Anda di halaman 1dari 36

UNIVERSITAS INDONESIA

MATRIKS ANALISIS KASUS SEMINAR PAJAK


Diajukan Sebagai Salah Satu Pemenuhan Nilai Tugas Mata Kuliah
Seminar Pajak

Kelas A
Kelas B

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI


DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI FISKAL
DEPOK
NOVEMBER 2019
Fakta atau Permasalahan Peraturan Terkait Pembahasan
Gambaran Kasus Kasus

1. Susun analisa Adanya rencana pemindahan Ibukota dari DKI Jakarta ke


sebagai masukan Kabupaten Penajam Paser Utara Kalimantan Timur hingga saat ini
kepada DKI masih menimbulkan banyak pro dan kontra di masyarakat. Seiring
Jakarta dalam dengan adanya pemindahan Ibukota, DKI Jakarta yang semula
penghitungan merupakan Ibukota negara pastinya terkena dampak paling besar
“​potential dari adanya pemindahan ini. Jika kita lihat, pemindahan Ibukota
economic loss & pastinya berdampak pada ekonomi di DKI Jakarta, oleh karena itu
gain” ​secara berikut pandangan kami mengenai ​potential economic loss & gain
komprehensif dan yang akan dihadapi oleh DKI Jakarta jika Ibukota jadi dipindahkan
memadai ke Kalimantan.

Potential Economic Loss


1. Dengan adanya pemindahan pusat pemerintahan tentu saja
para Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bekerja untuk
pemerintah pusat akan ikut berpindah ke Ibukota baru,
yaitu Kalimantan Timur. Hal ini akan menimbulkan
terjadinya migrasi besar-besaran bagi PNS dan usaha yang
berkaitan dengan pemerintahan. Adanya penurunan
penduduk dalam waktu yang singkat pasti akan
menimbulkan dampak ekonomi. Konsumsi di DKI Jakarta
akan menurun yang mengakibatkan pendapatan penjual
menurun dan berdampak pada ekonomi yang menurun.
Walaupun DKI Jakarta tetap menjadi pusat bisnis dari
Indonesia, dimana tetap akan ada orang-orang yang akan
merantau ke Jakarta, namun tetap saja adanya migrasi PNS
kantor pusat pemerintahan akan menimbulkan dampak
yang cukup berasa.
2. Dari sisi pajak, dapat kita ketahui bahwa pendapatan
daerah akan sedikit terpengaruh, khususnya dalam pajak
daerah. Adanya penurunan penduduk mengakibatkan
penurunannya konsumsi. Konsumsi yang dimaksud disini
adalah konsumsi dari berbagai aspek seperti konsumsi
makanan, tempat tinggal, pakaian, ataupun konsumsi
lainnya yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.
Dengan adanya penurunan penduduk, maka akan
menimbulkan penurunan konsumsi. Penurunan konsumsi
akan berakibat pada penurunan pendapatan para pelaku
usaha. Penurunan pendapatan pelaku usaha akan berakibat
pada penurunan penerimaan pajak daerah karena terdapat
banyak pajak daerah yang berkaitan dengan konsumsi
penduduk. Penurunan penerimaan pajak daerah akan
berakibat pada penurunan pendapatan daerah. Penurunan
pendapatan daerah dapat berakibat pada penurunan
pembangunan ataupun alokasi dana bagi daerah.

Potential Economic Gain


1. Salah satu masalah di DKI Jakarta saat ini adalah
kepadatan penduduk yang semakin parah. Semakin
banyaknya penduduk di suatu daerah pastinya akan
menimbulkan berbagai masalah bagi daerah itu sendiri.
Salah satu dampak dari terlalu padatnya penduduk adalah
menurunnya kualitas hidup dan lingkungan yang ada.
Dengan adanya pemindahan ibukota akan berakibat pada
peningkatan kualitas hidup dan lingkungan yang berakibat
pada menurunnya dana yang dibutuhkan untuk
menanggulangi masalah lingkungan yang ada. Hal ini dapat
dikatakan berkaitan karena pendapatan daerah pastinya
akan digunakan untuk menangani masalah yang timbul di
masyarakat, baik masalah sosial maupun masalah ekonomi.
Dengan adanya peningkatan kualitas hidup, maka masalah
sosial yang ada akan berkurang. Berkurangnya masalah
sosial akan mengakibatkan berkurangnya dana pemerintah
yang harus dikeluarkan untuk mengatasi masalah sosial
tersebut.
2. Pemindahan ibukota akan mengakibatkan penurunan
penduduk yang akan berdampak pada penurunan pengguna
kendaraan bermotor. Penurunan ini akan berakibat pada
penurunan kemacetan yang terjadi di DKI Jakarta. Adanya
penurunan kemacetan menciptakan efisiensi. Seperti yang
kita ketahui bersama, kemacetan menimbulkan berbagai
masalah khususnya di bagian inefisiensi. Banyak waktu
yang terbuang di jalanan karena adanya kemacetan.
Kemacetan tersebut tentunya menimbulkan berbagai
kerugian yang jika dinilai dapat mencapai triliunan rupiah.
Jika kemacetan dapat teratasi maka kerugian akibat adanya
kemacetan pun dapat dikurangi.

DKI Jakarta pastinya akan terkena dampak yang cukup besar


dengan adanya pemindahan ibukota. Namun, pemindahan ibukota
ini tidak seluruhnya memberikan dampak negatif bagi DKI Jakarta
itu sendiri. Jika kita lihat dari sisi lainnya, adanya pemindahan
ibukota ke Kalimantan Timur juga diharapkan dapat lebih
memberikan dampak persebaran ekonomi yang lebih merata
karena hingga saat ini Pulau Jawa masih menjadi pusat ekonomi
sedangkan daerah lainnya masih dinilai pertumbuhan ekonominya
kurang maksimal.

2. Review untuk 1. Undang-Undang KEWENANGAN PAJAK PUSAT DAN PAJAK DAERAH


memastikan Nomor 28 Tahun Berdasarkan otoritas pemungut, pajak dikategorikan menjadi 2
kewenangan yang 2009 tentang (dua), yaitu pajak pusat dan pajak daerah. Hal ini bertujuan untuk
dimintakan untuk Pajak Daerah dan menentukan kewenangan pemungutan pajak dan pemanfaatan atau
menjadi Retribusi Daerah penggunaannya untuk menghindari adanya pengenaan pajak
kewenangan berganda akibat ketentuan perpajakan yang tumpang tindih
Pemerintah (​overlapping​). Penyerahan kewenangan fiskal dari pemerintah
Daerah yang saat pusat kepada pemerintah daerah berupa kebijakan ​sharing revenue
ini menjadi disebut pula desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal bertujuan
domain memperkuat ​local taxing power ​dan mendorong daerah untuk
Pemerintah Pusat dapat memungut dan mengelola pajak secara mandiri karena
dan/atau yang dianggap paling mengetahui kondisi dan potensi masing-masing
dapat diatur daerah, sehingga dapat dimanfaatkan untuk membiayai
melalui Peraturan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, serta
Daerah atau mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Pajak daerah
Peraturan ditetapkan, dipungut, dan diadministrasikan oleh Pemerintah
Gubernur Daerah.
(kewenangan di
bidang Ketentuan mengenai pajak daerah diatur dalam Undang-Undang
Perpajakan) Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(selanjutnya disebut UU PDRD). Termasuk dalam ​pajak daerah
sebagaimana diatur dalam UU PDRD meliputi PKB, PBBKB,
Pajak Rokok, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Reklame, Pajak
Hiburan, PBB-P2, dan BPHTB. UU PDRD bersifat ​closed list​,
yaitu jenis pajak dipungut berdasarkan yang telah ditetapkan di
dalam Undang-Undang, dalam hal ini Pemerintah Daerah tidak
diperkenankan memungut jenis pajak baru diluar Undang-Undang
meskipun terdapat potensi.

