Anda di halaman 1dari 16

Catatan tentang Emile Durkheim

The Rules of Sociological Method

Dalam paper ini dibahas secara ringkas isi buku Emile Durkheim yaitu ”The Rules of
Sociological Method”, yang merupakan buku penting yang memberi pengaruh besar pada
terbangunnya metodologi dalam ilmu sosiologi saat ini. Paper ini berisi apa yang dimaksud
dengan fakta sosial dan bagaimana melihat atau mempelajari fakta sosial. Namun, sesuai dengan
pembagian tugas yang disepakati, paper ini hanya memuat ulasan secara terbatas, yaitu hanya
bab 1, 2 dan 6 dari buku tersebut.

Fakta sosial sebagai objek ilmu sosiologi

Durkheim berupaya membangun ilmu sosiologi, sebagai upaya memisahkannya dengan ilmu
filsafat, psikologi, dan sejarah. Untuk itu, metodologi yang khas sosiologi, yang tidak meniru
metodologi ilmu lain, menjadi langkah pertama atau sebagai basis dari upaya ini. Karena itulah,
ia memandang penting untuk menyusun buku The Rules of Sociological Method. Namun
sebelum membicarakan bagaimana melakukan studi atau bagaimana mempelajarinya, ia
menjelaskan terlebih dahulu apa itu fakta sosial.
Fakta sosial adalah inti perhatian Durkheim. Baginya, untuk mempelajari sebuah masyarakat
cukup dengan melihat fakta-fakta sosial yang terdapat di masyarakat tersebut. Dan, untuk
menjelaskan seuah fakta sosial haruslah dengan fakta sosial pula.

Ciri yang paling utama dari fakta sosial adalah eksternal, atau berada di luar individu. Ia tercipta
ketika manusia saling berinteraksi. Untuk melihatnya pun tidak bisa dengan hanya melihat
individu per individu. Ia berada di luar individu, namu ia adalah sesuatu yang nyata. Ini penting,
karena bagian ini merupakan upaya Durkheim untuk menyatakan bahwa ini adalah sungguh-
sungguh suatu objek ilmiah. Durkheim menyebut bahwa fakta sosial adalah ”sesuatu” (”things”)
yang riel. Ia bukanlah ide atau gagasan belaka.
Sifat lain dari fakta sosial adalah memaksa. Perilaku individu tidaklah bebas, karena perilaku dan
sikap individu dalam masyarakat ditentukan oleh berbagai fakta sosial. Fakta sosial menjadi
pedoman dalam bertindak. Ada kekuatan dari luar yang mendorong atau menentukan bagaimana
individu harus berperilaku. Dengan demikian, orang lain hanya bisa menerima tindakan kita jika
sesuai dengan norma dan hukum yang berjalan.

Fakta sosial menjadi pusat perhatian penyelidikan dalam sosiologi. Sebagai ilmu baru yang
sedang berupaya mengaktualisasikan diri, Durkheim berupaya menyatakan bahwa ia berangkat
dari realitas. Dengan kata lain, titik berangkat dan sifat analisisnya tidak menggunakan
pemikiran spekulatif (sebagaimana pada filsafat). Untuk memahami realitas maka diperlukan
penyusunan data riil yang ada dan hidup di luar pemikiran manusia secara individual.

Fakta sosial juga bersifat umum (general). Pengaurhnya ada di seluruh atau sebagian besar
anggota masyarakat. Dalam buku ini ia membedakan antara dua tipe fakta sosial yaitu fakta
sosial material dan nonmaterial. Keduanya memiliki peran yang penting dalam masyarakat,
meskipun ia lebih condong memperhatikan yang nonmaterial.
Acuan Metodologi dalam Penelitian Ilmu Sosiologi

Lima bab dari enam bab dalam buku ini membicarakan tentang apa-apa yang harus diperhatikan
seorang ilmuwan dalam melakukan penelitian sosiologi. Dengan kata lain, ia bermaksud
memberikan pedoman dalam bagaimana melihat fakta sosial.

Ilmu sosiologi, atau tugas seorang sosiolog, adalah meneliti karakteristik fakta social, yang
bersifat eksternal terhadap individu dan yang mengendalikan tingkah laku manusia. Pada
hakekatnya Durkheim berupaya menyatakan bahwa metode sosiologi harus bersifat objektif.
Karena itu, seorang ilmuwan harus mengenyampingkan segala prakonsepsi mengenai fakta
sebelum melakukan studi.

Sebagaimana dijelaskan, gejala sosial yang riel merupakan objek pokok dalam sosiologi, bukan
gagasan-gagasan. Disebutkan bahwa ilmu jangan berpegangan pada gagasan karena akan
berhenti berproses dan tidak mempunyai bahan untuk berkembang lebih lanjut. Durkheim
menyebutkan bahwa gejala sosial lah yang harus dijadikan objek dalam pengembangan ilmu
sosiologi. Untuk itu, seorang ilmuwan dalam mempelajari masyarakat, pertama-tama harus
dengan kepala terbuka. Ia harus menghapus dulu berbagai gagasan (pra konsepsi) yang melekat
dalam kepalanya.

Lebih jauh, dalam masyarakat akan ditemukan fenomena sosial yang normal atau yang positif
dan yang bersifat patologis atau negatif. Seorang ilmuwan harus melihat keduanya, karena
bentuk-bentuk patologis tersebut tidak berbeda hakikatnya dari bentuk-bentuk normal, meskipun
peranannya di masyarakat berbeda. Namun, Durkheim menggarisbawahi bahwa “kenormalan”
tersebut mesti dimaknai lain. Sesuatu yang patologis namun selalu ada di setiap masyarakat,
tentunya ia memiliki “peran” dalam menjaga keutuhan masyarakat; maka itu ia dapat disebut
sebagai sesuatu yang normal pula. Korupsi, sebagai contoh, merupakan patologis tapi hampir tak
ada masyarakat tanpa korupsi.

Fakta sosial ada di masyarakat, bukan di individu. Hal ini selaras dengan kenyataan bahwa
masyarakat bukanlah semata-mata merupakan penjumlahan individu-individu belaka, sehingga
penjelasan mengenai faktor-faktor penyebab fakta harus dicari dalam hakikat individualitas
kolektif. Sosiologi harus menarik abstraksi dari manusia dan bagian-bagiannya. Hal ini selaras
dengan kenyataan bahwa kalau individu dimusnahkan maka masyarakat akan tetap ada. Ini
membuktikan bahwa penjelasan mengenai kehidupan sosial harus dicari pada hakikat masyarakat
itu sendiri, bukan di individunya (sebagai psikologi).

Metode untuk Mendapatkan Bukti yang Syah secara Sosiologis

Tentang bagaimana sesuatu dapat disebut sebagai bukti sosiologis, pada Bab 6 Durkheim
menjelaskan berbagai hal. Tidak sebagaimana ilmu psikologi yang dapat melakukan eksperimen,
dalam sosiologi hal ini tidak dapat dijalankan karena semua kejadian berada di luar kontrol
peneliti atau pengamat. Sehingga yang dapat dilakukan hanyalah eksperimen tidak langsung atau
berupa metode perbandingan.
Dalam buku ini Durkheim mempertegas bahwa pendekatan sosiologinya berseberangan dengan
Herbert Spencer, yang menekankan pada individualisme. Spencer lebih tertarik pada
perkembangan evolusi jangka panjang dari masyarakat-masyarakat modern, dan baginya, kunci
untuk memahami gejala sosial atau gejala alamiah lainnya adalah hukum evolusi yang universal.
Selain itu, Durkheim juga menyebutkan ada beberapa pandangan August Comte yang ia terima
terutama konsep tentang positivisme dalam ilmu sosial.

