Anda di halaman 1dari 19

BAB 2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dokter dan Dokter Gigi


Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran yang selanjutnya disebut UU No. 29 Tahun 2004, dokter dan dokter gigi adalah
dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran
atau kedokteran gigi, baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui Pemerintah Republik
Indonesia sesuai dengan peraturan perundang–undangan (Konsil Kedokteran Indonesia,
2006).
Secara operasional, “Dokter” didefiniskan sebagai seorang tenaga kesehatan yang
menjadi tempat kontak pertama pasien untuk menyelesaikan semua masalah kesehatan yang
dihadapi tanpa memandang jenis penyakit, organologi, golongan usia, dan jenis kelamin
sedini dan sedapat mungkin secara menyeluruh, paripurna, berkesinambungan, dan dalam
koordinasi serta kolaborasi dengan profesional kesehatan lainnya, dengan menggunakan
prinsip pelayanan yang efektif dan efisien serta menjunjung tinggi tanggung jawab
profesional, hukum, etika dan moral. Layanan yang diselenggarakannya adalah sebatas
kompetensi dasar kedokteran yang diperolehnya selama pendidikan kedokteran (Liana,
2010).
Menurut Kerbala (1993) dalam Liana ( 2010 ), dokter dapat dibedakan atas:
1. Dokter umum
Pengertian dokter umum dapat dirumuskan sebagai seorang yang menjalani
pendidikan di suatu fakultas kedokteran serta mendapat ijazah menurut peraturan yang
berlaku.
2. Dokter spesialis
Dokter spesialis adalah seorang yang telah memenuhi seluruh tuntutan di suatu
fakultas kedokteran kemudian ia melanjutkan pendidikan spesialis tertentu dan telah
memperoleh ijazah atau sertifikat untuk bidang spesialisnya itu.

