Anda di halaman 1dari 5

Nama: Gita Puspa Maharani

NPM: 170510160034

Makanan dan Kebudayaan

Sebenarnya, bagaimana kita mendefinisikan kata makanan? Apakah hanya cukup dengan
sesuatu yang kita konsumsi untuk mencukupi kebutuhan tubuh sehari-hari? Tentu saja tidak
sesederhana itu. Konsep makanan sangat erat kaitannya dengan kebudayaan. Makna makanan
berbeda-beda dalam setiap kebudayaan, sehingga maknanya menjadi sangat kompleks dan cenderung
etnosentris. Karena konsep makanan ini dekat dengan budaya, maka sebelumnya kita harus
membedakan makna makanan (food) dan nutrimen (nutriment). Seperti yang dikemukakan oleh
Foster dan Anderson (1986), nutrimen merupakan suatu konsep biokimia, yaitu suatu zat yang mampu
memberikan gizi yang dibutuhkan untuk menjaga dan menjamin kesehatan tubuh pengonsumsinya.
Sedangkan makanan erat dengan konsep budaya, bahwa zat-zat pemberi gizi tersebut sesuai dan layak
dimakan oleh kelompok masyarakat tertentu. Tidak semua bahan makanan yang dalam ilmu gizi
dapat dikonsumsi, merupakan makanan bagi semua masyarakat pemeluk agama tertentu, kelompok
suatu suku bangsa, atau orang-orang dengan kondisi fisik tertentu. Walaupun secara
fisiologis/biologis, perut manusia dapat mencerna dan menerima semua jenis bahan makanan. Agar
suatu nutrisi dapat disebut sesuai dan layak untuk dimakan, maka zat tersebut perlu mendapat
pengesahan secara budaya. Makanan yang disahkan oleh budaya berarti berkaitan dengan ritual,
kepercayaan, tradisi, tabu/pantangan, aturan, pengolahan, dan lain-lain yang tumbuh dalam
masyarakat. Kemudian, pengetahuan masyarakat tersebut menjadi sebuah ciri khas kebiasaan makan
yang membedakan dengan kelompok masyarakat lainnya. Makanan merupakan fenomena budaya
karena berkaitan dengan segala aspek kehidupan manusia seperti dalam kehidupan sosial, agama,
ekonomi, dan politik. Bagi masyarakat, makanan berfungsi untuk membawa nilai-nilai simbolik
dalam mengekspresikan interaksi manusia dengan sesamanya, manusia dengan Sang Pencipta, dan
manusia dengan lingkungan alamnya.

Salah satu hal yang menjadi penentu keberagaman budaya adalah bagaimana pandangan,
praktek, dan kepercayaan masyarakat manusia dalam pengelolaan makanan. Keragaman lainnya dapat
dilihat dari bagaimana makanan dan sumber makanan diperoleh, dibudidayakan, diolah, disajikan, dan
dimakan. Terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi masyarakat dalam menentukan pilihan
makannya, yaitu asosiasi, aturan agama, habit, ethic heritage, values, social pressure, images,
nutrition,, price, emotional comfort, dan availability. Aturan agama dianggap memiliki peranan
terpenting bagi masyarakat dalam memilih dan menentukan pola makan masyrakat itu sendiri. Seperti
contohnya, bagi masyarakat yang beragama Muslim, mereka mengenal istilah haram dan halal. Halal
tidak hanya pada bahan makanan yang dipilih tetapi juga pada prosedur/tatacara pengolahan bahan
makanan. Seperti contohnya menjauhkan makanan-makanan yang dianggap haram berdasarkan ciri-
ciri tertentu, seperti babi, anjing, binatang yang hidup di dua alam, dan lain-lain. Sedangkan, dalam
proses penyembelihan hewan ternak, harus di doakan terlebih dahulu, lalu dengan tata cara tertentu,
kemudian disembelih pada bagian lehernya hingga darah dari hewan tersebut mengalir semua.
Adapun, upaya dalam memahami kebiasaan dan pola makan masyarakat dapat dipelajari dengan cara
melihat bagaimana kebudayaan masyarakat memandang dan mengklasifikasi makanan. Cecil Helman
(1984), mengklasifikasikan makanan dari sisi sosial budaya kedalam 5 kategori pokok, yaitu makanan
– bukan makanan, makanan sakral – makanan profan, makanan sebagai obat – obat sebagai makanan,
makanan sosial, dan klasifikasi paralel makanan.

