Anda di halaman 1dari 11

MISKONSEPSI DALAM PENILAIAN DI SD

Disusun guna memenuhi Tugas Kelompok


Mata Kuliah : Pengembangan Kurikulum
Dosen Pengampu,
Dr. Sri Utaminingsih, M.Pd

Disusun Oleh :
1. Ani Rizana Nikmah
2. Arfah Sundari
3. Laila Noor Malitasari NIM 202003030
4. Puspita Ratna Andiani
5. Tri Puji Lestari

MAGISTER PENDIDIKAN DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MURIA KUDUS
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Implementasi kurikulum 2013 bertujuan menghasilkan insan Indonesia yang
produktif, kreatif, inovatif, afektif melalui penguatan sikap, diantaranya religius,
kejujuran, kedisiplinan, kebersihan, keberanian, tanggung jawab, suka menolong,
menghargai orang lain, sopan santun, mandiri dan kerja sama serta memiliki
keterampilan, dan pengetahuan yang terintegrasi serta berakhlak mulia. Elemen
perubahan kurikulum 2013 meliputi perubahan standar kompetensi lulusan, standar
proses, standar isi, dan standar penilaian. Perbedaan yang signifikan antara KTSP 2006
dengan kurikulum 2013 terjadi terutama dalam proses pembelajaran, yang mencakup
perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian.
Kurikulum 2013 lebih menekankan pada keaktifan dan materi lapangan, maka guru
dituntut memiliki keterampilan yang tinggi dalam penilaian siswa, sehingga tidak sedikit
guru menghadapi berbagai kendala dalam implementasinya. Untuk mengetahui kendala-
kendala yang dihadapi guru diperlukan penelitian- penelitian yang mendalam.
Sebagaimana diketahui, tugas guru pada saat berada di dalam kelas, bukan hanya
mengajar, akan tetapi juga mengarahkan siswa mengerjakan tugas, mengawasi siswa dan
melakukan evaluasi. Sehingga, guru mengalami keterbatasan waktu dalam melakukan
penilaian terhadap sikap siswa.
Selain itu, Orientasi yang salah sudah menjadi budaya sejak pendidikan dasar yang
mengagung-agungkan nilai dan melupakan aspek lain yang saling terkait dalam
perkembangan setiap murid yang perlu menjadi perhatian. Miskonsepsi menjadi awal
pemahaman guru terkait asesmen atau penilaian menjadi tantangan terbesar yang harus
dilepaskan, karena dengan begitu akan lebih mudah menerima informasi yang kredibel
dan komprehensif. Pemahaman konsep pengertian asesmen yang benar akan membawa
dampak yang bermakna tidak hanya kepada guru tapi juga murid ikut merasakannya
sebagai subjek belajar dalam pendidikan. Sebaliknya jika pemahaman Konsep kurang
tepat maka potensi siwa hanya terbatas hal hal yang berkaitan dengan angka saja tanpa
memperhatikan aspek lain yang menonjol dari dalam diri siswa.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, rumusan masalah yang dalam
makalah ini adalah:
1. Apakah miskonsepsi penilaian itu?
2. Apakah penyebab miskonsepsi dalam penilaian di SD?
3. Bagaimanakah cara mengatasi miskonsepsi penilaian di SD?

1.3 Tujuan

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas,maka tujuan dari penulisan
makalah ini adalah:
1. Mengetahui pengertian miskonsepsi penilaian
2. Mengetahui penyebab miskonsepsi penilian itu sendiri
3. Mengetahui cara mengatasi miskonsepsi penilaian di SD.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Miskonsepsi Penilaian


