia yang menetap pada jaringan yang
tertekan merupakan respon fisiologis yang
tidak normal
e. hilangnya lapisan kulit permukaan
Terlihat pada decubitus tahap awal

f. borok atau lecet atau bintil-bintil


Pada awal kerusakan kulit, tetapi kerusakan
pada jaringan yang berada dibawahnya lebih
progresif (Pires dan Muler, 1991)
6. Kaji daerah tubuh klien yang
Klien yang berisiko tinggi memiliki banyak
mengalami tekanan
tempat yang mengalami nekrosis akibat
tekanan.
a. lubang hidung
Tempat pemasngan selang NGT.
Kulit dan mukosa mulut yang berada dekat
b. lidah, bibir
dengan jalan napas oral dan selang ETT adalah
lokasi yang berisiko tinggi.
c. tempat pemasangan IV yang lama
Stress terjadi pada tempat keluarnya kateter.
(durasi lama)
Terdapat stress pada jaringan yang berada di
d. selang drainase
tempat luar
Terdapat tekanan pada labia, khususnya dengan
e. kateter folley
edema.

7. Observasi posisi yang lebih disukai


Berat badan akan dibebankan pada tonjolan
klien saat berada di tempat tidur atau
tulang. Kontraktur (fleksi dan fiksasi sendi)
kursi
data terjadi akibat tekanan yang diberikan
ditempat yang tidak diperkirakan. Fenomena
ini dikaji melalui observasi.
8. Observasi mobilisasi dan kemampuan
12

klien untuk melakukan dan membantu Potensi adanya friksi dan gesekan yang
dalam mengubah posisi meningkat ketika klien snagat tergantung untuk
9. Tentukan skala risiko \ mengubah posisi.(Brem & Lyder, 2004)
a. Norton Scale Nilai risiko tergantung instrument yang
b. Gosnel Scale digunakan dan berguna untuk memperkirakan
c. Braden Scale kebutuhan klien akan perawat preventif
10. Pantau lamanya waktu daerrah (AHCPR, 1992)(Al Aboud & Manna, 2018)
kemerahan
a. Tentukan interval yang tepat umtuk
mengubah posisi, dimana Kemerahan biasanya menetap separuh waktu
seharusnya interval untuk dari lamanya terjadi hipoksia. Contohnya
mengubah posisi –waktu kemerahan menghilang dalam waktu 15 menit,
hipoksia=interval yang diberikan hipoksia akan menghilang dalam waktu kira
kira 30 menit. Contoh interval mengubah posisi
adalah 2 jam, waktu hipksia adalah 30 menit.
Maka 2 jam – 30 menit = 1 jam 30 menit. Jam
adalah interval waktu yang disarankan untuk
b. Gunakan alat untuk menghilangkan mengubah posisi (Brem & Lyder, 2004)
tekanan sesuai indikasi Interval mengubah posisi yang pendek (mis. 1-
2 jam ) mungkin tidak realistis. Oleh karena itu
pengguanaan alat dianjurkan. (Hoviattalab et
11. Dapatkan data pengkajian nutris klien al., 2015)
yang meliputi jumlah serum albumin, Status nutrisi buruk menurunkan toleransi kulit
jumlah protein total, jumlah dan jaringan dibawahnya terhadap tekanan,
hemoglobin dan persentasi berat badan friksi, dan gaya gesek (Hanan dan Scheele,
ideal
1991)(Tubaishat et al., 2011)
12. Kaji pemahanan klien dan keluarga
tentang risiko decubitus
Memberi kesempatan memulai pendidikan
13. Catat hasil pengkajian pada dokumen
preventif. (Bhattacharya & Mishra, 2015)
rekam medik
Memberi data dasar integritas kulit dan risiko
14. Laporkan hasil pemeriksaan kepada
terjadi decubitus.
klien tentang kondisinya saat ini
15. Perawat merapikan kembali posisi klien
, merapikan peralatan
16. Mengakhiri kontak waktu denganklien
dan mencuci tangan

SKALA DEKUBITUS
13
14

2. Standard Prosedur Operasional (SPO) Pengkajian Ulkus Diabetik


B. Tujuan pemeriksaan Diabetic Foot Ulcer (DFU)
1. Deteksi dini patologi kaki, khususnya pada pasien dengan risiko tinggi,
2. membantu untuk menentukan intervensi awal
3. mengurangi potensi perawatan dirumah sakit atau amputasi.
4. memperbaiki prognosis serta memberikan hasil yang memuaskan
C. Prosedur Diagnosis DFU Rasional
1. anamnesis secara rinci meliputi riwayat ulkus
sebelumnya, riwayat amputasi, riwayat trauma, dan
anamnesis mengenai penyakit yang mendasarinya
yaitu diabetes.

2. riwayat merokok dan sindrom metabolik lainnya.

3. pemeriksaan fisik meliputi vascular assessment,  Faktor risiko vaskuler dan neuropati pada
neurological and musculoskeletal assessment, dan ekstremitas bawah harus dinilai.
infection assessment.

