Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN TEORI
A. Konsep Dasar Medis
1. Definisi
Trauma atau cedera kepala juga dikenal sebagai cedera otak adalah
gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun
trauma tajam. (Fransisca, 2008)
Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak. Secara
anatomis, otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit kepala, tulang dan
tentorium (helm) yang membungkusnya. Tanpa perlindungan ini otak akan
mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. (Arif Muttaqin,
2008)
Cedera pada kepala mengenai kulit kepala, tengkorak dan otak. Cedera
kepala merupakan peristiwa yang sering terjadi dan mengakibatkan
kelainan neurologis yang serius serta telah mencapai proporsi epidemic
sebagai akibat dari kecelakaan kendaraan. (Baughman, 2000)
Cedera kepala berat adalah cedera kepala yang mengakibatkan
penurunan kesadaran dengan skor GCS 3 sampai 8, mengalami amnesia >
24 jam.
2. Etiologi
Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyeba utama cedera
kepala. Dari semua klien yang masuk ke unit gawat darurat, sebagian besar
adalah laki-laki yang berusia kurang dari 30 tahun dan 50% terbukti
mengomsumsi alkohol atau zat lain yang disalahgunakan. Alkohol
memperlambat refleks serta menganggu proses kongnitif dan persepsi.
Perubahan fisiologis ini meningkatkan kemungkinan terlibat kecelakaan
atau perkelahian. Faktor resiko kedua adalah mengemudi tanpa sabuk
pengaman. Puncak kejadian adalah di petang hari, malam dan akhir pekan.
Penyebab lainnya adalah penyerangan, jatuh, dan cedera yang berhubungan
dengan olahraga. (Black, 2014)

1
Menurut Elizabeth dan Smaltzer, penyebab cedera kepala berat adalah:
a. Trauma tajam : kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah itu merobek
otak, misalnya terembak peluru/benda tajam
b. Trauma tumpul : kerusakan menyebar karena kekuatan benturan,
biasanya lebih berat sifatnya
c. Cedera akselarasi : peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik
disebabkan oleh pukulan maupun bukan dari pukulan
d. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda dan
mobil
e. Kecelakaan pada saat olahraga
f. Cidera akibat kekerasan
g. Cidera robekan atau hemoragi
h. Hematom intracerebral
3. Klasifikasi
Cedera kepala dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Berdasarkan mekanisme (Black, 2014)
1) Trauma tumpul : adalah trauma yang terjadi akibat kecelakaan
kendaraan bermotor, kecelakaan saat olahraga, kecelakaan saat
bekerja, jatuh, maupun cedera akibat kekerasaan (pukulan).
2) Trauma tembus : adalah bentuk cedera primer yang meliputi luka
pada kepala akibat benda asing misalnya pisau dan peluru, atau
akibat fragmen tulang dari fraktur tengkorak.
b. Berdasarkan patologi (Amin Huda, 2016)
1) Cedera kepala primer : merupakan akibat cedera awal. Cedera awal
menyebabkan gangguan integritas fisik, kimia dan listrik dari sel di
area tersebut, yang menyebabkan kematian sel.
2) Cedera kapala sekunder : cedera ini merupakan cedera yang
menyebabkan kerusakan otak lebih lanjut yang terjadi setelah
trauma sehingga meningkatkan TIK yang tak terkendali, meliputi
respon fisiologis cedera otak, termasuk edema serebral, perubahan

2
biokimia, dan perubahan hemodinamik serebral, iskemia serebral,
hipotensi sistemik, dan infeksi lokal atau sistemik.
c. Berdasarkan jenis cedera (Amin Huda, 2016)
1) Cedera kepala terbuka : dapat menyebakan fraktur tulang tengkorak
dan laserasi duameter. Trauma yang menembus tengkorak dan
jaringan otak.
2) Cedera kepala tertutup : dapa disamakan pada pasien dengan gegar
otak ringan dengan cedera serebral yang luas.
d. Berdasarkan beratnya (Amin Huda, 2016)
1) Cedera kepala ringan/minor
a) GCS 14-15
b) Dapat terjadi kehilangan kesadaran, amnesia, tetapi kurang dari
30 menit
c) Tidak ada fraktur tengkorak
d) Tidak ada kontusia serebral, hematoma
2) Cedera kepala sedang
a) GCS 9-13
b) Kehilangan kesadaran dan asam anamnesa lebih dari 30 menit
tetapi daro 24 jam
c) Dapat mengalami fraktur tengkorak
d) Diikuti kontusia serebral, laserasi dan hematoma intracranial
3) Cedera kepala berat
a) GCS 3-8
b) Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 24 jam
c) Juga meliputi kontusia serebral, laserasi atau hematoma
intracranial
e. Berdasarkan morfologi
1) Cedera kulit kepala
Karena bagian ini banyak mengandung pembuluh darah, kulit
kepala berdarah bila cedera dalam. Luka kulit kepala juga
merupakan tempat masuknya infeksi intracranial. Trauma dapat

