Handout Psikologi Sosial 2
Handout Psikologi Sosial 2
A. KONFORMITAS
1. Definisi Konformitas
¾ sikap patuh tetapi lebih kepada mengalah atau mengikuti tekanan dari
kelompok
¾ perilaku seseorang yang sama (seragam) dengan perilaku orang lain atau
perilaku kelompoknya
¾ definisi konformitas mengandung tiga hal, yaitu: patuh, perceived group
pressure, dan subjek tidak diminta untuk patuh
Jadi, apabila seseorang menampilkan perilaku tertentu karena setiap orang lain
menampilkan perilaku tersebut dikatakan konformitas.
2. Eksperimen Solomon Asch (1951, 1956, 1958)
1 2 3
standar line comparison lines
target
12 trial
N = 50
respon conformity 32% atau 3,84 kali dari 12 trial
B. COMPLIANCE
1. Definisi Compliance
¾ patuh, ada permintaan langsung dari orang lain atau tidak, individu setuju
untuk patuh
C. OBEDIENCE
1. Definisi Obedience
¾ patuh
¾ respon permintaan langsung (perintah)
¾ perilaku seseorang yang disebabkan adanya tuntutan dari pihak lain
(orang tua, kelompok, instansi, pemerintah atau negara)
Bila seseorang menampilkan perilaku tertentu karena adanya tuntutan meskipun
sebenarnya ia tidak suka atau tidak mengkehendaki perilaku tersebut dikatakan
kepatuhan.
2. Eksperiment Milgram (1963)
¾ Mengumpulkan 40 orang untuk mengetahui pengaruh hukuman terhadap
prestasi. Kemudian 20 orang menjadi guru dan 20 orang menjadi murid.
¾ Didepan guru, duduk murid dan ditengah-tengah ditaruh bel listrik yang
tegangannya dari rendah ke tinggi. Bel itu akan menyetrum murid apabila
ia melakukan kesalahan (memberikan shock).
¾ Dari guru-guru itu ada guru yang tentu memberikan shock sampai murid
menunjukkan kesakitan. Dan kalau perlu menambahkan tegangannya.
¾ Dasar eksperiment : manusia membutuhkan struktur yang jelas (perintah
dari otoritas yang diakui) untuk bergerak dengan cara patuh pada
peraturan yang ada.
¾ Eksperiment Milgram (1965, 1974) :
orang dapat kejam karena pengaruh situasi
orang baik pun dapat berbuat jahat
3. Eksperiment Zimbardo
¾ Membuat penjara2an lalu diiklankan untuk mencari subjek penelitian dari
mahasiswa. Penelitian direncanakan diadakan selama 2 minggu dengan
imbalan uang.
¾ Subjek dijemput dirumahnya menggunakan mobil bersirine dan diborgol.
Dalam waktu 3 hari mulai terjadi pemukulan yang dilakukan oleh sipir
kepada tahanan.
¾ Pemukulan tersebut sudah sangat kejam sehingga ketika baru berjalan
seminggu, penelitian tersebut dihentikan.
¾ Hal ini terjadi, karena:
adanya kekuasaan
kekuasaan dijadikan sebagai identitas dirinya
11
Decision/commitment
Empty
love
Consumate
love
Infatuation Liking
Passion Intimacy
PUTUS CINTA
Perpisahan
Untuk memahami terjadinya perpisahan, Hill, Rubin, dan Peplau (1976)
mengadakan penelitian yang ekstensif selama dua tahun, yaitu dengan subjek
sebanyak 231 pasangan di wilayah Boston, AS. Pada akhir penelitian (masa
penelitian dua tahun), ternyata 103 pasangan (45%) telah berpisah; 65 pasangan
masih berkencan; 9 pasangan telah bertunangan, 43 pasangan telah menikah,
dan 11 pasangan tidak dapat dihubungi.