Sementara itu, jenis ​pajak pusat dalam ketentuan perpajakan


Indonesia meliputi PPh Badan, PPh Orang Pribadi, PPN dan
PPnBM, Cukai, Bea Masuk, dan PBB-P3. Menurut Teresa
Terminassian, apabila dalam pemungutan pajak memengaruhi
distribusi pendapatan secara umum atau luas, maka pajak harus
dipungut oleh Pemerintah Pusat, sebab apabila dilimpahkan ke
daerah maka dapat menimbulkan kesejahteraan yang tidak merata
secara nasional

Menurut Bird (2000), kriteria objek pajak daerah yang ideal


diantaranya sebagai berikut:
1. Objek pajak relatif tidak berpindah, seperti pajak properti. Hal
ini untuk menghindari perbedaan penafsiran dan agar
Pemerintah Daerah dapat menyesuaikan tarif tanpa harus
mengorbankan basis pajak.
2. Penerimaan pajak harus relatif stabil dan dapat diproyeksikan
dengan baik
3. Beban pajak diupayakan agar tidak dialihkan ke daerah lain
4. Basis pajak harus dapat dilihat untuk kepentingan akuntabilitas
5. Pajak harus dianggap adil oleh Wajib Pajak

Mengacu pada kriteria tersebut, maka semakin ​mobile s​ uatu objek


pajak perlu dipungut oleh pemerintahan yang lebih tinggi
(pemerintah pusat) dan semakin ​immobile o​ bjek pajak perlu
dipungut oleh pemerintahan yang lebih rendah (pemerintah
daerah). Pajak daerah yang baik menurut Bird (2000) adalah
mudah untuk diadministrasikan oleh Pemerintah Daerah,
dikenakan pada penduduk lokal, tidak menimbulkan kompetisi
antar daerah.

Berdasarkan uraian di atas, pada prinsipnya pemisahan antara


pajak pusat dan pajak daerah dilandasi oleh alasan dan maksud
tujuan tertentu, serta telah diatur secara rinci dalam ketentuan
perundang-undangan perpajakan. Pemerintah Pusat pada dasarnya
harus menjaga keseimbangan vertikal dan horizontal melalui
fungsi ​regulerend ​pajak. Maka, Pemerintah Daerah (dalam kasus
ini Pemda DKI Jakarta) tidak dapat serta merta memintakan
kewenangan pajak yang saat ini berada pada domain Pemerintah
Pusat, karena ​dapat menimbulkan kesenjangan antar daerah​.

3. Analisa terkait 1. Undang-Undang Kemacetan merupakan salah satu problematika yang dialami DKI
penanggulangan Nomor 28 Tahun Jakarta sebagai sebuah Ibu Kota Negara Kesatuan Republik
kemacetan namun 2009 tentang Indonesia, oleh sebab itu alasan yang melatarbelakangi
tetap sejalan Pajak Daerah dan pemindahan ibu kota negara ke Kabupaten Penajam Paser Utara,
dengan Retribusi Daerah Kalimantan Timur. Namun demikian, permasalahan kemacetan
peningkatan 2. Peraturan Daerah tidak serta merta hanya disebabkan oleh status ‘ibu kota’ dari
penerimaan pajak DKI Jakarta Jakarta saja, tetapi lebih luas lagi karena selain menjadi sebuah Ibu
daerah PKB dan Nomor 2 tahun Kota, DKI Jakarta merangkap menjadi pusat bisnis Indonesia.
BBN KB, 2015 tentang
pengendalian Pajak Kendaraan Pemindahan ibukota ke Penajam Paser Utara dinilai tidak
pertumbuhan Bermotor menyelesaikan masalah kemacetan di Ibukota, karena jumlah
Kbm melalui 3. Peraturan Daerah kendaraan di Ibu Kota hanya akan berkurang secara tidak
kebijakan fiskal, DKI Jakarta signifikan. Alasannya ada pemindahan ibukota hanya akan diiringi
peningkatan Nomor 6 tahun dengan pegawainya saja, yaitu dalam hal ini adalah PNS yang
sarana 2019 tentang Bea bekerja di lingkungan Kementerian, DPR, DPD, MPR, dan jajaran
transportasi Balik Nama lembaga negara. Selebihnya yaitu pelaku bisnis dan masyarakat
massal dan Kendaraan lokal Jakarta tetap akan tinggal di Jakarta tidak peduli dengan
kebijakan pajak Bermotor perubahan statusnya.
dan retribusi (BBNKB)
parkir 4. Pajak Daerah DKI Karena masyarakat yang akan berpindah ke Penajam Paser Utara
Jakarta Nomor 16 diperkirakan hanya dari golongan PNS saja, maka diperkirakan
tahun 2010 juga jumlah kendaraan yang berpindah hanyalah kendaraan dinas.
tentang Pajak Dengan demikian, maka permasalahan macet yang disebabkan
Parkir penggunaan kendaraan pribadi tetap akan terjadi sekalipun Ibukota
akan berpindah ke Penajam Paser Utara

Kemudian, untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dalam


rangka mencapai visi DKI Jakarta maka dilakukan upaya berupa
peningkatan penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB). Namun
demikian, fungsi pajak daerah tidak boleh hanya dipahami sebatas
untuk mengisi kas daerah saja. Dalam konteks permasalahan
kemacetan ini, pajak juga dapat difungsikan sebagai ​regulerend
dimana pajak dapat digunakan untuk menanggulangi permasalahan
yang ada. Cara yang cukup efektif di sini adalah bagaimana pajak
dapat membantu mengurangi jumlah kendaraan yang berada di
jalan. Hal ini dapat ditempuh dengan 2 hal yaitu :
a. Mengenakan pajak sesuai dengan eksternalitas negatif yang
dihasilkan kendaraan
b. Mengurangi pembelian kendaraan bermotor.

