Anda di halaman 1dari 12

REORIENTASI TUJUAN PENILAIAN PEMBELAJARAN

MOMON SUDARMA

Latar Belakang

Awal Februari 2021, sebagian besar tenaga pendidik di Indonesia sudah


mendapat edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan terkait dengan peniadan
Ujian Nasional di akhir tahun pada jenjang Pendidikan dasar dan menengah.
Andaipun tidak mendapatkan edaran tersebut, mungkin ada diantara kita yang
langsung menyaksikan sosialiasi Mas Menteri di media social elektronik, atau
media public lainnya.

Dengan merujuk Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1


tahun 2021, terungkap bahwa Ujian Nasional di tiadakan. Di bagian lainnya,
ada pesan bahwa kenaikan kelas pada jenjang Pendidikan dasar dan menengah
di tahun 2021 ini, ditentukan oleh empat faktor utama, yakni (1) Portofolio
berupa evaluasi atas nilai rapor, nilai sikap atau perilaku, dan prestasi yang
diperoleh sebelumnya (penghargaan, hasil perlombaan, dan sebagainya), (2)
Penugasan, (3) Tes secara luring atau daring, dan/atau;, dan (4) Bentuk
kegiatan penilaian lain yang ditetapkan oleh satuan pendidikan.1 Kebijakan ini,
dapat dikatakan sebagai rangkaian kebijakan responsive Pemerintah terhadap
situasi pandemic. Dalam kebijakan sebelumnya, Pemerintah pun, sudah
menegaskan pengunduruan waktu pelaksanaan AKM (Assessment Kompetensi
Minimal), menjadi akhir tahun, atau diperkirakan Oktober 2021.2

Langkah dan keputusan peniadaan Ujian Nasional, menurut Nadiem Makarim,


dilatari oleh masih terdapatnya gejala peningkatan kasus pandemic awal tahun
2021. Situasi dan kondisi itu, sudah tentuk membutuhkan adanya langkah
responsive, yang mengutamakan keselamatan dan Kesehatan lahir bathin
peserta didik, tenaga pendidik, dan tenaga kependidikan. 3 Sikap dan keputusan

1
Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2021 Menteri Pendidikan dan Kenudayaan,
Tentang Peniadaan Ujian Nasional, dan Ujian Keseteraan Serta Ujian Sekolah Dalam
Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (Covid-19).

2
“Asesmen Nasional Pengganti UN Diusulkan Mundur Oktober 2021“, dikutip
dari https://bit.ly/3pYhu0r, diunduh 06/02/2021.

3
Berita di Kompas, 5/02/2021, judul “UAS sebagai Syarat Kenaikan Kelas 2021,
Ini 4 Ketentuannya”, dikutip dari https://bit.ly/3rrkhzv, diunduh 06/02/2021.
ini, sudah tentu, merupakan bagian penting dari tanggungjawab Pemerintah
dalam mensikapi situasi dan keadaan, dan menjaga keberlangsungan layanan
pemdidikan di Indonesia.

Bagi para penyelenggara pendidikan khususnya, dan masyarakat pada


umumnya, keputusan ini, setidaknya memberikan kepastian hukum, mengenai
langkah adminisrtasi dan strategis, dalam pemberian layanan Pendidikan di
akhir tahun. Menjadi kali kedua, jenjang Pendidikan dasar dan menengah, tidak
melakukan Ujian Nasional kepada peserta didik yang berada di kelas terakhir
pada setiap jenjang Pendidikan dasar dan menengah. Hal ini pun, akan
menjadi pengalaman kedua, layanan Pendidikan nasional menerapkan model
penilaian dan evaluasi akhir terhadap proses belajar dan kompetensi peserta
didik di setiap jenjang pendidikannya.