Pada hakekatnya, penjelasan sosiologis secara ekslusif adalah mencari hubungan kausalitas,
yaitu menemukan berbagai hal yang terkait dengan suatu fenomena sosial, baik dalam posisi
sebagai penyebab ataupun sebagai akibat. Ada beberapa cara atau metode yang dapat dipilih oleh
seorang peneliti sosiologi untuk itu, yaitu dengan penelitian tunggal pada satu masyarakat atau
dengan melakukan perbandingan.

Salah satu cara adalah dengan membandingkan kasus-kasus yang mengandung semua gejala itu
secara simultan atau sama sekali tidak mengandung gejala-gelaja itu. Ini sebagai cara untuk
melihat berbagai variasi yang tampak pada berbagai kombinasi untuk melihat apakah ada
ketergantungan antar fenomena sosial.
Inti perhatian penelitian sosiologi adalah gejala sosial, yaitu fakta sosial tersebut. Suatu gejala
sosial dapat dibedakan dengan gejala lainnya misalnya dari sisi kompleksitasnya. Sosiolog
berupaya mempelajari hubungan kausalitas antara gejala sosial.

Salah satu metode adalah investigasi dengan melakukan deduksi, dimana pembuktian dianggap
syah setelah dilakukan verifikasi. Jika terbukti sesuai dengan teori, maka ia dianggap terbukti
secara ilmiah.
Suatu gejala sosial dapat dijadikan sebagai penyebab dari suatu gejala sosial lain bila hal itu unik
terjadi di masyarakat yang kita teliti. Artinya, kedua gejala tersebut terjadi bersamaan, sedangkan
di kelompok masyarakat lain hal itu tidak ditemukan, atau tidak muncul secara bersamaan.
Metode variasi bersamaan ini (concomitant variations) harus muncul secara lengkap dan tidak
superfisial.

Penelitian tunggal (single experiment) juga dapat dilakukan, namun harus mengumpulkan data
secara lengkap. Meskipun penelitian hanya dilakukan pada satu kelompok masyarakat, dalam
penelitian institusi sosial misalnya, harus membandingkan bentuk-bentuk yang berbeda yang
muncul.
Durkheim juga menguraikan pentingnya sosiologi perbandingan (comparative sociology), yaitu
dengan membandingkan masyarakat pada waktu yang bersamaan misalnya. Hal ini telah ia
laksanakan dalam melakukan penelitian tentang bunuh diri.

Buku The Rules of Sociological Method (Emile Durkheim): Bab VI

Paper ini hanya membahas secara ringkas bab VI dari buku Emile Durkheim ”The Rules”.
Sebagaimana kita tahu, buku ini sangat berperan dalam memberi pengaruh pada terbangunnya
metodologi dalam ilmu sosiologi sampai saat ini. Durkheim berupaya membangun ilmu
sosiologi, sebagai upaya memisahkannya dengan ilmu filsafat, psikologi, dan sejarah. Untuk itu,
metodologi yang khas sosiologi, yang tidak meniru metodologi ilmu lain, menjadi langkah
pertama atau sebagai basis dari upaya ini. Karena itulah, ia memandang penting untuk menyusun
buku The Rules of Sociological Method. Namun sebelum membicarakan bagaimana melakukan
studi atau bagaimana mempelajarinya, ia menjelaskan panjang lebar terlebih dahulu apa itu fakta
sosial.

Bab VI: Metode untuk Mendapatkan Bukti yang Syah secara Sosiologis

Tentang bagaimana sesuatu dapat disebut sebagai bukti sosiologis, pada bab ini Durkheim
menjelaskan berbagai hal. Tidak sebagaimana ilmu psikologi yang dapat melakukan eksperimen,
dalam sosiologi hal ini tidak dapat dijalankan karena semua kejadian berada di luar kontrol
peneliti atau pengamat. Sehingga yang dapat dilakukan hanyalah eksperimen tidak langsung atau
berupa metode perbandingan.
Pada bagian depan dari buku ini telah dijelaskan pentingnya fakta sosial sebagai inti perhatian
dalam studi sosiologi. Bagi Durkheim, untuk mempelajari sebuah masyarakat cukup dengan
melihat fakta-fakta sosial yang terdapat di masyarakat tersebut. Durkheim menyebut bahwa fakta
sosial adalah ”sesuatu” (”things”) yang riel. Ia bukanlah ide atau gagasan belaka. Fakta sosial
harus menjadi pusat perhatian sosiologi. Sebagai ilmu baru yang sedang berupaya
mengaktualisasikan diri, Durkheim berupaya menyatakan bahwa ia berangkat dari realitas.
Dengan kata lain, titik berangkat dan sifat analisisnya tidak menggunakan pemikiran spekulatif
(sebagaimana pada filsafat). Untuk memahami realitas maka diperlukan penyusunan data riil
yang ada dan hidup di luar pemikiran manusia secara individual.

Lima bab dari enam bab dalam buku ini membicarakan tentang apa-apa yang harus diperhatikan
seorang ilmuwan dalam melakukan penelitian sosiologi. Sebagaimana dijelaskan, gejala sosial
yang riel merupakan objek pokok dalam sosiologi, bukan gagasan-gagasan.

Dalam pandangan Durkheim, jika dua fenomena selalu terjadi secara bersamaan, maka fenomena
pertama adalah sebab atau akibat dari fenomena kedua. Karena sosiologi tidak dapat melakukan
eksperimen, yang dapat dilakukan adalah eksperimen tidak langsung, atau dengan melakukan
perbandingan. Metode perbandingan (comparative method) merupakan metode yang paling
cocok dalam sosiologi. Comte disebut belum spenuhnya menerapkan ini, karena Comte
menggunakan metode historis. Selain itu, Durkheim juga menyebutkan ada beberapa pandangan
August Comte yang ia terima terutama konsep tentang positivisme dalam ilmu sosial.

Pada hakekatnya, penjelasan sosiologis secara ekslusif adalah mencari hubungan kausalitas,
yaitu menemukan berbagai hal yang terkait dengan suatu fenomena sosial, baik dalam posisi
sebagai penyebab ataupun sebagai akibat. Ada beberapa cara atau metode yang dapat dipilih oleh
seorang peneliti sosiologi untuk itu, yaitu dengan penelitian tunggal pada satu masyarakat atau
dengan melakukan perbandingan.
Intinya adalah menjadi penjelasan kausalitas. Yaitu mencari fenomena yang berkaitan sebagia
penyebab suatu fenomena. Dalam buku ini Durkheim mempertegas bahwa pendekatan
sosiologinya berseberangan dengan Herbert Spencer, yang menekankan pada individualisme.
Spencer lebih tertarik pada perkembangan evolusi jangka panjang dari masyarakat-masyarakat
modern, dan baginya, kunci untuk memahami gejala sosial atau gejala alamiah lainnya adalah
hukum evolusi yang universal.