3
menyebabkan abrasi, kontusio, laserasi, atau avulse. Suntikan
prokain melalui subkutan membuat luka mudah dibersihkan dan
diobati. Daerah luka diirigasi untuk mengeluarkan benda asing dan
meminimalkan masuknya infeksi sebelum laserasi ditutup. (Brunner
& Suddarth, 2002)
2) Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak sering disebabkan oleh kekuatan yang cukup
keras untuk menimbulkan faraktur pada tengkorak dan
menyebabkan cedera otak. (Black, 2014)
Farktur itu sendiri tidak menandai bahwa cedera otak juga terjadi.
Namun demikian, fraktur tengkorak sering kali menyebabkan
kerusakan otak yang serius. Fraktur tengkorak depresi mencederai
otak dengan menimbulkan memar (mengakibatkan kontusi) atau
dengan mengarahkan fragmen tulang ke dalamnya (menyebabkan
laserasi). Sisi fraktur dan luasnya cedera otak dapat tidak
berhubungan. (Black, 2014)
Ada tiga jenis fraktur tengkorak yaitu sebagai berikut: (Black, 2014)
a) Fraktur tengkoraklinear muncul sebagai garis tipis pada foto
rontgen (sinar-x) dan tidak memerlukan pengobatan; fraktur
penting hanya jika ada kerusakan otak signifikan yang
mendasarinya.
b) Fraktur tengkorak depresi dapat diraba dan terlihat pada foto
ronggen (sinar-x)
c) Fraktur tengkorak basilar terjadi pada tulang-tulang yang berada
di dasar lobus dan temporal. Fraktur tidak terlihat pada foto
rongen tetapi dapat dimanifestasikan sebagai ekomosis di
sekitar mata atau di belakang telinga atau dengan darah atau
CSS yang keluar dari telinga.
3) Cedera otak
Pertimbangan paling penting pada cedera kepala manapun adalah
apakah otak telah atau tidak mengalami cedera. Kejadian cedera

4
“minor” dapat menyebabkan kerusakan otak bermakna. Cedera otak
serius dapat terjadi, dengan atau tanpa fraktur tengkorak, setelah
pukulan atau cedera pada kepala yang menimbulkan konsutio,
laserasi, dan hemoragi otak. (Brunner & Suddarth, 2002)
a) Komosio: komosio serebral setelah cedera kepala adalah
hilangnya fungsi neurologi sementara tanpa kerusakan struktur.
Komosio umumnya meliputi sebuah periode tidak sadarkan diri
dalam waktu yang berakhir selama beberapa detik sampai
beberapa menit. Getaran otak sedikit saja hanya akan
menimbulkan pusing atau berkunang-kunang, atau dapat juga
kehilangan kesadaran komplet sewaktu. Jika jaringan otak di
lobus frontal terkena, pasien dapat menunjukkan perilaku
irasional yang aneh, dimana keterlibatan lobus temporal dapat
menimbulkan amnesia atau disorientasi. (Brunner & Suddarth,
2002)
b) Kontusio: kontusio serebral merupakan cedera kepala berat, di
mana otak mengalami memar, dengan kemungkinan adanya
daerah hemoragi. Pasien berada pada periode tidak sadarkan
diri. Gejala akan muncul dan lebih khas. Pasien terbaring
kehilangan gerakan; denyut nadi lemah, pernapasan dangkal,
kulit dingin dan pucat. Sering terjadi defekasi untuk berkemih
tanpa disadari. Pasien dapat diusahakan untuk bangun tetapi
segera masuk kembali ke dalam keadaan tidak sadar. Tekanan
darah dan suhu subnormal dan gambaran sama dengan syok.
(Brunner & Suddarth, 2002)
4) Perdarahan intracranial
Hematoma (pengumpulan darah) yang terjadi di dalam kubah
kranial adalah akibat paling serius dari cedera kepala. Hematoma
disebut sebagai epidural, subdural, atau intraserebral, bergantung
pada lokasinya. (Brunner & Suddarth, 2002)

