Anda di halaman 1dari 8

RIDO TRI PUTRA

18/423589/FI/04447
TUGAS PENGGANTI UTS

HARGA DIRI DAN


BUDAYA MERANTAU PADA SUKU BUGIS

Suku Bugis adalah salah satu suku yang terdapat di provinsi Sulawesi Selatan. Suku ini
terkenal karena keahliannya melaut dan merantau. Tradisi merantau merupakan bagian dari
kebudayan orang Bugis. Mereka merantau dengan berbagai pertimbangan. Seorang antropolog,
Mattulada, menjelaskan bahwa jika seorang raja berbuat sewenang-wenang, maka rakyat dapat
menurunkan raja dari tahtanya atau rakyat meninggalkannya. Menurut Mattulada, banyak orang
Bugis bertebaran di luar daerah asalanya, seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara,
Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, DKI Jakarta, Jambi, Riau, dan Kepulau Riau. Menurut
Pelras (2006) orang Bugis pergi merantau demi kepentingan ekonomi, padahal, sebenarnya
orang Bugis merantau demi meneggakan siri’ atau harga diri dan marwa (Takko, 2020: 28).
Berdasarkan sensus tahun 2010, terdapat 6.359.000 populasi suku Bugis yang ada di Indonesia.
Dengan jumlah ini, menempatkan suku Bugis dalam peringkat ketujuh pada peringkat Suku di
Indonesia berdasarkan suku.

Menurut Pelras (2006), profesi orang-orang Bugis secara tradisional adalah Bertani. Akan
tetapi, keadaan itu berubah pada abad-abad berikutnya, karena kenyataan sosial menunjukan
bahwa orang Bugis lalu membangun komunitas di luar daerah asalanya dan banyak ditemukan di
daerah pesisir pantai dan mereka menggunakan kapal Phinisi dalam mengarungi samudera. Di
beberapa wilayah, suku Bugis dikenal sebagai pelaut yang pemberani dan handal (Takko, 2020:
28). Salah satu sebab mengapa orang Bugis banyak yang menjadi pelaut ulung adalah penerapan
falsafah hidup yang mereka pegang teguh yaitu, “kualleangi tallanga na toalia”, yang dalam
bahasa Indonesia berarti lebih baik mati tenggelam dari pada pulang. Tidak hanya merantau di
sekitar Asia Tenggara, jelajah rantuan orang Bugis bahkan mencapai Afrika Selatan. Sudah
bukan rahasia lagi jika sukses di perantauan adalah cita-cita orang Bugis dan juga penerapan
falsafah hidup orang Bugis (Afandi, 2016: 96).
Ada beberapa alasan mengapa orang-orang Bugis pergi merantau, mulai dari
ketidakstabilan politik, hingga alasan filosofis yang mendasari. Alasan politis diantaranya perang
Makassar yang menyebabkan kampung halaman mereka tidak lagi aman, dan selanjutnya adanya
gerakan DI/TII yang berlangsung pada 1950 sampai 1965 di Sulawesi Selatan (Gonggong, 2004:
8). Alasan filosofisnya ialah nilai yang sangat penting yang dianut oleh orang Bugis hingga saat
ini, yaitu Siri’, yang secara harfiah berarti rasa malu. Siri menjadi salah satu alasan kuat mengapa
orang Bugis, Siri’ berkaitan dengan masalah harga diri orang Bugis. Harga diri yang rusak dapat
mendorong satu keluarga Bugis untuk pergi dari kampung halaman atau merantau, dan
umumnya mereka kembali ke kampung halaman dalam waktu yang cukup lama (Abidin, 2008:
57). Sukses di perantuan menjadi salah satu cara yang ditempuh untuk mengembalikan harga diri
yang telah gagal mereka pertahankan sebelum merantau (Umar, 2018: 4).

Harga diri memiliki posisi yang cukup penting bagi masyarakat Bugis. Untuk
menjaganya dengan baik bagi diri sendiri maupun keluarga, membuat mereka tidak memiliki
kebebasan unutk melakukan pekerjaan yang sembarangan. Ketika harga diri dianggap sudah
tidak ada, maka pantang bagi bagi suatu keluarga untuk tetap tinggal di kampung, sebab secara
tidak langsung mereka tidak lagi memiliki kemerdekaan. Tanpa adanya kebebasan dalam
berusaha, tidak mungkin suatu keluarga dapat meningkatkan taraf hidup secara ekonomi dan
berkecukupan secara materi yang menjadi impian bagi setiap orang Bugis. Kemungkinan untuk
bisa mewujudkan setiap impian dapat mereka lakukan ketika mereka melepaskan diri dari ikatan
keluarga dan merantau menjadi salah satu pilihan yang utama (Umar, 2018: 4).