Eksternalitas negatif yang disebabkan oleh penggunaan kendaraan


bermotor adalah kerusakan jalan dan polusi udara. Agar dapat
mengatasi eksternalitas negatif tersebut diperlukan biaya yang
salah satu sumbernya berasal dari pajak daerah. Pajak atas
kendaraan bermotor dalam menjalankan fungsinya sebagai
instrumen ​regulerend dan ​earmarked harus didasari dari
eksternalitas negatif yang ditimbulkan dari kendaraan tersebut.
Kaitannya dengan polusi adalah dapat dilakukan pengenaan pajak
kendaraan bermotor yang lebih tinggi atas kendaraan dengan
performa mesin lama. Harapannya dengan demikian dapat
mengurangi jumlah kendaraan lama beroperasi di jalan raya. Hal
ini sesuai dengan amanat Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor
28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU
PDRD) yang berbunyi :

“Pasal 5

1. Dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor adalah hasil


perkalian dari 2 (dua) unsur pokok yaitu :
a. Nilai Jual Kendaraan Bermotor; dan
b. Bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat
kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan
akibat penggunaan kendaraan bermotor”

Dengan demikian, cara ini dapat ditempuh dan mendapat payung


hukum yang jelas dari UU PDRD sehingga untuk dapat
menerapkannya diperlukan payung hukum yang jelas di tingkat
daerah yaitu mengenai teknis pemungutan pajaknya.

Cara kedua adalah mengurangi jumlah kendaraan bermotor di jalan


dengan cara meningkatkan bea balik nama kendaraan bermotor
disesuaikan dengan laju pembelian atas moda transportasinya.
Misalnya moda transportasi motor dan beberapa mobil dengan
harga tertentu. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk mencegah
pemilik kendaraan bermotor berpindah dan/atau mengganti
dan/atau menambah kendaraannya.

Selanjutnya menurut studi yang dilakukan di beberapa kota di


Amerika oleh Auchincloss, dkk (2015), terdapat hubungan positif
antara tarif parkir dan penggunaan transportasi publik di kota-kota
besar. Peningkatan tarif parkir yang dilakukan pada tempat parkir
publik yang dekat dengan kantor dapat membuat masyarakat
memilih menggunakan kendaraan umum dibandingkan
menggunakan kendaraan pribadi. Dalam kasus DKI Jakarta, hal ini
sulit diimplementasikan karena tidak cukup tersedia lahan parkir
yang dikelola oleh pemerintah. Mayoritas lahan parkir di Jakarta
dikelola secara mandiri oleh kantor ataupun pihak penyedia
bangunan.

4. Kebijakan Undang-Undang DASAR HUKUM DAN KEBIJAKAN TERDAHULU


penyelenggaraan Nomor 28 Tahun Di DKI Jakarta, dasar hukum pemajakan reklame terdapat dalam
reklame dan 2009 tentang Pajak Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor
Pajak Reklame Daerah dan Retribusi 12 Tahun 2011 tentang Pajak Reklame. Tarif untuk pajak reklame
dengan tetap Daerah DKI Jakarta adalah sebesar 25%. Dasar pengenaan pajak reklame
mengutamakan adalah nilai sewa reklame (NSR). Apabila penyelenggaraan
estetika kota dan Peraturan Daerah reklame dilaksanakan oleh pihak ketiga maka NSR ditetapkan
optimalisasi Nomor 12 Tahun berdasarkan nilai kontrak reklame, dan apabila penyelenggaraan
Pendapatan Asli 2011 Tentang Pajak reklame dilaksanakan sendiri, pajak reklame dihitung dengan
Daerah secara Reklame memperhatikan beberapa faktor, yaitu:
bersamaan (1) jenis reklame,
(2) bahan yang digunakan,
(3) lokasi penempatan,
(4) waktu,
(5) jangka waktu penyelenggaraan,
(6) jumlah, dan
(7) ukuran media reklame.

Pada tahun 2014, pemerintah DKI Jakarta melakukan penyesuaian


terhadap NSR melalui Peraturan Gubernur Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Nomor 27 tahun 2014. Pergub ini
berisikan mengenai penyesuaian NSR yang mengalami kenaikan
hingga 400% dari sebelumnya. Diatur juga mengenai jenis
reklame produk dan non produk dan terdapat pemisahan
perhitungan reklame yang berjenis LED. Pada dasarnya, kenaikan
NSR yang telah dilakukan pemerintah DKI Jakarta merupakan
sebuah langkah yang tepat untuk memfungsikan pajak tidak hanya
sebagai ​budgetair ​tetapi juga ​regulerend.​ Dengan naiknya NSR,
diharapkan para penyelenggara reklame lebih bijak dan tertib
dalam melaksanakan penyelenggaraan reklame. Namun, di
lapangan terdapat beberapa masalah yang dihadapi.

ANALISIS MASALAH
Salah satu kelemahan administrasi yang menghambat pemungutan
pajak yang optimal adalah dalam pendataan jumlah reklame yang
terpasang. Berdasarkan data yang diambil dari Dinas Pelayanan
Pajak DKI Jakarta tahun 2016, jumlah reklame di Jakarta sudah
mencapai 1 juta lebih, namun yang terdaftar hanya sekitar
150.000. Semakin sulit objek pajak dideteksi, maka kepatuhan
pajak semakin rendah. Salah satu masalah yang menyebabkan
penerimaan pajak reklame adalah masih rendahnya tingkat
kesadaran pemasang reklame sebagai wajib pajak reklame untuk
mendaftarkan reklamenya agar mendapatkan izin, serta untuk
memperpanjang izin reklame bagi reklame yang sudah habis izin
pemasangannya. Kesadaran pemasang reklame amatlah penting
karena pajak reklame ditetapkan dengan sistem ​official assesment​,
yaitu wajib pajak memasukkan data melalui surat permohonan
penyelenggaraan reklame dan setelah melalui pemeriksaan
lapangan berdasarkan data yang ada, kemudian ditetapkanlah
besarnya pajak.

SOLUSI PENYELENGGARAAN KEBIJAKAN


Yang dapat ditingkatkan oleh pemerintah DKI Jakarta adalah dari
segi pendeteksian, yaitu dengan mengoptimalkan pemeriksaan di
lapangan. Salah satu contohnya adalah ketika menemukan
reklame yang pajaknya belum dibayar, pemeriksa dapat memberi
peringatan dengan menempelkan plang bertuliskan "reklame ini
belum membayar pajak", atau melakukan pencopotan secara
paksa. Kerjasama dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol) PP
sebagai aparat penegak peraturan daerah (Perda) juga harus
ditingkatkan untuk menegakkan aturan yang berlaku.
Namun penyelesaian masalah juga harus sampai ke
akarnya. Pasalnya, banyak reklame yang dipasang di daerah yang
merupakan kawasan kendali ketat yang mempunyai izin. Padahal,
daerah tersebut seharusnya tidak boleh ada reklame. Adanya izin
di daerah yang seharusnya bebas reklame menunjukkan bahwa
terdapat pemberian izin yang melanggar aturan, atau terdapat
kemungkinan terdapat oknum internal pemerintah yang
memberikan izin secara ilegal. Dengan demikian, pembenahan
administrasi dalam hal pemberian izin juga harus dilakukan untuk
mencegah adanya penyelenggaraan reklame secara ilegal.
Penolakan pemberian izin juga harus ditegaskan apabila tempat
pemasangan reklame dirasa mengganggu estetika perkotaan.

