Anda di halaman 1dari 39

DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

Makalah

Oleh:
M. Agus Martawijaya
Iis Mardiana
Heriyati
Aslim

Diajukan dalam Mata Kuliah Perspektif dan Inovasi Pendidikan


yang diampu oleh Bapak Prof. Dr. H. Arismunandar, M.Pd
bersama Bapak Dr. Ismail Tola, M. Pd pada
Program Studi S3 Ilmu Pendidikan

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASAR

2010
KATA PENGANTAR

Segala Puji dan Syukur Kehadirat Allah S.W.T atas segala limpahan
rahmat dan hidayah-Nya kepada kita umat manusia, salawat dan taslim untuk
Nabi Besar Muhammad SAW yang telah mengangkat dan menunjukkan jalan
yang lurus bagi kita umat manusia.
Berkenaan dengan tugas Pembuatan Makalah Pendidikan dari Bapak
Prof. Dr. H. Arismunandar, M.Pd bersama Bapak Dr. Ismail Tola, M.Pd dalam
mata kuliah Inovasi Pendidikan pada program S3 Ilmu Pendidikan Program
Pascasarjana Universitas Negeri Makassar, kami mendapatkan tugas untuk
membuat makalah dengan judul Discovery dalam Pendidikan.
Makalah ini kami buat dengan berdasar kepada upaya Pemerintah, dalam
hal ini Menteri Pendidikan Nasional bersama Badan Standar Nasional
Pendidikan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan melalui upaya inovasi
pendidikan di negara kita sehingga pada gilirannya bangsa Indonesia setara
dengan bangsa-bangsa lain di dunia ini.
Sebagai manusia yang tidak luput dari segala kekurangan sehingga saya
menyadari jika dalam makalah ini tetap terdapat kekurangan. Oleh karena itu,
saya memohon maaf sebesar-besarnya.

Makassar, April 2010


DISCOVERY DALAM PENDIDIKAN

A. PENDAHULUAN
Telah kita ketahui dalam abad milinium ini ciri utamanya adalah terjadinya
globalisasi pada setiap aspek kehidupan. Globalisasi mengandung arti terjadinya
keterbukaan, kesejagatan, dimana batas-batas negara tidak lagi menjadi
penting. Salah satu yang menjadi trend dan merupakan ciri globalisasi adalah
adanya persamaan hak.
Dalam konteks pendidikan, persamaan hak itu tentunya berarti bahwa
setiap individu berhak mendapat pendidikan yang setinggi-tingginya dan sebaik-
baiknya tanpa memandang bangsa, ras, latar belakang ekonomi, maupun jenis
kelamin. Dengan adanya kesamaan hak ini, terjadi kehidupan yang penuh
dengan persaingan karena dunia telah menjadi sangat kompetitif. Oleh karena
itu, mau tidak mau setiap orang mesti berusaha untuk menguasai ilmu dan
teknologi agar dapat ikut dalam persaingan, dan jika tidak, maka kita akan
ditinggalkan.
Terkait dengan hal tersebut di atas, sudah seharusnya pendidikan mampu
menjawab tantangan abad milinium ini. Dengan perkataan lain, pendidikan harus
mampu menyediakan kesempatan bagi setiap peserta didik untuk memperoleh
pengetahuan, keterampilan, serta nilai-nilai sebagai bekal bagi mereka dalam
memasuki persaingan dunia yang kian hari semakin ketat. Selain dari adanya
kesempatan yang seluas-luasnya yang disediakan, hal yang tidak kalah
pentingnya adalah memberikan pendidikan yang bermakna (meaningfull
education) kepada peserta didik. Hal ini cukup beralasan, karena hanya dengan
pendidikan yang bermakna peserta didik dapat dibekali kecakapan hidup,
sedangkan pendidikan yang tidak bermakna (meaningless education) hanya
akan menjadi beban hidup.
Untuk dapat mewujudkan pendidikan yang bermakna, maka sistem
pendidikan harus mengalami perubahan, karena disadari bahwa perubahan
adalah ciri khas pendidikan. Hal ini mudah Hal ini mudah dapat dipahami, karena
kebutuhan manusia selalu berubah dan berkembang, serta permasalahan selalu
meningkat. Berkenaan dengan itu, maka salah satu tugas pendidik dan penentu
kebijakan di bidang pendidikan adalah selalu berusaha untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan manusia dengan jalan melaksanakan pendidikan yang
bermuara kepada pencapaian tujuan pendidikan agar peserta didik kelak dapat
melaksanaan tugas-tugas di masyarakat yang selalu mengalami proses
perubahan dan perkembangan. Kebutuhan dalam konteks pendidikan ialah
kebutuhan individu atau masyarakat sesuai dengan keadaan sistem ekologi/
lingkungan, ekonomi-sosial dan budaya, dan kebutuhan sebagai akibat
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pembangunan.
Berdasarkan situasi dan kondisi pendidikan di negara kita, maka sejak
beberapa tahun terakhir ini, Departemen Pendidikan Nasional (Kementerian
Pendidikan Nasional) telah dan terus membiayai program-program perubahan
dan pengembangan sistem pendidikan. Untuk dapat melaksanakannya, maka
semua oknum yang terlibat dalam sistem pendidikan harus memiliki kemampuan
melakukan ”Discovery” atau “Penemuan” yang dapat diterapkan dalam
pelaksanaan pendidikan.
Untuk kemajuan bangsa dan negara kita, sehingga mampu mensejajarkan
diri dengan bangsa-bangsa lain, maka kemampuan melakukan discovery bagi
masyarakat harus dimulai dari bangku pendidikan, khsusnya pendidikan formal.
Berkenaan dengan tugas makalah ini, maka kami memusatkan pembahasan
pada “discovery” sebagai metode pembelajaran yang ditunjang oleh
keterampilan proses, kreativitas, dan metode ilmiah.

B. Apakah Discovery itu ?


Discovery mempunyai makna penemuan sesuatu yang sebenarnya
sesuatu itu telah ada sebelumnya, tetapi belum diketahui. Sedangkan invensi
adalah penemuan yang benar-benar baru sebagai hasil kegiatan manusia. Anna
Poejiadi (2001) memberikan penjelasan: Secara harfiah to discover berarti
membuka tutup. Artinya sebelum dibuka tutupnya, sesuatu yang ada di
dalamnya belum diketahui orang. Sebagai contoh perubahan pandangan dari
geosentrisme menjjadi heliosentrisme dalam astronomi. Nicolas Copernicus
memerlukan waktu bertahun-tahun guna melakukan pengamatan dan
perhitungan untuk menyatakan bahwa bumi berputar pada porosnya, bahwa
bulan berputar mengelilingi matahari dan bumi, bahwa planet-planet lain juga
berputar mengelilingi matahari. Kesalahan besar yang ia lakukan adalah bahwa
ia yakin semua planet (termasuk bumi dan bulan) mengelilingi matahari dalam
bentuk lingkaran. Penemuan ini menggugah Tycho Brahe melakukan
pengamatan lebih teliti terhadap gerakan planet. Data pengamatan kemudian
membuat Johanes Kepler akhirnya mampu merumuskan hukum-hukum gerak
planet yang tepat. Penemuan ketiga tokoh tersebut merupakan ”discovery”.
Banyak ahli pendidikan yang menyamakan arti antara discovery dan
inquiry, sedangkan yang ahli pendidikan lainnya membedakan artinya. Carin
(1985) menyatakan bahwa ”discovery” adalah suatu proses mental di mana
individu mengasimilasi konsep dan prinsip-prinsip. Dengan perkataan lain,
”discovery” terjadi apabila individu terutama terlibat dalam menggunakan proses
mentalnya untuk menemukan beberapa konsep atau prinsip. Misalnya,
seseorang menemukan apakah energi itu?, berarti ia membangun konsep
tentang energi, selanjutnya ia menemukan suatu prinsip ilmiah ”energi tidak
dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, hanya dapat berubah dari satu
bentuk ke bentuk yang lain (energi listrik berubah menjadi energi gerak dan
sebaliknya).

C. DISCOVERY DAN KETERAMPILAN PROSES


Untuk dapat melakukan discovery, seseorang mengimplementasikan
proses mental yang tergolong ”keterampilan proses”. Secara umum,
keterampilan proses dapat diartikan sebagai keterampilan yang dimiliki oleh
para ilmuwan dalam memperoleh pengetahuan, dan mengkomunikasikan
perolehannya. Keterampilan tersebut berarti kemampuan menggunakan pikiran,
nalar, serta perbuatan secara efisien dan efektif untuk mencapai hasil tertentu,
termasuk kreativitas. Dengan demikian, keterampilan proses meliputi
kemampuan olah pikir dan kemampuan olah perbuatan.
Ratna Wilis Dahar (1985) mengemukakan pendapat Gagne yang
menyatakan bahwa pengetahuan hanya dapat diperoleh jika seseorang memiliki
kemampuan-kemampuan dasar tertentu. Kemampuan dasar yang dimasudkan
itu adalah keterampilan proses yang dapat dibedakan atas keterampilan proses
dasar dan keterampilan proses terintegrasi Subiyanto (1988).
Jenis keterampilan proses dasar antara lain: (1) observasi; ((2) klasifikasi;
(3) komunikasi; (4) pengukuran; (5) prediksi; dan (6) penarikan kesimpulan. Jenis
keterampilan proses terintegrasi antara lain: (1) mengidentifikasi variabel; (2)
menyusun tabel data; (3) menyusun grafik; (4) menggambarkan hubungan
antara variabel-variabel; (5) memperoleh dan memproses data; (7) menyusun
hipotesis; (8) merumuskan definisi operasional variabel; (9) merancang
eksperimen/percobaan; dan (10) melakukan eksperimen/percobaan. Berikut ini
jelaskan secara singkat mengenai beberapa jenis keterampilan prose beserta
kemampuan yang tercakup di dalamnya.

