BLOK CVS
CASE 2 : LIMFADEMA SEKUNDER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Tutorial
Kasus 2 blok Cardiovascular System yang berjudul “Limfedema Sekunder”.
Makalah ini telah kami buat dengan sebaik-baiknya dalam rangka memenuhi tugas kami
untuk melaksanakan Ujian Akhir Semester (UAS). Makalah ini telah memuat materi kasus 2
beserta dengan learning progressnya. Kami juga berterima kasih kepada pembimbing tutorial A1
yang telah membimbing kami selama kegiatan tutorial serta memberikan masukan dan saran
demi terwujudnya kegiatan tutorial yang baik.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam penulisan makalah
ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima
segala saran dan kritik yang membangun agar kami dapat menjadi lebih baik lagi di masa yang
akan datang nanti. Kami juga berharap agar makalah yang kami buat ini dapat memberikan
manfaat di masa yang akan datang.
Penyusun
1. OVERVIEW CASE
2. INTERPRETASI KASUS
Ny. A berusia 45 tahun
KU : Kaki kanan terlihat menggemuk sejak 3 bulan yang lalu
Kaki kanan menggemuk bisa disebabkan adanya penumpukkan cairan, baik itu
cairan eksudat maupun transudat di ruang interstisial. Kondisi ini dapat
disebabkan adanya inflamasi, pengaruh perilaku pasien yang kurang gerak, atau
kondisi tertentu.
Keluhan terjadi secara unilateral. Apabila melihat waktu timbul penyakitnya yang
cukup lama, keluhan Ny.A tergolong kronik.
RPS :
1) Keluhan diawali dengan bengkak pada ujung jemari kanan
Keluhan dimulai dari daerah bagian distal. Hal ini dapat disebabkan karena efek
hidrostatik terhadap gaya gravitasi. Sehingga penumpukan terjadi pada bagian
terbawah. Karena diperkirakan yang mengalami sumbatan adalah vena atau
kapiler, karena aliran darah keduanya berasal dari distal ke proksimal
2) Punggung kaki dan pergelangan kaki kanan tampak menggemuk dan terasa
berat jika digerakkan
Keluhan menyebar dari yang semula hanya pada bagian jari kemudian menuju
punggung kaki dan pergelangan kaki. Rasa berat pada kaki ini disebabkan karena
adanya penumpukkan cairan pada kaki Ny.A.
3) Saat tiduran, kaki Ny.A ditinggikan agar terasa lebih ringan dan tampak tidak
terlalu gemuk.
Kaki ditinggikan lebih tinggi daripada tubuh menandakan posisi sirkulasi searah
dengan gravitasi. Apabila dalam keadaan ini pasien merasa membaik, hal ini
dapat disebabkan karena drainase cairan menjadi sedikit lebih lancar untuk
sementara,
4) Nyeri (-), demam (-)
Keluhan bukan merupakan akibat dari adanya infeksi yang mengganggu sistemik,
tetapi besar kemungkinan disebabkan adanya proses infeksi lokal.
RPD :
1) Riwayat operasi (-), Riwayat trauma daerah perut dan kaki (-)
Tidak adanya riwayat operasi pada pasien yang menjadi kemungkinan etiologi
dari keluhan pasien.
Pada beberapa kasus limfedema daerah lengan, keluhan dapat disebabkan oleh
pasca operasi pengangkatan kelenjar getah bening daerah axilla pada penderita
kanker payudara. Kelebihan cairan filtrasi tertahan di cairan interstitium dan
tidak dapat dikembalikan ke darah melalui pembuluh limfe.
2) Riwayat infeksi kulit berulang pada kaki kanan sejak 2 tahun terakhir, pernah
rawat inap karena keluhan ini.
Adanya riwayat infeksi berulang dapat menjadi etiologi dari keluhan ini. Pada
kasus tidak dijelaskan infeksi apa yang terjadi pada pasien. Infeksi dapat
disebabkan oleh virus, bakteri, maupun parasite. Adanya patogen yang
menginfeksi dapat menimbulkan sumbatan pada pembuluh limfe sehingga
drainase limfe menjadi terhambat.
RPK :
Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan yang sama
Bukan merupakan penyakit kongenital
RPSos :
Riwayat berpergian dengan pesawat terbang (-)
Etiologi penumpukkan cairan pada pasien bukan disebabkan karena penggunaan
pesawat terbang
Pada anamnesis ditanyakan karena pada pengguna pesawat terbang, pasien
imobilisasi selama beberapa jam, yang menyebabkan pengaliran cairan sedikit
terganggu.Tekanan udara di dalam kabin juga lebih kecil daripada tekanan udara
di permukaan laut sehingga terdapat gangguan berupa penurunan dalam sirkulasi
limfe. Aliran limfe hanya akan terbatas pada ekstremitas bawah saja, karena efek
hidrostatik gaya gravitasi. Hal ini menyebabkan eksaserbasi edema limfe.
Hipotesis :
1) Limfedema
Kaki tampak menggemuk, terasa berat, riwayat infeksi, membaik saat kaki
ditinggikan, unilateral, tidak nyeri, tidak demam.
2) Insufisiensi Vena Kronik
Kaki tampak menggemuk, terasa berat, lebih sering terjadi pada wanita, faktor usia,
membaik saat kaki ditinggikan
3) Deep Vein Thrombosis
Kaki tampak menggemuk, faktor usia
Pemeriksaan Fisik :
1) Berat badan : 53 kg Tinggi badan: 160 cm
BMI : 20,7 (normal)
2) Tanda vital: dbn.
3) Kulit : Punggung kaki tampak mengkilat
Penumpukkan cairan interstitial yang menekan jaringan menyebabkan
pembengkakan. Pembengkakan ini menyebabkan kulit pada daerah ekstremitas
bawah meregang strukturnya, sehingga tampak seperti mengkilat.
4) Paru: Suara pernafasan vesikuler pada kedua paru.
5) Jantung: irama teratur, murmur (-)
6) Abdomen: suara usus normal, lembut, tidak nyeri, tidak ada massa atau
hepatosplenomegaly
7) Ekstremitas :
o Atas : tidak ada kelainan,
o Bawah kiri : tidak ada kelainan
o Bawah kanan : pitting edema (+). Nyeri (-). Stemmer sign dijumpai.
Stemmer sign adalah tanda khusus limfedema, yaitu keadaan berupa
ketidakmampuan untuk mencubit lipatan kulit di akar jari kaki atau tangan
kedua yang memungkinkan adanya limfedema pada ekstremitas. Pada
kasus dinyatakan bahwa Ny. A mendapatkan hasil positif pada
pemeriksaan Stemmer Sign-nya, dapat disimpulkan bahwa kemungkinan
Ny.A menderita limfedema.
Pitting edema adalah tanda untuk menilai edema, yaitu dengan menekan
kulit terhadap permukaan tulang. Hasil positif apabila setelah tekanan
dilepaskan, lekukan pada kulit tidak segera menghilang.
Namun, pada kasus limfedema derajat 3, struktur kulit akan mengalami
penebalan dan penumpukan cairan dengan kandungan protein tinggi, serta
tersusun atas jaringan subkutan fibroadiposa, sehingga apabila ditekan
tidak akan memberikan hasil positif pada pemeriksaan Pitting edema.
Tidak nyeri menandakan keluhan berupa pembengkakan ini terjadi bukan
karena adanya inflamasi.
Pemeriksaan Penunjang :
USG Doppler
USG adalah teknik diagnostic pencitraan menggunakan suara ultra yang digunakan untuk
mencitrakan organ internal dan otot. USG Doppler adalah salah satu jenis USG yang
mengutamakan pengukuran aliran darah. Kondisi yang dapat diketahui adalah keadaan
aliran sirkulasi darah di pembuluh arteri atau vena, adanya hambatan aliran atau thrombus
Diagnosis kerja :
Limfedema Sekunder
Pada kasus, kami menegakkan diagnosis keluhan pasien yaitu Limfedema sekunder,
karena mengarah dari keluhan pasien yaitu adanya pembengkakan pada kaki yang
mengarah pada penumpukan cairan pada daerah kaki pasien.
Eliminasi :
Insufisiensi Vena Kronik
Stemmer sign (-), perubahan warna kulit (-), nyeri (-), pada pemeriksaan USG
Doppler masih terlihat adanya sirkulasi.
Deep Vein Thrombosis
Stemmer sign (-), nyeri (-)
Pada kasus ini didaptkan Nyonya A berusia 45 tahun yang memiliki riwayat infeksi
kulit pada kaki kanannya dan ada riwayat dirawat di RS akibat infeksi kulit tersebut.
