Anda di halaman 1dari 16

KESETIMBANGAN FASA

2.7 SISTEM DUA KOMPONEN


Sistem dua komponen, biasa disebut sistem biner, memiliki jumlah komponen dua
(c=2), sehingga aturan fasanya (𝑓 = 2 − 𝑃 + 2) menjadi 𝑓=4-P. Untuk sistem satu
fasa (p=1) derajat kebebasanaya (𝑓) sama dengan tiga. jadi ada 3 variabel intensif
independen yang diperlukan untuk menyatakan keadaan sistem tersebut yakni T,P,
dan fraksi mol.
Biasanya, satu dari ketiga variabel tersebut dibuat tetap, sehingga dua variabel
sisanya dapat di gambarkan dalam diagram fasa dua dimensi. variabel yang biasa
dipilih tetap P atau T.
2.7.1 Sistem Dua Komponen Cair-Uap Ideal
Pada bagian ini akan dibahas sistem dua komponen yang membentuk larutan ideal,
dan diagram fasa yang ditinjau hanya bagian cair-uapnya saja.
Larutan ideal adalah larutan yang memenuhi Hukum Raoult pada semua rentang
konsentrasi. Menurut Hukum Raoult, tekanan uap jenuh berbanding lurus dengan
fraksi molnya.
Pi = Xi Poi (2.28)
Dengan Pi menyatakan tekanan uap (jenuh) i di atas larutan pada suhu T, Xi
menyatakan fraksi mol i dalam larutan ideal, dan Pio menyatakan tekanan uap (jenuh)
pelarut murni i pada suhu T.
Pada suhu tertentu (tetap) kita dapat menggambarkan diagram fasa tekanan, P,
terhadap fraksi mol, X. Untuk itu marilah kita tinjau suatu larutan ideal yang terdiri
atas cairan A dan B dengan komposisi tertentu yang ada dalam suatu silinder yang
dilengkapi dengan piston dan dimasukkan ke dalam suatu penangas bersuhu tetap.
Mula-mula kita atur tekanan luar pada piston cukup tinggi sehingga sistem
seluruhnya ada dalam keadaan cair (titik C pada gambar 2.4)

1
Gambar 2.4 Sistem larutan ideal terdiri dari cairan A dan B dalam silinder yang
dilengkapi piston dimasukan dalam penangas dalam suhu tetap.

Berdasarkan gambar 2.5, mula-mula tekanan luar pada piston cukup tinggi sehingga sistem
seluruhnya dalam keadaan cair (titik a). Tekanan diturunkan dibawah titik a hingga cairan
tepat mulai menguap (titik a1). Pada titik a1 cairan mempunyai komposisi cairan semula,
karena cairan yang menguap masih sangat sedikit (tak hingga kecilnya).

Gambar 2.5 Diagram fasa fraksi mol (X) versus tekanan P larutan ideal terdiri dari
cairan A dan B

Komposisi uapnya berdasarkan Hukum Dalton:


PA
XA.v = (2.29)
P
PB
XB.v = (2.30)
P
Berdasarkan hokum Roult: PA = P0A . xAl (2.31)

2
Menghubungkan persamaan Hukum Dalton dan Raoult:
o
P
XA.v = A X A. (2.32a)
P
o
P
X B.v  B X A. (2.32b)
P
Dengan P=PA+PB, tekanan sistem
Perbandingan komposisi fasa uap A dan B adalah
o
X A.v X A. PA
 (2.33)
X B.v X B. PB o

Jika A lebih muda menguap, maka PAo > PBo. Dengan demikian maka
X A.v X A.
 .
X B .v X B . (2.34)
Sehingga uap di atas larutan lebih kaya akan zat A, yang lebih muda menguap,
dibandingkan dengan cairanya.
Jika tekanan diturunkan lagi (secara isoternal) dibawah titik a1, maka cairan yang
menguap akan lebih banyak lagi dan pada akhirnya cairan tetap habis menguap di
titik 𝑎 . Di bawah titik 𝑎 hanya terdapat uap saja. Setiap titik antara a1 dan 𝑎
menyatakan adanya cairan dan uapnya bersama-sama dalam kesetimbangan.
Eksperimen yang sama akan diulang-ulang dengan komposisi awal yang berbeda-
beda. Hasil kurvanya terlihat pada gambar (2.5). untuk setiap titik a1 garis  , cairan
dengan komposisi X  tepat mulai menguap. Tekanan uap dari cairan ini adalah