5. Optimalisasi - Undang-Undang DKI Jakarta perlu untuk memiliki sumber pendanaan daerah yang
penerimaan Nomor 28 Tahun reliabel dan besar untuk dapat mewujudkan visi dan misi DKI
daerah (Pajak 2009 tentang Jakarta yaitu “Jakarta Kota Maju, Lestari, Berbudaya, Keadilan
Hotel, Restoran, Pajak Daerah dan dan Kesejahteraan bagi semua”. Sumber pendanaan daerah
Hiburan, PBB, Retribusi Daerah tersebut dapat dilakukan dengan optimalisasi penerimaan pajak
dan BPHTB) - Peraturan Daerah daerah. Optimalisasi pajak daerah dapat dilakukan yaitu dengan
melalui kegiatan Nomor 11 Tahun ekstensifikasi dan intensifikasi pajak daerah.
Intensifikasi dan 2011 tentang
Ekstensifikasi Pajak Restoran Ekstensifikasi Pajak Daerah DKI Jakarta
- 1. Untuk pajak hotel dapat dilakukan dengan mencari
informasi mengenai para pelaku hotel di DKI Jakarta.
Pencarian informasi ini dapat dilakukan dengan bekerja
sama dengan aplikasi pencarian hotel, kamar kos
apartemen, maupun penginapan lainnya;
2. Pencarian informasi juga dapat dilakukan untuk Pajak
Restoran dengan melihat pada aplikasi pencarian restoran
yang ada di DKI Jakarta dan mencocokkannya pada
database pajak daerah milik DKI Jakarta;
3. Otoritas pajak daerah DKI Jakarta harus terus melakukan
sosialisasi sebagai upaya persuasif agar para pelaku yang
belum melaksanakan kewajiban perpajakannya dapat
tercipta ​self-awareness​ pada diri masing-masing;
4. Selain melalui cara persuasif, otoritas pajak DKI Jakarta
juga harus mempersiapkan upaya represif bagi Wajib Pajak
yang masih belum melaksanakan kewajiban perpajakan
daerahnya meskipun telah dilakukan sosialisasi. Upaya ini
dapat menjadi upaya terakhir untuk dapat menimbulkan
deterrent effect b​ agi para Wajib Pajak “nakal”.

Intensifikasi Pajak Daerah DKI Jakarta


1. Melakukan sosialisasi dan pembinaan kepada Wajib Pajak
daerah yang telah melaksanakan kewajiban perpajakan
daerahnya untuk terus patuh pada ketentuan pajak daerah
yang berlaku di DKI Jakarta;
2. Melakukan pengawasan aktif pada pemenuhan kewajiban
perpajakan daerah oleh Wajib Pajak daerah dengan
melakukan pemeriksaan kepada Wajib Pajak serta
memberlakukan sanksi sebagaimana seharusnya;
3. Perbaikan kualitas pelayanan untuk meningkatkan
kredibilitas Pemerintah Daerah sehingga dapat
menimbulkan kepercayaan dari wajib pajak mengenai
kapabilitas dari Pemerintah Daerah sendiri dalam
melaksanakan tugasnya;
4. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam
otoritas pajak daerah DKI Jakarta sehingga dapat
melaksanakan pemungutan pajak daerah yang optimal;
5. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi dari administrasi
pajak agar compliance costs yang perlu dikeluarkan, baik
untuk pemerintah daerah maupun wajib pajak dapat
diminimalisasi sehingga dapat meningkatkan tingkat
kepatuhan;
6. Untuk dapat meningkatkan dari sisi ​revenue productivity
cara yang dapat ditempuh adalah dengan meningkatkan
tarif pajak. Namun untuk dapat meningkatkan tarif pajak
daerah diperlukan kajian lebih lanjut mengenai
dampak-dampak apa saja yang mungkin terjadi jika tarif
pajak daerah benar-benar dilakukan.

