MOMON SUDARMA
Latar Belakang
1
Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2021 Menteri Pendidikan dan Kenudayaan,
Tentang Peniadaan Ujian Nasional, dan Ujian Keseteraan Serta Ujian Sekolah Dalam
Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (Covid-19).
2
“Asesmen Nasional Pengganti UN Diusulkan Mundur Oktober 2021“, dikutip
dari https://bit.ly/3pYhu0r, diunduh 06/02/2021.
3
Berita di Kompas, 5/02/2021, judul “UAS sebagai Syarat Kenaikan Kelas 2021,
Ini 4 Ketentuannya”, dikutip dari https://bit.ly/3rrkhzv, diunduh 06/02/2021.
ini, sudah tentu, merupakan bagian penting dari tanggungjawab Pemerintah
dalam mensikapi situasi dan keadaan, dan menjaga keberlangsungan layanan
pemdidikan di Indonesia.
4
Fajri Ismail, Pro Kontra Ujian Nasional AL-RIWAYAH: JURNAL KEPENDIDIKAN
Volume 7, Nomor 2, September 2015, 301-32, ISSN 1979-2549 (e); 2461-0461 (p)
http://ejournal.stain.sorong.ac.id/indeks.php/al-riwaya, diunduh 07/02/2021.
Setitik Pijakan Teori
Pertanyaan kritis, yang perlu untuk dikemukakan di sini, adalah “untuk apa
dilakukan penilaian, dan apa yang akan dinilai ?” pertanyaan ini, kiranya,
menjadi pokok penting dalam Menyusun dan mengembangkan instrument dan
bentuk penilaian.
6
Elly Purwanti, dkk., Pengembangan Instrumen Penilaian Keterampilan Abad 21,
Malang : Penerbit Kota Tua, 2020:10.
diperlukan rubrik penilaian keterampilan proses sains sebagai pedoman
dalam penilaian kinerja dan hasil belajar siswa
Pandangan ini, memberi pesan bahwa instrument dan bentuk penilaian, diacukan
kepada bentuk pembelajaran dan terget dari setiap pembelajaran. Artinya,
bentuk penilaian dan isntrumen penilaian, akan memberikan gambaran
mengenai bentuk sasaran yang akan diukur. Pada saat aspek kognisitif yang
akan diukur, akan berbeda bentuk dan instrumennya, dengan target seorang
pendidik yang hendak mengukur aspek psikomotorik atau afektif.
Kita akan meminjam rangkaian definisi yang dikutip Nahjiah Ahmad dari
sejumlah pakar pendidikan. 7
Frey, Barbara A., dan Susan W. Alman. (2003), evaluasi adalah proses
sistematis pengumpulan, analisis, dan interpretasi informasi untuk
menentukan sejauh mana siswa yang mencapai tujuan instruksional.
Lantas apa tujuan dari evaluasi Pendidikan ? meminjam pandangan dari Elis
Ratnawulan dan A. Rusdiana, mengatakan : 8
Berdasarkan teori itu, dapat diketahui bahwa fungsi dasar penilaian itu, adalah
mengetahui kemampuan dasar, menilai efektivitas layanan Pendidikan, dan
mengetahui kadar kepemilikan kompetensi para peserta didik. Tujuan penilaian
ini, sudah tentu akan menuntun dan menuntut adanya bentuk dan instrument
penilaian yang berbeda, sesuai dengan tujuan dari penilaian dimaksud.
7
Nahjiah Ahmad, Buku Evaluasi Pembelajaran, Jogjakarta : Interpena, 2015:4.
8
Elis Ratnawulan dan A Rusdiana, Evaluasi Pembelajaran Dengan Pendekatan
Kurikulum 2013, Bandung : Pustaka Setia, 2014:11.
Analisis dan Pembahasan
Sebagai contoh, pada Pasal 1 ayat (5) Permendikbud nomor 43 tahun 2019,
tertera bahwa “Ujian Nasional yang selanjutnya disingkat UN adalah kegiatan
pengukuran capaian kompetensi lulusan pada mata pelajaran tertentu secara
nasional dengan mengacu pada Standar Kompetensi Lulusan.“.9 Kemudian di
pasal 10 Permendikbud tersebut, dengan jelas diungkapkan pula bahwa “UN
merupakan penilaian hasil belajar oleh Pemerintah Pusat yang bertujuan untuk
menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran
tertentu.”