Hill dkk menemukan bahwa mereka yang melaporkan perasaan dekat
dengan pasangannya pada tahun pertama penelitian (1972) tidak selalu berarti
bahwa hubungan dengan pasangannya tetap langgeng dalam dua tahun
kemudian. Hal ini sesuai dengan pembahasan hasil penemuan Rubin (1970)
mengenai kecintaan dan kesukaan. Hasil penelitian Rubin tersebut menunjukkan
bahwa skor dari skala cinta (love) lebih prediktif (lebih dapat digunakan untuk
memprediksi/meramalkan) terhadap hubungan tersebut dari pada skor dari skala
rasa suka (liking). Selanjutnya, terbukti juga bahwa skor skala cinta dari subjek
perempuan lebih prediktif terhadap kelanggengan hubungan dari pada skor skala
cinta dari subjek laki-laki. Artinya bahwa pada subjek perempuan, yang skor
skala cinta-nya lebih tinggi, lebih langgeng pula hubungan subjek tersebut
dengan pasangannya. Hal ini tentu saja seperti yang telah kita bahas di atas,
karena perempuan cenderung memainkan peran yang lebih besar dalam
mengelola hubungan, maka perasaan perempuan dalam suatu hubungan
merupakan indeks yang lebih sensitif untuk kesehatan hubungannya. Apakah
pasangan tersebut telah melakukan sexual intercourse dan apakah telah hidup
bersama, hal ini tidak menjamin keberhasilan hubungan di masa yang akan
datang.
Pada subjek penelitian Hill dkk tersebut, kesamaan yang ada pada satu
pasangan (yang merupakan faktor penting untuk Daya Tarik), juga penting bagi
berhasilnya suatu hubungan. Kesamaan dalam pendidikan, inteligensi, dan
daya tarik, lebih banyak ditemukan pada pasangan yang hubungannya
langgeng dari pada pasangan yang akhirnya berpisah. Kesamaan dalam
agama, sikap-sikap terhadap peran gender, dan kebutuhan/harapan akan
Definisi Agresi
Terdapat sejumlah definisi agresi yang telah diusulkan; definisi-definisi tersebut
sering kali merupakan refleksi asumsi teoritik dari penganjurnya.
• Teori Psikoanalisa (dikembangkan oleh Freud), mendefinisikan agresi
sebagai dorongan biologis yang mendasar, yang harus diekspresikan.
• Perspektif Ethologi (studi perilaku binatang dalam seting alami), Konrad
Lorenz menggambarkan agresi sebagai instink berkelahi yang diarahkan
terhadap anggota spesies yang sama
• Para Behavioris, sebaliknya mendefinisikan agresi dalam konteks
perilaku yang nampak; bukan sebagai dorongan dari dalam diri (inner
drive) atau motivasi.
Berdasarkan tinjauan aspek internal dan aspek yang nampak tersebut, definisi
perilaku agresi yang paling banyak diterima oleh para psikolog sosial adalah:
Agresi merupakan berbagai berilaku yang diarahkan untuk membahayakan
makhluk hidup lain.
2. Ethologi (suatu cabang ilmu biologi yang sangat peduli mengenai instink
dan pola perilaku umum semua spesies dalam habitat alami), sering
berasumsi bahwa perilaku-perilaku (pola tindakan) berbagai spesies
merupakan innate, atau dalam kendali instink (Crook, 1973).
Seperti psikoanalisa, para etholog berpandangan bahwa ekspresi dari
berbagai tindakan (agresi) yang polanya menetap itu tergantung dari
akumulasi energi, namun .pelepasan energi itu harus dipicu oleh stimulus
eksternal yang disebut releaser (Hess, 1962). Releaser dapat berupa
ancaman-ancaman dari pihak lain atau perubahan lingkungan.
Agresi, menurut Lorenz (1966) berfungsi untuk melindungi spesies;
dengan demikian agresi bernilai sebagai survival. Lorenz yakin bahwa
organisme lebih agresif terhadap spesiesnya sendiri daripada terhadap
spesies lain.