Tidak dijelaskan secara spesifik infeksi kulit apa yang dialami pasien, tetapi disebutkan
bahwa penyebab limfedema sekunder akibat infeksi kulit rekuren adalah akibat bakteri
Staphylococcus. Bakteri yang menyebabkan infeksi menembus kulit, dan ia akan
bermigrasi ke KGB regional menggunakan saluran limfatik sebagai drainase tubuh
akan material-material yang bersifat toxin dan tidak diinginkan. Saat sampai ke KGB
regional yang dipenuhi oleh sel-sel imun, pathogen tersebut akan difagositosis dan
infeksi tertangani oleh tubuh.
Infeksi kulit namun terjadi secara rekuren sehingga pathogen terus menerus
menginfeksi kulit dan menembus ke saluran limfatik. Akibat infeksi yang rekuren ini,
pathogen yang terus berdatangan akan menyebabkan kerusakan pada saluran limfatik
sehingga terjadi hypoplasia pada saluran limfatik tersebut. Terganggunya saluran
drainase tubuh akan menyebabkan gangguan pada aliran sehingga cairan limfe sulit
ataupun tidak dapat mengalir ke KGB regional sehingga fungsi drainase menurun.
Cairan limfe yang tidak dapat mengalir ini akan terkumpul pada saluran limfatik
tersebut dan menyebabkan Limfostasis. Cairan limfe yang terkumpul dan tidak bisa
teralirkan ini akan masuk ke ruang interstisial sehingga menyebabkan Limfedema
disertai dengan Pitting Edema. Komponen pada cairan limfe yang terkumpul ini
dipenuhi oleh protein-protein serta metabolit seluler seperti fibroblast, keratinosit, dan
adiposit yang akan mengekskresikan komponen seperti kolagen dan memicu
terbentuknya jaringan ikat sehingga terjadinya fibrosis. Terjadinya fibrosis pada
interstisial di sekitar saluran limfatik akan menyebabkan mengerasnya kulit sehingga
pada pemeriksaan Stemmer’s Sign didapatkan hasil yang positif.
Limfedema yang terjadi secara progresif ini bermanifestasi secara fisik dengan
didapatkannya kulit kaki yang meregang dan tegang sehingga punggung kaki terlihat
mengkilat, penjalaran pembengkakan dari ujung jari kaki ke pergelangan kaki, dan kaki
yang menjadi susah untuk digerakkan. Pasien menyatakan bahwa saat kaki ditinggikan
kaki menjadi terasa lebih ringan dan gemuk berkurang, hal ini diakibatkan karena aliran
drainase kaki dibantu oleh gaya gravitasi sehingga drainase dapat berjalan lebih lancer
dan cairan tidak menumpuk.
B. Tata Laksana
1) Farmakologi
- Salep Asam Salisilat 1,8-3% 1-4x/hari 🡪 Bersifat keratolitik pada kulit yang
keras
Profilaksis
- Penicillin 250 mg 2x/hari atau Erythromycin 250 mg 2x/hari atau
Clarithromycin 250 mg 2x/hari
Penicillin bekerja pada bakteri gram (+) dengan inhibisi sintesis dinding sel
peptidoglikan bakteri
Waktu paruh: sekitar 2 jam
- Bioavailabilitas: (Penicillin V) 65%
- Eryhtromycin inhibisi sintesis protein, diindikasikan pada pasien yang alergi
penicillin
Waktu paruh: sekitar 2 jam
Bioavailabilitas: 18-45%
- Clarithromycin inhibisi sintesis protein, diindikasikan pada pasien yang alergi
penicillin
Waktu paruh: 3-4 jam
Bioavailabilitas: 55%
- Fluconazole 400 mg/hari, Mengganggu perubahan lanosterol ke ergosterol
yang merupakan komponen membrane sel jamur dengan berikatan pada
sitokrom P-450
Waktu paruh: 20-50 jam
Bioavailabitas >90%
- Albendazole 400 mg/hari, Mencegah sintesis mikrotubulin dan menghentikan
pembelahan sel pada parasite
Waktu paruh: 8-12 jam
Bioavailabilitas: <5%
- Benzopyrone 400 mg/hari, Sifatnya masih trial, belum dijadikan talak
definitive untuk limfedema. Biasanya digunakan pada pasien yang tidak bisa
melakukan aktivitas fisik. Bekerja dengan berikatan pada protein yang
terakumulasi di jaringan 🡪 menginduksi aktivitas makrofag 🡪 fagositosis dan
proteolysis 🡪 sisa-sisa protein masuk dan dialirkan ke dalam vena.
2) Non- Farmakologi
- Stocking kompresi, Biasanya digunakan setelah melakukan MLD atau saat
aktivitas fisik selama beberapa jam untuk mencegah akumulasi kembali dari
cairan limfe serta mempromosikan aliran cairan limfe saat aktivitas fisik
- Manual Lympathic Drainage (MLD), Membantu drainase cairan limfatik.
Dilakukan pijatan pada kaki dengan posisi pasien tiduran. Caranya letakkan
tangan di kaki bagian proksimal dengan salah satu tangan menopang bagian
belakang kaki, kemudian kita tarik dan regangkan kulit ke arah atas dan lepaskan.
Lanjutkan dengan tangan bergerak ke bawah sampai ke pergelangan kaki.
- Intermitten Pneumatic Compression (IPC), Teknik menggunakan alat medis
yang terdapat semacam pompa udara serta celana/lengan baju yang bisa di tiup.
Dia akan mengkompres bagian tubuh pasien yg edematous dan berfungsi untuk
melancarkan sirkulasi.
- Jaga higienitas kuku dan kulit, Untuk mencegah terjadinya infeksi pada situs
Limfedema
2) Kapiler limfatik
Seluruh proses sirkulasi limfatik dimulai dari kapilernya. Kapiler ini berada
diantara sel-sel dan berdekatan satu sama lainnya. Kapiler limfatik ini sangat
permiabel dari pada kapiler darah karena dapat menyerap molekul besar seperti
protein dan lemak. Diameternya jauh lebih besar dibandingkan dengan kapiler
darah dan memiliki struktur unik yaitu one-way structure dimana cairan dapat
memasuki kapiler limfatik namun tidak dapat keluar kembali.
Hal ini terjadi karena bagian ujung dari setiap endothelialnya saling tumpang
tindih oleh karena itu ketika tekanan interstisial lebih tinggi maka bagian ujung
endothel-endothel akan saling menjauh (like the opening of one way swinging
door) kemudian cairan masuk, namun saat limfe sudah di dalam tidak aka dapat
keluar karena ujung endothel kembali menutup.
Kapiler ini memiliki anchoring filaments yang terdiri atas serat elastin. Filament
ini akan menempel pada jaringan sekitar dan ketika terjadi edema filament ini
akan ketarik sehingga akan membuka celah lebih lebar sehingga edema akan
berkurang.
3) Pembuluh limfatik
pembuluhnya cenderung berjalan sepanjang pembuluh darah seperti pembuluh
limfe superfisial kulit dan subcutan cenderung mengikuti vena-vena
superfisialis. Sedangkan pembuluh limfe profunda mengikuti vena-vena dan
arteri-arteri profunda. Terdapat beberapa jaringan yang memiliki jumlah
pembuluh limfatik yang sangat sedikit seperti jaringan avascular
( kratilago,epidermis, dan kornea mata), system saraf pusat, sebagian limpa,
bagian dalam telinga dan sumsum tulang merah.
4) Limfonodus
Jairngan ini dapat ditemukan sepanjang pembuluh limfatik. Berbentuk oval dan
panjang kurang lebih 2 mm sampai cm dan dapat ditemukan berkelompok.
Limfonodus diselimuti kapsul fibrosa yang juga akan membentuk trabekulanya
(terdapat serabut-serabut retikularis yang dapat berisi limfosit.
Aliran limfe yang masuk melalui pembuluh limfatik aferen berkatup dan
menembus kapsula fibrosa. Setelah itu limfe akan memasuki sinus subkapsularis
dan disaring sampai medulla. Setelah semua prosesnya selesai limfe akan keluar
melalui pembuluh limfatik eferen yang muncul melalui hillus
5) Trunkus dan Duktus Limfatikus
Ketika pembuluh limfatik keluar dari limfonodus, mereka akan menyatu kepada
suatu trunkus limfatikus. Trunkus utama yang ada yaitu trunkus lumbar,
intestinal, brinchomediastinal, subclavian, dan jugular. Ttunkus lumbar akan
mengalir dari kaki, dinding dan visceral dari pelvis, ginjal, kelenjar adrenal, dan
dinding perut.