6. Peningkatan - Pasal 80 ayat (1) 1. Menaikkan Rentang Tarif Progresif Pada NJOP Atas
kesejahteraan dan Undang-Undang Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
keadilan Republik 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Tarif
masyarakat Indonesia Nomor Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan
melalui kebijakan 28 tahun 2009 paling tinggi sebesar 0,3% (nol koma tiga persen). Kemudian,
pemungutan tentang Pajak Pemerintah Provinsi Gubernur DKI Jakarta dalam Pasal 6
pajak PBB dan Daerah dan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor
BPHTB Retribusi Daerah 16 tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
- Pasal 6 Peraturan Perkotaan, mengatur tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan
Daerah Provinsi dan Perkotaan sebagaimana diatur berikut:
Daerah Khusus “​Pasal 6
Ibukota Jakarta Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
Nomor 16 tahun ditetapkan sebagai berikut :
2011 tentang a. Tarif 0,01% (nol koma nol satu persen) untuk Nilai Jual
Pajak Bumi dan Objek Pajak Tanah dan/atau Bangunan kurang dari
Bangunan Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah);
Perdesaan dan b. Tarif 0,1% (nol koma satu persen) untuk Nilai Jual Objek
Perkotaan Pajak Tanah dan/atau Bangunan Rp.200.000.000,- (dua
- Pasal 77 ayat (4) ratus juta rupiah) sampai dengan kurang dari
Undang-Undang Rp.2.000.000.000. (dua miliar rupiah);
Republik c. Tarif 0,2% (nol koma dua persen) untuk Nilai Jual Objek
Indonesia Nomor Pajak Tanah dan/atau Bangunan Rp.2.000.000.000.- (dua
28 tahun 2009 miliar rupiah) sampai dengan kurang dari
tentang Pajak Rp.10.000.000.000.- (sepuluh miliar rupiah);
Daerah dan d. Tarif 0,3% (nol koma tiga persen) untuk Nilai Jual Objek
Retribusi Daerah Pajak Tanah dan/atau Bangunan Rp.10.000.000.000,-
- Pasal 95 ayat (4) (sepuluh miliar rupiah) atau lebih.”​
huruf a. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang, tarif yang
Undang-Undang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah sudah sesuai yaitu paling tinggi
Republik 0,3%, sehingga sudah tidak bisa meningkatkan tarif lebih besar
Indonesia Nomor dari angka tersebut. Namun, pemda DKI Jakarta dapat mengatur
28 tahun 2009 skema tarif progresif yang mencerminkan keadilan dan
tentang Pajak kesejahteraan. Seiring dengan semakin meningkatnya Nilai Jual
Daerah dan Objek Pajak Tanah dan/atau Bangunan, maka seharusnya
Retribusi Daerah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bisa menerapkan perlakuan
- Pasal 5 ayat (7), pemajakan yang merefleksikan keadilan demi kesejahteraan
(8) dan (9) dengan menaikkan dasar tarif progresif atas PBB-P2. Peningkatan
Peraturan Daerah nilai batas layer pada tarif progresif tersebut akan bertambah beban
Provinsi Daerah pajak bagi Wajib Pajak yang memiliki aset dengan nilai jual objek
Khusus Ibukota pajak tanah yang semakin tinggi nilainya, seiring dengan keadilan
Jakarta Nomor 18 dan demi penerimaan PBB-P2 yang dapat meningkatkan
tahun 2010 kesejahteraan masyarakat.
tentang Bea Pasal 77 ayat (4) Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi
Perolehan Hak Daerah juga mengatur bahwa besarnya Nilai Jual Objek Pajak
Atas Tanah dan Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp10.000.000
Bangunan (sepuluh juta rupiah). Kemudian dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan
- Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 16 tahun
Gubernur DKI 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan,
Jakarta Nomor diatur yaitu:
193 Tahun 2016 “​Pasal 4
tentang (2) Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak
Pembebasan (NJOPTKP) ditetapkan sebesar Rp15.000.000 (lima belas juta
100% (seratus rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.”
persen) atas Bea
Perolehan Hak Berdasarkan peraturan tersebut, maka pemerintah daerah DKI
Atas tanah dan Jakarta telah menetapkan peraturan yang sesuai dengan apa yang
Bangunan Karena diatur dalam UU PDRD yaitu paling rendah Rp10.000.000. Maka,
Jual Beli atau untuk memberikan perlakukan pemajakan PBB-P2 yang
Pemberian Hak mencerminkan nilai keadilan guna mewujudkan kesejahteraan,
Baru Pertama Kali Pemda Provinsi DKI Jakarta dapat meningkatkan besarnya nilai
dan/atau jual objek pajak tidak kena pajak. Hal tersebut seiring dengan
Pengenaan meningkatkan Nilai Jual Objek Pajak. Maka, Wajib Pajak yang
Sebesar 0% (nol berekonomi bawah dapat merasakan keadilan dengan semakin
persen) Bea tingginya besar NJOPTKP.
Perolehan Hak
Atas Tanah dan 2. Pembebasan PBB-P2 atas Beberapa Profesi
Bangunan Karena Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta telah
Peristiwa Waris memberikan sebuah insentif pajak bagi beberapa pihak sebagai
Atau Hibah bentuk penghargaan atas jasa-jasa perjuangan dan pengabdian
Wasiat Dengan yang telah diberikan kepada bangsa dan negara. Insentif pajak
Nilai Jual Objek diberikan dalam bentuk pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan
Pajak Sampai Perdesaan dan Perkotaan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Dengan Rp. Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 42
2.000.000.000.- tahun 2019 tentang “Pembebasan Pajak Bumi dan bangunan
(Dua Miliar Perdesaan dan Perkotaan Kepada Guru dan Tenaga Kependidikan,
Rupiah) Dosen dan Tenaga Kependidikan Perguruan Tinggi, Veteran
Republik Indonesia, Perintis Kemerdekaan, Penerima Gelar
Pahlawan Nasional, Penerima Tanda Kehormatan, Mantan
Presiden dan Mantan Wakil Presiden, Mantan Gubernur dan
Mantan Wakil Gubernur, Purnawirawan Tentara Nasional
Indonesia/Kepolisian Republik Indonesia dan Pensiunan Pegawai
Negeri Sipil”.
Insentif PBB-P2 nya berbentuk pembebasan seluruhnya
sebesar 100% atas PBB-P2 yang terutang. Wajib Pajak yang
berhak diberikan pembebasan tersebut yaitu:
1. Orang pribadi yang berprofesi sebagai Guru dan Tenaga
Kependidikan dan/atau Dosen dan Tenaga Kependidikan
Perguruan Tinggi, termasuk pensiunannya;
2. Orang pribadi yang merupakan Veteran dan Perintis
Kemerdekaan;
3. Orang pribadi penerima gelar Pahlawan Nasional;
4. Orang pribadi penerima Tanda Kehormatan berupa Bintang
dari Presiden Republik Indonesia;
5. Orang pribadi mantan Presiden dan mantan Wakil
Presiden, mantan Gubernur dan mantan Wakil Gubernur;
6. Orang pribadi Purnawirawan; dan/atau
7. Orang pribadi Pensiunan.

Dalam Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 42


Tahun 2019 tersebut, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan
memperluas fasilitas pembebasan PBB-P2 ke orang pribadi yang
berprofesi sebagai guru dan tenaga kependidikan dan/atau dosen
dan tenaga kependidikan perguruan tinggi, termasuk
pensiunannya.
Pasal 95 ayat (4) huruf a. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
mengatur:
“​Pasal 95
(4) Peraturan Daerah tentang Pajak dapat juga mengatur
ketentuan mengenai:
a. pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam
hal-hal tertentu atas pokok pajak dan/atau sanksinya;”

Berdasarkan aturan tersebut, maka Gubernur DKI Jakarta Anies


Baswedan berwenang untuk memberikan pengurangan jika kondisi
subjektif (wajib pajak tidak mampu membayar) dan kondisi
objektif (objek pajak mengalami bencana alam, dll). Secara
substansi, aturan baru tersebut dinilai lebih baik karena
cakupannya lebih luas karena juga dijelaskan mengenai sampai
berapa tingkat keturunan yang bisa menikmati fasilitas tersebut.
Meskipun pemerintah daerah DKI Jakarta kehilangan potensi
penerimaan dari pemberian fasilitas tersebut, pemerintah daerah
DKI Jakarta masih memiliki sumber penerimaan lain yang lebih
besar yaitu PBB-P2 dari sektor komersial. Terlebih, fungsi pajak
tidak sekedar untuk mengeruk penerimaan, namun juga untuk
kesejahteraan melalui pemberian fasilitas pembebasan.
Hal tersebut sejalan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
82 tahun 2017 tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan
Bangunan. Dalam PMK No. 82 tahun 2017 tersebut diatur bahwa
bagi wajib pajak yang tidak mampu atau dalam kondisi tertentu
tetap dapat menerima fasilitas keringanan sebagian PBB. Dalam
PMK 82 tahun 2017 tersebut pengurangan PBB sebesar paling
tinggi 75 persen dari PBB yang terutang dapat diberikan dalam hal
kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek
pajak atau sebesar paling tinggi 100 persen dari PBB yang terutang
dalam hal objek pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang
luar biasa.
Perlu diperhatikan pula bahwa PBB merupakan pajak atas
aset, bukan merupakan pajak atas penghasilan. Hal tersebut berarti
pembebasan yang didasarkan pada profesi maka akan
menimbulkan permasalahan mengenai profesi yang pasti secara
langsung akan berpengaruh pada penghasilan, tetapi belum tentu
selaras dengan aset. Karenanya, suatu hal yang langka ditemui
adanya kebijakan insentif PBB-P2 yang berbasis profesi. Namun,
hal ini merupakan hal yang sah untuk diterapkan oleh pemerintah
daerah DKI Jakarta.
Namun, tantangannya atas pelaksanaan insentif pembebasan
pajak tersebut adalah akan adanya permasalahan yaitu akan cukup
rumit secara administrasi. Kebijakan pembebasan PBB-P2 ini
memerlukan ketersediaan data yang andal mengenai profesi
penduduk DKI Jakarta yang bisa menangkap pola perubahan
profesi. Selain itu, Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta juga
harus menyiapkan administrasi pengawasannya. Oleh karena itu,
untuk mewujudkan keadilan atas pemberian insentif PBB-P2 ini,
Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta harus mempunyai basis
data yang lengkap dan pengawasan yang menyeluruh untuk
menghindari pemanfaatan fasilitas insentif oleh pihak yang tidak
berhak.
Selain itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat memperluas
basis profesi yang dinilai layak untuk diberikan pembebasan
PBB-P2 yang mana kebijakan tersebut dapat mencerminkan nilai
pemungutan pajak berdasarkan keadilan guna mewujudkan
kesejahteraan.