1. Observasi
Disadari sepenuhnya bahwa pada hakekatnya aalam berbicara dengan
bahasanya sendiri, yalitu dalam bentuk global, bentuk detil, warna, pola, gejala,
dan sebagainya. Semua itu dapat kita peroleh dengan menggunakan salah satu
atau beberapa indera yang disebut hasil observasi (pengamatan).
Mengamati adalah keterampilan mengambil informasi/data dari obyek
atau peristiwa dengan cara memperhatikan obyek atau peristiwa itu melalui
salah satu atau beberapa indera (penglihatan, pendengaran, penciuman,
pengecapan, dan perabaan). Memperhatikan obyek atau peristiwa mengandung
arti bahwa pengamatran buka semata-mata kerja alat indera, tetapi juga
melibatkan kerja pikiran.
Pengambilan informasi/data melalui pengamatan tidak seperti karet busa
menyerap air, pengamatan tidak dapat menyerap semua informasi atau semua
hal yang ada. Hal ini dimaksudkan karena dalam pengamatan orang memilih apa
yang dapat diamati dan pemilihan itu dipenhgaruhi oleh pengtahuan dan
gagasan yang ada di dalam pikirannya. Oleh karena itu, sebelum melakukan
pengamatan terlebih dahulu ditentukan: apa saja yang akan diamati ?, kapan
diamatinya ?, berapa lama mengamatinya ?.
Tidak semua obyek atau peristiwa dapat diamati secara langsung dengan
menggunakan alat indera, karena ada obyek atau peristiwa yang hanya dapat
diketahui dari mengamati gejalanya saja. Contohnya “pengamatan mengenai
arus listrik”. Jika sebuah kabel dihubungkan dengan baterai, kita tidak
mengetahui secara langsung ada tidaknya arus listrik yang mengalir. Untuk
dapat mengetahuinya, harus dipasang bola lampu atau alat ukur pada rangkaian
listrik tersebut. Melalui bola lampu hanya dapat diamati gejalanya saja, yaitu
pada saat bola lampu berpijar, tetapi arus listriknya tetap tidak teramati oleh alat
indera. Namun demikian, dengan mengamati bola lampu saja, sudah
meyakinkan bahwa ada arus liktrik yang mengalir di dalam kabel. Keyakinan
tersebut timbul berdasarkan pada pengalaman dan teori yang menyatakan
bahwa jika bola lampu berpijar, maka ada arus listrik yang melalui bola lampu
tersebut.
Pengamatan yang langsung menggunakan alat indera tanpa bantuan alat
ukur merupakan pengamatan kualitatif. Pengamatan kualitatif tidak memperoleh
hasil pengamatan dalam bentuk angka, tetapi dalam bentuk pernyataan.
Misalnya: air di dalam wadah A lebih tinggi suhunya di banding air di dalam
wadah yang lain. Pengamatan yang menggunakan bantuan alat ukur merupakan
pengamatan kuantitatif, apakah dengan menggunakan alat ukur standar atau
alat ukur tidak standar. Pengukuran dengan menggunakan alat ukur yang tidak
standar tidak dapat dikomunikasi secara tepat atau akurat.
Pengamatan berfungsi untuk memilih apa yang dapat diamati, dan
pemilihan itu dipengaruhi oleh pengetahuan dan gagasan yang ada di dalam
pikiran seseorang. Oleh karena itu, sebelum dilakukan pengamatan perlu
ditentukan apa saja yang akan diamati. Jika pengematan tidak memiliki tujuan
yang jelas, maka pengamat akan bingung memilih hal-hal yang harus diamati,
karena banyak hal yang dapat diamati. Ketidaktahuan mengenai apa yang harus
diamati, bagaimana cara mengamatinya, berapa lama mengamatinya
menyebabkan ketidaktentuan dalam pengambilan informasi melalui pengamatan.
Hal ini akan menimbulkan tidak tercapainya tujuan pengamatan.
Terdapat sejumlah kemampuan yang tercakup dan mendukung
keterampilan observasi, yaitu: melihat, mendengar, meraba, membau, mengecap
(mencicipi), menyimak, mengukur, dan membaca.

2. Klasifikasi
Klasifikasi adalah pengelompokan obyek-obyek (benda, fakta, konsep,
nilai, tujuan atau kepentingan tertentu). Untuk melakukan pengelompokan, perlu
ditinjau persamaan dan perbedaan antara obyek-obyek. Dengan perkataan lain,
pengklasifikasian dilakukan dengan cara mencari kesamaan ciri dari obyek-
obyek, kemudian obyek-obyek itu diklasifikasikan ke dalam suatu kelompok dan
diberi label yang namanya dapat diambil dari kategori itu.
Fungsi pengklasifikasian adalah untuk mengenal karakteristik di luar ciri
yang diketahui. Mengenal ciri suatu obyek dapat membantu seseorang dalam
melakukan klasifikasi obyek tersebut. Lebih dari itu, dapat dikenal karaketrisitik
lain yang terkandung dalam kelasifikasi obyek tersebut.
Terdapat sejumlah kemampuan yang tercakup dan mendukung
keterampilan klasifikasi, yaitu: mencari persamaan (menyamakan), mencari
perbedaan (membedakan), membandingkan, mengkontraskan, dan mencari
dasar pengelompokan.

3. Interpretasi
Pada umumnya data yang terlumpul dari hasil observasi dicatat dan
dikemukakan atau disajikan ke dalam berbagai bentuk, seperti: tabel, bagan,
matriks, grafik, dan diagram. Untuk menarik kesimpulan dari suatu penelitian
misalnya, terlebih dahulu dilakukan interpretasi (penafsiran) terhadap data-data
yang diperoleh. Dengan demikian, kesimpulan yang ditarik tentu saja berdasar
pada data-data yang diperoleh.
Terdapat sejumlah kemampuan yang tercakup dan mendukung
keterampilan menfasirkan, yaitu: menaksir, memberi arti (mengartikan),
meproposisikan, mencari hubungan ruang/waktu, menemukan pola, menarik
kesimpulan, dan mengeneralisasikan.

4. Memprediksi
Memprediksi ialah menduga sesuatu yang akan terjadi berdasarkan fakta
yang ada. Prediksi biasanya dibuat dengan cara mengenal kesamaan dari hasil
berdasarkan pada pengetahuan yang sudah ada, mengenal bagaimana
kebiasaan terjadinya sesuatu peristiwa, atau melihat kecenderungan. Prediksi
berkaitan erat dengan observasi, klasifikasi, dan penarikan kesimpulan. Prediksi
didasarkan pada observasi yang saksama dan penarikan kesimpulan yang sahi
mengenai hubungan antara peristiwa-peristiwa yang diobservasi. Penarikan
kesimpulan adalah penjelasan atau interpretasi observasi.
Kebalikan dari memprediksi adalah menginfer, yaitu menduga dengan
pasti sesuatu yang tersembunyi di balik fakta yang teroservasi. Menginfer dapat
dilakukan dengan cara mengamati fakta yang ada untuk menentukan kondisi
komponen dan atributnya (cirinya) pada fakta tersebut. Menduga akibat atau
penyebab dengan cara membandingkan fakta yang dihadapi dengan fakta yang
sudah dikenal. Jika faktanya sama, maka akibat atau penyebabnya juga akan
sama.
Terdapat sejumlah kemampuan yang tercakup dan mendukung
keterampilan memprediksi, yaitu: mengantisipasi berdasarkan kecenderungan,
mengantisipasi berdasarkan pola, dan mengantisipasi berdasarkan hubungan
antara data atau informasi.

5. Mengaplikasi
Mengaplikasi atau menerapkan adalah menggunakan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang dimiliki ke dalam situasi atau pengalaman baru.
Menerapkan konsep yang dimiliki oleh seseorang tidak hanya berlangsung pada
saat ia melakukan percobaan, bahkan dalam memecahkan masalah yang
dihadpi dalam kehidupan sehari.
Terdapat sejumlah kemampuan yang tercakup dan mendukung
keterampilan mengaplikasi, yaitu: menggunakan (informasi, kesimpulan, konsep,
hukum, teori, sikap, keterampilan) pada sistuasi baru, menghitung, menentukan
variabel, mengendalikan variabel, mengubungkan konsep, merumuskan
pertanyaan penelitian, merumuskan hipotesis, dan membuat model.

6. Merencanakan Penelitian
Suatu penelitian ilmiah biasanya bertujuan unbtuk menguji kebenaran
suatu teori atau sebagai kegiatan untuk menemukan sesuatu yang baru.
Merencanakan penelitian adalah keterampilan yang amat penting, karena
rencana itu sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan penelitian tersebut.
Keterampilan merencakan penelitian secara prima diperoleh melalui latihan-
latihan.
Terdapat sejumlah kemampuan yang tercakup dan mendukung
keterampilan merencanakan penelitian, yaitu: menentukan masalah atau obyek
yang akan diteliti, menentukan tujuan penelitian, menentukan ruang lingkup
penelitian, menentukan sumber data/informasi, menentukan cara analisis data,
menentukan prosedur pengumpulan data, menetukan alat (bahan dan sumber
kepustakaan), dan menentukan cara melakukan penelitian.