Trunkus-trunkus tersebut akan bermuara pada dua saluran (ductus) besar yaitu
ductus thoracicus dan ductus limfatikus dekstra yang akan membawa cairan
limfatik ini menuju Kembali ke aliran balik vena. Ductus thoracicus mulai dari
bawah di dalam abdomen setinggi vertebra lumbalis II sebagai kantong
berdilatasi, yaitu cisterna chyli. Ductus thoracicus berjalan ke atas melalui
hiatus aorticus diaphragma, ada di sebelah kanan aorta descendens. Lambat laun
ductus menyilang bidang tengah di belakang oesophagus dan mencapai pinggir
kiri oesophagus setinggi vertebra thoracica IV. Kemudian ductus berjalan ke
atas sepanjang pinggir kiri oesophagus untuk masuk ke pangkal leher. Di sini
ductus membelok ke lateral di belakang sarung carotis (berisi arteria carotis
communis, nervus vagus, dan vena jugularis intema), dan membelok ke bawah
dan menyilang arteria subclavia untuk bemuara ke pangkal vena
brachiocephalica sinistra. Ductus thoracicus sering bermuara ke vena dalam
bentuk beberapa cabang. Pada ujung akhir, ductus thoracicus menerima truncus
lymphaticus jugularis sinister, truncus subclavia sinister, dan truncus
mediastinalis, walaupun truncus-truncus ini dapat mengalirkan cairan limfe
langsung ke vena-vena besar yang berdekatan.
Jadi ductus thoracicus mengalirkan semua cairan limfe dari extremitas inferior,
rongga pelvis, longga abdomen, sisi kiri thorax, dan sisi kiri kepala,leher,dan
extremitas superior kiri masuk ke dalam darah
B. Aliran Limfatik
1) Kelompok regional limfonodus kepala dan leher:
Limfonodus occipitalis
Di atas Os. Occipitalis. Menampung limfe dari bagian belakang kulit kepala
Limfonodus retroauricularis (mastoidei)
Di belakang telinga di atas processus mastoideus. Menampung limfe dari
kulit kepala di atas telinga, auricula, dan meatus acusticus eksternus
Limfonodus parotid
Terletak pada atau di dalam glandula parotidea. Menampung limfe dari kulit
kepala di atas glandula parotidean, kelopak mata, glandula parotidea,
auricula, dan meatus acusticus eksternus
Limfonodus buccinatorius (facialis)
Satu atau dua nodi pada pipi di atas musculus buccinator. Menampung limfe
yang akhirnya bermuara ke nodi lymphoid submandibularis
Limfonodus submandibularis
Terletak pada permukaan superfisial glandula salivary submandibularis,
tepat di bawah pinggir mandibulae. Menampung limfe dari kulit kepala
bagian depan, hidung, pipi, bibir atas dan bawah (kecuali bagian tengah),
sinus frontalis, maxillaris, dan ethmodallis, gigi atas dan bawah (kecuali
incisivus bawah), dua pertigabagian anterior lidah (kecuali ujung lidah),
dasar mulut dan vestibulum, dan gusi
Limfonodus submentalis
Terletak di dalam trigonum submentale tepai di bawah dagu. Menampung
limfe dari ujung lidatr, dasar mulut bagian anterior, gigi incisivus, bagian
tengah bibir bawah, dan kulit di atas dagu.
Limfonodus cervicalis anterior
Terletak sepanjang vena jugularis antedor pada sisi depan leher. Menampung
limfe dari kulit dan jaringan superfisial leher bagian depan.
Limfonodus cervicalis superfisialis
Terletak sepanjang vena jugularis externa pada sisi lateral leher. Menampung
limfe dari kulit di atas angulus mandibulae, kulit di atas bagian bawah
glandula parotidea, dan lobus auricula.
Limfonodus retropharyngealis
Terletak di belakang pharyrrx dan di depan columna vertebralis. Menampung
limfe dari nasopharynx, tuba auditiva, dan columna vertebralis.
Limfonodus laryngealis
Terletak di depan laryrx. Menampung limfe dari larynx.
Limfonodus trachealis (paratrachealis)
Terletak sepanjang lateral trachea. Menampung limfe dari struktur yang
berdekatarL termasuk glandula thyroidea.
Limfonodus centralis
terletak di pusat axilla dalam lemak axilla. Kelompok ini menerima limfe
dari tiga kelompok di atas.
Limfonodus infraclavicularis (deltopectoralis)
Kelompok ini terletak di dalam sulcus antara musculus deltoideus dan
musculus pectoralis maior sepanjang vena cephalica. Kelompok ini
menerima pembuluh limfe superfisial dari sisi lateral tangan, lengan bawah,
dan lengan atas; pembuluh limfe mengikuti vena cephalica.
Limfonodus apicalis
Kelompok ini terletak di puncak axilla pada pinggir lateral costa I.
Kelompok ini menerima limfe dari seluruh kelenjar axilla lailnya. Nodi
lymphoidei apicales mengalirkan limfenya ke dalam truncus subclavius, yang
pada sisi kiri bermuara ke ductus thoracicus, dan di sisi kanan ke ductus
lymphaticus dexter.
3) Aliran limfe glandula mamaria
oKuadran lateral mangalirkan limfenya ke limfonodus axillaris anterior.
Kuadran medial mengalirkan limfenya ke limfonodus sepanjang arteria
thoracica interna. Beberapa pembuluh limfe superfisial berhungan dengan
pembuluh limfe yang sama dengan payudara sisi yang lain dan dengan
kelenjar di dinding anterior abdomen. Ada beberapa pembuluh limfe
bermuara ke limfonodus intercostales posterior.
Limfonodus brachiocephalica
Terletak dekat vena brachiocephalica di dalam mediastinum superior. Nodus
ini menampung limfe dari glandula thyroidea dan pericardium lalu
mengalirkannya ke truncus bronchomediastinalis.
Limfonodus mediastinalis posterioris
Terletak dekat aorta descendens. Nodus ini menampung limfe dari esofagus,
pericardium, dan nodus diaphragmatica lalu mengalirkannya ke ductus
thoracicus.
Limfonodus tracheobronchiales
Terletak di sepanjang trachea, bronchi principalis di hilus pulmonalis, dan
bronchi di dalam paru. Nodus ini menampung limfe dari jantung, paru,
trachea lalu mengalirkannya ke truncus bronchomediastinalis.
Gambar 7. Kaki Gajah atau Elephantitis Akibat Adanya Gangguan Sistem Limfatik
4. CLINICAL SCIENCE
LIMFEDEMA
1) Definisi
Limfedema Adalah pembengkakan salah satu anggota tubuh, misal tangan, kaki, atau
anggota tubuh lain akibat pembuluh limfe atau kelenjar limfe (KGB) yang rusak atau
lenyap
2) Etiologi
Etiologi Primer
Limfedema primer cenderung Iebih jarang terjadi, dan disebabkan karena gangguan
perkembangan pembuluh limfa dalam tubuh bawaan, yang meliputi :
Agenesis : kegagalan pembentukan organ limfatik
Hypoplasia : kondisi bawaan yang menyebabkan sedikit terbentuknya sel
Obstruksi saluran limfatik yang berhubungan dengan sindrom bawaan
3) Epidemiologi
- Angka kejadian sekitar 1 / 10.000 orang.
- Di Indonesia insidensinya sekitar lebih dari 150.000/tahun terkena limfedema.
- Lebih sering terjadi pada wanita (diduda esterogen berperan dalam patogenesis).
- Kaki kiri lebih sering terkena daripada kaki kanan.
- Kasus limfedema yang terbanyak dilaporkan di negara tropis disebabkan karena
infeksi parasit, sedangkan di negara maju 7-28% terjadi limfedema karena kanker
payudara.
- 70% limfedema di ekstremitas bawah muncul setelah terapi kanker.
- Prevalensi limfedema terbesar terjadi pada pasien yang menjalani operasi aksila
yang luas diikuti dengan radiasi aksila.
4) Faktor Risiko
- Adanya penyakit herediter
- Wanita 3x berisiko daripada pria
- Ada riwayat penyakit payudara
- Obesitas
- Radiasi pasca mastektomi (Operasi pengangkatan payudara)
- Usia di atas 65 tahun
- Arthritis Rheumatic dan Psoriatic
5) Klasifikasi
Berdasarkan etiologi
a. Limfedema primer
b. Limfedema Sekunder
Berdasarkan Tipe Klinis
a. Limfedema primer
Muncul secara spontan, gejalanya hilang timbul, pada fase lanjut kulit mengeras
dan terjadi fibrosis, dalam 30 tahun pertama biasanya pembengkakan tidak
terlalu progresif.
o Kongenital
o Praecox
o Tarda
b. Limfedema Sekunder
oIatrogenik : Limfedema muncul setelah tindakan operasi dan radiasi
oTraumatik : Limfedema muncul setelah trauma
oPost Infeksi : Biasa terjadi pada infeksi berulang Streptococcus sp. , infeksi
filaria Wuchereria bancrofti, Brugia timori, Brugia malayi.
oKeganasan : Limfedema terjadi karena adanya sumbatan pada pembuluh
limfatik ataupun nodus limfa karena metastasis sel kanker.
