Disusun Oleh :
Nur Chamimmah Lailis Indriani
NIM : 19070996009
1
BAB 1
PENDAHULUAN
2
melihat potensi dan prestasi dari peserta didik. Selain itu, UN juga ditengarai
menjadi penyebab tekanan mental bagi peserta didik yang tidak lulus karena saat
itu UN merupakan tolak ukur kelulusan bagi peserta didik pada jenjang SD –
SMA. Sedangkan bagi pihak kontra dengan penghapusan UN, beralasan karena
UN merupakan indikator penilaian dari guru dan sekolah serta untuk
meningkatkan mutu pendidikan. (www. news.okezone.com, 2009)
Selain bersumber dari pendapat masyarakat yang dilansir beberapa media
online terkait penghapusan UN, terdapat beberapa argumen ilmiah berlandaskan
peraturan perundangan dan sudut pandang psikologi pendidikan. Secara yuridis,
berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada
pasal 8 ayat 1 menyatakan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan
oleh pendidik untuk memantau proses, kemampuan, dan perbaikan hasil belajar
peserta didik secara berkesinambungan. Namun pada kenyataannya, UN dinilai
telah merampas hak guru dalam melakukan penilaian, UN juga dianggap telah
mengabaikan unsur penilaian yang berupa proses. Selain itu, pada pasal 59 ayat 1
dinyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap
pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Tetapi dalam UN
pemerintah hanya melakukan evaluasi terhadap hasil belajar siswa yang
sebenarnya merupakan tugas pendidik.
Berdasarkan sudut pandang teori Psikologi Pendidikan, penilaian
pembelajaran lebih banyak disorot dari aspek proses, penyelidikan serta
pengelolaan kelas yang meliputi waktu, pemberian tugas, dan variabel-variabel
yang berhubungan dengan strategi pembelajaran (Scheerens, 2003). Beberapa
hasil penelitian terdahulu menyimpulkan bahwa kemampuan intelektual
berhubungan secara positif dengan prestasi belajar (Ardhana, 1980; Semiawan,
1984; Kusharto, 1985; dan Pali, 1993). Menurut Pali (1993), kemampuan
intelektual merupakan aspek yang berarti dalam mempengaruhi prestasi belajar
seseorang. Dari konsep berpikir tentang kemampuan akademik peserta didik dan
prosedur pembelajaran, maka penilaian model-UN dinilai tidak komprehensif
karena melalui tes ujian objektif (multiple choice), dapat mengorbankan
pengupayaan pencapaian tujuan-tujuan pendidikan yang sangat mulia.
3
Sedangkan pihak-pihak yang ingin mempertahankan pelaksanaan ujian
nasional (UN) juga memiliki berbagai alasan logis. Walaupun UN bukan alat yang
tepat untuk mengukur keberhasilan pendidikan di bidang akademik, namun UN
tetap diperlukan demi pengendalian terhadap mutu lulusan. UN dianggap mampu
memberikan umpan balik tentang kemampuan guru yang pada akhirnya
memunculkan strategi peningkatan mutu mereka. Selain itu, pelaksanaan UN
masih diperlukan dalam rangka menegakkan akuntabilitas pengelola dan
penyelenggara pendidikan terhadap pihak-pihak yang berkepentingan dan
masyarakat pada umumnya. Secara konseptual UN mampu menyediakan
informasi yang akurat kepada masyarakat tentang prestasi yang dicapai oleh setiap
peserta didik, sekolah, lembaga pendidikan kabupaten/kota, provinsi, dan prestasi
nasional secara keseluruhan.
Senada dengan pihak yang kontra terhadap penghapusan UN, terdapat
bebrapa hasil penelitian positif terkait dengan pelaksanaan UN di beberapa daerah
di Indonesia. Penelitian Mardapi (2000) menunjukkan bahwa hasil UN di satuan
pendidikan SD berfungsi untuk memantau kualitas pendidikan baik antar wilayah
maupun antar waktu, memotivasi siswa, guru, sekolah agar lebih berprestasi, dan
umpan balik bagi pengelola pendidikan. Selanjutnya Tilaar (2006), menyatakan
bahwa kegiatan UN merupakan suatu kegiatan evaluasi yang berfungsi sebagai
pemetaan masalah-masalah pendidikan nasional serta kesepakatan untuk
menangani masalah-masalah mendasar yang dihadapi oleh sistem pendidikan
nasional.
