Makalah Kelompok 4 (Tax Planning PPH Pasal 22 Dan 23)
Makalah Kelompok 4 (Tax Planning PPH Pasal 22 Dan 23)
Dosen Pengampu:
Saprudin, S.E, M.Si, Ak, CA
Yohana Yustika Sari S.E., M.S.A.
Disusun Oleh:
Kelompok 4
Axel Jeremy Pangestu (1710313210015)
Adrian Hartanto Gunawan (1710313310002)
Eka Anastasia Putri (1710313320015)
Zata Zhafira Salsabila (1710313320076)
Rahmat Hidayat (1810313210020)
Nurul Oktariana Azizah (1810313320037)
Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan
karuniaNya yang diberikan kepada kita semua sebagai umatnya. Sehingga kami dapat
menyusun makalah dengan judul “Tax Planning Pajak Penghasilan Pasal 22 dan 23”untuk
memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Perpajakan.
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Demikian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini,
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Demikian apa yang dapat kami sampaikan, semoga pembaca dapat mengambil
manfaat dari makalah ini. Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih
Banjarmasin, 21 Oktober 2020
Kelompok 4
i
DAFTAR ISI
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................... 4
ii
2.2.14 Pengajuan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pasal 23 ............................. 27
2.2.15 Tabel Perbandingan Tarif PPh Pasal 23 Sesuai KEP-70/PJ/2007 dan PMK No.
244/PMK.03/2008 ......................................................................................... 28
2.2.16 Penggunaan Metode Gross Up Atas Pajak Penghasilan yang ditanggung Oleh
Pemberi Penghasilan/Pemberi Kerja (Pasal 4 huruf d PP. Nomor 138 Tahun
2000) .............................................................................................................. 30
2.2.17 Analisis Ekualisasi Objek PPh Pasal 23 Pada SPT Tahunan PPh Badan dengan
SPT Masa PPh Pasal 23 ................................................................................. 32
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Cara mudah yang dilakukan oleh pemerintah (Ditjen Pajak) untuk memungut pajak
adalah dengan cara mewajibkan wajib pajak melakukan pemungutan dan pemotongan
atas pajaknya, dari pihak lain (pihak ketiga), sesuai dengan kewajiban wajib pajak untuk
Cara seperti ini dikenal dengan nama sistem withholding tax. Dengan cara ini,
pemerintah akan lebih mudah dan hemat mengumpulkan pajak tanpa upaya dan biaya
besar. Tugas pemerintah cukup mengawasi saja, dan bila ada wajib pajak yang tidak
menjalankan withholding tax dengan benar, Ditjen Pajak tinggal menerapkan sanksi
administrasi, yang akan menambah pemasukan atau penerimaan negara. Berbeda dengaan
self assessment, yang memberi kepercayaan penuh kepada wajib paiak untuk menghitung,
Dalam praktiknya, masih saja ditemukan banyak wajib pajak yang tidak memiliki
informasi lengkap mengenai pajak apa saja yang harus dipotong atau dipungut. Sehingga
ketika wajib pajak melaksanakan transaksi pembayaran dan tidak melakukan pemotongan
atau pemungutan PPh, maka konsekuensi yang harus dihadapinya adalah, wajib pajak
tersebut akan dikenai tagihan atas pajak yang tidak/kurang dipungut/ dipotong, ditambah
dengan sanksi administrasi. Terkesan kurang adil perlakuan pengenaan sanksi perpajakan
terterhadap wajib pajak pemungut dan pemotong pajak karena mereka dibebani
kewajiban untuk memungut pajak pihak lain (pihak ketiga) yang seharusnya bukan
1
tanggung jawab mereka untuk memungut dan mengadministrasikannya, melainkan
tanggung jawab pemerintah (dalam hal ini adalah Ditjen Pajak), tetapi ketika wajib pajak
seharusnya mereka potong/pungut, maka kepada mereka akan dikenai sanksi perpajakan,
tanpa ada kompensasi apa pun atas jumlah pajak yang berhasil mereka potong/pungut,
overhead (biaya pegawai, cetakan, dan biaya umum dan administrasi lainnya) untuk
empat asas perpajakan yang dikemukakan Adam Smith), namun kaidah kecukupan
penerimaan negara dari sektor pajak tampaknya lebih menonjol dan semakin terkristal
dalam UU PPh yang baru yang memberikan keleluasaan dan kewenangan bagi
withholding tax dan terus memperluas pengenaan withholding tax ini seperti tertuang
1. Bagaimana cara melakukan tax planning PPh Pasal 22 untuk meminimalisir jumlah
2. Bagaimana cara melakukan tax planning PPh Pasal 23 untuk meminimalisir jumlah
1. Mengetahui cara melakukan tax planning PPh Pasal 22 untuk meminimalisir jumlah
2
2. Mengetahui cara melakukan tax planning PPh Pasal 22 untuk meminimalisir jumlah
3
BAB II
PEMBAHASAN
pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerinta daerah, instansi atau lembaga
penyerahan barang, dan badan-badan tertentu baik badan pemerintah maupun swasta
berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lainnya.
