Anda di halaman 1dari 41

MANAJEMEN PERPAJAKAN

“Tax Planning Pajak Penghasilan Pasal 22 dan 23”

Dosen Pengampu:
Saprudin, S.E, M.Si, Ak, CA
Yohana Yustika Sari S.E., M.S.A.
Disusun Oleh:
Kelompok 4
Axel Jeremy Pangestu (1710313210015)
Adrian Hartanto Gunawan (1710313310002)
Eka Anastasia Putri (1710313320015)
Zata Zhafira Salsabila (1710313320076)
Rahmat Hidayat (1810313210020)
Nurul Oktariana Azizah (1810313320037)

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM STUDI S-1 AKUNTANSI
BANJARMASIN
2020
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan
karuniaNya yang diberikan kepada kita semua sebagai umatnya. Sehingga kami dapat
menyusun makalah dengan judul “Tax Planning Pajak Penghasilan Pasal 22 dan 23”untuk
memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Perpajakan.

 Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Demikian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini,
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Demikian apa yang dapat kami sampaikan, semoga pembaca dapat mengambil
manfaat dari makalah ini. Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih
Banjarmasin, 21 Oktober 2020

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................... i

DAFTAR ISI ......................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 2
1.3 Tujuan Makalah ........................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................... 4

2.1 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 ............................................................................. 4


2.1.1 Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 ............................................... 4
2.1.2 Pemungut dan Objek Pajak PPh Pasal 22 ..................................................... 4
2.1.3 Tarif Pajak PPh Pasal 22 ............................................................................... 5
2.1.4 Tax Management Pemotongan dan Pemungutan .......................................... 7
2.1.5 Pengecualian-Pengecualian (Tax Exemption) PPh Pasal 22 ......................... 11
2.1.6 Pengajuan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pasal 22 ............................. 13
2.2 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 ............................................................................. 19
2.2.1 Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 ............................................... 19
2.2.2 Pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 ................................................ 19
2.2.3 Subjek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 ..................................................... 20
2.2.4 Objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 ...................................................... 20
2.2.5 Tarif dan Pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 ............................... 20
2.2.6 Dividen .......................................................................................................... 21
2.2.7 Bunga ............................................................................................................. 22
2.2.8 Royalti ........................................................................................................... 23
2.2.9 Hadiah, Penghargaan, Bonus, dan Sejenisnya .............................................. 23
2.2.10 Sewa dan Penghasilan Lain Sehubungan dengan Penggunaan Harta ........... 24
2.2.11 Imbalan Sehubungan dengan Jasa Teknik, Jasa Manajemen, Jasa Konstruksi,
Jasa Konsultan, dan Jasa Lain ....................................................................... 24
2.2.12 Dikecualikan Dari Pemotongan PPh Pasal 23 ............................................... 26
2.2.13 Saat Terutang, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 23 .............................. 26

ii
2.2.14 Pengajuan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pasal 23 ............................. 27
2.2.15 Tabel Perbandingan Tarif PPh Pasal 23 Sesuai KEP-70/PJ/2007 dan PMK No.
244/PMK.03/2008 ......................................................................................... 28
2.2.16 Penggunaan Metode Gross Up Atas Pajak Penghasilan yang ditanggung Oleh
Pemberi Penghasilan/Pemberi Kerja (Pasal 4 huruf d PP. Nomor 138 Tahun
2000) .............................................................................................................. 30
2.2.17 Analisis Ekualisasi Objek PPh Pasal 23 Pada SPT Tahunan PPh Badan dengan
SPT Masa PPh Pasal 23 ................................................................................. 32

BAB III PENUTUP .............................................................................................................. 34

3.1 Kesimpulan ............................................................................................................... 34


3.2 Saran .......................................................................................................................... 36

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 37

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cara mudah yang dilakukan oleh pemerintah (Ditjen Pajak) untuk memungut pajak

adalah dengan cara mewajibkan wajib pajak melakukan pemungutan dan pemotongan

atas pajaknya, dari pihak lain (pihak ketiga), sesuai dengan kewajiban wajib pajak untuk

melakukan pemotongan atau pemungutan pajak, dan selanjutnya menyetorkan dan

melaporkannya ke kantor pajak setiap bulan berdasarkan ketentuan perpajakan.

Cara seperti ini dikenal dengan nama sistem withholding tax. Dengan cara ini,

pemerintah akan lebih mudah dan hemat mengumpulkan pajak tanpa upaya dan biaya

besar. Tugas pemerintah cukup mengawasi saja, dan bila ada wajib pajak yang tidak

menjalankan withholding tax dengan benar, Ditjen Pajak tinggal menerapkan sanksi

administrasi, yang akan menambah pemasukan atau penerimaan negara. Berbeda dengaan

self assessment, yang memberi kepercayaan penuh kepada wajib paiak untuk menghitung,

membayar, dan melaporkan kewajiban perpajakannya sendiri, dengan sistem withholding

tax, wajib pajak diwajibkan untuk memotong, menyetorkan, dan mengadministrasikan

pajak pihak lain (pihak ketiga).

Dalam praktiknya, masih saja ditemukan banyak wajib pajak yang tidak memiliki

informasi lengkap mengenai pajak apa saja yang harus dipotong atau dipungut. Sehingga

ketika wajib pajak melaksanakan transaksi pembayaran dan tidak melakukan pemotongan

atau pemungutan PPh, maka konsekuensi yang harus dihadapinya adalah, wajib pajak

tersebut akan dikenai tagihan atas pajak yang tidak/kurang dipungut/ dipotong, ditambah

dengan sanksi administrasi. Terkesan kurang adil perlakuan pengenaan sanksi perpajakan

terterhadap wajib pajak pemungut dan pemotong pajak karena mereka dibebani

kewajiban untuk memungut pajak pihak lain (pihak ketiga) yang seharusnya bukan

1
tanggung jawab mereka untuk memungut dan mengadministrasikannya, melainkan

tanggung jawab pemerintah (dalam hal ini adalah Ditjen Pajak), tetapi ketika wajib pajak

pemungut dan pemotong pajak tersebut luput memotong/memungut pajak yang

seharusnya mereka potong/pungut, maka kepada mereka akan dikenai sanksi perpajakan,

tanpa ada kompensasi apa pun atas jumlah pajak yang berhasil mereka potong/pungut,

padahal wajib pajak pemotong/pemungut juga telah mengeluarkan macam-macam biaya

overhead (biaya pegawai, cetakan, dan biaya umum dan administrasi lainnya) untuk

penyelenggaraan administrasinya. Didorong oleh asas kemudahan (convenience) dalam

pemungutan/pemotongan pajak yang kadang berbenturan dengan asas keadilan (dari

empat asas perpajakan yang dikemukakan Adam Smith), namun kaidah kecukupan

penerimaan negara dari sektor pajak tampaknya lebih menonjol dan semakin terkristal

dalam UU PPh yang baru yang memberikan keleluasaan dan kewenangan bagi

pemerintah dalam menentukan jenis-jenis penghasilan yang merupakan objek

withholding tax dan terus memperluas pengenaan withholding tax ini seperti tertuang

dalam UU PPh No. 36 Tahun 2008.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana cara melakukan tax planning PPh Pasal 22 untuk meminimalisir jumlah

pajak yang dibayarkan?

