Anda di halaman 1dari 8

Memahami Budaya Melalui Makanan

biokultural gizi : kombinasi paradigma biologi dan kultural yang secara bersama-sama
menentukan pilihan pangan, konsumsi pangan dan keadaan gizi.
Bio : pagan atau zat gizi yang terkandung di dalamnya yang mengalami proses biologis dan
mempunyai pengaruh pada fungsi organ
Kultural : faktor-faktor budaya yang akan mempengaruhi jenis pangan yang dipilih, cara
pengolahan, cara mengkonsumsi serta kapan dan dimana mereka makan.
Makan merupakan kebutuhan sehari-hari manusia. Manusia tidak dapat hidup tanpa makan.
Urusan makanan atau kuliner tidak sederhana. Makan bukan hanya sekedar
mengenyangkan perut dan memenuhi kebutuhan namun bisa memiliki nilai lain. Meskipun
makan merupakan kebutuhan pokok manusia, namun makan bagi manusia berbeda-beda,
dan sangat berhubungan dengan budaya.
Anderson (2006 : 317) menyatakan tentang simbolik dari makanan :

1.      Makanan sebagai ungkapan ikatan social


Barangkali di setiap masyarakat, menawarkan makanan (dan kadang-kadang minuman)
adalah menawarkan kasih sayang, perhatian, dan persahabatan. Menerima makanan yang
ditawarkan adalah mengakui dan menerima perasaan yang diungkapkan dan untuk
membalasnya.

2.      Makanan sebagai ungkapan dari kesetiakawanan kelompok


Makanan sering dihargai sebagai lambang-lambang identitas suatu bangsa atau nasional.
Namun tidak semua makanan mempunyai nilai lambang seperti ini, makanan yang
mempunyai dampak yang besar adalah makanan yang berasal atau dianggap berasal dari
kelompok itu sendiri dan bukan yang biasanya dimakan di banyak negara yang berlainan
atau juga dimakan oleh banyak suku bangsa.

3.      Makanan dan stress


Makanan memberi rasa ketenteraman dalam keadaan-keadaan yang menyebabkan stres.
Burgess dan Dean menyatakan bahwa sikap-sikap terhadap makanan sering mencerminkan
persepsi tentang bahaya maupun perasaan stres. Menurut mereka, suatu cara untuk
mengatasi stres ini dari dalam, sehubungan dengan ancaman terhadap jiwa atau terhadap
keamanan emosional adalah melebih-lebihkan bahaya dari luar, cara lainnya adalah
mempersalahkan ancaman dari dalam akibat pengaruh-pengaruh luar.

4.      Simbolisme makanan dalam bahasa


Pada tingkatan yang berbeda, bahasa mencerminkan hubungan-hubungan psikologis yang
sangat dalam di antara makanan, persepsi kepribadian, dan keadaan emosional. Dalam
bahasa Inggris, yang pada ukuran tertentu mungkin tidak tertandingi oleh bahasa lain, kata-
kata sifat dasar yang biasa digunakan untuk menggambarkan kualitas-kualitas makanan
digunakan juga untuk menggambarkan kualitas-kualitas manusia. Setelah mengetahui
betapa rumit masalah yang berhubungan dengan gizi ini ataupun makanan karena berkaitan
dengan kebudayaan masyarakat yang berbeda-beda, maka salah satu cara adalah dengan
memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang apa yang sering belum dipelajari oleh
masyarakat rumpun maupun masyarakat pedesaan adalah hubungan antara makanan dan
kesehatan serta antara makanan yang baik dengan kehamilan, juga kebutuhan-kebutuhan
akan makanan khusus bagi anak setelah penyapihan. Anderson (2006 : 323) menyatakan
bahwa dalam perencanaan kesehatan, masalahnya tidak terbatas pada pencarian cara-cara
untuk menyelesaikan lebih banyak bahan makanan, melainkan harus pula dicarikan cara-
cara untuk memastikan bahwa bahan-bahan makanan yang tersedia digunakan secara
efektif. Kesenjangan yang besar dalam pemahaman tentang bagaimana makanan itu
digunakan dengan sebaik-baiknya.