1. Makanan dan bukan makanan


Setiap budaya menentukan bahan makanan apa saja yang dapat atau layak dimakan dan
yang tidak dapat atau layak dimakan. Penentuan bahan makanan ini mengesampingkan
kandungan gizi yang terdapat dalam bahan makanan tersebut. studi lintas budaya mengenai
penentuan bahan pangan diatas menunjukan adanya doktrin relativisme budaya, bahwa apa
yang tidak dapat atau layak dimakan dalam suatu masyarakat mungkin merupakan makanan
yang dianjurkan oleh masyarakat budaya yang lainnya.
2. Makanan sakral dan makanan profan
Makanan sakral adalah bahan makanan yang dapat dimakan setelah mendapatkan
pengesahan secara religi. Kebalikan dari sakral, makanan profan adalah bahan makanan yang
tidak boleh dimakan sesuai dengan aturan religi masyarakat. Makanan sakral sering juga
disebut dengan makanan yang bersifat haram, kotor, dan najis. Karena itu makanan profan
dianggap sebagai bukan makanan. Contohnya, seperti orang Muslim yang mengharamkan
memakan daging babi.
3. Makanan sebagai obat dan obat sebagai makanan
Di Banten, lalapan dan ramuan rempah tertentu, dikonsumsi oleh ibu-ibu hamil karena
mereka memiliki pengetahuan akan khasiat lalapan dan rempah tersebut yang baik untuk ibu-
ibu saat sebelum dan sesudah melahirkan. Lain halnya lalapan sebagai makanan bagi
masyarakat Sunda. Memakan lalapan merupakan suatu kebiasaan. Lalapan disini merupakan
makanan, namun bagi orang Sunda, lalapan juga dianggap sebagai obat karena berkhasiat.
4. Klasifikasi paralel makanan
Kualitas makanan dengan kategori “makanan panas” dan “makanan dingin”. Kategori ini
tidak merujuk pada temperatur/suhu makanan, melainkan kepada kualitas dan konsepsi
simbolik yang dicitrakan atas efek yang dihasilkan oleh makanan.
5. Makanan sosial
Makanan yang dikonsumsi dalam suatu suasana sosial memiliki simbol tertentu yang
memantapkan identitas masyarakatnya. Karena memiliki makna simbolis, maka makanan
sosial memiliki nilai ritual tersendiri. Yang menjadi penting dalam kategori makanan sosial
adalah waktu penyajian, siapa yang menyiapkan, dan bagaimana makanan tersebut disajikan.

Kemajuan peradaban bangsa-bangsa di dunia mengalami ketidaksamaan dalam


perkembangannya. Salah satu yang mempengaruhi kemajuan peradaban suatu bangsa adalah
ketersediaan pangan pada lingkungan tempat hidup masyarakatnya. Hal ini dijelaskan dalam sebuah
film Out of Eden. Seorang ahli biologi mencari jawaban mengapa masyarakat di Papua Nugini hanya
memiliki sedikit harta benda/materi dan tidak seberkembang negara lain. Setelah melakukan
penelitian, Jared Diamond mendapatkan bahwa ketidaksamaan perkembangan peradaban di Papua
Nugini bukan karena masyarakat Papuanya yang terbatas, namun karena pengaruh kondisi
geografisnya. Kondisi geografis Papua Nugini berupa dataran tinggi berpengaruh terhadap beberapa
jenis tanaman yang dapat tumbuh di sana dan perilaku masyarakat dalam bercocok tanam. Sedangkan
dalam penelitian Diamond, ia meneliti masyarakat yang peradabannya lebih maju seperti Timus
Tengah, Amerika, dan Eropa. Ia menemukan bahwa peradaban di bangsa-bangsa tersebut maju karena
dikaruniai kondisi geografis dan iklim yang menguntungkan, karena disana tumbuhan dengan protein
yang tinggi dapat tumbuh, seperti contohnya gandum dan barley. Karena kondisi geografis yang
menguntungkan dan kebutuhan protein masyarakat terpenuhi, kedua hal tersebut berpengaruh pada
perilaku masyarakat yang hidup pada masa itu, dimana mereka telah mampu bertani untuk bertahan
hidup dengan memproduksi makanan sendiri, menyimpan/menimbun makanan, dan juga telah
memiliki pengetahuan untuk mendomestikasi hewan ternak yang memiliki banyak manfaat dalam
hidup mereka seperti dimanfaatkan tenaganya, diperah susunya, mudah bereproduksi, dagingnya bisa
dimakan, dan kotorannya dapat dijadikan pupuk. Perilaku inilah yang menjadikan masyarakat tersebut
menjadi lebih unggul dalam memulai peradaban karena dalam kehidupannya, mereka menciptakan
dan mengembangkan teknologi untuk mempermudah pekerjaannya. Berbeda dengan masyarakat di
Papua Nugini yang tidak terlewati oleh garis lengkung subur, keadaan geografisnya yang berada di
dataran tinggi menyebabkan hanya beberapa jenis tanaman dengan kandungan protein yang lebih
rendah dibandingkan dengan gandum dan barley, seperti sagu dan berbagai jenis umbi-umbian (talas).
Dalam kondisi geografis yang seperti ini juga, tidak ada hewan ternak yang dapat dimanfaatkan dan
dikembangbiakkan selain babi. Babi sangat minim manfaatnya, tidak bisa digunakan tenaganya, tidak
bisa diperah susunya, dan tidak ada bulu yang dapat diolah sebagai benang. Hal-hal tersebut
menghambat kemajuan peradaban di Papua Nugini karena mereka terlalu memfokuskan untuk
mengumpulkan makanan tanpa memikirkan untuk menciptakan teknologi yang dapat memudahkan
kehidupan mereka.