2. Bagaimana cara melakukan tax planning PPh Pasal 23 untuk meminimalisir jumlah

pajak yang dibayarkan?

1.3 Tujuan Makalah

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui cara melakukan tax planning PPh Pasal 22 untuk meminimalisir jumlah

pajak yang dibayarkan.

2
2. Mengetahui cara melakukan tax planning PPh Pasal 22 untuk meminimalisir jumlah

pajak yang dibayarkan.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22

2.1.1 Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22

Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah pajak yang dipungut oleh bendaharawan

pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerinta daerah, instansi atau lembaga

pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya yang berkenan dengan pembayaran,

penyerahan barang, dan badan-badan tertentu baik badan pemerintah maupun swasta

berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lainnya.

Dasar Hukum pengenaan PPh Pasal 22 adalah Pasal 22 UU Nomor 17 Tahun 2000

tentang Perubahan Ketiga UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,

selanjutnya diikuti dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan keputusan Nomor

254/KMK.03/2003 sebagai Perubahan Keputusan Menteri Keuangan Nomor

254/KMK.03/2001. Keputusan terakhir ini berlaku sejak tanggal ditetapkan yaitu sejak 2

Januari 2003.

2.1.2 Pemungut dan Objek Pajak PPh Pasal 22

Pemungut PPh Pasal 22 adalah:

1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cuakai, atas impor barang;

2. Bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut

pajak Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga Pemerintah dan

lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang;

3. Bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang

dilaksanakan dengan mekanisme uang persediaan (UP);

4
4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar

yang diberi delegasi oleh KPA, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang

kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS);

5. BUMN, badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki negara

melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang

dipisahkan, yang meliputi:

a) PT Pertamina (Persero), PT PLN (Persero), PT Perusahaan Gas Negara (Persero)

Tbk, PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk, PT Garuda Indonesia (Persero)

Tbk, PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk, PT Wijaya Karya (Persero)

Tbk, PT Adhi Karya (Persero) Tbk, PT Hutama Karya (Persero) Tbk, PT

Krakatau Steel (Persero);

b) Bank-bank BUMN;

c) Berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan

untuk keperluan kegiatan usahanya.

6. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas,

industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya

kepada distributor di dalam negeri;

7. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan

importir untuk kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam

negeri;

8. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas

penjualan bahan bakal minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;

9. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian,

peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul

untuk keperluan industrinya atau ekspornya.

5
2.1.3 Tarif Pajak PPh Pasal 22

Jenis Tarif
PPh Pasal 22 atas impor - 10% x nilai impor (barang tertentu dalam lampiran I PMK

207/2015)

- 7,5% x nilai impor (barang tertentulainnya dalam lampiran II PMK

107/2015)

- 2,5% x nilai impor (dengan API)


PPh Pasal 22 atas impor - 7,5% x nilai impor (tanpa API)

- 0,5% x nilai impor (kedelai, gandum, dan tepung terigu dengan

API)

- 7,5% x harga jual lelang (barang yang tidak dikuasai)


PPh Pasal 22 atas ekspor 1,5% x nilai ekspor (batubara, mineral logam, dan mineral bukan

logam
PPh Pasal 22 atas 1,5% x harga pembelian tidak termasuk PPN

pembelian oleh BUMN


PPh Pasal 22 atas Bahan bakar minyak:

penjualan bahan bakar - 0,25% x penjualan tidak termasuk PPN (penjualan kepada SPBU

Pertamina)

- 0,3% x penjualan tidak termasuk PPN (penjualan kepada SPBU

bukan Pertamina)

- 0,3% x penjualan tidak termasuk PPN (penjualan kepada SPBU

selain Pertamina dan bukan Pertamina)

Bahan bakar gas : 0,3% x penjualan tidak termasuk PPN

Pelumas : 0,3% x penjualan tidak termasuk PPN


PPh Pasal 22 atas Semen : 0,25% x DPP PPN

penjualan semen, kertas, Kertas : 0,1% x DPP PPN

baju, otomotif, farmasi Baja : 0,3% x DPP PPN

Kendaraan bermotor roda 2 atas lebih : 0,45% x DPP PPN

6
Obat : 0,3% x DPP PPN
PPh Pasal 22 atas 0,45% x DPP PPN

penjualan kendaraan
PPh Pasal 22 atas 0,25% x harga pembelian tidak termasuk PPN

pembelian bahan-bahan

untuk keperluan industi

atau ekspornya oleh

industi atau eksportir

dalam sektor kehutanan,

perkebunan, pertanian,

peternakan, dan perikanan


PPh Pasal 22 atas 1,5% x harga pembelian tidak termasuk PPN

pembelian batubara,

mineral logam, dan

mineral bukan logam dari

orang pribadi pemegang

IUP
PPh Pasal 22 atas 0,45% x harga jual

penjualan emas batangan

oleh produsen emas

batangan
PPh Pasal 22 Barang 5% dari harga jual

Sangat Mewah

2.1.4 Tax Management Pemotongan dan Pemungutan

Pajak Penghasilan Pasal 22 diatur dalam KMK-254/KMK.03/2001 sebagaimana telah

diubah terakhir dengan PMK No.08/PMK.03/2008, pajak ini menyangkut PPh Pasal 22

impor, PPh Pasal 22 Bendaharawan dan BUMN/BUMD atas pembayaran untuk

7
pembelian dan penyerahan barang yang dibebankan ke APBN/APBD, PPh Pasal 22 atas

kegiatan usaha lain (hasil penjualan: produksi Pertamina, produksi rokok, semen,

otomotif, baja, kertas, dan lain-lain), PPh Pasal 22 atas penjualan barang yang tergolong

sangat mewah (PMK No. 253/PMK.03/2008).

PPh Pasal 22 impor menyangkut pemungutan pajak di sektor impor, yang

berhubungan dengan penyerahan dan pembayaran barang, serta pemasukkan barang dari

luar daerah pabean ke dalam daerah pabean dan yang memungutnya adalah Ditjen Bea

Cukai atau bank devisa. PPh Pasal 22 impor merupakan kredit pajak yang dapat

dikurangkan dari PPh yang terutang di akhir tahun pajak.

Tarif PPh Pasal 22 impor ini bervariasi, tergantung perusahaan mempunyai angka

pengenal impor (API) atau tidak dan jika barang tidak dikuasai artinya merupakan barang

tak bertuan. Jika perusahaan mempunyai API tarif pajaknya 2,5% dari nilai impor, jika

tidak mempunyai API tarif pajaknya 7,5% dan untuk barang yang tidak dikuasai juga

dikenai pajak 7,5% dari harga jual lelang. Persentase tersebut dihitung dari harga barang

atau nilai CIF + BM (Cost Insurance & Freight + Bea Masuk + Bea Masuk Tambahan,

jika ada). Rate yang berbeda ini mendorong adanya tax planning. Tentunya yang

dipikirkan tax planner adalah mencari tarif terendah, sehingga dalam melakukan impor,

tax planner yang baik akan merekomendasikan impor dengan API.