7. Mengkomunikasikan
Mengkomunikasikan adalah menyampaikan perolehan kepada orang lain
dalam bentuk lisan, tulisan, gambar, gerak, tindakan atau penampilan. Terdapat
sejumlah kemampuan yang tercakup dan mendukung keterampilan
mengkomunikasikan, yaitu: berdiskusi, mendeklamasikan, mendramakan,
bertanya, merenungkan, mengarang, memperagakan, mengungkapkan, dan
melaporkan

E. DISCOVERY DAN KREATIVITAS


Manusia memiliki tiga potensi dasar, yaitu: pikir, nafsu, dan rasa yang
dapat dikembangkan melalui proses pendidikan. Dalam pengembangan
pengembangan potensi berpikir, Paul Torrance mengkhususkan pada
pengembangan potensi berpikir kreatif (Juariah Adang, 1993).
Sejak tahun 1961 orang telah menaruh perhatian pada berpikir kreatif,
yaitu cara berpikir yang paling penting dalam membuat keputusan dan tindakan
yang lebih jauh daripada berpikir dengan rasio, seperti: mengingat,
membandingkan, dan menganalisis. Di Amerika Serikat, berpikir kreatif
(kreativitas) merupakan tujuan pendidikan, selain dari 10 tujuan pendidikan yang
telah dusulkan oleh Educational Policies Commission. Kemampuan berpikir yang
diusulkan oleh komisi tersebut adalah: mengingat, mengimajinasi,
menggolongkan, mengeneralisasi, membandingkan, mengevaluasi,
menganalisis, mensintesis, mendeduksi, dan menginduksi (Lawson, 1979).
Kreativitas yang dimiliki oleh manusia lahir bersamaan dengan lahirnya
manusia itu sendiri. Sejak lahir, manusia memperlihatkan kecenderungan untuk
mengaktualisasi dirinya yang mencakup kreativitas. Conny Semiawan dkk.
(1991) mengemukakan bahwa kreativitas adalah suatu kondisi, sikap, atau
keadaan yang memiliki sifat sangat khusus dan hampir tidak pernah dirumuskan
secara tuntas.
Beberapa tahun terakhir ini sejumlah ahli telah melakukan berbagai
penelitian dalam usaha perumusan mengenai kreativitas. Akan tetapi, setiap kali
pengertian itu dirumuskan, tak pernah dipahami sepenuhnya. Juga telah
dipahami bahwa setiap anak memiliki kadar kreativitas tertentu, tetapi kadar itu
berkurang atau bahkan menghilang pada waktu ia menjadi dewasa. Oleh karena
itu, sedang dicari keseluruhan pengertian kreativitas yang sifatnya terintegrasi
dan kompleks. Ada orang yang beranggapan bahwa kreativitas sama dengan
keterbakatan, ada yang mengaitkannya dengan penalaran dan kemampuan
afektif, tetapi semuanya itu merupakan pengertian yang terbatas.
Konsep terbaru dari kreativitas didasarkan pada fungsi dasar: berpikir,
merasa, ciptaan temuan yang orsinil, dan intuisi. Berikut ini dikemukakan bagan
mengenai model integratif yang mencakup empat fungsi dasar tersebut.
Kondisi kesadaran yang
diperoleh dari kesadaran =
intuisi

Kondisi berpikir, Kondisi perasaan,


rasional, terukurkan = dampak emosional
berpikir KREATIVITAS yang menuntut
kesadaran diri,
aktualisasi diri =
perasaan

Kondisi cipta yang orsinil,


produk baru, diperoleh dari
orang lain.
Tuntutan = keterampilan
Tinggi = penginderaan

Ketika menjelaskan proses kreativitas dalam perkembangan ilmu


pengetahuan, Gowan (1981) menyorotnya dari otak secara totalitas. Semua
sistem otak manusia terlibat pada tingkat tinggi, pada saat terjadi kreativitas.
Oleh karena itu, kreativitas dibedakan atas dua jenis yaitu kreativitas personal
dan kreativitas kultural. Pada diri setiap manusia dapat ditumbuhkan kreativitas
personal karena setiap manusia memiliki dasar kreativitas tertentu, tetapi
kreativitas yang akan memberikan urunan terhadap penemuan-penemuan besar
yang membangkitkan kebudayaan atau peningkatan kehidupan manusia secara
kualitatif disebut kreativitas kultural yang merupakan pernyataan tertinggi
kreativitas manusia.
Meskipun setiap fungsi dasar kreativitas memiliki ciri-ciri serta kelebihan
dan kekurangan masing-masing, kreativitas akan terwujud jika fungsi yang satu
berinteraksi dengan fungsi yang lain. Oleh karena itu, pertumbuhan dan
berfungsinya semua fungsi tersebut dalam suatu interaksi yang holistik
(menyeluruh) merupakan tujuan yang harus dicapai dalam pelayanan
pendidikan.
Empat fungsi kreatif dapat disimak dari pendapat para ahli, sebagaimana
yang dikemukakan oleh Conny Semiawan, dkk (1991). Meskipun mereka
melihatnya dari satu fungsi, pengamatannya didasarkan pada penjabaran fungsi
lain dalam mengembangkan pendapatnya.
Kreativitas ditinjau dari fungsi rasa, dapat dilihat dari pendapat para ahli
seperti berikut ini.
1. Creativeness has its roots in the initiative which comes into being only
when there is deep discontent … One must be wholly discontented not
complainingly, but with joy, with gaiety, with love (Krisnamurti, 1964).
2. Self-actualizing creativeness … sprang directly from the personality, which
showed itself widely in ordinary affairs of life and which showed itselt not
only in great and obvious products but olso in many other ways…, a
tendency to do anything creatively …expressive of being quality…ruther
than its problems-solving or product-making quality … a defining
characteristic of essential humanness (Maslow, 1959).
3. Creativity is the encounter of an intesively conscious human being with his
word (May 1959).
4. To be creative means to expreience life in one’s own may, to percieve
from one’s own person, to draw upon one’s own rsouces, capacities,
roots, … Only from the search into oneself can the creative emerge
(Moutakas, 1967).
5. Transactional motivation the person shapes the environment rather than
being shaped by the environment and environmental stimulation (behavior
is initiated toward unpredictable but creative outcomes) combine to from a
system he call creative trans actualization that is in continuity with self
actualization (Taylor, 1976).
Kreativitas ditinjau dari fungsi rasio, dapat dilihat dari pendapat para ahli
seperti berikut ini.
1. Attitude traits tha belong most clearly logically in the area of creativity
… fluency of thinking and flexibility of thinkin, as well as originality,
sensivity to problems, redefinitions and elaborations … classifiable in a
group of divergen thinking abilities (Guilford, 1959).
2. The process of sensing gaps or disturbing missing elements; forming
new hypotheses and communicating the results; possibly modifying,
and resisting the hypotheses (Torrance, 1962).
3. Interested most in scientific creatific creative ability, he discusses five
levels of creativity; expressive, productive, inventive, innovative, and
emergenative (Taylor, 1959). He views the steps in the process as
mental labor, incubation, illumination, and delibrate effort.
Kreativitas ditinjau dari fungsi keterampilan, dapat dilihat dari pendapat
para ahli seperti berikut ini.
1. Sees the product the artist has created as a model of the artist’s
attitude toward a phenomenon. He creates the model with the aim of
getting to know, checking and specifying his attitudes (Simonov, 1970).
2. The birth of an idea and its embodiment in from recognizable by
someone or society as valuable (Rhodes, 1963).
3. Also sees this area when he says, Creativity is bringing something new
into birth … as the representation of the highest degree of emotional
helath (May, 1959).
4. In recognizing this type this type of creativity states “emergence
inaction of anovel rational product, growing out of the circumtances of
his life on the other” (Rogers, 1954).
Para ahli psikologi yang membahas kereativitas, dan mengemukakan
konsep sebagai berikut.
1. Berpikir kreatif memiliki sifat adaptif
2. Berpikir kreatif menggabungkan kemampuan irrasional dari pikiran tak
sadar dengan mekanisme kognitif dan logis, serta kemampuan rasional
dari pikiran sadar.
3. Berpikir kreatif menggabungkan fungsi intelektual dan fungsi emosi,
sehingga berpikir kreatif menggambarkan proses aktualisasi diri.
4. Berpikir kreatif mengandung konsep antitetik dari berpikir abstrak dan
berpikir homospasi, sehingga merupakan unit yang bertentangan tapi
terpadu seperti kebebasan yang terpimpin dan kejutan yang wajar.
5. Berpikir kreatif tidak sama dengan berpikir logi, bisa saja langkah-langkah
pada proses berpikir kreatif tidak logis atau keliru.
6. Berpikir kreatif merupakan berpikir lateral, yaitu beberapa informasi bisa
diproses secara bersama-sama (serempak). Inilah yang membedakannya
dengan dengan berpikir logis, di mana informasi diproses secara
berurutan (sekuensial) dan satu persatu.
7. Berpikir kreatif melalui belahan otak sebelah kanan yang memprose
informasi secara non linier, secara intuitif, dan secara serempak yang
melibatkan informasi melalui gambar, pendengaran, gerakan-gerakan,
dan emosi yang diolah secara holistik (Gestalt).
Sejalan dengan penjelasan di atas, Utami Munandar (1987)
mengemukakan ciri-ciri kreativitas ditinjau dari segi aptitude dan segi afektif. Ciri-
ciri tercakup di dalam aptitude adalah keterampilan berpikir lancar, keterampilan
berpikir luwes, keterampilan berpikir orisinal, keterampilan mengelaborasi, dan
keterampilan mengevaluasi. Definisi dan perilaku individu yang tercakup dalam
ciri-ciri yang bersifat aptitude sebagai berikut.

