Buku Mekanika Kuantumpdf
Buku Mekanika Kuantumpdf
1 October, 2012
ii
Daftar Isi
1 Pendahuluan 1
2 Mekanika Klasik 5
2.1 Koordinat Umum atau Generalized Coordinates . . . . . 5
2.2 Mekanika Lagrange . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7
2.3 Mekanika Hamilton . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 10
2.4 Transformasi Kanonik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 12
2.4.1 Poisson Brackets . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 13
3 Fenomena-Fenomena Kuantum 15
3.1 Radiasi Benda Hitam . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 15
3.1.1 Radiasi Rongga dengan Teori Klasik . . . . . . . . 19
3.1.2 Radiasi Rongga dengan Teori Kuantum . . . . . . 22
3.2 Efek Fotolistrik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 24
3.3 Efek Compton . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 27
3.4 Spectrum Hidrogen Atom . . . . . . . . . . . . . . . . . . 31
3.5 Hipotesis de Broglie . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 32
4 Keadaan Sistem 35
4.1 Observables . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 36
5 Persamaan Schrödinger 47
5.1 Fungsi Gelombang dengan Momentum Tertentu . . . . . 47
5.2 Persamaan Schrödinger . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 50
5.3 Sifat-Sifat Fungsi Solusi Persamaan Schrödinger . . . . 53
5.4 Konservasi Probabilitas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 53
5.5 Teorema Ehrenfest . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 56
5.6 Persamaan Schrödinger Tidak Bergantung Waktu . . . . 58
7 Osilator Harmonik 83
7.1 Osilator Harmonik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 83
7.2 Metode Aljabar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 85
7.3 Metode Analitik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 90
Penulis bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas probabilitas pe-
nyelesaian buku ini yang cukup besar dalam waktu yang cukup sing-
kat.
Buku ini masih dalam tahap penyusunan dan belum mencapai ting-
kat kesempurnaan yang diinginkan penulis. Walaupun demikian, bu-
ku ini tetap berguna untuk mempermudah pemahaman tentang me-
kanika kuantum.
Buku ini ditulis dalam jangka waktu yang singkat, sekitar satu se-
tengah bulan. Sudah pasti tidak semua hal dijelaskan secara detil.
Kekurangan penjelasan dan pembahasan hal-hal penting akan dileng-
kapi pada saat kuliah.
Buku mekanika kuantum ini hanya membahas teori kuantum yang
tidak relativistik.
Teori kuantum bukanlah sebuah teori yang mudah dicerna atau di-
pahami. Dari semua teori yang ada, teori kuantum selalu dianggap
paling sulit. Ada beberapa faktor yang selalu menjadi penghambat
dalam pemahaman yaitu (1) Konsep-konsep yang ada di dalam teo-
ri kuantum tidak dapat atau tidak mempunyai analogi di fisika klasik
atau yang kita jumpai sehari-hari, terkadang konsep kuantum terlihat
aneh, ajaib dan tidak masuk akal. (2) Memerlukan pemahaman mate-
matika yang lebih banyak dari teori lain, (3) Buku-buku belum banyak
tersedia yang memberi penjelasan tentang konsep-konsep dasar teori
kuantum.
Dalam mempelajari ilmu fisika, kita perlu selalu mengingatkan diri
kita bahwa teori fisika seperti teori kuantum tidaklah mudah dipelaja-
ri, sehingga memerlukan waktu yang lebih banyak untuk memahami
konsep-konsepnya. Oleh karen itu, penulis menyarankan agar setiap
bab tidak dibaca dengan cepat. Bacalah perlahan dan ingatkan bahwa
kita perlu memahami (bukan menghafalkan) dan jangan melompati
bab-bab awal sebelum memahami isinya. Di samping itu, latihan de-
ngan mencoba banyak soal-soal perlu dilakukan untuk memperkuat
pemahaman konsep.
Sebuah pernyataan yant perlu diingat yaitu:
”One doesn’t understand the physics unless one can solve problems”
dan juga,
”Just solving problems, without the capacity to lucidly discuss tho-
se problems and the attendant concepts and ideas, may also indicate
insufficient understanding”
”Quantum mechanics [is] that mysterious, confusing discipline, whi-
iv Daftar Isi
kel. Walaupun demikian, kita tidak bisa tahu pasti kapan elektron ak-
an menumbuk posisi tertentu pada layar. Atau dengan kata lain, elek-
tron menumbuk secara acak atau tidak dengan urutan tertentu. Inilah
konsep kuantum yang tidak mudah dicerna/dipahami oleh mahasiswa.
Eksperimen celah ganda ini menunjukkan hasilnya yang pasti tidak
bisa diprediksi, tetapi kita bisa menentukkan probabilitas-probabilitas
hasilnya atau kejadiannya. Konsep probabilitas sangatlah berbeda de-
ngan konsep kepastian yang telah diajarkan di mekanika klasik New-
ton.
Bagaimana jika kita amati partikel (di sini elektron) yang melalui
dua celah. Cara sederhana adalah dengan melakukan dua kali ekspe-
rimen, (1) menutup salah satu celah (kita label celah A) dan kemudian
melihat hasil pada layar, (2) menutup celah yang satu lagi (label celah
B) dan kemudian mengamati hasilnya. Jika memang partikel melalui
secara pasti salah satu celah maka pola diperolehnya merupakan pen-
jumlahan dua pola dari salah satu celah tertutup. Atau dengan kata
lain, umpama probabilitas hasil yang melalui celah A adalah PA dan
yang melalui celah B adalah PB , maka jika memang partikel melalui
hanya satu celah saja, maka probabilitasnya yaitu P = PA + PB . Tetapi
kenyataannya bahwa untuk eksperimen dengan dua celah yang terbu-
ka menghasilkan P 6= PA + PB . Jadi tidak merupakan penjumlahan
probabilitas.
Penjelasan mengenai terjadinya interferensi jika kita meninjau kon-
sep amplitudo probabilitas yang biasanya direpresentasikan dengan
bilangan kompleks. Probabilitas kejadian P dihitung dengan mengku-
adratkan nilai mutlak amplitudo probabilitas ψ atau
P = |ψ|2 (1.1)
Jika kita lakukan eksperimen dua celah terbuka, maka yang di-
hasilkan merupakan penjumlahan amplitudo probabilitas bukan pen-
jumlahan probabilitas.
4 Pendahuluan
d 2 ri Fnet,i 1 X
= = Fk,i , (2.1)
dt2 mi mi k
Hukum kedua
Newton di mana Fnet,i adalah gaya total (atau netto) yang bekerja pada par-
tikel ke i. Kita perhatikan persamaan di atas adalah persamaan dife-
rensial orde dua.
Kita dapat mengubah persamaan gerak menggunakan kecepatan
benda vi = dri /dt, sehingga kita memperoleh persamaan diferensial
orde satu,
dri
= vi ,
dt
d2 vi Fnet,i
= , (2.2)
dt mi
∂U(r)
F = −∇U(r) = − (2.3)
∂r
Persamaan gerak sangat mudah dihasilkan menggunakan persa-
maan Newton untuk sistem yang tidak memiliki keterikatan atau ba-
tasan sebagai contoh gerak proyektil dan gerak atom-atom. Untuk
sistem dengan batasan tertentu, seperti gerak benda pada permukaan
melengkung atau pada tali yang tidak lurus, persamaan gerak benda
tidak mudah ditentukan dengan persamaan Newton.
Sebagai contoh sederhana, perhatikan sebuah benda diikat dengan
tali dan digantung membentuk sebuah bandul sederhana. Untuk mem-
permudah kita menganggap bahwa benda bergerak dalam ruang dua
dimensi. Untuk mendiskripsikan gerak bandul ini, dengan menggu-
nakan mekanika Newton, kita membutuhkan dua variabel (atau po-
sisi) yaitu (x, y) dan benda memiliki keterikatan atau batasan gerak
bahwa benda harus bergerak dalam sebuah lingkaran dengan jari-jari
L, atau panjang tali. Keterikatan atau ketidakbebasan ini mempunyai
persamaan yaitu x2 + y 2 = r 2 = L2 . Jika kita pertimbangkan untuk
Mekanika Lagrange 7
L=T −V (2.4)
.
di mana T adalah energi kinetik dan V adalah energi potensial.
Dalam formulasi Lagrange, momentum umum didefinisikan dengan
∂L
pi = (2.5)
∂ q̇i
Kemudian persamaan gerak dapat diperoleh dengan menggunakan
persamaan Lagrange yaitu
∂L
ṗi = (2.6)
∂qi
atau
d ∂L ∂L
− =0 (2.7)
dt ∂ q̇i ∂qi
Perhatikan bahwa L merupakan fungsi q̇ dan terdapat bagian dtd ∂∂L
q̇i
yang menghasikan turunan kedua pada qi . Jadi persamaan Lagrange
8 Mekanika Klasik
2. Tuliskan L = T − V .
Benda bergerak dalam ruang dua dimensi dengan posisi (x, y) pada
koordinat Kartesius. Energi kinetiknya merupakan sebuah fungsi dari
kecepatan (vx , vy ),
Mekanika Lagrange 9
1 1 1 1
T = mvx2 + mvy2 = mẋ2 + mẏ 2 (2.9)
2 2 2 2
Ingat bahwa vx = ẋ dan vy = ẏ.
V = mgy (2.10)
Sehingga,
1 1
L = T − V = mẋ2 + mẏ 2 − mgy (2.11)
2 2
Bentuk fungsi Lagrange ini belum sesuai karena (x, y) bukan koo-
rdinat umum. Jika kita perhatikan bahwa, hanya sudut dari bandul
itu yang berubah, maka kita dapat mengubah koordinat menjadi koo-
rdinat polar, di mana
x = L sin θ
y = −L cos θ (2.12)
Kita tentukan turunannya terlebih dahulu (dengan aturan rantai),
ẋ = Lθ̇ cos θ
ẏ = Lθ̇ sin θ (2.13)
Substitusi ke persamaan (2.11), fungsi Lagrange menjadi
1 1
L = mL2 θ̇2 cos2 θ + mL2 θ̇2 sin2 θ + mgL cos θ
2 2
1
= mL2 θ̇2 + mgL cos θ (2.14)
2
Persamaan gerak yang dihasilkan dengan substitusi fungsi Lagra-
nge ke persamaan Largrange adalah
∂L
= −mgL sin θ
∂θ
∂L
= mL2 θ̇
∂ θ̇
d ∂L
= mL2 θ̈
dt ∂ θ̇
mL2 θ̈ + mgL sin θ = 0 (2.15)
10 Mekanika Klasik
g
θ̈ + sin θ = 0 (2.16)
L
Fungsi-fungsi Lagrange yang sering akan dijumpai di dalam buku
ini yaitu
1
L = m(ẋ2 + ẋ2 + ẋ2 ) − V (x, y, z) (2.17)
2
2. Seperti di atas dalam bentuk koordinat bola,
1
L = m(ṙ 2 + r 2 θ̇2 + r 2 sin2 (θ)φ̇2 ) − V (r, θ, φ) (2.18)
2
1
L = m(ẋ2 + ẋ2 + ẋ2 ) − qV (x, y, z, t) + q ṙ · A(r, t) (2.19)
2
Momentum umum untuk kasus ini adalah
∂L
p= = mṙ + qA (2.20)
∂r
Perhatikan bahwa momentum umum belum tentu sama dengan
momentum linier.
f
X
H= pi q̇i − L (2.21)
i=1
∂H ∂H
q̇i = ṗi = − (2.22)
∂pi ∂qi
Prosedur untuk menentukan fungsi Hamilton adalah sebagai beri-
kut:
1. Tuliskan H dengan persamaan (2.21). Jika sistem yang konserva-
tif dan nonrelativistik, fungsi Hamilton dapat diperoleh dengan
H =T +V (2.23)
1 2
H= p + V (x, y, z) (2.29)
2m
1 2 p2θ p2φ )
H= (pr + 2 + 2 2 + V (r, θ, φ) (2.30)
2m r r sin (θ)
1
H= [p − qA(r, t)]2 + qV (x, y, z, t) (2.31)
2m
∂H
ṗs = − = 0 , jadi ps = kostan = αs (2.32)
∂qs
Koordinat yang seperti qs disebut koordinat siklik atau dapat dia-
baikan (ignorable).