Dalam bisnis tidak selalu bisa membuat pilihan, pilihan ada apabila punya akses

masuk ke dalam pilihan tersebut dan tidak semua orang bisa melakukannya. Importir

yang punya API tidak mungkin mau menerima permintaan pemilik barang yang kurang

atau tidak dikenalnya untuk menggunakan fasilitas API-nya. Hal tersebut berisiko cukup

tinggi, karena apabila pemilik barang tidak jujur (barang yang dikeluarkan adalah barang

selundupan atau barang optik yang harganya sangat mahal tetapi dalam Pemberitahuan

Impor Barang (PIB) dan dokumen impornya dilaporkan sebagai barang pecah belah).

8
Apabila kasus tersebut terlacak oleh Ditjen Bea Cukai, perusahaan yang punya API yang

benderanya dipakai untuk mengeluarkan barang akan dikejar oleh Ditjen Bea Cukai dan

begitu juga pemilik barang. Sanksinya sangat berat karena merupakan kasus manipulasi

impor, termasuk tindak pidana.

Memfasilitasi penggunaan (“peminjaman”) API bisa terjadi digunakan oleh unit-unit

bisnis dalam grup perusahaan atau konglomerat yang satu dengan lainnya sudah saling

kenal dan berada dalam payung kepemilikan perusahaan yang sama, mungkin hal tersebut

menjadi suatu kebijakan bisnis grup-nya yang harus dijalankan dan dipatuhi. Jika

kebijakan ini diimplementasikan, tax planner bisa berhasil menekan beban PPh Pasal 22

menjadi 5% dari semula 7,5% menjadi 2,5%. Lumayan untuk menghemat cash flow

perushaan selama masa tertentu, walaupun pada akhirny PPh Pasal 22 ini akan menjadi

kredit pajak dari PPh Badan yang terutang dalam SPT Tahunan PPh Badan (apabila

perusahaan dapat profit).

Dalam dunia shipping (laut dan udara), dikenal adanya “handling fee”, yakni jumlah

fee yang harus dibayar antara importir yang punya API dengan pemilik barang atas jasa

yang diberikan. Atas pengenaan handling fee, dipotong PPh Pasal 23. Cara ini mungkin

bisa dipakai oleh orang atau perusahaan yang tidak punya API dengan “meminjam”

bendera perusahaan yang punya API untuk mengeluarkan barang impornya dengan

kompensasi pemberian “handling fee”. Apabila keuntungan (5%) lebih besar dari cost of

handling fee yang dikeluarkan (misal 1,5% - 2%), maka pemilik barang masih bisa

memperoleh tax saving dalam PPh Pasal 22 sebesar 3% - 3,5% dari harga barang impor

semula (yakni dari cost insurance & freight + bea masuk). Sedangkan bagi perusahaan

yang masih rugi, cara ini akan bisa menghemat cash flow untuk masa tertentu, karena

kredit pajak dari PPh Pasal 22 tersebut hanya akan menyebabkan lebih bayar. Jika ingin

9
meminta restitusi Pajak Penghasilan, harus diperiksa dulu SPT PPh Badannya oleh fiskus

atau pemeriksa pajak.

Ketentuan untuk barang yang tidak dikuasai atau barang tidak bertuan adalah

membayar dengan rate yang sama dengan dikenakan pada non-API. Bagi tax planner,

banyak hal yang bisa dimanfaatkan dalam hal barang yang tidak dikuasai ini. Biasanya

dari importir kemudian ke pemilik barang atau produsen. Bagi pemerintah, yang dituntut

adalah transparansi, siapa yang memiliki barang impor tersebut dan membayar PPh Pasal

22. Barang tidak bertuan bisa saja karena barang terlarang atau mungkin karena dokumen

impornya atau shipping documments-nya tidak lengkap, sehingga sewaktu proses customs

clearance di Ditjen Bea Cukai mengalami kendala untuk mengeluarkan barang tersebut

dari pelabuhan atau bandara. Akibatnya, importir tidak punya API. Kasus semacam itu,

apabila importir atau pemilik barang (consignee) ingin menebus semua biaya

penumpukan serta biaya impor (bea masuk, PPh Pasal 22 dan PPN impor) & customs

clearance, maka mungkin total pengeluaran yang harus dibayarkannya sama atau lebih

besar dari nilai jual barang tersebut. Dalam keadaan seperti ini, importir atau pemilik

barang akan berpikir untuk tidak menebus barang tersebut, meingkhlaskan saja untuk

pemerintah untuk dilelang, karena bagi mereka tidak ada lagi nilai tambah (cost >

benefit), bahkan justru akan menambah kerugian. Kerugian tersebut bisa dihindari atau

paling tidak diminimalisasi apabila sejak awal sudah diantisipasi kekurangan dokumen

impornya, diurus kelengkapan dokumen secepatnya (dokumen pembelian dan pengiriman

dari pabriknya, bill of lading, dan sebagainya). Selanjutnya, diusahakan “meminjam”

bendera perusahaan yang punya API untuk mengeluarkan barang tersebut dari pelabuhan

atau airport. Apabila semuanya masih menemui jalan buntu, barang tersebut dapat dijual

kepada importir/pabrikan/trader lain secara win-win solution ketimbang menderita total

loss.

10
Tetapi perusahaan yang meminjam bendera juga harus berhati-hati, karena masalah

transaksi peminjaman bendera ini selain dapat menimbulkan masalah pajak, juga dapat

menimbulkan masalah hukum dalam kasus di mana transaksi tersebut dimanfaatkan untuk

hal-hal negatif atau melanggar hukum. Apabila hal ini terjadi, maka pihak yang harus

bertanggung jawab adalah pihak perusahaan yang meminjamkan benderanya itu.

Tax management dan tax planning yang baik mensyaratkan beberapa hal, seperti tidak

melanggar ketentuan perpajakan, secara bisnis masuk akal (reasonable), serta didukung

oleh bukti-bukti pendukung yang memadai (kontrak, invoice, dan sebagainya). Oleh

sebab itu, untuk meminimalisasi koreksi fiskal pihak fiskus terhadap hal-hal tersebut,

solusinya adalah dengan membuat kontrak yang jelas dan secara transparan

mencantumkan hak dan kewajiban perpajakan masing-masing pihak.

Perusahaan yang dikenai PPh Pasal 22 dapat mengkreditkan PPh Pasal 22 yang tidak

bersifat final. Sedangkan, untuk PPh Pasal 22 yang bersifat final tidak dapat dikreditkan

dalam SPT Tahunan PPh.

2.1.5 Pengecualian-Pengecualian (Tax Exemption) PPh Pasal 22

Dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 adalah:

a) Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan;

b) Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak

Pertambahan Nilai.

Sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 254/KMK.03/2001

yang telah diubah KMK No. 392/KMK.03/2001 dan 236/KMK.02/2003 dan

154/PMK.02/2007 dan terakhir diubah dengan PMK No. 08/PMK.03/2008.