3. Peningkatan Besarnya NPOPTKP


Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (7), (8) dan (9) Peraturan
Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 18 tahun
2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, diatur
yaitu:
“​Pasal 5
(7) Besarnya Nilai Peroleh Objek Pajak Tidak Kena Pajak
ditetapkan sebesar Rp80.000.000 (delapan puluh juta rupiah)
(8) Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang
diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau
satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris
termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak ditetapkan sebesar Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima
puluh juta rupiah).
(9) Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
(NPOPTKP) sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8)
dapat ditinjau atau dievaluasi kembali setiap tahun dengan
Peraturan Gubernur setelah mendapat persetujuan DPRD.​”

Seiring dengan semakin naiknya Nilai Perolehan Objek Pajak,


maka untuk mewujudkan kebijakan pajak yang mencerminkan
keadilan demi terwujudnya kesejahteraan, Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta setelah mendapat persetujuan DPRD pada tahun
setiap tahun melalui Peraturan Gubernur dapat mengevaluasi
NPOPTKP dengan cara meningkatkan NPOPTKP.

4. Pembebasan BPHTB
Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI
Jakarta) melalui Peraturan Gubernur Nomor 193 Tahun 2016 telah
mengatur mengenai pembebasan 100% atas Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) karena jual beli atau
pemberian hak baru pertama kali dan/atau pengenaan sebesar 0%
BPHTB karena peristiwa waris atau hibah wasiat dengan nilai jual
objek pajak sampai dengan Rp 2.000.000.000,00. Kemudian dalam
rangka penyempurnaan dan percepatan pelayanan Peraturan
Gubernur tersebut, maka diterbitkan Peraturan Gubernur Nomor
126 Tahun 2017 mengenai pengenaan 0% atas BPHTB terhadap
perolehan hak pertama kali. Dengan terbitnya ketentuan ini,
Peraturan Gubernur Nomor 193 Tahun 2016 dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku
Pengenaan tarif BPHTB 0% diberikan terhadap perolehan hak
untuk pertama kali yang meliputi, pemindahan hak dan pemberian
hak baru. Pemindahan hak ini dapat berupa transaksi jual-beli,
hibah, hibah wasiat atau waris. Sedangkan dalam pemberian hak
baru meliputi kelanjutan pelepasan hak baru atau di luar pelepasan
hak. Pengenaan 0% ini diberikan kepada :
a. hanya untuk Wajib Pajak Orang Pribadi;
b. untuk pertama kali perolehan hak karena pemindahan hak
atau pemberian hak baru; dan
c. dengan NPOP sampai dengan Rp 2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah).

Artinya pengenaan BPHTB ini hanya berlaku kepada Wajib


Pajak Orang Pribadi yang baru pertama kali memperoleh
pemindahan hak atau pemberian hak baru berupa tanah dan/atau
bangunan dengan NPOP sampai dengan Rp 2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah). Wajib Pajak Orang Pribadi ini hanya berlaku bagi
Warga Negara Indonesia yang berdomisili di Provinsi DKI Jakarta
paling sedikit selama 2 (dua) tahun berturut-turut, berdasarkan
Kartu Tanda Penduduk Daerah atau Kartu Keluarga atau surat
keterangan domisili dari pejabat yang berwenang.
Seiring dengan semakin meningkatnya Nilai Jual Objek Pajak,
maka perlu dilakukan penelitian komprehensif oleh Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta untuk memberikan kebijakan pembebasan
BPHTB secara progresif. Pembebasan BPHTB secara progresif
tersebut diberikan untuk mewujudkan keadilan demi kesejahteraan
masyarakat. Bentuk progresifnya adalah menyesuaikan dengan
peningkatan NJOP, maka dapat diberikan pembebasan progresif
yaitu seperti pembebasan sebesar 100%, 75%, 50% atau 25%
sesuai dengan NJOP yang dinilai oleh Pemda Provinsi DKI Jakarta
dapat mewujudkan keadilan.

7. Susun analisa - Peraturan Tax Clearance


sebagai masukan Direktur Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak
kepada DKI Jenderal Nomor PER-03/PJ/2019 Tentang Tata Cara Pemberian Surat
Jakarta dalam Pajak Nomor Keterangan Fiskal yang dimaksud dengan Surat Keterangan Fiskal
optimalisasi PER-03/PJ/20 atau ​Tax Clearance a​ dalah informasi yang diberikan oleh
penerimaan 19 Tentang Direktorat Jenderal Pajak mengenai kepatuhan Wajib Pajak selama
daerah melalui Tata Cara periode tertentu untuk memenuhi persyaratan memperoleh
program ​Tax Pemberian pelayanan atau dalam rangka pelaksanaan kegiatan tertentu.
Clearence, Fiscal Surat
Kadaster, Law Keterangan Menurut Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD)
Enforcement​, dan Fiskal Provinsi DKI Jakarta, Faisal Syafrudin mengatakan ada lima
Pemanfaatan - Peraturan langkah yang dilakukannya untuk mengoptimalisasi penerimaan
Teknologi Gubernur daerah dari sektor pajak daerah. Langkah pertama yang dilakukan
Informasi Provinsi adalah melalui program ​Tax Clearance.
Daerah
Khusus Upaya Optimalisasi :
Ibukota Yaitu integrasi perizinan usaha dalam bentuk ​tax clearance bekerja
Jakarta sama dengan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu
Nomor 47 Satu Pintu (PM-PTSP) Provinsi DKI Jakarta dan juga dilakukan
Tahun 2019 online pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Tentang (BPHTB) dengan Badan Pertanahan. ​Tax Clearance i​ ni sebagai
Pemenuhan salah satu cara agar warga dapat mengetahui apakah dirinya
Kewajiban tercatat memiliki tunggakan pajak atau tidak. Biasanya warga yang
Pajak Daerah ingin mengurus izin akan mendatangi Kantor Pelayanan Terpadu
Dari Satu Pintu (PTSP) untuk mengetahui apakah dirinya memiliki
Pemohon Izin tunggakan pajak atau tidak. Dalam hal ini antara pajak dan PTSP
dan Pemohon itu sudah ​connect.​ Oleh karena itu, jika saat proses pengurusan
Pelayanan izin di PTSP individu yang bersangkutan memiliki tunggakan,
Perpajakan maka harus dilunasi terlebih dahulu agar proses perizinan dapat
Daerah. dilanjutkan. Perizinan usaha di PTSP akan ditunda sampai
pembayaran pajak lunas.