P=PA+PB= X A. PA o  X B . PB o  X A. PA o  1  X A. PB o


atau
P = PB o  ( PA o  PB o ) X A. (2.35)
Persamaan (2.35) merupakan persamaan garis lurus tekanan uap total, P, terhadap
X A, yang dimulai dari PBo untuk X A, = 0 dan berakhir di PA0 untuk X A,   1. Karena

3
sepanjang garis  tersebut cairan baru menguap, maka fraksi molnya sama dengan
fraksi mol dalam cairanya.
Kurva sepanjang garis v menunjukan zat cair tepat habis menguap, sehingga X
keseluruhan sama dengan fraksi mol dalam fasa uapnya, XV . Jadi garis v merupakan
aluran P terhadap XV. Untuk memperoleh P sebagai fungsi XV, kita dapat menyatakan
dalam bentuk XA,V. Untuk itu XA,  pada persamaan (2.35) diubah menjadi XA,V. Dari
persamaan (2.34) diperoleh
X X A. PA
o
A .V
 (2.36)
1  X A.v (1  X A. ) PB
o

Penyelesaian untuk, X A menghasilkan


o
X A.v PB
X A.  o o
(2.37)
X A.v ( P o B  PA )  PA
Substitusi persamaan (2.35) menghasilkan
o o
PA PB
P= o o o
(2.38)
X A.v ( PB  PA )  PA
Persamaan (2.38) menyatakan hubungan antara P dan XA,v. Kurva yang dihasilkan dari
persamaan ini akan sesuai dengan garis v.

Gambar 2.6 Perubahan tekanan secara isothermal pada diagram P-X cair-uap larutan
ideal

4
Perubahan sistem sekarang dikaji dengan penurunan tekanan secara isotermal. Oleh
karena sistemnya sistem tertutup, maka komposisi sistem secara keseluruhan tetap
pada fraksi mol A dengan XA pada (gambar 2.6). Meskipun fraksi mol keseluruhan
tetap, akan tetapi komosisi cairan dan uapnya berubah-ubah selama proses penurunan
tekanan. Kalau kita lihat pada gambar (2.6), proses ini dinyatakan oleh garis vertikal,
dari titik C ke K. Di titik C sistem ada dalam keadaan cair, dan tetap cair ketika
tekanan diturunkan sampai dicapai dititik D. Di titik D mulai muncul uap dengan
komposisi XA,1. Uap yang muncul pertama kali ini lebih kaya dengan zat A (yang
lebih muda menguap), dibandingkan dengan cairanya. Penurunan tekakanan
selanjutnya akan mencapai titik E. Selama penurunan tekanan ini (dari PD ke PE)
komposisi cair bergerak sepanjang garis D-K. Di titik E, cairan mempunyai
komposisi XA,3 dan uapnya mempunyai komposisi XA,2. Penurunan selanjutnya
sampai di titik F. Di titik ini tepat semua cairan menjadi uapnya. Cairan terakhir yang
mempunyai komposisi XA,4 dan uapnya mempunyai komposisi XA. Kita lihat bahwa
cairan terakhir yang tersisa lebih kaya dengan zat yang lebih sukar menguap (zat B).
Penurunan tekanan selanjutnya akan masuk ke daerah uap.
Dari titik F ke titik K, praktis hanya terjadi ekspansi dari uap, dengan komposisi uap
yang lebih pasti sama dengan komposisi cairan semula, XA. Uap yang terbentuk di
atas cairan saat tekanan diturunkan, lebih kaya dengan zat yang lebih mudah
menguap. Ini merupakan dasar dari salah satu metode pemisahan, yakni distilasi
secara isotermal. Cara ini sangat bermanfaat untuk memisahkan campuran yang
mudah terurai jika didistalasi dengan cara biasa. Cara ini tidak bisa digunakan,
kecuali jika cara-cara lain tidak cocok.
Contoh soal 2.5
Campuran uap dari A dan B yang membentuk larutan ideal, dimasukkan ke
dalam suatu silinder yang dilengkapi pistol pada suhu tetap, T. pada suhu tersebut P Ao
dan PBo masing masing adalah 0,4 dan 1,2 atm. Campuran uap tersebut mengandung
40% mol A. campuran kemudian dikompressi secara perlahan lahan. Hitung tekanan