Terlepas dari adanya kontroversi rencana penghapusan ujian nasional (UN)
maupun pihak-pihak yang pro dan kontra, pada hakekatnya sebuah proses
pembelajaran haruslah diiringi dengan sebuah proses penilaian. Menurut
Kellaghan, T (2004), munculnya aktivitas penilaian dalam sebuah kebijakan
pendidikan berhubungan dengan kekhawatiran tentang apa yang sebenarnya
dipelajari siswa di sekolah. Johnson, S (2017) menyatakan bahwa pada
prinsipnya, program penilaian nasional dirancang untuk mengetahui dampak dari
kurikulum sekolah tertentu, baik dalam hal pencapaian mata pelajaran sekolah
utama, seperti sains, geografi atau kesehatan dan kesejahteraan, atau terkait
dengan kurikulum lintas minat, serta pengembangan keterampilan, biasanya
4
terkait dengan literasi huruf dan berhitung. Penilaian nasional juga berperan
dalam hal mempercepat reformasi kurikulum, misalnya, dengan menggunakan
desain penilaian yang telah digunakan yang disesuaikan dengan tujuan
pembelajaran untuk memusatkan perhatian guru pada penilaian pengetahuan dan
keterampilan, dan kadang-kadang penilaian sikap.
Berdasarkan beberapa kajian terhadap fenomena terkait rencana
penghapusan ujian nasional (UN) serta beberapa landasan teori tentang urgensi
pelaksanaan sebuah penilaian secara nasional, maka makalah ini hendak
memberikan beberapa pertimbangan ilmiah terhadap sebuah kebijakan pendidikan
yang terkait dengan penilaian nasional dari sebuah proses pembelajaran. Sejatinya
sebuah penilaian dalam pembelajaran sangatlah diperlukan namun bagaimana
menemukan desain yang tepat terkait konsep teknis penilaian tersebut agar
penilaian pembelajaran dalam skala besar tersebut mampu menimbulkan rasa
aman bagi peserta didik serta mampu mewakili kualitas pendidikan yang dimiliki
oleh suatu negara.
1.3 Tujuan
Penyusunan makalah ini memiliki beberapa tujuan, diantaranya adalah :
1. Memberikan pertimbangan rasional melalui studi literatur terkait relevansi
rencana penghapusan ujian nasional (UN).
2. Menawarkan format desain penilaian nasional yang relevan untuk mencapai
tujuan pendidikan nasional di Indonesia.
5
1.4 Manfaat
Penulisan makalah ini diharapkan memberikan manfaat kepada masyarakat
tentang bagaimana menyikapi sebuah kontroversi kebijakan pendidikan secara
seimbang dalam sudut pandang yang ilmiah serta mampu memberikan
pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya sebuah pelaksanaan penilaian
nasional sesuai dengan tujuan pendidikan nasional dengan desain penilaian yang
relevan dengan hakekat pembelajaran.
6
BAB 2
PEMBAHASAN
7
(2) Mengukur mutu pendidikan di tingkat nasional, propinsi, kabupaten/kota, dan
sekolah/madrasah.
(3) Mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan secara nasional,
propinsi, kabupaten/kota, sekolah/madrasah, dan kepada masyarakat.
8
diperolehnya nilai yang memiliki makna yang “sama” dan dapat
dibandingkan antar sekolah.
(3) Ketiga, periode 1982 –2002. Pada tahun 1982 dilaksanakan ujian akhir
nasional yang dikenal dengan sebutan Evaluasi Belajar Tahap Akhir
Nasional (EBTANAS). dalam EBTANAS dikembangkan sejumlah
perangkat soal yang “pararel” untuk setiap mata pelajaran dan penggandaan
soal dilakukan di daerah. Pada EBTANAS kelulusan siswa ditentukan oleh
kombinasi nilai semester I (P), nilai semester II (Q) dan nilai EBTANAS
murni (R).
(4) Keempat, periode 2002-2004. Pada tahun 2002, EBTANAS diganti dengan
penilaian hasil belajar secara nasional dan kemudian berubah nama menjadi
Ujian Akhir Nasional (UAN). Perbedaan yang menonjol antara UAN
dengan EBTANAS adalah dalam cara menentukan kelulusan siswa,
terutama sejak tahun 2003. Untuk kelulusan siswa pada UAN ditentukan
oleh nilai mata pelajaran secara individual.