Frustrasi
Pada tahun 1939 sekelompok psikolog di Yale University (Dollard, Doob, Miller,
Mowrer, & Sears, 1939) mengajukan hipotesis bahwa frustrasi menyebabkan
agresi. Hipotesis frustrasi-agresi tersebut dipostulatkan: “terjadinya agresi selalu
mensyaratkan adanya frustrasi” (Miller, 1941). Namun demikian, frustrasi dapat
memiliki akibat lain (tidak selalu agresi).
Frustrasi, oleh para teoris dari Yale didefinisikan sebagai kondisi yang
berkembang bila lingkungan menghambat/mengganggu respon pencapaian
tujuan. Jadi, frustrasi merupakan hasil ketidakmampuan organisme untuk
melengkapi serangkaian perilaku.
Fakta yang diperoleh dari berbagai studi menunjukkan bahwa agresi kadang-
kadang disebabkan oleh frustrasi (Azrin, Hutchinson, & Hake, 1976; Rule &
Percival, 1971). Misalnya Arnold Buss (1963) yang menciptakan tiga kondisi
Efek Senjata
Program riset sistematis yang dilakukan oleh Berkowitz dkk di University of
Wisconsin telah memperkuat anggapan bahwa petunjuk agresif memicu perilaku
agresif.
Dalam salah satu eksperimen Berkowitz (1965), pembantu eksperimenter
(confederate) diperkenalkan sebagai Kirk Anderson (diasumsikan menimbulkan
asosiasi dengan Kirk Douglas, aktor utama dalam film Champion), atau sebagai
Bob Anderson (bukan tokoh agresif). Dalam hal ini petunjuk agresif yang berupa
nilai-nilai confederate nampak mempengaruhi tingkat agresif subjek. Dalam
eksperimen tersebut subjek memberikan sengatan listrik lebih tinggi (berperilaku
agresif) bila:
a. mereka marah,
b. mereka telah menonton film kekerasan,
c. dihadapkan pada orang yang memiliki nama sama dengan petinju dalam
film.
d. sebagai tambahan, subjek yang telah dimarahi selalu lebih agresif
daripada subjek yang tidak dimarahi.
Eksperimen lain dari rangkaian eksperimen Berkowitz (Berkowitz & Lepage,
1967) difokuskan pada petunjuk agresif yang berupa nilai senajata. Dalam
eksperimen ini, beberapa mahasiswa pria diberi sengatan listrik sebanyak satu
atau tujuh kali sengatan oleh mahasiswa lain (Ctt: sebenarnya confederate,
pembantu eksperimenter), dan kemudian diberi kesempatan untuk membalas.
Deindividuasi
Obat-obatan
Obat-obatan banyak digunakan oleh masyarakat kita. Terdapat anggapan di
dalam masyarakat bahwa alkohol memfasilitasi agresi, dan sangat umum kartun
ayang menggambarkan tentang pemabuk yang bermusuhan.
Stuart Taylor dkk melakukan serangkaian penelitian dimana berbagai dosis
alcohol atau THC (tetrahidrocannabinol, zat pengaktif utama ramuan marijuana)
diberikan kepada subjek sebelum mereka berpartisipasi dalam eksperimen
agresi. Dalam beberpa siatuasi nampak bahwa efeknya hanya nampak bila bila
seseorang doprovokasi atau diserang (Taylor, Gammon, & Capasso, 1976).
Eksperimen Taylor et al. (1976), dengan alkohol:
• Dosis alkohol yang ringan (setara dengan satu cocktail) ternyata
menurunkan agresi bila dibanding dengan kelompok yang tidak
menggunakan alkohol
Stimulus Afersif
priming
Dorongan
Marah agresif
(Marah dan dorongan agresif merupakan hasil dari emosi negatif , namun
keduanya juga terhubung di dalam memori)
Menurut model tersebut, yang mendorong agresi secara langsung adalah emosi
negatif, bukan rasa marah. Pengalaman marah dapat menunjang (membuat
lebih mudah diakses) pikiran-pikiran tentang perilaku agresif (Rule, Taylor, &
Doobs, 1987). Efek menunjang tersebut berlangsung dua arah (bi-directional):
berpikir tentang perilaku agresif dapat juga menunjang rasa marah.