Maksud dan Tujuan

Wacana penilaian, pengukuran atau ujian kepada peserta didik di jenjang


Pendidikan dasar dan menengah ini, kerap kali menjadi perhatian public.
Terlebih lagi, saat Pemerintah masih memberlakukan Ujian Nasional sebagai
standar kelulusan. Ramai dan pro kontranya penyelenggaraan UN, menjadi ritual
tahunan, baik menjelang pelaksanaan UN, pengumuman hasil UN, atau dalam
event politik yang memanfaatkan isu Pendidikan sebagai isu politiknya.4

Kebijakan terbaru, Pemerintah bermaksud untuk menerapkan model baru, dalam


memotret layanan Pendidikan Indonesia. “alat potretnya” itu, disebut dengan
assessment kompetensi minimal (AKM) atau assessment kompetensi siswa
Indonesia (AKSI). Pertanyan dasar kita, adalah apakah, dengan perubahan
bentuk penilaian itu menunjukkan adanya perubahan orientasi penilaian
Pendidikan, sebagaimana yang dikeluarkan dalam kebijakan tersebut ?

Wacana ini, bermaksud untuk berbagi pemahaman, dan pandangan kritis


mengenai adanya indikasi perubahan karakter orientasi evaluasi atau penilaian
Pendidikan di Lembaga Pendidikan Indonesia. Adapun, secara khususnya,
bermaksud untuk menjelaskan mengenai makna dibalik perubahan kebijakan
Mendikbud untuk tahun pelajaran 2020-2021, dan implikasi praktisnya terhadap
masa depan layanan Pendidikan di Indonesia.

4
Fajri Ismail, Pro Kontra Ujian Nasional AL-RIWAYAH: JURNAL KEPENDIDIKAN
Volume 7, Nomor 2, September 2015, 301-32, ISSN 1979-2549 (e); 2461-0461 (p)
http://ejournal.stain.sorong.ac.id/indeks.php/al-riwaya, diunduh 07/02/2021.
Setitik Pijakan Teori

Dalam kepustakaan akademik, cukup banyak rujukan konsep yang biasa


digunakan untuk menunjukkan praktek penilaian Pendidikan. Setidaknya ada
empat konsep pokok, yang perlu dicermati secara kritis, namun tidak bisa
dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Keempat konsep itu, yakni penilaian
(assessment), pengukuran (measurement), evaluasi (evaluation), serta pengukuran
tes dan nontest. 5

Narasi dan agenda Pemerintah, untuk tahun 2021, seyogyakan akan


dilaksanakan assessment kompetensi minimal (AKM). Kebijakan ini, dianggap
sebagai perubahan kebijakan, yang menggantikan program Ujian Nasional yang
selama ini digunakan. Secara konseptual, sudah jelas menggunakan bentuk dan
model yang berbeda, yakni Assesment, dan bahkan sasarannya pun, sudah
berbeda dengan sasaran pelaksanaan UN. Pada AKM, akan dilaksanakan di
kelas 4, 7 dan 11, sedangkan untuk UN, dilaksanakan di kelas terakhri pada
setiap jenjang Pendidikan dasar dan menengah.

Terkait dengan pandemic yang masih belum menunjukkan penurunan, dan


situasi lingkungan Pendidikan yang dianggap belum kondusit, maka melalui SE
Mendikbud Nomor 1 tahun 2021, program Ujian Nasional di tahun ini,
ditiadakan, sementara program AKM ditangguhkan sampai bulan September
2021.

Pertanyaan kritis, yang perlu untuk dikemukakan di sini, adalah “untuk apa
dilakukan penilaian, dan apa yang akan dinilai ?” pertanyaan ini, kiranya,
menjadi pokok penting dalam Menyusun dan mengembangkan instrument dan
bentuk penilaian.

Saat memberikan pandangan mengenai instrument penilaian pembelajaran abad


21, Elly Purwanti, dkk., mengatakan : 6

Dalam upaya menentukan tingkat ketercapaian kinerja siswa yang


mengacu pada pembentukan keterampilan proses sains siswa maka
5
Elly Purwanti, dkk., Pengembangan Instrumen Penilaian Keterampilan Abad 21,
Malang : Penerbit Kota Tua, 2020:11-14, Asrul, dkk., Evaluasi Pembelajaran, Bandung :
Ciptapustaka Media, 2015. Nahjiah Ahmad, Buku Evaluasi Pembelajaran, Jogjakarta :
Interpena, 2015