5
a) Hematoma epidural: setelah cedera kepala, darah berkumpul di
dalam ruang epidural (ekstradural) di antara tengkorak dan dura.
Keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur tulang tengkorak
yang menyebabkan arteri meningeal tengaj putus atau rusak
(laserasi), di mana arteri ini berada di antara dura dan tengkorak
daerah inferior menuju bagian tipis tulang temporal; hemoragi
karena arteri ini menyebabkan penekanan pada otak. (Brunner
& Suddarth, 2002)
b) Hematoma subdural: hematoma subdural adalah pengumpulan
darah di antara dura dan dasar otak, suatu ruang ini pada
keadaan normal diisi oleh cairan. Paling sering disebabkan oleh
trauma, tetapi dapat juga terjadi kecenderungan perdarahan yang
serius dan aneurisma. Hemoragi subdural lebih sering terjadi
pada vena dan merupakan akibat putusnya pembuluh darah kecil
yang menjembatani ruang subdural. Hematoma subdural dapat
terjadi akut, subakut, atau kronik, bergantung pada ukuran
pembuluh yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada.
(Brunner & Suddarth, 2002)
c) Hemoragi intraserebral dan hematoma: hemoragi intraserebral
adalah perdarahan ke dalam substansi otak. Hemoragi ini
biasanya terjadi pada cedera kepala dimana tekanan mendesak
ke kepala sampai daerah kecil (cedera peluru atau luka tembak;
cedera tumpul). Hemoragi ini di dalam otak mungkin juga
diakibatkan oleh hipertensi sistemik, yang menyebabkan
degenerasi dan ruptur pembuluh darah; rupture kantung
aneurisma; anomaly vaskuler; tumor intracranial; penyebab
sistemik, termasuk gangguan perdarahan seperti leukemia,
hemophilia, anemia aplastik dan trombositopenia; dan
komplikasi terapi antikoagulan. (Brunner & Suddarth, 2002)

6
4. Patofisiologi
Cedera kepala besar menyebabkan kerusakan langsung pada parenkim
otak. Energi kinetik ditrasmisikan ke otak dan memar terlihat pada cedera
jaringan lunak yang disebabkannya. Sebuah benturan pada permukaan otak
menyebabkan perpindahan jaringan otak yang cepat dan gangguan
pembuluh darah, menyebabkan perdarahan, cedera jaringan, serta edema.
Kerusakan otak dan tengkorak meliputi benturan itu sendiri (cedera primer)
dan cedera yang berlanjut dari edema, inflamasi, serta perdarahan dalam
otak (cedera sekunder). Cedera sekunder dapat mengakibatkan manifestasi
yang lebih parah dibandingkan yang disebabkan oleh benturan itu sendiri.
Inflamasi menyebabkan edema serebral dan peningkatan TIK. Perdarahan
dapat menyebar jika terjadi akibat robeknya beberapa pembuluh darah kecil
di dalam otak. Setiap kali tekanan di dalam otak meningkat, otak dapat
mengalami hipoksia. Masalah sekunder terjadi dari beberapa jam sampai
beberapa hari setelah benturan awal. (Black, 2014)
Konkusi biasanya menyebabkan cedera otak yang reversible. Beberapa
kerusakan biokimia dan ultrastruktural, seperti deplesi trifosfat adenosine
mitokondria serta perubahan permeabilitas vascular, dapat terjadi. Klien
dengan kerusakan aksonal yang menyebar mengalami cedera mikroskopik
pada akson di serebrum, korpus kalosum, dan batang otak. Cedera
substansi putih yang meluas, degenerasi substansi putih, disfungsi saraf,
dan edema serebral global merupakan gambaran yang khas. (Black, 2014)
Penelitian telah mencatat adanya peningkatan kematian yang
singnifikan pada klien yang mengalami hipotensi, terutama di awal periode
pascacedera, jika autoregulasi terganggu, seperti ada cedera kepala,
hipoperfusi serebral menyebabkan iskemua jaringan otak. Hipoksia
memiliki efek yang rendah terhadap mortalitas selama perfusi otak adekuat
karena otak dapat mengekstrak oksigen ekstra selama periode singkat.
Kombinasi hipotensi arteri dan hipoksemia merupakan hal yang signifikan
dalam terjadinya cedera sekunder. Penyebab lain cedera otak sekunder