Permasalahan ini, dapat kita kaitkan dengan teori yang dikemukakan oleh Leslie White
“evolusi kebudayaan”. Leslie White mengemukakan tahapan perkembangan manusia dikarenakan
adanya kemajuan dalam bidang teknologi untuk menguasai sumber-sumber energi yang semakin
kompleks. Jadi inti dari teori evolusi kebudayaan ini adalah semakin besar dan efisien energi yang
dimanfaatkan, maka semakin tinggi pula tingkat evolusi budaya suatu masyarakat. Untuk
mensistematiskan model evolusi kebudayaannya, Leslie White mengemukakan sebuah rumus yang
disebut ‘hukum’ evolusi kebudayaan, yaitu Culture = Energy x Technology. Sebuah kebudayaan
yang ada dalam sebuah komunitas masyarakat manusia adalah dampak atau hasil dari
penggunaan energi dan teknologi yang mereka gunakan dalam kehidupan mereka pada fase-
fase perkembangannya. Sebagaimana masyarakat di Timur Tengah mampu menggunakan
dan memanfaatkan sumber-sumber energi yang tersedia di alam dengan menggunakan
teknologi yang diciptakan oleh masyarakat itu sendiri. Dengan keunggulan kondisi
geografisnya, orang Timur Tengah sudah dapat bertani, mengumpulkan makanan sebagai
cadangan, dan sudah dapat mendomestikan hewan-hewan ternak. Sumber-sumber energi
yang berasal dari hewan, alam, otot, dan tumbuhan, dimanfaatkan oleh mereka untuk
mempertahankan hidup. Energi yang tersedia dari alam tidak disia-siakan tapi diolah
menggunakan teknologi, sehingga hal inilah yang mendorong meningkatnya perkembangan
peradaban di Timur Tengah.

Juga dapat kita kaji melalui teori yang dikemukakan oleh Marvin Harris, bahwa
materialisme budaya didasarkan pada konsep bahwa kondisi-kondisi materi masyarakat
menentukan kesadaran manusia, bukan sebaliknya. Ia membuat tiga kategori/tingakatan,
yaitu infrastruktur, struktur, dan suprastruktur. Dalam kategori infrastruktur terdapat mode of
production dan mode of reproduction. Mode of production merupakan teknologi dan aktivitas
yang dilakukan untuk mengendalikan produksi kebutuhan dasar. Sedangkan mode of
reproduction merupakan teknologi dan aktivitas untuk mengendalikan ukuran populasi.
Kategori struktur ditandai oleh perilaku manusia dalam mengorganisasikan dan
mengendalikan aspek-aspek budaya dalam ekonomi domestik dan ekonomi politik. Dan
kategori suprastruktur dicirikan dengan segmen simbolik dan ideologis dari budaya. Ideologi
ini mengatur hak dan kewajiban anggota masyarakat. Segmen simbolis dan ideologi budaya
mencakup ritual, tabu, serta simbol-simbol. Infrastruktur mengandung komponen mental
dalam pikiran masyarakat yang memandang dari sudut pandang mereka, memandang dunia
berdasarkan perspektif mereka, atas dasar nilai, pengetahuan, dan sikap yang dipelihara
dalam kebudayaan. Prinsip umum yang harus dipegang mengenai Materialisme Kebudayaan
adalah “budaya dikembangkan oleh suatu masyarakat berdasarkan pada materi (benda) yang
dimilikinya”. Melalui contoh kasus dari film Out of Eden, dapat kita kaji bahwa kondisi
materi masyarakat menentukan perkembangan budaya masyarakatnya. Kondisi di Timur
Tengah yang subur, membuat masyarakat tergerak untuk mengelola lingkungannya dengan
cara memproduksi makanan sendiri dan mulai mendomestikasikan hewan ternak. Karena
itulah peradaban di Timur Tengah lebih maju.

Sumber:

 http://papuaweb.org/uncen/dlib/jr/antropologi/01-02/01.pdf
 https://media.neliti.com/media/publications/4368-ID-dimensi-etis-terhadap-
budaya-makan-dan-dampaknya-pada-masyarakat.pdf

Anda mungkin juga menyukai