2.2. Kompetensi
Menurut Boulter et al (dalam Rosidah, 2003), kompetensi adalah karakteristik dasar
dari seseorang yang memungkinkan ia untuk mengeluarkan kinerja superior dalam
pekerjaannya. Berdasarkan uraian tersebut, kompetensi mengandung makna bagian
kepribadian yang mendalam dan melekat pada seseorang dengan perilaku yang dapat
diprediksi pada berbagai keadaan dan tugas pekerjaan. Prediksi siapa yang berkinerja baik
dan kurang baik dapat diukur dari kriteria atau standar yang digunakan.
Menurut Boulter et al (dalam Rosidah, 2003) level kompetensi adalah sebagai
berikut : Skill, Knowledge, Social Role, Self Image, Trait dan Motive. Skill adalah
kemampuan untuk melaksanakan suatu tugas dengan baik. Knowledge adalah informasi yang
dimiliki seseorang untuk bidang khusus (tertentu). Social role adalah sikap dan nilai-nilai
yang dimiliki seseorang dan ditonjolkan dalam masyarakat (ekspresi nilai-nilai diri),
misalnya menjadi pemimpin. Self image adalah pandangan orang terhadap diri sendiri
maupun merekflesikan identitas. Trait adalah karakteristik abadi dari seseorang yang
membuatnya berperilaku, misalnya sifat percaya diri sendiri. Motive adalah sesuatu dorongan
seseorang secara konsisten berperilaku, sebab perilaku seperti hal tersebut dirasakan sebagai
sumber kenyamanannya.
Pendapat lain dari Spencer dan Spencer (dalam Moeheriono, 2009) menyatakan
bahwa kompetensi merupakan karakteristik yang mendasari seseorang berkaitan dengan
efektivitas kinerja individu dalam pekerjaannya maupun karakteristik dasar individu yang
memiliki hubungan kausal atau sebagai sebab-akibat dengan kriteria yang dijadikan acuan,
efektif atau berkinerja prima atau superior di tempat kerja atau pada situasi tertentu. Beberapa
makna yang terkandung di dalamnya adalah sebagai berikut:
a. Karakteristik dasar (underlying characteristic), kompetensi adalah bagian dari
kepribadian yang mendalam dan melekat pada seseorang serta mempunyai perilaku yang
dapat diprediksi pada berbagai keadaan tugas pekerjaan.
b. Hubungan kausal (causally related), berarti kompetensi dapat menyebabkan atau
digunakan untuk memprediksikan kinerja seseorang, artinya jika mempunyai kompetensi
yang tinggi maka akan mempunyai kinerja yang tinggi pula (sebagai akibat).
c. Kriteria (criterian referenced), yang dijadikan sebagai acuan bahwa kompetensi secara
nyata akan memprediksikan seseorang dapat bekerja dengan baik, terukur, dan spesifik
atau terstandar.
Kompetensi berdasarkan penjelasan tersebut merupakan sebuah karakteristik dasar seseorang
yang mengindikasikan cara berpikir, bersikap, dan bertindak serta menarik kesimpulan yang
dapat dilakukan dan dipertahankan oleh seseorang pada waktu periode tertentu. Dengan
beberapa pengertian dari para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa kompetensi adalah
karakteristik dasar yang dimiliki oleh seseorang yangdapat menciptakan kinerja yang baik
dalam melakukan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya.
Beberapa aspek yang terkandung dalam konsep kompetensi adalah sebagai berikut
(Gordon dalam Sutrisno, 2010):
1. Pengetahuan (knowledge), yaitu kesadaran dalam bidang kognitif. Misalnya seorang
karyawan mengetahui cara melakukan identifikasi belajar dan cara melakukan
pembelajaran yang baik sesuai dengan kebutuhan yang ada di perusahaan.
2. Pemahaman (understanding), yaitu kedalaman kognitif dan afektif yang dimiliki oleh
individu. Misalnya, seorang karyawan dalam melaksanakan pembelajaran harus
mempunyai pemahaman yang baik tentang karakteristik dan kondisi kerja secara efektif
dan efisien.
3. Nilai (value) adalah suatu standar perilaku yang telah diyakini dan secara psikologis
telah menyatu dalam diri seseorang. Misalnya, standar perilaku para karyawan dalam
melaksanakan tugas (kejujuran, keterbukaan, demokratis, dan lain-lain).
4. Kemampuan (skill) adalah sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk melaksanakan
tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya.
5. Sikap (attitude) yaitu perasaan (senang-tidak senang, suka-tidak suka) atau reaksi
terhadap suatu rangsangan yang datang dari luar..
6. Minat (interest) adalah kecenderungan seseorang untuk melakukan suatu perbuatan.
Misalnya melakukan suatu aktivitas kerja.
Menurut Moeheriono ( 2009), terdapat lima dimensi kompetensi yang harus dimiliki
oleh semua individu yaitu sebagai berikut:
1. Keterampilan menjalankan tugas (Task-skills), yaitu keterampilan untuk melaksanakan
tugas-tugas rutin sesuai dengan standar di tempat bekerja.
2. Keterampilan mengelola tugas (Task management skills), yaitu keterampilan untuk
mengelola serangkaian tugas yang berbeda yang muncul dipekerjaannya.
3. Keterampilan mengambil tindakan (Contingency management skills), yaitu keterampilan
mengambil tindakan yang cepat dan tepat bila timbul suatu masalah di dalam pekerjaan.
4. Keterampilan bekerja sama (Job role environment skills), yaitu keterampilan untuk
bekerja sama serta memelihara kenyamanan lingkungan kerja.
5. Keterampilan beradaptasi (Transfer skill), yaitu keterampilan untuk beradaptasi dengan
lingkungan kerja yang baru.
Model kompetensi dapat digunakan untuk mengembangkan sistem remunerasi
(imbalan) yang dianggap lebih adil. Kebijakan remunerasi akan lebih terarah dan transparan
dengan mengaitkan sebanyak mungkin keputusan dengan suatu set perilaku yang ditampilkan
seorang karyawan. Dalam era perubahan yang sangat cepat, sifat dari suatu pekerjaan sangat
cepat berubah dan kebutuhan akan kemampuan baru terus meningkat. Model kompetensi
memberikan sarana untuk menetapkan keterampilan apa saja yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan yang selalu berubah.
Moeheriono (2009) mengemukakan lima manfaat dan keuntungan pengembangan
sistem kompetensi ini adalah sebagai berikut:
1. Dapat dipakai sebagai acuan kesuksesan awal bekerja seseorang.
2. Dapat dipakai sebagai dasar untuk merekut karyawan yang baik dan handal.
3. Dapat dipakai sebagai dasar penilaian dan pengembangan karyawan selanjutnya.
4. Dapat dipakai sebagai dasar penilaian kinerja dan pemberian kompensasi (reword) bagi
karyawan berprestasi atau sebagai hukuman (punishment) bagi karyawan tidak
berprestasi.
5. Pihak manajemen bisa menarik kesimpulan bahwa kompetensi sangat bermanfaat untuk
training need analysis atau TNA.
Suatu instansi dapat berprestasi unggul apabila orang-orang yang bekerja dalam
perusahaan dapat memberikan kontribusi maksimal kepada instansi sesuai dengan tugas dan
kemampuannya. Dapat dikatakan bahwa orang-orang tersebut mampu bekerja dengan
prestasi terbaiknya yaitu mampu berprestasi pada saat ini dan masa yang akan datang, baik
pada situasi yang stabil maupun yang berubah-ubah kedepannya (Moeheriono, 2009).
Kompetensi yang tepat merupakan faktor yang menentukan keunggulan prestasi dapat
dimiliki oleh suatu instansi apabila instansi tersebut memiliki fondasi yang kuat, yang
tercermin pada seluruh proses yang terjadi dalam instansi tersebut. Dalam hal ini artinya
instansi harus memiliki kompetensi inti (core competency) yang kuat dan sesuai dengan
bisnis intinya (core business). Kompetensi inti adalah yang selayaknya dimiliki oleh semua
anggota instansi yang membuat anggota instansi tersebut berbeda dari instansi lainnya.
Kompetensi inti biasanya merupakan komponen pembentuk misi dan budaya pada instansi
tersebut. Kompetensi inti harus diperkuat oleh kompetensi departemen atau bagian yang ada
di instansi tersebut (Moeheriono, 2009).