7
meliputi peningkatan TIK, masalah pernapasan, ketidakseimbangan
elektrolit dan infeksi. (Black, 2014)
Cedera perfusi terjadi ketika iskemia dibalik dan aliran darah terbentuk
kembali. Hal ini juga menyebabkan cedera sekunder. Cedera reperfusi juga
terjadi pada infakr miokard dan stroke. Cedera reperfusi mungkin
disebabkan oleh radikal bebasa oksigen, yang merupakan produk normal
dari metabolisme aerobic yang biasanya terurai menjadi oksigen dan air.
Pada cedera sel, pemecahan radikal ini terganggu sehingga terjadi
penumpukan, yang menyebabkan penghancuran asam nukleat, protein,
karbohidrat, dan lipid, serta akhirnya membrane sel dalam jaringan otak.
(Black, 2014)
5. Manifestasi Klinik
Trauma otak dapat mempengaruhi setiap sistem tubuh. Manifestasi
klinis cedera otak meliputi gangguan kesadaran, konfusi, abnormalitas
pupul, awitan tiba-tiba defisit neurologic, dan perubahan tanda vital.
Mungkin ada gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensori,
kejang otot, sakit kepala, vertigo, gangguan pergerakan, kejang dan banyak
efek lainnya. Karena cedera SSP sendiri tidak menyebabkan syok, adanya
syok hipovolemik menunjukkan kemungkinan cedera multisimtem.
(Brunner & Suddarth, 2002)
Menurut (Black, 2014) manifestasi klinis dari cedera kepala dapat
dikategorikan berdasarkan pembagian berikut:
a. Fraktur tengkorak
1) CSS atau cairan lain yang mengalir dari telinga atau hidung
2) Bukti berbagai cedera saraf kranial
3) Darah di bekalang membran timpani
4) Ekimosis periorbital (memar di sekitar maa)
5) Memar dip roses mastoid (tanda Battle)
b. Konkusi
1) Kehilangan kesadaran selama 5 menit atau kurang

8
2) Amnesia retrograde, amnesia pascatrauma atau keduanya dapat
terjadi. Durasi amnesia dapat berhubungan langsung dengan
keparahan konkusi
3) Sakit kepala dan pusing
4) Mual dan muntah
c. Kontusi
Manifestasi klinis dari kontusi bervariasi, sebagian karena setiap area
otak dapat menderita kontusi. Kontusi sering berkaitan dengan cedera
serius lainnya, termasuk fraktur servikal. Efek sekunder (missal,
pembengkakan dan edema otak) menyertai kontusi yang serius.
Peningkatan TIK dan sindrom herniasi dapat terjadi
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Radiografi tengkorak dapat mengidentifikasi lokasi fraktur atau
perdarahan atau bekuan darah yang terjadi. CT scan atau MRI dapat
dengan tepat menetukan letak dan luas cedera (Elizabeth, 2009)
b. Foto polos tengkorak (Skull X-ray) : dari foto polos tengkorak dapat
diperoleh informasi mengenai:
1) Bentuk fraktur tulan belakang
2) Adanya benda asing
3) Pneumosefalus (udara yang masuk ke rongga tengkorak)
4) Brain shift, kalau kebetulan ada klasifikasi kelenjar pineal
(Satyanegara, 2014)
c. CT scan : pemeriksaan ini merupakan metode diagnostic standar
terpilih untuk kasus cedera kepala meningkat selain prosedur ini tidak
invasive (sehingga aman), juga memiliki kehandalan yang tinggi.
Dalam hal ini dapat diperoleh informasi yang lebih jelas tentang lokasi
dan adanya perdarahan intracranial, edema, kontusi, udara, benda asing
intracranial, serta pergeseran struktur di dalam rongga tengokrak.
(Satyanegara, 2014)
d. MRI : MRI memiliki keuggulan untuk melihat perdarahan kronis
maupun kerusakan otak yang kronis. Dalam hal ini MRI T2 mampu