Vaskuler Assesment  Indikasi gangguan Vascular bila CRT >3


a. lakukan pemeriksaan refilling kapiler CRT, detik
 Bila riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
curiga iskemia (misalnnya nadi pedis tidak
b. lakukan palpasi arteri ekstremitas bawah,
teraba) atau bila ulkus tidak sembuh-
sembuh, maka pemeriksaan noninvasif
tersebut dilakukan.
 Tekanan darah pada jari yang kurang dari 40
mmHg, atau transcutaneous oxygen tension
c. lakukan penilaian ankle brachial index (ABI) (TcPO2) dengan nilai kurang dari 30 mmHg
karena gangguan perfusi arteri akan
tabel interpretasi ABI menyebabkan gangguan penyembuhan
15

Resting ABI Severity luka(Decroli, 2011)


0.91 – 1.30 Normal
0.70 – 0.90 Mild Obstruction Interpretasi diagnostik mengindikasikan
0.40 – 0.69 Moderate obstruction
< 0.40 Severe obstruction
bahwa rasio ABI yang rendah berhubungan
dengan risiko kelainan vaskuler yang tinggi
Nilai ABI yang lebih dari 1,2 bisa sekunder
terhadap kalsinosis pembuluh darah dan ABI
bisa menjadi false negative pada pasien
diabetes dengan stenosis aortoiliaka. Nilai
normal TBI bisa mengeksklusi keberadaan
kelainan arterial (Decroli, 2011)
 Dilakukan pada pasien dengan nilai ABI
yang normal dengan kecurigaan penyakit
d. lakukan Segmental pressure pulse volume vaskuler perifer
(SPPV) dengan cara ukur tekanan Pemeriksaan ini dilakukan berdasarkan
menggunakan tensimeter di paha, betis, dan prinsip bahwa obstruksi pembuluh darah
ankle secara berurutan dan tekanan darahnya yang terjadi timbul pada proximal tempat
dicatat tekanan darahnya turun dan lebih mudah
dilakukan daripada TBI pada pasien diabetes
dengan DFU pada jempol.
 mengindikasikan terganggunya perfusi pada
ekstremitas bawah. Pemeriksaan ini
merupakan penilaian sirkulasi kapiler
kutaneus. Walaupun SPP membutuhkan
e. Lakukan penilaian dengan laser Doppler dengan
peralatan khusus, pemeriksaan ini lebih
cara memasang manset tensimerter dan
sensitif daripada teknik lain untuk
mengukur tekanan pada ankle dan dengarkan
mendeteksi kelainan arteri perifer
denyut nadi menggunakan Ultrasonography
ekstremitas bawah
Doppler dan Laser Doppler velocimetry
menilai derajat stenosis arteri, obstruksi
hingga keadaan aliran darah pasca
revaskularisasi. Lokasi stenosis arteri dapat
diidentifikasi dengan menempatkan secara
serial probe Doppler sepanjang ekstremitas.
 menilai tekanan oksigen pada area yang
berhubungan dengan luka dan pemeriksaan
ini telah disarankan menjadi alat diagostik
f. Lakukan Transcutaneous oxygen tension untuk menilai kemungkinan penyembuhan
(TcPO2) luka. Pemeriksaan ini telah dianjurkan
menjadi alat screening pada populasi
berisiko tinggi untuk kelainan vaskuler.
Karena TcPO2 tidak dipengaruhi oleh
kalsifikasi arteri seperti ABI, TcPO2 bisa
digunakan untuk mengevaluasi pasien
diabetes dengan critical limb ischaemia.
16

 pemeriksaan ini dapat menilai derajat


keparahan dan lokasi lesi, dimana
percutaneus transluminal angioplasty
(PCTA) merupakan gold standard dalam
g. Lakukan pemeriksaan pemeriksaan lanjutan menentukan apakah terdapat penyempitan
berupa vascular imaging meliputi CT- pembuluh darah yang kemudian diikuti
angiografi (CTA), MRA (magnetic resonance dengan pemasangan stent ataupun tanda
angiography), dan DSA (digital substraction stent untuk memperbaiki aliran darah dan
angiography) jika hasil pemeriksaan ABI dalam membantu proses penyembuhan ulkus.
batas normal sementara pada pemeriksaan klinis
ditemukan gejala dan tanda penyakit arteri  mengetahui adanya neuropati otonom,
perifer sensorik, dan motorik. Pada neuropati
otonom terjadi perubahan regulasi suhu
yaitu ditandai dengan suhu yang lebih
neurological and musculoskeletal assessment dingin, kulit yang kering, dan hilang atau
berkurangnya rambut pada ekstremitas
bawah.