2.3. Kompetensi Dokter


Dokter terus memperbarui pengetahuan dan keterampilan mereka dengan terlibat
dalam pembelajaran seumur hidup (longlife learning). Hal ini telah lama diakui oleh para
dokter sebagai tanggung jawab yang tidak terpisahkan dari profesionalisme medis yang
menopang hubungan antara mereka dan masyarakat serta yang membantu menjaga
kepercayaan masyarakat kepadanya. Pemeliharaan kompetensi profesional akan menjadi unik
untuk setiap dokter. Skema kompetensi profesional dirancang agar fleksibel, sehingga dapat
disesuaikan dengan praktik individu. Namun, untuk mendukung akuntabilitas, ada
persyaratan eksplisit untuk dokter, sehingga memungkinkan pemeliharaan kompetensi
profesional dalam kerangka kerja umum. Peraturan dirancang untuk mendukung tugas baru
dokter dengan jelas demi mempertahankan kompetensi, sementara standar dirancang untuk
memberikan konsistensi dan meningkatkan efektivitas kerja seorang dokter (Medical Council
of Ireland, 2011).
Dibawah aturan untuk pemeliharaan kompetensi professional, seorang dokter
diharuskan juga untuk mematuhi standar untuk pemeliharaan kompetensi profesional praktisi
medis. Standar ini ditetapkan sebagai berikut dan diilustrasikan dalam Gambar 1 (Medical
Council of Ireland, 2011).
1. Praktek Profesional yang Baik
Dokter mempertahankan kompetensi profesional untuk mencapai hasil praktik
profesional yang baik yang berkontribusi pada keselamatan pasien dan kualitas
perawatan pasien.
2. Direncanakan pada kebutuhan yang dinilai
Dokter merencanakan pemeliharaan kompetensi profesional berdasarkan kebutuhan
pasien saat ini, praktik dan sistem kesehatan serta perkembangan di masa depan.
3. Kegiatan berbasis praktik yang beragam dan relevan
Dokter bertanggung jawab untuk mempertahankan kompetensi profesional melalui
beragam kegiatan mandiri dan berbasis praktik yang relevan dengan kebutuhan yang
dinilai demi mencapai target yang ditetapkan dalam Kerangka Kerja Dewan untuk
Pemeliharaan Kegiatan Kompetensi Profesional
4. Refleksi dan tindakan
Dokter merefleksikan kegiatan untuk mempertahankan kompetensi profesional dan
mengambil tindakan untuk memastikan praktik profesional terbaik yang berkontribusi
terhadap keselamatan pasien dan kualitas perawatan pasien.
5. Didokumentasikan dan dapat didemonstrasikan
Dokter mengumpulkan dan mendokumentasikan bukti untuk menunjukkan pemeliharaan
kompetensi professional.
Gambar 1. Ilustrasi standar
pemeliharaan kompetensi professional

Standar ini menjelaskan langkah-langkah dalam proses pemeliharaan kompetensi


profesional dan juga menetapkan target untuk akrual pemeliharaan kredit kompetensi
profesional di berbagai kategori aktivitas. Sudah menjadi tanggung jawab setiap dokter untuk
mempertahankan kompetensi profesional sesuai dengan standar. Namun demikian, standar
tidak mendefinisikan kurikulum yang harus dikejar oleh dokter. Ini dikarenakan
pemeliharaan kompetensi profesional adalah proses mandiri yang relevan dan melekat dalam
praktik masing-masing dokter (Medical Council of Ireland, 2011).
Konsil Kedokteran telah menetapkan delapan domain praktik profesional yang baik.
Delapan domain praktik profesional yang baik diantaranya sebagai berikut:
1. Patient Safety and Quality of Patient Care
Keselamatan pasien dan kualitas perawatan pasien harus menjadi inti dari pemberian
layanan kesehatan yang diberikan oleh dokter. Seorang dokter perlu bertanggung jawab
kepada badan profesional mereka, kepada organisasi tempat mereka bekerja, kepada
konsil kedokteran dan kepada pasien mereka sehingga memastikan pasien yang mereka
layani menerima perawatan sebaik mungkin.
2. Relating to Patients
Praktik medis yang baik didasarkan pada hubungan kepercayaan antara dokter dan
masyarakat serta melibatkan kemitraan antara pasien dan dokter yang didasarkan pada
saling menghormati, kerahasiaan, kejujuran, tanggung jawab dan akuntabilitas.
3. Communication and Interpersonal Skills
Praktisi medis harus menunjukkan keterampilan komunikasi interpersonal yang efektif.
Ini memungkinkan pertukaran informasi, dan memungkinkan kolaborasi yang efektif
dengan pasien, keluarga mereka dan juga dengan kolega klinis dan non-klinis dan
masyarakat luas.
4. Collaboration and Teamwork
Praktisi medis harus bekerja sama dengan kolega dan bekerja secara efektif dengan
profesional kesehatan dari disiplin dan tim lain. Ia harus memastikan bahwa ada jalur
komunikasi yang jelas dan sistem pertanggungjawaban yang berlaku di antara anggota
tim untuk melindungi pasien.
5. Management (including Self Management)
Seorang praktisi medis harus memahami bagaimana bekerja dalam sistem perawatan
kesehatan, memberikan perawatan pasien serta bagaimana kegiatan profesional dan
pribadi lainnya memengaruhi profesional kesehatan lainnya, sistem perawatan kesehatan
dan masyarakat luas secara keseluruhan.
6. Scholarship
Praktisi medis harus secara sistematis memperoleh, memahami dan menunjukkan
pengetahuan substansial yang berada di garis depan bidang pembelajaran dalam bidang
spesialisasi mereka sebagai bagian dari rangkaian pembelajaran seumur hidup. Mereka
juga harus mencari informasi dan bukti terbaik untuk memandu praktik profesional
mereka.
7. Professionalism
Praktisi medis harus menunjukkan komitmen untuk memenuhi tanggung jawab
profesional dengan mematuhi standar yang ditentukan dalam panduan untuk etika dan
perilaku profesional dari konsil kedokteran.
8. Clinical Skills
Pemeliharaan kompetensi profesional dalam domain keterampilan klinis jelas khusus dan
standar harus ditetapkan oleh Badan Pelatihan Pascasarjana yang relevan sesuai dengan
tolok ukur internasional.
Domain-domain ini menggambarkan kerangka kerja kompetensi yang berlaku untuk
semua dokter di seluruh rangkaian pengembangan profesional dari pendidikan dan pelatihan
medis formal hingga pemeliharaan kompetensi profesional. Sejak mereka menggambarkan
hasil yang harus dicapai oleh dokter, dokter harus merujuk pada domain-domain ini
sepanjang proses mempertahankan kompetensi sesuai dengan Standar. Misalnya, domain
dapat digunakan untuk menilai kebutuhan dan merencanakan pemeliharaan kompetensi
profesional, dan mereka dapat dirujuk silang dengan kegiatan spesifik untuk pemeliharaan
kompetensi professional (Medical Council of Ireland, 2011).

