Anda di halaman 1dari 55

PENGARUH KOMPRES AIR HANGAT TERHADAP PENURUNAN

NYERI LUKA PERINEUM IBU POST PARTUM DI PMB


YOYOH SUHERTI PRINGSEWU TAHUN 2020

PROPOSAL

Oleh :
DAYANA NOPRIDA
NIM : 2020092010003

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
TAHUN 2020
PENGARUH KOMPRES AIR HANGAT TERHADAP PENURUNAN
NYERI LUKA PERINEUM IBU POST PARTUM DI PMB
YOYOH SUHERTI PRINGSEWU TAHUN 2020

PROPOSAL
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Tengah Semester
Mata Kuliah Riset Kuantitatif

Dosen Pengampu Mata Ajar :


Dr. M. Hadi, SKM, M. Kep

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
TAHUN 2020

KATA PENGANTAR
ii Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan

Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Proposal ini

dengan baik sebagai salah satu persyaratan Ujian Tengah Semester mata ajar Riset

Kuantitatif. Adapun judul dari Proposal ini adalah “Pengaruh Kompres Air

Hangat Terhadap Nyeri Luka Perineum Ibu Post Partum di PMB Yoyoh Suherti

Pringsewu Tahun 2020”.

Dalam penyusunan Proposal ini, penulis mengalami banyak kesulitan, namun

karena peran serta dari berbagai pihak maka penulis dapat menyelesaikan

proposal ini.

Penulis menyadari bahwa proposal ini belum sempurna, maka dari itu kritik

dan saran yang bersifat membangun sangat saya harapkan. Tiada hal penulis

harapkan semoga proposal ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan

umumnya bagi rekan-rekan mahasiswa Program Magister Universias

Muhammadiyah Jakarta.

Pringsewu, November 2020

Peneliti

DAFTAR ISI
iii Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta
HALAMAN SAMPUL DEPAN......................................................................... i
HALAMAN JUDUL DENGAN SPESIFIKASI................................................ ii
KATA PENGANTAR........................................................................................ iii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................. 4
C. Tujuan............................................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian............................................................................ 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Laserasi Perineum............................................................................. 8
B. Perawatan Luka Perineum................................................................. 20
C. Nyeri.................................................................................................. 28
D. Kompres Hangat................................................................................ 41
E. Kerangka Teori.................................................................................. 45
F. Kerangka Konsep.............................................................................. 46
G. Hipotesis............................................................................................ 47

BAB III DESAIN PENELITIAN


A. Kerangka Konsep.............................................................................. 48
B. Definisi Operasional.......................................................................... 50
C. Hipotesis Penelitian........................................................................... 51

DAFTAR PUSTAKA

iv Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masa nifas merupakan masa kritis bagi ibu yang telah bersalin dan bayi

baru lahir, hal ini terjadi karena resiko kesakitan dan kematian ibu serta bayi

lebih sering terjadi pada pasca persalinan. Biasanya pada masa ini masa nifas

sering terjadi nyeri luka pada perineum, baik luka yang dibuat seperti

episiotomi atau luka robekan spontan, salah satunya adalah laserasi perineum

yang dilakukan untuk mencegah robekan perineum, mengurangi regangan otot

penyangga kandung kemih atau rektum yang terlalu kuat (Marmi, 2012).

Menurut World Health Organization (WHO) 2016, 99% kematian ibu

terjadi di negara berkembang. Rasio kematian ibu di negara – negara

berkembang adalah 239/100.000 kelahiran hidup versus 12/100.000 kelahiran

hidup di negara maju, sekitar 50% dari kejadian laserasi perineum tersebut

terjadi di Asia. Hampir 75% penyebab utama kematian ibu yaitu perdarahan

(WHO, 2016), dan di Indonesia sekitar 75% ibu melahirkan secara

pervaginam megalami laserasi perineum. Pada tahun 2017 menemukan

bahwa dari total 1951 kelahiran spontan pervaginam, 57% ibu mendapat

jahitan perineum (28% karena episiotomi dan 29% karena robekan spontan)

(Kemenkes RI, 2017). Sedangkan Data dari Dinkes Kesehatan Provinsi

Lampung tahun 2017, sekitar 35,63% penyebab perdarahan post partum

adalah perlukaan jalan lahir, baik dengan tindakan episiotomi maupun robekan

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta


spontan yang dapat mengakibatkan nyeri (Dinkes Kabupaten Pringsewu,

2017).

Sekitar 23-24% ibu post partum mengalami nyeri dan ketidaknyamanan

selama 12 hari post partum. Ketidaknyamanan dan nyeri yang dialami ibu post

partum akibat robekan perineum biasanya ibu takut untuk bergerak setelah

persalinan. Bahkan nyeri akan berpengaruh terhadap mobilisasi, pola istirahat,

pola makan, psikologis ibu, kemampuan untuk buang air besar atau buang air

kecil, aktifitas sehari - hari dalam hal menyusui dan mengurus bayi. Dampak

dari mobilisasi yang terganggu dapat menyebabkan subinvolusi pengeluaran

lokea yang tidak lancar dan perdarahan post partum, jika nyeri luka perineum

tidak diatasi (Rahmawati, 2013).

Perawatan perineum pasca persalinan akan menambah kenyamanan dan

keamanan ibu karena dapat terhindar dari infeksi. Menurut Prawirohardjo

(2012) perawatan luka episiotomi pada ibu post partum sangat penting agar

luka dapat sembuh dan tidak terjadi infeksi. Menurut Suwiyoga (2004 dalam

Octavia 2012) perawatan perineum yang tidak benar dapat mengakibatkan

kondisi perineum yang terkena lokhea dan lembab akan sangat menunjang

perkembangbiakan bakteri yang dapat menyebabkan infeksi pada perineum.

Munculnya infeksi pada perineum dapat merambat kesaluran kandung kencing

ataupun pada jalan lahir yang dapat berakibat pada munculnya komplikasi

kandung kencing maupun infeksi pada jalan lahir. Penanganan komplikasi

yang lambat dapat menyebabkan kematian ibu post partum mengingat kondisi

ibu post partum masih sangat lemah.

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta


Berbagai metode untuk mengatasi nyeri luka perineum akibat laserasi

dapat dilakukan baik secara farmakologi atau non farmakologi. Metode dalam

mengatasi nyeri secara farmakologi lebih efektif dibandingkan dengan metode

non farmakologi. Namun, metode farmakologi berpotensi memberikan efek

samping bagi ibu seperti memberikan analgetik asam mefenamat yang dapat

menyebabkan nyeri pada lambung ibu. Penanganan nyeri secara farmakologi

beresiko juga bagi bayi karena masuk kedalam peredaran darah yang

terkumpul pada air susu ibu seperti reaksi alergi dan diare pada bayi.

Sedangkan secara non farmakologi lebih aman diterapkan karena mempunyai

risiko yang lebih kecil, tidak menimbulkan efek samping dalam mengatasi

nyeri pada daerah perineum (Firdayanti, 2012).

Salah satu metode non farmakologi pilihan yang paling sederhana yang

dapat digunakan untuk mengatasi nyeri dan ketidaknyamanan terutama ibu

post partum dengan nyeri luka perineum adalah dengan menerapkan

penggunaan kompres hangat dan kompres dingin. Penggunaan kompres

hangat merupakan salah satu bentuk pemberian stimulasi kutaneus dengan

pemanfaatan suhu. Kompres hangat ini bekerja dengan memblok transmisi

stimulus nyeri sehingga impuls nyeri yang mencapai otak lebih sedikit dan

memberikan rasa hangat pada daerah tertentu (Potter & Perry, 2012).

Sejalan dengan penelitian Rosdhal (2014) yang menyatakan bahwa

kompres hangat dapat memberikan rasa hangat yang bertujuan untuk

memberikan rasa nyaman, mengatasi nyeri, mengurangi atau mencegah

spasme otot dan memberikan rasa hangat pada daerah tertentu. Sedangkan

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta


penelitian Manurung (2013), menyatakan bahwa kompres hangat memiliki

dampak fisiologis bagi tubuh, yaitu pelunakan jaringan fibrosa, mempengaruhi

oksigenisasi jaringan sehingga dapat mencegah kekakuan otot,

memvasodilatasikan dan memperlancar aliran darah, sehingga dapat

menurunkan atau menghilangkan rasa nyeri. Selain itu kelebihan kompres

hangat dapat membantu pemulihan luka, mengurangi infeksi dan inflamasi,

mempelancar pasokan aliran darah serta memberikan ketenangan dan

kenyamanan pada klien.

Berdasarkan hasil pra survey yang peneliti lakukan di PMB Yoyoh

Suherti didapatkan data sebanyak 70 ibu bersalin normal didapatkan 43 orang

mengalami laserasi perineum. Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti

lakukan pada beberapa ibu nifas, didapatkan bahwa ibu menyatakan bahwa

ketika mengalami nyeri pada luka perineum ibu hanya minum obat yang

diberikan oleh petugas kesehatan saja.

Berdasarkan permasalahan tersebut peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul “Pengaruh Kompres Air Hangat Terhadap Nyeri Luka

Perineum Ibu Post Partum di PMB Yoyoh Suherti Pringsewu Tahun 2020.

B. Rumusan Masalah

Nyeri pasca episiotomi menyebabkan kemampuan mobilitas ibu post

partum lebih sedikit, karena pada masa ini ibu butuh perawatan tentang nyeri

luka episiotomi. Salah satu metode untuk mengurangi nyeri pada luka

perineum adalah pemberian terapi non farmakologis yaitu kompres air hangat.