Dasar Hukum pengenaan PPh Pasal 22 adalah Pasal 22 UU Nomor 17 Tahun 2000
254/KMK.03/2001. Keputusan terakhir ini berlaku sejak tanggal ditetapkan yaitu sejak 2
Januari 2003.
1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cuakai, atas impor barang;
pajak Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga Pemerintah dan
4
4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar
yang diberi delegasi oleh KPA, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang
kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS);
5. BUMN, badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki negara
melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang
b) Bank-bank BUMN;
6. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas,
industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya
7. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan
negeri;
8. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas
9. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian,
5
2.1.3 Tarif Pajak PPh Pasal 22
Jenis Tarif
PPh Pasal 22 atas impor - 10% x nilai impor (barang tertentu dalam lampiran I PMK
207/2015)
107/2015)
API)
logam
PPh Pasal 22 atas 1,5% x harga pembelian tidak termasuk PPN
penjualan bahan bakar - 0,25% x penjualan tidak termasuk PPN (penjualan kepada SPBU
Pertamina)
bukan Pertamina)
6
Obat : 0,3% x DPP PPN
PPh Pasal 22 atas 0,45% x DPP PPN
penjualan kendaraan
PPh Pasal 22 atas 0,25% x harga pembelian tidak termasuk PPN
pembelian bahan-bahan
perkebunan, pertanian,
pembelian batubara,
IUP
PPh Pasal 22 atas 0,45% x harga jual
batangan
PPh Pasal 22 Barang 5% dari harga jual
Sangat Mewah
diubah terakhir dengan PMK No.08/PMK.03/2008, pajak ini menyangkut PPh Pasal 22
7
pembelian dan penyerahan barang yang dibebankan ke APBN/APBD, PPh Pasal 22 atas
kegiatan usaha lain (hasil penjualan: produksi Pertamina, produksi rokok, semen,
otomotif, baja, kertas, dan lain-lain), PPh Pasal 22 atas penjualan barang yang tergolong
berhubungan dengan penyerahan dan pembayaran barang, serta pemasukkan barang dari
luar daerah pabean ke dalam daerah pabean dan yang memungutnya adalah Ditjen Bea
Cukai atau bank devisa. PPh Pasal 22 impor merupakan kredit pajak yang dapat
Tarif PPh Pasal 22 impor ini bervariasi, tergantung perusahaan mempunyai angka
pengenal impor (API) atau tidak dan jika barang tidak dikuasai artinya merupakan barang
tak bertuan. Jika perusahaan mempunyai API tarif pajaknya 2,5% dari nilai impor, jika
tidak mempunyai API tarif pajaknya 7,5% dan untuk barang yang tidak dikuasai juga
dikenai pajak 7,5% dari harga jual lelang. Persentase tersebut dihitung dari harga barang
atau nilai CIF + BM (Cost Insurance & Freight + Bea Masuk + Bea Masuk Tambahan,
jika ada). Rate yang berbeda ini mendorong adanya tax planning. Tentunya yang
dipikirkan tax planner adalah mencari tarif terendah, sehingga dalam melakukan impor,
Dalam bisnis tidak selalu bisa membuat pilihan, pilihan ada apabila punya akses
masuk ke dalam pilihan tersebut dan tidak semua orang bisa melakukannya. Importir
yang punya API tidak mungkin mau menerima permintaan pemilik barang yang kurang
atau tidak dikenalnya untuk menggunakan fasilitas API-nya. Hal tersebut berisiko cukup
tinggi, karena apabila pemilik barang tidak jujur (barang yang dikeluarkan adalah barang
selundupan atau barang optik yang harganya sangat mahal tetapi dalam Pemberitahuan
Impor Barang (PIB) dan dokumen impornya dilaporkan sebagai barang pecah belah).