 Garputala standar dengan ukuran 128 Hz


bisa digunakan sebagai pemeriksaan
tunggal, yang hasilnya setara dengan
pemeriksaan garputala yang dikombinasikan
a. Lakukan pemeriksaan menggunakan dengan Semmes Weinsten Monofilament
garpu tala/ Tuning fork dengan meletakkan (SWM) dalam mendeteksi neuropati
garpu tala seukuran 128 Hz yg sudah diabetik.
digetarkan pada di plantar hallux.
Sumber: Katsilambros et al (2003)

 Apabila penderita tidak mampu menjawab


semua titik yang dites, maka hal ini berarti
b. Lakukan pemeriksaan Semmes weinstein 90% sudah terjadi sensibilitas. Dari tiga
monofilament (SWM) dengan cara penelitian longitudinal, disimpulkan bahwa
Penderita duduk di atas kursi, lalu kaki sensitifitas SWM untuk deteksi neuropati
diluruskan ke depan, telapak kaki tegak lurus diabetik adalah 66-91%, spesifisitas 34-
dengan lantai. 86%, positive predictive value 18-39%, dan
Penderita dipersilahkan menutup mata dengan negative predictive value 94-95%.
tangannya. Monofilamen disentuhkan pada Penggunaan SWM yang berulang-ulang
permukaan kulit sampai tekanan monofilamen akan menyebabkan monofilamen tidak
sedikit melengkung. Titik-titik yang dites sensitif sehingga hasil pemeriksaan tidak
dianjurkan 10 titik, yaitu sisi plantar jari 1, 3, 5, akurat. Oleh karena itu dianjurkan satu
sisi plantar dari metatarsal 1, 3, 5, sisi plantar SWM maksimal untuk 10 orang kasus
17

dari pertengahan medial dan lateral, sisi plantar (Decroli, 2011)


tumit dan sisi dorsal sela jari 1 dan jari 2.

c. Lakukan pemeriksaan Vibration perception


threshold (PVT) meter atau biasa juga
disebut biothesiometer dengan cara  Angka PVT yang mencapai skala amplitudo
meletakkan Ujung alat yang bergetar 100 Hz > 25 volt, dapat mendeteksi risiko ulkus
yang berbahan baku karet, disentuhkan ke kaki, dengan sensitivitas 83% dan
permukaan jari kaki Saat melakukan tes, spesifisitas 63%.
skala amplitudo terus ditingkatkan sampai
penderita merasakan vibrasi. Selanjutnya
diambil nilai rata-rata dari 3 pemeriksaan
berturut- turut dari setiap jari yang sudah di
tes
d. Selanjutnya lakukan pemeriksaan permukaan
kaki untuk mengetahui apakah ada
deformitas  Ciri deformitas lokal, dapat dilihat dengan
seksama oleh pemeriksa berupa: adanya
kontraktur dan keterbatasan gerak sendi. Hal
ini dapat kita lihat dengan menyuruh pasien
berjalan. Kedua keadaan tersebut
menimbulkan menyebabkan mobilitas sendi
terbatas dan kelainan anotomik kaki

Infection Assessment
a. pertama lakukan pemeriksaan hitung darah
lengkap untuk mengetahui apakah ada
peningkatan leukosit dengan peningkatan
neutrofil segmen

b. lakukan pemeriksaan kultur swab.


18

4. Lakukan pemeriksaan penunjang Rontgen pedis  Rontgen pedis tersebut dapat menemukan
sebagai pemeriksaan radiologi awal pasien diabetes osteomielitis, osteolisis, fraktur, dislokasi
dengan tanda dan gejala klinis penyakit DFU atau pada neruopati arthropati, kalsifikasi arteri
pemeriksaan enjang lain seperti medial, gas jaringan lunak, benda asing,
serta adanya arthritis. Namun demikian, akut
osteomielitis pada rontgen pedis biasa tidak
dapat menunjukkan perubahan tulang hingga
14 hari berikutnya. Pemeriksaan radiologi
serial diperlukan saat menghadapi situasi
tersebut, dimana gambaran radiologi negatif
tetapi kecurigaan klinis tinggi
a. Bone scan dengan Technetium-99
methylene diphosphonate (Tc-99 MDP)  untuk mencari osteomielitis pada infeksi
DFU. Meskipun memiliki sensitifitas yang
tinggi, namun tidak spesifik untuk
pemeriksaan kaki neuropati. Osteomielitis,
fraktur, arthritis, dan neuropati artropati
akan ditunjukkan melalui peningkatan
b. Computed tomography scanning (CT scan) radiotracer uptake.

 menilai tulang dan sendi yang dicurigai


mengalami gangguan tetapi tidak terbukti
pada pemeriksaan radiologi biasa. CT scan
dapat memberikan gambaran fragmentasi
c. Magnetic resonance imaging (MRI) tulang dan subluksasio sendi

 MRI digunakan untuk menilai osteomielitis,


abses dalam, sepsis sendi, dan ruptur tendon.
Mekipun mahal, MRI diterima secara luas
dalam diagnostik radiologi infeksi DFU