Transformasi Kanonik 13
2. Efek fotolistrik
3. Efek Compton
R(T ) = σT 4 (3.1)
Z ∞
R(T ) = R(λ, T )dλ (3.2)
0
1
λmax ∝ (3.3)
T
atau
kx = 2π/λx (3.8)
λν = c (3.9)
Sesuai dengan syarat batas menghasilkan,
20 Fenomena-Fenomena Kuantum
2a/λ = nx , nx = 1, 2, 3, . . . (3.10)
atau
λx = 2a/nx , nx = 1, 2, 3, . . . (3.11)
Dengan cara yang sama untuk komponen dengan arah sumbu y dan
z,
ky = 2π/λy (3.13)
λy = 2a/ny , ny = 1, 2, 3, . . . (3.14)
kz = 2π/λz (3.16)
λz = 2a/nz , nz = 1, 2, 3, . . . (3.17)
Radiasi Benda Hitam 21
Bilangan gelombang, k,
q
2 2 2
πq 2
k = kx + ky + kz = nx + n2y + n2z (3.18)
a
atau
2a q 2
= nx + n2y + n2z (3.19)
λ
atau untuk frekuensi ν
c cq 2
ν= = nx + n2y + n2z (3.20)
λ 2a
Jumlah frekuensi yang diperbolehkan antara ν dan ν + dν adalah
sama dengan berapa banyak titik-titik latis antara r dan r + dr,
q 2a
r= n2x + n2y + n2z =
ν (3.22)
c
N(r)dr sama dengan volume dalam satu kulit dikalikan dengan ke-
rapatan titik-titik latis.
1 1
N(r)dr = 4πr 2 dr = πr 2 dr (3.23)
8 2
3
π 2a
N(ν)dν = ν 2 dν (3.24)
2 c
Hasil ini kita kalikan dengan 2, karena setiap frekuensi terdapat
dua polarisasi, maka
3
2a
N(ν)dν = π ν 2 dν (3.25)
c
Prediksi termodinamika klasik, dengan menggunakan prinsip eku-
ipartisi, setiap derajat kebebasan memiliki energi rata-rata sebesar
kT /2. Untuk kasus gelombang berdiri energinya sebesar dua kalinya,
maka
Ē = kT (3.26)
atau dengan anggapan bahwa energi bisa bernilai berapa saja dari
0 sampai ∞
22 Fenomena-Fenomena Kuantum
R∞
ǫ exp −βǫdǫ 1
Ē = R0 ∞ = = kT (3.27)
0
exp −βǫdǫ β
Kerapatan energi per satuan volume untuk frekuensi antara ν dan
ν +dν adalah energi rata-rata tiap gelombang berdiri dikalikan dengan
jumlah gelombang berdiri dibagi dengan volume a3 ,
8πkT 2
ρ(ν, T )dν = ν dν (3.28)
c3
ingat
ν = c/λ |dν| = c/λ2 dλ (3.29)
atau
8πkT
ρ(λ, T )dλ = dλ (3.30)
λ4
Inilah rumus Rayleigh-Jeans untuk radiasi benda hitam.
Tetapi jika kita integralkan untuk mendapatkan total energi,
Z ∞
ρ(T ) = ρ(λ, T )dλ = ∞ (3.31)
0
yang bernilai tak hingga, ini karena jika λ → 0, ρ(λ, T ) → ∞. Ini
dinamakan katastrofi ultraviolet.
P∞
n=0 nǫ0 exp(−βnǫ0 )
Ē = P ∞ (3.32)
n=0 exp(−βnǫ0 )
" ∞ #
d X
=− ln exp(−βnǫ0 ) (3.33)
dβ n=0
d 1
=− ln (3.34)
dβ 1 − exp(−βǫ0 )
ǫ0
= (3.35)
exp(βǫ0 ) − 1
Radiasi Benda Hitam 23
sehingga diperoleh,
8π ǫ0
ρ(λ, T ) = 4
(3.36)
λ exp(ǫ0 /kT ) − 1
Agar sesuai dengan hukum Wien, ǫ0 harus berbanding lurus dengan
frekuensi, ν.
hc
ǫ0 = hν = (3.37)
λ
8π hc/λ
ρ(λ, T ) = (3.38)
λ4 exp(hc/λkT ) − 1
8πhc 1
ρ(λ, T ) = 5
(3.39)
λ exp(hc/λkT ) − 1
Dengan melakukan pendekatan dengan deret Taylor, dapat dibuk-
tikan bahwa untuk nilai panjang gelombang yang besar,
8πkT
ρ(λ, T ) → (3.40)
λ4
Untuk panjang gelombang yang pendek λ → 0, ρ → 0 karena ada-
nya faktor penyebut exp(hc/λkT ) − 1.
24 Fenomena-Fenomena Kuantum
hc
λmax T = (3.41)
4, 965k
Kerapatan energi total,
8π 5 k 4
ρT ot = aT 4 a= (3.42)
15h3 c3
konstanta Stefan-Boltzmann,
2π 5 k 4
σ= (3.43)
15h3 c2
Catatan tentang konstanta Planck, h. Mempunyai satuan J.s. Di-
mensi untuk konstanta Planck adalah [energi][waktu] atau [panjang][momentum].
Dimensi ini dinamakan [aksi] atau [action]. Konstanta Planck dikenal
dengan fundamental quantum action.
E = hν (3.45)
Karena energi pada foton selurunya ditransfer ke elektron, maka
kinetik energi elektron ketika keluar dari plat logam adalah
K = hν − W (3.46)
dengan W adalah fungsi kerja dari plat logam.
Mari kita bahas mengenai proses tumbukan antara foton dan elek-
tron bebas yang dalam keadaan diam.
Radiasi dari sinar-x memiliki energi sebesar (sesuai dengan yang
dikemukakan Planck)
E = hν (3.49)
p
E = m0 c2 / 1 − v 2 /c2 (3.50)
Kita ketahui bahwa kecepatan cahaya adalah c dengan energi hν,
dan massa diam untuk foton adalah nol. Jadi foton dapat dipertim-
bangkan sebagai partikel dengan massa diam nol dan semua energi-
nya adalah energi kinetik.
Momentum foton dapat diturunkan dari persamaan umum untuk
energi dan momentum relativitas,
E 2 = c2 p2 + (m0 c2 )2 (3.51)
Karena massa diam foton adalah nol, maka
E = pc p (3.52)
atau
dan
E02 + m0 c2 = E1 + K + m0 c2 (3.59)
atau
E0 − E1 = K (3.60)
Menggunakan hubungan energi dan momentum untuk foton,
c(p0 − p1 ) = K (3.61)
Menggunakan persamaan (3.51) untuk K + m0 c2 ,
(K + m0 c2 )2 = c2 p2 + (m0 c2 )2 (3.62)
setelah penjabaran, diperoleh
K 2 + 2Km0 c2 = c2 p2 (3.63)
Substitusi nilai K dari persamaan (3.61) dan p2 dari persamaan
(3.58),
Cn2
λ= (3.70)
n2 − 4
di mana C = 3646Å.
32 Fenomena-Fenomena Kuantum
Pada tahun 1889, J.R. Rydberg menemukan bahwa rumus yang le-
bih berguna yaitu
1 1 1
= RH 2
− 2 (3.71)
λ 2 n
dengan konstanta Rydberg, RH = 109677, 58 cm−1 .
Rumus yang lebih umum untuk semua jenis garis spektrum hidro-
gen adalah
1 1 1
= RH − (3.72)
λ n2a n2b
[Teori atom Bohr di sini. untuk sementara baca foto copian]
E = hν (3.73)
dan momentum
p = h/λ (3.74)
Konsep partikel berhubungan dengan kuantitas energi dan momen-
tum, sedangkan konsep gelombang berhubungan dengan kuantitas pan-
jang gelombang dan frekuensi. Dari persamaan (3.74, materi juga
mempunyai sifat gelombang dengan panjang gelombang de Broglie:
λ = h/p (3.75)
Seperti halnya sifat gelombang, dua fenomena yang sering diamati
adalah difraksi dan interferensi. Eksperimen yang digunakan untuk
menunjukkan sifat gelombang materi adalah dengan melakukan eks-
perimen difraksi. Pada eksperimen Davidson dan Germer, elektron di-
tembakkan ke sebuah kristal dan kemudian pola difraksinya diukur.
Pada difraksi kristal, distribusi intensitas persamaan Bragg:
nλ = 2d sin(φ) (3.76)
Keadaan Sistem
4
Keadaan sistem kuantum dideskripsikan oleh fungsi gelombang atau
fungsi keadaan atau juga vektor keadaaan. Tiga sebutan ini akan
digunakan silih berganti yang disesuaikan dengan konteksnya tan-
pa menimbulkan ketidakmengertian. Sebagai contoh untuk sistem
yang terdiri dari satu partikel fungsi gelombangnya dinotasikan de-
ngan Ψ(r, t). Fungsi gelombang tergantung pada posisi r dan waktu
t. Semua informasi mengenai sistem diberikan oleh fungsi-gelombang.
Sifat-sifat fisis sistem dapat diperoleh dari fungsi gelombang.
Untuk menyederhanakan pembahasan, untuk beberapa bab awal
buku ini akan mengggunakan sistem satu partikel saja. Sistem de-
ngan partikel banyak akan dijelaskan kemudian. Jadi tanpa menye-
butkan kembali bahwa sistemnya adalah satu partikel saja, jika hanya
ada satu posisi saja r, maka sistem adalah sistem dengan satu partikel
saja.
Perubahan atau evolusi dari fungsi gelombang diberikan oleh per-
samaan gerak atau persamaan gelombang, untuk sistem yang tidak
relativistik diberikan oleh persamaan Schrödinger.
Fungsi gelombang dari suatu sistem berkaitan dengan probabilitas
menemukan partikel pada suatu daerah tertentu dengan hubungan,
4.1 Observables
Seperti disebutkan sebelumnya bahwa sifat-sifat fisis suatu sistem di-
peroleh dari fungsi gelombangnya. Bagaimana caranya? Sebelum
mengenal itu, kita perlu mengenal terlebih dahulu tentang pengerti-
an ”observables” apa yang bisa diamati atau dilihat. Sifat-sifat fisis
seperti posisi partikel, momentum, energi, momen dipol, yang dapat
diukur secara eksperimental adalah merupakan variabel-variabel ob-
servables. Kunci kata yang perlu diingat untuk observables adalah
sesuatu yang bisa diukur atau pengukuran atau yang bisa dilihat.
Dalam fisika klasik, sesuatu sudah bisa ditentukan, artinya me-
miliki nilai yang pasti dan ditentukan dengan melihat nilai variabel-
nya. Sedangkan pada teori kuantum, kita tidak bisa secara langsung
mengetahui sifat-sifat fisis, tetapi kita harus melakukan semacam pe-
ngukuran dengan menggunakan operator. Dengan kata lain suatu ob-
servable direpresentasikan oleh sebuah operator. Untuk mendapatkan
Observables 37
sifat fisis suatu sistem, kita harus mengoperasikan operator yang se-
suai pada fungsi gelombangnya.
Suatu operator jika dioperasikan pada sebuah fungsi gelombang
akan menghasilkan sebuah fungsi gelombang yang baru. Sebagai con-
toh sebuah operator Ω̂ (dinotasikan dengan tanda topi (hat)) untuk ope-
rator dari observable Ω dioperasikan pada fungsi gelombang Ψ(r, t) ak-
an menghasilkan sebuah fungsi gelombang, sebagai contohnya Φ(r, t),
Perlu diingat notasi yang kita gunakan disini, variabel tanpa tanda
topi, Ω merupakan observable, sedangkan jika diberikan tanda topi
berarti sebuah operator, Ω̂.