6
Elly Purwanti, dkk., Pengembangan Instrumen Penilaian Keterampilan Abad 21,
Malang : Penerbit Kota Tua, 2020:10.
diperlukan rubrik penilaian keterampilan proses sains sebagai pedoman
dalam penilaian kinerja dan hasil belajar siswa

Pandangan ini, memberi pesan bahwa instrument dan bentuk penilaian, diacukan
kepada bentuk pembelajaran dan terget dari setiap pembelajaran. Artinya,
bentuk penilaian dan isntrumen penilaian, akan memberikan gambaran
mengenai bentuk sasaran yang akan diukur. Pada saat aspek kognisitif yang
akan diukur, akan berbeda bentuk dan instrumennya, dengan target seorang
pendidik yang hendak mengukur aspek psikomotorik atau afektif.

Kita akan meminjam rangkaian definisi yang dikutip Nahjiah Ahmad dari
sejumlah pakar pendidikan. 7

 Stufflebeam, dkk (1971) mendefinisikan evaluasi proses menggambarkan,


memperoleh, dan menyajikan informasi yang berguna untuk merumuskan
suatu alternatif keputusan.

 Frey, Barbara A., dan Susan W. Alman. (2003), evaluasi adalah proses
sistematis pengumpulan, analisis, dan interpretasi informasi untuk
menentukan sejauh mana siswa yang mencapai tujuan instruksional.

 Viviane dan Gilbert de Lansheere (1984) menyatakan bahwa evaluasi


adalah proses penentuan apakah materi dan metode pembelajaran telah
sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

Lantas apa tujuan dari evaluasi Pendidikan ? meminjam pandangan dari Elis
Ratnawulan dan A. Rusdiana, mengatakan : 8

tujuan pelaksanaan evaluasi dalam Pendidikan adalah untuk mengetahui


kadar pemilikan dan pemahaman peserta didik terhadap materi pelajaran,
baik dalam aspek kognitif, psikomotorik maupun afektif.

Berdasarkan teori itu, dapat diketahui bahwa fungsi dasar penilaian itu, adalah
mengetahui kemampuan dasar, menilai efektivitas layanan Pendidikan, dan
mengetahui kadar kepemilikan kompetensi para peserta didik. Tujuan penilaian
ini, sudah tentu akan menuntun dan menuntut adanya bentuk dan instrument
penilaian yang berbeda, sesuai dengan tujuan dari penilaian dimaksud.

7
Nahjiah Ahmad, Buku Evaluasi Pembelajaran, Jogjakarta : Interpena, 2015:4.

8
Elis Ratnawulan dan A Rusdiana, Evaluasi Pembelajaran Dengan Pendekatan
Kurikulum 2013, Bandung : Pustaka Setia, 2014:11.
Analisis dan Pembahasan

Untuk melakukan analisis, orientasi penilaian Pendidikan di Indonesia, kita dapat


melihat beberapa rujukan kepustakaan sebagai acuan pembahasan dan
analisisnya.

Sebagai contoh, pada Pasal 1 ayat (5) Permendikbud nomor 43 tahun 2019,
tertera bahwa “Ujian Nasional yang selanjutnya disingkat UN adalah kegiatan
pengukuran capaian kompetensi lulusan pada mata pelajaran tertentu secara
nasional dengan mengacu pada Standar Kompetensi Lulusan.“.9 Kemudian di
pasal 10 Permendikbud tersebut, dengan jelas diungkapkan pula bahwa “UN
merupakan penilaian hasil belajar oleh Pemerintah Pusat yang bertujuan untuk
menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran
tertentu.”

Setidaknya ada empat karakter pokok yang terungkap dalam praktek


penyelenggaraan Ujian Nasional di tahun 2019 itu, yakni diselenggarakan secara
nasional, peserta didik kelas terakhir pada setiap jenjang, sasarannya pada mata
pelajaran tertentu, dan bersifat kognitif. Waktu pelaksanaan, yakni di akhir tahun
pelajaran pada setiap jenjang.

Kemudian, dalam Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, Menteri Pendidikan dan


Kebudayaan Nadiem Makarim, membuat kebijakan baru, dengan menghapus
Ujian Nasional, dan menggantinya dengan assessment kompetensi. Di
lingkungan Kemendikbud di kenal dengan sebutan AKM, sedangkan di
lingkungan Kementerian Agama, menggunakan istilah AKSI (Assesment
Kompetensi Siswa Indonesia).