Berdasarkan latar belakang maka dapat dirumuskan suatu masalah “Apakah


Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta
ada pengaruh kompres air hangat terhadap nyeri luka ibu post partum di PMB

Yoyoh Suherti Pringsewu tahun 2020?”

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Diketahui pengaruh kompres air hangat terhadap penurunan nyeri

luka perineum ibu post partum di PMB Yoyoh Suherti. SST Pringsewu

tahun 2020.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahui karakteristik ibu post partum di PMB Yoyoh Suherti. Sst,

M.Kes Pringsewu tahun 2020.

b. Diketahui skala nyeri luka perineum ibu post partum sebelum

dilakukan kompres air hangat di PMB Yoyoh Suherti. SST Pringsewu

tahun 2020.

c. Diketahui skala nyeri luka perineum ibu post partum setelah dilakukan

kompres air hangat di PMB Yoyoh Suherti. SST Pringsewu tahun

2020.

d. Diketahui adanya pengaruh kompres air hangat terhadap nyeri luka

perineum ibu post partum di PMB Yoyoh Suherti. SST Pringsewu

tahun 2020

D. Manfaat Penelitian

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta


1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat menjadi bahan referensi bagi penelitian

selanjutnya mengenai terapi non farmakologi dalam mengurangi nyeri

episiotomi perineum dengan kompres air hangat.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Tenaga Kesehatan

Penelitian diharapkan dapat menjadi masukan yang berarti bagi

tenaga kesehatan agar bisa menjadikan kompres air hangat sebagai

salah satu program pengobatan non farmakologis bagi kesehatan ibu

nifas dalam rangka menurunkan nyeri luka perineum.

b. Bagi Responden

Diharapkan penelitian ini dapat menambahan ilmu pengetahuan

tentang managemen nyeri bagi ibu nifas yang mengalami luka

perineum sehingga aktivitasnya tetap bisa berjalan seperti biasanya.

c. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai perbandingan

penelitian di kemudian hari dalam pengembangan mata kuliah

keperawatan maternitas terutama pengaruh pemberian kompres air

hangat dalam penurunan nyeri luka perineum.

d. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil dari penelitian ini sebagai acuan peneliti lain untuk

dijadikan dasar penelitian selajutnya supaya dapat dikembangkan

terutama keperawatan maternitas.

BAB II

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta


TINJAUAN PUSTAKA

A. Laserasi Perineum

1. Pengertian

Laserasi adalah luka pada perineum yang diakibatkan oleh rusaknya

jaringan secara alamiah karena proses desakan kepala janin atau bahu pada

saat persalinan. Bentuk laserasi biasanya tidak teratur sehingga jaringan

yang robek sulit dilakukan penjahitan (Sukrisno, Adi 2010).

Laserasi perineum adalah robekan yang terjadi pada perineum hampir

pada semua persalian pertama dan tidak jarang pada persalinan berikutnya

(Prawirohardjo, 2012).

Laserasi perineum adalah robekan yang terjadi pada saat bayi lahir

baik secara spontan maupun dengan menggunakan alat atau tindakan.

Robekan perineum umumnya terjadi pada garis tengah dan bisa menjadi

luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat. Robekan perineum terjadi

pada hampir semua primipara (Wiknjosastro, 2012).

Menurut Oxom (2010), robekan perineum adalah robekan obstetrik

yang terjadi pada daerah perineum akibat ketidakmampuan otot dan

jaringan lunak pelvik untuk mengakomodasi lahirnya fetus.

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta


2. Klasifikasi Laserasi Perineum

a. Robekan Derajat Pertama

Robekan derajat pertama melitupi mukosa vagina, fourchetten

dan kulit perineum tepat dibawahnya (Oxorn, 2010). Robekan

perineum yang melebihi derajat satu di jahit. Hal ini dapat dilakukan

sebelum plasaenta lahir, tetapi apabila ada kemungkinan plasenta

harus dikeluarkan secara manual, lebih baik tindakan itu ditunda

sampai menunggu palasenta lahir. Dengan penderita berbaring secara

litotomi dilakukan pembersihan luka dengan cairan anti septik dan luas

robekan ditentukan dengan seksama (Sumarah, 2012).

b. Robekan Derajat Kedua

Laserasi derajat dua merupakan luka robekan yang paling dalam.

Luka ini terutama mengenai garis tengah dan melebar sampai corpus

perineum. Acapkali musculus perineus transverses turut terobek dan

robekan dapat turun tapi tidak mencapai spinter recti. Biasanya

robekan meluas keatas disepanjang mukosa vagina dan jaringan

submukosa. Keadaan ini menimbulkanluka laserasi yang berbentuk

segitiga ganda dengan dasar pada fourchette, salah satu apexpada

vagina dan apex lainnya didekat rectum (Oxorn, 2010).

Pada robekan perineumderajat dua, setelah diberi anastesi local

otot-otot difragma urogenetalis dihubungkan digaris tengah jahitan dan

kemudian luka pada vagina dan kulit perineum ditutup dengan

mengikut sertakan jaringan-jaringan dibawahnya (Sumarah, 2012).


Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta
c. Robekan Derajat Ketiga

Robekan derajat ketiga meluas sampai corpus perineum,

musculus transverses perineus dan spinter recti. Pada robekan partialis

derajat ketiga yang robek hanyalah spinter recti; pada robekan yang

total, spinter recti terpotong dan laserasi meluas hingga dinding

anterior rectum dengan jarak yang bervariasi. Sebagaian penulis lebih

senang menyebutkan keadaan ini sebagai robekan derajat keempat

(Oxorn, 2010). Menjahit robekan perineum derajat tiga harus

dilakukan dengan teliti, mula-mula dinding depan rectum yang robek

dijahit, kemudian fasia prarektal ditutup, dan muskulus sfingter ani

eksternus yang robek dijahit. Selanjutnya dilakukan penutupan

robekan seperti pada robekan perineum derajat kedua. Untuk

mendapatkan hasil yang baik pada robekan perineum total perlu

diadakan penanganan pasca pembedahan yang sempurna (Sumarah,

2012).

d. Robekan Derajat Keempat

Robekan yang terjadi dari mukosa vagina, komisura posterior,

kulit perineum, otot perineum, otot spinter ani eksterna, dinding

rektum anterior (Sumarah, 2010). Semua robekan derajat ketiga dan

keempat harus diperbaiki diruang bedah dengan anastesi regional atau

umum secara adekuat untuk mencapai relaksasi sfingter. Ada argument

yang baik bahwa robekan derajat ketiga dan keempat, khususnya jika

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta


rumit, hanya boleh diperbaikioleh profesional berpengalaman seperti

ahli bedah kolorektum, dan harus ditindaklanjuti hingga 12 bulan

setelah kelahiran. Beberapa unit maternitas memiliki akses ke

perawatan spesialis kolorektal yang memiliki bagian penting untuk

berperan (Mauree Boyle, 2011).

Gambar 2.1
Robekan Perineum

Derajat I Derajat II Derajat III Derajat IV

Sumber : Mauree Boyle (2011)

3. Etiologi

Menurut Mochtar (2012), robekan pada perineum umumnya terjadi pada

persalinan dimana:

a. Kepala janin terlalu cepat

b. Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya

c. Sebelumya pada perineum terdapat banyak jaringan parut

d. Pada persalianan dengan distosia bahu

e. Presentasi defleksi (dahi, muka)

f. Primipara

g. Letak sungsang

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta


h. Pada obstetri dan embriotomi: ekstraksi vakum, ekstraksi forsep, dan

embriotomi

Menurut (Oxorn, 2010) penyebab terjadinya laserasi perineum ada 2

faktor adalah :

a. Faktor maternal:

1) Partus presipitatus yang tidak terkendalikan dan tidak ditolong

Persalinan yang terjadi kurang dari 3 jam, persalinan yang terlalu

cepat menyebabkan ibu mengejan kuat tidak terkontrol, kepala janin

terjadi defleksi terlalu cepat. Keadaan ini akan memperbesar

kemungkinan terjadi laserasi perineum (Oxorn, 2010).

2) Pasien tidak mampu berhenti mengedan

Pada saat persalinan diperlukan tenaga/power dari ibu bentuk

dorongan meneran. Dorongan meneran tersebut muncul bersamaan

dengan munculnya his atau kontraksi rahim. His yang bagus dapat

membuka jalan lahir dengan cepat, namun hal ini dipengaruhi cara

ibu mengejan, artinya jika hisnya bagus tetapi ibu menerannya tidak

kuat maka tidak akan terjadi pembukaan jalan lahir. Sedangkan jika

ibu mengejan terlalu kuat saat melahirkan kepala yang merupakan

diameter terbesar janin maka akan menyebabkan laserasi perineum.

Bila kepala telah mulai lahir, ibu diminta bernafas panjang, untuk

menghindarkan tenaga mengejan karena sinciput, muka dan dagu

yang mempunyai ukuran panjang akan mempengaruhi perineum

(Oxron, 2010).

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta


3) Partus diselesaikan sacara tergesa-gesa dengan dorongan fundus

yang berlebihan.

Persalinan ini akan memperbesar kemungkinan terjadi

Laserasi perineum. Robekan spontan pada vagina atau perineum

dapat terjadi saat kepala dan bahu dilahirkan. Kejadian robekan

akan meningkat jika bayi dilahirkan terlalu cepat dan tidak

terkendali.

4) Edema dan kerapuhan pada perineum

Penekan yang lama pada jaringan lunak menyebabkan edema

dan hematoma jalan lahir yang kelak dapat menjadi nekrotik dan

terjadilah fistula (Mochtar, 2012)

5) Varikositas vulva yang melemahkan jaringan perineum.