Sekarang bagaimana menentukan suatu operator yang sesuai un-
tuk observable?
Tentunya sudah pasti operator tidak bisa diturunkan dari variable
dalam fisika klasik karena fisika klasik tidak kompatible dengan teori
kuantum. Tetapi ada teknik atau resep yang sudah terbukti sebagai
jembatan antara fisika klasik dan teori kuantum. Ditemukan bahwa
operator yang sesuai untuk posisi r̂ dan momentum p̂ adalah
r̂ = r (4.6)
p̂ = −i~∇. (4.7)
√
Perlu diingat bahwa i adalah bilangan imaginer i = −1 dan ~ =
h/(2π) di mana h adalah konstanta Planck. ∇ adalah operator gradien.
Penggunaan representasi dua operator ini disebut dengan representasi
koordinat. Cara lain adalah dengan representasi momentum di mana
p̂ = p dan r̂ = i~∇. Buku ini akan menggunakan hanya representasi
koordinat.
Operator dengan sendirinya tidak memiliki sifat apapun dan ha-
nya berguna ketika dioperasikan pada suatu fungsi gelombang. Ingat
bahwa operator r̂ merupakan operasi perkalian dengan r.
p̂.p̂ [−i~∇].[−i~∇] ~2 2
T̂ = = =− ∇ (4.11)
2m 2m 2m
Operator untuk energi sistem yang ditentukan oleh fungsi Hamil-
tonian H untuk sistem dengan potensial yang tidak tergantung pada
kecepatan partikel adalah
~2 2
Ĥ = T̂ + V̂ (r) = −
∇ + V (r) (4.12)
2m
Hubungan antara sifat observable dan fungsi gelombang diperoleh
dengan menghitung nilai ekspektasi/harapan yaitu
Z
hΩ̂i = ψ ∗ (r, t)Ω̂ψ(r, t)d3 r (4.13)
Z
hr̂i = ψ ∗ (r, t)rψ(r, t)d3r
Z
= r|ψ(r, t)|2 d3 r
Z
= rP (r, t)d3r (4.15)
Observables 39
Ini sesuai dengan rumus nilai rata-rata untuk distribusi P (r, t). Ni-
lai ekspektasi observable posisi r menghasilkan posisi rata-rata mene-
mukan partikel.
Observable seperti posisi, momentum, dan energi adalah bernilai
nyata, jadi nilai ekspektasi harus juga bernilai nyata untuk fungsi ge-
lombang manapun.
hΩ̂i = hΩ̂i∗
Z Z
ψ (r, t)Ω̂ψ(r, t)d r = ψ(r, t)[Ω̂ψ(r, t)]∗ d3 r
∗ 3
Z Z
ψ (r, t)Ω̂ψ(r, t)d r = [Ôψ(r, t)]∗ ψ(r, t)d3r
∗ 3
(4.16)
Z Z
∗ 3
φ (r, t)Ω̂ψ(r, t)d r = [Ω̂φ(r, t)]∗ ψ(r, t)d3r (4.18)
Z
2
[∆Ω] = ψ ∗ (r, t)[Ω̂ − hΩ̂i]2 ψ ∗ (r, t)d3r
Z
= ψ ∗ (r, t)[Ω̂ − hΩ̂i][Ω̂ − hΩ̂i]ψ(r, t)d3 r
Z
= ([Ω̂ − hΩ̂i]ψ(r, t))∗ [Ω̂ − hΩ̂i]ψ(r, t)d3r
Z
= |[Ω̂ − hΩ̂i]ψ(r, t))|2d3 r (4.19)
atau
∗
Jika kita kalikan persamaan (4.23) dengan ψm (r, t) dari sebelah
kanan dan integralkan, kita memperoleh
Z Z
∗ 3 ∗
ψm (r, t)Ω̂ψn (r, t)d r = ωn ψm (r, t)ψn (r, t)d3 r (4.24)
Jika kita kompleks konjugat kedua sisi dan kemudian menukar in-
deks n dan m, menghasilkan
Z Z
∗ 3 ∗
ψn (r, t)[Ω̂ψm (r, t)] d r = ωm ψm (r, t)ψn (r, t)d3 r (4.25)
atau
Z
∗
(ωm − ωn ) ψm (r, t)ψn (r, t)d3 r = 0 (4.28)
∞
X
φ(r, t) = cn ψn (r, t) (4.31)
n=1
Ω̂φ = c1 ω1 ψ1 + c2 ω2 ψ2 (4.34)
karena ω1 = ω2 = ω atau degenerate maka
Z
∗
ψm ψn d3 r = δmn (4.37)
1 if m = n,
δmn = (4.38)
0 if m 6= n
X
φ(r, t) = cn ψn (r, t) (4.39)
n=1
Z
cn = φ∗ (r, t)ψn (r, t)d3r (4.40)
Z
hΩ̂i = ψ ∗ Ω̂ψd3 r (4.41)
Z "X # "
X
#
hΩ̂i = c∗m ψm
∗
Ω̂ cn ψn d3 r
m=1 n=1
XX Z
= c∗m cn ∗
ψm Ω̂ψn d3 r
m=1 n=1
XX Z
= c∗m cn ωn ∗
ψm ψn d3 r
m=1 n=1
XX
= c∗m cn ωn δmn
m=1 n=1
X
= ωn |cn |2 (4.42)
n=1
X
hΩ̂i = ωn P (ωn ) (4.43)
n=1
atau
Artinya pengukuran dari observable Ω pada sistem dengan ψ mem-
punyai probabilitas P (ωn ) = |cn |2 yang menghasilkan
P nilai ωn . Interp-
retasi ini sesuai dengan sifat probabilitas bahwa n=1 P (ωn ) = 1 yang
dapat dibuktikan dari sifat normalisasi fungsi ψ,
Z Z "X #"
X
#
ψ ∗ ψd3 r = c∗m ψm
∗
cn ψn d3 r
m=1 n=1
XX Z
= c∗m cn ∗
ψm ψn d3 r
m=1 n=1
XX
= c∗m cn δmn
m=1 n=1
X
= |cn |2 = 1 (4.44)
n=1
Observables 45
k+s
X
P (ωd ) = |cn |2 (4.45)
n=k+1
E = hν (5.1)
dan momentum partikel yang berhubungan dengan panjang gelom-
bang,
h
p= (5.2)
λ
Selain menggunakan frekuensi (ν) dan panjang gelombang (λ) un-
tuk menuliskan energi dan momentum, kita akan sering juga meng-
gunakan frekuensi sudut ω,
ω = 2πν (5.3)
dan bilangan gelombang k,
2π
k= (5.4)
λ
dan
konstanta Planck yang terreduksi (~),
h
~= (5.5)
2π
48 Persamaan Schrödinger
E = ~ω dan p = ~k (5.6)
Sekarang kita pertimbangkan sebuah partikel bebas bergerak ke
arah sumbu x positif dengan momentum p = px x̂ di mana px > 0. Da-
lam buku ini kita menggunakan notasi vektor satuan untuk koordinat
kartesius, x̂, ŷ, dan ẑ.
Fungsi gelombang berjalan yang sesuai dengan pergerakan parti-
kel bebas ini adalah sebuah gelombang bidang yang diberikan oleh
atau
∂ iE
Ψ(x, t) = − Ψ(x, t) (5.13)
∂t ~
∂
i~ Ψ(x, t) = EΨ(x, t). (5.14)
∂t
∂
Ini menunjukkan bahwa operasi i~ ∂t pada fungsi gelombang Ψ(x, t)
menghasilkan nilai energi E dikali fungsi gelombangnya.
Persamaan (5.11) dan (5.14) merupakan persamaan eigen. Kita bi-
∂
sa simpulkan
∂ dari persamaan (5.11) dan (5.14) bahwa operator −i~ ∂x
dan i~ ∂t menghasilkan nilai momentum dan energi. Sehingga kita
dapat mendefinisikan operator momentum dan energi:
∂
pˆx = −i~ (5.15)
∂x
dan
∂
Ê = i~ (5.16)
∂t
Fungsi gelombang bidang yang lebih umum untuk momentum p =
~k dengan arah yang sembarang dan energi E adalah
p2x
E= (5.19)
2m
Jika kita kerjakan turunan parsial dua kali terhadap x pada fungsi
gelombang persamaan (5.8), kita memperoleh,
∂2
2
p
2
Ψ(x, t) = − x2 Ψ(x, t) (5.20)
∂x ~
dan seperti sebelumnya turunan parsial terhadap t, kita menda-
patkan,
∂ iE
Ψ(x, t) = − Ψ(x, t) (5.21)
∂t ~
Menggunakan relasi E = p2x /2m, kita dapat menyatukan persama-
an (5.20) dan (5.21) dengan cara sebagai berikut.
ip2x
∂
Ψ(x, t) = − Ψ(x, t) (5.22)
∂t 2m~
2
∂ i~ px
Ψ(x, t) = − 2 Ψ(x, t) (5.23)
∂t 2m ~
Substitusi dengan persamaan (5.20), kemudian dihasilkan persa-
maan akhir yaitu
i~ ∂ 2
∂
Ψ(x, t) = Ψ(x, t) (5.24)
∂t 2m ∂x2
Untuk menyederhanakan persamaan ini, kita kalikan kedua sisi-
nya dengan i~ sehingga kita peroleh
∂ ~2 ∂ 2
i~ Ψ(x, t) = − Ψ(x, t) (5.25)
∂t 2m ∂x2
Persamaan Schrödinger 51
p2
E= (5.27)
2m
dapat diperoleh persamaan gerak untuk partikel bebas yaitu
1 2
ÊΨ(r, t) = p̂ Ψ(r, t) (5.28)
2m
atau
∂ ~2 2
i~ Ψ(r, t) = − ∇ Ψ(r, t) (5.29)
∂t 2m
di mana Laplacian ∇2 ,
2
∂2 ∂2
2 ∂
∇ = + + (5.30)
∂x2 ∂y 2 ∂z 2
Generalisasi untuk sebuah partikel yang berada pada sebuah po-
tensial V (r, t) didapat dari hubungan energi,
p2
E= + V (r, t) (5.31)
2m
dan melakukan penggantian variabel klasik dengan operator, kita
dapat tuliskan persamaan geraknya,
2
p̂
ÊΨ(r, t) = + V (r, t) Ψ(r, t) (5.32)
2m
atau
∂ ~2 2
i~ Ψ(r, t) = − ∇ Ψ(r, t) + V (r, t)Ψ(r, t) (5.33)
∂t 2m
Persamaan inilah yang dinamakan persamaan Schrödinger yang
bergantung waktu. Persamaan ini menentukan evolusi fungsi gelom-
bang.
52 Persamaan Schrödinger
~2 2
Ĥ = − ∇ + V (r, t) = T̂ + V̂ (5.34)
2m
Jadi persamaan Schödinger yang berlaku untuk semua keadaaan
adalah
∂
i~ Ψ(r, t) = ĤΨ(r, t) (5.35)
∂t
Pada mekanika klasik, energi total dari suatu sistem yang dieksp-
resikan dalam bentuk variabel koordinat dan momentum disebut de-
ngan fungsi Hamiltonian dari sistemnya.
p2
E = H(r, p, t) = + V (r, t) (5.36)
2m
Dari fungsi Hamiltonian ini, operator Hamiltonian kuantum me-
kanik diperoleh dengan melakukan penggantian variabel momentum
dengan operator momentum, p → p̂ = −i~∇ atau
∂
E → Ê = i (5.38)
∂t
p → p̂ = −i~∇ (5.39)
dan
r → r̂ = r (5.40)
Persamaan Schödinger di atas bersifat linier dan homogen. Persa-
maan Schrödinger hanya terdapat turunan order satu terhadap vari-
abel waktu. Sehingga evolusi dari fungsi gelombang dapat diketahui
jika fungsi gelombang pada waktu tertentu t0 sudah diketahui. Fung-
si gelombang untuk waktu yang lain diperoleh dengan menyelesaikan
persamaan Schödinger.