8
Apabila kasus tersebut terlacak oleh Ditjen Bea Cukai, perusahaan yang punya API yang
benderanya dipakai untuk mengeluarkan barang akan dikejar oleh Ditjen Bea Cukai dan
begitu juga pemilik barang. Sanksinya sangat berat karena merupakan kasus manipulasi
bisnis dalam grup perusahaan atau konglomerat yang satu dengan lainnya sudah saling
kenal dan berada dalam payung kepemilikan perusahaan yang sama, mungkin hal tersebut
menjadi suatu kebijakan bisnis grup-nya yang harus dijalankan dan dipatuhi. Jika
kebijakan ini diimplementasikan, tax planner bisa berhasil menekan beban PPh Pasal 22
menjadi 5% dari semula 7,5% menjadi 2,5%. Lumayan untuk menghemat cash flow
perushaan selama masa tertentu, walaupun pada akhirny PPh Pasal 22 ini akan menjadi
kredit pajak dari PPh Badan yang terutang dalam SPT Tahunan PPh Badan (apabila
Dalam dunia shipping (laut dan udara), dikenal adanya “handling fee”, yakni jumlah
fee yang harus dibayar antara importir yang punya API dengan pemilik barang atas jasa
yang diberikan. Atas pengenaan handling fee, dipotong PPh Pasal 23. Cara ini mungkin
bisa dipakai oleh orang atau perusahaan yang tidak punya API dengan “meminjam”
bendera perusahaan yang punya API untuk mengeluarkan barang impornya dengan
kompensasi pemberian “handling fee”. Apabila keuntungan (5%) lebih besar dari cost of
handling fee yang dikeluarkan (misal 1,5% - 2%), maka pemilik barang masih bisa
memperoleh tax saving dalam PPh Pasal 22 sebesar 3% - 3,5% dari harga barang impor
semula (yakni dari cost insurance & freight + bea masuk). Sedangkan bagi perusahaan
yang masih rugi, cara ini akan bisa menghemat cash flow untuk masa tertentu, karena
kredit pajak dari PPh Pasal 22 tersebut hanya akan menyebabkan lebih bayar. Jika ingin
9
meminta restitusi Pajak Penghasilan, harus diperiksa dulu SPT PPh Badannya oleh fiskus
Ketentuan untuk barang yang tidak dikuasai atau barang tidak bertuan adalah
membayar dengan rate yang sama dengan dikenakan pada non-API. Bagi tax planner,
banyak hal yang bisa dimanfaatkan dalam hal barang yang tidak dikuasai ini. Biasanya
dari importir kemudian ke pemilik barang atau produsen. Bagi pemerintah, yang dituntut
adalah transparansi, siapa yang memiliki barang impor tersebut dan membayar PPh Pasal
22. Barang tidak bertuan bisa saja karena barang terlarang atau mungkin karena dokumen
impornya atau shipping documments-nya tidak lengkap, sehingga sewaktu proses customs
clearance di Ditjen Bea Cukai mengalami kendala untuk mengeluarkan barang tersebut
dari pelabuhan atau bandara. Akibatnya, importir tidak punya API. Kasus semacam itu,
apabila importir atau pemilik barang (consignee) ingin menebus semua biaya
penumpukan serta biaya impor (bea masuk, PPh Pasal 22 dan PPN impor) & customs
clearance, maka mungkin total pengeluaran yang harus dibayarkannya sama atau lebih
besar dari nilai jual barang tersebut. Dalam keadaan seperti ini, importir atau pemilik
barang akan berpikir untuk tidak menebus barang tersebut, meingkhlaskan saja untuk
pemerintah untuk dilelang, karena bagi mereka tidak ada lagi nilai tambah (cost >
benefit), bahkan justru akan menambah kerugian. Kerugian tersebut bisa dihindari atau
paling tidak diminimalisasi apabila sejak awal sudah diantisipasi kekurangan dokumen
bendera perusahaan yang punya API untuk mengeluarkan barang tersebut dari pelabuhan
atau airport. Apabila semuanya masih menemui jalan buntu, barang tersebut dapat dijual
loss.