5
total yang menyebabkan cairan pertama mulai terkondensasi dan komposisi dari
cairan tersebut.
Analisis Penyelesaian:

PAo = 0,4 atm

PBo = 1,2 atm

Ditanyakan : P saat uap mulai mencair

X A yang pertama muncul

Saat uap mulai mencair, komposisi uap sama dengan sebelum mencair, yakni X A =
0,4 karena cairan yang muncul masih sangat sedikit sekali (tak hingga kecilnya).

X A = P= PA + PB

Pi = Xi,l Pio XA + XB = 1

XA,
XA,v =
XA, ,

,
XA,v =
, ( , )

Penyelesaian

, ,
0,4 =
, , ( , ) ,

, ,
0,4 =
, , ,

6
XA,l = 0,7

Ptotal = ( 1,2 − 0,8 𝑋 , ) 𝑎𝑡𝑚

= ( 1,2 − 0,8 𝑥 0,7) 𝑎𝑡𝑚 = 0,62 𝑎𝑡𝑚

Kesimpulan

Tekanan total pada saat cairan pertama mulai muncul adalah 0,6 atm dengan
komposisi cairan tersebut XA,l = 0,7

Diagram fasa P – X cair – uap pada suhu tetap dari dua cairan yang
membentuk larutan ideal terdiri atas tiga daerah. Setiap titik yang ada di atas kurva
atas ( kurva cairan) ada dalam keadaan cair dan titik yang ada di bawah kurva bawah
(kurva uap) ada dalam keadaan uap. Setiap titik yang ada di antara kedua kurva
menyatakan keadaan sistem dimana cairan dan uapnya terdapat bersama – sama
dalam keadaan kesetimbangan. Daerah ini disebut sebagai daerah cair – uap. Jadi titik
E pada gambar (2.6) yang ada di daerah ini, terdapat di daerah dua fasa yakni fasa
cairan dengan komposisi H dan fasa uapnya dengan komposisi I, sementara
komposisi keseluruhan di titik E adalah XA. Garis horizontal HEI disebut dengan garis
dasi. Di daerah antar kurva cair dan kurva uap tidak bisa diperoleh fasa tunggal
(homogen), melainkan selalu terdapat dua fasa, cair dan uapnya. Satu titik yang ada
dalam daerah dua fasa dengan komposisi keseluruhan tertentu mempunyai komposisi
uap dan cair yang ada di ujung garis dasinya.

Di daerah dua fasa, sistem mempunyai derajat kebebasan f = 2- 2 + 2 = 2.


Karena T-nya tetap, maka f menjadi 1. Jadi pada suhu tertentu, cukup satu variable
dari P, Xv, X  yang diperlukan untuk menyatakan keadaan sistem. Sampai sejauh ini

kita sudah menggunakan XA, atau XA,v untuk menyatakan keadaaan sistem.

Sebenarnya bisas saja kita menggunakan XB,v atau XB,l untuk mennyatakan keadaan
sistem, karena kita mempunyai hubungan XA, + XB, = 1 dan XA,v + XB,v = 1. Jika

7
kita plih tekanan untuk menyatakan keadaan sistem di daerah dua fasa, maka
perpotongan garis horizontal di kurva cair dan uapnya menghasilkan X  dan Xv nya

langsung. Jika XA, yang dipilih untuk menyatakan keadaan sistem, maka

perpotongan garis vertical (pada XA, ) dengan kurva cair akan menghasilkan nilai P.

