Anda di halaman 1dari 29

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dokumentasi Keperawatan

2.1.1 Pengertian Dokumentasi Keperawatan

Dokumentasi keperawatan adalah suatu catatan yang memuat seluruh data

yang dibutuhkan untuk menentukan diagnosis keperawatan, perencanaan

keperawatan, tindakan keperawatan, dan penilaian keperawatan yang disusun

secara sistematis, valid, dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan

hukum (Ali, 2009).

Menurut Asmadi (2008) dokumentasi merupakan pernyataan tentang

kejadian atau aktifitas yang otentik dengan membuat catatan tertulis. Dokumentasi

keperawatan berisi hasil aktivitas keperawatan yang dilakukan perawat terhadap

klien, mulai dari pengkajian hingga evaluasi.

Pengertian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa dokumentasi

keperawatan adalah kegiatan pencatatan dan pelaporan yang dilakukan perawat

terhadap pelayanan keperawatan yang telah diberikan kepada klien, berguna untuk

klien, perawat dan tim kesehatan lain sebagai tangung jawab perawat dan sebagai

bukti dalam persoalan hukum.

2.1.2 Tujuan Dokumentasi Asuhan Keperawatan

Tujuan dokumentasi asuhan keperawatan menuut Ali (2010) yaitu :

1. Menghindari kesalahan, tumpang tindih, dan ketidaklengkapan informasi

dalam asuhan keperawatan.

8
2. Terbinanya koordinasi yang baik dan dinamis antara sesama atau dengan

pihak lain melalui dokumentasi keperawatan yang efektif.

3. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas tenaga keperawatan.

4. Terjaminnya kualitas asuhan keperawatan.

5. Tersedianya data perawat dari suatu keadaan yang memerlukan

penanganan secara hukum.

6. Tersedianya data-data dalam penyelenggaraan penelitian karya ilmiah,

pendidikan, dan penyusun atau penyempurnaan standar asuhan

keperawatan.

7. Melindungi klien dari tindakan malpraktek.

2.1.3 Standar Asuhan Keperawatan

Komisi Gabungan Akreditasi Organisasi Pelayanan Kesehatan (JCAHO)

merekomendasikan standar dokumentasi keperawatan yang meliputi :

1. Pengkajian awal dan pengkajian ulang.

2. Diagnosis keperawatan dan kebutuhan asuhan keperawatan klien.

3. Rencana tindakan asuhan keperawatan.

4. Tindakan asuhan keperawatan yang diberikan atas respon klien.

5. Hasil dari asuhan keperawatan dan kemampuan untuk tindak lanjut asuhan

keperawatan setelah klien dipulangkan.

Ali (2009) menjelaskan tentang standar asuhan keperawatan dari Departemen

Kesehatan RI dengan SK Dirjen Pelayanan Medik No. YM.00.03.2.6.7637

tentang pemberlakuan standar asuhan keperawatan di rumah sakit, yaitu :

9
1) Pengkajian keperawatan

Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan

suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data

untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien. Pengkajian yang

akurat, lengkap, sesuai dengan kenyataan, kebenaran data sangat penting dalam

merumuskan suatu diagnosa keperawatan dan memberikan pelayanan

keperawatan sesuai dengan respon individu sebagaimana yang telah ditentukan

dalam standar praktik keperawatan dari ANA (American Nurses Association)

(Handayaningsih, 2007).

Pencatatan pengkajian keperawatan bertujuan mengidentifikasi kebutuhan

unik klien dan respon klien terhadap masalah atau diagnosis keperawatan yang

akan mempengaruhi layanan keperawatan yang akan diberikan,

mengonsolidasikan dan mengorganisasikan informasi yang diperoleh dari

berbagai sumber ke dalam sumber yang bersifat umum sehingga pola kesehatan

klien dapat dievaluasi dan masalahnya dapat teridentifikasi. Selain itu, menjamin

adanya informasi dasar yang berguna yang memberikan referensi untuk mengukur

perubahan kondisi klien, mengidentifikasi karakteristik unik dari kondisi klien dan

responnya yang mempengaruhi perencanaan keperawatan dan tindakan

keperawatan, menyajikan data yang cukup bagi kebutuhan klien untuk tindakan

keperawatan, menjadi dasar bagi pencatatan rencana keperawatan yang efektif

(Ali, 2009).

Kegiatan utama dalam tahap pengkajian ini adalah pengumpulan data,

pengelompokan data, dan analisis data guna perumusan diagnosis keperawatan.

10
Menurut Asmadi, metode utama yang dapat digunakan dalam pengumpulan data

adalah wawancara, observasi, dan pemeriksaan fisik serta diagnostik.

a. Wawancara

Wawancara atau interview merupakan metode pengumpulan data secara

langsung antara perawat dan klien. Data wawancara adalah semua ungkapan

klien, tenaga kesehatan, atau orang lain yang berkepentingan termasuk

keluarga, teman, dan orang terdekat klien.

b. Observasi

Observasi merupakan metode pengumpulan data melalui pengamatan

visual dengan menggunakan panca-indra. Mencatat hasil observasi secara

khusus tentang apa yang dilihat, dirasa, didengar, dicium, dan dikecap akan

lebih akurat dibandingkan mencatat interpretasi seseorang tentang hal tersebut.

c. Pemeriksaan

Pemeriksaan adalah proses inspeksi tubuh dan sistem tubuh guna

menentukan ada atau tidaknya penyakit yang didasarkan pada hasil

pemeriksaan fisik dan laboratorium. Cara pendekatan sistematis yang dapat

digunakan perawat dalam melakukan pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan

dari ujung rambut sampai ujung kaki (head to toe) dan pendekatan sistem

tubuh (review of system). Pemeriksaan fisik dilakukan dengan menggunakan

empat metode, yakni inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpasi.

