Anda di halaman 1dari 270

PENDIDIKAN

ANTIKORUPSI

Edisi Revisi
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta
Pasal 2 :
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah
suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana
Pasal 72 :
1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan per­­buatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00
(satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak
Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
PENDIDIKAN
ANTIKORUPSI
Edisi Revisi

Dr. Eko Handoyo, M.Si.

www.penerbitombak.com

2013
PENDIDIKAN ANTIKORUPSI
Copyright©Dr. Eko Handoyo, M.Si., 2013

Cetakan I: Fakultas Ilmu Sosial UNNES dan Widya Karya, Semarang, 2009

Diterbitkan kembali oleh


Penerbit Ombak (Anggota IKAPI), 2013
Perumahan Nogotirto III, Jl. Progo B-15, Yogyakarta 55292
Tlp. (0274) 7019945; Fax. (0274) 620606
e-mail: redaksiombak@yahoo.co.id
facebook: Penerbit Ombak Dua
website: www.penerbitombak.com

PO.***.**.’13

Penulis: Dr. Eko Handoyo, M.Si.


Tata letak: Nanjar Tri Mukti
Sampul: Dian Qamajaya

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)


PENDIDIKAN ANTIKORUPSI
Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013
** + *** hlm.; 14,5 x 21 cm
ISBN: 978-602-258-***-*
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR


KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN
PENDIDIKAN ANTIKORUPSI PERLUKAH?

BAB II KORUPSI, ANTIKORUPSI, DAN PENDIDIKAN ANTIKORUPSI


A. Pengertian dan Ciri-Ciri Korupsi
B. Penyakit Korupsi
C. Pengertian Antikorupsi
D. Nilai-Nilai Antikorupsi
1. Kejujuran
2. Tanggung Jawab
3. Keberanian
4. Keadilan
5. Keterbukaan
6. Kedisiplinan
7. Kesederhanaan
8. Kerja keras
9. Kepedulian
E. Pendidikan Antikorupsi

v
vi D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

F. Sekolah dan Perguruan Tinggi sebagai Agen


G. Metode Pembelajaran Mata Kuliah Pendidikan
Antikorupsi
1. Diskusi di dalam Kelas (In-Class Discussion)
2. Studi Kasus (Case Study)
3. Skenario Sistem Pengembangan (Improvement
System Scenario)
4. Kuliah Umum (Generale Lecture)
5. Diskusi Film (Film Discussion)
6. Laporan Investigasi (Investigative Report)
7. Eksplorasi Tematik (Thematic Exploration)
8. Prototipe (Prototype)
9. Pembuktian Kebijakan Pemerintah (Prove The
Government Policy)
10. Alat-Alat Pendidikan (Education Tools)
11. Pembelajaran Keterampilan Menulis Terpadu
(Integrated Writing)
12. Pembelajaran Keterampilan Pemecahan Masalah
Sosial (Social Problem Solving)
H. Rangkuman

BAB III BENTUK DAN JENIS-JENIS KORUPSI


A. Bentuk Korupsi
B. Jenis-Jenis Korupsi
C. Rangkuman

BAB IV FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB DAN DAMPAK KORUPSI


A. Faktor-Faktor Penyebab Korupsi
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i vii

B. Dampak Korupsi
C. Rangkuman

BAB V LEMBAGA-LEMBAGA ANTIKORUPSI DI INDONESIA


A. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)
B. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
C. Indonesian Corruption Watch (ICW)
D. Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
E. Transparency International Indonesia (TII)
F. Rangkuman

BAB VI PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA DALAM


LINTASAN SEJARAH
A. Pemberantasan Korupsi Pada Masa Orde Lama
B. Pemberantasan Korupsi Pada Masa Orde Baru
C. Pemberantasan Korupsi Pada Masa Reformasi
D. Rangkuman

BAB VII STRATEGI PEMBERANTASAN KORUPSI DI BERBAGAI


NEGARA
A. Pemberantasan Korupsi di Australia
B. Pemberantasan Korupsi di Finlandia
C. Pemberantasan Korupsi di China
D. Pemberantasan Korupsi di Hongkong
E. Pemberantasan Korupsi di Malaysia
F. Pemberantasan Korupsi di Singapura
G. Pemberantasan Korupsi di Thailand
H. Rangkuman
viii D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

BAB VIII PERAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM


PEMBERANTASAN KORUPSI
A. Visi, Misi dan Strategi KPK
B. Kedudukan, Tugas, Wewenang, dan Kewajiban KPK
C. Susunan Organisasi KPK
D. Kode Etik Pimpinan KPK
E. Sekilas Keberhasilan KPK
1. Mulyana Wira Kusuma (anggota KPU periode 1999-
2004)
2. Said Agil Husin Al Munawar
3. Ahmad Sujudi
4. Wafid Muharam
5. Abdullah Puteh
6. Bambang Guritno
7. Taufik Hidayat, Sjamsul Arifin, Sjamsul Qamar,
Mahyani Diris, Hayatus Solohin, dan Sayuti Enggok
8. Probosutedjo
9. Harini Wijoso
10. Roesdihardjo dan Arihken Tarigan
11. Rokhmin Dahuri
12. Hendy Boedoro
13. Miranda Goeltom
14. Satono
15. Mochtar Mohammad
16. M. Yaeni
17. Soemarmo
18. Wa Ode Nurhayati
19. Muhamad Nazaruddin
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i ix

20. Angelina Sondakh


21. Lukman Abas
F. Rangkuman

BAB IX PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBERANTASAN


KORUPSI
A. Hak dan Tanggung Jawab Masyarakat
B. Pemberian Penghargaan
C. Rangkuman

BAB X BELAJAR DARI ORANG-ORANG BERSIH


A. Joko Widodo (Jokowi)
B. Tri Rismaharini
C. Yusuf Wally
D. La Tinro La Tunrung
E. Amran Nur
F. Muda Mahendrawan
G. Abdul Kholiq Arif
H. Herman Sutrisno
I. Rangkuman

DAFTAR PUSTAKA
GLOSARIUM
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR

DAFTAR TABEL

1. Jenis-jenis Korupsi
2. Potensi Kerugian Negara karena Kasus Korupsi
3. Peringkat Korupsi di Asia Pasifik Tahun 2010
4. Faktor-faktor Pemicu Keberhasilan dan Kegagalan Lembaga
Antikorupsi
5. Data Korupsi Pejabat Versi Depdagri (2004-2006)
6. Bidang dan Subbidang dalam KPK
7. Laporan Masyarakat dan Gratifikasi yang ditindaklanjuti oleh
KPK

DAFTAR GAMBAR

1. Segitiga Kecurangan
2. Penanganan Pengaduan Masyarakat
3. Penanganan Kasus/Perkara TPK
4. Perkara TPK Yang Berkekuatan Hukum Tetap (Inkracht)
5. Uang Negara Yang Berhasil Dikembalikan

x
KATA PENGANTAR

K
orupsi merupakan perbuatan amoral yang dilakukan oleh
siapa pun, kapanpun, dan di manapun yang menyalahguna­
kan wewenang atau kekuasaan dan menyimpang dari aturan yang
berlaku yang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, orang
lain, atau kelompok. Banyak yang mengatakan bahwa kemiskinan
menjadi biang keladi bagi tumbuhnya perilaku korupsi, tetapi
pendapat tersebut terbantahkan karena banyak juga korupsi
terjadi di negara-negara yang masyarakatnya sudah makmur.
Bahkan tidak jarang korupsi yang mereka lakukan lebih rapi dan
sistematis, sehingga seolah-olah yang dilakukan bukan perbuatan
korupsi, apalagi jika hasilnya dibagi-bagikan kepada semua pihak.
Dampak korupsi sungguh luar biasa. Ia bisa membuat orang
mati kelaparan gara-gara akses dan aset dikuasai oleh koruptor.
Kriminalitas merajalela, karena sumber-sumber formal tertutup
bagi orang-orang yang kalah (looser), sehingga apapun caranya,
termasuk mencuri dan merampok sekalipun mereka lakukan.
Kinerja perekonomian merosot demikian pula keuangan negara
tergerogoti gara-gara ulah para koruptor. Gara-gara korupsi,
tanah-tanah beralih fungsinya sehingga tidak mampu mendukung
keseimbangan ekosistem. Demikian pula, hutan-hutan digunduli
dan rusak karenanya, sehingga menghilangkan devisa negara.
Penduduk hutan yang biasanya menyambung hidup dari kebaikan

xi
xii D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

alam, tergeser, terpinggirkan, dan cukup banyak di antaranya yang


mati. Pendek kata, korupsi telah merusak sendi-sendi kehidupan
masyarakat, bangsa, dan negara.
Ulasan singkat di atas merupakan ringkasan kecil dari isi buku
yang berjudul Pendidikan Antikorupsi (Edisi Revisi). Buku yang tidak
banyak halamannya ini, menyediakan pembaca untuk memahami
seluk beluk korupsi yang terjadi di Indonesia, mulai dari konsep
tentang korupsi, antikorupsi, pendidikan antikorupsi, bentuk-
bentuk korupsi, sebab-sebab dan dampak korupsi, lembaga-
lembaga antikorupsi, sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia,
strategi pemberantasan korupsi di berbagai negara, peran KPK
dalam pemberantasan korupsi, hingga partisipasi masyarakat
dalam pemberantasan korupsi. Selain menyajikan data-data
tentang korupsi, baik dari nilai rupiahnya maupun pelakunya, juga
diuraikan analisis secukupnya tentang fenomena korupsi yang
terjadi di Indonesia.
Jika sebagian besar isi buku lebih banyak mengetengahkan
informasi tentang persoalan korupsi dan bahayanya, maka dalam
edisi revisi ini ditambahkan materi pada bab terakhir tentang
sepak terjang para kepala daerah terpilih yang memberi inspirasi
bagi siapa pun dalam memberikan pelayanan terbaik kepada
masyarakat dan tentu yang lebih penting adalah komitmen
mereka untuk membuat kebijakan yang jauh dari unsur korupsi.
Itu semua memberi pelajaran bahwa di negeri ini masih banyak
individu dan tokoh politik yang pro rakyat sekaligus antikorupsi,
yang dapat menjadi teladan bagi generasi muda untuk mengelola
kehidupannya lebih baik demi kemajuan masyarakat, bangsa, dan
negara.
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i xiii

Perspektif hukum lebih banyak mewarnai analisis tentang


berlangsungnya perbuatan korupsi, sehingga tidak heran jika
dalam buku ini banyak disajikan undang-undang, peraturan-
peraturan, pasal-pasal, dan ayat-ayat yang mungkin membosankan
bagi pembaca yang tidak biasa membaca naskah buku berbasis
hukum. Penggunaan perspektif hukum ini, hendak meyakinkan
pembaca bahwa perbuatan korupsi benar-benar bertentangan
dengan hukum. Selain itu, ada misi suci, yakni mengajak semua
orang untuk berkata “tidak” terhadap korupsi dan melawannya.
Buku ini lebih banyak ditujukan kepada generasi muda,
khususnya mahasiswa, karena merekalah calon pemimpin bangsa
di masa depan yang harus pertama kali mengerti dan memahami
bahwa korupsi adalah musuh bersama yang harus diperangi.
Dengan idealisme dan kemampuan intelektualisme yang dimiliki
para mahasiswa, gerakan antikorupsi akan dapat berjalan lancar,
mampu menembus sekat-sekat etnis, ras, agama, kelompok, dan
golongan, serta akan mampu menciptakan kebiasaan berperilaku
antikorupsi yang sangat dibutuhkan oleh bangsa ini untuk menjadi
bangsa yang unggul, mandiri, maju, adil, dan makmur.

Semarang, Maret 2013


Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN
PENDIDIKAN ANTIKORUPSI PERLUKAH?

S
ejak reformasi bergulir tahun 1998 yang lalu hingga kini, berita
tentang korupsi makin gencar. Berbagai harian (surat kabar)
di Indonesia hampir tiap hari dalam terbitannya memberitakan
peristiwa korupsi. Dalam berita tersebut, korupsi tidak hanya
melanda kehidupan politik, tetapi juga ekonomi dan sosial. Pelaku
yang ditindak oleh aparat tidak hanya para pelaku bisnis, tetapi juga
mereka yang berasal dari kalangan birokrasi dan pemerintahan,
DPR, DPRD, bahkan pula kalangan kampus perguruan tinggi dan
sekolah. Rakyat kecil pun, seperti pedagang beras, pedagang
buah, kondektur bus, sopir angkutan, dan tukang becak pun
turut melakukan korupsi kecil-kecilan. Korupsi tampaknya sudah
menjadi budaya masyarakat Indonesia.
Korupsi sesungguhnya bukan merupakan penyakit di luar diri
bangsa. Ia adalah penyakit bawaan, sebab benih-benih korupsi
sudah ada dalam tubuh bangsa Indonesia tidak hanya pada masa-
masa ketika Indonesia dijajah bangsa kolonial, tetapi juga sudah
berlangsung pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan nusantara.
Upaya untuk mencegah meluasnya perbuatan korupsi dan
tindakan hukum untuk mengatasinya pun telah dilakukan pada

1
2 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

masa kerajaan-kerajaan nusantara. Azra (2006: viii) menulis bahwa


pada masa kerajaan Islam nusantara, Undang-Undang Melaka yang
digunakan sebagai rujukan hukum di beberapa kerajaan Islam di
wilayah Sumatera, secara eksplisit memuat hukum larangan suap-
menyuap. Bahkan segala macam hadiah yang diperuntukkan bagi
hakim termasuk pemberian makanan dan uang yang bersumber
dari baitul mal dianggap sebagai suap dan tegas-tegas haram
hukumnya.
Korupsi menjadi salah satu masalah yang serius di tubuh
pemerintahan. Ia tidak hanya merupakan masalah lokal, tetapi
sudah menjadi fenomena internasional yang memengaruhi seluruh
masyarakat dan merusak seluruh sendi kehidupan. Perhatian
masyarakat internasional sangat tinggi terhadap fenomena korupsi
ini. Komitmen untuk melakukan pemberantasan korupsi didukung
oleh lembaga-lembaga pembiayaan dunia, seperti World Bank,
ADB, IMF, dan organisasi internasional lainnya seperti OECD dan
APEC.
PBB dalam sidang umum pada tanggal 16 Desember 1996
mendeklarasikan upaya pemberantasan korupsi dalam dokumen
United Nation Declaration Against Corruption and Bribery In
International Commercial Transaction yang dipublikasikan sebagai
resolusi PBB Nomor A/RES/51/59 tanggal 28 Januari 1997. Semangat
antikorupsi terus berlanjut, ketika wakil-wakil dari masyarakat 93
negara menyatakan Declaration of 8th International Conference
Against Corruption di Lima Peru pada tanggal 11 September 1997.
Dalam konferensi tersebut disepakati bahwa untuk memerangi
korupsi diperlukan kerjasama antara masyarakat, dunia usaha,
dan pemerintah. Butir-butir kesepakatan lainnya yang penting,
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 3

diantaranya adalah semua penyelenggaraan pemerintahan harus


dilakukan secara transparan dan akuntabel serta harus menjamin
independensi, integritas, dan depolitisasi sistem peradilan sebagai
bagian penting dari tegaknya hukum yang akan menjadi tumpuan
dari semua upaya pemberantasan korupsi secara efektif. PBB
terus berupaya menebar semangat antikorupsi kepada semua
bangsa di dunia, hingga pada tahun 2003 menetapkan konvensi
melawan korupsi (United Nations Convention Against Corruption).
United Nations Convention Against Corruption 2003 tersebut oleh
pemerintah Indonesia disahkan melalui Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2006.
Dalam preambul konvensi tersebut diungkapkan adanya
keprihatinan atas keseriusan masalah dan ancaman yang
ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan
masyarakat yang merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai
demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta mengacaukan
pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum.
Konvensi juga prihatin terhadap hubungan antara korupsi dan
bentuk-bentuk kejahatan lain, khususnya kejahatan terorganisasi
dan kejahatan ekonomi termasuk pencucian uang.
Korupsi yang sudah berlangsung lama sejak Indonesia kuno,
madya, hingga modern tampaknya telah membudaya. Bahkan
Azra (2006: viii) memandang kultur korupsi telah sampai pada level
yang membahayakan bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara Indonesia. Bahkan secara universal boleh dikata
korupsi sama tuanya dengan umur manusia atau paling tidak sejak
adanya organisasi negara, korupsi muncul mengiringinya. Korupsi
muncul menyertai kelahiran negara, sebab negara memiliki
4 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

kekuasaan (power) yang jika tidak amanah akan dengan mudah


diselewengkan. Persoalan ini sudah diungkap oleh Lord Acton
dalam pernyataannya yang terkenal “power tend to corrupt and
absolute power tend corrupts absolutely”.
Indonesia bukannya tidak berupaya memberantas korupsi.
Sejak era orde lama, orde baru, hingga era reformasi, pemerintah
berusaha keras melakukan pemberantasan korupsi. Pada
masa orde baru bahkan telah dikeluarkan TAP MPR mengenai
pemberantasan korupsi dan puncaknya pada tahun 1971
pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1971. Meskipun sudah ada undang-undang dan tim
khusus yang dibentuk Presiden Soeharto untuk menangani kasus-
kasus korupsi, perbuatan korupsi masih saja dilakukan oleh para
pengkhianat bangsa. Bahkan Soeharto turun dari jabatan, karena
disinyalir ada indikasi KKN. Agenda pemberantasan KKN yang
diusung oleh para mahasiswa pada tahun 1998 telah mendorong
Soeharto untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
Masyarakat mengira bahwa korupsi sebagai penyakit kronis
orde baru bakal hilang seiring dengan lengsernya Soeharto beserta
kroni-kroninya. Dugaan masyarakat ternyata meleset, karena
penyakit korupsi tersebut ternyata telah bermutasi menjadi
neokorupsi pada masa reformasi. Bahkan boleh dibilang korupsi
makin menjadi-jadi pada masa reformasi. Jika pada masa orde
baru, orang melakukan korupsi secara sembunyi-sembunyi atau di
bawah meja, sedangkan pada masa reformasi, korupsi dilakukan
secara terang-terangan atau dilakukan di atas meja.
Makin kronisnya tindak korupsi ini mendorong MPR
mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 5

Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi,


dan Nepotisme. Salah satu dasar pertimbangan (konsiderans)
dikeluarkannya TAP MPR ini adalah bahwa dalam penyelenggaraan
negara telah terjadi praktik-praktik usaha yang lebih
menguntungkan sekelompok tertentu yang menyuburkan korupsi,
kolusi, dan nepotisme yang melibatkan para pejabat negara dengan
para pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi penyelenggaraan
negara dalam berbagai aspek kehidupan nasional.
Sebagai tindak lanjut dari TAP MPR tersebut, Pemerintah
bersama DPR menetapkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas KKN dan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Salah satu dasar pertimbangan
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 adalah
bahwa korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak hanya dilakukan
antarpenyelenggara negara, melainkan juga antara penyelenggara
negara dan pihak lain yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta membahayakan
eksistensi negara, sehingga diperlukan landasan hukum untuk
pencegahannya (Pembinaan Jaringan Kerjasama Antar Komisi dan
Instansi KPK 2006: 153).
Upaya untuk mencegah dan memberantas korupsi dalam
UU Nomor 28 tersebut dituangkan dalam pasal 5 mengenai
kewajiban penyelenggara negara. Beberapa kewajiban tersebut
diantaranya: bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama,
dan setelah menjabat (ayat 2), melaporkan dan mengumumkan
kekayaannya sebelum dan setelah menjabat (ayat 3), tidak
6 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme (ayat 4),


dan melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab
dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk
kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok dan tidak
mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
(ayat 6). Dengan pengaturan yang jelas mengenai kewajiban
penyelenggara negara terutama yang bersinggungan dengan
masalah KKN tersebut, diharapkan para penyelenggara negara
dapat menjalankan tugas dan kewajibannya secara profesional
disertai rasa tanggung jawab yang tinggi, sehingga pada gilirannya
masyarakat dapat menikmati hak-haknya secara baik dan roda
pembangunan berjalan lancar.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai perubahan
dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan juga merupakan
kelanjutan dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dalam
konsideransnya menyatakan bahwa tindak pidana korupsi yang
selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan
negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak
sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana
korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya
harus dilakukan secara luar biasa.
Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pelaku korupsi menurut
UU Nomor 20 Tahun 2001 cukup berat. Misalnya, jika seseorang
memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan
maksud untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan
kepadanya untuk diadili, maka yang bersangkutan dapat dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 7

lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp


150.000.000,00 dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (pasal 6
ayat (1) a). Sanksi yang dijatuhkan bagi koruptor tersebut, dalam
realitasnya tidak menyurutkan langkah dan kenekatan para
koruptor atau calon koruptor baru. Itulah sebabnya, Pemerintah
bersama DPR menetapkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Pembuat Undang-Undang KPK menyadari bahwa lembaga
pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi saat
ini, seperti kepolisian dan kejaksaan, belum berfungsi secara
efekti dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Tidak jarang oknum-oknum dari kedua lembaga tersebut
berlepotan oli hitam korupsi yang melumuri wajah, tangan,
badan, dan kaki mereka, sehingga tidak mungkin mereka mampu
membersihkan diri dengan sabun antikorupsi. Oleh karenanya
dibutuhkan sebuah lembaga negara yang dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari
pengaruh kekuasaan manapun. Lembaga tersebut adalah Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau disingkat KPK.
Lembaga yang dibentuk dengan menelan biaya tidak
kurang dari Rp 6,4 miliar tersebut kehadirannya tidak sia-sia.
Kenyataannya, sejak KPK dibentuk, banyak pejabat negara seperti
menteri, anggota DPR/MPR, pejabat kepolisian dan kejaksaan,
gubernur, bupati/wali kota, politisi, dan para pengusaha kelas
kakap, ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Prestasi
tersebut tidak pernah dicapai oleh kepolisian dan kejaksaan
meskipun mereka sudah lama eksis. Perhatian dan dukungan yang
besar dari masyarakat dan lembaga-lembaga antikorupsi kepada
8 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

KPK, makin memantapkan tekat dan langkah KPK memberantas


korupsi hingga ke akar-akarnya.
Sebagaimana sudah diuraikan sebelumnya bahwa keberadaan
lembaga-lembaga penegak hukum terhadap tindak pidana korupsi
ternyata belum menyurutkan nyali koruptor untuk mencuri
atau merampok harta negara dan rakyat demi kepentingan diri,
keluarga, dan kelompok mereka. Upaya-upaya kuratif memang
memberikan hasil seketika dan memberi efek jera yang hebat,
namun karena spektrum perilaku korupsi yang demikian luas,
maka diperlukan upaya lain yang hasilnya tidak bisa dilihat
sekarang, yakni melalui pendidikan antikorupsi.
Pendidikan antikorupsi yang dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 ditangani oleh Subbidang Pendidikan dan Pelayanan
Masyarakat merupakan pilar penting dari Bidang Pencegahan
KPK. Adanya Bidang Pencegahan KPK yang membawahi Subbidang
Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat akan memperkuat tugas
KPK terutama dalam hal melakukan tindakan-tindakan pencegahan
terhadap tindak pidana korupsi.
Dalam kaitan persoalan di atas, muncul pertanyaan apakah
pendidikan antikorupsi efektif untuk melakukan pencegahan
terhadap tindak pidana korupsi, mengingat korupsi sudah seperti
tulang dan daging dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan
negara Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa sudah ada
lembaga penegak hukum andal seperti Kepolisian, Kejaksaan,
dan KPK serta sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku pun berat
baik dari sisi lama pidananya maupun jumlah denda yang harus
dibayar, namun korupsi tetap ada di mana-mana bahkan menyebar
dan meluas ke relung-relung kehidupan yang dulu tidak pernah
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 9

dibayangkan akan masuk. Masih perlukah tindakan pencegahan,


berupa pendidikan antikorupsi?
Pendidikan antikorupsi mutlak diperlukan untuk memperkuat
pemberantasan korupsi yang sedang berjalan, di antaranya
melalui reformasi sistem (constitutional reform) dan reformasi
kelembagaan (institutional reform) serta penegakan hukum
(law enforcement). Menurut Azra (2006: viii), pendidikan
antikorupsi merupakan upaya reformasi kultur politik melalui
sistem pendidikan untuk melakukan perubahan kultural yang
berkelanjutan, termasuk untuk mendorong terciptanya good
governance culture di sekolah dan perguruan tinggi.
Sekolah atau perguruan tinggi dapat mengambil peran
strategis dalam melaksanakan pendidikan antikorupsi terutama
dalam membudayakan perilaku antikorupsi di kalangan siswa dan
mahasiswa. Melalui pengembangan kultur sekolah, diharapkan
siswa-siswa memiliki modal sosial untuk membiasakan berperilaku
antikorupsi. Pendidikan antikorupsi seyogyanya diberikan kepada
anak-anak paling tidak sejak mereka duduk di bangku SD. Anak-
anak SD yang berusia antara 7 hingga 12 tahun dapat berpikir
transformasi revesible atau dapat dipertukarkan dan kekekalan
(Disiree 2008: 2). Mereka dapat mengerti adanya perpindahan
benda. Mereka mampu membuat klasifikasi dalam level konkret.
Anak-anak dapat memahami persoalan sebab akibat yang bersifat
konkret. Itulah sebabnya, kepada mereka dapat dikenalkan suatu
tindakan dengan akibat yang baik dan yang tidak baik. Berikut ini
merupakan alasan (reasoning) mengapa pendidikan antikorupsi
perlu diberikan sejak dini, terutama kepada anak-anak yang
duduk di bangku SD.
10 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

1. Siswa belum mendapatkan informasi dan sosialisasi tentang


antikorupsi. Untuk itu, mereka perlu dikenalkan terlebih
dahulu nilai-nilai konkret yang diyakini akan dapat melawan
tindakan korupsi;
2. Kurangnya keteladanan dari lingkungan (orang tua, guru,
orang dewasa di sekitar, dan media). Keteladanan dari orang-
orang terdekat dan di sekitarnya akan sangat membantu
dalam proses penanaman nilai atau budi pekerti yang
diharapkan dapat diterapkan dalam kegiatan mereka sehari-
hari;
3. Adanya kompetisi yang kurang sehat antarsiswa. Upaya
menghindari kompetisi yang kurang sehat dalam pergaulan
mereka di sekolah dapat dilakukan dengan menanamkan nilai-
nilai sekolah, seperti saling menghargai, saling menghormati,
kesederhanaan, dan tidak pamer. Bahkan jika perlu sekolah
dapat memberi penghargaan kepada siswa yang berperilaku
terpuji;
4. Sekolah tidak menerapkan aturan yang jelas dan konsisten.
Itulah sebabnya, aturan sekolah harus dibuat bersama antara
guru, orang tua, dan siswa, supaya siswa merasa ikut memiliki
dan bertanggung jawab terhadapnya. Sementara itu, guru
dan orang tua berperan sebagai fasilitator dan pengawas.
Jika ada yang melanggar aturan sekolah, yang bersalah harus
diberi hukuman sesuai dengan tingkat kesalahannya;
5. Pembelajaran di sekolah masih didominasi oleh aspek kognitif.
Pembelajaran seperti ini kurang mampu membentuk karakter
siswa. Untuk itu, perlu dikembangkan pembelajaran afektif
yang bersifaf aplikatif dengan model-model pembelajaran
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 11

yang dikuasai guru, sehingga pembelajaran kognitif akan


dapat dikawal untuk mewujudkan tujuan pendidikan sekolah
dasar. Metode dongeng, permainan (games), dan simulasi/
sosiodrama dapat diterapkan dalam pembelajaran afektif di
sekolah.

Bagaimana membangun nilai-nilai antikorupsi di kalangan


siswa-siswa SMP. Siswa-siswa SMP yang berusia antara 13 hingga
15 memiliki karakter yang tidak jauh berbeda dengan anak-
anak SD kelas V dan VI. Proses pembelajaran antikorupsi kepada
mereka diarahkan untuk mempersiapkan siswa menjunjung
tinggi nilai-nilai luhur dalam setiap sikap dan perilakunya. Itulah
sebabnya, KPK bersama guru-guru SMP di Jakarta dan sekitarnya
menyusun modul pendidikan antikorupsi untuk SMP/MTs. Melalui
modul ini, diharapkan siswa dapat menjadi agen perubahan sosial
(masyarakat) yang kelak akan mampu mengubah masyarakat
Indonesia menjadi masyarakat antikorupsi.
Materi yang diangkat dalam pendidikan antikorupsi di SMP/
MTs dikenal dengan 9 karakter pelajar, yaitu tanggung jawab,
disiplin, jujur (merupakan nilai inti bagi pelajar), sederhana, kerja
keras, mandiri (sebagai etos atau gaya hidup yang harus dimiliki
oleh generasi penerus), adil, berani, dan peduli (sebagai sikap
kepada orang lain). Sesuai dengan modul yang disusun tersebut,
hasil akhirnya adalah siswa: (1) mempunyai karakter yang luhur
yang menjunjung tinggi nilai-nilai tanggung jawab, disiplin, jujur,
sederhana, kerja keras, mandiri, adil, berani, dan peduli; (2)
mampu memenuhi komitmen sebagai pelajar yang menjunjung
tinggi nilai-nilai tanggung jawab, disiplin, jujur, sederhana, kerja
keras, mandiri, adil, berani, dan peduli dalam masyarakat dan
12 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

menjadi suri teladan dalam menciptakan masyarakat antikorupsi


(Bahri, 2008: 6).
Pendidikan antikorupsi pada jenjang pendidikan dasar pun
dilaksanakan di berbagai negara baik di daratan Eropa, Afrika, Asia,
Amerika maupun Australia. Di dunia telah dibentuk pula jaringan
kerjasama antarnegara untuk mengenalkan program pendidikan
antikorupsi. Salah satu contoh pendidikan antikorupsi adalah apa
yang telah dilaksanakan oleh China. Melalui China on line, seluruh
siswa pada jenjang pendidikan dasar diberikan mata pelajaran
pendidikan antikorupsi, yang tujuannya adalah memberikan
vaksin kepada pelajar dari bahaya korupsi. Dalam jangka panjang
generasi muda China bisa melindungi diri di tengah gempuran
pengaruh kejahatan korupsi (Suyanto, 2005: 42).
Pendidikan antikorupsi dilakukan secara berkesinambungan
dan pada tingkat sekolah dilaksanakan hingga SMA/SMK/MA.
Fokus awal dari pendidikan antikorupsi adalah siswa menghayati,
memahami nilai moral, dan membentuk perilaku hingga nilai-
nilai tersebut terbentuk secara internal melalui kebiasaan. Tujuan
akhirnya adalah perilaku yang berdasarkan nilai-nilai positif tersebut
ditularkan dan diterapkan di lingkungan sosial kemasyarakatan.
Mengapa pendidikan antikorupsi juga perlu diberikan kepada
siswa-siswa SMA/SMK/MA? Sebagaimana diketahui siswa-
siswa SMA dan sederajat berada tahap perkembangan remaja
pertengahan, dimana perkembangan intelektualnya menurut
Piaget berada pada tahap formal operations, saat dimana siswa
memiliki kemampuan berpikir abstrak dengan berpikir hipotetis,
sehingga mereka mampu membayangkan berbagai kemungkinan
penyelesaian masalah (Tamrin, 2008: 1).
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 13

Siswa-siswa SMA seperti halnya kebanyakan anak-anak


pada tahap remaja pertengahan memiliki karakteristik khusus
dalam proses pembentukan moral, yaitu: (1) mengembangkan
idealisme, (2) memiliki tokoh sebagai contoh, (3) lebih konsisten
berbuat sesuai prinsip yang diyakini, dan (4) lebih mampu
menetapkan tujuan sesuai ketertarikannya pada moral (Tamrin,
2008: 4). Seperti halnya alasan yang dikemukakan berkaitan
dengan perlunya pendidikan antikorupsi diberikan kepada anak-
anak SD, kondisi berikut juga menjadi alasan pembenar mengapa
pendidikan antikorupsi perlu juga ditanamkan kepada siswa-siswa
SMA.
1. Pembelajaran afektif belum diterapkan dengan benar
dan optimal. Umumnya pembelajaran di SMA cenderung
bersifat kognitif, sehingga dalam pembelajaran atau
pascapembelajaran siswa tidak mampu membiasakan diri
berperilaku baik dan benar;
2. Kurangnya keteladanan dari lingkungan (orang tua, guru,
orang dewasa di sekitar, pejabat pemerintahan, public figure,
dan media). Itulah sebabnya, perkataan, sikap, dan perilaku
dari orang-orang terdekat harus dapat menjadi contoh
keteladanan bagi siswa atau anak. Jika tidak, maka anak-anak
akan bertindak tanpa arah dan bahkan dapat menyimpang
dari nilai dan norma yang berlaku, meskipun kadang-kadang
hal tersebut tidak disadarinya;
3. Adanya kompetisi yang tidak sehat di kalangan anak-anak
SMA. Anak-anak berasal dari keluarga dengan latar belakang
status, kedudukan, dan lapisan yang beraneka ragam. Gaya
hidup siswa-siswa dari golongan kaya bukan tidak mungkin
14 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

akan menimbulkan kecemburuan dari mereka yang berasal


dari golongan di bawahnya. Hal ini jika tidak dikendalikan
akan dapat menimbulkan suasana pergaulan yang tidak sehat
dan kondisi ini akan dapat merusak nilai-nilai moral anak;
4. Sekolah belum dapat menerapkan aturan secara jelas,
tegas, dan konsisten. Jika sekolah tidak menerapkan aturan
secara tegas, kondisi seperti ini akan melahirkan kebiasaan
berperilaku menyimpang. Oleh karena itu, untuk memupuk
nilai-nilai ketaatan pada diri siswa, sekolah harus menerapkan
aturan secara konsisten. Bagi mereka yang salah harus segera
ditindak sesuai dengan tingkat kesalahannya;
5. Siswa-siswa SMA mempunyai bobot tanggung jawab yang
lebih besar daripada siswa-siswa di bawahnya, seperti materi
pelajaran yang makin sulit, tugas-tugas pekerjaan rumah
yang makin banyak, dan keterlibatannya dalam kegiatan
OSIS. Sistem pengawasan sekolah terhadap kegiatan siswa
baik dalam kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler
kurang berjalan sebagaimana mestinya. Hal tersebut dapat
mengakibatkan perilaku siswa tidak terkontrol, misalnya
melakukan kecurangan dalam tes atau ujian. Itulah sebabnya,
pendidikan antikorupsi melalui pengembangan nilai-nilai
luhur perlu disemaikan kepada mereka, baik dalam kegiatan
intrakurikuler maupun ekstrakurikuler;
6. Belum banyak sekolah, baik SMP maupun SMA yang
memperoleh informasi dan sosialisasi tentang pendidikan
antikorupsi. Pada level SMA, melalui pendidikan antikorupsi,
siswa-siswa diharapkan mampu melakukan analisis, mencari
berbagai alternatif pemecahan masalah, menghindari dan
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 15

melawan perilaku korupsi yang terjadi di sekitarnya.

Upaya pemberantasan korupsi, terutama dalam hal pencegahan


yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), disambut
positif oleh Departemen Pendidikan Nasional. Dalam Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah, substansi materi pendidikan antikorupsi dirumuskan
dalam kurikulum kelas V semester I, kelas VIII semester I dan kelas
X semester I. Meskipun tidak dicantumkan ke seluruh semester dari
jenjang sekolah dasar hingga menengah, tetapi upaya Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan patut diapresiasi karena hal tersebut
dapat memberikan landasan moral dan sosial kepada siswa agar
mereka memiliki kebiasaan berperilaku antikorupsi.
Dalam sejarah Indonesia, kehadiran mahasiswa tidak pernah
lepas dari peran sentral yang dimainkan. Mulai dari Soetomo,
Soekarno, Hatta, Akbar Tanjung, Rachman Tolleng, Fahmi Idris,
Hariman Siregar, hingga Rama Pratama menjadi pelopor pada
zamannya masing-masing dalam menggerakkan perubahan
sosial politik di Indonesia. Sebagaimana diungkapkan oleh Saidi
(1989: 20), bahwa sejak Indonesia mempunyai mahasiswa berkat
dibukanya pendidikan tinggi pada awal abad ke-20, mereka
sudah mempunyai kesadaran politik. Kesadaran politik ini tidak
ditujukan untuk meraih kekuasaan politik, tetapi dimaksudkan
untuk menggugah kesadaran kaum pribumi akan pentingnya roh
keindonesiaan dan sekaligus meningkatkan harkat martabat dan
derajat kaum pribumi. Betapa mulia tujuan gerakan mahasiswa
dan pemuda pada masa itu.
Sepanjang sejarah Indonesia, mahasiswa berpolitik karena
16 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

lemahnya lembaga politik atau karena lembaga tersebut


memerlukan mahasiswa sebagai kader pemimpin. Banyak di
antara aktivis-aktivis gerakan mahasiswa yang selanjutnya menjadi
pemimpin, baik di lembaga legislatif, eksekutif, maupun di dalam
partai-partai politik. Tidak sembarang mahasiswa dapat menjadi
pemimpin. Mereka sudah berbekal pengalaman organisasi yang
cukup matang, dilandasi oleh nilai-nilai tanggung jawab, kejujuran,
solidaritas, keberanian, kepedulian, dan lain-lain. Nilai-nilai inilah
yang mengantarkan mereka menjadi pemimpin yang disegani
pada masanya.
Mahasiswa pada masa kini pun semestinya mewarisi jiwa
kepemimpinan mahasiswa dan pemuda generasi sebelumnya.
Kepemimpinan sangat dibutuhkan mahasiswa, karena bangsa
dan negara ini memerlukan kehadirannya. Selain itu, kompleksitas
permasalahan dan tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia
ke depan, sangat membutuhkan mahasiswa yang memiliki
karakter unggul, baik karakter intelektual, emosional, spiritual,
maupun moral. Dalam situasi bangsa dan negara yang mengalami
krisis kepercayaan, krisis moralitas, dan krisis kepemimpinan,
maka sudah selayaknya mahasiswa mendapatkan pendidikan
antikorupsi.
Pendidikan antikorupsi dibutuhkan, karena akan dapat
membentuk karakter mahasiswa yang unggul, sekaligus juga
diharapkan pada saatnya nanti ketika menjadi pemimpin dapat
dipertanggungjawabkan kepemimpinannya. Apalagi pada diri
mahasiswa terdapat 3 (tiga) dimensi yang harus diasah secara
berkelanjutan, yaitu: (1) intelektual, (2) jiwa muda, dan (3)
idealisme (Saidi, 1989: 27). Ketiga dimensi atau karakter tersebut
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 17

sangat diperlukan agar mahasiswa mampu memberikan kontribusi


penting dalam menciptakan Indonesia yang unggul, bersatu,
berdaulat, adil, dan makmur.
Perlunya pendidikan antikorupsi diberikan di perguruan tinggi
baik sebagai mata kuliah tersendiri maupun terintegrasi dengan
mata kuliah yang lain, secara khusus ditujukan untuk memberi
bekal pengetahuan sekaligus mentransformasikan mahasiswa
sebagai agen antikorupsi yang memiliki kompetensi dan komitmen
moral yang tinggi (Azra, 2006: viii). Kompetensi dan komitmen ini
selanjutnya ditransformasikan lagi ke dalam bentuk nilai-nilai dan
gerakan antikorupsi kepada masyarakat dan generasi di bawahnya.
BAB II
KORUPSI, ANTIKORUPSI,
DAN PENDIDIKAN ANTIKORUPSI

B
anyak tindakan korupsi terjadi tidak karena pelaku
sengaja melakukannya, tetapi juga karena banyak anggota
masyarakat atau kelompok sosial yang tidak memahami bahwa
apa yang mereka lakukan itu merupakan perbuatan korupsi. Dalam
bagian ini diuraikan konsep korupsi, yang meliputi pengertian dan
ciri-ciri korupsi, korupsi sebagai penyakit, perilaku antikorupsi
(termasuk di dalamnya dielaborasi nilai-nilai antikorupsi, seperti
kejujuran, tanggung jawab, keberanian, keadilan, kedisiplinan,
kesederhanaan, dan lain-lain). Setelah itu dijelaskan konsep
pendidikan antikorupsi, meliputi pengertian, tujuan, pendekatan
dan metode serta sekolah dan perguruan tinggi sebagai agen
pendidikan antikorupsi.

A. Pengertian dan Ciri-Ciri Korupsi

Dalam sejarah kehidupan manusia, korupsi bukan hal baru.


Sejak manusia hidup bermasyarakat, sudah tumbuh perilaku
koruptif atau menyimpang, yang tidak sesuai dengan norma sosial
yang berlaku. Manusia dan kelompok sosial yang hidup dalam

18
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 19

persaingan memperebutkan tanah dan sumber daya alam untuk


keperluan hidup, telah mendorongnya bertindak menyimpang,
memanipulasi, menipu, dan melakukan segala cara untuk
mendapatkan apa yang diinginkan.
Perilaku koruptif manusia yang dimaksudkan untuk
menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya memiliki variasi
yang beranekaragam, sehingga pola-pola tindakan korupsi juga
banyak variasinya. Itulah sebabnya, dipahami bahwa korupsi bukan
konsep sederhana. Korupsi merupakan konsep yang kompleks,
sekompleks persoalan yang dihadapi oleh suatu masyarakat
atau pemerintahan. Demikian pula, mendefinisikan korupsi
bukan pekerjaan yang mudah. Sebagaimana dinyatakan oleh Phil
Williams, meningkatnya ragam korupsi akibat kecanggihan para
pelaku yang menyebabkan pendefinisian korupsi terus dikaji ulang
agar mendapat pemahaman yang sistematis (Sitepu, 2004: 1).
Perlu dikemukakan akar kata korupsi dan pengertian secara
etimologis, sebelum diketengahkan definisi korupsi dari para
pemerhati masalah korupsi. Korupsi berasal dari bahasa Latin
corruption atau corruptus. Corruptio berasal dari kata corrumpere.
Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa, seperti Inggris
yaitu corruption, corrupt; Perancis yakni corruption dan Belanda yaitu
corruptie, korruptie. Dari bahasa Belanda inilah kata corruptie diserap
ke dalam bahasa Indonesia, yaitu korupsi. Dalam bahasa Muangthai,
korupsi dinamakan gin moung, artinya makan bangsa; dalam bahasa
China, tanwu, artinya keserakahan bernoda; dan dalam bahasa
Jepang, oshuku, yang berarti kerja kotor (KPK, 2007: 2).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi berasal dari
kata korup artinya: buruk, rusak, busuk; suka memakai barang
20 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

(uang) yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok (memakai


kekuasaannya untuk kepentingan pribadi (Pusat Bahasa Depdiknas,
2002: 596-596). Dalam kamus tersebut, korupsi diartikan sebagai
penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan
dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain (Pusat
Bahasa Depdiknas, 2002: 597). Dari istilah-istilah tesebut, korupsi
dipahami sebagai perbuatan busuk, rusak, kotor, menggunakan
uang atau barang milik lain (perusahaan atau negara) secara
menyimpang yang menguntungkan diri sendiri.
Korupsi melibatkan penyalahgunaan kepercayaan, yang
umumnya melibatkan kekuasaan publik untuk keuntungan
pribadi. Johnson (2005: 12) mendefinisikan korupsi sebagai
penyalahgunaan peran, jabatan publik atau sumber untuk
keuntungan pribadi. Dalam definisi tersebut, terdapat empat
komponen yang menyebabkan suatu perbuatan dikategorikan
korupsi, yaitu penyalahgunaan (abuse), public (public), pribadi
(private), dan keuntungan (benefit). Dalam pandangan Johnson
(2005: 16), dalam negara yang melaksanakan liberalisasi dan
privatisasi dalam kegiatan ekonomi, akan muncul kecenderungan
terjadinya pertukaran antara kesejahteraan (wealth) dan
kekuasaan (power). Inilah yang oleh Johnson disebut dengan
corruption syndromes.
Lambsdorff (2007: 35) mengajukan definisi korupsi tidak
jauh berbeda dengan Johnson, yakni “the misuse of public
power for private benefit”. Definisi singkat tersebut bermakna
penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi.
Istilah private benefit menunjuk pada penerimaan uang atau
aset-aset yang bernilai, termasuk juga di dalamnya peningkatan
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 21

kekuasaan atau status. Menerima janji-janji untuk kesenangan


masa depan atau keuntungan-keuntungan relatif dan teman-teman
juga dapat dipandang sebagai private benefit. Keuntungan yang
berkaitan dengan teman-teman diistilahkan sebagai nepotisme
dan favoritisme. Kekuasaan publik (public power) biasanya
diselenggarakan oleh birokrat, termasuk juga para pegawainya dan
politisi. Dalam perspektif yang luas, termasuk juga mereka yang
bekerja di kehakiman, pengadaan barang publik, regulasi-regulasi
bisnis dan pemberian izin, privatisasi, pertukaran luar negeri atau
bagian devisa, perpajakan, kepolisian, bagian subsidi, pelayanan
atau utilitas publik dan pelayanan-pelayanan pemerintah lainnya.
Istilah penyalahgunaan (misuse) merujuk pada perilaku yang
menyimpang, baik dari tugas-tugas formal kedinasan dari peran
publik maupun yang bertentangan dengan aturan-aturan informal
(yang dibangun melalui harapan-harapan publik atau kode etik
yang telah baku) atau pada umumnya adalah kepentingan-
kepentingan sempit yang diikuti oleh pengeluaran kepentingan
publik dalam skala besar dan luas.
Webster’s Third New International Dictionary mengartikan
korupsi sebagai ajakan dari seorang pejabat politik dengan
pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestinya (misalnya
suap) untuk melakukan pelanggaran tugas (Klitgaard, 2005: 29).
Oxford English Dictionary mengartikan korupsi sebagai
perbuatan tidak wajar dari integritas melalui penyuapan atau
penyogokan. Korupsi juga bermakna pervert, defile, make venal,
bribe (Tarling, 2005: 5). Dalam konteks ini, korupsi diartikan
sebagai perbuatan tidak wajar, kotor, cemar, dapat disogok dan
menyogok.
22 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

Pope (2007: 6) memaknai korupsi sebagai menyalahgunakan


kekuasaan kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Dalam bukunya
berjudul Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas
Nasional, Jeremy Pope (2007:6-7) mendefinisikan korupsi sebagai
perilaku pejabat-pejabat sektor publik, baik politisi maupun
pegawai negeri, yang memperkaya diri mereka secara tidak pantas
dan melanggar hukum, atau orang-orang yang dekat dengan
mereka, dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan
kepada mereka.
Joseph Nye mengartikan korupsi sebagai behavior which
deviates from the normal duties of a public role because of private-
regarding (personal, close family, private clique) pecuniary or
status gains or vialotes rule against the exercise of certain types of
private-ragarding influence (Wibowo, 2006: 5). Definisi tersebut
menjelaskan bahwa korupsi merupakan perilaku menyimpang
dari tugas-tugas normal pejabat publik.
Kuper dan Kuper sebagaimana dikutip Nugroho D dan
Tri Hanurita S (2005: 113) mendefinisikan korupsi sebagai
penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintah atau politisi
bagi keuntungan mereka sendiri. Tidak jauh berbeda dengan
pengertian tersebut, Senturia memberi batasan korupsi sebagai
penyalahgunaan kekuasaan yang dipercayakan untuk kepentingan
pribadi (Nugroho D dan Tri Hanurita S., 2005: 113).
Klitgaard (2005: 31) mendefinisikan korupsi sebagai tingkah
laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan
negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut
pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri) atau
melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 23

pribadi. Definisi tersebut mengandung tingkah laku politik,


karena menyangkut penyimpangan jabatan negara. Ada muatan
moral pada kata “korupsi”, sebab korupsi yang berasal dari kata
latin corruptus mengesankan serangkaian gambaran jahat, yang
bermakna apa saja yang merusak keutuhan.
Senada dengan apa yang dikemukakan Klitgaard, Bracking
(2007: 4) memaknai korupsi dalam konteks administrative
corruption atau bureaucratic corruption, petty corruption, dan graft.
Korupsi administrasi atau birokrasi adalah pembayaran haram yang
diterima oleh pegawai negeri dari pengguna dalam menerapkan
peraturan-peraturan, kebijakan-kebijakan, dan hukum.
Dalam kaitannya dengan korupsi administrasi, Pope (2007: 8)
melihat ada dua kategori berbeda mengenai korupsi administrasi.
Pertama, korupsi terjadi dalam situasi, misalnya jasa atau kontrak
diberikan sesuai peraturan yang berlaku. Kedua, korupsi terjadi
dalam situasi transaksi berlangsung secara melanggar peraturan
yang berlaku. Masih dalam hubungannya dengan perilaku pegawai
negeri, petty corruption juga merupakan korupsi, berupa tindakan-
tindakan mengambil uang sewa atau tindakan-tindakan kecil
lainnya yang dilakukan oleh pegawai negeri. Sementara itu, graft
adalah pemanfaatan sumber-sumber publik untuk kepentingan
individu atau pribadi. Sir Arthur Lewis secara singkat memaknai
korupsi sebagai pembayaran untuk memperoleh pelayanan (just a
payment for service).
Pemahaman korupsi dalam konteks politik di atas berbeda
dengan konsep korupsi dalam pandangan ekonomi. Teori ekonomi
klasik dari korupsi memandang korupsi sebagai salah satu cara dari
beberapa alokasi sumber-sumber langka, dimana perilaku rasional
24 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

dari aktor-aktor pasar berhubungan dengan insentif dan sewa


(Bracking, 2007: 10). Dalam pendekatan klasik, optimal amount of
corruption adalah mungkin dan diterima pula pandangan tentang
biaya sosial marginal. Karenanya, korupsi merupakan varian
pilihan ekonomi dan seperti kebanyakan pilihan ekonomi lainnya,
ditentukan oleh harga pasar.
Dalam pandangan antropologi ekonomi, korupsi mencakupi
perbuatan menegosiasi aturan-aturan permainan secara fleksibel
(cair), sistem norma ganda, banyak pedagang perantara atau
makelar, praktik-praktik pemberian hadiah, jaringan solidaritas dan
kolusi, solidaritas keluarga luas, dan bentuk-bentuk kewenangan
neopatrimonial atau predator (Bracking, 2007: 12).
Di China terdapat perluasan definisi korupsi yang mencakupi:
(1) tanwu, yakni pencurian, (2) shouhui atau menerima suap,
(3) nuoyong artinya menyalahgunakan kedudukan, (4) huihuo
langfei bermakna menghamburkan uang, (5) yiquan mousi yang
berarti mencari kemudahan bagi kerabat, teman dan diri sendiri,
(6) feifa shouru, artinya menerima pemberian ilegal, (7) duzhi,
mengandung arti tidak menjalankan tugas dengan baik, (8) touji
daoba, mengandung makna mengambil untung secara berlebihan,
(9) weifan caijing jilu, yaitu melanggar prosedur pembukuan, (10)
zouji, berarti penyelundupan, dan (11) daode duoluo, artinya
keruntuhan moral (Wibowo, 2006: 6).
Guna mempermudah pemahaman mengenai korupsi,
Klitgaard, Maclean-Abaroa dan Parris membuat rumus korupsi
sebagai berikut. C = M + D – A, dimana korupsi (Corruption = C)
sama dengan kekuasaan monopoli (monopoly power atau M)
plus wewenang pejabat (discretion by officials atau D) minus
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 25

akuntabilitas (accountability atau A) (Klitgaard, Maclean-Abaroa


dan Parris, 2005: 29). Dari rumus tersebut dapat dijelaskan bahwa
jika seseorang memegang monopoli atas barang dan atau jasa
dan memiliki wewenang untuk memutuskan siapa yang berhak
mendapat barang atau jasa itu dan berapa banyak serta tidak
ada akuntabilitas, dalam arti orang lain dapat menyaksikan apa
yang diputuskan oleh pemegang wewenang tersebut, maka
kemungkinan besar akan dapat ditemukan perilaku korupsi.
Perbuatan korupsi berkaitan erat dengan kecurangan atau
penipuan yang dilakukan. Berbuat curang atau menipu, berarti
orang tersebut tidak jujur. Kejujuran memang merupakan suatu
sikap dan perilaku yang langka di negeri ini. Dalam kenyataannya,
tidak setiap orang jujur dalam kehidupan sehari-harinya. Ada 4
(empat) katagori kejujuran. Pertama, sejumlah orang jujur untuk
setiap saat. Kedua, sejumlah orang tidak jujur untuk setiap saat.
Ketiga, sebagian besar orang jujur untuk setiap saat. Keempat,
sejumlah orang jujur hampir setiap saat. Dari empat tipe perilaku
yang berkaitan dengan kejujuran tersebut, perilaku keempat yang
paling baik dan relevan untuk menumbuhkan perilaku antikorupsi.
Dalam kaitan dengan korupsi, kecurangan bisa mendorong
perbuatan korupsi. Hal ini dapat terjadi karena adanya 3 (tiga)
tiang penyangga korupsi, yaitu tekanan (pressure), kesempatan
(opportunity), dan rasionalisasi (rationalize). Tekanan seperti
mengikuti gaya hidup modern, kerugian materi atau uang,
terbelit hutang, akan menyebabkan seseorang berbuat curang
atau korupsi. Orang yang memiliki kedudukan, jabatan, pangkat,
dan pendidikan yang lebih tinggi biasanya memiliki kesempatan
untuk berbuat korupsi. Kesempatan itu dimiliki karena pihak
26 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

koruptor memiliki pengetahuan yang memadai mengenai kondisi


departemen, kantor, atau lingkungannya. Selain itu, karena
mereka memiliki otoritas untuk mengendalikan kegiatan atau
pekerjaan. Demikian pula, mereka mengetahui kelemahan di
lingkungan departemen, kantor, dan pekerjaannya, sehingga dapat
dimanipulasi yang menyebabkan pihak lain tidak tahu bahwa
mereka telah melakukan korupsi. Perbuatan curang atu korupsi
dikemas sedemikian rupa, sehingga apa yang dilakukan seolah
bukan tindakan korupsi. Inilah yang disebut dengan rasionalisasi
perilaku korupsi. Ditambah oleh tidak adanya moral atau etika
yang baik dari pelaku korupsi, menyebabkan perbuatan curang
tersebut mempermudah orang melakukan korupsi.
Albrecht dan Chad O. Albrecht (2003) menyebut tiga
penyangga kecurangan yang mampu mendorong seseorang
bertindak korupsi sebagai segitiga kecurangan. Gambaran tentang
segitiga kecurangan dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 1. Segitiga Kecurangan

Menurut perspektif hukum, definisi korupsi telah diuraikan


panjang lebar dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 27

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebanyak 13 buah pasal.


Dari pasal-pasal tersebut, korupsi dirinci lebih lanjut ke dalam 30
bentuk tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menjelaskan
secara rinci tentang perbuatan-perbuatan yang bisa dikenakan
pidana penjara karena kasus korupsi. Uraian tentang bentuk-
bentuk korupsi dapat dicermati dalam Bab III.
Untuk memahami konsep korupsi secara komprehensif, Alatas
(1986: 12-14) mengemukakan ciri-ciri korupsi sebagai berikut.
(1) Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang; (2)
Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan; (3) Korupsi
melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik; (4)
Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha
untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik
pembenaran hukum; (5) Setiap tindakan korupsi mengandung
penipuan, biasanya pada badan publik atau masyarakat
umum; (6) Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan
kepercayaan; (7) Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda
yang kontradiktif; dan (8) Suatu perbuatan korupsi melanggar
norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan
masyarakat. Kata-kata kunci untuk memahami konsep korupsi di
atas adalah: serba rahasia, keuntungan timbal balik, selubung,
penipuan, pengkhianatan kepercayaan, dan melanggar norma.