9
menunjukkan gambaran yang lebih jelas terutama untuk memberi
identifikasi yang lebih jelas lesi hipodens pada CT scan atau lesi yang
sulit dibedakan identitasnya dengan korteks. (Satyanegara, 2014)
B. Konsep Dasar Keperawatan
1. Pengkajian
a. Anamnesa
Penjelasan mengenai mekanisme cedera sangat membantu dalam
memahami sifat dari cedera kepala. Jika terdapat saksi mata dalam
kecelakaan tersebut, informasi yang diperoleh dapat bermanfaat dalam
menentukan luasnya cedera. Informasi tentang aktivitas klien dan tingkat
kesadaran sebelum dan sesudah cedera juga sangat membantu. Penting
juga untuk mengetahui apakah klien sadar atau tidak sadar setelah cedera.
Sesegera mungkin setelah cedera kepala, kaji dan dokumentasikan tanda-
tanda vital klien serta status neurologisnya. Pengkajian awal ini dan data
yang diperoleh dari saksi di lokasi kecelakaan menentukan data dasar
untuk observasi kemudian. Dokumentasikan dengan cermat semua hasil
pengkajian. (Black, 2014)
Riwayat kesehatan meliputi pertanyaan berikut ini: (Brunner &
Suddarth, 2002)
1) Kapan cedera terjadi?
2) Apa penyebab cedera? Peluru kecepatan tinggi? Obyek yang
membentur kepala? Jatuh?
3) Dari mana arah dan kekuatan pukulan?
4) Apakah ada kehilangan kesadaran? Durasi periode tidak sadar?
Dapatkan pasien dibangunkan? (Riwayat tidak sadar atau amnesia
setelah cedera kepala menunjukkan derajat kerusakan otak yan berarti,
di mana perubahan selanjutnya dapat menunjukkan pemulihan atau
menunjukkan terjadinya kerusakan otak sekunder)
b. Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamesis yang mengarah pada kejadian cedera
klien, pemeriksaan sifik sangat berguna untuk mendukung data dari

10
pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara per
sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3
(brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
(Arif Muttqin, 2008)
1) Keadaan umum
Keadaan umum cedera kepala umumnya mengalami penurunan
kesadaran. Pada cedera kepala berat dapat menunjukkan GCS kurang
atau sama dengan 8 dan terjadi perubahan tanda-tanda vital.
2) B1 (breathing)
Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradasi dari
perubahan jaringan serebral akibat trauma kepala. Pada beberapa
keadaan hasil dari pemeriksaan fisik sistem ini akan didapatkan hasil
seperti di bawah ini:
a) Insepksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum,
sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan
frekuensi pernapasan.
b) Pada palpasi, fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang
lain akan didapatkan jika melibatkan trauma pada rongga torak.
c) Pada perkusi, adanya suara redup sampai pekak pada keadaan
melibatkan trauma pada torak/hemotoraks
d) Pada asukultasi, bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi,
stridor, ronkhi pada klien dan kemampuan batuk yang menurun
yang sering didapatkan pada klien cedera kepala dengan
penurunan tingkat kesadaran koma
e) Pada klien cedera kepala berat dan sudah terjadi disfungsi pusat
pernapasan, klien biasanya terpasang ETT dengan ventilator dan
biasanya klien dirawat diruang perawatan intensif sampai kondisi
klien menjadi stabil. Pengkajian klien cedera kepala berat dengan
pemasangan ventilator secera komprehensif merupakan jalur
keperawatan kritis.

11
3) B2 (blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok
hipovolemik) yang sering terjadi pada klien cedera kepala sedang dan
berat. Hasil pemeriksaan kardiovaskular klien cedera kepala pada
beberapa keadaan dapat ditemukan tekanan darah normal atau
berubah, nadi bradikardi, takikardi, dan aritmia. Frekuensi nadi cepat
dan lemah berhubungan dengan homeostasis tubuh dalam upaya
menyeimbangkan kebuuhan oksigen perifef. Nadi bradikardia
merupakan tanda dari perubahan perfusi jaringan otak. Kulit
kelihatan pucat menunjukkan adanya penurunan kadar hemoglobin
dalam darah.
4) B3 (brain)
Cedera kepala menyebabkan berbagai defisit neurologis terutama
akibat pengaruh peningkatan tekanan intracranial yang disebabkan
adanyan perdarahan baik bersifat hematom intraserebral, subdural,
dan epidural. Pengkajian B3 (brain) merupakan pemeriksaan fokus
dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
a) Pengkajian tingkat kesadaran
Tingkat keterjagaan klien dan respons terhadap lingkungan
adalah indicator paling sensitive untuk disfungsi sistem
persarafan. Beberapa sistem digunakan untuk membuat peringat
perubahan dalam kewaspadaan dan keterjagaan. Pada keadaan
lanjut tingkat kesadaran klien cedera kepala biasanya berkisar
pada tingkat latergi, stupor, semikomatosa sampai koma.
b) Pengkajian fungsi serebral
Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual, lobus
frontal, dan hemisfer.
- Status mental: observasi penampilan, tingkah laku klien, nilai
gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada
klien cedera kepala berat biasanya status mental klien
mengalami perubahan