Hal ini telah diatur di dalam ​Pasal 2 ayat (1) Peraturan Gubernur
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta ​Nomor 47 Tahun 2019
Tentang Pemenuhan Kewajiban Pajak Daerah Dari Pemohon Izin
dan Pemohon Pelayanan Perpajakan Daerah yang berbunyi
“Setiap pemohon Perizinan pada Perangkat Daerah yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang penanaman
modal dan penyelenggaraan pelayanan perizinan dan non
perizinan, ​wajib melakukan Pemenuhan Kewajiban Pajak
Daerah” ​ . S
​ ementara ​Pasal 5 PerGub ini juga mengatur tentang
sanksi administrasinya yang berbunyi ​“Setiap pemohon Perizinan
yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa ​tidak diberikan
Pelayanan Perizinan selama pemohon belum melakukan
Pemenuhan Kewajiban Pajak Daerah​”. Jika kebijakan ​Tax
Clearance ​ini dapat dilaksanakan sesuai peraturan yang ada serta
adanya pengawasan yang baik dari pemerintah provinsi DKI
Jakarta maka untuk kedepannya diharapkan penerimaan daerah
menjadi optimal optimal.

Fiscal Kadaster
Langkah Kedua optimalisasi Penerimaan Daerah Provinsi DKI
Jakarta yaitu melalui ​Fiscal Kadaster ​atau pemetaan potensi pajak.
Pemetaan ini ditujukan untuk mendata objek pajak yang baru atau
lama di wilayah, pendaftaran objek dan wajib pajak baru, dan
pemutakhiran data objek pajak. Pemetaan potensi pajak ini
ditujukan agar seluruh objek dan wajib pajak dapat secara
keseluruhan dipungut pajaknya sehingga tidak ada wajib pajak
yang dapat menghindari pajak atau objek yang belum digali
potensi pajaknya sehingga pemungutan pajak dapat didapatkan
secara optimal. Program ini dapat ditambahkan dengan melakukan
pendataan tidak hanya objek dan wajib pajak, namun juga
melakukan pendataan kepada subjek pajak yang berpotensi
nantinya menjadi wajib pajak. Hal ini dilakukan agar nantinya
pendaftaran akan wajib pajak baru dapat dilakukan dengan mudah
dan cepat karena sudah ada data subjek pajak terlebih dahulu.

Dalam hal ini, BPRD Provinsi DKI Jakarta telah menandatangani


Rencana Aksi Optimalisasi Penerimaan Daerah bersama KPK
pada 2017. Sampai sekarang yang telah dilakukan adalah
membangun sistem Fiscal Kadaster, yakni mencermati dan
mendata aset-aset yang signifikan dimiliki wajib pajak seperti
jumlah kendaraan yang dimiliki, air, tanah, dan sebagainya. Fiscal
Kadaster juga dilaksanakan dengan Asian Development Bank
(ADB)

Law Enforcement
Program ​law enforcement atau penegakan hukum atau peraturan
perpajakan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta
untuk mengoptimalisasi penerimaan daerah. Penegakan hukum
atau peraturan perpajakan dapat dilakukan dengan mempertegas
sanksi serta meningkatkan pengawasan atau pemeriksaan oleh
petugas pajak untuk memaksimalkan pendapatan daerah. Pada
dasarnya, pemerintah berupaya untuk meningkatkan ​tax
compliance ​Wajib Pajak, yang mana penegakan hukum merupakan
salah satu upaya untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak
selain itu juga memberikan keadilan bagi Wajib Pajak yang telah
patuh.
Pemerintah Daerah, termasuk DKI Jakarta tentu saja ingin
mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), yakni melalui
pajak daerah. Salah satu pajak daerah yang dapat dioptimalkan
dengan ​law enforcement ​adalah PKB atau Pajak Kendaraan
Bermotor. Seperti yang pernah dilakukan oleh Badan Pajak dan
Retribusi Daerah (BPRD), upaya ​law enforcement ​yang dilakukan
ialah melakukan kerjasama dengan pihak Dirlantas Polda Metro
Jaya dan KPK untuk melakukan razia dan mendampingi proses
pemanggilan Wajib Pajak yang ditemukan menunggak pajak yang
seharusnya disetorkan ke Pemerintah Daerah, yang mana juga
dilakukan penempelan stiker dan tanda atau plang pada objek
pajak (dalam hal ini kendaraan bermotor) yang belum dilunasi
hutang pajaknya tersebut. Pada hakikatnya pemberian stiker atau
tanda (plang) pada objek pajak yang belum dilunasi pajak
terutangnya dapat dilakukan juga terhadap objek-objek pajak
lainnya, misalnya apabila belum membayar PBB-P2 tanah atau
bangunan (sebagai objek pajak) dapat diberi tanda atau plang.

Atas pajak daerah yang menganut sistem ​self assesment,​


pemerintah perlu melakukan pengawasan yang lebih ketat. Selain
itu, upaya razia yang dilakukan harus dilakukan berkesinambungan
(terus-menerus) atau tidak hanya sekali saja, melainkan menjadi
agenda rutin serta dengan memberikan sanksi sesuai dengan
peraturan yang ditetapkan. Pemerintah juga dapat melakukan turun
lapangan atau terjun ke lapangan untuk menagih pajak yang
terutang. Selain itu, untuk pajak daerah yang menganut sistem
official assesment pemerintah perlu untuk melakukan penagihan
pajak seoptimal mungkin. Pemerintah daerah dapat melakukan
kerjasama dengan Kepala Desa, Ketua RT, atau Ketua RW untuk
memudahkan pemungutan pajak dari Wajib Pajak di tingkat desa
atau RT/RW. Penerbitan Surat Paksa kepada Wajib Pajak yang
menunggak pajak serta memberi hukuman tegas seperti melakukan
penyitaan atau pencabutan izin juga dapat dilakukan sebagai upaya
penegakan hukum guna memaksimalkan pendapatan daerah.

Pemanfaatan Teknologi Informasi


Dalam upaya mengoptimalisasikan penerimaan daerah, selain
dengan melakukan penegakan hukum dapat memanfaatkan
perkembangan teknologi yang pada era ini terus berkembang
pesat. Pemerintah dapat mengakses data mengenai Wajib Pajak,
objek pajak yang dimiliki, serta pajak terutang yang belum
maupun sudah dilunasi melalui perkembangan teknologi dan
informatika tersebut. Pada hakikatnya, dengan berkembangnya
teknologi dan informasi, pemerintah dapat mengakses, meminta,
serta mengirim data kepada pihak-pihak yang dapat membantu
pengoptimalisasian penerimaan daerah tersebut.