Dalam buku Anderson (2006 : 330) Cassel telah menunjukkan netapa


pengidentifikasian makanan-makanan sehat dalam makanan kuno orang Zulu dapat
membangkitkan perhatian mereka terhadap makanan dan dengan motivasi nasionalistik
bersedia menerima banyak perubahan-perubahan demi peningkatan gizi mereka.
Kemiskinan dan kekurangan akan gizi yang memadai pada tingkatan tertentu
membatasi kemungkinan untuk memperbaiki gizi jutaan penduduk yang menderita kurang
pangan. Sebaliknya, sungguh mengecewakan untuk melihat bahwa betapa seringnya
praktek-praktek budaya menimbulkan kekurangan kebutuhan dasar. Kesadaran akan
praktek-praktek demikian dan pengetahuan tentang “hambatan-hambatan” yang harus
diatasi untuk dapat merubah mereka adalah sangat penting untuk membantu masyarakat
memaksimalkan sumber-sumber pangan yang tersedia bagi mereka. Di sinilah antropologi
memberikan sumbangan besar kepada ilmu gizi dalam lapangan penelitian dan pengajaran.

Budaya makan merupakan bagian dari kebudayaan manusia. Makanan bukan hanya sekedar
pemenuhan kebutuhan hidup, namun lebih jauh makanan menunjukkan identitas, nilai, moral,
kemajuan, dan kualitas suatu masyarakat, bahkan lebih jauh menunjukan status sosial. Makanan
dengan simbol dan media pendukungnya seperti sikap (manner), perlengkapan (sendok, garpu,
meja, kursi, dan lainnya), sajian, komoditi, dan hal lain yang berkaitan, telah menciptakan identitas
budaya dalam masyarakat (Ong Hok Ham, 2009: 137).