B. Penyakit Korupsi

Dalam dunia kesehatan, korupsi ibarat sebuah penyakit.


Sebagai sebuah penyakit, tidak beralasan kiranya jika ada
sementara pihak yang mengatakan bahwa praktik korupsi memberi
manfaat bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Sudjana
28 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

(2008: 37) sampai pada kesimpulan bahwa korupsi merupakan


penyakit sosial yang harus dikikis betapapun banyak orang yang
terjangkit olehnya. Berkaitan dengan hal ini, ada kisah bagus dari
China mengenai betapa bahayanya korupsi. Ceritera tersebut
berjudul Tikus di Kuil (Tang 2005: 222). Bangsawan Huan dari
Qi bertanya kepada Guan Zhong, perdana menterinya: “Apakah
ancaman terbesar bagi negara? “Ancaman itu adalah mereka
yang menyerupai tikus-tikus di kuil,” jawab Guan Zhong. “Tolong
Anda jelaskan”. Tuanku, Anda tentunya sudah melihat tikus-tikus
di dinding kuil”. Kuil adalah tempat sakral. Tetapi jika dipenuhi
tikus, sangat sedikit yang dapat kita lakukan. Jika kita mencoba
mengasapinya agar mereka keluar, kita bisa jadi malah membakar
kuil itu; jika kita menuangkan air di lubang-lubang di dinding, kita
bisa jadi merusak lapisan dan cat dinding itu.”
Orang-orang yang dekat dengan penguasa, kata Guan Zhong,
adalah seperti tikus-tikus itu. Mereka menggunakan pengaruh mereka
untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka menerima suap dan
berkolusi dengan kelompok-kelompok yang punya kepentingan yang
sama untuk merongrong negara. Mereka mendukung orang-orang
yang mendengarkan mereka dan mempersulit hidup orang-orang
yang tidak mendengarkan mereka. Sepanjang waktu sang penguasa
berada dalam kegelapan. Orang-orang seperti ini harus dihukum,
tetapi sayangnya mereka mempunyai tempat di hati penguasa. Jika
segalanya terus berjalan seperti ini, negara akan hancur.
Dalam ceritera di atas, kuil adalah negara, sedangkan tikus
adalah para pejabat atau pegawai negeri yang seolah-olah setia
kepada negara dengan bekerja sungguh-sungguh, tetapi di balik
itu mereka menggerogoti keuangan negara dengan melakukan
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 29

pemerasan, penggelapan, kecurangan, penggelembungan harga,


dan perbuatan-perbuatan kotor lainnya. Terkait dengan hal
ini, menarik sekali pernyataan seorang pejabat Thailand yang
merasakan bahwa apa yang selama ini dilakukan tidak termasuk
perbuatan korupsi.

“Apa yang anda namakan korupsi, bagi saya adalah bertahan


hidup. Anak buah saya mengharapkan saya untuk membantu
mereka dengan cara apapun. Saya suka pekerjaan saya. Saya
punya keluarga besar. Mungkin ada cara-cara lain, tetapi saya
tidak melihatnya, dan selain itu saya tidak merugikan siapapun.
Coba katakan, apakah ada pilihan lain? Anda mau tahu berapa
gaji saya? Saya tidak bodoh. Saya tahu tugas saya dan saya
kira semua orang tahu tugas masing-masing. Korupsi memang
suatu masalah di Thailand, tetapi tidak ada jalan yang lebih baik
sekarang. Selain itu, setiap orang di bagian ini sudah bertahun-
tahun melakukan korupsi.” (Pope, 2007: 18).

Dalam agama Hindu, korupsi merupakan perbuatan adharma


atau menyimpang dari ajaran agama (Kuntoro, 2006: 16). Dharma
yang benar adalah jika segala perbuatan manusia bertujuan untuk
memberi kesejahteraan, sebab sebagaimana dalam ajaran Hindu,
kesentosaan umat manusia dan kesejahteraan masyarakat datang
dari dharma. Dalam ajaran agama Hindu, korupsi merupakan
perbuatan menyimpang dari nilai-nilai agama (dharma), nilai-
nilai kebenaran dan kejujuran (satyam), kebajikan (siwam), dan
keharmonisan atau keindahan hidup (sundaram). Oleh karenanya,
ajaran Hindu mengingatkan, mereka yang tertipu sifat guna (seperti
rajas dan tamas) terikat pada keinginan yang dihasilkan olehnya;
tetapi yang mengerti jangan sampai menyesatkan mereka yang
pengetahuannya tidak sempurna (Warta, 2006: 60).
30 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

Orang sudah tahu apa yang dilakukannya salah dan merugikan


pihak lain, tetapi tetap saja dilakukan. Karena akibat yang
ditimbulkan luar biasa mengerikan bagi kehidupan rakyat, maka
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Keputusan Fatwa
Musyawarah Nasional VI MUI Nomor 4/MUNAS VI/MUI/2000
tentang risywah (suap), ghulul (korupsi), dan hadiah kepada
pejabat (KPK, 2007: 4). Ini artinya, MUI sebagai lembaga resmi
pemerintah tegas-tegas telah melarang dan mengharamkan suap,
korupsi, dan pemberian hadiah kepada pejabat. Dengan demikian,
sesungguhnya umat Islam yang merupakan penduduk terbesar
di Indonesia sudah diberi rambu-rambu tentang keharaman
perbuatan korupsi. Kalau rambu-rambu tersebut tetap saja
dilanggar, berarti korupsi telah menjadi penyakit bagi umat Islam.
Tampaknya penyakit korupsi yang menjangkiti para koruptor
sudah demikian parah. Mengapa korupsi masih saja berlangsung?
Nugroho dan Tri Hanurita (2005: 116) mencatat 7 alasan mengapa
korupsi tumbuh dan berkembang terutama di negara berkembang.
Pertama, kemiskinan. Kemiskinan membuat pegawai
pemerintah mau melakukan apapun juga asal mendapatkan
tambahan penghasilan untuk membuat keluarganya selamat. Isu
tentang kemiskinan menjadi pembenar mengapa pegawai negeri
sering korupsi. Demikian pula, kemiskinan membuat rakyat kecil
bersedia menyuap pejabat pemerintah untuk mendapatkan
pelayanan yang seharusnya. Kedua, kekuasaan yang berlebihan
atau yang berasal dari keserakahan. Kekuasaan yang memusat
atau monopolistik memberi peluang kepada pemerintahan
Soeharto di era Orde Baru untuk membuat keputusan-keputusan
yang menguntungkan lingkaran kekuasaannya. Bahkan Enron,
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 31

perusahaan raksasa di USA tahun 2001 menjadi bangkrut gara-


gara mark-up yang dilakukannya.
Ketiga, budaya. Kinoshita melaporkan hasil penelitiannya
bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat keluarga besar,
yakni sebuah masyarakat yang mempunyai nilai bahwa kesuksesan
seseorang anggota keluarga harus pula dinikmati oleh seluruh
anggota keluarga besar.
Keempat, ketidaktahuan. Ini alasan yang paling mengada-
ada. Dalam pertemuan Asosiasi DPRD Kota se-Indonesia tanggal
7 Desember 2004, pimpinan DPRD kota Depok dan Cirebon
mengungkapkan bahwa dipenjarakannya sebagian anggota DPRD
berkaitan dengan persoalan korupsi karena telah melakukan
penyimpangan peraturan anggaran sesungguhnya tidak adil. Yang
terjadi, dengan adanya perubahan kebijakan pemerintah pusat
tentang anggaran pembangunan dalam waktu cepat dimana
anggota DPRD menggunakan aturan yang ada namun diperiksa
dengan aturan anggaran yang baru. Dikemukakan pula bahwa
pihak eksekutif sering memberi dana yang tidak diketahui dari
mana sumbernya dan digunakan untuk keperluan apa.
Kelima, rendahnya kualitas moral masyarakat. Gaji rendah
sering dijadikan alasan untuk mencari tambahan penghasilan
meskipun dengan cara yang tidak benar.
Keenam, lemahnya kelembagaan politik suatu negara, baik
menyangkut sistem hukumnya, birokrasi maupun sistem interaksi
antarlembaga yang cenderung melahirkan perilaku dan budaya korup.
Ketujuh, korupsi terjadi karena penyakit bersama. Seperti
dikatakan oleh Kimberley Ann Elliott, bahwa korupsi menjadi
gejala baru dalam globalisasi. Dalam dunia yang serba terkoneksi,
32 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

maka penyakit korupsi dengan cepat menular dari satu kawasan


ke kawasan lain.

C. Pengertian Antikorupsi

Antikorupsi merupakan kebijakan untuk mencegah dan


menghilangkan peluang bagi berkembangnya korupsi (Maheka,
t.th: 31). Pencegahan yang dimaksud adalah bagaimana
meningkatkan kesadaran individu untuk tidak melakukan korupsi
dan bagaimana menyelamatkan uang dan aset negara. Menurut
Maheka (t.th: 31), peluang bagi berkembangnya korupsi dapat
dihilangkan dengan cara melakukan perbaikan sistem (hukum dan
kelembagaan) dan perbaikan manusianya. Dalam hal perbaikan
sistem, langkah-langkah antikorupsi mencakupi:
1. Memperbaiki peraturan perundangan yang berlaku untuk
mengantisipasi perkembangan korupsi dan menutup celah
hukum atau pasal-pasal karet yang sering digunakan koruptor
melepaskan diri dari jerat hukum;
2. Memperbaiki cara kerja pemerintahan (birokrasi) menjadi
sederhana (simpel) dan efisien;
3. Memisahkan secara tegas kepemilikan negara dan kepemilikan
pribadi serta memberikan aturan yang jelas tentang
penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan umum dan
penggunaannya untuk kepentingan pribadi;
4. Menegakkan etika profesi dan tata tertib lembaga dengan
pemberian sanksi secara tegas;
5. Penerapan prinsip-prinsip good governance;
6. Mengoptimalkan pemanfaatan teknologi dan memperkecil
terjadinya human error.
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 33

Berkaitan dengan perbaikan manusia, langkah-langkah


antikorupsi meliputi:
1. Memperbaiki moral manusia sebagai umat beriman, yaitu
dengan mengoptimalkan peran agama dalam memberantas
korupsi. Artinya bahwa pemuka agama berusaha mempererat
ikatan emosional antara agama dengan umatnya, menyatakan
dengan tegas bahwa korupsi merupakan perbuatan tercela,
mengajak masyarakat untuk menjauhkan diri dari segala
bentuk perilaku korupsi, dan menumbuhkan keberanian
masyarakat untuk melawan korupsi;
2. Memperbaiki moral bangsa, yakni mengalihkan loyalitas
keluarga, klan, suku, dan etnik ke loyalitas bangsa;
3. Meningkatkan kesadaran hukum individu dan masyarakat
melalaui sosialisasi dan pendidikan antikorupsi;
4. Mengentaskan kemiskinan melalui peningkatan
kesejahteraan;
5. Memilih pemimpin (semua level) yang bersih, jujur,
antikorupsi, peduli, cepat tanggap (responsif) dan dapat
menjadi teladan bagi yang dipimpin.

Upaya-upaya antikorupsi di berbagai negara seringkali


mengalami kegagalan. Karena itulah, Pope (2007: xxxi)
menyarankan hal-hal berikut agar upaya antikorupsi dapat
mencapai keberhasilan.
1. Kemauan yang teguh di pihak pemimpin politik untuk
memberantas korupsi dimanapun terjadi dan untuk diperiksa;
2. Menekankan pencegahan korupsi di masa datang dan
perbaikan sistem;
3. Adaptasi undang-undang antikorupsi yang menyeluruh
34 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

dan ditegakkan oleh lembaga-lembaga yang mempunyai


integritas;
4. Identifikasi kegiatan-kegiatan pemerintahan yang paling
mudah menimbulkan rangsangan untuk korupsi dan meninjau
kembali undang-undng terkait dan prosedur administrasi;
5. Program untuk memastikan bahwa gaji pegawai negeri dan
pemimpin politik mencerminkan tanggung jawab jabatan
masing-masing dan tidak jauh berbeda dari gaji di sektor
swasta;
6. Penelitian mengenai upaya perbaikan hukum dan administrasi
yang memastikan upaya hukum dan administrasi bersangkutan
cukup mampu berfungsi sebagai penangkal korupsi;
7. Menciptakan kemitraan antara pemerintah dan masyarakat
sipil;
8. Menjadikan korupsi sebagai perbuatan beresiko tinggi dan
berlaba rendah,
9. Mengembangkan gaya manajemen yang selalu berubah yang
memperkecil resiko bagi orang-orang yang terlibat dalam
korupsi “kelas teri”, dan yang mendapatkan dukungan dari
tokoh-tokoh politik, namun dilihat oleh masyarakat luas sebagai
program yang adil dan masuk akal bagi situasi yang ada.

D. Nilai-Nilai Antikorupsi

Upaya untuk melawan atau memberantas korupsi tidak cukup


dengan menangkap dan menjebloskan koruptor ke penjara, sebab
peluang untuk berbuat korupsi terhampar luas di hadapan para
calon koruptor, terlebih lagi banyak tersedia arena bagi koruptor-
koruptor baru untuk melampiaskan hasrat korupsinya. Itulah
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 35

sebabnya diperlukan penanaman nilai-nilai antikorupsi sebagai upaya


pencegahan kepada generasi muda. Mengapa nilai-nilai antikorupsi
perlu disemaikan ke dalam jiwa dan roh generasi muda? Ada keyakinan
bahwa generasi sekarang ini adalah generasi yang lahir, tumbuh,
dan berkembang di dalam sistem dan budaya yang korup. Hal ini
berakibat pada sikap permisif generasi sekarang terhadap perbuatan
korupsi. Secara lahiriah mereka mengutuk dan mencela perbuatan
korupsi, tetapi hati mereka tidak tega terhadap para koruptor,
sehingga mereka cenderung membiarkan dan memaafkan para
koruptor. Jika demikian halnya, selamanya korupsi tidak akan dapat
diberantas. Untuk itulah, generasi yang akan datang atau yang saat ini
disebut generasi muda harus didorong untuk mengembangkan sikap
menolak secara tegas setiap bentuk korupsi.
Perubahan dari sikap membiarkan dan menerima korupsi
ke sikap tegas menolak korupsi tidak akan pernah terwujud jika
generasi sekarang yang masih memiliki hati nurani tidak mau
dan mampu membina generasi muda untuk mengevaluasi dan
memperbarui nilai-nilai yang diwarisi dari generasi terdahulu
dan sekarang sesuai dengan tuntutan, perkembangan dan
kebutuhan bangsa. Nilai yang dimaksudkan di sini adalah sesuatu
yang menarik, sesuatu yang dicari, sesuatu yang menyenangkan,
sesuatu yang disukai atau sesuatu yang baik (Bertens, 2001: 139).
Nilai-nilai antikorupsi yang perlu disemaikan kepada generasi
muda, terutama mereka yang masih duduk di bangku TK, SD, SMP,
SMA, dan Perguruan Tinggi antara lain:

1. Kejujuran
Kejujuran adalah sifat (keadaan) jujur, ketulusan hati, dan
kelurusan hati (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002: 479). Kejujuran
36 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

adalah mengungkapkan sesuatu sesuai dengan kenyataan yang


dilakukan, dialami dan dirasakan (Sutrisno dan Sasongko, t.th.:
40). Kejujuran merupakan dasar setiap usaha untuk menjadi
orang kuat secara moral (Suseno, 1987: 142). Tanpa kejujuran,
manusia tidak dapat maju selangkah pun, karena ia tidak berani
menjadi diri sendiri. Tanpa kejujuran, keutamaan-keutamaan
moral lainnya akan kehilangan nilainya. Bersikap baik kepada
orang lain, tetapi tidak dilandasi kejujuran adalah kemunafikan
dan racun bagi diri sendiri. Tidak jujur berarti tidak seiya-sekata
dan itu berarti orang yang tidak jujur belum sanggup mengambil
sikap yang lurus. Orang yang tidak lurus, tidak menempatkan
dirinya sebagai titik tolak, tetapi lebih mengutamakan apa yang
diperkirakan diharapkan oleh orang lain. Kejujuran dimulai dari
lingkungan yang terdekat, yakni dari diri sendiri, keluarga, kelas,
sekolah dan tempat tinggal. Ibarat bola salju, pribadi jujur akan
menggelinding terus membentuk keluarga yang jujur. Keluarga
yang jujur menggelinding terus membentuk lingkungan tempat
tinggal terdekat yang jujur. Lingkungan yang jujur menggelinding
terus tak tertahankan akan membentuk masyarakat yang jujur
dan masyarakat jujur seperti itu pada akhirnya akan mampu
membangun karakter bangsa yang jujur. Contoh dalam hal ini
adalah bangsa Finlandia. Kata-kata kunci kejujuran adalah berkata
dan bertindak benar, lurus hati, terhormat, terbuka, menghargai
diri sendiri, dapat dipercaya, memiliki niat yang lurus terhadap
setiap tindakan (Bahri, 2008: 15; Tamrin, 2008: 16).
Dalam kehidupan sekolah maupun kampus, nilai kejujuran
dapat diwujudkan oleh siswa dan mahasiswa, dengan tidak
melakukan kecurangan akademik, seperti tidak berbohong kepada
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 37

guru dan dosen, tidak mencontek saat ujian, tidak melakukan


plagiarisme, dan tidak memalsukan nilai.

2. Tanggung Jawab
Kata tanggung jawab berasal dari kata tanggung dan kata jawab.
Kata tanggung bermakna beres, tidak perlu khawatir (Pusat Bahasa
Depdiknas, 2002: 1138). Tanggung jawab berarti keadaan wajib
menanggung segala sesuatunya atau fungsi menerima pembebanan
sebagai akibat sikap pihak sendiri atau orang lain (Pusat Bahasa
Depdiknas, 2002: 1139). Tanggung jawab adalah melaksanakan
tugas dengan sungguh-sungguh dari orang lain atau diri sendiri
hingga selesai atau sanggup menanggung resiko dari apa yang telah
dikerjakan atau diperbuat (Surono (ed), t.th: 16). Tanggung jawab
berarti bahwa orang tidak boleh mengelak bila diminta penjelasan
tentang perbuatannya (Bertens, 2001: 125). Bertanggung jawab
berarti suatu sikap terhadap tugas yang membebani kita, dimana
kita merasa terikat untuk menyelesaikannya demi tugas itu sendiri
(Suseno, 1987: 145). Dalam tanggung jawab terdapat pengertian
penyebab, artinya orang bertanggung jawab terhadap sesuatu
sikap dan perbuatan yang disebabkan olehnya. Setiap orang harus
bertanggung jawab terhadap apa yang diniatkan, dikatakan, dan
dilakukan, terlebih mereka yang mengaku dirinya pemimpin.
Seorang pemimpin yang bertanggung jawab terlahir dari individu
yang bertanggung jawab. Seorang belum dapat memimpin orang
lain kalau ia tidak mampu memimpin dirinya sendiri. Seorang
pemimpin adalah orang yang pertama kali mengerjakan tugas dan
orang yang paling akhir mengambil hak atau bagiannya (Bahri, 2008:
3). Kata kunci tanggung jawab adalah komitmen, siap menanggung
resiko, menjaga amanah, berani menghadapi resiko, tidak mengelak,
38 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

ada konsekuensi yang harus ditanggung, dan berbuat yang terbaik


(Bahri, 2008: 14; Tamrin, 2008: 18).
Wujud nilai tanggung jawab di antaranya adalah belajar sungguh-
sungguh, mengerjakan tugas tepat waktu, memelihara amanah ketika
mendapat tugas atau menempati posisi tertentu dalam kegiatan
(kepanitiaan), dan lulus tepat waktu dengan meraih nilai baik.

3. Keberanian
Keberanian berasal dari kata berani, yang artinya mempunyai
hati yang mantap dan rasa percaya diri yang besar dalam
menghadapi bahaya, kesulitan, dan sebagainya (Pusat Bahasa
Depdiknas, 2002: 138). Keberanian adalah tindakan untuk
memperjuangkan sesuatu yang diyakini kebenarannya (Sutrisno
dan Sasongko (ed), t.th.: 30). Orang yang berani mengatakan
yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah, merupakan
agen penting dalam mengembangkan nilai-nilai antikorupsi.
Mengatakan kebenaran adalah pahit dan buahnya adalah manis,
yaitu terwujudnya pribadi dan masyarakat yang baik dan benar.
Kata kunci keberanian adalah mantap, tegar, hadapi, tekat,
semangat, target, fokus, perjuangan, percaya diri, tak gentar, tidak
takut, dan pantang mundur (Bahri, 2008: 17; Tamrin, 2008: 23).
Nilai keberanian dalam kehidupan sekolah dan kampus dapat
diwujudkan dengan indikator berani bertanggung jawab atas apa
yang telah diperbuat, berani membela kebenaran dan keadilan
betapa pun pahitnya, dan berani mengakui kesalahan.

4. Keadilan
Keadilan berasal dari kata adil, artinya sama berat, tidak
berat sebelah, tidak memihak; berpihak kepada yang benar,
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 39

berpegang pada kebenaran; sepatutnya, tidak sewenang-wenang


(Pusat Bahasa Depdiknas, 2002: 8). Kata keadilan juga memiliki
makna yang beragam. Cephalus, seorang hartawan terkemuka
Athena, memaknai keadilan sebagai bersikap fair dan jujur dalam
membuat kesepakatan (Rasuanto, 2005: 8). Plato, seorang filsuf
Yunani terkenal, memahami keadilan sebagai keseimbangan atau
harmoni. Dalam bahasa Arab, kata adil berasal dari kata adl, yang
kata kerjanya adalah adala, yang berarti: (1) meluruskan atau
duduk lurus, mengamandemen atau mengubah, (2) melarikan
diri, berangkat atau mengelak dari satu jalan (yang keliru) menuju
jalan lain (yang benar), (3) sama atau sepadan atau menyamakan,
(4) menyeimbangkan atau mengimbangi, sebanding atau berada
dalam keadaan yang seimbang (Khadduri, 1999: 8). Keadilan
adalah memperlakukan seseorang sesuai dengan kebutuhan dan
haknya (Surono, t.th.: 47). Kata kunci keadilan adalah objektif,
sesuai, netral, proporsional, tidak memihak, berpikiran terbuka,
dan penuh pertimbangan (Bahri, 2008: 16; Tamrin, 2008: 21).
Nilai keadilan dalam kehidupan sekolah dan kampus dapat
diwujudkan dengan sikap dan perilaku tidak memilih teman dalam
bergaul, memberikan pujian kepada teman yang berprestasi, serta
tidak menyepelekan atau merendahkan teman.

5. Keterbukaan
Keterbukaan berasal dari kata terbuka, artinya tidak tertutup,
tersingkap, tidak dirahasiakan (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002:
171). Nilai keterbukaan berkaitan erat dengan kejujuran. Terbuka
tidak berarti bahwa segala pertanyaan orang lain harus kita jawab
selengkap-lengkapnya atau orang lain berhak untuk mengetahui
segala perasaan dan pikiran kita. Terbuka berarti kita selalu muncul
40 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

sebagai diri sendiri (Suseno, 1987: 142). Terbuka berarti pula kita
tidak menyembunyikan wajah kita yang sebenarnya. Pendek kata,
terbuka adalah orang boleh tahu siapa kita ini.
Nilai keterbukaan dalam kehidupan sekolah dan kampus
dapat diwujudkan dengan sikap dan perilaku mengungkapkan
sesuatu tanpa ditutup-tutupi, apa yang dikatakan sama dengan
apa yang dilakukan, apa yang dikerjakan dapat diakses oleh siapa
pun, serta memberikan informasi yang dibutuhkan tanpa ada yang
disembunyikan.

6. Kedisiplinan
Kedisiplinan berasal dari kata disiplin, artinya tata tertib,
ketaatan kepada peraturan (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002: 268).
Disiplin merupakan kunci sukses, sebab dalam disiplin akan tumbuh
sifat yang teguh dalam memegang prinsip, pantang mundur dalam
menyatakan kebenaran, dan pada akhirnya mau berkorban untuk
kepentingan bangsa dan negara (Bahri, 2008: 3). Hidup disiplin
tidak berarti harus hidup seperti pola militer dengan hidup di barak
bagai robot, tetapi hidup disipilin dipahami siswa atau mahasiswa
dengan cara mengatur dan mengelola waktu sebaik-baiknya untuk
menyelesaikan tugas dan pekerjaan. Manfaat hidup disiplin adalah
siswa atau mahasiswa dapat mencapai tujuan atau mengejar
kepentingan secara lebih efisien dan efektif. Kata kunci kedisiplinan
adalah komitmen, tepat waktu, prioritas, perencanaan, taat, fokus,
tekun, dan konsisten (Tamrin, 2008: 17).
Wujud dari kehidupan disiplin dalam kegiatan di sekolah dan
kampus, di antaranya adalah belajar sesuatu dengan cermat,
mengerjakan sesuatu berdasarkan perencanaan yang matang,
serta menyelesaikan tugas tepat waktu.
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 41

7. Kesederhanaan
Kesederhanaan berasal dari kata sederhana, artinya bersahaja,
tidak berlebih-lebihan (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002: 1008).
Kesederhanaan adalah sikap dan perilaku yang tidak berlebihan
terhadap suatu benda, tetapi lebih mementingkan tujuan dan
manfaatnya (Surono (ed), t.th: 3). Hidup sederhana berarti hidup
bersahaja dan tidak berlebih-lebihan yang didasari oleh suatu
sikap mental rendah hati. Kata kunci sederhana adalah bersahaja,
tidak berlebihan, sesuai kebutuhan, apa adanya, dan rendah hati
(Tamrin, 2008: 19).
Wujud dari nilai kesederhanaan dalam kehidupan sekolah
dan kampus, di antaranya adalah rendah hati dalam pergaulan di
sekolah dan kampus, berpakaian dan menggunakan asesoris tidak
berlebihan, tidak boros dalam memenuhi kebutuhan hidup, tidak
suka pamer kekayaan, serta hemat dalam menggunakan air, listrik,
dan energi lainnya.

8. Kerja keras
Kata “kerja” bermakna kegiatan melakukan sesuatu; sesuatu
yang dilakukan untuk mencari nafkah (Pusat Bahasa Depdiknas,
2002: 554). “Keras” berarti gigih atau sungguh-sungguh hati (Pusat
Bahasa Depdiknas, 2002: 550). Dengan demikian, bekerja keras
berarti melakukan sesuatu secara bersungguh-sungguh. Pribadi
pekerja keras akan muncul dari sosok yang memiliki motivasi tinggi
untuk berubah dan pantang menyerah dalam segala keadaan.
Pribadi pekerja keras dapat diwujudkan dengan selalu melakukan
tanggung jawab secara sungguh-sungguh serta melakukan segala
sesuatu dengan upaya terbaik, sekuat tenaga, penuh kecerdasan
tinggi, dan sepenuh hati. Menurut Alma (2008: 106), kerja keras
42 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

merupakan salah satu dari delapan anak tangga untuk mencapai


keberhasilan. Anak tangga lainnya adalah mencapai tujuan dengan
menggunakan orang lain, penampilan yang baik, keyakinan diri,
membuat keputusan, pendidikan, dorongan ambisi, dan pandai
berkomunikasi. Karena pentingnya kerja keras, sampai-sampai
Nabi Muhammad saw., secara simbolik memberi hadiah kapak dan
tali kepada seorang laki-laki agar dapat digunakan untuk bekerja.
Kata kunci kerja keras adalah semangat, gigih, usaha, keyakinan,
tabah, keras pendirian, pantang menyerah, terus berharap, dan
mempunyai impian (Bahri, 2008: 16; Tamrin, 2008: 20).
Wujud dari nilai kerja keras dalam kehidupan di sekolah dan
kampus, di antaranya adalah tidak mengambil jalan pintas dalam
mencapai tujuan, menghargai proses tidak sekadar mencapai hasil
akhir, menggunakan waktu yang sebaik-baiknya untuk mengejar
suatu target atau tujuan, serta tidak terlalu memikirkan apa
yang akan diperoleh, tetapi memikirkan apa yang harus dapat
dihasilkan.

9. Kepedulian
Kepedulian berasal dari kata “peduli”, artinya mengindahkan,
memperhatikan, menghiraukan (Pusat Bahasa Depdiknas,
2002:841). Kepedulian bermakna berperilaku dan memperlakukan
orang lain dan lingkungan sekitarnya, sehingga bermanfaat bagi
semua pihak (Surono, t.th.: 57). Peduli merupakan sifat yang
dapat membuat segala kesulitan dapat dihadapi, segala keadaan
dapat ditanggung bersama, dan keterbatasan pun dapat dicarikan
solusinya. Kata kunci peduli adalah memahami, menghargai,
mendukung, menghormati, dan menolong (Bahri, 2008: 17).
Wujud dari nilai kepedulian dalam kehidupan di sekolah dan
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 43

kampus di antaranya adalah mematuhi peraturan sekolah dan


tata tertib kampus, membantu mengatasi kesulitan yang dihadapi
teman, merawat tanaman di sekitar sekolah dan kampus, tidak
merusak fasilitas umum, serta merawat dan menjaga barang-
barang milik umum.

E. Pendidikan Antikorupsi

Tidak banyak yang memahami apa itu pendidikan antikorupsi.


Untuk itu dalam uraian berikut dijelaskan apa dan untuk apa
pendidikan antikorupsi. Secara umum, pendidikan antikorupsi
diartikan sebagai pendidikan koreksi budaya yang bertujuan untuk
mengenalkan cara berpikir dan nilai-nilai baru kepada peserta
didik (Suyanto, 2005: 43). Cara berpikir dan nilai-nilai baru penting
disosialisasikan atau ditanamkan kepada peserta didik karena
gejala korupsi di masyarakat sudah membudaya dan dikhawatirkan
para generasi muda menganggap korupsi sebagai hal biasa.
Pendidikan antikorupsi dapat dipahami juga sebagai usaha
sadar dan sistematis yang diberikan kepada peserta didik berupa
pengetahuan, nilai-nilai, sikap dan keterampilan yang dibutuhkan
agar mereka mau dan mampu mencegah dan menghilangkan
peluang berkembangnya korupsi. Sasaran akhir bukan hanya
menghilangkan peluang, tetapi juga peserta didik sanggup
menolak segala pengaruh yang mengarah pada perilaku koruptif.
Setiap upaya pendidikan memiliki tujuan tertentu, demikian
pula pendidikan antikorupsi. Tujuan pendidikan antikorupsi adalah:
(1) pembentukan pengetahuan dan pemahaman mengenai
berbagai bentuk korupsi dan aspek-aspeknya, (2) perubahan
persepsi dan sikap terhadap korupsi, dan (3) pembentukan
44 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

keterampilan dan kecakapan baru yang dibutuhkan untuk melawan


korupsi. Berdasarkan tujuan tersebut, dapat dicermati bahwa
pendidikan antikorupsi melibatkan 3 domain penting yaitu kognitif,
afektif, dan psikomotorik. Pertama, aspek kognitif menekankan
pada kemampuan mengingat dan mereproduksi informasi
yang telah dipelajari, bisa berupa mengkombinasikan cara-cara
kreatif atau mensintesiskan ide-ide dan materi baru. Kedua,
domain afektif menekankan pada aspek emosi, sikap, apresiasi,
nilai atau pada level menerima atau menolak sesuatu. Ketiga,
yaitu domain psikomotorik menekankan pada tujuan melatih
kecakapan dan keterampilaUntuk membekali peserta didik agar
terbiasa berperilaku antikorupsi, maka dalam penyelenggaraan
pendidikan antikorupsi ketiga domain di atas harus diselaraskan
atau diintegrasikan dalam target kurikulum baik yang eksplisit
maupun implisit. Dengan demikian, arah pendidikan antikorupsi
menjadi jelas berdasarkan kriteria-kriteria yang dapat diukur.

F. Sekolah dan Perguruan Tinggi sebagai Agen

Pendidikan antikorupsi dapat dilaksanakan di semua jalur


pendidikan baik formal, nonformal maupun informal. Namun
karena otoritas yang dimiliki dan kultur yang dipunyai, jalur
formal atau sekolah dipandang efektif untuk menyiapkan generasi
muda berperilaku antikorupsi. Nilai-nilai kejujuran, keterbukaan,
tanggung jawab, kerja keras, keberanian, kesederhanaan, keadilan,
kedisiplinan dan komitmen dapat disemaikan secara subur melalui
kebudayaan sekolah. Karena inilah, para orang tua masih percaya
dan menyerahkan kepada sekolah untuk mendidik dan mengajar
anaknya. Mungkin karena fungsinya yang sangat strategis sehingga
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 45

sampai saat ini sekolah masih dipercaya masyarakat. Dalam kaitan


ini, Nasution (1995: 14-17) mencatat ada beberapa fungsi sekolah,
yaitu: (1) sekolah mempersiapkan anak untuk suatu pekerjaan, (2)
sekolah memberikan keterampilan dasar, (3) sekolah membuka
kesempatan memperbaiki nasib, (4) sekolah menyediakan tenaga
pembangunan, (5) sekolah membantu memecahkan masalah-
masalah sosial, (6) sekolah mentransmisi kebudayaan, (7) sekolah
membentuk manusia sosial, (8) sekolah sebagai sarana social
engineering, dan (9) sekolah juga dapat dipandang sebagai tempat
menitipkan anak terutama anak-anak pra-sekolah.
Pendidikan yang diselenggarakan sekolah berbeda dengan
jalur pendidikan yang lain. Pendidikan yang dikembangkan
oleh sekolah lebih dititikberatkan pada pendidikan intelektual,
yakni mengisi otak anak dengan berbagai macam pengetahuan
(Nasution, 1995: 13). Jalur pendidikan informal atau keluarga
lebih berfungsi membentuk manusia atau memuliakan manusia.
Seluruh proses pemuliaan atau pembentukan moral manusia
muda hanya mungkin lewat interaksi informal antara anak dengan
lingkungan hidupnya dan itu adalah keluarga. Dalam menunaikan
tugasnya, orang tua dibantu oleh masyarakat. Salah satu bantuan
yang diberikan masyarakat kepada orang tua adalah berupa
pembentukan manusia muda pada bidang intelektual dan proses
pembentukan hal tersebut berlangsung dalam lembaga sekolah
(Drost, 1999: 2).
Baik Nasution maupun Drost sama-sama sependapat bahwa
sekolah berfungsi sebagai pengembang pendidikan intelektual.
Namun demikian, sekolah atau pendidikan formal sebagai
bagian tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional secara
46 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

komprehensif tidak hanya berorientasi pada pengembangan


intelektual, tetapi juga bertujuan membangun karakter atau
membangun nilai-nilai kemanusiaan siswa. Pendek kata, sekolah
tidak hanya berfungsi sebagai wahana pendidikan intelektual,
tetapi juga sebagai lingkungan subur berkembangnya pendidikan
nilai. Hal ini sejalan dengan fungsi pendidikan nasional yaitu
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Pendidikan nilai secara sederhana dapat diartikan sebagai
penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada diri seseorang.
Mulyana (2004: 119) mendefinisikan pendidikan nilai sebagai
pengajaran atau bimbingan kepada peserta didik agar mereka
menyadari nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan melalui
proses pertimbangan nilai yang tepat dan pembiasaan bertindak
yang konsisten. Dalam konteks yang lebih luas, nilai-nilai yang
dikembangkan melalui pendidikan sekolah tidak hanya menyentuh
nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan sebagaimana
dikemukakan oleh Mulyana, tetapi lebih dari itu juga nilai
kejujuran, nilai tanggung jawab, nilai kedisiplinan, nilai kebebasan,
nilai kesamaan, nilai kepemimpinan, nilai toleransi, nilai kesetiaan,
nilai kerjasama, nilai persahabatan, nilai cinta-kasih dan nilai-
nilai lainnya yang bermanfaat bagi pengembangan karakter dan
kepribadian siswa.
Pendidikan antikorupsi dalam konteks ini termasuk dalam
kategori pendidikan nilai. Hal ini dapat dimengerti karena yang
ingin dikejar oleh pendidikan antikorupsi tidak lain adalah
membentengi anak-anak dari perilaku koruptif dengan membekali
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 47

nilai-nilai luhur sebagaimana dikembangkan oleh pendidikan nilai.


Dalam upaya mengimplementasikan pendidikan antikorupsi
di sekolah dapat dipilih tiga strategi, yaitu strategi inklusif, strategi
eksklusif dan strategi studi kasus (Suyanto, 2005: 43). Dengan
mempertimbangkan kematangan berpikir dan emosional anak
serta padatnya jam pelajaran, strategi inklusif dapat dipilih dengan
cara menyisipkan nilai-nilai antikorupsi ke dalam sejumlah mata
pelajaran terkait. Pendekatan eksklusif dapat digunakan untuk
jenjang pendidikan menengah, yakni dengan cara memasukkan
pendidikan antikorupsi ke dalam kurikulum lokal (muatan lokal)
atau melalui kegiatan ekstra-kurikuler yang lebih bernuansakan
kesiswaan.
Substansi pendidikan antikorupsi dimasukkan sebagai
salah satu atau beberapa kompetensi dasar dalam Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebagaimana dilegalisasi oleh
Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006. Pada jenjang SD kelas V
semester 1, kompetensi dasar yang berkaitan dengan pendidikan
antikorupsi adalah: “memberi contoh peraturan perundang-
undangan tingkat pusat dan daerah seperti pajak, antikorupsi,
lalu lintas dan larangan merokok”. Pada jenjang SMP kelas VIII
semester 1 terdapat dua kompetensi dasar yang menunjang
perilaku antikorupsi yaitu: (1) mengidentifikasi kasus korupsi dan
upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, (2) mendeskripsikan
pengertian antikorupsi dan instrumen (hukum dan kelembagaan)
antikorupsi di Indonesia. Kompetensi dasar yang dikembangkan
untuk pendidikan antikorupsi pada jenjang SMA kelas X
semester 1 adalah: (1) menganalisis upaya pemberantasan
korupsi di Indonesia, (2) menampilkan peran serta dalam upaya
48 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

pemberantasan korupsi di Indonesia. Kompetensi dasar yang


dikembangkan tersebut memberi warna baru bagi substansi materi
dan pembelajaran mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan
baik pada jenjang, SD, SMP maupun SMA.
Cukup banyak model pembelajaran yang dapat dipilih untuk
pelaksanaan pembelajaran pendidikan kewarganegaraan dengan
kompetensi dasar pemberantasan korupsi. Dalam kompetensi
dasar “Memberi contoh peraturan perundang-undangan tingkat
pusat dan daerah seperti pajak, antikorupsi, lalu lintas, dan
larangan merokok” di Sekolah Dasar kelas V semester 1, guru dapat
mencoba model pembelajaran “siklus belajar”. Langkah-langkah
pembelajaran siklus belajar menurut Karli dan Yuliariatiningsih
(2003: 41) adalah sebagai berikut.

Pada tahap awal model ini, guru dapat mengajukan pertanyaan


atau menggali informasi yang dimiliki siswa. Pertanyaan itu
misalnya: apakah anak-anak tahu apa itu korupsi, perilaku
manakah yang termasuk korupsi, undang-undang apa saja yang
mengatur tentang pemberantasan korupsi, apakah ada peraturan
daerah yang mendukung perilaku antikorupsi dan pertanyaan lain
yang berkaitan dengan konsep perilaku korupsi maupun perilaku
antikorupsi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut diajukan secara
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 49

lisan atau tertulis dan bisa bersifat individual maupun kelompok.


Pertanyaan-pertanyaan tersebut penting untuk membantu siswa
dalam memanipulasi materi pelajaran yang disampaikan guru
terutama dengan cara mencari dan mengumpulkan fakta-fakta
tentang korupsi dan antikorupsi. Dalam tahap ini guru berusaha
menggali konsepsi awal siswa mengenai perilaku korupsi dan
antikorupsi sebagaimana dirumuskan dalam peraturan perundang-
undangan.
Tahap kedua dari siklus belajar adalah pengenalan konsep.
Dalam hal ini, guru mengumpulkan informasi dari para siswa yang
berkenaan dengan pengalaman mereka dalam tahap eksplorasi.
Guru mengajak anak-anak untuk menyampaikan pendapatnya
tentang perilaku korupsi dan atau antikorupsi sebagaimana
diketahui anak-anak. Pada awal tahap ini, guru berusaha
menunda penilaian atau komentar terhadap pendapat siswa.
Setelah semua pendapat atau jawaban disampaikan, barulah
guru melakukan klarifikasi, mencocokkan jawaban siswa dengan
konsep yang dimiliki guru dan guru akhirnya memberi penjelasan
sekaligus menyampaikan konsep-konsep baru tentang korupsi dan
antikorupsi sebagaimana dirumuskan oleh ketentuan undang-
undang maupun peraturan daerah.
Tahap terakhir, yaitu aplikasi konsep di mana guru menyiapkan
situasi yang dapat mendorong dan merangsang anak berdasarkan
pengalaman mereka pada tahap eksplorasi dan pengenalan
konsep. Dalam tahap ini, guru meminta para siswa untuk
menerapkan konsep yang sudah dipahami pada contoh kejadian
lain terutama kejadian sehari-hari yang mereka lihat, mereka
alami dan mereka rasakan. Anak-anak bisa diberi pertanyaan atau
50 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

tugas untuk memberi contoh undang-undang, peraturan daerah


atau peraturan lain yang memuat rumusan perilaku korupsi atau
mengajukan fakta-fakta baru tentang perilaku antikorupsi.
Model pembelajaran siklus belajar tersebut di atas juga dapat
diterapkan dosen pengampu mata kuliah pendidikan antikorupsi
di perguruan tinggi, sesuai dengan tingkat kematangan dan
perkembangan mahasiswa.
Sebenarnya masih banyak model pembelajaran yang dapat
diterapkan untuk menjelaskan substansi pendidikan antikorupsi,
terutama untuk siswa-siswa SD. Teknik-teknik tersebut, misalnya
teknik mencari pasangan, teknik bertukar pasangan, teknik berpikir
berpasangan berempat, teknik berkirim salam dan soal, teknik
kepala bernomor, teknik dua tinggal dua tamu, teknik keliling
kelompok, teknik keliling kelas, teknik kancing gemerincing, teknik
jigsaw dan teknik-teknik lainnya yang relevan dengan kompetensi
dasar yang ingin dicapai. Demikian pula untuk pembelajaran
antikorupsi di kelas VIII SMP dan kelas X SMA dapat dipilih,
misalnya model penelitian sosial, simulasi, brainstorming, studi
kasus, silang pendapat, problem-centered group, seminar group,
syndicate group, debat, team-quiz, poster dan model-model lain
yang relevan dengan kompetensi dasar yang ingin dicapai.
Di Perguruan Tinggi, pendidikan antikorupsi dapat
diintegrasikan ke dalam mata kuliah Pendidikan Pancasila,
Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, Bahasa
Indonesia, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Budaya Dasar, Kuliah Kerja
Nyata (KKN), atau dapat dijadikan sebagai mata kuliah tersendiri,
seperti yang dilakukan oleh Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, Universitas Paramadina, dan Universitas
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 51

Negeri Semarang. Sebelum keluarnya edaran dari Dirjen Dikti


Kemekdikbud tentang kewajiban perguruan tinggi untuk
melaksanakan pendidikan antikorupsi, ketiga perguruan tinggi
tersebut sudah memiliki kurikulum pendidikan antikorupsi dengan
substansi materi antikorupsi yang tidak jauh berbeda. Aplikasi
pendidikan antikorupsi pada tiga perguruan tinggi tersebut
bervariasi. UIN Syarif Hidayatullah dan Universitas Paramadina
mewajibkan mahasiswanya (mahasiswa baru) untuk mengikuti
kuliah pendidikan antikorupsi, sedangkan pendidikan antikorupsi
di Universitas Negeri Semarang baru diberikan kepada mahasiswa
Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
(PPKn) FIS Unnes. Namun berdasarkan kurikulum 2012, mata
kuliah Pendidikan Antikorupsi juga diberikan di semua program
studi yang ada di Fakultas Ilmu Sosial, serta diberikan kepada
mahasiswa Fakultas Hukum. Di Fakultas Ilmu Sosial, khususnya
pada program studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
(PPKn), Pendidikan Antikorupsi berstatus sebagai mata kuliah
wajib, sedangkan pada program studi lainnya di Fakultas Ilmu
Sosial dan di Fakultas Hukum, Pendidikan Antikorupsi merupakan
mata kuliah pilihan.
Apa yang diuraikan di atas adalah contoh penerapan
pendidikan antikorupsi di sekolah dan perguruan tinggi melalui
jalur intrakurikuler atau strategi yang khas kurikuler. Pendidikan
antikorupsi tentu saja tidak hanya dapat dilaksanakan secara
formal melalui kurikulum sekolah dan perguruan tinggi. Melalui
kegiatan ekstra-kurikuler, tujuan pendidikan antikorupsi dapat
diwujudkan. Sekolah dapat menggelar kegiatan lomba tulis
dan baca puisi antikorupsi, lomba poster antikorupsi, lomba
52 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

pidato antikorupsi, lomba geguritan antikorupsi, lomba dongeng


antikorupsi, lomba kisah antikorupsi, lomba tulis cerpen
antikorupsi, drama antikorupsi, happening-art antikorupsi, lomba
fotografi antikorupsi, debat antikorupsi, dan kegiatan atau wahana
lain yang lebih cair, segar, menyenangkan, bebas, menarik,
menantang dan mendidik.
Pada tingkat perguruan tinggi, selain disisipkan dalam
mata kuliah yang relevan atau menjadi mata kuliah tersendiri,
pendidikan antikorupsi dapat diwujudkan dalam kegiatan
ekstrakurikuler, seperti pelatihan antikorupsi pada aktivis Badan
Eksekutif Mahasiswa dan Himpunan Mahasiswa Jurusan/Program
Studi, rubrik antikorupsi di koran atau majalah mahasiswa (pers
kampus), siaran antikorupsi pada radio atau televisi kampus,
pergelaran tari atau musik antikorupsi, gelar lukis antikorupsi, atau
pengembangan nilai-nilai luhur yang mendukung sikap antikorupsi
pada aktivis UKM Kepramukaan dan Resimen Mahasiswa.

G. Metode Pembelajaran Mata Kuliah Pendidikan


Antikorupsi

Sebagaimana sudah diuraikan dalam bagian sebelumnya


bahwa untuk menjelaskan materi dari mata kuliah Pendidikan
Antikorupsi, dapat digunakan model pembelajaran Siklus
Belajar. Model ini banyak diterapkan di sekolah dasar maupun
sekolah menengah. Dalam bagian ini akan dipaparkan metode
pembelajaran lainnya yang dapat digunakan di perguruan
tinggi dan dipilih oleh dosen pengampu mata kuliah Pendidikan
Antikorupsi, di antaranya adalah metode in-class discussion,
case study, improvement system scenario, generale lecture, film
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 53

discussion, investigative report, thematic exploration, prototype,


prove the government, education tools, integrated writing, dan
social problem solving (Ditnaga Dikti Depdiknas, 2007; Puspito,
dkk. (ed), 2011).

1. Diskusi di dalam Kelas (In-Class Discussion)


Pembelajaran in-class discussion ditujukan untuk
menumbuhkan kepekaan atau keasadaran dan kerangka berpikir.
Proses atau langkah-langkahnya, seperti halnya langkah-langkah
diskusi pada umumnya. Dosen bertindak sebagai fasilitator, yang
mendorong mahasiswa mendiskusikan konsep-konsep korupsi dan
antikorupsi. Diusahakan mahasiswa menyimpulkan sendiri apa
yang telah didiskusikan di bawah bimbingan dosen. Diharapkan
dari cara diskusi ini, pengetahuan dan pemahaman mahasiswa
tentang persoalan korupsi makin meningkat. Demikian pula,
kemampuan mereka dalam menganalisis permasalahan korupsi
makin baik.

2. Studi Kasus (Case Study)


Tujuan case study adalah untuk meningkatkan kepekaan
mahasiswa terhadap kasus korupsi dan mampu melakukan analisis
terhadap kasus tersebut berdasarkan konsep korupsi yang telah
disampaikan oleh dosen. Kasus disisipkan oleh dosen setiap sesi
pertemuan perkuliahan. Kasus bisa diperoleh dari koran, majalah,
atau internet, lalu dibahas oleh mahasiswa secara berkelompok
atau pun mandiri. Diupayakan kasus yang dibahas tidak kasus besar
(grand corruption), tetapi juga petty corruption dan dilema korupsi
yang dihadapi masyarakat maupun mahasiswa. Tidak hanya hal-
hal negatif, seperti kasus korupsi yang dapat didiskusikan oleh
54 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

mahasiswa, tetapi juga best practice dari penanganan kasus atau


pencegahan korupsi yang dilakukan oleh suatu instansi, swasta,
atau pun masyarakat.

3. Skenario Sistem Pengembangan (Improvement System


Scenario)
Tujuan metode ini adalah memberikan rangsangan kepada
mahasiswa agar memikirkan penyelesaian masalah secara nyata.
Hampir mirip dengan metode studi kasus, dosen memberikan satu
bahan diskusi atau bisa juga mahasiswa diminta mencari sendiri
kasus korupsi yang akan dibahas. Bedanya dengan case study,
metode ini mengharuskan mahasiswa untuk membuat skenario
sistem perbaikan atau penyelesaian atas kasus yang dikaji. Dengan
model ini, mahasiswa akan makin meningkat kemampuannya
dalam menganalisis permasalahan korupsi sekaligus berkembang
pula kapasitasnya dalam mencari solusi terhadap persoalan
korupsi.

4. Kuliah Umum (Generale Lecture)


Generale lecture bertujuan untuk mempelajari suatu bahan
atau konsep tentang korupsi dan bagaimana pemberantasannya
dari seorang praktisi atau orang-orang lapangan yang berkiprah
dalam kaitannya dengan persoalan korupsi. Kegiatannya adalah
menghadirkan seorang pembicara tamu untuk berbagi informasi
dan pengalaman tentang cara memberantas dan mencegah
korupsi. Pembicara tamu dapat berasal dari tokoh-tokoh
berpengalaman, seperti pimpinan KPK, pemuka agama, pejabat
pemerintah yang bersih, pengusaha bersih, politisi bersih, dan
yang lain.
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 55

5. Diskusi Film (Film Discussion)


Metode ini menggunakan media film sebagai media
pembelajaran. Kegiatannya adalah dosen memutar film
dokumenter tentang kasus korupsi atau antikorupsi, selanjutnya
mahasiswa memberikan komentar atau membahas secara
berkelompok atau individual. Hal-hal yang dapat didiskusikan
di antaranya adalah bentuk atau jenis korupsi, dilema yang
dihadapi koruptor atau orang yang membantu berlangsungnya
suatu tindakan korupsi. Diskusi dapat juga diperkaya dengan
menghadirkan pengalaman serupa yang dihadapi oleh mahasiswa.

6. Laporan Investigasi (Investigative Report)


Tujuan metode ini adalah mahasiswa memiliki kompetensi
untuk mengidentifikasi dan menganalisis sebuah kasus korupsi
yang riil terjadi di lingkungan sekitar atau di suatu daerah serta
mampu membuat laporan kasus korupsi secara efektif. Kegiatan
yang dilakukan adalah mahasiswa dalam beberapa minggu turun
ke lapangan untuk melakukan investigasi. Langkah-langkahnya
adalah (a) dosen membentuk kelompok, (b) kelompok mahasiswa
menentukan tindakan korupsi dan lokasi terjadinya korupsi, (c)
kelompok mahasiswa melakukan investigasi dengan teknik yang
benar, (d) kelompok menyusun laporan yang sudah merekam kasus,
data, dan analisis kasus, dan (e) kelompok mempresentasikan
laporannya di depan kelas. Untuk mengumpulkan data dan
informasi, mahasiswa dapat menggunakan tape recorder,
kamera, video, dan alat perekam lainnya. Agar tercipta kesadaran
masyarakat bahwa korupsi merupakan musuh bersama, mahasiswa
dapat mengundang wakil masyarakat dan media massa dalam
diskusi yang mereka lakukan.
56 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

7. Eksplorasi Tematik (Thematic Exploration)


Metode ini bertujuan untuk membangun cara berpikir yang
komprehensif dalam menggali sebuah kasus. Kegiatan yang
dilakukan adalah mahasiswa melakukan observasi sebuah kasus
korupsi atau perilaku koruptif lainnya, selanjutnya menganalisisnya
dari berbagai sudut pandang atau perspektif sosial, budaya,
hukum, ekonomi, politik dan sebagainya. Untuk memperkaya
pemahaman, mahasiswa dapat menganalisis suatu kasus dengan
menggunakan perspektif dari penanganan kasus yang dilakukan di
negara lain. Melalui metode ini, kemampuan analisis mahasiswa
akan semakin tajam.

8. Prototipe (Prototype)
Tujuan metode prototype adalah penerapan keilmuan atau ciri
khas perguruan tinggi atau ciri khas lokal dalam mengembangkan
teknik antikorupsi. Kegiatan yang dilakukan adalah membuat
prototype teknologi terkait dengan cara-cara penanggulangan
korupsi. Teknologi tersebut bisa berbasis IT maupun non IT. Hasil-
hasil dari prototipe ini dapat dipamerkan di kelas atau pun di
tempat lain yang dapat diperkenalkan kepada mahasiswa lain atau
pelajar.

9. Pembuktian Kebijakan Pemerintah (Prove The


Government Policy)
Dalam metode ini mahasiswa memantau realisasi janji
pemerintah, sebagai wujud dari integritas pemerintah. Kegiatannya
adalah kelompok mahasiswa melakukan pengamatan (observasi),
terjun ke lapangan untuk melihat sejauhmana kesesuaian antara
janji pejabat pemerintah ketika mereka melakukan kampanye
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 57

politik selama pemilihan dengan realisasi program kegiatan yang


diterima masyarakat.

10. Alat-Alat Pendidikan (Education Tools)


Tujuan metode ini adalah menciptakan media pembelajaran
yang kreatif untuk segmen pendidikan formal maupun publik
dalam rangka kegiatan antikorupsi. Kegiatannya adalah mahasiswa
dapat mewujudkan kreasi dan inovasinya dengan menciptakan
produk yang dapat menjadi media pembelajaran antikorupsi.
Produk tersebut bisa berupa peraga antikorupsi yang bersifat
animasi maupun nonanimasi. Animasi dapat dibuat dengan
memanfaatkan komputer, sedangkan nonanimasi dapat berupa
cerita gambar, komik, kartun, boneka, wayang, dan lain-lain.