Perbedaan Individu Dalam Perilaku Agresif
Agresifitas setiap orang tidaklah sama. Ada orang-orang yang lebih agresif
daripada yang lain. Terdapat fakta bahwa perbedaan individu dalam agresi,
relative bersifat stabil, khususnya pada pria (Huesmann, Lagerspetz, & Eron,
1934; Olweus, 1979,1984b). Anak laki-laki 8 tahun yang di kelas dikenal sebagai
anak yang suka memukul dan mendorong anak-anak lain, lebih besar
kemungkinannya pada usia 30 tahun menjadi pria yang tercatat berbuat criminal,
melecehkan, dan melakukan kekerasan (Eron, 1987).
Perilaku prososial adalah perilaku yang bermanfaat atau memiliki efek positif
bagi orang lain (Staub 1978; Wispe 1972). Istilah prososial berlawanan
dengan istilah anti sosial yang diterapkan untuk perilaku agresif atau kekerasan.
Perilaku-perilaku yang dapat dipandang sebagai prososialadalah: memberikan
pertolongan dalam situasi darurat, beramal (charity), kerja sama, donasi,
membantu, berkorban, dan berbagi. Dalam tulisan ini yang menjadi fokus adalah
perilaku menolong dalam kondisi darurat, yang lebih memberikan manfaat bagi
orang lain, bukan bagi diri sendiri.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, berkembang istilah altruism. Altruisme
adalah bentuk khusus perilaku menolong yang dilakukan dengan suka rela,
merugikan bagi pelakunya, dan terutama dimotivasi oleh kebutuhan untuk
meningkatkan kesejahteraan orang lain, bukan untuk mengharapkan imbalan
(Batson 1987; Walster & Piliavin, 1972). Dengan demikian altruisme merupakan
perilaku prososial yang lebih bersifat selfless (tidak mementingkan diri sendiri)
daripada selfish (egois, mementingkan diri sendiri).
Berikut ini dibahas mengenai beberapa hal yang dapat diterapkan untuk
membangun masyarakat yang lebih prososial.
c. Hipotesis Empati-Altruisme
Batson dkk (Batson 1987, 1990; Batson & Olson 1991;Coke, Batson, &
McDavis 1978) berdasarkan penelitian-penelitian yang mereka lakukan
menemukan bahwa terdapat hubungan antara perilaku menolong dan empati
(seolah-olah mengalami emosi orang lain). Berdasarkan hal tersebut, muncul
pertanyaan, mengapa perasaan empati terhadap orang lain lebih
memungkinkan kita untuk menolongnya? Batson dengan hipotesis empati-
altruisme menyatakan bahwa emosi empatik dapat menghasilkan motivasi
altruistik yang murni, yaitu menolong dengan tujuan terutama untuk
mengurangi penderitaan si korban, bukan untuk memuaskan kebutuhan diri
sendiri.
Untuk membedakan antara menolong yang dimotivasi secara egoistik dengan
yang dimotivasi secara altruistik atas dasar empati, Batson dkk telah
berusaha mengukur dua reaksi emosi yang berbeda terhadap seseorang
yang mengalami kesulitan (distress):
- Empathic concern: fokusnya, simpati terhadap kesulitan orang lain dan
motivasi untuk mengurangi kesulitan tersebut. Dalam skala pengukur
empathic concern, yang dimasukkan sebagai sifat-sifat yang
merefleksikan hal ini adalah: simpati (sympathetic), belas kasihan
(compassionate), gerakan hati (moved), tidak sampai hati (softhearted),
dan sabar (tender).