Dari nilai P ini maka nilai XA,v dapat segera diketahui.

Aturan Lever

Di daerah dua fasa, daerah (l + v) pada gambar (2.6), komposisi sistem secara
keseluruhan dapat bervariasi antara batas – batas X  dan Xv tergantung pada jumlah
relative cairan dan uap yang ada. Jumlah relative cairan dan uap yang ada dihitung
dengan aturan lever (lever – rule). Panjang segmen garis antara titik E dan H dalam
gambar (2.6) kita nyatakan dengan 𝐸𝐻 dan antar E dan I dinyatakan dengan 𝐸𝐼 ; nA,l
dan nA,v merupakan jumlah mol komponen A, masing – masing dalam fasa cair dan
uapnya; maka nA = nA,l + nA,v. Jika nl dan nv merupakan jumlah mol total cairan dan
uap yang ada nl + nv maka dari gambar (2.6) diperoleh

𝐸𝐻 = XA – XA,3 dan 𝐸𝐼 = XA,2 - XA

, ,
𝐸𝐻 = − 𝐸𝐼 = −

, ,
𝐸𝐻 -𝐸𝐼 = − - −

Kalikan 𝐸𝐻 dengan nl dan 𝐸𝐼 dengan nv lalu dikurangkan.

, ,
𝐸𝐻 -𝐸𝐼 = − - −

, ,
(𝐸𝐻 )nl – (𝐸𝐼 )nv = 𝑛 − -𝑛 −

(𝐸𝐻 )nl – (𝐸𝐼 )nv = (nl + nv) − (𝑛 , + 𝑛 , )

8
(𝐸𝐻 )nl – (𝐸𝐼 )nv = (n) − (𝑛 )

(𝐸𝐻 )nl – (𝐸𝐼 )nv = 𝑛 − 𝑛 = 0

(𝐸𝐼)
Jadi (𝐸𝐻 )nl = (𝐸𝐼 )nv atau = (2.39)
(𝐸𝐻)

Persamaan (2.39) disebut sebagai aturan lever. Jika titik E lebih dekat ke garis cair
(titik H), sistem mengandung cairan yang labih banyak dibandingkan dengan jumlah
uapnya. Jika titik E lebih dekat ke garis uap (ke titik I), jumlah cairan yang ada relatif
lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah uap yang ada. Jika titik E berimpit dengan
titik H, maka 𝐸𝐻 nol dan nv harus sama dengan nol, jadi hanya terdapat cairan saja.
Penurunan aturan lever di atas dapat diterapkan untuk setiap sistem dua komponen
dua fasa, tidak hanya kesetimbangan cair – uap saja. Jadi jika ada dua fasa α dan β, nα
dan nβ adalah jumlah total mol dalam fasa α dan β, lα serta lβ merupakan panjang
garis dari suatu titik (di daerah dua fasa) ke garis fasa α dan β, maka analog dengan
persamaan (2.39) kita peroleh
nα l α = nβ l β (2.40)

kadang – kadang, dalam diagram fasa digunakan (sebagai absis) fraksi berat atau
persen berat (bukan XA). Dalam keadaan seperti ini, aturan lever menjadi

mα lα = mβ lβ (2.41)

dengan mα dan mβ masing – masing adalah massa dari fasa α dan β.