9
Permendikbud 43 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ujian yang
diselenggarakan oleh Satuan Pendidikan dan Ujian Nasional
Apa perbedaan antara Ujian Nasional dengan AKM atau AKSI ?

Ada beberapa perbedaan nyata, antara Ujian Nasiona dengan AKM/AKSI.


Pertama, pelaksanaan AKM/AKSI tidak berbasis kompetendi dasar/kompetensi
inti (KI/KD), atau lebih luasnya lagi, tidak berbasiskan pada mata pelajaran. Basis
penyusunan AKSI/AKM adalah kompetensi berpikir, dalam kaitannya dengan
literasi, numerasi, literasi sains, dan literasi social-budaya. Dalam salah satu
penjelasannya, diterangkan bahwa AKSI/AKM, “dirancang untuk membantu para
guru memperoleh informasi yang akurat tentang kompetensi siswa dalam literasi
membaca, literasi numerasi, literasi sains dan literasi sosial budaya”.10

Sasaran pelaksanaan AKM adalah siswa kelas tengah jenjang, yaitu kelas 4, kelas
7 dan kelas 11. Sasaran pelaksanaan assessment ini, sudah nyata, dan jelas
berbeda dengan pelaksanaan Ujian Nasional. Bahkan untuk AKM, lebih
merupakan sampel dari jumlah siswa pada kelas dimaksud, sedangkan untuk
AKSI, Kemenag merencanakannya untuk seluruh siswa pada kelas terkait tadi.

Berdasarkan hal ini, kita melihat, ada perubahan dasar, orientasi penilaian, yang
dilakukan Pemerintah. Jika dalam Ujian Nasional, memberikan penilaian akhir
terhadap kompetensi peserta didik, selepas melakukan proses pembelajaran,
sedangkan dalam AKM, adalah melakukan pengumpulan informasi untuk
diagnose Pendidikan, sehingga bisa diperbakan dalam tahapan pembelajaran
berikutnya. Dalam paparan Kemeneag, memberikan keterangan : 11

Melalui AKSI/AKM/AN, diharapkan guru lebih memahami apa yang perlu


dilakukan untuk meningkatkan kualitas belajar-mengajar, yang pada
gilirannya akan meningkatkan hasil belajar murid

Dengan adanya AKSI, Kemenag akan memiliki basis diagnostik yang kuat,
untuk menentukan kebijakan mutu Pendidikan madrasah, memperbaiki
mutu pembelajaran, meningkatkan kapasitas guru, serta membangun
budaya belajar

10
Paparan dari Direktorat Kurikulum Sarpras Kelembagaan Dan Kesiswaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI, terkait Penyelenggaraan AKM/AN) dan
AKSI di Madrasah,

11
Paparan dari Direktorat Kurikulum Sarpras Kelembagaan Dan Kesiswaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI, terkait Penyelenggaraan AKM/AN) dan
AKSI di Madrasah,
Sementara dalam situs Pusat Asesment dan Pembelajaran Kemendikbud ada
penjelasan bahwa manfaat AKSI bagi sekolah, setidaknya ada tiga point, yakni :
12

1. Memperkaya penilaian formatif di sekolah


2. Menjadi alat bagi guru untuk mendiagnosa kemampuan siswanya pada
topik-topik yang subtansial
3. Menjadi inspirasi kepada guru untuk memperkaya konteks dan level
kognitif dalam penilaian tingkat kelas
Dengan kata lain, fungsi assessment (AKSI/AKM), lebih menunjukkan pada fungsi
diagnosis, dibandingkan pada pengukuran (measurement) kemampuan atau
kompetensi lulusan. Sekali lagi, dalam konteks ini, kita sudah bisa melihat, ada
orientasi penilaian yang berbeda, antara assessment dan Ujian Nasional atau
bentuk ujian lain, yang selama ini diselenggarakan.