Sifat-Sifat Fungsi Solusi Persamaan Schrödinger 53
∂Ψ∗ 3
Z
∂ ∗ ∂Ψ
Z
2 3
|Ψ(r, t)| d r = Ψ + d r (5.46)
∂t V ′ V′ ∂t ∂t
Menggunakan persamaan Schrödinger dan juga kompleks konju-
gatnya,
∂Ψ ~2 2
i~ =− ∇ Ψ + V (r, t)Ψ (5.47)
∂t 2m
∂Ψ∗ ~2 2 ∗
−i~ =− ∇ Ψ + V (r, t)Ψ∗ (5.48)
∂t 2m
Setelah substitusi ke persamaan (5.46), kita mendapatkan,
∂ i~
Z Z
3
P (r, t)d = [Ψ∗ (∇2 Ψ) − (∇2 Ψ∗ )Ψ]d3 r (5.49)
∂t V ′ 2m V ′
∂ i~
Z Z
3
P (r, t)d = ∇ · [Ψ∗ (∇Ψ) − (∇Ψ∗ )Ψ]d3 r (5.50)
∂t V ′ 2m V ′
Dengan mendefinisikan arus probabilitas,
∂
Z Z
3
P (r, t)d = − j · da (5.53)
∂t V′ S
∂Ψ∗ 3
Z
∂ ∗ ∂Ψ
Z
2 3
|Ψ(r, t)| d r = Ψ + d r (5.54)
∂t V V ∂t ∂t
∂ 1
Z Z
3
P (r, t)d = [Ψ∗ (ĤΨ) − (ĤΨ∗ )Ψ]d3 r = 0 (5.55)
∂t V i~ V
Z
[Ψ∗ (ĤΨ) − (ĤΨ∗ )Ψ]d3 r = 0 (5.56)
V
atau
Z Z
∗ 3
Ψ (ĤΨ)d = (ĤΨ∗ )Ψ]d3 r (5.57)
∂
Z Z
3
P (r, t)d + j · da = 0 (5.58)
∂t V ′ S
dr p
= (5.60)
dt m
dan
dp
= −∇V (5.61)
dt
Dua persamaan ini dipenuhi oleh nilai ekspektasi atau nilai rata-
rata dari variabel yang bersangkutan.
Perhatikan laju perubahan nilai ekspektasi dari nilai posisi opera-
tor x̂ terhadap waktu adalah sebagai berikut
d d
Z
hx̂i = Ψ∗ xΨd3 r
dt dt
∗ ∂Ψ 3 ∂Ψ∗
Z Z
= Ψx d + xΨd3 (5.62)
∂t ∂t
Z
d
Z
hx̂i = (i~)−1 ∗ 3
Ψ x(ĤΨ)d + (HΨ) xΨd∗ 3
dt
~2 2 ~2
Z Z
−1 ∗ 3 ∗ ∗ 3
= (i~) Ψ x(− ∇ Ψ + V Ψ)d + (− ∇Ψ + V Ψ )xΨd
2m 2m
i~
Z
= [Ψ∗ x(∇2 Ψ) − (∇2 Ψ∗ )xΨd3 r (5.63)
2m
Z Z Z
2 ∗ 3
(∇ Ψ )xΨd r = xΨ(∇Ψ ) · da − (∇Ψ∗ ) · ∇(xΨ)d3 r
∗
S
Z
= − (∇Ψ∗ ) · ∇(xΨ)d3 r
Z Z
= − Ψ ∇(xΨ) · da + Ψ∗ ∇2 (xΨ)d3 r
∗
Z S
= Ψ∗ ∇2 (xΨ)d3 r (5.64)
d
Z
hx̂i = Ψ∗ [x∇2 Ψ − ∇2 (xΨ)]d3 r
dt
i~ ∂Ψ 3
Z
=− Ψ∗ dr
m ∂x
1 ∂
Z
= Ψ ∗ −i~ Ψd3 r
m ∂x
d hp̂x i
hx̂i = (5.65)
dt m
d d ∂
Z
∗
hp̂x i = Ψ −i~ Ψd3 r
dt dt ∂x
∂Ψ∗ ∂Ψ 3
Z
∗ ∂ ∂Ψ 3
Z
= −i~ Ψ d r+ d r
∂x ∂t ∂t ∂x
hbar 2 2 hbar 2 2 ∗
Z
∗ ∂ ∂Ψ 3
Z
3 ∗
=− Ψ − ∇ Ψ+VΨ d r+ − ∇ Ψ +VΨ d r
∂x 2m 2m ∂x
~2
Z
2 ∂Ψ 2 ∗ ∂Ψ ∂ ∂Ψ 3
Z
∗ 3 ∗
= Ψ ∇ − ∇Ψ d r− Ψ (V Ψ) − V dr
2m ∂x ∂x ∂x ∂x
∂ ∂Ψ 3
Z
∗
=− Ψ (V Ψ) − V dr
∂x ∂x
∂V
Z
= − Ψ∗ Ψd3 r
∂x
d ∂V
hp̂x i = −h i (5.66)
dt ∂x
∂
i~ Ψ(r, t) = Ĥ(r, p̂)Ψ(r, t)
∂t
∂
i~ ψ(r)T (t) = Ĥ(r, p̂)ψ(r)T (t)
∂t
∂
i~ψ(r) T (t) = T (t)Ĥ(r, p̂)ψ(r)
∂t
1 ∂ 1
i~ T (t) = Ĥ(r, p̂)ψ(r) (5.68)
T (t) ∂t ψ(r)
Karena sisi kiri persamaan di atas bergantung pada variabel berbe-
da dengan sisi kanan maka kedua sisi bisa sama jika tidak tergantung
kedua variabel atau sama dengan sebuah konstanta. Konstanta yang
kita gunakan adalah E. Mengapa E? Hal ini akan lebih jelas nantinya.
Kemudian kita mendapatkan sebuah persamaan yang bergantung
pada waktu saja,
1 ∂
i~ T (t) = E
T (t) ∂t
∂
i~ T (t) = ET (t) (5.69)
∂t
dan yang bergantung pada ruang saja.
1
Ĥ(r, p̂)ψ(r) = E
ψ(r)
Ĥ(r, p̂)ψ(r) = Eψ(r) (5.70)
∂
Z
P (r, t)d3r = 0
∂t
Z
∗
[−i(E − E )/~] ψ ∗ (r)ψ(r) exp[−i(E − E ∗ )t/~]d3 r = 0
Z
∗
(E − E ) ψ ∗ (r)ψ(r) exp[−i(E − E ∗ )t/~]d3 r = 0
Z
(E − E ) Ψ∗ (r, t)Ψ(r, t)d3r = 0
∗
(5.74)
Z
hÊi = Ψ∗ (r, t)ĤΨ(r, t)d3r
Z
= E Ψ∗ (r, t)Ψ(r, t)d3r
=E (5.75)
Z
hEˆ2 i = Ψ∗ (r, t)Ĥ 2Ψ(r, t)d3 r
Z
2
=E Ψ∗ (r, t)Ψ(r, t)d3r
= E2 (5.76)
∂
Z Z
j · da = − P (r)d3 = 0 (5.79)
S ∂t V
Begitu pula untuk nilai ekspektasi untuk semua variabel dinamika
tidak bergantung pada waktu.
Z
hΩ̂i = [ψ ∗ (r) exp(iEt/~)]Ω̂[ψ(r) exp(−iEt/~)]d3 r
Z
= ψ ∗ (r)Ω̂ψ(r)d3 r (5.80)
Oleh karena inilah jika sistem berada pada keadaan ψ(r) dinamak-
an keadaan stasioner.
Menyelesaikan persamaan eigen Ĥψ = Eψ akan menghasilkan fung-
si solusi yang tak berhingga banyaknya, contohnya ψ1 (r), ψ2 (r), ψ3 (r),
dan seterusnya, dengan nilai eigennya E1 , E2 , E3 dan seterusnya. Ini
berarti bahwa kita memperoleh fungsi gelombang (Ψn (r, t) = ψn (r) exp(−iEn t/~)
yang berbeda untuk setiap tingkatan energi En . Karena persamaan
62 Persamaan Schrödinger
The reader who has read the book but cannot do the exerci-
ses has learned nothing (J.J Sakurai)
pˆx 2 ~2 d 2
Ĥ = T̂ = =− (6.1)
2m 2m dx2
Persamaan Schrödinger yang tidak bergantung waktu atau inde-
penden terhadap waktu yaitu
Ĥψ(x) = Eψ(x)
2
~ d2 ψ(x)
− = Eψ(x) (6.2)
2m dx2
Ingat bahwa fungsi gelombang Ψ(x, t) yaitu
d2 ψ(x) 2mE
+ 2 ψ(x) = 0 (6.4)
dx2 ~
d2 ψ(x)
+ k 2 ψ(x) = 0 (6.5)
dx2
√
di mana k = 2mE/~.
Persamaan (6.5) sering ditemukan ketika kita membahas osilator
harmonik sederhana. Solusi persamaan (6.5) berbentuk,
~2 d 2 ψ
− = Eψ(x) untuk x<0 (6.11)
2m dx2
~2 d 2 ψ
− + V0 ψ(x) = Eψ(x) untuk 0<x (6.12)
2m dx2
Persamaan-persamaan ini kemudian kita sederhanakan menjadi,
d2 ψ 2m
+ 2 Eψ(x) = 0 untuk x<0 (6.13)
dx2 ~
d2 ψ 2m
+ 2 (E − V0 )ψ(x) = 0 untuk x>0 (6.14)
dx2 ~
√ p
Menggunakan kI = 2mE/~ dan kII = 2m(E − V0 )/~, kita mem-
peroleh,
Potensial Tangga 67
d2 ψ
+ kI2 ψ(x) = 0 untuk x<0 (6.15)
dx2
d2 ψ 2
2
+ kII ψ(x) = 0 untuk x>0 (6.16)
dx
Solusi dua persamaan ini berbentuk,
A+B =C
ikI A − ikI B = ikII C (6.22)
kI − kII
B= A
kI + kII
2kI
C= A (6.23)
kI + kII
~ ∗ dψ
j = Im ψ
m dx
~kI
= (1 − |R|2) x<0
m
~
= |T |2Re{kII }e−2xIm{kII } x>0 (6.25)
m
Kita dapat lihat bahwa tidak ada fungsi gelombang yang ditrans-
misikan.
Potensial Penghalang Persegi 69
3. Kasus E < 0
Untuk kasus ini kI = iβ dan kII = iα adalah bernilai imaginer
sehingga pada fungsi gelombangnya terdapat bagian e−βx untuk
daerah x < 0. Ini menyebabkan ψ → ∞ jika x → −∞. Solusi ini
tidak sesuai dengan sifat fungsi square integrable. Jika umpama
solusinya berbentuk
Aeβx
x < 0,
ψ(x) = −αx (6.27)
Be x>0
Tetapi solusi ini tidak memenuhi sifat kontinyuitas. Jadi tidak
ada solusi yang sesuai. Hal ini sesuai ekspetasi secara klasik
bahwa E < 0 tidak bisa diakses.