Contoh kasus:

11
Suatu perusahaan, PT A (BUMN) yang mempunyai fasilitas bebas impor barang

(impor dan atau penyerahan barang kena pajak tertentu bersifat strategis yang dibebaskan

dari pengenaan PPN [PP No. 12 Tahun 2001] sebagaimana telah diubah ketigakalinya,

terakhir dengan PP No. 7 Tahun 2007), dan juga dibebaskan dari pungutan Bea Masuk

dan atau Pajak Pertambahan Nilai (KMK No. 254/KMK.03/2001 yang terakhir diubah

dengan PMK No. 08/PMK.03/2008, artinya segala sesuatu yang menyangkut pajak-pajak

impor dibebaskan, yaitu Bea Masuk, PPh Impor, dan PPN Impor. PT A mempunyai

rekanan kontraktor yaitu PT B. Sebenarnya PT B juga mempunyai API tapi tidak

memanfaatkannya sendiri dan menyuruh PT A menggunakan API-nya. Jadi, segala

sesuatu yang melaksanakan impor seolah-olah PT A, padahal dalam pelaksanaannya di

lapangan mengeksekusi PT B. Hal tersebut terjadi karena jika API dari PT B yang

digunakan untuk mengeluarkan barang impor, pasti akan terkena Bea Masuk, PPN Impor,

dan PPh Pasal 22 Impor, PT B tidak memiliki fasilitas impor barang strategis yang

dibebaskan dari pengenaan PPN. Jadi, PT B dapat menghemat cash flow-nya. Seandainya

kontrak perjanjian antara PT A dan PT B mensyaratkan PT B yang mengimpor barang

dan harus melakukan pembayaran di muka atas biaya-biaya impor (dengan asumsi bebas

impor duties: bea masuk, PPN Impor, dan PPh Pasal 22 Impor), maka bagi PT B tekanan

beban cash flow-nya sudah agak ringan.

Dalam hal ini tax planner atau tax manager PT B masih harus bekerja sama dengan

tax manager PT A mengajukan permohonan tertulis kepada Dirjen Pajak untuk mendapat

surat keputusan bahwa barang yang diimpor tersebut didefinisikan sebagai barang

startegis yang mendapat pembebasan bea masuk, PPN Impor, dan PPh Pasal 22 Impor,

karena pengajuan surat permohonan tersebut harus dibuat secara formal atas nama PT A,

bukan PT B.

12
2.1.6 Pengajuan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pasal 22

Sesuai dengan Keputusan Dirjen Pajak No. 192/PJ/2002, wajib pajak dapat

mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan atau pemungutan PPh Pasal

22 oleh pihak lain kepada Dirjen Pajak karena:

a) Wajib pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat menunjukkan tidak akan terutang

Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian fiskal.

b) Wajib pajak berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal sepanjang kerugian

tersebut jumlahnya lebih besar dari perkiraan penghasilan neto tahun pajak yang

bersangkutan.

c) Pajak Penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan

terutang.

Ketentuan Pasal 22 UU No. 36 Tahun 2008, menyatakan bahwa menteri keuangan

dapat menetapkan bendahara pemerintah untuk memungut pajak, sehubungan dengan

pembayaran atas penyerahan barang, badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari

wajib pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain,

dan wajib pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang

yang tergolong sangat mewah.

Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan pajak,

diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan, Ketentuan Menteri Keuangan mengenai

pengenaan PPh Pasal 22 diatur dalam KMK-254/KMK.03/2001 sebagaimana telah

diubah terakhir dengan PMK No.08/PMK.03/2008. Secara garis besar pengenaan PPh

Pasal 22 terdapat 3 kelompok, yaitu:

1. PPh Pasal 22 Impor

Besarnya PPh Pasal 22 Impor adalah:

13
a) Yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API):

 Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir, dikenai tarif

sebesar 0,5% dari nilai impor.

 Selain impor gandum dan tepung terigu oleh importir yang memiliki API telah

dikenai 2,5% dari nilai impor.

b) Yang tidak menggunakan API sebesar 7,5% dari nilai impor.

c) Yang tidak dikuasai sebesar 7,5% dari harga jual lelang.

Catatan:

- Nilai impor: Harga Patokan Impor (nilai CIF) + Bea Masuk + Bea Masuk Tambahan

(jika ada).

- Kurs yang digunakan untuk menghitung nilai impor adalah kurs berdasarkan

Keputusan Menteri Keuangan.

PPh Pasal 22 impor tersebut di atas dipungut oleh Ditjen Bea dan Cukai atau bank

devisa pada saat pembayaran bea masuk. PPh Pasal 22 impor merupakan kredit pajak

yang dapat dikurangkan dari PPh terutang di akhir tahun pajak.

Impor barang untuk kegiatan yang dikenakan PPh Final:

 Atas impor barang yang digunakan untuk kegiatan atau jasa yang atas imbalannya

semata-mata dikenakan PPh final, tidak dikenai PPh Pasal 22 Impor.

 Wajib pajak dapat meminta surat keterangan bebas atas impor barang yang

bersangkutan.

 Jika kemudian diketahui bahwa atas impor tersebut tidak digunakan untuk

kegiatan yang tidak dikenakan PPh final, maka PPh Pasal 22 yang terutang akan

ditagih beserta dengan sanksi bunganya.

2. PPh Pasal 22 Bendaharawan dan BUMN/BUMD

14
Atas pembayaran untuk pembelian atau penyerahan barang yang dibebankan ke

APBN/D, besarnya PPh Pasal 22 yang harus dipungut adalah sebesar 1,5% dari harga beli

yang dipungut pada saat pembayaran. Pemungutan dilakukan oleh Ditjen Anggaran,

Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN), atau BUMN/D yang dananya berasal

dari APBN/D.

PPh Pasal 22 tersebut merupakan kredit pajak bagi wajib pajak penjual dan harus

disetor oleh pemungut dengan menggunakan SSP atas nama Wajib Pajak yang dipungut

(penjual).

3. PPh Pasal 22 atas Kegiatan Usaha Lain

Tabel berikut ini memperlihatkan rincian besarnya PPh Pasal 22 untuk kegiatan usaha

lain yang harus dipungut oleh wajib pajak pemungut di mana tarifnya sangat bervariasi

tergantung pada jenis usahanya:

Objek PPh Pasal 22

No Objek Pajak Tarif Dasar Pengenaan Sifat Dasar

Pajak (DPP) Hukum


1 PPh Pasal 22

Pembelian Barang Dalam Negeri:

a) Pembelian Barang oleh 1,5% Harga Pembelian PMK.224/PM

Bendaharawan, Excl. PPN K.011/2012

BUMN/BUMD dan Badan-

Badan Tertentu.

b) Pembelian Bahan-Bahan 0,25% Harga Pembelian PMK.224/PM

Berupa Hasil Perhutanan, K.011/2012

Perkebunan, Pertanian, dan

Perikanan untuk Keperluan

15
Industri dan Ekspor dari

Pedagang Pengumpul.
2 Impor Barang:

a) Importir Mempunyai API 2,5% Nilai Impor PMK.224/PM

b) Importir Tidak Mempunyai 7,5% Nilai Impor K.011/2012

API

c) Pemenang Hasil Lelang Impor 7,5% Nilai Impor

yang Tidak Dikuasai


3 Penjualan Hasil Produksi Tertentu

di Dalam Negeri:

a) Industri Semen 0,25% DPP PPN PMK.224/PM

K.011/2012

b) Industri Kertas 0,10% DPP PPN PMK.224/PM

K.011/2012

c) Industri Baja 0,30% DPP PPN PMK.224/PM

K.011/2012

d) Industri Otomotif 0,45% DPP PPN PMK.224/PM

K.011/2012

e) Industri Obat 0,30% DPP PPN PMK.224/PM

K.011/2012

f) Bahan Bakar Minyak dan Gas SPBU Non PMK.224/PM

Pertamina K.011/2012

Premium 0,3% Penjualan excl. PPN Fina

Solar 0,3% Penjualan excl. PPN l

Premix/Super TT 0,3% Penjualan excl. PPN Fina

- l
Minyak Tanah

16
Gas/LPG 0,3% Penjualan excl. PPN Fina

Pelumas 0,3% Penjualan excl. PPN l

Bahan Bakar Minyak dan Gas SPBU Fina

Pertamina l

0,25% Penjualan excl. PPN Fina

Fina

l
4 Penjualan Barang yang Tergolong 0,45% DPP PPN PMK.224/PM

Sangat Mewah K.011/2012


5 Penjualan Barang yang Tergolong 5% Harga Jual Tidak PMK.224/PM

Sangat Mewah: Termasuk PPN dan K.011/2012

PPnBM

a) Pesawat udara pribadi dengan

harga jual lebih dari Rp20

Milyar.