Gambar 2. Ilustrasi delapan domain praktek professional

Setiap dokter diharapkan memperoleh minimal 50 sistem kredit poin (SKP) per tahun
melalui kegiatan pengembangan profesional berkelanjutan. Aktivitas akan terdiri dari
kegiatan eksternal yang relevan (pemeliharaan pengetahuan dan keterampilan), internal
(evaluasi dan pengembangan praktik), pembelajaran pribadi dan penelitian/kategori
pengajaran. Selain itu, setiap dokter diharapkan menyelesaikan satu audit klinis per tahun.
Kegiatan yang dilakukan bertujuan untuk menerapkan pemeliharaan kompetensi profesional
yang mana akan memungkinkan dokter memperbarui serta mengembangkan terus ilmu
pengetahuannya baik keterampilan maupun sikap mereka untuk memenuhi kebutuhan yang
dinilai sendiri. Dokter akan merefleksikan kegiatan dan mengambil tindakan untuk mencapai
tujuan ini (Medical Council of Ireland, 2011).
Dokter akan mengumpulkan dan menyimpan bukti kegiatan yang mereka lakukan
untuk mempertahankan kompetensi profesionalnya. Konsil kedokteran dapat meminta untuk
melihat bukti ini untuk memeriksa bahwa dokter sudah mempertahankan kompetensi
profesional sesuai dengan standar mereka (Medical Council of Ireland, 2011).
Gambar 3. Ilustrasi standar pemeliharaan kompetensi professional

Konsil kedokteran memastikan bahwa pemeliharaan kompetensi profesional dokter


adalah transparan dan akuntabel untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap profesi
medis. Kontrol kualitas dicapai melalui serangkaian pemeriksaan yang dioperasikan oleh
skema kompetensi profesional dan konsil kedokteran

2.4. Standar Kompetensi Dokter di Indonesia


Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) merupakan standar minimal
kompetensi lulusan dan bukan merupakan standar kewenangan dokter layanan primer. SKDI
pertama kali disahkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) pada tahun 2006 dan telah
digunakan sebagai acuan untuk pengembangan kurikulum berbasis kompetensi (KBK). SKDI
juga menjadi acuan dalam pengembangan uji kompetensi dokter yang bersifat nasional
(Konsil Kedokteran Indonesia,2012).
Standar Kompetensi Dokter Indonesia terdiri atas 7 (tujuh) area kompetensi yang
diturunkan dari gambaran tugas, peran, dan fungsi dokter layanan primer. Setiap area
kompetensi ditetapkan definisinya, yang disebut kompetensi inti. Setiap area kompetensi
dijabarkan menjadi beberapa komponen kompetensi, yang dirinci lebih lanjut menjadi
kemampuan yang diharapkan di akhir pendidikan (Konsil Kedokteran Indonesia,2012).
Kompetensi dibangun dengan pondasi yang terdiri atas profesionalitas yang luhur,
mawas diri dan pengembangan diri, serta komunikasi efektif, dan ditunjang oleh pilar berupa
pengelolaan informasi, landasan ilmiah ilmu kedokteran, keterampilan klinis, dan
pengelolaan masalah kesehatan (Gambar 4). Oleh karena itu area kompetensi disusun dengan
urutan sebagai berikut (Konsil Kedokteran Indonesia,2012):
1. Profesionalitas yang Luhur
2. Mawas Diri dan Pengembangan Diri
3. Komunikasi Efektif
4. Pengelolaan Informasi
5. Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran
6. Keterampilan Klinis
7. Pengelolaan Masalah Kesehatan