1. Keterampilan Berpikir Lancar


Definisi: (1) mencetuskan banyak gagasan, jawaban, penyelesaian
masalah, atau pertanyaan; (2) memberikan banyak cara atau saran untuk
melakukan berbagai hal; dan (3) selalu memikirkan lebih dari satu jawaban.
Perilaku individu: (1) mengajukan banyak pertanyaan; (2) menjawab
dengan sejumlah jawaban jika ada pertanyaan; (3) mempunyai banyak gagasan
mengenai suatu masalah; (4) lancar mengungkapkan gagasannya; (5) bekerja
lebih cepat dan melakukan lebih banyak dari individu yang lain; dan (6) dapat
dengan cepat melihat kesalahan atau kekurangan pada suatu obyek atau situasi.
2. Keterampilan Berpikir Luwes (Fleksibel)
Definisi: (1) menghasilkan gagasan, jawaban, atau pertanyaan yang
bervariasi; (2) dapat melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda-
beda; (3) mencari banyak alternatif atau arah yang berbeda-beda; dan (4)
mampu mengubah cara pendekatan atau cara pemikiran.
Perilaku individu: memberikan aneka ragam penggunaan yang tidak lazim
terhadap suatu obyek; (2) memberikan berbagai macam penafsiran (interpretasi)
terhadap suatu gambar, cerita, atau masalah; (3) menerapkan suatu konsep atau
azas dengan cara yang berbeda-beda; (4) memberi pertimbangan terhadap
situasi yang berbeda dari yang diberikan oleh orang lain; (5) dalam
membahas/mendiskusikan suatu situasi selalu mempunyai posisi yang berbeda
atau bertentangan dari mayoritas kelompok; (6) jika diberikan suatu masalah
biasanya memikirkan berbagai macam cara untuk memecahkannya; (7)
mengelompokkan hal-hal menurut pembagian (kategori) yang berbeda-beda;
dan (7) mampu mengubah arah berpikir secara spontan.

3. Keterampilan Berpikir Original


Definisi: (1) mampu melahirkan ungkapan yang baru dan unik; (2)
memikirkan cara yang tidak lazim untuk mengungkapkan diri; dan (3) mampu
membuat kombinasi-kombinasi yang tidak lazim dari bagian-bagian atau unsur-
unsur.
Perilaku individu: (1) memikirkan masalah-masalah atau hal-hal yang tidak
pernah terpikirkan oleh orang lain; (2) mempertanyakan cara-cara yang lama dan
berusaha memikirkan cara-cara yang baru; (3) memilih a-simetris dalam
menggambar atau membuat disain; (4) memiliki cara berpikir yang lain dari yang
lain; (5) mencari pendekatan yang baru dari yang stereotip; (6) setelah membaca
atau mendengar gagasan-gagasan, bekerja untuk menemukan penyelesaian
yang baru; dan (7) lebih senang mensintesis daripada menganalisis situasi.
4. Keterampilan Mengelaborasi (Memerinci)
Definisi: (1) mampu memperkaya dan mengembangkan suatu gagasan
atau produk; dan (2) menambahkan atau memerinci detil-detil dari suatu obyek,
gagasan, atau situasi sehingga menjadi lebih menarik.
Perilaku individu: (1) mencari arti yang lebih mendalam terhadap jawaban
atau pemecahan masalah dengan melakukan langkah-langkah yang terperinci;
(2) mengembangkan atau memperkaya gagasan orang lain; (3) mencoba atau
menguji detil-detil untuk melihat arah yang akan ditempuh; (4) mempunyai rasa
keindahan yang kuat sehingga tidak puas dengan penampilan yang kosong atau
sederhana; dan (5) menambah garis-garis, warna-warna, dan detil-detil
terhadap gambarnya sendiri atau gambar orang lain.

4. Keterampilan Menilai (Mengevaluasi)


Definisi: (1) menentukan patokan penilaian sendiri dan menentukan
apakah suatu pertanyaan benar, suatu rencana sehat, atau suatu tindakan
bijaksana; (2) mampu mengambil keputusan terhadap sitruasi yang terbuka; dan
(3) tidak hanya mencetuskan gagasan, tetapi juga melaksanakannya.
Perilaku individu: (1) memberikan pertimbangan atas dasar sudut
pandangnya sendiri; (2) menentukan pendapat sendiri mengenai suatu hal; (3)
menganalisis masalah atau penyelesaian masalah secara kritis dengan selalu
menanyakan “mengapa ?”; (4) mempunyai alasan (rasional) yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk mencapai suatu keputusan; (5) merancang suatu
rencana kerja dari gagasan-gagasan yang tercetus; (6) pada waktu tertentu tidak
menghasilkan gagasan-gagasan tetapi menjadi peneliti atau penilai yang kritis;
dan (7) menentukan pendapat dan bertahan terhadapnya.
Ciri-ciri yang tercakup di dalam afektif adalah: rasa ingin tahu, bersifat
imajinatif, merasa tertantang oleh kemajemukan, sifat berani mengambil resiko,
dan sifat menghargai. Definisi dan perilaku individu dalam ciri-ciri yang bersifat
afektif adalah sebagai berikut.
1. Rasa Ingin Tahu
Definisi: (1) selalu terdorong untuk mengetahui lebih banyak; (2)
mengajukan banyak pertanyaan; (3) selalu memperhatikan orang, obyek, dan
situasi; dan (4) peka dalam pengamatan dan ingin mengetahui/meneliti.
Perilaku individu: (1) mempertanyakan segala sesuatu; (2) sering
menjajaki buku-buku, peta-peta, gambar-gambar, dan sebagainya untuk mencari
gagasan-gagasan baru; (3) tidak membutuhkan dorongan untuk menjajaki atau
mencoba sesuatu yang belum dikenal; (4) menggunakan semua panca
inderanya untuk mengenal; (5) tidak takut menjajaki bidang-bidang baru; (6) ingin
mengamati perubahan-perubahan dari hal-hal atau kejadian-kejadian; dan (7)
ingin bereksperimen dengan benda-benda mekanik.

2. Bersifat Imajinatif
Definisi: (1) mampu memperagakan atau membayangkan hal-hal yang
tidak atau belum pernah terjadi; dan (2) menggunakan khayalan, tetapi
mengetahui perbedaan antara khayalan dan kenyataan.
Perilaku individu: (1) memikirkan/membayangkan jika melakukan sesuatu
yang belum pernah terjadi; (2) memikirkan bagaimana jika melakukan sesuatu
yang belum pernah dilakukan orang lain; (3) meramalkan apa akan dikatakan
atau dilakukan orang lain; (4) mempunyai firasat tentang sesuatu yang belum
terjadi; (5) melihat hal-hal dalam suatu gambar yang tidak dilihat oleh orang lain;
dan (6) membuat cerita tentang tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi
atau tentang kejadian-kejadian yang belum pernah dialami.

3. Merasa Tertantang oleh Kemajemukan


Definisi: (1) terdorong untuk mengatasi masalah yang sulit; (2) merasa
tertantang oleh situasi-situasi yang rumit; dan (3) lebih tertarik pada tugas-tugas
yang sulit.
Perilaku individu: (1) menggunakan gagasan untuk memecahkan
masalah-masalah yang rumit; (2) melibatkan diri dalam tugas-tugas majemuk; (3)
tertantang oleh situasi yang tidak dapat diramalkan keadaannya; (4) mencari
penyelesaian tanpa bantuan orang lain; (5) tidak cenderung mencari jalan
tergampang; (6) berusaha terus menerus agar berhasil; (7) mencari jawaban-
jawaban yang lebih rumit/sulit daripada menerima yang mudah; dan (8) senang
menjajaki jalan yang lebih rumit.

4. Sifat Berani Mengambil Resiko


Definisi: (1) berani memberikan jawaban meskipun belum tentu benar; (2)
tidak takut gagal atau mendapat kritikan; (3) tidak menjadi ragu-ragu karena
ketidakjelasan, hal-hal yang tidak konvensional, atau yang kurang berstruktur.
Perilaku individu: (1) berani mempertahankan gagasan atau pendapatnya
walaupun mendapat tantangan dan kritikan; (2) bersedia mengakui kesalahan-
kesalahannya; (3) berani menerima tugas yang sulit meskipun ada kemungkinan
gagal; (4) berani mengajukan pertanyaan atau mengemukakan masalah yang
tidak dikemukakan oleh orang lain; (5) tidak mudah dipengaruhi oleh orang lain;
(6) melakukan hal-hal yang diyakini, meskipun tidak disetujui oleh sebagian
orang; (7) berani mencoba hal-hal yang baru; dan (8) berani mengakui
kegagalan dan berusaha lagi.