Wanita hamil sering mengeluh tentang pelebaran pembuluh

darah, yang terjadi pada tungkai, vagina, vulva, dan terjadi wasir.

Selain kelihatan kurang baik, pelebaran pembuluh darah ini dapat

merupakan sumber perdarahan potensial pada waktu hamil maupun

saat persalinan. Kesulitan yang mungkin dijumpai adalah saat

persalinan dengan varises vulva yang besar sehingga saat

episiotomi dapat terjadi perdarahan (Manuaba, 2014).

6) Arcus pubis sempit dengan pintu bawah panggul yang sempit pula

sehingga menekan kepala bayi kearah posterior.

Pintu bawah panggul tidak merupakan bidang yang datar,

tetapi terdiri atas segi tiga depan dan segi tiga belakang yang

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta


mempunyai dasar yang sama, yakni distansia tuberum. Apabila

ukuran yang terakhir ini lebih kecil daripada biasa, maka sudut

arcus pubis mengecil (kurang dari 800). Agar supaya dalam hal ini

kepala janin dapat lahir, diperlukan ruangan yang lebih besar pada

bagian belakang pintu bawah panggul. Dengan diameter sagitalis

posterior yang cukup panjang persalinan pervaginam dapat

dilaksanakan, walaupun dengan perlukaan luas pada perineum

(Saifuddin, 2012)

7) Peluasan episiotomi

Himen dan perineum, kelainan pada himen imperforate, atau

himen elastic pada perineum, terjadi kekakuan sehingga

memerlukan peluasan episiotomi (Manuaba, 2014).

b. Faktor janin adalah :

1) Berat badan bayi baru lahir

Berat badan janin dapat mempengaruhi persalinan dan

laserasi perineum. Janin besar yaitu janin bila berat badan

melebihi dari 4000 gram. Persalinan dengan berat badan janin

besar dapat menyebabkan terjadinya laserasi perineum (Manuaba,

2014).

Sebelum bersalin hendaknya ibu diperiksa Tinggi Fundus

Uteri agar dapat diketahui Tafsiran Berat Badan Janin dan dapat

diantisipasi adanya persalinan patologis yang disebabkan bayi

besar seperti ruptur uteri, ruptur jalan lahir, partus lama, distosia
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta
bahu, dan kematian janin akibat cedera persalinan (Saifuddin,

2012).

2) Posisi kepala yang abnormal ( presentasi muka)

Pada presentasi muka letak janin memanjang, presentasi

kepala, bagian terendah janin muka, penunjuknya adalah dagu.

Pada presentasi muka dengan dagu di depan punggung bayi, sub

occiput ada dibelakng. Sebaliknya kalau dagu di belakang maka

punggung dan occiput ada di depan. Bagian terpenting putaran

paksi dalam adalah bahwa dagu harus berputar ke depan symphisis.

Kalau tidak maka persalinan tidak akan dapat spontan. Kepala

dilahirkan secara fleksi, daerah submental pada leher berada di

bawah symphisis. Dengan daerah ini sebagai titik putar, kepala

mengadakan fleksi maka lahirlah mulut, hidung, orbita, dahi dan

occiput di atas perineum. Hal ini mengakibatkan partus menjadi

lama dan lebih sulit, bisa terjadi robekan yang berat dan rupture

uteri (Oxorn, 2010).

3) Kelahiran bokong

Presentasi bokong atau letak sungsang adalah janin yang

letaknya memanjang (membujur) dalam rahim, kepala berada di

fundus dan bokong di bawah (Mochtar, 2012).

Persalinan dengan penyulit seperti sungsang merupakan

indikasi untuk melakukan episiotomi (Saifuddin, 2012).

4) Ekstraksi forcep yang sukar

Kekurangan memahami kepentingan dan hubungan antara

stasiun dengan tingginya diameter biparietalis. Stasiun nol berarti


Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta
bagian terendah telah mencapai spina ischiadica. Pada kebanyakan

pasien bila stasiunnya nol maka diameter biparietalis ada pada atau

baru saja melalui PAP. Jadi apabila forceps dipasang pada stasiun

nol, inti prosedurnya tidak terletak pada ekstreksi bagiwan

terbawah dari panggul tengah, tetapi membawa diameter

biparientalis dari PAP melalui pangggul tengah dan keluar melalui

PBP. Ini adalah prosedur yang sukar dan berbahaya. Persalinan

yang diharapkan mudah berubah menjadi ekstraksi forceps yang

sukar disertai robekan cerviks dan vagina, perdarahan postpartum,

dan seringkali bayi yang terluka atau mati (Oxorn, 2010).

5) Distosia bahu

Distosia bahu adalah suatu keadaan yang memerlukan

tambahan manuver obstetrik karena jika dilakukan dengan tarikan

biasa kearah belakang pada kepala bayi tidak berhasil untuk

melahirkan bayi. Persalinan dengan distosia bahu sering terjadi

robekan perineum dan vagina yang luas. (Cunningham, 2015).

6) Kelainan konginetal seperti hydrocephalus

Hidrosifalus terjadi penimbunan cairan serebrospinal dalam

vantriekel otak, sehingga kepala menjadi besar. Jumlah cairan bias

mencapai 1,5 liter bahkan ada sampai 5 liter, sehingga tekanan

intrakranial sangat tinggi. Persalinan dianjurkan untuk persalinan

abnominal karena kalau pervaginam akan menyebabkan cedera

pada jalan lahir dan cedera janin (Mochtar, 2012).

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta


4. Tanda dan Gejala Laserasi Jalan Lahir

Bila perdarahan masih berlangsung meski kontraksi uterus baik dan

tidak didapatkan adanya retensi plasenta maupun adanya sisa plasenta,

kemungkinan telah terjadi perlukaan jalan lahir. Tanda dan gejala robekan

jalan lahir diantaranya adalah perdarahan, darah segar yang mengalir

setelah bayi lahir, uterus berkontraksi dengan baik, dan plasenta normal.

Gejala yang sering terjadi antara lain pucat, lemah, pasien dalam keadaan

menggigil (Nugroho, 2012).

5. Ciri Khas Laserasi Jalan Lahir

a. Kontraksi uterus kuat, keras dan mengecil

b. Perdarahan terjadi langsung setelah anak lahir, perdarahan ini terus

menerus setelah massase atau pemberian uterotonika langsung

mengeras tapi perdarahan tidak berkurang. Dalam hal apapun, robekan

jalan lahir harus dapat diminimalkan karena tak jarang perdarahan

terjadi karena robekan dan ini menimbulkan akibat ynag fatal seperti

terjadinya syok (Rukiyah, 2012).

c. Bila perdarahan berlangsung meski kontraksi uterus baik dan tidak

didapatkan adanya retensi plasenta maupun sisa plasenta,

kemungkinan telah terjadi perlukaan jalan lahir (Nugroho, 2012).

6. Pencegahan Terjadinya Laserasi Perineum

Laserasi spontan pada vagina atauperineum dapat terjadi saat bayi

dilahirkan, terutama saat kelahiran kepala dan bahu. Kejadian laserasi akan

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta


meningkat jika bayi dilahirkan terlalu cepat dan tidak terkendali. Janin

bekerjasama dengan ibu selama persalinan dan gunakan manufer tangan

yang tepat untuk mengendalikan kelahiran bayi serta membantu mencegah

terjadinya laserasi. Kerjasama ini dibutuhkan terutama saat kepala bayi

dengan diameter 5-6 cm telah membuka vulva (crowning). Kelahiran

kepala yang terkendali dan perlahan memberikan waktu pada jaringan

vagina dan perineum untuk melakukan penyesuaian dan akan mengurangi

kemungkinan terjadinya robekan. Saat kepala mendorong vulva dengan

diameter 5-6 cm bimbing ibu untuk meneran dan berhenti untuk

beristirahat atau bernapas dengan cepat (Nugroho, 2012).

7. Mempersiapkan Penjahitan

a. Bantu ibu mengambil posisi litotomi sehingga bokongnya berada di

tepi tempat tidur meja.

b. Tempatkan handuk atau kain bersih di bawah bokong ibu.

c. Jika mungkin, tempatkan lampu sedemikian rupa sehinnga perineum

padat dilihat jelas.

d. Gunakan teknik aseptik pada saatmemeriksa robekanatau episiotomi,

memberikan anastesi lokal dan menjahit luka.

e. Cuci tangan menggunakan sabun dan air bersih yang mengalir.

f. Pakai sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi atau yang steril.

g. Dengan menggunakan aseptik, persiapkan peralatan dan bahan-bahan

disinfeksi tingkat tinggi untuk penjahitan.

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta


h. Duduk dengan posisi santai dan nyaman sehingga luka bisa dengan

mudah dilihat dan panjahitan tanpa kesulitan.

i. Gunakan kain/kasa disinfeksi tingkat tinggi atau bersih untuk menyeka

vulva, vagina dan perineum ibu dengan lembut, bersihkan darah atau

bekuan darah yang ada sambil menilai dalam luasnya luka.

j. Periksa vagina, servik dan perineum secara lengkap, pastikan bahwa

laserasi/sayatan perineum hanya merupakan derajat satu atau lebih

jauh untuk memeriksa bahwa tidak terjadi robekan derajat tiga atau

empat. Masukkan jari yang bersarung tangan ke dalam anus dengan

hati-hati dan angkat jari tersebut perlahan-lahan untuk

mengidentifikasi sfinter ani. Raba tonus atau ketegangan sfinger.Jika

sfingter terluka, ibu mengalami laserasi derajat tiga atau empat dan

harus segera dirujuk. Ibu juga dirujuk jika mengalami laserasi serviks.

k. Ganti sarung tangan sengan sarungtangan disinfeksi tingkat tinggi atau

steril yang baru setelah melakukan pemeriksaaan rektum.

l. Berikan anastesi lokal.

m. Siapkan jarum (pilih jarum yang batangnya bulat, tidak pipih) dan

benang. Gunakan benang kronik 2-0 atau 3-0. Benang kromik bersifat

lentur, kuat, tahan lama dan paling sedikit menimbulkan reaksi

jaringan.Tempatkan jarum pada pemegang jarum dengan sudut 90

derajat, jepit dan jepit jarum tersebut (Manuaba, 2014).