Gambar 4. Pondasi dan pilar


kompetensi

2.5. Medical Tourism


Menurut Kelley (2013), pariwisata medis/medical tourism didefinisikan sebagai
bentuk pariwisata berupa pariwisata perjalanan internasional untuk melakukan maupun
menerima beberapa bentuk perawatan medis. Perawatan dapat menjangkau berbagai layanan
medis yang mana paling umum berupa perawatan gigi, bedah kosmetik, bedah elektif, dan
perawatan kesuburan. Tidak ada definisi pariwisata medis yang disepakati; akibatnya metode
yang diterapkan oleh negara berbeda secara substansial. Beberapa negara menghitung
kunjungan pasien asing ke rumah sakit sedangkan yang lain menghitung masuknya masing-
masing pasien ke negara tersebut. Negara-negara lain mencatat kebangsaan tetapi bukan
tempat tinggal pasien, dapat menjadi masalah ketika migran kembali ke negara asal untuk
berobat (WHO, 2011).
Smith et al (2011) menyatakan bahwa pariwisata medis didefinisikan sebagai 'praktik
bepergian ke negara lain dengan tujuan memperoleh perawatan kesehatan' (operasi elektif,
perawatan gigi, perawatan reproduksi, transplantasi organ, pemeriksaan medis, dan lain
laim.). Ini tidak termasuk pariwisata kesehatan / wellness tourism, yang mengacu pada
mengunjungi spa, perawatan homeopati atau terapi tradisional. Praktek pariwisata medis
bukanlah hal baru, orang-orang telah bepergian ke luar negeri untuk berobat selama berabad-
abad. Terdapat beberapa alasan mengapa seseorang melakukan ini diantaranya beberapa tidak
dapat membeli layanan kesehatan di negara asal mereka, yang lain tidak mampu menunggu
sistem nasional mereka untuk memberikan perawatan, maupun beberapa perawatan tidak
tersedia di negaranya (Reed, 2008).
Pariwisata medis secara historis berasal dari negara berpenghasilan lebih rendah
hingga lebih tinggi, dengan fasilitas medis yang lebih baik. Namun, tren ini sekarang berbalik
dan baru-baru ini pusat unggulan medis telah berkembang, yang mana dapat menarik orang
secara regional (Lautier, 2008). Banyak negara berpartisipasi dalam pariwisata medis sebagai
importir, eksportir atau keduanya. Negara-negara pengimpor utama (yang merupakan tempat
asal pariwisata medis) berada di Amerika Utara dan Eropa Barat. Negara-negara pengekspor
utama (mereka yang menyediakan layanan untuk pariwisata medis) berlokasi di semua benua,
termasuk Amerika Latin, Eropa Timur, Afrika, dan Asia. Negara-negara memiliki spesialisasi
dalam prosedur tertentu. Sebagai contoh, Thailand dan India mengkhususkan diri dalam
bedah ortopedi dan jantung, sedangkan negara-negara Eropa Timur adalah negara tujuan
utama untuk operasi di bidang kedokteran gigi (Smith et al., 2009).
Beberapa literatur menyoroti sejumlah masalah seputar pariwisata medis, untuk
negara-negara "pengimpor" dan "pengekspor". Beberapa perspektif ditinjau dari hubungan
dagang bilateral.
1. Negara Pengimpor
Berdasarkan perspektif negara “pengimpor”, peluang yang didapat seperti dapat
memperoleh manfaat finansial dari pengiriman pasien ke luar negeri. Satu studi
memperkirakan bahwa jika satu dari sepuluh pasien AS yang menderita 1 dari 15 kondisi
pergi ke luar negeri untuk perawatan medis, penghematan keseluruhan akan menjadi US $
1,4 miliar per tahun (Mattoo&Rathindran, 2006). Selain itu, negara-negara dapat mengambil
manfaat dengan mengurangi daftar tunggu. Sekali lagi, ini berlaku untuk hubungan
perdagangan multilateral dan bilateral. Namun, dalam hubungan bilateral, akan lebih mudah
untuk merencanakan pasien baiknya dikirimkan ke tempat mana dan untuk perawatan apa.
Aspek positif lain dari paripariwisata medis dari perspektif negara pengimpor termasuk
peningkatan pilihan pasien, tingkat perawatan pribadi yang lebih tinggi dan peningkatan
privasi dan kerahasiaan (Horowitz et al., 2007).
Risiko utama yang dihadapi negara-negara pengimpor adalah kualitas perawatan.
Terdapat kekhawatiran bahwa kualitas perawatan yang diterima di luar negeri mungkin lebih
rendah daripada yang ditawarkan di dalam negeri. Namun, ada sedikit bukti untuk
membuktikan atau membantah hal ini. Negara-negara pengekspor telah berupaya untuk
mengatasi masalah ini melalui akreditasi nasional dan internasional. Misalnya seperti 35
negara telah meminta akreditasi dari Joint Commission International (JCI), cabang
internasional dari Joint Commission, yang mengakreditasi rumah sakit di America Serikat.
India telah mencari dan memperoleh akreditasi JCI untuk 16 rumah sakit dan Thailand untuk
5 rumah sakitnya (Smith, 2011). [26] Jumlah agensi akreditasi yang tinggi ini dapat
menunjukkan komitmen kuat dari negara-negara pengekspor untuk mengembangkan atau
memperkuat industri paripariwisata medis mereka. Badan akreditasi memastikan bahwa
rumah sakit menyediakan layanan yang sesuai dengan standar nasional maupun internasional,
memberikan sinyal kepada konsumen potensial bahwa perawatan yang ditawarkan oleh
rumah sakit ini akan sebanding dengan yang disediakan oleh fasilitas 'rumah' mereka (Smith
et al.,2011).
Kekhawatiran lain yang disoroti adalah adanya perbedaan hukum malpraktik di
negara-negara pengekspor (Chinai & Goswami, 2007) [7,27-29]. Terlepas dari kualitas
perawatan, pada akhirnya kesalahan profesional cenderung dapat terjadi. Ketika itu terjadi,
maka mereka akan melakukan caralain seperti pemberian kompensasi. Negara-negara seperti