Dalam menjelaskan berbagai metode dalam studi sosiologi, Durkheim bertolak dari pemikiran
Jhon Stuart Mill dalam apa yang disebut dengan sistem logika (System of Logic). Mill
menyebutkan bahwa metode eksperimen tidak langsung pun juga tidak sesuai untuk riset-riset
sosiologi. Teori Mill merupakan psinsip-prinisp dasar tentang logika dalam melakukan riset dan
terutama dalam menganalisa dan menarik kesimpulan. Ia menggunakan pendekatan
deterministik. Suatu hubungan kausal mestilah logis, dan tidak dapat tidak menentukan
(indeterminate). Permasalahan keterkaitan ini menjadi pertanyaan penting bagi kalangan filsafat,
namun bagi ilmuwan tidak, karena inilah motede ilmu pengetahuan. Namun pada dasarnya,
memang logika merupakan satu bidang studi yang intinya adalah pada penalaran. Logika
menjadi penghubung antara filsafat dan ilmu pengetahuan (science), yaitu berkenaan dengan
bagaimana menarik kesimpulan secara syah.

Meskipun metode perbandingan cukup untuk sosiologi, bukan berarti otomatis memenuhi prinsip
validitas. Dalam menggunakan metode perbandingan, salah satu caranya adalah dengan
membandingkan kasus-kasus yang mengandung semua gejala itu secara simultan atau sama
sekali tidak mengandung gejala-gelaja itu. Ini sebagai cara untuk melihat berbagai variasi yang
tampak pada berbagai kombinasi untuk melihat apakah ada ketergantungan antar fenomena
sosial. Melalui metode persamaan seperti ini akan mudah terlihat apa saja fenomena sosial yang
selalu ahdir secara bersamaan. Jika itu terjadi maka dapat diduga bahwa antar keduanya memiliki
keterkaitan, sebagai sebab atau sebagai akibat.

Inti perhatian penelitian sosiologi adalah gejala sosial, yaitu fakta sosial tersebut. Suatu gejala
sosial dapat dibedakan dengan gejala lainnya misalnya dari sisi kompleksitasnya. Sosiolog
berupaya mempelajari hubungan kausalitas antara gejala sosial yang ada di satu masayarakat.
Salah satu metode yang dapat dipakai adalah metode investigasi dengan melakukan deduksi,
dimana pembuktian dianggap syah setelah dilakukan verifikasi. Jika terbukti sesuai dengan teori,
maka ia dianggap terbukti secara ilmiah.

Suatu gejala sosial dapat dijadikan sebagai penyebab dari suatu gejala sosial lain bila hal itu unik
terjadi di masyarakat yang kita teliti. Artinya, kedua gejala tersebut terjadi bersamaan, sedangkan
di kelompok masyarakat lain hal itu tidak ditemukan, atau tidak muncul secara bersamaan.
Metode variasi bersamaan ini (concomitant variations) harus muncul secara lengkap dan tidak
superfisial.

Penelitian tunggal (single experiment) juga dapat dilakukan, namun harus mengumpulkan data
secara lengkap. Meskipun penelitian hanya dilakukan pada satu kelompok masyarakat, dalam
penelitian institusi sosial misalnya, harus membandingkan bentuk-bentuk yang berbeda yang
muncul.
Jadi, untuk paham bagaimana arah fenomena sosial yang berkembang, seseorang harus
membandingkan masa ketika kelompok masyarakat tersebut masih muda dengan kondisi muda
dari kelompok masyarakat yang menggantikannya. Durkheim juga menguraikan pentingnya
sosiologi perbandingan (comparative sociology), yaitu dengan membandingkan masyarakat pada
waktu yang bersamaan misalnya. Hal ini telah ia laksanakan dalam melakukan penelitian tentang
bunuh diri.

Dalam studi sosiologi perlu dikumpulkan atau dicakup data-data yang diambil dari hal-hal yang
unggul dan unik, dari beberapa masyarakat yang berasal dari kelompok (species) yang sama,
atau dari beberapa kelompok. Dalam pendekatan ini, syaratnya adalah fakta yang dilihat mesti
terdistribusi secara luas, atau secara statistik ektensif dan bervariasi. Sebagai contoh, ketika
membandingkan kurva yang menunjukkan trend bunuh diri dalam periode yang panjang, akan
dijumpai variasi nilai, namun juga akan muncul kesamaan-kesamaan dalam konteks provinsi,
kelas, kota dan desa, jenis kelamin, umur, status sosial, dan lain-lain. Namun demikian, dalam
menerapkan metode perbandingan, peneliti sama-sama akan menemui keterbatasan sebagaimana
ketika meneliti satu aspek pada sejumpah masyarakat. Dalam kondisi sebaliknya, hal ini juga
akan dijumpai dalam mengkaji masalah kelembagaan, peraturan legal, serta moral atau
kebudayaan.

Dalam melakukan studi, kita tidak dapat hanya membatasi pada satu masyarakat secara tunggal.
Dengan cara ini, data hanya berisi pasangan tunggal pada kurva yang paralel, yaitu kurva yang
menunjukkan peningkatan secara historik suatu fenomena yang berkaitan dan kurva yang ada di
masyarakat secara tunggal. Tentu saja, meskipun dalam konteks tunggal objek akan eksis secara
paralel, hal itu juga merupakan fakta yang dapat dipertimbangkan sebagai sesuatu yang penting.

Dengan melakukan analisa terhadap beberapa orang dalari kelompok yang sama kita memiliki
peluang untuk melakukan perbandingan yang lebih mendalam. Yang utama dalam konteks ini
adalah bahwa kita dapat membandingkan sejarah satu masyarakat dengan sesuatu yang lain dan
mengobservasi apakah ia bagian dari mereka, dimana fenomena yang sama tumbuh sebagai hasil
dari kondisi yang sama. Hal ini dapat diperbandingkan antara perkembangan yang nilainya
bervariasi. Sebagai misal, seorang peneliti akan menetapkan bentuk-bentuk yang faktual dibawah
asumsi-asumsi yang sesuai pada masyarakat yang berbeda-beda yang diposisikan sebagai
perkembangan yang tertinggi.

Bentuk-bentuk yang secara individual berbeda pada tipe yang sama, adalah bentuk yan tidak
sama di semua tempat. Ia lebih kurang berbeda tergantung pada kasus-kasus khusus. Seseorang
akan memiliki serangkaian data baru dari variasi untuk membandingkan pada bentuk-bentuk
yang muncul pada tahap yang berkaitan dalam setiap satu dari masyarakat. Contoh, kita melihat
adanya evolusi keluarga patriarkhal yang mulai dari era Romawi, terus ke era Yunani dan Sparta.
Kita dapat mengelompokkan kota-kota yang sama berdasarkan level perkembangan keluarganya,
dan juga dapat melihat apakah mereka masih tetap atau berubah.
Namun metode seperti ini kurang memadai, karena ia hanya dapat membandingkan pada gejala
yang lahir selama masyarakat tersebut eksis. Padahal setiap masyarakat tidak meniptakan
organisasinya sendiri, namun sudah dibuat oleh masyarakat sebelumnya. Apapun yang dahulu
ada di awal sejarah suatu masyarakat cenderung sedikit dan dianggap kurang penting. Untuk itu
kita harus meneliti pada akar-akarnya, dan untuk itu hanya bisa diteliti dengan membuat
perbandingan.

