Anda di halaman 1dari 2

Fadhila Amalia Zahra

Gita Puspa Maharani


Indira
Saefudin
Salsabila
Sub Bab 7 Moralitas Publik Baru di Indonesia

Kebijakan budaya dipengaruhi juga oleh perdebatan tentang moralitas publik yang sering
dikaitkan dengan kelompok agama. Terdapat 2 perubahan mengindikasikan kecenderungan
peningkatan kebijakan perilaku publik oleh badan2 keagamaan yaitu:

1. pemilihan umum yang TERBUKA telah mengembalikan partai2 politik Islam, yang
anggota2nya sangat vokal tentang penurunan moralitas nasional yang dianggap sebagai
kontrol negara telah berkurang
2. berkurangnya kehadiran militer telah memperkuat kelompok2 sosial Islam, dan anggota
kelompok2 ini telah melakukan campur tangan dalam kegiatan2 orang Indonesia yang lain,
kadang-kadang dengan kekerasan jika mereka menemukan adanya penghinaan terhadap
ajaran Islam.

Dua signifikansi nasional menggambarkan pengaruh perdebatan moralitas publik saat ini
tentang praktik budaya dan potensi mereka untuk mempengaruhi kebijakan budaya.
keprihatinan atas intervensi kelompok2 Islam seperti FPI atau Laskar Jihad, memiliki
pengaruh pada kegiatan budaya di tingkat lokal di seluruh Indonesia, contoh:
1. tanggapan terhadap karya seni di CP Biennale (2005).
2. undang2 anti-pornografi yg diusulkan thn 2002 dan disahkan setelah debat dan revisi
sengit thn 2008.

Akhir 2005 hingga awal 2006, ciuman di depan umum, tarian erotis, dan tampilan bagian
tubuh yang sensual dilarang. Pengecualian terhadap pertunjukan budaya lokal, olah raga, dan
aktivitas seni : terbatas pada ruang olah raga dan ruang seni (memerlukan izin pemerintah).
Pada tahun 2006 RUU anti-pornografi memicu protes besar di Indonesia
 pendukung RUU : berfokus pada penurunan moral dan kesejahteraan anak-anak.
 penentang RUU : dampaknya terhadap perempuan (perenggutan hak terhadap
perempuan karena pakaian mereka) dan dampaknya terhadap budaya.
Argumen budaya yang menentang RUU ada 2 bentuk
1. UU tersebut memberlakukan budaya Saudi pada orang Indonesia
2. mereka menegaskan bahwa RUU tersebut mengabaikan dan mengancam
multikulturalisme, berupaya menyeragamkan budaya lokal
Legislasi atau pembuatan kebijakan yang dibentuk pada tingkat nasional perlu
dipertimbangkan bersamaan dengan banyaknya UU yang disahkan di tingkat kabupaten dan
kota yang mengatur perilaku individu dengan cara yang dapat sangat membatasi seni lokal
dan praktik budaya yang tidak sesuai dengan hukum Islam. Pada tahun 2008, sekitar 160
peraturan agama setempat dibuat oleh pemerintah daerah di setidaknya 33 provinsi. Bandung
mengambil rute berbeda dengan program keagamaannya, memilih untuk melibatkan berbagai
agama dalam program kewarganegaraan yang disebut "Bandung : Kota Religius" yang
merepresentasikan dari organisasi Islam, Katolik, Buda, dan Hindu untuk menghasilkan
seruan toleransi dan rasa saling menghormati, dan mengajak untuk berjuang bersama untuk
mengatasi masalah sosial dan lingkungan.
Lesson Learned:
Kebijakan budaya salah satunya dibangun oleh moralitas publik yang sering dikaitkan
dengan kelompok agama. Contohnya seperti kelompok Islam FPI dan Laskar Jihad yang
menyuarakan penuruan moralitas publik dan mempengaruhi kebijakan melalui RUU yang
membahas tentang pornografi dan pornoaksi. Legislasi yang dibentuk pada tingkat nasional
perlu dipertimbangkan bersamaan dengan banyaknya UU yang disahkan di tingkat kabupaten
dan kota yang mengatur perilaku individu dengan cara yang dapat sangat membatasi seni
lokal dan praktik budaya yang tidak sesuai dengan hukum Islam. Tahun 2008, sekitar 160
peraturan agama setempat dibuat oleh pemerintah daerah di setidaknya 33 provinsi. Oleh
karena itu, pendekatan pluralistik tidak dengan sendirinya pluralistik untuk komunitas yang
lebih luas.
Dari RUU tentang pornografi dan pornoaksi yang berlandaskan pada paham ajaran
Islam yang merupakan agama mayoritas di Indonesia, banyak dari kelompok-kelompok yang
mengecam RUU tersebut. mereka beranggapan bahwa RUU tersebut mengabaikan dan
mengancam multikulturalisme dan berupaya menyeragamkan budaya lokal.

Sumber:
Jones, T. (2012). Indonesian cultural policy in the reform era. In Indonesia (pp. 173–176).
https://doi.org/10.5728/indonesia.93.0147

Anda mungkin juga menyukai