Discovery
Discovery
Makalah
Oleh:
M. Agus Martawijaya
Iis Mardiana
Heriyati
Aslim
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASAR
2010
KATA PENGANTAR
Segala Puji dan Syukur Kehadirat Allah S.W.T atas segala limpahan
rahmat dan hidayah-Nya kepada kita umat manusia, salawat dan taslim untuk
Nabi Besar Muhammad SAW yang telah mengangkat dan menunjukkan jalan
yang lurus bagi kita umat manusia.
Berkenaan dengan tugas Pembuatan Makalah Pendidikan dari Bapak
Prof. Dr. H. Arismunandar, M.Pd bersama Bapak Dr. Ismail Tola, M.Pd dalam
mata kuliah Inovasi Pendidikan pada program S3 Ilmu Pendidikan Program
Pascasarjana Universitas Negeri Makassar, kami mendapatkan tugas untuk
membuat makalah dengan judul Discovery dalam Pendidikan.
Makalah ini kami buat dengan berdasar kepada upaya Pemerintah, dalam
hal ini Menteri Pendidikan Nasional bersama Badan Standar Nasional
Pendidikan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan melalui upaya inovasi
pendidikan di negara kita sehingga pada gilirannya bangsa Indonesia setara
dengan bangsa-bangsa lain di dunia ini.
Sebagai manusia yang tidak luput dari segala kekurangan sehingga saya
menyadari jika dalam makalah ini tetap terdapat kekurangan. Oleh karena itu,
saya memohon maaf sebesar-besarnya.
A. PENDAHULUAN
Telah kita ketahui dalam abad milinium ini ciri utamanya adalah terjadinya
globalisasi pada setiap aspek kehidupan. Globalisasi mengandung arti terjadinya
keterbukaan, kesejagatan, dimana batas-batas negara tidak lagi menjadi
penting. Salah satu yang menjadi trend dan merupakan ciri globalisasi adalah
adanya persamaan hak.
Dalam konteks pendidikan, persamaan hak itu tentunya berarti bahwa
setiap individu berhak mendapat pendidikan yang setinggi-tingginya dan sebaik-
baiknya tanpa memandang bangsa, ras, latar belakang ekonomi, maupun jenis
kelamin. Dengan adanya kesamaan hak ini, terjadi kehidupan yang penuh
dengan persaingan karena dunia telah menjadi sangat kompetitif. Oleh karena
itu, mau tidak mau setiap orang mesti berusaha untuk menguasai ilmu dan
teknologi agar dapat ikut dalam persaingan, dan jika tidak, maka kita akan
ditinggalkan.
Terkait dengan hal tersebut di atas, sudah seharusnya pendidikan mampu
menjawab tantangan abad milinium ini. Dengan perkataan lain, pendidikan harus
mampu menyediakan kesempatan bagi setiap peserta didik untuk memperoleh
pengetahuan, keterampilan, serta nilai-nilai sebagai bekal bagi mereka dalam
memasuki persaingan dunia yang kian hari semakin ketat. Selain dari adanya
kesempatan yang seluas-luasnya yang disediakan, hal yang tidak kalah
pentingnya adalah memberikan pendidikan yang bermakna (meaningfull
education) kepada peserta didik. Hal ini cukup beralasan, karena hanya dengan
pendidikan yang bermakna peserta didik dapat dibekali kecakapan hidup,
sedangkan pendidikan yang tidak bermakna (meaningless education) hanya
akan menjadi beban hidup.
Untuk dapat mewujudkan pendidikan yang bermakna, maka sistem
pendidikan harus mengalami perubahan, karena disadari bahwa perubahan
adalah ciri khas pendidikan. Hal ini mudah Hal ini mudah dapat dipahami, karena
kebutuhan manusia selalu berubah dan berkembang, serta permasalahan selalu
meningkat. Berkenaan dengan itu, maka salah satu tugas pendidik dan penentu
kebijakan di bidang pendidikan adalah selalu berusaha untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan manusia dengan jalan melaksanakan pendidikan yang
bermuara kepada pencapaian tujuan pendidikan agar peserta didik kelak dapat
melaksanaan tugas-tugas di masyarakat yang selalu mengalami proses
perubahan dan perkembangan. Kebutuhan dalam konteks pendidikan ialah
kebutuhan individu atau masyarakat sesuai dengan keadaan sistem ekologi/
lingkungan, ekonomi-sosial dan budaya, dan kebutuhan sebagai akibat
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pembangunan.