5. Lakukan pencatatan hasil pemeriksaan dan


klasifikasikan kondisi luka klien berdasrkan
asesment tools yang ada seperti sistem Wagner atau
jenis yang lainnya
D. Interpretasi hasil pengkajian
Tabel Sistem Klasifikasi Wagner
Grade Lesi
Tidak ada lesi terbuka; dapat berupa deformitas atau selulitis Ulkus
superfisial
Ulkus dalam hingga ke tendon atau kapsul sendi
Ulkus dalam dengan abses, osteomielitis, atau sepsis sendi
Gangren lokal – pada kaki depan atau tumit
Gangren pada semua kaki
Tabel Sistem klasifikasi PEDIS
19

Clinical manifestasion of infection Infection PEDIS


Severity
Wound lacking purulence or any manifestasions of inflammation uninfected
Presence of > 2 manifestasions of inflammation : Mild
 Purulence
 Erythema
 Pain

 Tenderness
 Warmth or induration
But any cellulitis/erythema extends < 2 cm araound ulcer :
 Infection limited to the skin or superficial subcutaneous tissues
 No other local complications or systemic illness

Infection (as above) in a patient who is systemically well and metabolically stable but which has > 1 Moderate
if the following characteristics :
 Cellulitis extending > 2 cm
 Lymphangitic streaking
 Spread beneath the superficial fascia
 Deep tissue abscess
 Gangrene
 Involvement of muscle, tendon, join or bone

Infection in a patient with systemic toxicity or metabolic instability ( fever chills, Severe
tachycardia,hypotension, confusion, vomiting,
leukocytosis, acidosis, severe hyperglycemia or azotemia)
20

Gambar 5. Alur diagnostik dan tatalaksana ulkus DFU.


(Sumber: Blanes (2011))

3. Standard Prosedur Operasional (SPO) Pengkajian luka Bakar


A. Definisi
Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber
panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi. (Musliha, 2010). Luka bakar adalah
injury pada jaringan yang disebabkan oleh suhu panas (thermal), bahan kimia, elektrik dan radiasi
(Suryadi, 2001).
Luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh kontak dengan suhu tinggi seperti api, air panas,
listrik, bahan kimia, dan radiasi juga disebabkan oleh kontak dengan suhu rendah (Masjoer, 2003).
Luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh trauma panas yang memberikan gejala tergantung
luas dalam dan lokasi lukanya (Tim Bedah, FKUA, 1999)
Jadi, luka bakar adalah kerusakan pada kulit yang disebabkan oleh panas, kimia, elektrik maupun
radiasi.
B. Tujuan
1. Mengukur kedalaman luka bakar
2. Menentukan Luas luka bakar
3. Menentukan Lokasi luka bakar (bagian tubuh yang terkena)
4. Menilai Mekanisme injuri
5. Mengevaluasi tanda-tanda vital
6. Mengevaluasi fungsi tubuh
7. Mengevaluasi tindakan medis yang akan diberikan
8. Usia

C. Indikasi Pemeriksaan (Kowalak, dkk, 2012; Morton, dkk, 2012)


1. Luka Bakar Termal

Luka bakar termal (panas) disebabkan oleh karena terpapar atau kontak dengan api, cairan
panas atau objek-objek panas lainnya, dapat berupa gas, cairan, benda padat (solid).
2. Scald Burns

Luka karena uap panas, biasanya terjadi karena air panas. Faktor ini merupakan penyebab
kebanyakan luka bakar pada masyarakat. Air pada suhu 60°C menyebabkan luka bakar parsial
atau dalam dengan waktu hanya dalam 3 detik. Pada 69°C, luka bakar yang sama terjadi dalam
1 detik.
3. Flash Burns

Ledakan gas alam, propan, butane, minyak destilasi, alkohol dan cairan mudah terbakar lain
seperti aliran listrik menyebabkan panas untuk periode waktu. Flash burns memiliki distribusi
di semua kulit yang terekspos dengan area paling dalam pada sisi yang terkena.
21

4. Luka Bakar Kimia

Luka bakar chemical (kimia) disebabkan oleh kontaknya jaringan kulit dengan asam atau basa
kuat. Konsentrasi zat kimia, lamanya kontak dan banyaknya jaringan yang terpapar
menentukan luasnya injuri. Luka bakar kimia dapat terjadi misalnya karena kontak dengan
zat- zat pembersih yang sering dipergunakan untuk keperluan rumah tangga dan berbagai zat
kimia yang digunakan dalam bidang industri, pertanian dan militer. Lebih dari 25.000 produk
zat kimia diketahui dapat menyebabkan luka bakar kimia.
5. Luka Bakar Elektrik

Luka bakar elektrik (listrik) disebabkan oleh kontak dengan kawat listrik yang mengandung
arus listrik atau dengan sumber arus listrik bertegangan tinggi. Berat ringannya luka
dipengaruhi oleh lamanya kontak, tingginya voltage dan cara gelombang elektrik itu sampai
mengenaitubuh.
6. Luka Bakar Radiasi