10
Tetapi perusahaan yang meminjam bendera juga harus berhati-hati, karena masalah
transaksi peminjaman bendera ini selain dapat menimbulkan masalah pajak, juga dapat
menimbulkan masalah hukum dalam kasus di mana transaksi tersebut dimanfaatkan untuk
hal-hal negatif atau melanggar hukum. Apabila hal ini terjadi, maka pihak yang harus
Tax management dan tax planning yang baik mensyaratkan beberapa hal, seperti tidak
melanggar ketentuan perpajakan, secara bisnis masuk akal (reasonable), serta didukung
oleh bukti-bukti pendukung yang memadai (kontrak, invoice, dan sebagainya). Oleh
sebab itu, untuk meminimalisasi koreksi fiskal pihak fiskus terhadap hal-hal tersebut,
solusinya adalah dengan membuat kontrak yang jelas dan secara transparan
Perusahaan yang dikenai PPh Pasal 22 dapat mengkreditkan PPh Pasal 22 yang tidak
bersifat final. Sedangkan, untuk PPh Pasal 22 yang bersifat final tidak dapat dikreditkan
a) Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan
b) Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak
Pertambahan Nilai.
Contoh kasus:
11
Suatu perusahaan, PT A (BUMN) yang mempunyai fasilitas bebas impor barang
(impor dan atau penyerahan barang kena pajak tertentu bersifat strategis yang dibebaskan
dari pengenaan PPN [PP No. 12 Tahun 2001] sebagaimana telah diubah ketigakalinya,
terakhir dengan PP No. 7 Tahun 2007), dan juga dibebaskan dari pungutan Bea Masuk
dan atau Pajak Pertambahan Nilai (KMK No. 254/KMK.03/2001 yang terakhir diubah
dengan PMK No. 08/PMK.03/2008, artinya segala sesuatu yang menyangkut pajak-pajak
impor dibebaskan, yaitu Bea Masuk, PPh Impor, dan PPN Impor. PT A mempunyai
lapangan mengeksekusi PT B. Hal tersebut terjadi karena jika API dari PT B yang
digunakan untuk mengeluarkan barang impor, pasti akan terkena Bea Masuk, PPN Impor,
dan PPh Pasal 22 Impor, PT B tidak memiliki fasilitas impor barang strategis yang
dibebaskan dari pengenaan PPN. Jadi, PT B dapat menghemat cash flow-nya. Seandainya
dan harus melakukan pembayaran di muka atas biaya-biaya impor (dengan asumsi bebas
impor duties: bea masuk, PPN Impor, dan PPh Pasal 22 Impor), maka bagi PT B tekanan
Dalam hal ini tax planner atau tax manager PT B masih harus bekerja sama dengan
tax manager PT A mengajukan permohonan tertulis kepada Dirjen Pajak untuk mendapat
surat keputusan bahwa barang yang diimpor tersebut didefinisikan sebagai barang
startegis yang mendapat pembebasan bea masuk, PPN Impor, dan PPh Pasal 22 Impor,
karena pengajuan surat permohonan tersebut harus dibuat secara formal atas nama PT A,
bukan PT B.
12
2.1.6 Pengajuan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pasal 22
Sesuai dengan Keputusan Dirjen Pajak No. 192/PJ/2002, wajib pajak dapat
mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan atau pemungutan PPh Pasal
a) Wajib pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat menunjukkan tidak akan terutang
tersebut jumlahnya lebih besar dari perkiraan penghasilan neto tahun pajak yang
bersangkutan.
c) Pajak Penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan
terutang.
pembayaran atas penyerahan barang, badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari
wajib pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain,
dan wajib pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang
Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan pajak,
diubah terakhir dengan PMK No.08/PMK.03/2008. Secara garis besar pengenaan PPh
13
a) Yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API):
Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir, dikenai tarif
Selain impor gandum dan tepung terigu oleh importir yang memiliki API telah
Catatan:
- Nilai impor: Harga Patokan Impor (nilai CIF) + Bea Masuk + Bea Masuk Tambahan
(jika ada).
- Kurs yang digunakan untuk menghitung nilai impor adalah kurs berdasarkan
PPh Pasal 22 impor tersebut di atas dipungut oleh Ditjen Bea dan Cukai atau bank
devisa pada saat pembayaran bea masuk. PPh Pasal 22 impor merupakan kredit pajak
Atas impor barang yang digunakan untuk kegiatan atau jasa yang atas imbalannya
Wajib pajak dapat meminta surat keterangan bebas atas impor barang yang
bersangkutan.