- Personal distress: kepedulian terhadap rasa ketidaknyamanan diri sendiri
dan motivasi untuk mengurangi ketidaknyamanan tersebut. Dalam skala
pengukur personal distress, reaksi-reaksi yang dianggap mencerminkan
hal ini adalah: ketakutan/kegelisahan (alarmed), cemas/khawatir (worried),
terganggu (disturbed), dan terkejut/bingung (upset).
62%
50
31%
0 ⊥ ⊥
⊥
sendirian dua orang
empat orang
Jumlah saksi
Latane dkk berpendapat bahwa terdapat tiga proses sosial yang menjadi
penyebab dari pengaruh keberadaan orang-orang lain tersebut, yaitu :
Catatan :
Namun demikian, pengaruh keberadaan orang-orang lain seperti dijelaskan di
atas dapat dihindari. Sebagai contoh, bila peristiwanya jelas-jelas merupakan
situasi darurat dan para saksi memberikan reaksi, dan bila para saksi
bagaimanapun juga merasakan adanya tanggungjawab pribadi untuk bertindak
(karena rasa tanggung jawab itu sendiri ataupun karena keahliannya).
y Tempat tinggal di kota besar atau di kota kecil /daerah pinggiran : Orang
yang tinggal di daerah pinggiran dan kota kecil lebih suka menolong dalam
berbagai situasi daripada orang-orang yang tinggal di kota besar (House &
Wolf, 1978; Steblay,1987).
Catatan :
Meskipun tiga aspek tersebut dapat membantu memahami perbedaan antara
orang yang suka menolong dengan orang yang kurang suka menolong, namun
untuk sungguh-sungguh memahaminya, kita juga harus memahami bahwa
karakteristik situasional dan karakteristik pribadi saling berinteraksi
mempengaruhi perilaku menolong.
Pada anak-anak :
Meskipun tanda-tanda empati dan kecenderungan untuk menolong dan berbagi
telah tumbuh pada masa kanak-kanak, namun bagaimanapun juga anak-anak
relatif masih bersifat egois. Setelah mereka lebih dewasa, normalnya mereka
menjadi lebih prososial. Alasan mereka menolong berkembang, dari alasan ingin
menerima ganjaran (reward) berkembang menjadi persetujuan untuk lebih peduli
terhadap kesejahteraan orang lain /altruistik (Eisenberg & Mussen, 1989).
Perkembangan tersebut sebagian karena kemampuan kognitif anak meningkat
sehingga mereka lebih dapat memahami sudut pandang orang lain dan
berempati.
- Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang tua dari anak yang tingkat
empatinya tinggi tidak mentolerir perilaku agresif, dan menunjukkan apa
akibatnya bagi orang lain bila anak gagal /tidak mau berbagi /tidak
memberikan pertolongan. Dengan kata lain : orang tua mengajarkan
empati !
- Sesuai dengan teori belajar, perilaku prososial anak akan diperkuat bila
mereka menerima ganjaran (reward) atas perilaku prososialnya.
Keterangan :
- Titik, mewakili orang
- Garis penghubung menggambarkan saluran komunikasi.
Meskipun gambaran tersebut abstrak, namun tidak sulit untuk memikirkan situasi
kongkrit untuk masing-masing gambar jaringan komunikasi tersebut di atas.
Untuk bentuk setir (wheel), sebagai contoh, tim sepak bola : gelandang tengah
merupakan pusat komunikasi. Pemain yang lain menyampaikan komentar-
komentarnya terutama kepada gelandang tengah, yang berbicara kepada
masing-masing anggota tim.
Bentuk jaringan komunikasi ini penting karena menentukan cara berfungsinya
kelompok.
Berikut adalah gambaran bagaimana cara berfungsinya kelompok berdasarkan
jaringan komunikasinya.
• Bentuk setir/roda (wheel)
Jaringan komunikasi ini memberikan kontrol yang besar terhadap mereka
yang berada dalam posisi pinggir. Mereka dapat berkomunikasivdengan
anggota yang lain, namun harus melalui seseorang yang ditengah-tengah.