6) Gejala Klinis
Pembengkakan
7) Stage
8) Diagnosis
1. ANAMNESIS
Ada riwayat kelainan bawaan → limfedema primer
Onset bengkak pada limfedema sckunder biasanya cepat, namun bisa tiba-
tiba diperberat oleh inflamasi lokal akibat infeksi atau trauma lokal.
Pasien mengeluh kakinya berair, jangkauan gerak berkurang, dan
mengganggu aktivitas sehari-hari
2. PEMERIKSAAN FISIK
Pitting Edema Test
bahkan setelah penekanan ringan pada ujung jari, hal ini dapat ditunjukkan
dengan melakukan tekanan ke daerah yang bengkak dimana kita dapat
menekan kulitnya dengan jari. Pada stage I ditenukan piting edema → edema
yang akan tetap cekung. Seiring berjalannya waktu (stage 2-3) edema
menjadi non-pitting 🡪 tekanan yang dilakukan pada kulit tidak
menghasilkan lekukan persisten. Merupakan tanda khas pada limfedeme
Stemmer's Sign Test
Stemmer's sign adalah tanda lipatan kulit yang menebal di pangkal jari kedua
atau jari kedua yang dapat dicubit dan diangkat dengan lembut. Kehadiran ini
paling sering merupakan indikasi diagnostik awal limfedema primer; Namun
itu juga dapat berkembang kemudian pada limfedema sekunder. Stemmer
sign positif → positif jika saat dicubit. kulit tidak dapat dianak indikasi
limfedema.
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat aliran pembuluh darah vena dengan
menggunakan prinsip gelombang suara. Pemeriksaan ini dilakukan untuk
menyingkirkan diagnosis diferensial dari limfedema, yaitu deep vein thrombosis.
apabila hasil USG doppler menunjukkan aliran pembuluh darah normal, maka
dapat disimpulkan bahwa kelainan yalıg terjadi pada pasien terjadi pada aliran
saluran limfatik, sehingga membantu menegakkan diagnosis limfedema.
a. Tonometri
Tujuan utama pemeriksaan tonometry menggunakan tonometer jaringan
adalah untuk mengevaluasi resistensi jaringan dengan menerapkan kompresi.
Kelenturan dan fibrosis kulit dapat diukur dengan tonometer untuk
menentukan stage limfedema.
b. Lymphoscintigraphy
Merupakan imaging yang paling baik untuk menegakkan diagnosis limfedema
karena dengan metode ini dapat melihat gangguan aliran getah hening yang
lambat atau tidak ada.
Cara kerja: menyuntikkan makromolekul radiolabelled yaitu koloid sulfur
Technetium 99m secara intra atau subdermal kemudian makromolekul yang
disuntikkan tersebut akan dilacak dengan kamera gamma sehingga dapat
terlihat aliran di dalam pembuluh limfatik.
c. Mingnetic Resonance Imaging (MRI)
Berfungsi untuk membedakan limfedema, lipedema, dan edema vena dengan
melihat karakteristik edema.
Limfedema : distribusi edema yang khas dalam kompartemen epifascial,
membentuk pola seperti surang lebah, disertai pelebaran kulit
Edema vena : edema pada komnpartemen epifascial dan subfascial
Lipedena : akumulasi lemak tanpa cairan
d. Computed Tomugrpahy (CT)
Teknik CT dapat memperlihatkan anatomi lokalisasi dari edema dan dapat
mengidentifikasi penebalan kulit serta pola sarang lebah dari jaringan subkutan
pada limfedema. Selain digunakan untuk diagnosis, CT juga digunakan untuk
memantau respon terhadap terapi limſedema dengan mengukur luas
penampang dan kepadatan jaringan di dalam kompartemen jaringan yang
mengalami edema.
9) Komplikasi
1. Selulitis atau limfangitis
Cairan dan protein yang terakumulasi di ekstraseluler merupakan media yang
mendukung pertumbuhan bakteri. Maka memicu terjadinya reaksi inflamasi di
jaringan kulit yang menimbulkan gejala infeksi progresif (demam tinggi, malaise,
edema terlokalisasi, eritema, dan karakteristik perubahan peau d'arunge).
2. Tumor gunas
Tumor ganas yang sering muncul scbagai komplikasi limfedema adalah
limfangiosarkoma yang ditandai dengan gejala adanya lesi multisentrik dengan nodul
kebiruan, plak sklerotik, adanya bulosa dan merupakan tumor yang sangat agresif
pertumbuhannya. Selain itu keganasan yang bisa timbul karena limfedema adalah
sarcoma Kaposi, karsinoma sel skuamosa, limfoma maligna, dan melanoma.
Diagnosis banding
1. LIMFANGITIS
Tanda dan gejala termasuk kemerahan yang mendalam dari kehangatan limfadenitis kulit
dan perbatasan dibesarkan di sekitar daerah yang terkena. Orang mungkin juga menggigil
dan demam tinggi bersama dengan nyeri sedang dan bengkak. Seseorang dengan
limfangitis harus dirawat di rumah sakit dan diawasi secara ketat oleh para profesional
medis.
Limfangitis adalah peradangan pada pembuluh limfatik dan saluran. Hal ini ditandai oleh
kondisi peradangan tertentu dari kulit yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Garis merah
tipis dapat diamati di sepanjang perjalanan pembuluh limfatik di daerah bencana, disertai
dengan pembesaran menyakitkan di dekatnya kelenjar getah bening.
Limfangitis ditemukan dalam bentuk guratan subkutan berwarna merah yang nyeri
disepanjang pembuluh limfe yang terkena, dengan disertai limfadenopati regional.
Pembuluh limfe yang melebar terisi oleh neutrofil dan histiosit. Inflamasi ini meluas ke
dalam jaringan perilimfatik dan dapat berkembang menjadi selulitis atau abses yang nyata.
Keterlibatan limfonodus (limfedenitis akut) pada infeksi ini dapat menimbulkan
septikemia.
1) Etiologi
Pembuluh getah bening merupakan saluran kecil yang membawa getah bening dari
jaringan ke kelenjar getah bening dan ke seluruh tubuh. Bakteri streptokokus biasanya
memasuki pembuluh-pembuluh ini melalui gesekan, luka atau infeksi (terutama
selulitis) di lengan atau tungkai.
Sistem getah bening adalah jaringan organ, kelenjar getah bening, saluran getah
bening, dan pembuluh getah bening atau saluran yang menghasilkan dan
memindahkan cairan yang disebut getah bening dari jaringan ke aliran darah.
Limfangitis umumnya hasil dari akut atau infeksi streptokokus staphylococcal kulit
atauabses di kulit atau jaringan lunak. Infeksi menyebabkan pembuluh getah bening
untuk menjadi bengkak dan sakit.
Limfangitis mungkin tanda bahwa infeksi semakin parah. Harus meningkatkan
kekhawatiran bahwa bakteri menyebar ke dalam aliran darah, yang dapat
menyebabkan masalah yang mengancam nyawa.
Limfangitis mungkin bingung dengan bekuan dalam vena ( tromboflebitis ).
Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya peningkatan jumlah sel darah putih.
Organisme penyebab infeksi hanya dapat dibiakkan di laboratorium bila infeksi sudah
menyebar ke aliran darah atau bila terbentuk nanah pada luka yang terbuka.
2) Patofisiologi
Organisme patogen memasuki saluran limfatik langsung melalui abrasi atau luka atau
sebagai komplikasi infeksi. Setelah organisme memasuki saluran, peradangan lokal
dan infeksi berikutnya terjadi, yang menyatakan sebagai garis-garis merah pada kulit.
Peradangan atau infeksi kemudian meluas ke proksimal terhadap kelenjar getah
bening regional.
5) Pathway
Karena sifat serius infeksi ini, pengobatan akan dimulai segera, bahkan sebelum hasil
kultur bakteri yang tersedia. Satu-satunya pengobatan untuk limfangitis adalah
memberikan dosis sangat besar antibiotik, biasanya penisilin, melalui pembuluh
darah. Tumbuh bakteri streptokokus biasanya dihilangkan dengan cepat dan mudah
dengan penisilin. Antibiotik klindamisin dapat dimasukkan dalam pengobatan untuk
membunuh streptokokus yang tidak tumbuh dan berada dalam keadaan istirahat. Atau
sebuah “spektrum luas” dapat digunakan antibiotik yang akan membunuh banyak
jenis bakteri.