Contoh Soal 2.6


Jika sistem dua komponen pada gambar di bawah ini menngandung 6 mol A, dan 4
mol B, hitunglah masing-masing mol A dan B di fasa uap dan di fasi cair pada
tekanan dan komposisi yang dinyatakan oleh titik E, jika panjang segmen 𝐸𝐻 = 0,80
cm sedangkan segmen 𝐸𝐼 = 0,60 cm dan jika 𝑋 , = 0,67 dan 𝑋 , = 0,40

9
Analisis Penyelesaian:
Diketahui pada diagram fasa tersebut, nA = 6 mol, nB = 4 mol
Dinyatakan nA,v, nB,v, nA,l, dan nB,l di titik E.
Dari gambar tersebut, menurut aturan Lever
𝑛 𝐸𝐼
=
𝑛 𝐸𝐻
Perbandingan panjang garis 𝐸𝐼 dan 𝐸𝐻 dapat ditentukan dengan menggunakan
penggaris. Dengan penggaris juga kita dapat menentukan bahwa di titik E, fraksi mol
(keseluruhan) dari A = XA
XA =

Di titik E, nilai XA,v adalah XA,2 dan dapat ditentukan dengan menggunakan
penggaris.
nA,v = XA,v nv
Penyelesaian
𝑛𝒍 𝐸𝐼 0,60 𝑐𝑚
= = = 𝟎, 𝟕𝟓
𝑛𝒗 𝐸𝐻 0,80 𝑐𝑚
Dititik E, XA = 0,60

0,6 =

𝑛 + 𝑛 = 10 𝑚𝑜𝑙
𝑛 = 10 𝑚𝑜𝑙 − 𝑛

10
𝒍 𝟏 𝒗
= 0,75 =
𝒗 𝒗

0,75 𝑛 = 10 𝑚𝑜𝑙 − 𝑛
𝑛 = 5,7 𝑚𝑜𝑙
Dititik E, 𝑋 , = 𝑋 , = 0,67, 𝑠𝑒ℎ𝑖𝑛𝑔𝑔𝑎
𝒏𝑨,𝒗 = 𝟎, 𝟔𝟕 (𝟓, 𝟕 𝒎𝒐𝒍)
=3,8 mol
Maka 𝒏𝑩,𝒗 = 1,9 mol
Dititik E, 𝑋 , = 𝑋 , = 0,40, 𝑠𝑒ℎ𝑖𝑛𝑔𝑔𝑎
𝒏𝑨,𝒍 = 𝟎, 𝟒𝟎 (𝟒, 𝟑 𝒎𝒐𝒍)= 1,72 mol
Maka 𝒏𝑩,𝒍 = 2,58 mol

Diagram suhu – komposisi


Diagram fasa diuraikan pada bagian sebelumnya gambar (2.6) merupakan
diagram tekanan – komposisi pada suhu tetap. Kita dapat pula menggambarkan
diagram fasa pada tekanan tetap dengan mengalurkan T terhadap X. digram T – X
pada P tetap untuk larutan ideal yang bersesuaian dengan gambar (2.6), diperlihatkan
pada gambar (2.7).

Gambar 2.7 Diagram fasa suhu terhadap komposisi fasa cair-uap untuk larutan ideal
TBo dan TAo masing – masing adalah titik didih zat B murni dan A murni. Perhatikan
bahwa daerah cair – uap pada gambar (2.6) mempunyai kemiringan yang terbalik

11
dengan daerah cair – uap gambar (2.7). Hal ini sesuai dengan fakta bahwa cairan A
mempunyai tekanan uap yang lebih tinggi, artinya zat tersebut mempunyai titik didih
yang lebih rendah (lebih mudah mendidih) dibandingkan dengan B. Juga perlu
diperhatikan bahwa daerah cair pada gambar (2.7) ada di bagian bawah diagram
(berbeda dengan gambar (2.6) dimana daerah cair ada di bagian atas diagram).
Hal ini disebabkan oleh karena pada tekanan tetap, cairan lebih stabil pada suhu
rendah, dan pada suhu tinggi, uapnya yang lebih stabil. Kurva yang lebih bawah pada
gambar (2.7) menyatakan komposisi cairan sedangkan kurva yang lebih atas
menyatakan komposisi uapnya. Sebetulnya daerah cair atau uap dalam diagram fasa
tidak perlu dihafalkan. Kita hanya perlu sedikit berpikir untuk menyatakan lokasi
daerah cair atau uap tersebut. Cairan lebih stabil pada suhu rendah, artinya ada di
bagian bawah diagram T – X dan juga cairan lebih stabil pada tekanan tinggi, bagian
atas diagram P- X. Hal yang sejalan dapat diterapkan untuk menentukan daerah fasa
uap ada diagram T – X dan P – X.