(5) Kelima, periode 2005-2009. Mulai tahun 2005 untuk mendorong
tercapainya target wajib belajar pendidikan yang bermutu, pemerintah
menyelenggarakan Ujian Nasional (UN) untuk SMP/MTs/SMPLB dan
SMA/SMK/MA/SMALB/SMKLB. Sedangkan untuk mendorong
tercapainya target wajib belajar pendidikan yang bermutu, mulai tahun
ajaran 2008/2009 pemerintah menyelenggarakan Ujian Akhir Sekolah
Berstandar Nasional (UASBN) untuk SD/MI/SDLB.
(6) Keenam, periode 2010-sekarang. Tahun 2010 Departemen Pendidikan
Nasional (Depdiknas) menetapkan bahwa UN bukan sebagai penentu
kelulusan. Kemendiknas melakukan perubahan pelaksanaan Ujian Nasional
(UN) sehingga hasil UN meningkat, pemerintah puas. Pemerintah atau
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), melalui BSNP mengaku
merasa puas dengan hasil Ujian Nasional (UN) 2008/2009 yang secara
nasional persentasenya mengalami kenaikan.
9
2.3 Ujian Nasional (UN) Sebagai Model Evaluasi Pendidikan
Setiap kegiatan pembelajaran dalam sebuah proses pendidikan selalu
memerlukan evaluasi. Miller, Linn dan Norman E.Gronlund (2008) merumuskan
pengertian evaluasi adalah suatu proses yang sistematis untuk menentukan atau
membuat keputusan sampai sejauh mana tujuan-tujuan pengajaran telah dicapai
oleh peserta didik. Setidaknya ada tiga alasan utama mengapa pendidikan
memerlukan evaluasi. Pertama, ditinjau dari sudut proses, adanya interdependensi
antara ketiga komponen (Tujuan pengajaran, materi, dan metode belajar
mengajar). Tujuan akan mengarahkan bagaimana pelaksanaan proses belajar-
mengajar, (materi, metode belajar mengajar) yang seharusnya dilaksanakan,
sekaligus merupakan kerangka acuan untuk melaksanakan evaluasi hasil belajar.
Adapun fungsi pokok evaluasi pendidikan ialah untuk mengetahui
penguasaan bahan dalam rangka membimbing pertumbuhan dan perkembangan
peserta didik secara individual maupun kelompok. Selain itu juga berfungsi untuk
mengetahui kelemahan dan kekuatannya serta untuk menentukan bidang-bidang
yang harus diperbaiki atau diubah. Bagi pengembangan kurikulum, maka proses
evaluasi berfungsi untuk menentukan dasar bagi perubahan dan penyempurnaan
kurikulum serta untuk menetapkan kegiatan-kegiatan baru yang sesuai dengan
kemajuan dan perkembangan pendidikan (Idrus, 2007).
Proses evaluasi dalam proses pendidikan merupakan sebuah upaya untuk
mengukur keberhasilan program, serta untuk menentukan kualifikasi peserta
didik. Lebih jauh lagi proses evaluasi pendidikan diperlukan untuk dapat secara
tepat melihat kelemahan proses pendidikan, sehingga akan secara tepat pula
memberi perlakuan bagi upaya peningkatan mutu pendidikan. Menurut McNeil
(1977), evaluasi harus mampu memberikan tiga informasi penting yaitu
penempatan, mastery, dan diagnosis. Penempatan berkaitan dengan pada level
belajar yang mana seorang peserta didik dapat ditempatkan, sehingga dapat
menantang tetapi tidak frustasi. Mastery berkaitan dengan apakah peserta didik
sudah memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup untuk menuju ke
tingkat berikutnya. Diagnosis berkaitan dengan pada bagian mana yang dirasa
sulit oleh peserta didik.