1. Inspeksi.

Inspeksi didefinisikan sebagai kegiatan melihat atau memperhatikan

secara seksama status kesehatan klien.

11
2. Auskultasi.

Auskultasi adalah langkah pemeriksaan fisik dengan menggunakan

stetoskop yang memungkinkan pemeriksa mendengar bunyi keluar dari

rongga tubuh pasien. Auskultasi dilakukan untuk mendapatkan data

tentang kondisi jantung, paru, dan saluran pencernaan.

3. Perkusi

Perkusi atau periksa ketuk adalah jenis pemeriksaan fisik dengan

cara mengetuk secara pelan jari tengah menggunakan jari yang lain untuk

menentukan posisi, ukuran, dan konsistensi struktur suatu organ tubuh.

4. Palpasi.

Palpasi atau periksa raba adalah jenis pemeriksaan fisik dengan

cara meraba atau merasakan kulit klien untuk mengetahui struktur yang

ada dibawah kulit.

2) Diagnosis Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinik mengenai pengalaman atau

respon individu, keluarga, atau komunitas terhadap masalah kesehatan yang aktual

atau potensial. Diagnosis keperawatan memberi dasar pemilihan intervensi

keperawatan untuk mencapai hasil akhir sehingga perawat menjadi akuntabel

(North American Nursing Dianosis Association, 2012)

12
Menurut Asmadi (2008) komponen-komponen dalam pernyataan diagnosa

keperawatan meliputi :

1) Masalah (problem)

Diagnosa keperawatan merupakan pernyataan yang menggambarkan

perubahan status kesehatan klien. Perubahan tersebut menyebabkan timbulnya

masalah.

2) Penyebab (etiology)

Pernyataan etiologi mencerminkan penyebab dari masalah kesehatan klien

yang memberi arah bagi terapi keperawatan. Etiologi tersebut dapat terkait dngan

aspek patofisiologis, psikososial, tingkah laku, perubahan situasional gaya hidup,

usia perkembangan, juga faktor budaya dan lingkungan. Frase “berhubungan

dengan” (related to) berfungsi untuk menghubungkan masalah keperawatan

dengan pernyataan etiologi.

3) Data (sign and symptom)

Data diperoleh selama tahap pengkajian sebagai bukti adanya masalah

kesehatan pada klien. Data merupakan informasi yang diperlukan untuk

merumuskan diagnosa keperawatan. Penggunaan frase “ditandai oleh”

menghubungkan etiologi dengan data. Menurut Asmadi (2008) diagnosa

keperawatan ada tiga tipe yaitu :

a. Diagnosa keperawatan aktual, yaitu diagnosa keperawatan yang menjelaskan

masalah kesehatan yang nyata terjadi saat ini dan benar-benar faktual, sesuai

dengan data klinik yang diperoleh.

b. Diagnosa keperawatan risiko, yaitu diagnosa keperawatan yang menjelaskan

masalah kesehatan yang berpeluang besar akan terjadi jika tidak dilakukan

13
tindakan keperawatan. Pada diagnosa ini masalah belum ada secara pasti,

namun etiologi penunjangnya sudah ada.

c. Diagnosa keperawatan potensial, yaitu diagnosa keperawatan yang menjelaskan

tetang keadaan sejahtera (wellness), yakni ketika klien memiliki potensi untuk

lebih meningkatkan derajat kesehatanya dan belum ada data maladaptif atau

paparan terhadap masalah kesehatan sebelumnya.

3) Perencanaan Keperawatan

Tahapan ini perawat merencanakan suatu tindakan keperawatan agar

dalam melakukan perawatan terhadap pasien efektif dan efisien. Perencanaan

merupakan suatu petunjuk atau bukti tertulis yang menggambarkan secara tepat

rencana tindakan keperawatan yang dilakukan terhadap klien sesuai dengan

kebutuhannya berdasarkan diagnosa keperawatan (Asmadi, 2008).

Unsur terpenting dalam tahap perencanaan ini adalah membuat prioritas

urutan diagnosa keperawatan, merumuskan tujuan, merumuskan kriteria evaluasi,

dan merumuskan intervensi keperawatan.

1) Membuat Prioritas Urutan Diagnosis Keperawatan

Setelah merumuskan diagnosis keperawatan (tahap kedua), perawat dapat

mulai membuat urutan prioritas diagnosis. Penentuan prioritas ini dilakukan

karena tidak semua diagnosis keperawatan dapat diselesaikan dalam waktu

bersamaan. Penentuan prioritas dapat dibuatkan skala prioritas tertinggi sampai

prioritas terendah. Ini dilakukan dengan mengurutkan diagnosis keperawatan yang

dianggap paling mengancam kehidupan sampai diagnosis yang tidak terlalu

mengancam kehidupan.

14
2) Merumuskan Tujuan

Setelah menyusun diagnosis keperawatan berdasarkan prioritas, perawat

perlu merumuskan tujuan untuk masing-masing diagnosis. Rumusan tujuan ini

keperawatan harus SMART, yaitu Specific (rumusan tujuan harus jelas),

Measurable (dapat diukur), Achievable (dapat dicapai, ditetapkan bersama klien),

Realistic (dapat tercapai dan nyata), dan Timing (harus ada target waktu).