Limfangitis dapat menyebar dalam hitungan jam. Perawatan harus dimulai segera.
Pengobatan mungkin termasuk :
Antibiotik untuk mengobati infeksi yang mendasari
Analgesik untuk mengontrol nyeri
Obat-obat anti-inflamasi untuk mengurangi inflamasi dan pembengkakan
Kompres panas lembab untuk mengurangi peradangan dan rasa sakit
Pembedahan mungkin diperlukan untuk menguras abses apapun.
Pengobatan dengan antibiotik dapat mengakibatkan pemulihan lengkap, meskipun
mungkin waktu berminggu-minggu, atau bahkan bulan, untuk pembengkakan
menghilang. Jumlah waktu sampai pemulihan terjadi bervariasi, tergantung pada
penyebab yang mendasarinya.
Klasifikasi
- Limfangitis kulit akut
- Limfangitis sclerosis penis
- Erysipel
- Limfangitis organ dalam
- Limfangitis kulit akut
Merupakan limfangitis yang disebabkan bakteri memasuki tubuh lewat luka, goresan,
gigitan serangga, luka bedah, atau kulit lainnya cedera. Setelah bakteri masuk ke sistem
limfatik, mereka berkembang biak dengan cepat dan mengikuti pembuluh limfatik.
Gejala simptomatik:
Garis merah di kulit, berasal dari lesi atau luka bernanah dari distal ke proksimal.
Kulit di sekitar mengencang dan membengkak.
Pembesaran KGB regional disertai nyeri (axilla, inguinal).
Deep Vena Trombosis (DVT) adalah Suatu kondisi dimana terbentuk bekuan darah dalam
vena sekunder akibat inflamasi / trauma dinding vena atau karena obstruksi vena sebagian,
yang mengakibatkan penyumbatan parsial atau total sehingga aliran darah terganggu.
Trombosis vena merupakan salah satu penyakit yang tidak jarang ditemukan
dan dapat menimbulkan kematian kalau tidak di kenal dan di obati secara efektif.
Kematian terjadi sebagai akibat lepasnya trimbus vena, membentuk emboli yang dapat
menimbulkan kematian mendadak apabila sumbatan terjadi pada arteri di dalam paru-paru
(emboli paru).
Trombosis Vena Dalam (DVT) merupakan penggumpalan darah yang terjadi di pembuluh
balik (vena) sebelah dalam.Terhambatnya aliran pembuluh balik merupakan penyebab
yang sering mengawali TVD. Penyebabnya dapat berupa penyakit pada jantung, infeksi,
atau imobilisasi lama dari anggota gerak. Insiden DVT di Amerika Serikat adalah 159 per
100 ribu atau sekitar 398 ribu per tahun. Tingkat fatalitas TVD yang sebagian besar
diakibatkan oleh emboli pulmonal sebesar 1% pada pasien muda hingga 10% pada pasien
yang lebih tua. Tanpa profilaksis, insidensi TVD yang diperoleh di rumah sakit adalah 10-
40% pada pasien medikal dan surgikal dan 40-60% pada operasi ortopedik mayor. Dari
sekitar 7 juta pasien yang selesai dirawat di 944 rumah sakit di Amerika, tromboemboli
vena adalah komplikasi medis kedua terbanyak, penyebab peningkatan lama rawatan, dan
penyebab kematian ketiga terbanyak.
Insidens DVT di Eropa dan Amerika Serikat kurang lebih 50 per 100.000 populasi/tahun.
Angka kejadian DVT meningkat sesuai umur, sekitar 1 per 10.000 – 20.000 populasi pada
umur di bawah 15 tahun hingga 1 per 1000 populasi pada usia di atas 70 tahun. Insidens
DVT pada ras Asia dan Hispanik dilaporkan lebih rendah dibandingkan pada ras
Kaukasia, Afrika-Amerika Latin, dan Asia Pasifik. Tidak ada perbedaan insidens yang
signifikan antara pria dan wanita.
2. PATOGENESIS
Dalam keadaan normal, darah yang bersirkulasi berada dalam keadaan cair, tetapi akan
membentuk bekuan jika teraktivasi atau terpapar dengan suatu permukaan. Virchow
mengungkapkan suatu triad yang merupakan dasar terbentuknya trombus. Hal ini dikenal
sebagai Triad Virchow. Triad ini terdiri dari: 1. Gangguan pada aliran darah yang
mengakibatkan stasis, 2.Gangguan pada keseimbangan prokoagulan dan antikoagulan
yang menyebabkan aktivasi faktor pembekuan, dan 3. Gangguan pada dinding pembuluh
darah (endotel) yang menyebabkan prokoagulan.
Trombosis terjadi jika keseimbangan antara faktor trombogenik dan mekanisme protektif
terganggu. Faktor trombogenik meliputi:
1) Gangguan sel endotel
2) Terpaparnya subendotel akibat hilangnya sel endotel
3) Aktivasi trombosit atau interaksinya dengan kolagen subendotel atau faktor von
Willebrand
4) Aktivasi koagulasi
5) Terganggunya fibrinolysis
6) Statis
Trombus arteri, karena aliran yang cepat, terdiri dari trombosit yang diikat oleh fibrin yang
tipis, sedangkan trombus vena terutama terbentuk di daerah stasis dan terdiri dari eritrosit
dengan fibrin dalam jumlah yang besar dan sedikit trombosit.
3. DIAGNOSIS
Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang sangat penting dalam pendekatan
pasien dengan dugaan trombosis.Keluhan utama pasien dengan TVD adalah kaki yang
bengkak dan nyeri. Riwayat penyakit sebelumnya merupakan hal penting karena dapat
diketahui faktor resiko dan riwayat trombosis sebelumnya.Adanya riwayat trombosis
dalam keluarga juga merupakan hal penting.
Pada pemeriksaan fisis, tanda-tanda klinis yang klasik tidak selalu ditemukan.Gambaran
klasik TVD adalah edema tungkai unilateral, eritema, hangat, nyeri, dapat diraba
pembuluh darah superfisial, dan tanda Homan yang positif (sakit di calf atau di belakang
lutut saat dalam posisi dorsoflexi).
Pada pemeriksaan laboratorium hemostasis didapatkan peningkatan D-Dimer dan
penurunan antitrombin.Peningkatan D-Dimer merupakan indikator adanya trombosis yang
aktif.Pemeriksaan ini sensitif tetapi tidak spesifik dan sebenarnya lebih berperan untuk
meningkirkan adanya trombosis jika hasilnya negatif. Pemeriskaan ini memiliki
sensitivitas 93%, spesivitas 77% dan nilai prediksi negatif 98% pada TVD proksimal,
sedangkan pada TVD daerah betis sensitifitasnya 70%.
Akan tetapi tujuan utama dari pemeriksaan penunjang adalah untuk menegakkan diagnosis
TVD secara cepat dan aman, oleh karena itu kombinasi dari hasil pemeriksaan fisik dan
pengukuran kadar D-Dimer merupakan pilihan pertama dalam diagnosis. Pengukuran
dengan menggunakan trombosit juga dapat dilakukan. Cara ini merupakan cara yang
paling cepat dan praktis, hanya saja kurang akurat disebabkan bias yang ditimbulkan oleh
mesin penganalisa trombosit. Bias yang didapat berkisar antara 10.000 – 80.000/cc.
4. TATALAKSANA
Hanya dilakukan pada kasus yang diagnosisnya sudah jelas ditegakkan mengingat
obatobatan dapat menimbulkan efek samping serius. Tujuan tatalaksana DVT fase akut
adalah:
A. NON-FARMAKOLOGI
Penatalaksanaan non-farmakologis terutama ditujukan untuk mengurangi morbiditas
pada serangan akut serta mengurangi insidens posttrombosis syndrome yang
biasanya ditandai dengan nyeri, kaku, edema, parestesi, eritema, dan edema. Untuk
mengurangi keluhan dan gejala trombosis vena pasien dianjurkan untuk istirahat di
tempat tidur (bedrest), meninggikan posisi kaki, dan dipasang compression stocking
dengan tekanan kira-kira 40 mmHg.