5. Sifat Menghargai
Definisi: (1) dapat menghargai bimbingan dan pengarahan dalam hidup;
dan (2) menghargai kemampuan dan bakat-bakat sendiri yang sedang
berkembang.
Perilaku individu: (1) menhargai hak-hak sendiri dan hak-hak orang lain;
(2) menghargai diri sendiri dan prestasi sendiri; (3) menghargai makna orang
lain; (4) menhargai keluarga, sekolah, dan teman-teman; (5) menghargai
kebebasan tetapi tahu bahwa kebebasan menuntut tanggung jawab; (6)
mengetahui apa yang betul-betul penting dalam hidup; (7) menghargai
kesempatan-kesempatan yang diberikan; dan (8) senang dengan penghargaan
terhadap dirinya.

F. DISCOVERY DAN METODE ILMIAH


Metode yang dipakai dalam menumbuh kembangkan ilmu pengetahuan
dikenal dengan “metode ilmiah”. Metode ilmiah adalah suatu pola pemecahan
masalah yang dibangun atas sintesis atau perpaduan cara berpikir rasional
(deduksi) dan cara berpikir empiris (induktif). Sebelum sampai kepada langkah-
langkah operasional dalam metode ilmiah, terlebih dahulu ditinjau mengenai
“berpikir” termasuk berpikir deduksi dan berpikir induksi.
Berpikir adalah salah satu kemampuan yang hanya dimiliki oleh manusia,
tetapi prosesnya tidak dapat diamati secara langsung. Namun demikian, para
ahli tetap mengemukakan pendapatnya mengenai berpikir. Kesimpulan yang
dapat ditarik dari pendapat para ahli tersebut yakni: berpikir adalah suatu
aktivitas (proses) mental untuk menghubung-hubungkan atau menguraikan
pengetahuan yang sudah dimiliki pada saat menghadapi suatu masalah
sehingga diperoleh suatu kesimpulan atau pengetahuan baru sebagai jawaban
(pemecahan) masalah yang dihadapi itu. Sehubungan dengan itu, Kartini
Kartono (1984) mengemukakan bahwa “proses berpikir ditentukan oleh masalah
yang dihadapi”. Dengan demikian, proses berpikir itu terjadi jika manusia
menghadapi suatu masalah, dan ia bermaksud untuk memecahkannya.
Seseorang dikatakan menghadapi masalah jika ia berada pada situasi
yang mengharuskanya memberi respons, tetapi tidak memiliki pengetahuan yang
dapat dipergunakan seketika itu untuk menemukan pemecahannya (Slameto,
1988). Hal ini sejalan dengan pendapat De Bono (1972) yang menyatakan
bahwa a problem is simply the difference between what one has and what one
wants.
Jika terjadi pertentangan atau perbedaan antara apa yang diinginkan oleh
seseorang (tujuan), maka ia dikatakan menghadapi masalah. Pertentangan atau
perbedaan itu merupakan kesukaran yang memberikan dorongan atau motif
untuk mengatasinya (memecahkannya) sehingga memperoleh pemuasan atau
tujuan (S. Nasution, 1986). Secara sederhana, proses pemecahan masalah
diperlihatkan pada bagan di bawah ini.

Kebutuhan Masalah Pemuasan


Memecahkan masalah merupakan pemanfaatan dari proses berpikir.
Setiap orang dapat berpikir dan memecahkan masalah, tetapi antara orang yang
satu dengan yang lainnya terkadang ada perbedaan. Kemampuan seseorang
dalam memecahkan suatu masalah ditentukan oleh pemahamannya terhadap
masalah itu. Sedangkan pemahaman terhadap suatu masalah dapat diperoleh
karena penguasaan informasi (pengetahuan) yang tepat sehubungan dengan
masalah itu (L.E.I. Harahap, 1987). Dengan perkataan lain, informasi yang telah
tersimpan di dalam sistem pikirannya (otaknya) dapat membantu proses
berpikirnya apabila ia menerima stimulus atau menghadapi suatu masalah.
Keunikan manusia sebagai mahluk yang mampu berpikir sebenarnya
terletak pada kemampuannya berbahasa. Jujun S. Suriasumantri (1985)
mengemukakan bahwa melalui kemampuan berbahasa manusia dapat berpikir
abstrak, sehingga obyek-obyek faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol
bahasa yang bersifat abstrak dan dapat memikirkan suatu obyek, meskipun
obyek tersebut secara faktual tidak berada pada tempat di mana kegiatan
berpikir itu dilakukan. proses berpikir Proses berpikir tidak dapat diamati secara
langsung, tetapi tidak dapat dipisahkan Berpikir deduktif adalah proses berpikir
atau proses penarikan kesimpulan dengan berdasar kepada kesimpulan yang
sudah ada (Jamaluddin Kafie, 1989). Berpikir deduksi dapat berlangsung melalui
berbagai cara, yakni sebagai berikut.
a.Syllogisme
Sillogisme adalah suatu bentuk penarikan kesimpulan secara deduktif
yang tersusun dari tiga keterangan pokok sebutan. 2 keterangan yang pertama
Keterangan memberikan sifat rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat
konsisten dengan pengetahuan yang telah dikumpulkan sebelumnya.
Secara sistematik dan kumulatif pengetahuan ilmiah disusun setahap
demi setahap dengan menyusun argumentasi mengenai sesuatu yang baru
berdasarkan pengetahuan yang telah ada. Dengan demikian, ilmu merupakan
tubuh pengetahuan yang tersusun dan terorganisasikan dengan baik. Hal ini
disebabkan oleh penemuan yang tidak teratur dapat diibaratkan sebagai rumah
atau batu bata yang bercerai berai. Secara konsisten dan koheren, ilmu
mencoba memberikan penjelasan yang rasional kepada obyek yang berada
dalam fokus permasalahan, serta mencakup kebenaran koherensi, kebenaran
korespondensi, dan kebenaran pragmatis. Jujun S. Suriasumantri (1985)
menggambarkan alur pemecahan masalah dengan menggunakan metode
ilmiah, seperti berikut ini.

Masalah

Perumusan Masalah

Khasanah Penyusunan
Pengetahuan koherensi Kerangka
Ilmiah Berpikir
i

Perumusan Hipotesis deduksi

p
r
a Pengujian hipotesis
g
m k
a I o
n h
t
i d e
u r
s
k e
s n
i s
i

Hipotesis Hipotesis
Diterima Hasil Ditolak
Perumusan masalah merupakan pernyataan atau pertanyaan mengenai
obyek empiris yang jelas batas-batasnya. Selain itu, melalui prumusan masalah,
obyek empiris tersebut serta dapat diidentifikai faktor-faktor yang terkait di
dalamnya.
Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis, merupakan
argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat di antara
berbagai faktor yang saling terkait dan membentuk konstelasi permasalahan.
Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah
yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris
yang relevan dengan permasalahan. Kerangka berpikir memiliki kebenaran
koherensi terhadap khasanah pengetahuan ilmiah yang telah ada.
Perumusan hipotesis merupakan jawaban sementara atau dugaan
terhadap rumusan masalah yang diajukan. Materi tentang hipotesis yang
dirumuskan merupakan kesimpulan dari dari kerangka berpikir yang
dikembangkan.
Pengujian hipotesis merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan
dengan rumusan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat
fakta-fakta atau data-data yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak. Dalam
pengujian hipotesis, kebenaran korespodensi dan cara berpikir induktif
memegang peranan penting. Selain itu, diperlukan teknik analisis data yang
akurat, baik analisis data secara kualitatif maupun secara kuantitatif dengan
menggunakan formulasi statistik dengan taraf signifikan tertentu.
Penarikan kesimpulan merupakan penilaian apakah suatu hipotesis
diterima atau ditolak. Jika dalam proses pengujian hipotesis terdapat fakta yang
cukup mendukung, maka hipotesis tersebut diterima. Sebaliknya, jika dalam
proses pengujian hipotesis tidak terdapat fakta yang cukup mendukung, maka
hipotesis tersebut ditolak. Hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi
bagian dari pengetahuan ilmiah, karena telah memenuhi persyaratan keilmuan,
yaitu mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan
ilmiah sebelumnya, serta telah teruji kebenarannya. Pengertian kebenaran di sini
harus ditafsirkan secara pragmatis. Artinya, sampai saat ini belum terdapat fakta
yang menyatakan sebaliknya.
Keseluruhan langkah dalam metode ilmiah harus ditempuh agar suatu
penelaahan dapat disebut ilmiah, Meskipun langkah-langkah tersebut secara
konsisten tersusun dalam urutan yang teratur, di mana langkah yang satu
merupakan landasan bagi langkah berikutnya, tetapi dalam praktiknya sering
terjadi lompatan-lompatan. Hubungan antara langkah yang satu dengan langkah
yang lainnya tidak terkait secara statis, melainkan bersifat dinamis dengan
proses pengkajian ilmiah yang tidak semata mengandalkan penalaran,
melainkan juga imajinasi dan kreativitas. Sering terjadi, langkah yang satu bukan
saja merupakan landasan bagi langkah berikutnya, dan sekaligus menjadi
landasan koreksi bagi langkah yang lain. Melalui jalan ini diharapkan
diprosesnya pengetahuan yang bersifat konsisten dengan pengetahuan-
pengetahuan sebelumnya, serta teruji kebenarannya secara empiris.
Bertitik tolak pada pendapat Einstein yang menyatakan bahwa sains
berawal dari fakta dan berakhir pada fakta, maka ilmuwan berperan sebagai
pengamat, kemudian berusaha untuk menjelaskan dalam bentuk generalisasi
terhadap hasil pengamatan dan memperkirakan (memprediksi) apa yang akan
datang. Berdasarkan suatu teori, ilmuwan membuat prediksi dan melakukan
pengujian lagi dengan fakta. Dengan demikian proses sains merupakan siklus
dari fakta ke fakta. Siklus tersebut digambarkan oleh Anna Poedjiadi (1987)
seperti berikut ini.