Jika kemudian diketahui bahwa atas impor tersebut tidak digunakan untuk
kegiatan yang tidak dikenakan PPh final, maka PPh Pasal 22 yang terutang akan
14
Atas pembayaran untuk pembelian atau penyerahan barang yang dibebankan ke
APBN/D, besarnya PPh Pasal 22 yang harus dipungut adalah sebesar 1,5% dari harga beli
yang dipungut pada saat pembayaran. Pemungutan dilakukan oleh Ditjen Anggaran,
Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN), atau BUMN/D yang dananya berasal
dari APBN/D.
PPh Pasal 22 tersebut merupakan kredit pajak bagi wajib pajak penjual dan harus
disetor oleh pemungut dengan menggunakan SSP atas nama Wajib Pajak yang dipungut
(penjual).
Tabel berikut ini memperlihatkan rincian besarnya PPh Pasal 22 untuk kegiatan usaha
lain yang harus dipungut oleh wajib pajak pemungut di mana tarifnya sangat bervariasi
Badan Tertentu.
15
Industri dan Ekspor dari
Pedagang Pengumpul.
2 Impor Barang:
API
di Dalam Negeri:
K.011/2012
K.011/2012
K.011/2012
K.011/2012
K.011/2012
Pertamina K.011/2012
- l
Minyak Tanah
16
Gas/LPG 0,3% Penjualan excl. PPN Fina
Pertamina l
Fina
l
4 Penjualan Barang yang Tergolong 0,45% DPP PPN PMK.224/PM
PPnBM
Milyar.
Rp10 Milyar.
d) Apartemen, kondominium,
17
jual atau pengalihannya lebih
400m2.
Catatan:
Januari 2009 industri rokok tidak lagi ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22.
Sesuai PMK No. 253/PMK.03/2008 tentang Wajib Pajak Badan tertentu sebagai
pemungut PPh dari pembelian atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewat,
pemungut pajak adalah Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang
tergolong sangat mewah yang diwajibkan memungut Pajak Penghasilan pada saat
Besarnya PPh adalah 5% dari harga jual, tidak termasuk PPN dan Pajak Penjualan
18
Barang yang tergolong sangat mewah sebagaimana yang dimaksud adalah:
a) Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp20 Milyar.
b) Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp10 Milyar.
c) Rumah beserta tanah dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp10
d) Apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih
dari Rp10 Milyar dan atau luas bangunan lebih dari 400m2.
e) Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa
sedan, jeep, sport utility vehicle (suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus dan
sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp5 Milyar dengan kapasitas silinder lebih
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 merupakan Pajak Penghasilan yang dipotong atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha
Tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain
yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21, yang dibayarkan atau terutang oleh
badan pemerintah atau subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha
Tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Subjek pajak atau penerima
penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri
1. Badan Pemerintah.
19
3. Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau perwakilan perusahaan dalam negeri.
3. Penyerahan jasa yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi selain yang telah
a. Dividen, kecuali yang diterima oleh PT, BUMN/BUMD dan Koperasi, dengan
syarat kepemilikan saham minimal 25% (kecuali koperasi) dan dividen tersebut
pengembalian utang.
c. Royalti.
d. Hadiah dan penghargaan lain selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
20
2. 15% dari penghasilan bruto dan bersifat final atas bunga simpanan yang dibayarkan
oleh koperasi, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan menteri
keuangan.
3. 2% dari imbalan bruto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
4. 2% dari jumlah bruto yang tidak termasuk PPN yaitu imbalan sehubungan dengan
jasa teknik, jasa manjemen, jasa konsultan, jasa kontruksi, dan jasa lainnya selain jasa
2.2.6 Dividen
Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis
asuransi atau pembagian sisa usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi. Termasuk
1. Pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan
2. Pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor.
5. Jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh
bersangkutan.
Bagi suatu perusahaan yang tidak go public adalah saat dibukukan sebagai utang
dividen yang akan dibayarkan, yaitu pada saat pembagian dividen diumumkan atau
ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan. Sedangkan untuk
perusahaan yang go public, adalah pada tanggal penentuan kepemilikan pemegang saham
21
saham yang berhak atas dividen (recording date). Dengan kata lain, pemotongan Pajak
Penghasilan atas dividen baru dapat dilakukan setelah para pemegang saham yang berhak
UU PPh No. 10 Tahun 1994 menyebutkan, bahwa dividen yang diterima oleh
Perseroan dalam negeri (selain bank atau lembaga keuangan lainnya) tidak termasuk
memiliki 25% dari nilai saham yang disetor dari badan yang membayar dividen
(operating company).