11. Pembelajaran Keterampilan Menulis Terpadu (Integrated


Writing)
Model pembelajaran ini biasa diterapkan dalam pengajaran
bahasa Inggris. Dalam model ini, mahasiswa dibekali dengan
keterampilan berbahasa yang terpadu, dengan harapan mereka
mampu meringkas, mensintesis, dan mengembangkan bahan-
bahan yang didengar, dibaca, dan didiskusikan untuk selanjutnya
menuangkannya dalam suatu karya tulis dengan tata bahasa, kosa
kata, dan kaidah penulisan yang benar (Ditnaga Dikti Depdiknas,
2007). Pendek kata, melalui pembelajaran ini, mahasiswa
memiliki keterampilan menulis secara terpadu berdasarkan fakta
dan gagasan yang diperolehnya dari membaca dan mendengarkan
bahan-bahan tentang korupsi.
Kompetensi yang diharapkan dimiliki mahasiswa agar mereka
dapat menghasilkan karya tulis yang baik, di antaranya: (a)
58 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

memahami ide pokok dari bacaan akademis atau bahan kuliah


dalam diskusi kelompok atau kelas, (2) menemukan informasi
tertentu dari kuliah atau diskusi kelas yang berkaitan dengan
bahan bacaan, dan (3) menghubungkan dengan tepat informasi
yang dapat diperoleh dari bacaan dan perkuliahan atau diskusi
(Ditnaga Dikti Depdiknas, 2007).
Materi kuliah dapat berupa materi mendengarkan kuliah
singkat, membaca bahan kuliah atau artikel kuliah yang berkaitan
dengan persoalan korupsi serta mendiskusikan dalam kelompok
tentang materi yang didengar dan dibaca. Oleh karena model
ini khas model pembelajaran bahasa, maka perkuliahan ini juga
mencakupi pengenalan konsep keterpaduan antarketerampilan
berbahasa dan komponen bahasa, cara-cara membuat ringkasan,
catatan dan parafrasa yang benar dari bahan audio dan bahan
tertulis.
Kegiatan pembelajaran keterampilan menulis terpadu
meliputi langkah-langkah berikut.
Pertama, mahasiswa mencari atau memperoleh fakta dan
gagasan dari sumber atau bahan lisan tentang fenomena korupsi.
Kedua, mahasiswa mencari atau memperoleh fakta dan
gagasan dari sumber atau bahan tertulis tentang fenomena
korupsi.
Ketiga, mahasiswa membandingkan dan mengkontraskan
fakta dan gagasan baik yang terdapat dalam sumber lisan maupun
sumber tertulis.
Keempat, mahasiswa menyusun wacana deskriptif tentang
fenomena korupsi (misalnya korupsi di kalangan elit partai politik)
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 59

berdasarkan fakta dan gagasan yang diperoleh dari berita televisi


atau artikel di koran atau majalah.
Evaluasi dari pembelajaran keterampilan menulis terpadu
dilakukan dengan penilaian otentik yang bersifat berkelanjutan
atau yang biasa disebut penilaian proses. Dalam hal ini, mahasiswa
dinilai dengan performance assessment, yakni menggunakan
instrumen rubrik, check list, dan portofolio. Ini artinya, setiap
kegiatan mahasiswa dinilai, mulai dari saat berdiskusi, membuat
catatan dan ringkasan, dan mempresentasikan hasil kerja
kelompok di depan kelas.

12. Pembelajaran Keterampilan Pemecahan Masalah Sosial


(Social Problem Solving)
Individu merupakan aktor sosial dalam kehidupan
bermasyarakat. Sebagai aktor sosial, ia harus dapat mengambil
keputusan secara bernalar. Kemampuan tersebut tercermin melalui
proses pembelajaran yang memungkinkan individu terlibat dalam
berbagai bentuk kegiatan pemecahan masalah sosial baik secara
individual maupun secara kolektif (Ditnaga Dikti Depdiknas, 2007).
Pembelajaran keterampilan pemecahan masalah sosial merupakan
strategi tepat untuk menempa kemampuan mahasiswa sebagai
aktor sosial. Melalui strategi ini dikembangkan pembelajaran
yang melibatkan peserta didik dalam praktik pemecahan masalah
sosial, khususnya yang berkenaan dengan kebijakan publik.
Pembelajaran keterampilan pemecahan masalah sosial
menerapkan pendekatan fungsional atau pendekatan berbasis
masalah (problem-based learning). Pembelajaran ini bertolak
dari strategi inquiry learning, discovery learning, problem solving
learning, dan research oriented learning.
60 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

Langkah-langkah pembelajaran keterampilan pemecahan


masalah sosial adalah: (a) mengidentifikasi masalah kebijakan
publik, khususnya masalah korupsi yang terjadi di dalam tubuh
pemerintah, lembaga legislatif atau pun di masyarakat, (b)
memilih satu masalah sosial (korupsi) untuk dikaji di dalam kelas,
(c) mahasiswa mengumpulkan informasi yang terkait dengan
masalah tersebut, (d) mengembangkan portofolio kelas, (e)
menyajikan portofolio, dan (f) melakukan refleksi pengalaman
belajar (Ditnaga Dikti Depdiknas, 2007).

H. Rangkuman

Korupsi diartikan sebagai penyelewengan atau


penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk
keuntungan pribadi atau orang lain. Korupsi dipahami sebagai
perbuatan busuk, rusak, kotor, serta menggunakan uang atau
barang milik lain (perusahaan atau negara) secara menyimpang
yang menguntungkan diri sendiri.
Korupsi melibatkan penyalahgunaan kepercayaan, yang
umumnya melibatkan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi.
Korupsi juga dimaknai sebagai penyalahgunaan peran, jabatan
publik atau sumber untuk keuntungan pribadi.
Ada dua cara untuk mengatasi korupsi, yaitu dengan
pencegahan (pendidikan antikorupsi) dan pemberantasan korupsi
dengan penindakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
Pendidikan antikorupsi adalah usaha sadar dan sistematis yang
diberikan kepada peserta didik berupa pengetahuan, nilai-nilai,
sikap dan keterampilan yang dibutuhkan agar mereka mau dan
mampu mencegah dan menghilangkan peluang berkembangnya
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 61

korupsi. Sasaran akhir bukan hanya menghilangkan peluang,


tetapi juga peserta didik sanggup menolak segala pengaruh yang
mengarah pada perilaku koruptif.
Pendidikan antikorupsi dilakukan dengan cara menanamkan
nilai-nilai antikorupsi kepada anak-anak, siswa, mahasiswa,
dan generasi muda, guna membentuk sikap antikorupsi dan
menghilangkan peluang berkembangnya tindak pidana korupsi
maupun perilaku koruptif lainnya. Nilai-nilai antikorupsi yang
ditanamkan tersebut, yaitu nilai kejujuran, tanggung jawab,
keberanian, keadilan, keterbukaan, kedisiplinan, kesederhanaan,
kerja keras, dan kepedulian.
Nilai-nilai antikorupsi tersebut secara formal ditanamkan
di sekolah dan perguruan tinggi melalui kurikulum yang
dikembangkan. Nilai-nilai tersebut dapat diintegrasikan ke
dalam kurikulum, misal dalam silabi, satuan acara pembelajaran
(perkuliahan), dan kontrak pembelajaran (perkuliahan) atau
pun diselenggarakan dalam bentuk mata pelajaran atau mata
kuliah tersendiri. Metode pembelajaran yang dapat dipilih untuk
menanamkan nilai-nilai antikorupsi di antaranya adalah metode
in-class discussion, case study, improvement system scenario,
generale lecture, film discussion, investigative report, thematic
exploration, prototype, prove the government, education tools,
integrated writing, dan social problem solving.
BAB III
BENTUK DAN JENIS-JENIS KORUPSI

B
entuk dan jenis-jenis korupsi di berbagai negara tidak sama,
tergantung pada pengalaman atau sejarah negara tersebut
dan dapat dikembangkan berdasarkan praktik-praktik korupsi atau
kreativitas dari para perampok harta rakyat dan negara.

A. Bentuk Korupsi

Sebagaimana telah disebutkan dalam Bab II, definisi korupsi


diuraikan panjang lebar dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Sebanyak 13
pasal menjelaskan bentuk-bentuk korupsi di Indonesia yang dapat
dilakukan penindakan terhadapnya. Dari pasal-pasal tersebut,
korupsi dirinci lebih lanjut ke dalam 30 bentuk tindak pidana
korupsi. Pasal-pasal tersebut menjelaskan secara rinci tentang
perbuatan-perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena
kasus korupsi.
Ketiga puluh bentuk tindak pidana korupsi tersebut pada
dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut.
1. Kerugian keuangan negara: pasal 2 dan 3.
2. Suap menyuap: pasal 5 ayat (1) huruf a, pasal 5 ayat (1) huruf
b, pasal 5 ayat (2), pasal 6 ayat (1) huruf a, pasal 6 ayat (1)

62
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 63

huruf b, pasal 6 ayat (2), pasal 11, pasal 12 huruf a, pasal 12


huruf b, pasal 12 huruf c, pasal 12 huruf d dan pasal 13.
3. Penggelapan dalam jabatan: pasal 8, pasal 9, pasal 10 huruf a,
pasal 10 huruf b, dan pasal 10 huruf c.
4. Pemerasan: pasal 12 huruf e, pasal 12 huruf f, pasal 12 huruf g.
5. Perbuatan curang: pasal 7 ayat (1) huruf a, pasal 7 ayat (1)
huruf b, pasal 7 ayat (1) huruf c, pasal 7 ayat (1) huruf d, pasal
7 ayat (2) dan pasal 12 huruf h.
6. Benturan-benturan dalam pengadaan: pasal 12 huruf i.
7. Gratifikasi: pasal 12 B jo pasal 12 C (KPK, 2006: 4-5).

Selain definisi tindak pidana korupsi sebagaimana diuraikan


di atas, masih terdapat tindak pidana lain yang berkaitan dengan
tindak pidana korupsi yakni sebagaimana diatur di dalam pasal 21,
22 jo 28, 22 jo 29, 22 jo 35, 22 jo 36 dan 24 jo 31.
Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang sebagian berbunyi:
setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara (KPK, 2006: 25). Perbuatan yang merugikan keuangan
atau perekonomian negara ini tergolong perbuatan atau tindak
pidana korupsi. Demikian pula rumusan pasal 3 juga tergolong
tindak pidana korupsi, yaitu: setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara (KPK, 2006: 27). Pasal
2 dan 3 ini adalah korupsi dalam bentuk merugikan keuangan
negara.
64 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

Suap-menyuap diatur dalam 5 pasal dari UU Korupsi.


Pasal 5 ayat (1) huruf a menyatakan bahwa: setiap orang yang
memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu
dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya
termasuk perbuatan suap-menyuap. Demikian pula pasal 5 ayat (1)
huruf b yang berbunyi: memberi sesuatu kepada pegawai negeri
atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan
sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau
tidak dilakukan dalam jabatannya, termasuk juga kategori suap-
menyuap. Suap-menyuap terdapat pula dalam rumusan pasal
5 ayat (2), yaitu bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dalam ayat (1)
huruf a dan b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1). Pidana penjara yang dikenakan kepada
pihak yang menerima suap tersebut adalah pidana penjara paling
singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun serta pidana denda paling
sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta. Pasal 11, 12,
dan 13 berkaitan dengan pasal 5 mengenai suap yang diterima
pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Rumusan suap dalam pasal 11 berbunyi: pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan
dengan jabatannya.
Pasal 12 huruf a berunsurkan suap, berbunyi: pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 65

janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan
dengan kewajibannya.
Demikian pula pasal 12 huruf b yang menyatakan bahwa
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
hadiah padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah
tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya, tergolong tindakan suap-
menyuap.
Pasal 13 yang berbunyi: setiap orang yang memberi hadiah
atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan
atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya
atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada
jabatan atau kedudukan tersebut, termasuk rumusan suap yang
berkaitan dengan posisi pegawai negeri.
Pasal 12 huruf c dan d memuat ketentuan suap yang menimpa
hakim dan advokat. Pasal 12 huruf c berbunyi: hakim yang
menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk memengaruhi
putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.
Sementara itu, pasal 12 d menyatakan: seseorang yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi
advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah
atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah
atau janji tersebut untuk memengaruhi nasihat atau pendapat
yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan
66 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

kepada pengadilan untuk diadili.


Masih terkait dengan suap yang diterima hakim dan advokat,
pasal 6 pun mengindikasikan hal ini. Pasal 6 ayat (1) huruf a
menyatakan: setiap orang yang memberi atau menjanjikan
sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk memengaruhi
putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili, dapat
digolongkan perbuatan penyuapan.
Demikian pula, pasal 6 ayat (1) huruf b yang menyatakan: setiap
orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang
yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan
dengan maksud untuk memengaruhi nasihat atau pendapat yang
akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada
pengadilan untuk diadili, termasuk perbuatan menyuap.
Baik hakim maupun advokat yang menerima suap akan
dipidana sedikitnya 3 tahun dan paling lama 15 tahun, sebagaimana
dirumuskan dalam pasal 6 ayat (2): bagi hakim yang menerima
pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang
sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Penggelapan dalam jabatan dirumuskan dalam 3 pasal,
yaitu pasal 8, 9, dan 10 huruf a, b, dan c. Pasal 8 menyatakan:
pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau
untuk sementara waktu dengan sengaja menggelapkan uang atau
surat berharga yang disimpan karena jabatannya atau membiarkan
uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 67

orang lain atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut,


tergolong perbuatan penggelapan.
Senada dengan rumusan pasal 8, pasal 9 menyatakan:
pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang diberi
tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus
atau untuk sementara waktu dengan sengaja memalsu buku-buku
atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi,
dapat digolongkan ke dalam tindak pidana penggelapan.
Perbuatan penggelapan dirumuskan lebih jelas lagi dalam
pasal 10. Huruf a pasal ini menyatakan: pegawai negeri atau
orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu
jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu
dengan sengaja menggelapkan, menghancurkan, merusakkan
atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar
yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka
pejabat yang berwenang yang dikuasai karena jabatannya.
Huruf b pasal 10 berbunyi: pegawai negeri atau orang selain
pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan
umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu dengan
sengaja membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan,
merusakkan atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta,
surat, atau daftar tersebut.
Huruf c pasal 10 menyatakan: pegawai negeri atau orang
selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan
umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu dengan
sengaja membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan,
atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar
tersebut.
68 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

Pemerasan termasuk dalam perbuatan korupsi. Pasal 12 huruf


e menyatakan: pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya
memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau
menerima pembayaran dengan potongan atau untuk mengerjakan
sesuatu bagi dirinya sendiri.
Pasal 12 huruf f berbunyi: pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima,
atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-
olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas
umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui
bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.
Huruf g pasal 12 menyatakan: pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas,
meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan barang,
seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui
bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.
Selain pemerasan, perbuatan curang juga dapat dikategorikan
ke dalam tindak pidana korupsi. Hal ini diatur secara rinci dalam
pasal 7 dan 12. Pasal 7 ayat (1) huruf a menyatakan: pemborong,
ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan atau penjual
bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan,
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan
orang atau barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang.
Pasal 7 ayat (1) huruf b berbunyi: setiap orang yang bertugas
mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan,
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 69

sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud


dalam huruf a, termasuk kategori perbuatan curang. Perbuatan
curang dirumuskan juga dalam huruf c dari pasal tersebut,
yang bunyinya sebagai berikut: setiap orang yang pada waktu
menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan
atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan
curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam
keadaan perang. Terkait dengan pasal tersebut, huruf d yang
menyatakan: setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan
barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian
Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan
curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c, termasuk pula
perbuatan curang. Hukuman yang dikenakan kepada mereka yang
berbuat curang cukup berat, yaitu pidana penjara minimal 2 tahun
dan maksimal 7 tahun dengan denda minimal Rp 100 juta dan
maksimal Rp 350 juta. Pasal 7 ayat (2) menunjukkan hal tersebut,
yaitu : bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan
atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia
dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Menyerobot tanah negara
juga termasuk perbuatan curang yang pidana dendanya bisa
mencapai maksimal Rp 1 miliar. Siapa yang dikenai pidana seperti
ini. Mereka adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang pada waktu menjalankan tugas telah menggunakan tanah
negara yang diatasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang
yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut
70 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (pasal 12


huruf h).
Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam
pengadaan diatur dalam pasal 12 huruf i. Siapa mereka?
Mereka adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara baik
langsung atau tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam
pemborongan, pengadaan, atau persewaan yang pada saat
dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan
untuk mengurus atau mengawasinya.
Gratifikasi merupakan fenomena korupsi yang dulu belum
tersentuh oleh hukum karena dianggap hal biasa dan lumrah.
Hal ini diatur dalam pasal 12 B jo. Pasal 12 C. Ketentuan
selengkapnya pasal tersebut adalah sebagai berikut. Huruf B ayat
(1): setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan
jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya dengan ketentuan sebagai berikut: (a) yang nilainya
Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian
bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh
penerima gratifikasi, (b) yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap
dilakukan oleh penuntut umum. Pasal 12 C mempertegas rumusan
pasa 12 B. Ayat (1) menetapkan, ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan
gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Ayat (2) menentukan bahwa penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan
oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 71

terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. Pada ayat (3)


dinyatakan bahwa Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal
menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi
milik penerima atau milik negara.
Selain yang dikemukakan di atas, terdapat jenis tindak pidana
lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, yaitu:
1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi (pasal 21);
2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang
tidak benar (pasal 22 jo. Pasal 28);
3. Bank yang tidak memberi keterangan rekening tersangka
(pasal 22 jo. Pasal 29);
4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi
keterangan palsu (pasal 22 jo. Pasal 35);
5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan
keterangan atau memberi keterangan palsu (pasal 22 jo. Pasal
36);
6. Saksi yang membuka identitas pelapor (pasal 24 jo. Pasal 31)
(KPK, 2006: 21).

B. Jenis-Jenis Korupsi

Banyak jenis korupsi yang dapat diidentifikasi. Haryatmoko


mengutip pendapat Yves Meny membagi korupsi ke dalam empat
jenis, yaitu: (1) korupsi jalan pintas, (2) korupsi upeti, (3) korupsi
kontrak, dan (4) korupsi pemerasan (Al-Barbasy, 2006: 2-3).
Korupsi jalan pintas, terlihat dalam kasus-kasus penggelapan
uang negara, perantara ekonomi dan politik, pembayaran untuk
72 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

keuntungan politik atau uang balas jasa untuk partai politik, dan
money politik.
Korupsi upeti merupakan bentuk korupsi yang dimungkinkan
karena jabatan strategis. Karena jabatan yang disandangnya,
seseorang mendapatkan persentase keuntungan dari berbagai
kegiatan, baik ekonomi maupun politik, termasuk pula upeti dari
bawahan dan kegiatan-kegiatan lain atau jasa dalam suatu perkara.
Korupsi kontrak, yaitu korupsi yang diperoleh melalui proyek
atau pasar. Termasuk dalam kategori ini adalah usaha untuk
mendapatkan fasilitas dari pemerintah.
Korupsi pemerasan, terkait dengan jaminan keamanan dan
urusan-urusan gejolak intern dan ekstern. Perekrutan perwira
menengah TNI atau Polisi menjadi manajer human resources
department atau pencantuman nama perwira tinggi dalam dewan
komisaris perusahaan merupakan contoh korupsi pemerasan.
Termasuk pula dalam korupsi jenis ini adalah membuka kesempatan
kepemilikan saham kepada orang kuat tertentu untuk menghindarkan
akuisisi perusahaan yang secara ekonomi tak beralasan.
Dalam literatur fikih ada 6 jenis korupsi yang haram dilakukan,
yaitu: (1) ghulul atau penggelapan, (2) risywah atau penyuapan,
(3) ghashab atau perampasan, (4) ikhtilas atau pencopetan, (5)
sirqah atau pencurian, dan (6) hirabah atau perampokan (KPK,
2007: 7)
Widodo membagi korupsi ke dalam tiga bentuk, yaitu
graft, bribery dan nepotism (Azhari, 2006: 8). Graft merupakan
korupsi yang dilakukan tanpa melibatkan pihak ketiga, seperti
menggunakan atau mengambil barang kantor, uang kantor, dan
jabatan kantor untuk kepentingan diri sendiri. Korupsi tipe ini bisa
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 73

berlangsung karena seseorang memiliki jabatan atau kedudukan


di kantor.
Bribery adalah pemberian sogokan, suap, atau pelicin agar
dapat memengaruhi keputusan yang dibuat yang menguntungkan
sang penyogok.
Nepotism adalah tindakan korupsi berupa kecenderungan
pengambilan keputusan yang tidak berdasarkan pertimbangan
objektif, tetapi atas pertimbangan kedekatan karena kekerabatan,
kekeluargaan atau pertemanan.
Dilihat dari sifatnya, Kurniawan, dkk. (2006: 62-63) membagi
korupsi ke dalam tiga bentuk, yaitu:

Tabel 1 Jenis-jenis Korupsi


No. Jenis Pelaku Wujud Korupsinya
Korupsi
1. Korupsi • Merasa kebutuhannya tidak terpenuhi,
Individual sehingga korupsi menjadi kebutuhan atau
korupsi adalah jalan satu-satunya untuk
membiayai kebutuhan (need corruption).
• Adanya keinginan untuk menumpuk harta
sebanyak-banyaknya atau adanya motif
serakah (greed corruption).
2. Korupsi • Telah terjadi dalam waktu sekian lama
Terlembagakan melalui media administrasi dan birokrasi
yang ada, sehingga terjadi dalam proses
yang lama dan telah berurat berakar dalam
lingkungan birokrasi. Situasi ini melibatkan
hampir semua komponen yang ada dalam
birokrasi, sehingga situasi ini dimaklumi
bahwa korupsi adalah sesuatu yang lumrah.
• Pelaku korupsi kemudian enggan dan
kehilangan semangat untuk melakukan
pemberantasan korupsi di lingkungannya
bahkan mereka melakukan legitimasi dan
toleransi atas praktik korupsi yang terjadi.
74 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

3. Korupsi Politis · Ada praktik konspiratif dan kolutif diantara


para pemegang otoritas politik dengan
pengambil kebijakan dan penegak hukum.
· Adanya praktik pembiaran (ignoring)
terhadap praktik korupsi yang diketahui,
baik yang terjadi di lingkungannya maupun
di tempat lain.

Mashal (2011) menunjukkan bahwa pada masyarakat


demokrasi, dapat diidentifikasi 3 (tiga) tipe korupsi, yaitu grand
corruption, bureaucratic corruption, dan legislative corruption.
Grand corruption adalah tindakan elit politik (termasuk
pejabat-pejabat terpilih) dimana mereka menggunakan
kekuasaannya untuk membuat kebijakan ekonomi. Elit politik yang
korup dapat mengubah kebijakan nasional atau implementasi
kebijakan nasional untuk melayani kepentingan mereka. Dengan
kewenangannya, mereka juga dapat menggelapkan belanja
publik demi kepentingan mereka. Tipe korupsi ini yang paling
sulit diidentifikasi, karena para elit dapat memanfaatkan celah
peraturan atau kebijakan yang mereka buat untuk memenuhi
kepentingan mereka dan kroni-kroninya.
Bureaucratic corruption adalah tindakan korupsi yang
dilakukan para birokrat yang diangkat, yang dilakukan demi dan
untuk kepentingan elit politik atau pun kepentingan mereka
sendiri. Dalam bentuknya yang kecil, korupsi birokrasi terjadi
ketika masyarakat (publik) memerlukan pelayanan cepat dari
birokrat, dengan imbalan uang atau materi tertentu. Dalam
konteks ini, penyuapan (bribery) dilakukan untuk memperlancar
urusan tertentu. Korupsi jenis ini juga terjadi di lembaga peradilan,
utamanya untuk memengaruhi keputusan pengadilan yang
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 75

menguntungkan pihak yang berperkara.


Legislative corruption menunjuk pada perilaku voting dari
legislator yang mungkin dapat dipengaruhi. Dalam korupsi ini,
legislator disuap oleh kelompok kepentingan tertentu membuat
legislasi yang dapat mengubah rente ekonomi yang berkaitan
dengan aset.
Amin Rais membagi korupsi dalam empat tipologi yang harus
diwaspadai, yaitu: (1) korupsi ekstortif, (2) korupsi manipulative,
(3) korupsi nepotistic, dan (4) korupsi subversif (Al-Barbasy,
2006: 3).
Korupsi ekstortif merujuk pada situasi dimana seseorang
terpaksa menyogok agar dapat memperoleh sesuatu atau
mendapatkan proteksi atau perlindungan atas hak-hak dan
kebutuhannya. Sebagai contoh, seorang pengusaha terpaksa
memberikan sogokan (bribery) kepada pejabat tertentu agar
mudah mendapatkan izin usaha atau memperoleh perlindungan
terhadap usaha yang dijalankan.
Korupsi manipulative merujuk pada usaha kotor seseorang
untuk memengaruhi pembuatan kebijakan atau keputusan
pemerintah dalam rangka memperoleh keuntungan sebesar-
besarnya. Contohnya, sekelompok konglomerat memberi uang
kepada bupati, wali kota atau gubernur agar peraturan yang
dibuatnya dapat menguntungkan mereka.
Korupsi nepotistic merujuk pada perlakuan istimewa yang
diberikan kepada anak, keponakan dan saudara dekat para pejabat
dalam setiap eselon. Dengan perlakuan istimewa ini, para kroni
pejabat tadi dapat menangguk keuntungan yang besar. Korupsi
jenis ini umumnya berjalan dengan cara melanggar aturan main
76 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

yang sudah ada. Pelanggaran tersebut tidak dapat dihentikan


karena di belakang korupsi nepotistic ini berdiri seorang pejabat
yang biasanya merasa kebal hukum.
Korupsi subversive berupa pencurian terhadap kekayaan
negara yang dilakukan oleh pejabat negara. Berbekal kekuasaan
dan wewenang yang dimiliki, mereka dapat membobol kekayaan
negara yang seharusnya diselamatkan. Korupsi ini bersifat
subversif terhadap negara, karena negara telah dirugikan besar-
besaran dan dalam jangka panjang dapat mengganggu jalannya
roda negara.
Secara lebih rinci, Syed Hussain Alatas membedakan jenis-jenis
korupsi ke dalam tujuh bentuk, yaitu: (1) transactive corruption,
(2) exortive corruption, (3) investive corruption, (4) nepotistic
corruption, (5) defensive corruption, (6) antogenic corruption, dan
(7) supportive corruption (Al-Barbasy, 2006: 3-4).
Korupsi transaksi (transactive corruption) muncul karena
adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak
penerima demi keuntungan kedua belah pihak. Korupsi jenis ini
biasanya melibatkan dunia usaha dengan pemerintah atau antara
masyarakat dan pemerintah.
Pihak pemberi dipaksa menyuap guna mencegah kerugian
yang sedang mengancam diri, kepentingan, orang dan hal-hal
yang dihargai, termasuk dalam kategori exortive corruption.
Investive corruption adalah pemberian barang atau jasa
tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain
keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh di masa yang akan
datang.
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 77

Nepotistic corruption adalah penunjukan yang tidak sah


kepada teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan
dalam pemerintahan atau tindakan yang memberikan perlakuan
yang istimewa dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk lain kepada
mereka secara bertentangan atau melawan hukum yang ada.
Defensive corruption adalah pemerasan yang dilakukan para
korban korupsi dengan dalih untuk mempertahankan diri.
Antogenic corruption adalah korupsi yang dilakukan seorang
diri tanpa melibatkan orang lain. Misalnya, pembuatan laporan
keuangan yang tidak benar atau membocorkan informasi
mengenai kebijakan pembangunan wilayah baru kepada kerabat
terdekat.
Supportive corruption adalah korupsi berupa tindakan-
tindakan yang dilakukan untuk melindungi atau memperkuat
korupsi yang sudah ada. Misalnya, menyewa preman untuk
mengancam pemeriksa (auditor) atau menghambat pejabat yang
jujur dan cakap agar tidak dapat menempati posisi atau menduduki
jabatan tertentu.

C. Rangkuman

Korupsi memiliki bentuk dan jenis yang beranekaragam.


Masing-masing negara dengan kultur masing-masing memahami
korupsi dengan cara yang berbeda. Pemberian atau gratifikasi
dimaknai secara berbeda di tiap-tiap negara. Hal ini memengaruhi
pula sikap masyarakat terhadap gratifikasi. Di negara yang tingkat
korupsinya tinggi biasanya memahami gratifikasi sebagai sesuatu
hal yang lumrah, karena kebiasaan dan budaya mengatakan
78 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

demikian. Sementara itu, negara-negara makmur dengan tingkat


korupsi rendah cenderung menyikapi gratifikasi sebagai salah satu
bentuk korupsi yang harus dihindari dan untuk itu harus diatur
dalam suatu ketentuan undang-undang.
Di Indonesia, sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999, korupsi dapat mengambil bentuk berupa
suatu tindakan melawan hukum yang (1) merugikan keuangan
negara, (2) berupa suap-menyuap, (3) berupa penggelapan, (4)
berupa pemerasan, (5) berupa perbuatan curang, (6) benturan-
benturan dalam pengadaan, dan (7) gratifikasi. Bentuk korupsi
lainnya, diatur lebih lanjut dalam undang-undang tersebut.
Di berbagai negara, jenis-jenis korupsi bermacam-macam.
Meny misalnya, menyebutkan ada 4 jenis korupsi, yaitu
korupsi jalan pintas, korupsi upeti, korupsi kontrak, dan korupsi
pemerasan. Islam mengenal juga korupsi, yakni berupa ghulul atau
penggelapan, risywah atau penyuapan, ghashab atau perampasan,
ikhtilas atau pencopetan, sirqah atau pencurian, dan hirabah
atau perampokan. Graft, bribery, dan nepotism, sebagaimana
dikemukakan Widodo juga merupakan jenis korupsi yang sudah
umum. Sementara itu, dilihat dari pelaksananya, korupsi dapat
juga dibedakan dalam tiga hal, yaitu korupsi individual, korupsi
terlembagakan, dan korupsi politis.
BAB IV
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB
DAN DAMPAK KORUPSI

K
orupsi terjadi karena berbagai sebab atau faktor. Faktor-
faktor itu diantaranya politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Dalam korupsi yang bersifat sistemik, faktor-faktor tersebut
terjalin berkelindan menentukan terjadinya korupsi. Meskipun
dalam beberapa hal perbuatan korupsi mendatangkan manfaat,
tetapi dampak negatif korupsi lebih besar daripada kegunaannya.
Dampak negatif korupsi tidak hanya merugikan keuangan dan
perekonomian negara, tetapi juga menyengsarakan rakyat dan
merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.

A. Faktor-Faktor Penyebab Korupsi

Dalam buku berjudul Peran Parlemen dalam Membasmi


Korupsi, ICW (2000) mengidentifikasi empat faktor penyebab
korupsi, yaitu faktor politik, faktor hukum, faktor ekonomi dan
birokrasi, dan faktor transnasional.
Faktor politik menjadi salah satu penyebab terjadinya korupsi,
karena banyak peristiwa politik yang dipengaruhi oleh money
politic. Terkait dengan hal ini, Terrence Gomez (1994), seorang

79
80 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

pengkaji politik Malaysia menggambarkan politik uang (money


politic) sebagai use of money and material benefits in the pursuit
of political influence. Politik uang merupakan tingkah laku negatif
karena uang digunakan untuk membeli suara atau menyogok para
pemilih atau anggota-anggota partai politik supaya memenangkan
si pemberi uang. Praktik politik uang ini tidak bisa dihilangkan
karena undang-undang politik tidak memberikan aturan yang
tegas tentang dana kampanye. Demikian pula ketika ada indikasi
politik uang, pihak penegak hukum tampaknya ragu-ragu untuk
mengambil keputusan.
Korupsi yang berkaitan dengan politik sering disebut dengan
korupsi politik. Dalam pandangan De Asis (2000), korupsi politik
terjadi, misalnya money politic dalam pemilihan anggota legislatif
dan pejabat eksekutif, dana ilegal untuk pembiayaan kampanye,
penyelesaian konflik parlemen melalui cara-cara ilegal dan teknik
lobi yang menyimpang.
Faktor hukum menjadi penyebab korupsi, dikarenakan
banyak produk hukum yang tidak jelas aturannya, pasal-pasalnya
multitafsir, dan ada kecenderungan aturan hukum dibuat untuk
menguntungkan pihak-pihak tertentu meskipun orang awam
tidak bisa melihatnya. Demikian pula, sanksi yang tidak ekuivalen
dengan perbuatan yang dilarang, sehingga tidak tepat sasaran
dan dirasa terlalu ringan atau terlalu berat. Selaras dengan hal
ini, Susila (dalam Hamzah, 2004), menyatakan bahwa tindakan
korupsi mudah timbul, karena ada kelemahan dalam perundang-
undangan yang mencakupi: (1) adanya peraturan perundang-
undangan yang bermuatan kepentingan pihak-pihak tertentu,
(2) kualitas peraturan perundang-undangan kurang memadai,
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 81

(3) peraturan kurang disosialisasikan, (4) sanksi terlalu ringan, (5)


penerapan sanksi yang tidak konsisten dan pandang bulu, dan
(6) lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-
undangan. Lemahnya penegakan hukum, rendahnya mental
aparatur, rendahnya kesadaran masyarakat, serta kurangnya
political will pemerintah, menurut Saleh (2006) juga menjadi
pemicu terjadinya korupsi.
Dari aspek hukum, penelitian Ezung (2012) juga memberikan
kesimpulan yang tidak jauh berbeda, bahwa terjadinya korupsi
disebabkan oleh lemahnya peraturan yang dibuat dan lemahnya
penegakan hukum.
Faktor ekonomi menjadi penyebab korupsi, terutama di
negara-negara yang sistem ekonominya sangat monopolistik.
Kekuasaan negara dirangkai dengan informasi orang dalam turut
menciptakan kesempatan-kesempatan bagi pegawai pemerintah
untuk mempertinggi kepentingan mereka beserta sekutu-
sekutunya. Serangkaian faktor tersebut berkaitan dengan faktor
birokrasi, di mana dalam suasana demikian kebijakan ekonomi
pemerintah diimplementasikan, dikembangkan, dan dimonitor
dengan cara yang tidak partisipatif, tidak transparans dan tidak
akuntabel.
Kenyataan juga menunjukkan bahwa korupi tidak hanya
dilakukan oleh orang yang ekonominya pas-pasan untuk bertahan
hidup, tetapi saat ini korupsi juga dilakukan oleh orang-orang
kaya dan berpendidikan tinggi (Sulistyantoro, 2004). Rendahnya
pendapatan dan gaji tidak serta merta mendorong orang untuk
melakukan korupsi. Banyaknya pemimpin nasional dan daerah,
serta para anggota legislatif di tingkat nasional dan di level daerah
82 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

yang dipidana, karena telah terbukti secara sah melakukan tindak


pidana korupsi. Mereka korupsi tidak karena kekurangan atau
untuk memenuhi kebutuhan yang kurang (by need). Mereka
melakukan korupsi karena mental buruk, tidak bermoral, sehingga
berjiwa serakah (by greed) untuk mengambil harta negara guna
menambah pundi-pundi kekayaannya.
Faktor transnasional amat terkait dengan perkembangan
hubungan ekonomi lintas negara yang tidak jarang menambah
lahan sumber bagi tumbuhnya korupsi di kalangan birokrasi
pemerintahan. Korupsi mudah terjadi, karena perusahaan-
perusahaan asing (transnasional) dapat beroperasi di suatu negara
tanpa harus masuk ke lini birokrasi pusat. Mereka bisa masuk ke
lini birokrasi pemerintah daerah dengan cara memberi uang pelicin
agar dapat berinvestasi di daerah. Korupsi berlangsung bagai
simbiosis mutualisme, di mana pengusaha asing memiliki uang
yang dapat digunakan untuk menyogok pejabat agar memperoleh
izin untuk melakukan usaha di daerah, sedangkan elit daerah
mempunyai otoritas untuk memutuskan.
Organisasi juga dapat menjadi alasan pembenar untuk
melakukan korupsi. Organisasi yang menjadi korban korupsi atau
di mana korupsi biasa terjadi, akan memberi andil terjadinya
korupsi, karena membuka peluang atau kesempatan untuk
berlangsungnya korupsi (Tunggal, 2000). Faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya korupsi dari sudut pandang organisasi,
yaitu: (1) kurangnya keteladanan dari pemimpin, (2) tidak adanya
kultur organisasi yang benar, (3) sistem akuntabilitas di instansi
pemerintah kurang memadai, dan (4) manajemen cenderung
menutupi korupsi di dalam organisasinya.
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 83

ICW memaparkan faktor politik, hukum, ekonomi, dan


transnasional sebagai faktor penyebab korupsi. Mashal (2011)
memberikan pandangan yang tidak jauh berbeda mengenai
penyebab korupsi. Mengutip pandangan Mauro, Mashal
(2011) menyebutkan enam hal yang menyebabkan korupsi bisa
berlangsung.
1. Motivasi untuk mencari penghasilan dengan cara yang
ekstrim, berhubungan dengan kondisi kemiskinan, upah yang
rendah, dan resiko tinggi dari pekerjaan (karena penyakit,
kecelakaan, dan pengangguran).
2. Kesempatan untuk terlibat dalam korupsi, karena disebabkan
oleh banyak regulasi yang mendorong kesempatan tinggi
untuk melakukan korupsi.
3. Sistem legislatif dan peradilan yang lemah.
4. Penduduk sedikit dengan jumlah sumber daya alam yang
melimpah.
5. Hukum dan prinsip-prinsip etik yang lemah.
6. Instabilitas politik dan lemahnya kemauan politik.

Kata sebagian orang, kemiskinan merupakan akar masalah


korupsi. Hal ini tidak benar sepenuhnya, sebab banyak negara kaya
dan makmur penuh dengan skandal yang sedikit sekali melibatkan
orang yang dapat dikategorikan ke dalam kelompok miskin atau
kekurangan. Banyak korupsi dilakukan oleh para pemimpin Asia
dan Afrika, dan mereka tidak tergolong orang miskin. Jadi, korupsi
bukan disebabkan oleh kemiskinan, tetapi justru sebaliknya,
kemiskinan disebabkan oleh korupsi (Pope, 2007: 17).
Jika ada pihak-pihak tertentu yang memojokkan kemiskinan
sebagai penyebab korupsi, meskipun sesungguhnya hal ini tidak
84 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

benar, ada pula orang yang menyatakan bahwa korupsi merupakan


bagian dari kebudayaan. Di banyak negara berkembang, muncul
pandangan bahwa korupsi merupakan bagian dari kebudayaan.
Rakyat mau membayar uang semir (pelicin) yang jumlahnya tidak
besar dengan senang hati, misalnya untuk mendapatkan Surat
Izin Mengemudi (SIM), Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan lainnya.
Perbuatan tersebut dipandang sebagai sebuah kebiasaan. Hal
ini tidak berarti bahwa mereka menyetujui tindakannya, sebab
memberi uang semir bagi mereka dipandang sebagai cara yang
paling praktis untuk memperoleh apa yang mereka inginkan dan
butuhkan.
Anggapan ini lama kelamaan akan berubah jika jumlah
uang semir yang diminta makin besar atau barangkali konsumen
tahu bahwa kelangkaan yang melandasi uang semir sengaja
diciptakan atau juga proses-proses yang lebih baik sebenarnya
bisa saja diciptakan. Namun demikian ada kebudayaan tertentu
yang disalahgunakan menjadi salah satu bentuk korupsi. Di
Afrika, terdapat penjelasan kebudayaan yang menyatakan bahwa
pemberian hadiah yang berlimpah atas budi baik yang diberikan
adalah sah-sah saja. Hal ini ditolak oleh Olusegun Obasanjo, aktivis
antikorupsi Nigeria. Kata Olusegun:

“Saya terkejut sekali bahwa bagian yang tidak terpisahkan dari


kebudayaan kita digunakan sebagai alasan untuk membenarkan
perilaku yang sangat terkutuk. Dalam konsep Afrika, mengenai
hormat-menghormati dan sopan santun, hadiah biasanya
kecil saja. Memberi hadiah tidak harus. Nilainya terletak pada
semangatnya, bukan dari harganya. Beri-memberi hadiah
biasanya dilakukan secara terbuka, tidak pernah secara rahasia.
Bila nilainya terlalu berlebihan, itu akan membuat orang malu
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 85

dan biasanya hadiah yang bersangkutan dikembalikan. Korupsi


telah menyalahgunakan dan menghancurkan salah satu aspek
dari kebudayaan kita.” (Pope, 2007: 21-22).

Mencari akar penyebab terjadinya korupsi dapat ditelusuri


dengan memahami sejumlah teori yang terkait dengannya.
Pertama, adalah teori means-ends scheme yang diperkenalkan
oleh Robert Merton. Menurut teori ini, korupsi merupakan
suatu perilaku manusia yang diakibatkan oleh tekanan sosial,
sehingga menyebabkan pelanggaran norma-norma. Sebagaimana
lazimnya setiap sistem sosial memiliki tujuan dan manusia
berusaha untuk mencapainya melalui cara-cara (means) yang
telah disepakati. Mereka yang menggunakan cara-cara yang
telah disepakati bersama untuk mencapai tujuan bersama
termasuk dalam golongan kompromis. Selain memberikan ruang
bagi anggota-anggotanya untuk dan mewujudkan tujuan, sistem
sosial tidak jarang juga menimbulkan tekanan yang menyebabkan
banyak orang tidak memiliki akses atau kesempatan di dalam
struktur sosial, karena adanya pembatasan-pembatasan atau
diskriminasi rasial, etnik, kapital, keterampilan, dan sebagainya.
Golongan marginal ini kemudian mencari berbagai cara untuk
mendapatkan pengakuan dan akses terhadap sumber-sumber
yang ada di masyarakat. Cara-cara kotor atau menyimpang dari
norma masyarakat terpaksa mereka lakukan demi menyambung
kehidupan mereka atau melawan ketidakadilan yang menimpa
mereka.
Dalam teori Merton ini ditunjukkan bagaimana kebudayaan
terlalu menekankan sukses ekonomi tetapi membatasi
kesempatan-kesempatan untuk mencapainya, akan menyebabkan
86 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

tingkat korupsi yang tinggi. Teori ini bisa menjelaskan mengapa


di negara yang kurang makmur tetapi warga negaranya memiliki
motivasi untuk maju yang sangat tinggi cenderung besar tingkat
korupsinya, sedangkan negara dengan motivasi yang rendah untuk
maju, tetapi akses untuk mencapai kemajuan itu tinggi, cenderung
memiliki tingkat korupsi yang rendah seperti halnya yang dialami
negara-negara Skandinavia.
Teori kedua, adalah teori partikularisme yang dikembangkan
oleh Edward Banfeld. Teori tersebut berkaitan erat dengan
keluarga, dimana korupsi merupakan ekspresi dari partikularisme.
Sikap partikularisme merupakan suatu perasaan kewajiban untuk
membantu dan membagi-bagi sumber kepada pribadi-pribadi
yang dekat dengan seseorang. Bantuan tersebut merupakan
suatu kewajiban personal kepada keluarga, sahabat, atau
anggota kelompoknya. Inilah yang disebut nepotisme. Nepotisme
merupakan suatu sikap loyal terhadap kewajiban partikularistik
yang merupakan ciri dari suatu masyarakat prakapitalis atau
masyarakat feodal. Partikularisme bertentangan dengan
universalisme, yaitu komitmen untuk bersikap sama dengan
yang lain. Universalisme merupakan ciri-ciri yang terdapat pada
masyarakat modern yang berorientasi pada pasar.
Pendapat Banfeld senada dengan pandangan Weber tentang
etika Protestan. Menurut Weber, nilai-nilai yang berkembang di
masyarakat Barat sebelum Protestantisme adalah nilai-nilai gereja
Katolik yang mementingkan masyarakat, keluarga, dan golongan
masyarakat yang dominan dalam membantu golongan miskin.
Dengan lahirnya Kalvinisme (suatu aliran Protestantisme), nilai-
nilai komunitarian tersebut menghilang dan diganti oleh sifat
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 87

mementingkan diri sendiri, sehingga kondusif bagi akumulasi


kapital. Lahirlah kapitalisme dengan norma-normanya. Teori
Banfeld menekankan pada konsep amoral familiism, yaitu budaya
yang kurang mengandung nilai-nilai komunitarian, tetapi sangat
memperkuat hubungan keluarga.
Familiisme yang tidak bermoral tersebut memberi kesempatan
untuk tumbuh suburnya perilaku korupsi dan memperkokoh
tingkah laku menyimpang dari nilai-nilai universalisme dan sistem
merit. Inilah yang ditemukan Banfeld pada sistem mafia di Italia.
Studi yang dilakukan oleh Bank Dunia membenarkan teori Banfeld,
di mana korupsi banyak terjadi di negara-negara Asia, karena di
negara-negara tersebut keterikatan terhadap keluarga sangat
tinggi, sedangkan di negara-negara Skandinavia korupsi cukup
rendah karena negara-negara tersebut kurang mementingkan
ikatan keluarga.
Syed Hussein Alatas (1986: 46) mengungkapkan faktor-faktor
berikut sebagai penyebab korupsi: (1) ketiadaan atau kelemahan
kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberikan
ilham dan memengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi,
(2) kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika, (3)
kolonialisme, (4) kurangnya pendidikan, (5) kemiskinan, (6)
tiadanya tindak hukuman yang keras, (7) kelangkaan lingkungan
yang subur untuk perilaku antikorupsi, (8) struktur pemerintahan,
dan (9) perubahan radikal.
Berbagai upaya untuk memberantas korupsi telah dilakukan
oleh banyak negara, namun korupsi telah menjadi penyakit yang
sistemik. Godaan untuk melakukan korupsi kiranya sulit dihindari.
Torres sebagaimana dikutip Klitgaard, Maclean-Abaroa dan
88 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

Parris (2005: 37) mencatat faktor-faktor yang menyebabkan hal


itu, diantaranya faktor keluarga, tingkat pendidikan, sikap pada
pekerjaan, dunia usaha, negara dan situasi internasional.
Di Indonesia, korupsi demikian gencar dan makin sulit
dibendung terutama sejak berlalunya era Suharto. Gus Dur
bahkan punya seloroh menarik, “Di zaman orde lama, orang takut
korupsi sehingga korupsi dilakukan di bawah meja. Di zaman orde
baru, orang berani korupsi sehingga korupsi dilakukan di atas meja
dan pada zaman reformasi lebih gila lagi, mejanya pun dikorupsi.”
(Nugroho D dan Hanurita S., 2005: 115).
Meskipun banyak lembaga antikorupsi dan komitmen
pemerintah cukup tinggi untuk memberantas korupsi, namun
kenyataannya tindak pidana korupsi sukar diberantas. Mengapa
korupsi di Indonesia sukar diberantas? Menurut Amir Santoso
(2006: 2-4) ada lima pandangan yang dapat menjelaskan hal ini.
Pertama, kurang adanya kemauan yang sungguh-sungguh
dari pemerintah, para tokoh pemerintahan dan DPR untuk
memberantas korupsi.
Kedua, korupsi yang terjadi di Indonesia sering disebut
sebagai korupsi yang sistemik, maksudnya praktik korupsi tersebut
memang terjadi secara sistemik melalui pemanfaatan kelemahan
dalam sistem administrasi negara beserta aturan-aturannya.
Ketiga, masalah budaya. Pemberian dari penguasa kepada
anggota keluarga atau rakyat meskipun diambil dari kas negara
bukanlah korupsi, tetapi dipandang sebagai upaya mengayomi
(memberi perlindungan) dan ngayemi (membuat tenteram).
Keempat, akibat dari tidak mencukupinya gaji pegawai negeri
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 89

yang berlangsung lama. Dalam rangka memenuhi kebutuhan yang


makin bertambah sementara gaji atau penghasilan pas-pasan,
PNS terpaksa menyalahgunakan wewenang (abuse of power) di
kantornya baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-
terangan.
Kelima, sejak reformasi bergulir tahun 1998, korupsi bukannya
berkurang tetapi makin meningkat dari segi jumlah pelaku dan
jumlah uang yang dikorupsi.