B. Perawatan Luka Perineum

1. Pengertian

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta


Perawatan luka perineum adalah pemenuhan kebutuhan untuk

menyehatkan daerah antara paha yang dibatasi vulva dan anus pada ibu

yang dalam masa antara kelahiran placenta sampai dengan kembalinya

organ membran seperti pada waktu sebelum hamil (Mochtar, 2012).

Menurut Ismail, 2002 dalam Suparyanto (2012), bahwa perawatan luka

merupakan suatu usaha untuk mencegah trauma (injury) pada kulit,

membran mukosa atau jaringan lain yang disebabkan oleh adanya trauma,

fraktur, luka operasi yang dapat merusak permukaan kulit.

2. Tujuan Perawatan Luka Perineum

Tujuan perawatan perineum menurut Hamilton, 2002 dalam

Suparyanto (2012), adalah mencegah terjadinya infeksi sehubungan

dengan penyembuhan jaringan.

a. Mencegah infeksi dari masuknya mikroorganisme ke dalam kulit dan

membran mukosa

b. Mencegah bertambahnya kerusakan jaringan

c. Mempercepat penyembuhan dan mencegah perdarahan

d. Membersihkan luka dari benda asing atau debris

e. Drainase untuk memudahkan pengeluaran eksudat.

3. Waktu dan Cara Perawatan Luka Perineum

Menurut Dewi (2012) waktu dan cara perawatan luka perineum, yaitu :

a. Saat Mandi

Pada saat mandi, ibu post partum pasti melepas pembalut, setelah

terbuka maka ada kemungkinan terjadi kontaminasi bakteri pada cairan

yang tertampung pada pembalut, untuk itu maka perlu dilakukan


Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta
penggantian pembalut setiap selesai membersihkan vagina agar

mikroorganisme yang ada pada pembalut tersebut tidak ikut terbawa

kevagina yang baru dibersihkan, demikian pula pada perineum ibu,

untuk itu diperlukan pembersihan perineum.

b. Setelah Buang Air Kecil

Pada saat buang air kecil, kemungkinan besar terjadi kontaminasi

air seni padarektum akibatnya dapat memicu pertumbuhan bakteri

pada perineum untuk itu diperlukan pembersihan perineum siramilah

vagina dengan air bersih. Basuhlah dari arah depan kebelakang hingga

tidak ada sisa-sisa kotoran yang menempel disekitar vagina baik itu

urine maupun feses yang mengandung mikroorganisme dan bisa

menimbulkan infeksi pada luka jahitan.

c. Setelah buang air besar

Pada saat buang air besar, diperlukan pembersihan sisa-sisa

kotoran disekitar anus, untuk mencegah terjadinya kontaminasi bakteri

dari anus ke perineum yang letaknya bersebelahan maka diperlukan

proses pembersihan anus dan perineum secara keseluruhan.

d. Bila keadaan vagina terlalu kotor, cucilah dengan sabun atau cairan

antiseptik yang berfungsi untuk menghilangkan mikroorganisme yang

terlanjur berkembang di daerah tersebut.

e. Bila keadaan luka perineum terlalu luas atau ibu dilakukan episiotomi,

upaya menjaga kebersihan vagina dapat dilakukan dengan cara duduk

berendam dalam cairan antiseptic selama 10 menit setelah BAB dan

BAK.

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta


f. Keringkan vagina dengan tisu atau handuk lembut setiap kali selesai

membasuh agar tetap kering dan kemudian kenakan pembalut yang

baru. Pembalut harus diganti setiap kali selesai BAB dan BAK atau

minimal 3 jam sekali atau bila ibu sudah merasa tidak nyaman.

g. Bila ibu membutuhkan salep antibiotic, dapat dioleskan sebelum

memakai pembalut yang baru.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka

Faktor-Faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka menurut

Smeltzer (2012) :

a. Usia

Umur merupakan faktor resiko untuk terjangkit penyakit dan

masalah kesehatan yang tidak dapat diubah. Penambahan usia akan

berpengaruh terhadap semua fase penyembuhan luka sehubungan

dengan adanya gangguan sirkulasi dan koagulasi, respon inflamasi

yang lebih lambat dan penurunan aktifitas fibroblas.

Trisnawati (2015), meyatakan bahwa terdapat perbedaan yang

signifikan di dalam struktur dan karakteristik kulit sepanjang rentang

kehidupan yang disertai dengan perubahan fisiologis normal berkaitan

dengan usia yang terjadi pada sistem tubuh lainnya, yang dapat

mempengaruhi predisposisi terhadap cedera dan efisiensi mekanisme

penyembuhan luka. Kulit utuh pada orang dewasa muda yang sehat

merupakan suatu barier yang baik terhadap trauma mekanis dan juga

infeksi, begitu juga dengan efisiensi sistem imun yang memungkinkan


Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta
penyembuhan luka lebih cepat. Sistem tubuh yang berbeda tumbuh

dengan kecepatan yang berbeda pula, tetapi lebih dari usia 30 tahun

mulai terjadi penurunan yangÿsignifikan dalam beberapa fungsinya

seperti penurunan efisiensi jantung, kapasitas vital, dan juga penurunan

efisiensi sistem imun, masing-masing masalah tersebut ikut

mendukung terjadinya kelambatan penyembuhan seiring dengan

bertambahnya usia.

Sedangkan Anur Rohmin (2017) dalam penelitiannya

menyatakan bahwa faktor usia merupakan salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi penyembuhan luka. Penyembuhan luka lebih cepat

terjadi pada usia muda dari pada orang tua. Sebab fungsi penyatuan

jaringan pada kulit ibu post partum yang sudah tidak usia reproduktif

telah mengalami penurunan akibat faktor usia. Penelitian ini didukung

oleh Sampe (2014), yang menyatakan bahwa ada hubungan antara usia

dengan proses penyembuhan luka episiotomi. Adanya hubungan antara

usia dengan lama penyembuhan luka perineum pada penelitian ini

disebabkan karena banyak responden dengan rata-rata usia 20-35 tahun

sebanyak 59,4%.

b. Mobilisasi Dini

Mobilisasi dini merupakan faktor yang paling dominan

mempengaruhi lama penyembuhan luka perineum. Sesuai dengan teori

yang dikemukakan oleh Smeltzer (2012), mobilisasi dini dilakukan

oleh semua ibu post partum, baik ibu yang mengalami persalinan
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta
normal maupun persalinan dengan tindakan. Adapun manfaat dari

mobilisasi dini antara lain dapat mempercepat proses pengeluaran

lochea dan membantu proses penyembuhan luka perineum.

Latihan mobilisasi bermanfaat untuk meningkatkan peredaran

darah sekitar alat kelamin, mempercepat kesembuhan luka,

melancarkan pengeluaran lochea dan mempercepat normalisasi alat

kelamin dalam keadaan semula (Manuaba, 2014). Pernyataan ini

didukung oleh penelitian didukung oleh Afandi (2014), menunjukkan

bahwa ada hubungan antara mobilisasi dini dengan percepatan

kesembuhan luka perineum. Ibu post partum yang melakukan

mobilisasi dini proses penyembuhan lukanya akan lebih cepat dan

yang tidak melakukan mobilisasi dini proses penyembuhan lukanya

lebih lambat lambat.

c. Tradisi

Budaya adalah menjalankan ritual yang menyatakan tentang

hubungan, kekuatan, dan keyakinan. Lingkungan sangat

mempengaruhi, khususnya di pedesaan yang masih melekatnya budaya

tarak dari nenek moyang, dan sangat berpengaruh besar terhadap

prilaku ibu pada masa nifas. Adapun keadaan keluarga yang

mempengaruhi perilaku seseorang yaitu orang tua yang masih percaya

dengan budaya tarak yang memang sudah turun temurun dari nenek

moyang. Budaya merupakan salah satu yang mempengaruhi status

kesehatan. Di antara kebudayaan maupun adat-istiadat dalam

masyarakat ada yang menguntungkan, ada pula yang merugikan.