Nilai potensial V0 > 0 selalu positif. Pada bagian ini hanya kasus
partikel yang mempunyai energi 0 < E < V0 yang akan ditinjau. Kasus
70 Solusi Persamaan Schrödinger Satu Dimensi
~2 d 2 ψ
− + (0 − E)ψ(x) = 0 untuk x < 0 dan x > a (6.29)
2m dx2
~2 d 2 ψ
− + (V0 − E)ψ(x) = 0 untuk 0≤x≤a (6.30)
2m dx2
Persamaan-persamaan ini kemudian kita sederhanakan menjadi,
d2 ψ 2m
+ 2 Eψ(x) = 0 untuk x < 0 dan x (6.31)
dx2 ~
d2 ψ 2m
− 2 (V0 − E)ψ(x) = 0 untuk 0≤x≤a (6.32)
dx2 ~
√ p
Menggunakan kI = kIII = 2mE/~ dan kII = 2m(E − V0 )/~
d2 ψ
2
+ kI2 ψ(x) = 0 untuk x < 0 dan x > a (6.33)
dx
d2 ψ 2
− kII ψ(x) = 0 untuk 0≤x≤a (6.34)
dx2
Solusi dua persamaan ini berbentuk:
Mari kita perhatikan solusi pada daerah I, fungsi ψI terdiri dari dua
fungsi gelombang yang menjalar ke arah +x (fungsi eikI x dan ke arah
−x (fungsi e−ikI x ). Kita asumsikan pada masalah ini situasi partikel
Potensial Penghalang Persegi 71
A+B =C +D
ikI A − ikI B = kII C − kII D
A′ eikI a = CekII a + De−kII a
ikI A′ eikI a = kII CekII a − kII De−kII a (6.41)
A+B =C +D
ikI
(A − B) = C − D
kII
eikI a
A′ k a = C + De−2kII a
e II
ikI eikI a
A′ = C − De−2kII a (6.42)
kII ekII a
72 Solusi Persamaan Schrödinger Satu Dimensi
Eliminasi C,
ikI
A+B− (A − B) = 2D
kII
eikI a
A + B − A′ k a = D[1 − e−2kII a ]
e II
ikI eikI a
A + B − A′ = D[1 + e−2kII a ] (6.43)
kII ekII a
ikI
A+B− (A − B) = 2D
kII
ikI eikI a ikI
× [A + B − A′ k a ] = × D[1 − e−2kII a ]
kII e II kII
ikI a
ikI e
A + B − A′ k a
= D[1 + e−2kII a ] (6.44)
kII e II
Eliminasi A′ ,
ikI
A+B− (A − B) = 2D
kII
ikI ikI
(A + B)[ − 1] = D[ (1 − e−2kII a ) − (1 + e−2kII a )] (6.45)
kII kII
Substitusi D,
ikI
2(A + B) = [A + B − (A − B)]q (6.46)
kII
p = [ kikIII − 1], q = [ kikIII (1 − e−2kII a ) − (1 + e−2kII a )]
ikI ikI
2(A + B) = Aq + Bq − Aq + Bq (6.47)
kII kII
ikI ikI
B[2p − q − q] = A[−2p + q − q] (6.48)
kII kII
ikI
[−2p + q − kII
q]
B= ikI
A (6.49)
[2p − q − kII
q]
Potensial Penghalang Persegi 73
ikI
[−2p + q − kII
q]
C =A+ ikI
A
[2p − q − kII
q]
1 ikI [−2p + q − kikIII q] ikI
− {(1 − )+ ikI
(1 + )}
2 kII [2p − q − kII q] kII
(6.51)
dan
ekII a
A′ = [C + De−2kII a ] (6.52)
eikI a
[Rumus A’ B C dan D perlu disederhanakan]
Setelah disederhanakan kita mendapatkan
(kI2 + kII
2
)(e2kII a − 1)
B= A (6.53)
e2kII a (kI + ikII )2 − (kI − ikII )2
2 −ikI a kII a
4ikI kII e e
A′ = 2k a
A (6.54)
e II (kI + ikII ) − (kI − ikII )2
2
Gambar 6.4:
Ĥψ(x) = Eψ(x)
~2 d2 ψ(x)
− = Eψ(x) (6.60)
2m dx2
atau
d2 ψ(x)
+ k 2 ψ(x) = 0 (6.61)
dx2
p
di mana k 2 = 2mE/hbar 2 atau k = ± 2mE/~2 .
Solusi persamaan diferensial ini berbentuk,
atau
2mE
= k 2 = n2 π 2 /a2
~2
atau
n2 π 2 ~2 n2 h2
En = 2 = (6.66)
a 2m 8ma2
Nilai koefisien A diperoleh dengan ketentuan bahwa total probabi-
litas seluruh ruang adalah 1 atau ternormalisasi, kita memperoleh,
Z ∞ Z a
∗ 2
ψ (x)ψ(x)dx = A sin2 (nπx/a)dx
−∞ 0
(6.67)
Agar lebih mudah, kita mengganti variabel dengan θ = πx/a dan dθ =
(π/a)dx,
∞ π
2a
Z Z
∗
ψ (x)ψ(x)dx = A sin2 (nθ)dθ
−∞ π 0
Z π
2a 1
=A 1 − cos(2nθ)dθ
π2 0
π
2 a 1
=A x− sin(2nθ)
2π 2n 0
2a
=A =1
2
(6.68)
Sehingga koefisien normalisasi adalah
r
2
A= (6.69)
a
Persamaan gelombang yang dihasikan setelah dinormalisasi ada-
lah
r
2 nπx
ψn (x) = sin (6.70)
a a
Sumur Potensial Persegi Tak Berhingga 77
Z ∞
∗
ψm (x)ψn (x)dx = δmn (6.71)
−∞
∞ a
2
Z Z
∗
ψm (x)ψn (x)dx = sin(mπx/a) sin(nπx/a)dx
−∞ a 0
(6.72)
∞
2a π
Z Z
∗
ψm (x)ψn (x)dx = sin(mθ) sin(nθ)dθ
−∞ aπ 0
21 π
Z
= cos[(n − m)θ] − cos[(n + m)θ]dθ
π2 0
π
1 sin[(n − m)θ] sin[(n + m)θ]
= −
π (n − m) (n + m) 0
= 0 jika m 6= n (6.73)
Karena kumpulan fungsi {ψn (x)} adalah komplit maka fungsi apa
saja f (x) dapat direpresentasikan dengan fungsi-fungsi tersebut.
∞ r
X 2 nπx
f (x) = cn sin (6.74)
n=1
a a
a
r
2 nπx
Z
cn = f (x) sin dx (6.75)
0 a a
Ini sesuai dengan ekspansi Fourier atau deret Fourier untuk inte-
rval interval [0,a].
[ grafik decomposisi dengan fourier ]
78 Solusi Persamaan Schrödinger Satu Dimensi
2 1.5
1
1.5
0.5
1
0.5
-0.5
0
-1
-0.5 -1.5
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
1.5 1.5
1 1
0.5 0.5
0 0
-0.5 -0.5
-1 -1
-1.5 -1.5
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
p
Gambar 6.5: Fungsi gelombang ψn (x) = 2/a sin(nπx/a) untuk a = 1
dan n = 1, 2, 3, 4
2.5 2.5
2 2
1.5 1.5
1 1
0.5 0.5
0 0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
2.5 2.5
2 2
1.5 1.5
1 1
0.5 0.5
0 0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
0 jika 0 < x < a,
V (x) = (6.76)
V0 jika x < 0 x>a
Gambar 6.7:
~ d2
− + V (x) ψ(x) = Eψ(x) (6.77)
2m dx2
Untuk potensial Pers. (6.76), persamaan Schrd̈inger menjadi ben-
tuk yang berbeda untuk tiga daerah (I, II dan III).
Untuk daerah I dan III:
~ d2 ψ
− + (V0 − E)ψ(x) = 0 untuk x < 0 dan x > a (6.78)
2m dx2
Untuk daerah II:
~ d2 ψ
− + −Eψ(x) = 0 untuk 0<x<a (6.79)
2m dx2
Persamaan-persamaan ini kemudian kita sederhanakan menjadi,
Untuk daerah I dan III:
d2 ψ 2m
− (V0 − E)ψ(x) = 0 untuk x < 0 dan x > a (6.80)
dx2 ~
80 Solusi Persamaan Schrödinger Satu Dimensi
d2 ψ 2m
+ Eψ(x) = 0 untuk 0<x<a (6.81)
dx2 ~
Untuk daerah I dan III:
d2 ψ
2
− kI2 ψ(x) = 0 untuk x < 0 dan x > a (6.82)
dxq
kI = kIII = 2m
~2
(V0 − E)
Untuk daerah II:
d2 ψ 2
+ kII ψ(x) = 0 untuk 0<x<a (6.83)
q dx2
kII = 2m~2
E
Solusi persamaan diferensial pada tiga daerah ini adalah
B=D (6.93)
kI B = kII C (6.94)
A′ e−kI a = C sin(kII a) + D cos(kII a) (6.95)
kI A′ = kII C cos(kII a) − kII D sin(kII a) (6.96)
(6.97)
D=B (6.98)
kI
C= B (6.99)
kII
kI
A′ e−kI a = B sin(kII a) + B cos(kII a) (6.100)
kII
kI
−A′ kI e−kI a = kII B cos(kII a) − kII B sin(kII a) (6.101)
kII
(6.102)
kI
A′ kI e−kI a = kI B sin(kII a) + kI B cos(kII a) (6.103)
kII
kI
−A′ kI e−kI a = kII B cos(kII a) − kII B sin(kII a) (6.104)
kII
(6.105)
Eliminasi A′ ,
kI kI
[kI sin(kII a) + kI cos(kII a) + kII cos(kII a) − kII sin(kII a)]B = 0
kII kII
(6.106)
Supaya mempunyai solusi non-trivial, maka,
kI kI
[kI sin(kII a) + kI cos(kII a) + kII cos(kII a) − kII sin(kII a)] = 0
kII kII
(6.107)
kI kI
(kI − kII ) sin(kII a)] = −(kI + kII ) cos(kII a) (6.108)
kII kII
82 Solusi Persamaan Schrödinger Satu Dimensi
d2 x
F =m = −kx (7.1)
dt2
atau
d2 x k
2
= − x = −ω 2 x (7.2)
dt m
dengan
r
k
ω= (7.3)
m
Energi potensial sistem harmonik ini adalah V (x) = 12 kx2 .
84 Osilator Harmonik
V ′′ (x0 )
V (x) = V (x0 ) + V ′ (x0 )(x − x0 ) + (x − x0 )2 + · · · (7.4)
2!
Karena x = x0 adalah pada titik ekuilibrium, maka V ′ (x0 ) = 0 se-
hingga pendekatan menjadi
V ′′ (x0 )
V (x) ≈ V (x0 ) + (x − x0 )2 (7.5)
2
Konstanta V (x0 ) dapat diabaikan tanpa mempengaruhi persamaan
gerak (ingat gaya adalah negatif turunan dari energi potensial). De-
ngan membandingkan energi potensial pegas dan energi potensial ini
kita memperoleh konstanta pegas k = V ′′ (x0 ). Aproksimasi ini menun-
jukkan bahwa gerak harmonik sangat berguna untuk mempelajari ge-
rak vibrasi molekul dan benda-benda lainnya asalkan gerakan benda
memiliki amplitudo simpangan yang kecil.
Oleh karena pentingnya potensial harmonik, pada bab ini kita ak-
an mengkaji solusi persamaan Schrödinger untuk potensial harmonik
yang berbentuk V (x) = 21 kx2 = 12 mω 2 x2 . Di sini kita menggunakan
x0 = 0 agar lebih sederhana dan mengabaikan V (x0 ) = 0.
Fungsi Hamiltonian untuk sistem osilator harmonik pada satu di-
mensi adalah
1 1
H(x, px ) = mvx2 + mω 2 x2
2 2
p2x 1
= + mω 2 x2 (7.6)
2m 2
d
Dengan melakukan substitusi p → p̂x ≡ −i~ dx dan x → x, kita
memperoleh operator Hamiltonian yaitu
~2 d 2 1
Ĥ(x, p̂x ) = − 2
+ mω 2 x2 (7.7)
2m dx 2
Metode Aljabar 85
~2 d 2 ψ 1
− + mω 2 x2 ψ = Eψ (7.8)
2m dx2 2
Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
persamaan Schrödinger ini, tetapi hanya dua metode yang akan di-
bahas di bab ini. Metode yang pertama yaitu metode aljabar dengan
menggunakan operator-operator, dan yang kedua mengunakan metode
analitik dengan deret pangkat.