9
Permendikbud 43 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ujian yang
diselenggarakan oleh Satuan Pendidikan dan Ujian Nasional
Apa perbedaan antara Ujian Nasional dengan AKM atau AKSI ?
Sasaran pelaksanaan AKM adalah siswa kelas tengah jenjang, yaitu kelas 4, kelas
7 dan kelas 11. Sasaran pelaksanaan assessment ini, sudah nyata, dan jelas
berbeda dengan pelaksanaan Ujian Nasional. Bahkan untuk AKM, lebih
merupakan sampel dari jumlah siswa pada kelas dimaksud, sedangkan untuk
AKSI, Kemenag merencanakannya untuk seluruh siswa pada kelas terkait tadi.
Berdasarkan hal ini, kita melihat, ada perubahan dasar, orientasi penilaian, yang
dilakukan Pemerintah. Jika dalam Ujian Nasional, memberikan penilaian akhir
terhadap kompetensi peserta didik, selepas melakukan proses pembelajaran,
sedangkan dalam AKM, adalah melakukan pengumpulan informasi untuk
diagnose Pendidikan, sehingga bisa diperbakan dalam tahapan pembelajaran
berikutnya. Dalam paparan Kemeneag, memberikan keterangan : 11
Dengan adanya AKSI, Kemenag akan memiliki basis diagnostik yang kuat,
untuk menentukan kebijakan mutu Pendidikan madrasah, memperbaiki
mutu pembelajaran, meningkatkan kapasitas guru, serta membangun
budaya belajar
10
Paparan dari Direktorat Kurikulum Sarpras Kelembagaan Dan Kesiswaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI, terkait Penyelenggaraan AKM/AN) dan
AKSI di Madrasah,
11
Paparan dari Direktorat Kurikulum Sarpras Kelembagaan Dan Kesiswaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI, terkait Penyelenggaraan AKM/AN) dan
AKSI di Madrasah,
Sementara dalam situs Pusat Asesment dan Pembelajaran Kemendikbud ada
penjelasan bahwa manfaat AKSI bagi sekolah, setidaknya ada tiga point, yakni :
12
Tabel : Perbedaan AKSI, AKM Nasional dan Survey Karakter dan Lingkungan
Belajar13
12
Dikutip dari https://pusmenjar.kemdikbud.go.id/aksi-2/
13
Paparan dari Direktorat Kurikulum Sarpras Kelembagaan Dan Kesiswaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI, terkait Penyelenggaraan AKM9AN) dan
AKSI di Madrasah,
Pertanyaan lanjutan kita, apakah, model pembelajaran ini, menjadi sebuah potret
system dan bentuk penilaian pembelajaran yang ideal bagi bangsa Indonesia
saat ini ? mari kita uji, masalah ini, dengan ragam pertanyaan retoris, yang bisa
disampaikan di sini.
Dalam konteks medis, kita mengenal ada prognosis, atau prediksi ilmiah, atau
prediksi rasional terhadap sebuah gejala, kemudian ada diagnosis, yakni hasil
identifikasi terhadap gejala. Assement Kompetensi yang merupakan instrument
diagnosis terhadap praktek dan kesulitan belajar siswa, sejatinya perlu
ditindaklanjuti dengan therapy.
Pelaksanaan AKM di tengah jenjang (kelas IV, VII dan XI), merupakan pilihan
yang tepat untuk melakukan diagnosis kompetensi di jenjang Pendidikan dasar
dan menengah. Pertanyaannya adalah, setelah ada hasil diagnosis apa ayang
akan dilakukan ? therapy Pendidikan ? lantas, kapan kita mengenai efektitivitas
layanan therapi itu, sehingga seorang peserta didik dapat disebut kompeten atau
tidak kompeten (Sehat atau sakit)?