Menurut Paul Suparno (2005:4), miskonsepsi adalah pengertian yang tidak akurat
akan konsep, penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah,
kekacauan konsep-konsep yang berbeda dan hubungan hierarkis konsep-konsep yang
tidak benar. Sedangkan Berg (1991:10), tafsiran seseorang atau siswa terhadap suatu
konsep ilmu tertentu disebut sebagai miskonsepsi. Selain kedua tokoh di atas, Novak
(Wilantara, 2003:49) mendefinisikan miskonsepsi sebagai suatu interpretasi konsep-
kosep dalam suatu pernyataan yang tidak dapat diterima. Fowler (dalam Suparno, 2005)
memandang miskonsepsi sebagai suatu pengertian yang tidak akurat terhadap konsep,
penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah, kekacauan konsep-
konsep yang berbeda, dan hubungan konsep-konsep yang tidak benar. Bentuk
miskonsepsi dapat berupa kesalahan konsep, hubungan yang tidak benar antar konsep,
dan gagasan intuitif atau pandangan yang naif (Suparno, 2005). Dari pengertian-
pengertian di atas, maka miskonsepsi dapat dinyatakan sebagai pemahaman suatu konsep
ilmu yang salah serta berbeda dari pakar ilmu yang bersangkutan.
Sedangkan penilaian (assessment) Blaustein (dalam Bafadal, 2001), mengatakan
bahwa penilaian (assessment) adalah proses mengumpulkan informasi dan membuat
keputusan berdasarkan informasi itu. Assesment menurut Stock, dkk (dalam Putra, 2013)
adalah kegiatan penilaian yang biasanya dihubungkan dengan kemampuan seseorang,
seperti kecerdasannya, keterampilannya, kecepatannya, ketepatannya, yang 50 Jurnal
Penelitian Kebijakan Pendidikan Volume 11, Nomor 2, Agustus 2018 terkait dengan
pekerjaan atau tugasnya. Hasil asessment biasanya dinyatakan dalam angka atau huruf.
Penilaian biasanya mengacu pada seluruh informasi penilaian oleh guru untuk
membuat keputusan tentang peserta didik dan kelasnya. Informasi tentang siswa dapat
diperoleh secara informal seperti observasi dan perubahan verbal, dapat pula secara
formal dengan tes, pekerjaan rumah, dan laporan secara tertulis (Arends, 1997).
Sedangkan penilaian menurut Putra (2013) adalah penerapan berbagai cara dan
menggunakan beragam alat penilaian untuk memperoleh informasi tentang seberapa jauh
hasil belajar peserta didik atau ketercapaian kompetensi (rangkaian kemampuan). Hasil
penilaian dapat berupa nilai kualitatif (pernyataan naratif dalam kata-kata) dan kuantitatif
(berupa angka). Pengukuran berhubungan dengan proses pencarian atau penentuan nilai
kuantitatif tersebut. Penilaian hasil pembelajaran dilakukan oleh guru terhadap hasil
pembelajaran untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi peserta didik, serta
digunakan sebagai bahan penyusunan laporan kemajuan hasil belajar, dan memperbaiki
proses pembelajaran (Rusman, 2014). Penilaian dilakukan secara konsisten, sistematis,
dan terprogram dengan menggunakan tes dan non-tes dalam bentuk tertulis atau lisan,
pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, proyek