1
â± ≡ √ (p̂x ± imωx) (7.11)
2m~ω
Sekarang kita ingin menjawab pertanyaan ”apakah perkalian ope-
rator â− â+ = (û − iv̂)(û + iv̂) sama dengan bagian kiri persamaan
Schrödinger?” Mari kita pelajari apa yang dihasilkan jika operator per-
kalian dua operator â− â+ dioperasikan pada sebuah fungsi φ.
86 Osilator Harmonik
1 ~ d ~ d
â− â+ φ = − imωx + imωx φ
2m~ω i dx i dx
2
1 2d φ d(xφ) dφ 2 2 2
= −~ + ~mω − ~mωx + m ω x φ (7.12)
2m~ω dx2 dx dx
Ingat bahwa d(xφ)/dx = xdφ/dx + φ. Persamaan ini dapat diseder-
hanakan menjadi
2 !
1 ~ d
â− â+ φ = + (mωx)2 + ~mω φ (7.13)
2m~ω i dx
" 2 #
1 ~ d 1
â− â+ = + (mωx)2 + (7.14)
2m~ω i dx 2
atau
2 !
1 1 ~ d
~ω(â− â+ − ) = + (mωx)2 (7.15)
2 2m i dx
" 2 #
1 ~ d 1
â− â+ = + (mωx)2 − (7.17)
2m~ω i dx 2
atau
2 !
1 1 ~ d
~ω(â− â+ + ) = + (mωx)2 (7.18)
2 2m i dx
Metode Aljabar 87
1
~ω(â+ â− + )ψ = Eψ (7.20)
2
1 1
~ω(â− â+ − )φ− = ~ω(â− â+ − )â− ψ
2 2
1
= ~ω(â− â+ â− − â− )ψ
2
1
= ~ωâ− (â+ â− − )ψ
2
1
= ~ωâ− ((â+ â− + ) − 1)ψ
2
= ~ωâ− (E − ~ω)ψ
= (E − ~ω)â− ψ = (E − ~ω)φ− (7.21)
1 1
~ω(â+ â− + )φ+ = ~ω(â+ â− + ~ω)â+ ψ
2 2
1
= ~ω(â+ â− â+ + â− )ψ
2
1
= ~ωâ+ (â− â+ + )ψ
2
1
= ~ωâ+ ((â+ â− − ) + 1)ψ
2
= ~ωâ+ (E + ~ω)ψ
= (E + ~ω)â− ψ = (E + ~ω)φ+ (7.22)
â− ψ0 = 0 (7.23)
atau
1 ~ dψ0
√ − imωxψ0 =0 (7.24)
2m~ω i dx
atau
dψ0 mω
=− xψ0 (7.25)
dx ~
Persamaan diferensial ini memiliki solusi berbentuk
mω 2
ψ0 = A0 exp(− x) (7.26)
2~
Jika kita substitusi ψ0 ke persamaan Schrödinger kita mendapatk-
an
Metode Aljabar 89
1
~ω(â+ â− + )ψ0 = E0 ψ0
2
1
~ωψ0 = E0 ψ0 (7.27)
2
Jadi energi terendah adalah E0 = 12 ~ω
Dengan mengetahui energi dan fungsi gelombang untuk tingkat-
an energi terendah, kita bisa mendapatkan fungsi gelombang untuk
energi yang lebih tinggi dengan menggunakan operator raising.
mω 2
ψn (x) = An (â+ )n exp(− x) (7.28)
2~
dengan energi
1
En = (n + )~ω (7.29)
2
Sebagai contoh untuk fungsi gelombang ψ1 (x) diperoleh dengan
mω 2
ψ1 (x) = A1 (â+ ) exp(− x)
2~
1 ~ d mω 2
= A1 √ + imωx exp(− x)
2m~ω i dx 2~
1 ~ mω mω 2 mω 2
= A1 √ (− )2x exp(− x ) + imωx exp(− x)
2m~ω i 2~ 2~ 2~
r
2mω mω 2
= A1 i x exp(− x) (7.30)
~ 2~
r
~
x̂ = (â+ + â− ) (7.31)
2mω
dan
r
mω~
p̂x = −i (â+ − â− ) (7.32)
2
operator N̂ ,
~2 d 2 ψ 1
− 2
+ mω 2 x2 ψ = Eψ (7.34)
2m dx 2
dapat disederhanakan agar mudah dalam melakukan simulasi dengan
menggunakan variabel baru yaitu
r
mω
ξ≡ x (7.35)
~
atau dengan substitusi
r
~
x= ξ (7.36)
mω
Turunan pertama dan kedua terhadap variabel ξ didapatkan de-
ngan menggunakan aturan rantai seperti berikut ini.
r
d dξ d mω d
= = (7.37)
dx dx dξ ~ dξ
dan
d2
dξ d dξ d
=
d2 x dx dξ dx dξ
mω d2
= (7.38)
~ d2 ξ
d2 ψ
= (ξ 2 − K)ψ (7.39)
dξ 2
di mana
2E
K= (7.40)
~ω
Metode Analitik 91
d2 ψ
2
≈ ξ 2ψ (7.41)
dξ
yang memiliki solusi
2 /2 2 /2
ψ(ξ) ≈ Ae−ξ + Beξ (7.42)
2
Bagian Bex /2 tentunya bukan merupakan solusi karena bagian ini
menjadi tak berhingga ketika |x| → ∞. Solusi asimtotik yang secara
fisis bisa diterima berbentuk
2 /2
ψ(x) → (..)e−ξ untuk ξ yang besar (7.43)
Jadi bentu solusi yang kita perlukan adalah
2 /2
ψ(x) = h(ξ)e−ξ (7.44)
Kita berharap setelah melakukan substitusi ke persamaan Schrödi-
nger, kita mendapatkan persamaan untuk h(ξ) yang lebih sederhana.
Dengan menggunakan turunan pertama dan kedua,
dψ(ξ) dh 2
= − ξh e−ξ /2 (7.45)
dξ dξ
d2 ψ(ξ)
2
dh dh 2
2
= 2
− 2ξ + (ξ − 1)h e−ξ /2 (7.46)
dξ dξ dξ
Setelah subsitusi ke persamaan Schrödinger, kita mendapatkan per-
samaan
d2 h dh
2
− 2ξ + (K − 1)h = 0 (7.47)
dξ dξ
Untuk mendapatkan solusi persamaan ini kita akan menggunak-
an metode deret pangkat yang mana kita mengasumsikan solusinya
berbentuk
∞
X
h(ξ) = aj ξ j (7.48)
j=0
∞
dh(ξ) X
= jaj ξ j−1
dξ j=1
∞
X
= jaj ξ j−1 (7.49)
j=0
∞
d2 h(ξ) X
= j(j − 1)aj ξ j−2
ξ j=2
∞
X
= (j + 2)(j + 1)aj+2 ξ j (7.50)
j=0
∞
X
[(j + 2)(j + 1)aj+2 − 2jaj + (K − 1)aj ]ξ j = 0 (7.51)
j=0
(2j + 1) − K)
aj+2 = aj (7.53)
(j + 2)(j + 1)
Persamaan ini menghubungkan nilai koefisien tertentu dengan ni-
lai koefisien sebelumnya. Jika kita sudah mengetahui a0 , kita akan
dapat menghasilkan nilai-nilai koefisien a2 , a4 , · · · atau semua koe-
fisien dengan indeks genap. Sedangkan jika kita tahu a1 kita dapat
menghasilkan semua koefisien dengan indeks ganjil.
Sekarang kita perhatikan koefisien untuk indeks j yang besar. Per-
samaan di atas dapat diaproksimasi dengan
1
aj+2 ≈ aj (7.54)
j/2
Metode Analitik 93
C
aj ≈ (7.55)
(j/2)!
X 1
h(ξ) ≈ C ξj
(j/2)!
X1 2
≈C ξ 2j ≈ Ceξ (7.56)
j!
2
Tetapi ini lebih besar dari solusi ψ = (..)eξ /2 yang kita peroleh sebe-
lumnya. Haruslah ada kondisi sehingga semua koefisien untuk indeks
yang besar menjadi nol. Jika kita anggap nilai tertinggi indeks yang
akan menghasilkan nilai nol adalah indeks ke n maka kondisi ini bisa
dihasilkan dengan
K = 2n + 1 (7.57)
atau
1
En = (n + )~ω untuk n = 0, 1, 2, · · · (7.58)
2
Ini menunjukkan bahwa energi terkuantisasi sesuai dengan hasil
sebelumnya tetapi diperoleh dengan cara yang berbeda.
Dengan kondisi ini kita memperoleh rumus,
Untuk n = 0, hanya ada satu solusi yaitu a0 dan kita harus meng-
gunakan a1 = 0.
h0 (ξ) = a0 (7.60)
94 Osilator Harmonik
h1 (ξ) = a1 ξ (7.63)
sehingga
2 /2
ψ1 (ξ) = a1 ξe−ξ (7.64)
untuk n = 2, j = 0 menghasilkan a2 = −2a0 , dan j = 2 memberikan
a4 = 0 sehingga
h2 (ξ) = a0 (1 − 2ξ 2 ) (7.65)
sehingga
2 /2
ψ2 (ξ) = a0 (1 − ξ 2 )e−ξ (7.66)
Secara umum solusi persamaan Schrödinger untuk osilator harmo-
nik adalah
mω 1/4 1 2 /2
ψn (ξ) = √ hn (ξ)e−ξ (7.67)
π~ 2n n!
di mana hn (ξ) adalah polinom Hermite. Polinom-polinom Hermite
dapat dilihat pada Tabel 7.1.
[Grafik psi(x) dan P(x) ]
Notasi Dirac dalam Mekanika
8
Kuantum
Bab ini memperkenalkan dan mengkaji notasi Dirac yang akan digu-
nakan pada bab-bab berikutnya. Notasi ini berguna karena menyatuk-
an secara elegan formulasi-formulasi kuantum. Di samping itu pula,
notasi Dirac memberikan pemahaman yang lebih dibandingkan notasi
lain. Dengan notasi Dirac, penulisan persamaan matematis kuantum
dapat lebih versatile, transparan dan padat, kompak.
8.1 Bra-Ket
Sebelumnya kita menuliskan fungsi gelombang ψ, sebagai contohnya
untuk tiga keadaaan (a, b dan c) dengan ψa , ψb , ψc . Dengan notasi Dirac
kita menuliskan tiga fungsi keadaan ini dengan |ψa i, |ψb i, |ψc i. Atau
bisa lebih singkat dengan cara penulisan |ai, |bi, dan |ci. Huruf yang
kita gunakan di sini a, b, c hanyalah merupakan label atau penan-
da keadaan sistem yang mempunyai fungsi gelombang ψa , ψb , dan ψc .
Kita juga dapat menggunakan label yang lain seperti 1, 2, dan 3 asalk-
an tidak menimbulkan ketidakjelasan. Untuk cara penulisan dengan
jumlah label yang banyak seperti untuk fungsi gelombang untuk kea-
daan partikel di dalam sumur potensial kotak 3D (lihat Bab ?) ψnx ,ny ,nz
dapat dinotasikan dengan |ψnx ,ny ,nz i, atau yang lebih elegan dan lebih
singkat menggunakan notasi |nx , ny , nz i.
Penggunaan notasi Dirac tidak hanya menandakan fungsi gelom-
bang, tetapi juga menandakan vektor keadaan. Notasi ini mengga-
bungkan/menyamakan konsep fungsi gelombang dan vektor keadaan.
Untuk selanjutkan agar tidak membingungkan, kita akan menggu-
nakan fungsi keadaan atau vektor keadaan.
Vektor keadaan | i disebut oleh Dirac dengan nama ”ket” atau ”sta-
96 Notasi Dirac dalam Mekanika Kuantum
Dari definisi ini, jika kita tukar posisi m dan n, kita memperoleh
Z
hn|mi = hψn |ψm i = ψn∗ (r)ψm (r)d3 r
Z ∗
∗ 3
= ψn (r)ψm (r)d r
v = c1 v1 + c2 v2 (8.3)
Prinsip superposisi linier juga berlaku untuk fungsi gelombang.