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta


Budaya atau keyakinan akan mempengaruhi penyembuhan perineum,

misalnya kebiasaan tarak (pantang makan) telur, ikan dan daging

ayam, akan mempengaruhi asupan gizi ibu yang akan sangat

mempengaruhi penyembuhan luka (Dayu, 2012).

d. Pengetahuan

Pengetahuan ibu tentang perawatan pasca persalinan sangat

menentukan lama penyembuhan luka perineum. Apabila pengetahuan

ibu tentang perawatan pasca persalinan kurang, maka penyembuhan

luka pun akan berlangsung lama.

e. Jenis Luka

Luka perineum biasanya akan lebih cepat sembuh pada jenis

luka episiotomi dibandingkan Laserasi spontan, karena bentuk

robekannya yang teratur sehingga mudah untuk disatukan atau dijahit

(Cuningham, 2015). Sejalan dengan penelitian Anur Rohmin (2017)

yang menyatakan bahwa hasil analisis diperoleh OR=0,143, hal ini

menunjukkan bahwa ibu dengan jenis luka episiotomi mempunyai

kecenderungan 0,143 kali dengan lama penyembuhan luka perineum

baik. Didukung oleh Aryanti (2010), menyatakan bahwa ada hubungan

antara jenis luka dengan lama penyembuhan luka perineum. Menurut

peneliti adanya hubungan antara jenis luka dengan lama penyembuhan

luka perineum dikarenakan responden dengan jenis luka episiotomi

mempunyai rasa percaya diri lebih tinggi dibanding yang Laserasi

spontan. Ibu dengan luka episotomi merasa bahwa lukanya lebih baik

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta


sehingga tidak takut melakukan aktivitas atau mobilisasi lebih awal,

sehingga luka perineum lebih cepat sembuh.

f. Cara Perawatan Luka

Perawatan perineum adalah pemenuhan kebutuhan untuk

menyehatkan daerah antara paha yang dibatasi vulva dan anus pada ibu

yang dalam masa antara kelahiran plasenta sampai dengan kembalinya

organ reproduksi seperti waktu sebelum hamil.Perawatan luka

perineum sangatlah penting karena luka bekas jahitan jalan lahir ini

dapat menjadi pintu masuk kuman dan menimbulkan infeksi sehingga

dianjurkan pada ibu nifas untuk merawat luka jahitan yang bisa

dimulai sesegera mungkin setelah 2 jam dari persalinan normal (Refni,

2011).

Menurut Suwagiyo dalam penelitiannya (2014), menyatakan

bahwa akibat perawatan perineum yang tidak benar dapat

mengakibatkan kondisi perineum yang terkena lochea dan lembab

akan sangat menunjang perkembangbiakan bakteri yang dapat

menyebabkan timbulnya infeksi pada perineum. Infeksi tidak hanya

menghambat proses penyembuhan luka tetapi juga menyebabkan

kerusakan jaringan sel sehingga akan menambah ukuran dari luka

tersebut.

g. Status nutrisi

Makanan yang bergizi dan sesuai porsi akan menyebabkan ibu

dalam keadaan sehat dan segar. Dan akan mempercepat masa

penyembuhan luka perineum. Penyembuhan luka diperlukan asupan


Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta
nutrisi yang adekuat. Protein mensuplai asam amino, yang dibutuhkan

untuk perbaikan jaringan dan generasi. Vitamin A dan zink dibutuhkan

untuk epitelialisasi, vitamin C untuk integrasi kapiler zat besi untuk

menghantarkan oksigen.

Makanan yang dikonsumsi ibu nifas harus bermutu, bergizi dan

cukup kalori. Sebaiknya bahan makanan yang mengandung protein,

banyak cairan, sayur- sayuran dan buah-buahan. Makanan yang baik

dapat mempercepat penyembuhan luka, penjabaran empat sehat lima

sempurna perlu diperhatikan. Hal ini sesuai dengan kebutuhan ibu

masa nifas menurut Ambarwati dan Wulandari (2010) ibu nifas harus

memakan makanan yang mengandung sumber tenaga, sumber

pembagun, sumber pengatur, dan pelindung.

h. Personal hygiene

Personal hygiene Personal higiene (kebersihan diri) dapat

memperlambat penyembuhan, hal ini dapat menyebabkan adanya

benda asing seperti debu dan kuman. Pada masa postpartum, seorang

ibu sangat rentan terhadap infeksi. Oleh karena itu, kebersihan diri

sangat penting untuk mencegah terjadinya infeksi. Kebersihan tubuh,

pakaian, tempat tidur, dan lingkungan sangat penting untuk tetap

dijaga.

Masalah kebersihan di dukung oleh pernyataan Green dalam

Notoadmojo (2014) tentang faktor enabling (pemungkin) yang

terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak fasilitas-fasilitas

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta


atau sarana-sarana kesehatan, misalnya Puskesmas, obat-obatan,

pakaian, jamban, air bersih dan lain-lain. Dalam masa nifas kondisi

perineum yang terkena lokhea (darah dari uterus yang keluar melalui

vagina) jadi lembab dan akan mengakibatkan perkembangan bakteri

yang dapat menyebabkan timbulnya infeksi perineum, sehingga perlu

dilakukan vulva hygiene (bersihkan vulva dan sekitarnya). Kebersihan

perineum pada masa nifas terutama pada ibu dengan luka perineum

penting untuk dilakukan, karena hal ini dapat mempengaruhi proses

penyembuhan luka (Kurnianingtyas dkk, 2012).

C. Nyeri

1. Pengertian

Nyeri merupakan kondisi yang sangat tidak diharapkan oleh setiap

individu. Rasa nyeri yang dirasakan seringkali berbeda pada tiap individu.

Menurut Melzack dan Wall (dalam Andarmoyo, 2016) nyeri merupakan

suatu pengalaman yang bersifat pribadi, sesuatu yang subjektif, yang

dipengaruhi oleh budaya, persepsi seseorang, perhatian, dan variable-

variabel psikologis lain, yang nantinya akan mengganggu perilaku

individu secara berkelanjutan sehingga memotivasi setiap individu untuk

menghentikan rasa tersebut.

Nyeri yang terasa sangat mengganggu ternyata merupakan suatu hal

yang menguntungkan bagi tubuh. Dengan adanya nyeri kita bisa

mengetahui kondisi tubuh kita. Nyeri sebenarnya merupakan mekanisme

protektif yang dimaksudkan untuk menimbulkan kesadaran telah atau akan


Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta
terjadinya kerusakan jaringan, ketika jaringan sedang rusak, dan

menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan nyeri

(Andarmoyo, 2016).

2. Klasifikasi Nyeri

Menurut Suwondo (2017) nyeri dapat dibagi menjadi :

a. Nyeri Akut

Nyeri akut merupakan respon biologis normal terhadap cedera

jaringan dan merupakan sinyal terhadap adanya kerusakan jaringan

misalnya nyeri pasca operasi, dan nyeri pasca trauma muskuloskeletal.

Nyeri tipe ini sebenarnya merupakan mekanisme proteksi tubuh yang

akan berlanjut pada proses penyembuhan. Nyeri akut merupakan gejala

yang harus diatasi atau penyebabnya harus dieliminasi

b. Nyeri Sub Akut

Nyeri sub akut (1 – 6 bulan) merupakan fase transisi dan nyeri

yang ditimbulkan karena kerusakan jaringan diperberat oleh

konsekuensi problem psikologis dan sosial.

c. Nyeri Kronik

Nyeri kronik adalah nyeri yang berlangsung lebih dari 6 bulan.

Nyeri tipe ini sering kali tidak menunjukkan abnormalitas baik secara

fisik maupun indikator-indikator klinis lain seperti laboratorium dan

pencitraan. Keseimbangan kontribusi faktor fisik dan psikososial dapat

berbeda-beda pada tiap individu dan menyebabkan respon emosional

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta


yang berbeda pula satu dengan lainnya. Dalam praktek klinis sehari-

hari nyeri kronik dibagi menjadi nyeri kronik tipe maligna (nyeri

kanker) dan nyeri kronik tipe non maligna (artritis kronik, nyeri

neuropatik, nyeri kepala, dan nyeri punggung kronik)

3. Penyebab Nyeri

Menurut Ignatavicus pada (Tamsuri, 2017),secara umum stimulus

nyeri disebabkan oleh :

a. Kerusakan ringan.

b. Kontraksi atau spasme otot yang menimbulkan ischemid type pain.

c. Kebutuhan oksigen menigkat tetapi suplai darah terbatas mislanya ada

penekanan vaskuler.

4. Fisiologi Nyeri

Rasa nyeri dapat timbul melalui beberapa proses dan tahapan. Proses

dan tahapan nyeri berhubungan erat dengan mekanisme neuroanatomi

fisiologi nyeri. Struktur dan fisiologis sistem persarafan memegang

peranan penting dalam kendali terciptanya nyeri. Proses terjadinya nyeri

akan melewati beberapa tahapan, yaitu diawali dengan adanya stimulasi,

transduksi, transmisi, persepsi, dan modulasi.

a. Stimulasi

Stimulasi seringkali disebut juga sebagai rangsangan dimana

rangsangan tersebut merupakan awal mula terjadinya persepsi nyeri .

Rangsangan bisa berupa rangsangan fisik maupun nonfisik. Persepsi

nyeri dihantarkan oleh neuron khusus yang bertindak sebagai reseptor,


Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta
pendeteksi stimulus, penguat dan penghantar menuju sistem saraf

pusat. Reseptor khusus tersebut dinamakan nociceptor. Nociceptor

tersebar luas di dalam lapisan superficial kulit dan juga pada jaringan

dalam tertentu, seperti periosteum, dinding arteri, permukaan sendi,

serta falks dan tentorium serebri (Andarmoyo, 2016).

b. Transduksi

Pada proses transduksi menyebabkan terjadinya beberapa

perubahan. Salah satu perubahan yang terjadi yaitu perubahan

patofisiologis. Perubahan patofisiologis bisa terjadi karena adanya

mediator-mediator kimia seperti prostaglandin dari sel-sel yang rusak,

bradikinin dari plasma, histamine dari sel masts, serotonin dari

trombosit dan substansi P dari ujung saraf nyeri memengaruhi juga

nosiseptor di luar daerah trauma sehingga lingkaran nyeri meluas

(Andarmoyo, 2016).

c. Transmisi

Setelah melalui proses transduksi proses yang harus dilalui

berikutnya adalah proses transmisi. Proses transmisi memiliki tiga

komponen yang terlibat di dalamnya. Transmisi merupakan proses

penerusan impuls nyeri dari nociceptor saraf perifer melewati cornu

dorsalis dan corda spinalis menuju korteks serebri. Cornu dorsalis dari

medulla spinalis dapat dianggap sebagai tempat memproses sensori.