dan/atau produk, portofolio, serta penilaian diri.
Secara keilmuan, dibedakan antara penilaian/assessment dengan
evaluasi/evaluation. Di dalam peraturan peundangan pun, kedua istilah tersebut
dibedakan. Pada PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan juga
dalam PP Nomor 32 Tahun 2013 tentang perubahan atas peraturan tersebut, dinyatakan
bahwa penilaian adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur
pencapaian hasil belajar peserta didik. Sementara itu, evaluasi–lengkapnya evaluasi
pendidikan–adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan
terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan
sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan. Jadi,
penilaian/asesmen ditujukan untuk menetapkan status peserta didik saat ia atau mereka
belum belajar, sedang belajar, dan setelah selesai belajar. Sementara itu, evaluasi
ditujukan untuk menetapkan status apakah suatu program pendidikan atau lebih mikro
suatu program pembelajaran, baik sebelum, selama, maupun setelah program tersebut
diimplementasikan. Berdasarkan paparan awal Elisabet Indah Susanti salah satu
narasumber dalam OGMB menjelaskan “Asesmen adalah sekumpulan kegiatan yang
melibatkan pengumpulan data dan analisis informasi tentang kinerja murid dan
dirancang untuk menginformasikan, mengidentifikasi apa yang murid ketahui, pahami,
dapat lakukan, dan rasakan pada tahapan yang berbeda di proses pembelajaran”. 
Beberapa pendapat ahli diatas dapat dikatakan bahwa miskonsepsi penilaian
adalah pemahaman suatu konsep ilmu yang salah serta berbeda dari pakar ilmu yang
bersangkutan untuk memperoleh informasi tentang seberapa jauh hasil belajar peserta
didik atau ketercapaian kompetensi (rangkaian kemampuan) dan dirancang untuk
menginformasikan, mengidentifikasi apa yang murid ketahui, pahami, dapat lakukan,
dan rasakan pada tahapan yang berbeda di proses pembelajaran”. 
Miskonsepsi yang selama ini menjadi pemahaman guru-guru bahwa asesmen itu
terkait dengan ujian dan penilaian adalah scoring akhir ulangan atau ujian murid, padahal
secara esensialnya asesmen adalah penilaian kinerja murid pada waktu sebelum, selama
dan sesudah proses pembelajaran dilakukan, jadi tidak hanya menilai berdasarkan hasil
ulangan atau ujian secara individu, tetapi berdasarkan proses pemahaman pembelajaran
yang dilakukan dan dirasakan oleh murid dan sekolah secara komprehensif.
Perbedaan asesmen zaman dulu dengan asesmen sekarang diantaranya dimana dulu
dalam melakukan guru melakukan penilaian murid berdasarkan hasil akhir dari ulangan
atau ujian dalam bentuk angka atau grade yang juga menjadi salah satu bentuk tuntutan
dari orang tua yang ingin tahu anaknya berada di peringkat berapa atau sekadar ingin
tahu nilai berapa diperoleh. Peringkat sudah menjadi patokan turun temurun yang
membuat anak hanya mengejar untuk memperoleh nilai tinggi, tanpa mengetahui esensi
atau tujuan kenapa mereka perlu belajar.