Apabila kepemilikan sahamnya kurang dari 25%, jalan keluarnya adalah merger
2.2.7 Bunga
Bunga yaitu bunga pinjaman dari Wajib Pajak Badan ke Wajib Pajak Badan dan/ atau
dari Wajib Pajak Orang Pribadi ke Wajib Pajak Orang Pribadi serta dengan keterlambatan
pembayaran. Dalam pengertian bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena
jaminan pengembalian utang. Saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran, dan
saat jatuh tempo pembayaran yaitu saat kewajiban untuk melakukan pembayaran yang
didasarkan atas kesepakatan baik yang tertulis maupun tidak tertulis dalam kontrak atau
Pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham yang diterima oleh Wajib Pajak
1. Pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham itu sendiri dan bukan
22
2. Modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjamna telah disetor
seluruhnya.
kelangsungan usahanya.
2.2.8 Royalti
Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan
apapun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas:
1. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta dibidang kesusastraan, kesenian atau
karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek
dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya.
atau ilmiah.
komersial.
Saat terutangnya adalah pada saat yang ditentukan dalam kontrak atau perjanjian atas
faktur. Saat pemotongan untuk dividen, bunga, dan royalti Pajak Penghasilan Pasal 23
Dikenakan PPh Pasal 23 jika hadiah atau penghargaan perlombaan, penghargaan, dan
hadiah sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan lainnya diterima oleh WP Badan
termasuk BUT. Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan
23
sehubungan dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan
Hadiah, penghargaan, dan bonus yang tidak termasuk objek PPh Pasal 23 adalah
hadiah, penghargaan, dan bonus selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21
pelaksanaan suatu kegiatan, hadia undian karena merupakan objek PPh Pasal 4 ayat (2)
yang bersifat final, serta hadiah langsung dalam penjualan barang atau jasa dengan syarat:
1. Hadiah tersebut diberikan kepada semua pembeli atau konsumen akhir tanpa diundi.
2. Hadiah tersebut diterima langsung konsumen akhir pada saat pembelian barang atau
jasa.
untuk memberikan hak menggunakan harta selama jangka waktu tertentu, baik dengan
perjanjian tertulis maupun tidak tertulis sehingga harta tersebut hanya dapat digunakan
oleh penerima hak selama jangka waktu yang telah disepakati. Saat terutangnya adalah
2.2.11 Imbalan Sehubungan Dengan Jasa Teknik, Jasa Manajemen, Jasa Konstruksi,
1. Jasa teknik merupakan pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang
24
b. Pemberian informasi dalam pembuatan suatu jenis produk tertentu, seperti
seperti pemberian informasi melalui pelatihan atau seminar dengan peserta dan
2. Jasa manajemen merupakan pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam
profesional dalam suatu bidang usaha, kegiatan, atau pekerjaan yang dilakukanoleh
tenaga ahli atau perkumpulan tenaga ahli, yang tidak disertai dengan keterlibatan
b. Jasa aktuaris
25
k. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali dilakukan oleh Bursa
dan perbaikan
2. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubunagn dengan sewa guna usaha dengan hak
opsi
3. Dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f (dividen atau bagian
laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam
negeri, koperasi, BUMN atau BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang
didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia) dan dividen yang diterima oleh
orang pribadi.
4. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
5. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya.
6. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang
berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/ atau pembiayaan yang diatur dengan
26
2.2.13 Saat Terutang, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 23
1. Pajak penghasilan PPh Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran
4. Pemotong PPh Pasal 23 harus memberikan tanda bukti pemotongan kepada orang
2.2.14 Pengajuan Surat Keterangan Bebas (SKB) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23
Seperti pengajuan SKB PPh Pasal 22, ketentuan yang sama berlaku juga pada PPh
Pasal 23 dengan dasar peraturan pelaksanaan yang sama, yakni sesuai dengan Keputusan
Dirjen Pajak No. 192/PJ/2002, dimana wajib pajak dapat mengajukan permohonan
pembebasan pemotongan dan atau pemungutan PPh Pasal 23 oleh pihak lain kepada
Direktur Jenderal Pajak dengan kriteria seperti yang dimaksud dalam keputusan Dirjen
Pajak. Tax planner yang baik akan selalu memanfaatkan momentum pengajuan
permohonan SKB PPh Pasal 23 tersebut agar tidak terjadi lebih bayar pajak penghasilan.