Serabut perifer (missal reseptor nyei) berakhir di sini dan serabut

traktus sensori asenden berawal di sini. Terdapat juga interkoneksi

antara sistem neural desenden dan traktus sensori asenden. Traktus


Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta
asenden berahir pada otak bagian bawah dan bagian tengah dan

impuls-impuls dipancarkan ke korteks serebri (Andarmoyo, 2016).

d. Modulasi

Selain proses transmisi proses modulasi juga berperan penting

dalam keberlangsungan nyeri. Modulasi berperan aktif dalam

pengendalian nyeri. Modulasi merupakan proses pengendalian internal

oleh sistem saraf, yang dapat meningkatkan maupun mengurangi

penerusan impuls nyeri. Proses penghambatan atau penurunan dalam

penerusan impuls nyeri terjadi melalui sistem analgesia endogen yang

melibatkan bermacam-macam neurotransmitter. Salah satunya adalah

endorfin yang dikeluarkan oleh sel otak dan neuron di spinalis

(Andarmoyo, 2016).

e. Persepsi

Setelah melalui proses stimulasi hingga modulasi maka rangsang

akan diteruskan menjadi suatu persepsi. Persepsi berperan penting

sebagai penentu berat atau ringannya nyeri yang dirasakan setiap

individu. Persepsi adalah suatu hasil dari rekonstruksi susunan saraf

pusat tentang impuls nyeri yang diterima. Rekonstruksi merupakan

hasil dari interaksi sistem saraf sensoris, informasi kognitif (korteks

serebri) dan pengalaman emosional (hipokampus dan amigdala).

Setelah sampai ke otak, nyeri dirasakan secara sadar dan menimbulkan

respon berupa perilaku dan ucapan yang merespon adanya nyeri

(Andarmoyo, 2016).

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta


5. Respon Terhadap Nyeri

Nyeri bersifat sangat subjektif. Nyeri dipengaruhi oleh berbagai

faktor, baik fisiologis maupun psikologis. Nyeri yang timbul menghasilkan

berbagai macam respon. Berikut ini adalah penjelasan mengenai respon

respon nyeri :

a. Respon fisiologis

Respon fisiologis terhadap nyeri dapat membahayakan individu.

Respon fisiologis meliputi saraf simpatik dan saraf parasimpatik. Pada

saat impuls nyeri naik ke medulla spinalis menuju ke batang otak dan

hipotalamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian

dari respons stres. Stimulasi pada cabang simpatis pada sistem saraf

otonom menghasilkan respons fisiologis. Apabila nyeri berlangsung

terus-menerus, berat, dan melibatkan organ-organ dalam maka system

saraf simpatis akan menghasilkan suatu aksi (Andarmoyo, 2016).

b. Respon perilaku

Respon perilaku yang ditunjukan oleh setiap individu sangat

beragam. Respon perilaku merupakan indikator adanya gangguan di

dalam tubuh. Perawat bisa mengidentifikasi nyeri dari beberapa respon

perilaku, dalam menentukan nyeri. Menurut Potter dan Perry dalam

menentukan nyeri dapat diperhatikan melalui empat bagian,

diantaranya adalah :

1) Dilihat dari segi visual yaitu : (1) merintih; (2) menangis; (3) Sesak

napas (menarik napas dalam)

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta


2) Dilihat dari segi ekspresi wajah : (1) meringis; (2) menggeletukkan

gigi; (3) mengernyitkan dahi; (4) menggigit bibir; (5) menutup

mata maupun mulut dengan rapat atau membuka mata atau mulut

dengan lebar.

3) Dilihat dari segi gerakan tubuh : (1) gelisah; (2) imobilisasi; (3)

ketegangan otot; (4) peningkatan gerakan tangan maupun jari; (5)

gerakan ritmik atau gerakan menggosok; (6) gerakan melindungi

bagian tubuh.

4) Dilihat dari segi interaksi sosial : (1) menghindari percakapan; (2)

menghindari kontak sosial; (3) penurunan rentang perhatian; (4)

fokus hanya pada tindakan untuk menghilangkan nyeri.

(Andarmoyo, 2016).

6. Manajemen Nyeri

Manajemen nyeri mencangkup pendekatan farmakologis dan

nonfarmakologis. Pendekatan ini diseleksi berdasarkan pada kebutuhan

dan tujuan pasien secara individu. Semua intervensi sangat berhasil bila

dilakukan sebelum nyeri menjadi lebih parah, dan keberhasilan tersebatr

sering dicapai jika beberapa intervensi diterapkan secara stimultan

(Smeltzer and Bare, 2012).

a. Farmakologis

Menanggapi nyeri yang dialami pasien melalui intervensi

farmakologis dengan kolaborasi dengan dokter atau pemberi pelayanan


Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta
lainnya pada pasien. Obat-obat tertentu untuk penetalaksanaan nyeri

mungkin dipasang untuk memberikan dosis awal. Obat-obat yang

mengurangi nyeri antara lain : gangguan opoid (narkotika), nonopioid/

NSAIDs (nonsteroid anti-imfalmasi drugs), analgesic, dan obat

anastesi.

b. Nonfarmakologis

Menurut Potter & Perry (2012), penatalaksanaan non-

farmakologis terdiri dari berbagai tindakan penanganan nyeri

berdasarkan stimulasi fisik maupun kognitif, antara lain :

1) Kompres dingin dan kompres hangat

Terapi es dan terapi panas adalah dua terapi yang berbeda.

Terapi es dan terapi panas dapat dilakukan menggunakan air

hangat atau es batu yang dimasukkan ke dalam wadah kemudian

dikompreskan pada bagian yang terasa nyeri. Terapi es dapat

menurunkan prostaglandin yang memperkuat sensitifitas reseptor

nyeri dan subkutan lain pada tempat cedera dengan menghambat

proses inflamasi. Terapi kompres hangat mempunyai keuntungan

meningkatkan aliran darah ke suatu area dan kemungkinan dapat

turut menurunkan nyeri dengan mempercepat penyembuhan.

Sejalan dengan penelitian Susilawati (2019) yang

menyatakan bahwa penggunaan kompres hangat dan kompres

dingin merupakan salah satu bentuk pemberian stimulasi kutaneus

dengan pemanfaatan suhu. Kompres hangat dan kompres dingin ini

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta


bekerja dengan memblok transmisi stimulus nyeri sehingga impuls

nyeri yang mencapai otak lebih sedikit. Kompres hangat dapat

memberikan rasa hangat yang bertujuan untuk memberikan rasa

nyaman, mengatasi nyeri, mengurangi atau mencegah spasme otot

dan memberikan rasa hangat pada daerah tertentu, sedangkan

kompres dingin diantaranya adalah mengurangi aliran darah ke

daerah luka sehingga dapat mengurangi resiko perdarahan dan

oedema, kompres dingin menimbulkan efek analgetik dengan

memperlambat kecepatan hantaran saraf sehingga impuls nyeri

yang mencapai otak akan lebih sedikit.

2) Massase kulit

Massase kulit memberikan efektif penurunan kecamasan

dan ketegangan otot. Rangsangan massase ini dipercaya akan

merangsang serabaut berdiameter besar, sehingga mampu

memblok atau menurunkan impuls nyeri. Massase adalah

stimulasi kulit tubuh secara umum, dipusatkan pada punggung

dan bahu atau dapat dilakukan pada satu atau beberapa bagian

tubuh dan dilakukan sekitar 10 menit pada masing-masing tubuh

untuk mencapai hasil relaksasi yang maksimal.

3) Stimulasi kotralateral

Stimulasi kontralateral adalah stimulasi pada daerah kulit di

sisi yang berlawanan dari daerah terjadinya nyeri. Teknik ini

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta


dapat berupa gerakan pada daerah yang berlawanan jika terjadi

gatal, menggosok jika terjadi kram.

4) Transcutaneous Elektrical nerve Stimulation (TENS)

Teknik ini menggunakan satu unit peralatan yang dijalankan

dengan elektroda yang dipasang pada kulit untuk menghasilkan

sensasi kesemutan, getaran atau mendengung pada area

terntentu. TENS telah digunakan, baik untuk menghilangkan

nyeri akut, maupun kronis, TENS juga diduga dapat menurunkan

nyeri dengan stimulasi reseptor non yeri di area yang sama

dengan serabut yang menstramisikan nyeri. Mekanisme ini

sesuai dengan teori gerbang kendali nyeri.

5) Distraksi

Distraksi adalah pengalihan dari fokus perhatian terhadap

nyeri ke stimulasi yang lain. Teknik distraksi dapat mengatasi

nyeri, jika seseorang menerima input sensori yang berlebihan

dapat menyebabkan impuls nyeri ke otak.

6) Relaksasi

Relaksasi otot rangka dipercaya dapat menurunkan nyeri

dengan meraksasikan ketegangan otot yang mendukung rasa

nyeri, beberapa penelitian menunjukkan bahwa relaksasi afektif

dalam menurunkan nyeri.

7) Olahraga/senam

Latihan-latihan olahraga yang ringan sangat dianjurkan

untuk mengurangi dismenore. Olahraga/senam merupakan salah


Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta
satu teknik yang dapat digunakan untuk mengurangi nyeri karena

saat melakukan olahraga/senam, tubuh akan menghasilkan

endonophrin, yang dihasilkan dari otak dan susunan saraf tulang

belakang. Hormon ini dapat dapat berfungsi sebagai obat

penenang alami yang diproduksi otak sehingga menimbulkan

rasa nyaman (Agussafutri, 2016).