Untuk bisa paham tentang apa yang terjadi sekarang perlu mempelajari asalnya dan elemen-
elemen pembentuknya. Kita harus melihat ke masa dulunya sebagai latar belakang. Jadi untuk
menjelaskan kelembagaan sekarang, perlu meneliti berbagai bentuk yang berbeda-beda, tidak
hanya di dalam masyarakat tersebut tapi juga di kelompok-kelompok lain. Hal ini disebut dengan
metode ”genetic” yang akan memungkinkan kita menganalisa dan mesintesa fenomena yang kita
temukan. Satu hal lain, seseorang tidak akan dapat menjelaskan suatu fakta sosial yang kompleks
kecuali dengan melihat pada kondisi makro yang melingkupinya (all sosial species). Penjelasan
seperti ini konsisten dengan penjelasan pada banyak bagian dari buku The Rules ini meskipun
kadang kala disebutkan secara tidak langsung, yaitu penekanan kepada lingkup yang lebih luas
dari kehidupan sosial sebagai konteks suatu fenomena sosial.

Buku ”Suicide: A Study in sociology”

Paper ini berisi uraian tentang hasil penelitian Durkheim berkenaan dengan bunuh diri di negara-
negara Eropa yang berlangsung pada paruh kedua abad ke 19, yaitu di masa terjadi peningkatan
ekonomi industri yang pesat namun juga berdampak pada perubahan yang besar di masyarakat.
Sesuai dengan pembagian tugas yang disepakati, paper ini hanya memuat ulasan secara terbatas,
yaitu buku I serta buku II bab 5 dan 6 dari buku tersebut.

Buku I: Faktor-Faktor Ekstra Sosial

Durkheim mendefinisikan bunuh diri sebagai ”setiap kasus kematian yang merupakan akibat
lansung atau tidak langsung dari suatu perbuatan positif atau negatif oleh korban itu sendiri, yang
mengetahui bahwa perbuatannya itu akan berakhir dengan kematiannya”. Pengertian seperti ini
bisa mencakup area yang agak luas, dimana perilaku merusak diri yang dilakukan secara
berulang-ulang dapat pula digolongkan sebagai bunuh diri, meskipun saat kematiannya penyebab
langsungnya adalah gagal jantung atau kanker misalnya. Namun Durkheim, sebagaimana
dijabarkan dalam tabel-tabel dalam buku ini, hanya berpatokan kepada data-data yang
dikumpulkan lembaga statistik, dimana apa yang disebut dengan bunuh diri tentu lebih sempit
sebagaimana dimaknasi masyarkaat umum, yaitu hanya untuk perilaku tragis sekali waktu
berupa menggantung diri, melompat, membenamkan diri, mambakar diri, meracuni diri, dan
perilaku yang membuat tidak bisa bernafas.

Pada hakekatnya, studi tentang bunuh diri ini merupakan upaya Durkehim menunjukkan betapa
hal-hal yang selama ini dinilai sangat pribadi, yaitu bunuh diri, ternyata memiliki keterkaitan
yang sangat erat dengan fakta sosial yang hidup di masyarakat. Fakta-fakta sosial ini lah yang
menjelaskan kenapa bunuh diri dilakukan seseorang, bagaimana cara bunuh diri yang dipilih,
serta tipe-tipe bunuh diri (penyebab) yang terjadi. Durkheim dalam hal ini berusaha memberi
contoh bagaimana melakukan penelitian dalam disiplin ilmu sosiologi yang saat itu baru lahir.

Pada buku I (”Extra-Social Faktors”) Durkehim berusaha menunjukkan kelemahan atau


kesalahan berbagai pandangan para ahli sebelum dia tentang bunuh diri. Dari bagian ini,
Durkheim sekaligus ingin menunjukkan bahwa ilmu sosiologi memiliki kehandalan atau
ketepatan yang lebih baik dalam menjelaskan fenomena bunuh diri. Untuk itu, Durkheim tidak
melakukan observasi secara langsung kepada keluarga atau orang terdekat yang melakukan
bunuh diri sebagai upaya untuk mengungkap motif orang bunuh diri, namun ia menjelaskan
melalui fakta sosial yang berada di level lebih tinggi atau luas, yaitu di masyarakat secara
keseluruhan. Dengan pendekatan ini, maka sebagaimana dijabarkan dalam tabel-tabel, angka
bunuh diri (dan peningkatannya) dilihat per kelompok masyarakat, baik berdasarkan kelompok
negara, agama, maupun ras.
Dalam melakukan analisis, Durkheim, selain membandingkan antar kelompok masyarakat, juga
membandingkan antar waktu. Perkembangan bunuh diri selalu dihubungkan dengan fenomena
sosial yang melekat dengan objek tersebut.
Berbagai pendapat sebelumnya yang ditolak Durkheim berkenaan dengan pandangan psikopatik,
pendekatan individu, penyebab yang berkenaan dengan perilaku minum (alkohol), teori peniruan
(imitasi), cuaca atau iklim (panas, semi dan lain-lain yang dijabarkan atas bulan), serta ras dan
keturunan. Ia berusaha membuktikan bahwa alasan-alasan tersebut pada hakekatnya keliru.
Menurut pendekatan psikopatik, bunuh diri merupakan perilaku kegilaan yang dialami seseorang
yang disebut mengalami ”monomania”. Ada empat tipe penyebab dalam konsep ini yaitu bunuh
diri karena halusinasi, depresi, obsesi untuk membunuh diri sendiri, serta yang impulsif yang
datang secara mendadak.

Selanjutnya, untuk menolak pendapat kalangan yang mempercayai kebiasaan meminum


minuman beralkohol sebagai penyebab, Durkheim memperlihatkan data di Jerman, dimana level
konsumsi alkohol tidak berhubungan sejajar dengan tingkat bunuh diri. Dengan membandingkan
antar negara bagian (country), diperlihatkan bahwa bunuh diri per penduduk tertinggi (234 orang
per 1 juta penduduk) justeru terjadi pada masyarakat dengan konsumsi alkohol tergolong
kategori ketiga jika diurutkan dari yang paling tinggi ke rendah, yaitu dengan rata-rata konsumsi
alkohol hanya 4,5 sampai 6,4 liter per kapita. Level tertinggi konsumsi alkohol, yaitu pada
kelompok masyarakat pertama, rata-rata adalah 10,8 s/d 13 liter per kapita.

Dalam hal pengaruh iklim, Durkheim membalikkan bukti ini, karena tingkat bunuh diri tidak
berbanding lurus dengan peningkatan suhu di masa bersangkutan. Dengan kata lain, lingkungan
fisik bukanlah penyebab bunuh diri, meskipun pendapat umum sebelumnya demikian.

Bagi Durkheim, bunuh diri, yang bermacam-macam bentuk (egoistis, altruis, dan anomi) tersebut
memang merupakan penyimpangan perilaku yang dialami seseorang. Namun, pada hakekatnya,
bunuh diri tersebut merupakan hasil dari fakta sosial yaitu kuat dan lemahnya integrasi dan
regulasi di masayarkat dimana ia hidup. Meningkatnya secara konsisten jumlah kejadian bunuh
diri selalu mempunyai kaitan dengan terjadinya pergolakan serius di dalam kondisi-kondisi
sosial suatu masyarakat. Pada bagian awal bukunya, Durkheim berupaya menolak berbagai
analisa sebelumnya bahwa bunuh diri merupakan tindakan yang semata-mata karena penyebab
yang sifatnya juga individualistis. Memang sekilas bunuh diri tampak seperti keputusan yang
bersifat individual semata, dimana bunuh diri merupakan keputusan individual yang diambil
dalam keadaan seorang diri. Tentu saja keputusan bunuh diri sangat individualistis, bahkan orang
terdekat pun tidak pernah diberitahu.