3) Merumuskan Kriteria Evaluasi

Penyusunan kriteria hasil atau evaluasi, ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan. Di ataranya, kriteria hasil atau evaluasi terkait dengan tujuan,

bersifat khusus, dan konkret. Selain itu, hasilnya harus dapat dilihat, didengar, dan

diukur oleh orang lain.

4) Merumuskan Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan terdiri atas intervensi keperawatan yang

independen dan intervensi keperawatan kolaboratif. Intervensi keperawatan

independen adalah intervensi keperawatan yang dilakukan perawat terhadap klien

secara mandiri tanpa peran aktif dari tenaga kesehatan lain. Intervensi

keperawatan kolaboratif adalah intervensi keperawatan yang dilakukan oleh

perawat terhadap klien dalam bentuk kerja sama dengan tenaga kesehatan lain.

4) Implementasi

Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan asuhan

keperawatan ke dalam bentuk intervensi keperawatan guna membantu klien

mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kemampuan yang harus dimiliki perawat

pada tahap implementasi adalah kemampuan komunikasi yang efektif,

15
kemampuan untuk menciptakan hubungan saling percaya dan saling bantu,

kemampuan melakukan teknik psikomotor, kemampuan melakukan observasi

sistematis, kemampuan memberikan pendidikan kesehatan, kemampuan advokasi,

dan kemampuan evaluasi (Asmadi, 2008).

5) Evaluasi

Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan

perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati dan

tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi dilakukan

secara berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya.

Jika hasil evaluasi menunjukan tercapainya tujuan dan kriteria hasil, klien bisa

keluar dari siklus proses keperawatan. Jika sebaliknya, klien akan masuk kembali

ke dalam siklus tersebut mulai dari pengkajian ulang (reassessment) (Asmadi,

2008).

Evaluasi terbagi atas dua jenis, yaitu evaluasi formatif dan evaluasi

sumatif. Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses keperawatan dan hasil

tindakan keperawatan. Evaluasi formatif ini dilakukan segera setelah perawat

mengimplementasikan rencana keperawatan guna menilai keefektifan tindakan

keperawatan yang telah dilaksanakan. Perumusan evaluasi formatif ini meliputi

empat komponen yang dikenal dengan istilah SOAP, yakni Subjektif (data berupa

keluhan klien), Objektif (data hasil pemeriksaan), Analisis data (pembandingan

data dengan teori), dan perencanaan (Asmadi, 2008).

16
Menurut Asmadi (2008) ada tiga kemungkinan hasil evaluasi yang terkait dengan

pencapaian tujuan keperawatan.

1) Tujuan tercapai jika klien menunjukan perubahan sesuai dengan standar yang

telah ditentukan

2) Tujuan tercapai sebagian atau klien masih dalam proses pencapaian tujuan jika

klien menunjukan perubahan pada sebagian kriteria yang telah ditetapkan.

3) Tujuan tidak tercapai jika klien hanya menunjukan sedikit perubahan dan tidak

ada kemajuan sama sekali serta dapat timbul masalah baru.

2.1. 4 Pelaksanaan Pendokumentasian Asuhan Keperawatan

Dokumentasi merupakan komunikasi secara tertulis sehingga perawat

dituntut untuk dapat mendokumentasikan secara benar (Handayaningsih, 2007).

Perawat memerlukan standar dokumentasi sebagai petunjuk dan arah dalam

pemeliharaan pencatatan atau dokumentasi kegiatan serta petunjuk dalam

membuat pola atau format pencatatan yang tepat. Dokumentasi yang baik harus

mengikuti karakteristik standar keperawatan (Ali, 2009).

North American Nursing Diagnosis Association (NANDA) juga

merupakan salah satu sistem klasifikasi keperawatan yang terstandarisasi, sebagai

sistem klasifikasi untuk proses analisis dan penyajian akhir data pengkajian dan

identifikasi masalah pasien. Penggunaan sistem klasifikasi akan memudahkan

perencanaan dan intervensi untuk membantu pasien mengatasi masalah

penyakitnya dan memperoleh kembali status kesehatan dan aktivitasnya yang

normal. Sistem klasifikasi yang juga telah dikembangkan dalam keperawatan

adalah Nursing Intervention Classification (NIC) dan Nursing Outcome

Classification (NOC) (Aprisunadi, 2011).

17
Nursing Outcome Classification (NOC) adalah standarisasi penggolongan

kriteria hasil dari pasien yang menyeluruh untuk mengevaluasi efek dari

intervensi keperawatan. Hasil NOC merupakan konsep netral yang merefleksikan

pernyataan atau perilaku pasien (ingatan atau memori, koping, dan istirahat)

(Wilkinson, 2011). NOC merupakan salah satu bahasa standar yang diakui oleh

America Nursing Association (ANA). Sebagai bahasa yang diakui memenuhi

standar pedoman yang ditetapkan oleh bahasa Informasi Keperawatan ANA dan

Data Set Evaluasi Pusat (NIDSEC) untuk vendor sistem informasi. NOC termasuk

dalam Perpustakaan Nasional Metathesaurus Kedokteran Ahli Bahasa Medis

Bersatu dan Indeks Kumulatif untuk Sastra Keperawatan (CINAHL) dan telah

disetujui untuk digunakan oleh Kesehatan Tingkat 7 Terminologi (HL7)

(Moorhead, Johnson, Maas, & Swanson, 2013).

NIC adalah suatu standar klasifikasi keperawatan untuk perilaku spesifik

yang diharapkan dari pasien dan atau tindakan yang harus dilakukan oleh perawat.