Bra-Ket 97
hm|mi = 1 (8.10)
Dua ket |mi dan |ni dikatakan orthogonal artinya bahwa perkalian
skalar menghasilkan nol.
hm|ni = 0 m 6= n (8.11)
Jika satu set fungsi basis {φn } atau |ni merupakan fungsi yang
komplit dan orthogonal berarti
98 Notasi Dirac dalam Mekanika Kuantum
cn = hn|ψi (8.16)
Sehingga kita dapat menuliskan
∞
X
|ψi = |nihn|ψi (8.17)
n=1
∞ X
X ∞
hΩ̂iξ = hξ|mihm|Ω̂|nihn|ξi
n=1 m=1
∞ X
X ∞
= hξ|miωn hm|nihn|ξi
n=1 m=1
X∞ X ∞
= hξ|miωn δmn hn|ξi
n=1 m=1
∞
X
= ωn hξ|nihn|ξi
n=1
X∞
= ωn |hn|ξi|2 (8.25)
n=1
|hr|ai|2 d3 r (8.29)
Merupakan probabilitas menemukan partikel di volume elemen d3 r.
Ini menunjukkan bahwa
Z
ha|bi = ha|rihr|bi d3r
Z
= hr|ai∗ hr|bi d3 r
Z
= ψa∗ (r)ψb (r) d3 r (8.32)
Z
cn = ψn∗ (r)Ψ(r)d3r (8.34)
Φ = Ω̂Ψ (8.36)
Jika kita uraikan Φ pada basis fungsi ψn atau |ni,
X X
Φ= dm ψm = dm |mi (8.37)
m m
X X
Ψ= cn ψn = cn |ni (8.38)
n n
di mana
dm = hm|Φi (8.39)
dan
cn = hn|Ψi (8.40)
dm = hm|Φi
= hm|Ω̂Ψi
X
= hm|Ω̂|nicn
n
X
= Ωmn cn (8.41)
n
di mana
d = Ωc (8.44)
Di sini terlihat bahwa operasi menggunakan operator berubah men-
jadi operasi matriks atau operasi aljabar. Persamaan di atas matriks
Ωmn menghubungkan koefisien dm dengan koefisien cn . Jadi matriks
Ωmn merepresentasikan operator Ω̂ pada fungsi basis {ψn } atau vektor
keadaan |ni.
cn = hn|Ψi (8.45)
dn = hn|Φi (8.46)
dan
C= A±B (8.50)
Atau dalam bentuk elemen,
Sifat-sifat Matriks dan Definisi 103
A† = A (8.56)
U−1 = U† (8.58)
atau
UU† = U† U = I (8.59)
104 Notasi Dirac dalam Mekanika Kuantum
1
Ĥ = ~ω(â+ â− + ) (8.62)
2
atau
1
Ĥ = ~ω(â− â+ − ) (8.63)
2
Umpama |Ei merupakan solusi persamaan Schrödinger Ĥ|Ei =
E|Ei,
Ingat bahwa :
â− |E0 i = 0
|E1 i ∝ â+ |E0 i
|E2 i ∝ â+ |E1 i
|E3 i ∝ â+ |E2 i
|En+1 i ∝ â+ |En i (8.64)
Contoh Harmonik Osilator 105
hEn−1 |En−1 i = |dn−1 |2 hEn |â+ â− |En i = |dn−1|2 (n) (8.68)
√
â+ |En i = n + 1|En+1 i (8.69)
√
â− |En i = n|En−1 i (8.70)
(ân )
|En i = √+ |E0 i (8.71)
n!
Dengan basis ortonormal {|En i} yang merupakan fungsi eigen dari
persamaan Schrödinger, maka diperoleh
√0 0 0 0 ...
1 0 0 0 . . .
√
a+ = 0 2 √0 0 . . . (8.72)
0 0 3 0 . . .
.. .. .. .. . .
. . . . .
106 Notasi Dirac dalam Mekanika Kuantum
√
0 1 √0 0 ...
0 0 2 √0 . . .
a− = 0 0 0 3 . . . (8.73)
0 0 0 0 . . .
.. .. .. .. . .
. . . . .
1
0 0 0 ...
2
0 3
0 0 . . .
2
a− = ~ω 0 0 5
(8.74)
0 . . .
2
7
0 0 0 . . .
2
.. .. .. .. . .
. . . . .
Momentum Angular
9
Momentum angular sangat penting. Sifat momentum angular untuk
sistem tidak tergantung pada gaya yang bekerja? tergantung pada
simetri.
Untuk sistem satu partikel yang berada pada potensial V (r), seba-
gian fungsi gelombang ditentukan oleh momentum angular.
Dalam mekanika kuantum momentum angular direpresentasikan
dengan sebuah operator yang sesuai dengan momentum angular kla-
sik yaitu
L=r×p (9.1)
L̂ = r × (−i~∇) (9.2)
x = r sin(θ) cos(φ)
y = r sin(θ) sin(φ)
z = r cos(θ) (9.3)
ingat interval jangkauan untuk variabel (r[0, ∞], θ = [0, π], φ[0, 2π])
dan
ˆ ∂ ∂
Lx = i~ sin(φ) + cot(θ) cos(φ)
∂θ ∂φ
ˆ ∂ ∂
Ly = i~ − cos(φ) + cot(θ) sin(φ)
∂θ ∂φ
∂
Lˆz = −i~ (9.5)
∂φ
∂2
2 2 1 ∂ ∂ 1
L̂ = −~ sin(θ) + (9.7)
sin(θ) ∂θ ∂θ sin2 (θ) ∂φ2
∂2
1 ∂ ∂ 1
− sin(θ) + Y (θ, φ) = λY (θ, φ) (9.9)
sin(θ) ∂θ ∂θ sin2 (θ) ∂φ2
fungsi gelombang,
Untuk molecul dengan dua atom, energi yang terkandung dapat ber-
upa energi rotasi. Di bagian ini kita akan mempelajari, sistem dua
atom/ molekul yang rigid (kaku), atau dengan artian jarak antara ke-
dua atom tidak berubah.
Gambar dua molekul.
Jika kita ambil pusat massa sebagai titik referensi untuk koordi-
nat, maka energi rotasinya untuk kecepatan angular ω adalah
1 1
T = m1 ω 2 r12 + m2 ω 2 r22
2 2
1
= (m1 r12 + m2 r22 )
2
1
= Iω 2 (10.1)
2
Momentum angular untuk sistem ini adalah
L = Iω (10.2)
1 1
T = (Iω)2 = L2 (10.3)
2I 2I
Untuk mengubah ke bentuk operator Hamiltonian, kita menggu-
nakan operator momentum,
L̂ ≡ r̂ × p̂ (10.4)
Untuk potensial eksternal yang konstan dna diabaikan, persamaan
Schrödingernya menjadi,
110 Rigid Rotator
Ĥψ = Eψ
1 2
L̂ ψ = Eψ (10.5)
2I
Jika kita mengubah variabel dan sistem koordinat ke koordinat bo-
la, persamaan Schrödinger menjadi,
−~2 2
L̂ ψ(θ, φ) = Eψ(θ, φ) (10.6)
2I
menjadi persamaan diferensial,
∂2ψ ∂ψ 1 ∂2ψ
+ cot θ + + l(l + 1)ψ = 0 (10.7)
∂θ2 ∂θ sin2 θ ∂φ2
Solusi persamaan ini adalah berupa fungsi ”spherical harmonics”,
|m|
ψl,m (θ, φ) = Yl,m (θ, φ) = APl (θ) exp(imφ) (10.8)
|m|
yang mana A adalah factor normalisasi, Pl (θ) adalah ”associated
Legendre polynomial”. Energi rotasinya adalah
J(J + 1)~2
EJ = (10.9)
2I
ada 0, ±1, ±2, · · · , ±J, J(J + 1) dengan tingkat energi yang sama.
Partikel pada Sumur Potensial
11
Kotak 3D
Sebuah partikel berada pada sumur potensial kotak (tiga dimensi). Po-
tensial kotak diberikan oleh
0 jika di dalam kotak atau 0 < x < Lx , 0 < y < Ly , 0 < z < Lz
V =
∞ di luar kotak
(11.1)
Seperti sebelumnya, fungsi gelombang bernilai nol pada daerah
yang memiliki nilai potensial tinggi atau ∞. Operator Hamilton un-
tuk partikel bebas di dalam kotak yaitu
p̂2 ~2 2 ~2 ∂ 2 ∂2 ∂2
Ĥ = =− ∇ =− + + (11.2)
2m 2m 2m ∂x2 ∂y 2 ∂z 2
Persamaan Schrödinger yang tidak bergantung waktu diberikan
oleh
~2 ∂ 2 ∂2 ∂2
− + + ψ(x, y, z) = Eψ(x, y, z) (11.3)
2m ∂x2 ∂y 2 ∂z 2
Dengan menggunakan metode separasi variabel, kita mengumpa-
makan solusi persamaan Schrödinger berbentuk perkalian fungsi, ψ(x, y, z) =
X(x)Y (y)Z(z). Setelah substitusi ψ(x, y, z) pada persamaan Schrödi-
nger dan pengaturan posisi fungsi X(x), Y (y) dan Z(z), kita dapat
memperoleh,
~2 1 d 2 X ~2 1 d 2 Y 1 d2 Z
− =E+ + (11.4)
2m X dx2 2m Y dy 2 Z dz 2
112 Partikel pada Sumur Potensial Kotak 3D
Kita perhatikan bahwa bagian sisi kiri dan sisi kanan dari persa-
maan (11.4) di atas, mempunyai variabel ruang yang berbeda. Supaya
kedua sisi dari persamaan bernilai sama maka kedua sisi haruslah
bernilai konstanta.
~2 1 d 2 X
− = Ex (11.5)
2m X dx2
~2 1 d 2 Y 1 d2 Z
E+ + = Ex (11.6)
2m Y dy 2 Z dz 2
atau
~2 1 d 2 Y 1 d2 Z
− = (E − Ex ) + (11.7)
2m Y dy 2 Z dz 2
Dengan cara yang sama seperti sebelumnya bahwa dua sisi me-
rupakan fungsi yang variabel yang berbeda, kita mendapatkan dua
persamaan untuk variabel y dan z.
~2 1 d 2 Y
− = Ey (11.8)
2m Y dy 2
~2 1 d 2 Z
− = Ez (11.9)
2m Z dz 2
Jadi kita sudah memisahkan persamaan diferensial dengan fungsi
dengan variabel yang berbeda dan menghasilkan tiga persamaan de-
ngan variabel independen.
~2 d 2 X
− = Ex X (11.10)
2m dx2
~2 d 2 Y
− = Ey Y (11.11)
2m dy 2
~2 d 2 Z
− = Ez Z (11.12)
2m dz 2
(11.13)
113
dan E = Ex + Ey + Ez .
Ini merupakan persamaan yang sama dengan persaman Schrd̈inger
untuk potensial persegi tak berhingga satu dimensi (lihat halaman
75).
Fungsi gelombang yang dihasikan setelah normalisasi adalah
r
2 nx πx
Xnx (x) = sin (11.14)
Lx Lx
s
2 ny πy
Yny (x) = sin (11.15)
Ly Lx
r
2 nz πz
Znz (x) = sin (11.16)
Lz Lx
s
8 nx πx ny πy nz πz
ψ(x, y, z) = sin sin sin (11.17)
Lx Ly Lz Lx Ly Lz
h2
Enx ny nz = 2
[n2x + n2y + n2z ] (11.19)
8ma
Jika kita perhatikan, persamaan di atas, nilai tingkat energi dapat
bernilai sama untuk beberapa tingkat energi. Sebagai contoh, ting-
kat energi (2, 1, 0), (2, 0, 1), (1, 0, 2),(0, 1, 2), (0, 2, 1), dan (1, 2, 0) memiliki
energi E = 6h2 /(8mL2 . Keadaan tingkat energi yang energinya sama
dinamakan degenerasi.