Luka bakar radiasi disebabkan oleh terpapar dengan sumber radioaktif. Tipe injuri ini
seringkali berhubungan dengan penggunaan radiasi ion pada industri atau dari sumber radiasi
untuk keperluan terapeutik pada dunia kedokteran. Terbakar oleh sinar matahari akibat
terpapar yang terlalu lama juga merupakan salah satu tipe luka bakar radiasi.
7. Frost Bite

Luka bakar akibat suhu yang terlalu dingin. Pembuluh darah perifer mengalami vasokonstriksi
hebat, terutama di ujung-ujung jari, hidung dan telinga. Fase selanjutnya akan terjadi nekrosis
dan kerusakan yang permanen
D. Persiapan pasien
1) Inform concents dan memperkenalkan diri
2) Ciptakan kondisi yang nyaman untuk pasien
E. Persiapan alat
1. Handschoen
2. Sampiran
3. Tensimeter
4. Stetoskop
5. Penggaris
6. Pulpen/buku

Catatan :
 Lakukan pemeriksaan head to toe examination merujuk pada pemeriksaan sekunder ATLS
course (advancedtrauma life support)
 Monitoring / Chart / Hasil resusitasi tercatat
 Persiapkan dokumen transfer Derajat luka bakar

F. Prosedur
No Pemeriksaan Rasional
1 Riwayat penyakit  A (Allergies): Riwayat alergi
 M (Medications): Obat – obat yang di konsumsi
22

 P (Past illness): Penyakit sebelum terjadi trauma


 L (Last meal): Makan terakhir
 E (Events): Peristiwa yang terjadi saat trauma
2 Mekanisme trauma
1. Luka bakar  Durasi paparan
 Jenis pakaian yang digunakan
 Suhu dan Kondisi air, jika penyebab luka bakar adalah air
panas
 Kecukupan tindakan pertolongan pertama
3 head to toe examination
Catat bentuk kepala, penyebaran rambut, perubahan
Kepala danrambut
warna rambut setelah terkena luka bakar, adanya lesi
akibat luka bakar, grade dan luas luka bakar
Mata
Catat kesimetrisan dan kelengkapan, edema, kelopak
mata, lesi adanya benda asing yang menyebabkan
gangguan penglihatan serta bulu mata yang rontok
kena air panas, bahan kimia akibat luka bakar
Hidung
Catat adanya perdarahan, mukosa kering, sekret,
sumbatan dan bulu hidung yang rontok.
Mulut
Sianosis karena kurangnya suplay darah ke otak, bibir
kering karena intake cairan kurang
Telinga
Catat bentuk, gangguan pendengaran karena benda asing,
perdarahan dan serumen
Leher
Catat posisi trakea, denyut nadi karotis mengalami
peningkatan sebagai kompensasi untuk mengatasi
kekurangan cairan
Thoraks/dada
Inspeksi bentuk thorak, irama pernafasan, irreguler,
ekspansi dada tidak maksimal, vokal fremitus kurang
bergetar karena cairan yang masuk ke paru, auskultasi
suara ucapan egoponi, suara nafas tambahan ronchi
Abdomen
Inspeksi bentuk perut membuncit karena kembung,
palpasi adanya nyeri pada area epigastrium yang
mengidentifikasi adanya gastritis.
Urogenital
Kaji kebersihan karena jika ada darah kotor/terdapat
lesi merupakan tempat pertumbuhan kuman yang
paling nyaman, sehingga potensi sebagai sumber
infeksi dan kaji indikasi untuk pemasangan kateter.
Musculoskeletal
Catat adanya atropi, amati kesimetrisan otot, bila
terdapat luka baru pada muskuloskeletal, kekuatan
otot menurun karena nyeri
Neurologi
Tingkat kesadaran secara kuantifikasi dinilai dengan
23

GCS. Nilai bisa menurun bila suplay darah ke otak


kurang (syok hipovolemik) dan nyeri yang hebat
(syok neurogenik)
Kulit
Prinsip pengukuran presentase luas luka bakar
menurut kaidah Rule of nine atau Lund and Browder)
sebagai berikut :
Pengkajian kedalaman luka bakar dibagi menjadi 4
derajat (grade). Grade tersebut ditentukan
berdasarkan pada keadaan luka, rasa nyeri yang
dirasanya dan lamanya kesembuhan luka.