NIC adalah suatu daftar list intervensi perawatan menyeluruh, yang dikelompokan

berdasarkan label yang diuraikan pada aktivitas. Aktivitas adalah tindakan atau

perlakuan spesifik yang dilakukan untuk menerapkan suatu intervensi, membantu

pasien untuk bergerak kearah aktivitas hasil (Inayatullah, 2014).

2.1.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelengkapan Dokumentasi

Keperawatan

Menurut Jasun (2006), ada beberapa faktor yang mempengaruhi

pendokumentasian keperawatan yaitu:

18
a. Faktor Internal

1. Umur

Secara fisiologis pertumbuhan dan perkembangan seorang dapat

digambarkan dengan pertambahan umur, peningkatan umur diharapkan terjadi

pertambahan kemampuan motorik sesuai dengan tumbuh kembangnya. Akan

tetapi pertumbuhan dan perkembangan seseorang pada titik tertentu akan terjadi

kemunduran akibat faktor degenratip (suhaeni, 2005). Mapiare (1983) yang

dikutip oleh Setiawan (2009), bahwa seseorang yang lebih dewasa mempunyai

kemungkinan untuk dapat menggunakan potensi-potensinya menjadi sadar diri

dan berlanjut untuk membandingkan diri. Pertambahan usia diikuti oleh

perkembangan fisik, psikologis, dan intelektual. Kematangan dalam faktor-faktor

tersebut diperlukan dalam menyelesaikan pekerjaan.

2. Masa kerja

Seseorang akan mencapai kepuasan tertentu bila sudah mampu

menyesuaikan diri dengan lingkungan. Semakin lama karyawan bekerja mereka

cenderung lebih terpuaskan dengan pekerjaan mereka. Para karyawan yang relatip

baru cenderung kurang terpuaskan karena berbagai pengharapan yang lebih tinggi

(Umar, 2003).

3. Pendidikan

Notoatmojo (2010), menyatakan pendidikan dapat mempengaruhi

seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup secara baik. Tingkat

pendidikan seseorang karyawan dapat memperbaiki produktivitas kerja karyawan

yang bersangkutan (Hariandja, 2002).

19
4. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan suatu hasil usaha manusia untuk memahami

kenyataan yang dapat dijangkau oleh pemikiran manusia, berdasarkan pengalama

manusia secara empiris (Notoadmojo, 2003). Pengetahuan juga dapat

didefenisikan sebagai kumpulan informasi yang dipahami, diperoleh dari proses

belajar selama hidup dan dapat digunakan sewaktu-waktu sebagai alat

penyesuaian diri baik terhadap diri sendiri maupun lingkungannya (Handoko,

2003).

5. Sikap

Sikap merupakan penilaian seseorang terhadap stimulus atau obyek.

Setelah orang mengetahui stimulus atau obyek proses selanjutnya akan menilai

atau bersikap terhadap stimulus atau obyek tersebut ( handoko, 2003). Menurut

hasil penelitian Rusmiati (2001), kecendurungan perawat mempunyai sikap sangat

baik terhadap pelaksanan standar asuhan keperawatan.

b. Faktor Eksternal

1. Beban kerja

Beban kerja juga didefinisikan dalam kep.Men.Kes. RI. No:81/SK/I/2004

sebagai banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan oleh tenaga kesehatan yang

profesional dalam satu tahun dalam satu sarana kesehatan (Dep Kes., 2004). Hasil

penelitian Lasmiyatun (2012), yang menyatakan bahwa terdapat hubungan

positif dan signifikan antara beban kerja dengan tingkat stres pada perawat di

Rumah Saklit Paru dr. Ario wirawan salatiga, jelas bahwa beban kerja

mempengaruhi tingkat produktivitas kerja perawat.

20
2. Supervisi

Hasil penelitian Walin (2005), menunjukan bahwa adanya hubungan

antara supervisi dengan kinerja perawat dalam penerapan standar asuhan

keperawatan di puskesmas rawat inap kabupaten Kebumen (Tim Departemen

Kesehatan RI, 1994). Supervisi adalah melakukan pengamatan secara langsung

dan berkala oleh atasan terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh bawahan untuk

kemudian apabila ditemukan masalah segera diberikan petunjuk atau bantuan

yang bersifat langsung untuk mengatasinya (Aswar, 2004).

3. Ketersediaan fasilitas format pendokumentasian

Ketersediaan format pendokumentasian membantu perawat untuk

mengatur pemikirannya dan memberikan struktur yang dapat meningkatkan

pemecahan masalah yang kreatif. Komunikasi yang terstruktur akan

mempermudah konsistensi penyelsaian masalah di antara tim kesehatan

(Notoadmojo, 2003).

4. Ketersediaan standar asuhan keperawatan

Standar asuhan keperawatan adalah alat ukur kualitas atau tolok ukur

dalam pelaksanaan praktek keperawatan (Hidayat, 2004).

5. Instrumen evaluasi standar asuhan keperawatan.

Instrumen evaluasi penerapan standar asuhan keperawatan merupakan alat

untuk mengukur mutu asuhan keperawatan di Rumah Sakit. Asuhan keperawatan

dikatakan bermutu bila telah memenuhi kriteria standar profesi. Standar asuhan

keperawatan merupakan bagian integral dan pejabaran dari standar pelayanan

Rumah Sakit yang diberlakukan melalui surat keputusan menteri kesehatan No:

836 tahun 2005 (Maltis, 2000).