b) Kapal pesiar dan sejenisnya

dengan harga jual lebih dari

Rp10 Milyar.

c) Rumah beserta tanahnya

dengan harga jual atau harga

pengalihannya lebih dari Rp10

Milyar dan luar bangunan

lebih dari 500m2.

d) Apartemen, kondominium,

dan sejenisnya dengan harga

17
jual atau pengalihannya lebih

dari Rp10 Milyar dan/atau

luar bangunan lebih dari

400m2.

e) Kendaraan bermotor roda

empat pengangkutan orang

kurang dari 10 orang berupa

sedan, jeep, sport utility

vehicle (suv), multi purpose

vehicle (mpv), minibus dan

sejenisnya dengan harga jual

lebih dari Rp5 Milyar dan

dengan kapasitas silinder lebih

dari 3.000 cc.

Catatan:

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.03/2008, sejak 1

Januari 2009 industri rokok tidak lagi ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22.

4. PPh Pasal 22 atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah

Sesuai PMK No. 253/PMK.03/2008 tentang Wajib Pajak Badan tertentu sebagai

pemungut PPh dari pembelian atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewat,

pemungut pajak adalah Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang

tergolong sangat mewah yang diwajibkan memungut Pajak Penghasilan pada saat

melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

Besarnya PPh adalah 5% dari harga jual, tidak termasuk PPN dan Pajak Penjualan

atas Barang Mewah.

18
Barang yang tergolong sangat mewah sebagaimana yang dimaksud adalah:

a) Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp20 Milyar.

b) Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp10 Milyar.

c) Rumah beserta tanah dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp10

Milyar dan luar bangunan lebih dari 500m2.

d) Apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih

dari Rp10 Milyar dan atau luas bangunan lebih dari 400m2.

e) Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa

sedan, jeep, sport utility vehicle (suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus dan

sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp5 Milyar dengan kapasitas silinder lebih

dari 3.000 cc.

2.2 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23

2.2.1 Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 merupakan Pajak Penghasilan yang dipotong atas

penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha

Tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain

yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21, yang dibayarkan atau terutang oleh

badan pemerintah atau subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha

Tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Subjek pajak atau penerima

penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri

dan Bentuk Usaha Tetap.

2.2.2 Pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23

1. Badan Pemerintah.

2. Subjek pajak badan dalam negeri.

19
3. Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau perwakilan perusahaan dalam negeri.

4. Orang pribadi sebagai WPDN yang ditunjuk DJP, yaitu:

a. Akuntan, arsitek, dokter, notaris, PPAT (kecuali camat), pengacara, konsultan

yang melakukan pekerjaan bebas.

b. Orang pribadi yang menjalankan usaha dan menyelenggarakan pembukuan.

2.2.3 Subjek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23

1. Wajib Pajak Dalam Negeri

2. Bentuk Usaha Tetap, dan

3. Wajib Pajak Luar Negeri.

2.2.4 Objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23

Adalah penghasilan yang berasal dari:

1. Modal yang diterima wajib pajak badan dan orang pribadi.

2. Penyerahan jasa yang diterima oleh wajib pajak badan.

3. Penyerahan jasa yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi selain yang telah

dipotong PPh Pasal 21.

2.2.5 Tarif dan Pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23

1. 15% dari penghasilan bruto, meliputi:

a. Dividen, kecuali yang diterima oleh PT, BUMN/BUMD dan Koperasi, dengan

syarat kepemilikan saham minimal 25% (kecuali koperasi) dan dividen tersebut

diambil dari laba ditahan.

b. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan

pengembalian utang.

c. Royalti.

d. Hadiah dan penghargaan lain selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.

20
2. 15% dari penghasilan bruto dan bersifat final atas bunga simpanan yang dibayarkan

oleh koperasi, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan menteri

keuangan.

3. 2% dari imbalan bruto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan

penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan

harta yang telah dikenai PPh final.

4. 2% dari jumlah bruto yang tidak termasuk PPN yaitu imbalan sehubungan dengan

jasa teknik, jasa manjemen, jasa konsultan, jasa kontruksi, dan jasa lainnya selain jasa

yang telah dipotong PPh Pasal 21.

2.2.6 Dividen

Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis

asuransi atau pembagian sisa usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi. Termasuk

pengertian dividen, adalah:

1. Pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan

dalam bentuk apapun.

2. Pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor.

3. Pembagian laba dalam bentuk saham.

4. Pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran.

5. Jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh

pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang

bersangkutan.

Bagi suatu perusahaan yang tidak go public adalah saat dibukukan sebagai utang

dividen yang akan dibayarkan, yaitu pada saat pembagian dividen diumumkan atau

ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan. Sedangkan untuk

perusahaan yang go public, adalah pada tanggal penentuan kepemilikan pemegang saham

21
saham yang berhak atas dividen (recording date). Dengan kata lain, pemotongan Pajak

Penghasilan atas dividen baru dapat dilakukan setelah para pemegang saham yang berhak

“menerima atau memperoleh” dividen tersebut diketahui, walaupun dividen tersebut

belum diterima secara tunai.

UU PPh No. 10 Tahun 1994 menyebutkan, bahwa dividen yang diterima oleh

Perseroan dalam negeri (selain bank atau lembaga keuangan lainnya) tidak termasuk

objek pajak PPh Badan dengan syarat bahwa:

1. Dividen berasal dari laba yang ditahan, dan

2. Kepemilikan saham Perseroan yang menerima dividen tersebut paling sedikit

memiliki 25% dari nilai saham yang disetor dari badan yang membayar dividen

(operating company).

Apabila kepemilikan sahamnya kurang dari 25%, jalan keluarnya adalah merger

untuk mencukupi kekurangan dana yang harus diinvestasikan ke operating company.

2.2.7 Bunga

Bunga yaitu bunga pinjaman dari Wajib Pajak Badan ke Wajib Pajak Badan dan/ atau

dari Wajib Pajak Orang Pribadi ke Wajib Pajak Orang Pribadi serta dengan keterlambatan

pembayaran. Dalam pengertian bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena

jaminan pengembalian utang. Saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran, dan

saat jatuh tempo pembayaran yaitu saat kewajiban untuk melakukan pembayaran yang

didasarkan atas kesepakatan baik yang tertulis maupun tidak tertulis dalam kontrak atau

perjanjian atau faktur.

Pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham yang diterima oleh Wajib Pajak

berbentuk perseroan terbatas diperkenankan apabila:

1. Pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham itu sendiri dan bukan

berasal dari pihak lain.

22
2. Modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjamna telah disetor

seluruhnya.

3. Pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi, dan

4. Perseroan terbatas penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk

kelangsungan usahanya.

2.2.8 Royalti

Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan

apapun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas:

1. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta dibidang kesusastraan, kesenian atau

karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek

dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya.

2. Penggunaan atau hak menggunakan peralatan/ perlengkapan industrial, komersial,

atau ilmiah.

3. Pemberian pengetahuan atau informasi dibidang imiah, teknikal, industrial, atau

komersial.

Saat terutangnya adalah pada saat yang ditentukan dalam kontrak atau perjanjian atas

faktur. Saat pemotongan untuk dividen, bunga, dan royalti Pajak Penghasilan Pasal 23

dilakukan akhir bulan dibayarkannya penghasilan, disediakan untuk dibayarkannya

penghasilan, atau jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan, tergantung

peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.

2.2.9 Hadiah, Penghargaan, Bonus, dan Sejenisnya

Dikenakan PPh Pasal 23 jika hadiah atau penghargaan perlombaan, penghargaan, dan

hadiah sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan lainnya diterima oleh WP Badan

termasuk BUT. Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan

23
sehubungan dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan

dengan penemuan benda-benda purbakala.

Hadiah, penghargaan, dan bonus yang tidak termasuk objek PPh Pasal 23 adalah

hadiah, penghargaan, dan bonus selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21

yaitu penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan

pelaksanaan suatu kegiatan, hadia undian karena merupakan objek PPh Pasal 4 ayat (2)

yang bersifat final, serta hadiah langsung dalam penjualan barang atau jasa dengan syarat:

1. Hadiah tersebut diberikan kepada semua pembeli atau konsumen akhir tanpa diundi.

2. Hadiah tersebut diterima langsung konsumen akhir pada saat pembelian barang atau

jasa.

2.2.10 Sewa dan Penghasilan Lain Sehubungan Dengan Penggunaan Harta

Merupakan penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan kesepakatan

untuk memberikan hak menggunakan harta selama jangka waktu tertentu, baik dengan

perjanjian tertulis maupun tidak tertulis sehingga harta tersebut hanya dapat digunakan

oleh penerima hak selama jangka waktu yang telah disepakati. Saat terutangnya adalah

pada saat pembayaran jatuh tempo.

2.2.11 Imbalan Sehubungan Dengan Jasa Teknik, Jasa Manajemen, Jasa Konstruksi,

Jasa Konsultan, dan Jasa Lain

1. Jasa teknik merupakan pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang

berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan, dan ilmu

pengetahuan yang dapat meliputi:

a. Pemberian informasi dalam pelaksaan suatu proyek tertentu, seperti pemetaan

dan/ atau pencarian dengan bantuan gelombang seismic

24
b. Pemberian informasi dalam pembuatan suatu jenis produk tertentu, seperti

pemberian informasi dalam bentuk gambar-gambar, petunjuk produksi,

perhitungan-perhitungan dan sebagainya, atau

c. Pemberian informasi yang berkaitan dengan pengalaman dibidang manajemen,

seperti pemberian informasi melalui pelatihan atau seminar dengan peserta dan

materi yang telah ditentukan oleh pengguna jasa.

2. Jasa manajemen merupakan pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam

pelaksanaan atau pengelola manajemen.

3. Jasa konsultan merupakan pemberian advice (petunjuk, pertimbangan, atau nasihat)

profesional dalam suatu bidang usaha, kegiatan, atau pekerjaan yang dilakukanoleh

tenaga ahli atau perkumpulan tenaga ahli, yang tidak disertai dengan keterlibatan

langsung para tenaga ahli tersebut dalam pelaksanannya.

4. Jenis jasa lain terdiri dari:

a. Jasa penilai (Appraisal)

b. Jasa aktuaris

c. Jasa Akuntansi, pembukuan, dan atestasi Laporan Keuangan

d. Jasa perancang (desain)

e. Jasa pengeboran (drilling) di bidang Penambangan Minyak dan Gas Bumi

(Migas), kecuali yang dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap

f. Jasa penunjang di bidang Penambangan Migas dan selain Migas.

g. Jasa penebangan hutan

h. Jasa pengolahan limbah

i. Jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing)

j. Jasa perantara dan atau keagenan

25
k. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali dilakukan oleh Bursa

Efek, KSEI, dan KPEI.

l. Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan kecuali yang dilakukan KSEI.

m. Jasa pengisian suara (dubbing) dan atau sulih suara.

n. Jasa mixing film.

o. Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan,

dan perbaikan

p. Jasa instalasi/pemasangan mesin/listrik/telepon/air/gas/AC/TV kabel, dll.

2.2.12 Dikecualikan Dari Pemotongan PPh Pasal 23

Pemotongan pajak tidak dilakukan atas:

1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank

2. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubunagn dengan sewa guna usaha dengan hak

opsi

3. Dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f (dividen atau bagian

laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam

negeri, koperasi, BUMN atau BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang

didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia) dan dividen yang diterima oleh

orang pribadi.

4. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang

modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan

kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.

5. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya.

6. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang

berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/ atau pembiayaan yang diatur dengan

peraturan menteri keuangan.

26
2.2.13 Saat Terutang, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 23

1. Pajak penghasilan PPh Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran

atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan.

2. Pajak Penghasilan Pasal 23 harus disetorkan oleh Pemotong Pajak selambat-

lambatnya tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya setelah bulan saat

terutangnya pajak ke bank persepsi atau Kantor Pos Indonesia.

3. Pemotong PPh Pasal 23 diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa

selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak Berakhir.

4. Pemotong PPh Pasal 23 harus memberikan tanda bukti pemotongan kepada orang

pribadi atau badan yang dibebani Pajak Penghasilan yang dipotong.

5. Pelaksanaan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 23 dilakukan secara

desentralisasi, artinya dilakukan ditempat terjadinya pembayaran atau terutangnya

penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 23.

2.2.14 Pengajuan Surat Keterangan Bebas (SKB) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23

Seperti pengajuan SKB PPh Pasal 22, ketentuan yang sama berlaku juga pada PPh

Pasal 23 dengan dasar peraturan pelaksanaan yang sama, yakni sesuai dengan Keputusan

Dirjen Pajak No. 192/PJ/2002, dimana wajib pajak dapat mengajukan permohonan

pembebasan pemotongan dan atau pemungutan PPh Pasal 23 oleh pihak lain kepada

Direktur Jenderal Pajak dengan kriteria seperti yang dimaksud dalam keputusan Dirjen

Pajak. Tax planner yang baik akan selalu memanfaatkan momentum pengajuan

permohonan SKB PPh Pasal 23 tersebut agar tidak terjadi lebih bayar pajak penghasilan.

Sampai akhir tahun 2008, ketentuan mengenai jenis jasa yang dipotong PPh Pasal 23,

sesuai dengan ketentuan PER-70/PJ./2007 yang mulai berlaku sejak 9 April 2007

sebagai pengganti PER-178/PJ./2006 (yang mencabut KEP-170/PJ./2002). Mulai tahun

27
2009, ketentuan lebih lanjut mengenai jasa lain diatur dalam PMK No.