BPRD dapat bekerjasama dengan Polda untuk mendata Wajib


Pajak atas kendaraan bermotor yakni atas nama kepemilikan serta
nomor polisi kendaraan yang dimiliki oleh Wajib Pajak. Dari data
tersebut, pemerintah dapat melacak serta menandai Wajib Pajak
yang belum membayarkan pajak terutangnya dan dapat ditagih
secara langsung. Selain itu melalui kamera CCTV atau kamera
pengawas yang ada di jalan dapat memudahkan pelacakan nomor
polisi atau keberadaan kendaraan tersebut. Selain itu BPRD juga
dapat bekerjasama dengan pihak ​retail online ​atau ​online platform
seperti tokopedia, traveloka, dan lain sebagainya untuk membuka
opsi pembayaran pajak daerah melalui aplikasi tersebut untuk
memudahkan administratif perpajakan agar lebih efektif dan
efisien. BPRD dapat bekerjasama dengan bank sehingga BPRD
juga mendapat informasi mengenai transaksi yang merupakan
objek pajak sehingga dapat dikenakan dan ditagih oleh pemerintah
daerah.

Pemerintah daerah dapat melakukan sosialisasi setidaknya kepada


kepala daerah atau Lurah atau Ketua RW maupun Ketua RT
tentang pemanfaatan digitalisasi atau penggunaan aplikasi guna
memudahkan administratif dalam membayar pajak, setidaknya
untuk pajak yang memiliki sistem pemungutan ​official assesment
system seperti PBB-P2 yang mana SPPT PBB-P2 itu sendiri
disebarkan oleh Ketua RT/RW kepada masing-masing Wajib
Pajak.

8. Mengoptimalkan - Undang-Undang Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang


penerimaan Nomor 33 Tahun Perimbangan Keuangan (selanjutnya disebut UU Perimbangan
daerah melalui 2004 tentang Keuangan) dan Pasal 1 angka 23 Peraturan Pemerintah Nomor 55
Dana Perimbangan
Perimbangan Keuangan Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan (selanjutnya disebut
yang bersumber - Peraturan PP-55) menyebutkan bahwa
dari DAU Pemerintah Nomor
55 Tahun 2005 “​Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang
tentang Dana bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan
Perimbangan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
Desentralisasi.​”

Menurut Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK),


DAU bersifat ​Block Grant yang berarti penggunaannya diserahkan
kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk
peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
pelaksanaan otonomi daerah.

Lebih lanjut, DJPK juga menjelaskan terkait alokasi DAU sebagai


berikut:
1. DAU dialokasikan untuk daerah provinsi dan
kabupaten/kota.
2. Besaran DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari
Pendapatan Dalam Negeri (PDN) Netto yang ditetapkan
dalam APBN.
3. Proporsi DAU untuk daerah provinsi dan untuk daerah
kabupaten/kota ditetapkan sesuai dengan imbangan
kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota.
DAU kemudian dibagi sebagai berikut:

DAU = AD + CF
*CF = KbF - KpF
*CF = CF daerah : total CF nasional

Upaya Optimalisasi
1. Intensifikasi DAU melalui penghitungan potensi dengan
penyusunan sistem informasi basis data potensi. Efektivitas
dan efisiensi DAU diperlukan untuk meningkatkan
produktivitas penerimaan daerah. Estimasi potensi
dilakukan melalui penyusunan basis data yang dibentuk
dan disusun dari variabel-variabel yang merefleksikan
DAU, sehingga dapat menggambarkan kondisi potensi dari
DAU.
2. Analisis kebutuhan DAU dalam Alokasi Dasar dan Celah
Fiskal. Analisis kebutuhan ini akan berpengaruh untuk
mengetahui besarnya porsi setiap sektor yang
membutuhkan peran DAU secara lebih maksimal dan adil.
3. Analisis kekurangan serta kelebihan perbandingan alokasi
DAU dalam penerimaan daerah.
4. Pembuatan laporan spesifik peran DAU di suatu daerah
serta menunjukkan potensinya dalam peningkatan
kesejahteraan daerah, kemudian menyampaikan laporan
tersebut kepada Menteri Keuangan. Laporan ini juga perlu
menjelaskan bahwa peraturan daerah suatu daerah tidak
bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan
yang lebih tinggi. Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya
antisipasi pemotongan DAU kepada suatu daerah oleh
Pemerintah.
Referensi: ​http://www.djpk.kemenkeu.go.id/wp-content/uploads/2016/01/DAU.pdf

https://media.neliti.com/media/publications/8833-ID-optimalisasi-penerimaan-daerah-di-dalam-peningkatan-kemampuan-keuangan-daerah-ko.p
df

https://jdih.jakarta.go.id/uploads/default/produkhukum/PERGUB_NO._47_TAHUN_2019.pdf

https://www.inews.id/news/megapolitan/dki-beri-keringanan-pajak-daerah-bagi-warga-tapi-ada-sanksi-kepada-pelanggar

https://bprd.jakarta.go.id/2019/09/17/program-keringanan-pajak-daerah-2019/

http://www.klinikpajak.co.id/berita+detail/?id=berita+pajak+-+pemprov+dki+terapkan+lima+langkah+optimalisasi+penerimaan+pajak

https://www.ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=16621

Pertanyaan
1. Aidina Amanda: Bagaimana aspek perpajakan atas reklame berjalan? Kan suka ada iklan di mobil
2. Baeti: No.2 terkait kewenangan yang masi ada di, mulai 1 januari 2014 dikasih ke daerah, p3 masi di pusat. Gimana menurut kalian
kalo pbb p3 ke daerah
3. Averus: pbbp2 rencana pemindahan ibukota, penerimaan potensi daerah di DKI, ketika ada pemindahan ibukota, apa yang menjadi titik
terberat dari pemprov DKI dari proses pemindahan, dari rumah dinas bagaimana kelanjutannya?
Kelas B
1. Abel: saran, point no.3 ada yang belom dibahas, peraturan daerah no 5 tentang transportasi diatur bahwa, melihat kebijakan
transportasi masih manajemen kendararaan, bukan mengurangi penggunnaan kendaraan. Maka dari itu perlu memasukan peraturan
no 5 tahun 2014, usia lebih dari 10 tahun ga boleh berjalan lagi, masih buat angkutan umum belum pribadi.
2. Kebijakan, singapure mampu managemen kendaraan, di indonesia belum ada peraturan terkait volume kendaraan yang terus
bertumbuh
3. Saran peraturan mentri, koefisien motor bisa lebih tinggi dibandingkan motor atau mobil, perhitugnan PKB
4. Masayu: seberapa yakin pemindahan ibukota dapat mengurangi kemacetan di jakarta, skema tukar guling, gedung gedung akan
disewakan untuk menambahkan penerimaan pemerintah, seberapa efektif
5. Tiara Alyska: menanya PKB, acin salah satu upaya dari pemerintah, dengan meningkatkan tarif PKB, di Jakarta udah maksimal, udah
ada batasan maksimal tarif PKB, gimana caranya untuk menanggulangi kemacetan selain dengan meningkatkan tarif PKB

Anda mungkin juga menyukai