Dalam penelaahannya, Durkheim menghubungkan bunuh diri dengan berbagai fakta sosial.
Bunuh diri di negara-negara Eropa Barat memperlihatkan suatu pola yang tampaknya
berhubungan dengan keyakinan (agama). Negara-negara dimana penduduknya beragama
Katholik mempunyai angka bunuh diri yang lebih rendah daripada yang beragama Protestan.
Namun, dalam analisis selanjutnya, Durkheim menyatakan bahwa ini lebih sebagai variabel
anteseden, karena kedua agama ini melarang bunuh diri dengan sama kerasnya. Dengan
demikian, penjelasan yang sesungguhnya harus dicari dalam perbedaan-perbedaan yang lebih
pokok lagi. Dalam penelusuran lebih jauh diperoleh kenyataan bahwa orang yang beragama
Protestan cenderung memiliki semangat kebebasan secara relatif. Hal ini sangat berbeda di
pengikut Katholik yang otoritas dan daya mengikat gereja (dan pendeta) begitu kuat. Dengan
kata lain, agama Protestan tidak mengikat terlalu kuat (terintegrasi) dibandingkan dengan agama
katholik.
Lebih jauh, kaitanya dengan integrasi sosial, Durkheim membuktikan pula kecenderungan bunuh
diri yang lebih besar pada orang yang tidak menikah. Artinya, mereka tidak memiliki integrasi
dengan keluaga. Bukti lain adalah, pada integrasi dalam keluarga yang kuat yang diindikasikan
dengan jumlah anak. Pada keluarga dengan jumlah anak lebih besar, angka bunuh diri cenderung
rendah.

Buku I bab 5: Bunuh Diri Anomie

Dalam bab ini dijelaskan terlebih dahulu fakta bahwa tingkat bunuh diri berhubungan langsung
dengan krisis ekonomi. Hal ini terjadi di Vienna, Jerman dan Paris. Dan lebih meyakinkan lagi,
bahwa bunuh diri semakin tinggi pada bulan-bulan dimana krisis mencapai puncaknya. Krisis
ekonomi telah menyebabkan perusahaan-perusahaan bangkrut, yang lalu diikuti oleh kemiskinan
warga dimana hidup menjadi semakin sulit.
Sepintas, cara berpikir yang kronologis ini sangat masuk akal, dimana kita akan menyimpulkan
bahwa kesulitan hidup lah yang menyebabkan orang-orang bunuh diri. Namun, ini belum
sosiologis. Durkheim memunculkan faktor pokok yang menghubungkan berbagai fenomena
sosial tersebut, yaitu rusaknya tatanan hidup kolektif (unstable equilibrium). Faktor inilah yang
menjadi penjelas yang sangat terang, sehingga orang banyak bunuh diri. Artinya, andai saja
tatanan hidup tetap stabil meskipun hidup semakin susah, bunuh diri semestinya tidak terjadi.

Untuk mendukung kesimpulan ini, Durkheim menambahkan dengan data adanya kesejajaran
antara angka perceraian dan perpisahan dengan bunuh diri. Angka perceraian relatif lebih tinggi
pada kalangan yang beragama Protestan dibandingkan yang beragama Katolik. Durkheim
menyebutkan bahwa tingginya angka bunuh diri pada kalangan yang bercerai (dan juga yang
hidup tidak berkeluarga), merupakan kondisi anomi yang sedang berlangsung di dalam keluarga
(domestic anomie). Tambahan lagi, anomi yang berlangsung di level keluarga merupakan hasil
dari bibit-bibit anomi yang sudah berakar dari agama yang dianut keluarga bersangkutan.

Jadi, bunuh diri anomi melonjak jumlahnya ketika dalam suatu masyarakat melemah daya
menekan dari regulasinya. Regulasi yang melemah biasanya terjadi ketika masyarakat tersebut
sedang menghadapi suatu persoalan yang tergolong besar. Peristiwa tersebut dapat berupa
negatif maupun positif, misalnya berupa resesi ekonomi atau justeru kemajuan ekonomi yang
terlalu cepat. Hal ini dibuktikan Durkheim dengan serangkaian data, dimana pada masa-masa
resesi ekonomi angka bunuh diri meningkat secara mencolok, demikian pula pada masa
terjadinya kemakmuran ekonomi yang menyolok.

Bagi mereka yang mengalami kelebihan atau kekurangan secara mendadak, disudutkan dalam
suatu situasi, dimana harapan-harapan mereka yang sudah terbiasa mengalami ketegangan dan
ketidakmenentuan. Akibatnya timbul suatu kondisi anomi yang menyusutnya ketaatan moral
individu.

Dalam masa krisis terdapat suatu gangguan atau ketidakstabilan kolektif. Dengan melemahnya
tata pengaturan masyarakat, hilang keseimbangan, yang pada level individu menyebabkan
hilangnya penguasaan diri. Dapat dikatakan, bahwa manusia rupanya tidak siap hidup tanpa
pengaturan sosial. Pada titik ini terlihat betapa sifat masyarakat yang ”memaksa” tersebut
rupanya memiliki peran yang positif.

Dalam kondisi melemahnya pengaturan atau tekanan dari masyaralat, individu merasa tidak
diperhatikan siapa-siapa. Meskipun mungkin banyak orang berpikiran bahwa kondisi ini
semestinya sangat ”menyenangkan” karena ”bebas” melakukan sesuatu, namun bagi sebagian
orang justeru tidak mengenakkan. Dalam bentuk yang riel misalnya adalah terjadinya pemutusan
hubungan kerja karena resesi ekonomi. Dalam kondisi yang normal, orang yang mengalami PHK
akan dibantu oleh berbagai institusi sosial, misalnya organisasi buruh; namun di masa krisis
institusi ini tidak berjalan. Kehilangan ini lah yang menimbulkan kondisi terasing (anomi) bagi
sebagian orang.

Nilai, norma, bahkan aturan perundang-undangan yang sebelumnya dapat digunakan sebagai
pedoman dan hak ”menuntut” agar masyarakat menyediakan akses pekerjaan bagi anggotanya,
saat krisis tidak lagi berjalan. Dalam kondisi ini, individu merasakan kehilangan atau merasa
terasing ”seorang diri”.

Buku I bab 6: Bentuk-Bentuk Individual dari Tipe-Tipe Bunuh Diri yang Berbeda

Dalam bagian ini Durkheim menjelaskan bagaimana fenomena sosial berubah menjadi
manifestasi individual. Setiap orang dalam satu masyarakat akan memaknai secara berbeda
setiap gejala sosial (fakta sosial) yang mereka alami. Demikian pula bagi orang yang bunuh diri.
Sebab, jika setiap tekanan sosial atau sebaliknya ketika terjadi arus integrasi yang lemah,
dimaknai sama sebagaimana dimaknai oleh orang yang bunuh diri, tentu semua orang di
masyarakat tersebut akan bunuh diri pula.

Dijelaskan oleh Durkehim bahwa setiap tipe bunuh diri mengalami proses psikologis sedemikian
rupa yang berbeda-beda. Pada bunuh diri tipe egoistis, individu yang bunuh diri sebelumnya
mengalami perasaan sedih yang dalam dan kelesuan menghadapi hidup. Ini merupakan tipe
pribadi yang melankolis.

Hal ini berbeda dengan pada orang yang bunuh diri menurut tipe altruistik, dimana ia
memutuskan bunuh diri karena energi yang besar. Ia melakukan bunuh diri dalam kondisi
diliputi emosi yang besar dan kuat. Perasaan seperti ini biasanya datang dari sebuah otoritas yang
menekan dan memaksa. Hal ini ini misalnya terjadi pada kalangan militer atau pada sekte agama
tertentu.