7. Pengukuran Skala Nyeri

Tingkat nyeri setiap individu dapat diukur dengan menggunakan

skala nyeri (Potter & Perry, 2005 dalam Fauziah, 2015), skala nyeri

tersebut adalah :

a. Visual Analog Scale (VAS)

Visual Analog Scale adalah skala nyeri yang berupa garis lurus

yang menggambarkan tingkat nyeri dan terdapat deskripsi verbal pada

ujungnya. Penggunaannya adalah dengan cara klien memilih salah satu

angka untuk mewakili tingkat nyeri klien.

Gambar 2.2
Visual Analog Scale (VAS)
(Sumber : Fauziah, 2015)

Keterangan :

0 : Tidak Nyeri

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta


1-3 : Nyeri ringan : secara objektif klien dapat berkomunikasi

dengan baik.

4-6 : Nyeri sedang : secara objektif klien mendesis, menyeringai,

dapat menujukkan nyeri, dapat mendiskripsikannya, dpat

mengikuti perintah dengan baik.

7.9 : Nyeri berat : secara objektif klien terkadang tidak dapat

mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan,

dapat menujukkan lokasi nyeri, tidak dapat

mendeskripsikannya, tidak dapay diatasi rasa nyeri.

b. Numerical Rating Scale (NRS)

Numerical Rating Scale adalah skala ukur yang digunakan

dengan meminta klien memilih angka 0 – 10 sesuai nyeri yang

dirasakan. Angka 0 berarti “no pain” atau tidak nyeri dan 10 berarti

“severe pain” atau nyeri hebat.

Gambar 2.3
Numerical Rating Scale (NRS)
(Sumber : Fauziah, 2015)

c. Verbal Rating Scale (VRS)

Verbal Rating Scale adalah Alat ukur tingkat nyeri dengan

menggunakan kata sifat untuk mengungkapkan level nyeri yang


Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta
berbeda dimulai dari “no pain” (tidak nyeri) sampai “extreme

pain”(nyeri hebat)

Gambar 2.4
Verbal Rating Scale (VRS)
(Sumber : Fauziah, 2015)

d. Faces Pain Scale – Revised

Faces Pain Scale – Revised adalah pengukuran skala nyeri yang

terdiri dari 6 gambar wajah kartun yang bertingkat dari wajah yang

tersenyum untuk “tidak ada nyeri” sampai wajah yang nerlinang air

mata untuk “nyeri sangat hebat”.

Gambar 2.4
Faces Pain Scale – Revised
(Sumber : Fauziah, 2015)

D. Kompres Hangat

1. Pengertian

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta


Kompres adalah sepotong balutan yang dilembabkan dengan cairan

hangat yang telah di programkan (Perry, 2012). Kompres hangat adalah

kompres dengan air suam-suam kuku atau air hangat (Rudianto, 2010).

Suatu prosedur menggunakan kain atau anduk yang telah dicelupkan pada

air hangat. Menurut Anneahira (2010), adapun manfaat kompres air

hangat adalah dapat memberikan rasa nyaman dan menurunkan suhu

tubuh.

2. Tujuan Kompres Hangat

Tujuan dari kompres hangat adalah pelunakan jaringan fibrosa,

membuat otot tubuh lebih rileks, menurunkan rasa nyeri, dan

memperlancar pasokan aliran darah dan memberikan ketenangan pada

klien. Kompres hangat yang digunakan berfungsi untuk melebarkan

pembuluh darah, menstimulasi sirkulasi darah, dan mengurangi kekakuan

(Perry & Potter, 2012).

3. Fisiologi Kompres Hangat

Smeltzer & Bare (2012), mengemukakan bahwa energi panas yang

hilang atau masuk ke dalam tubuh melalui kulit dengan empat cara, yaitu

konduksi, konveksi, radiasi evaporasi.

a. Konduksi

Konduksi adalah perpindahan panas akibat paparan langsung

kulit dengan benda-benda yang ada di sekitar tubuh. Biasanya proses

kehilangan panas dengan mekanisme konduksi sangat kecil. Sentuhan

dengan benda umumnya memberi dampak kehilangan suhu yang kecil


Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta
karena dua mekanisme, yaitu kecenderungan tubuh untuk terpapar

langsung dengan benda relative jauh lebih kecil dari pada paparan

dengan udara, dan sifat isolator benda menyebabkan proses

perpindahan panas tidak dapat terjadi secara efektif terus-menerus.

b. Konveksi

Konveksi merupakan perpindahan panas berdasarkan gerakan

fluida dalam hal ini adalah udara, artinya panas tubuh dapat

dihilangkan bergantung pada aliran udara yang melintasi tubuh

manusia. Konveksi adalah transfer dari energi panas oleh arus udara

maupun air. Saat tubuh kehilangan panas melalui konduksi dengan

udara sekitar yang lebih dingin, udara yang bersentuhan dengan kulit

menjadi hangat. Karena udara panas lebih ringan dibandingkan udara

dingin, udara panas berpindah ketika udara dingin bergerak ke kulit

untuk menggantikan udara panas. Pergerakan udara ini disebut arus.

konveksi, membantu membawa panas dari tubuh. Kombinasi dari

proses konveksi dan konduksi guna membawa pergi panas dari tubuh

dibantu oleh pergerakan paksa udara melintasi permukaan tubuh,

seperti kipas angin, angin, pergerakan tubuh saat menaiki sepeda dan

lain-lain.

c. Radiasi

Radiasi adalah mekanisme kehilangan panas tubuh dalam

bentuk gelombang panas inframerah. Gelombang inframerah yang

dipancarkan dari tubuh memiliki panjang gelombang 5–20

mikrometer. Tubuh manusia memancarkan gelombang panas ke segala

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta


penjuru tubuh. Radiasi merupakan mekanisme kehilangan panas paling

besar pada kulit 60% atau 15% seluruh mekanisme kehilangan panas.

Panas adalah energi kinetik pada gerakan molekul. Sebagian besar

energi pada gerakan ini dapat di pindahkan ke udara bila suhu udara

lebih dingin dari kulit. Sekali suhu udara bersentuhan dengan kulit,

suhu udara menjadi sama dan tidak terjadi lagi pertukaran gas, yang

terjadi hanya proses pergerakan udara sehingga udara baru yang

suhunya lebih dingin dari suhu tubuh.

d. Evaporasi

Evaporasi (penguapan air dari kulit) dapat memfasilitasi

perpindahan panas tubuh. Setiap satu gram air yang mengalami

evaporasi akan menyebabkan kehilangan panas tubuh sebesar 0,58

kilokalori. Pada kondisi individu tidak berkeringat, mekanisme

evaporasi berlangsung sekitar 450-600 ml/hari. Hal ini menyebabkan

kehilangan panas terus menerus dengan kecepatan 12-16 kalori per

jam. Evaporasi ini tidak dapat dikendalikan karena evaporasi terjadi

akibat difusi molekul air secara terus-menerus melalui kulit dan sistem

pernafasan.

4. Cara Melakukan Kompres Hangat

Menurut Hidayat (2012), cara pemberian kompres hangat pada klien

untuk mengatasi nyeri adalah sebagai berikut:

a. Persiapan alat dan bahan :

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta


1) Botol atau kain yang dapat menyerap air

2) Air hangat dengan suhu 46-51,5oC

3) Thermometer

b. Tahap Kerja :

1) Cuci tangan.

2) Jelaskan pada klien mengenai prosedur yang akan dilakukan.

3) Ukur suhu air dengan menggunakan thermometer.

4) Isi botol dengan air hangat, kemudian dikeringkan dan bungkus /

lapisi botol dengan kain.

5) Bila menggunakan kain, masukkan kain pada air hangat, lalu

diperas.

6) Tempatkan botol berisi air hangat atau kain yang sudah diperas

pada daerah yang akan dikompres, dan ibu dalam posisi terlentang

dengan kedua kaki /tungkai di tekuk, sedikit direnggangkan dan

kedua kaki menapak pada kasur

7) Angkat botol atau kain tersebut setelah 20 menit, dan lakukan

kompres ulang jika nyeri belum teratasi.

8) Kaji perubahan nyeri yang terjadi selama kompres dilakukan

9) Cuci tangan

10) Lakukan kompres sehari 2 kali pagi dan sore hari

(Hidayat, 2012).

E. Kerangka Teori

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta


Kerangka teori adalah ringkasan dari tinjauan pustaka yang digunakan

untuk mengiidentifikasi variabel-variabel yang akan diteliti (diamati) yang

berkaitan dengan konteks ilmu pengetahuan yang digunakan untuk

menggabungkan kerangka konsep penelitian (Notoatmodjo, 2014).

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta


Skema 2.1
Kerangka Teori

Skala nyeri:
Luka perineum Nyeri - Tidak nyeri
- Ringan
- Sedang
- Berat
Klasifikasi Penatalaksanaan nyeri :
1. Farmakologis
- Derajat I (nonopioid/ NSAID,
- Derajat II analgesic, dan obat
- Derajat III anastesi)
- Derajat IV 2. Non farmakologis
1) Kompres air dingin
2) Kompres air
hangat
3) Massase kulit
4) Stimulasi
kotralateral
5) Acupressure (pijat
refleksi)
6) Transcutaneous
Elektrical nerve
Stimulation (TENS)
7) Distraksi
8) Relaksasi
9) Olahraga/senam

Sumber : Potter & Perry (2006), Oxorn (2010), Mauree Boyle (2011),
Agussafutri (2016), Susilawati (2019)

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian pada hakikatnya adalah suatu uraian dan

visualisasi konsep-konsep serta variabel-variabel yang akan diukur atau diteliti

(Notoatmodjo, 2014).