India dan Thailand, yang merupakan salah satu pengekspor utama layanan kesehatan,
memiliki undang-undang malapraktik yang terbatas. Dalam hubungan perdagangan bilateral,
masalah ini dapat diatasi dengan menyusun seperangkat undang-undang di awal antara kedua
negara, sehingga ketika kesalahan profesional terjadi,maka prosedur yang telah ditetapkan
dapat diikuti. Ini tidak akan layak dalam hubungan multilateral, di mana masalah akan
ditangani dalam kasus per kasus (Smith et al.,2011).
Akhirnya, terdapat juga kekhawatiran tentang kurangnya perawatan lanjutan atau
follow up (Cheung & Wilson, 2007) [7,12,30]. Komplikasi dapat timbul setelah melalukan
operasi. Jika timbul seperti itu yang mana pasien telah kembali ke rumah (negara asal), maka
sistem follow up oleh dokter penanggung jawab susah dilakukan. Namun, dalam sistem
bilateral perawatan lanjutan dapat diatur sebelumnya dengan dokter di kedua negara berbagi
catatan medis serta berkomunikasi sebelum dan selama prosedur, yang mana akan
berkontribusi juga pada kualitas perawatan yang lebih baik (Smith et al.,2011). Konsekuensi
negatif lainnya untuk negara pengimpor yang disorot yaitu kurangnya aliran informasi antara
dokter di negara pengimpor dan pengekspor, yang dapat membuat kesinambungan perawatan
lebih sulit (Martinez et al., 2008) [24,31]
2. Negara Pengekspor
Pariwisata medis dapat menjadi sumber devisa yang penting. Sebuah laporan oleh
Tourism Research and Marketing Group memperkirakan bahwa terdapat 37 juta perjalanan
yang berhubungan dengan kesehatan setiap tahunnya yang mana menghasilkan D33 miliar
(Smith, 2009).[5,32] Negara-negara pengekspor cenderung menjadi negara-negara
berpenghasilan rendah, yang sangat diuntungkan dari pendapatan yang didapatkan melalui
pariwisata medis. Pariwisata medis terjadi melalui sektor swasta. Namun, negara seperti India
dan Thailand, pemerintah juga memainkan peran dengan berinvestasi secara langsung atau
tidak langsung (insentif pajak) di rumah sakit swasta (Ramirez de Arellano, 2007) [9,13,34].
Beberapa pemerintah juga secara aktif mempromosikan pariwisata medis, seperti kampanye
'Incredible India' atau selebaran Singapura yang ditemukan di beberapa bandara. Oleh karena
itu, sektor publik juga harus mendapat manfaat dari pendapatan yang diperoleh dari
pariwisata medis, terutama jika diinvestasikan kembali ke sistem kesehatan masyarakat.
Beberapa negara pengekspor telah mengambil keuntungan dari perluasan pariwisata medis
untuk menarik pekerja kesehatan yang telah beremigrasi (Dunn, 2007)[7,12,27]. Ini
dikarenakan rumah sakit yang melayani pariwisata medis menawarkan gaji dan peluang kerja
yang kompetitif. Ini memiliki manfaat ganda dikarenakan pasien internasional lebih
cenderung mempercayai dokter yang terlatih atau berpraktik di negara asal mereka (Connel,
2008) [12].
Terdapat beberapa aspek negatif terkait pariwisata medis untuk negara-negara
pengekspor. Dua puluh makalah yang ditinjau menyatakan keprihatinan tentang
kemungkinan sistem kesehatan dua tingkat yang mana pasien asing mendapat manfaat dari
rumah sakit swasta canggih dengan rasio staf-pasien yang tinggi dengan peralatan medis
canggih, sedangkan penduduk lokal akan hanya memiliki akses ke fasilitas kesehatan dasar
dan kekurangan sumber daya. Namun, dalam sistem perdagangan bilateral tindakan dapat
dilakukan untuk memperbaiki hal ini misalnya, termasuk dalam perjanjian bahwa sebagian
dari pendapatan dihabiskan untuk perawatan kesehatan bagi penduduk setempat atau
penegakan hukum yang lebih baik demi menjamin persentase tempat tidur rumah sakit swasta
bagi masyarakat setempat tanpa biaya atau gratis.
Konsekuensi negatif lebih lanjut dari pariwisata medis di negara-negara pengekspor
meliputi adanya kemungkinan sumber daya diambil dari rumah sakit daerah dan
diinvestasikan ke rumah sakit swasta (Chanda, 2002) [37], mendorong investasi perawatan
tersier perkotaan/urban yang jauh dari pusat pelayanan kesehatan primer di daerah
pedesaan/rural yang dibutuhkan (Leahy, 2008) [9,12,38,39]. Beberapa makalah juga
menyoroti masalah etika tentang pariwisata transplantasi organ (Turnerm, 2008)
[13,17,18,40]. Sekali lagi, mekanisme penegakan hukum yang lebih baik dapat dilakukan
dalam hubungan bilateral sehingga dapat memastikan bahwa sebagian besar pendapatan
dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan setempat.
2.6. Travel Medicine
Kedokteran pariwisata atau travel medicine adalah bidang ilmu kedokteran yang
mempelajari persiapan kesehatan dan penatalaksanaan masalah kesehatan orang yang
bepergian (travellers). Bidang ilmu ini baru saja berkembang dalam tiga dekade terakhir
sebagai respons terhadap peningkatan arus perjalanan internasional di seluruh dunia. Tahun
2003, World Tourism Organization mencatat ada 691 juta international arrivals di seluruh
bandara di dunia dan tahun 2020 diproyeksikan akan meningkat sampai 1,56 milyar (Pakasi,
2006).
Pelayanan kedokteran pariwisata diberikan di travel clinic yang umumnya berada di
negara-negara maju untuk memenuhi kebutuhan warga mereka yang akan bepergian ke
negaranegara berkembang. Saat ini diperkirakan setiap tahun terdapat 80 juta orang yang
bepergian dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang. Sejauh ini negara-negara
berkembang hanya dianggap sebagai daerah tujuan pariwisata yang mempunyai risiko