B. Dampak Korupsi

Korupsi memiliki dampak positif maupun negatif. Namun jika


dikalkulasi, dampak negatifnya tentu lebih banyak atau dengan
kata lain, pengaruh buruk korupsi jauh lebih besar ketimbang
manfaatnya. Sebuah studi korupsi di Maroko menyimpulkan
bahwa korupsi di dalam sistem Maroko tidak banyak membantu
efisiensi kaum pengusaha dan pembentukan modal. Dalam sistem
ini, korupsi hanya menguntungkan satu fungsi, yaitu kelangsungan
rezim (Klitgaard, 2005: 49).
Studi lain memperlihatkan bahwa korupsi telah memperhebat
konflik etnik, menghancurkan efisiensi pemerintahan kota dan
badan-badan federal, melumpuhkan sistem penilaian dalam
prestasi kerja dan kenaikan pangkat, menimbulkan suasana
ketidakpercayaan yang meresapi semua tingkat pemerintahan dan
menggerogoti falsafah sosialisme di Afrika (Klitgaard, 2005: 49).
Hasil riset di Philipina menemukan bahwa korupsi
menimbulkan penganakemasan produsen yang tidak efisien,
distribusi sumber-sumber alam negara yang langka secara tidak
90 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

adil dan tidak merata, dan kebocoran pendapatan pemerintah


dari kas negara ke tangan perorangan (Klitgaard, 2005:50).
Korupsi memiliki dampak hebat, utamanya terhadap
ekonomi. Sebagaimana dituturkan Mashal (2011), bahwa korupsi
menyebabkan 6 (enam) hal berikut.
Pertama, investasi menjadi rendah, termasuk investasi
langsung dari luar negeri. Kedua, mengurangi pertumbuhan
ekonomi. Ketiga, mengubah komposisi belanja pemerintah dari
aktivitas sangat produktif menjadi aktivitas kurang produktif.
Keempat, ketidaksamaan dan kemiskinan menjadi lebih besar.
Kelima, mengurangi efisiensi bantuan. Keenam, menyebabkan
negara mengalami krisis.
Dalam kaitannya dengan ekonomi, FATF dan OECD (2011)
melaporkan bahwa korupsi mengganggu kinerja ekonomi,
misalnya dengan berkurangnya investasi swasta, mengurangi
penyediaan infrastruktur publik, mengurangi penerimaan pajak,
sistem finansial menjadi tidak efisien, bahkan dapat merusak
formasi modal manusia. Korupsi bahkan seperti pasir bagi roda
pertumbuhan ekonomi. Artinya, korupsi menjadi penghambat
pertumbuhan ekonomi.
Korupsi juga melanggar dan mengganggu hak asasi manusia,
khususnya hak yang seharusnya dimiliki oleh anak. ICHRP dan
Transparency International (2009) mencatat bahwa korupsi
berdampak pada terlanggarnya hak anak untuk hidup, khususnya
hak untuk memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan.
Dalam sebuah seminar yang diselenggarakan oleh AIPI pada
tahun 2006, Silalahi (2006: 3) memberi kesimpulan bahwa korupsi
merusak perekonomian, merendahkan martabat hukum dan
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 91

melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Karena


korupsi, usaha mengikis kemiskinan pun terhambat, sebab kira-
kira 30% dana publik diambil secara tidak sah oleh pejabat dan
birokrat publik untuk kepentingan dan memperkaya diri.
Menurut Susilo (2006: 93), korupsi di Indonesia merupakan
persoalan nyata yang menggerogoti seluruh sendi kehidupan
bangsa. Rusaknya kualitas lingkungan hidup, berkurangnya taman
kota, mutu pendidikan yang dipertanyakan, infrastruktur yang
tidak terawat, dan banyaknya pengangguran merupakan segelintir
saja dari begitu banyak dampak korupsi.
Korupsi yang dilakukan secara sistemik memiliki dampak
langsung dan tidak langsung terhadap kehidupan masyarakat
(Sudjana, 2008: 86-87). Dampak langsung dari perbuatan korupsi,
misalnya rakyat harus membayar mahal untuk jasa pelayanan
publik yang buruk dan ekonomi biaya tinggi; sedangkan dampak
korupsi tidak langsung di antaranya pencemaran dan kerusakan
lingkungan, penumpukan aset negara di tangan segelintir orang,
ketimpangan dalam pemerataan hasil-hasil pembangunan
ekonomi, diskriminasi hukum, demokratisasi tertunda dan
kehancuran moral. Dalam kaitan ini, Husein Alatas menyatakan,
“tidak ada penyebab ketidakadilan dan kekejaman yang lebih
besar daripada korupsi, karena penyuapan menghancurkan baik
iman maupun negara” (Sudjana, 2008: 87).
Korupsi memiliki daya rusak yang cukup tinggi. Korupsi itu
merusak, alasannya sederhana, yakni karena keputusan-keputusan
penting diambil berdasarkan pertimbangan-pertimbangan pribadi
tanpa memperhitungkan akibat-akibatnya bagi publik (Pope, 2007:
9). Dieter Frisch, mantan Direktur Jenderal Pembangunan Komisi
92 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

Eropa, menyatakan bahwa korupsi memperbesar pengeluaran untuk


barang dan jasa, memperbesar utang negara, menurunkan standar,
dan menyebabkan proyek-proyek dipilih berdasarkan modal.
Dalam kesempatan lain, Frisch menunjukkan bahwa bila
sebuah negara memperbesar utangnya agar dapat melaksanakan
proyek-proyek yang tidak layak dari sisi ekonomi, utang tambahan
itu tidak saja mencakup 10 hingga 20 persen biaya tambahan
yang timbul karena korupsi, tetapi seluruh investasi, dalam arti
100% investasi, dilakukan atas dasar keputusan yang tidak jujur
untuk melaksanakan proyek-proyek yang tidak produktif dan
tidak perlu (Pope, 2007: 9). Jika tidak dapat dikendalikan, korupsi
dapat mengancam lembaga-lembaga demokrasi dan ekonomi
pasar. Dalam lingkungan yang korup, sumber daya akan disalurkan
ke bidang-bidang tidak produktif. Kelompok elit akan selalu
melindungi kedudukan dan harta kekayaan aparat kepolisian,
tentara, lembaga-lembaga kontrol sosial, dan kelompok penindas
lainnya. Untuk itu, undang-undang dibuat dan sumber daya
yang seharusnya digunakan untuk pembangunan sosial ekonomi
dibelokkan untuk meningkatkan keamanan. Pada gilirannya hal
tersebut dapat melemahkan lembaga-lembaga demokrasi, karena
korupsi, bukan investasi, yang menjadi sumber utama untuk
memperoleh keuntungan uang. Pada tahap berikutnya, korupsi
dapat menggoyahkan landasan keabsahan pemerintah dan
akhirnya bisa menggoyahkan keabsahan negara.
Korupsi tidak hanya merusak sendi-sendi kehidupan negara.
Akibat salah urus yang dilakukan oleh elit pemerintah, pihak
swasta mendapatkan akibat yang tidak kecil. Korupsi menimbulkan
ketidakpastian bagi swasta. Hal ini dapat dipahami karena swasta
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 93

tidak dapat meramalkan keputusan-keputusan apa yang dihasilkan


para pejabat yang korup. Mereka juga tidak yakin apakah hakim
yang memutuskan perselisihan mereka dapat bertindak benar dan
adil. Selain karena masalah ketidakpastian, swasta juga menghadapi
persoalan resiko. Seiring dengan membesarnya resiko, semakin
besar dan cepat pula uang kembali yang harus dikejar oleh para
investor (Pope, 2007: 11). Hubungan yang korup ini akan menutup
pintu bagi pendatang baru ke dalam sektor swasta dan hal ini dapat
menghambat laju pertumbuhan sektor swasta.
Korupsi juga menimbulkan biaya-biaya lain, terutama yang
dialami sektor swasta. Bayle sebagaimana dikutip Nugroho D dan
Hanurita S (2005: 126-128) menginventarisasi biaya-biaya yang
terjadi sebagai akibat perilaku korupsi, yaitu: (1) tindak korupsi
mencerminkan kegagalan mencapai tujuan yang ditetapkan
pemerintah, (2) korupsi akan segera menular ke sektor swasta
dalam bentuk upaya mengejar laba dengan cepat dalam situasi
yang sulit diramalkan, (3) korupsi mencerminkan kenaikan harga
administrasi, (4) jika korupsi merupakan bentuk pembayaran
yang tidak sah, tentu hal ini akan mengurangi jumlah dana yang
disediakan untuk publik, (5) korupsi merusak mental aparat
pemerintah dan melunturkan keberanian yang diperlukan
untuk mematuhi standar etika yang tinggi, (6) korupsi dalam
pemerintahan menurunkan rasa hormat kepada kekuasaan dan
akhirnya menurunkan legitimasi pemerintah, (7) jika elit politik dan
pejabat tinggi pemerintah secara luas dianggap korup, maka publik
akan menyimpulkan tidak ada alasan bagi publik untuk tidak boleh
korup juga, (8) seorang pejabat atau politisi yang korup adalah
pribadi yang hanya memikirkan diri sendiri, tidak mau berkorban
94 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

demi kemakmuran bersama di masa mendatang, (9) korupsi


menimbulkan kerugian yang sangat besar dari sisi produktivitas
karena waktu dan energi habis untuk menjalin hubungan
guna menghindari atau mengalahkan sistem daripada untuk
meningkatkan kepercayaan dan memberikan alasan yang objektif
mengenai permintaan layanan yang diperlukan, (10) korupsi akan
menimbulkan perkara yang harus dibawa ke pengadilan dan
tuduhan-tuduhan palsu yang digunakan pada pejabat yang jujur
untuk tujuan pemerasan, dan (11) bentuk korupsi yang paling
menonjol di beberapa negara yaitu uang pelicin atau uang rokok
menyebabkan keputusan ditimbang berdasarkan uang bukan
berdasarkan kebutuhan manusia.
Nugroho (2006: 5) mencatat pula bahwa korupsi yang terjadi
di banyak tingkatan birokrasi pusat dan daerah serta di kalangan
DPR merupakan awal dari keruntuhan sistem politik. Hal ini dapat
dipahami, karena kepercayaan publik kepada bangunan sistem
politik akan runtuh dan legitimasi politik dengan sendirinya akan
berada pada titik kritis tatkala rakyat tidak lagi percaya kepada elit
yang memerintah. Sebagai penyakit kronis, maka dampak korupsi
terhadap kinerja birokrasi dapat berupa hilangnya kepercayaan
publik, inefisiensi anggaran, gangguan atas pelayanan publik dan
pembangunan, serta ambruknya citra institusi demokrasi sipil
yang dibangun selama era reformasi.
Dalam perspektif ekonomi politik, korupsi merupakan
kejahatan yang secara langsung menggerogoti sendi-sendi
bangunan ekonomi dan politik suatu bangsa (Sudjana, 2008: 89).
Virus korupsi yang menyerang suatu negara atau pemerintahan
membuat daya tahan dan daya hidup suatu negara menjadi lemah.
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 95

Virus tersebut mengancam integrasi dan kohesivitas nasional,


sehingga konflik sosial mudah meletup dan sulit dikendalikan.
Fundamen ekonomi pun dibuatnya rapuh dan rentan terhadap
goncangan sekecil apa pun. Secara politik, korupsi telah
meruntuhkan wibawa dan kredibilitas pemerintah di mata rakyat,
sehingga partisipasi rakyat menjadi rendah. Korupsi memengaruhi
persepsi rakyat, di mana rakyat percaya bahwa produk perundang-
undangan lahir memang untuk dilanggar karena adanya berbagai
kesepakatan di bawah tangan baik dengan pendekatan kekuasaan
maupun uang. Rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap
produk hukum, menyebabkan rendahnya kepatuhan mereka
terhadap hukum yang berlaku. Dirampoknya uang rakyat dan
negara membuat rakyat putus asa, lahirlah konflik, kekerasan, dan
kriminalitas pun merajalela (Sudjana, 2008: 91).
Dampak negatif korupsi juga dikemukakan Harman (2012),
“Rusaknya sistem demokrasi dan rule of law, rusaknya sendi-
sendi kehidupan bermasyarakat, terhambatnya ekonomi dan daya
saing, serta terhambatnya upaya pengentasan kemiskinan dan
penegakan hak asasi manusia, merupakan dampak negatif dari
tindak pidana korupsi,” demikian ungkap Harman.
Dalam kaitannya dengan rusaknya demokrasi dan rule of law,
Harman mencatat bahwa sejak penyelenggaraan pemilu 1999,
politik uang telah merebak dan memainkan perannya dalam
merusak format politik pascareformasi. Tanpa kejelasan dana
partai dan elit politik yang berlaga dalam pemilu, realitas politik
dan demokrasi makin memburuk. Politik uang sebagaimana
ditengarai Harman, berlangsung mulai masa pra kampanye,
kampanye, minggu tenang, hingga pada hari pencoblosan (yang
96 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

sering disebut dengan serangan fajar). Hal ini dibuktikan dengan


keterangan Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan bahwa
hampir semua pemilihan kepala daerah sepanjang tahun 2010
diwarnai oleh praktik politik uang (Harman, 2012).
Buruknya perilaku pejabat publik yang terpilih dalam pemilihan
umum juga menciderai kualitas demokrasi dan rule of law. Harman
(2012) melaporkan bahwa hingga tahun 2011 sebanyak 155 kepala
daerah menjadi tersangka korupsi terkait kesenjangan antara dana
kampanye dengan gaji mereka. Sebagaimana diketahui, dana yang
dihabiskan calon gubernur untuk kampanye berkisar antara Rp 60
miliar hingga Rp 100 miliar, padahal selama masa jabatan lima tahun
secara normal gubernur terpilih hanya mampu mengumpulkan
gaji mereka sebesar Rp6 miliar. Pertanyaannya adalah dari mana
kekurangannya harus dicari. Korupsi merupakan jawabannya. Pada
tahun 2011, Harman (2012) menginformasikan bahwa KPK telah
memproses hukum 20 orang kepala daerah, baik gubernur, bupati
maupun wali kota yang tersangkut korupsi pengadaan barang.
Rusaknya kualitas demokrasi dan rule of law juga dipicu oleh
buruknya moralitas pejabat BUMN (baik pusat maupun daerah),
yang menjadikan BUMN sebagai sarana kotak penyedia uang atau
ATM bagi mereka yang memegang otoritas di BUMN. Beberapa
perusahaan yang ditengarai sumber korupsi di antaranya Badan
Urusan Logistik (BULOG) dan Pertamina zaman Pemerintahan
Orde Baru. Sumber penerimaan pajak juga menjadi lahan untuk
korupsi, sebagaimana kasus Gayus yang sangat menghebohkan.
Sistem banyak partai yang tidak disertai mekanisme transparansi
dan akuntabilitas keuangan partai politik juga dipandang sebagai
persoalan dalam manajemen sistem politik demokratis. Partai
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 97

politik diduga menjadi mesin politik untuk berkorupsi yang paling


ganas. Bukan hal aneh ketika calon kepala daerah untuk meminta
rekomendasi dari parpol sebagai calon yang direstui parpol harus
mengeluarkan sejumlah uang untuk menjalankan mesin partai yang
konon katanya untuk kegiatan kampanye bagi calon yang diberi
rekomendasi. Ujung-ujungnya parpol akan meminta sesuatu kepada
calon ketika mereka terpilih sebagai kepala daerah. PKS ketika
mengusung Adang Daradjatun dan Dani dalam pilkada DKI 2012 telah
menerima mahar politik Rp 40 miliar untuk kepentingan kampanye
calon gubernur tersebut. Mahar politik yang diberikan sebelum kepala
daerah mencalonkan diri dirasa belum cukup. Setelah calon terpilih
dalam pilkada, partai masih juga merecoki kepala daerah tersebut,
apalagi jika kepala daerah tersebut merupakan kader partai. Harman
(2012) juga melaporkan bahwa ada menteri yang harus menyetor
ke partainya sebesar Rp 500 juta per bulan. Penarikan upeti politik
ini menyebabkan partai lebih banyak berfungsi sebagai penggerak
pencarian sumber-sumber dana ilegal.
Korupsi juga merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.
Dampak korupsi terhadap rusaknya sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat, menurut Harman (2012) dapat dicermati dari
tujuh hal berikut.
Pertama, kondisi negara dalam berbagai bentuk korupsi,
suap, dan pemerasan merupakan bentuk dari penyelewengan,
yang merupakan bagian dari warisan Orde Baru. Elemen-elemen
negara era reformasi dipercaya mewarisi praktik bisnis oligarki
yang telah dibesarkan pada masa Orde Baru.
Kedua, sistem politik yang terbuka, yang ditunjukkan dengan
meningkatnya peran partai politik, pemilu, pemilukada, dan
98 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

parlemen dengan berbagai kelemahan dan celahnya malah


dimanfaatkan oleh oligarki dan elit politik. Patronase yang
berkembang dalam sistem oligarki telah membayangi proses
pemilu dan pemilukada menjadi tidak bersih.
Ketiga, pada musim pemilihan, elit politik dan partai politik
berperan menjadi penggelontor dana, baik berbentuk uang
maupun barang kepada masyarakat calon pemilih. Pengumpulan
dan pemberian dana politik ini ditengarai untuk mendanai politik
uang dan untuk mendapatkan kembali uang yang telah dikeluarkan
ketika kampanye.
Keempat, sebagai bagian dari masyarakat politik, banyaknya
dugaan korupsi atas elit dan partai politik dapat merusak
pembentukan dan pertumbuhan karakter dalam kaderisasi politik.
Kelima, posisi elit politik dan elit negara berpengaruh terhadap
masyarakat sebagai figur yang diikuti. Elit yang korupsi, tetapi
dermawan kepada konstituennya tetap dibela mati-matian oleh
sekelompok masyarakat. Masyarakat menjadi permisif terhadap apa
yang dilakukan elit koruptor, karena jasa mereka terhadap masyarakat.
Keenam, sikap dan perilaku permisif dari masyarakat justru
mendukung elit politik untuk melakukan korupsi. Dampaknya,
selain masyarakat menjadi tidak peduli lagi terhadap perilaku
elit politik, para elit politik juga menjadi lebih berani melakukan
korupsi dalam skala besar.
Ketujuh, merosotnya moral dan nilai-nilai budaya yang luhur
beriringan dengan meluasnya korupsi yang berimplikasi juga pada
perilaku koruptif masyarakat. Aliran dana bansos yang diterima
oleh sejumlah ormas, merupakan indikasi dari sikap koruptif
masyarakat. Masyarakat pun menjadi lebih terang-terangan
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 99

dalam melakukan korupsi, misalnya memotong dana bantuan dari


pemerintah, mengelola lahan parkir ilegal, menarik kutipan (uang
masuk) ketika memasuki jalan tertentu, dan lain-lain.
Korupsi juga dapat menghambat ekonomi dan daya saing.
Hasil audit BPK menunjukkan bahwa sejumlah Rp 300 triliun
dana bansos telah disalahgunakan selama tahun 2007-2010, yang
diduga mengalir ke partai politik (Harman, 2012). Menkeu Agus
Martowardojo juga memperkirakan bahwa aliran dana subsidi
pangan dan energi sebesar Rp 200 triliun rawan penyimpangan dan
salah sasaran. Harman (2012) juga melaporkan potensi kerugian dari
menguapnya penerimaan pajak yang diperkirakan mencapai Rp 300
triliun per tahun. BPK juga mengungkapkan bahwa indikasi korupsi
selama tahun 2009-2010 mencapai angka Rp 132 triliun. KPK juga
mencatat potensi kerugian negara mencapai angka ratusan triliun
rupiah karena kasus-kasus korupsi yang berhasil diungkap. Berikut
potensi kerugian negara karena korupsi menurut data KPK.

Tabel 2. Potensi Kerugian Negara karena Kasus Korupsi


No. Kasus Korupsi Nilai (Triliun Rupiah)
1. Pajak 50,0
2. Minyak dan Gas 40,1
3. Kehutanan 2,3
4. Perbankan 1,8
5. Keuangan Daerah 1,3
6. Infrastruktur 597,5
7. Pendidikan 204,2
8. Kesehatan 113,4
Sumber: Harman (2012).

Potensi kerugian negara akibat tindak pidana korupsi angkanya


bisa lebih besar, karena: (1) pihak yang berhasil mengungkapkan
baru beberapa instansi, seperti BPK, BPKP, PPATK serta KPK, dan
100 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

(2) perbuatan korupsi tidak seluruhnya bisa ditelusuri, karena


para korupstor pandai menyembunyikan perbuatannya, baik
dengan berlindung pada hukum, melakukan pencucian uang
(money laundry) maupun dengan cara berkolusi dengan kroni
dan kelompok-kelompok masyarakat yang dengan berbagai cara
seolah-olah perbuatan mereka bukan korupsi.
Daya saing Indonesia merosot sebagai akibat dari perilaku
tercela aparat negara yang seharusnya bekerja untuk kepentingan
rakyat. TII dalam survei sebagaimana diungkap dalam Barometer
Korupsi Global 2007 menempatkan aparat kepolisian, kejaksaan
dan peradilan sebagai lembaga terkorup, sedangkan pada tahun
2009 kepolisian menempati urutan pertama sebagai lembaga
terkorup (Harman, 2012). Tahun 2010, kepolisian juga menempati
urutan pertama sebagai lembaga terkorup, disusul lembaga
pemungut pajak, pengadilan dan kejaksaan. Dalam hal rule of law
tahun 2011 dilaporkan bahwa Indonesia menempati peringkat 47
dari 65 negara pada tingkat global.
Survey yang dilakukan Political and Economic Risk Consultancy
(PERC) yang melibatkan 2.147 eksekutif ekspatriat di 16 negara
menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup. Data berikut
menunjukkan posisi Indonesia dalam hal korupsi.

Tabel 3. Peringkat Korupsi di Asia Pasifik Tahun 2010


No. Negara Nilai
1. Singapura 1,42
2. Australia 2,28
3. Hongkong 2,67
4. Amerika Serikat 3,42
5. Jepang 3,49
6. Makau 4,96
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 101

7. Korea Selatan 5,98


8. Taiwan 6,28
9. Malaysia 6,47
10. China 6,52
11. India 7,18
12. Thailand 7,60
13. Filipina 8,06
14. Vietnam 8,07
15. Kamboja 9,10
16. Indonesia 9,27
Sumber: Harman (2012).

Selain merugikan keuangan negara, korupsi juga


mengakibatkan terjadinya hambatan dan ketertinggalan ekonomi.
Korupsi yang marak secara politik dan birokratik menjadi sasaran
kampanye global terhadap ekonomi Indonesia. Kondisi yang
mengkhawatirkan akibat dari maraknya korupsi adalah lemahnya
posisi Indonesia sebagai arena investasi global (Harman,
2012). Para investor asing tampaknya enggan menanamkan
modal mereka dalam jangka panjang di Indonesia karena tidak
adanya kepercayaan bisnis atau jaminan yang memadai untuk
memetik keuntungan dalam jangka panjang. Maraknya korupsi
juga mengakibatkan Indonesia berada dalam situasi yang tidak
menguntungkan bagi iklim investasi.
Korupsi yang sistemik di Indonesia juga menyebabkan
ekonomi biaya tinggi yang juga menghambat pertumbuhan
industri nasional. Daya saing produk-produk Indonesia juga makin
melemah karena korupsi. Daya saing Indonesia dalam percaturan
global mengalami penurunan, yakni dari urutan 44 menjadi 46
sebagaimana dilaporkan oleh The Global Competitiveness Report
2011-2012 (Harman, 2012).
102 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

Selain sebagaimana telah dikemukakan Harman (2012) di


atas, korupsi juga berdampak pada upaya mengatasi kemiskinan
dan pemenuhan hak asasi manusia. Banyak keluarga miskin yang
tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari secara layak.
Demikian pula, banyak di antara mereka yang anak-anaknya tidak
bisa meneruskan pendidikan, utamanya di sekolah dasar dan
sekolah menengah. Itulah sebabnya, pemerintah mengeluarkan
kebijakan afirmatif untuk membantu keluarga miskin. Namun
demikian, dana-dana untuk masyarakat miskin, seperti dana
bantuan langsung tunai (BLT), BOS, Jamkesmas, dan Askeskin
diselewengkan oleh pelaksananya. Di Muara Talang Sumatera
Selatan dilaporkan telah terjadi korupsi BLT yang merugikan
keuangan negara dan program pemberantasan kemiskinan sebesar
Rp 5 miliar. Bahkan KPK mencatat adanya dugaan korupsi dalam
pengelolaan BLT, jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas), dan
asuransi kesehatan warga miskin (askeskin) sebesar Rp 1,1 triliun
(Harman 2012). Beberapa sekolah, baik sekolah dasar maupun
sekolah menengah pertama di berbagai daerah telah melakukan
korupsi terhadap dana BOS. Hasil riset ICW menunjukkan bahwa
dalam 10 tahun terakhir terdapat 233 kasus korupsi di mana dana
alokasi khusus dan dana alokasi umum menduduki peringkat satu
dan dua yang paling banyak dikorupsi. Dana beras miskin (raskin)
pun dikorupsi oleh petugas dan aparat pemerintah. Sebagai contoh,
camat Muaradua di kabupaten OKU Selatan Sumsel divonis 1 tahun
penjara karena telah melakukan korupsi dana raskin sebesar Rp
188 juta (Harman, 2012). Dana yang diselewengkan tidak hanya
untuk masyarakat miskin pedesaan, tetapi juga dana yang harus
diterima untuk masyarakat miskin perkotaan (melalui program
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 103

P2KP dan PNPM). Di Bandarlampung misalnya telah ditahan dua


tersangka korupsi dana P2KP senilai Rp 500 juta. Demikian pula,
Kejaksaan Sukabumi telah menyidik dugaan korupsi senilai Rp 1,3
miliar di kecamatan Caringin Sukabumi.
Korupsi juga menghambat pemenuhan hak asasi manusia,
khususnya hak ekonomi, sosial, dan budaya. Berdasarkan laporan
Human Development Index (HDI) tahun 2009 yang dikeluarkan
oleh UNDP, Indonesia menempati urutan 111 dari 180 negara
yang disurvei (Harman 2012). Kondisi ini diperkuat oleh data yang
menunjukkan bahwa 13 juta anak terancam putus sekolah. Bahkan
hingga tahun 2010 terdapat 12 juta anak yang masih belum tuntas
hak belajar 9 tahun.
Dalam kaitan dengan hak ekonomi, akibat praktik ilegal
logging dan ilegal fishing, banyak penduduk yang kehilangan
matapencahariannya, karena selama ini mereka sangat tergantung
hidupnya pada hutan dan laut. Kolusi dan pungutan liar yang
terjadi di beberapa instansi dalam hal rekrutmen pegawai negeri,
menyebabkan banyak orang berkualitas tidak bisa bekerja karena
praktik kolusi dan pungutan liar tersebut.
Banyaknya pengangguran juga merupakan indikasi
terlanggarnya hak ekonomi penduduk. Pada tahun 2009, jumlah
pengangguran terbuka mencapai 9,43 juta, tahun 2010 turun
sedikit menjadi 8,59 juta atau 7,41% dari total angkatan kerja
sebanyak 116 juta orang (Harman 2012). Ini belum termasuk
jumlah penduduk yang berada dalam kategori setengah
pengangguran dan pengguran terselubung. Data KADIN dan
APINDO menunjukkan bahwa pengangguran di Indonesia menjadi
ancaman bagi ASEAN, di mana pengangguran di Indonesia
104 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

menyumbang 60% angka pengangguran ASEAN.


Korupsi yang berlangsung sistemik juga telah mengancam
hak-hak lain yang harus diterima penduduk miskin, seperti hak
atas upah yang layak, hak atas kesehatan, hak atas perumahan
yang layak, dan hak-hak para pengungsi sebagai akibat bencana
alam maupun konflik sosial.
Dalam bidang budaya, hak penduduk juga terancam. Yang
memprihatinkan, dana ibadah haji pun dikorupsi oleh oknum
yang tidak bertanggung jawab. ICW melaporkan bahwa potensi
kerugian jemaah dalam musim haji tahun 2010 mencapai angka
Rp 859,4 miliar (Harman, 2012). Muhammad Hatta pernah
menyampaikan bahwa sejak tahun 1970-an, korupsi telah menjadi
budaya. Pelaku korupsi tidak hanya para pejabat di pemerintahan
dan lembaga formal kenegaraan lainnya, tetapi juga pengusaha
dan anggota masyarakat. Masa reformasi yang seharusnya
korupsi bisa diminimalisasi, kenyataannya justru makin tumbuh
dan berkembang, bahkan dilakukan secara terang-terangan dan
berjamaah. Buktinya, banyak pelaku korupsi di kalangan parlemen
yang rama-ramai ditahan KPK.
Meskipun disadari bahwa korupsi telah merusak sendi-sendi
kehidupan politik, ekonomi dan sosial, namun beberapa kalangan
masih memandang adanya sisi positif atau manfaat dari korupsi.
Korupsi dapat mempercepat proses birokrasi dan menjaga
hubungan paternalistik dan klientelistik antar-individu maupun
antar-lembaga (Nugroho D dan Hanurita S., 2005: 128).
Selain korupsi mengakibatkan biaya atau punishment, seperti
hukuman penjara, malu jika tertangkap, perasaan tidak tenang
(berdosa), kehilangan pekerjaan dan karir, serta patah semangat
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 105

untuk bekerja dalam lingkungan kompetitif, namun pada sisi


lain, korupsi diduga memberikan manfaat, di antaranya adalah
tambahan pendapatan, pujian dan ucapan terima kasih dari klien,
dan menempati posisi sosial yang tinggi (Wijayanto, 2009).
Ada tiga peringatan yang dikemukakan oleh para ahli
tentang aspek positif atau manfaat korupsi, yakni: (1) dari ahli
ekonomi, (2) dari ilmuwan politik, dan (3) dari manajer (Klitgaard,
Maclean-Abaroa dan Parris, 2005: 40-43). Menurut ahli ekonomi,
pembayaran-pembayaran tak halal memasukkan sejenis
mekanisme pasar. Dalam sistem ini, barang-barang dan jasa
dialokasi menurut antrian, politik, pemilihan acak atau budi baik;
di mana korupsi dapat berperan mengalokasikan barang-barang
menurut kesediaan maupun kemampuan membayar dan mereka
yang berani menawar tinggi yang memperolehnya. Karena korupsi
inilah, barang dan jasa dialokasikan secara lebih efisien dalam arti
ekonomi. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Nathaniel Leff:
“korupsi dapat memasukkan unsur kompetisi ke dalam apa yang
merupakan industri monopolistik, sekaligus kecenderungan untuk
investasi dan pembaruan ekonomi dapat menjadi lebih tinggi di
luar pemerintah daripada di dalamnya” (Klitgaard, 2005: 41).
Pembayaran, penunjukan dan kebijakan yang korup
mempunyai manfaat politik. Para politisi dapat menggunakan
korupsi untuk memupuk rasa persatuan dan kesatuan politik
berbagai macam suku, wilayah, elit, atau partai-partai yang pada
gilirannya dapat menciptakan suatu keselarasan politik dalam
menghadapi otoritas politik yang terpecah-pecah, tidak bulat dan
bermusuhan. Banyak pemimpin politik yang menggunakan cara
tersebut untuk memelihara loyalitas pendukungnya, sebut saja
106 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

Marcos dari Philipina dan Soeharto (Indonesia). Demikian pula,


korupsi dapat dipandang sebagai pengaturan balas jasa politik
seperti jual beli suara di DPR, kuota preferensi bagi berbagai
wilayah, kelompok etnis atau partai-partai.
Manajemen berkaitan dengan organisasi. Bila peraturan
birokrasi menjadi penghalang, organisasi mungkin mendapat
untung dari korupsi para pegawainya yang bermain di antara
celah-celah peraturan. Sejumlah dana cair di dalam organisasi
dapat berfungsi sebagai dana darurat yang barangkali secara
luwes bisa dialokasikan oleh pucuk pimpinan untuk memajukan
tujuan-tujuan organisasi. Cara-cara ini yang kerap kali digunakan
oleh pemimpin partai politik di Indonesia untuk membiayai
organisasi. Pencalonan gubernur, bupati, wali kota, dan anggota
legislatif menjadi sarana bagi partai politik untuk mencari dana
bagi kelancaran roda organisasi.
Korupsi betapapun menimbulkan akibat yang merusak bagi
sendi-sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Itulah
sebabnya, pelakunya harus dihukum secara maksimal. Pada zaman
Nabi Muhammad saw, Rasulullah memerintahkan agar orang yang
melakukan ghulul atau penggelapan, disiksa dan kekayaannya
dibakar. Hal ini dapat dicermati dari hadits riwayat Abu Daud
dari Umar r.a, Nabi bersabda: “jika kamu menemui orang yang
melakukan ghulul, maka bakarlah kekayaannya dan pukullah ia”
(KPK, 2007: 8).
Umar bin Abdul Azis penerus kesalehan Nabi, karena takut
untuk berbuat korupsi, hal-hal kecil ia hindari supaya tidak
tersandung pada perbuatan korupsi. Pada suatu waktu, Khalifah
Umar bin Abdul Azis saat menerima tamu di rumah dinasnya,
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 107

segera mematikan lampu minyak yang dipakainya tatkala sang


tamu membicarakan sesuatu hal yang tidak berkaitan dengan
urusan dinas. Karena tindakan tersebut, ia ditanya mengapa ia
berbuat demikian. Umar menjawab, karena pengadaan minyak
didanai oleh negara, maka pemanfaatannya sebatas pada urusan
dinas. Jika tetap ia nyalakan, padahal urusan yang dibicarakan
bukan urusan negara, berarti ia telah berbuat korupsi yang
merugikan kepentingan negara.
Terlepas dari manfaat-manfaat korupsi, dalam konteks yang
lebih luas, bagaimanapun korupsi tetap merupakan kejahatan
manusia yang tertua, lebih banyak merugikan, tidak dapat
ditoleransi, dan patut dilawan.

C. Rangkuman

Korupsi bersifat multidimensional. Korupsi disebabkan


oleh banyak faktor, baik politik, hukum, ekonomi, organisasi,
maupun budaya. Faktor ekonomi, seperti gaji rendah, kerugian
yang diderita, kemiskinan, dan yang lain sering dianggap sebagai
faktor dominan. Padahal, faktor politik, utamanya perselingkuhan
antara elit politik dan pengusaha, merupakan faktor kunci yang
menyebabkan terjadinya korupsi.
Korupsi menimbulkan pemahaman berbeda di kalangan
pelaku (prokorupsi) dan pihak penentang korupsi. Pihak
prokorupsi, yaitu para koruptor yang menikmati hasil korupsi pasti
akan menyatakan korupsi positif bagi upaya pembangunan, karena
dengan pembangunan, para koruptor dapat memanipulasinya
untuk kepentingan mereka. Sebaliknya, bagi masyarakat yang
merugi karena tindakan koruptor jelas memandang korupsi
108 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

bersifat negatif dan merupakan penyakit yang harus diberantas.


Dampak korupsi mengenai siapa saja, tidak hanya orang
dewasa, tua renta, tetapi juga anak-anak. Anak-anak dirugikan
karena mereka tidak bisa sekolah dan menikmati layanan kesehatan
secara baik. Tidak tersedianya atau buruknya infrastruktur publik,
baik jalan raya, taman kota, bendungan, transportasi, dan lainnya,
menyebabkan banyak orang hidup dalam kemiskinan, bahkan
banyak di antaranya yang mengalami kemiskinan akut.
BAB V
LEMBAGA-LEMBAGA ANTIKORUPSI
DI INDONESIA

E
ksistensi korupsi di Indonesia bertalian dengan sistem dan kultur
yang tidak memberikan ruang gerak yang cukup bagi upaya
pencegahan dan pemberantasan korupsi. Hal ini terutama tampak
pada konteks sistem pemerintahan. Indonesia dengan kultur birokrasi
patrimonial dengan sistem jabatan patrimonial, dalam praktiknya tidak
mengenal perbedaan birokratis antara lingkup pribadi dan lingkup
resmi/dinas. Menurut Alkaf (2006: 105-106), implementasi birokrasi
pemerintahan dianggap sebagai urusan pribadi sang penguasa dan
kekuasaan politik dianggap sebagai bagian dari milik pribadinya yang
dapat dieksploitasi dengan cara menarik berbagai sumbangan dan
pungutan. Sistem patrimonial ini dalam era modern berkembang
menjadi sistem neo-patrimonial yang dalam sejarahnya melahirkan
sistem kapitalis. Sistem terakhir inilah yang memposisikan elit politik
maupun ekonomi sebagai penguasa tak tersentuh (untouchtable
ruler) dari pengawasan publik. Dalam penyelenggaraan urusan
negara, mereka menjadi dominan, hegemonik, semau gue, dan sama
sekali tidak mempedulikan kepentingan rakyat.
Sejak kejatuhan pemerintahan orde baru di bawah
kepemimpinan Soeharto pada tahun 1998 yang lalu, kondisi

109
110 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

bangsa dan negara menjadi terpuruk. Akibat krisis dan kejatuhan


Soeharto, kemiskinan meningkat tajam, jumlah karyawan yang di-
PHK meningkat, pengangguran bertambah, penggusuran menjadi-
jadi, kelaparan meningkat, dan moralitas pemimpin makin merosot
terutama diperlihatkan dari meningkatnya tindak pidana korupsi
yang dilakukan oleh para pemangku jabatan negara atau publik.
Di sela-sela kegagalan pemerintahan orde baru dan merosotnya
sendi-sendi kehidupan politik, ekonomi, sosial-budaya dan
keamanan masyarakat dan bangsa Indonesia, muncul lembaga-
lembaga swadaya masyarakat atau organisasi non-pemerintah
yang memiliki perhatian (concern) terhadap persoalan kemiskinan,
pengangguran, penggusuran, hak azasi manusia, penyerobotan
tanah, dan korupsi. Beberapa LSM yang memiliki perhatian
terhadap masalah-masalah tersebut, di antaranya yang menonjol
adalah ICW, YLBHI dan KONTRAS.
Dalam kaitannya dengan upaya melawan korupsi, peran
strategis LSM atau ORNOP didasarkan pada dua asumsi.
Pertama, secara nominal struktural, independensi LSM/
ORNOP dari pemerintah atau masyarakat kalangan bisnis relatif
memungkinkan mereka lebih banyak memiliki kebebasan untuk
mengkritisi kebijakan negara dan sektor bisnis. Kedua, pemerintah
dan bisnis tidak dapat mengendalikan, mengontrol atau mendikte
LSM/ORNOP karena mereka tidak tergantung kepada lembaga
negara atau pun masyarakat bisnis dalam hal sumber dana. Selain
munculnya lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang memiliki
kepedulian tinggi terhadap upaya pemberantasan korupsi, pada
level negara telah dibentuk lembaga independen, yaitu Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 111

A. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)

KPK dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun


2002 pada tanggal 29 Desember 2003. KPK ini dibentuk karena
lembaga pemerintah yang selama ini menangani perkara tindak
pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam
memberantas tindak pidana korupsi. KPK memiliki struktur
organisasi sebagai berikut. Pimpinan, tim penasihat, deputi bidang
pencegahan, deputi bidang penindakan, deputi bidang informasi
dan data, deputi bidang pengawsan internal dan pengaduan
masyarakat, serta sekretariat jenderal. KPK hadir sebagai solusi
atas permasalahan korupsi selama ini. KPK hadir bak air di tengah
gurun padang pasir yang tandus. KPK adalah lembaga negara yang
independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga manapun (pasal 3 UU
Nomor 30 Tahun 2002).
KPK dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan daya guna
dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK
berasaskan pada prinsip-prinsip kepastian hukum, keterbukaan,
akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas.
Keberhasilan memberantas korupsi memberikan fondasi kokoh
bagi terwujudnya pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa
(good governance). Untuk mewujudkan good governance
tersebut, KPK menetapkan visi: mewujudkan Indonesia yang
bersih, sedangkan misinya adalah sebagai penggerak perubahan
untuk mewujudkan bangsa yang antikorupsi. Dalam mewujudkan
visi dan misinya, KPK mengembangkan tiga strategi pokok, yaitu
strategi jangka pendek, strategi jangka menengah, dan strategi
112 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

jangka panjang.
Strategi jangka pendek KPK mencakupi: (1) kegiatan
penindakan, (2) membangun nilai etika, dan (3) membangun
sistem pengendalian terhadap lembaga pemerintahan agar
terwujud suatu perubahan yang berlandaskan efisiensi dan
profesionalisme (KPK, t.th: 157).
Strategi jangka menengah KPK meliputi: (1) membangun
beberapa proses kunci dan infrastruktur terkait lainnya di
instansi pemerintah yang mendorong efisiensi dan efektivitas, (2)
memberikan motivasi untuk terbangunnya suatu kepemimpinan
yang mengarah pada efisiensi dan efektivitas, dan (3) meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan
pemerintah dan meningkatkan akses publik terhadap pemerintah
(KPK, t.th: 157).
Strategi jangka panjang KPK yaitu: (1) membangun dan
mendidik masyarakat pada berbagai tingkat dan jenjang
kehidupan untuk mampu menangkal korupsi yang terjadi di
lingkungannya, (2) membangun suatu tata pemerintahan yang
baik sebagai bagian penting dalam sistem pendidikan nasional,
dan (3) membangun sistem kepegawaian yang berkualitas, mulai
dari perekrutan, sistem penggajian, sistem penilaian kinerja, dan
sistem pengembangannya (KPK, t.th: 158).

B. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)

YLBHI mulanya bernama Lembaga Bantuan Hukum (LBH), yang


didirikan berdasarkan idea tau gagasan yang berkembang dalam
kongres ketiga Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) pada tahun
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 113

1969. Gagasan tersebut mendapat persetujuan dari DPP Peradin


berdasarkan SK No. 001/Kep/10/1970 tanggal 26 Oktober 1970
yang isinya menetapkan pendirian LBH/Lembaga Pembela Umum
yang mulai berlaku pada tanggal 28 Oktober 1970. Pada tanggal 13
Maret 1980 LBH ditingkatkan statusnya menjadi Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Pada awalnya lembaga ini
didirikan untuk memberikan bantuan hukum kepada orang-orang
yang tidak mampu memperjuangkan hak-haknya, terutama rakyat
miskin korban penggusuran atau korban PHK (Alkaf, 2006 : 170).
Organisasi YLBHI diselenggarakan berdasarkan prinsip
bahwa setiap manusia berhak mendapatkan keadilan hukum,
sosial, ekonomi, dan politik. Atas dasar prinsip tersebut, YLBHI
mengembangkan misinya sebagai berikut: (1) menanamkan,
menumbuhkan, dan menyebarluaskan nilai-nilai negara hukum
yang berkeadilan, demokratis, serta menjunjung tinggi HAM
kepada seluruh lapisan masyarakat Indonesia tanpa kecuali,
(2) menanamkan dan menumbuhkan sikap kemandirian serta
memberdayakan potensi lapisan masyarakat yang lemah dan
miskin sedemikian rupa sehingga mereka mampu merumuskan,
menyatakan, memperjuangkan serta mempertahankan hak-hak
dan kepentingan mereka baik secara individual maupun kolektif,
(3) mengembangkan sistem, lembaga-lembaga, dan instrumen-
instrumen pendukung untuk meningkatkan efektivitas upaya-
upaya pemenuhan hak-hak lapisan masyarakat yang lemah
dan miskin, (4) memelopori, mendorong, mendampingi, dan
mendukung program pembentukan hukum, penegakan keadilan
hukum dan pembaharuan hukum nasional sesuai dengan konstitusi
yang berlaku dan deklarasi umum hak–hak asasi manusia, dan
114 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

(5) memajukan dan mengembangkan program-program yang


mengandung dimensi keadilan dalam bidang politik, sosial-
ekonomi, budaya, dan jender utamanya bagi lapisan masyarakat
yang lemah dan miskin (Alkaf, 2006: 171).
YLBHI merupakan lembaga non-pemerintah yang secara
spesifik melakukan advokasi dan pembelaan hukum kepada
golongan lemah dan tertindas. YLBHI juga merupakan satu-
satunya LSM terbesar di Indonesia yang memfokuskan diri pada
perjuangan penegakan hukum, demokrasi, HAM, keadilan sosial
dan pembelaan terhadap kaum buruh, miskin, dan marjinal
Sepanjang dekade 1980-an dan 1990-an, YLBHI memposisikan diri
sebagai LSM yang secara tegas melawan ketidakadilan struktural
yang dibangun rezim orde baru. Perjuangan YLBHI ini mendapatkan
dukungan dari berbagai daerah di seluruh Indonesia dan hingga
tahun 2006, YLBHI telah memiliki 14 kantor cabang LBH yang
tersebar dari Aceh hingga Papua (Alkaf, 2006: 171).

C. Indonesian Corruption Watch (ICW)

Sesuai dengan manifesto gerakan antikorupsi, ICW adalah


lembaga nirlaba yang terdiri dari sekumpulan orang-orang yang
memiliki komitmen untuk memberantas korupsi melalui usaha-
usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat atau berpartisipasi
aktif melakukan perlawanan terhadap praktik korupsi (Alkaf,
2006: 174). ICW lahir di Jakarta pada tanggal 21 Juni 1998 di
tengah derasnya gerakan reformasi.
Sebagai tindak lanjut dari manifesto antikorupsi tersebut,
ICW menetapkan visi yaitu: menguatnya posisi tawar rakyat
untuk mengontrol negara dan turut serta dalam keputusan untuk
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 115

mewujudkan tata kelola pemerintahan yang demokratis, bebas


dari korupsi, berkeadilan ekonomi, sosial, serta jender (Alkaf,
2006: 175). Untuk mendukung visi tersebut, ICW menetapkan
misi sebagai berikut. (1) Merjuangkan terwujudnya sistem
politik, hukum, ekonomi, dan birokrasi yang bersih dari korupsi
dan berlandaskan keadilan sosial dan jender, (2) Memperkuat
partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan dan
pengawasan kebijakan publik.
Untuk mewujudkan visi dan misi tersebut di atas, ICW
merumuskan program dan agenda kerja sebagai berikut.
1. Memfasilitasi penyadaran dan pengorganisasian rakyat di
bidang hak-hak warga negara dan pelayanan publik.
2. Memfasilitasi penguatan kapasitas rakyat dalam proses
pengambilan dan pengawasan kebijakan publik.
3. Mendorong inisiatif rakyat untuk membongkar kasus-kasus
korupsi yang terjadi dan melaporkan pelakunya kepada
penegak hukum serta ke masyarakat luas untuk diadili dan
mendapatkan sanksi sosial.
4. Memfasilitasi peningkatan kapasitas rakyat dalam
penyelidikan dan pengawasan korupsi.
5. Menggalang kampanye publik guna mendesakkan reformasi
hukum, politik dan birokrasi yang kondusif bagi pemberantasan
korupsi.
6. Memfasilitasi penguatan good governance di masyarakat sipil
dan penegakan standar etika di kalangan profesi (Alkaf, 2006:
175).

Prinsip yang dikembangkan ICW yang digunakan oleh para


aktivisnya dalam menjalankan roda organisasi adalah integritas,
116 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

akuntabilitas, independen, objektivitas, kerahasiaan, dan


antidiskriminasi.
ICW sudah bergerak selama 11 tahun. Daya tawar, daya
gedor, dan radius pengaruhnya sangat luas. Masyarakat selalu
menantikan kiprah ICW. Melalui para aktivisnya yang sangat berani,
ICW mampu menyuntikkan motivasi dan semangat antikorupsi
kepada segenap lapisan masyarakat. Tidak tanggung-tanggung,
ICW juga berani memberitakan kasus-kasus korupsi yang terjadi di
seluruh pelosok tanah air.

D. Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)

MTI beralamatkan di jalan Polombangkreng Nomor 11


Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Fokus MTI adalah penegakan
transparansi di semua lini masyarakat, mulai dari persoalan social,
politik, ekonomi, hingga pertahanan keamanan. Dalam pandangan
aktivis MTI, transparansi merupakan kunci masuk terciptanya
pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance).
Visi MTI adalah menjadi pelopor terwujudnya sistem integritas
nasional dengan mendorong praktik-praktik yang bersih dan sehat
di bidang bisnis, pemerintahan, dan masyarakat dalam arti seluas-
luasnya (Alkaf, 2006: 177). Strategi yang dikembangkan oleh
MTI untuk mewujudkan visinya meliputi: (1) mensosialisasikan
pengertian dan hakikat transparansi kepada masyarakat luas dan
menanamkan keyakinan tentang pentingnya transparansi dalam
berbagai bidang kehidupan, (2) melakukan berbagai penelitian dan
pengkajian mengenai segala hal yang berkaitan dengan konsepsi
transparansi, (3) menyelenggarakan pertemuan-pertemuan
dalam berbagai bentuk untuk mengkaji dan merumuskan strategi
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 117

pelaksanaan transparansi di bidang hukum, politik, sosial-budaya,


ekonomi-bisnis, dan hankam, (4) mengkomunikasikan berbagai
konsep tentang transparansi kepada pusat-pusat pengambilan
keputusan baik bisnis, pemerintah, maupun kelompok-kelompok
masyarakat sipil, (5) secara cermat memantau berbagai kebijakan
publik untuk sebesar-besarnya kepentingan masyarakat (Alkaf,
2006 : 177). Tiga materi pokok yang harus disosialisasikan
MTI adalah korupsi, good governance, dan otonomi daerah.
Pemahaman yang benar mengenai tiga materi pokok tersebut,
akan mampu mendorong terciptanya masyarakat transparan.

E. Transparency International Indonesia (TII)

TII beralamatkan di jalan Senayan Bawah Nomor 17 Jakarta.


TII merupakan lembaga cabang nasional dari Transparency
International (TI) yang merupakan gerakan global menentang
korupsi yang berkantor di Berlin Jerman. TI memiliki cabang di 80
negara dan merupakan satu-satunya organisasi internasional yang
secara khusus bekerja untuk menghapus korupsi dari muka bumi.
Sebagai bagian dari TI, Transparency International Indonesia
(TII) bertujuan mempromosikan transparansi dan akuntabilitas
dalam pemerintahan dan sektor usaha (Alkaf, 2006: 179). Prinsip-
prinsip yang dianut TII adalah: (1) merupakan perkumpulan
berbentuk asosiasi yang didirikan sesuai dengan hukum yang
berlaku di Indonesia, (2) merupakan organisasi nonpemerintah
yang independen, nirlaba, tanpa kekerasan dan nonpartisan, (3)
berdomisili di Jakarta dan akan membuka kantor-kantor daerah di
seluruh Indonesia, (4) berafiliasi pada Transparency International
yang berkedudukan di Berlin Jerman, dengan status otonom, (5)
118 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

mempunyai kode etik yang mengacu pada kode etik Transparency


International (Alkaf, 2006: 180).
Prinsip-prinsip tersebut digunakan oleh TII untuk
melaksanakan kegiatan strategisnya, yaitu: (1) mempromosikan
transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana publik yang
dikutip dari masyarakat, seperti pajak, jamsostek, ONH, zakat,
dan pendapatan negara dari pengelolaan sumber daya alam, (2)
mempromosikan integritas (harkat dan martabat) dan sistem
politik yang demokratis, yang dilaksanakan lewat berbagai
kegiatan, seperti sistem kegiatan keuangan partai politik dan
pola pengambilan keputusan di DPR, (3) mempromosikan pulau-
pulau integritas di berbagai lembaga pemerintahan, terutama di
dalam pengadaan barang dan jasa, (4) meningkatkan kesadaran
masyarakat tentang akibat negative dari korupsi melalui kampnye
yang dilakukan dengan cara-cara yang popular dan komunikasi
aktif di lapis akar rumput, dan (5) mempromosikan tata kelola
perusahaan yang baik (Alkaf, 2006: 180).
Salah satu visi TII adalah menciptakan budaya antikorupsi
di kalangan masyarakat Indonesia, antara lain dilakukan dengan
cara menggalang opini publik bahwa pelaku korupsi pasti akan
ditemukan, ditangkap, diadili, dihukum, dan dinista masyarakat.
Berdasarkan visi tersebut, TII memiliki misi yang sangat tegas,
yaitu memperjuangkan terbentuknya sistem pencegahan korupsi
secara nasional dengan dukungan masyarakat luas.
Melalui kegiatan sosialisasi, advokasi, seminar, lokakarya,
pelatihan, bedah buku, penelitian dan lain-lain, peran lembaga-
lembaga antikorupsi, sebagaimana dilakukan oleh KPK (mewakili
negara) dan YLBHI, ICW, MTI, dan TII (mewakili masyarakat)
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 119

memberikan dampak positif terhadap kehidupan masyarakat.


Dampak tersebut diantaranya: (1) cita-cita penegakan
demokratisasi, HAM, dan keadilan sosial menjadi terarah,
sekaligus memberi harapan baru bagi berkurangnya perilaku
korupsi, (2) masyarakat menjadi lebih sadar dan kritis, karena
banyak mendapat informasi seputar korupsi, (3) masyarakat
makin mengetahui tata cara dan prosedur dalam menyampaikan
kritik dan protes atas tindakan sewenang-wenang dan tidak adil
yang mungkin dilakukan oleh aparatur pemerintah atau pihak-
pihak yang memiliki otoritas dan kekuasaan baik politik maupun
ekonomi, dan (4) mendukung terwujudnya masyarakat sipil (civil
society) yang berdaya, kritis, dan mandiri sebagai penyangga
utama tegaknya peradaban bangsa (Alkaf, 2006: 185).
Lembaga-lembaga antikorupsi yang ada di Indonesia
dipercaya dapat mendorong percepatan upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi. ICW sebagai contohnya
sangat gencar memberikan tekanan kepada pemerintah Indonesia
untuk menindak para pelaku korupsi. Namun demikian, diakui
pula bahwa selain adanya faktor-faktor yang mampu mendorong
upaya percepatan pemberantasan korupsi, juga ditengarai adanya
faktor-faktor yang dapat memicu kegagalan lembaga antikorupsi.
Faktor-faktor pemicu keberhasilan dan kegagalan lembaga
antikorupsi dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
120 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

Tabel 4. Faktor-faktor Pemicu Keberhasilan dan Kegagalan


Lembaga Antikorupsi
Faktor yang mendorong Faktor yang memicu Kegagalan
Keberhasilan
• Adanya dukungan politik. • Tidak adanya komitmen politik.
• Lembaga antikorupsi berada • Kontra produktif terhadap
dalam strategi antikorupsi yang pertumbuhan ekonomi.
komprehensif dan mendapat
dukungan yang efektif dan
komplementer dari lembaga
publik.
• Ekonomi yang stabil dan program • Secara umum pemerintah gagal
pembangunan selalu fokus dalam membangun institusi di
pada pengurangan kesempatan negaranya.
korupsi. Contoh: mengelola
program privatisasi secara hati-
hati.
• Ditunjang oleh sumber keuangan • Penerapan hukum terhadap
yang baik dan staf terlatih. korupsi yang kurang mendorong,
tidak efektif, dan ambigu.
• Memiliki visi dan misi yang jelas. • Tidak fokus, banyak tekanan,
Visi dan misi ini ditunjang oleh tidak ada prioritas, dan tidak
perencanaan bisnis, pengelolaan punya struktur organisasi yang
anggaran, dan pengukuran memadai.
kinerja yang baik.
• Mempunyai kerangka hukum • Lembaga pemberantas korupsi
yang kuat, termasuk “rule dianggap gagal ketika terlihat
of law”nya dan dibekali oleh sebagai organisasi yang tidak
kekuatan yang kuat yang dapat efisien dan tidak efektif, yang
menunjang kegiatan penindakan tidak sesuai dengan harapan
dan pencegahan. banyak pihak.
• Bekerja secara independen dan • Rendahnya kepercayaan publik.
bebas dari pengaruh segala
kepentingan.
• Semua staf dan pimpinan
memiliki standar integritas yang
tinggi.
Sumber: Ditlitbang Deputi Pencegahan KPK (2006).
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 121

F. Rangkuman

Sejak era reformasi telah berdiri lembaga-lembaga antikorupsi


yang memiliki peran besar dalam melakukan pencegahan dan
pemberantasan korupsi di Indonesia. Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) yang diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002, sebagai lembaga pemerintah yang bersifat independen
mampu memerankan diri sebagai lembaga extraordinary dalam
melakukan pemberantasan korupsi.
Dukungan dari lembaga-lembaga nirlaba, seperti Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesia Corruption
Watch (ICW), Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) dan
Transparency International Indonesia (TII), upaya pencegahan
dan pemberantasan makin efektif dan terbukti banyak pejabat
dan lembaga pemerintah yang dapat diawasi perilakunya secara
efektif. Kampanye, sosialisasi, dan penyadaran yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga nirlaba tersebut juga mampu meningkatkan
kesadaran masyarakat akan pentingnya upaya bersama untuk
melawan dan menghentikan korupsi.
BAB VI
PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA
DALAM LINTASAN SEJARAH

D
alam Bab ini akan diuraikan sejarah pemberantasan
korupsi pada masa pemerintahan orde lama, orde baru,
dan reformasi. Pembahasan difokuskan pada produk perundang-
undangan dan kebijakan pemerintah yang telah dikeluarkan dalam
rangka pemberantasan tindak pidana korupsi. Kasus-kasus korupsi
yang terjadi pada tiga periode pemerintahan tersebut tidak akan
diungkap karena terlalu banyaknya tindak pidana korupsi yang
telah dilakukan oleh para pejabat negara maupun elit politik.
Belum lagi korupsi yang dilakukan oleh kalangan swasta dan
masyarakat yang tidak terungkap, tetapi diduga kasusnya bagaikan
gunung es, sedikit yang muncul di permukaan, tetapi yang berada
di dalam atau di dasar laut tak terhitung jumlahnya.

A. Pemberantasan Korupsi Masa Orde Lama

Sejarah pemberantasan korupsi khususnya sejarah perundang-


undangan antikorupsi di Indonesia sudah berlangsung cukup lama.
Bahkan Andi Hamzah dengan meyakinkan mengatakan bahwa
Indonesia merupakan negara pertama di Asia yang memiliki

122
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 123

undang-undang antikorupsi (Muslimin, 2006: 138). Pada tahun


1957 penguasa militer mengeluarkan Peraturan Penguasa Militer
Nomor PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Satu tahun kemudian, Penguasa Perang Pusat Kepala
Staf Angkatan Darat Jenderal Abdul Haris Nasution mengeluarkan
peraturan antikorupsi, yaitu Peraturan Penguasa Perang Kepala
Staf Angkatan Darat Nomor Prt/Peperpu/C13/1958 tertanggal 16
April 1958. Sehari setelah keluarnya peraturan tersebut, muncul
peraturan serupa yang dikeluarkan Penguasa Perang Pusat Kepala
Staf Angkatan Laut Nomor Prt/Z.I./1/7.
Peraturan antikorupsi yang dikeluarkan penguasa perang
tersebut relatif bersifat progresif dengan memperlakukan korupsi
sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang harus
ditangani berdasarkan hukum materiil dan formil secara luar biasa
juga. Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN)
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
yang digunakan oleh KPK untuk melakukan pencegahan korupsi di
kalangan pejabat negara baik pusat maupun di daerah, juga diatur
dalam peraturan penguasa militer tersebut. Dalam peraturan
tersebut, diatur tentang pendaftaran harta benda pejabat oleh
Badan Penilik Harta Benda (BPHB) sebagai bagian dari sistem
penegakan hukum preventif. Peraturan tersebut juga dilengkapi
dengan proses pengajuan gugatan perdata berdasarkan prinsip
perbuatan melanggar hukum bagi pejabat yang memiliki harta
benda tidak seimbang dengan gaji dan pendapatannya tetapi
sulit korupsi tersebut diajukan langsung kepada pengadilan tinggi
tanpa harus melalui pengadilan tingkat pertama yaitu pengadilan
negeri.
124 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

Yang menarik dari semua itu, mengapa bukan pemerintah


yang mengambil inisiatif dengan mengeluarkan undang-undang
atau peraturan antikorupsi, justru penguasa militer yang notabene
karakternya cenderung otoriter dan tertutup yang dengan berani
menetapkan peraturan antikorupsi. Tidak ada jawaban terhadap
hal ini, tetapi yang patut dicatat bahwa TNI telah menorehkan
prestasi tentang obsesinya untuk menciptakan penyelenggaraan
negara yang bersih. Pada waktu itu muncul kasus besar ketika
Jaksa Agung waktu itu, yaitu Agung Suprapto untuk membawa
Menlu Roslan Abdul Gani ke meja hijau karena adanya dugaan
korupsi (Muslimin, 2006: 139). Meskipun akhirnya upaya Jaksa
Agung gagal, namun ketegasan sikap dan tekad pantang menyerah
dari Suprapto selaku Jaksa Agung pantas dicatat dengan tinta emas
dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia.
Menjelang berakhirnya kekuasaan orde lama, keluar
peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960
tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana
Korupsi (Muslimin, 2006: 139). Selain peraturan antikorupsi
yang telah dikeluarkan oleh pemerintah dan penguasa militer,
pemerintah atas dasar saran dari penguasa militer membentuk
lembaga antikorupsi sebanyak dua kali.
Pertama, dibentuklah Panitia Retooling Aparatur Negara
(Paran). Lembaga tersebut dibentuk melalui perangkat aturan UU
Keadaan Bahaya yang dipimpin oleh A.H. Nasution dengan dibantu
2 orang anggota, yaitu Prof. M. Yamin dan Roeslan Abdul Gani.
Berdasarkan aturan tersebut, semua pejabat negara harus mengisi
formulir tentang harta kekayaannya. Upaya tersebut ditentang
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 125

keras oleh pejabat yang korup. Karena kekacauan politik, paran


tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan menyerahkan
pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.
Kedua, dibentuk Operasi Budhi berdasarkan Keppres Nomor
275 Tahun 1963. A.H. Nasution mantan Ketua Paran ditunjuk
oleh pemerintah menjadi ketua operasi Budhi, dibantu Wirjono
Prodjodikoro untuk menjalankan tugas menyeret pelaku korupsi ke
pengadilan. Sasaran utama lembaga ini adalah perusahaan negara
dan lembaga-lembaga negara dianggap rawan praktik korupsi. Seperti
halnya yang dialami oleh Paran, lembaga ini juga mengalami kesulitan
untuk menangkap pelaku korupsi. Perlawanan koruptor, seperti yang
dilakukan oleh Direktur Utama Pertamina dengan menolak diperiksa,
menyebabkan lembaga ini mandul. Meskipun Operasi Budhi berhasil
menyelamatkan uang negara senilai kurang lebih Rp 11 miliar, namun
tidak urung dibubarkan pemerintah dan sebagai gantinya dibentuk
Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) yang dipimpin
langsung oleh Presiden Soekarno dengan dibantu 2 orang anggota,
yaitu Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani.