Berdasarkan situasi dan kondisi pendidikan di negara kita, maka sejak
beberapa tahun terakhir ini, Departemen Pendidikan Nasional (Kementerian
Pendidikan Nasional) telah dan terus membiayai program-program perubahan
dan pengembangan sistem pendidikan. Untuk dapat melaksanakannya, maka
semua oknum yang terlibat dalam sistem pendidikan harus memiliki kemampuan
melakukan ”Discovery” atau “Penemuan” yang dapat diterapkan dalam
pelaksanaan pendidikan.
Untuk kemajuan bangsa dan negara kita, sehingga mampu mensejajarkan
diri dengan bangsa-bangsa lain, maka kemampuan melakukan discovery bagi
masyarakat harus dimulai dari bangku pendidikan, khsusnya pendidikan formal.
Berkenaan dengan tugas makalah ini, maka kami memusatkan pembahasan
pada “discovery” sebagai metode pembelajaran yang ditunjang oleh
keterampilan proses, kreativitas, dan metode ilmiah.
1. Observasi
Disadari sepenuhnya bahwa pada hakekatnya aalam berbicara dengan
bahasanya sendiri, yalitu dalam bentuk global, bentuk detil, warna, pola, gejala,
dan sebagainya. Semua itu dapat kita peroleh dengan menggunakan salah satu
atau beberapa indera yang disebut hasil observasi (pengamatan).
Mengamati adalah keterampilan mengambil informasi/data dari obyek
atau peristiwa dengan cara memperhatikan obyek atau peristiwa itu melalui
salah satu atau beberapa indera (penglihatan, pendengaran, penciuman,
pengecapan, dan perabaan). Memperhatikan obyek atau peristiwa mengandung
arti bahwa pengamatran buka semata-mata kerja alat indera, tetapi juga
melibatkan kerja pikiran.
Pengambilan informasi/data melalui pengamatan tidak seperti karet busa
menyerap air, pengamatan tidak dapat menyerap semua informasi atau semua
hal yang ada. Hal ini dimaksudkan karena dalam pengamatan orang memilih apa
yang dapat diamati dan pemilihan itu dipenhgaruhi oleh pengtahuan dan
gagasan yang ada di dalam pikirannya. Oleh karena itu, sebelum melakukan
pengamatan terlebih dahulu ditentukan: apa saja yang akan diamati ?, kapan
diamatinya ?, berapa lama mengamatinya ?.
Tidak semua obyek atau peristiwa dapat diamati secara langsung dengan
menggunakan alat indera, karena ada obyek atau peristiwa yang hanya dapat
diketahui dari mengamati gejalanya saja. Contohnya “pengamatan mengenai
arus listrik”. Jika sebuah kabel dihubungkan dengan baterai, kita tidak
mengetahui secara langsung ada tidaknya arus listrik yang mengalir. Untuk
dapat mengetahuinya, harus dipasang bola lampu atau alat ukur pada rangkaian
listrik tersebut. Melalui bola lampu hanya dapat diamati gejalanya saja, yaitu
pada saat bola lampu berpijar, tetapi arus listriknya tetap tidak teramati oleh alat
indera. Namun demikian, dengan mengamati bola lampu saja, sudah
meyakinkan bahwa ada arus liktrik yang mengalir di dalam kabel. Keyakinan
tersebut timbul berdasarkan pada pengalaman dan teori yang menyatakan
bahwa jika bola lampu berpijar, maka ada arus listrik yang melalui bola lampu
tersebut.
Pengamatan yang langsung menggunakan alat indera tanpa bantuan alat
ukur merupakan pengamatan kualitatif. Pengamatan kualitatif tidak memperoleh
hasil pengamatan dalam bentuk angka, tetapi dalam bentuk pernyataan.
Misalnya: air di dalam wadah A lebih tinggi suhunya di banding air di dalam
wadah yang lain. Pengamatan yang menggunakan bantuan alat ukur merupakan
pengamatan kuantitatif, apakah dengan menggunakan alat ukur standar atau
alat ukur tidak standar. Pengukuran dengan menggunakan alat ukur yang tidak
standar tidak dapat dikomunikasi secara tepat atau akurat.