Tabel : Perbedaan AKSI, AKM Nasional dan Survey Karakter dan Lingkungan
Belajar13

Survey Karakter dan


AKSI AKM Nasional
Lingkungan
Memahami hasil Mengevaluasi
Mengevaluasi kualitas system
Fungsi belajar individu kualitas system
pendidikan
siswa pendidikan
Disposisi dan keterampilan
sosialemosional-etisspiritual
Literasi Membaca,
Target Literasi Membaca siswa kesejahteraan psikologis
Numerasi, Sains,
Pengukuran dan Numerasi siswa dan guru praktik-praktik
dan Sosial-Budaya
pengajaran/iklim belajar di
sekolah
Sampel dari siswa
Seluruh siswa kelas 5 SD/MI, 8 Sampel dari siswa kelas 5
Peserta madrasah kelas 5, 8 SMP/MTs, kelas 11 SD/MI, 8 SMP/MTs, kelas 11
dan 11 (sensus) SMA/MA, dan kelas SMA/MA, dan kelas 11 SMK
11 SMK

12
Dikutip dari https://pusmenjar.kemdikbud.go.id/aksi-2/

13
Paparan dari Direktorat Kurikulum Sarpras Kelembagaan Dan Kesiswaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI, terkait Penyelenggaraan AKM9AN) dan
AKSI di Madrasah,
Pertanyaan lanjutan kita, apakah, model pembelajaran ini, menjadi sebuah potret
system dan bentuk penilaian pembelajaran yang ideal bagi bangsa Indonesia
saat ini ? mari kita uji, masalah ini, dengan ragam pertanyaan retoris, yang bisa
disampaikan di sini.

Apakah dengan sampel peserta AKM, dapat memberikan gambaran nyata


mengenai komptensi minimal seluruh siswa ? bila system penarikan
sampelnya saintifik, bisa jadi, “ya”, tetapi bila ada ‘rekayasa’ pemilihan
sampel peserta AKM, maka akan menjadi sumber petaka penyimpulan
penelitian.

Apakah dengan AKM atau AKSI, yang sifatnya diagnosis di kelas


pertengahan, dapat menjadi gambaran akhir, mengenai kompetensi akhir
dari seorang peserta didik ? bukankah, hasil diagnosis itu, akan dijadikan
patokan dalam menerapkan perbaikan layanan Pendidikan, lantas, apa
alat ukur yang bisa digunakan untuk mengetahui efektivitas dari layanan
Pendidikan pasca diagnosis ?

Dalam konteks medis, kita mengenal ada prognosis, atau prediksi ilmiah, atau
prediksi rasional terhadap sebuah gejala, kemudian ada diagnosis, yakni hasil
identifikasi terhadap gejala. Assement Kompetensi yang merupakan instrument
diagnosis terhadap praktek dan kesulitan belajar siswa, sejatinya perlu
ditindaklanjuti dengan therapy.

Pelaksanaan AKM di tengah jenjang (kelas IV, VII dan XI), merupakan pilihan
yang tepat untuk melakukan diagnosis kompetensi di jenjang Pendidikan dasar
dan menengah. Pertanyaannya adalah, setelah ada hasil diagnosis apa ayang
akan dilakukan ? therapy Pendidikan ? lantas, kapan kita mengenai efektitivitas
layanan therapi itu, sehingga seorang peserta didik dapat disebut kompeten atau
tidak kompeten (Sehat atau sakit)?

Dari penjelasan Pemerintah, melalui Pusat Asesment dan Pembelajaran, ada


penjelasan mengenai pemilihan peserta Asesment tersebut :14

Hasil Asesmen Nasional diharapkan menjadi dasar dilakukannya perbaikan


pembelajaran. Pemilihan jenjang kelas V, VIII dan XI dimaksudkan agar
murid yang menjadi peserta Asesmen Nasional dapat merasakan perbaikan
pembelajaran ketika mereka masih berada di satuan pendidikan tersebut.
Selain itu, Asesmen Nasional juga digunakan untuk memotret dampak dari
proses pembelajaran di setiap satuan pendidikan. Murid kelas V,VIII, dan XI
telah mengalami proses pembelajaran sehingga satuan pendidikan dapat
dikatakan telah berkontribusi pada hasil belajar yang diukur dalam
Asesmen Nasional.
14
Informasi di kutip dari Pusat Asesmen dan Pembelajaran Kemdikbud, di
https://bit.ly/39WNk8n.
Pada konteks inilah, surat edaran Mendikbud di tahun 2021, menjadi
rangsangan menarik untuk setiap satuan Pendidikan merumuskan bentuk dan
model evaluasi atau assessment kritis dan strategis dalam mengukur kompetensi
siswa, dan atau menilai efektivitas layanan pasa diagnosis.