2.2 Penyebab Miskonsepsi Penilaian


Menurut Budi 1992: 115 empat sumber yang mungkin menyebabkan
terjadinya salah konsep adalah guru dosen, proses mengajar, siswa, buku pegangan
buku ajar. Buku ajar atau bahan ajar yang akan disajikan mepengaruhi dalam
pemilihan jenis strategi belajar yang akan digunakan. Bila salah konsepsi terjadi pada
siswa maka kesalahan yang sama dapat terjadi pada guru dosen atau pengajar pada
umumnya. Konsepsi salah yang diperoleh dari proses belajar mengajar tidak pernah
diremidiasi karena tidak disadari sebagai kesalahan, tetap merupakan konsepsi yang
salah. Bila terjadi salah konsepsi pada guru tentu tidak mustahil tidak terjadi salah
konsepsi pada siswa. Sebaliknya bila tidak terjadi salah konsepsi pada guru, tidak
berarti bahwa tidak akan terjadi salah konsepsi pada siswa.
Menurut Suparno 2005: 29, secara garis besar penyebab miskonsepsi dapat
diringkas dalam lima kelompok, yaitu; siswa, guru, buku teks, konteks, dan metode
mengajar.
2.2.1 Miskonsepsi yang berasal dari siswa dapat dikelompokan dalam beberapa hal,
antara lain:
a. Prakonsepsi atau konsep awal siswa, banyak siswa sudah mempunyai konsep
awal atau prakonsepsi tentang suatu bahan sebelum siswa mengikuti
pelajaran formal di bawah bimbingan guru. Konsep awal ini sering
mengandung miskonsepsi. Prakonsepsi ini biasanya diperoleh orangtua,
teman, sekolah awal, dan pengalaman dilingkungan siswa.
b. Pemikiran asosiatif siswa, asosiatif siswa terhadap istilah sehari-hari kadang-
kadang juga membuat miskonsepsi.
c. Pemikiran Humanistik, siswa kerap kali memandang semua benda dari
pandangan manusiawi.
d. Reasoning yang tidak lengkap atau salah, miskonsepsi juga dapat disebabkan
oleh reasoning atau penalaran siswa yang tidak lengkap atau salah.
e. Intiuisi yang salah, intuisi atau perasaan siswa yang dapat menyebabkan
miskonsepsi.
f. Tahap perkembangan kognitif siswa, perkembangan kognitif siswa yang
tidak sesuai dengan bahan yang digeluti dapat menjadi penyebab adanya
miskonsepsi siswa. Siswa yang masih dalam tahap operasional konkret bila
mempelajari bahan yang abstrak sulit menangkap dan sering salah mengerti
tantang konsep bahan tersebut.
g. Kemampuan siswa, siswa yang kurang berbakat kurang mampu dalam
mempelajari materi sering mengalami kesulitan menangkap konsep dalam
proses belajar.
h. Minat belajar, siswa yang berminat belajar cenderung rendah mengalami
miskonsepsi dari pada yang tidak minat dalam belajar.
2.2.2 Guru atau pengajar
Miskonsepsi dapat terjadi pula karena miskonsepsi yang dibawa oleh guru.
Tidak menguasai bahan, tidak kompeten, bukan lulusan dari bidang ilmu, tidak
membiarkan siswa mengungkapkan gagasan atau ide, realisasi guru-siswa
tidak baik.
2.2.3 Buku teks Buku teks juga dapat menyebarkan miskonsepsi. Mungkin karena
bahasanya yang sulit atau karena penjelasan tidak benar, miskonsepsi tetap
diteruskan.
2.2.4 Konteks
a. Pengalaman siswa Pengalaman belajar siswa dalam kegiatan sehari- harinya
dapat menjadi sumber belajar namun dalam pengalamanya tersebut belum tentu
hasil yang diperolehnya sudah sesuai dengan yang ada dalam pembelajaran
yang formal di sekolah.
b. Bahasa sehari-hari Bahasa sehari-hari yang digunakan oleh siswa dalam
berbicara dengan sesama teman dapat mempengaruhi pemahaman siswa
terhadap apa yang disampaikan mungkin saja terjadi kekeliruan dalam
memahami apa yang sedang dibicarakan.
c. Teman lain Miskonsepsi dapat terjadi dapat berasal dari teman sejawat karena
tidak semua siswa mempunyai tingkat pemahaman yang sama.
2.2.5 Metode mengajar Beberapa metode mengajar yang digunakan guru, terlebih yang
menekankan satu segi saja dari konsep bahan yang digeluti, meskipun membantu
siswa menangkap bahan, tetapi sering mempunyai dampak jelek, yaitu
memunculkan miskonsepsi siswa.
Dari uraian diatas maka penyebab miskonsepsi dalam penilaian salah satu
diantaranya berasal dari guru itu sendiri. Miskonsepsi yang selama ini menjadi
pemahaman guru-guru bahwa asesmen itu terkait dengan ujian dan penilaian
adalah scoring akhir ulangan atau ujian murid, padahal secara esensialnya asesmen
adalah penilaian kinerja murid pada waktu sebelum, selama dan sesudah proses
pembelajaran dilakukan, jadi tidak hanya menilai berdasarkan hasil ulangan atau ujian
secara individu, tetapi berdasarkan proses pemahaman pembelajaran yang dilakukan dan
dirasakan oleh murid dan sekolah secara komprehensif. Selain itu, guru melakukan
penilaian murid berdasarkan hasil akhir dari ulangan atau ujian dalam bentuk angka
atau grade yang juga menjadi salah satu bentuk tuntutan dari orang tua yang ingin tahu
anaknya berada di peringkat berapa atau sekadar ingin tahu nilai berapa diperoleh.
Peringkat sudah menjadi patokan turun temurun yang membuat anak hanya mengejar
untuk memperoleh nilai tinggi, tanpa mengetahui esensi atau tujuan kenapa mereka perlu
belajar. Kesalahan konsep seperti inilah yang perlu diluruskan agar tidak menjadi
kesalahan yang berkesinambungan dan terus menerus yang berakibat kurangnya
penguasaan dalam penilaian pembelajaran