12
- Fungsi intelektual: pada beberapa keadaan klien cedera kepala
didapatkan penurunan dalam memori, baik jangka pendek
maupun jangka panjang
- Lobus frontal: kerusakan fungsi kongnitif dan efek psikologis
didapatkan jika trauma kepala mengakibatkan adanya
kerusaakan pada lobus frontal kapasitas, memori, atau
kerusakan fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi
- Hemisfer: cedera kepala hemisfer kanan didapatkan
hemiparese sebelah kiri tubuh. Cedera kapala yang hemisfer
kiri mengalami hemiparese kanan.
c) Pengkajian saraf kranial
Pengkajian ini meliputi pengkajian saraf kranial I-XII
- Saraf I. Pada beberapa keadaan cedera kepala di area yang
merusak anatomis dan fisiologis saraf ini klien akan
mengalami kelainan pada fungsi penciuman/anosmia unilateral
atau bilateral
- Saraf II. Hematom palpebra pada klien cedera kepala akan
menurunkan lapang pandang dan mengganggu fungsi saraf
optikus. Perdarahan di ruang intracranial, terutama hemoragia
subaraknoidal, dapat disertai dengan perdarahan di retina.
- Saraf III, IV, VI. Gangguan mengangkat kelopak mata
terutama pada klien dengan trauma yang merusak rongga
orbita. Pada kasus-kasus trauma kepala dapat dijumpai
anisokoria.
- Saraf V. Pada beberapa keadaan cedera kepala menyebabkan
paralisis saraf trigeminus, didapatkan penurunan kemampuan
koordinasi gerakan mengunyah
- Saraf VII. Persepsi pengecapan mengalami perubahan
- Saraf VIII. Perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera
kepala berat biasanya didapatkan apabila trauma yang terjadi
melibatkan saraf vestinulokoklearis

13
- Saraf IX dan X. kemampuan menelan kurang baik dan
kesulitan membuka mulut
- Saraf XI. Bila tidak melibatkan trauma pada leherm mobilitas
klien cukup baik serta tidak ada atrofi otot
sternokleidomastoideus dan trapezius
- Saraf XII. Indra pengecapan mengalami perubahan.
d) Pengkajian sistem motorik.
Pada inspeksi umum, didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah
satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis
atau kelemahan salah satu sisi tubuh, adalah tanda yang lain.
e) Pengkajian refleks
Pemeriksaan refleks profunda, pengetukan pada tendon,
ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respons normal.
f) Pengkajian sistem sensorik
Kehilangan sensorik karena cedera kepala dapat berupa kerusakan
sentuhan ringan atau mungkin lebih berat, dengan kehilangan
propriosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan
bagian tubuh) serta kesulitan dalam menginterprestasikan stimuli
visual, taktil, dan auditorius.
5) B4 (bladder)
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah, dan karakteristik urine,
termasuk berat jenis urine. Setelah cedera kepala, klien mungkin
mengalami inkontensia urine karena konfusi, ketidakmampuan
mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk
menggunakan sistem perkemihan karena kerusakan kontrol motorik
dan postural
6) B5 (bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan
menurun, mual, dan muntah pada fase akut.

14
7) B6 (bone)
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada seluruh
ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgor kulit.
Adanya perubahan warna kulit; warna kebiruan menunjukkan adanya
sianosis (ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir dan membran
mukosa)

15
2. Penyimpangan KDM (Amin Huda, 2016)

Trauma tumpul Trauma kepala Trauma tajam

Ekstra kranial Tulang kranial Intra kranial

Jaringan kontinuitas Terputusnya Jaringan otak rusak


Resiko
jaringan kulit, otot, kontuinitas jaringan (kontusio laserasi)
Perdarahan
dan vaskular tulang
Perubahan autoregulasi
Perubahan dan Gangguan Nyeri Akut dan edema serebal
hemastoma suplai darah
Kejang