Pengamatan berfungsi untuk memilih apa yang dapat diamati, dan
pemilihan itu dipengaruhi oleh pengetahuan dan gagasan yang ada di dalam
pikiran seseorang. Oleh karena itu, sebelum dilakukan pengamatan perlu
ditentukan apa saja yang akan diamati. Jika pengematan tidak memiliki tujuan
yang jelas, maka pengamat akan bingung memilih hal-hal yang harus diamati,
karena banyak hal yang dapat diamati. Ketidaktahuan mengenai apa yang harus
diamati, bagaimana cara mengamatinya, berapa lama mengamatinya
menyebabkan ketidaktentuan dalam pengambilan informasi melalui pengamatan.
Hal ini akan menimbulkan tidak tercapainya tujuan pengamatan.
Terdapat sejumlah kemampuan yang tercakup dan mendukung
keterampilan observasi, yaitu: melihat, mendengar, meraba, membau, mengecap
(mencicipi), menyimak, mengukur, dan membaca.
2. Klasifikasi
Klasifikasi adalah pengelompokan obyek-obyek (benda, fakta, konsep,
nilai, tujuan atau kepentingan tertentu). Untuk melakukan pengelompokan, perlu
ditinjau persamaan dan perbedaan antara obyek-obyek. Dengan perkataan lain,
pengklasifikasian dilakukan dengan cara mencari kesamaan ciri dari obyek-
obyek, kemudian obyek-obyek itu diklasifikasikan ke dalam suatu kelompok dan
diberi label yang namanya dapat diambil dari kategori itu.
Fungsi pengklasifikasian adalah untuk mengenal karakteristik di luar ciri
yang diketahui. Mengenal ciri suatu obyek dapat membantu seseorang dalam
melakukan klasifikasi obyek tersebut. Lebih dari itu, dapat dikenal karaketrisitik
lain yang terkandung dalam kelasifikasi obyek tersebut.
Terdapat sejumlah kemampuan yang tercakup dan mendukung
keterampilan klasifikasi, yaitu: mencari persamaan (menyamakan), mencari
perbedaan (membedakan), membandingkan, mengkontraskan, dan mencari
dasar pengelompokan.
3. Interpretasi
Pada umumnya data yang terlumpul dari hasil observasi dicatat dan
dikemukakan atau disajikan ke dalam berbagai bentuk, seperti: tabel, bagan,
matriks, grafik, dan diagram. Untuk menarik kesimpulan dari suatu penelitian
misalnya, terlebih dahulu dilakukan interpretasi (penafsiran) terhadap data-data
yang diperoleh. Dengan demikian, kesimpulan yang ditarik tentu saja berdasar
pada data-data yang diperoleh.
Terdapat sejumlah kemampuan yang tercakup dan mendukung
keterampilan menfasirkan, yaitu: menaksir, memberi arti (mengartikan),
meproposisikan, mencari hubungan ruang/waktu, menemukan pola, menarik
kesimpulan, dan mengeneralisasikan.
4. Memprediksi
Memprediksi ialah menduga sesuatu yang akan terjadi berdasarkan fakta
yang ada. Prediksi biasanya dibuat dengan cara mengenal kesamaan dari hasil
berdasarkan pada pengetahuan yang sudah ada, mengenal bagaimana
kebiasaan terjadinya sesuatu peristiwa, atau melihat kecenderungan. Prediksi
berkaitan erat dengan observasi, klasifikasi, dan penarikan kesimpulan. Prediksi
didasarkan pada observasi yang saksama dan penarikan kesimpulan yang sahi
mengenai hubungan antara peristiwa-peristiwa yang diobservasi. Penarikan
kesimpulan adalah penjelasan atau interpretasi observasi.
Kebalikan dari memprediksi adalah menginfer, yaitu menduga dengan
pasti sesuatu yang tersembunyi di balik fakta yang teroservasi. Menginfer dapat
dilakukan dengan cara mengamati fakta yang ada untuk menentukan kondisi
komponen dan atributnya (cirinya) pada fakta tersebut. Menduga akibat atau
penyebab dengan cara membandingkan fakta yang dihadapi dengan fakta yang
sudah dikenal. Jika faktanya sama, maka akibat atau penyebabnya juga akan
sama.
Terdapat sejumlah kemampuan yang tercakup dan mendukung
keterampilan memprediksi, yaitu: mengantisipasi berdasarkan kecenderungan,
mengantisipasi berdasarkan pola, dan mengantisipasi berdasarkan hubungan
antara data atau informasi.
5. Mengaplikasi
Mengaplikasi atau menerapkan adalah menggunakan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang dimiliki ke dalam situasi atau pengalaman baru.