Selain Siri’, keyakinan yang hadir dalam sejarah perantau Bugis, yaitu ketika bertahan
hidup dan melakukan usaha di perantauan, mereka membawa tiga nilai yang selalu menempel
pada diri setiap perantau Bugis. Tiga nilai yang dimaksud ialah, “ujung lidah”, “ujung
kemaluan”, dan “ujung badik”. Ketiga nilai itu memiliki makna bahwa untuk merantau, orang
Bugis harus memiliki bekal kemampuan bela diri, kemampuan bernegosiasi, dan kemampuan
untuk mengambil hati tokoh masyarakat sehingga dapat menjadi bagian dari keluarganya (Bakti,
2010: 8). Ketiga nilai tersebut telah menjadi bekal orang Bugis untuk mencapai kesuksesan di
tanah rantau.

Orang Bugis telah memegang peranan penting di dalam perdagangan maritime


menggantikan peranan orang Melayu dan Jawa (Van, Leur, 1960: 154). Makassar menjadi salah
satu pelabuhan tersibuk di wilayah Nusantara dan orang Bugis menjadi aktor utama karena pusat
perdagangan berada di Makassar. Orang-orang Bugis merantau dan menetap terutama di daerah
perdagangan yang sibuk. Ketika berniat untuk menetap, mereka mendirikan perkampungan
otonom di daerah-daerah perdagangan yang penting. Salah satau berita yang ditinggalkan
mengenai masyarakat Bugis perantau ini adalah yang berasal dari orang Bugis di Kutai (Tromp,
1887).

Alasan mengapa harga diri dan budaya merantau suku Bugis penting untuk dikaji, ialah
untuk mengungkap tentang bagaimana nilai-nilai dan prinsip yang dipegang oleh masyarakat
Bugis, dan untuk mengetahui mengapa suku Bugis tersebar diseluruh penjuru Nusantara,
maupun Asia Tenggara, bagaimana asal mulanya, dan karakter orang Bugis tentunya.
HARGA DIRI DAN BUDAYA MERANTAU
PADA SUKU BUGIS SEBAGAI BENTUK KEBUDAYAAN DAN KEARIFAN LOKAL
Suku Bugis adalah salah satu suku yang terdapat di provinsi Sulawesi Selatan. Suku ini
terkenal karena keahliannya melaut dan merantau. Tradisi merantau merupakan bagian dari
kebudayan orang Bugis. Berdasarkan sensus tahun 2010, terdapat 6.359.000 populasi suku Bugis
yang ada di Indonesia. Dengan jumlah ini, menempatkan suku Bugis dalam peringkat ketujuh
pada peringkat Suku di Indonesia berdasarkan suku.

Menurut Pelras (2006), profesi orang-orang Bugis secara tradisional adalah Bertani. Akan
tetapi, keadaan itu berubah pada abad-abad berikutnya, karena kenyataan sosial menunjukan
bahwa orang Bugis lalu membangun komunitas di luar daerah asalanya dan banyak ditemukan di
daerah pesisir pantai dan mereka menggunakan kapal Phinisi dalam mengarungi samudera. Di
beberapa wilayah, suku Bugis dikenal sebagai pelaut yang pemberani dan handal (Takko, 2020:
28).

Ada beberapa alasan mengapa orang-orang Bugis pergi merantau, mulai dari
ketidakstabilan politik, hingga alasan filosofis yang mendasari. Alasan politis diantaranya perang
Makassar yang menyebabkan kampung halaman mereka tidak lagi aman, dan selanjutnya adanya
gerakan DI/TII yang berlangsung pada 1950 sampai 1965 di Sulawesi Selatan (Gonggong, 2004:
8).

Orang Bugis selalu berpegang teguh pada nilai-nilai yang diajarkan oleh para leluhur
mereka, salah satunya Siri’ atau budaya malu yang sangat kuat melekat oleh masykarat Bugis itu
sendiri. Siri’ menjadi salah satu alasan kuat masyarakat Bugis untuk merantau, mereka akan
pulang ke kampung halaman jika telah menganggap diri mereka sukses di tanah rantau.

Ada beberapa konsep teori dari Hayden White yang digunakan untuk menjelaskan
tentang budaya merantau pada suku Bugis. Yang pertama dalam bidang kajian filsafat sejarah.
Filsafat sejarha diidentifikasi dengan studi tentang hukum-hukum perkembangna sejarah yang
terjadi sejak abad kedelapan belas. Lebih jauh, White mengatakan bahwa filsafat ini tidak
mempelajari proses sejarha tapi hanya menjalankan “beasiswa sejarah”. Dari filsafat ini White
mempertanyakan antara filsafat sejarah spekulatif dan sejarah analitis (Herman, 2011: 3).
Sistem kearifan lokal meyakini bahwa manusia (mikro) dan alam (makro) memiliki
hubungan yang harmonis, yang dilandasi oleh pengertian heterogenitas (keberagaman). Oleh
karena itu, dalam sistem kearifan lokal tidak dikenal kebenaran tunggal, hanya kebenaran relatif
dan kontekstual, kebenaran hanya dapat diperoleh melalui pendekatan holistik yang menghargai
keberagaman (Saleh Ali, 2000).