Atom dengan Satu Elektron
12
Pada bab ini kita akan membahas sebuah sistem kuantum, sebuah
atom dengan satu elektron. Ini merupakan contoh sederhana yang me-
miliki solusi analitik. Atom yang memiliki satu elektron seperti atom
hidrogen, Helium dan litium. Atom hidrogen sangat penting karena
ini merupakan sistem pertama Bohr dan Schrodinger mengaplikasik-
an teori mereka. Dengan menyelesaikan persamaan Schrödinger, kita
akan memprediksi tingkatan-tingkatan energi.
Teori Schödinger tidak hanya memprediksi tingkatan energi, tetapi
juga fungsi gelombang yang memberikan fungsi kerapatan probabili-
tas posisi elektron, orbital momentum angular, elektron spin dll.
fondasi untuk sistem multielektron.
walaupun ini satu elektron, tetapi sistem ini memiliki dua partikel
(inti atom) dan elektron.
teknik massa tereduksi;
M
µ= m (12.1)
m+M
di mana m adalah massa elektron dan M adalah massa inti atom.
karena simetri sistem, kita akan menggunakan koordinate bola un-
tuk mempermudah penyelesaian persamaan Schrodinger.
Jadi kita dapat membahas sistem dua elektron ini dengan memper-
timbangkan elektron dengan massa tereduksi bergerak pada potensial
elektrostatik Coulomb,
−Ze2
V (r) = (12.2)
4πǫ0 r
Persamaan Schödinger untuk sistem ini adalah
~2 2
− ∇ ψ(r, θ, φ) + V (r)ψ(r, θ, φ) = Eψ(r, θ, φ) (12.3)
2µ
116 Atom dengan Satu Elektron
∂2
2 1 ∂ 2 ∂ 1 ∂ ∂ 1
∇ = 2 r + 2 sin θ + 2 2 (12.4)
r ∂r ∂r r sin θ ∂θ ∂θ r sin θ ∂φ
Menggunakan metode separasi variabel, kita mnegumpamakan so-
lusi berbentuk,
~2 1 ∂ ∂ 2 RΘΦ
2 ∂RΘΦ 1 ∂ ∂RΘΦ 1
− r + 2 sin θ + 2 2
2µ r 2 ∂r ∂r r sin θ ∂θ ∂θ r sin θ ∂φ2
+ V (r)RΘΦ = ERΘΦ (12.6)
~2 ΘΦ ∂ RΘ ∂ 2 Φ
2 ∂R RΦ ∂ ∂Θ
− r + 2 sin θ + 2 2
2µ r 2 ∂r ∂r r sin θ ∂θ ∂θ r sin θ ∂φ2
+ [V (r) − E]RΘΦ = 0 (12.7)
−2µr 2 sin2 θ
(12.8)
RΘΦ~2
diperoleh,
sin2 θ ∂ 1 ∂2Φ
2 ∂R sin θ ∂ ∂Θ
r + sin θ +
R ∂r ∂r Θ ∂θ ∂θ Φ ∂φ2
− 2µr 2 sin2 θ[V (r) − E] = 0 (12.9)
1 ∂2Φ
Jika kita ubah posisi Φ ∂φ
sehingga menjadi
1 ∂2Φ sin2 θ ∂
2 ∂R 2 2 sin θ ∂ ∂Θ
= − r − 2µr sin θ[V (r) − E] − sin θ
Φ ∂φ2 R ∂r ∂r Θ ∂θ ∂θ
(12.10)
1 ∂2Φ
= −m2ℓ (12.11)
Φ ∂φ2
∂ 2 Φ(φ)
= −m2ℓ Φ(φ) (12.12)
∂φ2
sin2 θ ∂
2 ∂R 2 2 sin θ ∂ ∂Θ
− r − 2µr sin θ[V (r) − E] − sin θ = −m2ℓ
R ∂r ∂r Θ ∂θ ∂θ
(12.13)
m2ℓ
1 ∂ 2 ∂R 2 1 ∂ ∂Θ
r + 2µr [V (r) − E] + sin θ = (12.14)
R ∂r ∂r Θ sin θ ∂θ ∂θ sin2 θ
m2ℓ
1 ∂ 2 ∂R 2 2 1 ∂ ∂Θ
r + 2µr sin θ[V (r) − E] = − sin θ +
R ∂r ∂r Θ sin θ ∂θ ∂θ sin2 θ
(12.15)
1 ∂ 2 ∂R
r + 2µr 2 sin2 θ[V (r) − E] = ℓ(ℓ + 1) (12.16)
R ∂r ∂r
118 Atom dengan Satu Elektron
m2ℓ
1 ∂ ∂Θ
− sin θ + = ℓ(ℓ + 1) (12.17)
Θ sin θ ∂θ ∂θ sin2 θ
∂ 2 ∂R
r + 2µr 2 sin2 θ[V (r) − E]R = ℓ(ℓ + 1)R (12.18)
∂r ∂r
m2ℓ Θ
1 ∂ ∂Θ
− sin θ + = ℓ(ℓ + 1)Θ (12.19)
sin θ ∂θ ∂θ sin2 θ
∂ 2 Φ(φ)
2
= −m2ℓ Φ(φ) (12.20)
∂φ
∂ 2 ∂R
r + 2µr 2 sin2 θ[V (r) − E]R = ℓ(ℓ + 1)R (12.21)
∂r ∂r
m2 Θ
1 ∂ ∂Θ
− sin θ + ℓ2 = ℓ(ℓ + 1)Θ (12.22)
sin θ ∂θ ∂θ sin θ
|mℓ | = 0, 1, 2, 3, . . . (12.28)
Jadi kita mempunyai satu set fungsi yang memenuhi adalah
4πǫ0 ~2
a0 = (12.33)
µe2
dan nilai n tidak sembarangan, melainkan harus, n = ℓ + 1, ℓ + 2, ℓ +
3, . . .
µZ 2 e4 A
En = − 2 2 2
= 2 (12.34)
(4πǫ0 ) 2~ n n
kondisi untuk nilai n, ℓ dan mℓ
|mℓ | = 0, 1, 2, 3, . . .
ℓ = |mℓ |, |mℓ | + 1, |mℓ | + 2, . . .
n = ℓ + 1, ℓ + 2, ℓ + 3, . . . (12.35)
120 Atom dengan Satu Elektron
n = 1, 2, 3, . . .
ℓ = 0, 1, 2, . . . , (n − 1)
|mℓ | = −ℓ, −ℓ + 1, −ℓ + 2, . . . , 0, . . . , +ℓ − 2, +ℓ − 1, +ℓ (12.36)
Kita perhatikan bahwa (a) setiap nilai n, ada sejumlah n nilai ℓ, (b)
untuk setiap ℓ ada sebanyak (2ℓ + 1) nilai mℓ dan (c) untuk setiap nilai
n , ada n2 fungsi eigen yang degenerate.
Teori Perturbasi
13
Tidak banyak solusi dalam kuantum mekanik yang eksak. Banyak
pendekatan dilakukan untuk mendapatkan solusi. Banyak metode su-
dah dibuat untuk mengatasi ini. salah satunya adalah yang dibahas
di bab ini.
Di bab ini dibahas metode pendekatan, yang digunakan khususnya
untuk sistem yang sedikit berbeda dari suatu sistem yang sudah me-
miliki solusi atau dengan kata lain nilai energi eigen dan fungsi eigen
sudah diketahui.
sistem yang kita pelajari memiliki sedikit perbedaan, atau bisa di-
katakan, sistem yang sudah kita ketahui, diberikan suatu perturbasi
atau gangguan.
Ĥ = Ĥ0 + λV (13.1)
di mana Ĥ0 adalah operator Hamiltonian yang tidak memiliki gang-
guan (unperturbed) and λV adalah sebuah gangguan kecil. λ adalah
sebuah parameter riil. Menggunakan perturbasi λV dibandingkan V
saja akan mempermudah kita dalam menentukan (”keeping track”)
orde pendekatan. Disamping itu pula, besar perturbasi dapat diva-
riasikan dengan memvariasikan λ.
Seperti yang kita asumsikan bahwa kita sudah memiliki semua ni-
lai eigen dan fungsi eigen untuk sistem tanpa perturbasi dengan ope-
rator Hamiltonian Ĥ0 .
Di sini Kita asumsikan Ĥ0 bahwa sistem memiliki energi yang disk-
rit dan non-degenerate. Kita akan menggunakan notasi nilai eigen
(0) (0)
dari operator Ĥ0 dengan En dan |ψn i dengan n = 1, 2, 3, · · · . Ingat
(0)
bahwa untuk sistem yang non-degenerate, fungsi keadaan |ψn i ada-
(0)
lah orthogonal. dan kita asumsikan bahwa |ψn i sudah dinormalisasi.
Ingat bahwa
(1) (2) (3)
λEn , λ2 En , λ3 En dan seterusnya merupakan koreksi dari nilai
eigen tanpa perturbasi. dan
(1) (2)
|φn i, |φn i + dan seterusnya adalah koreksi fungsi keadaan.
Kita akan berasumsi dan memilih koreksi fungsi keadaan yang or-
togonal.
(0)
Jika kita kalikan dengan hφn | kedua sisi,
hφ(0) (1) (0) (0) (1) (0) (0) (0) (1) (0)
n |Ĥ0 |φn i − hφn |En |φn i = −(hφn |V |φn i − hφn |En )|φn i (13.15)
(0)
Karena Ĥ0 bersifat Hermitian, untuk fungsi keadaan |ξi dan |φp i
(0)
dari Ĥ0 dengan energi Ep , kita memperoleh,
(1)
Penguraian |φn i ke komponen fungsi keadaan yang tidak tergang-
gu,
X
|φ(1)
n i = anp |φ(0)
p i (13.20)
p6=n
X
En(2) = hφ(0) (1)
n |V |φn i = anp Vnp (13.26)
p6=n
X |Vpn|2
λ2 En(2) = λ2 (0) (0)
(13.27)
p6=n En − Ep
[Contoh aplikasi]
α, β = 1, · · · , s
Kombinasi linier dari fungsi eigen ini juga merupakan fungsi eigen
(0)
dari operator Hamilton dengan energi En . Jadi sistem keadaan yang
menjadi orde ke nol untuk penguraian metode perturbasi, tidak bisa
ditentukan secara unik, jadi merupakan kombinasi dari fungsi eigen
degenerate. Jadi ini yang perlu kita tentukan terlebih dahulu.
s
X
|ψni i = ciα |unαi (13.29)
α=1
(1)
hunβ |V |φni i = Eni hunβ |φni i (13.42)
s
(1)
X
hunα |V |unαiciα = Eni ciβ (13.43)
α=1
X X
i~ȧn (t)|ni exp(−iEn t/~) + En an (t)|ni exp(−iEn t/~)
n n
X
′
= an (t)(Ĥ0 + λĤ |ni exp(−iEn t/~) (14.5)
n
128 Perturbasi tergantung waktu
X
i~ȧk (t) exp(−iEk t/~) = an (t)hk|λĤ ′ |ni exp(−iEn t/~) (14.6)
n
Ek − En
ωkn = (14.7)
~
sehingga kita mendapatkan,
1 X
ȧk (t) = hk|λĤ ′|nian (t) exp(iωkn t) (14.8)
i~ n
(0)
ȧk = 0 (14.10)
(s+1) 1 X
ȧk = hk|λĤ ′|nia(s)
n exp(iωkn t) (14.11)
i~ n
(1)
kita gunakan ak (t = −∞) = 0. Kita perhatikan bahwa untuk tran-
sisi antara tingkat energi, tergantung pada elemen matriks antara dua
keadaan hk|Ĥ ′|mi.
Sistem Dua Tingkat Energi 129
X
|ψ0 i = cn |un i (14.14)
n
dengan
X
|ψ(t)i = cn |un ie−iEn t/~ (14.16)
n
ingat bahwa
1.
2.
Indeks
Newton, 3