kesehatan tertentu, bahkan dalam buku panduannya, World Health Organization hanya
menyebutkan bahwa konsultasi pra-travel diperlukan oleh travellers yang bermaksud
mengunjungi negara berkembang. Kemudian timbulah pertanyaan tentang bagaimana dengan
masyarakat negara berkembang yang akan bepergian ke luar negeri. Kekurangan pelayanan
kesehatan di negara berkembang yaitu belum mempunyai visi ke depan untuk melindungi
warganegaranya yang akan bepergian ke luar negeri. Oleh karena itu, dibutuhkan
pengetahuan dan keterampilan baru di bidang kedokteran pariwisata yang perlu dikuasai oleh
para tenaga kesehatan di Indonesia, salah satunya adalah mengenai travel clinic dan
pelayanan yang ditawarkannya (Pakasi, 2006).
Dalam pelayanan kedokteran pariwisata, orang yang datang umumnya orang sehat
yang membutuhkan informasi dan tidak menganggap dirinya seorang pasien, meskipun
mungkin saja statusnya berubah menjadi pasien setelah pulang dari perjalanan. Terdapat
perbedaan bentuk komunikasi yang harus dipahami dan dimengerti oleh tenaga kesehatan.
Dalam praktek kedokteran konvensional, hubungan dokter dan pasien umumnya adalah
‘hubungan terapeutik’ dengan model paternalistik yaitu ketika dokter menentukan apa yang
terbaik untuk si pasien. Namun, terdapat berbeda dengan pelayanan kedokteran pariwisata.
Dokter dan klien mempunyai hubungan sejajar yang bersifat informative (dokter berperan
sebagai ahli teknis), interpretive (dokter berperan sebagai konselor untuk membantu klien
memutuskan yang penting bagi dirinya), dan deliberative (dokter berperan sebagai guru yang
memberi tahu klien apa yang harus dikerjakan dan mengapa hal itu harus dikerjakan) (Pakasi,
2006).
Dalam bidang kedokteran pariwisata, dokter tidak hanya mengupayakan pencegahan
penyakit serta menangani masalah-masalah kesehatan pada travellers, namun juga
mengambil bagian dalam advokasi untuk perbaikan pelayanan kesehatan dan keamanan
untuk para wisatawan. Oleh karena itu, dokter kedokteran pariwisata perlu mempunyai
pengetahuan yang luas dan selalu up-to-date dikarenakan perubahan-perubahan yang cepat di
seluruh dunia yang meliputi pengetahuan wabah penyakit, terutama emerging infectious
diseases, pola resistensi antibiotika, iklim global, ekologi, serta perubahan politik negara lain.
Saat ini travel medicine telah jauh berkembang dan meluas ke cabang-cabang ilmu lain
seperti migrant health & refugees, kedokteran olahraga, adventure medicine, aviation
medicine, bioterorisme, dan lain sebagainya. Setiap dokter dapat menemukan minatnya
sendiri secara lebih khusus bahkan dapat menjadi sarana penyaluran hobi seperti diving,
fotografi, dan lain-lain (Pakasi, 2006).
Tenaga kesehatan (dokter dan perawat) yang berminat memberikan pelayanan
kedokteran pariwisata dapat mengambil studi pasca sarjana secara internasional berupa
sertifikasi, diploma ataupun master degree. Beberapa tahun terakhir telah dilakukan
standarisasi ilmu kedokteran pariwisata secara internasional oleh organisasi International
Society of Travel Medicine (ISTM) dengan dilakukannya ujian untuk mendapatkan certificate
of knowledge in travel medicine. Standarisasi tersebut diharapkan dapat meningkatkan
kompetensi tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kedokteran pariwisata (Pakasi,
2006).
Pelayanan kedokteran pariwisata diberikan di klinik yang ditujukan khusus yang
disebut travel medicine clinic atau klinik kedokteran pariwisata. Travel medicine clinic dapat
didirikan secara terintegrasi dengan institusi kesehatan yang sudah ada. Pelayanan kedokteran
pariwisata dapat diberikan dalam:
 Klinik Dokter Umum
Sejumlah dokter umum yang kompeten dapat menyediakan jasa pelayanan kedokteran
pariwisata di klinik tempat prakteknya sehari-hari. Pelayanan ini dapat disediakan untuk
pasien-pasien langganan mereka atau untuk menerima rujukan dari klinik-klinik umum
disekitarnya.
 Klinik di Rumah Sakit
Banyak travel clinic di negara negara maju dibuat di dalam rumah sakit. Pada salah satu
pihak, hal ini cukup menguntungkan dikarenakan adanya fasilitas yang lebih lengkap
daripada klinik umum terutama untuk laboratorium dan fasilitas kegawatdaruratan.
Namun di pihak lain, kenyamanan para klien perlu diperhatikan mengingat mereka
datang sebagai orang sehat bukan sebagai orang sakit/pasien.
 Travel Clinic Swasta
Pelayanan kedokteran pariwisata yang profesional umumnya diselenggarakan sebagai
suatu badan usaha perseroan terbatas (company) dengan saham-saham yang dimiliki para
pendirinya atau publik. Lokasi yang diambil lebih diambil di tempat bisnis publik seperti
mal-mal atau pusat bisnis yang juga berdekatan dengan biro-biro perjalanan (travel
agent). Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah para klien mendapatkan akses travel
advice di tempat-tempat bisnis pada jam-jam kerja.
 Klinik Pelabuhan/ Maskapai Penerbangan
Selain lokasi di atas, klinik yang menyediakan pelayanan kedokteran pariwisata dapat
berada di pelabuhan laut, bandar udara, atau klinik-klinik milik maskapai penerbangan.
Biasanya klinik ini juga menyediakan fasilitas evakuasi jika dibutuhkan.
 Klinik Hotel/ Daerah Tujuan Paripariwisata
Banyak hotel dan daerah tujuan pariwisata di Indonesia memiliki klinik khusus yang
buka selama 24 jam. Kenyataannya, sebagian besar klinik-klinik ini baru sebatas