21
2.2 Konsep Supervisi Keperawatan

2.2.1 Pengertian Supervisi

Supervisi adalah suatu kegiatan yang dilakukan berupa pengawasan,

pengontrolan, pengendalian maupun pengevaluasian (KBBI, 2014). Menurut

Gillies (1994), menyatakan supervisi atau pengawasan merupakan salah satu dari

prinsip perilaku kepemimpinan. Supervisi dilakukan untuk melihat pekerjaan

yang sedang berlangsung dan memperbaikinya apabila terjadi pelaksanaan yang

tidak baik. Menurut RCN (2007), supervisi adalah proses memastikan kegiatan

dilaksanakan sesuai dengan tujuan organisasi, dengan cara melakukan

pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan.

Supervisi memungkinkan seorang manajer keperawatan diruang yang

bersangkutan melalui analisis secara komprehensif bersama-sama dengan anggota

perawat secara efektif dan efisien (Arwani, 2005). Dalam bidang keperawatan

supervisi mempunyai pengertian meliputi segala bantuan dari pemimpin atau

penanggung jawab kepada perawat yang ditujukan untuk perkembangan para

perawat dan staf lainnya dalam mencapai tujuan asuhan keperawatan (Suyanto,

2008). Supervisi terhadap kinerja perawat pelaksana dalam pendokumentasian

asuhan keperawatan dapat dilakukan dengan memberikan bimbingan, pengarahan,

observasi dan pemberian motivasi serta evaluasi terhadap pendokumentasian tiap-

tiap tahap proses keperawatan. Kelengkapan dan kesesuaian dengan standar

merupakan variabel yang harus disupervisi (wiyana, 2008).

Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan

supervisi adalah kegiatan-kegiatan yang terencana seorang manajer melalui

22
aktifitas bimbingan, pengarahan, observasi, motivasi dan evaluasi pada stafnya

dalam melaksanakan kegiatan atau tugas sehari-hari (Arwani, 2006).

2.2.2 Manfaat dan Tujuan Supervisi

Manfaat supervisi menurut Suarli & Bachtiar, 2009 :

a. Supervisi dapat meningkatkan efektifitas kerja. Peningkatan efektifitas

kerja ini erat hubungannya dengan peningkatan pengetahuan dan

keterampilan bawahan, serta makin terbinanya hubungan dan suasana

kerja yang lebih harmonis antara atasan dan bawahan.

b. Supervisi dapat lebih meningkatkan efesiensi kerja. Peningkatan efesiensi

kerja ini erat kaitannya dengan makin berkurangnya kesalahan yang

dilakukan bawahan, sehingga pemakaian sumber daya (tenaga, harta dan

sarana) yang sia-sia akan dapat dicegah.

Apabila kedua peningkatan ini dapat diwujudkan, sama artinya dengan telah

tercapainya tujuan suatu organisasi. Tujuan pokok dari supervisi ialah menjamin

pelaksanaan berbagai kegiatan yang telah direncanakan secara benar dan tepat,

dalam arti lebih efektif dan efesien, sehingga tujuan yang telah ditetapkan

organisasi dapat dicapai dengan memuaskan (Suarli & Bachtiar, 2008).

2.2.3 Frekuensi Pelaksanaan Supervisi

Supervisi harus dilakukan dengan frekuensi yang berkala. Supervisi yang

dilakukan hanya sekali bisa dikatakan bukan supervisi yang baik, karena

organisasi atau lingkungan selalu berkembang. Oleh sebab itu agar organisasi

selalu dapat mengikuti berbagai perkembangan dan perubahan, perlu dilakukan

23
berbagai penyesuaian. Supervisi dapat membantu penyesuaian tersebut yaitu

melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan bawahan.

Tidak ada pedoman yang pasti mengenai berapa kali supervisi harus dilakukan.

Yang digunakan sebagai pegangan umum, supervisi biasanya bergantung dari

derajat kesulitan pekerjaan yang dilakukan, serta sifat penyesuaian yang akan

dilakukan. Jika derajat kesulitannya tinggi serta sifat penyesuaiannya mendasar,

maka supervisi harus lebih sering dilakukan.

2.2.4. Prinsip-prinsip Pokok dalam Supervisi

Kegiatan supervisi mengusahakan seoptimal mungkin kondisi kerja yang

kondusif dan nyaman yang mencakup lingkungan fisik, atmosfer kerja, dan

jumlah sumber sumber yang dibutuhkan untuk memudahkan pelaksanaan tugas.

Untuk itu diperlukan beberapa prinsip pokok pelaksanaan supervisi. Prinsip pokok

supervisi secara sederhana dapat diuraikan sebagai berikut (Suarli dan Bahtiar,

2009):

a. Tujuan utama supervisi ialah untuk lebih meningkatakan kinerja bawahan,

bukan untuk mencari kesalahan. Peningkatan kinerja ini dilakukan dengan

melakukan pengamatan langsung terhadap pekerjaan bawahan, untuk

kemudian apabila ditemukan masalah, segera diberikan petunjuk atau

bantuan untuk mengatasinya.

b. Sejalan dengan tujuan utama yang ingin dicapai, sifat supervisi harus

edukatif dan suportif, bukan otoriter.

c. Supervisi harus dilakukan secara teratur atau berkala. Supervisi yang hanya

dilakukan sekali bukan supervisi yang baik.

24
d. Supervisi harus dapat dilaksanakan sedemikan rupa sehingga terjalin kerja

sama yang baik antara atasan dan bawahan, terutama pada saat proses

penyelesaian masalah, dan untuk lebih mengutamakan kepentingan

bawahan.

e. Strategi dan tata cara supervisi yang akan dilakukan harus sesuai dengan

kebutuhan masing-masing bawahan secara individu. Penerapan strategi dan

tata cara yang sama untuk semua kategori bawahan, bukan merupakan

supervisi yang baik.

f. Supervisi harus dilaksanakan secara fleksibel dan selalu disesuaikan dengan

perkembangan.