10
2.3 Penilaian Nasional (National Assessment)
Postlethwaite, N dan Kellaghan, (2008) dalam buku yang berjudul National
Assessment of Educational Achievement menjelaskan tentang istilah penilaian
nasional (national assessment). Penilaian nasional adalah survey yang
diberlakukan untuk sekolah dan peserta didik yang dirancang untuk memberikan
bukti tentang tingkat prestasi peserta didik dalam bidang kurikulum yang
diidentifikasi (untuk misalnya, dalam bidang membaca dan matematika) untuk
seluruh sistem pendidikan atau untuk bagian yang jelas dari suatu sistem
Pendidikan. Adapun fokus utama penilaian nasional adalah untuk
menggambarkan dan mengevaluasi kualitas hasil belajar peserta didik dari sebuah
institusi pendidikan dalam hal ini adalah sekolah. Penting untuk diperhatikan
bahwa penilaian nasional berbeda dari public external examination (ujian publik),
di mana fokus utamanya adalah pada individu siswa, mengesahkan pencapaian
mereka, dan memilih mereka untuk pendidikan lebih lanjut.
Informasi yang diperoleh dalam penilaian nasional dapat melengkapi
informasi tentang input bagi sistem pendidikan (misalnya, informasi tentang
sumber daya pendidikan atau kualifikasi guru) dan pada proses pendidikan.
Informasi yang berasal dari penilaian nasional ini dapat digunakan pembuat
kebijakan dan manajer pendidikan sebagai bukti tentang pencapaian dan
keberhasilan sistem yang telah diterapkan sehingga dapat diusulkan sebuah
tindakan perbaikan. Penilaian nasional juga dapat dianggap sebagai sebuah
komponen penting dari administrasi profesional sistem pendidikan apa pun
(Postlethwaite, N dan Kellaghan, 2008).
Penilaian nasional dapat memiliki implikasi yang luas, diantaranya adalah :
a) Sebagai penentuan kebijakan sosial dan ekonomi mengenai keseluruhan
kualitas dan kinerja sistem pendidikan, termasuk perannya dalam mencapai
tujuan sosial dan ekonomi (contoh: kesetaraan kesempatan, kesetaraan
gender, dan meningkatkan kinerja siswa dari yang kurang beruntung latar
belakang).
b) Bagi organisasi dan manajemen suatu sistem pendidikan (misalnya:
penyediaan publik dan pendidikan swasta)
11
c) Bagi kondisi pembelajaran (misalnya: waktu pengajaran, sumber daya,
pendidikan guru, dan keluarga mendukung).
12
bertujuan untuk mengukur prestasi literasi membaca, matematika, dan sains bagi
siswa usia 15 tahun. Dasar penilaian prestasi literasi membaca, matematika, dan
sains dalam PISA memuat pengetahuan yang terdapat dalam kurikulum dan
pengetahuan yang bersifat lintas kurikulum (Oktiningrum, 2014).
Jenis penilaian belajar yang diterapkan di negara lain adalah Trends
International Mathematics and Science Study (TIMSS) merupakan studi
international tentang kecenderungan atau perkembangan matematika dan sains.
Studi ini diselenggarakan oleh International Association for the Evaluation of
Education Achievement (IEA) yaitu sebuah asosiasi internasional untuk menilai
prestasi dalam pendidikan yang berpusat di Lynch School of Education, Boston
College, USA. TIMSS bertujuan untuk mengetahui peningkatan pembelajaran
matematika dan sains. yang diselenggarakan setiap 4 tahun sekali (Oktiningrum,
2014). Dasar penilaian prestasi matematika dan sains dalam TIMSS dikategorikan
ke dalam dua domain, yaitu domain isi dan domain kognitif dengan
memperhatikan kurikulum yang berlaku di negara yang bersangkutan (Sari,
2015).
Sementara itu di Amerika Serikat, national assessment yang diberlakukan
adalah The National Assessment of Education Progress (NAEP). NAEP adalah
penilaian berkelanjutan dan representatif terbesar dari apa yang dapat diketahui
dan dilakukan siswa Amerika Serikat dalam berbagai mata pelajaran. NAEP
adalah proyek yang diberi mandatori kongres yang dikelola oleh Pusat Statistik
Pendidikan Nasional (NCES), di dalam Institut Pendidikan Ilmu Pengetahuan
(IES) dari Departemen Pendidikan AS. Hasil NAEP dirancang untuk memberikan
data tingkat kelompok tentang prestasi siswa dalam berbagai mata pelajaran, dan
dikeluarkan sebagai The Nation's Report Card. Tidak ada hasil bagi siswa, kelas,
atau sekolah individual. NAEP menggunakan prosedur sampling yang dirancang
dengan cermat sehingga memungkinkan penilaian mewakili keragaman geografis,
ras, etnis, dan sosial ekonomi sekolah dan siswa di Amerika Serikat. Data juga
diberikan pada siswa penyandang cacat dan pelajar bahasa Inggris. Karena
penilaian NAEP diberikan secara seragam kepada semua siswa yang
berpartisipasi dengan menggunakan buklet tes yang sama dan prosedur yang
13
identik di seluruh negara, hasil NAEP berfungsi sebagai metrik umum untuk
negara bagian dan memilih distrik perkotaan yang berpartisipasi dalam penilaian.