2.3 Mengatasi Miskonsepsi Penilaian Di SD


Pengertian konsep asesmen yang benar menjadi jawaban bagaimana meningkatkan
dan mengembangkan pendidikan Indonesia menjadi lebih merdeka, dimana guru, murid
dan orang tua dituntut saling berkolaborasi dan bekerjasama menciptakan pembelajaran
dengan melakukan strategi pembelajaran. Ketika guru-guru sudah memahami konsep
asesmen yang sesuai dan benar bahwa yang menjadi orientasi adalah murid yang terus
berkembang kompetensinya, bukan sekadar pencapaian nilai akhir, guru akan lebih
memahami murid dengan melakukan berbagai macam strategi yang sesuai, dan orang tua
perlu turut diberikan pemahaman bahwa asesmen tidak hanya sekadar skor.
Sebagaimana prinsip asesmen terbagi menjadi tiga,
 yang pertama Asesmen Untuk Belajar (Asesmen Diagnostik) adalah asesmen
yang dilakukan untuk mempersiapkan murid melakukan pembelajaran, adanya
analisa yang dilakukan guru untuk melihat sudah sejauh mana kemampuan dan
pemahaman murid, hasilnya untuk menindaklanjuti strategi apa yang cocok
dengan murid; 
 kedua Asesmen Sebagai Proses Belajar ini adalah asesmen yang dilakukan
terhadap proses belajar yang berlangsung, murid menilai proses belajar yang
terjadi pada dirinya sendiri sebagai subjek belajar mengenai pemahaman,
ketercapaian, perbaikan yang perlu dilakukan atau tantangan yang dirasakan; 
 ketiga  Asesmen Terhadap Belajar dimana pencapaian yang dilakukan adalah
asesmen terhadap pembelajaran murid sebagai puncak selesainya kegiatan
pembelajaran melalui indikator-indikator yang menjadi acuan pencapaian
pembelajaran. Ketiga prinsip asesmen ini saling berkaitan satu sama lain untuk
mengukur capaiannya yang diawali dengan persiapan, kemudian latihan-latihan
sampai puncak proses pembelajaran selesai yang membawa hasil capaian murid
secara komprehensif yang lebih luas.
Pelaksanaan asesmen membawa dampak yang bermakna bagi guru, murid dan orang
tua. Guru lebih memahami apa yang menjadi kebutuhan murid, strategi apa yang cocok
untuk digunakan, perkembangan peningkatan yang terjadi pada murid, dan guru merasa
terbantu karena beban kerja yang terasa lebih ringan karena menerapkan asesmen,
sementara murid merasakan dampaknya dengan merasa lebih nyaman, berani dan
percaya diri dalam menyampaikan sesuatu yang berkaitan dengan proses pembelajaran
ataupun capaian yang telah mereka lakukan sendiri dan guru berikan yang tidak hanya
berorientasi pada nilai, sedangkan orang tua lebih memahami dan menerima anak-anak
memiliki kebutuhan dan keunikan sendiri yang tidak bisa disamakan dan dibandingkan
satu sama lain, berujung pada tercapainya tujuan pembelajaran yang diharapkan.
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

3.2 SARAN

https://blog.kampusgurucikal.com/pengertian-asesmen/
https://suyanto.id/kesalahan-konsep-sampai-kini/
http://mediafunia.blogspot.com/2013/03/pengertian-prakonsepsi-dan-
miskonsepsi.html
https://journal.uncp.ac.id/index.php/proceding/article/view/220/209
https://text-id.123dok.com/document/lq59onmwz-penyebab-miskonsepsi-landasan-
teori.html
DAFTAR REFERENSI

https://blog.kampusgurucikal.com/pengertian-asesmen/
https://suyanto.id/kesalahan-konsep-sampai-kini/
http://mediafunia.blogspot.com/2013/03/pengertian-prakonsepsi-dan-
miskonsepsi.html
https://journal.uncp.ac.id/index.php/proceding/article/view/220/209
https://text-id.123dok.com/document/lq59onmwz-penyebab-miskonsepsi-landasan-
teori.html

Anda mungkin juga menyukai