Meskipun stasis vena dapat disebabkan oleh imobilisasi lama seperti pada bedrest,
tujuan bedrest pada pasien DVT adalah untuk mencegah terjadinya emboli
pulmonal. Prinsipnya sederhana, pergerakan berlebihan tungkai yang mengalami
DVT dapat membuat bekuan (clot) terlepas dan “berjalan” ke paru. Penggunaan
compression stocking selama kurang lebih 2 tahun dimulai 2-3 minggu ketika
diagnosis DVT ditegakkan dapat menurunkan risiko post-trombosis syndrome.
Compression stockings sebaiknya digunakan pada pasien dengan gejala berat dan
mereka yang memiliki fungsi vena yang jelek.
B. FARMAKOLOGI
Meluasnya proses trombosis dan emboli paru dapat dicegah dengan antikoagulan dan
fibrinolitik. Usahakan biaya serendah mungkin dan efek samping seminimal mungkin.
Prinsip pemberian anti-koagulan adalah safe dan efektif. Safe artinya antikoagulan
tidak menyebabkan perdarahan. Efektif artinya dapat menghancurkan trombus dan
mencegah timbulnya trombus baru dan emboli.
Unfractionated Heparin
Terapi unfractionated heparin berdasarkan berat badan dan dosisnya dititrasi
berdasarkan nilai Activated Partial Thromboplastin Time (APTT). Nilai APTT yang
diinginkan adalah 1,5- 2,5 kontrol. Mekanisme kerja utama heparin adalah: 1).
meningkatkan kerja antitrombin III sebagai inhibitor faktor pembekuan, dan 2).
melepaskan tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dari dinding pembuluh darah.
Diberikan dengan cara bolus 80 IU/kgBB intravena dilanjutkan dengan infus 18 IU/
kgBB/jam. APTT, masa protrombin (protrombin time /PT) dan jumlah trombosit
harus diperiksa sebelum memulai terapi heparin, terutama pada pasien berusia lebih
dari 65 tahun, riwayat operasi sebelumnya, kondisi-kondisi seperti peptic ulcer
disease, penyakit hepar, kanker, dan risiko tinggi perdarahan (bleeding tendency).
Efek samping perdarahan dan trombositopeni. Pada terapi awal risiko perdarahan
kurang lebih 7%, tergantung dosis, usia, penggunaan bersama antitrombotik atau
trombolitik lain.
Dosis standar warfarin 5 mg/ hari, dosis disesuaikan setiap tiga sampai tujuh hari
untuk mendapatkan nilai INR antara 2,0-3,0. INR diusahakan antara 1,5-2,0,
meskipun masih menjadi pertentangan. Pada sebuah penelitian, INR lebih dari 1,9
didapat rata-rata 1,4 hari setelah dosis 10 mg.7 Dosis warfarin dipantau dengan waktu
protrombin atau INR. Untuk DVT tanpa komplikasi, terapi warfarin
direkomendasikan tiga sampai enam bulan. Kontraindikasi terapi warfarin, antara lain
perdarahan di otak, trauma, dan operasi yang dilakukan baru-baru ini.
Pada pasien dengan faktor risiko molekuler diturunkan seperti defisiensi antitrombin
III, protein C atau S, activated protein C resistance, atau dengan lupus
antikoagulan/antibodi antikardiolipin, antikoagulan oral dapat diberikan lebih lama,
bahkan seumur hidup. Pemberian antikoagulan seumur hidup juga diindikasikan pada
pasien yang mengalami lebih dari dua kali episode trombosis vena atau satu kali
trombosis pada kanker aktif.
Terapi Trombolitik
Tidak seperti antikoagulan, obat-obat trombolitik menyebabkan lisisnya trombus
secara langsung dengan peningkatan produk plasmin melalui aktivasi plasminogen.
Obatobat trombolitik yang direkomendasikan FDA meliputi streptokinase,
recombinant tissue plasminogen activator (rt-PA), dan urokinase.
Terapi trombolitik bertujuan memecah bekuan darah yang baru terbentuk dan
mengembalikan patensi vena lebih cepat daripada antikoagulan. Trombolitik dapat
diberikan secara sistemik atau lokal dengan catheter-directed thrombolysis (CDT).
Terapi trombolitik pada episode akut DVT dapat menurunkan risiko rekurensi dan
postthrombotic syndrome (PTS). Trombolitik sistemik dapat menghancurkan bekuan
secara cepat tapi risiko perdarahan juga tinggi. Risiko perdarahan pada penggunaan
trombolitik lebih besar dibanding penggunaan heparin. Indikasi trombolisis antara lain
trombosis luas dengan risiko tinggi emboli paru, DVT proksimal, threatened limb
viability, ada predisposisi kelainan anatomi, kondisi fisiologis baik (usia 18-75 tahun),
harapan hidup lebih dari 6 bulan, onset gejala 180 mmHg, DBP>110 mmHg).
Trombektomi
Terapi open surgical thrombectomy direkomendasikan untuk DVT yang memiliki
kriteria di antaranya adalah DVT iliofemoral akut, tetapi terdapat kontraindikasi
trombolitik atau trombolitik ataupun mechanical thrombectomy gagal, lesi tidak dapat
diakses oleh kateter, trombus sukar dipecah dan kontraindikasi antikoagulan.3 Setelah
tindakan pembedahan, heparin diberikan selama 5 hari, pemberian warfarin harus
dimulai 1 hari setelah operasi dan dilanjutkan selama 6 bulan sesudahnya. Untuk hasil
maksimal pembedahan sebaiknya dilakukan dalam 7 hari setelah onset DVT. Pasien
phlegmasia cerulea dolens harus difasiotomi untuk tujuan dekompresi kompartemen
dan perbaikan sirkulasi.
Komplikasi
1) Pulmonary Embolism (PE)
Emboli paru adalah penyumbatan arteri pulmonalis atau percabangannya akibat
bekuan darah yang berasal dari tempat lain. Tanda dan gejalanya tidak khas,
seringkali pasien mengeluh sesak napas, nyeri dada saat menarik napas, batuk
sampai hemoptoe, palpitasi, penurunan saturasi oksigen. Kasus berat dapat
mengalami penurunan kesadaran, hipotensi bahkan kematian. Standar baku
penegakan diagnosis adalah dengan angiografi, namun invasif dan membutuhkan
tenaga ahli. Dengan demikian, dikembangkan metode diagnosis klinis,
pemeriksaan D-Dimer dan CT angiografi.
2) Post-thrombotic syndrome Post-thrombotic syndrome terjadi akibat inkompetensi
katup vena yang terjadi pada saat rekanalisasi lumen vena yang mengalami
trombosis, atau karena sisa trombus dalam lumen vena. Sindrom ini ditandai oleh
bengkak dan nyeri berulang dan progresif, dapat terjadi dalam 1 sampai 2 tahun
setelah kejadian trombosis vena dalam, pada 50% pasien. Pada beberapa pasien
dapat terjadi ulserasi (venous ulcer), biasanya di daerah perimaleolar tungkai.
Ulserasi dapat diberi pelembap dan perawatan luka. Setelah ulkus sembuh pasien
harus menggunakan compressible stocking untuk mencegah berulangnya post
thrombotic syndrome. Penggunaan compressible stocking dapat dilanjutkan
selama pasien mendapatkan manfaat tetapi harus diperiksa berkala.
5. PENCEGAHAN
Mengingat sebagian besar tromboemboli vena bersifat asimptomatik atau tidak disertai
gejala klinis yang khas, biaya yang tinggi jika terjadi komplikasi dan resiko kematian
akibat emboli paru yang fatal, pencegahan trombosis atau tromboprofilaksis harus
dipertimbangkan pada kasus-kasus yang mempunyai resiko terjadinya tromboemboli
vena.
Metode pencegahan terhadap TVD saat ini adalah ambulasi dini, graduated compression
stockings, pneumatic compression devices, dan antikoagulan seperti warfarin, UFH
subkutan, dan LMWH.
Penggunaan regimen harus didasarkan pada tampilan klinis dan faktor resiko yang
dimiliki oleh pasien.Graduated compression stockings dipasang pada ekstremitas bawah
dan memiliki profil tekanan yang berbeda sepanjang stocking dengan tujuan mengurangi
penumpukan darah vena. Penelitian menunjukkan pencegahan ini cukup efektif dengan
efek samping minimal.Pneumatic compression devices juga disebut sequential
compression devices memanjang sampai ke lutut atau paha dan juga digunakan sebagai
profilaksis TVD.Penggunaan pneumatic compression devices mengurangi resiko
pembentukan gumpalan darah dengan menstimulasi pelepasan faktor fibrinolisis juga
dengan kompresi mekanis dan pencegahan penggumpalan darah vena.
b. Epidemiologi
Lebih banyak terjadi pada negara-negara barat kemungkinan besar disebabkan
oleh gaya hidup dan aktivitas penduduknya yang memiliki jam kerja yang lebih
lama atau aktivitas yang cenderung lebih padat.