G. Interpretasi Hasil Pengkajian (derajat luka bakar)

Klasifikasi luka bakar


1. Luka bakar ringan Kriteria luka bakar
ringan:
a. TBSA ≤15% pada dewasa
b. TBSA ≤10% pada anak
c. Luka bakar full-thickness dengan TBSA ≤2% pada anak maupun dewasa tanpa mengenai
daerah mata, telinga, wajah, tangan, kaki, atau perineum.
2. Luka bakar sedang Kriteria luka bakar
sedang:
24

a. TBSA 15–25% pada dewasa dengan kedalaman luka bakar full thickness <10%
b. TBSA 10-20% pada luka bakar partial thickness pada pasien anak dibawah 10 tahun dan
dewasa usia diatas 40 tahun, atau luka bakar full-thickness <10%
c. TBSA ≤10% pada luka bakar full-thickness pada anak atau dewasa tanpa masalah kosmetik
atau mengenai daerah mata, wajah, telinga, tangan, kaki, atau perineum
3. Luka bakar berat Kriteria luka bakar
berat:
a. TBSA ≥25%
b. TBSA ≥20% pada anak usia dibawah 10 tahun dan dewasa usia diatas 40 tahun
c. TBSA ≥10% pada luka bakar full-thickness
d. Semua luka bakar yang mengenai daerah mata, wajah, telinga, tangan, kaki, atau perineum
yang dapat menyebabkan gangguan fungsi atau kosmetik.
e. Semua luka bakar listrik
f. Semua luka bakar yang disertai trauma berat atau trauma inhalasi
g. Semua pasien luka bakar dengan kondisi buruk

Prosedur Manajement Pengkajian Gawat darurat (Triase)


No Manajemen Periksa Tindakan
1 Airway Patensi jalan nafas 1. Berbicara dengan pasien
2. Bersihkan jalan nafas dari benda asing
3. Lakukan Chin lif jaw trust
4. hindari melakukan hiperfleksi atau
hiperekstensi kepala dan leher
5. Kontrol tulang cervical dengan collar
6. Lakukan chin lift, jaw thrust
2 Breathing 1. Hindari tanda-tanda hipoksia,  Inspeksi dada pastikan pergerakan
hipoventilasi dan dinding dada simetris dan adekuat
hiperventilasi
2. Hati-hati dengan pasien  Berikan oksigen 100% high flow 10—15
intoksikasi karbon monoksida l/m melalui NRM
3. Hati-hati luka bakar melingkar
pada dada pertimbankan  Jika tetap sesak lakukan bagging atau
eksarotomi ventilasi mekanik
3 Circulation 1. Cek tanda-tanda syok  Lakukan penekana luka jika terjadi
perdarahan aktif
2. Cek nadi sentral  Pasang 2 jalur IV line ukuran besar, lebih
disarankan pada daerah yang tidak terkena
luka bakar
3. Cek tekanan darah  Jika pasien syok berikan IV line cairan
RL sampai teraba nadi radialis
4. Cek Capillary refill : normal <  Ambil sampel darah untuk pemeriksaan
2 detik darah lengkap, AGD
5. Cek luka bakar melingkar pada  Cari dan tangani tanda-tanda klinis syok
ekstremitas : pertimbangkan
25

eksarotomi
4 Disability Derajat kesadaran
1. A (alert) : Sadar penuh  Periksa derajat kesadaran
2. V (verbal) : merespon terhadap
rangsang verbal  Periksa respon pupil terhadap cahaya
3. P (pain) : merespon terhadap  Pada pasien hipoksemia dan syok
rangsang nyeri dapat terjadi penurunan kesadaran
4. U (unresponsive) : tidak ada dan gelisah
respon
5 Exposure Kontrol lingkungan  Melepas semua pakaian dan
aksesoris yang melekat pada tubuh
pasien
 Lakukan log roll untuk melihat
permukaan pada psien
 Jaga pasien tetap dalam keadaan
hangat
 Menghitung luas luka bakar dengan
metode rule of nine
Imtervensi
No Manajemen Pemeriksaan Tindakan
1 Resusitasi cairan Monitoring cairan yang  Parkland Formula: 3-4 ml x
adekuat  Berat Badan (kg) x % TBSA
 Setengah dari jumlah cairan diberikan
pada 8 jam pertama dan sisanya 18 jam
selanjutnya
 Gunakan cairan kristaloid (RL)
 Hitung urine out put setiapp jam
 Lakukan pemeriksaan EKG, TD, nadi, AGD
2 Analgesia Manajemen nyeri  Berikan morfin sesuai indikasi
 Untk anak paracetamol drips sesuai indikasi
3 Test Menyingkirkan adanya X-ray :
kemungkinan trauma lain a. Lateral cervical
b. Thorax
c. Pelvis
d. Anggota tubuh lainnya sesuai indikasi
4 Tubes 1. Mencegah dastoparesis  Pasang NGT
2. Dekompresi lambung
26