Menerapkan konsep yang dimiliki oleh seseorang tidak hanya berlangsung pada
saat ia melakukan percobaan, bahkan dalam memecahkan masalah yang
dihadpi dalam kehidupan sehari.
Terdapat sejumlah kemampuan yang tercakup dan mendukung
keterampilan mengaplikasi, yaitu: menggunakan (informasi, kesimpulan, konsep,
hukum, teori, sikap, keterampilan) pada sistuasi baru, menghitung, menentukan
variabel, mengendalikan variabel, mengubungkan konsep, merumuskan
pertanyaan penelitian, merumuskan hipotesis, dan membuat model.
6. Merencanakan Penelitian
Suatu penelitian ilmiah biasanya bertujuan unbtuk menguji kebenaran
suatu teori atau sebagai kegiatan untuk menemukan sesuatu yang baru.
Merencanakan penelitian adalah keterampilan yang amat penting, karena
rencana itu sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan penelitian tersebut.
Keterampilan merencakan penelitian secara prima diperoleh melalui latihan-
latihan.
Terdapat sejumlah kemampuan yang tercakup dan mendukung
keterampilan merencanakan penelitian, yaitu: menentukan masalah atau obyek
yang akan diteliti, menentukan tujuan penelitian, menentukan ruang lingkup
penelitian, menentukan sumber data/informasi, menentukan cara analisis data,
menentukan prosedur pengumpulan data, menetukan alat (bahan dan sumber
kepustakaan), dan menentukan cara melakukan penelitian.
7. Mengkomunikasikan
Mengkomunikasikan adalah menyampaikan perolehan kepada orang lain
dalam bentuk lisan, tulisan, gambar, gerak, tindakan atau penampilan. Terdapat
sejumlah kemampuan yang tercakup dan mendukung keterampilan
mengkomunikasikan, yaitu: berdiskusi, mendeklamasikan, mendramakan,
bertanya, merenungkan, mengarang, memperagakan, mengungkapkan, dan
melaporkan
2. Bersifat Imajinatif
Definisi: (1) mampu memperagakan atau membayangkan hal-hal yang
tidak atau belum pernah terjadi; dan (2) menggunakan khayalan, tetapi
mengetahui perbedaan antara khayalan dan kenyataan.
Perilaku individu: (1) memikirkan/membayangkan jika melakukan sesuatu
yang belum pernah terjadi; (2) memikirkan bagaimana jika melakukan sesuatu
yang belum pernah dilakukan orang lain; (3) meramalkan apa akan dikatakan
atau dilakukan orang lain; (4) mempunyai firasat tentang sesuatu yang belum
terjadi; (5) melihat hal-hal dalam suatu gambar yang tidak dilihat oleh orang lain;
dan (6) membuat cerita tentang tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi
atau tentang kejadian-kejadian yang belum pernah dialami.
5. Sifat Menghargai
Definisi: (1) dapat menghargai bimbingan dan pengarahan dalam hidup;
dan (2) menghargai kemampuan dan bakat-bakat sendiri yang sedang
berkembang.
Perilaku individu: (1) menhargai hak-hak sendiri dan hak-hak orang lain;
(2) menghargai diri sendiri dan prestasi sendiri; (3) menghargai makna orang
lain; (4) menhargai keluarga, sekolah, dan teman-teman; (5) menghargai
kebebasan tetapi tahu bahwa kebebasan menuntut tanggung jawab; (6)
mengetahui apa yang betul-betul penting dalam hidup; (7) menghargai
kesempatan-kesempatan yang diberikan; dan (8) senang dengan penghargaan
terhadap dirinya.
Masalah
Perumusan Masalah
Khasanah Penyusunan
Pengetahuan koherensi Kerangka
Ilmiah Berpikir
i
p
r
a Pengujian hipotesis
g
m k
a I o
n h
t
i d e
u r
s
k e
s n
i s
i
Hipotesis Hipotesis
Diterima Hasil Ditolak
Perumusan masalah merupakan pernyataan atau pertanyaan mengenai
obyek empiris yang jelas batas-batasnya. Selain itu, melalui prumusan masalah,
obyek empiris tersebut serta dapat diidentifikai faktor-faktor yang terkait di
dalamnya.
Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis, merupakan
argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat di antara
berbagai faktor yang saling terkait dan membentuk konstelasi permasalahan.
Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah
yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris
yang relevan dengan permasalahan. Kerangka berpikir memiliki kebenaran
koherensi terhadap khasanah pengetahuan ilmiah yang telah ada.
Perumusan hipotesis merupakan jawaban sementara atau dugaan
terhadap rumusan masalah yang diajukan. Materi tentang hipotesis yang
dirumuskan merupakan kesimpulan dari dari kerangka berpikir yang
dikembangkan.
Pengujian hipotesis merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan
dengan rumusan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat
fakta-fakta atau data-data yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak. Dalam
pengujian hipotesis, kebenaran korespodensi dan cara berpikir induktif
memegang peranan penting. Selain itu, diperlukan teknik analisis data yang
akurat, baik analisis data secara kualitatif maupun secara kuantitatif dengan
menggunakan formulasi statistik dengan taraf signifikan tertentu.
Penarikan kesimpulan merupakan penilaian apakah suatu hipotesis
diterima atau ditolak. Jika dalam proses pengujian hipotesis terdapat fakta yang
cukup mendukung, maka hipotesis tersebut diterima. Sebaliknya, jika dalam
proses pengujian hipotesis tidak terdapat fakta yang cukup mendukung, maka
hipotesis tersebut ditolak. Hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi
bagian dari pengetahuan ilmiah, karena telah memenuhi persyaratan keilmuan,
yaitu mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan
ilmiah sebelumnya, serta telah teruji kebenarannya. Pengertian kebenaran di sini
harus ditafsirkan secara pragmatis. Artinya, sampai saat ini belum terdapat fakta
yang menyatakan sebaliknya.
Keseluruhan langkah dalam metode ilmiah harus ditempuh agar suatu
penelaahan dapat disebut ilmiah, Meskipun langkah-langkah tersebut secara
konsisten tersusun dalam urutan yang teratur, di mana langkah yang satu
merupakan landasan bagi langkah berikutnya, tetapi dalam praktiknya sering
terjadi lompatan-lompatan. Hubungan antara langkah yang satu dengan langkah
yang lainnya tidak terkait secara statis, melainkan bersifat dinamis dengan
proses pengkajian ilmiah yang tidak semata mengandalkan penalaran,
melainkan juga imajinasi dan kreativitas. Sering terjadi, langkah yang satu bukan
saja merupakan landasan bagi langkah berikutnya, dan sekaligus menjadi
landasan koreksi bagi langkah yang lain. Melalui jalan ini diharapkan
diprosesnya pengetahuan yang bersifat konsisten dengan pengetahuan-
pengetahuan sebelumnya, serta teruji kebenarannya secara empiris.
Bertitik tolak pada pendapat Einstein yang menyatakan bahwa sains
berawal dari fakta dan berakhir pada fakta, maka ilmuwan berperan sebagai
pengamat, kemudian berusaha untuk menjelaskan dalam bentuk generalisasi
terhadap hasil pengamatan dan memperkirakan (memprediksi) apa yang akan
datang. Berdasarkan suatu teori, ilmuwan membuat prediksi dan melakukan
pengujian lagi dengan fakta. Dengan demikian proses sains merupakan siklus
dari fakta ke fakta. Siklus tersebut digambarkan oleh Anna Poedjiadi (1987)
seperti berikut ini.
i ve
Matematika n ri
d fi
u ka
Dunia fakta k si
s
i
Fakta Fakta
Awal Akhir
Garis horisontal pada bagan di atas memisahkan antara dunia
eksperimentasi atau dunia fakta dengan teori atau dunia matematika. Proses dari
fakta ke teori menggunakan cara berpikir induksi, yaitu pembentukan teori
dengan berdasar kepada pengetahuan faktual. Hal ini berarti bahwa dapat
dibentuk rumusan matematis yang menghubungkan antara teori dengan fakta.
Dari teori yang ada, orang dapat membuat prediksi atau ramalan tentang gejala
yang belum pernah diamati. Proses ini melibatkan cara berpikir deduksi. Pada
akhirnya, semua kembali ke fakta untuk mengadakan eksperimentasi atau
observasi, untuk melakukan verifikasi teori dengan fakta.