Di negara Australia tes nasional yang dilakukan oleh pemerintah Australia
adalah NAPLAN (National Assessment Program-Literacy and Numeracy), yang
dilakukan sebagai persiapan menuju year 10. Fungsi ujian nasional (NAPLAN)
adalah untuk pemetaan dan tidak menentukan kelulusan siswa dari satuan
pendidikan. Kelulusan siswa dari satuan pendidikan menjadi wewenang penuh
satuan pendidikan. Sistem moderasi (equiting) nilai antara nilai NAPLAN dan
nilai asesmen sekolah menjadikan NAPLAN sebagai pengendali mutu. NAPLAN
dilakukan pada tahun ganjil, yaitu tahun 3, 5, 7, dan 9. Hasil NAPLAN
dilaporkan kepada negara bagian dan sekolah untuk ditindaklanjuti dengan
memberikan intervensi supaya siswa dapat mencapai standar yang ditetapkan.
Persiapan NAPLAN online dirancang dengan matang dengan road map yang jelas
dan terukur, selama dua tahun melalui tujuh penelitian pada tahun 2015 dan 2016
sebelum diterapkan secara menyeluruh pada tahun 2017 (Suryadi. B, 2016).
14
Kedaulatan guru sebagai insan pendidik dengan serta merta dicabut oleh UN.
Keadaan ini semakin memperparah kondisi pendidikan diindonesia. Artinya,
pendidikan di indonesia masih bertumpuh pada nilai-nilai akademik (kognitif) dan
mengesampingkan nilai-nilai kecerdasan yang lain (Hadi, W., 2016).
Mendekati UN peserta didik ditekan sedemikian mungkin untuk mengikuti
materi tambahan. Hal in dilakukan untuk mengejar materi yang belum
disampaikan atatu mengenalkan soal-soal UN, belum lagi jam tambahan dari
bimbel. Lembaga bimbingan belajar seringkali mengklaim dirinya sebagai pihak
yang berjasa meluluskan peserta didik. Menurut Freire, dalam The Politic Of
Education: Culture, Power and Liberation, dalam Hadi, W., (2016), relasi yang
harus dibangun peserta didik dan pemerintah adalah evaluasi bukan inspeksi.
Dalam inspeksi pendidik hanya menjadi obyek pengamatan pejabat dari pusat.
Adapun dalam evaluasi, setiap orang adalah subyek yang bekerja sama dengan
pejabat-pejabat dalam melakukan kritik dan menjaga jarak dari kerja mereka.
Dengan demikian UN seharusnya tidak dilakukan secara nasional. Ujian dalam
bentuk apapun seharusnya menjadi kewenangan pendidik, hal ini dikarenakan
pendidik lebih tahu kapasitas peserta didik (Hadi, W., 2016).
Berdasarkan berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat terkait UN serta
dengan mempertimbangkan berbagai masukan dari berbagai pihak, sebagaimana
yang dilansir oleh media online www.medcom.id. pada bulan Maret 2019,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tengah mempersiapkan penggunaan
AKSI (Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia) sebagai sistem penilaian untuk
pemetaan kualitas pendidikan pengganti Ujian Nasional (UN). Sistem asesmen
baru ini digadang-gadang menggantikan UN yang kini dinilai semakin rendah
nilai kegunaannya. Rencananya AKSI akan dirancang mirip dengan PISA
(Programme for International Students Assessment).
15
diantaranya peserta didik, lembaga dan program pendidikan. Penilaian merupakan
bagian dari evaluasi, sedangkan evaluasi merupakan rangkaian akhir dari suatu
proses pembelajaran. Berhasil tidaknya hasil pembelajaran dapat dilihat sejauh
mana hasil evaluasi terhadap output yang dihasilkan.