B. Pemberantasan Korupsi Pada Masa Orde Baru

Dibandingkan dengan hasil yang dicapai, peraturan


antikorupsi pada masa orde lama tidak signifikan sebagai senjata
pamungkas dalam memberantas korupsi. Sistem kepemimpinan
yang otoriter, buruknya kinerja pemerintah dalam hubungan luar
negeri, ditambah kompetisi tidak sehat antarpartai politik pada
masa itu menyebabkan pemerintah lebih berkonsentrasi untuk
mengendalikan situasi politik dan keamanan dalam negeri. Hal
ini berdampak pada lemahnya pengendalian terhadap perilaku
126 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

aparat pemerintah dan elit politik. Peraturan antikorupsi yang


dibuatnya pun menjadi tidak efektif.
Berangkat dari buruknya kinerja pemerintah orde lama,
pemerintah orde baru yang mengklaim diri sebagai orde
pengoreksi bertekad melakukan perubahan-perubahan tatanan
kehidupan berbangsa dan bernegara secara mendasar, termasuk
melaksanakan pemberantasan korupsi. Pada tahun 1967,
pemerintah orde baru membentuk Tim Pemberantas Korupsi
berdasarkan Keppres Nomor 228 Tahun 1967 (Muslimin, 2006:
140; Sudjana, 2008: 182). Tim tersebut diketuai oleh Jaksa Agung
Sugiharto, dilengkapi dengan satuan tugas dari unsur kejaksaan,
TNI dan Polri, ahli ekonomi, keuangan dan perbankan, pers, dan
kesatuan-kesatuan aksi. Tim ini memiliki penasihat, yaitu Menteri
Kehakiman, Panglima ABRI, Kepala Staf Angkatan, dan Kapolri.
Tim yang dibentuk Soeharto tersebut tidak efektif, karenanya
pada tanggal 31 Januari 1970 berdasarkan Keppres Nomor 12
Tahun 1970 dibentuk Komisi Empat. Tugas utama komisi ini adalah
memberantas korupsi (Muslimin, 2006: 140). Tugas rincinya adalah
menghubungi pejabat atau instansi pemerintah, swasta, sipil atau
militer, meminta dokumen-dokumen administrasi pemerintah,
swasta, dan lain-lain dengan meminta bantuan kepada aparatur
negara pusat dan daerah (Sudjana, 2008: 183). Ketua Komisi ini
dijabat oleh Mr. Wilopo, dengan anggota IJ. Kasimo, Prof. Johannes
dan Anwar Cokroaminoto. Sekretaris Komisi dijabat oleh Mayjen
Sutopo Yuwono. Mantan Wapres, Drs. M. Hatta diangkat sebagai
penasihat Komisi.
Pada tahun yang sama dibentuk Komite Antikorupsi (KAK) oleh
para mahasiswa (angkatan 66). Komite ini merupakan lembaga
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 127

hasil insiatif mahasiswa dan masyarakat, sehingga eksistensinya


tidak dipayungi hukum, baik berupa keppres maupun peraturan
lainnya. Namun demikian, karena tujuannya mulia, komite ini
didukung dan direstui pemerintah. Hal ini ditunjukkan oleh sikap
Soeharto yang berkenan menerima delegasi komite di istana
negara yang sedang mempersoalkan korupsi yang dilakukan oleh
Pertamina (Sudjana, 2008: 183).
Satu tahun setelah dibentuk Komisi Empat, pemerintah
bersama DPR berhasil menetapkan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dasar
pertimbangan dikeluarkannya UU tersebut adalah: (1) perbuatan
korupsi sangat merugikan keuangan atau perekonomian negara
dan menghambat pembangunan nasional, (2) UU Nomor 24 Prp.
Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan
Tindak Pidana Korupsi berhubung dengan perkembangan
masyarakat kurang mencukupi untuk dapat mencapai hasil yang
diharapkan (KPK, t.th.: 99).
Dalam UU tersebut, yang termasuk perbuatan korupsi adalah:
(1) seseorang melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang
lain atau badan yang merugikan keuangan atau perekonomian
negara, (2) seseorang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu badan dengan menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya yang
merugikan keuangan atau perekonomian negara, (3) barangsiapa
yang melakukan kejahatan sebagaimana tercantum dalam pasal
209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, dan 435
KUHP, (4) seseorang yang memberi hadiah atau janji kepada
pegawai negeri, (5) seseorang tanpa alasan yang wajar menerima
128 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

pemberian atau janji yang diberikan kepadanya sebagaimana


disebut dalam pasal 418,419, dan 420 KUHP tidak melapor kepada
yang berwajib, dan (6) seseorang melakukan percobaan atau
permufakatan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana pada
nomor 1, 2, 3, 4, dan 5 di atas.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 termasuk keras,
karena pelaku korupsi dapat dipidana maksimal penjara seumur
hidup dengan denda setinggi-tingginya Rp 30 juta. Hal ini belum
termasuk hukuman tambahan, seperti perampasan barang-barang
terhukum dan pembayaran uang pengganti, sebagaimana diatur
dalam pasal 34 dan 35. Hukuman tersebut menurut pakar hukum
pidana, termasuk yang paling berat di Asia Tenggara (Muslimin,
2006: 141).
Pada tahun 1974 meletus pemberontakan mahasiswa sebagai
reaksi atas parahnya praktik korupsi di Indonesia dan penolakan
terhadap modal asing. Sebagai respon atas desakan mahasiswa
melalui peristiwa Malapetaka Januari 1974 atau dikenal dengan
nama Malari, pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 9 Tahun
1977 mengenai Operasi Ketertiban (Opstib) yang tugasnya
memberantas korupsi dan berbagai pungutan liar yang semakin
merajalela, terutama yang terjadi di jalan-jalan dan pelabuhan.
Tim ini diketuai oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara,
dengan pelaksana operasional adalah Pangkopkamtib. Ketua 1
adalah Kapolri dan Ketua 2 adalah Jaksa Agung. Tim ini semula
hanya menertibkan pungli di jalan-jalan dan pelabuhan, tetapi
dalam perkembangannya meningkatkan sasaran kepada korupsi
yang dilakukan oleh aparat pemerintah daerah dan departemen.
Upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh Tim ini masih
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 129

tergolong dalam skala mikro dengan lingkup terbatas. Meskipun


dinilai berhasil, hasil capaian Tim masih rendah bila dibandingkan
dengan luas dan dalamnya korupsi pada tubuh pemerintahan dan
departemen.
Sebagai upaya meningkatkan citra orde baru, pemerintah
pada tahun 1982 membentuk Tim Pemberantasan Korupsi dengan
pelaksana adalah Menpan JB Sumarlin, Pangkopkamtib Sudomo,
Ketua MA Mudjono, Menteri Kehakiman Ali Said, Jaksa Agung
Ismail Saleh, dan Kapolri Awaloeddin Djamin.
Pada masa orde baru, peraturan antikorupsi yang dikeluarkan
dan badan-badan antikorupsi yang dibentuk cukup banyak.
Dibandingkan dengan kinerja KPK yang umurnya kurang dari 20
tahun, namun prestasinya luar biasa, karena mampu mengungkap
ribuan kasus korupsi dan menjebloskan pelaku tindak pidana
korupsi lebih dari seratus orang. Para mantan menteri, mantan
gubernur, mantan bupati/wali kota, mantan kepala departemen
pemerintah, dan pengusaha kelas kakap berhasil digiring ke
penjara. Hal ini tidak terjadi pada badan-badan antikorupsi buatan
pemerintah orde baru yang selama puluhan tahun tidak berhasil
memenjarakan pejabat pemerintah beserta kroni-kroninya. Hal ini
dapat dipahami karena: (1) anggota badan antikorupsi masa orde
baru adalah orang pemerintah yang ditunjuk oleh Presiden, (2)
rakyat sipil pada masa orde baru sangat lemah atau boleh dibilang
mengalami ketakutan secara sistemik, (3) para penegak hukum
tidak memiliki nyali untuk menyeret pejabat pemerintah, bahkan
mereka sendiri terlibat dalam kasus hukum, (4) undang-undang
antikorupsi hanya menjadi pemanis bagi cita rasa pemerintah
yang seolah-olah antiKKN.
130 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

Keempat faktor inilah yang diduga menyebabkan gerakan


pemberantasan korupsi pada masa orde baru berjalan di tempat.
Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Mulimin (2006:
142) bahwa kehadiran perangkat perundang-undangan dan
berbagai institusi yang dibentuk pada masa orde baru tidak lebih
dari orkhestra, drama, dan teater pelengkap dari suatu komunikasi
dan diplomasi politik hukum antikorupsi yang dilakukan oleh rezim
orde baru.

C. Pemberantasan Korupsi Pada Masa Reformasi

Pada masa orde baru, pemerintah mencanangkan


pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Idealisasi
pembangunan tersebut diwujudkan dalam rencana-rencana
pembangunan nasional. Untuk mencapai cita-cita, tujuan nasional,
dan sebagai realisasi pembangunan nasional sebagai pengamalan
Pancasila, pemerintah orde baru menetapkan rancangan
pembangunan dalam dua tahap. Setiap tahap memakan waktu 25
hingga 30 tahun.
Pembangunan Jangka Panjang Tahap (PJPT) Pertama sampai
dengan pertengahan tahun 1997 telah menunjukkan hasil yang
dapat dirasakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Namun
malapetaka menimpa Indonesia, yakni dengan munculnya krisis
moneter pada pertengahan tahun 1997. Krisis keuangan tersebut
meluas menjadi krisis ekonomi, dan pada tahun-tahun berikutnya
meluas dan membesar menjadi krisis multidimensi, tidak hanya
ekonomi, tetapi juga sosial, budaya, politik, dan keamanan. Bahkan
dalam sewindu sejak krisis 1997, moralitas dan nasionalisme
bangsa Indonesia mengalami penurunan sangat tajam. Rusaknya
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 131

tatanan ekonomi dan keuangan pun mengakibatkan meluasnya


pengangguran, meningkatnya angka kemiskinan, menurunnya
daya tahan masyarakat, dan melemahnya kepercayaan masyarakat
terhadap pemerintah. Pemerintahan Habibie sebagai pengganti
Soeharto, pemerintahan Gus Dur, dan pemerintahan Megawati tak
kuasa menghadapi permasalahan fundamental bangsa Indonesia
saat itu.
Sejak krisis, jumlah penduduk miskin makin meningkat,
pengangguran bertambah, konflik dan kekerasan terjadi dimana-
mana, terorisme bagai hantu yang mengintai mangsa setiap saat,
free sex merajalela, penyalahgunaan narkoba bertambah banyak,
jumlah penderita HIV/AIDS berkembang, dan korupsi makin
menjadi-jadi.
Menyadari carut marutnya kehidupan nasional tersebut, para
wakil rakyat yang berada di MPR mengadakan Sidang Istimewa
MPR pada tanggal 10 hingga 13 November 1998. Ada 12 ketetapan
yang dihasilkan dari sidang tersebut. Untuk menormalisasi
kehidupan nasional yang telah mencapai titik rendah sejak krisis
moneter, dikeluarkan Ketetapan MPR RI Nomor X/MPR/1998
tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka
Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai
Haluan Negara.
Sebagai respon terhadap tuntutan mahasiswa dan
masyarakat tentang perlunya penghapusan korupsi, kolusi,
dan nepotisme (KKN), MPR mengeluarkan Ketetapan MPR RI
Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih
dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Salah satu dasar
pertimbangan dikeluarkannya TAP MPR Nomor XI karena dalam
132 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

penyelenggaraan negara telah terjadi praktik-praktik usaha yang


lebih menguntungkan sekelompok tertentu, yang menyuburkan
korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melibatkan para pejabat
negara dengan para pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi
penyelenggaraan negara dalam berbagai aspek kehidupan
nasional.
Pasal 3 ayat (1) ketetapan tersebut menyatakan bahwa “untuk
menghindarkan praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme,
seseorang yang dipercaya menjabat suatu jabatan dalam
penyelenggaraan negara harus bersumpah sesuai agamanya, harus
mengumumkan dan bersedia diperiksa kekayaannya sebelum dan
setelah menjabat.”
Pasal 4 menegaskan bahwa upaya pemberantasan korupsi,
kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap
siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara,
keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat,
termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan
prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak azasi manusia. Ketetapan
MPR tersebut terutama pada pasal 4 menunjukkan keberanian
luar biasa dari rakyat Indonesia melalui wakil-wakilnya di MPR,
karena secara tegas menunjuk nama Soeharto untuk diadili
sebagai orang yang diduga melakukan korupsi selama 32 tahun
menjabat sebagai Presiden.
Seperti halnya undang-undang antikorupsi pada masa orde
baru, TAP MPR tersebut ternyata sama saja tidak dapat digunakan,
karena berkas-berkas kasus korupsi yang melibatkan Soeharto
hingga meninggalnya tidak dapat menjadi bukti yang sah dan
meyakinkan untuk mengadili Soeharto. Ini menunjukkan bahwa
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 133

Soeharto memang sakti, tak tersentuh oleh hukum. Sedang


sakit dan tidak lagi menjabat, Soeharto tidak dapat digiring ke
meja hijau, apalagi ketika Soeharto masih menjabat presiden.
Mungkin karena senyumnya yang menawan atau karena power-
nya yang membuat Soeharto sebagai sosok yang tidak tersentuh
(untouchtable).
Empat presiden, dari Habibie, Gus Dur, Megawati, hingga Susilo
Bambang Yudhoyono tidak berani mengusik Soeharto. KPK yang
digadang-gadang akan mampu memasukkan Soeharto ke hotel
prodeo juga tidak dapat menampakkan gigi taringnya. Semuanya
melempem. Barangkali Tuhan menentukan lain terhadap nasib
Soeharto. Untungnya keluarga dan kroni-kroni Soeharto berhasil
diseret ke meja hijau. Tommy anak kesayangan Soeharto sempat
masuk bui karena kasus korupsi dan dugaan pembunuhan dan
Probosutedjo juga menginap di hotel prodeo karena terbukti
bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Masuknya Tommy dan
Probosutedjo ke dalam jerat hukum menjadi obat pelipur lara bagi
sebagian besar rakyat Indonesia.
Sebagai pengejawantahan TAP MPR Nomor XI/MPR/1998,
Pemerintah bersama DPR menetapkan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas
Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme. Yang dimaksud penyelenggara
negara menurut UU ini adalah pejabat negara yang menjalankan
tugas eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang
fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan
negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Mereka adalah pejabat negara pada lembaga tinggi
negara, menteri, gubernur, hakim, pejabat negara lain sesuai
134 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,


dan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya
dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Penyelenggara negara yang bersih adalah penyelenggara
negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara
dan bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta
perbuatan tercela lainnya (Pembinaan Jaringan Kerjasama
Antar Komisi dan Instansi KPK, 2006: 154). Asas-asas umum
penyelenggaraan negara tersebut meliputi asas kepastian hukum,
asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum,
asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas,
dan asas akuntabilitas. Ketentuan tentang asas-asas tersebut
sejalan dengan karakteristik good governance dari UNDP, yaitu:
participation, rule of law, transparency, responsiveness, concensus
orientation, equity, effectiveness and efficiency, accountability,
and strategic vision (Romli, 2006: 6; Widodo, 2008: 116-117;
Syakrani dan Syahriani, 2009: 134). Ini artinya asas-asas umum
penyelenggaraan negara yang ditetapkan dalam UU Nomor 28
Tahun 1999 tersebut sejalan dengan visi dunia/global untuk
mewujudkan pemerintahan yang baik. Yang menarik dari UU
tersebut adalah ditentukannya sebuah Komisi Pemeriksa sebagai
upaya untuk menciptakan penyelenggara negara yang bersih dan
bebas dari KKN.
Komisi ini merupakan lembaga independen yang
bertanggung jawab langsung kepada Presiden sebagai Kepala
Negara. Fungsi utama komisi ini adalah mencegah praktik KKN
dalam penyelenggaraan negara. Setelah keluar Undang-Undang
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 135

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak


Pidana Korupsi, Komisi Pemeriksa sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 ditiadakan dan digantikan
fungsinya oleh KDalam rangka meningkatkan efektivitas
pemberantasan tindak pidana korupsi, pemerintah reformasi
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU ini sebagai pengganti
UU Nomor 3 Tahun 1971 yang dinilai sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Seiring dengan pesatnya praktik-praktik perbuatan menyimpang
dalam tubuh pemerintah dan masyarakat, maka pengertian
tindak pidana korupsi pun makin beragam, mulai dari perbuatan
merugikan keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam
jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan
dalam pengadaan, hingga gratifikasi.
UU Nomor 31 Tahun 1999 menetapkan pidana maksimal,
yaitu penjara seumur hidup dan denda paling banyak Rp 1 miliar
bagi pelaku korupsi. Pidana tambahan yang dikenakan kepada
pelaku korupsi juga berat, misalnya perampasan barang milik
terhukum, pembayaran uang pengganti, penutupan perusahaan,
dan pencabutan hak-hak tertentu. Untuk lebih menjamin kepastian
hukum dan menghindari keanekaragaman penafsiran hukum,
pemerintah bersama DPR mengubah beberapa pasal dalam UU
Nomor 31 Tahun 1999 dengan menetapkan berlakunya UU Nomor
20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal-pasal yang diubah diantaranya adalah pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10,
11, dan 12. Mengenai perlunya sebuah badan atau komisi yang
136 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

secara khusus diadakan untuk melakukan tugas pemberantasan


korupsi, UU Nomor 31 Tahun1999 mengamanatkannya dalam
pasal 43 yang berbunyi “dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun
sejak Undang-Undang ini berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau disingkat
KPK secara eksplisit dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002. UU tersebut dikeluarkan karena adanya kesadaran
bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak
pidana korupsi selama ini belum berfungsi secara efektif dan
efisien. Jika tidak diadakan lembaga baru yang lebih independen,
dikhawatirkan korupsi makin merajalela serta keuangan dan
ekonomi negara makin merosot. Pengalaman menunjukkan,
lembaga-lembaga antikorupsi yang dibentuk oleh pemerintah
selama masa orde lama dan orde baru tidak dapat menghasilkan
apa-apa. Kegagalan demi kegagalan selalu menghantui upaya
pemberantasan korupsi di Indonesia, terutama terjadi pada
masa sebelum reformasi datang menggantikan era orde baru
yang sarat korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kegagalan tersebut
tidak membuat surut langkah badan antikorupsi, terutama KPK
untuk melawan korupsi. Bahkan bangsa ini sudah bertekad untuk
melawan korupsi dan menyatakan bahwa korupsi adalah musuh
bersama (corruption is common enemy) yang harus diperangi.
UU Nomor 30 Tahun 2002 memberikan kewenangan luar biasa
besar kepada KPK untuk melakukan kegiatan, tidak terbatas pada
upaya penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana
korupsi, tetapi juga melakukan tindakan pencegahan korupsi yang
melibatkan banyak segmen masyarakat, dan yang tidak kalah
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 137

urgen adalah melakukan monitor terhadap penyelenggaraan


pemerintahan negara. Ini artinya, jangkauan atau ruang lingkup
kerja KPK dapat dikatakan luar biasa (extra-ordinary), karena ia
bisa masuk ke semua segmen administrasi lembaga negara dan
pemerintah serta dapat bergandengan tangan dengan semua
elemen masyarakat demi terwujudnya pemerintahan dan
masyarakat yang baik dan bersih.
Selain UU Nomor 30 Tahun 2002 yang memperkokoh kinerja
KPK dalam memberantas korupsi, upaya pemberantasan korupsi
pada masa reformasi menjadi keniscayaan setelah pemerintah
meratifikasi United Nation Convention Against Corruption 2003
dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Dalam UU tersebut,
disadari bahwa tindak pidana korupsi tidak lagi merupakan
masalah lokal, akan tetapi merupakan fenomena transnasional
yang memengaruhi seluruh masyarakat dan perekonomian,
sehingga dipandang penting adanya kerja sama internasional
untuk pencegahan dan pemberantasannya. Hal ini perlu didukung
oleh integritas, akuntabilitas, dan manajemen pemerintahan
yang baik. Itulah sebabnya bangsa Indonesia dengan KPK sebagai
promotornya ikut aktif menggalang kerjasama internasional dalam
melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Tema antikorupsi yang ditawarkan Susilo Bambang Yudhoyono
dan Jusuf Kalla yang kemudian popular disebut SBY-JK dalam
pemilihan umum 2004 yang lalu berhasil menaikkan popularitas
SBY-JK sebagai penantang kuat pasangan Megawati SP dan Hasyim
Muzadi. Berkat isu yang diangkat tersebut, pasangan SBY-JK
memperoleh dukungan suara 60% dalam pemilihan presiden secara
langsung yang pertama kali diadakan di republik tercinta ini.
138 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

Setelah dilantik sebagai Presiden pada tanggal 20 Oktober 2004,


Susilo Bambang Yudhoyono dengan gencar mengeluarkan pernyataan
dan menjalankan kebijakan pemberantasan korupsi. Tim Imparsial
mencatat, selama kurun waktu 1 tahun memerintah sejak 2004,
Presiden SBY telah mengeluarkan pernyataan tentang pemberantasan
korupsi 36 kali (Marpaung dan J. Heri Sugianto, 2006: 31). Kebijakan
pertama yang dikeluarkan SBY adalah ditetapkannya Inpres Nomor
5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Inpres
tersebut ditujukan kepada para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu,
Jaksa Agung, Panglima TNI, para Kepala Lembaga Pemerintahan Non-
Departemen, Gubernur, Bupati, dan Wali kota seluruh Indonesia. Isi
Inpres tersebut antara lain: dukungan terhadap kerja KPK, terutama
dalam hal pelaporan harta kekayaan dan penanganan kasus korupsi
oleh KPK, meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik, baik
dalam bentuk jasa atau perijinan, menetapkan program dan wilayah
bebas korupsi, melaksanakan Keppres Nomor 80 Tahun 2003 tentang
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, menerapkan kesederhanaan,
baik dalam kedinasan maupun dalam kehidupan pribadi serta
pengehematan pada penyelenggaraan kegiatan yang berdampak
langsung pada keuangan negara serta peningkatan terhadap kualitas
kerja dan pengawasan di tiap departemen atau institusi (Marpaung
dan J. Heri Sugianto, 2006: 31).
Dalam upaya pemberantasan korupsi, tim pertama yang
dibentuk oleh SBY adalah Tim Terpadu Pemburu Koruptor,
yang dibentuk melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum,
dan Keamanan pada tanggal 17 Desember 2004. Selain Menko
Polkumkam, tim ini beranggotakan Kapolri, Jaksa Agung, Deplu
dan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK). Tim
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 139

tersebut memiliki dua tugas, yaitu memburu koruptor yang bebas


berkeliaran di luar negeri dan mengembalikan aset milik negara
yang dibawa kabur oleh koruptor ke luar negeri.
Sebagai tindak lanjut dari Inpres Nomor 5 Tahun 2004,
pemerintah menyusun Rencana Aksi Nasional Pemberantasan
Korupsi 2004-2009 atau disingkat RAN-PK 2004-2009. Dalam RAN-
PK tersebut terdapat bidang pencegahan dan bidang penindakan
dalam rangka pemberantasan korupsi. Bidang pencegahan
diprioritaskan pada: (1) mendesain ulang pelayanan publik,
terutama dalam bidang-bidang yang berhubungan langsung
dengan kegiatan pelayanan kepada masyarakat, (2) memperkuat
transparansi, pengawasan dan sanksi pada kegiatan-kegiatan
pemerintah yang berhubungan dengan ekonomi dan sumber
daya manusia, dan (3) meningkatkan pemberdayaan perangkat-
perangkat pendukung dalam pencegahan korupsi.
Berbeda dengan langkah-langkah pencegahan, bidang
penindakan diprioritaskan pada percepatan penegakan dan
kepastian hukum dalam penanganan perkara korupsi yang besar
dan menarik perhatian masyarakat, serta pengembalian aset hasil
korupsi kepada negara.
Enam bulan setelah memerintah, tepatnya pada tanggal
28 April 2005, Presiden SBY menetapkan delapan langkah
pemberantasan korupsi, yaitu:
1. Membersihkan istana negara dari korupsi dalam rangka
menggugah dan mengajak rakyat melakukan langkah yang sama;
2. Mencegah besarnya kerugian negara yang diakibatkan oleh
penyimpangan pengadaan barang dan korupsi pengadaan
barang;
140 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

3. Mencegah penyimpangan termasuk dalam tender proyek-


proyek rekonstruksi Aceh yang cukup besar selama empat
tahun;
4. Mencegah penyimpangan tender bagi pembangunan
infrastruktur lima tahun ke depan;
5. Berdasarkan bukti-bukti permulaan dan dugaan kuat terjadi
korupsi dan penyimpangan di berbagai lembaga pemerintah
dan swasta, pemerintah akan melakukan langkah-langkah
hukum;
6. Mencari dan menemukan terpidana yang telah dijatuhi
hukuman atau yang sedang menjalani proses hukum yang
diduga kuat berada di luar negeri;
7. Melakukan peningkatan intensitas pemberantasan
penebangan liar;
8. Pemerintah akan melakukan penelitian terhadap pembayaran
pajak dan cukai tahun 2004 (Marpaung dan J. Heri Sugianto,
2006: 33).

Pada tahun 2005 berdasarkan Perpres Nomor 11, SBY


membentuk Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Timtas Tipikor). Tugas utama tim ini adalah: (1) melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan
ketentuan hukum acara yang berlaku terhadap kasus dan/atau
indikasi tindak pidana korupsi, (2) mencari dan menangkap pelaku
yang diduga keras melakukan tindak pidana serta menelusuri
asetnya dalam rangka pengembalian keuangan secara optimal.
Kebijakan SBY dalam pemberantasan korupsi membuahkan
hasil cukup menggembirakan. Sejak Januari hingga April 2005,
perkara korupsi yang disidik sebanyak 961 perkara dan baru
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 141

diselesaikan sebanyak 149 perkara. Dalam hal penuntutan,


Kejagung melaporkan telah mnerima pengaduan tentang korupsi
sebanyak 1.336 perkara, 525 diantaranya sudah disidik, dan dari
jumlah tersebut 450 diantaranya sudah dituntaskan dan sisanya
15 perkara dihentikan. Inilah sebagian prestasi yang berhasil
ditorehkan oleh SBY pada awal jabatan pertama sebagai presiden.
Meskipun pada masa reformasi cukup banyak dikeluarkan
peraturan perundang-undangan dan penetapan kebijakan tentang
pemberantasan korupsi, namun demikian bukannya surut jumlah
orang yang berkorupsi. Data pejabat koruptor yang dihimpun oleh
Kurniawan, dkk. (2006: 5) betul-betul nggegirisi (menakutkan).
Data tersebut dapat dilihat di bawah ini.

Tabel 5. Data Korupsi Pejabat Versi Depdagri (2004-2006)


No. Pejabat Jumlah (orang)
1. Gubernur 7
2. Bupati/Wali kota 60
3. DPRD Provinsi 327
4. DPRD Kabupaten/Kota 735
Seiring dengan meningkatnya jumlah koruptor dan lahan
subur bagi korupsi pada era reformasi ini, perlawanan dari
masyarakat juga makin hebat. Lagi-lagi, KPK tidak sendirian dalam
fungsinya memberantas korupsi. Di berbagai daerah dari berbagai
lapisan masyarakat tumbuh subur lembaga-lembaga antikorupsi,
baik yang organisasinya sudah demikian rapi dan besar maupun
yang belum terorganisasi. Tidak hanya YLBHI, ICW, TII, dan MTI
yang menemani KPK dalam memberantas korupsi, tetapi juga
lembaga-lembaga serupa yang ada di pusat maupun daerah turut
mengawal daerahnya agar bersih dari perilaku korupsi, misalnya
142 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

Parlemen Watch, Police Watch, Semarang Corruption Watch,


Demak Corruption Watch, dan yang lainnya.
Dukungan kepada KPK masih saja mengalir baik dari kalangan
LSM, musisi, artis, maupun perguruan tinggi, meskipun pada
semester kedua tahun 2009 banyak mengalami masalah, terutama
terkait dengan ditetapkannya ketua dan dua wakil ketua KPK
sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan dan korupsi.

D. Rangkuman

Korupsi merupakan musuh bersama masyarakat dan bangsa


Indonesia. Pemerintah dalam hal ini menyadari betapa korupsi
merupakan penyakit yang harus diberantas. Oleh karenanya, sejak
pemerintahan orde lama hingga era reformasi, telah diupayakan
berbagai cara untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya.
Pada masa orde lama, Tentara Nasional Indonesia (TNI)
memiliki peran besar dalam melakukan pemberantasan korupsi.
Hal ini dibuktikan dengan inisiatif penguasa militer pada saat itu
dengan mengeluarkan peraturan antikorupsi (PAK) yang diketuai
A.H. Nasution. Untuk mendukung sikap tegas tentara terhadap
korupsi, tahun 1960 dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960. Pada tahun-tahun
berikutnya dibentuk PARAN dan Operasi Budhi guna mendukung
upaya percepatan pemberantasan korupsi.
Pada masa orde baru dibentuk lembaga uang bertugas
memberantas korupsi. Demikian pula, dikeluarkan berbagai
peraturan untuk memberantas korupsi. Berdasarkan Keppres
Nomor 228 Tahun 1967 dibentuk Tim Pemberantas Korupsi yang
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 143

diketuai Jaksa Agung Sugiharto. Setelah itu dibentuk Komisi Empat


yang diketuai Wilopo dan juga dibentuk Komisi Antikorupsi. Untuk
memperkuat upaya pemberantasan korupsi dikeluarkan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Guna meningkatkan efektivitas pemberantasan
korupsi, Presiden Soeharto juga membentuk tim operasi tertib,
yang salah satunya berfungsi untuk melakukan pemberantasan
korupsi.
Era reformasi merupakan era emas pemberantasan
korupsi, utamanya pada masa pemerintahan SBY. Jauh sebelum
SBY menjadi presiden, telah ditetapkan TAP MPR Nomor XI/
MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari
Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme. Setahun berikutnya, dikeluarkan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme. Dalam
UU ini ditetapkan adanya suatu Komisi Pemeriksa, yang tugasnya
melakukan penyelidikan terhadap dugaan adanya tindak pidana
korupsi. Komisi ini bubar setelah dikeluarkan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Untuk menunjukkan keseriusan pemerintah dalam
memberantas korupsi dikeluarkan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang ini kemudian diperbarui lagi dengan dikeluarkan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Sebagai bukti keseriusan
pemerintah SBY, pemerintah menetapkan Rencana Aksi Nasional
(RAN) Pemberantasan Korupsi Tahun 2004-2009, yang kemudian
ditindaklanjuti dengan ditetapkannya RAN pemberantasan korupsi
tahun 2010-2015.
144 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

Dari berbagai fakta dan data tentang aktivitas pemberantasan


korupsi di Indonesia sejak era orde lama hingga reformasi,
menunjukkan bahwa pemerintah serius dalam melakukan
pemberantasan korupsi. Masyarakat pada era reformasi
memberikan dukungan penuh terhadap upaya pemberantasan
korupsi. Buktinya, banyak berdiri lembaga-lembaga nirlaba yang
bergerak pada bidang pemberantasan korupsi.
BAB VII
STRATEGI PEMBERANTASAN KORUPSI
DI BERBAGAI NEGARA

U
ntuk mendesain strategi yang jitu dalam melakukan
pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia,
perlu dipelajari bagaimana negara-negara lain melakukan upaya
pemberantasan korupsi. Negara-negara yang akan dikaji dalam
tulisan ini, yaitu Australia, Finlandia, China, Hongkong, Malaysia,
Singapura, dan Thailand.

A. Pemberantasan Korupsi di Australia

Korupsi menurut pandangan Australia adalah tingkah laku oleh


setiap orang yang memberi dampak menentang atau memberi
dampak menentang kejujuran atau pelaksanaan fungsi yang adil
oleh pejabat publik (Hamzah, 2005: 9). Perbuatan dipandang
korup jika dapat dibuktikan sebagai bagian dari bentuk delik atau
perbuatan kriminal, delik atau pelanggaran disiplin, dan menjadi
dasar untuk memecat, membebaskan dari dinas atau mengakhiri
dinas seorang pejabat publik.
Pada awal sejarahnya, Australia tergolong negara korup,
terutama pada saat pemerintahan dikendalikan oleh kelompok

145
146 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

militer. Karena seriusnya persoalan korupsi di kalangan


pemerintah, maka berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 1988,
Australia membentuk sebuah lembaga pemberantasan korupsi,
yaitu Independent Commission Against Corruption (ICAC). ICAC
merupakan sebuah komisi yang khusus menangani masalah
korupsi. Selain melakukan penyelidikan, ICAC juga membantu
mencegah korupsi di sektor publik dan mendidik masyarakat pada
sektor publik tersebut.
ICAC memiliki struktur organisasi berjenjang yang sangat
efektif dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Commissioner merupakan ketua ICAC yang memimpin rapat dengan
pejabat teras dua minggu sekali, meninjau interaksi dengan badan-
badan ekstern, menerima laporan kemajuan dan menentukan
kebijakan organisasi. Masih dalam level pimpinan, ICAC memiliki
Komite Manajemen Operasi yang diketuai oleh commissioner
atau assistant commissioner. Komite ini bersidang sekali dalam
dua minggu untuk meninjau kemajuan operasionalisasi organisasi
yang dilakukan oleh komisi dan memberi rekomendasi yang
sesuai dengan prioritas. Anggota pimpinan lainnya, yaitu assistant
commissioner, memiliki tugas melakukan pengambilan keputusan
operasi strategis, penelitian, dan bantuan eksekutif. Level di
bawah pimpinan adalah Direktur Unit Penyidikan, yang tugasnya
adalah melakukan penyidikan, intelijen dan analisis, penilaian,
bantuan penyidikan dan pelayanan teknis. Orang keempat dalam
ICAC adalah solicitor, yaitu komisi yang memimpin unit hukum
dengan tugas melakukan peninjauan operasi dan penghubung
ICAC dengan parlemen. Selain solicitor tersebut, diangkat
Direktur Pencegahan dan Pendidikan Korupsi, yang tugasnya
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 147

adalah melakukan pencegahan, pendidikan dan mengembangkan


media untuk pendidikan antikorupsi. Pejabat teras ICAC lainnya
adalah Direktur Pelayanan Komisi, yang tugasnya berkaitan
dengan teknologi informasi, pelayanan informasi, perekaman dan
properti, pengembangan SDM, keuangan, pelayanan kantor, dan
keamanan.
ICAC memiliki 8 fungsi yang berkaitan dengan upaya
pemberantasan korupsi, yaitu: (1) kepentingan publik, (2) fungsi
utama, (3) fungsi lain komisi, (4) satuan tugas, (5) kerjasama
dengan badan lain, (6) bukti dan prosedur, (7) proses pengadilan,
dan (8) wewenang insidental (Hamzah, 2005: 12).
Dari sekian fungsi tersebut, fungsi utama komisi dipandang
paling strategis dalam upaya pemberantasan korupsi. Fungsi
utama komisi mencakupi: (1) menyidik setiap tuntutan, pengaduan
atau setiap keadaan yang menurut pandangan komisi terdapat
perbuatan korupsi, perbuatan yang membolehkan, menganjurkan
atau menyebabkan terjadinya perbuatan korupsi, dan perbuatan
yang berkaitan dengan perbuatan korupsi, mungkin telah terjadi,
mungkin sedang terjadi, atau kira-kira akan terjadi; (2) menyidik
setiap hal yang diajukan oleh parlemen kepada komisi; (3)
menghubungi pejabat yang bersangkutan tentang hasil penyidikan;
(4) mempelajari undang-undang yang mengatur praktik dan
prosedur otoritas publik dan pejabat publik dalam usaha untuk
menemukan perbuatan korupsi, (5) menginstruksikan, menasihati,
dan membantu setiap otoritas publik, pejabat publik atau orang
lain mengenai cara-cara yang dapat meniadakan perbuatan
korupsi; (6) memberi nasihat otoritas publik atau pejabat publik
mengenai perubahan praktik atau prosedur yang sesuai dengan
148 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

pelaksanaan fungsi yang efektif menurut pemikiran komisi perlu


untuk mengurangi terjadinya perbuatan korupsi; (7) bekerjasama
dengan otoritas publik dan pejabat publik dalam merevisi
undang-undang, praktik, dan prosedur dengan tujuan untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya korupsi; (8) mendidik dan
memberi nasihat kepada otoritas publik dan pejabat publik serta
masyarakat mengenai strategi memberantas korupsi; (9) mendidik
dan menyebarkan informasi kepada publik mengenai dampak
yang merugikan dari perbuatan korupsi serta pentingnya untuk
mempertahankan integritas administrasi publik; (10) mendapat
bantuan dan mendorong dukungan publik dalam memberantas
korupsi; (11) mengembangkan, mengatur, mensupervisi, dan ikut
serta dalam atau melaksanakan program-program pendidikan dan
nasihat yang dapat dijelaskan dalam acuan yang dibuat kepada
komisi oleh kedua kamar parlemen (Hamzah, 2005: 12-13).
Kerja keras ICAC membuahkan hasil, yakni mengubah citra
Australia dari negara korup menjadi negara relatif bersih. Hal ini
dapat terjadi, karena enam hal, yaitu:
1. Pemilihan yang jujur oleh politisi yang jujur;
2. Pejabat publik yang jujur, netral, dan berkualitas;
3. Audit dan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran
pemerintah;
4. Penyidikan yang independen dan pengajuan pengaduan
terhadap pemerintah sendiri;
5. Akses bebas kepada informasi;
6. Penuntutan kejahatan yang independen dan adanya hakim
yang independen, tidak bias dan jujur.
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 149

B. Pemberantasan Korupsi di Finlandia

Finlandia merupakan negara industri dengan sistem ekonomi


pasar bebas. Produksi perkapita hampir sama dengan Inggris,
Perancis, Jerman, dan Italia. Sektor kunci ekonomi Finlandia adalah
produksi telekomunikasi. Sulit menemukan praktik korupsi di
negara Finlandia yang terkenal sebagai negara seribu danau. Indeks
Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan oleh majalah The Economist
pada tahun 2003 menempatkan Finlandia pada peringkat pertama
negara paling tidak korup (Suryadi, 2003: 207). Pada tahun 2011,
Finlandia bersama Denmark menempati peringkat kedua sebagai
negara terbersih. Pada tahun 2012, Finlandia juga menempati
urutan kedua negara terbersih atau bebas dari korupsi.
Pertanyaan pokok yang perlu dikaji adalah apa yang
menyebabkan Finlandia relatif bersih dari korupsi. Ada tiga
faktor utama yang menyebabkan Finlandia bersih dari korupsi.
Pertama, obedience, yaitu sikap taat atau patuh pada hukum.
Kedua, honesty, yaitu sikap jujur pada diri sendiri dan orang lain.
Ketiga, life style atau gaya hidup sederhana dan tidak konsumtif.
Di Finlandia, sikap bohong tidak disukai oleh rakyat. Pengunduran
diri Perdana Menteri Finlandia, Anneli Jaatteenmaki pada bulan
Juni 2003, karena ia dituduh berbohong kepada parlemen
dan rakyat berkaitan dengan kebocoran informasi politik yang
peka selama kampanye. Orang Finlandia juga bukan orang
konsumeristis. Mereka berbelanja disesuaikan dengan ukuran
penghasilan mereka dan mengutamakan kebutuhan pokok sehari-
hari daripada kebutuhan akan barang-barang mewah.
Pola hidup sederhana tidak hanya dipraktikkan oleh rakyat
pada umumnya, tetapi juga oleh kalangan pejabat pemerintah.
150 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

Presiden Tarja sangat sederhana dalam berpakaian. Presiden


sebelumnya pun heran memiliki rumah tidak semewah rumah
anggota DPR Indonesia. Kota Helsinki yang berpenduduk 500.000
orang jauh dari kesan glamour. Hanya sedikit tempat-tempat
belanja, tidak seperti halnya di kota-kota besar di Indonesia. Itulah
sebabnya, tidak mengherankan jika daya saing bisnis Finlandia
pada tahun 2005 nomor dua sedunia setelah Amerika Serikat.

C. Pemberantasan Korupsi di China

Di China dan Hongkong pusat praktik korupsi ada pada


tubuh kepolisian. Jajaran kepolisian China memperoleh hasil
korupsi dari memungut pungutan yang berasal dari aktivitas
perjudian, pelacuran dan sindikat narkotika. Salah satu sebab
mengapa kepolisian China menjadi pusat praktik korupsi karena
kebudayaan China yang menggunakan kedudukan pemerintah
untuk keuntungan pribadi (Suryadi, 2006: 192).
Korupsi kepolisian di China telah menjadi mafia. Muncullah istilah-
istilah menarik dalam praktik korupsi di China. Misalnya, “masuk
dalam bus”, artinya kalau mau menerima korupsi bergabunglah
bersama kami. “Berlarilah di samping bus”, artinya seandainya
Anda tidak ingin menerima korupsi tidak mengapa, tetapi jangan
mengganggu. Yang lebih seram adalah istilah “jangan pernah berdiri
di depan bus”, artinya kalau Anda mencoba melaporkan korupsi, bus
ini akan menabrak dan mungkin Anda akan mati.
Parahnya praktik korupsi sebagaimana ditunjukkan oleh
istilah-istilah di atas, menjadikan pemerintah berjuang keras
untuk memberantas perilaku korupsi. Usaha tersebut berhasil
meredakan korupsi. Keberhasilan pemberantasan korupsi tidak
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 151

lepas dari dua faktor utama yang menyebabkannya: (1) adanya


good will, political will, integritas, dan komitmen yang ditunjukkan
oleh pemimpin dan aparatur pemerintah dalam menegakkan
hukum, (2) adanya lembaga atau badan antikorupsi yang dibentuk
oleh pemerintah dengan wewenang yang sangat luas untuk
memberantas praktik korupsi (Suryadi, 2006: 193).
Tekad pemimpin China untuk memberantas korupsi dapat
dicermati dari ungkapan Perdana Menteri China Zhu Rongji pada
pelantikannya bulan Maret 1998 yang lalu. Kata Zhu Rongji:
“untuk melenyapkan korupsi, saya menyiapkan 100 peti mati.
Sembilan puluh sembilan untuk para koruptor dan satu untuk
saya jika saya berbuat sama” (Suryadi, 2006: 193). Usaha Rongji
membuahkan hasil dalam memberantas korupsi, paling tidak
membuat jera pelaku atau calon pelaku korupsi. Pada bulan Maret
tahun 2000 pengadilan di China memutuskan menghukum mati
Wakil Gubernur Provinsi Jiangxi, Hu Chang Ging yang terbukti
telah menerima suap sebesar 600.000 dollar AS. Pada tanggal 16
Januari 2002, hukuman mati dijatuhkan pula kepada Deputi Wali
kota Leshan, Li Yushu, karena terbukti secara sah menerima suap
senilai 1 juta dollar AS, dua mobil mewah, dan sebuah jam tangan
Rolex. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan China
memberantas korupsi adalah adanya penegakan hukum yang
tegas. Sebagaimana diyakini Zhu bahwa ketegasan membersihkan
pemerintah dari tindak korupsi plus penegakan akan dapat
memutar roda ekonomi bersemangat pasar sosial sebagai bagian
dari transformasi modern China pada pasar dunia.
Selain penegakan hukum yang tegas, China memiliki badan
antikorupsi, yaitu Anti Corruption Branch (ACB) yang ditangani oleh
152 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

kepolisian. Oleh karena ACB dikelola oleh kepolisian yang sudah


mendapatkan stigma korup, maka ACB tidak direspon masyarakat.
Itulah sebabnya, ACB diganti menjadi Anti Corruption Office (ACO)
yang dipimpin oleh pemimpin baru yang betul-betul jujur. ACO
memiliki tiga bagian, yaitu: (1) bagian pengumpul keterangan
intelijen yang telah lama ada, (2) bagian penyidikan tuduhan
korupsi sehari-hari, dan (3) bagian penyidikan terhadap pegawai
pemerintah yang mempunyai kekayaan yang jauh melampaui gaji
mereka (Suryadi, 2006: 195).

D. Pemberantasan Korupsi di Hongkong

Sejarah Hongkong tidak dapat dilepaskan dari persoalan


candu, opium atau narkotika. Sejak abad ke-19, Hongkong
menjadi tempat transit opium dari segitiga emas ke bagian lain
di dunia melalaui daratan China. Karena akibatnya yang merusak,
Kaisar China melarang impor opium sejak tahun 1796 dan 1800.
Pemerintah China memerintahkan menyita semua opium yang
dimiliki oleh orang asing. Hal ini menimbulkan ketegangan
atau konflik antara China dengan Britania Raya (Inggris) hingga
berujung pada pecahnya Perang Candu pada tahun 1839-1842.
China kalah perang dan dipaksa menandatangani Konvensi
Chuenpi pada tanggal 20 Januari 1841, yang isinya adalah China
harus menyerahkan Hongkong kepada Inggris. Hal ini dipertegas
lagi dalam perjanjian Nanking.
Sejak tahun 1997 Hongkong kembali kepada kedaulatan China
dan berdasarkan deklarasi bersama antara China dan Inggris,
Hongkong menjadi wilayah khusus China yang disebut Special
Administrative Region. Berdasarkan pasal 31 UUD China menganut
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 153

prinsip satu negara dua sistem (Hamzah, 2005: 21). Hongkong


memiliki hukum dasar atau basic law yang mengatur prinsip umum,
hubungan antara pemerintah pusat di Peking dan Hongkong, hak-hak
dasar dan kewajiban penduduk, struktur politik, ekonomi, pendidikan,
ilmu pengetahuan, kebudayaan, olah raga, agama, tenaga kerja, tugas
sosial, masalah luar negeri, interpretasi dan perubahan basic law
serta ketentuan tambahan (Hamzah, 2005: 21).
Korupsi merajalela di Hongkong pada tahun enam puluhan
hingga tahun tujuh puluhan. Hongkong menjadi tempat transit
para pengedar narkotika yang berkolaborasi dengan Kepolisian
Hongkong. Setiap hari polisi Hongkong menerima 10.000 dollar
Hongkong dari para anggota sindikat narkotika. Uang haram juga
diperoleh polisi Hongkong dari sindikat perjudian dan pelacuran.
Kasino yang memiliki omzet 600.000 dollar Hongkong menyetor
10.000 dollar kepada Kepolisian Hongkong. Klitgaard mencatat
bahwa setiap hari ada uang 65.000 dollar Hongkong yang dibagi
secara rapi dan terorganisasi dalam tubuh kepolisian (Hamzah,
2005: 22). Secara rinci, Klitgaard menyebut angka 50 dollar
Hongkong untuk polisi berpangkat kopral, 150 dollar untuk sersan,
500 dollar untuk inspektur, 1000 dollar untuk inspektur kepala,
3000 dollar bagi letnan kolonel, dan 5000 dollar bagi kolonel.
Dalam upaya pemberantasan korupsi yang sangat akut
di tubuh kepolisian, Hongkong membentuk sebuah badan
antikorupsi yang dinamakan Independent Commission Against
Corruption (ICAC) pada tanggal 17 Oktober 1973. ICAC dibentuk
oleh Gubernur MacLehose dan diketuai oleh Jack Carter.
Pada awal dibentuk, Jack Carter sebagai ketua ICAC berhasil
memenjarakan Peter Godber seorang kolonel polisi yang
154 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

melakukan korupsi senilai 4,3 juta dollar Hongkong. ICAC dipimpin


oleh seorang commissioner dan dibantu oleh 3 kepala divisi atau
departemen. Departemen itu adalah Departemen Operasi yang
tugasnya adalah menyidik, menahan, dan membantu menuntut
orang yang melakukan korupsi; Departemen Pencegahan Korupsi
yang berfungsi memberikan penilaian terhadap titik-titik rawan
organisasi; dan Departemen Hubungan Masyarakat yang berfungsi
mengumpulkan dukungan dan informasi dari masyarakat dan
mengubah sikap mental masyarakat terhadap korupsi.
ICAC sangat dipercaya masyarakat, karena pegawainya
merupakan orang-orang yang kredibel, memiliki integritas yang
tinggi, profesional, dan tidak dapat disuap. Seleksi terhadap calon
pegawai ICAC sangat ketat dan selesai diseleksi mereka diberi
pelatihan khusus. Sistem penggajiannya berbasis kinerja dan rata-
rata karyawan ICAC di atas rata-rata gaji pegawai biasa. Jumlah
pegawainya cukup banyak, hingga tahun 1999 mencapai 1.299
orang yang terbagi dalam 943 pegawai bidang operasi, 58 pegawai
bidang prevensi, 212 pegawai bidang hubungan masyarakat, dan
86 pegawai bidang administrasi (Hamzah, 2005: 23).
Sebagai ketua ICAC, Carter telah melakukan berbagai langkah
strategis untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja ICAC,
yaitu:
1. Mengangkat pejabat-pejabat yang bersih, yakni diangkat dari
tenaga-tenaga profesional dari Kerajaan Inggris yang memiliki
integritas tinggi;
2. Gaji yang diberikan kepada pejabat ICAC 10% lebih tinggi
daripada gaji pegawai negeri biasa di Hongkong dengan
pangkat yang setara;
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 155

3. Menentukan imbalan dan hukuman yang berat (Suryadi,


2006: 196).

ICAC merupakan lembaga independen dan terlepas dari


struktur kepolisian. Sebagai lembaga independen, wewenang
ICAC sangat luas. Lembaga ini memiliki wewenang yang sangat
luas, terutama untuk menyidik orang yang diduga melakukan
korupsi dan melakukan penindakan kepadanya. Wewenang ICAC
selengkapnya adalah sebagai berikut. (1) Menahan seseorang yang
dicurigai melakukan korupsi; (2) ICAC berwenang menyidik dan
menyita suatu barang tanpa membutuhkan membutuhkan surat
perintah terhadap kasus-kasus yang bersifat istimewa; (3) ICAC
dapat meminta setiap orang untuk memberikan informasi apa pun
yang dirasa perlu oleh komisaris; (4) ICAC dapat mengeluarkan
perintah untuk membekukan aset dan harta benda; dan (5) Atas
nama kemandirian, ICAC dapat melaporkan langsung tugas-
tugasnya kepada gubernur, tidak melalui badan legislatif atau pun
eksekutif (Suryadi, 2006: 197).
Selama tahun 1970-an ICAC mencapai keberhasilan luar biasa
dalam melakukan pemberantasan korupsi. Pada tahun 1974-1975,
ICAC berhasil memeriksa 2.466 keluhan korupsi dari 6.368 laporan
korupsi yang diterima dari masyarakat. Jumlah kasus korupsi yang
berhasil disidangkan meningkat dari 108 pada tahun 1974 menjadi
218 pada tahun 1975. ICAC tidak mampu menghapus korupsi dari
Hongkong, namun ia berhasil menurunkan korupsi dari 3.189
kasus pada tahun 1974 menjadi 1.234 kasus pada tahun 1975.
Keberhasilan menurunkan korupsi di Hongkong yang dilakukan
ICAC menurut Hamzah (2005: 36) karena 5 faktor. Pertama,
adanya kemauan politik (political will) pemerintah baik pada masa
156 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

Pemerintah Kolonial Inggris maupun pada zaman Hongkong.


Kedua, masih terjaminnya integritas dan kejujuran hakim pada
waktu ICAC dilahirkan. Ketiga, adanya dukungan anggaran
(budget) yang besar. Keempat, adanya pemanfaatan teknologi
canggih dalam melaksanakan kegiatan ICAC. Kelima, masyarakat
diikutsertakan dalam upaya pemberantasan korupsi.

E. Pemberantasan Korupsi di Malaysia

Malaysia semula adalah negara dengan sistem feodal agraris.


Sejak dijajah Inggris, sistem feodal tersebut berubah menjadi
perserikatan berbasis demokrasi dengan model Inggris. Meskipun
menggunakan model Inggris, sisa-sisa feodalisme di Malaysia
masih tampak, yakni adanya praktik pemberian upeti yang menjadi
lahan subur berkembangnya korupsi. Dalam rangka membangun
negara modern yang bebas korupsi, sejak tahun 1961 Malaysia
mengeluarkan Undang-Undang Antikorupsi yang dikenal dengan
nama Prevention of Corruption Act atau Akta Pencegahan Rasuah
57 (Hamzah, 2005: 38). Pada tahun 1970 dikeluarkan Emergency
(Essential Powers Ordinance) Nomor 22 dan berdasarkan Anti
Corruption Agency Act tahun 1982 dibentuklah Badan Pencegah
Rasuah (BPR). Sejak tahun 1997, ketiga UU dan ordonansi tersebut
digabung ke dalam Anti Corruption Act (ACA).
BPR Malaysia memiliki visi dan misi yang jelas dalam melakukan
pemberantasan korupsi. Visi BPR adalah: (1) mewujudkan
masyarakat Malaysia yang bebas dari gejala korupsi, berdasarkan
nilai-nilai kerohanian dan moral yang tinggi dan dipimpin oleh
pemerintah yang bersih, efisien, dan amanah, (2) menjadikan
BPR sebagai badan pemberantasan korupsi yang profesional
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 157

serta terunggul di dunia berasaskan keadilan, ketegasan, dan


amanah (Hamzah, 2005: 38). Berdasarkan visi tersebut, misi
pemberantasan korupsi di Malaysia dilakukan secara terpadu
dan berkelanjutan dengan cara: (1) semua badan dan lembaga
pemerintah yang terlibat secara total dalam menegakkan UU
dan peraturan dengan adil dan tegas untuk menjamin supremasi
UU serta melindungi kepentingan umum dan negara, (2) semua
tingkat kepemimpinan politik, administrasi, korporasi, agama, dan
lembaga swadaya masyarakat (LSM) terlibat dalam usaha-usaha
penghayatan dan penerapan nilai-nilai murni, sehingga terjadi
konsensus di kalangan masyarakat Malaysia yang membenci
korupsi dan adanya komitmen untuk memberantas gejala korupsi.
Berdasarkan visi dan misi di atas, fungsi pemberantasan
korupsi yang dilakukan oleh BPR mencakupi:
1. Mengenal dan memastikan terjadinya korupsi dan
penyalahgunaan wewenang didasarkan pada informasi dan
pengaduan yang diperoleh secara teliti, menyeluruh, dan
efisien melalui intelijen dan penyidikan;
2. Memperoleh dan mengumpulkan bukti-bukti secara teliti dan
lengkap untuk membuktikan terjadinya perbuatan korupsi,
penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran disiplin melalui
penyidikan yang rapi, cepat, dan efektif;
3. Memastikan keadilan dan kepentingan umum secara
berkelanjutan dijamin dengan undang-undang dan peraturan
nasional serta penuntutan yang bijaksana dalam kasus-kasus
korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
4. Membantu ketua-ketua sektor publik dan swasta dalam
mengambil tindakan tata tertib terhadap pegawai mereka
158 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

yang melanggar peraturan serta kode etik kerja berdasarkan


laporan BPR yang lengkap;
5. Memotong akar dan peluang untuk melakukan korupsi
dan penyalahgunaan wewenang akibat kelemahan sistem
manajemen di sektor publik dan swasta yang dipastikan dari
hasil penyidikan laporan BPR;
6. Membantu dalam menentukan calon-calon yang tidak terlibat
dalam perbuatan korupsi dan penyalahgunaan wewenang
serta dipastikan berdasarkan saringan yang cepat dan tepat
bagi: (a) kenaikan pangkat, pensiun awal, penganugerahan
bintang dan gelar kebesaran, serta pengisian jabatan-jabatan
penting dalam sektor publik, (b) pengisian jabatan-jabatan
yang penting dalam institusi tertentu serta penganugerahan
bintang dan gelar kebesaran dalam sektor swasta;
7. Meningkatkan penyertaan dukungan yang terpadu dari
kalangan pemimpin, kelompok berpengaruh, dan masyarakat
umum dalam usaha-usaha menentang korupsi dan
penyalahgunaan wewenang;
8. Memastikan tindakan yang diambil oleh BPR dalam intelijen,
penyidikan dan pencegahan korupsi serta penyalahgunaan
wewenang dapat dilakukan dengan disiplin melalui hubungan
dan kerja sama dengan badan-badan terkait baik pada tingkat
nasional maupun internasional;
9. Mewujudkan nilai-nilai unggul, meningkatkan kepakaran
dan profesionalisme serta memupuk semangat kerjasama di
kalangan pejabat BPR melalui kepemimpinan yang berdedikasi
dan dinamis;
10. Meningkatkan kemampuan kepemimpinan dan kualitas
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 159

manajemen pejabat BPR pada semua tingkat melalui program


pembangunan sumber daya manusia, teknologi informasi,
dan proses kerja yang sistematis (Hamzah, 2005: 38-39).