Bagaimanakah cara menggambarkan kedua kurva pada gambar (2.7) ? Kita


dapat mulai dari PAo (T) dan PBo(T), tekanan uap dari A dan B murni sebagai fungsi
dari suhu. Hal ini bisa diperoleh melalui percobaan langsung atau dari persamaan
Clausisus – Clapeyron. Jika tekanan pada P, maka P = PA + PB, dengan PA dan PB
masing – masing adalah tekanan parsial A dan B dalam uapnya. Dari hokum Raoult
diperoleh

P = 𝑋 , PAo(T) + (1 - 𝑋 , ) PBo(T)

Atau

( )
𝑋 , = (2.42)
( ) ( )

Karena PAo dan PBo diketahui sebagai fungsi suhu, maka kita dapat menggunakan
persamaan (2.42) untuk mendapatkan 𝑋 , pada berbagai T. Dengan demikian dapat

12
kita peroleh kurva cairan (kurva bawah). Untuk mendapatkan kurva uap, kita gunakan
hubungan

,
𝑋 , = = (2.43)

Subtitusi persamaan (2.42) ke dalam persamaan (2.43) menghasilkan

( ) ( ( ))
𝑋 , = (2.44)
( ) ( )

Persamaan (2.44) merupakan persamaan XA,v sebagai fungsi dari T. Dengan demikian
dapat diperoleh kurva uap (kurva atas)

Prinsip – prinsip yang digunakan ketika membahas diagram P – X dapat diterapkan


dengan cara yang sama untuk diagram T – X. Pada P tetap untuk sistem dua
komponen, dari aturan fasa diperoleh derajat kebebasan, f = 3 – p. Di daerah fasa, f =
2, ada dua variabel yang diperlukan untuk menyatakan keadaan sistem. Sementara di
daerah dua fasa, f = 1, hanya satu variable saja yang diperlukan untuk menyatakan
keadaan sistem. Setiap titik dalam diagram T – X menggambarkan sutu keadaan
sistem. Titik yang ada di bagian paling atas dari diagram T – X adalah keadaan gas
dan titik yang terletak di bagian paling bawah adalah keadaan cair. Titik di antara
kurva cair dan uap (daerah tengah) menggambarkan keadaan dimana cairan dan
uapnya terdapat bersama – sama dalam kesetimbangan. Garis dasi di daerah cair –
uap menghubungkan komposisi cair dan uap yang ada bersama – sama pada suhu
tertentu. Aturan lever juga digunakan pada diagram T – X.

Jika kita panaskan sistem dengan komposisi XA secara isobar, uap mulai
muncul di titik L. Peningkatan suhu selanjutnya akan menghasilkan uap yang lebih
banyak. Cairan akan semakin kaya dengan zat yang lebih sukar menguap, zat B,
dengan titik didih yang lebih tinggi. Ketika titik M dicapai, tepat semua cairan
berubah menjadi uapnya.