Kembali mengutip isi Surat Edaran mendikbud, bahwa untuk 2021, Ujian
Nasional ditiadakan, dan penilaian kepada peserta didik dilakukan dengan
memperhatikan empat factor, yaitu :

1) Portofolio berupa evaluasi atas nilai rapor, nilai sikap atau perilaku,
dan prestasi yang diperoleh sebelumnya (penghargaan, hasil
perlombaan, dan sebagainya),
2) Penugasan,
3) Tes secara luring atau daring, dan/atau;, dan
4) Bentuk kegiatan penilaian lain yang ditetapkan oleh satuan
pendidikan

Apa yang menarik dari surat edaran ? sisi menarik dari sudat edaran ini,
pentingnya melakukan penilaian terhadap portofolio dan penugasan. Kendati,
dapat ditafsirkan secara beragam, namun kiranya, akan jauh lebih elok, bila
dilakukan dengan menerapkan model portolopio produk atau projek.

Meminjam pandanga Muhadjir Effendi, saat menjabat Mendikbud, mengatakan


bahwa kompetensi abad 21 itu, bukan hanya literasi tetapi juga character dan
competency.15 Artinya, kebijakan AKSI dan AKM, yang lebih menekankan aspek
literasi (Bahasa, numerasi, sains dan social budaya), perlu juga didampingkan
dengan pengukuran pada karakter dan kompetensi. Untuk hal terakhir ini, Satuan
Pendidikan, kiranya perlu secara kreatif untuk mengolah dan menetapkan model
penilaian, yang tidak sekedar kognitif, dan bukan lagi sekedar diagnosis (AKM
atau AKSI), melainkan penilaian terhadap kompetensi akhir yang dimiliki peserta
didik, selepas melakukan proses pembelajaran di satu jenjang pendidikan.

Dalam pelaksanaan penilaian (assessment, measurement atau evaluation),


setidaknya perlu memperhatikan pula pada tujuan pokok pelaksanaan evaluasi.
Sistem Pendidikan Nasional, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (21)
menetapkan bahwa “Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian,
penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen
pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk
pertanggungjawaban penyelenggaraan Pendidikan”.16 Kemudian, pada pasal 57

15
Muhadjir Effendy, Arah Baru Dalam Pengembangan Pendidikan Nasional ,
paparan di Univeistas Negeri Malang, Senin, 2 September 2019, diunduh dari
https://bit.ly/3p4LPtf, tanggal 7/02/2021.

16
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
ayat (2), tertuang pula pernyataan bahwa “Evaluasi dilakukan terhadap peserta
didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk
semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan.”.

Memperhatikan hal itu, maka penilaian itu, pada dasarnya, bukan sekedar untuk
diagnosis, tetapi perlu juga dilakukan untuk penetapan mutu Pendidikan, dan
bukan sekedar untuk pengendalian, tetapi juga untuk penjaminan mutu
Pendidikan, dan bukan sekedar untuk mengukur kompetensi siswa, tetapi juga
untuk mutu layanan Lembaga dan ketercapaian program Pendidikan pada setiap
Lembaga Pendidikan.

Memanfaatkan alur ‘layanan kesehatan’, layanan Pendidikan dapat memosisikan


peserta didik sebagai pasien/klien yang membutuhkan bantuan meningkatkan
Kesehatan kompetensi hidup. Dalam layanan Kesehatan itu, setidaknya ada tiga
hal yang perlu dilakukan, yaitu :

Pertama, prognosis, seorang tenaga


pendidik atau Lembaga Pendidikan,
memanfaatkan pengetahuan dan
kerangka pikirnya dalam memahami
masalah belajar peserta didik. Pada
prognosis ini, asumsi, teori dan analisis
factor internal dan eksternal peserta didik,
dapat dikumpulkan guna memahami
potret peserta didik. Untuk hal ini,
diperlukan benuk dan instrument
penilaian yang bersifat, penempatan.