Dalam rangka menjalankan fungsi tersebut, BPR memiliki tiga


strategi utama, yaitu:
1. Strategi pengukuhan, dimana untuk meningkatkan efektivitas
BPR, strategi pengukuhan memberi kekuatan kepada
profesionalisme BPR dan meningkatkan kerjasama dengan
penegak hukum antikorupsi internasional dan media massa;
2. Strategi penggalakan dan pencegahan, yang menekankan
pada usaha-usaha penghayatan nilai-nilai murni, pencegahan
korupsi, dan peningkatan sistem supervisi yang tegas dalam
penegakan peraturan perundang-undangan;
3. Strategi penegakan hukum, yaitu melalui pembalikan beban
pembuktian kepada tersangka yang terbukti memiliki harta
benda yang berlebihan dibandingkan dengan pendapatannya,
perampasan harta yang tidak dapat dijelaskan asal-usulnya,
dan meningkatkan ketegasan penegakan undang-undang
yang memberi dampak pada pencegahan korupsi (Hamzah,
2005: 39-40).

BPR memiliki prestasi luar biasa dalam melakukan


pemberantasan korupsi. Hal itu ditunjukkan dari laporan mengenai
perbuatan korupsi. Laporan-laporan yang disampaikan bervariasi,
melalui berbagai media dan cara, seperti surat kaleng sebanyak
3.121 atau 33%, 2.260 atau 24% merupakan laporan resmi dari
individu, temuan pejabat BPR sebanyak 1.865 atau 19,8%, melalui
telepon sebanyak 829 atau 8,8%, laporan dari sukarelawan
160 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

sebanyak 718 atau 7,6%, dan lain-lain sebanyak 640 atau 6,8%
(Hamzah, 2005: 44).

F. Pemberantasan Korupsi di Singapura

Singapura merupakan negara pulau sekaligus negara kota


yang terletak di Semenanjung Malaysia, berhimpitan dengan
Johor Malaysia dan Riau Indonesia. Singapura merupakan negara
paling kaya di kawasan ASEAN. Pelabuhan di Singapura merupakan
pelabuhan tersibuk nomor 6 se-dunia yang mampu melakukan
bongkar muat ribuan ton.
Walaupun Singapura merupakan negara yang tergolong
makmur, paling aman, tertib, dan kecil korupsinya, namun tetap
membentuk badan antikorupsi yangh dinamakan Corruption
Practices Investigation Bureau (CPIB) pada tahun 1950-an.
Singapura memiliki UU antikorupsi sejak tahun 1960 dan UU
tersebut telah diamandemen berkali-kali (1963, 1966, 1972, 1981,
1989, 1991). Undang-Undang tersebut dikenal dengan nama
Prevention of Corruption Act (PCA). Munculnya badan antikorupsi
dan UU tersebut dipicu oleh adanya penyelundupan dan korupsi
di kalangan bea cukai. Barang-barang ilegal bebas masuk ke
Singapura karena petugas bea cukai yang korup. Mereka mudah
disuap, sehingga kaset video, film porno dan majalah-majalah
hiburan dapat dengan mudah diperoleh di sana.
Selain adanya UU dan badan antikorupsi, upaya
pemberantasan korupsi diperkuat oleh kepemimpinan Perdana
Menteri Lee Kuan Yew. Lee Kuan Yew memiliki obsesi yang kuat
untuk menciptakan pemerintah dan masyarakat yang taat hukum
sebagai dasar menuju kemakmuran Singapura.
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 161

CPIB memiliki struktur hierarkis dimana posisi puncak dijabat


oleh seorang direktur, deputi direktur dan asisten direktur. Di
bawahnya ada bidang operasi, bantuan operasi, administrasi,
perwira staf, dan pencegahan. Bagian operasi membawahi
tim penyidik khusus, unit I, II, dan III. Bagian bantuan operasi
membawahi intelijen, penelitian lapangan, dan bantuan teknik.
Bagian administrasi membawahi keuangan, records dan screening,
sumber daya manusia serta computer info systems unit. Perwira
staf dan pencegahan tidak membawahi subbagian. Berbeda
dengan badan antikorupsi yang ada di Thailand, organisasi CPIB
lebih sederhana, efisien dan efektif.
CPIB memiliki wewenang cukup luas. Wewenang yang dimiliki
meliputi wewenang penahanan, wewenang penyidikan, wewenang
khusus penyidikan, dan wewenang penggeledahan. Direktur atau
penyidik khusus dapat menangkap setiap orang yang melakukan
delik korupsi tanpa surat perintah. Direktur atau penyidik khusus
juga dapat menangkap atau menahan orang, menggeledahnya,
dan menyita semua harta benda yang ditemukan padanya jika
ia diduga terbukti melakukan perbuatan korupsi. Delik korupsi
yang dapat disidik adalah delik yang tercantum dalam pasal 165
KUHP (mengatur tentang penerimaan suap atau gratifikasi) atau
pasal 213-215 KUHP (mengatur mengenai penerimaan hadiah
dan melindung pelaku delik dari pengenaan pidana), delik yang
ditentukan oleh PCA, dan semua delik yang terungkap berdasarkan
undang-undang pada waktu dilakukan penyidikan.
Dalam hal wewenang khusus penyidikan, penuntut umum
jika merasa cukup adanya alasan berdasarkan PCA dapat dengan
perintah memberi kuasa kepada direktur atau perwira polisi yang
162 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

pangkatnya di atas assistant superintendent atau penyidik khusus


untuk melakukan penyidikan dengan cara atau modus sesuai yang
tertera dalam surat perintah. Dalam surat perintah ini, pejabat
yang ditunjuk dapat menyidik rekening bank, account saham,
account pembelian, account pengeluaran, atau account apa
saja. Seseorang yang tidak memberi informasi atau account yang
diminta dapat dinyatakan bersalah telah melakukan delik, dapat
dipidana penjara paling lama satu tahun atau denda tidak lebih
dari 2.000 dollar Singapura.
Berkaitan dengan wewenang penggeledahan, direktur
CPIB setelah memperoleh informasi dan sesudah pemeriksaan
seperlunya serta adanya cukup alasan untuk percaya bahwa di
suatu tempat ada dokumen berisi bukti atau suatu benda berkaitan
dengan dilakukannya delik berdasarkan ketentuan PCA atau pasal
161-165 dan pasal 213-215 KUHP serta adanya persekongkolan
untuk melakukan, percobaan untuk melakukan, dan membantu
melakukan delik tersebut, maka direktur dapat dengan suatu
surat perintah kepada penyidik khusus atau perwira khusus tidak
berpangkat di bawah inspektur memberikan wewenang kepada
penyidik khusus atau perwira polisi untuk memasuki tempat
dengan paksa dan jika perlu menggeledah, menyita, dan menahan
dokumen, benda, atau harta benda yang disidik. Sesuai dengan
ketentuan pasal 26 PCA, jika pihak yang disidik menghalangi
penggeledahan dapat diancam pidana penjara paling lama satu
tahun atau denda paling banyak 10.000 dollar Singapura. Demikian
pula, mereka yang memberi keterangan palsu atau menyesatkan
tentang suatu delik tertentu sebagaimana diatur dalam PCA atau
dalam pasal 165, 213,214 dan 215, maka mereka dapat diancam
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 163

pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak
10.000 dollar Singapura.

G. Pemberantasan Korupsi di Thailand

Thailand merupakan negara di kawasan ASEAN yang tidak


pernah dijajah oleh bangsa manapun, termasuk bangsa Barat.
Di bawah kepemimpinan Raja Mongkut, Thailand berhasil lolos
dari upaya Inggris dan Perancis untuk mencengkeramkan kuku
kolonialismenya. Chulalongkorn, putra raja Mongkut, yang
menggantikan ayahnya, berhasil memasuki abad ke-20 dengan
pembangunan besar-besaran, seperti jalan raya, jaringan rel
kereta api, telepon, dan listrik.
Masa keemasan Thailand meredup sejak elit militer
menguasai pemerintah sepeninggal Dinasti Chulalongkorn. Korupsi
merajalela sejak awal kediktatoran pemerintahan militer. Pihak
yang melaporkan korupsi akan ditindas oleh penguasa. Bahkan
pihak yang seharusnya memberantas korupsi justru terlibat dalam
perkara korupsi. Atas inisiasi Profesor Sanya Dhamasakti, Perdana
Menteri, Mayor Jenderal Polisi Atthasit Sitthisunthorn, dan
Menteri Dalam Negeri, bersama-sama dengan anggota parlemen,
ditetapkan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi yang dikenal
dengan nama Counter Corruption Act tahun 1975.
Berdasarkan UU tersebut, dibentuklah Komisi Pemberantasan
Korupsi bernama Counter Corruption Commission (CCC). Komisi
ini bertanggung jawab kepada Perdana Menteri. Karena komisi
ini dipandang belum efektif, maka berdasarkan Organic Act
on Counter Corruption tahun 1999, CCC diganti lembaga baru
bernama The National Counter Corruption Commission (NCCC).
164 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

Komisi baru ini terdiri atas seorang ketua dan delapan anggota,
yang diangkat oleh raja atas nasihat senat.
Tidak sembarang orang dapat menjadi anggota komisi. Mereka
yang dapat diangkat sebagai anggota NCCC adalah: (1) warga
negara Thailand karena Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemilihan,
Ombudsman, anggota Komisi Nasional Hak Azasi Manusia, Komisi
Audit Negara, sedang menjabat atau mantan tidak lebih rendah
dari Jaksa Agung Muda, Direktur Jenderal atau setingkat, atau
menjabat tidak lebih rendah dari guru besar (Hamzah, 2005: 69).
NCCC memiliki kewenangan yang luar biasa dalam melakukan
pemberantasan korupsi. Kewenangan itu meliputi:
1. Memeriksa fakta-fakta, membuat ringkasan kasus, dan
mempersiapkan pendapat untuk diserahkan kepada Senat
dalam melepaskan seseorang dari jabatan;
2. Memeriksa fakta-fakta, membuat ringkasan kasus, dan
mempersiapkan pendapat yang diajukan kepada Jaksa
Agung untuk tujuan penuntutan kepada Mahkamah Agung
Divisi Kriminal bagi mereka yang memegang posisi politik
berdasarkan pasal 308 Konstitusi;
3. Memeriksa dan memutus apakah seorang pejabat negara
telah menjadi kaya luar biasa atau telah melakukan delik
korupsi, penyalahgunaan jabatan atau penyalahgunaan
wewenang di badan kehakiman;
4. Memeriksa secara akurat adanya aset aktual dan tanggung
jawab pejabat negara serta memeriksa perubahan aset dan
tanggung jawab orang-orang yang memegang posisi politik,
memeriksa aset dan pertanggungjawaban;
5. Menentukan aturan mengenai penentuan posisi, kelas, atau
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 165

tingkat pejabat negara yang diwajibkan menyerahkan account


yang menunjukkan aset dan tanggung jawab secara khusus;
6. Menentukan aturan dan prosedur untuk penyerahan account
yang menunjukkan aset dan tanggung jawab khusus pejabat
negara serta pengungkapan account yang menunjukkan
aset dan tanggung jawab secara khusus memangku jabatan
perdana menteri;
7. Menyerahkan laporan inspeksi dan laporan mengenai kinerja
bersama dengan catatannya kepada Dewan Menteri, DPR,
dan Senat setiap tahun mempublikasikan laporan ini untuk
disebarkan;
8. Mengusulkan tindakan, pendapat, atau rekomendasi
kepada Dewan Menteri, DPR, dan Senat setiap tahun serta
mempublikasikan laporan untuk disebarkan;
9. Menunjukkan beberapa hal kepada badan yang berkaitan
dengan tujuan memohon kepada suatu pengadilan atas suatu
perintah atau putusan untuk membatalkan atau mencabut hak
atau dokumen milik atas tanah yang sudah diberi persetujuan
oleh pejabat negara atau memberikan izin yang menunjukkan
hak-hak dan keuntungan atau mengeluarkan dokumen hak
atas tanah kepada orang tertentu yang bertentangan dengan
undang-undang atau aturan resmi yang merugikan pelayanan
pemerintah;
10. Mengambil tindakan untuk mencegah korupsi dan
membangun sikap dan rasa berkaitan dengan integritas dan
kejujuran serta mengambil tindakan demikian untuk memberi
bantuan publik dan kelompok orang untuk mengambil bagian
dalam memberantas korupsi;
166 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

11. Memberi persetujuan untuk pengangkatan sekretaris


jenderal;
12. Mengangkat orang-orang atau kelompok untuk melaksanakan
tugas yang dipercayakan kepadanya;
13. Melaksanakan tindakan lain yang ditentukan oleh undang-
undang organik (NCCC) atau undang-undang lain yang
menjadi tanggung jawab NCCC (Hamzah, 2005: 70-71).

Dalam melaksanakan tugasnya, NCCC diberikan wewenang:


(1) memberikan perintah kepada pejabat pemerintah, pejabat
atau pegawai suatu badan, badan negara, perusahaan negara, atau
pemerintah lokal untuk melaksanakan semua tindakan yang perlu
untuk melaksanakan tugas NCCC, atau meminta semua dokumen
yang relevan atau bukti-bukti dari setiap orang atau memanggil setiap
orang untuk memberikan keterangan atau kesaksian untuk tujuan
pemeriksaan fakta, (2) mengajukan permohonan kepada pengadilan
yang berwenang untuk mengeluarkan surat perintah izin memasuki
tempat tinggal, tempat bisnis, atau tempat lain, termasuk kendaraan
setiap orang dari matahari terbit sampai matahari penyitaan, atau
pengambilan dokumen, benda atau bukti lain yang berkaitan dengan
pemeriksaan, dan (3) mengirim surat permintaan kepada badan
pemerintah, badan negara, perusahaan negara, pemerintah lokal
atau badan privat dalam melaksanakan tindakan khusus untuk
tujuan pelaksanaan tugas atau tindakan pemeriksaan fakta atau
melaksanakan yang ditentukan oleh NCCC (Hamzah, 2005: 72).
Seperti halnya di Indonesia, dimana setiap orang yang akan
memangku jabatan sebagai penyelenggara negara diwajibkan
melaporkan harta kekayaannya dengan mengisi formulir LHKPN,
maka di Thailand, pejabat-pejabat di bawah ini wajib menyerahkan
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 167

account yang menunjukkan aset dan tanggung jawab, termasuk


harta suami/istri/anak-anak.
1. Presiden Mahkamah Agung;
2. Presiden Mahkamah Konstitusi;
3. Presiden Mahkamah Agung Administratif;
4. Jaksa Agung;
5. Komisi Pemilihan;
6. Ombudsman;
7. Hakim Mahkamah Konstitusi;
8. Anggota Komisi Audit Negara;
9. Wakil Presiden Mahkamah Agung;
10. Wakil Presiden Mahkamah Agung Administratif;
11. Ketua Mahkamah Militer;
12. Hakim pada Mahkamah Agung;
13. Hakim Mahkamah Agung Administratif;
14. Deputi Jaksa Agung;
15. Orang-orang yang memegang posisi tinggi.

H. Rangkuman

Hampir semua negara di dunia memiliki undang-undang


dan lembaga atau badan pemberantas korupsi. Beberapa negara
hebat, seperti Finlandia, Denmark, Selandia Baru, dan Singapura
memiliki undang-undang yang ketat dan lembaga antikorupsi yang
berperan sangat baik, sehingga negara-negara tersebut terkenal
sebagai negara bersih dari perbuatan korupsi. Indeks persepsi
korupsi negara-negara tersebut juga tinggi, yang berarti tingkat
korupsi pejabat publik mereka tergolong rendah.
168 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

Tahun 2012 Finlandia menempati peringkat kedua sebagai


negara terbersih di dunia, sedangkan Singapura berada pada
urutan kelima. Kedua negara ini juga memiliki kinerja ekonomi
yang bagus. Meskipun belum ada penelitian komprehensif
tentang kaitan antara kondisi korupsi di suatu negara dengan
tingkat perkembangan ekonomi negara, namun dapat diduga
bahwa jika di negara tertentu tingkat korupsinya rendah, maka
ada kemungkinan kinerja dan perkembangan ekonominya baik.
Peringkat korupsi Finlandia rendah, karena bangsa Finlandia
terkenal dengan sikap taat, jujur dan sederhana. Singapura
juga tersohor dengan kedisiplinan dan kuat dalam penegakan
hukumnya. Lembaga antikorupsi, seperti CPIB dan PCA terbukti
mampu meredam tingkat korupsi di Singapura.
China, Malaysia, dan Thailand, meskipun tidak sehebat Finlandia
dan Singapura juga memiliki aturan dan lembaga antikorupsi
yang konsisten dalam memberantas korupsi. China memiliki Anti
Corruption Office (AOC). Perdana Menteri China yang sangat
terkenal dengan janjinya, Zhu Rongji, siap dimasukkan peti mati jika
terbukti korupsi. Sikap keras Rongji membuat China cukup bersih
dan mampu menjadikan China sebagai negara kekuatan ekonomi
dunia di masa mendatang. Malaysia memiliki Badan Pencegah
Rasuah, yang juga berperan penting dalam pemberantasan korupsi.
Malaysia juga memiliki potensi ekonomi yang baik dibandingkan
Indonesia, Myanmar, Kamboja, dan negara-negara ASEAN lainnya,
kecuali Singapura. Thailand memiliki undang-undang pemberantasan
korupsi sejak tahun 1975 dan mempunyai lembaga antikorupsi yang
dinamakan NCCC. Tidak berbeda dengan Malaysia, Thailand juga
mempunyai catatan cukup baik dalam perkembangan ekonominya.
BAB VIII
PERAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
(KPK) DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI

S
ejak dibentuk tahun 2003 yang lalu, sudah begitu besar
peran dan prestasi Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK)
dalam melakukan pemberantasan korupsi, utamanya dalam
bidang penindakan. Sepuluh tahun KPK berkiprah dalam upaya
pemberantasan korupsi, tetapi jumlah pelaku yang berhasil
ditangkap dan disidangkan sudah banyak. Pelaku kelas kakap pun
dengan mudah ditangkap, tidak seperti halnya yang dilakukan oleh
lembaga penegak hukum lainnya, seperti kepolisian, kejaksaan,
bahkan pengadilan itu sendiri. Sebelum disajikan secara deskriptif
keberhasilan yang telah dicapai oleh KPK, akan diuraikan terlebih
dahulu secara berturut-turut visi dan misi KPK, kedudukan dan
tugas KPK, wewenang dan kewajiban KPK, susunan organisasi
KPK, dan kode etik KPK.

A. Visi, Misi dan Strategi KPK

Visi KPK adalah mewujudkan Indonesia yang bebas korupsi


(Maheka, t.th.: 52). Mengacu pada visi tersebut, misi KPK adalah
sebagai penggerak perubahan untuk mewujudkan bangsa

169
170 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

yang antikorupsi. Berdasarkan visi dan misi tersebut, rencana


strategis KPK meliputi strategi berdasarkan waktu (strategi jangka
pendek, strategi jangka menengah, dan strategi jangka panjang)
dan strategi berdasarkan tugasnya (strategi pembangunan
kelembagaan, strategi pencegahan, strategi penindakan, dan
strategi penggalangan keikutsertaan masyarakat).
Strategi jangka pendek KPK, yakni strategi yang segera
dapat memberi manfaat, meliputi penindakan, membangun
nilai etika, membangun sistem pengendalian terhadap lembaga
pemerintahan agar menjadi lebih efisien dan profesional.
Strategi jangka menengah, yakni strategi yang secara sistematis
mampu mencegah tindak pidana korupsi, meliputi kegiatan
membangun proses perbankan, penganggaran, pengadaan dan
infrastruktur informasi di instansi pemerintah yang mendorong
efisiensi dan efektivitas, memotivasi terciptanya kepemimpinan
yang efisien dan efektif, serta meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam pengambilan keputusan pemerintah serta meningkatkan
akses masyarakat terhadap pemerintahan.
Strategi jangka panjang, yang diharapkan dapat mengubah
persepsi dan budaya masyarakat, mencakupi aktivitas membangun
dan mendidik masyarakat untuk menangkal korupsi yang terjadi
di lingkungannya, membangun tata pemerintahan yang baik
sebagai bagian penting dalam sistem pendidikan nasional, dan
membangun sistem kepegawaian (perekrutan, penggajian,
penilaian kinerja dan pengembangan) yang berkualitas.
Tujuan strategi pembangunan kelembagaan adalah
terbentuknya suatu lembaga KPK yang efektif. Untuk mencapai
tujuan tersebut, aktivitas yang dilakukan meliputi penyusunan
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 171

struktur organisasi, kode etik, rencana strategis, rencana kinerja,


anggaran, prosedur operasi standar, dan penyusunan sistem
manajemen SDM, rekrutmen penasihat dan pegawai serta
pengembangan pegawai, penyusunan manajemen keuangan,
penyusunan teknologi informasi pendukung, penyediaan fasilitas
dan peralatan, dan penyusunan mekanisme pengawasan internal.
Strategi pencegahan bertujuan membangun sistem pencegahan
tindak pidana korupsi yang handal. Aktivitas yang dilakukan
meliputi peningkatan efektivitas sistem pelaporan kekayaan
penyelenggara negara, penyusunan sistem pelaporan gratifikasi dan
sosialisasi, penyusunan sistem pelaporan pengaduan masyarakat
dan sosialisasi, pengkajian dan penyampaian saran perbaikan atas
sistem administrasi pemerintahan dan pelayanan masyarakat yang
berindikasikan korupsi, penelitian dan pengembangan teknik dan
metode yang mendukung pemberantasan korupsi.
Strategi penindakan memiliki tujuan untuk meningkatkan
penyelesaian perkara tindak pidana korupsi. Untuk itu, ada lima
hal yang dilakukan, yaitu: (1) pengembangan sistem dan prosedur
peradilan pidana korupsi yang ditangani langsung oleh KPK, (2)
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara korupsi oleh
KPK, (3) pengembangan mekanisme, sistem, dan prosedur supervisi
oleh KPK atas penyelesaian perkara korupsi yang dilaksanakan
oleh kepolisian dan kejaksaan, (4) identifikasi kelemahan undang-
undang dan konflik antar undang-undang yang berkaitan dengan
pemberantasan korupsi, dan (5) pemetaan aktivitas-aktivitas yang
berindikasikan korupsi.
Penggalangan keikutsertaan masyarakat bertujuan
terbentuknya suatu keikutsertaan dan partisipasi aktif dari
172 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

segenap komponen bangsa dalam memberantas korupsi. Lima


aktivitas berikut merupakan langkah untuk menggalang partisipasi
masyarakat, yaitu: (1) kerjasama dengan lembaga-lembaga publik,
lembaga-lembaga publik, lembaga-lembaga kemasyarakatan,
sosial, keagamaan, profesi, dunia usaha, swadaya masyarakat,
dan perumusan peran masing-masing dalam pemberantasan
korupsi, (2) kerjasama dengan mitra pemberantasan korupsi di
luar negeri secara bilateral maupun multilateral, (3) kampanye
antikorupsi nasional secara terintegrasi untuk membentuk budaya
antikorupsi, (4) pengembangan database profil korupsi, dan (5)
pengembangan dan penyediaan akses informasi korupsi kepada
publik.

B. Kedudukan, Tugas, Wewenang, dan Kewajiban KPK

Dalam pasal 3 UU Nomor 30 Tahun 2002, KPK berkedudukan


sebagai lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh
kekuasaan manapun (KPK, t.th.: 3). KPK dibentuk dengan tujuan
untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya, KPK berasaskan pada nilai-nilai kepastian
hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan
proporsionalitas (KPK, t.th.: 3).
Berdasarkan kedudukannya, KPK mempunyai lima tugas
pokok, yaitu: (1) koordinasi dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, (2) supervisi
terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi, (3) melakukan penyelidikan, penyidikan,
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 173

dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, (4) melakukan


tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan (5)
melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan
negara (Direktorat Pembinaan Jaringan Kerjasama AntarKomisi
dan Instansi KPK, 2006: 97).
Dalam melaksanakan tugas pokok yang pertama (koordinasi),
KPK memiliki wewenang: mengkoordinasikan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi; menetapkan
sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana
korupsi; meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan
tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait; melaksanakan
dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan meminta
laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana
korupsi.
Dalam melaksanakan tugas kedua, yaitu supervisi, KPK
berwenang melakukan pengawasan, penelitian atau penelaahan
terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya
yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi
dan instansi yang melaksanakan pelayanan publik. Dalam
melaksanakan wewenang tersebut, KPK berwenang pula
mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku
tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian
atau kejaksaan. Dalam hal KPK mengambil alih penyidikan atau
penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan
tersangka dan berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain
yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 hari kerja terhitung
sejak tanggal diterimanya permintaan KPK.
174 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

Dalam hal melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan


penuntutan, KPK berwenang:
1. Melakukan penyadapan dan perekaman pembicaraan;
2. Memerintahkan kepada instansi terkait untuk melarang
seseorang bepergian ke luar negeri;
3. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan
lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa
yang sedang diperiksa;
4. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka
untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;
5. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau
terdakwa kepada instansi terkait;
6. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi
perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan
sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan
atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga
berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan
tindk pidana korupsi yang sedang diperiksa;
7. Meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak
hukum negara lain untuk, melakukan pencarian, penangkapan,
dan penyitaan barang bukti di luar negeri;
8. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait
untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan,
dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang
sedang ditangani (Direktorat Pembinaan Jaringan Kerjasama
AntarKomisi dan Instansi KPK, 2006: 99).

Dalam melaksanakan tugas pencegahan, KPK berwenang


untuk: (1) melakukan pendaftaran dan pemeriksaan laporan
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 175

harta kekayaan penyelenggara negara, (2) menerima laporan dan


menetapkan status gratifikasi, (3) menyelenggarakan program
pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan, (4)
merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi
pemberantasan tindak pidana korupsi, (5) melakukan kampanye
antikorupsi kepada masyarakat umum, dan (6) melakukan
kerjasama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi.
Dalam melaksanakan tugas monitor sebagaimana diatur
dalam pasal 6 UU Nomor 30 Tahun 2002, KPK berwenang:
1. Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan
administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah;
2. Memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan
pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan
hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut
berpotensi korupsi;
3. Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa
Keuangan, jika saran Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai
usulan perubahan tersebut tidak diindahkan (Direktorat
Pembinaan Jaringan Kerjasama AntarKomisi dan Instansi KPK,
2006: 99).

Berdasarkan tugas dan wewenangnya, KPK berkewajiban


untuk: (1) memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor
yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan
mengenai terjadinya tindak pidana korupsi, (2) memberikan
informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau memberikan
bantuan untuk memperoleh data lain yang berkaitan dengan
176 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

hasil penuntutan tindak pidana korupsi yang ditanganinya, (3)


menyusunm laporan tahunan dan menyampaikannya kepada
Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan, (4) menegakkan
sumpah jabatan, dan (5) menjalankan tugas, tanggung jawab,
dan wewenangnya berdasarkan asas-asas sebagaimana dimaksud
dalam pasal 5 (Direktorat Pembinaan Jaringan Kerjasama Antar
Komisi dan Instansi KPK, 2006: 99).

C. Susunan Organisasi KPK

Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002, susunan KPK terdiri


atas seorang ketua dan empat orang wakil ketua. KPK membawahi
empat bidang, yaitu bidang pencegahan, bidang penindakan,
bidang informasi dan data, serta bidang pengawasan internal
dan pengaduan masyarakat. Masing-masing bidang membawahi
subbidang sebagaimana tersaji dalam tabel di bawah ini.

Tabel 6. Bidang dan Subbidang dalam


No. Bidang Sub Bidang
1. Pencegahan • Subbidang pendaftaran dan pemeriksaan
laporan harta kekayaan penyelenggara
negara;
• Subbidang gratifikasi;
• Subbidang pendidikan dan pelayanan
masyarakat;
• Subbidang penelitian dan
pengembangan.
2. Penindakan • Subbidang penyelidikan;
• Subbidang penyidikan;
• Subbidang penuntutan.
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 177

3. Informasi dan Data • Subbidang pengolahan informasi dan


data;
• Subbidang pembinaan jaringan kerja
antarkomisi dan instansi;
• Subbidang monitor.
4. Pengawasan Internal • Subbidang pengawasan internal;
dan Pengaduan • Subbidang pengaduan masyarakat.
Masyarakat

Organisasi KPK berikut tata kerjanya diatur lebih lanjut


dalam Keputusan Pimpinan KPK Nomor KEP-07/P.KPK/02/2004
tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Pemberantasan Korupsi.
Berdasarkan keputusan KPK tersebut, susunan organisasi KPK
terdiri dari pimpinan, tim penasihat, deputi bidang pencegahan,
deputi bidang penindakan, deputi bidang informasi dan data,
deputi bidang pengawasan internal dan pengaduan masyarakat,
serta sekretariat jenderal.
Pimpinan KPK adalah pejabat negara yang bekerja secara
kolektif dan menjadi penanggung jawab tertinggi dalam KPK. Ini
membawa implikasi, semua keputusan yang bersifat strategis
diambil dalam rapat yang dihadiri oleh ketua dan empat wakil
ketua KPK. Jika ketua atau salah satu wakil ketua berhalangan
sementara atau tetap, tidak berarti KPK berhenti dalam mengambil
keputusan-keputusan penting. Tugas-tugas kepemimpinan dalam
menjalankan fungsi dan wewenangnya tetap berjalan. Hal ini
seperti yang dialami KPK di bawah kepemimpinan Antasari Azhar.
Meskipun ketua KPK tersebut sedang bermasalah dengan pihak
penegak hukum karena diduga terlibat dalam kasus pembunuhan,
kegiatan KPK tetap berjalan sesuai dengan ketentuan undang-
undang yang berlaku. Karena sifat kepemimpinan kolektif, maka
178 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

aktivitas KPK dijalankan bersama-sama oleh empat wakil ketua


secara kolektif.
Sebagai pemegang puncak tertinggi organisasi, pimpinan
KPK memiliki tugas: (1) memimpin KPK sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, (2) menyiapkan kebijakan
nasional dan kebijaksanaan umum yang berhubungan dengan
kegiatan pencegahan, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
tindak pidana korupsi, (3) menetapkan kebijaksanaan teknis
pelaksanaan tugas yang menjadi tanggung jawabnya, (4) membina
dan melaksanakan kerjasama dengan instansi dan organisasi lain,
dan (5) mengangkat dan memberhentikan kepala bidang, kepala
sekretariat, kepala subbidang, dan pegawai yang bertugas pada
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK, t.th.: 131).
Tim Penasihat KPK terdiri atas 4 orang dengan tugas utama: (1)
membantu pimpinan dalam menyiapkan kebijaksanaan nasional
dan kebijaksanaan umum yang berhubungan dengan kegiatan
pencegahan, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak
pidana korupsi, (2) membantu pimpinan dalam menetapkan
kebijaksanaan teknis pelaksanaan tugas yang menjadi tanggung
jawabnya, dan (3) membantu pimpinan dalam membina dan
melaksanakan kerjasama dengan instansi dan organisasi lain.
Masing-masing deputi yang ada di tubuh KPK memiliki
tugas dan fungsi yang berlainan, meskipun diantara mereka
ada fungsi koordinasi supaya dapat mendukung pimpinan KPK
dalam menjalankan tugasnya. Deputi Bidang Pencegahan KPK
meliputi Direktorat Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara, Direktorat Gratifikasi, Direktorat
Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat, Direktorat Penelitian dan
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 179

Pengembangan, serta Sekretariat Deputi Bidang Pencegahan.


Deputi Bidang Pencegahan bertugas untuk melakukan upaya-
upaya atau tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana
korupsi. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Deputi Pencegahan
menyelenggarakan fungsi:
1. Pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta
kekayaan penyelenggara negara;
2. Penerimaan laporan dan penetapan status gratifikasi;
3. Penyelenggaraan program pendidikan antikorupsi pada setiap
jenjang pendidikan;
4. Sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi;
5. Kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum;
6. Kerjasama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi.

Berbeda dengan Deputi Bidang Pencegahan, Deputi Bidang


Penindakan memiliki tugas untuk melakukan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan tindakan hukum lain mengenai
tindak pidana korupsi berdasarkan peraturan perundang-
undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh pimpinan KPK.
Dalam melaksanakan tugas tersebut, Deputi Bidang Penindakan
melaksanakan fungsi: (1) perumusan kebijaksanaan teknis
kegiatan justisial berupa pemberian bimbingan dan pembinaan
dalam bidang tugasnya, (2) perencanaan, pelaksanaan, dan
pengendalian kegiatan penyelidikan, penyidikan , penuntutan, dan
tindakan hukum lain serta pengadministrasiannya, (3) pembinaan
kerjasama, pelaksanaan koordinasi, dan pemberian bimbingan,
serta petunjuk teknis dalam penanganan tindak pidana korupsi
dengan instansi dan lembaga terkait mengenai penyelidikan,
180 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

penyidikan, dan penuntutan berdasarkan peraturan perundang-


undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh pimpinan
KPK, (4) pemberian saran, pendapat dan/atau pertimbangan
hukum kepada pimpinan KPK mengenai perkara tindak pidana
korupsi, pengambilalihan penyidikan dan penuntutan tindak
pidana korupsi yang sedang dilakukan kepolisian atau kejaksaan,
dan masalah hukum lainnya, (5) pembinaan dan peningkatan
kemampuan, keterampilan dan integritas kepribadian para petugas
pelaksana penyelidik, penyidik, dan penuntut umum, dan (6)
pengamanan teknis atas pelaksanaan tugas dan wewenang komisi
pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh
pimpinan KPK. Dalam melaksanakan tugasnya, Deputi Bidang
Penindakan dibantu oleh Direktorat Penyelidikan, Direktorat
Penyidikan, Direktorat Penuntutan, dan Sekretariat Deputi Bidang
Penindakan.
Deputi Bidang Informasi dan Data mempunyai tugas
melaksanakan pengolahan data dan informasi serta
pengembangan sistem informasi yang mendukung kegiatan
pencegahan, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak
pidana korupsi serta melakukan monitor terhadap upaya
pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi yang dilakukan
oleh penyelenggara negara. Mengacu pada tugas tersebut, Deputi
Bidang Informasi dan Data menyelenggarakan fungsi:
1. Penyusunan rencana dan program pengelolaan data dan
informasi serta pengembangan sistem informasi;
2. Pengumpulan, pengolahan, dan penyajian data dan informasi
serta administrasi basis data;
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 181

3. Penyiapan analisis hasil pelaksanaan program dan kegiatan KPK;


4. Pengembangan sistem informasi dan pembinaan terhadap
pengguna,
5. Pengembangan jaringan informasi dengan instansi pemerintah
dan masyarakat;
6. Monitor terhadap upaya pencegahan dan penindakan tindak
pidana korupsi yang terjadi pada instansi pemerintahan
negara (KPK, t.th.: 139).

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Deputi Bidang


Informasi dan Data dibantu oleh Direktorat Pengolahan Informasi
dan Data, Direktorat Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi
dan Instansi, Direktorat Monitor, dan Sekretariat Deputi Bidang
Informasi dan Data.
Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan
Masyarakat memiliki 2 Direktorat, yaitu Direktorat Pengawasan
Internal dan Direktorat Pengaduan Masyarakat serta Sekretariat
Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.
Deputi ini memiliki tugas melaksanakan pengawasan fungsional
terhadap unit kerja yang berada di bawah KPK dan memproses
pengaduan masyarakat. Fungsinya meliputi: (1) penyiapan
bahan perumusan kebijakan pengawasan di lingkungan KPK,
(2) perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian kegiatan
pengawasan internal dan pemrosesan pengaduan masyarakat
serta pengadministrasiannya, dan (3) pemberian saran dan
pendapat kepada pimpinan KPK mengenai hasil pengawasan
internal dan pemrosesan pengaduan masyarakat (KPK, t.th.: 142).
KPK memiliki sekretariat jenderal yang bertugas
mengakomodasikan perencanaan, pembinaan, pengendalian
182 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

administrasi, dan sumber daya di lingkungan KPK. Fungsi


sekretariat jenderal meliputi: (1) koordinasi dan penyusunan
kebiakan dan program kerja KPK serta evaluasi pelaksanaannya di
liongkungan KPK, (2) pengelolaan sumber daya manusia, penataan
organisasi, dan ketatalaksanaan serta keuangan, (3) pemberian
bantuan hukum di lingkungan KPK, dan (4) pelaksanaan urusan
tata usaha, perlengkapan, dan rumah tangga. Di lingkungan Setjen
KPK terdapat 3 biro, yaitu Biro Perencanaan dan Keuangan, Biro
Umum, dan Biro Sumber Daya Manusia.

D. Kode Etik Pimpinan KPK

Pimpinan KPK menempati posisi strategis dalam menentukan


arah sekaligus mewujudkan visi, misi, rencana strategis, serta
memastikan terlaksananya tugas dan kewajiban KPK. Oleh
karenanya diperlukan kode etik tersendiri bagi mereka agar dapat
menjadi teladan bagi bawahannya dan menjadi landasan komitmen
mereka untuk bekerja demi lembaga, bangsa dan negara. Menurut
Keputusan Pimpinan KPK tentang Kode Etik Pimpinan KPK RI, kode
etik pimpinan KPK merupakan norma yang harus dilaksanakan
oleh pimpinan KPK dalam menjalani kehidupan pribadinya dan
mengelola organisasi KPK. Kode etik pimpinan KPK diterapkan tanpa
ada toleransi sedikitpun atas penyimpangannya atau zero tolerance
dan mengandung sanksi tegas bagi mereka yang melanggarnya.
Nilai-nilai dasar yang harus dianut pimpinan KPK dalam
menjalankan tugasnya meliputi: (1) terbuka (transparan) baik
dalam pergaulan internal dan eksternal, (2) kebersamaan, yaitu
melaksanakan tugas memimpin KPK secara kolektif, (3) berani,
yakni mengambil sikap tegas dan rasional dalam membuat
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 183

keputusan sulit dan atau tidak populis demi kepentingan jangka


panjang KPK dan negara, (4) integritas, yaitu mewujudkan perilaku
yang bermartabat, (5) tangguh, artinya tegar dalam menghadapi
berbagai godaan, hambatan, tantangan, ancaman, dan intimidasi
dalam bentuk apapun dan dari pihak manapun, dan (6) unggul,
artinya selalu meningkatkan pengetahuan dan kapasitas pribadinya
(KPK, t.th.: 151). Nilai-nilai dasar pribadi tersebut dilaksanakan
dalam bentuk sikap, tindakan, perilaku, dan ucapan pimpinan KPK.
Dalam kode etik ini, pimpinan KPK memiliki kewajiban sebagai
berikut.
1. Melaksanakan ibadah dan ajaran agama yang diyakininya;
2. Taat terhadap aturan hukum dan etika;
3. Menggunakan sumber daya publik secara efisien, efektif, dan
tepat;
4. Tegas dalam menerapkan prinsip, nilai, dan keputusan yang
telah disepakati;
5. Menarik garis tegas tentang apa yang patut, layak, dan pantas
dilakukan dengan apa yang tidak patut, tidak layak, dan tidak
pantas dilakukan;
6. Tampil ketika keputusan sulit harus diambil;
7. Tidak berpihak dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan
wewenangnya;
8. Berani menghadapi dan menerima konsekuensi keputusan;
9. Tidak berhenti belajar dan mendengar;
10. Mampu bertindak tegas tanpa beban;
11. Meningkatkan kinerja yang berkualitas;
12. Menanggalkan kebiasaan kelembagaan masa lalu yang
negatif;
184 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

13. Menghilangkan sifat arogansi individu dan sektoral;


14. Mengidentifikasi setiap benturan kepentingan yang timbul
atau kemungkinan benturan kepentingan yang akan timbul
dan memberitahukan kepada pimpinan lainnya sesegera
mungkin;
15. Memberikan komitmen dan loyalitas kepada KPK di atas
komitmen dan loyalitas kepada teman sejawat;
16. Mengesampingkan kepentingan pribadi atau golongan demi
tercapainya tujuan yang ditetapkan bersama;
17. Menahan diri terhadap godaan yang berpotensi memengaruhi
substansi keputusan;
18. Memberitahukan kepada pimpinan lainnya mengenai
pertemuan dengan pihak lain yang akan dan telah
dilaksanakan, baik sendiri atau bersama, baik dalam hubungan
dengan tugas maupun tidak;
19. Menolak dibayari makan, biaya akomodasi, dan bentuk
kesenangan lainnya oleh atau dari siapa pun;
20. Independensi dalam penampilan fisik, antara lain diwujudkan
dalam bentuk tidak menunjukkan kedekatan dengan siapa
pun di depan publik;
21. Membatasi pertemuan di ruang publik, seperti di hotel,
restoran, atau lobi kantor atau hotel atau di ruang publik
lainnya;
22. Memberitahukan kepada pimpinan yang lain mengenai
keluarga, kawan, dan pihak-pihak lain yang secara intensif
masih berkomunikasi (KPK, t.th.: 153).

Sejalan dengan kewajiban yang harus dilaksanakan, pimpinan


KPK dilarang:
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 185

1. Menggunakan sumber daya publik untuk kepentingan pribadi


atau golongan;
2. Menerima imbalan yang bernilai uang untuk kegiatan yang
berkaitan dengan fungsi KPK;
3. Meminta kepada atau menerima bantuan dari siapapun dalam
bentuk apapun yang memiliki potensi benturan kepentingan
dengan KPK;
4. Bermain golf dengan pihak atau pihak-pihak yang secara
langsung atau tidak langsung berpotensi menimbulkan
benturan kepentingan sekecil apapun.

Pelanggaran terhadap isi kode etik pimpinan KPK dikenakan


sanksi sesuai dengan tingkat kesalahannya. Antasari Azhar, ketua
KPK setelah Taufiequrachman Ruki, merupakan salah satu contoh
dari pimpinan yang telah melanggar kode etik pimpinan KPK, di
antaranya tidak mampu menahan diri dari godaan dan bermain
golf dengan pihak-pihak yang diduga akan memengaruhi tugasnya
sebagai pimpinan KPK, sehingga setelah diduga melakukan
pembunuhan terhadap Nasarudin dan bermain api dengan Lani,
istri siri Nasarudin, oleh KPK ia diberhentikan sementara atau
dibebastugaskan dari kedudukannya sebagai pimpinan KPK. Ini
merupakan bukti betapa hebatnya lembaga KPK yang secara
konsisten menerapkan aturan meskipun harus memakan korban
anggota atau pimpinannya sendiri dan hal ini tidak terjadi pada
lembaga negara atau instansi lainnya di negeri ini.
Selain Antasari, KPK pascakepemimpinan Taufiequrachman
juga mengalami persoalan internal yang tidak kalah gawat, yaitu
dijadikannya Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto, Wakil
Ketua KPK yang membidangi Penindakan sebagai tersangka
186 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

(Tempo, 2009: 82). Polri menetapkan keduanya sebagai tersangka


karena dugaan penyalahgunaan wewenang terkait pencekalan
terhadap pengusaha Anggoro Widjojo dan pencegahan dan
pencabutan pencegahan (larangan ke luar negeri) terhadap
pengusaha Djoko S. Tjandra (Kompas, 2009: 2). Sedikit banyak
tugas pimpinan KPK menjadi terganggu karena dari lima pimpinan,
tinggal 2 orang saja yang harus menjalankan tugas berat KPK.
Meskipun akhirnya dibebaskan, karena dinyatakan tidak bersalah,
namun kriminalisasi terhadap dua dari 4 orang wakil ketua KPK
menyebabkan tugas dan kewajiban KPK untuk memberantas
korupsi di negeri kleptokrasi ini menjadi terhambat.

E. Sekilas Keberhasilan KPK

Apa yang telah diuraikan panjang lebar mengenai tugas,


wewenang, dan kewajiban KPK serta kewajiban pimpinan KPK
secara khusus dapat dikatakan sebagai peran normatif atau peran
yang diharapkan dimainkan oleh KPK sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Mencermati ketentuan
peraturan perundang-undangan dan peraturan internal KPK
sebagaimana sudah dijelaskan di atas, tampaknya ada jaminan dan
kepercayaan yang kuat bahwa KPK merupakan aktor paling kuat
diantara kepolisian dan kejaksaan, terutama dalam melaksanakan
fungsi memberantas tindak pidana korupsi.
Sebagai satu-satunya lembaga independen dalam
pemberantasan korupsi, KPK memiliki strategi jitu. Dalam
strategic map KPK, M. Yasin dalam Seminar dan Sosialisasi LHKPN
menuju Peningkatan Mutu Pelayanan yang diselenggarakan oleh
Kelompok Kerja (POKJA) Antikorupsi Universitas Negeri Semarang
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 187

pada tanggal 10 Desember 2008, menyampaikan bahwa tujuan


perumusan strategi baru KPK adalah berkurangnya korupsi di
Indonesia, dengan sasaran meningkatnya efektivitas koordinasi
dan supervisi bidang penindakan, meningkatnya efektivitas
koordinasi dan supervisi bidang pencegahan, meningkatnya
keberhasilan penegakan hukum kasus korupsi, meningkatnya
kepercayaan publik kepada KPK, terbentuknya sikap masyarakat
antikorupsi, dan percepatan reformasi layanan sektor publik
(Yasin, 2008: 9).
Dalam tugas pemberantasan korupsi, KPK melakukannya
secara komprehensif, konsisten, dan berkesinambungan, dengan
melibatkan semua pihak. Itulah sebabnya, metode yang digunakan
adalah metode holistik, mencakupi komponen kenegaraan dengan
melahirkan good public governance, komponen swasta dengan
melahirkan good corporate governance, komponen masyarakat
dengan melahirkan good civil society governance.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 mengatur bahwa
upaya pemberantasan korupsi meliputi upaya pencegahan dan
penindakan. KPK lebih mengedepankan upaya kuratif, berupa
penangkalan atau penanganan hulu permasalahan dan upaya
pencegahan (preventif), sehingga mampu menekan kebocoran
keuangan negara. Karena kasus-kasus korupsi demikian masif dan
dampaknya sangat merugikan sendi-sendi kehidupan masyarakat,
bangsa, dan negara, maka KPK melakukan upaya represif
untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku korupsi dan dapat
mengembalikan kerugian keuangan negara secara optimal.
Dibandingkan dengan lembaga penegak hukum lainnya
seperti kejaksaan dan kepolisian, KPK memiliki nilai lebih.
188 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

Pertama, struktur organisasinya tidak terlalu hierarkis, luwes, dan


demokratis. Kedua, organisasi KPK lebih rapi dan lini pengendalian
dan pengawasan vertikal dan horizontal lebih terjaga dibandingkan
kepolisian dan kejaksaan. Ketiga, sistem penggajiannya berbasis
kinerja. Keempat, KPK sebagai institusi negara lebih otonom
dan independen dibandingkan dua lembaga lainnya, sehingga
dalam proses pengambilan keputusan tidak dapat dipengaruhi
oleh pihak lain. Kelima, landasan etika dan kode etik KPK lebih
konkret, sehingga memudahkan pejabat atau personil KPK
dalam menjalankan tugasnya secara professional. Keenam, KPK
tidak hanya melaksanakan tugas dalam memberantas tindak
pidana korupsi, tetapi juga turut mempromosikan penerapan
praktik-praktik good governance pada tubuh pemerintahan,
swasta (dunia usaha), dan masyarakat dan mendorong reformasi
pelayanan publik. Ketujuh, inilah yang menjadi energi sosial, yakni
masyarakat memberikan dukungan penuh terhadap kinerja KPK.
Karena beberapa nilai tambah inilah, setiap upaya menggoyang
atau mengurangi peran KPK dalam memberantas korupsi yang
dilakukan oleh lembaga-lembaga yang merasa KPK sebagai
kompetitornya atau terusik dan terancam oleh keberadaan dan
sepak terjang KPK, selalu muncul perlawanan dari masyarakat.
Tantangan yang dihadapi KPK tergolong berat, selain karena
lembaga ini dianggap kompetitor bagi lembaga penegak hukum
lainnya, juga disebabkan apa yang dipromosikan dan dilakukan
KPK dipandang oleh sementara penyelenggara negara mengancam
eksistensi mereka. Hal ini seperti diungkapkan oleh Insan
Fahmi, salah seorang aktivis KPK, bahwa keengganan sebagian
penyelenggara negara untuk berkomitmen melakukan perubahan
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 189

dan pemberantasan korupsi dikarenakan kondisi saat ini yang


telah membuat dirinya nyaman (Fahmi, 2009: 5). Perbaikan
sistem, menurut Fahmi, justru ditanggapi dengan resistensi tinggi,
karena dianggap akan menjadi ancaman dan gangguan bagi
dirinya yang telah berada pada zona nyaman (comfort zone). Hal
ini juga terbukti dari adanya keinginan dari pihak tertentu untuk
mempreteli kewenangan KPK. Rubrik Hukum Majalah Tempo Edisi
21-27 September 2009 menulis dengan meyakinkan: “hilang sudah
kekuatan Komisi Pemberantasan Korupsi menangani perkara-
perkara korupsi, karena Forum Lobi Panja RUU Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi dan Pemerintah yang diwakili Menteri Hukum
dan Hak Azasi Manusia dan Jaksa Agung menyepakati dicabutnya
kewenangan penuntutan dari tangan KPK” (Tempo, 2009: 80).
Menurut sumber yang layak dipercaya, pasal 1 angka 4 dari
RUU Pengadilan Tipikor menyatakan bahwa hak penuntutan ada
pada tangan kejaksaan, sedangkan KPK hanya berwenang pada
aspek penyidikan. Emerson Yuntho, aktivis Indonesian Corruption
Watch, sampai pada kesimpulan, “ada tiga pihak yang berhasrat
menggunting kewenangan KPK, yaitu: (1) anggota Dewan
yang berlatar belakang pengacara, (2) kejaksaan, (3) anggota
parlemen atau pribadi-pribadi yang sakit hati dan terancam
oleh KPK” (Tempo, 2009: 80). Ini artinya, pelan tetapi pasti KPK
lambat laun digiring ke pinggir untuk menjadi penonton terhadap
perselingkuhan penyelenggara negara nakal dengan pengusaha
kotor dalam melakoni drama “nikmatnya berkorupsi”.
Menghadapi kendala dan tantangan yang berat tersebut,
bukannya membuat KPK surut langkah. Sebagai pelaksana
undang-undang, KPK tetap konsisten dan fokus pada jalur yang
190 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

telah ditetapkan. Oleh karenanya KPK melakukan pemberantasan


korupsi secara proporsional dan profesional. Menurut Fahmi
(2009: 8), KPK menyadari bahwa mengubah perilaku manusia
dan sistem yang korup tidaklah semudah membalik telapak
tangan. Ada keyakinan kuat di kalangan orang-orang KPK bahwa
dengan kesungguhan dan upaya terus-menerus tanpa kenal lelah,
perubahan ke arah yang lebih baik niscaya akan dapat diraih.
Kerja keras KPK sejak dibentuknya tahun 2003 yang lalu
membuahkan hasil. Catatan indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia
pun dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pada tahun
awal dibentuknya KPK pada tahun 2003, indeks persepsi korupsi
Indonesia adalah 1,9. Angka ini berturut-turut naik, dari tahun
2004 hingga 2006, yaitu 2,0; 2,2 dan 2,4. Pada tahun 2007 turun
lagi menjadi 2,3 dan pada tahun 2008 naik lagi menjadi 2,6. Tahun
2009 naik lagi menjadi 2,8 dan tahun 2010 indeks persepsi korupsi
bertahan di angka 2,9. Pada tahun 2011 naik angkanya menjadi
3,0 dan tahun 2012 naik sedikit menjadi 3,2. Untuk mencapai IPK
3,2 yang angkanya belum terlalu signifikan bagi perkembangan
pemberantasan korupsi, membutuhkan waktu 9 tahun. Kuatnya
komitmen pemerintah reformasi dan menguatnya kelompok
masyarakat sipil, seharusnya IPK Indonesia bisa mencapai angka 5,0.
Namun demikian, naiknya IPK Indonesia meskipun tidak
terlalu besar, menandakan bahwa dibentuknya KPK tidaklah sia-
sia. Memang kenaikan IPK tersebut bukanlah prestasi semata-
mata KPK, tetapi paling tidak kehadiran KPK turut menyumbang
secara signifikan kenaikan IPK Indonesia akibat dari sikap KPK yang
sangat tegas dan tanpa kompromi melawan korupsi.Pada tahun
2005, KPK melaporkan telah menerima surat pengaduan adanya
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 191

dugaan korupsi dari masyarakat sebanyak 3.922 surat. Dari jumlah


tersebut, laporan yang telah ditelaah sebanyak 2.761 surat, yang
sedang ditelaah 1.161 surat, laporan yang ditindaklanjuti dari
hasil telaah sebanyak 1.063 surat, sedang direview 991 surat, dari
hasil tindak lanjut 207 surat diteruskan ke kepolisian, 438 surat
diteruskan ke kejaksaan, 111 surat diteruskan ke BPKP, 152 surat
diteruskan ke Irjen dan badan lain di luar BPKP, 31 surat diteruskan
ke BPK, 36 surat diteruskan ke MA, 88 surat diteruskan ke Bawasda,
dan 10 surat ditangani sendiri oleh KPK (Susilo, 2006: 97). Kinerja
KPK pada tahun 2007 menunjukkan hasil yang menggembirakan.
Hal ini dapat dicermati pada tabel di bawah ini.

Tabel 7. Laporan Masyarakat dan Gratifikasi yang


ditindaklanjuti oleh KPK
Nomor Hal Keterangan
1. Laporan Jumlah 15.861 laporan, 96,27% sudah
Masyarakat ditelaah. Dari jumlah tersebut, hanya
3000 laporan yang berindikasikan tipikor,
223 diproses lebih lanjut, dan sisanya
diteruskan kepada aparat lainnya.
2. Laporan Harta Dari total wajib lapor 111.759
Kekayaan penyelenggara negara, sebanyak 57,75%
Penyelenggara telah melaporkan harta kekayaannya.
Negara (LHKPN)
3. Laporan 129 laporan (termasuk parcel) masuk ke
Gratifikasi KPK. Jumlah yang dilaporkan Rp 1,4 miliar,
1.300 dollar AS, Sin $ 47.000, dan dalam
bentuk barang senilai Rp 331,4 juta. Dari
jumlah tersebut, Rp 829 juta, AS $ 650
dan Sin $ 47.000 ditetapkan sebagai milik
Negara.
192 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

4. Perkara KPK berhasil menyelesaikan penyidikan 26


kasus, sedang dalam tahap penyelidikan
35 kasus, yang digulirkan ke Pengadilan
Negeri 11 kasus, banding 1 kasus, dan
kasasi 11 kasus.
(Sudjana, 2008: 207).

Data lain menunjukkan keberhasilan KPK, terutama


menyangkut keberhasilan dalam menangani pengaduan
masyarakat, menangani kasus atau perkara tindak pidana korupsi,
menangani perkara TPK yang telah memiliki kekuatan hukum
tetap, dan keberhasilan dalam mengembalikan uang negara. Data
selengkapnya dapat dicermati pada grafik atau gambar berikut.