Teori deduksi Prediksi

i ve
Matematika n ri
d fi
u ka
Dunia fakta k si
s
i

Fakta Fakta
Awal Akhir
Garis horisontal pada bagan di atas memisahkan antara dunia
eksperimentasi atau dunia fakta dengan teori atau dunia matematika. Proses dari
fakta ke teori menggunakan cara berpikir induksi, yaitu pembentukan teori
dengan berdasar kepada pengetahuan faktual. Hal ini berarti bahwa dapat
dibentuk rumusan matematis yang menghubungkan antara teori dengan fakta.
Dari teori yang ada, orang dapat membuat prediksi atau ramalan tentang gejala
yang belum pernah diamati. Proses ini melibatkan cara berpikir deduksi. Pada
akhirnya, semua kembali ke fakta untuk mengadakan eksperimentasi atau
observasi, untuk melakukan verifikasi teori dengan fakta.
Jika pada siklus di atas ternyata hasil observasi tidak sesuai dengan teori,
maka teori tersebut perlu dikaji kembali untuk direvisi atau ditolak sama sama
sekali. Sejalan dengan itu, jika pada metode ilmiah ternyata hipotesis ditolak
bukan berati penelitian yang kita lakukan batal atau salah. Hanya saja, perlu
dilakukan penyusunan kerangka berpikir yang baru guna menyusun kembali
hipotesis. Hal ini menunjukkan bahwa betapa ketatnya proses penemuan teori
baru di dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Apa yang saat ini dianggap
benar, mungkin saja kelak tidak benar, jika ditemukan fakta yang tidak sesuai
dengan teori yang ada. Inilah sifat dinamis yang dimiliki oleh sains, sehingga
kebenaran di dalam sains bersifat tentatif serta empiris.
Pada proses siklus dari fakta ke fakta melalui induksi-deduksi-verifikasi di
dalam sains, diperlukan adanya prinsip-prinsip dasar. Titus (1959) telah
mengidentifikasi prinsip-prinsip, yakni sebagai berikut.
1. Prinsip kausalitas, yang menyatakan bahwa setiap kejadian memiliki
sebab, dan dalam situasi yang identik sebab sama akan menghasilkan
akibat yang sama pula.
2. Prinsip keragaman prediktif, yang menyatakan bahwa suatu kelompok
kejadian akan menunjukkan derajad keterkaitan yang sama pada masa
lampau, sekarang, maupun masa yang akan datang.
3. Prinsip obyektivitas, yang menyatakan bahwa para peneliti tidak boleh
memihak kepada data sebelumnya. Fakta-fakta yang dikemukakan harus
dapat diamati atau dialami tepat sama oleh semua manusia normal.
4. Prinsip empirisme, yang menyatakan bahwa kesan sensori yang diterima
adalah benar dan pengujian kebenaran didasarkan atas fakta-fakta yang
dialami.
5. Prinsip persimoni, yang menyatakan bahwa di dalam hal sesuatu yang
sama, akan dipilih penjelasan yang paling sederhana atau singkat sebagai
penjelasan yang sahih.
6. Prinsip isolasi atau segregasi, yang menyatakan bahwa gejala yang diteliti
harus dapat diisolasi sehingga dapat diteliti secara terpisah sebagaimana
adanya.
7. Prinsip kontrol, yang menyatakan bahwa pengontrolan atau pengendalian
terhadap variabel-variabel yang tidak diteliti adalah hal yang sangat
penting, sehingga penelitian serupa dapat dilakukan pada waktu yang
lain.
8. Prinsip pengukuran eksak, yang menyatakan bahwa hasil-hasil penelitian
harus dapat dinyatakan secara kuantitatif atau secara matematis.
Prinsip-prinsip tersebut di atas merupakan asumsi yang dipakai atau yang
menjadi dasar dalam berpikir dan seharusnya dimiliki oleh para ilmuwan, atau
siapa saja yang belajar. Atas dasar asumsi tersbut, akan diketahui berbagai
keunggulan dan keterbatasan sains sebagai pengetahuan empiris.
Kegiatan sains memiliki sifat terbuka. Artinya, segenap langkah-langkah
yang dilakukan untuk memperoleh produk sains diungkapkan secara terperinci
sehingga semua pihak yang hendak mengetahui secara keseluruhan proses
untuk mendapatkan produk sains dapat diikutinya. Selain itu, produk sains yang
ditemukan harus dipublikasikan melalui publikasi ilmiah, seminar ilmiah, diskusi
ilmiah, dan lain sebagainya. Dengan demikian, produk sains tersebut dapat
diterima oleh masyarakat ilmiah setelah melalui proses penilaian dan pengujian
secara ketat.
Berdasar pada sifat-sifat pengetahuan ilmiah dan proses penemuan ilmiah
dalam sains, sehingga orang yang senantiasa membiasakan diri berpikir secara
ilmiah akan tumbuh dan berkembang sikap ilmiah pada dirinya. Sikap ilmiah
yang dimasudkan antara lain sebagai berikut.
1. Mencintai kebenaran yang obyektif serta bersikap adil, jujur, dan teliti.
2. Menyadari bahwa kebenaran sains tidak absolut, sehingga mendorong
orang untuk senantiasa mencari kebenaran secara ters menerus.
3. Sains membimbing manusia untuk percaya atau mengambil kesimpulan
berdasarkan fakta, bukan karena prasangka.
4. Sains membimbing manusia untuk dapat menerima kritikan, pandapat
orang lain, dan bersikap toleran.