Kebutuhan untuk menghubungkan kegiatan penilaian dengan upaya
perbaikan kurikulum/sistem pendidikan muncul setelah tahun 1930-an. Salah
seorang yang merintis hubungan penilaian dan perbaikan kurikulum adalah Raplh
W. Tayler. Menurut Tayler, kurikulum dikembangkan atas dasar dan diarahkan
pada pencapaian sejumlah tujuan pendidikan. Untuk itu penilaian berfungsi untuk
mengetahui seberapa jauh tujuan-tujuan pendidikan tersebut telah atau belum di
capai. Dari hasil penilaian kemudian dapat diketahui bagian-bagian mana dari
sistem yang masih memerlukan perbaikan.
Menurut Sandra Johnson, (2017), mendesain sebuah program penilaian
nasional adalah kegiatan yang menantang, bahkan tanpa tekanan politik yang tak
tertahankan dan sering berubah yang terkait dengannya. Desain dapat secara
teknis sederhana atau sangat kompleks. Biaya implementasi dapat moderat hingga
sangat tinggi, tergantung pada skala pengujian, dan ruang lingkup dalam hal
cakupan kurikulum. Beban sekolah bisa minimal atau berlebihan. Dan hasil,
dalam hal memenuhi harapan politik yang diekspresikan, dapat sepenuhnya
memuaskan atau sangat mengecewakan. Jika dirancang dengan baik, dalam
batasan nasional geografi tertentu, infrastruktur transportasi dan komunikasi,
sumber daya keuangan, keahlian teknis, kepraktisan logistik, stabilitas politik, dan
faktor-faktor penting lainnya, penilaian nasional dapat menjadi alat yang kuat
untuk evaluasi sistem.
Untuk merancang sebuah penilaian nasional agar dapat berjalan dengan baik
serta memenuhi tujuan yang dimaksudkan dengan memadai, maka penilaian
nasional harus dirancang untuk memberikan informasi yang dapat diandalkan
(valid dan dapat diandalkan secara teknis) dan tidak memihak, berdasarkan data
yang dapat dikumpulkan secara ekonomis dan dengan gangguan seminimal
mungkin (Johnson 2016). Merancang program penilaian nasional untuk
memenuhi tuntutan ini dapat menjadi latihan yang menantang, melibatkan
kombinasi keputusan politik, profesional, dan teknis tentang sejumlah fitur yang
16
berbeda. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam mendesain sebuah
penilaian nasional diantaranya adalah sebagai berikut :
(a) Fokus kepada kurikulum
Penilaian nasional yang berfokus pada kurikulum menyiratkan bahwa ada
kurikulum nasional, karena tanpa kurikulum nasional, perbedaan dalam
pencapaian populasi di berbagai daerah di negara ini atau di berbagai jenis
sekolah, bisa jadi sulit ditafsirkan untuk tujuan mengidentifikasi implikasi
kebijakan yang relevan.
(b) Tahapan usia untuk penilaian
Pilihan populer adalah akhir dari sekolah dasar, kasus di sebagian besar
negara maju dan berkembang di mana penilaian nasional sudah ada, dan
akhir sekolah wajib. Tren internasional yang cukup baru, di negara-negara
maju maupun negara-negara berkembang, adalah penilaian nasional untuk
ditampilkan pada setiap tahap, atau pada beberapa tahap berurutan, di
sekolah. Alasannya adalah bahwa strategi ini pada prinsipnya memfasilitasi
pemantauan perkembangan terkait usia, dan memungkinkan pelaporan di
tingkat sekolah.
(c) Skala penilaian
Mengenai skala pengujian, ini dapat mengambil salah satu dari sejumlah
pola yang berbeda, dengan atau tanpa sampel siswa, kelas atau sekolah.
Strategi yang paling umum adalah menguji atau menilai :
sampel siswa dari seluruh tingkatan atau kelompok umur dalam sampel
sekolah
sampel siswa dari seluruh tingkatan atau kelompok umur di setiap
sekolah
semua siswa dalam satu kelas atau lebih dalam sampel sekolah
semua siswa dalam suatu tahapan atau kelompok umur dalam sampel
sekolah
semua siswa dalam satu tahapan di setiap sekolah (cohort testing).