BAB 4
EVIDENCE BASE NURSING AND EVIDENCE BASE PRACTICE

A. Luka Dekubitus
Review Artikel Jurnal : Review of the Current Management of Pressure Ulcers oleh Tatiana V.
Boyko, Michael T. Longaker dan George P. Yang tahun 2018 pada Advances In Wound Care,
Volume 7, Number 2
Hasil penelitiannya menyebutkan :
Pencegahan tukak tekan tetap menjadi langkah terpenting dalam penanganan luka tirah baring
(decubitus) memerlukan assesmen awal yang lengkap sebagai upaya terbaia, meskipun upaya luka
27

terkan (tirah baring) mungkin tetap terjadi dan berkembang sebagai faktor risikonamun dengan
pengkajian ini dapat mekasimalkan Pengobatan luka tekan/tirah baring yang diperlukan oleh pasien
sehingga diharapkan kenyamanan tercapai dan mengurangi risiko infeksi sistemik (Boyko et al.,
2018)
Asesment awal meliputi banyak hal mulai dari penilaian menggunakan skor decubitus (borton scale)
serta pengkajian faktor resiko terjadinya luka tekan seperti kondisi menyebabkan imobilitas,
enurunan atau kurangnya sensasi, serta malnutrisi, Faktor risiko ekstrinsik termasuk imobilisasi pada
papan tulang belakang,ATAU meja, atau tempat tidur untuk waktu yang lama, sebagai serta
perangkat medis yang tidak terpasang dengan baik saat bersentuhan jaringan pasien. Faktor risiko
intrinsik seperti diabetes, malnutrisi, dan merokok juga ikut meningkatrisiko keseluruhan untuk ulkus
tekanan. Sumsum tulang belakang populasi pasien cedera berada pada risiko tertinggi (25-66%)
mengembangkan ulkus tekanan karena kombinasi imobilitas dan penurunan sensasi.

B. Ulkus
1. Pada penelitian yang dilakukan oleh Mayusef Sukmana, Roni Sianturi, Sholichin, Muhammad
Aminuddin. Dengan judul “ Pengkajian Luka Menurut Meggit-Wagner dan Pedis Pada Pasien
Ulkus Diabetikum “
Hasil penelitian :
 Pada pengkajian luka berdasarkan karakteristik Meggit-Wagner didapatkan ulkus yang dialami
R1 adalah ulkus grade 4 yang ditandai dengan adanya gangren terlokalisir yaitu pada metatarsal
digiti 5 dengan warna dasar hitam.
 Pada R2 dan R3 didapatkan ulkus grade 3 dengan adanya formasi abses dan luka yang dalam
namun belum terjadi gangren terlokalisir. Pada ulkus keduaduanya memiliki formasi abses pada
jaringan yang ditandai dengan adanya edema dan juga eritema.
 Pengkajian ulkus menurut PEDIS, Pada R1 ditemukan adanya gangren dan juga formasi abses
pada jaringan dalam yang mengakibatkan edema pada kaki.
 pada R2 dan R3 memiliki ciri ulkus yang hampir sama yaitu memiliki garis kemerahan dibawah
kulit dan abses pada jaringan dalam.

2. Artikel yang dilakukan oleh Sko purnomo, Ida Ariani, Dwi Setiyawati. Dengan Judul “ Assesment
Neuropatic Sensoric ( ANES ) Model untuk mencegah Ulkus Diabetic pada penderita DM Type II di
Desa Menganti kecamatan Kesugihan Cilacap “
Hasil penelitian :
pada R2 dan R3 memiliki ciri ulkus yang hampir sama yaitu memiliki garis kemerahan dibawah
kulit dan abses pada jaringan dalam. Dari hasil pelaksanaan pengabdian didapatkan data bahwa
terjadinya peningkatan pengetahuan yang signifikan yaitu kategori baik sebelum intervensi
pendidikan kesehatan sebanyak 4 orang (14,81 %), dan kategori baik setelah dilakukan intervensi
pendidikanyang memi kesehatan sebanyak 22 orang (81,48 %) . terdapat kenaikan jumlah
responden yang memiliki pengetahuan dengan kategori baik yaitu sebanyak 18 orang. Memiliki
selisih rata2 Pre dan Post test nilai pengetahuan sebanyak 22,96 %. Terdapat kenaikan jumlah
responden yang memiliki kategori baik setelah diberikan pendidikan kesehatan yaitu 24 orang
(88,89%) terdapat peningkatan rata – rata nilai ketrampilan dari 0 menjadi 87,41.

C. Luka Bakar
28

Judul : Pelaksanaan Proses Pengkajian Keperawatan Pada Pasien Luka Bakar oleh Sri Harvita Sari
Marpaung
Tujuan : tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui proses pelaksanaan pengkajian
keperawatan pada pasien luka bakar.
Metode : yang digunakan pada penulisan ini adalah literature riview berdasarkan text book, jurnal, e –
book (10 tahun terakhir) dengan cara menganalisis, eksplorasi sumber, dan kajian bebas
Hasil :
Dari hasil pengkajian dapat disimpulkan bahwa proses pengkajian dalam keperawatan merupakan
suatu komponen penting dalam memberikan atau melaksanakan pemberian asuhan keperawatan,
pengkajian sebagai tahap awal dalam asuhan keperawatan berfungsi mengumpulkan data tentang
status kesehatan pasien. Sebagai salah satu masalah yang dialami pasien adalah luka bakar, dengan
adanya pengkajian maka perawat dapat melakukan perawatan lanjutan yang sesuai dengan kebutuhan
pasien dengan luka bakar sehingga asuhan keperawatan pada pasien berkualitas dan dapat
meningkatkan derajat kesehatan pasien.