Menurut penelitian Berkes dan Folke (1998), dibandingkan dengan orang yang jarang
menghadapi masa kritis, orang yang sering menghadapi tantangan memiliki banyak kearifan
lokal dan dapat bertahan hidup karena dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan. Pada
dasarnya kearifan lokal terakumulasi dari generasi ke generasi dan merupakan salah satu bentuk
kekayaan bangsa, tidak tergantikan dan berguna untuk masa kini dan masa depan. Pengetahuan
dan informasi tentang suku Bugis perlu dicatat dan dilakukan penelitian ilmiah tentang potensi,
pemanfaatan, manfaat atau prospek pengembangannya. Kemudian, kearifan lokal juga dapat
digunakan sebagai data dasar untuk pengembangannya

Haviland dalam Harris 1999, menyebutkan bawahwa budaya sebagai sesuatu yang terdiri
dari nilai-nilai abstrak, kepercayaan, dan persepsi atas dunia yang menentukan bagaimana
manusia berperilaku, serta memberikan pembenaran atas perilakunya tersebut, maka dapat
dikatakan bahwa dalam nilai atau filosofi Siri’ terkandung nilai legitimasi bagi orang Bugis
untuk melakukan sesuatu dalam rangka menegakkan nilai yang mereka anut (Afandi, 2016: 101).
METODOLOGI PENELITIAN

Untuk mendapatkan penelitian yang berkaitan dengan topik ini, dan untuk meningkatkan
pemahaman dan pedoman menulis berdasarkan pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian ini,
penulis mengumpulkan data dalam daftar menggunakan metodologi dan menganalisis semua
data yang dikumpulkan. Alat metode penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut: jenis
penelitian, untuk jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif.

Pada penelitian ini teknologi pengumpulan data menggunakan analisis isi, artinya analisis
isi adalah suatu penelitian yang menggunakan sekumpulan prosedur untuk menarik kesimpulan
yang valid dari data atau dokumen, atau digunakan untuk menarik kesimpulan dengan berusaha
mencari karakteristik informasi. teknologi. Secara obyektif dan sistematis (Fraenkel dan Wallen
2008: 483).

Berdasarkan teori Anton Baker, analisis data dalam penelitian filsafat harus
menggunakan salah beberapa analisis data diantaranya, penafsiran, pemahaman atau
hermeneutika, koherensi intern, holistika kesinambungan historis, dan deskripsi. Dalam
pelaksanaannya, penelitian ini menerapkan berbagai metode analisis data. Pertama, metode
analisis data adalah data deskriptif. Penggunaan metode analisis data deskriptif bertujuan untuk
menganalisis semua pemikiran filosofis ilmu pengetahuan, sehingga dapat ditentukan tujuan dari
penelitian ini. Kedua, metode analisis data (interpretasi) Verstehen (Baker, 2011: 41).

Data tentang merantau di Suku Bugis dilakukan dengan metode survie terhadap beberapa
bacaan berupa jurnal yang tersedia di internet untuk menggali informasi dan pengetahuan tentang
budaya merantau suku Bugis. Kemudian penelitian ini bertujuan untuk kepentingan publik yang
membaca sehingga membuka ruang diskusi tentang tradisi merantau suku Bugis.
DAFTAR PUSTAKA

A.B. Takko Bandung. 2020. Budaya Bugis dan Persebarannya dalam Persepektif Antropologi
Budaya. Lensa Budaya, 15(1), 27 – 36.
Afandi, Ichlas Nanang. 2016. Pemaknaan Self Pada Orang Bugis-Makassar. Seminar Nasional
Psikologi 2016: “Empowering Self.
Gonggong Anhar. 2004. Abdul Qahar Mudzakar, dari Patriot Hingg Pemberontak. Yogyakarta:
Ombak.
Abidin, Aslan. 2008. Merantau Sebagai Benuk Perlawan Suku Bugis. Jurnal Wacana, Gerakan
Budaya. Edisi 24. Tahun 2008.
Umar, 2018. Perantau Bugis Dalam Narasi Sejarah: Sebuah Kritik Historiografi. Yogyakarta:
Universitas Shanata Dharma.
Bakti, Andi Faisal. 2010. Diaspora Bugis di Alam Melayu. Makassar: Ininnawa.
Leur, J.C. Van. 1960. Indonesian Trade and Society. Bandung: Sumur.
Tromp, S.W. “Eenige mededeelingen omtrent de Boeginezen van Koetei”. BKI, 1887
Paul, Herman. 2011. Hayden White the Historical Imagination. Polity Press.
Frankel, J. P. & Wallen N. E. (2008). How to Design and Evaluate Research in Education.
New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
Ali, Saleh M. 2000. Pengetahauan Lokal dan Pembangunan Pertanian Berkelanjutan: Perspektif
Kaum Marjinal. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Pada Fakultas Pertanian dan
Kehutanan Unhas.
Bakker, Anton. 2011. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Rido Tri Putra
NIM : 18/423589/FI/04447
Menyatakan bahwa tugas yang kerjakan merupakan hasil buah pemikiran saya sendiri tanpa
adanya plagiasi, saya menjamin keaslian tugas saya.

Yogyakarta, 19 Oktober 2020


Yang menyatakan,

RIDO TRI PUTRA


(18/423589/FI/04447)

Anda mungkin juga menyukai