Jika pada siklus di atas ternyata hasil observasi tidak sesuai dengan teori,
maka teori tersebut perlu dikaji kembali untuk direvisi atau ditolak sama sama
sekali. Sejalan dengan itu, jika pada metode ilmiah ternyata hipotesis ditolak
bukan berati penelitian yang kita lakukan batal atau salah. Hanya saja, perlu
dilakukan penyusunan kerangka berpikir yang baru guna menyusun kembali
hipotesis. Hal ini menunjukkan bahwa betapa ketatnya proses penemuan teori
baru di dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Apa yang saat ini dianggap
benar, mungkin saja kelak tidak benar, jika ditemukan fakta yang tidak sesuai
dengan teori yang ada. Inilah sifat dinamis yang dimiliki oleh sains, sehingga
kebenaran di dalam sains bersifat tentatif serta empiris.
Pada proses siklus dari fakta ke fakta melalui induksi-deduksi-verifikasi di
dalam sains, diperlukan adanya prinsip-prinsip dasar. Titus (1959) telah
mengidentifikasi prinsip-prinsip, yakni sebagai berikut.
1. Prinsip kausalitas, yang menyatakan bahwa setiap kejadian memiliki
sebab, dan dalam situasi yang identik sebab sama akan menghasilkan
akibat yang sama pula.
2. Prinsip keragaman prediktif, yang menyatakan bahwa suatu kelompok
kejadian akan menunjukkan derajad keterkaitan yang sama pada masa
lampau, sekarang, maupun masa yang akan datang.
3. Prinsip obyektivitas, yang menyatakan bahwa para peneliti tidak boleh
memihak kepada data sebelumnya. Fakta-fakta yang dikemukakan harus
dapat diamati atau dialami tepat sama oleh semua manusia normal.
4. Prinsip empirisme, yang menyatakan bahwa kesan sensori yang diterima
adalah benar dan pengujian kebenaran didasarkan atas fakta-fakta yang
dialami.
5. Prinsip persimoni, yang menyatakan bahwa di dalam hal sesuatu yang
sama, akan dipilih penjelasan yang paling sederhana atau singkat sebagai
penjelasan yang sahih.
6. Prinsip isolasi atau segregasi, yang menyatakan bahwa gejala yang diteliti
harus dapat diisolasi sehingga dapat diteliti secara terpisah sebagaimana
adanya.
7. Prinsip kontrol, yang menyatakan bahwa pengontrolan atau pengendalian
terhadap variabel-variabel yang tidak diteliti adalah hal yang sangat
penting, sehingga penelitian serupa dapat dilakukan pada waktu yang
lain.
8. Prinsip pengukuran eksak, yang menyatakan bahwa hasil-hasil penelitian
harus dapat dinyatakan secara kuantitatif atau secara matematis.
Prinsip-prinsip tersebut di atas merupakan asumsi yang dipakai atau yang
menjadi dasar dalam berpikir dan seharusnya dimiliki oleh para ilmuwan, atau
siapa saja yang belajar. Atas dasar asumsi tersbut, akan diketahui berbagai
keunggulan dan keterbatasan sains sebagai pengetahuan empiris.
Kegiatan sains memiliki sifat terbuka. Artinya, segenap langkah-langkah
yang dilakukan untuk memperoleh produk sains diungkapkan secara terperinci
sehingga semua pihak yang hendak mengetahui secara keseluruhan proses
untuk mendapatkan produk sains dapat diikutinya. Selain itu, produk sains yang
ditemukan harus dipublikasikan melalui publikasi ilmiah, seminar ilmiah, diskusi
ilmiah, dan lain sebagainya. Dengan demikian, produk sains tersebut dapat
diterima oleh masyarakat ilmiah setelah melalui proses penilaian dan pengujian
secara ketat.
Berdasar pada sifat-sifat pengetahuan ilmiah dan proses penemuan ilmiah
dalam sains, sehingga orang yang senantiasa membiasakan diri berpikir secara
ilmiah akan tumbuh dan berkembang sikap ilmiah pada dirinya. Sikap ilmiah
yang dimasudkan antara lain sebagai berikut.
1. Mencintai kebenaran yang obyektif serta bersikap adil, jujur, dan teliti.
2. Menyadari bahwa kebenaran sains tidak absolut, sehingga mendorong
orang untuk senantiasa mencari kebenaran secara ters menerus.
3. Sains membimbing manusia untuk percaya atau mengambil kesimpulan
berdasarkan fakta, bukan karena prasangka.
4. Sains membimbing manusia untuk dapat menerima kritikan, pandapat
orang lain, dan bersikap toleran.