Kembali mengutip isi Surat Edaran mendikbud, bahwa untuk 2021, Ujian
Nasional ditiadakan, dan penilaian kepada peserta didik dilakukan dengan
memperhatikan empat factor, yaitu :
1) Portofolio berupa evaluasi atas nilai rapor, nilai sikap atau perilaku,
dan prestasi yang diperoleh sebelumnya (penghargaan, hasil
perlombaan, dan sebagainya),
2) Penugasan,
3) Tes secara luring atau daring, dan/atau;, dan
4) Bentuk kegiatan penilaian lain yang ditetapkan oleh satuan
pendidikan
Apa yang menarik dari surat edaran ? sisi menarik dari sudat edaran ini,
pentingnya melakukan penilaian terhadap portofolio dan penugasan. Kendati,
dapat ditafsirkan secara beragam, namun kiranya, akan jauh lebih elok, bila
dilakukan dengan menerapkan model portolopio produk atau projek.
15
Muhadjir Effendy, Arah Baru Dalam Pengembangan Pendidikan Nasional ,
paparan di Univeistas Negeri Malang, Senin, 2 September 2019, diunduh dari
https://bit.ly/3p4LPtf, tanggal 7/02/2021.
16
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
ayat (2), tertuang pula pernyataan bahwa “Evaluasi dilakukan terhadap peserta
didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk
semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan.”.
Memperhatikan hal itu, maka penilaian itu, pada dasarnya, bukan sekedar untuk
diagnosis, tetapi perlu juga dilakukan untuk penetapan mutu Pendidikan, dan
bukan sekedar untuk pengendalian, tetapi juga untuk penjaminan mutu
Pendidikan, dan bukan sekedar untuk mengukur kompetensi siswa, tetapi juga
untuk mutu layanan Lembaga dan ketercapaian program Pendidikan pada setiap
Lembaga Pendidikan.
Terakhir, yaitu therapy atau treatment. Therapy atau treatment adalah Tindakan
praktis yang dilakukan tenaga pendidik sesuai dengan hasil diagnosis. Pada
akhirnya, di waktu tertentu, hasil therapy atau treatment ini, harus dievaluasi
Kembali, mengenai efektivitas dampak terhadap perubahan perilaku peserta didik,
klien atau pasien tersebut.
Untuk kelas X, sebagai peserta didik baru, pada dasarnya tidak bisa diberikan
pembelajaran langsung, tanpa diketahui terlebih dahulu mengenai minat, bakat
dan kemampuan, atau masalah belajar dan keunggulannya. Selama ini, setiap
tenaga pendidik, seakan-akan sudah tahu kebutuhan peserta didik, langsung
memberikan pembelajaran tanpa mengetahui latar belakang masalah dan
kemampuan belajar siswa. Hal ini, ibarat dokter yang langsung memberikan obat
kepada pasien, tanpa mengetahui keluhan dan penyakitnta.
Sehubungan hal itu, maka hal yang perlu diterapkan, yakni melakukan penilaian
diagnosis dan penempatan (replacement test). Pengukuran ini, dimaksudkan
untuk mengetahui minat, bakat, kemampuan, masalah atau keunggulan belajar
peserta didik. Dengan modal pengetahuan dan pemahaman itu, seorang guru,
dapat memberikan layanan Pendidikan sesuai dengan kondisi dan keadaan
peserta didik.
Hasil dari proses therapi pembelajaran di kelas XII, seorang peserta didik perlu
dievaluasi Kembali. Tetapi, pada akhir jenjang Pendidikan ini, bukan lagi bersifat
diagnosis, melainkan sudah masuk ke tahapan penilaian capaian kompetensi.
Oleh karena itu, bentuk dan instrument penilaiannya pun, tidak lagi bersifat
diagnosis, melainkan instrument pengukuran terhadap capaian kompetensi.
Penutup
Tantangan abad 21 tidak lebih sederhana. Kendati tidak lebih sederhana, bukan
berarti, bahwa bentuk dan instrument penelitian harus kompleks dan jelimet.
Justru hal pokok yang perlu dikedepankan adalah menentukan dan menetapkan
bentuk serta intrumen penilaian yang strategis. Sederhana, namun mampu
memberikan gambaran yang utuh, untuk setiap aspek (domain) pembelajaran.