Bunuh diri di masyarakat-masyarakat tradisonal mempunyai bentuk yang berbeda dari jenis-jenis
egois. Ini yang disebut dengan jenis bunuh diri altruistik, dimana menjadi suatu kewajiban bagi
seseorang bila menghadapi keadaan-keadaan tertentu untuk membunuh dirinya. Seseorang akan
bunuh diri karena ia mempunyai kewajiban unutk melakukannya. Ini adalah bunuh diri yang
diwajibkan demi kesejahteraan umum (obligatory altruistic suicide). Ada juga jenis-jenis bunuh
diri altruistik lain, yang tidak mempunyai suatu kewajiban yang mengikat akan tetapi bunuh diri
ini dikaitkan dengan patokan-patokan jelas mengenai kehormatan dan prestise. Pada hakekatnya,
bunuh diri altruistik ini bersangga atas suatu kesadaran umum (conscience collective) yang kuat,
yang sedemikian mendominasi tindakan-tindakan pribadi orang, sehingga dia mau
mengorbankan jiwanya demi kelanjutan keutuhan suatu nilai kolektif.
Dalam bab ini juga dijelaskan bagaimana fenomena sosial yang sama dapat memberikan efek
yang berbeda pada setiap masyarakat. Krisis ekonomi dapat menyebabkan bunuh diri yang
egositis pada masyarakat dengan tingkat integrasi yang lemah, namun dapat pula menyebabkan
bunuh diri anomi pada masyarakat yang kondisi regulasinya atau tatanan kolektifnya sedang
melemah.

Dalam hal cara bunuh diri, tergantung kepada tipe bunuh diri, keyakinan (protestan atau katolik),
geografis (bagian Utara atau Selata) dan wilayah (desa atau kota). Bunuh diri dengan cara
gantung diri misalnya banyak ditemukan dalam bunuh diri tipe anomi. Sementara perilaku
membakar diri banyak ditemukan di Eropa bagian tengah, sedangkan melompat dari tempat
tinggi banyak ditemui di kota karena di kota banyak gedung dan jembatan tinggi. Jadi, cara
bunuh diri merupakan hasil dari penyebab sosial (social cause) yang berpadu dengan tempramen
individual dan kondisi linkungan setempat.

Analisa (Studi bunuh diri dihubungkan dengan Buku The Rules of Sociological Method)

Jika dihubungkan dengan buku nya ”The Rules of Sociological Method” sebagai pedoman
metodologi dalam analisa sosiologis, dalam buku ”Suicide” ini secara jelas Durkheim
memperlihatkan bagaimana fakta soial telah mampu menjelaskan suatu fakta sosial lain, bukan
motif-motif individu ataupun faktor lingkungan. Meskipun bunuh diri, bahkan cara bunuh diri,
tampak sebagai keputusan yang sangat individual; namun itu berkaitan erat dengan fakta soial
yang melingkupi si aktor tersebut. Motif dan alasan seseorang melakukan bunuh diri merupakan
hasil dari proses sosial yang lalu dimaknai secara individu, namun penyebabnya pada hakekatnya
adalah fenomena sosial.

Selanjutnya, untuk mendapatkan bukti yang sesungguhnya dan lalu menarik kesimpulan,
Durkheim menerapkan metode sebagaimana dijelaskannya dalam bab 6 buku ”The Rules”, yaitu
berupaya memperoleh penjelasan sosiologis secara ekslusif dengan mencari hubungan kausalitas.
Di bagian awal buku ”Suicide” Durkheim menjelaskan fenomena bunuh diri dengan metode
perbandingan antar kelompok dan perbandingan antar waktu pada kelompok yang sama. Dengan
membandingkan kasus-kasus secara simultan ia berusaha menemukan berbagai variasi yang
tampak pada berbagai kombinasi untuk melihat apakah ada ketergantungan antar fenomena
sosial. Setelah ia memperoleh bukti-bukti yang terbalik dengan pemahaman para ahli
sebelumnya, Durkheim lalu mulai dengan ”analisa sosiologis yang sesungguhnya” yaitu dengan
melakukan analisa atau mencari penyebabnya pada level struktur sosial masyarakat yang sedang
berlangsung, bukan pada hal-hal mental dan fisik lingkungan. Fakta sosial yang sedang terjadi di
tengah suatu masyarakat merupakan penyebab terjadinya fenomena bunuh diri.

Buku The Divison of Labor in Society

Dalam paper ini hanya dibahas secara ringkas bab I (The Problem) dari buku Emile Durkheim
yaitu The Divison of Labor in Society.

Bab I: The Problem


Pembagian kerja di masyarakat merupakan fenomena yang telah mulai di akhir abad ke 18, atau
sama dengan hampir satu abad sebelum Durkheim memulai aktivitas ilmiahnya. Sebelum
Durkheim beberapa ahli telah mempelajari fenomena ini terutama dari kalangan ahli ekonomi,
misalnya Adam Smith. Perkembangan industri modern saat itu sudah tidak terelakkan, dimana
terjadi pemusatan kekuatan dan kapital, sehingga menyebabkan pembagian kerja dalam pabrik-
pabrik. Untuk mencapai efisiensi dan kecepatan produksi semua pekerjaan dipisah dan dibagi-
bagi menjadi banyak pekerjaan kecil melalui apa yang disebut dengan sistem ban berjalan.

Namun, fenomena ini tidak hanya berlangsung dalam pabrik, karena di masyarakat pun semua
pekerjaan satu sama lain juga ikut terspesialisasi. Dalam kondisi ini, tiap barang ekonomi yang
dihasilkan juga saling tergantung satu sama lain.

Dalam bab pendahuluan ini Durkehim memaparkan pandangan beberapa ahli misalnya Adam
Smith dan Stuart Mills yang masih berharap setidaknya di bidang pertanian tidak terpengaruh
oleh fenomena pembagian kerja ini. Namun, tampaknya di bidang pertanian hal ini pun tidak
dapat dihindarkan. Bahkan sektor pertanian tidak dapat melepaskan diri dari sektor indutri
sebagai sebuah sistem. Kultur yang berkembang di sektor industri juga masuk ke pertanian, dan
mempengaruhi cara berpikir petani dalam mengeloal pekerjaanya.

Karena sudah berlangsung agak lama, sebenarnya pembagian kerja dalam dunia ekonomi
tersebut bukanlah sesuatu yang aneh. Sebagian besar orang sudah menerima kenyataan bahwa
pembagian kerja di masyarakat tidak terelakkan. Tidak hanya dalam pekerjaan ekonomi,
pembagian kerja juga merembet ke politik, administrasi dan bahkan peran pengadilan. Lebih
jauh, fenomena ini juga terjadi di lingkungan masyarakat ilmiah, sehingga tidak ada lagi seorang
ilmuwan yang paham secara utuh suatu ilmu. Hal ini yang juga memberatkan pikiran para ahli.
Dalam kondisi demikian seorang ahli harus mempelajari beberapa ilmu sekaligus, dua bahkan
tiga ilmu secara bersamaan. Misalnya ahli astronomi yang juga belajar fisika dan matematika.
Karena itu ilmuwan pun harus bekerjasama satu sama lain untuk memecahkan suatu persoalan.
Ilmu dan ilmuwannya menjadi terpisah-pisah atas banyak bidang, yang bagi kalangan tertentu
dikhawatirkan akan mempengaruhi perkembangan keilmuan di masa mendatang.