BAB V
KESIMPULAN

Pemeriksaan pada luka Bakar melalui pemeriksaan head to toe examination merujuk pada
pemeriksaan ATLS course (advancedtrauma life support) dan , Monitoring / Chart / Hasil resusitasi
tercatat, persiapan dokumen transfer derajat luka bakar. Prinsip pengukuran presentase luas luka bakar
menurut kaidah Rule of nine atau Lund and Browder). Pengkajian kedalaman luka bakar dibagi menjadi
4 derajat (grade). Grade tersebut ditentukan berdasarkan pada keadaan luka, rasa nyeri yang dirasanya
dan lamanya kesembuhan luka.
Pemeriksaan pada Risiko Decubitus terhadap klien berisiko Dekubitus yang mengalami
gangguan mobilisasi, gangguan fungsi neurologi, penurunan persepsi sensori ataupun penurunan
29

sirkulasi, menentukan perlunya memberikan perawtan preventif dan menggunakan obat-obatan topical
untuk luka dekuitus.
Pemeriksaan pada Ulkus Diabetik meliputi Pemeriksaan fisik melalui Inspeksi pada kulit yaitu
status kulit seperti warna, turgor kulit, pecah-pecah; berkeringat; adanya infeksi dan ulserasi; adanya
kalus atau bula; bentuk kuku; adanya rambut pada kaki. Inspeksi pada otot seperti sikap dan postur dari
tungkai kaki; deformitas pada kaki membentuk claw toe atau charcot joint; keterbatasan gerak sendi;
tendon; cara berjalan; dan kekuatan kaki. Pemeriksaan Neurologis untuk kedalaman luka, pemeriksaan
laboratorium dibutuhkan untuk mengetahui status klinis pasien. Pemeriksaan Radiologis : foto polos
adanya ostomielitis, Computed Tomographic (CT) scan dan Magnetic Resonance Imanging (MRI)
untuk membantu diagnosis abses, Bone scaning untuk osteomyelitis

DAFTAR PUSTAKA

Al Aboud, A. M., & Manna, B. (2018). Wound Pressure Injury Management. StatPearls, 1–8.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/30422492
Bhattacharya, S., & Mishra, R. (2015). Pressure ulcers: Current understanding and newer modalities of
treatment. Indian Journal of Plastic Surgery, 48(1), 4–16. https://doi.org/10.4103/0970-
0358.155260
Blanes JJ, et al. Consensus document on treatment of infection in diabetic foot. Rev Esp
Quimioter.2011;24(4):233-262
Boyko, T. V., Longaker, M. T., & Yang, G. P. (2018). Review of the Current Management of Pressure
Ulcers. Advances in Wound Care, 7(2), 57–67. https://doi.org/10.1089/wound.2016.0697
30

Brem, H., & Lyder, C. (2004). Protocol for the successful treatment of pressure ulcers. American Journal
of Surgery, 188(1 SUPPL. 1), 9–17. https://doi.org/10.1016/S0002-9610(03)00285-X
Charlene, S. Mi., Cyntia, A. C., Violeta, L., & Shefaly, S. (2011). Pressure injury prevention and
management practices among nurses: A realist case study. Journal of Pediatric Infectious Diseases,
Volume 6,(Number 3 / 2011), 167–171.
Hoviattalab, K., Hashemizadeh, H., D’Cruz, G., Halfens, R. J. G., & Dassen, T. (2015). Nursing practice
in the prevention of pressure ulcers: An observational study of German Hospitals. Journal of
Clinical Nursing, 24(11–12), 1513–1524. https://doi.org/10.1111/jocn.12723
Ibrahum A, Jude E, Langdon DC, Martinez F, Harkless L, Gawish H, Huang Y et al.IDF Clinical Practice
Recommendations on the Diabetic Foot – 2017. International Diabetes Federation. 2017; 1- 70.
Lepantalo M, et al. Diabetic foot. European Journal of Vascular and Endovascular Surgery.
2011;42(52):S60-S74
Marpaung, S. H. S. (2019). Pelaksanaan Proses Pengkajian Keperawatan Pada Pasien Luka Bakar.
https://doi.org/10.31227/osf.io/bkw6z
Rasyid, N., Yusuf, S., & Tahir, T. (2018). Study Literatur : Pengkajian Luka Kaki Diabetes. Jurnal Luka
Indonesia, 4(2), 123–137.
Tubaishat, A., Anthony, D., & Saleh, M. (2011). Pressure ulcers in Jordan: A point prevalence study.
Journal of Tissue Viability, 20(1), 14–19. https://doi.org/10.1016/j.jtv.2010.08.001

Anda mungkin juga menyukai