G. DISCOVERY DAN PEMBELAJARAN


Di dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem pendidikan Nasional pasal 1 ayat (20) dinyatakan bahwa
pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber
belajar pada suatu lingkungan belajar. Berkenaan dengan proses pembelajaran,
di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 19 ayat (1) dinyatakan bahwa
proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup prakarsa, kreativitas,
dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta
pasikologis peserta didik.
Pasal 19 ayat (1) tersebut di atas mengindikasikan bahwa proses
pembelajaran hendaknya lebih banyak berorientasi kepada penemuan. Jerome
S. Bruner (1978) telah mengembangkan belajar penemuan (discovery learning)
yang berdasarkan kepada pandangan kognitif tentang pembelajaran dan prinsip-
prinsip konstruktivis. Pada discovery learning individu didorong untuk belajar
secara mandiri. Individu belajar melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep
dan prinsip-prinsip dan pendidik mendorong individu untuk mendapatkan
pengalaman dengan melakukan kegiatan yang memungkinkan mereka
menemukan konsep dan prinsip-prinsip. Menurut Carin dan Sund (1985),
discovery merupakan suatu proses di mana anak atau individu mengasimilasi
proses konsep dan prinsip-prinsip. Discovery terjadi apabila individu terlibat
secara aktif dalam menggunakan mentalnya agar memperoleh pengalaman,
sehingga memungkinkan untuk menemukan konsep atau prinsip.
Proses-proses mental tersebut di atas melibatkan keterampilan proses
yang lebih tinggi tingkatannya (perumusan masalah, merumuskan hipotesis,
merancang eksperimen, melaksanakan eksprimen, mengumpulkan dan
menganalisis data, serta menarik kesimpulan) melalui metode ilmiah dengan
memanfaatkan kreativitas peserta didik untuk menemukan konsep, prinsip, atau
generalisasi sebagaimana yang digariskan oleh Standar Isi mata pelajaran. Di
samping itu juga diperlukan sikap obyektif, jujur, hasrat ingin tahu dan terbuka
(inilah yang dimaksud dengan sikap ilmiah). Dengan demikian pendidik harus
mampu menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan peserta didik untuk
melakukan kegiatan discovery, seperti halnya ilmuwan terdahulu.
Discovery learning memiliki beberapa keuntungan, yaitu: (1) pengetahuan
ang diperoleh dapat bertahan lebih lama dalam ingatan, atau lebih mudah
diingat, dibandingkan dengan cara-cara lain, (2) dapat meningkatkan penalaran
individu dan kemampuan untuk berpikir, karena mereka harus menganalisis dan
memanipulasi informasi untuk memecahkan permasalahan, (3) dapat
membangkitkan keingintahuan individu, memotivasi individu untuk bekerja terus
sampai mereka menemukan jawabannya.
Dalam proses discovery, berpikir kreatif tidak dapat muncul begitu saja,
tetapi perlu digali dan dilatihkan melalui sistem tertentu (Wellington, 1980). Hal
ini dimaksudkan karena berpikir kreatif mementingkan proses dan produk.
Sejumlah ahli pendidikan berpendapat bahwa berpikir merupakan tujuan
akhir dari proses pembelajaran. Pendidik harus yakin bahwa peserta didik
mampu berpikir, meskipun tidak dapat diprediksi apa yang sedang dipikirkan.
Berpikir kreatif , bernalar, dan berpikir produktif termasuk berpikir tingkat tinggi
yang dapat diterima secara universal dan merupakan hal yang penting dalam
proses pendidikan (pembelajaran). Oleh karena itu, pendidik hendaknya
menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan peserta didik dapat
menumbuh kembangkan kemampuan kreatifnya. Juhariah Adang (1993)
menyarankan bahwa dalam melatih berpikir kreatif, kepada peserta didik perlu
diberikan berbagai masalah, dan dengan informasi atau fakta yang telah ada
dalam dirinya, mereka mencoba memecahkan masalah itu dengan berbagai
cara.
Untuk dapat menumbuh kembangkan kreativtas peserta didik, terlebih
dahulu pendidiknya harus kreatif. Gibbs mengemukakan bahwa pendidik yang
kreatif adal individu-individu yang percaya bahwa manusia itu adalah individu
yang self motivated dan bertanggung jawab terhadap ide-idenya (Moh. Amien,
1987). Pendidik yang dapat membantu peserta didiknya menjadi kreatif melalui
sikap terbuka, tidak mengecam, menerima, menyukainya, mengurangi rasa
takut, dan membuat mereka menemukan dirinya sendiri, serta percaya pada diri
sendiri dan tidak mudah putus asa. Pendidik yang kreatif harus mampu
memodifikasi dan mengembangkan materi pembelajaran pada buku teks yang
digunakan sehingga mampu memicu peserta didik untuk berpikir kreatif.
Untuk melatih kemampuan berpikir kreatif individu, kita berdasar pada
definisi operasional Torrance yang menyatakan bahwa kreativitas sebagai
proses menjadi tanggapnya seseorang terhadap masalah-masalah, terhadap
kekurangan-kekurangan, terhadap kesenjangan dalam pengetahuan, terhadap
sirnanya unsur-unsur, terhadap keserasian, dan sebagainya; mengidentifikasi
masalah, mencari pemecahan masalah, membuat dugaan atau hipotesis,
menguji dan menguji ulang hipotesis, dan mengkomunikasikan hasilnya.
Bagaimana langkah yang seyogyanya dapat ditempuh oleh pendidik
dalam pembelajaran?. Sebaiknya, langkah pertama adalah mengembangkan
taksonomi pertanyaan peserta didik untuk menentukan jenis pertanyaan yang
dapat menghantarkan mereka kepada kreativitas. Berbagai pertanyaan peserta
didik di dalam kelas akan memberikan gambaran kepada pendidik mengenai hal-
hal yang menarik mereka, sehingga dapat dijadikan suatu tema kegiatan dalam
pembejalaran. Perumusan dan identifikasi masalah merupakan langkah yang
amat penting dalam upaya pengembangan kreativitas peserta didik. Dalam
melakukan kegiatan diskusi misalnya, peserta didik dimotivasi untuk berpikir,
untuk mengajukan hipotesis, untuk merancang eksperimen, dan untuk menguji
hipotesis. Akhirnya, mengevaluasi temuannya.
Untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif peserta didik dalam
pendidikan, tidak digunakan test seperti biasa, tetapi mengamati perilaku dan
sikap yang ditampilkan oleh mereka pada situasi tertentu. Pertanyaan-
pertanyaan yang mengarah pada provokasi dan saran-saran mereka dalam
pemecahan masalah hendak menjadi perhatian bagi pendidik dalam mengukur
kemampuan berpikir kreatif.
Pendidik akan mengalami kesulitan mengembangakan kemampuan
berpikir kreatif peserta didik dalam pembelajaran, kecuali jika: (1) bisa
melakukan perubahan; (2) merasa diri berkepribadian; (3) merasa diri berprofesi;
(4) menjalin hubungan dengan orang lain atau profesi lain; (5) menguasai
struktur pembelajaran; (6) mempertimbangkan peserta didik sebagai individu;
dan (8) luwes terhadap isi kurikulum.
Pengembangan kreativitas dalam pembelajaran tidak lepas dari fase-fase
pengembangan yang berlaku secara umum, sebagaimana yang dijelaskan oleh
Conny Semiawan, dkk.(1991) yang meliputi seperti berikut ini.

1. Fase Persiapan (preparation)


Pada fase ini ide itu datang dan timbul dari berbagai kemungkinan. Tetapi,
biasanya ide itu berlangsung dengan hadirnya suatu keterampilan, keahlian, atau
ilmu pengetahuan tertentu sebagai latar belakang atau sumber dari mana ide itu
lahir.

2. Fase Inkubasi (incubation)


Pada fase ini diharapkan hadirnya suatu pemahaman serta kematangan
terhadap ide yang tadi timbul (dierami). Berbagai teknik dalam menyegarkan dan
meningkatkan kesadaran itu, seperti meditasi, latihan peningkatan kreativitas,
dapat dilangsungkan untuk memudahkan “perembetan”, perluasan, dan
pendalaman ide.

3. Fase Iluminasi (Illumination)


Fase ini berangkat dari suatu tingkat penemuan saat inspirasi yang tadi
diperoleh, dikelola, digarap, kemudian menuju kepada pengembangan suatu
hasil. Pada fase ini terjadi komunikasi terhadap hasilnya dengan orang yang
signifikan (yang penting) bagi penemu, sehingga hasil yang telah dicapai dapat
lebih disempurnakan lagi.

4. Fase Verifikasi (Verification)


Fase ini merupakan fase perbaikan dari perwujudan hasil dan tanggung
jawab terhadap hasil. Diseminasi dari perwujudan karya kreatif untuk diteruskan
kepada masyarakat yang lebih luas terjadi setelah perbaikan dan
penyempurnaan terhadap karya itu berlangsung.
Kreativitas dalam proses pembelajaran juga terjadi jika individu
melakukan penemuan ilmiah untuk mereka sendiri, walaupun informasi
semacam itu telah diketahui oleh orang lain. Hal ini cukup beralasan karena
penemuan ilmiah itu tercantum di dalam buku-buku teks, tetapi penerapan
khusus atau inovasinya perlu ditentukan oleh individu.
Untuk melatih kreativitas dalam pembelajaran, individu hendaknya
diberikan kesempatan dalam hal berikut ini.
1. Mengajukan pertanyaan yang menantang individu untuk berpikir selama
pembelajaran berlangsung.
2. Membaca buku-buku yang menantang individu untuk melakukan kegiatan
belajar lebih lanjut.
3. Merasakan kemudahan dalam mengambil isu atau dalam
mempertanyakan ide atau proses yang telah diterima dan meyita pikiran.
4. Memodifikasi atau menolak usulan yang orisinil dari seseorang tanpa
mencemohkannya.
5. Merasa bebas dalam mengajukan tugas pengganti yang memiliki potensi
kreatif.
6. Menerima pengakuan yang sama untuk berpikir kreatif.
Jika proses berpikir kreatif berkembang dalam pendidikan formal,
khususnya dalam pembelajaran diharapkan individu mampu menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang dihadapinya, meskipun masalah itu baru
dengan berbagai alternatif pemecahan. Selain itu, para individu diharapkan
mampu menentukan hubungan sebab akibat mengenai hal-hal yang diamati,
baik yang sederhana maupun yang lebih kompleks di luar materi yang diajarkan,
yang memungkinkan memperoleh penemuan baru.
Untuk dapat mengembangkan kreativitas melalui proses pembelajaran
Moh. Amien (1987) mengemukakan beberapa prinsip, yakni sebagai berikut.
1. Menghasilkan sesuatu yang baru, berbeda dan bersifat unik
2. Proses berpikir yang bersifat analisis-sintesis dikemukan
3. Dorongan yang bersifat motivasi merupakan suatu prasyarat untuk proses
kreatif. Proses itu sendiri merupakan suatu tension-relieving agent.
4. Kondisi atau situasi yang bersifat ujungakhir yang terbuka harus
diterapkan
5. Hasil-hasilnya tidak dapat diduga lebih dahulu.
6. Kondisi disiapkan untuk membuat/menimbulkan possible preconscious
thinking.
7. Individu dipacu untuk melahirkan dan mengembangkan gagasan-gagasan
mereka sendiri.
8. Perbedaan-perbedaan, keunikan-keunikan perseorangan dan keaslian
harus ditekankan dan dihargai.
9. Proses sama pentingnya dengan produk.
10. Kondisi-kondisi tertentu harus disiapkan atau diatur sedemikian rupa
untuk memberikan peluang timbulnya kreativitas.
11. Pembelajaran berorientasi pada kesuksesan daripada kegagalan.
12. Persyaratan harus dibuat untuk mempelajari pengetahuan dan
keterampilan, tetapi ketentuan juga dibuat untuk menerapkan
pengetahuan dan keterampilan dalam situasi-situasi pemecahan masalah
yang baru.
13. Belajar berinisiatif sendiri secara mandiri(self-initiated learning) harus
dipacu.
14. Keterampilan mengkritik secara konstruktif dan keterampilan evaluasi
harus dikembangkan.
15. Gagasan-gagasan dan obyek-obyek harus digunakan dan dieksplorasi
16. Harus menggunakan proses demokrasi.
17. Metode yang digunakan adalah unik untuk pengembangan kreativitas.
Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, maka dalam pembelajaran pendidik
harus dapat melakukan hal-hal berikut ini.
1. Mengembangkan keinginan aspirasi dan kemampuan individu untuk
berpikir dan memecahkan masalah.
2. Membantu individu menemukan harga diri sendiri dan nilai-nilai orang lain.
3. Membantu individu mengembangkan serangkaian keunikan bakat-
bakatnya dan kemampuan-kemampuannya.
4. Membantu individu mengembangkan keterampilan inkuiri.
5. Membantu individu menjadi lebih disiplin dan bertanggung jawab atas
belajar dan perilakunya.
Jika prinsip-prinsip dan upaya-upaya pendidik tersebut di atas dapat
terlaksana dalam pembelajaran, maka terdapat sejumlah kemampuan yang
dapat berkembang pada diri individu, antara lain sebagai berikut.
1. Kemampuan untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya.
2. Kemampuan untuk menanggapi.
3. Kemampuan untuk berinteraksi.
4. Kemampuan untuk bertanya.
5. Kemampuan untuk mencipta.
6. Kemampuan untuk menemukan jati diri.
Discovery sebagai metode pembelajaran terdiri atas 8 jenis sebagaimana
yang dikemukakan oleh Moh. Amien (1987) seperti berikut ini.
1. Guide Discovery
Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan metode guide
discovery pendidik menyediakan bimbingan atau petunjuk yang cukup luas
kepada peserta didik. Misalnya, dalam pembelajaran ilmu pengetahuan alam
(IPA) pendidik menyediakan penuntun kegiatan laboratorium.