Perbedaan Nilai Budaya dalam Makan


Perbedaan frekuensi makan
Setiap orang di dunia makan secara rutin yang disebut makan besar. Makan besar di
berbagai budaya berbeda-beda. Orang barat makan besar sehari tiga kali, pagi, siang,
malam, namun pada pagi hari dan setelah malam ditambah makan kecil yang menjadi
kebiasaan. Orang lndonesia makan tiga kali sehari, pagi sarapan, siang makan siang, malam
makan malam.
Perbedaan jenis makanan
Yang dimakan dalam makan besar dan menjadi makanan utama biasa disebut
makanan pokok. Makan pokok bagi orang dari berbagai negara, bangsa dan budaya
berbeda-beda. Di sebagian besar masyarakat lndonesia adalah nasi, meskipun ada yang
masih jagung atau sagu. Di negara barat makanan pokoknya roti atau yang terbuat dari
gandum.
Perbedaan cita rasa makanan
Bukan hanya makanan pokok, tapi juga makanan kecil dan lauk-pauk, antar
bangsa, negara, dan etnik berbeda-beda. Masing-masing memiliki lauk, rasa, masakan dan
selera tersendiri. Lidah tidak dengan mudah akan menerima atau menyesuaikan diri
dengan kondisi makanan ketika berada di negara lain. Ketergantungan dengan jenis
makanan dari daerah asal, sangat terlihat dalam pelaksaan haji, dimana jemaah haji asal
lndonesia ketika di Arab Saudi makanan yang dimakan adalah model makanan lndonesia
dengan nasi dan lauk-pauk ala lndonesia, kokinyapun dari lndonesia. Orang barat yang
biasa makan pokok rotipun akan membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri ketika
tinggal lama di lndonesia.
Perbedaan cara makan
Cara makan dari berbagai bangsa berbeda-beda. Orang Arab menggunakan tangan,
bahkan menjilati jari ketika makan. Bangsa lain umumnya menggunakan sendok, piring
dan garpu, sementara orang Cina menggunakan mangkok dan sumpit. Bagi sebagian
bangsa lndonesia duduk yang sopan ketika makan adalah dengan bersila, bagi orang
Arap duduk dengan mengangkat satu kaki.
Perbedaan nilai etika dan kesopanan
Nilai etika dan kesopanan dalam makan, berbeda-beda, sesuai dengan
budayanya, ada kalanya sesuatu yang dianggap sopan di suatu budaya dianggap
sebaliknya di budaya lain, yang dianggap biasa di suatu budaya dianggap tidak sopan di
budaya lain. Orang Arab terbiasa sendawa ketika makan, di Malaysia sendawa ketika
makan dapat menunjukkan penghargaan atas makanan, di Fiji sendawa dianjurkan seusai
makan untuk menunjukkan penghargaan, di barat sendawa ketika makan dianggap
kurang sopan tapi membuang ingus ketika makan dengan kertas atau tisu adalah hal biasa.
Orang Jepang dan Korea terbiasa menyeruput sub langsung dari mangkoknya, hal
tersebut bisa dianggap tidak sopan oleh budaya lain.
Perbedaan suhu, iklim dan cara pandang
Adanya perbedaan suhu, iklim, cara pandang bagi bangsa berpengaruh terhadap
budayanya termasuk makan. Di beberapa bagian negara Eropa dan Amerika minum bir
dianggap sebagai menghangatkan badan. Di negara Arab yang banyak terdapat daging
kambing dan onta, daging kambing menjadi lauk yang paling dominan. Orang Arab
terbiasa menyantap lauk daging kambing dalam jumlah besar, bahkan bisa di suatu
hidangan lauk yang disajikan satu kambing utuh. Di daerah pegunungan lndonesia, terbiasa
menyantap sayuran mentah. Orang Jepang sangat fanatik dan mengkonsumsi ikan dalam
jumlah yang besar, bahkan setengah matang atau mentah karena percaya bahwa ikan akan
mencerdaskan.

Makanan dan Larangan


Ada beberapa hal yan menghalangi manusia untuk makan semua jenis makanan
seperti aturan dalam agama yang dianut misalnya tentang halal-haram, aturan adat,
pantangan karena penyakit, alergi, atau penganut ideologi tertentu. Orang lslam dan Yahudi
menganggap daging babi haram dan sapi halal, bagi orang Hindu sapi haram, sementara
Kristen tidak menganggap haram babi. Bagi orang yang menganut paham vegetarian tidak
mau makan semua jenis daging karena beranggapan tidak boleh membunuh hewan. Orang
yang mengidap penyakit tertentu dilarang makan beberapa jenis makanan. Yang memiliki
alergi tidak akan makan.
Pandangan lain menilai makanan juga berkaitan dengan jijik atau tidak jijik. Menurut
Mulyana, (2008; 59) apakah kita akan berselera terhadap suatu jenis makanan atau akan
jijik, bergantung pada nilai-nilai yang telah kita internalisasi. Bekico di banyak negara
termasuk di lndonesia menjadi hewan yang menjijikkan, namun di Prancis menjadi
makanan mahal. Orang barat menganggap jeroan sebagai makanan anjing, namun di
lndonesia jeroan dapat diolah menjadi makanan enak. Daging ular, buaya, landak, cacing
bagi sebagian orang jijik namun ada juga yang memakannya.
Makanan dan ritual
Makan juga memiliki hal unik. Makanan berkaitan dengan simbol, misalnya ketika
lebaran biasanya mamasak ketupat. Dalam beberapa hal makanan juga mempunyai nilai
ritual, misalnya ketika diadakan gunungan dalam rangka grebek di kraton Yogyakarta
dan Surakarta, masyarakat yang percaya bahwa makanan itu membawa berkah saling
berebut mendapatkannya. Ketika umat islam memperingati hari raya kurban terjadi
penyembelihan sapi dan kambing dalam jumlah besar, ketika itu daging sapi dan
kambing menjadi lauk yang dominan.

