Banjir (Putu Wijaya)
Banjir (Putu Wijaya)
Banjir
Cerpen: Putu Wijaya
MELIHAT
"Memang kenapa?"
"Ada tahinya?'
Kaciran ketawa.
"Ada kali. Habis dua hari perut jadi mules terus. Tiap kali makan keluar lagi, keluar
lagi."
"Punya kamu?"
"Iya! Kita kan memang lagi sakit perut terus waktu banjir itu. Air comberannya rasa
gulai kepala ikan nggak?"
"Ya, pasti gulai kepala ikan kan? Nah, itu yang gua makan keluar lagi!"
Waktu itu, muncul sembilan pelajar dari sebuah sekolah bergengsi yang sedang
melakukan pengamatan di mana akan membagikan bantuan untuk korban banjir.
Melihat Kaciran dan temannya ketawa-ketawa terus, mereka mendekat.
"Bukan parah lagi, air sudah sampai di sini," jawab Kaciran cepat menunjuk ke
lehernya, "Adik-adik ini dari mana?"
"Kami dari sekolah kami, Pak. Besok kami mau membawa sumbangan yang
dikumpulkan teman-teman untuk disumbangkan. Tapi maunya ke lokasi yang benar-
benar membutuhkan bantuan."
Para pelajar itu bisik-bisik sesamanya berunding. Kaciran juga main kedip-kedipan
mata dengan tetangganya. Kemudian pelajar itu menggelengkan kepala.
Kaciran terkejut.
"Oke-oke bagaimana?"
"Siapa bilang. Ayo kalau mau masuk ke dalam rumahku. Mau? Nanti tanya sendiri
sama nenekku. Apa punya beras untuk dimakan hari ini? Ayo!"
"Kalau Bapak-bapak memang perlu sekali bantuan, nanti kami laporkan pada pos
lain."
"Siapa bilang?!"
Kaciran terdiam. Setelah berpikir, dia tersenyum lebar. Pelajar itu manggut-
manggut.
"Orang tersenyum artinya senang! Bapak pasti bahagia karena rumah Bapak tidak
kebanjiran! Tapi Bapak tidak boleh lupa, 200 ribu orang yang diberitakan di internet
menjadi korban banjir 5 tahunan ini."
"Adik-adik, di sini semua rata kebanjiran, tidak ada yang tidak. Kalau aku ketawa,
tidak berarti senang. Orang mencoba senang-senang itu tidak berarti tidak perlu
bantuan. Wah, wah, adik-adik ini pasti sudah salah kaprah. Kami ketawa bukan
karena bahagia, tapi justru karena kami sedang kelaparan. Rumah, pakaian, barang-
barang yang kami kumpulkan bertahun-tahun hancur dalam dua hari. Apalagi yang
bisa kami lakukan kecuali ketawa. Kan cuma itu yang gratis. Kalau marah lagi, nanti
tenaganya habis percuma. Ya terpaksa ketawa saja. Yang lain kan semua bayar.
Betul nggak, Dul?"
"Bener Dik, orang ketawa itu bukan seneng tapi susah. Kan ketawa itu sehat. Bikin
awet muda lagi. Makanya meskipun tiap tahun dapat banjir kita ketawa terus,
supaya awet muda terus. Pak Kaciran ini begini-begini udah tiga istrinya, sekarang
udah mau kawin lagi!"
Kaciran ketawa.
"Jangan percaya, Dik. Siapa bilang bini gua tiga? Itu menghina!"
"Habis berapa?"
"Lima!"
Pelajar-pelajar itu bengong. Mereka tidak tahu di mana lucunya. Semua pandang-
pandangan dan bisik-bisik. Yang putri kelihatannya rish sekali. Ia cepat-cepat
menarik teman-temannya untuk pergi.
"Cabut Yuk, ngapain di sini mereka nggak apa-apa kok! Betul juga yang di koran
itu!"
"Lho adik-adik mau ke mana? Katanya mau lihat korban banjir. Kan mau ke rumah
melihat nenekku yang aku gendong naik ke rakit? Yang kelihatan di teve itu lho!"
Para pelajar itu tak menjawab, terus bergegas naik ke dalam mobil.
"Kita tunggu bantuannya lho! Kalau nggak ada barang, mentahannya juga boleh!"
Tapi seruan itu terhapus oleh suara knalpot mobil. Kaciran dan tetangganya
memandang hampa.
"Anak-anak orang kaya sok tahu semua. Berlagak mau jadi pahlawan. Kalau mau
nyumbang nggak usah ngomong gede! Kalau memang ikhlas nyumbang, bawa saja
kemari, pakai ngintip-ngintip segala, paling juga cuma mie seduh yang bikin perut
kita rusak! Dasar! Mana dia tahu kita kelaparan! Koran udah ribut gitu, dia masih
ngetes kita!"