Skema 2.2

Kerangka Konsep

Nyeri luka episiotomi Nyeri luka episiotomi


perineum sebelum Kompres hangat perineum setelah kompres
kompres air hangat air hangat

B. Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diuraikan diatas, maka

hipotesis dalam penelitian ini adalah :

Ha : Ada pengaruh kompres air hangat terhadap nyeri luka episiotomi

perineum di BPM Yoyoh Suherti, Amd.Keb Pringsewu tahun 2020.

C. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah uraian tentang batasan variabel yang

dimaksud, atau apa yang diukur oleh variabel yang bersangkutan, agar

pengukuran variabel atau pengumpulan data ini konsisten antara sumber

data (responden) yang satu dengan responden yang lain (Notoatmodjo,

2014).

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta


Tabel 3.1 Definisi Operasional

Definisi
No Variabel Cara ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional
Variabel Independen
1. Kompres Tindakan yang SOP Lembar 0 = Menggunakan Nominal
air hangat dilakukan dengan kompres observasi kompres air
menempelkan air hangat hangat
bantalan dengan 1 = Tidak
o
suhu 40-42 C Menggunakan
pada bagian yang kompres air
nyeri dalam hangat
waktu 20 menit
(Hidayat, 2012)
Variabel Dependen
2 Nyeri luka Kondisi yang Lembar Lembar 0 : Tidak nyeri Ordinal
episiotomi sangat tidak observasi observasi 1-3 : Nyeri ringan
perineum diharapkan oleh mengguna 4-6 : Nyeri
setiap ibu nifas kan sedang
ketika dilakukan alat ukur 7-9 : Nyeri berat
episiotomi sebelum nyeri 10 : Nyeri tidak
dan sesudah VAS yang terkontrol
dilakukan kompres memiliki 5 (Fauziah, 2015)
hangat kategori
(Andarmoyo, 2016) dengan
skala 0-10

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta


DAFTAR PUSTAKA

Andarmoyo, Sulistyo. 2016. Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri.Yogyakarta:


Ar-Ruzz Media

Anneahira. 2010. Demam. Diakses Pada Tanggal 11 Februari 2020 dari


http://www.anneahira.com/pencegahan-penyakit/demam.html

Anur Rohmin. 2017. Faktor Risiko yang Mempengaruhi Lama Penyembuhan


Luka Perineum pada Ibu Post Partum di BPM Maimunah Palembang.
Jurnal Kesehatan, Volume VIII, Nomor 3, November 2017, hlm 449-454

Arikunto, S., 2014. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi
VI. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Aryanti. 2010. Hubungan Jenis Robekan dengan Lama Penyembuhan Luka


Perineum pada Ibu Nifas di BPM Mulyana Sari Amd.Keb Yogyakarta.
Jurnal Mahasiswi STIKES Aisyiyah Yogyakarta.

Cunningham, F.G. 2015. Obstetri Williams 1. Jakarta : EGC.

Dayu. 2012. Hubungan Perilaku Pantang Makanan Dengan Lama Penyembuhan


Luka Perineum Pada Ibu Nifas di Kecamatan Srengat Kabupaten Blitar.
Tesis. Surabaya: FK UNS

Dewi. 2012. Hubungan Personal Hygiene Dengan Kecepatan Kesembuhan Luka


Perineum Pada Ibu Post Partum di Seluruh Wilayah Kerja Puskesmas
Singosari Kabupaten Malang.

Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. (2017). Profil Kesehatan Lampung : Bandar


Lampung.

Dinas Kesehatan Kabupaten Pringsewu. 2017. Profil Kesehatan Kabupaten


Pringsewu Tahun 2017. Pringsewu : Dinas Kesehatan Kabupaten
Pringsewu.

Fauziah, Mia Nur, 2015. Pengaruh Latihan Abdominal Stretching Terhadap


Intensitas Nyeri Haid (Dysmenore) Pada Remaja Putri di SMK Al Furqon
Batarkawung Kabupaten Brebes. Skripsi. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah

Firdayanti. 2012. Terapi Nyeri Persalinan Non Farmakologis. Yogyakarta :


Nuha Medika

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta


Hastono, P. S. 2012. Statistik Kesehatan. Edisi VI. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada

Hidayat, A.A., & Uliyah M., 2012. Buku Saku Praktikum Kebutuhan Dasar
Manusia. Jakarta : EGC.

Kemenkes RI, 2017. Profil Kesehatan Indonesia 2017. Jakarta : Kementrian


Kesehatan Republik Indonesia.

Kurnianingtyas, dkk. 2012. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Nifas Normal. Jakarta :
EGC.

Manuaba, I.B.G. 2014. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: Buku Kedokteran


EGC.

Manurung, S. dkk. 2013. Pengaruh Tehnik Pemberian Kompres Hangat


Terhadap Perubahan Skala Nyeri Persalinan Pada Klien Primigravida
dan Puskesmas Cilandak Jakarta Selatan. Vol 4 (1),Hal 1-8

Marmi. 2012. Asuhan Kebidanan Pada Masa Nifas “Peurperium Care”.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Maureen, Boyle. 2011. Buku Saku Bidan Kedaruratan Dalam Persalinan. Jakarta:
EGC.

Mochtar, R. 2012. Sinopsis Obstetri. Jakarta : EGC.

Notoatmodjo, S. 2014. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Renika Cipta.

Nugroho, Taufan. 2012. Obstetri. Jakarta : Nuha Medika.

Nursalam. 2013. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Oktavia, Dian. 2012. Mitos-mitos Budaya Jawa dalam Masa Kehamilan,


Persalinan dan Nifas. Diunduh dari http://www.scribd.com/doc/
33587205/Ilmu-Sosial-Budaya-Dasar-Budaya-Jawa.htm/. Diakses 15
Februari 2020 pukul 21.24 WIB

Oxorn & William. 2010. Ilmu Kebidanan Patologi dan Fisiologi Persalinan
Human Labor and Birth. Indonesia: Yayasan Essentia Medika

Potter & Perry, 2012. Buku Ajar Fundamental Of Nursing. Jakarta : EGC.

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta


Prawirohardjo, Sarwono. 2012. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Rahmawati A. 2013. Perawatan Masa Nifas. Yogyakarta: Fitramaya.

Refni. 2011. Perawatan Luka Jahitan Perineum. http://refnidudulz.


com/2011/11/perawatan-luka-jahitan-perineum.html. Diakses pada tanggal
29 Februari 2020 jam 11.46 WIB.

Rosdahl, Caroline Bunker. 2014. Buku Ajar Keperawatan Dasar. Jakarta : EGC

Rudianto, 2010. Cara Cepat Atasi Demam Pada Anak. Jakarta : PT Bhuana Ilmu
Populer.

Rukiyah, Ai Yeyeh, dkk. 2012. Asuhan Kebidanan IV (Potologi Kebidanan).


Jakarta : Trans Info Media.

Saifudin AB, dkk. 2012. Panduan Praktis Kebidanan Maternal Dan Neonatal.
Jakarta : Yayasan Bina Pustaka, Sarwono Prawirihardjo.

Sampe et al. 2014. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Penyembuhan Luka


Episiotomi. Jurnal STIKES Nani HasanudiMakasar, 4(3): 303-312.

Smeltzer & Bare. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Jakarta : EGC.

Susilawati, Elly.2019. Efektifitas Kompres Hangat dan kompres Dingin Terhadap


Intensitas Nyeri Luka Perineum Pada Ibu Post Partum di BPM Siti Julaeha
Pekanbaru. Jurnal Of Midwifery Selence, Vol 4(1): 2579 – 7077.

Sugiyono. 2017. Statistik untuk penelitian. CV. Alfabeta : Bandung

Sukrisno, Adi. 2010. Asuhan kebidanan IV ( Patologi Kebidanan ). Jakarta : Trans


Info Media

Sumarah, dkk. 2012. Perawatan Ibu Bersalin (Asuhan Kebidanan Pada Ibu
Bersalin). Jakarta: Fitramaya.

Suparyanto. 2012. Perawatan Luka Perineum. Dalam http://dr-suparyanto.


blogspot.com/2012/07/perawatan-luka-perineum.html

Suwiyoga. 2014. Hubungan Umur Asupan Gizi Dan Mobilisasi Dini Dengan
Penyembuhan Luka Perineum Pada Ibu Nifas Di Wilayah Kerja
Puskesmas Labuhan Haji dan Puskesmas Labuhan Haji Timur Aceh
Selatan.

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta


Suwondo, 2017. Buku Ajar Nyeri. Yogyakarta : Perkumpulan Nyeri Indonesia.

Tamsuri, 2017. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta : EGC.

Trisnawati. 2015. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penyembuhan Luka


Jahitan Perineum Pada Ibu Nifas di Puskesmas Mergangsan Yogyakarta
Tahun 2015. Naskah Publikasi STIKes Aisyah Yogyakarta.

World Health Organization. (2016). Global Status Report on Noncommunicable


Disease. Swiss: WHO.

Wiknjosastro, H. 2012. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo.

Wulandari, S.R, Handayani, S. 2011. Asuhan Kebidanan Ibu Masa Nifas.


Yogyakarta: Gosyen Publishing.

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta

Anda mungkin juga menyukai