Memahami Kebudayaan Etnik Lain Melalui Makanan


Makan merupakan kebutuhan pokok manusia, tanpa makan, manusia tidak akan
bertahan hidup, namun masing-masing suku, bangsa, suku bangsa, negara memiliki
kebiasan makan yang berbeda, makanan yang berbeda, cara pandang, nilai etika dan
kesopanan yang berbeda dalam makan, sehingga mencerminkan budaya yang berbeda.
Melalui makanan yang berbeda antar etnik, dapat melihat bahwa kebudayaan antar etnik
berbeda.
Dengan melihat bahwa rasa, bentuk, jenis makanan merupakan hal yang relatif, maka
dapat merasakan bahwa kebudayaan juga relatif. Budaya memang relatif tidak bisa dilihat
lebih tinggi, lebih rendah, baik atau buruk, budaya etnik satu tidak lebih rendah atau lebih
tinggi dari etnik lain.
Ingin mencoba makanan dari etnik lain, seyogyanya juga diikuti dengan ingin
mempelajari budaya dari etnik lain, memahami makanan dari etnik lain dapat mengilhami
memahami budaya etnik lain. Dengan saling memahami, mencoba dan merasakan kuliner
dari berbagai etnik diharapkan dapat digunakan sebagai pembelajaran multikulturalisme.
Dengan demikian makanan dapat menjadi diplomasi budaya antar etnik, tentu saja dengan
tetap menghargai pantangan dan larangan.
Hubungan antara Antropologi dengan Gizi
  
Dari empat bilyun manusia di dunia, ratusan juta orang menderita gizi buruk dan
kekurangan gizi. Angka yang tepat tidak ada, tidak ada sensus mengenai kelaparan dan
perbedaan antara gizi cukup dan gizi kurang merupakan jalur yang lebar, bukan suatu garis
yang jelas. Apapun tolok ukur kita, kelaparan (dan sering mati kelaparan) merupakan
hambatan yang paling besar bagi perbaikan kesehatan di sebagian terbesar negara-negara di
dunia. Kekurangan gizi menurunkan daya tahan tubuh terhadap infeksi, menyebabkan
banyak penyakit kronis, dan menyebabkan orang tidak mungkin melakukan kerja keras.
Kekurangan gizi ini selain dari ketidakmampuan negara-negra non industri untuk
menghasilkan cukup makanan untuk memenuhi kebutuhan penduduk mereka yang
berkembang, juga muncul karena kepercayaan-kepercayaan keliru yang terdapat di mana-
mana, mengenai hubungan antara makanan dan kesehatan, dan juga tergantung pada
kepercayaan-kepercayaan, pantangan-pantangan dan upacara-upacara, yang mencegah
orang memanfaatkan sebaik-baiknya makanan yang tersedia bagi mereka. Anderson
(2006 : 311) menyatakan karena pengakuan bahwa masalah gizi di seluruh dunia
didasarkan atas bentuk-bentuk budaya maupun karena kurang berhasilnya pertanian, maka
semua organisasi pengembangan internasional maupun nasional yang utama menaruh
perhatian tidak semata-mata pada pertambahan produksi makanan, melainkan juga pada
kebiasaan makanan tradisional yang berubah, untuk mencapa keuntungan maksimal dari
gizi yang diperoleh dari makanan yang tersedia.
Karena kebiasaan makan hanya dapat dimengerti dalam konteks budaya yang
menyeluruh, maka program-program pendidikan gizi yang efektif yang mungin menuju
kepada perbaikan kebiasaan makan harus didasarkan atas pengertian tentang makanan
sebagai suatu pranata sosial yang memenuhi banyak fungsi. Studi mengenai makanan
dalam konteks budayanya yang menunjuk kepada masalah-masalah yang praktis ini, jelas
merupakan suatu peranan para ahli antropologi yang sejak pertama dalam penelitian
lapangannya telah mengumpulkan keterangan tentang praktek-praktek makan dan
kepercayaan tentang makanan dari penduduk yang mereka observasi.
Dalam buku karya Anderson (2006 : 312), Norge Jerome menyatakan bahwa
“Antropologi Gizi” meliputi disiplin ilmu tentang gizi dan antropologi. Bidang itu
memperhatikan gejala-gejala antropologi yang mengganggu status gizi dari manusia.
Dengan demikian, evolusi manusia, sejarah dan kebudayaan, dan adaptasinya kepada
variabel gizi yang berubah-ubah dalam kondisi lingkungan yang beraneka ragam
menggambarkan bahan-bahan yang merupakan titik perhatian dalam antropologi gizi.
Menurut Anderson (2006 : 312) ada dua aspek penting dari antropologi gizi :
a. Sifat sosial, budaya, dan psikologis dari makanan (yaitu peranan-peranan sosial
budaya dari makanan yang berbeda dengan peranan-peranan gizinya).
b. Cara-cara dimana dimensi-dimensi sosial budaya dan psikologi dari makanan
berkaitan dengan masalah gizi yang cukup, terutama dalam masyarakat-masyarakat
tradisional.
Menurut Anderson (2006 : 313) menyatakan bahwa para ahli antropologi
memandang kebiasaan makan sebagai suatu kompleks kegiatan masak-memasak, masalah
kesukaran dan ketidaksukaran, kearifan rakyat, kepercayaan-kepercayaan, pantangan-
pantangan, dan takhayul-takhayul yang berkaitan dengan produksi, persiapan, dan
konsumsi makanan. Pendeknya, sebagai suatu kategori budaya yang penting, ahli-ahli
antropologi melihat makanan mempengaruhi dan berkaitan dengan banyak kategori budaya
lainnya.