Jika jaringan komunikasi ini ditetapkan untuk kelompok yang baru
terbentuk, maka kemungkinan besar orang yang di tengah yang berfungsi
sebagai pusat komunikasi akan muncul sebagai pemimpin.
• Bentuk rantai (chain) dan Y
Dengan jaringan komunikasi berbentuk rantai maupun Y, organisasi
menjadi sentralistik, dengan menempatkan seseorang sebagai poros.
• Bentuk lingkaran (circle) dan Comcon
Kedua bentuk jaringan komunikasi ini merupakan kebalikan dari bentuk-
bentuk di atas : tidak memfasilitasi seseorang untuk muncul sebagai
pemimpin yang dominan (Leavitt, 1951). Dalam jaringan komunikasi yang
memungkinkan setiap anggota untuk berkomunikasi satu sama lain, tidak
dimungkinkan untuk meramalkan posisi yang mana yang besar
kemungkinannya untuk menjadi pemimpin dan dominan. Kepribadian dan
ketrampilan masing-masing anggotalah yang menentukan.
Berikut ini adalah gambaran proses yang mendahului serta akibat dari
groupthink.
Kondisi-kondisi yang mendahului :
1. Kohesifitas tinggi
2. Persetujuan yang tidak menentu
3. Penyekatan kelompok
4. Kekurangan metoda untuk menaksir/menilai
5. Petunjuk pimpinan
6. Stress yang tinggi dengan sedikit harapan untuk menemukan solusi
Yang lebih baik daripada yang disukai oleh pimpinan atau orang lain yang
berpengaruh
Simptom Groupthink :
1. Ilusi akan kekebalan
2. Rasionalisasi kolektif
3. Keyakinan terhadap moralitas yang melekat pada kelompok
4. Stereotip mengenai out-group
5. Tekanan terhadap orang yang tidak sepakat
6. Self-censorship (menyensor diri sendiri)
7. Ilusi akan kebulatan suara
8. Mengangkat diri sendiri sebagai mind guards
Secara umum dapat dikatakan, bila terjadi kontak antar kelompok, konflik
sering kali terjadi. Situasi konflik ataupun potensi konflik antar kelompok
begitu sering kita jumpai di dalam masyarakat. Misalnya, konflik antar negara,
antar suku, antar partai, antar kelompok siswa, antara pekerja dengan pihak
manajemen, dan lain-lain. Hal ini merupakan tantangan bagi kita untuk
memahami perilaku antar kelompok. Untuk itu terlebih dahulu perlu diketahui
batasan istilah perilaku dalam kelompok (intergroup behavior).
Muzafer Sherif dan Carolyn Sherif (1979) mendefinisikan perilaku antar
kelompok sebagai berikut : “Kapanpun individu-individu masuk ke dalam
suatu kelompok, dan secara kolektif maupun individual berinteraksi
dengan kelompok lain atau anggota kelompok lain dalam konteks identitas
kelompoknya”.
Berikut ini disajikan beberapa hal yang berkaitan dengan perilaku dalam
kelompok.
.50
.40
Proportion
.30
.20
.10
.00
µ µ
Agresifitas
Keterangan :
Perempuan
Laki-laki
Sebab-sebab Perbedaan
Problem yang paling sulit dalam mempelajari perbedaan antar kelompok adalah
menentukan “mengapa terjadi perbedaan “.
Secara tradisional, peneliti mempunyai tiga pilihan ayang umum untuk
menjelaskan kemungkinan penyebab perbedaan antar kelompok, yaitu faktor
herediter, faktor lingkungan, atau kombinasi faktor herediter dan lingkungan.
y Penjelasan berdasarkan faktor herediter, menekankan pentingnya faktor
genetik dan sering menganggap bahwa perbedaan antar kelompok pasti ada
(Scarr & McCartney, 1983). Misalnya, sosiobiologi beranggapan bahwa
perbedaan perilaku agresif dan mengasuh anak pada laki-laki dan
perempuan, dasarnya adalah faktor biologis.
y Penjelasan berdasarkan faktor lingkungan, memandang bahwa
pengalaman sosialisasi merupakan penyebab perbedaan antar kelompok.