Sumber: (Handoyo, 2009)


Gambar 2. Penanganan Pengaduan Masyarakat
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 193

Sumber: (Handoyo, 2009)


Gambar 3. Penanganan Kasus/Perkara TPK

Sumber: (Handoyo 2009)


Gambar 4. Perkara TPK yang Berkekuatan Hukum Tetap (Inkracht)
194 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

Sumber: (Handoyo, 2009)


Gambar 5. Uang Negara Yang Berhasil Dikembalikan

Salah seorang karyawan KPK, Fahmi, melaporkan keberhasilan


KPK dalam menangani korupsi dan mengembalikan uang kepada
negara. Fahmi menginformasikan bahwa pada tahun 2008 KPK
berhasil menyelamatkan uang negara sebesar 600 miliar rupiah,
menangani tipikor senilai 406,38 miliar rupiah, menangani
gratifikasi sebesar 3,87 miliar rupiah, dan lainnya 190 miliar
rupiah (Fahmi, 2009: 16). Dalam kaitannya dengan penyelamatan
keuangan negara, secara akumulatif KPK berhasil menyelamatkan
potensi kerugian keuangan negara, sebagai berikut.
• Rp 1.969.904.438.000,00 dari penyelamatan potensi
kerugian negara sebagai akibat pengalihan hak Barang Milik
Negara (BMN) di 13 K/L, yaitu Depkumham, Depag, Setneg,
Perum Bulog, PT. KAI, BKKBN, Deplu, Depkes, Ditjen Pajak
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 195

Depkeu, Perum Pegadaian, Asuransi Jiwasraya, dan Unibraw


(Depdiknas).
• Rp 2.509.304.573.609,00 (USD216,173,218.33) dari
penyelamatan potensi kerugian keuangan negara pada sektor
migas, yaitu Rp 1.239.611.100,00 dari koreksi investment
credit dan Rp 1.269.693.473.609,00 dari penyetoran dana
Abandonment & Site Restoration ke Joint Account di bank
pemerintah

Dalam kaitannya dengan fungsi KPK dalam mempromosikan


praktik-praktik good governance di kalangan pemerintahan
dan reformasi pelayanan publik, terdapat perubahan yang
cukup signifikan dengan diterapkannya one stop service (OSS)
atau pelayanan satu atap di berbagai daerah. Awalnya hanya
beberapa daerah yang mempraktikkan, misalnya pemerintah
provinsi Gorontalo, pemerintah kota Riau, pemerintah kabupaten
Jembrana Bali dan pemerintah kabupaten Sragen. Tetapi dengan
keberhasilan 4 daerah tersebut memberikan pelayanan dan
meningkatkan kesejahteraan kepada masyarakat, akhirnya
praktik OSS diterapkan juga di berbagai daerah di seluruh
Indonesia dengan potensi dan ciri khas masing-masing. Dari
praktik good governance di berbagai daerah tertangkap kesan
adanya kompetisi sehat untuk memberikan layanan yang sebaik-
baiknya kepada masyarakat, misalnya waktu mengurus perizinan
yang makin pendek, pelayanan berbasis internet (on-line), serta
layanan pendidikan dan kesehatan gratis. Ini menunjukkan bahwa
kehadiran KPK meskipun hanya sebagai pemantik (trigger), telah
mampu mendorong terciptanya good governance dalam tubuh
pemerintahan di daerah.
196 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

Keberhasilan KPK lainnya yang dapat ditunjukkan kepada


publik adalah banyaknya pejabat eksekutif (mantan menteri,
pejabat departemen pemerintahan, gubernur, wali kota, bupati),
kalangan legislatif (anggota DPR dan DPRD), anggota KPU,
dan kalangan swasta yang diseret ke pengadilan karena akibat
perbuatannya melakukan tindak pidana korupsi. Berikut ini
dikemukakan beberapa kasus atau tindak pidana korupsi yang
dilakukan para pejabat di atas yang berhasil diungkap dan diajukan
ke meja pengadilan oleh KPK.

1. Mulyana Wira Kusuma (anggota KPU periode 1999-2004)


Dalam kapasitasnya sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum
(KPU), Mulyana Wira Kusuma telah terbukti melakukan tindak
pidana korupsi dalam dua kasus yang sama namun berbeda
kapasitas. Yang pertama adalah melakukan penyuapan kepada
auditor investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Khariansyah
Salman dan yang kedua, melakukan korupsi pengadaan kotak
suara pemilihan umum (Yuwono, 2008: 8). Akibat perbuatannya,
Mulyana divonis hukuman 2 tahun 7 bulan penjara karena terbukti
melakukan penyuapan kepada auditor investigatif BPK dan dijatuhi
hukuman 1 tahun 3 bulan karena terbukti melakukan korupsi
dalam pengadaan kotak suara pemilu. Dibekuknya Mulyana ini
menjadi titik awal diseretnya anggota-anggota KPU lainnya, seperti
Nazaruddin Sjamsudin, Rusadi Kantaprawira, Daan Dimara, Achmad
Rojadi, Bambang Budiarto, Safder Yusacc dan Hamdani Amin, yang
telah merampok harta negara untuk kepentingan pribadi.

2. Said Agil Husin Al Munawar


Said Agil, Menteri Agama Kabinet Gotong Royong 2001-2004
divonis hukuman 5 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 197

Pusat, karena terbuki korupsi dana BPIH senilai Rp 35,7 miliar dan
Dana Alokasi Umum 2002-2004 sebesar Rp 240,22 miliar (Harman,
2012).

3. Ahmad Sujudi
Ahmad Sujudi adalah mantan Menteri Kesehatan, yang divonis
2 tahun 3 bulan penjara atas kesalahannya menyalahgunakan
kewenangan dalam kasus alat kesehatan, karena penunjukan
langsung rekanan dan pengajuan usulan anggaran tambahan
senilai Rp 463 miliar (Harman, 2012). Pada tingkat banding,
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memutus hukumannya menjadi 4
tahun penjara.

4. Wafid Muharam
Wafid Muharam adalah mantan Sekretaris Menteri Pemuda
dan Olahraga, yang disangka KPK atas suap yang dilakukan sebesar
Rp 3,2 miliar untuk pemenangan tender PT. DGI dengan anggaran
pembangunan Rp 200 miliar (Harman, 2012).

5. Abdullah Puteh
Korupi yang dilakukan oleh Abdullah Puteh, Gubernur
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD), berawal dari pembelian
helikopter MI-2 merek PLC Rostov buatan Rusia. Dana yang
digunakan untuk membeli helikopter tersebut merupakan
patungan dari 13 kabupaten dan kota di Provinsi NAD yang
masing-masing menyumbang dana 700 juta rupiah. Korupsi yang
dilakukan oleh Puteh terkuak setelah terdapat selisih harga antara
pembelian helikopter terdahulu yang dilakukan oleh TNI-AL dan
helikopter yang dibeli oleh Pemerintah Provinsi NAD. Dengan
kualifikasi dan merek yang sama, TNI-AL membeli helikopter
198 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

seharga Rp 6,5 miliar, sedangkan Puteh membelinya dengan harga


dua kali lipat, yaitu Rp 12,6 miliar. Perbedaan harga tersebut
diselidiki KPK dan terbukti Puteh bersalah telah melakukan tindak
pidana korupsi. Itulah sebabnya, majelis hakim menyatakan Puteh
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana korupsi sebagaimana disebutkan dalam dakwaan primer
dan kepadanya dijatuhi pidana penjara 10 tahun dan denda
Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Selain itu, Puteh juga
dikenakan pidana tambahan berupa kewajiban untuk membayar
uang pengganti sebesar Rp 6,564 miliar. Pembayaran tersebut
harus dilakukan dalam waktu satu bulan setelah putusan hakim
berkekuatan hukum tetap.

6. Bambang Guritno
Bambang Guritno, Bupati Semarang, terbukti secara sah dan
meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana
diatur dalam pasal 3 juncto pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 dan
UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 55 ayat (1) KUHP. Ia ditahan
LP Ambarawa pada hari Senin, 28 Mei 2007 terkait perkara dugaan
korupsi pengadaan buku ajar SD/MI kabupaten Semarang tahun
2004 senilai Rp 3,95 miliar. Bambang terbukti menerima fee dari
tiga rekanan proyek pengadaan buku. Selain itu, rekanan juga
memberikan uang tanda terima kasih. Dalam pengadaan buku
tersebut diketahui ada mark-up. Total nilai proyek sesungguhnya
hanya Rp 2 miliar, digelembungkan hingga mencapai angka Rp 5,8
miliar (Yuwono, 2008: 45). Dari hasil audit BPKP, negara dirugikan
sebesar Rp 3,6 miliar.
Berkaitan dengan pemeriksaan terhadap Bambang tersebut,
Mendagri melalui SK Nomor 131.33/304/2007 memberhentikan
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 199

untuk sementara Bambang Guritno sebagai Bupati Semarang


agar dapat menjalani proses hukum secara baik. Siti Ambar
Fathonah, wakil bupati, berdasarkan SK tersebut, menggantikan
untuk sementara waktu sebagai pelaksana tugas dan kewajiban
sebagai Bupati Semarang. Selama pemberhentian sementara
tersebut, pemerintah kabupaten Semarang menarik kembali
rumah dinas, mobil dinas, dan fasilitas lain, termasuk ajudan
bupati. Atas kesalahan Bambang, majelis hakim memvonisnya
dengan hukuman penjara 2 tahun dipotong masa tahanan, denda
Rp 50 juta subsider 3 bulan, dan harus mengganti kerugian negara
sebesar Rp 321 juta.

7. Taufik Hidayat, Sjamsul Arifin, Sjamsul Qamar, Mahyani


Diris, Hayatus Solohin, dan Sayuti Enggok
Taufik Hidayat, ketua DPRD Banjarmasin bersama 5 orang
terdakwa lainnya diduga telah melakukan korupsi atas pembayaran
premi asuransi pribadi menggunakan dana APBD dari pos tak
terduga. Akibat perbuatan korupsi berjamaah tersebut, negara
dirugikan Rp 7,9 miliar. Untungnya dari tangan terdakwa berhasil
dikumpulkan uang sebesar Rp 4,6 miliar yang dapat dikembalikan
kepada negara. Meskipun demikian, Taufik dan kawan-kawan dijatuhi
hukuman penjara 1 tahun oleh pengadilann negeri setempat. Selain
itu, mereka dikenakan denda sebesar Rp 25 juta per orang. Hukuman
yang dijatuhkan kepada enam terdakwa, termasuk ketua DPRD
Banjarmasin, merupakan babak awal dari 17 orang mantan anggota
dewan yang semuanya terlibat dalam kasus korupsi tersebut.

8. Probosutedjo
Pada tanggal 22 April 2003, Majelis Hakim PN Jakpus
menjatuhkan vonis kepada Probosutedjo berupa hukuman
200 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

penjara 4 tahun (Yuwono, 2008: 59). Ia dinyatakan bersalah telah


melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus dana reboisasi Hutan
Tanaman Industri (HTI) seluas 50 ribu hektare yang dibangunnya
di Kalimantan. Nilainya mencapai Rp 100,9 miliar. Probo dinilai
tidak memenuhi kewajiban melakukan penanaman di atas lahan
proyek hutan tanaman industri di Kalimantan Selatan sesuai
dengan perjanjian, yaitu seluas 71.000 hektar sebagai realisasi
kerja dinilai melanggar perjanjian, sebab proyek HTI dibiayai oleh
negara melalui dana reboisasi, namun dari survei ditemukan lahan
terbuka tidak ada tanamannya seluas 29.675 hektare. Dana yang
tidak terpakai, oleh Probosutedjo disimpan dalam bentuk deposito
di Bank Exim dan Bank Jakarta. Kenakalan Probo bertambah dengan
menjual saham HTI kepada pihak asing, yaitu PT. Antof Singapore
Ltd., dan Shining Spring Resources, tanpa mengembalikan dulu
dana milik negara. Karena perbuatannya, negara dirugikan Rp 100,9
miliar. Atas kesalahannya, Probo diganjar hukuman penjara 4 tahun,
ditambah membayar denda Rp 30 juta.

9. Harini Wijoso
Harini Wijoso dinyatakan bersalah karena melakukan tindak
pidana korupsi dengan menyuap lima pegawai Mahkamah Agung,
yaitu Pono Waluyo, Sudi Ahmad, Sriyadi, Malam Pagi Sinuhadji,
dan Suhartoyo, sebesar Rp 5 miliar. Uang tersebut berasal dari
Probosutedjo, dimaksudkan untuk dapat mengubah keputusan
hakim atas hukuman yang dijatuhkan kepada Probosutedjo. Harini
dinyatakan secara sah bersalah karena berdasarkan pasal 5 ayat
(1) huruf a, pasal 6 ayat (1) huruf a, pasal 13 dan 15 UU Nomor
31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001, telah berusaha
memengaruhi para penyelenggara negara dengan cara memberi
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 201

hadiah kepada pejabat atau penyelenggara negara tersebut. Atas


kesalahan Harini, Majelis Hakim menjatuhkan vonis 4 tahun penjara
kepada Harini dan denda Rp 150 juta subsider 6 bulan kurungan.

10. Roesdihardjo dan Arihken Tarigan


Roesdihardjo adalah mantan Duta Besar RI untuk Malaysia,
sedangkan Ahriken adalah mantan Kepala Bidang Imigrasi KBRI Kuala
Lumpur. Mereka berdua didakwa bersekongkol melakukan tindakan
pungli dalam pengurusan keimigrasian WNI semenjak tahun 2004.
Pungli yang dilakukan oleh Roesdihardjo dan Ahriken bermula dari
ketika Ahriken memberikan informasi kepada Roesdihardjo bahwa
sejak tahun 1999 dalam pengurusan keimigrasian WNI diterapkan
tarif ganda berdasarkan SK Nomor 021/SK-DB/0799 tertanggal
20 Juli 1999. Sejak itulah, WNI yang mengurus surat keimigrasian
dikenakan tarif lebih tinggi, sedangkan yang disetor ke kas negara
sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) lebih rendah
sesuai dengan tarif aslinya. Uang sisa dari pembayaran pengurusan
surat keimigrasian tidak disetor ke negara, tetapi digunakan oleh
dua orang tersebut. Menurut penuturan Ahriken, dari hasil pungli
tersebut, setidaknya Roesdihardjo dapat mengantongi uang sebesar
Rp 100 juta per bulan.
Majelis hakim menyatakan bahwa keduanya terbukti bersalah
melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam pasal
3 dan 55 ayat (1) ke-1 UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor
20 tahun 2001 serta pasal 64 KUHP. Sampai dengan bulan Mei 2005,
Roesdihardjo telah mengantongi uang hasil pungli sebesar Rp 815,6
juta (Yuwono, 2008: 97). Atas kesalahan tersebut, Roesdihardjo
dijatuhi hukuman 2 tahun penjara, denda Rp 100 juta subsider
dua bulan kurungan, dan wajib membayar uang pengganti sebesar
202 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

Rp 815,6 juta. Sementara itu, Ahriken dijatuhi hukuman penjara 4


tahun, denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan, dan diwajibkan
membayar uang pengganti sebesar Rp 6,95 miliar.

11. Rokhmin Dahuri


Rokhmin Dahuri, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan
periode 2001-2004, ditahan karena terbukti secara sah telah
melakukan pungutan tidak sah selama kepemimpinannya. Dana
tidak sah dikumpulkan melalui 2 rekening Departemen Kelautan
dan Perikanan (DKP) sebesar Rp 31 miliar, yakni Rp 12 miliar
dipungut dari internal DKP dan Rp 19,7 miliar dari pihak eksternal
(Yuwono, 2008: 114). Atas kesalahannya, Rokhmin Dahuri dijatuhi
hukuman penjara 7 tahun.

12. Hendy Boedoro


Mantan Bupati Kendal ini dihukum penjara selama 7 tahun
karena terbukti melakukan korupsi APBD kabupaten Kendal
tahun 2003-2005, yang merugikan keuangan negara (Konstan,
2012). Selain dipenjara, Hendy juga diwajibkan membayar uang
pengganti kerugian keuangan negara sebesar Rp 13 miliar.

13. Miranda Goeltom


Miranda Goeltom atau nama lengkapnya adalah Miranda Swaray
Goeltom adalah mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia,
yang juga guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Miranda yang ditahan KPK dan dijadikan tersangka sejak 26 Januari
2012, diduga turut membantu Nunun Nurbaetie menyuap sejumlah
anggota parlemen dengan traveller’s cheque. Tujuannya adalah agar
Miranda terpilih sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.
Nunun sendiri telah dinyatakan terbukti bersalah dan divonis hakim
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 203

dengan hukuman penjara dua setengah tahun (Gatra, 2012).


Meskipun berdalih tidak mengulangi perbuatan, tidak
menghilangkan barang bukti, dan tidak melarikan diri, Miranda
tidak bisa mengelak dari dakwaan karena pada tahun 2011,
sebanyak 26 anggota DPR dari Fraksi PDIP, Golkar, PPP, dan TNI/
Polri telah dinyatakan terbukti bersalah oleh hakim karena
menerima suap berkaitan dengan kasus Miranda (Gatra, 2012).

14. Satono
Satono adalah Bupati Lampung Timur nonaktif, yang divonis
hakim 15 tahun penjara. Pelaku dinyatakan bersalah, karena telah
melakukan tindak pidana korupsi APBD kabupaten Lampung Timur
sebesar Rp 119 miliar (Konstan, 2012). Selain dihukum penjara,
Satono juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 500 juta
subsider enam bulan kurungan dan uang pengganti Rp 10 miliar.

15. Mochtar Mohammad


Mochtar Mohammad merupakan wali kota Bekasi nonaktif,
oleh Mahkamah Agung majelis kasasi dinyatakan terbukti bersalah
melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama yang
merugikan keuangan negara, sehingga harus mendekam di hotel
prodeo selama enam tahun (Konstan, 2012). Atas kesalahannya,
Mochtar juga diwajibkan membayar denda Rp 300 juta subsider
enam bulan kurungan bila denda tersebut tidak dibayar. Selain itu,
Mochtar diwajibkan pula membayar uang pengganti sebesar Rp
639 juta.

16. M. Yaeni
M. Yaeni adalah ketua DPRD nonaktif kabupaten Grobogan
yang menjadi terdakwa kasus korupsi pemeliharaan mobil
204 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

dinas DPRD. Ia ditahan oleh Kejari Purwodadi pada tanggal 23


Februari 2012 di Lapas Kedungpane Semarang. M. Yaeni diduga
telah memakai Rp 609 juta dari anggaran pemeliharaan mobil
dinas tahun 2005-2006 dan anggaran 2007-2008. Pembelian
asesoris dan perawatan mobil pribadi yang mengantarkan M.
Yaeni ke Lapas Kedungpane diduga menggunakan anggaran DPRD
Grobogan. BPKP Jateng menghitung kerugian negara kurang lebih
Rp 1,95 miliar.

17. Soemarmo
Soemarmo adalah wali kota Semarang yang disangka telah
melakukan penyuapan terhadap anggota DPRD kota Semarang,
dengan tujuan untuk memperlancar pembahasan RAPBD kota
Semarang tahun 2012 (Konstan, 2012). Atas dugaan kesalahan
tersebut, Soemarmo ditahan oleh KPK di rumah tahanan KPK di
Jakarta. Selain Soemarmo, ditahan pula mantan Sekda Semarang
Akhmad Zaenuri dan dua anggota DPRD, Agung Purna Sarjono dan
Sumartono.

18. Wa Ode Nurhayati


Wa Ode Nurhayati, politikus dari Partai Amanat Nasional
dituntut penjara 14 tahun, karena telah menerima uang suap dari
Fahd A. Rafiq, ketua Angkatan Muda Partai Golkar dan dituntut 10
tahun penjara karena melakukan pencucian uang sebesar Rp 50,5
miliar di rekeningnya sendiri (Tempo, 2012).

19. Muhamad Nazaruddin


Muhamad Nazaruddin adalah mantan bendahara DPP
Demokrat di bawah kepemimpinan Anas Urbaningrum. Ia
dinyatakan bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor atas
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 205

kasus suap Wisma Atlet, sehingga ia dijatuhi hukuman 4 tahun 10


bulan penjara serta denda Rp 200 juta subsider 4 bulan kurungan.
Melalui Nazaruddin inilah kasus proyek Hambalang terkuak. Tidak
hanya ia dan Angie yang dihukum. Istrinya, Neneng Sri Wahyuni
serta mantan Menpora Andi Malarangeng dan Anas Urbaningrum
mantan ketua DPP Demokrat juga ikut tersandung karena kasus
proyek Hambalang.

20. Angelina Sondakh


Angelina Sondakh (Angie) adalah anggota DPR dari fraksi
Demokrat, yang dijatuhi hukuman penjara 4,5 tahun oleh
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Januari 2013.
Dia dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan menerima
suap dari perusahaan terdakwa suap Wisma Atlet SEA Games
Muhammad Nazaruddin, Rp 12,5 miliar, karena mengupayakan
alokasi anggaran proyek di dua kementerian tersebut. Angie
diwajibkan membayar denda Rp 500 juta subsider enam bulan
kurungan. Selain itu, Angie juga diwajibkan membayar uang
pengganti sebesar Rp 12 miliar dan USD 2.000.

21. Lukman Abas


Lukman Abas adalah mantan Kepala Dinas Pemuda dan
Olahraga (Dispora) Riau, dituntut hukuman 8 tahun penjara dalam
persidangan tindak pidana korupsi di Pengadilan Negeri Pekanbaru
pada hari Kamis, tanggal 21 Februari 2013. Atas kesalahannya,
Lukman juga diwajibkan membayar denda Rp 300 juta subsider
kurungan selama 4 bulan (Kompas, 22 Februari 2013). Hukuman
tersebut pantas diterima Lukman, karena ia memiliki peran besar
dalam kasus dugaan suap Pekan Olahraga Nasional sebesar Rp
206 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

900 juta. Uang tersebut digunakan untuk menyuap anggota


DPRD dengan maksud memuluskan revisi Perda Riau Nomor 6
Tahun 2010 dan Perda Nomor 5 Tahun 2008 tentang Penambahan
Anggaran Pembangunan Arena PON.
Jumlah tersangka korupsi yang berhasil ditangkap dan diseret
KPK ke meja hijau tentu lebih banyak dari yang telah ditulis di
atas, mulai dari pejabat tingkat atas hingga pegawai level bawah.
Mantan Menpora, Andi Malarangeng dan Anas Urbaningrum,
ketua DPP Partai Demokrat, disebut-sebut terlibat dalam proyek
Hambalang yang penuh dengan aroma korupsi. Karena dijadikan
tersangka oleh KPK, Andi Malarangeng mengundurkan diri sebagai
Menpora; sedangkan Anas Urbaningrum menyatakan mundur
sebagai ketua Partai Demokrat sesaat setelah ia dinyatakan
sebagai tersangka. Kolega Anas, ketua Partai Keadilan Sejahtera,
Lutfi Hasan, juga diselidiki oleh KPK karena diduga melakukan
korupsi impor daging sapi. Atas dugaan tersebut, Lutfi Hasan
mengundurkan diri dari posisinya sebagai ketua PKS. Demikian
pula, Inspektur Djoko Susilo, petinggi POLRI, dijadikan tersangka
atas dugaan korupsi pengadaan mesin simulator kemudi untuk
SIM (Tempo, 2012). Atas kesalahannya, Djoko Susilo diberhentikan
dari tugasnya dan beberapa aset miliknya yang ditengarai hasil
korupsi disita oleh KPK.
Hampir semua lapisan, instansi pemerintah, swasta, di dalam
negeri maupun di luar negeri tidak luput dari bidikan KPK. Bahkan
Aulia Pohan, pejabat Bank Indonesia yang juga besan Presiden SBY
berhasil dijebloskan ke penjara. Ini artinya, KPK mampu menembus
dinding tebal hukum untuk memasukkan para pelaku korupsi siapa
pun dia ke balik jeruji besi. Masa reformasi di mana KPK menjadi
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 207

salah satu pengawalnya, berhasil menjungkirbalikkan pandangan


pelaku korupsi bahwa di negeri Indonesia saat ini koruptor bebas
berkeliaran. KPK berhasil menjebol pandangan tersebut, sehingga
di negeri ini tidak ada lagi orang yang kebal hukum.

F. Rangkuman

Setiap negara di dunia memiliki suatu komisi atau badan yang


bertugas melakukan pemberantasan korupsi. Beberapa lembaga
antikorupsi yang sukses, seperti ICAC di Hongkong dan lembaga
antikorupsi di Denmark, Finlandia, Selandia Baru, dan Singapura,
terbukti mampu menekan angka korupsi. Bahkan negara-negara
yang disebut tersebut memiliki indeks persepsi yang bagus. Itu
artinya, korupsi di negara-negara tersebut tergolong rendah.
Indonesia memiliki lembaga antikorupsi, yang disebut dengan
Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK). Lembaga ini diatur dalam
Undang-undang Nomnor 20 Tahun 2002. Dalam pasal 3 UU Nomor
30 Tahun 2002, KPK berkedudukan sebagai lembaga negara
yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat
independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. KPK
dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil
guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, KPK berasaskan
pada nilai-nilai kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas,
kepentingan umum, dan proporsionalitas.
Berdasarkan kedudukannya, KPK mempunyai lima tugas
pokok, yaitu: (1) koordinasi dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, (2) supervisi
terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
208 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

tindak pidana korupsi, (3) melakukan penyelidikan, penyidikan,


dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, (4) melakukan
tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan (5)
melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan
negara.
Sejak kelahirannya hingga saat ini, KPK telah berhasil
melakukan tugas memberantas korupsi. Miliaran rupiah uang hasil
korupsi berhasil disita dari para koruptor dan dikembalikan kepada
negara. Para koruptor yang berhasil ditangkap dan dijebloskan ke
penjara sudah banyak. Mereka tidak hanya berasal dari kalangan
partai politik dan para pengusaha, tetapi juga para pejabat di
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Jika pada masa orde baru
tabu untuk menyidik koruptor dari kalangan pejabat, pada masa
reformasi sejak kehadiran KPK, banyak tahanan dan tersangka
korupsi yang berasal dari pejabat tingkat tinggi, seperti menteri,
anggota parlemen, jaksa, hakim, gubernur, bupati, dan wali kota.
Kehadiran KPK meskipun banyak yang menyangsikan
kemampuannya, tetap diperlukan oleh negara ini, guna
memberikan pemantik api bagi gerakan melawan korupsi betapa
pun kecilnya.
BAB IX
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM
PEMBERANTASAN KORUPSI

K
PK menyadari bahwa sumber daya dan infrastruktur yang
mereka miliki tidak memungkinkan untuk menggarap semua
kasus korupsi yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Jumlah
hakim pengadilan khusus tindak pidana korupsi juga relatif sangat
kurang. Kondisi ini tentu berimplikasi pada sedikitnya kasus korupsi
yang dapat ditangani oleh KPK dibandingkan jumlah kasus yang
masuk ke KPK atau jumlah pengaduan dari masyarakat. Kinerja
KPK tahun 2008 menunjukkan hal ini. Pengaduan dari masyarakat
mengenai korupsi ada 8.000 kasus, yang diselidiki 70 kasus
dengan penuntutan 7 kasus diputuskan mempunyai kekuatan
hukum tetap dan 21 kasus telah dieksekusi (Fahmi, 2009:17). Dari
kasus yang berhasil ditangani KPK tersebut tidaklah sebanding
dengan jumlah kasus yang masuk ke KPK. Itu artinya, kepercayaan
masyarakat terhadap KPK cukup tinggi terlihat dari jumlah kasus
yang cukup besar, tetapi di sisi lain sumber daya KPK yang relatif
kecil belum mampu menangani kasus yang banyak tersebut.
Karena kondisi inilah, dalam bidang penindakan, KPK memilih
untuk mengefektifkan koordinasi dan supervisi dengan kejaksaan
dan kepolisian untuk memastikan bahwa penyelidikan, penyidikan,

209
210 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

dan penuntutan telah berjalan sebagaimana mestinya (Fahmi,


2009: 18). Namun dalam hal melakukan pencegahan korupsi,
KPK menyadari tidak mampu melakukannya sendirian. Itulah
sebabnya, KPK harus menggandeng tangan semua komponen
bangsa ini, terutama dari kalangan swasta dan masyarakat.

A. Hak dan Tanggung Jawab Masyarakat

Partisipasi masyarakat sangat diperlukan dalam upaya


pemberantasan korupsi. Sebagai pihak eksternal, kehadiran
masyarakat sangat dibutuhkan, sebab biasanya mata luar
lebih awas daripada mata yang ada di dalam. Oleh karena itu,
pemberdayaan masyarakat merupakan strategi kunci bagi upaya
pemberantasan korupsi (Sudjana, 2008: 168). Masyarakat yang
berdaya dapat melakukan kontrol secara efektif terhadap lembaga
negara yang bertugas memberantas korupsi. Bahkan masyarakat
dapat menjadi mitra strategis bagi lembaga antikorupsi dalam
melakukan kegiatan pencegahan dan penindakan terhadap pelaku
korupsi. Mengapa masyarakat perlu dilibatkan dalam upaya
pemberantasan korupsi. Hal ini beralasan, karena masyarakat
pun memiliki kontribusi dan memberikan peluang bagi tumbuh
suburnya korupsi. Seperti dikatakan Pope (2007: 59), kegiatan-
kegiatan publik tidak dilakukan dalam situasi vakum. Masyarakatlah
yang sering memberi suap. Titik singgung antara sektor swasta
dan sektor publik juga sering menjadi tempat terjadinya korupsi
dan suap-menyuap. Contoh yang paling telanjang adalah
penyuapan yang dilakukan oleh pengendara motor atau mobil
kepada polisi lalu lintas ketika mereka melakukan pelanggaran
lalu lintas. Upaya antikorupsi tanpa melibatkan masyarakat, akan
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 211

sia-sia karena masyarakat merupakan salah satu pendukung


yang paling berpotensi dan ampuh dalam memberantas korupsi.
Itulah sebabnya, pemerintah juga memiliki kewajiban turut
memberdayakan masyarakat agar mereka semakin sadar dan
tidak terlibat korupsi (Sudjana, 2008: 171).
Partisipasi atau keikutsertaan masyarakat dalam upaya
pemberantasan korupsi memiliki landasan hukum yang jelas.
Partisipasi tersebut tidak hanya diatur dalam UU Korupsi, tetapi
juga diatur dalam UU tentang Penyelenggara Negara. Dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme
dijelaskan bahwa peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan
negara merupakan hak dan tanggung jawab masyarakat untuk
ikut mewujudkan penyelenggara negara yang bersih. Dalam pasal
9 ayat (1) UU tersebut disebutkan bahwa peran serta masyarakat
untuk mewujudkan penyelenggara negara yang bersih diwujudkan
dalam bentuk:
1. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi
tentang penyelenggara negara;
2. Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari
penyelenggara negara;
3. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung
jawab terhadap kebijakan penyelenggara negara;
4. Hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal:
melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam nomor
1, 2, dan 3 serta diminta hadir dalam proses penyelidikan,
penyidikan, dan di siding pengadilan sebagai saksi pelapor,
saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan
212 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

perundang-undangan yang berlaku (Direktorat Pembinaan


Jaringan Kerjasama Antar Komisi dan Instansi KPK, 2006: 156).

Dalam kaitannya dengan upaya pemberantasan korupsi,


peran serta masyarakat diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Peran tersebut diwujudkan dalam bentuk:
1. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi
adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;
2. Hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari,
memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan
telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum
yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
3. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung
jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara
tindak pidana korupsi;
4. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang
laporan yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari;
5. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal: (a)
melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam angka
1, 2, 3, dan (b) diminta hadir dalam proses penyelidikan,
penyidikan, dan di siding pengadilan sebagai saksi pelapor,
saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (KPK, t.th.: 67).

Peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi diatur


lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000
tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dan
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 213

Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan


Tindak Pidana Korupsi. Dalam PP tersebut, yang dimaksud peran
serta masyarakat adalah peran aktif perorangan, organisasi
masyarakat, atau lembaga swadaya masyarakat dalam pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Menurut PP tersebut, setiap orang, organisasi masyarakat,
atau lembaga swadaya masyarakat berhak mencari, memperoleh,
dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak
pidana korupsi. Masyarakat juga berhak dan bertanggung jawab
menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum
atau KPK mengenai adanya tindak pidana korupsi. Penyampaian
informasi, saran, dan pendapat atau permintaan informasi harus
dilakukan secara bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, norma agama, kesusilaan, dan
kesopanan. Informasi, saran, atau pendapat dari masyarakat harus
disampaikan secara tertulis, disertai dengan: (a) data mengenai
nama dan alamat pelapor, pimpinan organisasi masyarakat, atau
pimpinan lembaga swadaya masyarakat dengan melampirkan foto
kopi kartu tanda penduduk atau identitas diri lain, (b) keterangan
mengenai dugaan pelaku tindak pidana korupsi dilengkapi dengan
bukti-bukti permulaan (KPK, t.th.: 120). Setiap informasi, saran,
atau pendapat dari masyarakat harus diklarifikasi dengan bukti-
bukti permulaan.
Ketentuan di atas menyangkut partisipasi masyarakat dalam
hal mencari, memperoleh, dan memberikan informasi, saran, dan
pendapat tentang dugaan adanya tindak pidana korupsi. Ketentuan
mengenai hak dan tanggung jawab masyarakat dalam memperoleh
pelayanan dan jawaban dari penegak hukum, diatur dalam pasal
214 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

4 PP tersebut. Dalam pasal 4 tersebut diatur bahwa setiap orang,


organisasi masyarakat, atau lembaga swadaya masyarakat berhak
memperoleh pelayanan dan jawaban dari penegak hukum atau
KPK atas informasi, saran, atau pendapat yang disampaikan kepada
penegak hukum atau komisi. Penegak hukum atau komisi wajib
memberikan jawaban secara lisan atau tertulis atas informasi,
saran, atau pendapat dari setiap orang, oranisasi masyarakat, atau
lembaga swadaya masyarakat dalam waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal informasi, saran atau pendapat
tersebut diterima. Dalam hal tertentu, penegak hukum atau
komisi dapat menolak memberikan isi informasi atau memberikan
jawaban atas saran atau pendapat yang disampaikan perorangan,
organisasi masyarakat, atau lembaga swadaya masyarakat, sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Setiap orang, organisasi masyarakat, atau lembaga swadaya
masyarakat dalam partisipasinya berhak atas perlindungan hukum,
baik mengenai status hukum maupun rasa aman. Perlindungan
mengenai status hukum tersebut tidak diberikan apabila dari
hasil penyelidikan atau penyidikan terdapat bukti yang cukup,
yang memperkuat keterlibatan pelapor dalam tindak pidana
korupsi yang telah dilaporkannya. Perlindungan hukum juga tidak
diberikan tatkala pelapor dikenakan tuntutan dalam perkara lain.
Namun demikian, kerahasiaan dan rasa aman diberikan kepada
pelapor yang murni bersih dari perkara korupsi.
Dalam pasal 6 ayat (1) dinyatakan, “penegak hukum atau
komisi wajib merahasiakan kemungkinan dapat diketahuinya
identitas pelapor atau isi informasi, saran, atau pendapat
yang disampaikan” (KPK, t.th.: 121). Selanjutnya dalam ayat
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 215

(2) disebutkan, “apabila diperlukan, atas permintaan pelapor,


penegak hukum atau komisi dapat memberikan pengamanan fisik
terhadap pelapor maupun keluarganya.”
Agar peran serta masyarakat berjalan efektif, maka partisipasi
tersebut harus dilakukan dengan berbagai cara, misalnya
dengan menciptakan koalisi strategis antar-elemen masyarakat.
Sejumlah tokoh masyarakat dan figur dari berbagai kalangan yang
berpengaruh, seperti pekerja seni, artis, musisi, guru, dosen,
pekerja sosial, pendeta, ulama, mahasiswa, dan tokoh-tokoh
masyarakat lainnya dapat bekerjasama untuk menjadi kekuatan
penekan (pressure power) terhadap keseriusan pemerintah
dalam memberantas korupsi atau setidaknya sebagai kekuatan
sipil dalam mengembangkan benih-benih perilaku antikorupsi
yang dalam jangka panjang dapat menciptakan generasi dan
masyarakat berbudaya antikorupsi.

B. Pemberian Penghargaan

Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun


1999, pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota
masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan,
pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi
(Direktorat Pembinaan Jaringan Kerjasama Antar Komisi dan
Instansi KPK, 2006: 149).
Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 71
Tahun 2000, setiap orang, organisasi masyarakat, atau lembaga
swadaya masyarakat yang telah berjasa dalam usaha membantu
upaya pencegahan atau pemberantasan tindak pidana korupsi
berhak mendapat penghargaan. Penghargaan tersebut berupa
216 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

premi atau piagam. Dalam pasal 9 Peraturan Pemerintah tersebut,


besar premi ditetapkan paling banyak sebesar dua permil dari nilai
kerugian keuangan negara yang dikembalikan. Premi diberikan
kepada pelapor setelah putusan pengadilan yang memidana
terdakwa memperoleh kekuatan hukum tetap. Penyerahan premi
dilakukan oleh Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk. Sementara
itu, piagam diberikan kepada pelapor setelah perkara dilimpahkan
ke Pengadilan Negeri (pasal 10). Penyerahan piagam tersebut
dilakukan oleh penegak hukum atau KPK.
Pemberian penghargaan kepada masyarakat yang berjasa
baik dalam kegiatan penindakan maupun pencegahan, tentu
saja tidak terbatas pada apa yang telah diatur dalam Peraturan
Pemerintah tersebut di atas. KPK bisa mengembangkan 1.001 cara
untuk mendorong masyarakat agar membantu pemerintah dan
KPK dalam memberantas korupsi. Misalnya dengan memberikan
penghargaan melalui ajang KPK Award. Kategori penghargaan
dapat bervariasi, misalnya kategori anggota Dewan terbersih,
menteri terbersih, gubernur terbersih, bupati atau wali kota
terbersih, guru terjujur, dosen terjujur, pengusaha terjujur, LSM
antikorupsi tergiat, pokja antikorupsi perguruan tinggi tergiat,
dan sebagainya. Dengan pemberian penghargaan tersebut, akan
mendorong mereka yang bekerja tanpa pamrih tersebut untuk
berbuat lebih baik dan lebih banyak lagi kepada nusa, bangsa,
dan negara. Yang paling penting pula adalah sel-sel antikorupsi
tetap hidup dan bermutasi lebih banyak lagi menyebarkan virus
antikorupsi di semua lapisan masyarakat.
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 217

C. Rangkuman

Korupsi terjadi di berbagai bidang dan berbagai level


masyarakat, sehingga dalam pemberantasannya tidak hanya
menjadi tanggung jawab pemerintah, utamanya lembaga penegak
hukum dan keadilan, tetapi juga harus didukung oleh seluruh
lapisan masyarakat. Masyarakat dapat menjadi mitra strategis bagi
lembaga antikorupsi dalam melakukan kegiatan pencegahan dan
penindakan terhadap pelaku korupsi. Masyarakat perlu dilibatkan
dalam upaya pemberantasan korupsi, karena masyarakat memiliki
kontribusi dan memberikan peluang bagi tumbuh suburnya
korupsi. Hal ini dapat dipahami karena masyarakat juga menjadi
pelaku dan lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya
korupsi. Tidak jarang masyarakatlah yang sering memberi suap.
Titik singgung antara sektor swasta dan sektor publik juga sering
menjadi tempat terjadinya korupsi dan suap-menyuap. Contoh
yang paling telanjang adalah penyuapan yang dilakukan oleh
pengendara motor atau mobil kepada polisi lalu lintas ketika
mereka melakukan pelanggaran lalu lintas. Upaya antikorupsi
tanpa melibatkan masyarakat, akan sia-sia karena masyarakat
merupakan salah satu pendukung yang paling berpotensi dan
ampuh dalam memberantas korupsi. Itulah sebabnya, pemerintah
juga memiliki kewajiban turut memberdayakan masyarakat agar
mereka semakin sadar dan tidak terlibat korupsi.
BAB X
BELAJAR DARI ORANG-ORANG BERSIH

D
alam bab ini akan dipaparkan profil orang-orang bersih atau
tokoh-tokoh pemerintahan yang dapat diteladani, tidak
dalam arti apakah mereka benar-benar bersih dari tindakan korupsi
dan perilaku koruptif, tetapi utamanya dilihat dari sejauhmana
peran mereka sebagai pemimpin daerah atau masyarakat dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Tokoh-tokoh yang
dapat diteladani, di antaranya adalah Joko Widodo, mantan wali
kota Surakarta; Tri Rismaharini, wali kota Surabaya; Yusuf Wally,
bupati Keerom; La Tinro La Tunrung, bupati Enrekang; Amran
Nur, bupati Sawahlunto; Muda Mahendrawan, bupati Kubu Raya;
Abdul Kholiq Arif, bupati Wonosobo; dan Herman Sutrisno, wali
kota Banjar.

A. Joko Widodo (Jokowi)

Joko Widodo atau yang akrab dipanggil Jokowi, lahir di Solo


Jawa Tengah pada tanggal 21 Juni 1961. Jokowi bukan berasal
dari keluarga kaya atau keturunan pejabat. Masa kecilnya penuh
dengan perjuangan. Semula orang tua Jokowi tinggal di kampung
Srambatan Banjarsari Solo, tetapi karena pada tahun 1965
Bengawan Solo meluap dan merendam hampir sepertiga wilayah

218
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 219

Solo termasuk kediaman orang tua Jokowi, maka Jokowi beserta


orang tua pindah ke daerah Pasar Kayu dan Bambu di Gilingan
Banjarsari Solo. Dari sinilah orang tua Jokowi memulai usaha
berjualan kayu (Wijoyo, 2012).
Ketika Jokowi duduk di bangku kelas IV SD, keluarganya pindah
numpang di rumah keluarga Miyono, kakak kandung ibunda Jokowi.
Namun genap satu tahun, keluarga Jokowi pindah lagi ke rumah
baru di Jalan Ahmad Yani dekat Manahan Solo. Keluarga Jokowi
hidup pas-pasan. Ayahnya, Notomiharjo menghidupi keluarganya
dari usaha mebel. Dari orang tuanya inilah Jokowi belajar tentang
perkayuan, yang kelak membawanya menjadi eksportir mebel.
Untuk mengikuti jejak ayahnya, selepas SMA Jokowi
meneruskan kuliah di UGM Yogyakarta dengan mengambil
program studi Teknologi Kayu di Fakultas Kehutanan. Sebelum
menjadi eksportir kayu, Jokowi sempat bekerja di PT. Kertas Kraft
Aceh. Sepulang dari Aceh, Jokowi bekerja pada perusahaan kayu
milik pamannya. Di CV. Roda Jati, perusahaan kayu milik pamannya
ini, Jokowi langsung diangkat menjadi direktur. Setelah satu tahun
bekerja di perusahaan pamannya, Jokowi membuka usaha sendiri.
Berbekal modal Rp 80 juta dan mobil pick-up pinjaman pamannya
Jokowi memulai usaha kayu. Jokowi mendirikan CV. Rakabu untuk
memayungi usaha permebelannya (Thayrun, 2012). Awal mulanya,
ia hanya mempunyai satu pabrik dengan sedikit karyawan. Setelah
jatuh bangun, usaha Jokowi berkembang. Pabriknya yang semula
hanya 1 berkembang menjadi 8; dan jumlah karyawan yang
semula hanya 3 orang meningkat menjadi 1200 orang (Thaiyun,
2012). Delapan pabrik itu terletak di Surakarta, Sragen, Boyolali,
dan Sukoharjo.
220 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

Berkat bantuan dan fasilitasi dari Perusahaan Gas Negara,


Jokowi berhasil mengekspor mebel ke berbagai negara, seperti
Singapura, dan beberapa negara di Eropa, Amerika, dan Timur
Tengah. Kesuksesannya sebagai eksportir mebel, membuat Jokowi
dipercaya menjadi ketua Asosiasi Mebel dan Industri Kerajinan
Indonesia (Asmindo) Surakarta periode 2002-2007.
Kesuksesan Jokowi membuat DPC PDIP meminang dirinya
untuk berpasangan dengan FX. Hadi Rudyatmo sebagai calon wali
kota dan wakil wali kota Surakarta untuk maju dalam pilkada tahun
2005. Jokowi bersedia menerima pinangan tersebut, setelah ibunya
memberi restu. Jika pasangan lain berlomba-lomba memasang
gambar billboard sebanyak-banyaknya, ia dan Hadi Rudyatmo
berkampanye secara sederhana yaitu mendatangi warga kota Solo
(door to door) dengan menawarkan visi dan misinya, utamanya
visi ekonomi kerakyatan. Selain itu, pasangan Jokowi dan FX. Hadi
Rudyatmo juga menawarkan tiga hal dalam kampanyenya, yaitu
perbaikan kesehatan, pendidikan dan penataan kota (Taufani,
2012). Dalam pilkada tersebut, pasangan Jokowi dan FX. Hadi
Rudyatmo berhasil menjadi pemenang dengan perolehan suara
lebih dari 37% (Wijoyo, 2012; Thaiyun, 2012).
Kemenangan Jokowi ini tidak disangka-sangka, mengingat
Jokowi tidak mempunyai persiapan apa pun untuk menjadi wali
kota. Maju sebagai wali kota saja karena ia didorong teman-
temannya di Asmindo. Baginya, menjadi wali kota merupakan
sebuah kecelakaan (Wijoyo, 2012), tetapi tentu merupakan
kecelakaan manis.
Memimpin sebuah kota merupakan hal baru bagi Jokowi.
Pada awal jabatannya, banyak pihak meragukan kemampuannya,
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 221

karena selama ini Jokowi tidak memiliki rekam jejak pada bidang
birokrasi pemerintahan. Kalau dilihat secara fisik pun, pak
Jokowi tidak memiliki postur yang meyakinkan sebagai wali kota.
Tubuhnya kurus, kerempeng, dan kering, yang tidak menunjukkan
kewibawaan sama sekali. Bahkan beberapa kali dalam sebuah
acara, Jokowi mengeluh pada petugas protokoler dan sekretariat
kantor wali kota, karena ia sering tidak diperlakukan seperti
halnya seorang wali kota. Anak buah Jokowi, yaitu Suryadi yang
lebih ganteng, gagah, dan tubuh atletis, justru yang acap kali
diperlakukan seperti seorang wali kota. Lantaran postur tubuh
Suryadi tersebut, tidak jarang tamu dan warga masyarakat
menyalami lebih dulu Suryadi ketimbang Jokowi, karena mengira
Suryadi adalah wali kota Surakarta. Itulah sebabnya, Jokowi minta
agar anak buahnya diganti supaya tidak menyaingi dirinya sebagai
wali kota. “saya senang usul saya diterima, ajudan saya tidak
seganteng saya”, cetus pak Jokowi.
Meskipun semula diragukan kemampuannya, Jokowi
menunjukkan gebrakan luar biasa, yang menjadikan kota Surakarta
menjadi salah satu kota yang diperhitungkan tidak hanya pada
tingkat Indonesia, tetapi juga pada level dunia. Gebrakan pertama
adalah pembenahan sistem pembuatan kartu tanda penduduk
(KTP), yakni dengan melakukan pemangkasan waktu pembuatan
KTP dari dua minggu menjadi hanya satu jam (Wijoyo, 2012;
Taufani, 2012). Pembuatan KTP ini merupakan program tiga bulan
pertama ia memimpin kota Surakarta.
Dalam hal perizinan, Jokowi juga melakukan reformasi, dari
yang semula memakan waktu 6 hingga 8 bulan, diperpendek
menjadi enam hari. Reformasi yang dilakukan Jokowi tidak mudah
222 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

dilakukan. Sikap resisten dan menentang kebijakan tersebut


datang dari lurah, camat, bahkan juga kepala dinas. Lurah dan
camat yang tidak sejalan dengan kebijakan tersebut dicopot oleh
Jokowi. Bahkan di sektor pelayanan perizinan tersebut, Jokowi
juga sempat mengganti kepala dinas hingga dua kali.
Sebagaimana visi dan misinya saat disampaikan dalam
kampanye, Jokowi juga melakukan penataan kota. Belajar dari kota-
kota di Eropa yang pernah dikunjungi Jokowi tatkala melakukan
perjalanan dalam rangka bisnis mebelnya, Jokowi merapikan kota,
memperindah kota dengan taman-taman, menyediakan hotspot
di jalan protokol, dan merelokasi para pedagang kaki lima (PKL)
yang selama ini membuat ruwet dan tidak indah kota Surakarta.
Jokowi terkenal sebagai wali kota pedagang kaki lima (PKL),
karena kedekatannya dengan para pedagang kecil. Aspirasi warga
masyarakat Surakarta agar kota ini bersih dan indah serta bebas
dari PKL, ditanggapi Jokowi dengan kepala dingin. Jokowi memiliki
strategi khusus dalam menata PKL di Surakarra. Tidak seperti halnya
kepala daerah lain yang main gusur dan tidak memedulikan lagi
nasib para PKL, Jokowi menggunakan pendekatan kemanusiaan
dan kebudayaan dalam menangani persoalan PKL. Komunikasi yang
digunakan Jokowi dalam merelokasi PKL adalah lobi meja makan
(Taufani, 2012). Para koordinator PKL Monjari yang akan dipindah
ke Notoharjo diundang dan diajak makan di Loji Gandrung, rumah
dinas wali kota. Hingga pertemuan ke-53, Jokowi belum satu
kalimat pun menyebut tentang relokasi PKL. Baru pertemuan ke-
54, Jokowi mengutarakan niatnya untuk merelokasi PKL Monjari
ke Notoharjo. Di luar dugaan, tidak ada satu pun tokoh PKL yang
menolak keinginan wali kota.
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 223

Relokasi PKL Monjari dilakukan Jokowi dengan sangat


cermat. Semua direncanakan dengan baik, mulai dari penyusunan
rencana induk pengembangan PKL (dalam bentuk buku panduan),
pembangunan gedung pasar Notoharjo yang akan ditempati
PKL, pembangunan prasarana dan sarana pasar, pembangunan
terminal, pembangunan jalan, promosi tempat berdagang baru,
hingga kepindahan PKL yang dilakukan dengan arak-arakan
budaya. Perasaan diuwongke atau diperlakukan sebagai manusia
yang bermartabat dan adanya jaminan ekonomi dari wali kota,
membuat tidak ada satu pun dari 989 PKL yang dipindah menolak
kebijakan wali kota Surakarta.
Keberhasilan relokasi PKL Monumen Banjarsari ke Pasar
Klitikan Notoharjo Semanggi merupakan langkah awal dari
penataan PKL di kota Solo. Bagi Jokowi, keberhasilan penataan
PKL Monumen Banjarsari tidak berarti penataan PKL di kota
Solo telah paripurna, tetapi justru keberhasilan penataan PKL
Monumen Banjarsari dijadikan sebagai momentum, pengalaman,
dan pembelajaran yang berharga dalam menata PKL di tempat
lainnya, yang jumlahnya juga tidak sedikit. Apalagi pemerintah
kota dan masyarakat memiliki tekad yang sama, yaitu ingin
menjadikan kota Solo tetap BERSERI, yakni bersih, sehat, rapi,
dan indah. Komitmen Jokowi, sang wali kota yang penampilannya
sederhana dan penuh kesantunan ini, untuk tetap membela
kepentingan usaha mikro, kecil, dan menengah, termasuk di
dalamnya PKL memberi kontribusi bagi keberhasilan penataan
PKL. Keberpihakan wali kota kepada rakyat kecil, utamanya para
pedagang kaki lima, ditunjukkan secara terang-terangan, seperti
dalam ungkapan berikut.
224 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

“Saya membela PKL, karena mereka merupakan aset ekonomi


bagi kota Solo pak…dengan dididik dan diberdayakan, mereka
akan tumbuh menjadi pengusaha yang tidak kalah hebatnya dari
pengusaha kaya yang memiliki mall-mall di Solo. Saya sendiri
tidak antimall, juga tidak antipengusaha…tetapi kita harus
cermat dalam memberikan izin mendirikan mall…jangan sampai
karenanya, kegiatan ekonomi pedagang kecil mati” (wawancara
dengan Joko Widodo, wali kota Solo, Kamis, 28 April 2011).