13
Uap pertama yang muncul ketika larutan dengan komposisi XA dididihkan
terdapat pada titik Q. Komposisi dari uap ini adalah XA,l. Jika uap ini dikeluarkan dari
sistem dan didinginkan, akan diperoleh cairan dengan komposisi XA,1. Pemanasan
cairan ini sampai mendidih akan menghasilkan uap awal dengan komposisi XA,2.
Pengulangan proses ini secara berkelanjutan pada akhirnya akan menghasilkan
distilat yang semakin kaya dengan komponen cairan yang lebih mudah menguap
sementara residunya semakin kaya dengan cairan yang lebih sulit menguap,
disamping sederet fraksi dengan komposisi di antara keduanya. Pemisahan yang
dilaksanakan dengan proses di atas memerlukan waktu dan tenaga yang tidak sedikit.
Untuk mengatasi maka digunakan metoda kontinu dengan menggunakan kolom
fraksinasi, dan caranya disebut dengan distilasi bertingkat.
2.7.2 Sistem Dua Komponen Cair – Uap Tak Ideal.
Diagram fasa cair – uap untuk sistem tak ideal diperoleh melalui pengukuran
tekanan dan komposisi uapnya dalam kesetimbangan dengan cairan yang diketahui
komposisinya. Jika larutan sedikit tak ideal, kurvanya mirip dengan larutan ideal dan
tidak ada perubahan yang signifikan. Akan tetapi jika larutan menyimpang cukup
besar dari keadaan ideal, akan diperoleh maksimum atau minimum pada kurva P – Xl.
Untuk larutan yang mengalami deviasi positif dari hokum Raoult akan
diperoleh maksimum pada kurva P – Xl gambar (2.8).

(a) Diagram fasa P-X (b) Diagram fasa T-X


Gambar 2.8 Diagram cair-uap dengan tekanan campuran maksimum

14
Campuran yang ideal atau menyimpang sedikit dari keidealan dapat
dipisahkan ke dalam komponen–komponennya melalui distilasi bertingkat. Tetapi
jika penyimpanganya besar sampai diperoleh kurva maksimum atau minimum dalam
kurva P – X atau kurva minimum dan maksimum dalam kurva T – Xi, maka campuran
seperti ini tak dapat dipisahkan ke dalam komponen – komponennya melalui distilasi
bertingkat.

Campuran dengan komposisi cairan X’A pada gambar (2.8b) jika dididihkan
akan mempunyai komposisi uap yang sama denngan cairannya. Karena penguapan
tidak mengubah komposisi cairannya, keseluruhan sampel cair akan mendidih pada
suhu konstan. Larutan yang mempunyai titik didih konstan seperti ini disebut
azeotrop. Titik didih larutan azeotrop mirip dengan suatu zat murni dan sangat
berbeda dengan kebanyakan larutan dari dua cairan yang mendidih pada rentang suhu
tertentu.
Distilasi bertingkat dari larutan yang membentuk azeotrop akan menghasilkan
pemishan larutan menghasilkan A murni dan azeotrop (jika XA,l > X’A) atau B murni
dan azeotrop jika XA,l < X’A.
Azeotrop yang paling dikenal adalah azeotrop yang terbentuk antara air dan
etanol. Pada 1 atm, komposisi azeotrop ini adalah 96% berat etanol, dengan titik
didih 78,2 oC, di bawah titik didih air dan etanol. Komposisi azeotrop bergantung
pada tekanan. Jadi perubahan tekanan akan menghasilkan perubahan komposisi
azeotrop, dan juga titik didihnya.
Untuk larutan yang tidak membentuk azeotrop, seperti pada gambar (2.7), uap
yang berada dalam kesetimbangan dengan cairannya selalu lebih kaya dengan
komponen bertitik didih lebih rendah (lebih mudah menguap). Akan tetapi jika
terbentuk azeotrop dengan titik didih minimum, seperti yang dapat dilihat pada
gambar (2.8), untuk cairan dengan komposisi tertentu (Xl > X’A), uapnya lebih kaya
dengan komponen bertitik didih lebih tinggi (lebih sukar menguap).

15
Untuk penyimpangan negatif yang cuckup besar dari hukum Raoult akan
diperoleh minimum pada kurva P – XA dan maksimum pada kurva T – X dengan
azeotrop bertitik didih maksimum (gambar 2.9a dan b). Jika penyimpangan positif
dari keidealan cukup besar, kedua cairan satu sama lain dapat saling larut (misibel)
sebagian.

(a) Diagram fasa P-X (b) Diagram fasa T-X

Gambar 2.9 Diagram cair – uap dengan tekanan campuran minimum

16

Anda mungkin juga menyukai