memberikan pelayanan kuratif kepada para turis. Klinik-klinik ini sebenarnya berpotensi
menyelenggarakan pelayanan kedokteran pariwisata untuk tujuan promotif dan preventif
bagi masyarakat atau orang asing yang tinggal di wilayahnya yang akan melakukan
perjalanan.
Pelayanan kedokteran pariwisata yang dapat diberikan di travel clinic meliputi konsultasi pra
perjalanan; imunisasi; profilaksis, stand-by treatment, dan medical kit; serta konsultasi dan
penatalaksanaan penyakit pascaperjalanan. Selain itu, setiap klinik juga perlu
mengembangkan sistem dokumentasi rekam medik dan sarana tambahan seperti konsultasi
via telepon, apotik serta pelayanan penjualan alat-alat kesehatan untuk pencegahan penyakit
(Pakasi, 2006).
Dokter yang ingin menyelenggarakan praktek kedokteran pariwisata perlu menguasai
beberapa keterampilan, antara lain:
 Pengkajian kesehatan dasar
Hal ini meliputi evaluasi kondisi medik klien dan pengkajian risiko perjalanan
berdasarkan rencana perjalanan, lokasi tujuan, cara perjalanan, aktivitas di daerah tujuan,
dan lama tinggal. Kajian perlu dibedakan antara anak-anak, orang dewasa sehat, orang
lanjut usia, wanita hamil, penderita penyakit kronik, penderita imunodefisiensi, dan
orang dengan keterbatasan (cacat).
 Membuat strategi untuk mengurangi risiko
Ini meliputi rekomendasi imunisasi dan modifikasi perilaku untuk menjaga kesehatan.
 Strategi penatalaksanaan penyakit ketika bepergian
Yaitu langkah-langkah yang perlu diambil klien jika ia mengalami gangguan kesehatan.
 Konsultasi pasca-perjalanan
Yaitu pengkajian kemungkinan adanya penyakit yang terkait perjalanan setelah klien
pulang dan penatalaksanaan penyakit tersebut jika terbukti ada (termasuk mekanisme
rujukan).
 Keterampilan komunikasi.
Umumnya klien terseut bukan pasien, diperlukan cara komunikasi yang berbeda.
Penguasaan bahasa asing yang terampil merupakan sumber terciptanya komunikasiu
yang baik antara tenaga kesehatan dank lien. Klien dapat membahas risiko kesehatannya
bersama-sama dengan tenaga kesehatan seperti dua orang yang sedang berdiskusi, bukan
seperti dokter yang sedang memberi instruksi kepada pasien. Alat-alat bantu seperti
brosur, leaflet, dan formulir isian diperlukan untuk menjelaskan berbagai hal kepada
klien.
Sebuah travel clinic yang profesional perlu mempunyai berbagai fasilitas sebagai
berikut:
 Peralatan elektronik, yaitu lemari es untuk menyimpan vaksin dan perangkat
telekomunikasi: telepon, fax dan internet.
 Bahan habis pakai, yaitu vaksin dan obat-obatan, alat-alat disposable, peralatan
resusitasi dan obat-obatan untuk mengatasi reaksi alergi.
 Dokumen, berupa status khusus untuk perjalanan, catatan imunisasi, dan sistem rekam
medik yang baik.
 Formulir persetujuan tindakan medik, untuk melakukan imunisasi, pemeriksaan
laboratorium dan terapi tertentu.
 Ruangan-ruangan terpisah untuk ruang tunggu, kamar konsultasi dan ruang tindakan.
Jika mungkin dapat disediakan laboratorium atau bekerja sama dengan laboratorium di
luar klinik.
 Protokol (protap) khusus, yaitu untuk pengendalian infeksi (universal precaution),
pembuangan limbah, pedoman imunisasi, penyimpanan vaksin, observasi pasca-
imunisasi, kerahasiaan klien, konsultasi via telepon, penatalaksanaan gawat darurat, dan
riset.
 Bahan-bahan edukasi: brosur-brosur dan buku saku untuk berbagai masalah kesehatan
dengan pencegahannya, bukubuku tentang perjalanan, informasi jaringan pelayanan
kesehatan, informasi tentang alat-alat pencegahan penyakit: kelambu, insect repellent,
cara sterilisasi air, medical kit dan sebagainya. Alat-alat ini dapat dijual kepada klien
yang membutuhkannya
Kunjungan ke travel clinic dan imunisasi biasanya tidak ditanggung oleh pemerintah
atau perusahaan asuransi, sehingga klien diharapkan membayar sendiri biaya konsultasi dan
vaksin atau obat-obatan lainnya. Peran tenaga kesehatan adalah untuk memberi informasi dan
edukasi, namun klien bertanggung jawab terhadap kesehatan dirinya dan keputusan yang
diambilnya. Pengkajian risiko kesehatan seorang klien sehubungan dengan rencana
kepergiannya hanya membutuhkan waktu antara 15-30 menit. Jika diperlukan, tambahan
waktu 30-60 menit dapat diberikan tergantung kompleksitas geografik dan perilaku berisiko
tinggi yang dapat dialami klien. Tidak seperti praktek biasa, praktek travel medicine dapat
dijadwalkan dengan tepat waktunya, sehingga tidak diperlukan antrian yang panjang.
Pemberian imunisasi diberikan di ruangan terpisah oleh tenaga kesehatan lain, sehingga
jadwal konsultasi tidak akan terganggu dengan tindakan imunisasi dan observasinya. Oleh
karena pemberian konsultasi dan travel advice sudah ditentukan lamanya, maka penentuan
jasa medik diberikan tergantung lama bicara. Tentunya jika tidak ada kondisi khusus, semua
klien hanya membayar tarif terendah untuk konsultasi 15-30 menit. Jika memang dibutuhkan
lebih dari itu, klien perlu diberitahu lebih dahulu (daftar tarif dapat dipasang di
resepsionis). Implikasinya, tenaga kesehatan yang bekerja harus sudah mempunyai
pengetahuan yang cukup, sehingga tidak ada waktu terbuang percuma karena ia harus
membaca dahulu atau mencari informasi melalui internet. Besar jasa medik dapat ditentukan
sesuai kesepakatan dengan mengacu pada tarif dokter spesialis biasa (bukan spesialis
konsultan) di suatu wilayah (Pakasi, 2006).

Anda mungkin juga menyukai