Prevalensi meningkat seiring pertambahan usia
Pria muda : wanita muda = 1 : 3; pria > 50 tahun : wanita > 50 tahun = 2 : 5
c. Anatomi vena
Vena di ekstremitas bisa diklasifikasikan menjadi superfisial, dalam, atau
perforate.
Vena superfisial terletak antara dermis dengan fascia otot, yang meliputi V.
Saphena Magna dan V. Saphena Parva.
V. Saphena Magna berasal dari sisi medial kaki dan berjalan naik ke anterior
dari maleolus medial dan berjalan sepanjang cruris serta regio femur lalu masuk
ke V. Femoralis
V. Saphena Parva berasal dari dorsolateral kaki, naik ke arah posterior maleolus
lateral, kemudian sepanjang posterolateral cruris dan masuk ke V. Popliteal
Vena dalam terletak di dalam dari fascia otot yang pada umumnya mendampingi
arterinya. Meliputi V. Femoralis, V. Popliteal, V. Tibialis Anterior dan Posterior,
serta V. Fibularis.
Vena superfisial dan dalam dihubungkan oleh vena perforate yang menembus
fascia
Trunk incompetence: refluks dari V. Saphena Magna dan Parva
Tributary varicosis: refluks dari cabang individual V. Saphena
Perforator incompetence: refluks dari vena yang menghubungkan vena dalam
dan superfisial
Refluks di vena dalam 🡪 umumnya disebabkan oleh konsekuensi trombosis
(DVT)
d. Etiologi
Kongenital : kelainan dimana katup yang seharusnya terbentuk di suatu segmen
ternyata tidak terbentuk sama sekali (aplasia, avalvulia), atau pembentukannya
tidak sempurna (displasia), berbagai malformasi vena, dan kelainan lainnya yang
baru diketahui setelah penderitanya berumur
Primer : kelemahan intrinsik dari dinding katup, yaitu terjadi lembaran atau daun
katup yang terlalu panjang (elongasi) atau daun katup menyebabkan dinding vena
menjadi terlalu lentur tanpa sebab-sebab yang diketahui
Studi tentang insufisiensi vena kronis primer menyatakan adanya penurunan
kandungan elastin, peningkatan pembentukan kembali matriks ekstraseluler dan
infiltrat inflamasi. Hal tersebut akan mengubah integritas vena yang menyebabkan
dilatasi dan inkompetensi katup.
Sekunder : disebabkan oleh keadaan patologik yang didapat (acquired), umumnya
akibat adanya penyumbatan trombosis vena dalam yang menimbulkan gangguan
kronis pada katup vena dalam 🡪 DVT
DVT, adanya thrombus dapat menyebabkan gangguan atau pencetusan respon
inflamasi pada katup. Kondisi katup yang rusak tidak dapat mencegah aliran darah
yang mundur/backflow. Dalam kata lain katup akan mengalami regurgitasi dan
aliran darah dapat kembali ke bawah dan menyebabkan penumpukan darah serta
cairan di regio inferior kaki.
e. Faktor Resiko
Usia tua: akibat degenerasi serat elastin dan otot polos pada dinding vena
Jenis kelamin perempuan, kehamilan: dipengaruhi hormon estrogen 🡪 pembuluh
darah normal dan katup normal bisa menjadi sangat terdistensi di bawah pengaruh
hormon.
Obesitas: dihubungkan dengan tekanan hidrostatik yang meningkat akibat
peningkatan volume darah serta kecenderungan tidak adekuatnya struktur
penyangga vena
Posisi duduk atau berdiri diam dalam jangka waktu lama: berhubungan dengan
aliran darah vena yang melawan arah gravitasi ketika berdiri, sehingga
memerlukan tekanan yang lebih untuk mengembalikan darah dari ekstremitas ke
jantung
Pasca operasi ekstremitas bawah: karena dapat mengganggu fungsi normal dari
pembuluh vena
Riwayat DVT
f. Patofisiologi
Patofisiologi insufisiensi vena kronik disebabkan oleh refluks (aliran balik) atau
obstruksi aliran darah vena. Insufisiensi vena kronis dapat berkembang dari
inkompetensi katup vena superfisial, vena dalam, atau vena perforasi yang
menghubungkannya secara terus menerus. Pada semua kasus, akhirnya akan
menimbulkan hipertensi vena pada ekstremitas bawah.
Inkompetensi superfisial biasanya karena katup yang melemah atau berbentuk tidak
normal atau diameter vena yang melebar sehingga mencegah penutupan katup normal.
Katup bocor dalam banyak kasus terletak di dekat terminal dari vena saphena magna ke
vena femoralis komunis. Sementara dalam beberapa kasus, disfungsi katup mungkin
kongenital, bisa juga akibat trauma, berdiri lama, perubahan hormonal atau trombosis.
Terlepas dari penyebabnya, tekanan hidrostatik vena yang terus meningkat serta
adanya ekstravasasi cairan dan elemen darah ke jaringan sekitar yang terus menerus
dapat menuju ke Chronic Venous Insufficiency.
Karena ada peningkatan tekanan hidrostatik yang sangat tinggi dan penurunan shear
stress/tegangan geser (gaya gesekan yang dihasilkan oleh aliran darah di endotel, yaitu
gaya yang diberikan aliran darah pada dinding pembuluh darah) dapat menjadi kunci
terjadinya inflamasi. Karena ada penemuan bahwa shear stress yang normal dapat
mendukung efek antiinflamatori.
Peningkatan tekanan hidrostatik vena dan penurunan shear stress dapat mengarah ke
peningkatan tension dan distensi dari dinding vena, yang diikuti oleh aktivasi matrix
metalloproteinase (MMP) melalui regulasi yang dimediasi oleh faktor transkripsi
Hypoxia Inducible Factor (HIF).
Perubahan hemodinamik dan penurunan aliran balik vena di vena besar di kaki
mengakibatkan aliran darah dan cairan ke vena superfisial dan kapiler yang lebih kecil
pada kulit. Akibatnya, lapisan kapiler dan mikrovaskulatur menjadi melebar secara
kronis, padat, memanjang, dan berliku-liku. Kerusakan pada glikokaliks dan endotelium
pada kapiler bertekanan abnormal ini menyebabkan peningkatan permeabilitas, edema,
kebocoran sel darah merah, dan infiltrasi dan aktivasi leukosit. Peningkatan kadar MMP
di jaringan dermal yang meradang kronis berkontribusi pada kerusakan matriks
ekstraseluler dan kolagen yang berlebihan, yang dapat menyebabkan gangguan
penyembuhan dan ulserasi.
Remodeling dan permeabilitas kapiler yang abnormal juga telah dikaitkan dengan
tingginya level plasma dari faktor pertumbuhan endotel vaskular yang ditemukan pada
pasien CVD, terutama mereka yang mengalami perubahan kulit. Perkembangan fibrosis
jaringan dermal mungkin disebabkan oleh tingginya kadar TGF-β1 yang ada di kulit
tungkai bawah pasien CVD karena TGF-β1, diproduksi oleh leukosit yang diaktifkan,
merangsang produksi kelebihan fibrinogen dan kolagen, yang menyebabkan fibrosis.
Akhirnya, pemecahan sel darah merah yang diekstravasasi dan pelepasan selanjutnya
dari hemoglobin dan besi besi ke dalam struktur sekitarnya, meningkatkan keadaan
oksidatif jaringan, yang meningkatkan aktivitas MMP, memperburuk kerusakan jaringan,
dan selanjutnya mengganggu penyembuhan luka.
g. Gejala Klinis
Nyeri ekstremitas bawah, rasa berat, sensasi tertekan dan berdenyut ketika berdiri
dalam waktu yang lama 🡪 membaik ketika kaki dinaikkan
Terasa panas, gatal, lelah
Edema
Telangiektasia, varicose vein 🡪 akibat venous hypertension dan dilatasi vena
Beberapa mengalami hiperpigmentasi kulit permanen akibat deposisi hemosiderin
saat sel darah merah mengekstravasasi ke jaringan sekitarnya.
Banyak dari pasien ini juga akan menderita lipodermatosklerosis, yaitu penebalan
kulit akibat fibrosis dan nekrosis lemak subkutan.