Penjelasan ini mencakup berbagai aspek, antara lain kondisi ekonomi dan
lingkungan, praktek sosialisasi dari orang tua, serta faham mengenai ras dan
jenis kelamin.
y Penjelasan berdasarkan gabungan faktor herediter dan lingkungan,
berusaha menjelaskan perbedaan kelompok berdasarkan dua faktor tersebut.
Meskipun demikian mereka dapat memberikan bobot faktor herediter dan
lingkungan yang berbeda. Misalnya, anak kembar dan keluarganya lebih
banyak memiliki kesamaan dalam hal tinggi badan, namun tidak terlalu sama
dalam hal kepribadian. Oleh sebab itu para penulis memandang bahwa
kepribadian terutama dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Persoalan timbul bila konstruk emik (emic constructs) murni dianggap sebagai
konstruk etik (etic constructs). Dengan kata lain, persoalan akan muncul bila
penemuan dari suatu budaya (misalnya konsep keseimbangan/equity di dalam
relasi sosial yang erat), dianggap diterapkan pada masyarakat pada umumnya.
Kesimpulan semacam ini disebut pseudoetic.
Tantangan bagi psikologi lintas budaya adalah membedakan antara etic dengan
pseudoetic ini. Untuk itu riset harus dilakukan terhadap lebih dari satu budaya
(Segall, 1986). Di samping itu kita juga harus ingat bahwa cara seseorang
menginterpretasikan hasil penelitian lintas budaya, sebagian ditentukan oleh
latar belakang budayanya sendiri (Geregen, 1985).
Stimulus
Proses spontan
Stereotip
Mencegah
Keyakinan-keyakinan Proses-proses
negatif kontrol
Ya Tidak
Respon Respon
Non-prejudice prejudice
Keterangan Gambar :
Stereotip terjadi secara spontan. Pencegahan keyakinan-keyakinan stereotip
untuk mencegah respon prejudice, merupakan proses kontrol.
Rasisme (racism)
Sexisme (sexism)
STRATEGI-STRATEGI INTERAKSI
Yang dimaksud sebagai superordinate goal adalah tujuan penting yang hanya
dapat dicapai melalui kooperasi. Konflik dapat berkurang bila kedua kelompok
yang bertikai diarahkan untuk mencapai suatu tujuan yang hanya dapat dicapai
bila mereka saling bekerja sama.
Salah satu hasil dari penerapan prosedur ini adalah terjadinya perubahan pada
identitas menonjol yang dimiliki oleh kelompok. Misalnya, setelah memulai kerja
sama, gank “Rattlers” atau Eagles” mulai mempertimbangkan anggota
kelompoknya sebagai kelompok yang lebih umum, yaitu “kelompok anak
jalanan”.
Banyak orang yang secara optimistik mengasumsikan bahwa jika dua kelompok
rasial atau kelompok religious bertemu, ekspresi tidak menyenangkan dari
masing-masing kelompok akan terkikis, lalu berkembang sikap positif. Esensi
dari asumsi ini, disebut hipotesis kontak antar kelompok (intergroup contact
hypothesis). Namun demikian, kontak antar kelompok tidak selalu dapat
mengurangi konflik. Ada beberapa kondisi prasyarat yang diperlukan (Amir,
1976; Cook, 1970; Miller & Brewer, 1984); Stephan, 1985) :
1. Situasi harus memberikan “acquaintance potential “. Artinya orang
membutuhkan kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain yang
memungkinkan mereka mengetahui bahwa keyakinan-keyakinan mereka
dapat salah.
2. Interaksi harus memberikan informasi yang tidak mendukung keyakinan
mengenai ciri-ciri negatif kelompok lain.
Pengurangan Ancaman