Dari perspektif ilmu biologi, sesungguhnya spesialisasi merupakan gejala alam yang sudah lama
diketahui. Menurut mereka, pembagian kerja merupakan takdir alamiah. Kondisi yang terjadi
sesungguhnya adalah pembagian kerja yang sudah dijumpai di kehidupan organisme yang lalu
menjalar ke kehidupan sosial (masyarakat). Jika mengikuti teori dalam perspektif biologi,
semakin beragam kelengkapan organ dan fungsi suatu organisme, maka organisme tersebut
dipandang semakin berkembang.

Namun, bahwa dunia sosial pun harus ikut terspesialisasi belum dapat diterima dengan bulat.
Sesungguhnya, meskipun belum bisa menerima dengan lapang dada, namun pembagian kerja
yang begitu terspesialisasi sudah diterima sebagai keharusan. Bahkan, secara keilmuan
dipercayai bahwa semakin tinggi spesisalisasi merupakan indikasi masyarakat bersangkutan
semakin berkembang. Pembagian kerja diyakini bagaimanapun pasti akan datang pada
masyarakat yang mengalami perubahan ke arah masyarakat industri, dan ia kan menjadi basis
fundamental keteraturan sosial (social order).
Pada masyarakat yang sudah berubah menjadi modern sudah tidak ada lagi masa dimana seorang
“manusia sempurna” adalah yang memperhatikan segala hal dan berusaha mempelajarinya dan
menguasainya. Dengan berubahnya masyarakat, manusia yang dibutuhkan adalah yang
menguasai suatu bidang dengan sangat baik dan menjalankan perannya dalam masyarakat sesuai
dengan kemampuan dan keterampilannya tersebut. Dunia pendidikan juga semakin terpesialisasi.
Anak didik tidak lagi dibentuk untuk memiliki kultur yang sama (uniform culture). Pada intinya,
bikinlah dirimu berguna dengan memenuhi fungsi tertentu (“Make yourself usefully fulfill a
determinate function”).

Namun demikian, spesialisasi yang terlalu jauh seolah tanpa batas yang jelas tersebut,
menakutkan bagi sebagian orang. Satu hal yang ditakutkan adalah akan adanya penurunan
martabat kemanusiaan, karena begitu sempitnya kemampuan dan aktivitasnya sehari-hari.
Ibaratnya, seorang manusia hanyalah sebuah baut kecil dari mesin sebuah mobil misalnya.
Beberap ahli belum dapat menerima kenyataan dengan membayangkan seseorang sepanjang
hidupnya misalnya hanya berkutat pada satu pekerjaan kecil. Ia akan “terlepas” dari masyarakat
meskipun ia telah menjalani pekerjaannya tersebut dengan sangat baik, karena ia hanya tahu dan
perduli dengan dunianya yang sempit tersebut.

Persoalan yang paling mendasar, karena itu judul bab pendahuluan buku Durkehim ini adalah
“The Problem” adalah masalah moral. Para ahli ketakutan bahwa moralitas masyarakat akan
rusak dan hancur. Moral kebersamaan ala masyarakat tradisionil dikhawatirkan akan hilang. Ini
lah yang sangat mencemaskan kalangan pemerhati masyarakat (ilmuwan sosial).

Bagian berikut dari buku Durkheim ini banyak membicarakan persoalan moral. Pada
hakekatnya, Durkheim berupaya menjelaskan fakta sosial non material - yaitu moral - dari fakta
sosial yang bersifat material (pembagian kerja).

Durkheim, tidak sebagimana ahli yang lain, ingin menunjukkan bahwa terjadinya perubahan
tatanan moral merupakan keharusan yang tidak terelakkan. Dengan pembagian kerja yang baru
di masyarakat, maka masyarakat mengembangkan sebuah panduan moralitas baru, sebagai reaksi
dari perubahan tersebut. Itu merupakan solusi yang masuk akal. Tatanan moral lama yang selalu
mengutamakan kebersamaan sulit untuk diterapkan. Masyarakat tradisional mendasarkan
hubungan sosial dan solidaritasnya pada kesamaan kepercayaan, mata pencaharian, dan kuatnya
kesadaran kolektif. Kesadaran di dalam masyarakat bersifat kolektif, dan individualitas anggota
masyarakat rendah.

Bagi Durkheim, moral tidak runtuh, tapi ada moral baru yang tumbuh dan terbentuk. Pada
kalimat terakhir dari bab I ini, Durkheim mengajak untuk mempelajari pembagian kerja ini
secara objektif, yaitu dengan melihat fakta-fakta objektif (sebagai fakta sosial). Dengan cara ini
Durkheim yakin akan lahir pemahaman yang berbeda dari pendapat sebelumnya yang
melingkupi pikiran sebagian besar kalangan ahli. Tugas para ahli menurut Durkheim adalah
untuk mempelajari fungsi dari fenomena pembagian kerja dalam masyarakat, mempelajari
penyebabnya, dan mempelajari pula berbagai sisi yang abnormal dari fenomena tersebut.
Durkehim merasa perlu menekankan ini, karena pemahaman ahli selama ini ia pandang sangat
lambat berkembang. Dalam bagian buku ini selanjutnya dapat dibaca bagaimana pembagian
kerja dijadikan alat analisis untuk memahami bagaimana masyarakat modern dan masyarakat
tradisional berjalan.

Buku The Elementary Forms of The Religious Life (Emile Durkheim)

Dalam paper ini hanya dibahas bab Pendahuluan ditambah dengan Buku I bab I sedikit dari
bagian akhir dari Buku I Bab II.

Bab I Pendahuluan: Sosiologi gama dan Teori Pengetahuan

Dalam upaya meneliti bagaimana fenomena agama dalam satu masyarakat, Durkheim memilih
satu suku primitif sebagai objek penelitian. Ia ingin melihat agama dari bentuknya yang paling
sederhana yang diimani oleh suku Aborigin di Asutralia. Alasannya memilih objek ini selain
karena kesederhanaannya sehingga mudah dipahami adaah karena tidak perlu menggunakan
konsep dan teori dari masyarakat beragama lain yang lebih modern.

Sebagaimana buku-bukunya yang laan, dalam buku ini Durkheim juga ingin menunjukkan
bagaimana semestinya menerapkan metodologi riset dalam ilmu sosiologi. Durkheim
menyatakan bahwa sosiologi memiliki kelebihan. Ia membedakan dengan sejarah dan etnografi
(antropologi), dimana sosiologi menurutnya tidak sekedar menemukan “jejak kaki” dari masa
lalu suatu masyarakat, tapi lebih pada apa yang bisa mempengaruhi kita atau apa yang bisa kita
gunakan dari ilmu yang diperoleh tersebut. Intinya, ia berupaya mencari apa aspek-aspek yang
esensial dan permanen dari kemanusiaan, meskipun yang dipelajari adalah masyarakat yang jauh
dan masih primitif.

Ini semata-mata adalah salah satu pendekatan atau metodologi belaka. Durkheim bermaksud
dengan mempelajari bagaimana masyarakat terdahulu hidup, akan dapat memahami kondisi
terkini dari sosial masyarakat, yaitu kehidupan masyarakat Erpa di era industri.

Agar penelitian dengan objek ini lebih optimal dan “benar”, maka peneliti harus objektif. Salah
satu sikap yang harus dimiliki dalam mempelajari tentang religi adalah objektif dan tidak
berprasangka. Setiap religi atau agama tidak sama nilai dan level martabatnya. Jika kita datang
dengan prasangka, maka kita akan cenderung merendahkan mereka. Kita harus melihat realitas
yang sesungguhnya dan mengekspresikannya. Mereka harus dipahami sesuai dengan bagaimana
mereka memberi makna.