Seiring perkembangan penyakit, mikrosirkulasi yang terganggu dan melemahnya
kulit dapat menyebabkan pembentukan ulkus. Sering terjadi di malleolus medial,
yang merupakan tempat dengan tekanan yang paling tinggi
h. Klasifikasi
Klasifikasi ini digunakan secara klinis untuk CVI ekstremitas bawah. Terdapat empat
kelompok penilaian fungsi vena pada ekstremitas bawah, yaitu:
1) Clinical (tanda klinis) 🡪 terdiri dari 6 grade. Tambahkan keterangan A untuk
asimtomatis dan S untuk simtomatis
C1 🡪 Fase awal mencakup telangiectasis (spider vein) dan reticular vein,
biasanya sekitar pergelangan kaki 🡪 considered as “warning veins”
Telangiectasis: dilatasi vena intradermal dengan diameter < 1 mm.
Reticular veins : dilatasi vena subkutan dengan diameter 1-3 mm
Fase awal C1 tidak berhubungan dengan gejala yang spesifik untuk CVI dan
merupakan masalah kosmetik untuk pasien
C2 🡪 perkembangan varicose veins. Merupakan vena subkutan yang
inkompeten dengan diameter > 3 mm. Jika disfungsinya tidak ditangani,
diameternya dapat melebar sampe di titik dimana varicose vein tersebut dapat
dilihat dengan mata telanjang
C3 🡪 onset bisa diesbut CVI. Biasanya spontan terlihat saat malam hari,
namun akan menetap pada kasus yang tidak tertangani. Karena ada tekanan
tinggi otomatis ada ekstravasasi plasma ke interstitial
C4 🡪 Venous hypertension menyebabkan ekstravasasi eritrosit dan deposisi
hemosiderin di dermal 🡪 hiperpigmentasi . Edema kronis juga bisa
mengarah ke dematitis statis, dengan ciri adanya eritema, bersisik/eksema,
kadang-kadang gatal. Biasanya ini salah diagnosis dengan
erysipelas/cellulitis
As Ad Ap
Telengiektasia atau Vena cava inferior Femora
retikuler l
VSM – superior lutut Iliaka komunis Cruris
VSM – inferior lutut Iliaka internal
VSP Iliaka eksternal
Non-safena Pelvis, gonadal
Femoral – komunis
Femoral – profunda
Femoral – superfisial
Poplitea
Krural – tibia anterior/posterior,
peroneal
Gastroknemius, soleal
i. Diagnosis
a. Anamnesis: secara holistik termasuk menggali keluhan pada sisi kontralateral
b. Pemeriksaan fisik: tes penekanan dengan turniket
a) Tes Tredelenburg dan Tes Perthe
Manuver di samping tempat tidur dapat digunakan untuk membedakan varises
primer dari varises sekunder yang disebabkan oleh insufisiensi vena dalam.
Namun dengan penggunaan USG vena kontemporer, manuver ini jarang
dilakukan.
Tes Brodie-Trendelenburg digunakan untuk menentukan apakah varises
merupakan penyebab sekunder dari insufisiensi vena dalam. Saat pasien
berbaring telentang, tungkai diangkat dan pembuluh darah dibiarkan kosong.
Kemudian, tourniquet dipasang di bagian proksimal paha dan pasien diminta
untuk berdiri. Pengisian varises dalam waktu 30 detik menunjukkan bahwa
varises disebabkan oleh insufisiensi vena dalam dan vena perforasi yang tidak
kompeten. Varises primer dengan insufisiensi vena superfisial adalah
diagnosis yang mungkin terjadi jika pengisian ulang vena terjadi segera setelah
torniket dilepas.
Tes Perthes menilai kemungkinan obstruksi vena dalam. Sebuah tourniquet
dipasang di bagian tengah paha setelah pasien berdiri, dan varises terisi. Pasien
kemudian diinstruksikan untuk berjalan selama 5 menit. Sistem vena dalam yang
paten dan vena perforate yang kompeten memungkinkan vena superfisial di
bawah torniket tetap kolaps. Obstruksi vena dalam mungkin ada jika vena
superfisial semakin membesar saat berjalan.
b) Pemeriksaan penunjang:
USG Duplex
Tes diagnostik utama/gold standard untuk mengevaluasi pasien dengan
penyakit vena kronis adalah ultrasonografi dupleks vena. Pemeriksaan
ultrasonografi dupleks vena menggunakan kombinasi 2 gelombang pencitraan
B-mode dan spektral Doppler untuk mendeteksi adanya obstruksi vena dan
refluks vena di vena superfisial dan dalam.
Ultrasonografi Colorassisted Doppler berguna untuk memvisualisasikan
pola aliran vena. Obstruksi dapat didiagnosis dengan tidak adanya aliran,
adanya trombus ekogenik di dalam vena, atau kegagalan vena untuk kolaps
saat manuver kompresi diterapkan oleh sonografer, dan menunjukkan adanya
trombus intraluminal. Refluks vena terdeteksi dengan pembalikan arah aliran
vena yang berkepanjangan selama manuver Valsava, terutama untuk vena
femoralis atau saphenofemoral junction, atau setelah kompresi dan pelepasan
manset yang ditempatkan pada ekstremitas distal ke area yang diperiksa
j. Tata laksana
1) Non-Medikamentosa
Pasien disarankan aktif bergerak dan tidak mempertahankan suatu posisi
dalam waktu yang terlalu lama. Jika terpaksa untuk duduk atau berdiri dalam
waktu lama, penting untuk melakukan elevasi tungkai ke atas dan ke bawah
secara bergantian
Elevasi kaki sekitar 15 cm saat beristirahat
Mengurangi berat badan jika seandainya berlebih
Olahraga teratur sangat dianjurkan. Namun perlu diingat untuk menghindari
olahraga yang terlalu berat dan intensif terutama yang dapat meningkatkan
tekanan vena (misalnya tenis dan bulu tangkis)
Menggunakan kaus kaki kompresi. membantu memperbaiki gejala dan
keadaan hemodinamik dengan varises vena dan menghilangkan edema. Kaus
kaki dengan tekanan 20-30 mmHg (grade II) memberikan hasil yang
maksimal. Kekurangan penggunaan kaos kaki adalah harga yang relative
mahal, kurangnya pendidikan pasien, dan kosmetik yang kurang baik
2) Medikamentosa
Diuretik dapat mengurangi edema, tetapi dengan risiko penurunan volume dan
gangguan fungsi ginjal.
Steroid topikal dapat digunakan dalam waktu singkat untuk mengobati
peradangan yang terkait dengan dermatitis stasis.
Pentoxifylline, turunan xanthine derivative, untuk meningkatkan aliran darah
melalui pembuluh darah, dapat dikombinasikan dengan terapi kompresi untuk
membantu menyembuhkan ulkus kaki.
Sclerotherapy digunakan pada pasien dengan usia lanjut. Caranya dengan
menginjeksi bahan kimia kedalam pembuluh darah sehingga tidak berfungsi
lagi. Darah kemudian kembali ke jantung melalui vena lain dan tubuh
menyerap pembuluh darah yang terluka.
3) Pembedahan
Ligasi
Vena yang rusak diikat sehingga darah tidak melewati vena tersebut. Jika
vena atau katup rusak berat, pembuluh darah akan diangkat (vein stripping).
Surgical repair
Vena atau katup diperbaiki dengan operasi, melalui sayatan terbuka atau
dengan penggunaan kateter.
Vein Transplant
Mengganti pembuluh darah yang rusak dengan pembuluh darah sehat dari
bagian tubuh yang lain.
Subfascial endoscopic perforator surgery
Prosedur invasive minimal dilakukan dengan endoskopi. Vena perforator
dipotong dan diikat. Hal ini memungkinkan darah mengalir ke pembuluh
darah yang sehat dan meningkatkan penyembuhan ulkus
k. Komplikasi
Lima sampai tujuh persen kasus mengalami cedera pada nervus cutaneus,
keadaan ini sering bersifat sementara namun dapat bersifat permanen.
Komplikasi berupa
terjepitnya vena dan arteri femoral juga tidak dapat untuk dihindari.
Hematom dan infeksi pada luka relatif sering terjadi (sampai dengan 10%), dan
terjadi gangguan dalam aktivitas dan bekerja sehari-hari.
l.Prognosis
CVI bukan kelainan jinak dan membawa morbiditas yang sangat tinggi.
Tanpa terapi yang baik, kondisinya progresif memburuk.
Ulkus vena sering terjadi dan sangat sulit diobati. Ulkus vena kronis terasa nyeri
dan melemahkan ekstremitas. Bahkan dengan pengobatan, kekambuhan sering
terjadi jika hipertensi vena berlanjut.
Insufisiensi vena juga dapat menyebabkan perdarahan hebat.
Pembedahan untuk CVI tetap tidak memuaskan meskipun tersedia banyak
prosedur.
Biaya perawatan pasien sangat besar.