Sampai akhir tahun 2008, ketentuan mengenai jenis jasa yang dipotong PPh Pasal 23,
sesuai dengan ketentuan PER-70/PJ./2007 yang mulai berlaku sejak 9 April 2007
27
2009, ketentuan lebih lanjut mengenai jasa lain diatur dalam PMK No.
244/PMK.03/2008.
2.2.15 Tabel Perbandingan Tarif PPh Pasal 23 Sesuai KEP-70/PJ./2007 Dan PMK No.
244/PMK.03/2008
Kep
PMK
70/PJ./2007
No. Jenis Penghasilan (Jasa) No.244/PMK.
Trf Eff
03/2008
09/04/07
Lampiran I PER-70/PJ./2007
1. Sewa dan penghasilan khusus kendaraan angkutan darat untuk 1,5% 2%
Lampiran II PER-70/PJ./2007
1. Jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan kecuali konsultan 4,5% 2%
28
c. Jasa konsultasi.*) Lihat atas 2%
pajak).
4. a. Jasa penyelidikan dan keamanan (no.III.22) 3% 2%
organizer (no.III.23)
Kecuali:
konstruksi (III.20)
Jasa penyediaan tempat dan atau waktu dalam media massa, 1,5% 2%
(no.III.25)
2.2.16 Penggunaan Metode Gross Up Atas Pajak Penghasilan yang ditanggung Oleh
Pemberi Penghasilan/ Pemberi Kerja (Pasal 4 huruf d PP. Nomor 138 Tahun 2000)
29
Dalam Pasal 4 huruf d PP. Nomor 138 Tahun 2000 tesebut adalah legitimasi praktik
Gross Up untuk objek PPh Pasal 21 dan 26. Sedangkan untuk objek PPh lainnya seperti
PPh Pasal 23 antara lain dapat merujuk pada Surat Dirjen Pajak No. S-
bonus produksi, bonus pendidikan, dan bonus lain dengan nama apapun.
b. Terhadap bonus tersebut dalam butir 1 yang dibayarkan oleh kontraktor kepada
bahwa:
Pemerintah Atas Penghasilan Beruoa Kompensasi Terminasi Dini Hak Ekslusif PT.
30
Bentuk Perusahaan Umum (Perum), Telekomunikasi menjadi Perusahaan
Perseroaan (Persero).
b. Hak Ekslusif Telkom adalah hak yang diberikan oleh Pemerintah Republik
c. Terminasi Dini Hak Ekslusif Telkom adalah percepatan berakhirnya Hak Ekslusif
Telkom, yaitu pada bulan Agustus 2002 untuk jaringan dan jasa pada
Dini Hak Ekslusif Telkom dalam jangka waktu maksimal 5 (lima) tahun dimulai
tahun 2005.
1. Penghasilan berupa Kompensasi Terminasi Dini Hak Ekslusif Telkom yang harus
2. Penghasilan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui dan terutang pada saat
Undang-Undang PPh.
4. Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
ditanggung pemerintah.
31
5. Penetapan jumlah Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah sebagaimana yang
2.2.17 Analisis Ekualisasi Objek PPh Pasal 23 Pada SPT Tahunan PPh Badan Dengan
penjualan yang memiliki hubungan dalam pembukuan dan atau laporan jenis pajak yang
Dalam melakukan ekualisasi terhadap PPh Pasal 23, jumlah penghasilan bruto dalam
SPT Masa PPh Pasal 23 dicocokan dengan pos pengeluaran yang menjadi objek
Dalam banyak kasus, terjadi pengenaan kurang bayar atas pemotongan PPh Pasal 23
yang ditemukan oleh pemeriksa (fiskus) sehingga menyebabkan terbitnya SKP Kurang
1. Ditemukannya biaya-biaya yang menjadi objek pajak PPh Pasal 23 yang belum
2. Jumlah PPh Pasal 23 yang disetorkan ke kas negara tidak cocok atau lebih rendah dari
3. Jumlah PPh Pasal 23 yang dibukukan di buku besar atau ledger pembukuan tidak
Contoh:
32
transaksi dari keseluruhan objek PPh Pasal 23 Rp 400.000.000,00
Rp 200.000.000,00
Hasil ekualisasi tersebut mengindikasikan adanya potensi kekurangan bayar atau setor
PPh Pasal 23 sebesar Rp 200.000.000,00 yang harus dilakukan pengecekan lebih lanjut
oleh wajib pajak terhadap bukti-bukti pendukung dan transaksi-transaksi apa saja yang
Tentu saja kelalaian atau keterlambatan dalam penyelesaian kurang bayar atau setor
PPh Pasal 23 tersebut hanya akan menambah beban tambahan bagi wajib pajak dari
KUP).