2.2.5 Pelaksana Supervisi

Menurut Bactiar dan Suarly, (2009) yang bertanggung jawab dalam

melaksanakan supervisi adalah atasan yang memiliki kelebihan dalam organisasi.

Idealnya kelebihan tersebut tidak hanya aspek status dan kedudukan, tetapi juga

pengetahuan dan keterampilan. Berdasarkan hal tersebut serta prinsip-prinsip

pokok supervisi maka untuk dapat melaksanakan supervisi dengan baik ada

beberapa syarat atau karasteristik yang harus dimilki oleh pelaksana supervisi

(supervisor). Karakteristik yang dimaksud adalah:

a. Sebaiknya pelaksana supervisi adalah atasan langsung dari yang

disupervisi. Atau apabila hal ini tidak mungkin, dapat ditunjuk staf khusus

dengan batas-batas wewenang dan tanggung jawab yang jelas.

b. Pelaksana supervisi harus memilki pengetahuan dan keterampilan yang

cukup untuk jenis pekerjaan yang akan disupervisi.

25
c. Pelaksana supervisi harus memiliki keterampilam melakukan supervisi

artinya memahami prinsip-prinsip pokok serta tehnik supervisi.

d. Pelaksana supervisi harus memilki sifat edukatif dan suportif, bukan

otoriter.

e. Pelaksana supervisi harus mempunyai waktu yang cukup, sabar dan selalu

berupaya meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku bawahan

yang disupervisi.

2.2.6. Teknik Supervisi

a. Teknik Supervisi Secara Langsung.

Supervisi yang dilakukan langsung pada kegiatan yang sedang

dilaksanakan. Pada waktu supervisi diharapkan supervisor terlibat dalam kegiatan

agar pengarahan dan pemberian petunjuk tidak dirasakan sebagai perintah Bittel,

1987 (dalam Wiyana, 2008). Cara memberikan supervisi efektif adalah:

1) pengarahan harus lengkap dan mudah dipahami

2) menggunakan kata-kata yang tepat

3) berbicara dengan jelas dan lambat

4) berikan arahan yang logis

5) Hindari banyak memberikan arahan pada satu waktu

7) pastikan arahan yang diberikan dapat dipahami

8) Pastikan bahwa arahan yang diberikan dilaksanakan atau perlu tindak

lanjut Supervisi langsung dilakukan pada saat perawat sedang

melaksanakan pengisian formulir dokumentasi asuhan keperawatan.

26
Langkah-langkah yang digunakan dalam supervisi langsung (Wiyana, 2008):

a) Informasikan kepada perawat yang akan disupervisi bahwa

pendokumentasiannya akan disupervisi.

b) Lakukan supervisi asuhan keperawatan pada saat perawat melakukan

pendokumentasian. Supervisor melihat hasil pendokumentasian secara

langsung dihadapan perawat yang mendokumentasikan.

c) Supervisor menilai setiap dokumentasi sesuai standar dengan asuhan

keperawatan pakai yaitu menggunakan form A Depkes 2005.

d) Supervisor menjelaskan, mengarahkan dan membimbing perawat yang

disupervisi komponen pendokumentasian mulai dari pengkajian, diagnosa

keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi kepada perawat yang

sedang menjalankan pencacatan dokumentasi asuhan keperawatan sesuai

form A dari Depkes.

e) Mencatat hasil supervisi dan menyimpan dalam dokumen supervisi.

b. Teknik Supervisi Secara Tidak Langsung

Supervisi tidak langsung adalah supervisi yang dilakukan melalui laporan

baik tertulis maupun lisan. Perawat supervisor tidak melihat langsung apa yang

terjadi di lapangan sehingga memungkinkan terjadinya kesenjangan fakta. Umpan

balik dapat diberikan secara tertulis (Bittel, 1987) dalam Wiyana, 2008.

Langkah-langkah Supervisi tak langsung.

a. Lakukan supervisi secara tak langsung dengan melihat hasil dokumentasi

pada buku rekam medik perawat.

b. Pilih salah satu dokumen asuhan keperawatan.

27
c. Periksa kelengkapan dokumentasi sesuai dengan standar dokumentasi

asuhan keperawatan yang ditetapkan rumah sakit yaitu form A dari

Depkes.

d. Memberikan penilaian atas dokumentasi yang di supervisi dengan

memberikan tanda bila ada yang masih kurang dan berikan cacatan tertulis

pada perawat yang mendokumentasikan.

e. Memberikan catatan pada lembar dokumentasi yang tidak lengkap atau

sesuai standar.

2.2.7 Pelaksana Supervisi Keperawatan

Materi supervisi atau pengawasan disesuaikan dengan uraian tugas dari

masing-masing staf perawat pelaksana yang disupervisi terkait dengan

kemampuan asuhan keperawatan yang dilaksanakan. Supervisi keperawatan

dilaksanakan oleh personil atau bagian yang bertangguung jawab antara lain

(Suyanto,2008):

1. Kepala ruangan

Bertanggung jawab untuk melakukan supervisi pelayanan keperawatan

yang diberikan pada pasien di ruang perawatan yang dipimpinnya. Kepala

ruangan mengawasi perawat pelaksana dalam memberikan asuhan keperawatan

baik secara langsung maupun tidak langsung disesuaikan dengan metode

penugasan yang diterapkan di ruang perawatan tersebut. Sebagai contoh ruang

perawatan yang menerapkan metode TIM, maka kepala ruangan dapat melakukan

supervisi secara tidak langsung melalui ketua tim masing-masing (Suarli dan

Bahtiar , 2009).