Agar dapat memiliki pemahaman yang baik, maka kita harus mendatanginya untuk mendapatkan
realitas yang konkrit. Pendekatan ini sangat berbeda dengan filsafat yang selain tidak positivis
juga sudah membatasi dan mengklasifikasi dulu apa yang akan dipelajarinya. Kalangan filosof
sudah memiliki teori, keyakinan, dan konsep sebelum menganalisa suatu kondisi masyarakat.

Dengan pendekatan yang disebutkan Durkehim ini, maka tidak ada agama yang salah. Semua
agama benar menurut ukuran masing-masing penganutnya. Bahkan untuk mengelompokkan dan
menempatkan mereka atas kelas-kelas juga jangan dilakukan. Agama suatu kelompok masyarkat
berguna untuk mereka sendiri.
Durkheim juga menjelaskan bahwa ia ingin mempelajari kondisi awalnya suatu agama dan
masyarakat berjalan, lalu bagaimana terbentuk dan berkembang tahap demi tahap. Dengan
mempelajari ini ingin dipahami apa saja komponen di dalamnya, dan apa yang dimaksud dengan
agama secara umum. Berbagai kepercayaan dan ritual mestilah memiliki fungsi signifikan dalam
masyarakat. Sesuatu yang hidup dan dipelihara mestilah karena memiliki fungsi yang penting.
Durkheim tidak memilih agama di India dan Mesir yang lebih kompleks mislanya, karena akan
sulit memahami banyak kepercayaan yang bervariasi menurut lokasi, kesatuan tempat ibadah
(pura), generasi, dinasti, dan lain-lain. Durkheim memang sengaja mendatangi masyarakat
primitif. Peradaban primitif dicirikan oleh kesederhanaannya. Misalnya dalam keluarga
tradisional, semua meraksan peran seorang bapak dalam keluarga.

Satu keuntungan lagi adalah karena agama primitif memberi kemudahn dalam menjelaskannya.
Relasi antar orang dan komponen di dalamnya mudah terlihat. Sebagaimana institusi sosial, ia
tidak datang dari mana-mana, tapi dari masyarakat itu sendiri, sehingga jejak perkembangannya
mudah diungkap.
Namun studi tentang agama ini tidak semata-mata untuk mengembangkan ilmu tentang
keagamaan masyarakat. Ada fenomena yang berkaitan dengan agama, yaitu sistem pengetahuan.
Kita tahu, sistem pengetahuan yang sudah berkembang lebih dahulu adalah imu filsafat yang
telah memberi pemahaman tentang waktu, tempat, kelas, angka, hubungan kausalitas, substansi,
kepribadian, dan lain-lain. Tapi kelemahannya adalah kita belum tahu apa sesungguhnya, namun
hanya menduga keberadaaannya. Dengan mempelajari agama sebagai suatu sistem pengetahuan
masyarakat, maka dapat pula diungkap bagaimana sistem pengetahuan masyarakat bersangkutan.
Menurut Durkheim, masyarakat adalah representasi pengetahuan mereka sendiri.

Buku I Bab I: Definisi Fenomena Keagamaan dan Agama

Sebelum menggali lebih jauh, Durkheim memandang perlu definisi apa itu agama (religion) agar
sesuatu yang bukan agama tidak dimasukkan dalam pembahasan. Untuk itu, sebagaimana sudah
dijelaskan juga di depan, berbagai prasangka keilmuan harus dibuang terlebih dahulu. Untuk
mempelajari ini tidak dapat dibuat dulu batasan atau definisi dari awal. Apa itu yang dimaksud
dengan agama akan disimpulkan nanti di akhir studi. Ia menjadi salah satu tujuan dari studi itu
sendiri. Seorang peneliti harus membuang dulu berbagai konsep-konsepsi yang sudah
dipegangnya (“…... freeing the mind of every preconceived idea).

Agama sesungguhnya bukanlah hal baru. Sudah banyak ahli sebelum Durkheim membicarakan
objek ini, bahkan jauh sebelum ilmu pengetahuan membicarakannya. Namun, dalam kondisi ini,
berbagai ide, teori, dan konsep disusun tanpa metode ilmiah. Menurut Durkheim, karenanya hal
ini tidak perlu dipedomani. Disini terlihat betapa Durkehim sangat menghargai etika penelitian,
yaitu pentingnya metodologi. Untuk itu, ilmuwan harus meninggalkan konsep-konsep umum
sehari-hari, dan lalu melihat realitasnya secara konkret.
Sebelum memberikan satu definisi tentang agama secara khusus, Durkheim berupaya
membeberkan beberapa definisi dan lalu melihat kelemahannya masing-masing. Satu pengertian
yang dianut misalnya adalah bahwa agama adalah segala sesuatu yang supernatural. Artinya, ini
melebihi kemampuan panca indera untuk memahaminya, karena supernatural adalah sesuatu
yang misterius. Menurut Durkheim, hal ini tidak bisa diungkap dan dipahami ilmu pengetahuan,
sehingga tidak dapat dijadikan objek dalam studi. Karena itu, difinisi seperti ini mestilah ditolak.
Berbagai pengertian yang sudah ada dapat dikategorikan atas dua, yaitu sesuatu yang magis dan
agama. Hal-hal magis, sebagaimana agama, disusun oleh kepercayaan dan ritual juga. Namun,
magis memang sulit dibedakan dengan agama.
Durkheim memberikan definsi sendiri apa yang dimaksudnya dengan agama. Menurutnya,
agama adalah kesatuan sistem kepercayaan dan praktek yang menyatu dalam suatu moral
komunitas dan melekat pada mereka.

Bagian bab II: (hal 86-88)

Teori animistik berimplikasi pada penyangkalan yang terbaik tentang apa itu agama dan
bagaimana agama dipraktekkan dan dipertahankan sekian lama. Agama pada hakekatnya dalah
mimpi yang sistematis dan hidup di tengah masyarakat. Sebagaimana hukum, moral dan bahkan
ilmu pengetahuan; agama juga lahir dan dibentuk dan lalu dipertahankan dalam jangka lama.
Tidaklah mungkin suatu fantasi dapat bertahan sekian lama.

Pertanyaan pokok yang penting adalah untuk mempelajari apa bagian yang natural dan berpikir
menurut kerangka pikir agama bersangkutan. Namun jika tak ditemukan, mulailah dengan
berpikir bahwa ia nyata. Kalangan filosof mempercayai bahwa agama dibikin dan disusun oleh
kalangan agamawan. Namun bagaimana mungkin sekelompok masyarakat dapat ditipu sekina
lama. Karena itulah, ilmu pengetahuan harus berdasarkan data yang riel. Implikasinya, maka
agama tidak dapat hidup dengan teori animistik.

Daftar Bacaan:

Durkhiem, Emile. 1965. The Elementary Forms of The Religious Life. The Free Press, New
York.

Durkheim, Emile. 1933. The Division of Labor in Society. The Free Press, New York dan
Coliier-MacMillan, London.

Durkheim, Emile. 1964. The Rules of Sociological Method. 8th edition. The Free Press, New
York dan Coliier-MacMillan, London.

Durkheim, Emile. 1968. Suicide: A Study in Sociology. The Free Press, New York dan Coliier-
MacMillan, Canada.

Anda mungkin juga menyukai