"Apalagi nonton televisi. Mesti lihat aku gendong nenek sampai negak air
comberan, dong?!"
"Tapi bukan teve kita yang ditonton, MTV atau film kartun!"
Kaciran mencibir.
"O gitu? Makanya nggak heran koran jadi teriak-teriak terus supaya yang buta, yang
budek itu mau sekali-sekali lihat nasib orang di bawah! Coba rasain sebentar di sini,
jangan cuma duduk di kursi tinggi. Enak nggak jadi rakyat!"
Dul mikir.
"Enaknya?"
"Bisa maki-maki kayak lhu itu. Ngomong apa juga kagak salah. Tapi coba mereka?
Salah dikit juga bisa putus nyawanya. Keceplosan ngomong seperti yang lhu bilang
di koran itu, jadi bahan umpatan. Ya nggak?"
"Yang mana?"
"Itu yang lhu bilang nongol kepalanya di air dan berkoar: korban masih bisa tertawa,
media jangan membesar-besarkan soal banjir!"
"Itu dia!"
"Gila, memang! Kali tengkoraknya ketawa karena lihat ada orang masih sempat-
sempatnya kawin padahal air sudah selutut. Yang masak, yang kondangan,
pengantennya basah semua, tapi terus aja kawin karena udah kebelet."
"Salah! Bukan! Tengkoraknya ketawa karena airnya rasa gulai kepala ikan!"
"Sialan!"
Nenek Kaciran keluar dari dalam rumah. Dia memanggil Kaciran. Bujang tua itu
terpaksa mengunci ketawanya, lalu berlari menghampiri satu-satunya keluarga yang
masih hidup di sampingnya itu. Nenek itulah yang telah memberinya kekuatan
untuk terus bertahan. Padahal seluruh keluarganya sudah ditelan oleh ombak waktu
pulang ke kampung.
Nenek Kaciran memberi isyarat supaya cucunya cepat masuk. Kaciran melompat
masuk. Di televisi disiarkan kembali musibah banjir yang konon sudah menjadi
makanan tahunan dan bonus 5 tahunan ibukota
Air naik dengan cepat dan lebih dahsyat dari banjir-banjir yang pernah terjadi
sebelumnya. Banyak kawasan yang tidak pernah terjamah, kini tak berdaya. Toh
banyak penduduk yang masih tetap bertahan di rumahnya. Mereka takut hartanya
akan dimaling. Baru setelah air semakin mengancam dan persediaan makanan
habis, orang mulai mau dievakuasi.
"Tadi kamu kelihatan di situ sama Nenek," kata orang tua itu menunjuk ke televisi.
"Gendong Nenek?"
"Ya."
"Kalau tidak ada banjir aku tidak akan pernah masuk televisi."
"Ya itulah gunanya banjir," kata Kaciran melucu.
"Kalau tidak ada banjir, aku tidak akan pernah jadi Naga Bonar."
"Apa?"
"Kalau tidak ada banjir aku tidak akan pernah gendong Nenek," kata Kaciram
sembari ketawa.
Kaciran ketawa.
"Siapa yang tidak takut. Biar sudah tua, biar tidak punya apa-apa, aku juga takut.
Emangnya Cuma orang kaya yang takut? Kamu tidak takut?"
"Ya."
Kaciran tersenyum, sebab ingat hari itu. Ia sudah terminum air comberan dan
diledek. Tidak ada yang percaya dia tidak bisa berenang. Hanya waktu tentara yang
menolong itu bilang Kaciran adalah Naga Bonar kecemplung kali, ia tidak bisa lagi
menahan diri untuk menertawai dirinya dan sekaligus membunuh rasa takutnya.
"Tidak."
"Kalau begitu kamu ketawa, karena kamu bersyukur. Walau pun kena gempa, kena
banjir kamu masih tetap hidup. Begitu?"
Kaciran ketawa.
"Kok ketawa?"
"Aku nggak tahu, Nek. Mulutku udah ketawa saja duluan, sebelum aku bisa
ngomong."
"Kenapa?"
Kaciran terkejut.***
Jakarta 2007
karikatur GM Sudarta di koran tentang banjir, Kaciran ngedumel. "Itu ngenyek aku!"
katanya kepada tetangga yang sama-sama kebanjiran. "Memang bener juga aku ketawa
waktu ada orang televisi yang nyorot. Habis lagi gendong nenek untuk dinaikkan ke atas
rakit, mereka bilang aku Naga Bonar kecemplung kali!"