28
2. Pengawas perawatan (supervisor)

Ruang perawatan dan unit pelayanan yang berada di bawah unit pelaksana

fungisional (UPF) mempunyai pengawas yang bertanggung jawab mengawasi

jalannya pelayanan keperawatan.

3. Kepala bidang keperawatan

Sebagai top manager dalam keperawatan, kepala bidang keperawatan,

kepala bidang keperawatan bertanggung jawab melakukan supervisi baik secara

langsung atau tidak langsung melalui para pengawas keperawatan. Mengusahakan

seoptimal mungkin kondisi kerja yang aman dan nyaman, efektif dan efesien.

Oleh karena itu tugas dari seorang supervisor adalah mengorientasikan staf dan

pelaksana keperawatan terutama pegawai baru, melatih staf dan pelaksana staf

keperawatan, memberikan pengarahan dalam pelaksanaan tugas agar menyadari,

mengerti terhadap peran, fungsi sebagai staf dan pelaksana asuhan keperawatan,

memberikan pelayanan bimbingan pada pelaksana keperawatan dalam

memberikan asuahan keperawatan.

2.2.8. Kegiatan Rutin Supervisor

Untuk dapat mengkoordinasikan system kerja secara efektif, para

supervisor harus melakukan dua jenis kegiatan, yaitu kegiatan tugas dan kegiatan

supervisi. Kegiatan tugas adalah kegiatan yang melibatkan supervisor dalam

pelaksanaan lansung suatu pekerjaan. Kegiatan supervisi adalah kegiatan yang

mengkoodinasikan pekerjaan yang dilkukan orang lain. Supervisor yang efektif

29
menekankan kegiatan supervisi (Dharma, 2003). Kegiatan dalam supervisi adalah

sebagai berikut (Wiyana, 2008) :

1. Persiapan.

Kegiatan Kepala Ruangan (supervisor) meliputi:

1) Menyusun jadwal supervisi

2) Menyiapkan materi supervisi (format supervisi, pedoman pen

dokumentasian)

3) Mensosialisasikan rencana supervisi kepada perawat pelaksana

2. Pelaksanaan supervisi.

Kegiatan kepala ruangan (supervisor) pada tahap pelaksanaan supervisi

meliputi:

1) Mengucapkan salam pada perawat yang disupervisi

2) Membuat kontrak waktu supervisi pendokumentasian dilaksanakan

3) Bersama perawat mengidentifikasi kelengkapan pendokumentasian

untuk masing-masing tahap

4) Mendiskusikan pencapaian yang telah diperoleh perawat dalam

pedokumentasian asuhan keperawatan

5) Mendiskusikan pencapaian yang harus ditingkatkan pada masing-

masing tahap

6) Memberikan bimbingan / arahan pendokumentasian asuhan

keperawatan

7) Mencatat hasil supervisi

3. Evaluasi.

30
Kegiatan kepala ruangan (supervisor) pada tahap evaluasi meliputi:

1) Menilai respon perawat terhadap pendokumentasian yang baru saja di

arahkan

2) Memberikan reinforcement pada perawat

3) Menyampaikan rencana tindak lanjut supervisi

2.2.9. Model-model Supervisi Keperawatan

Selain cara supervisi yang telah diuraikan, beberapa model supervisi dapat

diterapkan dalam kegiatan supervisi antara lain (Suyanto, 2008):

a. Model konvensional

Model supervisi dilakukan melalui inspeksi langsung untuk menemukan

masalah dan kesalahan dalam pemberian asuahan keperawatan. Supervisi

dilakukan untuk mengoreksi kesalahan dan memata-matai staf dalam mengerjakan

tugas. Model ini sering tidak adil karena hanya melihat sisi negatif dari

pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan para perawat pelaksana sehingga sulit

terungkap sisi positif, hal-hal yang baik ataupun keberhasilan yang telah

dilakukan.

b. Model ilmiah

Supervisi dilakukan dengan pendekatan yang sudah direncanakan

sehingga tidak hanya mencari kesalahan atau masalah saja. Oleh karena itu

supervisi yang dilakukan dengan model ini memilki karakteristik sebagai berikut

yaitu, dilakukan secara berkesinambungan, dilakukan dengan prosedur,

instrument dan standar supervisi yang baku, menggunakan data yang objektif

sehingga dapat diberikan umpan balik dan bimbingan.

31
c. Model klinik

Supervisi model klinik bertujuan untuk membantu perawat pelaksana

dalam mengembangkan profesionalisme sehingga penampilan dan kinerjanya

dalam pemberian asuahn keperawatan meningkat. Supervisi dilakukan secara

sistematis melalui pengamatan pelayanan keperawatan yang diberikan oleh

seorang perawat selanjutnya dibandingkan dengan standar keperawatan.