Perubahan sirkulasi Iskemia


CSS - Bersihan jalan napas
Resiko Perfusi Serebral
- Obstruksi jalan napas
Hipoksia Tidak Efektif
Peningkatan TIK - Dispnea
Mesenfalon tertekan - Henti napas
- Perubahan pola napas
Gilus medialis lobus
temporalus tergeser Gangguan kesadaran Bersihan Jalan Napas
Tidak Efektif
Herniasi unkus Resiko Cedera

16
3. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan napas tidak efektif
Domain : 0001
Kategori : Fisiologis
Subkategori : Respirasi
b. Nyeri akut
Domain : 0077
Kategori : Psikologis
Subkategori : Nyeri dan kenyamanan
c. Resiko perfusi serebral tidak efektif
Domain : 0017
Kategori : Fisiologis
Subkategori : Sikulasi
d. Resiko infeksi
Domain : 0142
Kategori : Lingkungan
Subkategori : Keamanan dan proteksi
e. Resiko cedera
Domain : 0136
Kategori : Lingkungan
Subkategori : Keamanan dan proteksi
4. Perencanaan

Diagnosa
No Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
Keperawatan
1 Bersihan jalan Setelah dilakukan Latihan Batuk Efektif
napas tidak efektif intervensi selama 3 jam, Observasi
maka bersihan jalan 1. Identifikasi kemampuan
napas meningkat dengan batuk
kriteria hasil: 2. Monitor tanda dan gejala
1. Batuk efektik infeksi saluran napas
meningkat Terapeutik
2. Produksi sputum 3. Atur posisi semi-fowler
menurun atau fowler

17
3. Mengi menurun 4. Buang secret pada
4. Wheezing menurun tempat sputum
5. Frekuensi napas Edukasi
membaik 5. Jelaskan tujuan dan
6. Pola napas membaik prosedur batuk efektif
6. Anjurkan tarik napas
dalam melalui hidung
selama 4 detik, ditahan
selama 2 detik,
kemudian keluarkan dari
mulut dengan bibir
muncucu (dibulatkan)
selama 8 detik.
7. Anjurkan mengulangi
tarik napas dalam hingga
3 kali
Kolaborasi
8. Kolaborasi pemberian
mukolitik atau
ekspektoran, jika perlu
2 Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri
intervensi selama 3 jam, Observasi
maka tingkat nyeri 1. Identifikasi lokasi,
menurun dengan kriteria karakteristik, durasi,
hasil: frekuensi, kualitas,
1. Keluhan nyeri menurun intensitas nyeri
2. Meringis menurun 2. Identifikasi skala nyeri
3. Sikap protektis 3. Identifikasi faktor yang
menurun memperberat dan
4. Gelisah menurun memperingan nyeri
5. Kesulitan tidur Terapeutik
menurun 4. Barikan teknik
6. Frekuensi nadi nonfarmakologi untuk
membaik mengurangi rasa nyeri
7. Pola tidur membaik 5. Kontrol lingkungan
yang memperberat rasa
nyeri
6. Fasilitasi istarahat dan
tidur
Edukasi

18
7. Jelaskan penyebab,
periode dan pemicu
nyeri
8. Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
9. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
3 Resiko perfusi Setelah dilakukan Manajemen peningkatan
serebral tidak intervensi selama 3 jam, tekanan intracranial
maka perfusi serebral Manajemen peningkatan
efektif
meningkat dengan tekanan intracranial
kriteria hasil: Observasi
1. Tingkat kesadaran 1. Identifikasi penyebab
meningkat peningkatan TIK
2. Kongnitif meningkat (mis. lesi, gangguan
3. Tekanan intracranial metabolisme, edema
menurun serebral)
4. Sakit kepala menurun 2. Monitor tanda/gejala
5. Gelisah menurun peningkatan TIK
6. Nilai rata-rata tekanan (mis. tekanan darah
darah membaik meningkat, tekanan
7. Kesadaran membaik nadi melebar,
8. Refleks saraf bradikardia, pola
membaik napas ireguler,
kesadaran menurun)
3. Monitor MAP (mean
arterial pressure)
4. Monitor ICP (intra
cranial pressure), jika
tersedia
5. Monitor CPP
(cerebral perfusion
pressure)
6. Monitor gelombang
ICP
7. Monitor intake dan
output cairan
8. Monitor cairan

