Anda di halaman 1dari 25

ANTROPOLOGI DAN GIZI

ANTROPOLOGI DAN GIZI

Di dunia, diperkirakan ratusan juta orang menderita gizi buruk dan


kekurangan gizi.
Apapun tolok ukur kita, kelaparan ( dan sering mati kelaparan) merupakan
hambatan paling besar bagi perbaikan kesehatan di negara-negara di dunia.
Kekurangan gizi menurunkan daya tubuh terhadap infeksi,
LANJUTAN
Apapun tolok ukur kita, kelaparan ( dan sering mati kelaparan) merupakan
hambatan paling besar bagi perbaikan kesehatan di negara-negara di dunia.
Kekurangan gizi menurunkan daya tubuh terhadap infeksi, menyebabkan
banyak penyakit kronis, dan menyebabkan orang tidak mungkin melakukan
kerja keras. Kekurangan protein-kalori dalam periode kanak-kanak setelah
disapih menyebabkan kerusakan otak yang permanen.
LANJUTAN

Banyak dari masalah kekurangan gizi


karena ketidakmampuan negara-negara
non industri untuk menghasilkan cukup
makanan untuk memenuhi kebutuhan
penduduk mereka yang berkembang.
LANJUTAN
Namun banyak dari masalah juga tergantung
pada kepercayaan-kepercayaan yang keliru,
yang terdapat dimana-mana, mengenai
hubungan antara makanan dan kesehatan, dan
juga tergantung pada kepercayaan-kepercayaan,
pantangan-pantangan dan upacara-upacara
yang mencegah orang memanfaatkan sebaik-
baiknya makanan yang tersedia bagi mereka.
ANTROPOLOGI GIZI
Pemikiran di atas melahirkan ANTROPOLOGI GIZI: meliputi disiplin ilmu
tentang gizi dan antopologi yang memperhatikan gejala-gejala antropologi yang
mengganggu status gizi manusia.
LANJUTAN
Aspek-aspek penting dalam antropologi gizi:
1) Sifat sosial, budaya dan psikologis dari makanan (yaitu peranan-peranan
sosial- budaya dari makanan, yang berbeda dengan peranan-peranan gizinya).
2) Cara-cara di mana dimensi-dimensi sosial-budaya dan psikologis dari makanan
berkaitan dengan masalah gizi yang cukup, terutama dalam masyarakat-
masyarakat tradisional.
MAKANAN DALAM KONTEKS
BUDAYA
Para ahli antropologi memandang kebiasaan
makan sebagai suatu kompleks kegiatan masak-
memasak, masalah kesukaan dan
ketidaksukaan, kearifan rakyat, kepercayaan-
keparcayaan, pantangan-pantangan, dan tahyul-
tahyul yang berkaitan dengan produksi,
persiapan dan konsumsi makanan.
LANJUTAN

Makanan dalam konteks budaya dapat


dilihat dalam bagaimana:
1) Kebudayaan dalam menentukan makanan.
2) Nafsu makan dan lapar.
3) Klasifikasi makanan dalam masyarakat.
4) Peranan-peranan simbolik dari makan
1. KEBUDAYAAN DALAM
MENENTUKAN MAKANAN

Sebagai suatu gejala budaya, makanan


bukanlah semata-mata suatu produk
organik dengan kualitas-kualitas
biokimia, yang dapat dipakai oleh
organisma yang hidup, termasuk
manusia, untuk mempertahankan hidup.
NUTRIEN (NUTRIENT) VS MAKANAN
(FOOD).

Penting untuk membedakan antara nutrimen (nutriment) dengan makanan (food).


Nutrimen adalah suatu konsep biokimia, yaitu suatu zat yang mampu untuk
memelihara dan menjaga kesehatan organisme yang menelannya. Sedangkan
makanan adalah konsep budaya, yaitu suatu zat yang dianggap sesuai (diterima)
bagi kebutuhan gizi kita”.
LANJUTAN

Sedemikian kuat kepercayaan-kepercayaan


kita mengenai apa yang dianggap makanan
dan bukan makanan sehingga sangat sukar
untuk meyakinkan orang untuk
menyesuaikan makanan tradisional mereka
demi kepentingan gizi yang baik
2. NAFSU MAKAN DAN LAPAR

Nafsu makan dan lapar adalah gejala yang


berhubungan, namun berbeda. Nafsu makan
dan apa yang diperlukan untuk memuaskannya
adalah konsep budaya yang dapat sangat
berbeda antara suatu kebudayaan dengan
kebudayaan lainnya. Sebaliknya, lapar
menggambarkan suatu kekurangan gizi yang
dasar dan merupakan merupakan suatu
konsep fisiologis.
LANJUTAN