Kedua, diagnosis, yakni upaya mengidentifikasi masalah, keluhan, hambatan,


termasuk juga keunggulan dan kelebihan peserta didik. Untuk mengetahui hal ini,
maka dibutuhkan bentuk dan instrument yang berbeda dengan pendekatan
prognosis. Hasil diagnosis, akan digunakan untuk memberikan layanan
Pendidikan lanjutan yang lebih baik sehingga mampu menghasilkan kualitas
layanan dan kompetensi lulusan yang lebih baik.

Terakhir, yaitu therapy atau treatment. Therapy atau treatment adalah Tindakan
praktis yang dilakukan tenaga pendidik sesuai dengan hasil diagnosis. Pada
akhirnya, di waktu tertentu, hasil therapy atau treatment ini, harus dievaluasi
Kembali, mengenai efektivitas dampak terhadap perubahan perilaku peserta didik,
klien atau pasien tersebut.

Untuk memudahkan pemahaman, di sini, akan diilustrasikan untuk rekomendasi


pemikiran mengenai orientasi penilaian pada jenjang SMA/MA.
Tabel : Orientasi Penilaian Setiap Tingkatam

Untuk kelas X, sebagai peserta didik baru, pada dasarnya tidak bisa diberikan
pembelajaran langsung, tanpa diketahui terlebih dahulu mengenai minat, bakat
dan kemampuan, atau masalah belajar dan keunggulannya. Selama ini, setiap
tenaga pendidik, seakan-akan sudah tahu kebutuhan peserta didik, langsung
memberikan pembelajaran tanpa mengetahui latar belakang masalah dan
kemampuan belajar siswa. Hal ini, ibarat dokter yang langsung memberikan obat
kepada pasien, tanpa mengetahui keluhan dan penyakitnta.

Sehubungan hal itu, maka hal yang perlu diterapkan, yakni melakukan penilaian
diagnosis dan penempatan (replacement test). Pengukuran ini, dimaksudkan
untuk mengetahui minat, bakat, kemampuan, masalah atau keunggulan belajar
peserta didik. Dengan modal pengetahuan dan pemahaman itu, seorang guru,
dapat memberikan layanan Pendidikan sesuai dengan kondisi dan keadaan
peserta didik.

Selepas menjalani proses pembelajaran di kelas X, kemudian di kelas XI, peserta


didik pun, menjalani proses diagnosis kedua. Hal ini, dilakukan untuk
mengetahui budaya belajar, dan masalah belajar. Hasil dari diagnosis ini, akan
digunakan untuk therapi pembelajaran di kelas XI dan kelas XII.

Hasil dari proses therapi pembelajaran di kelas XII, seorang peserta didik perlu
dievaluasi Kembali. Tetapi, pada akhir jenjang Pendidikan ini, bukan lagi bersifat
diagnosis, melainkan sudah masuk ke tahapan penilaian capaian kompetensi.
Oleh karena itu, bentuk dan instrument penilaiannya pun, tidak lagi bersifat
diagnosis, melainkan instrument pengukuran terhadap capaian kompetensi.
Penutup

Tantangan abad 21 tidak lebih sederhana. Kendati tidak lebih sederhana, bukan
berarti, bahwa bentuk dan instrument penelitian harus kompleks dan jelimet.
Justru hal pokok yang perlu dikedepankan adalah menentukan dan menetapkan
bentuk serta intrumen penilaian yang strategis. Sederhana, namun mampu
memberikan gambaran yang utuh, untuk setiap aspek (domain) pembelajaran.

Pembelajaran berorientasi pemecahan masalah, dan penilaian yang mengaju


pada projek, diharapkan mampu menjadi instrument strategis dalam mengukur
kompetensi peserta didik, yang dipersiapkan dalam mengisi tantangan abad 21.

Anda mungkin juga menyukai