19
serebri-spinalis (mis.
warna, konsistensi)
Terapeutik
9. Berikan posisi semi
fowler
10. Hindari maneuver
valsava
11. Cegah terjadinya
kejang
12. Hindari penggunaan
PEEP
13. Atur ventilator agar
PaCO2 optimal
Kolaborasi
14. Kolaborasi sedasi dan
anti konvulsan, jika
perlu
15. Kolaborasi pemberian
diuretic osmosis, jika
perlu
16. Kolaborasi pemberian
pelunak tinja, jika
perlu
4 Resiko infeksi Setelah dilakukan Pencegahan Infeksi
intervensi selama 3 jam, Observasi
maka tingakat infeksi 1. Monitor tanda dan
menurun dengan kriteria gejala infeksi lokal
hasil: dan sistemik
1. Kebersihan tangan Terepeutik
meningkat 2. Batasi jumlah
2. Kebersihan badan pengunjung
meningkat 3. Berikan perawatan
3. Demam menurun kulit pada area edema
4. Kemerahan menurun 4. Cuci tangan sebelum
5. Nyeri menurun dan sesudah kontak
6. Bengkak menurun dengan pasien dan
7. Kadar sel darah putih lingkungan pasien
membaik 5. Pertahankan teknik
aseptic pada pasien
beresiko tinggi

20
Edukasi
6. Jelaskan tanda dan
gejala infeksi
7. Ajarkan cara mencuci
tangan dengan benar
8. Ajarkan
meningkatkan asupan
nutrusi
9. Ajarkan
meningkatkan asupan
cairan
Kolaborasi
10. Kolaborasi pemberian
imunisasi, jika perlu
5 Resiko cedera Setelah dilakukan Pencegahan cedera
intervensi selama 3 jam, Observasi
maka tingkat cedera 1. Identifikasi area
menurun dengan kriteria lingkungan yang
hasil: berpotensi
1. Toleransi aktivitas menyebabkan cedera
meningkat 2. Identifikasi obat yang
2. Kejadian cedera berpotensi
menurun menyebabkan cedera
3. Ketegangan otot Terapeutik
menurun 3. Sediakan
4. Gangguan mobilitas pencahayaan yang
menurun memadai
5. Tekanan darah 4. Sosialisasi pasien dan
membaik keluarga dengan
6. Pola istirahat/tidur lingkungan ruang
membaik rawat (mis.
penggunaan telepon,
tempat tidur,
penerangan ruangan
dan lokasi kamar
mandi)
5. Gunakan alas lantai
jika beresiko
mengalami cedera
serius

21
6. Sediakan pispot atau
uranaria untuk
eliminiasi di tempat
tidur, jika perlu
7. Pertahankan posisi
tempat tidur di posisi
terendah saat
digunakan
8. Pastikan roda tempat
tidur atau kursi roda
dalam kondisi
terkunci
9. Gunakan pengaman
empat tidur sesuai
dengan kebijakan
fasilitas pelayanan
kesehatan
10. Diskusikan mengenai
ala bantu mobilitas
yang sesuai (mis.
tongkat atau alat
bantu jalan)
Edukasi
11. Jelaskan alasan
intervensi
pencegahan jatuh ke
pasien dan keluarga
12. Anjurkan berganti
posisi secara perlahan
dan duduk selama
beberapa menit
sebelum berdiri.

22
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Joyce M. Black, ddk. 2014. Keperawatan Medikal Bedah, Ed 8.


Singapore: Elsevier
2. Arif Muttaqin. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika
3. Brunner & Suddarh’s. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth Vol 3 E/8. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
4. Diane C. Baughman, dkk. 2000. Keperawatan Medikal-Bedah: Buku Saku
dari Brunner & Suddarth. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
5. Satyanegara, dkk. 2014. Ilmu Beda Saraf Satyanegara Edisi V. Jakarta:
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
6. Amin Huda Nurarif, dkk. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis Edisi Revisi
Jilid 1. Jogjakarta: Penerbit Mediaction
7. Elizabeth J. Corwin. 2009. Buku Saku Patofisiologi Ed 3. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC
8. Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosa Keperawatan
Indonesia Edisi 1. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat PPNI
9. Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Diagnosa Keperawatan
Indonesia Edisi 1 Cetakan II. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat
PPNI
10. Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Diagnosa Keperawatan
Indonesia Edisi 1 Cetakan II. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat
PPNI

24
25
26

Anda mungkin juga menyukai