Kepemimpinan Jawa yang dihayati Jokowi, diduga


memengaruhi sikapnya terhadap pedagang kaki lima selama ini.
Dalam kepemimpinan Asthabrata, Jokowi termasuk tipe pemimpin
yang berwatak matahari. Matahari diyakini memiliki manfaat yang
besar, sehingga ia diambil sebagai tamsil dalam ajaran Asthabrata
(Suratno, 2006: 79). Sebagai sang surya, matahari menjadi sumber
kehidupan bagi semua makhluk, baik makhluk hidup maupun
makhluk tidak hidup. Pemimpin berwatak matahari memiliki
karakter yang sama dengan matahari, yaitu menerangi dunia,
memberikan kehidupan kepada semua makhluk, sabar dalam
menjalankan tugas, dan ikhlas memberikan miliknya kepada orang
lain (Suratno, 2006: 79).
Penampilannya yang sederhana dan tutur katanya yang
halus, menunjukkan bahwa Jokowi orang yang tidak arogan, sok
kuasa; justru sebaliknya, Jokowi adalah tipe wali kota ideal, yang
kehalusan budi dan kesederhanaannya, patut menjadi teladan
bagi masyarakatnya. Sifat tidak tega melihat rakyatnya menderita,
membuat pak Jokowi dicintai oleh masyarakatnya.
Dalam kaitannya dengan rakyat, pemimpin Jawa juga
memiliki tiga prinsip hidup yang selalu melekat pada dirinya,
yaitu ngayomi, ngayemi, dan ngayani (memberi perlindungan,
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 225

membuat tenteran dan nyaman, serta memberi kesejahteraan)


atau dikenal dengan prinsip 3N. Seseorang dijadikan atau dipilih
sebagai pemimpin, sesuai dengan prinsip 3N di atas, harus
mampu memberikan perlindungan kepada rakyat, siapa pun juga,
apakah mereka rakyat jelata yang tidak memiliki apa-apa hingga
rakyat berada atau mempunyai harta berlebih. Demikian pula,
pemimpin dengan ucapan, sikap, dan perilakunya tidak menyakiti
hati rakyat atau membuat mereka menderita. Justru dengan
kepemimpinannya, rakyat harus dibuat tenteram dan nyaman
hidupnya. Pemimpin Jawa juga harus berjiwa memberi, memiliki
sikap dermawan, peduli kepada rakyatnya, dan tidak senang
hatinya jika rakyatnya hidup dalam penderitaan dan kemiskinan.
Apapun akan dilakukan pemimpin untuk menyenangkan dan
membuat bahagia rakyatnya. Jokowi adalah tipikal pemimpin
Jawa yang njawani, karena mampu menerjemahkan prinsip 3N,
dengan memberikan apa yang terbaik bagi rakyat Solo, khususnya
mereka yang ada pada lapisan menengah ke bawah.
Strategi komprehensif yang dilakukan oleh pemkot Surakarta
dalam menata PKL menunjukkan keberhasilan, terutama
dilihat dari tidak adanya resistensi dari para pedagang, bahkan
mereka sangat antusias merespons kebijakan relokasi yang
ditentukan pemkot. PKL Monjari yang pindah ke pasar Notoharjo
Semanggi, merasa dirinya diuwongke (dimanusiakan), sehingga
kepindahannya ke Pasar Notoharjo Semanggi tidak menimbulkan
gejolak. Akseptabilitas yang tinggi, ditunjukkan oleh ekspresi
mereka dalam merespon kebijakan wali kota, menjadi preseden
yang bagus sekaligus bisa menjadi contoh bagi daerah lain yang
memiliki kebijakan dalam penataan pedagang kaki lima.
226 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

Dari uraian keberhasilan relokasi PKL Monjari ke Notoharjo


Semanggi, dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 faktor yang
berkontribusi terhadap keberhasilan penataan PKL Monjari
oleh pemkot Surakarta. Pertama, kepemimpinan wali kota
Surakarta Joko Widodo yang njawani, yang lebih berpihak kepada
kepentingan wong cilik, sehingga ia diterima dengan baik oleh
masyarakat Surakarta, utamanya rakyat kecil. Kedua, pendekatan
kebudayaan (berbasis budaya Jawa) dalam kebijakan penataan
PKL menjadikan apa yang dikehendaki wali kota Surakarta juga
merupakan keinginan PKL, sehingga relokasi ke Pasar Notoharjo
tidak menemui hambatan. Ketiga, relokasi PKL Monjari ke Pasar
Notoharjo berjalan dengan baik, karena adanya blue print
penataan PKL Surakarta, mulai dari sosialisasi sampai dengan
kegiatan relokasi dan pascarelokasi (Handoyo, 2012).
Karena kedekatannya dengan rakyat dan program nyata yang
dapat dirasakan masyarakat, Jokowi dan pasangannya, FX. Hadi
Rudyatmo dalam pemilihan kepala daerah tahun 2010 kembali
menang, bahkan dengan jumlah suara yang mengagumkan, yaitu
90,09% (Thaiyun, 2012).
Jokowi orangnya sederhana dan pekerja keras. Kesederhanaan
Jokowi ditunjukkan tatkala ia harus menginap di hotel bersama
ajudannya, ia tidak memesan dua kamar tetapi justru hanya pesan
1 kamar untuk tidur berdua bersama ajudannya. Tindakan Jokowi
ini dilandasi oleh kesadarannya sebagai pemimpin yang tidak ingin
menghambur-hamburkan uang rakyat.
Ia bukannya pemimpin tanpa prestasi. Berbagai penghargaan
telah ia raih, di antaranya: penghargaan kota ramah anak terbaik dari
Menteri Pemberdayaan Perempuan RI (2006), penghargaan UNICEF
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 227

mengenai perlindungan anak (2006), Jokowi dinobatkan sebagai salah


satu dari 10 tokoh 2008, yakni sebagai pemimpin terbaik versi majalah
Tempo (2008), Surakarta memperoleh penghargaan Indonesia MICE
sebagai kota pariwisata terbaik, penghargaan dari Kementerian
Keuangan atas keberhasilan dalam pengelolaan keuangan terbaik
(2009), penghargaan Manggala Karya Bhakti Husada Arutala dari
Kementerian Kesehatan RI, piala dan piagam penghargaan Citra
Bhakti Abdi Negara dari Presiden (2009), penghargaan Wahana Tata
Nugraha Kencana karena 5 kali berturut-turut sebagai kota tertib
berlalu lintas (2010), penghargaan Bung Hatta Anti Corruption Award
dari Bung Hatta Institut (2010), Surakarta terpilih sebagai tiga besar
kota paling bersih dari korupsi versi Transparency International
Indonesia (2010), kota terbaik penyelenggara layanan Kota Layak
Anak (2011), penghargaan Satya Lencana Pembangunan dan Bhakti
Koperasi (2011), Tanda Kehormatan Bintang Jasa Utama (2011), dan
pada tahun 2012 Jokowi juga terpilih sebagai wali kota terbaik ketiga
di dunia, sebuah prestasi yang mungkin sulit dicapai kepala daerah
lainnya di Indonesia.
Jokowi sesungguhnya bukan orang yang ambisius, tetapi
karena banyak pihak mendorongnya untuk maju dalam pemilihan
gubernur DKI Jakarta, akhirnya dengan berbagai pertimbangan,
ia maju berpasangan dengan Ahok yang juga berpengalaman
sebagai seorang kepala daerah. Melalui 2 kali (putaran) pilkada,
Jokowi dan Ahok berhasil mengalahkan incumbent, yaitu Foke.
Banyak pengamat tidak mengira, orang desa dari Solo nglurug ke
Jakarta yang bukan basisnya, berhasil mengalahkan Foke yang saat
pemilihan masih menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta. Jokowi
memang benar-benar tokoh fenomenal, karena sudah dua kali ia
mengalahkan incumbent, yakni pertama, ketika memenangkan
228 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

pemilihan wali kota Surakarta, mengalahkan Slamet Suryanto wali


kota sebelumnya dan kedua, mengalahkan Foke gubernur DKI
sebelumnya dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2012.
Sesuai dengan janjinya dalam kampanye bersama Ahok, pada
awal jabatan sebagai gubernur, Jokowi membuat Kartu Pintar dan
Kartu Jakarta Sehat yang diperuntukkan bagi warga masyarakat
miskin. Tidak tanggung-tanggung, Jokowi sendiri yang membagikan
kartu tersebut. Dari kartu pintar ini, banyak anak-anak dari keluarga
tidak mampu dapat meneruskan pendidikannya. Demikian pula,
berkat Kartu Jakarta Sehat inilah, terjadi lonjakan pasien di rumah
sakit yang ada di Jakarta. Kreativitas pemerintahan Jokowi-Ahok
berlanjut dengan pencanangan layanan 119 di bidang kesehatan,
seperti halnya layanan 911 di Amerika Serikat. Melalui layanan
119 ini, warga masyarakat dapat memperoleh informasi mengenai
hal-hal pokok yang berkaitan dengan layanan kesehatan, misalnya
informasi tentang kamar di rumah sakit tertentu, ambulans, jarak
tempuh, dan lain-lain. Sejak uji coba sistem layanan 119 pada
tanggal 22 Pebruari 2013, call center 119 sudah menerima 2.185
panggilan (Kompas, 2 Maret 2013).
Bukan Jokowi kalau tidak bertindak aneh-aneh dan fenomenal.
Ia juga merancang pembangunan transportasi bawah tanah yang
oleh banyak pihak ditentang, tetapi tetap diteruskan. Pembangunan
monorail yang beberapa waktu sempat tertunda pada masa
pemerintahan gubernur sebelumnya, ia teruskan. Demikian
pula, ia kembangkan pembangunan transportasi air, utamanya
untuk melayani penduduk dari kawasan Marunda. Pada tahun
2012 Jokowi juga melontarkan gagasan aneh, yaitu lelang jabatan
lurah dan camat di DKI Jakarta. Yang tidak kalah mencengangkan
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 229

adalah kebijakan mutasi jabatan. Sebanyak 20 orang pejabat


di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dimutasi (The
Politic, 2013). Pejabat yang dimutasi di antaranya adalah Ery
Basworo, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Anas Effendi, wali
kota Jakarta Selatan. Sebelum dimutasi, ada juga pejabat yang
mengundurkan diri, yaitu Novizal, kepala Dinas Perumahan. Apa
yang dilakukan oleh Jokowi, yang terkenal sebagai pemimpin
antikorupsi, barangkali didasari oleh pertimbangan adanya
informasi bahwa Provinsi DKI Jakarta tercatat sebagai daerah yang
menempati posisi pertama adanya dugaan korupsi sebesar 46,7%
(The Politic, 2013). Hal ini beralasan, sebagaimana ditelusuri oleh
ICW, ada banyak pos anggaran dinas di pemerintah Provinsi DKI
yang tidak masuk akal. Sebagai contoh, Dinas Pekerjaan Umum
menganggarkan pemeliharaan flyover sebesar Rp 25 miliar, Dinas
Perhubungan menganggarkan pengadaan busway sebesar Rp 330
miliar, dan Dinas Perumahan dan Gedung Pemda menganggarkan
penataan ruang gedung DPRD lama sebesar Rp 60 miliar.
Ketika Jakarta dilanda banjir, Jokowi juga tidak canggung
mengunjungi para korban banjir. Dengan berbasah-basah, Jokowi
dengan senyuman yang khas menyapa warga dan membagi-
bagikan beras dan uang kepada para korban. Inilah tipe pemimpin
ideal yang dicintai rakyat. Tidak duduk manis sambil nyeruput teh di
kantor dan tinggal memberi perintah kepada bawahannya. Jokowi
bukan tipe pemimpin ongkang-ongkang dan suka memerintah.

B. Tri Rismaharini

Tri Rismaharini dilahirkan di Kediri, tanggal 20 November 1961.


Risma, panggilan akrab Tri Rismaharini, menjadi wali kota Surabaya
230 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

pada tahun 2010 melalui PDI Perjuangan. Sebelum menjadi wali


kota Surabaya, lulusan S1 dan S2 ITS Surabaya ini, pernah menjadi
Kepala Seksi Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Badan Perencanaan
Pembangunan kota Surabaya pada tahun 1997-2000. Tahun
2001 menjadi Kepala Seksi Pendataan dan Penyuluhan Disbang.
Tahun 2002 beralih menjadi Kepala Cabang Dinas Pertamanan.
Tahun 2002 menjadi Kepala Bagian Bina Bangunan. Tahun 2005
menjadi Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan. Tahun 2005
menjabat sebagai Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan.
Sebelum menjadi wali kota periode 2010-2015, Tri menjabat
sebagai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan kota Surabaya.
Risma seorang pekerja keras. Pukul 05.30 sebelum kasuk kantor, ia
menyusuri pelosok kota. Tidak jarang warga kota, memergokinya
sedang memungut sampah di pinggir jalan atau di pinggir sungai.
Ia juga pernah turut mengatur lalu lintas, ketika jalanan macet.
Birokrasi pemerintah ia rampingkan, misalnya Divisi Kebersihan
dan Divisi Pertamanan, ia satukan menjadi divisi Kebersihan dan
Pertamanan.
Untuk mengintensifkan komunikasi dengan warga
masyarakat, Risma membuka saluran komunikasi secara online
dengan warga kota, misalnya dengan dikembangkan program
e-sapawarga, situs yang memuat e-toko dan e-health. Dibukanya
saluran ini membuat banyak warga, termasuk anak sekolah dapat
berkomunikasi dengan wali kota. Berkat ide kreatif ini, Surabaya
dinobatkan sebagai kota berpartisipasi publik terbaik di kawasan
Asia Pasifik pada tahun 2012 (Tempo, 2012).
Selama kepemimpinannya, pertumbuhan ekonomi kota
Surabaya mengalami peningkatan, yakni pada tahun 2007 sebesar
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 231

6,31%, 2008 sempat turun menjadi 6,23%, tahun 2009 turun lagi
menjadi 5,30%, tahun 2010 sejak Risma memimpin, naik drastis
menjadi 7,09% dan tahun 2011 naik lagi menjadi 7,52% (Tempo,
2012). Indeks Pembangunan Manusia Surabaya juga mengalami
kenaikan signifikan, yakni 77,18 pada tahun 2010 menjadi 77,61
pada tahun 2011. Anggaran belanja kota Surabaya juga mengalami
kenaikan, dari 3,75 triliun pada tahun 2011 menjadi 5,16 triliun
pada tahun 2012. Pendapatan asli daerah (PAD) sebagai salah
satu ukuran kinerja wali kota, juga mengalami kenaikan, dari 1,88
triliun pada tahun 2011 menjadi 2,35 triliun pada tahun 2012.
Keluar masuk wilayah atau blusukan seperti halnya yang
dilakukan Jokowi, juga dilakukan bu Risma. Blusukan ini ia lakukan
di kompleks pelacuran Gang Dolly Surabaya. Hal itu ia lakukan
untuk membujuk para pelacur agar mau beralih profesi. Berkat
kesabaran dan keramahannya, Risma telah berhasil menutup
22 tempat pelacuran. Mereka yang kehilangan pekerjaan,
dikembalikan ke daerah asalnya dengan diberi keterampilan dan
modal sebesar Rp 3 juta. Sementara itu, warga masyarakat yang
kehilangan rezeki karena tempat pelacuran ditutup, disiapkan
lapangan kerja baru.
Risma terkenal juga sebagai “bu Giman”, yaitu “ibu wali kota
yang gila taman.” Sejak kepemimpinannya, ia telah membangun
ratusan taman kota. Kota menjadi lebih hijau, asri, dan nyaman
untuk tempat berteduh dan beristirahat bagi warga kota. Berkat
dibangunnya taman kota ini, ruang terbuka hijau (RTH) Surabaya
mencapai angka 31,6% melebihi standar RTH yang ditentukan
Kementerian Lingkungan Hidup sebesar 30%. Untuk menunjang
kota yang nyaman ini, Risma membuat kebijakan dengan
232 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

membatasi pertumbuhan industri. Hanya perusahaan yang


berteknologi tinggi, rendah polusi dan ramah lingkungan saja yang
ia beri izin untuk beroperasi. Ia juga menolak pembangunan jalan
tol yang membelah kota Surabaya. Alasannya, takut menambah
ruwet dan macet kota Surabaya.
Gara-gara kebijakan drastis ini, suatu ketika wali kota ramah ini
pernah dimakzulkan oleh tujuh fraksi di DPRD Surabaya, termasuk
PDIP yang mengusungnya menjadi wali kota. Untung saja, Menteri
Dalam Negeri Gamawan Fauzi menolak pemakzulan tersebut.

C. Yusuf Wally

Yusuf Wally adalah bupati Keerom, Papua. Ia dilahirkan 25


Desember 1948 dan menjabat sebagai bupati sejak tahun 2010.
Sebelum menjadi bupati, ia adalah Kepala Dinas Perindustrian
dan Perdagangan Irian Jaya tahun 2002-2003 dan menjadi Pejabat
Bupati Keerom tahun 2006-2008.
Sejak kepemimpinannya (termasuk menjadi pejabat bupati),
pertumbuhan ekonomi Keerom memang sempat turun dari
11,89% pada tahun 2008 menjadi 9,73% pada tahun 2009
(Tempo, 2012). Namun demikian, indeks pembangunan manusia
kabupaten Keerom, mengalami kenaikan signifikan, yakni pada
tahun 2008 sebesar 68,55 naik menjadi 68,8 pada tahun 2009 dan
naik lagi menjadi 69,26 pada tahun 2010.
Yusuf yang pembawaannya lembut, tenang dan penuh
senyuman, terkenal sebagai sinterklas dari Keerom, karena
kesukaannya membagi-bagi uang (Tempo, 2012). Sesuai janjinya
dalam kampanye, setelah menjabat bupati, tiap kampung di
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 233

Keerom diberi bantuan dana sebesar Rp 1 miliar. Dari anggaran Rp


1 miliar tersebut, 70% digunakan untuk kegiatan pembangunan,
sedangkan 30% dipakai untuk mendanai operasional aparat
kampung.
Berkat keberpihakannya kepada masyarakat, dalam satu
tahun saja (2010), kenaikan pembangunan infrastruktur cukup
signifikan. Sebanyak 34,8% jalan sudah beraspal dari total jalan
kabupaten yang sudah terbuka sepanjang 867,31 kilometer.
Seluruh rumah di Keerom sudah teraliri listrik. Selain itu, lebih dari
2.000 rumah siap direnovasi pada tahun 2013.
Yusuf juga terkenal sebagai tokoh multikultural, karena dalam
memberi pelayanan kepada masyarakat tidak membeda-bedakan
dari suku mana dan daerah asal. Tidak peduli mereka asli Papua,
orang Sulawesi, Sumatera atau pun Jawa, semuanya ia rangkul
layaknya seorang ayah. “Saya ingin menjadi ayah bagi semua
warga masyarakat Kerom,” kata pak Yusuf.

D. La Tinro La Tunrung

La Tinro, bupati Enrekang, tidak memiliki jejak rekam sebagai


abdi negara. Sebelum menjadi bupati, Tinro merupakan Direktur
Utama PT. Haji La Tunrung L&K. Pada tahun 2009, kekayaan yang
dimiliki senilai Rp 23 miliar.
Tinro termasuk orang yang terbuka kepada warga masyarakat.
Buktinya, ia mengumumkan nomor handphone melalui spanduk
di semua kantor pemerintah. Hal ini dilakukan supaya ia dapat
menerima langsung keluhan atau pun masukan dari warga
masyarakat. Jika rapat di kantor belum tuntas, Tinro meneruskan
234 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

di rumah dinasnya dan tidak jarang berlangsung hingga larut


malam.
Kebijakan pembangunan Tinro difokuskan pada pembangunan
infrastruktur desa. Daerah Enrekang termasuk miskin dan terbelakang,
kontur tanah sebagian besar curam dikelilingi 10 gunung, sehingga
antara desa yang satu dengan lainnya terisolasi tidak ada jalan
penghubung, karenanya prioritas Tinro adalah membangun jalan raya
dari beton. Tinro mengalokasikan 30% anggaran untuk membangun
jalan beton, karena jalan ini merupakan infrastruktur terbaik untuk
membuka akses hingga ke pelosok. Hingga akhir jabatannya, Tinro
menargetkan jalan beton selesai 90%.
Ironisnya, kota utamanya ibu kota kabupaten tidak terurus.
Kalau malam hari gelap dan sehabis hujan banyak walang sangit
menyerbu kota. “Tahun terakhir ini saya baru berfokus pada
pembangunan kota,” kata Tinro.
Tinro termasuk orang yang suka blusukan ke daerah-daerah.
Tidak jarang, sekali seminggu ia tidur di desa berbeda untuk
melihat dari dekat kondisi masyarakat. Para pejabat daerah di
Enrekang, ia minta juga untuk blusukan di desa-desa dan membina
1 kepala keluarga hingga memiliki penghasilan yang memadai.
Orang miskin yang sebelum ia menjabat sejumlah 70%, setelah
memasuki jabatan kedua, tinggal 10%. Sebuah prestasi yang
membanggakan.
Untuk pembangunan kesehatan, Tinro menyediakan satu
ambulans untuk tiap kecamatan. Guna meningkatkan pendidikan
dan tingkat melek huruf masyarakat, Tinro menyediakan mobil
perpustakaan keliling untuk menyambangi sekolah di kampung-
kampung guna meminjami buku pengetahuan umum.
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 235

Tinro termasuk bupati kreatif. Enrekang yang sering terputus


aliran listriknya, karena pasokan dari PLN terbatas, telah berubah,
setelah Tinro membuat pembangkit tenaga air mikro dan
menyediakan 793 pembangkit matahari. Dana untuk membangun
instalasi tersebut ia dapatkan dari bantuan pemerintah provinsi,
pusat, DPR, maupun LSM dari luar negeri.
Berkat ketekunan dan kerja kerasnya, anggaran pendapatan
dan belanja daerah Enrekang naik dari 561,85 miliar pada tahun
2011 menjadi 598,90 pada tahun 2012. Indeks pembangunan
manusia mengalami kenaikan, dari 73,76 pada tahun 2008 menjadi
74,60 pada tahun 2011. Pertumbuhan ekonomi pun mengalami
peningkatan, yakni dari 6,15% pada tahun 2008 menjadi 6,62%
pada tahun 2009.

E. Amran Nur

Amran Nur dilahirkan di Sawahlunto pada tanggal 13


Oktober 1945. Lulusan Teknologi Lingkungan ITB Bandung ini,
sebelum menjadi wali kota Sawalunto, Amran merupakan seorang
pengusaha.
Begitu terpilih sebagai wali kota, Amran berkeinginan untuk
meningkatkan daya beli masyarakat. Cara yang digunakan adalah
membagi bibit kakao, karet, serai wangi dan setek nilam kepada
masyarakat. Masyarakat juga dibantu bibit padi. Dengan program
padi tanam sebatang, yang dimulai sejak tahun 2005, Sawahlunto
surplus beras. Kalau sebelum program tersebut dicanangkan,
petani hanya panen 4 ton gabah kering per hektare, maka sejak
program tersebut digulirkan, petani bisa panen hingga 10 ton per
hektare (Tempo, 2012).
236 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

Di bidang peternakan, Amran mendorong masyarakat


untuk beternak sapi. Cara yang ditempuh adalah pemerintah
menyediakan sapi dan warga masyarakat mengangsurnya tanpa
bunga. Bunga pinjaman ditanggung oleh pemerintah. Salah satu
kelompok masyarakat yang diberi bantuan sapi adalah bekas
penambang liar yang jumlahnya sekitar 600 kepala keluarga.
Program-program lainnya yang dikembangkan Amran untuk
mendukung ekonomi masyarakat adalah jalan 10 menit, artinya
petani cukup membutuhkan waktu 10 menit untuk pergi ke ladang
atau kebun dengan mengendarai sepeda motor guna menengok
tanamannya.
Dalam bidang pariwisata, Amran yang memiliki naluri bisnis,
membuka terowongan tambang yang sudah tidak terurus dan
merenovasi bangunan tua peninggalan Belanda untuk dijadikan
objek wisata. Selain itu, juga dibangun water boom. Semua proyek
ini dikembangkan berdasarkan gaya perusahaan, hanya bedanya,
keuntungan (benefit) dikembalikan kepada masyarakat.
Berkat ketekunan dan kerja kerasnya, anggaran pendapatan
dan belanja daerah Sawahlunto naik menjadi Rp 503,9 miliar pada
tahun 2012, yang sebelumnya hanya Rp 117 miliar pada tahun
2003. Indeks pembangunan manusia juga mengalami peningkatan,
yakni 73,74 pada tahun 2007 menjadi 75,41 pada tahun 2011.
Demikian pula, pertumbuhan ekonomi mengalami lonjakan yang
cukup signifikan, yaitu 3,43% pada tahun 2008 menjadi 5,8% pada
tahun 2011.
Sejak ditutupnya area penambangan liar, banyak penduduk
yang meninggalkan kota Sawahlunto untuk mencari pekerjaan
baru. Tidak adanya lahan pekerjaan baru menyebabkan angka
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 237

kemiskinan tinggi. Pada tahun 2005 tercatat 17,18% penduduk


miskin, namun sejak Amran hadir di Sawahlunto, maka pada tahun
2009, angka kemiskinan turun drastis menjadi 2,42% (Tempo,
2012).

F. Muda Mahendrawan

Muda lahir di Pontianak pada tanggal 17 Agustus 1970.


Lulusan Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura dan Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum UGM Yogyakarta ini sebelum
menjadi bupati Kubu Raya adalah seorang notaris.
Muda adalah seorang pemimpin yang peka kepada warga
masyarakatnya. Meskipun Muda seorang birokrat, namun ia
melakukan debirokratisasi dengan lebih banyak berkantor di
rumah, menerima tamu tiap hari tidak kurang mencapai 10
rombongan, dan lebih suka mendatangi berbagai acara yang
diselenggarakan masyarakat di seluruh penjuru Kubu Raya.
Muda termasuk orang yang sederhana. Ia mencoret Rp 21
miliar untuk pembangunan kantor bupati dari biaya total Rp 36
miliar. Kekurangan anggaran ia mintakan ke pemerintah pusat.
Muda juga menolak pembangunan rumah dinas senilai Rp 11
miliar. Pengadaan mobil dinas bupati dan wakil bupati, yang
masing-masing seharga Rp 1 miliar ia tolak pula.
Untuk menghemat belanja pegawai, Muda menyeleksi
ketat pembentukan tim kerja SKPD, yang ia pandang sebagai
salah satu sumber pemborosan anggaran pemerintah. Dengan
pemangkasan tersebut, Muda bisa menghemat anggaran rutin
pemerintah daerah sebesar Rp 30 miliar pertahun. Anggaran
238 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

pemerintah daerah pun memiliki proporsi yang bagus, yakni 46%


untuk anggaran belanja pegawai dan 54% untuk anggaran belanja
rutin (Tempo, 2012).
Penghematan anggaran tersebut, Muda alihkan untuk
pengembangan program kesehatan dan pendidikan. Berkat
penghematan tersebut, pemerintah daerah dapat membelikan
60 sepeda motor untuk operasional bidan desa. Pembatalan
anggaran rumah dinas dialihkan untuk pembelian seragam siswa.
Puskesmas yang ada di Kubu Raya ditingkatkan fasilitasnya.
Sebanyak 937 unit pelayanan kesehatan terfasilitasi dengan
baik. Angka ini naik dari junlah sebelumnya yang hanya 674 unit.
Sebanyak 9 Puskesmas naik levelnya dari layanan rawat jalan ke
layanan rawat inap, setara rumah sakit tipe D.
Gerakan debirokratisasi Muda berlanjut dengan pencabutan
kewenangan perizinan di setiap SKPD. Kewenangan ini dilimpahkan
kepada Badan Pelayanan Modal dan Pelayanan Terpadu (BPMPT).
Dengan model layanan ini, beban masyarakat untuk membayar
biaya perizinan menjadi berkurang.
Berkat kerja kerasnya, anggaran belanja daerah Kubu Raya naik
dari Rp 466,7 miliar menjadi Rp 790,3 miliar. Indeks pembangunan
manusia naik dari 66,77 pada tahun 2009 menjadi 67,56 pada
tahun 2010. Pertumbuhan ekonomi meningkat dari 5,02% pada
tahun 2006 menjadi 6,51% pada tahun 2009.

G. Abdul Kholiq Arif

Abdul Kholiq Arif dilahirkan di Wonosobo pada tanggal 16


September 1968. Lulusan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 239

sebelum menjadi bupati Wonosobo adalah seorang wartawan


Jawa Pos. Pada tahun 2005, kekayaan pribadinya sebesar Rp
114,5 juta dan pada tahun 2008 meningkat menjadi Rp 315,4 juta
(Tempo, 2012).
Kholiq termasuk pemimpin yang menghargai keanekaragaman
budaya di Wonosobo. Ia juga seorang yang toleran. Selain
Islam dan Kristen, di Wonosobo juga terdapat penganut agama
Buddha, Konghucu, dan Tao. Bahkan di Wonosobo juga terdapat
tidak kurang dari 6.000-an penganut Ahmadiah. Dalam kegiatan
keagamaan, Kholiq melibatkan para preman agar mereka insyaf
kembali ke jalan Tuhan. Untuk itu, bupati menggandeng Komando
Distrik Militer untuk memberikan terapi kepada para preman.
Kholiq melakukan reformasi birokrasi, di antaranya yang
dilakukan adalah kemudahan perizinan kepada masyarakat.
Sebagai contoh, untuk mengurus izin usaha katering, memakan
waktu sebulan tanpa dipungut biaya satu rupiah pun.
Wonosobo terkenal dengan tanaman kentang. Semua area
pegunungan hingga tanah miring dan berbukit terjal pun ditanami
kentang. Padahal kentang tidak baik untuk pelestarian lingkungan.
Tanah mudah longsor. Karenanya, Bupati membatasi pertanian
kentang. Sebagian tanah lainnya dihijaukan kembali bekerjasama
dengan Yayasan Kehati pimpinan Emil Salim.
Dalam rangka mendukung pelestarian lingkungan, Kholiq yang
cinta lingkungan ini, juga menerapkan kurikulum penyelamatan
lingkungan (kurikulum hijau) di sekolah sejak tahun 2010. Anak-
anak usia TK hingga SD diajari mengenali lingkungan dengan cara
membentuk kelompok kebun bibit di sekolah masing-masing.
Anak-anak dikenalkan berbagai macam bibit tanaman, supaya
240 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

mereka bisa mengenal dan mencintai lingkungan sejak dini.


Aris Fathoni, kepala dusun Sidorejo kecamatan Kejajar
mengikuti jejak bupati, dengan mendirikan Kelompok Tani
Konservasi Margo Rukun Desa Tieng. Kelompok tani ini
mengampanyekan gerakan menanam pohon untuk mengganti
tanaman kentang.
Sejak kepemimpinan Kholiq, anggaran belanja daerah
Wonosobo naik dari Rp 672,54 miliar menjadi Rp 679,9 miliar.
Indeks pembangunan manusia pun naik dari 68,91 menjadi 70,52.

H. Herman Sutrisno

Herman Sutrisno dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 3


April 1951. Doktor lulusan Universitas Pasundan ini memperoleh
92,17% suara untuk memenangi pemilihan wali kota Banjar.
Sebelum menjadi wali kota Banjar, Herman pernah menjabat
ketua DPRD Ciamis dan Direktur Rumah Sakit Umum Ciamis dan
Banjar.
Herman termasuk pecinta olah raga bersepeda. Hampir tiap
hari Herman mengelilingi kota sepanjang 35 kilometer. Cara ini
ia gunakan untuk melihat dari dekat kondisi sarana umum dan
kondisi masyarakat.
Selain fokus pada pengembangan infrastruktur kota, seperti
pembangunan jalan dan jembatan, Herman juga mengembangkan
program bidang kesehatan dan pendidikan. Pada bidang
pendidikan, sebelum pemerintah pusat mencanangkan program
Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Herman sudah memelopori
dengan memberi bantuan Rp 250 ribu perbulan bagi siswa dari
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 241

keluarga tidak mampu. Hingga tahun 2012 sudah 8.000 siswa yang
menikmati dana BOS ala wali kota.
Untuk pelayanan kesehatan, wali kota membebaskan bea
perawatan bagi penduduk yang dapat menunjukkan kartu
penduduk. Hal ini berlaku di Puskesmas. Bagi masyarakat miskin,
juga dibebaskan berobat di rumah sakit daerah.
Untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat yang
jaraknya jauh dari Puskesmas dan rumah sakit, wali kota
membangun 42 pos kesehatan desa di 25 desa dan kelurahan.
Setiap pos disediakan tenaga medis bidan dan perawat. Dokter
datang tiga kali dalam seminggu.
Di bidang ekonomi, wali kota memprogramkan “Rp 1 miliar
1 desa” pertahun sejak tahun 2007. Dana Rp 1 miliar tersebut
digunakan untuk membangun infrastruktur desa (Rp 350 juta),
membangun usaha ekonomi produktif (Rp 300 juta), dan sisanya
Rp 350 juta untuk mendirikan Badan Usaha Milik Desa. Berkat
program tersebut, pendapat asli daerah meningkat dari Rp 3 miliar
pada tahun 2003 menjadi Rp 41 miliar pada tahun 2012.
Meskipun kota Banjar membutuhkan investasi yang besar,
wali kota tidak serta merta mudah menerima investor. Guna
melindungi pedagang tradisional, wali kota melarang masuknya
pasar retail modern, seperti Alfamart dan Indomart sejak tahun
2008.
Untuk menambah kedekatan dengan warga masyarakat,
Herman membuka lebar-lebar pendopo kota untuk menerima
tamu dan siapa pun yang ingin bertemu wali kota. Sejak
kepemimpinannya, anggaran belanja daerah naik dari Rp 311,82
miliar pada tahun 2008 menjadi Rp 387,84 miliar pada tahun 2012.
242 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

Indeks pembangunan manusia meningkat dari 74,25 pada tahun


2009 menjadi 75,63 pada tahun 2011. Pertumbuhan ekonomi pun
mengalami kenaikan signifikan, yaitu naik dari 4,82% pada tahun
2008 menjadi 5,74% pada tahun 2011.
Jika ditelusuri secara mendalam sejatinya masih banyak
tokoh pemerintahan dan juga tokoh masyarakat yang memiliki
sikap antikorupsi dan jiwa pelayanan yang tinggi. Salah satu yang
layak disebut adalah Dahlan Iskan, Menteri BUMN. Orang yang
satu ini tergolong menteri nyentrik. Seperti halnya Jokowi, Dahlan
juga tidak menggunakan gajinya untuk keperluan pribadi, baik itu
gaji saat menjadi Direktur Utama PLN maupun ketika menjabat
Menteri BUMN.
Orang biasa pasti tidak mungkin tidak akan menerima gaji
yang menggiurkan. Di PLN, gaji Dahlan perbulan sekitar Rp
150 juta dan konon gaji yang terkumpul hingga miliaran rupiah
disumbangkan untuk pembangunan Pondok Pesantren Sabilil
Muttaqin di Magetan dan untuk riset mobil listrik (The Politic,
2013).
Gaji Dahlan sebagai Menteri BUMN adalah Rp 19.320.000,00,
yang semuanya tiap bulan diberikan kepada Ricky, seorang ahli
motor listrik yang sedang bekerja di Jepang, dengan harapan
Ricky mau kembali ke Indonesia untuk mengembangkan teknologi
motor listrik (The Politic, 2013). Penghasilan lainnya, yakni
dana operasional sebagai Menteri sebesar Rp 100 jutaan dan
honor rapat di kementerian sebesar kira-kira Rp 70 jutaan, juga
tidak dipergunakan Dahlan. Semua uang tersebut diserahkan
sekretarisnya untuk dimanfaatkan dalam kegiatan atau keperluan
sosial, misalnya untuk dana sosial, tambahan gaji satpam, cleaning
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 243

service, staf di sekretariat BUMN, dan karyawan outsourching.


Dahlan tidak menerima gaji bulanan sebagai menteri, karena ia
masih memiliki banyak perusahaan dan tabungan.

I. Rangkuman

Di negeri yang konon dijuluki negeri kleptokrasi, ternyata


masih cukup banyak tokoh pemerintahan yang berhati malaikat.
Meskipun banyak setan haus uang, yang menggerogoti anggaran
APBN dan APBD, masih ditemukan orang-orang bersih yang masih
memiliki hati nurani untuk memberikan pelayanan terbaik kepada
masyarakat. Tokoh-tokoh bersih tersebut di antaranya adalah
Jokowi, Tri Rismaharini, Yusuf Wally, La Tinro, Amran Nur, Muda
Mahendrawan, Abdul Kholiq Nur, Herman Sutrisno, dan Dahlan
Iskan.
Jika tokoh-tokoh ini mampu menularkan virus antikorupsi dan
bakteri pelayanan prima kepada elit pemerintahan dan tokoh-
tokoh masyarakat, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi
salah satu negara besar pada waktu yang tidak terlalu lama
sebagaimana diramalkan banyak lembaga riset internasional.
Kesejahteraan yang didamba masyarakat juga bukan impian
kosong jika makin banyak lagi tokoh-tokoh bersih, selain tokoh-
tokoh bersih sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Alatas, Syed Hussein. 1986. Sosiologi Korupsi. Terjemahan Al
Ghozie Usman. Jakarta: LP2ES.
Al-Barbasy, Ma’mun Murod. 2006. “Teologi Kritis Pemberantasan
Korupsi di Indonesia”. Makalah. Disajikan dalam Seminar
Nasional AIPI XX di Medan tanggal 3-4 Mei 2006.
Alma, Buchari. 2008. Kewirausahaan untuk Mahasiswa dan
Umum. Bandung: Alfabeta.
Alkaf, Halid. 2006. “Lembaga-lembaga Anti Korupsi di Indonesia”.
Dalam Karlina Helmanita dan Sukron Kamil (ed). Pendidikan
Anti Korupsi di Perguruan Tinggi. Jakarta: CSRC UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Azra, Azyumardi. 2006. “Kata Pengantar Pendidikan Anti Korupsi
Mengapa Penting”. Dalam Karlina Helmanita dan Sukron
Kamil (ed). Pendidikan Anti Korupsi di Perguruan Tinggi.
Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Bahri, Syamsul. 2008. Buku Panduan Guru Modul Pendidikan Anti
Korupsi Tingkat SMP/MTs. Jakarta: KPK.
Bertens, K. 2001. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Bracking, Sarah. 2007. “Political Development And Corruption:
Why ‘Right Here’, Right Now’!” in Sarah Bracking (ed).
Corruption And Development The Anti Corruption
Campaigns. New York: Palgrave MacMillan.
De Asis, Maria Gonzales. 2000. “Coalition Building to Fight
Corruption”. Paper. Prepared for the Anti Corruption
Summit. World Bank Institute.

244
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 245

Direktorat Pembinaan Jaringan Kerjasama Antar Komisi dan Instansi


KPK. 2006. Kumpulan Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: KPK.
Ditlitbang Deputi Pencegahan KPK. 2006. Komisi Anti Korupsi di
Luar Negeri (Deskripsi Singapura, Hongkong, Thailand,
Madagascar, Zambia, Kenya, dan Tanzania). Jakarta: KPK.
Drost, J. 1999. Proses Pembelajaran sebagai Proses Pendidikan.
Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Ezung, T. Zarenthung. 2012. “Corruption and Its Impact on
Development: A Case Study of Nagaland”. in International
Journal of Rural Studies. Vol. 19 No. 1, April 2012. Pp. 1-7.
Fahmi, Insan. 2009. “Peran Serta Penyelenggara Negara Dalam
Upaya Pemberantasan Korupsi”. Makalah. Disampaikan
dalam Workshop Forum Komunikasi Wartawan Jawa
Tengah (FKWJT) di Hotel Santika Semarang pada tanggal
26 Pebruari 2009.
FATF and OECD. 2011. Laundering the Proceeds of Corruption.
Paris.
Hamzah, Andi. 1991. Korupsi di Indonesia Masalah dan
Pemecahannya. Jakarta: Gramedia.
Hamzah, Andi. 2005. Perbandingan Pemberantasan Korupsi di
Berbagai Negara. Jakarta: Sinar Grafika.
Handoyo, Eko. 2009. Pendidikan Anti Korupsi. Semarang: Widya
Karya.
Handoyo, Eko. 2012. “Eksistensi Pedagang Kaki Lima Studi
tentang Kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL
Semarang”. Disertasi. Doktor Studi Pembangunan PPS
UKSW Salatiga.
Harman, Benny K. 2012. Negeri Mafia Republik Koruptor
Menggugat Peran DPR Reformasi. Yogyakarta: Lamalera.
Jasin, Moch. 2009. “Kebijakan dan Langkah-langkah Pemberantasan
Korupsi dan Peran KPK dalam Menciptakan Pemerintahan
Yang Bersih”. Makalah. Disampaikan dalam Seminar dan
Sosialisasi LHKPN kepada Pejabat di Lingkungan Universitas
Negeri Semarang pada tanggal 10 Desember 2008.
246 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

Johnson, Michael. 2005. Syndromes of Corruption: Wealth, Power,


and Democracy. Cambridge: Cambridge University Press.
Karli, Hilda dan Margaretha Sri Yuliariatiningsih. 2003. Impementasi
Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Bina Media
Informasi.
Khadduri, Majid. 1999. Teologi Keadilan Perspektif Islam.
Terjemahan Mokhtar Zoerni dan Joko S. Kahhar. Surabaya:
Risalah Gusti.
Klitgaard, Robert. 2005. Membasmi Korupsi. Terjemahan Hermojo.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Klitgaard, Robert, Ronald Maclean-Abaroa dan H. Lindsey
Parris. 2005. Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam
Pemerintahan Daerah. Terjemahan Masri Maris. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Komisi Pemberantasan Korupsi. 2006. Memahami untuk
Membasmi. Jakarta: KPK.
KPK. 2007. Buku Saku untuk Memahami Pandangan Islam terhadap
Korupsi: Koruptor, Dunia Akhirat Dihukum. Jakarta: KPK.
KPK. T.th. UU No. 30/2002, UU No. 20/2001, UU No. 31/1999, UU
No. 28/1999, UU No. 3/1971, PP No. 71/2000, Organisasi
dan Tata Kerja KPK, Kode Etik Pimpinan KPK, Ringkasan
Draft Rencana Strategis KPK, dan Gratifikasi. Jakarta.
Kuntoro, Suharso Bayu. 2006. “Penanggulangan Korupsi Dalam
Perspektif Hindu”. Dalam Ida Bagus Agung, dkk (ed).
Menuju Masyarakat Anti Korupsi Perspektif Agama Hindu.
Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika.
Kurniawan, Luthfi J.,dkk. 2006. Peta Korupsi di Daerah. Jakarta:
MCW dan Yappika.
Lambdorff, Johann Graf. 2007. The institutional Economics of
Corruption and Reform Theory, Evidence and Policy.
Cambridge: Cambridge University Press.
Maheka, Arya. T.th. Mengenali dan Memberantas Korupsi. Jakarta:
KPK RI.
Marpaung, Rusdi dan J. Heri Sugianto (ed). 2006. Demokrasi yang
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 247

Selektif terhadap Penegakan HAM Laporan Kondisi HAM


Indonesia 2005. Jakarta: Imparsial.
Mashal, Ahmad M. 2011. “Corruption and Resource Allocation
Distortion For “ESCWA” Countries”. in International
Journal of Economics and Management Sciences. Vol. 1
No. 4, 2011. Pp. 71-83.
Mulyana, Rahmat. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai.
Bandung: Alfabeta.
Muslimin, JM. 2006. “Penegakan Hukum dan Pemberantasan
Korupsi Dalam Lintasan Sejarah”. Dalam Karlina Helmanita
dan Sukron Kamil (ed). Pendidikan Anti Korupsi di
Perguruan Tinggi. Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Nasution, S. 1995. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Nugraha D, Riant dan Tri Hanurita S. 2005. Tantangan Indonesia
Solusi Pembangunan Politik Negara Berkembang. Jakarta:
Elex Media Komputindo.
Pope, Jeremy. 2007. Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem
Integritas Nasional. Terjemahan Masri Maris. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Pusat Bahasa Depdiknas. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Puspito, Nanang T., et al. 2011. Pendidikan Anti Korupsi untuk
Perguruan Tinggi. Jakarta: Ditjen Dikti Kemdikbud RI.
Rasuanto, Bur. 2005. Keadilan Sosial Pandangan Deontologis
Rawls dan Habermas Dua Teori Filsafat Politik Modern.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Romli, Lili. 2006. “Reformasi Birokrasi Lokal dan Perwujudan Good
Governance”. Makalah. Disampaikan dalam Seminar
Nasional AIPI XX di Medan tanggal 3-4 Mei 2006.
Saidi, Ridwan. 1989. Mahasiswa dan Lingkaran Politik. Jakarta:
Mapindo Mulathama.
Saleh, Abdul Rahman. 2006. “Korupsi tergolong Extraordinary”.
h tt p : / / . a rs i p . p o n ti a n a k p o s t . c o m / b e r i t a / i n d ex .
248 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

asp?Berita=Pinyuh&id=129619.
Santoso, Amir. 2006. “Korupsi: Birokrasi Pemerintah dan Budaya
Masyarakat”. Makalah. Disajikan dalam Seminar Nasional
AIPI XX di Medan tanggal 3-4 Mei 2006.
Setyawati, Deni. 2008. KPK Pemburu Koruptor Kiprah Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam Memberangus Korupsi.
Yogyakarta: Pustaka Timur.
Silalahi, Ulber. 2006. “Manajemen Pencegahan Korupsi di Sektor
Publik: Kerangka Analisis Sebab-Respon”. Makalah.
Disampaikan dalam Seminar Nasional AIPI XX di Medan
tanggal 3-4 Mei 2006.
Sitepu, Dewi Sinorita. 2006. “Peran Masyarakat Sipil dan
Pemberantasan Korupsi di India: Pembelajaran bagi
Indonesia”. Makalah. Disampaikan dalam Seminar
Nasional AIPI XX di Medan tanggal 3-4 Mei 2006.
Steve, Albrecht W. and Chad O. Albrecht. 2003. Fraud Examination.
New York: Thompson South Western.
Sudjana, Eggi. 2008. Republik Tanpa KPK Koruptor Harus Mati.
Surabaya: JP Books.
Suratno, Pardi. 2006. Sang Pemimpin menurut Asthabrata,
Wulangreh, Tripama, dan Dasa Darma Raja. Yogyakarta:
Adi Wacana.
Surono, Yustinus. T.th. Pendidikan Nilai-Nilai Anti Korupsi Untuk
Kelas 6 SD. Jakarta: KPK dan GTZ.
Suryadi, Bambang. 2006. “Belajar dari Pemberantasan Korupsi di
Negara Lain”. Dalam Karlina Helmanita dan Sukron Kamil
(ed). Pendidikan Anti Korupsi di Perguruan Tinggi. Jakarta:
CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Suseno, Franz Magnis. 1987. Etika Dasar Masalah-masalah Pokok
Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius.
Susilo, NB. 2006. Indonesia Bubar. Yogyakarta: Pinus.
Sutrisno, V dan Eva Sasongko. T.th. Pendidikan Nilai-Nilai Anti
Korupsi Untuk Kelas 5 SD. Jakarta: KPK dan GTZ.
Suyanto, Totok. 205. “Pendidikan Anti Korupsi dan Pengembangan
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 249

Budaya Sekolah”. JPIS. Nomor 23 tahun XIII Edisi Juli –


Desember 2005.
Syakrani dan Syahriani. 2009. Implementasi Otonomi Daerah
Dalam Perspektif Good Governance. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Tamrin, Rustika. 2008. Buku Panduan Guru Modul Pendidikan Anti
Korupsi Tingkat SLTA/MA. Jakarta: KPK.
Tang, Michael C. 2005. Kisah-kisah Kebijaksanaan China Klasik
Refleksi bagi Pemimpin. Terjemahan Vivi Sutanto. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Tarling, Nicholas. 2005. “Introduction”. In Nicholas Tarling (ed).
Corruption and Good Governance in Asia. New York:
Routledge.
Taufani, Bernard. 2012. Jokowi From Zero to Hero. Jakarta: Buku
Pintar.
Thaiyun, Yon. 2012. Jokowi Pemimpin Rakyat Berjiwa Rocker.
Jakarta: Noura Books.
Tunggal I.S. dan Tunggal A.W. 2000. Audit Kecurangan dan
Akuntansi Forensik. Jakarta: Harvarindo.
Warman, Adi. 2006. “Menyingkap Tabir Pemberantasan Korupsi
di Indonesia”. Makalah. Disajikan dalam Seminar Nasional
yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum dan Yayasan
Diponegoro Jateng di Semarang pada tanggal 27 April
2006.
Warta, I Nyoman. 2006. “Mengapa Korupsi”. Dalam Ida Bagus
Agung, dkk (ed). Menuju Masyarakat Antikorupsi
Perspektif Agama Hindu. Jakarta: Departemen Komunikasi
dan Informatika.
Wibowo, I. 2006. “Pemberantasan Korupsi di Cina: Apa yang Bisa
Kita Pelajari”. Makalah. Disampaikan dalam Seminar
Nasional AIPI XX di Medan tanggal 3-4 Mei 2006.
Widodo, Joko. 2008. Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja.
Malang: Bayumedia Publishing.
Wijayanto. 2009. “Memahami Korupsi”. Dalam Wijayanto dan
250 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

Ridwan Zachri (ed). Korupsi Mengorupsi Indonesia Sebab,


Akibat dan Prospek Pemberantasan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Wijoyo, Bagus D. 2012. Pesona dan Karisma Jokowi. Yogyakarta:
Sinar Kejora.
Yuwono, Ismantoro Dwi. 2008. Para Pencuri Uang Rakyat Daftar
59 Koruptor Versi KPK 2003-2008. Yogyakarta: Pustaka
Timur.

MAJALAH
Gatra. No. 31. Tahun XVIII. 13 Juni 2012.
Konstan. Nomor 126. April 2012.
Tempo. Edisi 21-27 September 2009 halaman 80.
Tempo. Edisi 15-21 Oktober 2012 halaman 34.
Tempo. Edisi 10-16 Desember 2012.

SURAT KABAR
Kompas. Edisi Sabtu Tanggal 26 September 2009 halaman 1.
Kompas. Edisi Jumat, Tanggal 22 Februari 2013 halaman 4.
Kompas. Edisi Sabtu, Tanggal 2 Maret 2013 halaman 26.

TABLOID
The Politic. Edisi 09. Tahun II. 01-14 Maret 2013 halaman 12.
GLOSARIUM

Amoral : Budaya yang kurang mengandung nilai-nilai


Familiisme komunitarian, tetapi sangat memperkuat
hubungan keluarga.
Antogenic : Korupsi yang dilakukan seorang diri tanpa
corruption melibatkan orang lain.
Antikorupsi : Kebijakan atau kegiatan untuk mencegah dan
menghilangkan peluang bagi berkembangnya
korupsi.
Devensive : Pemerasan yang dilakukan para korban korupsi
corruption dengan dalih untuk mempertahankan diri.
Good : Tata kelola pemerintahan yang baik.
governance
Graft : Pemanfaatan sumber-sumber publik untuk
kepentingan individu atau pribadi.
Hukuman : Siksa yang dikenakan kepada orang yang
melanggar undang-undang.
Investive : Pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian
corruption langsung dengan keuntungan tertentu, selain
keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh di
masa yang akan datang.
ICAC : Komisi yang secara khusus menangani korupsi.
Ilegal : Tidak menurut hukum.
Keadilan : Memperlakukan sama berat, tidak berat
sebelah, tidak memihak; berpihak kepada yang
benar, berpegang pada kebenaran; sepatutnya,
dan tidak sewenang-wenang.
Keberanian : Tindakan untuk memperjuangkan sesuatu yang
diyakini kebenarannya.
Kedisiplinan : Tertib dan taat kepada peraturan.

251
252 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

Kejujuran : Mengungkapkan sesuatu sesuai dengan


kenyataan yang dilakukan, dialami dan dirasakan.
Kepedulian : .Berperilaku dan memperlakukan orang lain dan
lingkungan sekitarnya, sehingga bermanfaat bagi
semua pihak.
Kerja Keras : Melakukan sesuatu secara bersungguh-sungguh.
Kesederhanaan : Hidup bersahaja dan tidak berlebih-lebihan yang
didasari oleh suatu sikap mental rendah hati.
Keterbukaan : Tidak tertutup, tersingkap, tidak dirahasiakan.
Kleptokrasi : Sistem Pemerintahan yang di dalamnya banyak
atau didominasi oleh aktivitas pencurian harta
negara.
Kolusi : Persekongkolan dan kerjasama rahasia untuk
maksud tidak terpuji.
Korupsi : Penyalahgunaan wewenang oleh pejabat
pemerintah atau politisi bagi keuntungan
mereka sendiri, keluarga, teman, atau orang lain.
Korupsi birokrasi : Pembayaran haram yang diterima oleh pegawai
negeri dari pengguna dalam menerapkan
peraturan-peraturan, kebijakan-kebijakan, dan
hukum.
Kuliah umum : Ceramah tentang masalah tertentu yang boleh
dihadiri oleh mahasiswa dari berbagai jurusan.
Kurungan : Hukuman yang berupa penyekapan di dalam
penjara.
Marginal : Kelompok yang berada di pinggir atau posisi
yang tidak menguntungkan.
Nepotisme : Kecenderungan untuk mengutamakan kerabat
atau sanak saudara sendiri terutama dalam
kaitan dengan perolehan jabatan dan pangkat
dalam pemerintahan.
Nepotistic : Penunjukan yang tidak sah kepada teman atau
corruption sanak saudara untuk memegang jabatan dalam
pemerintahan atau tindakan yang memberikan
perlakuan yang istimewa dalam bentuk uang
atau bentuk-bentuk lain kepada mereka secara
bertentangan atau melawan hukum yang ada.
Pe n d i d i ka n An t i ko r u p s i 253

Nilai : Sesuatu yang menarik, sesuatu yang dicari,


sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang
disukai atau sesuatu yang baik.
Oligarki : Pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa
orang yang berkuasa dari golongan atau
kelompok tertentu.
Parafrasa : Penguraian kembali suatu teks atau karangan
dalam bentuk susunan kata-kata yang lain
dengan maksud untuk dapat menjelaskan makna
yang tersembunyi.
Partikularisme : Perasaan kewajiban untuk membantu dan
membagi-bagi sumber kepada pribadi-pribadi
yang dekat dengan seseorang.
Penahanan : Proses, cara, atau perbuatan menahan.
Pendidikan : Usaha sadar dan sistematis yang diberikan
Antikorupsi kepada peserta didik berupa pengetahuan, nilai-
nilai, sikap dan keterampilan yang dibutuhkan
agar mereka mau dan mampu mencegah
dan menghilangkan peluang berkembangnya
korupsi.
Penggeledahan : Proses, cara, atau perbuatan menggeledah
untuk mencari sesuatu.
Penyelidikan : Proses, cara, perbuatan menyelidiki serta
pengusutan terhadap sesuatu.
Penyidikan : Serangkaian tindakan penyidik yang diatur
oleh undang-undang untuk mencari dan
mengumpulkan bukti pelaku tindak pidana.
Penyitaan : Pengambilan milik pribadi oleh pemerintah
tanpa ganti rugi.
Petty corruption : Tindakan-tindakan mengambil uang sewa atau
tindakan-tindakan kecil lainnya yang dilakukan
oleh pegawai negeri.
Prototipe : Model yang mula-mula (model asli) yang menjadi
contoh.
Publik : Hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan
komunitas atau negara.
254 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

Pungli : Pungutan liar, dengan meminta sesuatu kepada


seseorang atau lembaga tanpa mengacu pada
peraturan yang lazim.
Relokasi : Pemindahan tempat.
Rule of law : Aturan hukum.
Solicitor : Komisi yang memimpin unit hukum dengan tugas
melakukan peninjauan operasi dan penghubung
ICAC dengan parlemen.
Supportive : Korupsi berupa tindakan-tindakan yang
corruption dilakukan untuk melindungi atau memperkuat
korupsi yang sudah ada.
Studi Kasus : Pendekatan untuk meneliti gejala sosial dengan
menganalisis satu kasus secara mendalam dan
utuh.
Subsider : Hukuman sebagai pengganti apabila hal pokok
tidak terjadi, seperti hukuman kurungan sebagai
pengganti hukuman denda apabila terhukum
tidak membayarnya.
Tanggung jawab : Keadaan wajib menanggung segala sesuatunya
atau fungsi menerima pembebanan sebagai
akibat sikap pihak sendiri atau orang lain
Transparan : Jernih, nyata, jelas, dan terbuka.
Universalisme : Komitmen untuk bersikap sama dengan yang
lain.
TENTANG PENULIS

Eko Handoyo dilahirkan di Pati 49 tahun yang lalu. Selepas


SMA, Eko melanjutkan studi ke IKIP Semarang pada tahun 1983.
Gelar Sarjana Pendidikan Moral Pancasila dan Kewargaan Negara
(PMP-KN) diraihnya pada tahun 1987.
Sejak tahun 1988 diangkat oleh Pemerintah Republik Indonesia
menjadi dosen di almamaternya, IKIP Semarang (kini menjadi
Universitas Negeri Semarang). Pada tahun 1995 Eko melanjutkan
kuliah S2 dengan mengambil program studi Ketahanan Nasional
dan lulus pada bulan Februari 1998. September tahun 2009, Eko,
panggilan akrabnya, meneruskan studi S3 di Program Pascasarjana
UKSW Salatiga mengambil program Doktor Studi Pembangunan
dan diselesaikannya pada bulan Mei 2012. Eko adalah seorang
pengajar mata kuliah Etika Politik, Pendidikan Politik, Pendidikan
Antikorupsi, Sosiologi Politik, Kebijakan Publik, Studi Masyarakat
Indonesia, Pendidikan Pancasila, dan Pendidikan Kewarganegaraan
pada program studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
dan program studi Ilmu Politik pada Fakultas Ilmu Sosial Universitas

255
256 D r. E k o H a n d o y o , M . S i .

Negeri Semarang. Jabatan fungsional sebagai dosen adalah lektor


kepala, dengan golongan pangkat IV-C. Buku yang ditulis ini adalah
buku keduabelas sebagai hasil revisi dari buku sebelumnya. Buku
lain yang pernah ditulis adalah Bunga Rampai Politik dan Hukum
(2006), Studi Masyarakat Indonesia (2007), Sosiologi Politik (2008),
Integrasi Sosial Dalam Negara Bermasyarakat Majemuk Pada Era
Global (2009), Pendidikan Anti Korupsi (2009), Pengantar Ilmu
Sosial (2010), Pancasila dalam Perspektif Kefilsafatan & Praksis
(2010), dan Model Pendidikan Karakter Berbasis Konservasi
Pengalaman Universitas Negeri Semarang (2010), Pendidikan
IPS (2011), Etika Politik dan Pembangunan (2011), dan Kebijakan
Publik (2012).

Anda mungkin juga menyukai