244/PMK.03/2008.

2.2.15 Tabel Perbandingan Tarif PPh Pasal 23 Sesuai KEP-70/PJ./2007 Dan PMK No.

244/PMK.03/2008

Kep
PMK
70/PJ./2007
No. Jenis Penghasilan (Jasa) No.244/PMK.
Trf Eff
03/2008
09/04/07
Lampiran I PER-70/PJ./2007
1. Sewa dan penghasilan khusus kendaraan angkutan darat untuk 1,5% 2%

jangka waktu tertentu berdasarkan kontrak atau perjanjian tertulis

ataupun tidak tertulis.


2. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, 4,5% 2%

selain tanah dan atau bangunan dan kendaraan angkutan darat.

Lampiran II PER-70/PJ./2007
1. Jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan kecuali konsultan 4,5% 2%

konstruksi jasa lain (no III. 1 sd III 28) kecuali: 4,5% 2%

 Jasa pengeboran (drilling) dibidang pertambangan minyak dan Lihat rincian

gasa bumi yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap.

 Jasa dibidang perdagangan surat-surat berharga yang dilakukan

oleh BEJ, BES, KSEI, KPEI.

 Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan yang dilakukan KSEI,

serta jasa-jasa yang telah disebutkan dalam angka 2-5.


2. Jasa protest
3. a. Jasa perencanaan konstruksi.*) 4%

b. Jasa pengawasan konstruksi.*) 4%

28
c. Jasa konsultasi.*) Lihat atas 2%

(kecuali jasa konsultasi hukum, konsultasi bisnis, dan konsultasi

pajak).
4. a. Jasa penyelidikan dan keamanan (no.III.22) 3% 2%

b. Jasa kurir (jasa titipan swasta) - -

c. Jasa biro dan agen perjalanan wisata - -

d. Jasa konversi, pameran, dan perjalanan insentif, jasa event 3% 2%

organizer (no.III.23)

e. Jasa freight forwarding - -

f. Jasa pengepakan (no.III.24) 3% 2%

g. Jasa maklon (no.III.21) 3% 2%


5. Jasa pelaksanaan konstruksi 2%
6. a. Jasa katering (no.111.28) 1,5% 2%

b. Jasa pembasmi hama (no.III.26) 1,5% 2%

c. Jasa kebersihan/ cleaning service (no.III.27). 1,5% 2%


7. Jasa lainnya 4,5% 2%

Kecuali:

 Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan bangunan, dan jasa 2% 2%

instalasi/pemasangan mesin listrik/telepon/air/gas/AC/TV

kabel, sepanjang jasa tersebut dilakukan oleh pengusaha jasa

konstruksi (III.20)

 Jasa penyediaan tempat dan atau waktu dalam media massa, 1,5% 2%

media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi

(no.III.25)

2.2.16 Penggunaan Metode Gross Up Atas Pajak Penghasilan yang ditanggung Oleh

Pemberi Penghasilan/ Pemberi Kerja (Pasal 4 huruf d PP. Nomor 138 Tahun 2000)

29
Dalam Pasal 4 huruf d PP. Nomor 138 Tahun 2000 tesebut adalah legitimasi praktik

Gross Up untuk objek PPh Pasal 21 dan 26. Sedangkan untuk objek PPh lainnya seperti

PPh Pasal 23 antara lain dapat merujuk pada Surat Dirjen Pajak No. S-

1105/MK.012/1985 dan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-64/PJ/2009, seperti contoh

yang diuraikan dibawah ini:

1. Private Ruling: Surat Dirjen Pajak No. S-1105/MK.012/1985 Tentang Bonus-Bonus

yang Dibayar Oleh Kontraktor Kepada Pertamina

a. Bonus pada pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan No.815/KMK.012/1985 tanggal

27 September 1985 adalah bonus penandatanganan, bonus kompensasi data,

bonus produksi, bonus pendidikan, dan bonus lain dengan nama apapun.

b. Terhadap bonus tersebut dalam butir 1 yang dibayarkan oleh kontraktor kepada

Pertamina, dapat dipotongkan dari penghasilan bruto kontraktor.

c. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu diberikan penegasan kepada Pertamina

bahwa:

1) Agar penerimaan Indonesia tidak mengalami perubahan sebagai akibat

dimasukannya bonus sebagai biaya, maka pembayaran bonus-bonus tersebut

oleh kontraktor kepada Pertamina terlebih dahulu harus di gross up.

2) Semua bonus yang dibayarkan oleh kontraktor dimasukkan sebagai bagian

dari penghasilan Pertamina.

2. PER-64/PJ/2009. Penetapan Jumlah dan Saat terutang Pajak Penghasilan Ditanggung

Pemerintah Atas Penghasilan Beruoa Kompensasi Terminasi Dini Hak Ekslusif PT.

Telekomunikasi Indonesia (Persero), Tbk.

a. Telkom adalah PT. Telekomunikasi Indonesia (Persero), Tbk.yang didirikan

berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1991 tentang Pengalihan

30
Bentuk Perusahaan Umum (Perum), Telekomunikasi menjadi Perusahaan

Perseroaan (Persero).

b. Hak Ekslusif Telkom adalah hak yang diberikan oleh Pemerintah Republik

Indonesia hanya kepada Telkom untuk menyelenggarakan jaringan dan jasa

telekomunikasi tetap Sambungan Lokal hingga tahun 2010 dan Sambungan

Langsung Jarak Jauh hingga tahun 2005.

c. Terminasi Dini Hak Ekslusif Telkom adalah percepatan berakhirnya Hak Ekslusif

Telkom, yaitu pada bulan Agustus 2002 untuk jaringan dan jasa pada

telekomunikasi tetap Sambungan Lokal dan bulan Agustus 2003 untuk

Sambungan Langsung Jarak Jauh.

d. Kompensasi Terminasi Dini Hak Ekslusif Telkom adalah sebesar Rp

478.000.000.000,00 setelah pajak (net of tax) yang harus dibayarkan oleh

Pemerintah Republik Indonesia kepada Telkom sehubungan dengan Terminasi

Dini Hak Ekslusif Telkom dalam jangka waktu maksimal 5 (lima) tahun dimulai

tahun 2005.

3. Perlakuan Perpajakannya (Pasal 2 PER-64/PJ/2009):

1. Penghasilan berupa Kompensasi Terminasi Dini Hak Ekslusif Telkom yang harus

dibayarkan Pemerintah kepada Telkom merupakan objek pajak.

2. Penghasilan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui dan terutang pada saat

penghasilan tersebut diterima seluruhnya.

3. Penghasilan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dikenai Pajak

Penghasilan sesuai dengan tarif sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17

Undang-Undang PPh.

4. Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)

ditanggung pemerintah.

31
5. Penetapan jumlah Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah sebagaimana yang

dimaksud pada ayat (2) dihitung dengan metode gross up.

2.2.17 Analisis Ekualisasi Objek PPh Pasal 23 Pada SPT Tahunan PPh Badan Dengan

SPT Masa PPh Pasal 23

Ekualisasi pajak adalah mencocokan data di SPT (pencocokannya disajikan terperinci

per transaksi) dengan pos-pos yang terdapat di buku-buku pengeluaran/ pembelian/

penjualan yang memiliki hubungan dalam pembukuan dan atau laporan jenis pajak yang

lain (baik sebagian maupun keseluruhan).