2. Modified Discovery
Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan metode
modified discovery pendidik hanya memberikan permasalahan saja, kemudian
peserta didik digiring untuk menemukan solusi dari masalah tersebut melalui
metode ilmiah dengan memanfaatkan sebanyak-banyaknya keterampilan proses
dan berpikir kreatif. Pendidik memberikan bantuan kepada peserta didik berupa
pertanyaan-pertanyaan yang memungkinkan mereka dapat berpikir kreatif dan
menggunakan keterampilan proses yang menyatu di dalam metode ilmiah untuk
menemukan solusi masalah yang dihadapi.
3. Free Discovery
Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan free discovery
pendidik memperhadapkan peserta didik kepada suatu masalah, kemudian
mereka secara individu atau berkelompok diberi kebebasan melakukan aktivitas
yang berorientasi kepada keterampilan proses, kreativitas, dan metode ilmiah
dalam rangka menemukan solusi masalah yang mereka hadapi. Free discovery
biasanya digunakan oleh peserta didik pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi
(SMA dan Perguruan Tinggi).
6. Pictorial Riddle
Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan pictorial riddle
pendidik harus berusaha mengembangkan motivasi dan minat peserta didik
dalam kecil atau dalam kelompok besar untuk dapat menemukan solusi dari
masalah yang dihadapi dengan memanfaatkan alat peraga atau situasi yang
dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif,
Suatu riddle, biasanya berupa gambar di papan tulis, poster, tayangan gambar
yang diproyeksikan. Selanjutnya, pendidik mengajukan pertanyaan-pertanyaan
yang berkaitan dengan riddle.
7. Synectic lesson
Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan menggubakan synectic lesson
pendidik harus berusaha memicu tumbuhnya bakat-bakat kreatif siswa. Gordon
dalam Moh. Amien (1987) percaya bahwa proses-proses kreatif dapat
diungkapkan dan dikembangkan oleh peserta didik melalui perpaduan berbagai
mata pelakan, misalnya mata pelajaran IPA dipadukan dengan IPS.
Pada dasarnya, synectics memusatkan perhatian kepada keterlibatan
peserta didik untuk membuat berbagai macam “metaphor” agar integensi mereka
dapat terbuka dan pada gilirannya intelegensi mereka dapat terbuka dan
mengembangkan daya kreativitasnya.
8. Value Clarification
Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan menggubakan value
clarification pendidik harus mampu membantu peserta didik dalam
mengembangkan proses-proses yang digunakan dalam menentukan nilai
mereka sendiri. Oleh karena itu seorang tenaga pendidik harus bersikap terbuka
dan menerima pandangan peserta didik, membantu mengungkapkan nilai-nilai
lainnya. Guru harus menyakinkan kepada siswa bahwa sikapnya itu juga berlaku
bagi setiap peserta didik.
I. PENUTUP
Dalam penyelenggaraan sistem pendidikan di negara kita, setiap pendidik
harus mampu merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran dengan
sebanyak-banyaknya menggunakan metode discovery. Hal ini dimaksudkan
karena menurut Murply dalam M. Idris Arief (2003) bahwa dalam paradigma baru
pembelajaran dinyatakan bahwa kurikulum yang ideal adalah kurikulum yang
dapat mengembangkan kemampuan learning how to learn (belajar bagaimana
belajar).
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, maka belajar tidak hanya berupa
transformasi pengetahuan, tetapi yang jauh lebih penting adalah belajar
sesungguhnya adalah mempersiapkan peserta didik untuk belajar lebih
mendalam dari sumber-sumber yang mereka temukan dari pengalaman sendiri,
pengalaman orang lain, maupun pengalaman dari lingkungan di mana mereka
tumbuh guna mengembangkan potensi dirinya. Hal ini cukup berlasan, karena di
dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Melalui kebiasaan dalam melakukan kegiatan discovery sejak peserta
didik duduk di bangku jenjang pendidikan dasar, maka kita harus optimis bahwa
masyarakat Indonesia pada masa mendatang akan mampu bersaing dengan
masyarakat dari negara-negara lain. Inilah yang menjadi tuntutan abad milinium
atau era globalisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Bybee W. Rodger & Sund B. Robert, 1982, Piaget for Educator, Charles E.
Merrill Publishing Company: Columbus
Conny Semiawan, dkk., 1991, Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu, Remaja
Rosdakarya: Bandung.
Murphy, C., 1992, Effecting School Change: the Halton Approach, School
effectiveness and school Improvement, 3(1): 1941