Setelah mengetahui betapa kuatnya kepercayaan-kepercayaan kita atau suatu masyarakat


mengenai apa yang dianggap makanan dan apa yang dianggap bukan makanan, sehingga
terbukti sangat sukar untuk meyakinkan orang untuk menyesuaikan makanan tradisional
mereka demi kepentingan gizi yang baik. Karena pantangan agama, takhayul, kepercayaan
tentang kesehatan, dan suatu peristiwa yang kebetulan dalam sejarah ada bahan-bahan yang
bergizi baik yang tidak boleh dimakan, mereka diklasifikasikan sebagai “bukan makanan”.
Dengan kata lain, penting untuk membedakan antara nutrimen dengan makanan. Anderson
(2006 : 313) menyatakan bahwa nutrimen adalah suatu konsep biokimia, suatu zat yang
mampu untuk memelihara dan menjaga kesehatan organisme yang menelannya. Makanan
adalah suatu konsep budaya, suaty pernyataan yang sesungguhnya mengatakan “zat ini
sesuai bagi kebutuhan gizi kita.”
Dalam kebudayaan bukan hanya makanan saja yang dibatasi atau diatur, akan tetapi
konsep tentang makanan, kapan dimakannya, terdiri dri apa dan etiket makan. Di antara
masyarakat yang cukup makanan, kebudayaan mereka mendikte, kapan mereka merasa
lapar dan apa, serta berapa banyak mereka harus makan agar memuaskan rasa lapar. Jadi
dengan demikian, nafsu makan lapar adalah suatu gejala yang berhubungan namun
berbeda. Anderson (2006 : 315) menyatakan nafsu makan, dan apa yang diperlukan untuk
memuaskan adalah suatu konsep budaya yang dapat sangat berbeda antara suatu
kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Sebaliknya, lapar menggambarkan suatu
kekurangan gizi yang dasar dan merupakan suatu konsep fisiologis. Makanan selain
penting bagi kelangsungan hidup kita, juga penting bagi pergaulan sosial.

Anda mungkin juga menyukai