(d) Siklus dan waktu survey
Beberapa profesional pendidikan akan mengharapkan perubahan pencapaian
populasi menjadi jelas setelah satu atau dua tahun saja. Hubungan antara
17
perubahan dalam kurikulum, pendekatan pengajaran, lingkungan belajar,
dan sebagainya, dan perubahan pencapaian, harus secara logis
membutuhkan waktu untuk memiliki efek. Dengan demikian, jauh sebelum
PISA diluncurkan, dengan siklus 9 tahun untuk domain utama, banyak
negara dengan program penilaian nasional telah mengadopsi siklus non-
tahunan, setidaknya untuk bidang studi yang sama atau tahap sekolah. Ini
telah berubah dan terus berubah.
(e) Mode penilaian
Mode penilaian yang diadopsi untuk program penilaian nasional akan
tergantung pada sejumlah faktor, termasuk subjek yang akan dinilai, tahap
atau kelompok umur yang menjadi fokus, dan keadaan perkembangan
ekonomi negara tersebut.
(f) Pelaporan pencapaian
Ada beberapa cara di mana hasil pencapaian dapat disajikan untuk konsumsi
pemangku kepentingan. Pencapaian dapat dilaporkan dalam hal skor rata-
rata atau skor persentase rata-rata, untuk tes tunggal, jika umum di seluruh
sampel atau cohort testing, atau dirata-rata melalui beberapa tes yang dapat
dipertukarkan dalam konteks pengambilan sampel matriks; sebagai
alternatif, skor rata-rata di seluruh set item yang relevan.
(g) Strategi diseminasi
Pemangku kepentingan harus memiliki akses cepat terhadap hasil survei
sehingga mudah dipahami, terutama di mana temuan survei akan relevan
sehingga dapat menentukan tindakan masa depan yang produktif. Dapat
diasumsikan bahwa politisi nasional dan lokal dan pembuat kebijakan,
bersama dengan pengawas sekolah, akan memiliki akses tersebut. Sekolah
dapat, dan harus, dimasukkan dalam strategi diseminasi, sehingga para guru
dapat terus diberi informasi tentang keadaan bangsa dalam hal pencapaian
siswa, terutama kekuatan dan kelemahan, dan lingkungan belajar.
(h) Manajemen program
Poin terakhir yang perlu diperhatikan secara singkat di sini adalah bahwa
program penilaian nasional perlu dikelola, dan keputusan tingkat atas harus
dibuat sehubungan dengan hal ini. Ketika peluncuran program baru
18
dimaksudkan, suatu organisasi, atau kelompok organisasi mitra, harus
diidentifikasi dan ditugaskan untuk mengelola atau mengelola bersama
perencanaan, implementasi, dan pelaporan program.
19
BAB III
SIMPULAN
20
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas,
dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta
psikologis peserta didik. Maka hendaknya penilaian nasional juga haruslah di
desain sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
21
DAFTAR PUSTAKA
Ardhana, W. (1983). Kesanggupan Berpikir Formal Ala Piaget dan Belajar di Sekolah,
Disertasi, FPS-IKIP Malang, Malang: tidak diterbitkan
Idrus, M. (2007) . Evaluasi Pendidikan. Diktat. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Agama Islam.
Mardapi, Djemari., dkk. (2000). Sistem ujian akhir dalam otonomi daerah. Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta.
M. David Miller, Robert L. Linn and Norman E. Gronlund. (2008). Measurement and
Assessment in Teaching (Tenth Edition). New Jersey, US. Prentice Hall.
Hadi, W,. (2016). Kritik Penilaian Menurut Perspektif Standar Nasional Pendidikan.
Jurnal Pemikiran dan Pendidikan Islam. Volume 6. Nomor 2.
Sari, C.D. (2015). Karakteristik Soal TIMMS. Seminar Nasional Matematika dan
Pendidikan Matematika UNY.
Tilaar., H.A.R. (2006). Standarisasi pendidikan nasional. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta
Scheerens, J., (2003). Improving School Effectiveness (Terjemahan Oleh Abas Al-
Jauhari). Ciputat: Logos Wacana Ilmu.
Semiawan, C., (1984). Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah Menengah.
Jakarta: PT. Gramedia.
Suryadi, B. (2016). Laporan Kunjunga Kerja Ke Australia. Buletin BSNP. Vol XI. No.2.
Pali, M. (1993). Tes Matriks Progresif dan Tes Bakat: Studi Validitas Prediktif dengan
Kriteria Prestasi Belajar Siswa SMA dan Validitas Sintetik pada Tiga Jenis
Pekerjaan, Disertasi, PPS-Universitas Indonesia, Jakarta: tidak diterbitkan.
22