2. Modified Discovery
Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan metode
modified discovery pendidik hanya memberikan permasalahan saja, kemudian
peserta didik digiring untuk menemukan solusi dari masalah tersebut melalui
metode ilmiah dengan memanfaatkan sebanyak-banyaknya keterampilan proses
dan berpikir kreatif. Pendidik memberikan bantuan kepada peserta didik berupa
pertanyaan-pertanyaan yang memungkinkan mereka dapat berpikir kreatif dan
menggunakan keterampilan proses yang menyatu di dalam metode ilmiah untuk
menemukan solusi masalah yang dihadapi.

3. Free Discovery
Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan free discovery
pendidik memperhadapkan peserta didik kepada suatu masalah, kemudian
mereka secara individu atau berkelompok diberi kebebasan melakukan aktivitas
yang berorientasi kepada keterampilan proses, kreativitas, dan metode ilmiah
dalam rangka menemukan solusi masalah yang mereka hadapi. Free discovery
biasanya digunakan oleh peserta didik pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi
(SMA dan Perguruan Tinggi).

4. Invitation into Discovery


Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan invitation
discovery pendidik memperhadapkan peserta didik kepada suatu masalah,
kemudian mereka secara individu atau berkelompok diajak untuk melakukan
berbagai keterampilan proses, pemikiran kreatif, dan metode ilmiah seperti
halnya ilmuwan terdahulu dalam menemukan solusi masalah yang mereka
hadapi. Kegiatan yang mereka lakukan berlangsung secara terkontrol dan
sistematis sehingga mereka berperan sama dengan ilmuwan terdahulu.

5. Discovery Role Aproach


Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan discovery role
approach merupakan pelaksanaan pembelajaran yang melibatkan peserta didik
ke dalam tim tertentu yang masing terdiri atas 4 anggota untuk menemukan
solusi masalah. Masing-masing anggota tim diberi tugas tertentu, sehingga
setiap anggota tim memiliki peranan: (1) team coordinator, (2) technical advisor;
(3) data recorder; dan (4) process evaluator untuk menemukan solusi masalah
yang mereka hadapi.

6. Pictorial Riddle
Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan pictorial riddle
pendidik harus berusaha mengembangkan motivasi dan minat peserta didik
dalam kecil atau dalam kelompok besar untuk dapat menemukan solusi dari
masalah yang dihadapi dengan memanfaatkan alat peraga atau situasi yang
dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif,
Suatu riddle, biasanya berupa gambar di papan tulis, poster, tayangan gambar
yang diproyeksikan. Selanjutnya, pendidik mengajukan pertanyaan-pertanyaan
yang berkaitan dengan riddle.

7. Synectic lesson
Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan menggubakan synectic lesson
pendidik harus berusaha memicu tumbuhnya bakat-bakat kreatif siswa. Gordon
dalam Moh. Amien (1987) percaya bahwa proses-proses kreatif dapat
diungkapkan dan dikembangkan oleh peserta didik melalui perpaduan berbagai
mata pelakan, misalnya mata pelajaran IPA dipadukan dengan IPS.
Pada dasarnya, synectics memusatkan perhatian kepada keterlibatan
peserta didik untuk membuat berbagai macam “metaphor” agar integensi mereka
dapat terbuka dan pada gilirannya intelegensi mereka dapat terbuka dan
mengembangkan daya kreativitasnya.

8. Value Clarification
Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan menggubakan value
clarification pendidik harus mampu membantu peserta didik dalam
mengembangkan proses-proses yang digunakan dalam menentukan nilai
mereka sendiri. Oleh karena itu seorang tenaga pendidik harus bersikap terbuka
dan menerima pandangan peserta didik, membantu mengungkapkan nilai-nilai
lainnya. Guru harus menyakinkan kepada siswa bahwa sikapnya itu juga berlaku
bagi setiap peserta didik.
I. PENUTUP
Dalam penyelenggaraan sistem pendidikan di negara kita, setiap pendidik
harus mampu merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran dengan
sebanyak-banyaknya menggunakan metode discovery. Hal ini dimaksudkan
karena menurut Murply dalam M. Idris Arief (2003) bahwa dalam paradigma baru
pembelajaran dinyatakan bahwa kurikulum yang ideal adalah kurikulum yang
dapat mengembangkan kemampuan learning how to learn (belajar bagaimana
belajar).
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, maka belajar tidak hanya berupa
transformasi pengetahuan, tetapi yang jauh lebih penting adalah belajar
sesungguhnya adalah mempersiapkan peserta didik untuk belajar lebih
mendalam dari sumber-sumber yang mereka temukan dari pengalaman sendiri,
pengalaman orang lain, maupun pengalaman dari lingkungan di mana mereka
tumbuh guna mengembangkan potensi dirinya. Hal ini cukup berlasan, karena di
dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Melalui kebiasaan dalam melakukan kegiatan discovery sejak peserta
didik duduk di bangku jenjang pendidikan dasar, maka kita harus optimis bahwa
masyarakat Indonesia pada masa mendatang akan mampu bersaing dengan
masyarakat dari negara-negara lain. Inilah yang menjadi tuntutan abad milinium
atau era globalisasi.
DAFTAR PUSTAKA

Anna Poedjiadi, 1989, Filsafat dan Sejarah Sains, Rajawali: Bandung

Bybee W. Rodger & Sund B. Robert, 1982, Piaget for Educator, Charles E.
Merrill Publishing Company: Columbus

Bruner S. Jerome, 1978, The Process of Education, Harvard University Press:


Cambridge

Carin A. Arthur & Sund B. Robert, 1985, Teaching Science Through


Discovery,Merrill Publishing Company: Columbus

Conny Semiawan, dkk., 1988, Pendekatan Keterampilan Proses, Gramedia:


Jakarta

Conny Semiawan, dkk., 1991, Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu, Remaja
Rosdakarya: Bandung.

De Bono’s Edaward, 1979, The Mechanism of Mind, Penguin Books: New


Zaeland

Depdiknas RI., 2003, Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003


tentang Sistem Pendidikan Nasional, Dpediknas: Jakarta.

Depdiknas RI., 2005, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun


2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Depdiknas: Jakarta

E.I. Lantang Harahap, 1987, Mari Mempertinggi Kreativitas, Gunung Agung:


Jakarta

Juharia Adang, 1993, Mengembangkan Kreativitas dalam Berpikir melalui


Pengajaran Sains, Jurnal Pengajaran MIPA, IKIP Bandung: Bandung

Jamaluddin Kafie, 1989, berpikir Apa dan Bagaimana, Indah: Surabaya

Jujun S. Suriasumantri, 1985, Filsafat Imu: Sebuah Pengantar Populer, Sinar


harapan: Jakarta.

Kartini Kartono, 1984, Psikologi Umum, Alumni: Bandung

Moh. Amien, 1987, Mengajarkan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dengan


Menggunakan Metode Discovery dan Inquiry, P2LPTK, Depdikbud:
Jakarta
M. Idris Arief, 2003, Pengembangan Sistem Pendidikan Unggulan Ditinjau dari
Perspektif Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran, Makalah:
Makassar.

Murphy, C., 1992, Effecting School Change: the Halton Approach, School
effectiveness and school Improvement, 3(1): 1941

Nasuition S., 1986, Didaktik Azas-azas Mengajar, Jemmars: Bandung

Ratna Wilis Dahar, 1989, Teori-teori Belajar, Gramedia: Jakarta

S. C. Utami Munandar, 1987, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak


Sekolah, Gramedia: Jakarta.

Slameto, 1988, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, Bina Aksara:


Jakarta.

Subiyanto, 1988, Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam, P2LPTK, Depdikbud:


Jakarta.

Wellington, J., 1989, Skil and Approachrs in Science Education, A Criticl


Analysis, Routledge: New York

Anda mungkin juga menyukai