Contoh lain, misalnya orang Jawa


mengaku belum makan sekalipun sudah
makan roti atau jagung dan makan berat
lainnya, karena belum makan nasi
sekalipun roti atau jagung tersebut
dimakan pada waktu makan siang.
3. KLASIFIKASI
MAKANAN
DALAM
Dalam setiap masyarakat,
MASYARAKAT makanan
diklasifikasikan dengan cara-cara yang
bervariasi dan berbeda-beda pada setiap
kebudayaan. Pengklasifikasian bisa berdasarkan
waktu makan, status dan prestise, menurut jenis
pertemuan (sosial, usia, keadaan sakit dan
sehat), menurut nilai-nilai simbolik dan ritual,
dan lain-lain.
LANJUTAN
Contoh lain, makanan yang dipandang
bermutu dan berkelas adalah makanan-
makanan yang dibungkus secara modern dan
diiklankan secara luas. Makanan seperti itu
tampanya mempu- nyai daya tarik yang sangat
besar bagi orang-orang di negara sedang
berkem- bang, meskipun banyak dari makanan-
makanan sejenis ini lebih rendah gizinya
dibandingkan dengan makanan tradisional.
LANJUTAN
Klasifikasi makanan yang paling tersebar
luas dan yang penting kaitannya dengan
kesehatan adalah dikhotomi “panas
dingin”. Melalui keseimbangan makanan
yang bijaksana dan penghindaran jumlah
yang berkelebihan antara panas dan
dingin, maka kesehatan dapat
dipertahankan sebaik-baiknya.
LANJUTAN
Contoh, di sebuah desa di India bagian Utara, makanan termasuk panas
adalah kacang polong yang sudah dikupas, gula kasar, susu kerbau, telur, ikan,
daging, bawang merah dan bawang putih. Susu dianggap tidak boleh dimakan
dengan daging maupun dengan ikan karena panas yang dihasilkannya. Makan
makanan yang ekstra panas secara teratur dan sebagai kebiasaan akan
menghasilkan temperamen yang panas dan lekas marah.
4. PERANAN-PERANAN SIMBOLIK DARI
MAKANAN
Selain merupakan hal pokok dalam hidup, makanan penting juga bagi
pergaulan sosial. Makanam dapat dimanipulasikan secara simbolis
untuk menyatakan persepsi terhadap hubungan antara individu-
individu dan kelompok-kelompok atau dalam kelompok untuk
meramalkan bagaimana kehidupan sosial terjadi.
Ungkapan simbolis tersebut dapat dilihat dalam:
a) Makanan sebagai ungkapan ikatan sosial : menawarkan makana
b) Makana sebagai ungkapan dari kesetiakawanan kelompok : domba
di arab, sake di jepang
c) Makanan dan stres
d) Simbolisme makanan dalam bahasa.(mika masam, makan asam
garam)
PEMBATASAN BUDAYA TERHADAP
KECUKUPAN GIZI

Walaupun gizi buruk di dunia ini banyak


disebabkan oleh kekurangan pangan yang
mutlak , masalahnya bertambah parah
akibat berbagai kepercayaan budaya dan
pantangan-pantangan yang sering
membatasi pemanfatan makanan yang
tersedia.
LANJUTAN

Pembatasan budaya tersebut dapat dilihat dalam:


(1) Kegagalan Untuk Melihat Hubungan
Antara Makanan Dan Kesehatan.
(2) Kegagalan untuk mengenali kebutuhan
gizi pada anak-anak.
1. KEGAGALAN UNTUK MELIHAT
HUBUNGAN ANTARA MAKANAN DAN
KESEHATAN
Dasar kearifan konvensional mengenai makanan ditandai oleh kesenjangan yang
besar dalam pemahaman tentang bagaimana makanan itu bisa dugunakan sebaik-
baiknya.

Yang terpenting dari kesenjangan itu adalah kegagalan yang berulang kali terjadi
untuk mengenal hubungan yang pasti antara makanan dan kesehatan.
LANJUTAN

Susunan makanan yang cukup cenderung


ditafsirkan dalam rangka kuantitas bukan
kualitasnya.
mengenai makanan pokok yang cukup, bukan
pula dari keseimbangannya dalam hal berbagai
makanan.
Karena itu, gizi buruk bisa terjadi di tempat-
tempat di mana sebenarnya makanan cukup.
LANJUTAN

Contoh: Persepsi mengenai hubungan antara


makanan dan kesehatan berupa suatu
pandangan keliru yang meluas: Makanan yang
kaya protein, terutama daging dan susu tidak
boleh dimakan oleh anak-anak yang mengidap
penyakit cacing karena dianggap
“menyebabkan cacing-cacing muncul”
2. KEGAGALAN
UNTUK
MENGENALI
KEBUTUHAN
KesenjanganGIZI
besarPADA
yang kedua
ANAK- dalam kearifan
makanan tradisionalANAK
pada masyarakat terutama
di pedesaan (petani) adalah seringnya kegagalan
mereka untuk mengenal bahwa anak-anak
mempunyai kebutuhan-kebutuhan gizi khusus,
baik sebelum maupun setelah penyapihan.

Anda mungkin juga menyukai