Dalam melakukan ekualisasi terhadap PPh Pasal 23, jumlah penghasilan bruto dalam

SPT Masa PPh Pasal 23 dicocokan dengan pos pengeluaran yang menjadi objek

pemotongan PPh Pasal 23.

Dalam banyak kasus, terjadi pengenaan kurang bayar atas pemotongan PPh Pasal 23

yang ditemukan oleh pemeriksa (fiskus) sehingga menyebabkan terbitnya SKP Kurang

Bayar dan hasil pemeriksaan tersebut. Hal ini disebabkan karena:

1. Ditemukannya biaya-biaya yang menjadi objek pajak PPh Pasal 23 yang belum

dilakukan pemotongan oleh wajib pajak pemberi kerja.

2. Jumlah PPh Pasal 23 yang disetorkan ke kas negara tidak cocok atau lebih rendah dari

jumlah yang dipotong oleh wajib pajak.

3. Jumlah PPh Pasal 23 yang dibukukan di buku besar atau ledger pembukuan tidak

cocok dengan SPT PPh Masa PPh Pasal 23.

Contoh:

Berikut ini adalah rekapitulasi dari ekualisasi PPh Pasal 23:

1. Jumlah PPh Pasal 23 menurut tax review, berdasarkan penjumlahan

32
transaksi dari keseluruhan objek PPh Pasal 23 Rp 400.000.000,00

2. Jumlah PPh Pasal 23 menurut SPT Masa PPh Pasal 23

kekurangan bayar atau setor PPh Pasal 23 Rp 200.000.000,00

Rp 200.000.000,00

Hasil ekualisasi tersebut mengindikasikan adanya potensi kekurangan bayar atau setor

PPh Pasal 23 sebesar Rp 200.000.000,00 yang harus dilakukan pengecekan lebih lanjut

oleh wajib pajak terhadap bukti-bukti pendukung dan transaksi-transaksi apa saja yang

dimuat dalam kontrak perjanjian yang sudah disetujui.

Tentu saja kelalaian atau keterlambatan dalam penyelesaian kurang bayar atau setor

PPh Pasal 23 tersebut hanya akan menambah beban tambahan bagi wajib pajak dari

pengenaan bunga pajak @ 2% setiap bulannya maksimum 24 bulan (Pasal 13 ayat 2 UU

KUP).

33
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

PPh Pasal 22 impor menyangkut pemungutan pajak di sektor impor, yang

berhubungan dengan penyerahan dan pembayaran barang, serta pemasukkan barang dari

luar daerah pabean ke dalam daerah pabean dan yang memungutnya adalah Ditjen Bea

Cukai atau bank devisa. PPh Pasal 22 impor merupakan kredit pajak yang dapat

dikurangkan dari PPh yang terutang di akhir tahun pajak.

Tarif PPh Pasal 22 impor ini bervariasi, tergantung perusahaan mempunyai angka

pengenal impor (API) atau tidak dan jika barang tidak dikuasai artinya merupakan barang

tak bertuan. Jika perusahaan mempunyai API tarif pajaknya 2,5% dari nilai impor, jika

tidak mempunyai API tarif pajaknya 7,5% dan untuk barang yang tidak dikuasai juga

dikenai pajak 7,5% dari harga jual lelang. Persentase tersebut dihitung dari harga barang

atau nilai CIF + BM (Cost Insurance & Freight + Bea Masuk + Bea Masuk Tambahan,

jika ada). Rate yang berbeda ini mendorong adanya tax planning. Tentunya yang

dipikirkan tax planner adalah mencari tarif terendah, sehingga dalam melakukan impor,

tax planner yang baik akan merekomendasikan impor dengan API.

Sesuai dengan Keputusan Dirjen Pajak No. 192/PJ/2002, wajib pajak dapat

mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan atau pemungutan PPh Pasal

22 oleh pihak lain kepada Dirjen Pajak karena:

d) Wajib pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat menunjukkan tidak akan terutang

Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian fiskal.

34
e) Wajib pajak berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal sepanjang kerugian

tersebut jumlahnya lebih besar dari perkiraan penghasilan neto tahun pajak yang

bersangkutan.

f) Pajak Penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan

terutang.

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 merupakan Pajak Penghasilan yang dipotong atas

penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha

Tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain

yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21, yang dibayarkan atau terutang oleh

badan pemerintah atau subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha

Tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Subjek pajak atau penerima

penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri

dan Bentuk Usaha Tetap.

Tarif PPh Pasal 23 juga beragam, seperti: a) 15% dari penghasilan bruto yang

meliputi dividen, bunga, royalti dan hadiah dari penghargaan; b) 15% dari penghasilan

bruto dan bersifar final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi, kecuali

sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan menteri keuangan; c) 2% dari imbalan

bruto atau sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa

dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai PPh final;

d) 2% dari jumlah bruto yang tidak termasuk PPN, yaitu imbalan sehubungan dengan jasa

teknik, jasa manajemen, jasa konsultan, jasa kontruksi, dan jasa lainnya selain jasa yang

telah dipotong PPh Pasal 21.

Seperti pengajuan SKB PPh Pasal 22, ketentuan yang sama berlaku juga pada PPh

Pasal 23 dengan dasar peraturan pelaksanaan yang sama, yakni sesuai dengan Keputusan

Dirjen Pajak No. 192/PJ/2002, dimana wajib pajak dapat mengajukan permohonan

35
pembebasan pemotongan dan atau pemungutan PPh Pasal 23 oleh pihak lain kepada

Direktur Jenderal Pajak dengan kriteria seperti yang dimaksud dalam keputusan Dirjen

Pajak. Tax planner yang baik akan selalu memanfaatkan momentum pengajuan

permohonan SKB PPh Pasal 23 tersebut agar tidak terjadi lebih bayar pajak penghasilan.

3.2 Saran

Dalam melakukan pembayaran pajak, seseorang atau suatu badan harus setidaknya

memiliki tax management atau tax planning yang baik, agar dapat melakukan

pembayaran pajak dengan seminimal mungkin tanpa melakukan kesalahan dalam

pembayaran pajak.

Tax management dan tax planning yang baik mensyaratkan beberapa hal, seperti tidak

melanggar ketentuan perpajakan, secara bisnis masuk akal (reasonable), serta didukung

oleh bukti-bukti pendukung yang memadai (kontrak, invoice, dan sebagainya). Oleh

sebab itu, untuk meminimalisasi koreksi fiskal pihak fiskus terhadap hal-hal tersebut,

solusinya adalah dengan membuat kontrak yang jelas dan secara transparan

mencantumkan hak dan kewajiban perpajakan masing-masing pihak.

36
DAFTAR PUSTAKA

Pohan, Chairil Anwar. 2014. Manajemen Perpajakan Strategi Perencanaan Pajak dan Bisnis
Edisi Revisi. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

Efendi, Indra, dkk. 2014. Perpajakan Indonesia : Teori dan Kasus. Madanatera Qualified
Publisher: Medan

37

Anda mungkin juga menyukai