Supervisi model klinik dibagi 4:

1. Model Developmental

Model ini diperkenalkan oleh Dixon pada rumah sakit mental dan

southern cost addiction technology transfer center tahun 1998. Model ini

dikembangkan dalam rumah sakit mental yangbertujuan agar pasien yang

dirawat mengalami proses developmental yang lebih baik. Maka semua ini

menjadi tugas utama perawat. Supervisor diberikan kewenangan untuk

membimbing perawat dengan tiga cara, yaitu change agent, counselor, dan

teacher. Kegiatan change agent bertujuan agar supervisor membimbing

perawat menjadi agen perubahan; kegiatan tersebut nantinya ditransfer

kepada pasien sehingga pasien memahami masalah kesehatan. Kegiatan

counselor dilakukan supervisor dengan tujuan membina, membimbing,

mengajarkan kepada perawat tentang hal-hal yang berkaitan dengan tugas

rutin perawat (contoh: supervisor membimbing perawat melakukan

pengkajian fisik). Kegiatan teaching bertujuan mengenalkan dan

mempraktikkan ‘nursing practice’ yang sesuai dengan tugas perawat

(contoh: supervisor di ICU mengajarkan teknik pengambilan darah arteri,

analisa gas darah dsb).

32
2. Model Academic

Model ini diperkenalkan oleh Farington di Royal College of

Nursing UK tahun 1995. Farington menyebutkan bahwa supervisi klinik

dilakukan untuk membagi pengalaman supervisor kepada para perawat

sehingga ada proses pengembangan kemampuan professional yang

berkelanjutan (CPD; continuing professional development). Dilihat dari

prosesnya, supervisi klinik merupakan proses formal dari perawat

professional untuk support dan learning sehingga pengetahuan dan

kompetensi perawat dapat dipertanggungjawabkan sehingga pasien

mendapatkan perlindungan dan merasa aman selama menjalani perawatan.

Dalam model academic proses supervise klinik meliputi tiga kegiatan,

yaitu educative, supportive, dan managerial.

Kegiatan educative dilakukan dengan:

1) Mengajarkan ketrampilan dan kemampuan. (contoh: perawat diajarkan

cara membaca hasil EKG)

2) Membangun pemahaman tentang reaksi dan refleksi dari setiap intervensi

keperawatan (contoh: supervisor mengajarkan perawat dan melibatkan

pasien DM dalam demontrasi injeksi SC)

3) Supervisor melatih perawat untuk mengexplore strategi, teknik-teknik lain

dalam bekerja (contoh: supervisor mengajarkan merawat luka dekubitus

dengan obat-obat jenis baru yang lebih baik).

Kegiatan supportive dilakukan dengan cara: melatih perawat ‘menggali’ emosi

ketika bekerja (contoh: meredam konflik antar perawat, job enrichment agar

33
mengurangi konflik selama bertugas). Kegiatan managerial dilakukan dengan:

melibatkan perawat dalam peningkatkan ‘standar’ (contoh: SOP yang sudah ada

dikaji bersama kemudian diperbaiki hal-hal yang perlu).

3. Model Experiental

Model ini diperkenalkan oleh Milne dan James di Newcastle

University UK dan Department of Health US tahun 2005 yang merupakan

adopsi penelitian Milne, Aylott dan Fitzpatrick. Dalam model ini

disebutkan bahwa kegiatan supervisi klinik keperawatan meliputi training

dan mentoring. Dalam kegiatan training, supervisor mengajarkan teknik-

teknik keperawatan tertentu yang belum dipahami perawat pelaksana

(contoh: pemasangan infus pada bayi, melakukan vena sectie, teknik

advance life support dsb). Training biasanya dilakukan secara berjenjang

kepada setiap perawat, misalnya training pada perawat pemula (beginner),

perawat pemula-lanjut (advance). Dalam kegiatan mentoring, supervisor

lebih mirip seorang penasihat dimana ia bertugas memberikan nasihat

berkaitan dengan masalah masalah rutin sehari-hari (contoh: bagaimana

mengurus Administrasi (diluar jam kerja) pasien, mencari perawat

pengganti yang tidak masuk, menengahi konflik, mengambil keputusan

secara cepat, tepat dan etis dsb). Kegiatan ini lebih mirip kegiatan

supportive dalam model academic.

4. Model 4S

34
Model ini diperkenalkan oleh Page dan Wosket dari hasil

penelitian di Greater Manchester UK dan New York tahun 1995. Model

supervisor ini dikembangkan dengan empat (4) strategi, yaitu Structure,

Skills, Support dan Sustainability. Dalam model ini, kegiatan structure

dilakukan oleh perawat dalam melakukan pengkajian dan asuhan pasien

dimana perawat yang dibina sekitar 6-8 orang. Tujuan kegiatan ini adalah

untuk mengembangkan pengalaman perawat dalam hal konsultasi,

fasilitasi dan assisting. Kegiatan skills dilakukan supervisor untuk

meningkatkan ketrampilan praktis (contoh: menjahit luka, interpretasi

EKG, pasang CAPD dsb). Kegiatan support dilakukan dengan tujuan

untuk will keep practice fresh, sharing, kebutuhan-kebutuhan training

tertentu yang bernilai kebaruan (contoh: pelatihan emergency pada

keadaan bencana). Kegiatan sustainability bertujuan untuk tetap

mempertahankan pengalaman, ketrampilan, nilai-nilai yang telah dianut

perawat. Kegiatan ini dilakukan secara kontinyu dengan cara mentransfer

pengalaman supervisor kepada perawat pelaksana (contoh: supervisor

membuat modul tentang berbagai ketrampilan teknik yang dibagikan

kepada semua perawat pelaksana).

d. Model artistik

Supervisi model artistic dilakukan dengan pendekatan personal untuk

menciptakan rasa aman sehingga supervisor dapat diterima oleh perawat

pelaksana yang disupervisi. Dengan demikian akan tercipta hubungan saling

35
percaya sehingga hubungan antara perawat dan supervisor akan terbuka dam

mempermudah proses supervisi.

36

Anda mungkin juga menyukai