33
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
berhubungan dengan penyerahan dan pembayaran barang, serta pemasukkan barang dari
luar daerah pabean ke dalam daerah pabean dan yang memungutnya adalah Ditjen Bea
Cukai atau bank devisa. PPh Pasal 22 impor merupakan kredit pajak yang dapat
Tarif PPh Pasal 22 impor ini bervariasi, tergantung perusahaan mempunyai angka
pengenal impor (API) atau tidak dan jika barang tidak dikuasai artinya merupakan barang
tak bertuan. Jika perusahaan mempunyai API tarif pajaknya 2,5% dari nilai impor, jika
tidak mempunyai API tarif pajaknya 7,5% dan untuk barang yang tidak dikuasai juga
dikenai pajak 7,5% dari harga jual lelang. Persentase tersebut dihitung dari harga barang
atau nilai CIF + BM (Cost Insurance & Freight + Bea Masuk + Bea Masuk Tambahan,
jika ada). Rate yang berbeda ini mendorong adanya tax planning. Tentunya yang
dipikirkan tax planner adalah mencari tarif terendah, sehingga dalam melakukan impor,
Sesuai dengan Keputusan Dirjen Pajak No. 192/PJ/2002, wajib pajak dapat
mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan atau pemungutan PPh Pasal
d) Wajib pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat menunjukkan tidak akan terutang
34
e) Wajib pajak berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal sepanjang kerugian
tersebut jumlahnya lebih besar dari perkiraan penghasilan neto tahun pajak yang
bersangkutan.
f) Pajak Penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan
terutang.
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 merupakan Pajak Penghasilan yang dipotong atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha
Tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain
yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21, yang dibayarkan atau terutang oleh
badan pemerintah atau subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha
Tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Subjek pajak atau penerima
penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri
Tarif PPh Pasal 23 juga beragam, seperti: a) 15% dari penghasilan bruto yang
meliputi dividen, bunga, royalti dan hadiah dari penghargaan; b) 15% dari penghasilan
bruto dan bersifar final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi, kecuali
sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan menteri keuangan; c) 2% dari imbalan
bruto atau sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai PPh final;
d) 2% dari jumlah bruto yang tidak termasuk PPN, yaitu imbalan sehubungan dengan jasa
teknik, jasa manajemen, jasa konsultan, jasa kontruksi, dan jasa lainnya selain jasa yang
Seperti pengajuan SKB PPh Pasal 22, ketentuan yang sama berlaku juga pada PPh
Pasal 23 dengan dasar peraturan pelaksanaan yang sama, yakni sesuai dengan Keputusan
Dirjen Pajak No. 192/PJ/2002, dimana wajib pajak dapat mengajukan permohonan
35
pembebasan pemotongan dan atau pemungutan PPh Pasal 23 oleh pihak lain kepada
Direktur Jenderal Pajak dengan kriteria seperti yang dimaksud dalam keputusan Dirjen
Pajak. Tax planner yang baik akan selalu memanfaatkan momentum pengajuan
permohonan SKB PPh Pasal 23 tersebut agar tidak terjadi lebih bayar pajak penghasilan.
3.2 Saran
Dalam melakukan pembayaran pajak, seseorang atau suatu badan harus setidaknya
memiliki tax management atau tax planning yang baik, agar dapat melakukan
pembayaran pajak.
Tax management dan tax planning yang baik mensyaratkan beberapa hal, seperti tidak
melanggar ketentuan perpajakan, secara bisnis masuk akal (reasonable), serta didukung
oleh bukti-bukti pendukung yang memadai (kontrak, invoice, dan sebagainya). Oleh
sebab itu, untuk meminimalisasi koreksi fiskal pihak fiskus terhadap hal-hal tersebut,
solusinya adalah dengan membuat kontrak yang jelas dan secara transparan
36
DAFTAR PUSTAKA
Pohan, Chairil Anwar. 2014. Manajemen Perpajakan Strategi Perencanaan Pajak dan Bisnis
Edisi Revisi. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Efendi, Indra, dkk. 2014. Perpajakan Indonesia : Teori dan Kasus. Madanatera Qualified
Publisher: Medan
37